Professional Documents
Culture Documents
KUNTO WIDYASMORO
KUNTO WIDYASMORO
B04103169
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Judul Penelitian
Nama
: Kunto Widyasmoro
NRP
: B04103169
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui
ABSTRACT
KUNTO WIDYASMORO. Production of Poliklonal Antibody Anti H5N1 in
Guinea Pig (Cavia porcellus) which were Vaccinated with Avian Influenza
Vaccine of H5N1 and H5N2. Supervised by SRI MURTINI and OKTI NADIA
POETRI.
The aim of this research was to know the method of polyclonal antibody
anti H5N1 production in guinea pigs (Cavia porcellus). Eight adult male guinea
pigs were devided into two treatment groups, first group were vaccinated with
avian infuenza vaccine of H5N1 subtype, and the second group were vaccinated
with avian influenza vaccine of H5N2 subtype. Vaccination was done in three
times with a month interval and subcutaneous route (SC). The sample of sera
were taken two week after the second vaccination and one week after the third
vaccination, and then it were examined by HI test against the H5N1 antigen. After
its obtain enough antibody, animals were vaccinated with antigen without
adjuvan intravenously. A week later, the sample of sera were taken and examined
with HI test and AGP test against the H5N1 antigen. The result of the three HI
test shown that the vaccination with H5N1 vaccine could induce the production of
antibody and the highest titer was reached in one week after vaccination with
antigen without adjuvan, that is 28,75, and the lowest was in one week after the
third vaccination, that is 25,75 . Animals which were vaccinated with H5N2 vaccine
were able to produce antibody against H5N2 in two week after the second
vaccination and the titer is 27,5 . The antibody could react against the H5N1
antigen in the first, second, and third HI test, and showing the highest titer in one
week after vaccination with antigen without adjuvan, that is 26,75. The result of
AGP test shown that the antibody were resulted from the two subtypes of vaccine
fit against the H5N1 antigen.
ABSTRAK
KUNTO WIDYASMORO. Produksi Antibodi Poliklonal Anti H5N1 pada
Marmot (Cavia porcellus) yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian Influenza
H5N1 dan H5N2. Dibawah bimbingan SRI MURTINI dan OKTI NADIA
POETRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode produksi antibodi
poliklonal anti H5N1 pada Marmot (Cavia porcellus). Delapan ekor Marmot
(Cavia porcellus) jantan dewasa dibagi menjadi dua kelompok perlakuan,
Kelompok pertama divaksinasi dengan menggunakan vaksin AI H5N1, dan
kelompok ke dua dengan vaksin AI H5N2. Vaksin yang digunakan adalah vaksin
inaktif dengan adjuvan. Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval
masing-masing satu bulan rute subkutan (SC). Sampel serum diambil dua minggu
setelah vaksinasi ke dua dan satu minggu setelah vaksinasi ke tiga, selanjutnya
diuji dengan uji HI terhadap antigen H5N1. Setelah diperoleh antibodi yang
cukup, hewan kembali divaksinasi dengan antigen tanpa adjuvan melalui rute
intravena (IV). Setelah satu minggu sampel serum diambil dan diuji dengan uji HI
dan uji AGP terhadap antigen H5N1. Hasil ketiga kali uji HI menunjukkan
bahwa vaksinasi dengan vaksin H5N1 dapat menginduksi produksi antibodi dan
titer tertinggi dicapai pada satu minggu setelah vaksinasi dengan antigen tanpa
adjuvan, yaitu 28,75, dan terendah pada satu minggu setelah vaksinasi ke tiga, yaitu
25,75. Vaksinasi dengan vaksin H5N2 telah menghasilkan antibodi yang tinggi
terhadap H5N2 pada dua minggu setelah vaksinasi ke dua, yaitu 27,5. Antibodi
tersebut dapat bereaksi terhadap antigen H5N1 pada uji I, II, dan III dan
menunjukkan titer tertinggi sebesar 26,75 pada satu minggu setelah vaksinasi
dengan antigen tanpa adjuvan. Hasil uji AGP menunjukkan bahwa antibodi yang
dihasilkan dari kedua vaksin tersebut memiliki kesesuaian yang tinggi dengan
antigen H5N1.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirraahiim.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Produksi Antibodi
Poliklonal Anti Virus Avian Influenza H5N1 pada Marmot (Cavia porcellus)
yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian Influenza Inaktif H5N1 dan H5N2.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Suri
tauladan kita, panglima perang kita Nabi besar Muhammad SAW, kepada
keluarga, sahabat, dan Umatnya yang Insya Allah tetap dan selalu istiqomah di
jalannya hingga yaumul akhir, Amien.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor. Disamping itu penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan suatu
sumbangsih bagi kemajuan dunia peternakan dan kesehatan hewan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini, yaitu : Ayahanda
Suharjono dan Ibunda Sukaryati yang telah mencurahkan perhatian, pengorbanan
dan kasih sayang yang teramat sangat besar kepada penulis, Dr. drh. Sri Murtini
M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi pertama dan drh. Okti Nadia Poetri M.Si.
