You are on page 1of 48

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA

MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN


VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2

KUNTO WIDYASMORO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA


MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN
VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2

KUNTO WIDYASMORO
B04103169

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Penelitian

: Produksi Antibodi Poliklonal Anti H5N1 pada Marmot


(Cavia porcellus) yang Divaksinasi dengan Vaksin
Avian Influenza H5N1 dan H5N2

Nama

: Kunto Widyasmoro

NRP

: B04103169

Disetujui

Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si.

Drh. Okti Nadia Poetri, M.Si.

Pembimbing I

Pembimbing II

Diketahui

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S.


Wakil Dekan Fakutas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus : 7 September 2007

ABSTRACT
KUNTO WIDYASMORO. Production of Poliklonal Antibody Anti H5N1 in
Guinea Pig (Cavia porcellus) which were Vaccinated with Avian Influenza
Vaccine of H5N1 and H5N2. Supervised by SRI MURTINI and OKTI NADIA
POETRI.

The aim of this research was to know the method of polyclonal antibody
anti H5N1 production in guinea pigs (Cavia porcellus). Eight adult male guinea
pigs were devided into two treatment groups, first group were vaccinated with
avian infuenza vaccine of H5N1 subtype, and the second group were vaccinated
with avian influenza vaccine of H5N2 subtype. Vaccination was done in three
times with a month interval and subcutaneous route (SC). The sample of sera
were taken two week after the second vaccination and one week after the third
vaccination, and then it were examined by HI test against the H5N1 antigen. After
its obtain enough antibody, animals were vaccinated with antigen without
adjuvan intravenously. A week later, the sample of sera were taken and examined
with HI test and AGP test against the H5N1 antigen. The result of the three HI
test shown that the vaccination with H5N1 vaccine could induce the production of
antibody and the highest titer was reached in one week after vaccination with
antigen without adjuvan, that is 28,75, and the lowest was in one week after the
third vaccination, that is 25,75 . Animals which were vaccinated with H5N2 vaccine
were able to produce antibody against H5N2 in two week after the second
vaccination and the titer is 27,5 . The antibody could react against the H5N1
antigen in the first, second, and third HI test, and showing the highest titer in one
week after vaccination with antigen without adjuvan, that is 26,75. The result of
AGP test shown that the antibody were resulted from the two subtypes of vaccine
fit against the H5N1 antigen.

ABSTRAK
KUNTO WIDYASMORO. Produksi Antibodi Poliklonal Anti H5N1 pada
Marmot (Cavia porcellus) yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian Influenza
H5N1 dan H5N2. Dibawah bimbingan SRI MURTINI dan OKTI NADIA
POETRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode produksi antibodi
poliklonal anti H5N1 pada Marmot (Cavia porcellus). Delapan ekor Marmot
(Cavia porcellus) jantan dewasa dibagi menjadi dua kelompok perlakuan,
Kelompok pertama divaksinasi dengan menggunakan vaksin AI H5N1, dan
kelompok ke dua dengan vaksin AI H5N2. Vaksin yang digunakan adalah vaksin
inaktif dengan adjuvan. Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval
masing-masing satu bulan rute subkutan (SC). Sampel serum diambil dua minggu
setelah vaksinasi ke dua dan satu minggu setelah vaksinasi ke tiga, selanjutnya
diuji dengan uji HI terhadap antigen H5N1. Setelah diperoleh antibodi yang
cukup, hewan kembali divaksinasi dengan antigen tanpa adjuvan melalui rute
intravena (IV). Setelah satu minggu sampel serum diambil dan diuji dengan uji HI
dan uji AGP terhadap antigen H5N1. Hasil ketiga kali uji HI menunjukkan
bahwa vaksinasi dengan vaksin H5N1 dapat menginduksi produksi antibodi dan
titer tertinggi dicapai pada satu minggu setelah vaksinasi dengan antigen tanpa
adjuvan, yaitu 28,75, dan terendah pada satu minggu setelah vaksinasi ke tiga, yaitu
25,75. Vaksinasi dengan vaksin H5N2 telah menghasilkan antibodi yang tinggi
terhadap H5N2 pada dua minggu setelah vaksinasi ke dua, yaitu 27,5. Antibodi
tersebut dapat bereaksi terhadap antigen H5N1 pada uji I, II, dan III dan
menunjukkan titer tertinggi sebesar 26,75 pada satu minggu setelah vaksinasi
dengan antigen tanpa adjuvan. Hasil uji AGP menunjukkan bahwa antibodi yang
dihasilkan dari kedua vaksin tersebut memiliki kesesuaian yang tinggi dengan
antigen H5N1.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirraahiim.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Produksi Antibodi
Poliklonal Anti Virus Avian Influenza H5N1 pada Marmot (Cavia porcellus)
yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian Influenza Inaktif H5N1 dan H5N2.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Suri
tauladan kita, panglima perang kita Nabi besar Muhammad SAW, kepada
keluarga, sahabat, dan Umatnya yang Insya Allah tetap dan selalu istiqomah di
jalannya hingga yaumul akhir, Amien.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor. Disamping itu penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan suatu
sumbangsih bagi kemajuan dunia peternakan dan kesehatan hewan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini, yaitu : Ayahanda
Suharjono dan Ibunda Sukaryati yang telah mencurahkan perhatian, pengorbanan
dan kasih sayang yang teramat sangat besar kepada penulis, Dr. drh. Sri Murtini
M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi pertama dan drh. Okti Nadia Poetri M.Si.
selaku dosen pembimbing kedua, yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan yang amat sangat berguna sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, Dr.
Drh. Retno D. Soejoedono M.S. dan Drh Titik Sinartatie M.S. atas segala
masukan dan arahannya, Dr. Ir. Dewi Apri Astuti MS. dan Dr. drh. Damiana R.E.
M.S. selaku pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, dukungan dan segala
bantuannya selama penulis menjalani kegiatan akademik sampai terselesainya
tugas akhir ini, Dyan Wahyu Wibowo S.T., saudara penulis satu-satunya, atas
dukungan, doa, dan pengorbanannya, Fanny atas segala dukungan dan doanya,
Teman-teman satu laboratorium (Isaias dan Ani) atas segala bantuan dan
kebersamaannya selama penyelesaian tugas akhir ini, Teman-teman Cendana 9
(Yunus, Bangkit, Mas Harry, Dedi) atas segala bantuan, kebersamaan, dan

kesediaannya untuk berbagi, Teman-teman seperjuangan FKH 40 khususnya Nita,


Cepi, Aji, Laksana, Bheta, Irfan, Sabto, Dewilis, terima kasih untuk kebersamaan
dan kekeluargaan dan bantuan yang diberikan selama ini, Ibu Emir Siregar, atas
segala bantuannya, juga tidak lupa kepada Pak Supri, Pak Nur, Pak Lukman, Mas
Wahyu atas bantuan yang telah diberikan dan kepada pihak yang terlibat secara
langsung atau pun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Terakhir penulis
ucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran
Hewan IPB. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan
Indonesia.
Penulis sangat menyadari bahwa karya kecil ini jauh dari kata sempurna,
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun untuk lebih menyempurnakan skrisi ini. Penulis berharap karya
ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia peternakan dan kesehatan hewan serta
kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2007

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bantul pada tanggal 15 Mei 1984 dari pasangan


Bapak Suharjono dan Ibu Sukaryati. Penulis merupakan anak ke dua dari dua
bersaudara.
Riwayat pendidikan penulis dimulai pada saat penulis terdaftar sebagai
salah satu siswa di Sekolah Dasar Negeri Puron Srandakan Bantul sampai dengan
tahun 1996. Kemudian penulis melanjutkan

pendidikannya pada Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Sanden Bantul dan lulus pada tahun 1999.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 8
Yogyakarta dan lulus pada tahun 2002.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003. Penulis terdaftar sebagai
salah satu mahasiswa program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjalani masa perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan
dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan. Penulis Juga aktif dalam berbagai
kegiatan bakti dan pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh FKH IPB.

