You are on page 1of 93

SKRIPSI

PENGARUH KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN


NYERI ARTRITIS RHEUMATOID PADA LANSIA DI
DESABANJARAN DUSUN V WILAYAH KERJA
PUSKESMASBIRU-BIRUKECAMATAN
BIRU-BIRU TAHUN 2014

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
STIKes DELI HUSADA Delitua
DISUSUN OLEH :
EFNIRA SAMOSIR
NPM: 12.21.009

PROGRAM STUDI ILMUKEPERAWATAN


STIKes DELI HUSADA DELITUA
DELI SERDANG TAHUN 2014

LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul

PENGARUH KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN NYERI


ARTRITIS RHEUMATOID PADA LANSIA DI DESA BANJARAN
DUSUN V WILAYAH KERJAPUSKESMAS BIRU-BIRU
KECAMATAN BIRU-BIRU TAHUN 2014
Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :
EFNIRASAMOSIR
NPM: 12.21.009
Skripsi Ini Telah diperiksa Dan Disetujui Untuk
Diseminarkan Dihadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Ilmu Keperawatan
Stikes Deli Husada Delitua

Disetujui oleh :
Dosen pembimbing

NS. SELAMATGINTING, S. Kep, M. Kes


NPP.

K.A Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes DELI HUSADADELITUA

NS. LINDAWATI TAMPUBOLON, M. Kep


NPP. 19800621.200310.002

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL

:Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Penurunan Nyeri


Artritis Rheumatoid Pada Lansia Di Desa Banjaran
Dusun V Wilayah Kerja Puskesmas Biru-biru Kec. BiruBiru Tahun 2014

NAMA

: EFNIRA SAMOSIR

NPM

:12.21.009

PRODI

: Ilmu Keperawatan STIKes DELI HUSADA Delitua

Pembimbing

...........................................................
(Ns. Selamat Ginting S. Kep, M. Kes)
NPP. 19740410.199608.1.002

Penguji

............................................ Penguji I
(Ns. Selamat Ginting S. Kep, M. Kes)
NPP. 19740410.199608.1.002

............................................... Penguji II
(Ns. Nurmala Sari, SST, S. Kep, M. Kes)
NPP. 19761226.200008.2.002

............................ Penguji III


(Rentawati Purba , S. Kep, Ns)
NPP. 19801130.200503.2.002
Program Studi Ilmu Keperawatan telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari
persyaratan kelulusan untuk Sarjana Keperawatan.
..........................................................
Ns. Lindawati Tampubolon, M. Kep
NPP. 1980021.200310.2.002
Ka. Prodi Ilmu Keperawatan

Lampiran

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I.

Identitas Pribadi
Nama

: EFNIRA SAMOSIR

Tempat/Tgl. Lahir

: Tanjung balai, 02 SEPTEMBER 1994

Jenis Kelamin

: Wanita

Agama

: Islam

Anak ke

: 2 (dua) dari 5 (lima) bersaudara

Nama Ayah

: Zuhari Samosir

Nama Ibu

: Nuraini

Alamat

: Jl. Mawar 2 LK.I, Desa Bunga Tanjung, Kec.


Datuk Bandar Timur, Tanjungbalai

II.

Riwayat Pendidikan
Tahun 1997 2003

: SD Negeri 01-006 Sei. Apung


Tamat dan Berijazah

Tahun 2003 2006

: MTs Negeri Tanjungbalai


Tamat dan Berijazah

Tahun 2006 2009

: SMA Negeri Tanjungbalai


Tamat dan Berijazah

Tahun 2009 2012

: Diploma III Keperwatan DELI HUSADA Delitua


Tamat dan Berizajah

Tahun 2012-1014

: Sedang mengikuti pendidikan Strata 1 (S1) STIKes


DELI HUSADA Delitua

PROGRAM STUDI IMU KEPERAWATAN


STIKes DELI HUSADA DELITUA
Skripsi, Februari 2014
Efnira Samosir

Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Penurunan Nyeri Artritis


Rheumatoid pada Lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja
Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014.
Viii + 61 halaman + 7 tabel + 8 lampiran

ABSTRAK
Artritis rheumatoid adalah inflamasi dengan nyeri, panas,
pembengkakan, kekakuan dan kemerahan pada sendi.
Mengompres dengan air hangat berarti memberikan rasa hangat
pada klien dengan menggunakan cairan atau alat yang
menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh tertentu yang
memerlukannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri artritis
rheumatoid pada lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja
Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014. Jenis penelitian
ini adalah Causal dengan desain Pre Eksperimen One Group PrePost Test Design. Populasi adalah seluruh lansia yang mengalami
artritis rheumatoid berada di dusun V Desa Banjaran, Kec. BiruBiru yang berjumlah 20 orang. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah Total Sampling. Data diperoleh dengan
memberikan format observasi pre dan post intervensi dan data
dianalisis dengan menggunkan uji T-test dengan nilai 0.05.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai p value (0.000) < (0.05), ada
pengaruh yang signifikan antara kompres hangat terhadap penurunan nyeri artritis
rheumatoid pada lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja
Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru
Tahun 2014. Disarankan
kepada masyarakat khususnya yang menderita artritis rheumatoid dapat
meningkatkan pengetahuan tentang terapi nonfarmakologi seperti kompres dan
manfaatnya terhadap penurunan nyeri artritis rheumatoid sehingga dapat
melakukan kompres hangat untuk terapi sebelum mengkonsumsi obat-obat anti
nyeri yang mempunyai efek samping dan kepada pelayanan Keperawatan dapat
dilakukan dipelayanan keperawatan oleh perawat dalam memberikan terapi
penurunan nyeri selain dari terapi farmakologis.

Kata Kunci

Kompres

Rheumatoid
Referensi : 9 (2001-2013)

Hangat,

Nyeri

Artritis

Nursing Science Program DELI STIKes HUSADA Delitua


Thesis , February 2014
Efnira Samosir
The effect of warm compresses to decrease rheumatoid arthritis pain in the elderly
in the village of Banjaran Hamlet V Region Puskesmas Biru - Biru district. Biru Biru Year 2014
Viii + 61 pages + 7 tables + 8 apendix

ABSTRACT
Arthritis is an inflammatory arthritis with pain , heat , swelling , stiffness , and
redness in the joints . Compress with warm water means giving a sense of warmth
to the client by using a liquid or a tool that creates a feeling of warm on certain
body parts that need it . This study aims to determine the effect of warm
compresses to decrease rheumatoid arthritis pain in the elderly in the village of
Banjaran Hamlet V Region Puskesmas Biru - Biru district. Biru - Biru Year 2014.
Kind of research is the design of the Pre Causal Experiment One Group Pre - Post
Test Design . The entire elderly population is experiencing rheumatoid arthritis is
in the hamlet village of Banjaran V , district Biru - Biru is about 20 people . The
sampling technique used is Total sampling . Data obtained by providing pre and
post- observation format interventions and test data were analyzed by using t-test
with value of 0:05 . Based on the results, the p value ( 0.000 ) < ( 0:05 ) , no
significant influence of warm compresses to decrease rheumatoid arthritis pain in
the elderly in the village of Banjaran Hamlet V Region Puskesmas Biru - Biru
district Biru Biru Year 2014. Suggested to the people especially those suffering
from rheumatoid arthritis can increase the knowledge of non-pharmacological
therapies such as compress and benefits to rheumatoid arthritis pain relief so it can
do a warm compress for therapy before taking pain medications that have side
effects and to service nursing can be done by nurses in nursing care provide pain
relief treatment other than pharmacological therapy .
Keywords

: Warm Compress , Rheumatoid Arthritis Pain

Reference

: 9 (2001-2013)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas
berkat rahmat dan hidayat- Nya peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang
berjudul Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Penurunan
Nyeri Artritis Rheumatoid Pada Lansia Di Wilayah Kerja
Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014. Penelitian ini
dibuat untuk melengkapi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Di
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan DELI HUSADA Delitua.
Dalam penyusunan Skripsi ini peneliti menyadari masih banyak kekurangan
dan kesalahan baik dalam isi maupun penulisannya. Untuk itu peneliti
mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di masa yang akan datang. Peneliti
dalam melakukan penyusunan Skripsi banyak mendapat bimbingan dan arahan
dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih kepada :
1. Terulin S. Meliala, AMKeb, SKM, selaku Ketua Yayasan Rumah Sakit
Umum SEMBIRING Delitua.
2. Drs. Johannes Sembiring, M.Pd, selaku Ketua STIKes DELI HUSADA
Delitua.
3. Selamat Ginting, S.Kep, Ns, M. Kes selaku Wakil Ketua STIKes DELI
HUSADA Delitua dan selaku pembimbing yang telah banyak memberikan
arahan dan bimbingan serta meluangkan waktunya untuk membimbing
peneliti dalam penyelaesaian skripsi ini.

4. Ns. Lindawati Tampubolon S. Kep, M. Kep, selaku Ka. Prodi STIKes


DELI HUSADA Delitua
5. Dr. Mhd. Nurhidayat, selaku Ka. UPT Puskesmas Biru-Biru Kecamatan
Biru-Biru yang telah memberikan izin peneliti untuk melakukan penelitian.
6. Seluruh staff Dosen dan Civitas Akademika Akper DELI HUSADA Delitua
yang telah membimbing dan mengarahkan peneliti selama pendidikan.
7. Agustina Simamora, S. Kep, Ns, selaku wali tingkat yang tidak pernah
bosan memberikan bimbingan dan memotivasi kepada

peneliti selama

mengikuti pendidikan di STIKes DELI HUSADA Delitua.


8. Seluruh Staff Perpustakaan yang telah menyediakan fasilitas buku yang
diperlukan peneliti selama mengikuti pendidikan di STIKes DELI
HUSADA Delitua serta selama peneliti menyusun Skripsi ini.
9. Secara khusus dan teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda peneliti yang
sangat peneliti sayangi yang telah memberikan doa dan kasih sayangnya
serta dukungan secara moril maupun material yang tiada henti-hentinya dan
memberikan motivasi kepada peneliti selama mengikuti pendidikan.
10. Seluruh keluarga besar yang telah ikut andil dan memberikan semangat
yang luar biasa kepada peneliti dalam menyelesaikan pendidikan,
terimakasih peneliti ucapakan, semoga Allah membalas kebaikan kalian.
11. Seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa/i Program Studi Ilmu
Keperawatan Jalur Transfer STIKes DELI HUSADA Delitua Angkatan keVI yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak menjadi
teman suka dan duka dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan karunia- Nya kepeda mereka
semua, Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat untuk semuanya.

Delitua, Februari 2014


Peneliti

Efnira Samosir

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI

i-iii

........................................................................................... iv-vii

DAFTAR TABEL ...........................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................

ix

BAB. I

PENDAHULUAN ...................................................................

1.1 Latar Belakang ...................................................................

1.3 Rumusan Masalah ..............................................................

1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................

1.3.1 Tujuan Umum .......................................................

1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................

1.4 Manfaat Penelitian .............................................................

1.4.1

Bagi Masyarakat ...................................................

1.4.2

Bagi Pelayanan Keperawatan ...............

1.4.3

Bagi Peneliti Selanjutnya ......................

BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................

2.1 Kompres Hangat ................................................................

2.1.1 Definisi Kompres Hangat .....................................

2.1.2 Tujuan ...................................................................

2.1.3 Indikasi .................................................................

2.1.4 Persiapan Klien .....................................................

2.1.4.1 Kompres Panas Basah ...............................

2.2 Konsep Nyeri .....................................................................

10

2.2.1 Pengertian Nyeri .....................................................

10

2.2.2 fisiologi nyeri ..........................................................

11

2.2.2.1Nosisepsi ......................................................

11

2.2.2.2Teori Gate Control ........................................

13

2.2.3 Teori Penghantaran Nyeri .......................................

14

2.2.3.1Teori Pemisahan (Specificity) ......................

14

2.2.3.2 Teori Pola (Pattern) .....................................

15

2.2.3.3 Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control)15


2.2.3.4 Teori Transmisi Dan Inhibisi .......................

15

2.2.4

Stimulus Nyeri ..........................................................

16

2.2.5

Klasifikasi Nyeri .......................................................

16

2.2.5.1 Berdasarkan Jenisnya ...................................

2.2.6

2.2.7

16

2.2.5.1.1

Nyeri perifer ..............................

16

2.2.5.1.2

Nyeri sentral ..............................

16

2.2.5.1.3

Nyeri Psikogenik .......................

17

2.2.5.2 Bentuk Nyeri ................................................

18

2.2.5.2.1

Nyeri Akut .................................

18

2.2.5.2.2

Nyeri Kronis ..............................

18

Pengalaman Nyeri .....................................................

19

2.2.6.1 Arti Atau Makna Nyeri ................................

20

2.2.6.2 Persepsi Nyeri ...............................................

20

2.2.6.3 Toleransi Terhadap Nyeri (Pain Tolerance)...

20

2.2.6.4 Reaksi Terhadap Nyeri .................................

21

Pengukuran Intensitas Nyeri .....................................

21

2.2.7.1 Skala Nyeri Menurut Hayward .....................

21

2.2.7.2 Skala Nyeri Menurut Mc Gill........................

22

2.2.7.3 Skala Wajah Atau Wong-Baker FACES Rating

2.3

Scale .............................................................

23

Konsep Artritis Rheumatoid .....................................................

23

2.3.1

Definisi ........................................................................

23

2.3.2

Epidemiologi ...............................................................

24

2.3.3

Etiologi ........................................................................

25

2.3.4

Patogenesis ..................................................................

26

2.3.5

Gambaran Klinis ..........................................................

29

2.3.6

Klasifikasi Dan Kriteria Diagnostik Arhtritis Rheumatoid


32

2.3.7

BAB. III

Manivestasi Klinis Arhtritis Rheumatoid ....................

35

2.3.7.1 Manivestasi Neurologis ...................................

35

2.3.7.2 Manivestasi Artikular.......................................

36

2.3.7.2.1

Vertebra Servikalis ........................

38

2.3.7.2.2

Gelang Bahu ..................................

39

2.3.7.2.3

Siku ................................................

40

2.3.7.2.4

Tangan ...........................................

40

2.3.7.2.5

Panggul ..........................................

41

2.3.7.2.6

Lutut ..............................................

41

2.3.7.2.7

Kaki dan Pergelangan Kaki ...........

42

2.3.8

Komplikasi ..................................................................

42

2.3.9

Pemerikasaan Penunjang .............................................

43

2.3.10 Penatalaksanaan ...........................................................

44

KERANGKA KONSEP ........................................................

50

3.1 Kerangka Konsep .............................................

50

BAB IV

BAB V

BAB VI

3.2 Definisi Operasional ........................................

51

3.3 Hipotesa Penelitian ..........................................

52

METODE PENELITIAN .................................

53

4.1 Desain Penelitian ...........................................

53

4.2 Populasi ..........................................................

53

4.3 Sampel ...........................................................

53

4.4 Lokasi Dan Waktu Penelitian ..........................

54

4.5 Pertimbangan Etik ..........................................

54

4.6 Instrumen Penelitian ......................................

54

4.7 Metode Pengumpulan Data ............................

56

HASIL PENELITIAN ...............................

57

5.1 Hasil Penelitian ...............................................

57

5.1.1 Analisi Univariat ....................................

57

5.2.2 Analisis Bivariat ....................................

59

5.2 Pembahasan ..................................................

60

PENUTUP .................................................

64

6.1 Kesimpulan ....................................................

64

6.2 Saran ..............................................................


64

DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
LEMBAR OBSERVASI

DAFTAR TABEL
Tabel 1

Perbedaan Antara Nyeri Akut Dan Nyeri Kronis

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden Yang Mendapat


Perlakuan Kompres Hangat Terhadap Penurunan

Nyeri Artritis

Rheumatoid Pada Lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah Kerja


Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014
Tabel 3

Distribusi Umur Responden yang mendapat perlakuan kompres


hangat terhadap penurunan nyeri artritis rheumatoid pada lansia Di
Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec.
Biru-Biru Tahun 2014

Tabel 4

Distribusi frekuensi tingkat nyeri responden mendapat perlakuan


kompres hangat terhadap penurunan nyeri artritis rheumatoid pada
lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru
Kec. Biru-Biru Tahun 2014

Tabel 5

Distribusi Frekuensi Tingkat Nyeri Rematik Sebelum Dilakukan


Kompres Hangat Pada Lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah
kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014

Tabel 6

Distribusi

Frekuensi

Tingkat

Nyeri

Rematik

Sesudah

DilakukanKompres Hangat Pada Lansia Di Desa Banjaran Dusun V


Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014
Tabel 7

Perbedaan rata-rata antara variabel nyeri rematik sebelum dan sesudah


dilakukan kompres hangat Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja
Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I

: Surat izin survey awal penelitian dari STIKes DELI HUSADA


Delitua.

Lampiran II

:Surat Izin Penelitian dari Akademi Keperawatan DELI HUSADA


Delitua.

Lampiran II

: Balasan Surat survey awal Penelitian Dari Kepala Puskesmas


Biru-Biru.

Lampiran III : Balasan Surat Izin Penelitian Dari Kepala Puskesmas Biru-Biru.
Lampiran IV : Surat Persetujuan Menjadi Responden.
Lampiran V

: Format Observasi Penelitian.

Lampiran VI : Daftar Hasil Jawaban Responden.


Lampiran VII :Lampiran SPSS
Lampiran VIII : Daftar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Nugroho (2012) berpendapat bahwa Artritis adalah inflamasi


dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan kemerahan
pada sendi. Akibat artrtis, timbul inflamasi umum yang dikenal
sebagai artritis rheumatoid yang merupakan penyakit autoimun.
Manifestasi tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi
yang

umumnya

menetap

dan

progresif.

Mula-mula

yang

terserang adalah sendi kecil tangan dan kaki. Seringkali keadaan


ini mengakibatkan deformitas sendi dan gangguan fungsi disertai
rasa nyeri (Nugroho, 2012)
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa
sekitar 335 juta orang di dunia mengidap penyakit artrhtis
reumatoid. Jumlah ini sesuai dengan pertambahan jumlah
manusia berusia lanjut dan beragam faktor kesehatan lainnya
yang deprediksi akan terus mengalami peningkatan di masa
depan (Iskandar, 2013).
Diperkirakan sekitar 25% penderita rematik akan mengalami
kecacatan akibat kerukan pada tulang dan gangguan pada
persendian. Sementara itu, sekalipun belum ada angka pasti
tentang jumlah penderita rematik di Indonesia, diperkirakan

hampir 80% penduduk yang berusia 40 tahun atau lebih


menderita gangguan musculoskeletal, penyakit nyeri, kaku pada
otot tulang (Iskandar, 2013).
Tingkat pengenalan dan pengetahuan tentang rematik di
dunia memang sangat kurang, baik pada masyarakat awam
maupun kalangan medis. Terkait dengan hal ini, European Public
Opinion Survey menyimpulkan bahwa 55% penduduk di Eropa
tidak

menyadari

bahwa

sesungguhnya

penyakit

rematik

berpotensi mengurangi harapan hidup penderitanya. Itulah


sebabnya, mengapa prof. Ferdinand C Breedveld, rematolog dari
universitas Leiden, Belanda, menyatakan bahwa pendidikan
tentang rematik adalah hal yang mendesak dan penting untuk
dilakukan.
Sepeti di Eropa, kurangnya pemahaman tentang rematik di
Indonesia juga sangat terasa termasuk dikalangan medis. Hasil
penelitian bagian ilmu penyakit dalam dan rematik Fakultas
Kedokteran

Universitas

Brawijaya,

Malang,

mengungkapkan

bahwa 36,9% dari 1600 pasien rematik usia 40 tahun keatas


yang mereka rawat dinyatakan tidak mendapat penjelasan atau
diagnosis akan penyakit yang mereka derita dan tidak mendapat
pengobatan yang memadai. Akibatnya, banyak pasien yang
merasa kurang puas terhadap perawatan medis, dan memilih

untuk melakukan pengobatan alternative, seperti meminum jamu


atau obat-obat tradisional lainnya.
Pervalensi artritis rheumatoid adalah sekitar 1 % populasi
(berkisar antara 0,3 sampai 2,1 %).

Artritis reumatoid lebih

sering dijumpai pada wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan


ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.
Artritis rheumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang
kebanyakan wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia
pertengahan, nampak lebih sering pada usia lanjut usia. 1,5 juta
wanita

mempunyai

artritis

rheumatoid

yang

dibandingkan

dengan 600.000 pria (Nugroho, 2012).