selaku dosen pembimbing kedua, yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan yang amat sangat berguna sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, Dr.
Drh. Retno D. Soejoedono M.S. dan Drh Titik Sinartatie M.S. atas segala
masukan dan arahannya, Dr. Ir. Dewi Apri Astuti MS. dan Dr. drh. Damiana R.E.
M.S. selaku pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, dukungan dan segala
bantuannya selama penulis menjalani kegiatan akademik sampai terselesainya
tugas akhir ini, Dyan Wahyu Wibowo S.T., saudara penulis satu-satunya, atas
dukungan, doa, dan pengorbanannya, Fanny atas segala dukungan dan doanya,
Teman-teman satu laboratorium (Isaias dan Ani) atas segala bantuan dan
kebersamaannya selama penyelesaian tugas akhir ini, Teman-teman Cendana 9
(Yunus, Bangkit, Mas Harry, Dedi) atas segala bantuan, kebersamaan, dan
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Sanden Bantul dan lulus pada tahun 1999.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 8
Yogyakarta dan lulus pada tahun 2002.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003. Penulis terdaftar sebagai
salah satu mahasiswa program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjalani masa perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan
dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan. Penulis Juga aktif dalam berbagai
kegiatan bakti dan pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh FKH IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP
......................................................................................
iii
iv
DAFTAR TABEL
......................................................................................
vi
vii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
..........................................................................
1.2 Tujuan
......................................................................................
1.3 Manfaat
......................................................................................
..........................................................................
..................................................
..............................................................
...............................................................
...................................................
10
...........................................................................
10
.......................................
11
11
13
.......................................
13
17
17
17
...........................................................................
17
.......................
17
..........................................................................
18
18
19
3.4.2 Vaksinasi
..............................................................
................................
19
......................................
21
........................................................
23
27
................................................................................
29
......................................................................................
29
30
LAMPIRAN ..................................................................................................
34
5.2 Saran
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nilai Fisiologis Marmot ...............................................................................
10
15
16
23
34
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Marmot ......................................................................................................
18
24
27
28
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
I Jadwal kegiatan penelitian ........................................................................
34
BAB I PENDAHULUAN
penyakit yang muncul memang benar-benar wabah penyakit avian influenza, serta
untuk mengetahui strain atau subtipe virusnya. Diagnosa penyakit avian influenza
meliputi diagnosa klinis, yaitu dengan melihat gejala klinis yang muncul dan
diagnosa laboratorium, untuk mengidentifikasi agen (virus) yang menyebabkan
wabah. Kedua diagnosa tersebut bersifat saling melengkapi dan saling
mendukung, akan tetapi diagnosa laboratorium memiliki peranan yang lebih
penting, sebab berdasarkan hasil diagnosa laboratorium ini dapat diketahui secara
pasti jenis penyakit yang sedang muncul. Menurut Davis et al. (1980), diagnosa
laboratorium berguna untuk menentukan keberadaan agen dalam komunitas untuk
menentukan tipe spesifiknya dan untuk menyelesaikan studi epidemiologi.
