You are on page 1of 8

Efek Penyalahgunaan Narkotika dan Obat Psikotropika Terhadap Sistem Saraf Pusat

Abstract
Objective

: To determine the effect of drug abuse to central nervous system

Study design

: Case report

Methods

: Interview and study literature

Discussion

: A psychoactive drug or psychotropic substance is a chemical substance that acts primarily


upon the central nervous system where it alters brain function, precisely in mesolimbic
dopamine area (rewards pathway). Psychoactive drugs work by manipulating the synapses in
between nerves in the central nervous system, especially dopamine receptor, which has
important role to addiction user.

Conclusion

: Mesolimbic dopamine area (rewards pathway) is area of the brain that susceptible to
destruction by drug abuse.

Keywords

: neurology drugs psychoactive

Pendahuluan
NAPZA (Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) telah menjadi permasalahan
bagi semua kalangan, tidak hanya pada kalangan remaja atau dewasa muda, tetapi telah
menyebar luas pada kalangan dewasa atau usia produktif bahkan pada usia lanjut. Menurut
data BNN, di Indonesia diperkirakan jumlah penyalahgunaan narkotika dan obat psikotropika
setahun terakhir sekitar 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1.9% dari populasi
penduduk berusia 10 59 tahun di tahun 2008. Hasil proyeksi memperkirakan angka
prevalensi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika akan meningkat sekitar 2.6% di tahun
2013, angka tersebut karena terdapat peningkatan pengungkapan kasus narkotika dan obat
psikotropika setiap tahunnya.[1]
Dampak dari penggunaan narkotika dan obat psikotropika itu sendiri sangat bervariasi. Pada
awalnya, banyak orang mengira bahwa penggunaan narkotika dan obat psikotropika dapat
membuat mereka lari dari masalah karena anggapan mereka yang mengatakan bahwa efeknya
dapat membuat jiwa lebih tenang dan nyaman. Sebaliknya, penggunaan narkotika dan obat
paikotropika dapat menimbulkan masalah baru, terutama rusaknya organ tubuh seperti sistem
saraf pusat dan organ lainnya.
Pemakaian narkotika dan obat psikotropika sangat mempengaruhi kerja otak yang berfungsi
sebagai pusat kendali tubuh dan mempengaruhi seluruh fungsi tubuh. Karena bekerja pada
otak, narkotika dan obat psikotropika dapat mengubah suasana perasaan, cara berpikir,
kesadaran dan perilaku pemakainya.

Case Report
RD berumur 22 tahun, bekerja sebagai staf di suatu deprtemen, sedang menjalani
rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional (BNN) sejak 14 April 2012. Pasien mengatakan
dirinya telah mengkonsumsi obat-obat narkotika sejak 3 tahun yang lalu, tepatnya tahun
2009. Awalnya pasien mengkonsumsi obat-obatan tersebut karena rasa ingin tahu dan
pengaruh teman satu sekolahnya. Pasien tidak memiliki masalah pribadi. Obat-obatan yang di
konsumsi pertama kali oleh pasien adalah golongan metamfetamin yang di dapatkan dari
teman sekolahnya. Lama-kelamaan pasien menjadi kecanduan dan meningkatkan dosis
obatnya. Pasien mengaku semenjak memakai metamfetamin pasien menjadi lebih percaya
diri dan mempunyai keberanian untuk mendekati wanita. Faktor pendukung pasien menjadi
adiktif terhadap obat metamfetamin adalah kesenangan berlebihan yang didapatkan.
Lama kelamaan kedua orangtuanya curiga perubahan perilaku RD yang menjadi malas,
sering bereaksi berlebihan, dan sering menyalahkan orang lain, dan akhirnya mengetahui
bahwa RD mengkonsumsi obat narkotika. Pada awalnya pasien hanya dinasihati oleh
keluarga untuk segera menikah agar pasien mempunyai tanggung jawab yang lebih besar
sehingga bisa berhenti menggunakan narkotika. Karena terlilit banyak hutang, RD bercerai.
Pada 14 April 2012, empat hari setelah bercerai, keluarga membawa pasien ke BNN Lido
untuk menjalani program terapi dan rehabilitasi ketergantungan obat. Sekarang pasien sedang
menjalani masa terapi, dan pada bulan Desember 2012 pasien akan selesai menjalani program
tersebut tersebut. Pasien mendapat dukungan penuh dari keluarga. Pasien berharap setelah
proses rehabilitasi ini selesai dia dapat menjadi pribadi yang lebih baik.
Diskusi
Pengertian NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lain) menurut WHO (1982)
adalah semua zat padat, cair maupun gas yang dimasukan kedalam tubuh yang dapat merubah
fungsi dan struktur tubuh secara fisik maupun psikis tidak termasuk makanan, air dan oksigen
dimana dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal.[2]
Efek narkotika dan obat psikotropika sangat mempengaruhi fungsi SSP (Sistem Saraf Pusat).
Walaupun setiap jenis zat psikoaktif mempunyai efeknya masing masing, semua zat
psikoaktif mengaktivasi jalur dopamin mesolimbik atau biasa disebut reward pathway. Jalur
dopamin mesolimbik (reward pathway) terdiri dari ventral tegmental area (VTA), nukleus
accumbens, dan korteks prefrontal. Aktivasi dari reward pathway dapat menggambarkan
efek kesenangan atau kenikmatan dari penggunaan obat.[3] Pada umumnya, reward adalah
rangsangan yang memberikan motivasi positif untuk perilaku. Dalam kehidupan sehari hari
pun kita mengenal istilah rewards ini, yaitu natural rewards seperti makanan, seks, berkreasi,
dan kasih sayang.[4]