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP

......................................................................................

iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................

iv

DAFTAR TABEL

......................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................

viii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

..........................................................................

1.2 Tujuan

......................................................................................

1.3 Manfaat

......................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Avian Influenza

..........................................................................

2.1.1 Diagnosa Avian Influenza ..................................................

2.1.2 Vaksinasi Avian influenza ..................................................

2.2 Marmot (Cavia Porcellus)

..................................................

..............................................................

2.2.2 Klasifikasi Ilmiah Marmot ...................................................

2.2.3 Karakteristik Fisik ...............................................................

2.2.4 Kebutuhan Pakan

...............................................................

2.2.5 Tingkah Laku/Kebiasaan Hidup Marmot ...........................

2.2.1 Sejarah Marmot

2.2.6 Nilai Fisiologis Marmot


2.2.7 Habitat

...................................................

10

...........................................................................

10

2.2.8 Kepentingan Untuk Manusia

.......................................

11

2.3 Antibodi .......................................................................................

11

2.3.1 Antibodi Poliklonal ...............................................................

13

2.3.2 Produksi Antibodi Poliklonal

.......................................

13

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ...................................................

17

3.2 Hewan Percobaan ...........................................................................

17

3.3 Alat dan Bahan

17

BAB III MATERI DAN METODE

...........................................................................

3.4 Metode Penelitian ..........................................................................


3.4.1 Persiapan Kandang dan Hewan Percobaan

17

.......................

17

..........................................................................

18

3.4.3 Pengambilan Darah dan Pemisahan Serum .......................

18

3.3.4 Pengujian Serum

19

3.4.2 Vaksinasi

..............................................................

Prosedur Uji Hemaglutinasi Inhibisi

................................

19

......................................

21

........................................................

23

4.2 Uji Agar Gel Presipitasi ..............................................................

27

Prosedur Uji Agar Gel Presipitas


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji Hemaglutinasi Inhibisi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

................................................................................

29

......................................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

30

LAMPIRAN ..................................................................................................

34

5.2 Saran

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Nilai Fisiologis Marmot ...............................................................................

10

2 Konsentrasi Imunoglobulin Serum pada Hewan Piara dan Manusia ..........

15

3 Jumlah Antibodi Berdasarkan Uji Imunologis ...........................................

16

4 Hasil Uji HI (Titer Antibodi) terhadap Antigen Virus H5N1


pada Kedua Kelompok Perlakuan .............................................................

23

5 Jadwal Kegiatan Penelitian .........................................................................

34

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Marmot ......................................................................................................

2 Kandang pemeliharaan marmot ..................................................................

18

3 Grafik hasil rata-rata uji HI serum I, II, III ................................................

24

4 Foto hasil uji AGP serum III pada kelompok marmot


yang divaksinasi dengan vaksin H5N1 ......................................................

27

5 Foto hasil uji AGP serum III pada kelompok marmot


yang divaksinasi dengan vaksin H5N2 ......................................................

28

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
I Jadwal kegiatan penelitian ........................................................................

34

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Flu burung atau avian influenza (AI) terutama highly pathogenic avian
influenza (HPAI) adalah salah satu penyakit yang berbahaya. Selain menyebabkan
angka mortalitas yang tinggi pada unggas, penyakit ini juga telah terbukti dapat
menular pada manusia (zoonosis). Wabah avian influenza pada unggas secara
keseluruhan dapat mengakibatkan kehancuran bagi industri ternak unggas di
wilayah yang terserang (Harder dan Werner 2005). Tercatat di Hongkong pada
tahun 1997, galur H5N1 dari virus avian influenza selain menyebabkan epidemi
pada unggas, juga telah menyebabkan penyakit pernafasan berat terhadap 18
orang, enam diantaranya tewas (Rahardjo 2004).
Munculnya wabah avian influenza di Indonesia dinyatakan oleh
pemerintah pada tanggal 25 Januari 2004 (Rahardjo 2004). Penyebab penyakit
influenza unggas tersebut telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi secara
lengkap oleh Balai Penelitian Veteriner melalui penelitian Wiyono et al. (2004),
Damayanti et al. (2004) dan Dharmayanti et al. (2004), adalah virus influenza A
dengan subtipe H5N1 (Indriani et al. 2004). Berdasarkan informasi dari Direktorat
Kesehatan Hewan (2004) wabah AI H5N1 HPAI telah mengakibatkan kematian
ayam tidak kurang dari 7.650.849 ekor, serta dimusnahkan dengan cara
depopulasi terseleksi sekitar 2.798.639 ekor ayam (Indriani et al. 2005). Kasus
pada manusia berdasarkan informasi dari Depkes RI sampai dengan 6 September
2007 di Indonesia telah mencapai 106 kasus dengan 85 orang diantaranya
meninggal (Suprayogi dan Satrija 2007).
Pemerintah melalui Direktorat Kesehatan Hewan telah menetapkan
sembilan langkah strategi untuk mengendalikan infeksi HPAI, yaitu (1)
Biosekuriti, (2) Vaksinasi, (3) Depopulasi terseleksi di daerah tertular, (4)
Pengendalian lalu lintas unggas, (5) Surveilen dan penelusuran, (6) Pengisian
kandang kembali (7) Stamping out unggas di daerah tertular baru, (8) Peningkatan
kesadaran masyarakat, (9) Serta monitoring dan evaluasi (Indriani et al. 2005).
Namun sebelum langkah-langkah pengendalian tersebut dilakukan,
diperlukan suatu langkah diagnosa yang tepat, untuk menentukan bahwa wabah

penyakit yang muncul memang benar-benar wabah penyakit avian influenza, serta
untuk mengetahui strain atau subtipe virusnya. Diagnosa penyakit avian influenza
meliputi diagnosa klinis, yaitu dengan melihat gejala klinis yang muncul dan
diagnosa laboratorium, untuk mengidentifikasi agen (virus) yang menyebabkan
wabah. Kedua diagnosa tersebut bersifat saling melengkapi dan saling
mendukung, akan tetapi diagnosa laboratorium memiliki peranan yang lebih
penting, sebab berdasarkan hasil diagnosa laboratorium ini dapat diketahui secara
pasti jenis penyakit yang sedang muncul. Menurut Davis et al. (1980), diagnosa
laboratorium berguna untuk menentukan keberadaan agen dalam komunitas untuk
menentukan tipe spesifiknya dan untuk menyelesaikan studi epidemiologi.
Dalam diagnosa laboratorium penyakit avian influenza, uji serologis
merupakan uji yang sering digunakan, uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi
isolat virus guna mengetahui strain atau subtipe virus yang telah diisolasi dari
lapangan. Suatu laboratorium harus memiliki antisera (antibodi) standar yang
dipersiapkan untuk melawan antigen yang diisolasi dari setiap hemaglutinin dan
neuraminidase yang dapat digunakan dalam uji imunodifusi untuk menentukan
subtipe virus (OIE 2007). Antisera standar juga digunakan dalam uji-uji serologis
yang

lain

untuk

mengidentifikasi

isolat

virus

diantaranya

dengan

uji

imunohistokimia.
Antibodi poliklonal atau antiserum poliklonal standar untuk avian
influenza dapat diperoleh dengan cara melakukan vaksinasi avian influenza pada
hewan coba. Antibodi poliklonal adalah antibodi yang secara khas dihasilkan dari
imunisasi pada hewan yang sesuai, dan hewan yang sering digunakan untuk
menghasilkan antibodi poliklonal antara lain adalah marmot (Cavia porcellus)
(Wikipedia1 2007). Penggunaan marmot (Cavia porcellus) dalam memproduksi
antibodi poliklonal untuk membuat antisera standar avian influenza memiliki
banyak keuntungan. Selain dapat menghasilkan antibodi poliklonal dengan cukup
baik, marmot adalah hewan yang memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil,
sehingga murah dan mudah dalam pemeliharaannya. Marmot juga mudah
dihandel dan tidak menggigit sehingga akan mempermudah proses pengambilan
darah (serum).