Dalam diagnosa laboratorium penyakit avian influenza, uji serologis
merupakan uji yang sering digunakan, uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi
isolat virus guna mengetahui strain atau subtipe virus yang telah diisolasi dari
lapangan. Suatu laboratorium harus memiliki antisera (antibodi) standar yang
dipersiapkan untuk melawan antigen yang diisolasi dari setiap hemaglutinin dan
neuraminidase yang dapat digunakan dalam uji imunodifusi untuk menentukan
subtipe virus (OIE 2007). Antisera standar juga digunakan dalam uji-uji serologis
yang
lain
untuk
mengidentifikasi
isolat
virus
diantaranya
dengan
uji
imunohistokimia.
Antibodi poliklonal atau antiserum poliklonal standar untuk avian
influenza dapat diperoleh dengan cara melakukan vaksinasi avian influenza pada
hewan coba. Antibodi poliklonal adalah antibodi yang secara khas dihasilkan dari
imunisasi pada hewan yang sesuai, dan hewan yang sering digunakan untuk
menghasilkan antibodi poliklonal antara lain adalah marmot (Cavia porcellus)
(Wikipedia1 2007). Penggunaan marmot (Cavia porcellus) dalam memproduksi
antibodi poliklonal untuk membuat antisera standar avian influenza memiliki
banyak keuntungan. Selain dapat menghasilkan antibodi poliklonal dengan cukup
baik, marmot adalah hewan yang memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil,
sehingga murah dan mudah dalam pemeliharaannya. Marmot juga mudah
dihandel dan tidak menggigit sehingga akan mempermudah proses pengambilan
darah (serum).
Virus
influenza
merupakan
nama
generik
dalam
keluarga
Diagnosa lapangan dengan melihat gejala klinis, yaitu : jengger, pial, kulit
perut yang tidak ditutupi bulu berwarna biru keunguan (sianosis); kadangkadang ada cairan dari mata dan hidung; pembengkakan di daerah muka
dan kepala; pendarahan di bawah kulit (sub kutan); pendarahan titik
(ptekie) pada daerah dada, kaki, dan telapak kaki; kematian tinggi.
2.
Jika dilakukan bedah bangkai akan tampak : pendarahan subkutan, bintikbintik pendarahan pada otot dan jaringan lemak; pendarahan pada organ
trakhea, pankreas, dan peradangan pada usus, hati dan limpa; bintik-bintik
pendarahan merata pada ovarium, serta pendarahan pada kaki yang sering
diikuti edema.
3.
Diagnosa Laboratorium
Sampel diambil dari unggas hidup, unggas yang memperlihatkan gejala
klinis dan unggas yang mati. Preparat ulas/sampel swab kloaka, trakhea,
atau feses segar dan serum diambil dari unggas yang masih hidup. Dari
unggas yang mati, dilakukan pemeriksaan jaringan saluran pencernaan
(proventrikulus, intestinum, caeca tonsil) dan jaringan saluran pernafasan
(trakhea dan paru-paru). Pengiriman sampel harus dijaga dalam keadaan
dingin (tidak beku) dan dikirimkan ke Balai Besar Veteriner (BBVet),
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional terdekat dan
Balai Penelitian Veteriner (Balitvet).
Menurut OIE (2005), teknik diagnostik untuk avian influenza meliputi,
tidak
hanya
bertujuan
untuk
pengisian
negatifnya
konsentrasi
HA
tidak
terstandarisasi,
beresiko
bila
binatang dalam bahasa suku Galibi penduduk asli Guyana Perancis. Cabiai
mungkin adalah adaptasi dari bahasa Portugis avia (savia) yang diturunkan dari
kata Tupi sauja, yang berarti tikus
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Rodentia
Suborder
: Hystricomorpha
Family
: Caviidae
Subfamily
: Caviinae
Genus
: Cavia
Species
: Cavia porcellus
hewan ini dapat mengingat dengan akurat jalur yang dipelajari untuk jangka
waktu berbulan-bulan (Wikipedia2 2007).