Gambar 1. Jalur dopamin mesolimbik[1].


Jalur dopamin mesolimbik adalah jalur yang membawa dopamin dari area otak yang satu ke
area lainnya. Dopamin adalah salah satu neurotransmiter yang bertanggungjawab dalam
mengontrol kesenangan dan reward di otak.[5]
Ada dua mekanisme obat yang menyebabkan penggunaan narkotika dan obat psikotropika
menjadi adiktif, yaitu: (1) Obat yang mengandung zat yang menyerupai neurotransmiter
dopamin (contoh: marijuana dan heroin), (2) Obat yang menstimulasi pengeluaran
neurotransmiter secara berlebihan (contoh: kokain dan methamphetamine).[6]
Beberapa obat yang mengandung zat yang menyerupai neurotransmiter dopamin membuat
zat yang dikandung obat tersebut menipu reseptor di otak dan mengaktivasi sel saraf untuk
mengirim pesan abnormal. Sedangkan obat obat yang menimbulkan stimulus berlebihan
pengeluaran dopamin dapat menimbulkan efek euforia. Reaksi ini mengatur pola motivasi
yang menyebabkan para pecandu mengulang perilaku reward dari penyalahgunaan obat.
Selama pecandu meneruskan penggunaan narkotika dan obat terlarang tersebut, otak
beradaptasi terhadap lonjakan dopamin dengan mengurangi produksi dopamin atau
mengurangi jumlah reseptor dopamin. Pengaruhnya adalah menjadi berkurangnya efek
dopamin di jalur dopamin mesolimbik, dimana juga mengurangi pecandu untuk merasakan
kenikmatan obat dan kejadian dalam hidup yang biasanya membawa kesenangan. Jika
pecandu sudah merasakan hal tersebut, maka Ia sudah sampai di fase toleransi. Sehingga para
pecandu biasanya meningkatkan dosis obat setelah tubuhnya bertoleransi.[6]
Berdasarkan efeknya terhadap SSP yang mengakibatkan perubahan perilaku, NAPZA dapat
dibagi menjadi tiga golongan[7] :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini
menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak

sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif
(penenang), hipnotik (otot tidur), dan transquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

2. Golongan Stimulan (Upper)


Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan
kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang
termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat mengubah
perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga
seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis.
Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.
1. Golongan depressan (Downer)
Obat obat golongan opioid berikatan dengan reseptor endorfin di otak yang berperan,
yaitu reseptor mu, kappa, sigma, dan delta.
Reseptor Mu, bertanggung jawab terjadinya depresi terhadap laju bernapas,
berkurangnya rasa nyeri (anelgesia), euforia, dan ketergantungan.
Reseptor Kappa, bertanggung jawab timbulnya rasa kantuk (efek sedasi) dan juga
timbulnya ketergantungan.

Reseptor Sigma, bertanggung jawab timbulnya depresi, rasa sedih dan juga halusinasi.

Reseptor Delta, bertanggung jawab timbulnya anelgesia.