Tindakan nonfarmakologis untuk penderita nyeri reumatik
diantaranya adalah kompres, baik itu kompres dingin dan
kompres hangat. Kompres dingin dan kompres hangat dapat
menghilangkan nyeri (Potter, 2005).
Mengompres dengan air hangat berarti memberikan rasa
hangat pada klien dengan menggunakan cairan atau alat yang
menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh tertentu yang
memerlukannya (Poltekkes, 2010).
Menurut Poltekkes (2010) tujuan dari kompres hangat adalah
memperlancar

sirkulasi

darah,

mengurangi

rasa

sakit,

merangsang peristaltik usus, memperlancar pengeluaran getah


radang (cairan eksudat), memberikan rasa hangat dan nyaman.
Menurut penelitian yang dilakukan Mery Fanada tahun
2012, dari 20 orang responden yang mengalami nyeri artritis
rheumatoid dan diberi kompres hangat dapat menurunkan nyeri
artritis pada lansia. (Mery Fanada,

pengaruh kompres hangat

dalam menurunkan skala nyeri pada lansia yang mengalami


nyeri rematik di panti sosial tresna werdha teratai palembang
tahun 2012, diakses tanggal 08 agustus 2013).
Hasil observasi yang peneliti lakukan di Puskesmas Biru-Biru,
Kec. Biru-Biru yaitu Puskesmas Biru-Biru memiliki 17 desa, salah
satunya adalah desa Sidomulyo yang terdiri dari 6 dusun, yaitu
dusun I, II, dan III terletak di Desa Ajibaho, dusun IV terletak di
Desa Sememe Batu, dusun V dan VI treletak di Desa Banjaran.
Jumlah lansia Di Dusun V yang terletak di Desa Banjaran yaitu
yang berusia 45-59 tahun berjumlah 175 orang, dan 60 tahun
keatas berjumlah 20 orang, dan yang mengalami Artritis
Rheumatoid (AR) berjumlah 35 orang. Setiap diadakannya
posyandu lansia di desa tersebut lansia selalu meminta obat
penghilang rasa nyeri yang mereka alami kepada petugas
kesehatan.
Berdasarkan fakta diatas, peneliti tertarik untuk meneliti
bagaimana pengaruh kompres hangat dalam menurunkan skala

nyeri pada lansia (Lanjut Usia) yang mengalami nyeri Artritis


Rheumatoid (AR).
1.2

Rumusan Masalah
Masalah yang dirumuskan berdasarkan latar belakang diatas

adalah

Apakah

Pengaruh

Kompres

Hangat

Terhadap

Penurunan Nyeri Artritis Rheumatoid pada Lansia Di Desa


Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. BiruBiru Tahun 2014.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
kompres hangat terhadap penurunan

nyeri artritis

rheumatoid pada lansia Di Desa Banjaran Dusun V


Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun
2014
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini aadalah untuk :
1. Mengidentifikasi skala nyeri artritis rheumatoid pada
responden sebelum diberikan kompres hangat.
2. Mengidentifikasi skala nyeri artritis rheumatoid pada
responden sesudah diberikan kompres hangat.
3. Menganalisis pengaruh kompres hangat terhadap nyeri
1.4

artritis rheumatoid.
Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Masyarakat
Untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat
tentang manfaat kompres hangat terhadap penurunan nyeri artritis
rheumatoidsehingga masyarakat dapat melakukan kompres hangat
untuk terapi sebelum mengkonsumsi obat-obat anti nyeri yang
mempunyai efek samping.

1.4.2 Bagi Pelayanan Keperawatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat dilakukan

dipelayanan

keperawatan oleh perawat dalam memberikan terapi penurunan nyeri


selain dari terapi farmakologis.
1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai

bahan

informasi

bagi

peneliti-peneliti

selanjutnya dan acuan dalam penelitian selanjutnya,


khususnya berkaitan dengan pengaruh kompres hangat
terhadap nyeri artritis rheumatoid.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kompres Hangat
2.1.1 Definisi Kompres Hangat
Mengompres dengan air hangat berarti memberikan rasa hangat pada
klien dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat
pada bagian tubuh tertentu yang memerlukannya (Poltekkes Kemenkes
Maluku, 2010).
2.1.2 Tujuan
Menurut Poltekkes, 2010 tujuan dari kompres hangat adalah:
1.

Memperlancar sirkulasi darah.

2.

Mengurangi rasa sakit.

3.

Merangsang peristaltik usus.

4.

Memperlancar pengeluaran getah radang (cairan eksudat).

5.

Memberikan rasa hangat dan nyaman.


2.1.3 Indikasi
Menurut Poltekkes (2010), indikasi dari kompres hangat adalah :

1.

Klien dengan perut kembung.

2.

Klien yang kedinginan, bisa dikarenakan iklim, narkose, atau hipotermi.

3.

Klien yang mengalami radang, seperti radang persendian.

4.

Klien dengan kejang otot.

5.

Klien yang mengalami infalamsi (bengkak) akibat suntik.

6.

Klien yang mengalami abses atau hematoma.


2.1.4 Persiapan Klien
2.1.4.1

Kompres Panas Basah.


a. Persiapan alat
1. Kom bertutup steril berisi cairan hangat sesuai
kebutuhan (40-46 C).
2. Baki steril berisi pinset 2 buah, kasa beberapa potong
dengan ukuran yang sesuai.
3. Perban, kasa, atau kain segitiga.
4. Plester dan gunting plester.
5. Pengalas atau perlak.
6. Sarung tangan steril.
7. Bengkok 2 buah.
8. 2 buah pinset anatomis.

b. Prosedur kerja
1. Berikan penjelasan kepada klien tentang prosedur
yang akan dilakukan.
2. Bawa alat kedekat klien.
3. Jaga privasi klien.
4. Posisikan klien dengan nyaman.
5. Bebaskan area kompres.
6. Cuci tangan dan pasang sarung tangan.
7. Pasang pengalas atau perlak di bawah area yang
diberikan kompres.
8. Buka balutan perban (jika diperban) dan buang bekas
balutan kedalam bengkok kososng.
9. Ambil beberapa potong kasa dengan pinset dari baki
steril dan masukkan kedalam kom berisi cairan hangat
untuk mengompres.
10. Ambil dengan pinset lainnya untuk memegang atau
memeras kasa kompres hangat dan kom kompres
hangat
lembab.

agar kasa tidak terlalu basah tetapi harus

11. Selanjutnya ambil kasa dengan cara diregangkan atau


dibentangkan dan letakkan diatas area yang akan
dikompres.
12. Perhatikan respon klien, adakah rasa tidak nyaman
dalam beberapa detik setelah kasa hangat menempel
kulit, angkat tepi kasa untuk melihat apakah terdapat
kemerahan pada kulit yang dikompres atau tidak.
13. Jika klien menoleransi kompres hangat tersebut, tutup
kasa kompres hangat pada area yang memerlukan
kompres, lalu lapisi dengan kasa kering selanjutnya
balut dengan kasa kain segitiga serta fikasasi dengan
plester atau ikat.
14. Lakukan perasat ini selama 15-30 menit atau sesuai
program terapi dan ganti balutan kompres hangat
setiap 5 menit sekali.
15. Atur posisi klien kembali seperti semula dengan
posisi yang nyaman.
16. Rapikan

dan

bersihkan

alat-alat

dipergunakan kembali.
17. Buka sarung tangan dan cuci tangan.
18. Dokumentasikan tindakan.

untu

dapat

c. Hal-hal yang harus diperhatikan


1. Kain kasa harus diganti pada waktunya dan suhu
kompres diperhatikan agar tetap hangat.
2. Jika klien merasa terlalu panas angkat untuk
mengurangi suhu yang akan dipergunakan sehingga
mengurangi terbakarnya kulit.
3. Kain kompres harus lebih besar dari bagian yang akan
dikompres.
4. Kompres basah pada luka terbuka dan tertutup (alat
harus steril dan bersih).
2.2 Konsep Nyeri
2.2.1 Pengertian Nyeri
Nyeri bersifat sangat subjektif karena intensitas dan responnya pada
setiap orang berbeda-beda. Berikut ini adalah pendapat beberapa ahli tentang
pengertian nyeri.
1. Long (1996) : nyeri merupakan perasaan tidak nyaman yang sangat
subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan
dan mengevaluasi perasaan tersebut.
2. Priharjo (1992) : secara umum, nyeri merupakan perasaan tidak nyaman,
baik ringan maupun berat.

3. Mc Coffery (1979) : nyeri merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi


seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut pernah
mengalaminya.
4. Arhtur C. Curton (1983) : nyeri merupakan suatu mekanisme produksi
bagi tubuh, timbul ketika jaringan dirusak, dan menyebabkan individu
tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyerinya.
5. Wolf Weifsel Feurst (1974) : nyeri merupakan suatu persaan menderita
secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan.
6. International Association For Study Of Pain (IASP) : nyeri adalah sensori
subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
2.2.2 Fisiologi Nyeri
Cara nyeri merambat dan dipersepsikan oleh individu masih belum
sepenuhnya dimengerti. Namun, bisa tidaknya nyeri dirasakan dan derajat
nyeri tersebut mengganggu dipengaruhi oleh sistem algesia tubuh dan
transmisi sistem saraf interpretasi stimulus.
2.2.2.1Nosisepsi
Sistem saraf perifer mengandung saraf sensorik primer yang
berfungsi mendeteksi kerusakan jaringan dan membangkitkan beberapa
sensasi, salah satunya adalah sensasi nyeri. Rasa nyeri dihantarkan oleh
reseptor yang disebut nosiseptor. Nosiseptor merupakan ujung saraf

perifer yang bebas dan tidak bermielin atau hanya memiliki sedikit
mielin. Reseptor ini tersebar di kulit dan mukosa, khususnya pada
visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kantung empedu. Reseptor
nyeri tersebut dapat dirangsang oleh stimulus mekanis, termal, listrik,
atau kimiawi (misalnya histamin, bradikinin, dan prostaglandin).
Proses fisiologis yang terkait nyeri disebut nosisepsi. Proses ini
terdiri atas empat tahap, yaitu sebagai berikut.
1.

Transduksi
Rangsangan (stimulus) yang membahayakan pemicu pelepasan
mediator biokomia (misalnya hi histamin, bradikinin, prostaglandin
dan substansi P). Mediator ini kemudian mensensitisasi nosiseptor.

2.

Transmisi
Tahap transmisi terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut :
a. Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditransmisikan berupa
impuls nyeri dari serabut saraf perifer ke medula spinalis.
Jenis nosiseptor yang terlibat dalam transmisi ini ada dua
jenis, yaitu serabut C dan serabut A-delta. Serabut C
mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, sedangkan
serabut A-delta mentransmisikan nyeri yang tajam dan
terlokalisasi.
b. Nyeri ditransmisikan dari medua spinalis ke batang otak dan
talamus melalui jalur spinotalamikus (spinothalamic tract atau

STT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi


stimulus ke talamus.
c. Sinyal diteruskan ke korteks sensorik somatik (tempat nyerri
di persepsikan). Impuls yang di transmisikan melalui STT
mengaktifkan respons otonomik dan limbik.
3.

Persepsi
Individu mulai menyadari adanya nyeri dan tampaknya persepsi
nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan
timbulnya berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi
komponen sensorik dan afektif nyeri.

4.

Modulasi atau sistem desendens


Neuron di batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke
tanduk dorsal medula spinalis yang terkonduksi dengan nosiseptor
impuls supresif. Serabut desendens tersebut melepaskan substansi
seperti opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat
impuls asendens yang membahayakan dibagian dorsal medula
spinalis.
2.2.2.2 Teori Gate Control
Teori gate control di kemukakan oleh Melzack dan Well pada
tahun 1965. Berdasarkan teori ini, fisiologi nyeri dapat dijelaskan
sebagai berikut.