Nilai
Temperatur tubuh
37.2-39.5 C
Harapan hidup
4-5 tahun
Konsumsi makanan
6 g/100 g/ hari
Konsumsi Air
10 ml/100 g/hari
Frekuensi respirasi
Penggunaan oksigen
0,76-0,83 ml/g/jam
Volume darah
67-92 ml/kg
Serum protein
4,6-6,2 g/dl
Albumin
2,1-3,9 g/dl
Globulin
1,7-2,6 g/dl
Serum glukosa
60-125 g/dl
Serum lipid
95-240 mg/dl
3,0-7,6 mg/dl
5,3-12 mg/dl
2.2.7 Habitat
Cavia porcellus secara alami tidak ditemukan di alam liar, hewan ini
merupakan turunan dari beberapa spesies cavia yang terkait dekat, seperti Cavia
aperea, Cavia fulgida, dan Cavia ischudii yang secara umum masih ditemukan di
2.3 Antibodi
Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai
akibat interaksi antara sel limfosit B peka antigen dan antigen khusus (Tizard
1982). Antibodi adalah suatu protein yang dihasilkan oleh suatu sel dalam tubuh
kita (sel limfosit B) sebagai respon terhadap adanya antigen yang masuk ke dalam
tubuh. Antigen adalah senyawa kimia, zat asing atau mikroba yang asing bagi
tubuh dan mampu membangkitkan respon kekebalan.
Antibodi mempunyai ciri khas, yaitu spesifik terhadap jenis tertentu dari
antigen. Ribuan atau jutaan jenis antigen yang masuk akan merangsang
terbentuknya ribuan atau jutaan jenis antibodi. Setiap detik sekitar 2000 molekul
antibodi diproduksi oleh sel limfosit B (Anonimus 2007). Antibodi memiliki
kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat penghancuran
dan
penyingkirannya
(Tizard
1987).
Pengikatan
oleh
antibodi
akan
menginaktifkan virus, kuman dan mikroorganisme lain untuk melekat pada sel
jaringan tubuh yang dituju, dan di luar tubuh antibodi juga dapat berikatan dengan
antigen yang sesuai, sehingga reaksi antigen antibodi ini dapat digunakan dalam
pembuatan diagnosa untuk mendeteksi adanya antigen spesifik (Mulyanto 1994).
Antibodi beredar dalam darah dan cairan tubuh lainnya (Mulyanto 1994).
Antibodi terdapat dalam konsentrasi tertinggi dan mudah diperoleh dalam jumlah
banyak untuk analisis dalam serum darah. Molekul antibodi adalah globulin,
umumnya dikenal sebagai imunoglobulin (yang dapat disingkat menjadi Ig).
Istilah imunoglobulin dipakai untuk menggambarkan semua protein yang
mempunyai aktivitas antibodi maupun beberapa protein yang mempunyai struktur
imunoglobulin yang khas tetapi tak memiliki aktivitas antibodi (Tizard 1987).
Menurut Outteridge (1985), terdapat tiga teori pembentukan antibodi,
yaitu :
1. Hipotesis Ehrlichs Side-Chain
Teori seleksi awal tentang pembentukan antibodi diusulkan oleh Paul
Ehrlich (1900), teori tersebut menyatakan bahwa molekul toksin (antigen)
berkombinasi dengan side-Chain atau molekul antitoksin pada permukaan sel
dan merangsang sel untuk menghasilkan lebih banyak side-chains, yang
muncul dalam serum sebagai antibodi antitoksin. Gagasan awal ini tidak
dibuang jauh dalam konsep modern tentang pembentukan antibodi, tetapi
kemudian gagasan ini tidak diterima karena kerja dari Landsteiner yang
mendemonstrasikan pembentukan antibodi melawan material non-biologis
seperti kelompok dinitrophenyl (DNP).
2. Hipotesis Pauling-Haurowitz Template (1935-1955)
Teori template mengusulkan bahwa antigen memerintahkan sel untuk
memproduksi antibodi spesifik dengan membuat ?-globulin non-spesifik
disekitar faktor penentu antigenik. Hal ini diusulkan terjadi selama sintesis
protein, tetapi berbagai kesulitan ditemui dalam menjelaskan bagaimana ?globulin diinstruksi oleh antigen yang tidak dapat memperoleh akses ke
bagian dalam dari sel, seperti bakteri. Berbagai hipotesa diajukan seperti,
pemrosesan antigen oleh makrofag untuk memproduksi fragmen kecil yang
memperoleh akses ke limfosit. Namun berbagai kesulitan ditemui ketika
dinilai bahwa urutan asam amino primer dari antibodi mendeterminasikan
struktur proteinnya. Bahkan secara lengkap antibodi dibeberkan dapat dibuat
berlipat ganda dalam keadaan tanpa antigen.
