Demam tifoid adalah penyebab demam terbanyak. Pemberian kloramfenikol dihadang masalah resistensi. Levofloxacine adalah terapi terkini untuk demam tifoid. masalah resistensi terhadap antibiotika ini. Di samping itu, angka kekambuhan tinggi, gambaran klinis tidak jelas dan risiko komplikasi. Resistensi muncul akibat penggunaan antibiotik yang salah, penggunaan berlebihan (overuse), salah penggunaan (misuse), dan underuse.
Demam tifoid merupakan salah satu penyebab
pasien datang ke dokter, dan menjalani perawatan, terutama pada saat muncul demam akut. INA RESPON, sebuah penelitian multisenter di Indonesia, menunjukkan bahwa penyebab demam akut terbanyak adalah demam tifoid, demam dengue, malaria, leptospirosis dan HIV. Dr. Muchlis Achsan Udji Sofro, Sp.PD-KPTI, dari RSUP dr. Kariadi, Semarang, mengatakan pada Kalbe Academia bahwa demam tifoid merupakan suatu masalah kesehatan global, Indonesia termasuk negara endemik. Meski demikian, tidak mudah mendiagnosis penyakit ini karena gambaran klinis hampir sama dengan penyakit infeksi lain. Sementara laboratorium bakteriologi belum tersedia secara merata di seluruh Indonesia. Menurut beliau, diagnosis bisa ditegakkan melalui tanda-tanda klinis, terutama lima tanda
CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014
utama (mual, nyeri abdominal, anoreksia,
muntah dan gangguan motilitas saluran cerna) dan kriteria lainnya. Berdasarkan tanda-tanda klinis, bisa didapatkan skor klinik. Jika penderita memiliki skor lebih dari 13, (skor maksimal 20), sebagian besar mengarah pada demam tifoid. Tes Widal hanya dilakukan untuk mendukung diagnosis, kata dr. Muchlis. Tes ini tidak bisa dijadikan pedoman baku karena pengaruh beberapa faktor dan interpretasi sangat sulit. Perlu dilakukan tes serologi lain, misalnya IgM Salmonella dan uji PCR. Pemeriksaan kultur darah dan sumsum tulang merupakan standar diagnostik terbaik. Pengobatan terkini untuk demam tifoid Kloramfenikol telah lama digunakan untuk demam tifoid. Tetapi saat ini muncul
Quinolone, seperti levofloxacin, merupakan
pilihan lain untuk demam tifoid. Penelitian Prof. RHH Nelwan tahun 2009 yang membandingkan levofloxacin dengan ciprofloxacin, memperlihatkan bahwa demam menghilang di hari ke tujuh pada semua pasien yang menggunakan levofloxacin. Sedangkan pada kelompok ciprofloxacin masih ada 12 pasien mengalami demam. Dari hasil pemeriksaan mikrobiologi, di kelompok levofloxacin 100% pasien klirens S. typhi berdasarkan pemeriksaan darah dan feses. Efek samping yang umum terjadi bersifat ringan, berupa mual muntah, nyeri epigastrik, insomnia dan sefalgia. Efek samping levofloxacin lebih sedikit dibanding ciprofloxacin. Dari hasil pemeriksaan hati, 2 pasien pada kelompok levofloxacin menunjukkan gangguan fungsi hati, sementara pada pengguna ciprofloxacin, 6 orang mengalami kelainan fungsi hati. Konsensus PETRI menganjurkan pemberian levofloxacin oral 500 mg/hari 1 kali sehari kata dr. Muchlis. Pada kasus ringan maupun kasus berat Levofloxacine diberikan selama 7 hari. Levofloxacine tidak dianjurkan diberikan pada remaja kurang dari 18 tahun. Untuk pasien carrier, levofloxacine dianjurkan diberikan 750 mg dua kali sehari selama 28 hari. (LVO)