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode produksi antibodi
poliklonal anti virus avian influenza (H5N1 dan H5N2) pada marmot (Cavia
porcellus) guna mendapatkan antisera standar untuk Avian Influenza (H5N1).

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang produksi
antibodi poliklonal yang dihasilkan dari masing-masing vaksinasi menggunakan
vaksin AI subtipe H5N1 dan H5N2, sehingga nantinya diketahui jenis subtipe
vaksin yang paling efektif dalam memproduksi antisera terhadap virus AI H5N1
sebagai penyebab wabah flu burung di indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Avian Influenza (AI)


Flu burung atau avian influenza (AI) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan diameter 90-120 nanometer
(Soejoedono dan Handharyani 2005). Menurut Patu (2007), penyakit influenza
pada unggas (avian influenza/AI) atau flu burung adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus influenza tipe A dari family Orthomyxomiridae, yang dapat
menimbulkan gejala gangguan pernafasan pada unggas, dari ringan (low
pathogenic) sampai pada yang bersifat fatal (highly pathogenic).
Avian influenza terbagi atas highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan
low pathogenic avian influenza (LPAI). Penyakit HPAI ini terdaftar sebagai
penyakit daftar A pada OIE manual (Damayanti et al. 2005). Dan menurut
CIDRAP (2007), OIE mengklasifikasikan avian influenza sebagai HPAI atau
LPAI berdasarkan kriteria berikut :
1. Virus HPAI memiliki intravenous pathogenicity index (IVPI) pada ayam
berumur 6 minggu lebih besar dari 1,2, atau sebagai alternatif,
menyebabkan mortalitas paling tidak 75 % pada ayam berumur empat
sampai delapan minggu yang diinfeksi secara intravena. Virus H5 dan H7
yang tidak mempunyai IVPI lebih besar dari 1,2, atau menyebabkan
mortalitas kurang dari 75 % pada uji letalitas, harus dirunut untuk
mengetahui urutan asam amino dasar yang ada pada tempat pembelahan
molekul hemaglutinin, jika motif asam amino sama dengan yang teramati
pada isolat HPAI yang lain, isolat yang diuji harus dipertimbangkan
sebagai HPAI.
2. LPAI adalah semua virus infuenza A subtipe H5 dan H7 yang bukan
HPAI.
Avian influenza yang harus dilaporkan didefinisikan oleh OIE sebagai
infeksi pada unggas yang disebabkan oleh virus avian infuenza subtipe H5 dan H7
atau oleh virus avian influenza manapun dengan intravenous pathogenicity index
(IVPI) lebih besar dari 1,2 atau menunjukkan mortalitas lebih dari 75 % (CIDRAP
2007).

Virus

influenza

merupakan

nama

generik

dalam

keluarga

Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan


perbedaan sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya (Harder dan
Werner 2005). Virus influenza A menginfeksi burung, kuda, babi, mink, anjing
laut, dan ikan paus, dan juga manusia; virus infuenza B hanya patogen pada
manusia. Virus influenza A dari babi atau burung dan manusia mengalami
penataan kembali genetiknya pada manusia, babi, atau unggas untuk
menghasilkan subtipe baru (perubahan antigenik), yang menyebabkan pandemik
influenza pada manusia (Fenner et al. 1995).
Determinan antigenik utama dari virus influensa A dan B adalah
glikoprotein transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan neuroaminidase (N
atau NA), yang mampu memicu terjadinya respon imun dan respon yang spesifik
terhadap subtipe virus (Harder dan Werner 2005). Sampai saat ini berdasarkan
struktur HA terdapat 16 subtipe (varian), H1-H16 dan berdasarkan NA terdapat 9
subtipe, N1-N9 (OIE 2005). Dengan demikian virus influenza mempunyai 144
subtipe kemungkinan.
Frekuensi variasi antigenik diantara virus avian influenza yang tinggi
terjadi dalam dua cara, drift dan shift (Calnek 1997). Pada antigenic drift terjadi
perubahan asam amino yang minimal pada protein HA dan NA virus, namun tidak
menyebabkan terbentuknya virus subtipe baru, tetapi bisa menyebabkan epidemik.
Antigenic shift adalah perubahan yang mendadak dimana seluruh RNA virus
diganti oleh RNA baru, sehingga terbentuk virus subtipe baru (Rahardjo 2004).

2.1.1 Diagnosa Avian Influenza


Diagnosa penyakit flu burung menurut Ditjennak (2005) adalah sebagai
berikut :
1.

Diagnosa lapangan dengan melihat gejala klinis, yaitu : jengger, pial, kulit
perut yang tidak ditutupi bulu berwarna biru keunguan (sianosis); kadangkadang ada cairan dari mata dan hidung; pembengkakan di daerah muka
dan kepala; pendarahan di bawah kulit (sub kutan); pendarahan titik
(ptekie) pada daerah dada, kaki, dan telapak kaki; kematian tinggi.

2.

Jika dilakukan bedah bangkai akan tampak : pendarahan subkutan, bintikbintik pendarahan pada otot dan jaringan lemak; pendarahan pada organ
trakhea, pankreas, dan peradangan pada usus, hati dan limpa; bintik-bintik
pendarahan merata pada ovarium, serta pendarahan pada kaki yang sering
diikuti edema.

3.

Diagnosa Laboratorium
Sampel diambil dari unggas hidup, unggas yang memperlihatkan gejala
klinis dan unggas yang mati. Preparat ulas/sampel swab kloaka, trakhea,
atau feses segar dan serum diambil dari unggas yang masih hidup. Dari
unggas yang mati, dilakukan pemeriksaan jaringan saluran pencernaan
(proventrikulus, intestinum, caeca tonsil) dan jaringan saluran pernafasan
(trakhea dan paru-paru). Pengiriman sampel harus dijaga dalam keadaan
dingin (tidak beku) dan dikirimkan ke Balai Besar Veteriner (BBVet),
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional terdekat dan
Balai Penelitian Veteriner (Balitvet).
Menurut OIE (2005), teknik diagnostik untuk avian influenza meliputi,

identifikasi agen, penilaian patogenisitas, uji serologis, serta pengembangan


diagnostik melalui deteksi antigen dan deteksi RNA secara langsung.

2.1.2 Vaksinasi Avian Influenza


Pemberian vaksin avian influenza

tidak

hanya

bertujuan

untuk

memberikan perlindungan secara individual atau kelompok terhadap infeksi baru,


tetapi juga untuk mengurangi ekskresi virus yang menginfeksi (Indriani et al.
2005). Vaksinasi juga dapat digunakan baik sebagai alat untuk mendukung
pemberantasan atau sebagai alat untuk mengendalikan penyakit dan mengurangi
beban yang diakibatkan oleh virus di lingkungan (FAO 2004 dalam CIDRAP
2007).
Tiga bidang kategori strategi vaksinasi flu burung menurut FAO (2004)
dalam CIDRAP (2007) adalah sebagai berikut :
1. Vaksinasi dalam respon terhadap out break menggunakan pendekatan ring
vaksinasi atau vaksinasi yang hanya didisain untuk unggas beresiko tinggi,
pendekatan ini digunakan dan diikuti dengan culling unggas terinfeksi.