3. Teori Seleksi Klonal (1988-Saat ini)
Teori pembentukan antibodi yang terpilih dikemukakan oleh Jerne (1955).
Teori ini mengusulkan bahwa reseptor untuk antigen dihasilkan dalam sel
dalam keadaan tanpa antigen. Ide ini dikembangkan oleh Burnet (1957), yang
mengusulkan bahwa sel ini sebelum meninggalkan reseptor secara selektif
dirangsang oleh antigen spesifik untuk membelah dan berproliferasi menjadi
klon sel pembentuk antibodi spesifik. Hal ini menjadi hipotesis seleksi klonal.
Dalam terminologi modern, terdapat reseptor pada sel B yang terpilih oleh
antigen, dan ini berarti bahwa setiap sel B ditugaskan untuk memproduksi
antibodi yang sama yang hadir pada membran sel.
tubuh akan mengenali dan bereaksi terhadap antigen. Sel limfosit yang
bersangkutan kemudian memperbanyak diri dan berkembang menjadi sel plasma
yang menghasilkan antibodi. Dalam hal ini antibodi yang terbentuk merupakan
antibodi poliklonal dengan komposisi bervariasi dalam serum, baik sebagai akibat
imunisasi berulang, maupun akibat variasi yang terjadi selama reaksi kekebalan
(Mulyanto 1994).
Hewan yang sering digunakan untuk produksi antibodi poliklonal antara
lain, ayam, domba, marmot, hamster, kuda, tikus, dan kambing. Pemilihan hewan
harus berdasarkan pada : 1) Jumlah antibodi yang dibutuhkan, 2) Hubungan antara
donor antigen dan resipien penghasil antibodi (secara umum hubungan filogenetik
yang lebih jauh, mempunyai potensi yang lebih baik untuk respon antibodi titer
tinggi), 3) Karakteristik penting antibodi yang akan dibuat (Wikipedia1 2007).
Beberapa manfaat antibodi poliklonal menurut Anonimus (2007) antara
lain : 1) Antibodi poliklonal sering mengenali banyak epitop, membuat antibodi
ini lebih toleran terhadap perubahan kecil di alam dari antigen. Antibodi
poliklonal sering menjadi pilihan untuk deteksi protein terdenaturasi, 2) Antibodi
poliklonal dapat dihasilkan pada berbagai spesies, antara lain kelinci, domba,
kambing, ayam dll, memberikan pengguna banyak pilihan dalam design
eksperimen, 3) Antibodi poliklonal kadang-kadang digunakan ketika antigen
alami pada spesies tak teruji tidak diketahui, 4) Antibodi poliklonal memiliki
sasaran banyak epitop, dan secara umum memberikan deteksi yang kuat.
Imunoglobulin G, IgG adalah kelas imunoglobulin yang terdapat dalam
konsentrasi tinggi dalam serum darah serta memainkan peran utama dalam
mekanisme tanggap kebal yang diperantarai oleh antibodi. Karena ukurannya
yang relatif kecil maka zat itu lebih mudah keluar dari pembuluh darah
dibandingkan molekul imunoglobulin yang lain, dan karena itu cepat mengambil
peran utama dalam mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan
tubuh. IgG dapat melakukan opsonisasi, aglutinasi dan presipitasi antigen, tetapi
hanya dapat mengaktivasi kaskade komplemen bila telah terkumpul cukup banyak
molekul dalam konfigurasi yang tepat pada permukaan antigen (Tizard 1987).
Konsentrasi Imunoglobulin serum pada hewan piara dan manusia ditunjukkan
pada Tabel 2.