Ketika opioid berikatan dengan reseptor tersebut maka akan menimbulkan efek tersebut
sesuai dengan reseptornya.[8]
Toleransi terhadap efek analgesi dari morfin melibatkan area yang berbeda terhadap
reward pathway. Area yang terlibat di sini adalah thalamus, dan korda spinalis. Keduanya
adalah area yang berperan dalam mengirim rasa nyeri terhadap efek anelgesi opioid.[4]
Area otak yang berperan terhadap pengaruh adiksi opioid dan ketergantungan opioid
berbeda. Area yang berperan terhadap adiksi adalah reward pathway, seperti adiksi
NAPZA lainnya, dan area yang berperan dalam ketergantungan opioid adalah thalamus
dan korda spinalis. Makanya, banyak para pasien, contohnya pasien kanker yang
ketergantungan morfin tanpa menjadi kecanduan terhadap morfin.[4]

Gambar 2. Perbedaan area dependensi dan adiksi terhadap opioid.[2]

2. Golongan stimulan (Upper)


Hampir semua stimulan akan mengganggu proses neurotransmiter (dopamin, serotonin,
noradrenalin) di otak, yang efeknya akan menstimulus pengeluaran neurotransmiter
tersebut secara berlebihan. Neurotransmiter yang dipengaruhi adalah dopamin yang
berperan dalam memori, konsentrasi, perilaku, dan perasaan senang; noradrenalin yang
berperan pada tubuh untuk bertahan atau beraktivitas; dan serotonin yang berperan
mengatur suhu, tekanan darah, nafsu makan, toleransi rasa nyeri, nafsu makan, perilaku
seks, dan yang terpenting adalah mengatur emosi. Area otak yang berpengaruh terhadap
penggunaan golongan stimulan adalah VTA, nukleus accumbens, korteks prefrontal,
hippocampus dan amygdala.[9]

Gambar 3. Area otak yang dipengaruhi oleh penggunaan methamphetamine.[3]


Rata rata setiap orang mempunyai 100 unit kadar dopamin pada sistem limbik (pusat
reward). Makan sangat penting untuk bertahan hidup sehingga VTA menghasilkan
perasaan senang terhadap respon makan dengan meningkatkan kadar dopamin menjadi
150. Perasaan senang setelah melakukan hubungan seksual meningkatkan kadar dopamin
menjadi 200 unit. Kokain menghasilkan euforia dengan meningkatkan kadar dopamin
menjadi 350 unit, dimana melebihi kadar biologis normal. Methamphetamine
meningkatkan kadar dopamin menjadi 1250 unit yang menghasilkan euforia sangat
berlebihan.[10]

Gambar 4. Kadar dopamin dalam tubuh[3]

3. Golongan Halusinogen
LSD, cannabis (ganja), dan PCP adalah obat obatan yang dapat menyebabkan
halusinasi. Di bawah pengaruh obat obat halusinogen, orang orang melihat gambaran,
mendengar suara, dan merasakan sensasi yang terasa nyata, padahal kenyataannya tidak.
Beberapa halusinogen juga menghasilkan perubahan emosi yang intens. Obat obat
halusinogen ini menghasilkan efek dengan mengacaukan interaksi antara sel saraf dengan
neurotransmiter serotonin.[11]

Gambar 5. Penyebaran serotonin di seluruh korteks serebri[4]


Dampak yang dihasilkan setiap obat, terlihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 1. Perbandingan dampak terhadap Sistem Saraf Pusat yang dihasilkan dari setiap
obat[5]

Kesimpulan
Penyalahgunaan narkotika dan obat psikotropika sangat berbahaya dan menghasilkan
dampak yang buruk bagi organ tubuh manusia, terutama Sistem Saraf Pusat. Semua zat
psikoaktif mengaktivasi jalur dopamin mesolimbik di otak atau yang biasa disebut
rewards pathway. Jika digunakan terus menerus akan mempengaruhi fungsi jalur
dopamin mesolimbik sehingga menimbulkan adiksi terhadap obat obatan tersebut dan
mengganggu fungsi Sistem Saraf Pusat.
Otak manusia merupakan suatu organ yang sangat berharga. Sebab, setiap manusia dapat
mengekspresikan pikiran dan dirinya melalui pekerjaan dari otak. Oleh karena itu, adalah
tindakan yang tidak bijaksana apabila seorang manusia mengulangi kesalahan yang sama
atau dengan kata lain sudah tahu akibatnya tetapi masih ingin melakukannya. Itulah yang
terjadi dengan penyalahgunaan narkotika dan obat obat psikotropika.

You might also like