2. Vaksinasi dalam respon terhadap trigger, misalnya informasi survailen


membuktikan bahwa HPAI telah masuk ke dalam suatu wilayah,
pendekatan ini dapat dilakukan dalam situasi dengan potensi untuk
meningkatkan biosekuriti terbatas.
3. Vaksinasi dasar awal, misalnya vaksinasi unggas selama

pengisian

kembali pada farm dalam area yang sebelumnya terinfeksi.


Menurut Direktorat Kesehatan Hewan (2005) pelaksanaan vaksinasi yang
efektif untuk flu burung adalah dengan menggunakan vaksin inaktif. Ada dua
jenis yaitu : vaksin inaktif homolog (galur vaksin yang digunakan sama dengan
galur yang ada di lapangan, misalnya H5N1) dan vaksin inaktif heterolog (galur
vaksin yang digunakan memiliki antigen H (Hemaglutinin) yang sama dengan
kasus di lapangan, tetapi antigen N (Neuraminidase) yang berbeda, misalnya
H5N2).
Aspek positif dari vaksin inaktif adalah proteksi klinis yang luas, dapat
dipergunakan untuk semua spesies unggas, aman, yaitu standar vaksin mudah
dikontrol, serta tidak direkomendasikan untuk unggas sebelum umur 8-10 hari.
Aspek

negatifnya

konsentrasi

HA

tidak

terstandarisasi,

beresiko

bila

menggunakan high pathogenic, diperlukan booster, dan pengawasan yang lebih


kompleks dengan antibodi berbeda-beda untuk AGPT, HA dan ELISA (Rahardjo
2004)
2.2 Marmot (Cavia porcellus)
2.2.1 Sejarah Marmot
Ketika orang Eropa pertama kali datang di Amerika Selatan, mereka
menemukan marmot yang berasal dari barat daya Venezuela, dipelihara sebagai
hewan domestikasi oleh orang yang tinggal di daearah ini. Selanjutnya pedagang
membawa Cavia porcellus ke Eropa. Orang Eropa memberi nama guinea pig
karena mereka percaya bahwa hewan ini berasal dari Guinea. Spesies ini tidak
ditemukan di alam liar, marmot yang telah didomestikasi sekarang ditemukan di
seluruh dunia dalam keadaan dipelihara (Schober 1999). Dalam Wikipedia2
(2007), nama Cavia porcellus berasal dari bahasa latin, dengan porcellus adalah
babi kecil. Cavia adalah bahasa latin baru yang di peroleh dari cabiai, nama

binatang dalam bahasa suku Galibi penduduk asli Guyana Perancis. Cabiai
mungkin adalah adaptasi dari bahasa Portugis avia (savia) yang diturunkan dari
kata Tupi sauja, yang berarti tikus

2.2.2 Klasifikasi Marmot


Menurut Schober (1999) dan Wikipedia2 (2007), klasifikasi ilmiah marmot
adalah sebagai berikut
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Subphylum

: Vertebrata

Class

: Mammalia

Order

: Rodentia

Suborder

: Hystricomorpha

Family

: Caviidae

Subfamily

: Caviinae

Genus

: Cavia

Species

: Cavia porcellus

2.2.3 Karakteristik Fisik


Cavia porcellus (Gambar 1) adalah binatang pendek gemuk dengan kaki
pendek. Hewan dewasa panjangnya antara 200 sampai 500 mm. Mantel (rambut)
marmot dapat bervariasi dalam warna, panjang, dan tekstur. Beberapa warna yang
umum adalah putih, hitam, merah, krem, lilac, dan coklat atau beberapa
kombinasi dari warna-warna ini. Marmot tidak mempunyai ekor eksternal,
mempunyai empat jari pada kaki depan dan tiga jari pada kaki belakang, dan
mempunyai kuku yang tajam pada setiap jarinya (Schober 1999). Menurut
Herman (2002), marmot memiliki tubuh yang kuat dan bugar, kepala besar,
telinga dan kaki pendek, ekor sangat kecil, dan ukuran tubuhnya kecil dengan
panjang dari kepala dan badan 225 sampai 355 mm. Marmot betina mempunyai
sepasang mammae.

Gambar 1 Marmot (Cavia porcellus)


Sumber : Wikipedia (2007)

2.2.4 Kebutuhan Pakan


Menurut Herman (2002), kebutuhan pakan marmot yang diperinci oleh
NRC (1998) mencakup energi, asam amino, protein, lemak, mineral, dan vitamin.
Ransum tersebut mempunyai komposisi lebih dari 18 % protein, 3 kkal/gram
energi dapat dicerna, 19 % serat kasar, 0,8-1,0 % kalsium, dan 0,4-0,7 % pospor.
Vitamin C dibutuhkan 200 mg per kilogram ransum.
Marmot memakan sebagian besar jenis sayuran, tetapi mereka memilih
sayur-sayuran berdaun hijau seperti pucuk wortel dan selada. Seperti halnya
manusia, marmot kekurangan kemampuan untuk mensintesis vitamin C, karena
itu mereka harus mendapatkan banyak vitamin C dalam dietnya, jika kekurangan
maka hewan akan mengalami penyakit kulit (Schober 1999).

2.2.5 Tingkah Laku/Kebiasaan Hidup Marmot


Marmot adalah hewan yang sangat bersosial, yang memilih hidup dalam
kelompok terdiri dari lima sampai sepuluh ekor. Kadang-kadang kelompokkelompok ini bergabung untuk membentuk satu koloni. Marmot adalah hewan
yang menampilkan berbagai suara dengan beberapa tipe vokalisasi yang lantang.
Marmot merupakan hewan peliharaan yang baik, terutama untuk anak-anak,
karena tipikalnya tidak menggigit, bahkan ketika dihandel dengan tidak baik
(Schober 1999). Marmot dapat mempelajari jalur komplek menuju makanan,

hewan ini dapat mengingat dengan akurat jalur yang dipelajari untuk jangka
waktu berbulan-bulan (Wikipedia2 2007).

2.2.6 Nilai Fisiologis Marmot


Nilai fisiologis marmot menurut Malole dan Pramono (1989) tersaji pada
Tabel 1.

Tabel 1 Nilai Fisiologis Marmot (Malole dan Pramono 1989)


Aspek fisiologis

Nilai

Berat badan dewasa

900-1200 g (jantan), 700-900 g (betina)

Luas permukaan tubuh

- 400 g : 564 cm2


- 850 g : 720 cm2

Temperatur tubuh

37.2-39.5 C

Harapan hidup

4-5 tahun

Konsumsi makanan

6 g/100 g/ hari

Konsumsi Air

10 ml/100 g/hari

Frekuensi denyut jantung

230-380 kali per menit

Frekuensi respirasi

42-104 kali per menit

Penggunaan oksigen

0,76-0,83 ml/g/jam

Volume darah

67-92 ml/kg

Serum protein

4,6-6,2 g/dl

Albumin

2,1-3,9 g/dl

Globulin

1,7-2,6 g/dl

Serum glukosa

60-125 g/dl

Serum lipid

95-240 mg/dl

Kalsium dalam serum

3,0-7,6 mg/dl

Fosfat dalam serum

5,3-12 mg/dl

2.2.7 Habitat
Cavia porcellus secara alami tidak ditemukan di alam liar, hewan ini
merupakan turunan dari beberapa spesies cavia yang terkait dekat, seperti Cavia
aperea, Cavia fulgida, dan Cavia ischudii yang secara umum masih ditemukan di

beberapa wilayah di Amerika Selatan (Wikipedia2 2007). Sebagai hewan


kesayangan marmot secara normal dipelihara dalam sangkar atau akuarium
dengan serutan kayu sebagai tempat tidur. Di Amerika Selatan marmot digunakan
sebagai sumber makanan. Marmot dapat dipelihara dalam pondok khusus atau
dibiarkan bebas berlari dan mengais-ngais (Schober 1999). Sedangkan menurut
Herman (2002), habitat marmot meliputi daerah berbatu-batu, savana, tepi hutan,
dan rawa-rawa. Markas hidupnya di daerah kering dengan rumput yang kasar dan
semak yang tersebar.