IgM
IgA
IgG (T)
IgG (B)
IgE
Kuda
1000-1500
100-200
60-350
100-1500
10-100
Sapi
1700-2700
250-400
10-50
Domba
1700-2000
150-250
10-50
Babi
1700-2000
100-500
50-500
Anjing
1000-2000
70-270
20-150
2.3-42
Ayam
300-700
120-250
30-60
Manusia
800-1600
50-200
150-400
0.002-0.05
Uji yang mengukur tanggap kebal humoral terbagi dalam tiga kategori
yaitu : Yang paling peka (dari segi jumlah antibodi yang dapat ditemukan) adalah
1) Uji pengikatan primer, yang mengukur langsung interaksi antara antigen
dengan antibodi. Sebaliknya, 2) Uji pengikatan sekunder mengukur akibat
pembentukan imunokompleks in vitro. Karena itu secara teoritis uji ini kurang
peka daripada uji pengikatan primer, tetapi sangat mudah untuk dilakukan. 3) Uji
tersier mengukur akibat tanggap kebal in vivo. Dalam menentukan efek protektif
suatu antibodi pada hewan, uji tersier tidak hanya mengukur kombinasi antara
antigen dan antibodi tetapi juga kemampuan opsonisasi kompleks ini maupun
kemampuan fagositosis dan penghancuran sel sistem fagositik mononuklir (Tizard
1987). Jumlah antibodi terkecil yang dapat ditemukan dengan uji imunologis
terpilih ditunjukkan pada Tabel 3.
g protein/ml
0,0005
0,00005
18
Presipitasi Gel
30
Aglutinasi bakteri
0,05
Hemaglutinasi pasir
0,01
Penghambatan hemaglutinasi
0,005
0,05
Netralisasi virus
0,00005
Aktifitas bakterisidal
0.00005
Netralisasi antitoksin
0,06
0,02
berfungsi untuk menampung feses dan urin. Setiap hari alas tersebut dibersihkan
untuk menjaga kebersihan, sehingga kesehatan marmot terjaga dan marmot
merasa nyaman. Kandang pemeliharaan marmot ditunjukkan pada Gambar 2.
3.4.2 Vaksinasi
Marmot kelompok A divaksinasi dengan vaksin AI subtipe H5N1 dan
marmot kelompok B divaksinasi dengan vaksin AI subtipe H5N2. Kedua vaksin
yang digunakan tersebut adalah vaksin inaktif dalam adjuvan. Vaksin tersebut
diberikan dengan dosis 1 ml secara subkutan. Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga
kali dengan interval masing-masing satu bulan. Setelah diperoleh titer antibodi
yang cukup, hewan divaksinasi kembali dengan antigen tanpa adjuvan melalui
rute intravena (IV) dengan dosis 0,1 ml.
menusuk vena tersebut dengan jarum suntik, kemudian darah yang keluar dihisap
dengan spoit 3 ml, sampai didapat darah sebanyak satu sampai dua ml. Spoit
tersebut kemudian ditutup kembali dan diberi tanda sesuai jenis vaksin yang
digunakan.
Setelah didapat cukup darah, spoit ditarik sampai ma ksimal, dan
diletakkan dengan posisi miring. Hal ini bertujuan untuk memperbesar luas
permukaan darah, sehingga serum akan lebih mudah keluar. Selanjutnya serum ini
disimpan dalam refrigerator pada suhu 4 oC selama 24 jam, kemudian serum
dipisahkan dengan mengambil cairan bening yang telah memisah. Serum ini
kemudian dimasukkan ke dalam microtube dan diberi tanda sesuai dengan jenis
vaksin yang digunakan. Apabila serum yang didapat warnanya masih merah,
maka harus disentrifugasi sampai didapat serum yang benar-benar jernih dan tidak
lagi berwarna merah.
Serum yang diperoleh dari pengambilan darah pertama (dua minggu
setelah vaksinasi ke dua) selanjutnya disebut serum I, serum dari pengambilan
darah ke dua (satu minggu setelah vaksinasi ke tiga) disebut serum II, dan serum
dari pengambilan darah terakhir (satu minggu setelah vaksinasi dengan antigen
tanpa adjuvan) disebut serum III.
