You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan
jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang
dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan
jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan
tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang
mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik.
Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang
hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir
ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat secara
pasif.
Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada
kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat
pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu
pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan
terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponenkomponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan selsel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan perkataan lain, respon
imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan
antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik
humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh
antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka berikut beberapa masalah diantaranya :


1.

Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?

2.

Bagaimana Etiologi penyakit hipersensitivitas?

3.

Bagaimana Patofisiologi dari penyakit hipersensitivitas?

4.

Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?

5.

Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?

6.

Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?

7.

Bagaimana diagnosa hipersensitivitas?

8.

Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?

C. Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang menimbulkan reaksi
yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya bagi penjamu. Pada individu yang
rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang kedua dengan antigen spesifik
(alergen). Kontak yang pertama kali merupakan kejadian yang diperlukan untuk menginduksi
sensitisasi terhadap alergen tersebut.
B.

Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :


1.

Faktor Internal

a.
Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzymenzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.

b.
Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa
bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c.
Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2.

Fator Eksternal

a.
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban
latihan (lari, olah raga).
b.
Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c.
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi
alergi.
C. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi
makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang
tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada
kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang
masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B
untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel
mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya
oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1.
Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga
menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2.
Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast
kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar
di dalam tubuh melalui pembuluh darah.
Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma.
Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat
menyebabkan kematian
D. Klasifikasi

Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan menjadi 4 tipe reaksi
berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian
Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
1.

Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.
Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe I ini meliputi langkah-langkah berikut ini. Antigen
menginduksi pembentukan antibody IgE, yang terikat kuat dengan reseptor pada sel basofil dan
sel mast melalui bagian Fc antibody tersebut. Beberapa saat kemudian, kontak yang kedua
dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi antigen ke IgE yang terikat ke sel dan
pelepasan mediator yang aktif secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu beberapa menit.
Nukleotida siklik dan kalsium diperlukan dalam pelepasan mediator tersebut.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit
(tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2.

Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan


imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan
sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:

a.

Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),

b.
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c.
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).
3.

Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal
ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan
adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora
fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan
di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paruparu, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan
menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,
diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan
sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru
pembuat keju.
4.

Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat
(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.
Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi
sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena
paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

E. Tanda dan Gejala


Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen
protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis
sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul
rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas
berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan
vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok
anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa
menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia,
eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1.
Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala
sering disertai pruritis.
2.

Demam.

3.

Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi.

4.

Limfadenopati

a.

kejang perut, mual

b.

neuritis optic

c.

glomerulonefritis

d.

sindrom lupus eritematosus sistemik

e.

gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak,
batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis
intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.

Adapun Gejala klinis umumnya :


1.

Pada saluran pernafasan : asma

2.

Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3.

Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal

4.

Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

F. Pemeriksaan Fisik
1.
Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2.

Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan.

3.

Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan.

terdapat gejala adanya

4.
Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang
menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

G. Diagnosa
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita
penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain
juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.
1.
Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan
penyakit dengan alergi.
2.
Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian
ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru.
Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3.
Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun
tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah
leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.

4.
Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.
5.
Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan
ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes
provokasi nasal dan tes provokasi bronkial
H. Penangan dan Terapi
Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:
1.

Menghindari allergen

2.

Terapi farmakologis

a.

Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,


isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol,
terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat
menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun
lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen
selama 34 jam.
b.

Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih
efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c.

Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan


analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak
mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut.
Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d.

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu
penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung

yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig
E mukosa.
3.

Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E


atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil
pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan
pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin
dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari
beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun
4.

Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat
efektif untuk urtikaria atau angioedema.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.

Saran

DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ke Tujuh, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Brooks G. F., Butel J. S., dan Morse S. A., 2005, Mikrobiologi Kedoteran, Edisi Pertama,
Salemba Medika, Jakarta.
Price & Wilson, 2003, Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol 2, Edisi 6, EGC,
Jakarta.

Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, M., Setiati, S., 2007, Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta.

You might also like

  • Penyakit Pedo
    Penyakit Pedo
    Document19 pages
    Penyakit Pedo
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document4 pages
    Bab I
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Pedoman Ruang Gilut
    Pedoman Ruang Gilut
    Document21 pages
    Pedoman Ruang Gilut
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • MAKALAH Etika Belajar
    MAKALAH Etika Belajar
    Document5 pages
    MAKALAH Etika Belajar
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Four Handed Dentistry
    Four Handed Dentistry
    Document25 pages
    Four Handed Dentistry
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document4 pages
    Bab I
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document4 pages
    Bab I
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Document2 pages
    Bab Iii
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Lamp Iran
    Lamp Iran
    Document2 pages
    Lamp Iran
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document4 pages
    Bab I
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document4 pages
    Bab I
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document1 page
    Daftar Pustaka
    Nurul Maulidiah
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Lamp Iran
    Lamp Iran
    Document2 pages
    Lamp Iran
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document4 pages
    Bab I
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Document39 pages
    Bab Ii
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Dasar Dasar Radiologi
    Dasar Dasar Radiologi
    Document17 pages
    Dasar Dasar Radiologi
    Nilton Freitash
    No ratings yet
  • Casting Procedure1
    Casting Procedure1
    Document27 pages
    Casting Procedure1
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Animal Agriculture Journal
    Animal Agriculture Journal
    Document8 pages
    Animal Agriculture Journal
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab III Baru
    Bab III Baru
    Document2 pages
    Bab III Baru
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Teknik Preparasi Saluran Akar
    Teknik Preparasi Saluran Akar
    Document8 pages
    Teknik Preparasi Saluran Akar
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • 1 Cover Luar-1
    1 Cover Luar-1
    Document1 page
    1 Cover Luar-1
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Document2 pages
    Daftar Isi
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document1 page
    Cover
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document20 pages
    Bab I
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document20 pages
    Bab I
    Yulia Mifta Purwaningrum
    No ratings yet
  • Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
    Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
    Document7 pages
    Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
    Rinda Julianti
    100% (1)
  • Kelenjar Limfa
    Kelenjar Limfa
    Document18 pages
    Kelenjar Limfa
    Niska Darlianti
    No ratings yet