2.2.8 Kepentingan untuk Manusia


Marmot telah digunakan sebagai sumber makanan selama ratusan tahun di
negara Ekuador, Peru, dan Bolivia. Marmot juga telah menjadi sumber tak ternilai
dalam penelitian laboratorium dimana mereka digunakan dalam bidang nutrisi,
patologi, toksikologi, isolasi bakteri, dan produksi serum (Schober 1999). Marmot
digunakan untuk berbagai penelitian dan diagnosa, antara lain anafilaksis,
hipervitaminosis vitamin D, ketoasidosis, optik neuropathi, amoebiasis, scrobutus,
leukemia, ulceratif colitis, penyakit menular, imunologi, fungsi pendengaran,
berbagai aspek nutirisi dan lainnya (Malole dan Pramono 1989)
Marmot (disebut cuy, cuye, curi) awalnya didomestikasi untuk dagingnya
di Andes. Secara tradisi hewan ini dipesan untuk daging seremonial, tetapi sejak
1960-an hewan ini menjadi lebih dari makanan pokok. Ini berlanjut menjadi
bagian utama dari diet di Peru dan Bolivia, terutama di dataran tinggi Gunung
Andes, hewan ini juga dikonsumsi di beberapa daerah di Ekuador dan Columbia
(Wikipedia2 2007).

2.3 Antibodi
Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai
akibat interaksi antara sel limfosit B peka antigen dan antigen khusus (Tizard
1982). Antibodi adalah suatu protein yang dihasilkan oleh suatu sel dalam tubuh
kita (sel limfosit B) sebagai respon terhadap adanya antigen yang masuk ke dalam
tubuh. Antigen adalah senyawa kimia, zat asing atau mikroba yang asing bagi
tubuh dan mampu membangkitkan respon kekebalan.

Antibodi mempunyai ciri khas, yaitu spesifik terhadap jenis tertentu dari
antigen. Ribuan atau jutaan jenis antigen yang masuk akan merangsang
terbentuknya ribuan atau jutaan jenis antibodi. Setiap detik sekitar 2000 molekul
antibodi diproduksi oleh sel limfosit B (Anonimus 2007). Antibodi memiliki
kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat penghancuran
dan

penyingkirannya

(Tizard

1987).

Pengikatan

oleh

antibodi

akan

menginaktifkan virus, kuman dan mikroorganisme lain untuk melekat pada sel
jaringan tubuh yang dituju, dan di luar tubuh antibodi juga dapat berikatan dengan
antigen yang sesuai, sehingga reaksi antigen antibodi ini dapat digunakan dalam
pembuatan diagnosa untuk mendeteksi adanya antigen spesifik (Mulyanto 1994).
Antibodi beredar dalam darah dan cairan tubuh lainnya (Mulyanto 1994).
Antibodi terdapat dalam konsentrasi tertinggi dan mudah diperoleh dalam jumlah
banyak untuk analisis dalam serum darah. Molekul antibodi adalah globulin,
umumnya dikenal sebagai imunoglobulin (yang dapat disingkat menjadi Ig).
Istilah imunoglobulin dipakai untuk menggambarkan semua protein yang
mempunyai aktivitas antibodi maupun beberapa protein yang mempunyai struktur
imunoglobulin yang khas tetapi tak memiliki aktivitas antibodi (Tizard 1987).
Menurut Outteridge (1985), terdapat tiga teori pembentukan antibodi,
yaitu :
1. Hipotesis Ehrlichs Side-Chain
Teori seleksi awal tentang pembentukan antibodi diusulkan oleh Paul
Ehrlich (1900), teori tersebut menyatakan bahwa molekul toksin (antigen)
berkombinasi dengan side-Chain atau molekul antitoksin pada permukaan sel
dan merangsang sel untuk menghasilkan lebih banyak side-chains, yang
muncul dalam serum sebagai antibodi antitoksin. Gagasan awal ini tidak
dibuang jauh dalam konsep modern tentang pembentukan antibodi, tetapi
kemudian gagasan ini tidak diterima karena kerja dari Landsteiner yang
mendemonstrasikan pembentukan antibodi melawan material non-biologis
seperti kelompok dinitrophenyl (DNP).
2. Hipotesis Pauling-Haurowitz Template (1935-1955)
Teori template mengusulkan bahwa antigen memerintahkan sel untuk
memproduksi antibodi spesifik dengan membuat ?-globulin non-spesifik

disekitar faktor penentu antigenik. Hal ini diusulkan terjadi selama sintesis
protein, tetapi berbagai kesulitan ditemui dalam menjelaskan bagaimana ?globulin diinstruksi oleh antigen yang tidak dapat memperoleh akses ke
bagian dalam dari sel, seperti bakteri. Berbagai hipotesa diajukan seperti,
pemrosesan antigen oleh makrofag untuk memproduksi fragmen kecil yang
memperoleh akses ke limfosit. Namun berbagai kesulitan ditemui ketika
dinilai bahwa urutan asam amino primer dari antibodi mendeterminasikan
struktur proteinnya. Bahkan secara lengkap antibodi dibeberkan dapat dibuat
berlipat ganda dalam keadaan tanpa antigen.
3. Teori Seleksi Klonal (1988-Saat ini)
Teori pembentukan antibodi yang terpilih dikemukakan oleh Jerne (1955).
Teori ini mengusulkan bahwa reseptor untuk antigen dihasilkan dalam sel
dalam keadaan tanpa antigen. Ide ini dikembangkan oleh Burnet (1957), yang
mengusulkan bahwa sel ini sebelum meninggalkan reseptor secara selektif
dirangsang oleh antigen spesifik untuk membelah dan berproliferasi menjadi
klon sel pembentuk antibodi spesifik. Hal ini menjadi hipotesis seleksi klonal.
Dalam terminologi modern, terdapat reseptor pada sel B yang terpilih oleh
antigen, dan ini berarti bahwa setiap sel B ditugaskan untuk memproduksi
antibodi yang sama yang hadir pada membran sel.

2.3.1 Antibodi Poliklonal


Antibodi serum adalah antibodi poliklonal, karena antibodi ini dihasilkan
oleh turunan dari beberapa sel B yang mengenali epitop berbeda pada antigen
yang sama (Decker 2006). Antibodi poliklonal dihasilkan dengan cara
menyuntikkan antigen ke dalam tubuh hewan lalu memurnikan antibodi dari
serum darah. Antibodi ini umumnya bereaksi dengan banyak epitop sehingga
kurang spesifik dibandingkan dengan antibodi monoklonal (Siagian 2002).