= Sampel ke-n
keperluan identifikasi.
8. Agar tersebut kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada tempat yang
lembab dan suhu ruang. Sebagai inkubator dapat digunakan kotak plastik
bertutup, dimana didalamnya diletakkan tisu yang telah dibasahi dengan
akuades, dan sterofoam sebagai alas agar diletakkan d atas tisu tersebut.
9. Setelah 24-48 jam hasil uji AGPT dapat dibaca, hasil positif ditunjukkan
dengan adanya garis putih (garis presipitasi) yang terbentuk diantara
lubang yang berisi antigen dan antibodi (serum), dan hasil positif
menunjukkan bahwa antigen dan antibodi dalam serum yang diuji tersebut
homolog.
Vaksin H5N1
Vaksin H5N2
(log 2)
I
II
III
11
Rata-rata
6,75
5,75
8,75
Rata-rata
1,5
6,75
Uji HI ke tiga dilakukan terhadap serum yang diambil pada satu minggu
setelah vaksinasi dengan antigen H5N1 dan H5N2 inaktif tanpa adjuvan.
Penyuntikan antigen tanpa adjuvan dengan rute intravena ini bertujuan untuk
menggertak produksi antibodi guna mendapatkan titer antibodi yang setinggitingginya, yang selanjutnya akan dimurnikan untuk digunakan dalam penelitian
lebih lanjut.
Hasil rata-rata uji HI pertama, kedua, dan ketiga terhadap antigen H5N1,
memperlihatkan bahwa kelompok marmot yang divaksinasi dengan vaksin H5N1
memperlihatkan respon produksi antibodi yang lebih baik dibandingkan dengan
kelompok yang divaksinasi dengan vaksin H5N2, dengan capaian titer antibodi
akhirnya sebesar 28,75, yang dicapai pada satu minggu setelah penyuntikan antigen
virus H5N1 secara intravena. Sementara itu kelompok marmot yang divaksinasi
dengan vaksin H5N2 memperlihatkan produksi antibodi yang lebih rendah,
dengan capaian titer tertinggi sebesar 26,75 , yang dicapai pada satu minggu setelah
penyuntikan antigen virus H5N2 secara langsung (intravena). Hasil rata-rata dari
ketiga kali uji HI terhadap antigen H5N1, secara umum memperlihatkan adanya
peningkatan produksi antibodi dari kedua jenis vaksin yang digunakan pada tiap
periode vaksinasi, walaupun pada kelompok marmot yang divaksinasi dengan
vaksin H5N1 terjadi sedikit penurunan produksi antibodi dari hasil vaksinasi ke
dua. Rata-rata hasil uji HI pertama, ke dua, dan ke tiga terhadap antigen virus
10
9
8
7
(log 2)
H5N1
H5N2
4
3
2
1
0
I
II
III
Uji HI
Gambar 3 Grafik Hasil Rata-Rata uji HI I, II, dan III dari Dua Kelompok Marmot
yang Divaksinasi dengan Vaksin H5N1 dan H5N2.
antigen H5N2. Uji HI serum pertama dari kelompok hewan yang divaksinasi
dengan vaksin H5N2 terhadap antigen H5N2 sudah menunjukkan titer antibodi
yang tinggi, yaitu mencapai 29, dengan rata-rata sebesar 27,5. Antibodi yang
dihasilkan dari vaksinasi dengan vaksin H5N2 ini ternyata dapat bereaksi silang
terhadap antigen H5N1, hal ini ditunjukkan dari hasil uji HI serum I terhadap
antigen H5N1 pada kelompok tersebut memberikan hasil positif, dengan nilai
sebesar 21,5. Reaksi silang tersebut terjadi karena antigen yang yang digunakan
dalam vaksin memiliki kesamaan jenis protein H (hemaglutinin) terhadap antigen
yang digunakan dalam uji HI, yaitu H5. Titer antibodi yang teramati pada uji HI
pertama terhadap antigen H5N1 terbilang sangat rendah apabila dibandingkan
dengan hasil uji HI terhadap antigen H5N2. Hal tersebut disebabkan karena
antibodi yang diperoleh dari vaksinasi bukan merupakan antibodi yang spesifik
terhadap H saja, tetapi juga terdapat antibodi terhadap protein N. Menurut Lee et
al. (2006), adanya antibodi homolog terhadap protein N tertentu dapat
menyebabkan terjadinya hambatan steric dalam uji HI, antibodi terhadap protein
N juga dapat berpengaruh secara nonspesifik terhadap protein H yang mendorong
pada penghambatan nonspesifik dan kemungkinan kesalahan identifikasi isolat.