Akar dorsal pada medula spinalis terdiri atas beberapa lapisan


atau laminae yang saling bertautan. Di antara lapisan dua dan tiga
terdapat substansi gelatinosa (substansia gelatinosa atau SG) yang
berperan seperti layaknya pintu gerbang yang memungkinkan atau
menghalangi masuknya impuls nyeri menuju otak. Substansia
gelatinosa ini di lewati oleh saraf besar dan saraf kecil yang berperan
dalam penghantaran nyeri.
Pada mekanisme nyeri, rangsangan nyeri di hantarkan melalui
serabut saraf kecil. Rangsangan pada serat kecil dapat menghambat
substansi gelatinosa dan membuka pintu mekanisme sehingga
merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan nyeri.
Rangsangan nyeri yang dihantarkan melalui saraf kecil dapat
dihambat apabila terjadi rangsangan pada saraf besar. Rangsangan pada
saraf besar akan mengakibatkan aktivitas substansi gelatinosa
meningkat sehingga pintu mekanisme tertutup dan hantaran rangsangan
pun terhambat. Rangsangan yang melalui saraf besar dapat langsung
merambat ke korteks serebri agar dapat diidentifikasi dengan cepat.
2.2.3 Teori Penghantaran Nyeri
2.2.3.1 Teori Pemisahan (Specificity)
Rangsangan nyeri m,asuk melalui ganglion dorsal ke medula
spinalis melalui kornu dorsalis yang bersinapsis di daerah posterior.
Rangsangan tersebut kemudian naik ke tractur lissur dan menyilang di
garis median ke sisi lainnya. Rangsangan nyeri berakhir dikorteks

sensoris tempat nyeri tersebut diteruskan. Proses penghantaran nyeri ini


tidak memperhitungkan aspek fisiologis dan respon nyeri.
2.2.3.2 Teori Pola (Pattern)
Rangsangan nyeri masuk kemedula spinalis melalui ganglion
akar dorsal dan merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan
menghantarkan rangsangan nyeri ke korteks serebri. Nyeri yang terjadi
merupakan efek gabungan dari intensitas rangsangan dan jumlah
rangsangan pada ujung dorsal medula spinalis. Proses ini tidak
termasuk aspek fisiologis
2.2.3.3 Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control)
Rangsangan nyeri dikendalikan oleh mekanisme gerbang pada
ujung dorsal medula spinalis. Saraf besar dan saraf kecil pada ganglion
akar

dorsalis

memungkinkan

atau

menghalangi

penghantaran

rangsangan nyeri.
2.2.3.4 Teori Transmisi Dan Inhibisi
Stimulus

yang

mengenai

nosiseptor

memulai

transmisi

(penghantaran) impuls saraf. Transmisi ini menjadi efektif karena


terdapat neurotransmiter yang spesifik. Inhibisi impuls nyeri juga
menjadi efektif karena terdapat impuls pada serabut saraf yang
menghalangi impuls pada serabut lambat dan sistem supresi opiat
endogen.

2.2.4 Stimulus nyeri


Beberapa faktor dapat menjadi stimulus nyeri atau menyebabkan nyeri
karena menekan reseptor nyeri.
2.2.5 Klasifikasi nyeri
2.2.5.1 Berdasarkan Jenisnya
Berdasarkan jenisnya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri
perifer, nyeri sentral, dan nyeri psikogenik.
2.2.5.1.1

Nyeri perifer
Nyeri perifer dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu

sebagai berikut.
1. Nyeri superfisial : rasa nyeri muncul akibat rangsangan pada
kulit dan mukosa.
2. Nyeri viseral : rasa nyeri timbul akibat rangsangan pada
reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium, dan toraks.
3. Nyeri alih : rasa nyeri dirasakan di daerah lain yang jauh dari
jaringan penyebab nyeri.
2.2.5.1.2

Nyeri sentral
Nyeri sentral adalah nyeri yang muncul akibat
rangsangan pada medula spinalis, batang otak, dan
talamus.

2.2.5.1.3

Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik adalah nyeri yang penyebab fisiknya

tidak diketahui. Umumnya nyeri ini di sebabkan oleh faktor


psikologis.
Selain

jenis-jenis

nyeri

yang

telah

disebutkan

sebelumnya, terdapat juga beberapa jenis nyeri yang lain.


Contohnya adalah sebagai berikut.
1.

Nyeri somati
Nyeri yang berasal dari tendon, tulang, saraf, dan pembuluh
darah.

2.

Nyeri menjalar
Nyeri yang terasa di bagian tubuh yang lain, umumnya di
sebabkan oleh kerusakan atau cedera pada organ viseral.

3.

Nyeri neurologis
Bentuk nyeri tajam yang disebabkan oleh spasme di
sepanjang atau di beberapa jalur saraf.

4.

Nyeri phantom
Nyeri yang di rasakan pada bagiann tubuh yang hilang,
misalnya pada bagian kaki yang sebenarnya sudah di
amputasi.

2.2.5.2 Bentuk Nyeri


2.2.5.2.1

Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara
mendadak dan cepat menghilang. Umunya nyeri ini
yang berlangsung tidak lebih dari enam bulan.
Penyebab dan lokasi nyeri biasanya sudah diketahui.
Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot
dan kecemasan.

2.2.5.2.2

Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung dan
berkepanjangan, berulang atau menetap selama lebih
dari enam bulan. Sumber nyeri dapat diketahui atau
tidak. Umumnya nyeri ini tidak dapat disembuhkan.
Nyeri kronis dapat dibagi menjadi beberapa kategori,
antara lain nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan
nyeri psikosomatis.

Tabel 1 Perbedaan Antara Nyeri Akut Dan Nyeri Kronis


Karakteristik
Pengalaman

Nyeri akut
Suatu kejadian

Sumber

Faktor

eksternal

Serangan

penyakit dari dalam


Mendadak

Nyeri kronis
Suatu situasi,

status

eksistensi nyeri
atau Tidak diketahui
Bisa mendadak atau
bertahap, tersembunyi

Durasi

Sampai 6 bulan

Pernyataan nyeri

Daerah

nyeri

Enam

bulan

lebih

sampai bertahun-tahun
umunya Daerah nyeri sulit

diketahui dengan pasti.

dibedakan
intensitasnya
daerah
nyeri

dengan

yang

tidak

sehingga

sulit

dievaluasi.
Pola respons yang khas Pola respons bervariasi

Gejala klinis

dengan gejala yang lebih


jelas
Umumnya

Perjalanan

gejala Gejala

berkurang

setelah terus dengan intensitas

beberapa waktu
prognosis

Baik

dan

hilangkan

berlangsung

mudah

yang

tetap

atau

bervariasi
di Penyembuhan

total

umumnya tidak terjadi.

2.2.6 Pengalaman Nyeri


Pengalaman nyeri seseorang di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
sebagai berikut :
2.2.6.1 Arti Atau Makna Nyeri
Nyeri bersifat sangat subjektif sehingga memiliki atri atau
makna yang berbeda bagi setiap orang, bahkan berbeda juga untuk
orang yang sama pada waktu yang berbeda. Sebagian arti nyeri

merupakan arti yang negatif, misalnya membahayakan, merusak,


menunjukkan adanya komplikasi (misalnya infeksi), menyebabkan
ketidakmampuan, dan memerlukan penyembuhan. Arti nyeri antara lain
di pengaruhi oleh usia, jenis kelamin, lingkungan, latar belakang sosial
budaya, serta pengalaman nyeri sekarang dan masa lalu.
2.2.6.2 Persepsi Nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif yang
berpusat di area korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini
dapat timbul akibat rangsangan yang di hantarkan menuju jalur
spinotalamikus dan talamiko kortikalis. Persepsi nyeri di pengaruhi oleh
faktor yang dapat memicu stimulasi nosiseptor dan transmisi impuls
nosiseptor, misalnya daya reseptif serta interpretasi kortikal.
2.2.6.3 Toleransi Terhadap Nyeri (Pain Tolerance)
Toleransi terhadap nyeri berhubungan erat dengan intensitas
nyeri yang membuat seseorang sanggup menahan nyeri sebelum
meminta bantuan dari orang lain. Jumlah stimulasi sebelum mersakan
nyeri disebut juga ambang nyeri (pain thershold).
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan toleransi nyeri antara
lain adalah alkohol, obat-obatan, hipnosis, kepercayaan yang kuat,
pengalihan perhatian, dan gesekan serta garukan. Faktor-faktor yang
menurunkan toleransi nyeri antara lain adalah kelelahan atau keletihan,
rasa marah, rasa bosan, kecemasan, kondisi sakit, dan nyeri yang tak
kunjung hilang.

2.2.6.4 Reaksi Terhadap Nyeri


Reaksi seseorang pada saat mengalami nyeri berbeda-beda,
contohnya ketakutan, gelisah, cemas,mengerang, menangis, menjeritjerit, berjalan mondar-mandir, tidur sembari menggertakkan gigi,
mengeluarkan banyak keringat, dan mengepalkan tangan.
Reaksi nyeri dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya,
lokasi nyeri, harapan sosial, kesehatan fisik dan mental, usia, serta rasa
takut dan cemas.
2.2.7 Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain dengan
menggunakan skala nyeri menurut Hayward, skala nyeri menurut Mc Gill
(Mc Gill scale), dan skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale.
2.2.7.1 Skala Nyeri Menurut Hayward
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri
Hayward dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah
satu bilangan (dari 0-10) yang menurutnya paling menggambarkan
pengalaman nyeri yang ia rasakan.
Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan sebagai berikut.
1

= tidak nyeri

1-3 = nyeri ringan


4-6 = nyeri sedang
7-9 = sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas
yang biasa dilakukan

10 = sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan


2.2.7.2 Skala Nyeri Menurut Mc Gill
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri
Mc Gill dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu
bilangan

(dari

0-5)

yang

menurutnya

paling

menggambarkan

pengalaman nyeri yang ia rasakan.


Skala nyeri menurut Mc Gill dapat dituliskan sebagai berikut.
1

= tidak nyeri

= nyeri ringan

= nyeri sedang

= berat atau parah

= nyeri sangat berat

= nyeri hebat

2.2.7.3 Skala Wajah Atau Wong-Baker FACES Rating Scale


Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan
dengan cara memerhatikan mimik wajah pasien pada saat nyeri tersebut
menyerang. Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat
menyatakan intensitas nyerinya dengan skala angka, misalnya anakanak dan lansia.
2.3

Konsep Artritis Rheumatoid


2.3.1 Definisi

Artritis Rheumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik


kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliatritis yang progresif,
akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya
sendi pada pasien atritis rheumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang
lebih lanjut sesuai dengan sifat progesitifitasnya. Pada umumnya selain gejala
artikular, Artritis Rheumatoid dapat pula menunjukkan gejala konstitusional
berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non artikular
lainnya.
Artritis rheumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan
selaput sendi (sinovium) yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat,
bengkak dan merah. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak
tulang dan kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat
mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan
kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan
kemampuan bergerak.
Artritis adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan
dan kemerahan pada sendi. Akibat artrtis, timbul inflamasi umum yang
dikenal sebagai artritis rheumatoid yang merupakan penyakit autoimun.
Manifestasi tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi yang
umumnya menetap dan progresif. Mula-mula yang terserang adalah sendi
kecil tangan dan kaki. Seringkali keadaan ini mengakibatkan deformitas sendi
dan gangguan fungsi disertai rasa nyeri (Nugroho, 2012).
2.3.2 Epidemiologi

Artritis rheumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal


dan tersebar luas diseluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok
etnik.
Pervalensi artritis rheumatoid adalah sekitar 1 % populasi (berkisar
antara 0,3 sampai 2,1 %). Artritis reumatoid lebih sering dijumpai pada
wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita
dalam usia subur.
Artritis rheumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang
kebanyakan wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan,
nampak lebih sering pada usia lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis
rheumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria (Nugroho, 2012).

