You are on page 1of 2

Sungguh, saya cukup kesulitan menjelaskan hal itu.

Mencari perbedaan kongkrit antara


ibu kartini dengan ibu pertiwi, yang secara bahasa -nyata- sama-sama menggunakan
kata IBU. Sementara pengertiannya sangat jauh berbeda.
Ada banyak kosa kata lain dalam bahasa Indonesia yang juga sulit bagi sayadicarikan penjelasannya. Misalnya soal akronim dan singkatan. Bagaimana sebenarnya
kaidah dalam bahasa indonesia mengatur?
Ada kalanya singkatan itu diambil dari huruf pertama dari setiap katanya. Seperti, SD
singkatan dari Sekolah Dasar. Atau BI : Bank Indonesia. Atau BPSNT : Badan Pusat
Sejarah dan Nilai Tradisi.
Ada kalanya singkatan itu diambil bukan dari satu huruf pertama, melainkan dari
sembarang kata yang terdapat pada kata itu. Seperti Bawaslu: Badan Pengawas
Pemilu. Sementara PEMILU sendiri juga kata yang sudah disingkat Pemilihan Umum.
Semakin hari singkatan itu semakin keren saja. Entah sengaja dibuat keren atau tren
bahasa sekaranglah yang menuntun menjadi ke-keren-keren-an. Contohnya seperti
lalin: lalu lintas.
Barangkali menyingkat-nyingkat kata itu sudah menjadi candu bagi pengguna bahasa
saat ini. Katanya agar lebih efektif. Tapi menurut saya, tidak pula susah menyebut kata
itu baik-baik. Menyelesaikan kata itu sebagaimana mestinya. Yang ada kini, biar terlihat
keren (mungkin), disingkatlah kata-kata itu. Walau tanpa aturan tertentu.
Sembarang(an) saja.
Ada pula singkatan dari bahasa asing yang tak jelas penggunaannya, seperti WC yaitu
water-closet. Padahal ada padanan kata dalam bahasa Indonesia seperti jamban.
Sayangnya kebanyakan masyarakat terbiasa menggunakan WC.
Contoh lain seperti (maaf) BH : bustehouder yang jika diterjemahkan menjadi
penyangga payudara. Berbeda dengan jamban, yang bahasa Indonesia-nya terkesan
lebih baik, untuk BH ini, masyarakat (menurut saya) tidak salah jika memilih
menggunakan kata tersebut, daripada versi Indonesianya; kutang.
Singkatan kata itu juga kadang- tidak menghargai. Seperti singkatan MITA untuk
Minyak Tanah. Apa alasannya coba? Padahal ada banyak orang bernama demikian
bukan? Judul media pun kadang main-main dengan kata ini, seperti Mita kembali
bergejolak, atau Taslim: Tindak Penyelundup Mita, atau Mita langka, harga pun
melambung di Dharmasraya. Aih! Risih dengan judul berita usil seperti itu -kalau tidak
akan disebut kreatif-. Hahaha.
Nah, baru-baru ini saya dengar di media istilah baru lagi, Sprindik. Kata yang cukup
sulit mengejanya, sama seperti spritus. Sprindik adalah Surat perintah penyidikan.
Kenapa bukan SPP saja? Bukankah ada banyak kata lain yang juga merupakan
singkatan yang sama, tapi kepanjangannya berbeda. Kita bisa mengetahui maknanya
dari konteks pembicaraan kata tersebut. Seperti LPM. Ada banyak LPM. Lembaga
Pengabdian Masyarakat, atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, atau juga
Lembaga Pers Mahasiswa. Mudah saja bukan?

Kita tentu berbangga dengan keragaman bahasa yang dimiliki bangsa ini. Semakin hari
semakin bertambah istilah yang muncul lewat media. Namun ada kekhawatiran, jika
tidak ada aturan yang jelas tentang akronim dan singkatan itu.
Barangkali jika para pakar bahasa dan pemerhati bahasa terus mengikuti
perkembangan itu, akan kesulitan meng-input (Bahasa Indonesianya: memasukkan)
kosa kata baru tanpa aturan itu ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Atau, semua
kata yang semakin begaram tak beraturan ini tak perlu saja dikumpulkan dalam KBBI?
(eh? akhirnya, saya pakai singkatan juga nih!)
Dan, seperti itulah fenomena bahasa kita sehari-hari. Ini baru satu soal akronim dan
singkatan saja, belum lagi jika kita komentari tentang bahasa alay, lebay, dan gaul anak
muda sekarang. (ceileee, berasa tua aja! :D) Akan semakin membingungkan. Saya
juga. Selamat ber-bingung-bingung-lah kalau begitu.
Pekerja kantoran, yang menghabiskan banyak waktu sambil duduk di depan komputer, stamina dan
daya tahan tubuhnya pasti akan menurun. Penurunan kondisi kesehatan tersebut dapat memberi
dampak negatif terhadap produktivitas kerja mereka dari waktu ke waktu. Namun, hal ini dapat
ditanggulangi dengan makan siang di meja kerja, sebagaimana ditemukan dalam sebuah studi.
Meskipun isi kedua kalimat itu sama saja, namun kita dapat membandingkan mana yang lebih
nyaman kita baca dan lebih mudah kita pahami isinya. Bahkan, hampir bisa dikatakan bahwa kalimat
kedua di atas adalah kalimat yang ditulis ulang dari kalimat pertama, bukan sekedar diedit.
Maka, yang mengolok-olok gaya bahasa dan istilah-istilah ajaib yang digunakan oleh Vicky mungkin
sebaiknya lebih berhati-hati. Jangan-jangan yang sedang kita olok-olok itu adalah diri kita
sendiri. Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri demikian kata pepatah lama kita.

You might also like