Menurut Asmara (2007) neuraminidase (N) memiliki peranan membantu virus
Avian Influenza untuk berikatan dengan membran sel inang. Sehingga adanya
antibodi homolog terhadap protein N
kemampuan virus avian influenza untuk berikatan dengan sel target. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya penurunan titer antibodi dari kelompok marmot
yang divaksinasi dengan vaksin H5N2 pada uji HI terhadap antigen H5N1.
Titer antibodi dari kelompok hewan yang divaksinasi dengan vaksin H5N2
menunjukkan adanya peningkatan pada uji HI ke dua atau satu minggu setelah
vaksinasi ke tiga, menjadi sebesar 23. Pada akhir pengamatan uji HI terhadap
antigen H5N1 dari kelompok hewan yang divaksinasi dengan vaksin H5N2,
diperoleh titer antibodi yang cukup tinggi, yaitu mencapai rata-rata sebesar 26,75,
pada satu minggu setelah vaksinasi dengan antigen tanpa adjuvan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa antibodi yang dihasilkan dari vaksinasi dengan vaksin H5N2
dapat digunakan dalam pembuatan antibodi standar untuk H5N1.
Ag
2
4
3
Ag
Gambar 4 Foto hasil uji AGP serum hasil vaksinasi dengan vaksin H5N1
terhadap antigen virus H5N1; (Ag) Antigen Ai H5N1, (1) Serum
H5N1 A, (2) Serum H5N1 B, (3) Serum H5N1 C, (4) Serum H5N1 D.
Ag
b
d
c
Ag
b
d
c
Gambar 5 Foto hasil uji AGP serum hasil vaksinasi dengan vaksin H5N2
terhadap antigen virus H5N1; (Ag) Antigen Ai H5N1, (a) Serum
H5N2 A, (b) Serum H5N2 B, (c) Serum H5N2 C, (d) Serum H5N2 D.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1) Produksi antibodi standar anti H5N1 pada marmot (Cavia porcellus) dapat
dilakukan dengan melakukan vaksinasi terhadap marmo t sebanyak tiga
kali dengan interval waktu satu bulan dari masing-masing vaksinasi,
menggunakan vaksin AI inaktif, kemudian menyuntikkan antigen secara
intra vena.
2) Titer antibodi yang diperoleh adalah sebesar 28,75 untuk vaksinasi dengan
menggunakan
vaksin
H5N1
dan
26,75
untuk
vaksinasi
dengan
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan IgG anti H5N1
yang murni agar diperoleh IgG yang lebih spesifik. Untuk mendapatkan respon
produksi antibodi yang baik, sebaiknya vaksinasi dilakukan pada saat titer
antibodi dalam tubuh hewan sedang tidak dalam keadaan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
dan
Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, Tauffani TB. 2003. Diktat
Imunologi. Laboratorium Imunologi Depertemen Kitwan dan Kesmavet
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wikipedia1. 2007. Polyclonal Antibody. http://www.wikipedia.org. [5 April 2007].
Wikipedia2. 2007. Guinea pig. http://www.wikipedia.org. [5 April 2007].
LAMPIRAN
Lampiran 1
Kegiatan
Bulan I
Bulan 2
Bulan 3
Bulan 4
(Februari
(Maret
(April
(Mei 2007)
2007)
2007)
2007)
Minggu ke-
Minggu ke-
Minggu ke-
Minggu ke
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1.
Persiapan
2.
Pengadaptasian
Marmot
3.
Perlakuan
4.
Pengambilan
x
x
x
x
Darah, Pemisahan
serum, uji HI, uji
AGP
5.
Penyusunan
Laporan/skripsi
x x x