2.3.2 Produksi Antibodi Poliklonal


Antibodi spesifik dapat dibuat secara alamiah atau secara buatan melalui
hibridoma. Pembuatan antibodi secara alamiah dilakukan dengan imunisasi pada
hewan, yaitu dengan menyuntikkan antigen yang kita inginkan. Sistem kekebalan

tubuh akan mengenali dan bereaksi terhadap antigen. Sel limfosit yang
bersangkutan kemudian memperbanyak diri dan berkembang menjadi sel plasma
yang menghasilkan antibodi. Dalam hal ini antibodi yang terbentuk merupakan
antibodi poliklonal dengan komposisi bervariasi dalam serum, baik sebagai akibat
imunisasi berulang, maupun akibat variasi yang terjadi selama reaksi kekebalan
(Mulyanto 1994).
Hewan yang sering digunakan untuk produksi antibodi poliklonal antara
lain, ayam, domba, marmot, hamster, kuda, tikus, dan kambing. Pemilihan hewan
harus berdasarkan pada : 1) Jumlah antibodi yang dibutuhkan, 2) Hubungan antara
donor antigen dan resipien penghasil antibodi (secara umum hubungan filogenetik
yang lebih jauh, mempunyai potensi yang lebih baik untuk respon antibodi titer
tinggi), 3) Karakteristik penting antibodi yang akan dibuat (Wikipedia1 2007).
Beberapa manfaat antibodi poliklonal menurut Anonimus (2007) antara
lain : 1) Antibodi poliklonal sering mengenali banyak epitop, membuat antibodi
ini lebih toleran terhadap perubahan kecil di alam dari antigen. Antibodi
poliklonal sering menjadi pilihan untuk deteksi protein terdenaturasi, 2) Antibodi
poliklonal dapat dihasilkan pada berbagai spesies, antara lain kelinci, domba,
kambing, ayam dll, memberikan pengguna banyak pilihan dalam design
eksperimen, 3) Antibodi poliklonal kadang-kadang digunakan ketika antigen
alami pada spesies tak teruji tidak diketahui, 4) Antibodi poliklonal memiliki
sasaran banyak epitop, dan secara umum memberikan deteksi yang kuat.
Imunoglobulin G, IgG adalah kelas imunoglobulin yang terdapat dalam
konsentrasi tinggi dalam serum darah serta memainkan peran utama dalam
mekanisme tanggap kebal yang diperantarai oleh antibodi. Karena ukurannya
yang relatif kecil maka zat itu lebih mudah keluar dari pembuluh darah
dibandingkan molekul imunoglobulin yang lain, dan karena itu cepat mengambil
peran utama dalam mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan
tubuh. IgG dapat melakukan opsonisasi, aglutinasi dan presipitasi antigen, tetapi
hanya dapat mengaktivasi kaskade komplemen bila telah terkumpul cukup banyak
molekul dalam konfigurasi yang tepat pada permukaan antigen (Tizard 1987).
Konsentrasi Imunoglobulin serum pada hewan piara dan manusia ditunjukkan
pada Tabel 2.

Tabel 2 Konsentrasi Imunoglobulin Serum pada Hewan Piara dan Manusia


(Tizard 1987)
Spesies

Tingkat Imunoglobulin (mg/100 ml)


IgG

IgM

IgA

IgG (T)

IgG (B)

IgE

Kuda

1000-1500

100-200

60-350

100-1500

10-100

Sapi

1700-2700

250-400

10-50

Domba

1700-2000

150-250

10-50

Babi

1700-2000

100-500

50-500

Anjing

1000-2000

70-270

20-150

2.3-42

Ayam

300-700

120-250

30-60

Manusia

800-1600

50-200

150-400

0.002-0.05

Uji yang mengukur tanggap kebal humoral terbagi dalam tiga kategori
yaitu : Yang paling peka (dari segi jumlah antibodi yang dapat ditemukan) adalah
1) Uji pengikatan primer, yang mengukur langsung interaksi antara antigen
dengan antibodi. Sebaliknya, 2) Uji pengikatan sekunder mengukur akibat
pembentukan imunokompleks in vitro. Karena itu secara teoritis uji ini kurang
peka daripada uji pengikatan primer, tetapi sangat mudah untuk dilakukan. 3) Uji
tersier mengukur akibat tanggap kebal in vivo. Dalam menentukan efek protektif
suatu antibodi pada hewan, uji tersier tidak hanya mengukur kombinasi antara
antigen dan antibodi tetapi juga kemampuan opsonisasi kompleks ini maupun
kemampuan fagositosis dan penghancuran sel sistem fagositik mononuklir (Tizard
1987). Jumlah antibodi terkecil yang dapat ditemukan dengan uji imunologis
terpilih ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah Antibodi Berdasarkan Uji Imunologis (Tizard 1987)


Uji

g protein/ml

Uji Pengikatan Primer


Elisa

0,0005

Uji kadar radioimun kompetitif

0,00005

Uji Pengikatan Sekunder


Uji cincin

18

Presipitasi Gel

30

Aglutinasi bakteri

0,05

Hemaglutinasi pasir

0,01

Penghambatan hemaglutinasi

0,005

Uji pengikatan komplemen

0,05

Netralisasi virus

0,00005

Aktifitas bakterisidal

0.00005

Netralisasi antitoksin

0,06

Uji Tersier (In Vivo)


Anafilaksis kulit pasif

0,02

BAB III MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2007 sampai bulan Mei
2007, bertempat di Laboratorium Imunologi Veteriner Departemen Ilmu Penyakit
Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.

3.2 Hewan Percobaan


Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan
ekor marmut (Cavia Porcellus) dewasa yang dipelihara di Kandang Rawat Inap
Rumah Sakit Hewan (RSH) Institut Pertanian Bogor. Marmut tersebut berasal dari
PT Biofarma.

3.3 Alat dan Bahan


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, pakan
marmot (pelet), kapas, alkohol 70 %, vaksin AI inaktif subtipe H5N1 dan H5N2
dengan minyak adjuvan, serum darah marmot, suspensi antigen virus standar AI
H5N1 (4HAU), suspensi sel darah merah 0,5 %, NaCl fisiologis (0,85 %),
polyethilen glycol 6000, agarose, Na azide, PBS, dan akuades. Alat-alat yang
digunakan antara lain, kandang pemeliharaan marmot, spuit 1 ml, spuit 3 ml,
microtube, microplate, mikro pipet, erlenmeyer, gelas obyek, puncher,
mikrowave, neraca, dan pipet Mohr.

3.4 Metode Penelitian


3.4.1 Persiapan Kandang dan Pakan Hewan Percobaan
Delapan ekor marmot ditempatkan pada dua buah kandang (kandang A,
disebut kelompok A dan kandang B, disebut kelompok B), sehingga masingmasing kandang berisi empat ekor. Kemudian masing-masing kandang diberi
identitas sesuai dengan perlakuan yang akan diberikan, Air minum diberikan
secara ad libitum, sedangkan pakan yang diberikan adalah konsentrat pakan ikan
yang dikombinasi dengan hijauan. Kandang dilengkapi dengan alas yang

berfungsi untuk menampung feses dan urin. Setiap hari alas tersebut dibersihkan
untuk menjaga kebersihan, sehingga kesehatan marmot terjaga dan marmot
merasa nyaman. Kandang pemeliharaan marmot ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Kandang pemeliharaan marmot.

3.4.2 Vaksinasi
Marmot kelompok A divaksinasi dengan vaksin AI subtipe H5N1 dan
marmot kelompok B divaksinasi dengan vaksin AI subtipe H5N2. Kedua vaksin
yang digunakan tersebut adalah vaksin inaktif dalam adjuvan. Vaksin tersebut
diberikan dengan dosis 1 ml secara subkutan. Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga
kali dengan interval masing-masing satu bulan. Setelah diperoleh titer antibodi
yang cukup, hewan divaksinasi kembali dengan antigen tanpa adjuvan melalui
rute intravena (IV) dengan dosis 0,1 ml.