2.3.3 Etiologi
Penyebab artritis rheumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan
beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya
penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk

kompleks histokompatibilitas utama kelas ii, khususnya HLA-DR

artritis rheumatoid seropositif. Pengemban HLA-DR


4:1 untuk menderita penyakit ini.

dengan

memiliki resiko relatif

Kecendrungan wanita untuk menderita artritis rheumatoid dan sering


dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan
terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian
hormon

esterogen

eksternal

tidak

pernah

menghasilkan

perbaikan

sebagaimana yang yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan


bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab artritis
rheumatoid. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab artritis rheumatoid juga
timbul karena umunya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul
dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun kini
belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial,
hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen
peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskann
terjadinya artritis rheumatoid. Agen infeksius yang diduga merupakan
penyebab artritis rheumatoid antara lain adalah bakteri, mikroplasma atau
virus.
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang
(60 sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons
terhadap stres. Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan
sel T pada pasien artritis rheumatoid, mekanisme ini belum diketahui dengan
jelas (Nugroho, 2012).
2.3.4 Patogenesis

Dari penelitian mutakhir diketahui

bahwa patogenesis

artritis

rheumatoid trejadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut:


Suatu antigen penyebab artritis rheumatoid yang berada pada membran
sinovial, akan diprosesoleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari
berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang
semuanyamengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen

yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD + bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut
membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan
bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag

selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD +.


Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan

mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD +. IL-2 yang

diekskresi oleh sel CD + akan mengakibatkan diri pada reseptor spesifik


pada permukaanya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan

poliferasi sel tersebut. Poliferasi sel CD + ini akan berlangsung terus selama

antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut. Selain IL-2, CD + yang

telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gammainterferon, tumor necrosis factor

(TNF-

), interleukin-3 (IL-3),

interleukin-4 (IL-4), granulocyte macrophage colony stimulating factor (GMCSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk
meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang poliferasi dan aktivasi
sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu
oleh IL-1, IL-2, IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan
akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas kedalam
ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem

5a

komplemen

yanga

kan

membebaskan

komponen-komplemen

5a

Komponen-komplemen C

merupakan faktor kemotaktik ysng selain

meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel


polimorfonuklear (PMN) dan monosit kearah lokasi tersebut. Pemeriksaan
histopatologis membaran sinovial menujukkan bahwa lesi yang paling dini
dijumapai pada artritis rheumatoid adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin
pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan

dan

pembebasan

radikal

oksigen

bebas,

leukotrien,

prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan

menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas
juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.

Prostaglandin E

(PGE ) memiliki efek vasodilator yang kuat dan

dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1


dan TNF-.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya kan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada artritis
rheumatoid, antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada
struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus.
Tidak hentinya destruksi persendian pada artritis rheumatoid kemungkinan
juga disebabkan oleh

terdapatnya faktor rheumatoid. Faktor rheumatoid

adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada
70-90% pasien AR. Faktor rheumatoid akan berikatan dengan kompelemen
atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut
terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi
mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai
enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan
kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen
yang paling destruktif dalam patogenesis artritis rheumatoid. Pannus

merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang


berfoliperasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara
histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel
mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan
proteoglikan (Nugroho, 2012).
2.3.5 Gambaran klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
artritis rheumatoid.
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat
bervariasi.
Menurut Nugroho, 2012 ada beberapa gambaran klinis terjadinya
artritis rheumatoid yaitu :
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi
ditangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam: dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda
dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.

4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi ditepi tulang dan ini
dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas : kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada pada penderita.
Pada kaki terdapat protusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul
sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat
terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama
dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau
disepanjang permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian nodulanodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodulanodula ini biasanya merupakan petunjuk suatu penyakit yang aktif dan
lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikulat : arhtritis rheumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain diluar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Tabel 2 Manifestasi Ekstra-Artikular Dari Artritis Rheumatoid


Kulit

Nodula subkutan vaskulitis, menyebabkan

Jantung

bercak-bercak coklat lesi-lesi ekimotik


Perikarditis
Temponade pericardium (jarang)
Lesi peradangan pada miokardium dan katup

Paru-paru

jantung.
Pleuritis dengan atau tanpa efusi

Mata
Sistem saraf

Peradangan paru-paru
Skleritis
Neuropati perifer
Sindrom kompresi perifer, termasuk sindrom
terowongan karpal, neuropati saraf ulnaris,
paralysis peronealis, dan abnormalitas vertebra

Sistemik

servikal.
Anemia (sering)
Osteoporosis generalisata
Sindrom felty
Sindrom sjogren (keratokonjungtivis sika)
Amiloidosis (jarang)

2.3.6 Klasifikasi Dan Kriteria Diagnostik Arhtritis Rheumatoid

Walaupun kriteria diagnostik artritis rheumatoid yang dibentuk oleh the


American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1958 telah digunakan
hampir 30 tahun, akan tetapi dengan berkembangnya pengetahuan dalam
bidang artritis rheumatoid, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan
kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnostik. Banyak kasus artritis
rheumatoid yang luput dari diagnostik atau sebaliknya banyak arhtritis lain
yang didiagnosis sebagai artritis rheumatoid.
Pembagian artritis rheumatoid sebagai classic, definite, probable dan
possible seperti yang dianjurkan pada kriteria tahun 1958, secara klinis saat
ini juga dianggap tidak relevan lagi. Dalam prakteksehari-hari, tidak lagi
diperlukan pembedaan dalam penatalaksanaan artritis rheumatoid classic dan
artritis rheumatoid definite. Selain itu seringkali pasien yang didiagnosis
sebagai menderita artritis rheumatoid probable ternyata menderita jenis
arhtritis yang lain.
Untuk itu pada tahun 1987 ARA telah mempublikasikan susunan
kriteria klasifikasi artritis rheumatoid dalam format tradisional yang baru
(Nugroho, 2012).
Tabel 3. Kriteria American Rheumatism Association Untuk Arhtritis
Rheumatoid, Revisi 1987.
Kriteria
1. Kaku pagi hari

Definisi
Kekakuan pada pagi hari pada persendian
dan sekitarnya, sekurangnya selama 1

jam sebelum perbaikan maksimal.


2. Arhtritis pada 3 daerah Pembengkakan pada jaringan lunak atau

persendian
pertmbuhan

atau

lebih

tulang)

efusi

pada

(bukan

sekurang-

kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang


diobservasi oleh seorang dokter. Dalam
kriteria ini terdapat 14 persendian yang
memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP,
pergelangan tangan, siku, pergelangan
kaki danMTP kiri dan kanan.
pada Sekurang-kurangnya

3. Arhtritis
persendian tangan
4. Arhtritis simetris

terjadi

pembengkakan suatu persendian tangan


seperti yang tertera diatas.
Keterlibatan sendi yang sama (seperti
yang tertera pada kriteria 2 pada kedua
belah sisi, keterlibatan PIP, MCP, atau
MTP bilateral dapat diterima walaupun

5. Nodul rheumatoid

tidak mutlak bersifat simetris.


Nodul subkutan pada penonjolan tulang
atau permukaan ekstensor atau daerah
juksta-artikular yang diobservasi oleh

6. Faktor

seorang dokter.
rheumatoid Terdapatnya titer

serum

abnormal

faktor

rheumatoid serum yang diperiksa dengan


cara yang memberikan hasil positif
kurang dari 5% kelompok kontrol yang

7. Perubahan gambaran

diperiksa.
Perubahan gambaran radiologis yang
radiologis khas bagi arhtritis rheumatoid

pada

periksaan

sinar

tangan

posteroanterior atau pergelangan tangan


yang harus menunjukkan adanya erosi
atau

dekalsifikasi

tulang

yang

berlokalisasi pada sendi atau daerah yang


berdekatan dengan sendi (perubahan
akibat osteoartritis saja tidak memenuhi
persyaratan).

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita arhtritis


rheumatoid jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria diatas.
Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama 6 minggu. Pasien dengan
dua diagnosis tidak dieksklusikan. Pembagian diagnosis sebagai arhtritis
rheumatoid klasik, definit, probable atau possible tidak perlu dibuat
(Nugroho, 2012).

2.3.7 Manivestasi Klinis Arhtritis Rheumatoid


Walaupun gejala artritis rheumatoid dapat timbul berupa serangan
poliartritis akut yang berkembang cepat dalam beberapa hari, pada umumnya
gejala penyakit berkembang secara perlahan dalam masa beberapa minggu.
Dalam kedaan dini, artritis rheumatoid dapat bermanifestasi sebagai
palindromic rheumatism,yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang

timbul yang berlangsung antara 3 sampai 5 hari dan diselingi dengan masa
remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai artritis rheumatoid yang
khas. Dalam keadaan ini artritis rheumatoid juga dapat bermanifestasi sebagai
paurciarticular rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4
persendian atau kurang. Kedua gambaran klinis sepertin ini seringkali
menyebabkan kesukaran dalam menegakkan diagnosis artritis rheumatoid
dalam masa dini (Nugroho, 2012).
2.3.7.1 Manivestasi Neurologis
Manivestasi neurologis sering terjadi pada penderita arhtritis
rheumatoid kronis dengan faktor rheimatoid positif. Sering terjadi
neuropati.

Neuropati

kompresi

atau

jepitan

terjadi

akibat

pembengkakan jaringan ikat yang menekan saraf tepi. Paling sering


terjadi kompres saraf medianus pada pergelangan tangan yang dikenal
sebagai sindroma terowongan karpal (CTS) : carpal tunnel syndrome).
Neuropati sensoris bagian distal dengan disestesia atau rasa terbakar
pada tangan atau kaki yang terjadi kadang sukar dibedakan dengan
gejala atritisnya. Jarang terjadi neuropati sensorimotor, tetapi bila
terjadi bersifat progresif dan dapat menyebabkan suatu penurunan
kemaampuan penderita dalam melakukan aktivitas. Mielopati dapat
terjadi pada penerita artritis rheumatoid karena sering terlibatnya
vertebra servikalis dan menimbulkan penyempitan kanalis spinalis pada
fleksi leher setelah terjadi subluksasi atlantoaksial. Gejala akibat
gangguan sirkulasi posterior berupa vertigo dan kelemahan akibat
kompresi atau trombosis arteria vertebralis. Penderita arhtritis

rheumatoid lanjut harus menggenakan bidai leher bila mengendarai


mobil atau motor dan harus dilakukan foto leher posisi fleksi sebelum
menjalani

anastesi

umum.

Artritis

rheumatoid

juga

dapat

mengakibatkan miopati (Nugroho, 2012).


2.3.7.2 Manivestasi Artikular
Manifestasi artikular ini dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1. Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversible.
2. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat
ireversible.
Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena
penatalaksanaan kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis
merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversible dan dapat diatasi
dengan pengobatan non-surgikal lainnya. Pada pihak lain kerusakan
struktur persendian akibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang
periartikular merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi dan
memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan rekontruktif.
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis
adalah kaku pagi hari. Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang
selalu dijumpai pada artritis rheumatoid aktif. Berbeda dengan rasa
kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartritis atau kadang-kadang
oleh orang normal, kaku pagi hari pada artritis rheumatoid berlangsung

lebih lama, yang pada umumnya lebih lama, yang pada umumnya lebih
dari 1 jam.
Lamanya kaku pagi hari pada artritis rheumatoid agaknya
berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur
serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi hari akan menghilang jika
remisi dapat tercapai. Faktor lain penyebab kaku pagi hari adalah
inflamasi akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan terjadinya
imobilisasi persendian yang jika berlangsung lama akan mengurang
pergerakan sendi baik secara aktif maupun secara pasif.
Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang
mengalami peradangan cenderung untuk mengalami spasme dan
pemendekan.. fenomena ini terutama jelas terlihat pada otot instrinsik
tangan yang berjalan sepanjang persendian metacarpophalangeal,
(MCP) dan otot poroneus anterior yang berjalan sepanjang persendian
talonavikularis pada arkus pedis.
Deformitas persendian pada artritis rheumatoid dapat tejadi
akibat beberapa mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya
sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan
kerusakan rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga
menyebabkan terbentuknya permukaan sendi yang tidak rata. Jika
kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan imobilisasi
berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang-tulang yang membentuk
persendian. Lebih jauh pannus yang menginvasi jaringan kolagen serta

proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat menghancurkan struktur


persendian sehingga terjadi ankilosis.
Ligamen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk
mempertahankan kedudukan persendian yang stabil dapat pula menjadi
lemah akibat sinovitis yang menetapa atau pembentukan pannus yang
memiliki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligamen atau rawan
sendi. Gangguan stabilitas dapat jelas terlihat pada sublukasio
persendian MCP akibat terjadinya perubahan arah gaya tarik tendon
sepanjang aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya deviasi
ulnar yang khas dan artritis rheumatoid.
Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas
persendian berlaku bagi semua persendian, terdapat beberapa aspek
khusus yang berhubungan dengan sendi tertentu (Nugroho, 2012).
2.3.7.2.1

Vertebra Servikalis
Walaupun ar jarang melibatkan segmen vertebralis

lainnya, vertebra servikalis merupakan segmen yang sering


terlibat pada artritis rheumatoid. Proses inflamasi ini melibatkan
persendian diartrodial yang tidak tampak atau teraba oleh
pemeriksaan. Gejala dini artritis rheumatoid pada vertebra
servikalis umunya bermanifestasi sebagai kekakuan pada
seluruh segmen leher disertai dengan berkurangnya lingkup
gerak

sendi

secara

menyeluruh.

Tenosinovitis

ligamen

transversum C

ondontoid C

stabilitas C

yang mempertahankan kedudukan prosesus

dapat menyebabkan timbulnya gangguan

- C . Mielopati dapat timbul akibat terjadinya

erosi prosesus ondontoin yang menyebabkan pengenduran dan


ruptura ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada
medulla spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan
dan kerusakan pada permukaan sendi apofiseal dan pengenduran
ligamen juga dapat menyebabkan terjadinya sublukasio yang

sering dijumpai pada C -C atau C -C .


2.3.7.2.2

Gelang Bahu
Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi

lingkup gerak sendi gelang bahu. Karena dalam aktivitas seharihari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas,
umumnya pada keadaan dini pasien tidak merasa terganggu
dengan keterbatasan tersebut. Walaupun demikian, tanpa latihan
pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu yang
berat yang disebut sebagai frozen shoulder syndrome (Nugroho,
2012).

2.3.7.2.3

Siku
Karena terletak superfisial, sinovitis artikulasio kubiti

dapat dengan mudah teraba oleh pemeriksa. Sinovitis dapat


menimbulkan

penekanan

menimbulkan

gejala

pada

neuropati

nervus

ulnaris

tekanan.

sehingga

Gejala

ini

bermanifestasi sebagai parestesia jari 4 dan 5 akan kelemahan


otot fleksor jari 5 (Nugroho, 2012).
2.3.7.2.4

Tangan
Berlainan dengan persendian distal interphalangeal

(DIP) yang relatif jarang dijumpai, keterlibatan persendian


pergelangan tangan, MCP dan PIP dan fleksi DIP serta
boutonniere akibat fleksi PIP dan hiperekstensi DIP dapat terjadi
akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan introseus
merupakan deformitas patognomonik yang banyak dijumpai
pada artritis rheumatoid.
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis,
pada artritis rheumatoid juga dapat dijumpai nyeri atau disfungsi
persendian

akibat

penekanan

nervus

medianus

yang

terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis


sehingga

menyebabkan

gejala

carpal

tunnel

syndrome.

Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam kanal


Guyon dapat pula mengalami penekanan dengan mekanisme
yang sama.

Artritis

rheumatoid

dapat

pula

menyebabkan

terjadinya tenosinovitis akibat pembentukam nodul rheumatoid


sepanjang sarung tendon yang dapat menghambat gerakan
tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada artritis rheumatoid
dapat menyebabkan terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan
terjadinya ruptur tendon yang terlibat (Nugroho, 2012).
2.3.7.2.5

Panggul
Karena sendi panggul terletak jauh didalam pelvis,

kelainan sendi panggul akibat artritis rheumatoid ummunya sulit


dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan
sendi

panggul

mungkin

hanya

dapat

terlihat

sebagai

keterbatasan gerak yang tidak jelas atau gangguan ringan pada


kegiatan tertentu seperti saat menggunakan sepatu. Walaupun
demikian, jika dekstruksi rawan sendi telah terjadi, gejala
gangguan sendi panggul akan berkembang lebih cepat
dibandingkan gangguan pada persendian lainnya (Nugroho,
2012).
2.3.7.2.6

Lutut
Penebalan sinovial dan efusi lutut pada umumnya

mudah dideteksi pada pemeriksaan. Herniasi kapsul sendi


kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker
(Nugroho, 2012).

2.3.7.2.7

Kaki dan Pergelangan Kaki


Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan

pergelangan kaki merupakan gambaran yang khas artritis


rheumatoid. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki
merupakan struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan
ini akan menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat
dibandingkan dengan keterlibatan ekstremitas atas. Peradangan
pada sendi talonavikularis akan menyebabkan spasme otot yang
berdekatan sehingga menimbulkan deformitas berupa pronasio
dan eversio kaki yang khas pada artritis rheumatoid. Walaupun
jarang, nervus tibialis posterior dapat pula mengalami
penekanan pada akibat sinovitis pada rongga tarsalis (tarsal
tunel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada telapak
kaki (Nugroho, 2012).
2.3.8

Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama pengguanaan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan
penyakit (disease modifiying antirheumatoid drugs, DMARD) yang
menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis
rheumatoid (Nugroho, 2012).

2.3.9

Pemerikasaan Penunjang

Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis rheumatoid, namun


dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis
pasien. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat.
Menurut Nugroho, 2012 ada beberapa pemerikasaan penunjang yaqng
dapat dilakukan pada pasien artritis rheumatoid yaitu:
1. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis
rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada
pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa,
lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Leukosit noramal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada pemerikasaan rontgen, semua sendi daat terkena, tapi yang
sering adalah sendi metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi
sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan
jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi
penyempitan sendi dan erosi.
2.3.10 Penatalaksanaan

Setelah diagnosis artritis rheumatoid dapat ditegakkan, pendekatan


pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha membina hubungan
yang baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim
pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan
sukar untuk memelihara ketaatan pasien untuk tetapa berobat dalam suatu
jangka waktu yang cukup lama (Nugroho, 2012).
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang
akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan
pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi
yang sering dijumpai. OAINS dapat diberikan :
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis -4 x 1 g/hari,
kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan
atau gejala toksik.
Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi akibat artritis rheumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah
3-12 bulan kemudian,. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam
menekan proses rheumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya
bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya

segera diberikan setelah diagnosis artritis rheumatoid ditegakkan, atau


bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah :
1. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya tejangkau,
namun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang
lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari, hidrosiklorokuin
400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa
penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular,
nausea, diare, dan anemia hemolitik.
2. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1
x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg/minggu, sampai mencapai dosis 4 x
500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan sehingga 1 gr/hari
untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika
dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan
diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea,
muntah, dan dyspepsia.
3. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan
dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4
minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300
mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis,
stomatitis, dan pemfigus.
4. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak
diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat

(AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama


sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg.
Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu
sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3
minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samaping berupa pruritis,
stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis
yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek
samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang
dapat diatasi dengan penurunan dosis.
5. Obat imunosuprsif atau imunoregulator. Metotreksat sangat mudah
digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan
yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak
menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi
20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin
untuk artritis rheumatoid masih dalam penelitian.
6. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis rheumatoid dengan
komplikasi berat adan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini
memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti
prednison 5-7,5 mg 1 x sehari) sangat bermafaat sebagai bridging therapy
dalam mengalami sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang
kemudian

dihentikan

secara

bertahap.

Dapat

diberikan

suntikan

kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat.


Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.

4. Riwayat penyakit alamiah


Riwayat penyakit alamiah artritis rheumatoid sangat bervariasi. Pada
umumnya 25% pasien akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat
monosiklik (hanya mengalami satu episode artritis rheumatoid akan
selanjutnya akan mengalami remisis sempurna). Pada pihak lain sebagian
besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan
hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik).
Sebagian kecil lainnya akan menderita artritis rheumatoid yang progresif
yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada
setiap eksaserbasi (Nugroho, 2012).
Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang
digunakan saat ini, sebagian besar pasien artritis rheumatoid pada
umumnya akan dapat mencapai remisi dan dpat mempertahankannya
dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun waktu
tersebut, umumnya pasien akan mulai merasakan bahwa remisi mulai
sukar dipertahankan dengan pengobatan yang biasa digunakan selama itu.
Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sukar mempertahankan
ketaatannya untuk

terus berobat dalam jangka waktu yang lama,

timbulnya efek samping jangka panjang kortikosteroid. Khasiat DMARD


yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena timbul penyakit lain
yang merupakan komplikasi artritis rheumatoid atau pengobatannya. Hal
ini masih merupakan persoalan yang banyak diteliti saat ini, karena saat
ini belum berhasi dijumpai obat yang bersifat sebagai disease controlling
antirheumatic therapy (DC-ART) (Nugroho, 2012).

5. Rehabilitasi pasien artritis rheumatoid


Rehabilitasi

merupakan

tindakan

untuk

mengembalikan

tingkat

kemampuan pasien artritis rheumatoid dengan cara:


1. Mengurangi rasa nyeri.
2. Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi.
3. Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot.
4. Mencegah terjadinya deformitas.
5. Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri.
6. Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada
orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan
modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan
ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam
pengobatan artritis rheumatoid telah ternyata terbukti dan saat ini
merupakan

salah

satu

bagian

yang

tidak

terpisahkan

dalam

penatalaksanaan artritis rheumatoid (Nugroho, 2012).


6. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobtan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat

alasan yang

cukup kuat,

dapat dilakukan

pengobatan

pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien artritis rheumatoid

umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip


replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya (Nugroho,
2012).

BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Tahap yang penting dalam penelitian adalah penyusunan
kerangka konseptual. Konsep adalah abstraksi dari suatu realita
agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori

yang

menjelaskan keterkaitan antara variabel (baik variabel yang


diteliti maupun tidak diteliti). Kerangka konsep akan membantu
peneliti dalam menghubungkan hasil penemu dengan teori. Dan
kerangka konsep ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh
Kompres Hangat Terhadap Penurunan Nyeri Artritis Rheumatoid
Pada Lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas
Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014.
Skema
Kerangka konsep penelitian
Variabel independen

Variabel

dependen
Kompres Hangat

Penurunan Nyeri
Pada Artritis
Rheumatoid

Skema

diatas

menggambarkan

bahwa

penelitian

bertujuan untuk mengidentifikasi Pengaruh Kompres Hangat


Terhadap Penurunan Nyeri Artritis Rheumatoid Pada Lansia Di
Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru
Kec. Biru-Biru Tahun 2014.

3.2 Definisi Operasional


Tabel 3.2.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
No

Variabel

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala

Format

0=Sebelu

Nomina

Independen : teknik

observas

Kompres

penurunan

dilakukan

Hangat

nyeri pada

kompres

artritis

1=Sesuda

rheumatoi

dilakukan

Merupakan Skala

kompres
0 :Tidak

.
1.

Definisi
Operasion

Variabel

Variabel
Dependen

al
Suatu

: suatu

intensita

Nyeri Artritis penyakit

Rheumatoid

autoimun

Numerik

sistemik

0-10

menahun
yang
proses
patologi
utamanya

nyeri

nyeri 10 : nyeri
barat

Rasio

terjadi
dicairan
sinovial.

3.3 Hipotesa Penelitian


Ha : Kompres Hangat berpengaruh Terhadap Penurunan Nyeri
Artritis Rheumatoid Pada Lansia Di Desa Banjaran Dusun V
Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian maka desain yang digunakan
adalah pre eksperimen one group pre-post test design yaitu
kelompok subjek yang diobservasi sebelum dilakukan intervensi,
kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2008).
Bentuk rancangan ini adalah :
Pretest
01 posttest

perlakuan
X

02

Penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah ada pengaruh


kompres hangat terhadap penurunan nyeri artritis rheumatoid
pada lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas
Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun 2014
4.2 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian atau objek
yang diteliti (Nursalam, 2008). Populasi adalah seluruh lansia
yang mengalami artritis rheumatoid berada di dusun V Desa
Banjaran, Kec. Biru-Biru yang berjumlah 20 orang.

4.3 Sampel
Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi ( Hidayat,
2007). Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah Total Sampling. Teknik penentuan sampel
dengan cara mengambil semua anggota populasi menjadi
sampel yaitu lansia di dusun V Desa Banjaran Kec. Biru-Biru
berjumlah 20 orang yang mengalami Artritis Rheumatoid (AR).
4.4 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun V Desa Banjaran Kec.
Biru-Biru pada bulan Januari 2014.
4.5 Pertimbangan Etik
Kemudian

pneliti

melakukan

penelitian

dengan

memperhatikan masalah etika penelitian antara lain sebagai


berikut :
1. Informed

consent,

saat

pengambilan

sampel

terlebih

dahulu peneliti meminta izin kepada responden secara


lisan atas kesediannya menjadi responden.
2. Anonymity (tanpa nama) pada lembar persetujuan maupun
lembar pernyataan wawancara tidak akan menuliskan
nama responden tapi hanya memberi simbol saja.

3. Confidentiality (kerahasiaan) pembenaran informasi oleh


responden

tidak akan disebarluaskan kepada orang lain

tanpa seizin responden (Nursalam, 2008).

4.6 Instrumen Penelitian


Instrument yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Lembar data demografi responden.
2. Format observasi Ranting Scale Nyeri Numerik untuk
mengkaji skala nyeri responden.
Skala ini merupakan angka 0-10, dengan angka 0 :
menandakan tidak ada nyeri dan angka 10 : menandakan
tingkat nyeri paling hebat/berat.
4.7 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan dilakukan di Dusun V Desa Banjaran
Kec. Biru-Biru. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
tahapan :
1. Tahap persiapan, yang meliputi persiapan penelitian (dari
pendidikan),

persiapan

responden

sebagai

subjek

penelitian (tetap menjaga kenyamanan dan privasi dari


subjek penelitian), dan persiapan lingkungan.
2. Memberikan format yang berisi data demografi responden.
3. Memberikan format observasi pengkajian skala nyeri
numerik sebelum kompres hangat.

4. Melakukan

kompres

mengobservasi

secara

hangat

secara

langsung

langsung
kompres

dan

hangat

terhadap responden.
5. Memberikan format observasi pengkajian skala nyeri
numerik sesudah kompres hangat.
4.8 Analisa Data
Pengolahan data sampel dalam pnelitian ini dilakukan dengan
menggunkan

uji

T-test.

Dan

pengolahan

statistiknya

menggunakan Komputrisasi.
Analisa data dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh
kompres

air

hangat

terhadap

penurunan

nyeri

artritis

rheumatoid. Dalam analisa data untuk mengetahui apakah


hipotesis diterima atau ditolak adalah dengan Uji T dependen
(Paired T- test). Penggunaan paired test adalah untuk menguji
pengaruh suatu perlakuan terhadap suatu besaran variabel yang
ingin ditentukan. Rancangan ini paling umum dikenal dengan
rancangan pre-post test design, artinya membandingkan rratarata nilai pre-test dan rata-rata post-test dari semua sampel.

BAB V
HASIL PENELITIAN
1

Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 02 Januari 17 Januari 2014 Di Desa

Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru sebanyak


20 responden.
1 Analisis Univariat
1
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin responden yang
mendapat perlakuan kompres hangat terhadap penurunan
nyeri artritis rheumatoid pada lansia Di Desa Banjaran
Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. BiruBiru Tahun 2014 (N:20)
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Jumlah

Frekuensi
17
3
20

Persentase (%)
85%
15%
100%

Berdasarkan tabel 5.1.1.1 dapat dilihat bahwa responden terbanyak


ialah perempuan sebanyak 17 responden (85%).
2

Distribusi Umur Responden yang mendapat perlakuan


kompres hangat terhadap penurunan
nyeri artritis
rheumatoid pada lansia Di Desa Banjaran Dusun V
Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun
2014 (N:20)

Umur
60-70 tahun
71-80 tahun
Jumlah

Frekuensi
14
6
20

Persentase (%)
70%
30%
100%

Berdasarkan tabel 5.1.1.2 dapat dilihat distribusi umur responden


yang mendapatkan tindakan kompres hangat menunjukkan bahwa
kisaran umur responden yang paling tinggi adalah umur 60-70 tahun
(70%).
3

Distribusi frekuensi tingkat nyeri responden mendapat


perlakuan kompres hangat terhadap penurunan nyeri
artritis rheumatoid pada lansia Di Desa Banjaran Dusun V
Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru Tahun
2014 (N:20)

Tingkat nyeri
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jumlah

Frekuensi
1
5
7
5
2
20

Persentase (%)
5%
25%
35%
25%
10%
100%

Berdasarkan tabel 5.1.1.3 dapat dilihat distribusi tingkat nyeri


responden yang mendapatkan tindakan kompres hangat menunjukkan
bahwa kisaran tingkat nyeri responden yang paling tinggi adalah nilai 5
termasuk dalam nyeri sedang 4-6 yaitu ada 7 responden (35%), dan
yang terendah adalah nilai 3 termasuk dalam nyeri ringan 0-3 yaitu ada
1 responden (5%).

2 Analisis Bivariat
1

Distribusi Frekuensi Tingkat Nyeri Rematik Sebelum


Dilakukan Kompres Hangat Pada Lansia Di Desa Banjaran
Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. BiruBiru Tahun 2014 (N:20)
Variabel

Mean

SD

Nyeri
Sebelum

5.10

1.071

Hasil Ukur
Skala Nyeri
3-7

95% CI
4.60-5.60

Berdasarkan tabel 5.1.2.1 dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi


tingkat nyeri rematik sebelum dilakukan kompres hangat didapatkan
nilai rata-rata 5.10, diyakini pada (95% CI : 4.60 5.60) dengan standar
deviasi 5.10, nyeri rematik sebelum dilakukan kompres hangat didapat
hasil ukur skala nyeri paling tinggi adalah 7 dan paling rendah adalah 3.
5.1.2.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Nyeri Rematik Sesudah
DilakukanKompres Hangat Pada Lansia Di Desa Banjaran
Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. BiruBiru Tahun 2014 (N:20)
Variabel Mean

SD

Sesudah
kompres

1.146

3.05

Hasil Ukur 95% CI


Skala Nyeri
1-5
2.51-3.59

Berdasarkan tabel 5.1.2.2 dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi


tingkat nyeri rematik sesudah dilakukan kompres hangat didapatkan
nilai rata-rata 3.05, diyakini pada 95% CI (2.51 3.59) dengan standar
deviasi 1.146, nyeri rematik sesudah dilakukan kompres hangat didapat
hasil ukur skala nyeri paling tinggi adalah 5 dan paling rendah adalah 1.

Perbedaan rata-rata antara variabel nyeri rematik


sebelum dan sesudah dilakukan kompres hangat Di Desa
Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas Biru-Biru
Kec. Biru-Biru Tahun 2014 (N:20)

Tingkat Nyeri
Rematik
Sebelum dilakukan
kompres hangat
Sesudah dilakukan
kompres hangat

Mean

SD

SE

5.10

1.071

.240

3.05

1.146

Sig
(2-tailed)

0.000

20

.256

Dari hasil uji statistik T dependen didapatkan mean tingkat nyeri


rematik sebelum dilakukan kompres hangat adalah 5.10, dengan standar
deviasi 1.071. Pada saat sesudah dilakukan kompres hangat tingkat
nyeri rematik didapatkan mean 3.05 dengan standar deviasi 1.146.
Maka dapat dilihat perbedaan nilai mean antara sebelum dan sesudah
dilakukan kompres hangat adalah 2.050 dengan standar deviasi 0.605.
Dan dari uji statistik T dependen didapatkan nilai p value 0.000 maka
dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara tingkat nyeri
pada lansia yang mengalami rematik sebelum dilakukan kompres
2

hangat degan tingkat nyeri rematik sesudah dilakukan kompres hangat.


Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan t-tabel > t-hitung dengan taraf kepercayaan
0.05, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesa dalam penelitian ini diterima. Hasil
penelitian ini juga sebanding dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
Mery Fanada tahun 2012, dari 20 orang responden yang mengalami nyeri artritis
rheumatoid dan diberi kompres hangat dapat menurunkan nyeri artritis pada lansia
yaitu didapatkan nilai rata-rata tingkat nyeri rematik sebelum dilakukan kompres
hangat adalah 2.45, dengan standar deviasi 0.510, sedangkan tingkat nyeri rematik

sesudah dilakukan kompres hangat didapat nilai rata-rata lebih rendah yaitu 0.20,
dengan standar deviasi 0.410. Berdasarkan uji statistik T test dependen didapatkan
nilai signifikan 0.000 dengan taraf kepercayaan ( < 0.05). Berdasarkan hasil
penelitian (Mery Fanada, Pengaruh Kompres Hangat Dalam Menurunkan Skala
Nyeri Pada Lansia Yang Mengalami Nyeri Rematik Di Panti Sosial Tresna
Werdha Teratai Palembang Tahun 2012, diakses tanggal 08 agustus 2013).
Hal ini juga didukung oleh teori yaitu keefektifan agen termal untuk
mengatasi nyeri sendi artritis rheumatoid pada lansia yang telah dibuktikan oleh
Barr 1993.
Tindakan nonfarmakologis untuk penderita nyeri artritis rheumatoid
diantaranya adalah kompres, baik itu kompres dingin dankompres hangat.
Kompres dingin dan kompres hangat dapat menghilangkan nyeri. ( Potter, 2005)
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan
pasien artritis rheumatoid dengan cara mengurangi rasa nyeri, mencegah
terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi, mencegah terjadinya atrofi dan
kelemahan otot, mencegah terjadinya deformitas, meningkatkan rasa nyaman dan
kepercayaan diri, mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung
kepada orang lain. Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan
modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa
nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan artritis
rheumatoid telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang
tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan artritis rheumatoid (Nugroho, 2012).