3.4.3 Pengambilan Darah dan Pemisahan Serum


Pengambilan darah dilakukan dua minggu setelah vaksinasi kedua, satu
minggu setelah vaksinasi ketiga dan satu minggu setelah vaksinasi dengan antigen
tanpa ajuvan. Pengambilan darah dilakukan melalui vena auricularis di daerah
telinga. Karena vena tersebut ukurannya sangat kecil, sehingga jarum suntik tidak
cukup untuk masuk ke dalamnya, maka pengambilan darah dilakukan dengan cara

menusuk vena tersebut dengan jarum suntik, kemudian darah yang keluar dihisap
dengan spoit 3 ml, sampai didapat darah sebanyak satu sampai dua ml. Spoit
tersebut kemudian ditutup kembali dan diberi tanda sesuai jenis vaksin yang
digunakan.
Setelah didapat cukup darah, spoit ditarik sampai ma ksimal, dan
diletakkan dengan posisi miring. Hal ini bertujuan untuk memperbesar luas
permukaan darah, sehingga serum akan lebih mudah keluar. Selanjutnya serum ini
disimpan dalam refrigerator pada suhu 4 oC selama 24 jam, kemudian serum
dipisahkan dengan mengambil cairan bening yang telah memisah. Serum ini
kemudian dimasukkan ke dalam microtube dan diberi tanda sesuai dengan jenis
vaksin yang digunakan. Apabila serum yang didapat warnanya masih merah,
maka harus disentrifugasi sampai didapat serum yang benar-benar jernih dan tidak
lagi berwarna merah.
Serum yang diperoleh dari pengambilan darah pertama (dua minggu
setelah vaksinasi ke dua) selanjutnya disebut serum I, serum dari pengambilan
darah ke dua (satu minggu setelah vaksinasi ke tiga) disebut serum II, dan serum
dari pengambilan darah terakhir (satu minggu setelah vaksinasi dengan antigen
tanpa adjuvan) disebut serum III.

3.4.4 Pengujian Serum


Serum yang telah didapat harus segera diuji, apabila digunakan pada lain
waktu, harus disimpan dalam freezer. Uji yang dilakukan terhadap serum ini
adalah untuk mengukur titer antibodi terhadap antigen virus AI H5N1, yaitu
dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Dan untuk menguji tingkat kehomologan
antibodi dalam serum tersebut terhadap antigen AI H5N1, yaitu dengan uji agar
gel presipitasi (AGP).
A. Prosedur Uji Hemaglutinasi inhibisi (HI)
Uji HI yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode beta
dan mikrotitrasi, dengan urutan sebagai berikut :
1. Sebanyak 25 l NaCl fisiologis (0,85 %) dimasukkan kedalam lubanglubang microplate yang terdiri dari 96 lubang dengan menggunakan
mikropipet.

2. Pada jajaran lubang pertama ditambahkan 25 l serum-serum yang akan


diuji dan serum positif sebagai kontrol (positif) kemudian dilakukan
pengenceran serial kelipatan dua dari lubang pertama hingga lubang ke
sebelas, sedangkan lubang ke dua belas dipergunakan sebagai kontrol sel
darah merah.
3. Sebanyak 25 l antigen virus AI sebesar 4 HAU ditambahkan pada setiap
lubang, kecuali lubang ke dua belas ditambah dengan 25 l NaCl fisiologis
dan selanjutnya dicampur dengan cara menggoyang-goyangkan secara
perlahan selama 30 detik kemudian didiamkan selama 30 menit pada suhu
ruang.
4. Sebanyak 25 l suspensi sel darah merah (SDM) ayam 0,5 % ditambahkan
ke dalam setiap lubang, kemudian dicampur kembali dan didiamkan
selama 30 menit pada suhu ruang.
Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran serum tertinggi yang
masih memberikan hambatan (inhibisi) pada antigen 4 HAU. Inhibisi
ditetapkan dengan melakukan pengamatan sel darah merah (SDM) pada
lubang-lubang cawan mikro, bila cawan mikro dimiringkan terlihat SDM
membentuk tetesan air mata serupa dengan SDM kontrol.
Rataan titer antibodi hasil uji HI dihitung dengan menggunakan
Geometric Mean Titer (GMT), dengan rumus :

Log2 GMT = (Log2 t1)(S1) + (Log2 t2)(S2) + ... + (Log2 tn)(Sn)


N
Keterangan :
N

= Jumlah contoh serum yang diamati

= Titer antibodi pada pengenceran tertinggi yang masih


dapat menghambat aglutinasi sel darah merah

= Jumlah contoh serum yang bertiter t

= Sampel ke-n

B. Prosedur Uji Agar Gel Presipitasi (AGP)


Prosedur uji Agar Gel Presipitasi adalah sebagai berikut :
1. Pertama-tama disiapkan bahan-bahan agar sebagai berikut : agarose 0,4 g,
polietilen glikol 6000 1,2 g, Na azide 0,01 g, 25 ml akuades, dan 25 ml
PBS.
2. Semua bahan-bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer
yang tahan panas lalu dipanaskan dengan mikrowave pada suhu 100 oC
sampai mendidih dan semua bahan tersebut benar-benar homogen, yang
ditandai dengan warnanya yang jernih sempurna.
3. Kemudian disiapkan gelas obyek secukupnya, dan dengan menggunakan
pipet mohr, bahan agar yang telah dipanaskan (masih dalam keadaan
panas) dihisap sebanyak 4 ml, lalu dituang secara hati-hati di atas gelas
obyek. Langkah ini diulangi dengan gelas obyek baru, sampai semua
bahan agar habis, kemudian ditunggu sampai bahan agar pada obyek gelas
tersebut memadat.
4. Setelah agar memadat, selanjutnya dibuat lubang-lubang pada agar
tersebut dengan menggunakan cetakan (puncher) yang terdiri dari tujuh
lubang berbentuk heksagonal, dalam satu gelas obyek dapat dibuat dua
heksagonal.
5. Selanjutnya disiapkan serum yang akan diuji dan suspensi antigen virus AI
H5N1.
6. Suspensi antigen dimasukkan ke dalam lubang di bagian tengah
heksagonal sebanyak 25 l, dan serum yang akan diuji dimasukkan ke
dalam lubang-lubang pada sudut heksagonal sebanyak 25 l.
7. Masing-masing gelas obyek ditandai,

dicatat, dan digambar untuk

keperluan identifikasi.
8. Agar tersebut kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada tempat yang
lembab dan suhu ruang. Sebagai inkubator dapat digunakan kotak plastik
bertutup, dimana didalamnya diletakkan tisu yang telah dibasahi dengan
akuades, dan sterofoam sebagai alas agar diletakkan d atas tisu tersebut.

9. Setelah 24-48 jam hasil uji AGPT dapat dibaca, hasil positif ditunjukkan
dengan adanya garis putih (garis presipitasi) yang terbentuk diantara
lubang yang berisi antigen dan antibodi (serum), dan hasil positif
menunjukkan bahwa antigen dan antibodi dalam serum yang diuji tersebut
homolog.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)


Uji HI serum I terhadap antigen H5N1 menunjukkan bahwa pada dua
minggu setelah vaksinasi ke dua telah dapat dideteksi terbentuknya antibodi pada
hewan yang divaksinasi (Tabel 4). Rata-rata titer antibodi yang terukur sebesar
26,75 pada kelompok yang divaksinasi dengan vaksin H5N1, dan 2 1,5 pada
kelompok yang divaksinasi dengan vaksin H5N2. Titer antibodi pada kelompok
marmot yang divaksinasi dengan vaksin H5N2 menunjukkan adanya peningkatan
menjadi sebesar 23 setelah vaksinasi ke dua. Namun pada kelompok marmot yang
divaksinasi dengan vaksin H5N1 justru mengalami penurunan menjadi 25,75. Pada
akhir pengamatan produksi antibodi mencapai puncaknya, yaitu 28,75 pada
kelompok marmot yang divaksinasi dengan vaksin H5N1 dan 2 6,75 pada kelompok
marmot yang divaksinasi dengan vaksin H5N2.
Tabel 4 Hasil Uji Hemaglutinasi Inhibisi (Titer Antibodi) terhadap Antigen Virus
H5N1 pada Kedua Kelompok Perlakuan.
Kelompok
Sampel
Titer Antibodi pada Uji HI keHewan