Berdasarkan tabel 5.1.1.1 dapat dilihat bahwa responden terbanyak ialah


perempuan sebanyak 17 responden (85%), ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa kecendrungan wanita untuk menderita artritis rheumatoid dan
sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan
terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon
esterogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang yang
diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal
memang merupakan penyebab penyakit ini.
Nyeri bersifat sangat subjektif sehingga memiliki atri atau makna yang
berbeda bagi setiap orang, bahkan berbeda juga untuk orang yang sama pada
waktu yang berbeda. Sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, misalnya
membahayakan, merusak, menunjukkan adanya komplikasi (misalnya infeksi),
menyebabkan ketidakmampuan, dan memerlukan penyembuhan. Arti nyeri antara
lain di pengaruhi oleh usia, jenis kelamin, lingkungan, latar belakang sosial
budaya, serta pengalaman nyeri sekarang dan masa lalu.
Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif yang berpusat di
area korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dapat timbul akibat
rangsangan yang di hantarkan menuju jalur spinotalamikus dan talamiko
kortikalis. Persepsi nyeri di pengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimulasi
nosiseptor dan transmisi impuls nosiseptor, misalnya daya reseptif serta
interpretasi kortikal.

Toleransi terhadap nyeri berhubungan erat dengan intensitas nyeri yang


membuat seseorang sanggup menahan nyeri sebelum meminta bantuan dari orang
lain. Jumlah stimulasi sebelum mersakan nyeri disebut juga ambang nyeri (pain
thershold).
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan toleransi nyeri antara lain adalah
alkohol, obat-obatan, hipnosis, kepercayaan yang kuat, pengalihan perhatian, dan
gesekan serta garukan. Faktor-faktor yang menurunkan toleransi nyeri antara lain
adalah kelelahan atau keletihan, rasa marah, rasa bosan, kecemasan, kondisi sakit,
dan nyeri yang tak kunjung hilang.
Berdasarkan tabel 5.1.1.2 dapat dilihat distribusi umur responden yang
mendapatkan tindakan kompres hangat menunjukkan bahwa kisaran umur
responden yang paling tinggi adalah umur 60-70 tahun (70%).
Penelitian ini tidak sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rinajumita (2011) didalam jurnalnya bahwa keluhan dengan jumlah tertinggi
yaitu gangguan penglihatan sebanyak (78.8%). Tapi penelitian ini sesuai dengan
teori yaitu keluhan yang paling sering dialami lansia adalah penyakit pada tulang
(63.39%) Murwani, A., (2011).

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian kompres air hangat terhadap penurunan nyeri artritis
rheumatoid pada lansia Di Desa Banjaran Dusun V Wilayah kerja Puskesmas
Biru-Biru Kec. Biru-Biru pada tahun 2014 yang dilakukan pada 20 orang
responden penelitian ini didapatkan t-tabel > t-hitung dengan nilai taraf
kepercayaan 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesa dalam penelitian ini
diterima.
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat disampaikan
yaitu :
1. Bagi Masyarakat
Diharapkan kepada masyarakat khususnya yang menderita artritis rheumatoid
dapat meningkatkan pengetahuan tentang terapi nonfarmakologi seperti kompres
dan manfaatnya terhadap penurunan nyeri artritis rheumatoid sehingga dapat
melakukan kompres hangat untuk terapi sebelum mengkonsumsi obat-obat anti
nyeri yang mempunyai efek samping.
2. Pelayanan Keperawatan
\

Diharapkan bagi pelayanan Keperawatan hendaknya dapat memberikan

informasi yang jelas kepada masyarakat tentang kompres hangat dan manfaatnya,

dan juga dapat dilakukan dipelayanan keperawatan oleh perawat dalam


memberikan terapi penurunan nyeri selain dari terapi farmakologis.
3. Bagi Penelitian Lanjutan
Dikarenakan penelitian ini waktunya sangat terbatas, dan peneliti juga
mempunyai hambatan dalam komunikasi dengan responden diakibatkan karena
faktor usia, diharapkan kepada peneliti lanjutan hendaknya dapat mengembangkan
lagi penelitian ini dengan responden yang memungkinkan dan waktu yang lebih
lama serta dapat pedoman untuk penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, eko. 2001. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan


Masyarakat. Jakarta : EGC
Dahlan,

M.

Sopiyudin.

2010.

Besar

Sampel

Dan

Cara

Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran Dan


Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.
Dahlan, M. Sopiyudin. 2011. Statistika untuk kedokteran dan
kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.
Kozier

Barbara,

Dkk.

2010.

Buku

Ajar

Fundamental

Keperawatan. Edisi 7. Volume 2. Jakarta : EGC.


Nugroho, Taufan. 2012. Mengungkap Tentang Luka Bakar
Dan Atritis Reumatoid. Yogyakarta : Nuhamedika.
Nursalam.

2008.

Konsep

Dan

Penerapan

Metodologi

Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, Dan


Instrumen

Penelitian

Keperawatan.

Jakarta

Salemba

Medika.
Riyanto,

Agus.

2010.

Pengolahan

Dan

Analisis

Data

Kesehatan (Dilengkapi Uji Validitas Dan Reliabilitas Serta


Aplikasi Program SPSS). Yogyakarta : Nuha Medika.

Saputra, dr. Lindon. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar


Manusia. Tanggerang Selatan : Binapura Aksara Publisher.
Tim Penulis Poltekkes Kemenkes Maluku. 2011. Penuntun
Praktikum Keterampilan Kritis II Untuk Mahasiswa D-3
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN


Nama saya Efnira Samosir, saya mahasiswi Program Studi
Ilmu Keperawatan Non Reguler Deli Husada Delitua. Saya akan
melakukan

penelitian

tentang

Pengaruh

Kompres

Hangat

Terhadap Penurunan Nyeri pada Lansia Di Desa Banjaran Dusun


V Wilayah Kerja Puskesmas Biru-Biru Kec. Biru-Biru. Tujuan
penelitian

ini

merupakan

salah

satu

kegiatan

untuk

menyelesaikan tugas akhir di Program Studi Ilmu Keperawatan


Deli Husada Delitua.
Penelitian ini tidak menimbulkan efek negatif yang dapat
menggangu kenyamanan ataupun mengganggu kesehatan bagi
responden. Semua informasi yang bapak/ibu berikan tidak akan
merugikan bapak/ibu dan akan dijaga kerahasiannya dan hanya
dipergunakan dalam penelitian ini. Kepada para bapak dan ibu Di
Desa Banjaran Dusun V Wilayah Kerja Puskesmas Biru-Biru Kec.
Biru-Biru

tersebut

diharapkan

dapat

berpartisipasi

daam

penelitian ini, jika para bapak/ibu setuju maka diharapkan


menandatangani

lembar

persetujuan

ini.

Partisipasi

para

bapak/ibu ini bersifat sukarela, sehingga setiap saat bapak/ibu


bebas mengundurkan diri tanpa diberikan sanksi.
Demikian lembar persetujuan ini saya buat. Atas bantuan
dan partisipasi bapak/ibu dalam pnelitian saya ini saya ucapkan
terimakasih.

Delitua,

Januari

2014

Peneliti

Responden

(Efnira Samosir)

LEMBAR OBSERVASI NYERI

PETUNJUK UMUM PENGISIAN


1. Bapak/ibu

diharapkan

bersedia

pertanyaan yang tersedia.


A. Data Demografi
No responden
Umur responden
Jenis kelamin

:
:
:

mengisi

jawaban

dari

B. Data

Observasi

Kompres

Hangat

Untuk

Meneliti

Terhadap

Pengaruh

Penurunan

Nyeri

Artritis Rheumatoid Pada Lansia Di Desa Banjaran


Dusun V Wilayah Kerja Puskesmas Biru-Biru Kec.
Biru-Biru Tahun 2013
Sebelum perlakuan
Pertanyaan mengenai skala nyeri yang dirasakan
responden

Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

C. Data

Observasi

Kompres

Hangat

Untuk

Meneliti

Terhadap

Pengaruh

Penurunan

Nyeri

Artritis Rheumatoid Pada Lansia Di Desa Banjaran


Dusun V Wilayah Kerja Puskesmas Biru-Biru Kec.
Biru-Biru Tahun 2013
Sesudah perlakuan
Pertanyaan mengenai skala nyeri yang dirasakan
responden

Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

LEMBAR OBSERVASI

PENGARUH PENURUNAN NYERI ARTRITIS


RHEUMATOID
SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKANNYA KOMPRES
HANGAT PADA LANSIADI DESA BANJARAN DUSUN V
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BIRU-BIRU
BIRU-BIIRU TAHUN 2013

No
Nama
Umur
respond respond respond
en
en
en

Jenis
kelam
in

Skala
nyeri
sebelu
m
dikompr
es

Skala
nyeri
sesudah
dikompr
es

keteran
gan

DAFTAR BIMBINGAN KONSULTASI SKRIPSI

Nama

: Efnira Samosir

NPM

: 12. 21. 009

Pembimbing

: Ns. Selamat Ginting, S. Kep, M. Kes

Judul

No
1.

:Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Penurunan


Nyeri Artritis Rheumatoid pada Lansia Di Desa
Banjaram Dusun V Wilayah Kerja Puskesmas BiruBiru Kec. Biru-Biru Tahun 2014
Tanggal
Pembahasan
03 September Pengajuan judul
2013
02 Oktober
Pengajuan judul
2013

Saran
Revisi

3.

08 Oktober

Pengajuan judul

ACC

4.

31 Oktober
2013

BAB I, II, III

Revisi

5.

21 November
2013

BAB I, II, III/IV

ACC/Revisi

6.

03 Desember
2013

BAB IV, Power Point

Revisi

7.

04 Desember
2013

BAB IV, Power Point

ACC

8.

08 Januari
2014

Sidang Proposal

Revisi BAB III


dan IV

08 Februari
2014
10. 19 Februari
2014

Revisi BAB I, II, III dan


IV
BAB V dan VI

ACC Penelitian

11. 22 Februari
2014

BAB V dan BAB VI

ACC/Sidang
skripsi

2.

9.

Revisi

Revisi

Paraf

12. 25 Februari
2014

Sidang Skripsi

Revisi V, VI

13.
14.
15.

Delitua,

/2014

Pembimbing

(Ns. Selamat ginting, S. Kep, M. Kes)

You might also like