Vaksin H5N1

Vaksin H5N2

(log 2)
I

II

III

11

Rata-rata

6,75

5,75

8,75

Rata-rata

1,5

6,75

Uji HI ke tiga dilakukan terhadap serum yang diambil pada satu minggu
setelah vaksinasi dengan antigen H5N1 dan H5N2 inaktif tanpa adjuvan.
Penyuntikan antigen tanpa adjuvan dengan rute intravena ini bertujuan untuk
menggertak produksi antibodi guna mendapatkan titer antibodi yang setinggitingginya, yang selanjutnya akan dimurnikan untuk digunakan dalam penelitian
lebih lanjut.
Hasil rata-rata uji HI pertama, kedua, dan ketiga terhadap antigen H5N1,
memperlihatkan bahwa kelompok marmot yang divaksinasi dengan vaksin H5N1
memperlihatkan respon produksi antibodi yang lebih baik dibandingkan dengan
kelompok yang divaksinasi dengan vaksin H5N2, dengan capaian titer antibodi
akhirnya sebesar 28,75, yang dicapai pada satu minggu setelah penyuntikan antigen
virus H5N1 secara intravena. Sementara itu kelompok marmot yang divaksinasi
dengan vaksin H5N2 memperlihatkan produksi antibodi yang lebih rendah,
dengan capaian titer tertinggi sebesar 26,75 , yang dicapai pada satu minggu setelah
penyuntikan antigen virus H5N2 secara langsung (intravena). Hasil rata-rata dari
ketiga kali uji HI terhadap antigen H5N1, secara umum memperlihatkan adanya
peningkatan produksi antibodi dari kedua jenis vaksin yang digunakan pada tiap
periode vaksinasi, walaupun pada kelompok marmot yang divaksinasi dengan
vaksin H5N1 terjadi sedikit penurunan produksi antibodi dari hasil vaksinasi ke
dua. Rata-rata hasil uji HI pertama, ke dua, dan ke tiga terhadap antigen virus

10
9
8
7
(log 2)

Titer Antibodi Terhadap Virus H5N1

H5N1 terlihat pada Gambar 1.

H5N1

H5N2

4
3
2
1
0
I

II

III

Uji HI

Gambar 3 Grafik Hasil Rata-Rata uji HI I, II, dan III dari Dua Kelompok Marmot
yang Divaksinasi dengan Vaksin H5N1 dan H5N2.

Pada kelompok marmot yang divaksinasi dengan vaksin H5N1 produksi


antibodi sudah mencapai 26,75 pada dua minggu setelah vaksinasi, namun pada
satu minggu setelah vaksinasi ke tiga nilainya turun menjadi 25,75, kemudian pada
satu minggu setelah vaksinasi dengan antigen H5N1 tanpa adjuvan nilainya
kembali naik mencapai 28,75. Penurunan produksi antibodi pada satu minggu
setelah vaksinasi ke tiga terjadi karena pada saat vaksinasi ke tiga tersebut
dilakukan, titer antibodi dalam tubuh marmot masih tinggi. Tingginya titer
antibodi inilah yang justru menyebabkan vaksinasi ke tiga menjadi kurang efektif,
karena titer antibodi yang tinggi akan menetralisasi antigen yang berasal dari
vaksin, sehingga antigen dari vaksin tersebut menjadi tidak efektif dalam
merangsang sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi. Hasil tersebut sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indriani et al. (2005) tentang
pengembangan prototipe vaksin inaktif AI H5N1 isolat lokal. Dari penelitian
tersebut diketahui bahwa vaksinasi yang dilakukan pada ayam yang berumur satu
dan dua minggu ternyata memberikan respon antibodi yang kurang baik. Hal
tersebut disebabkan karena masih adanya pengaruh antibodi maternal (bawaan)
spesifik yang diberikan induknya, dimana antibodi tersebut baru akan sangat
rendah ketika ayam berumur tiga minggu. Indriani et al. (2005) juga menyatakan
bahwa untuk mendapatkan hasil vaksinasi yang baik dan efektif pada ayam, maka
vaksinasi sebaiknya dilakukan pada ayam yang telah berumur tiga minggu,
dimana status antibodinya mendekati nol.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan vaksinasi, terutama
jika akan dilakukan vaksinasi ulang (booster), baik untuk tujuan mendapatkan
antibodi ataupun untuk memberikan proteksi terhadap penyakit pada hewan, perlu
dilakukan kajian untuk menentukan jarak waktu antara vaksinasi satu dengan
vaksinasi berikutnya guna menjamin efektifitas dari suatu tindakan vaksinasi
dengan tetap mempertahankan status protektif (apabila tujuannya untuk
memberikan proteksi) dari antibodi dalam tubuh hewan yang akan divaksinasi.
Antibodi selalu bersifat spesifik terhadap antigen tertentu (Wibawan et al.
2003), demikian juga dalam penelitian ini, vaksinasi dengan vaksin H5N1 akan
menghasilkan antibodi poliklonal terhadap antigen H5N1, dan vaksinasi dengan
vaksin H5N2 akan menghasilkan antibodi poliklonal yang spesifik terhadap

antigen H5N2. Uji HI serum pertama dari kelompok hewan yang divaksinasi
dengan vaksin H5N2 terhadap antigen H5N2 sudah menunjukkan titer antibodi
yang tinggi, yaitu mencapai 29, dengan rata-rata sebesar 27,5. Antibodi yang
dihasilkan dari vaksinasi dengan vaksin H5N2 ini ternyata dapat bereaksi silang
terhadap antigen H5N1, hal ini ditunjukkan dari hasil uji HI serum I terhadap
antigen H5N1 pada kelompok tersebut memberikan hasil positif, dengan nilai
sebesar 21,5. Reaksi silang tersebut terjadi karena antigen yang yang digunakan
dalam vaksin memiliki kesamaan jenis protein H (hemaglutinin) terhadap antigen
yang digunakan dalam uji HI, yaitu H5. Titer antibodi yang teramati pada uji HI
pertama terhadap antigen H5N1 terbilang sangat rendah apabila dibandingkan
dengan hasil uji HI terhadap antigen H5N2. Hal tersebut disebabkan karena
antibodi yang diperoleh dari vaksinasi bukan merupakan antibodi yang spesifik
terhadap H saja, tetapi juga terdapat antibodi terhadap protein N. Menurut Lee et
al. (2006), adanya antibodi homolog terhadap protein N tertentu dapat
menyebabkan terjadinya hambatan steric dalam uji HI, antibodi terhadap protein
N juga dapat berpengaruh secara nonspesifik terhadap protein H yang mendorong
pada penghambatan nonspesifik dan kemungkinan kesalahan identifikasi isolat.
Menurut Asmara (2007) neuraminidase (N) memiliki peranan membantu virus
Avian Influenza untuk berikatan dengan membran sel inang. Sehingga adanya
antibodi homolog terhadap protein N

ini akan menyebabkan penurunan

kemampuan virus avian influenza untuk berikatan dengan sel target. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya penurunan titer antibodi dari kelompok marmot
yang divaksinasi dengan vaksin H5N2 pada uji HI terhadap antigen H5N1.
Titer antibodi dari kelompok hewan yang divaksinasi dengan vaksin H5N2
menunjukkan adanya peningkatan pada uji HI ke dua atau satu minggu setelah
vaksinasi ke tiga, menjadi sebesar 23. Pada akhir pengamatan uji HI terhadap
antigen H5N1 dari kelompok hewan yang divaksinasi dengan vaksin H5N2,
diperoleh titer antibodi yang cukup tinggi, yaitu mencapai rata-rata sebesar 26,75,
pada satu minggu setelah vaksinasi dengan antigen tanpa adjuvan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa antibodi yang dihasilkan dari vaksinasi dengan vaksin H5N2
dapat digunakan dalam pembuatan antibodi standar untuk H5N1.

4.2 Uji Agar Gel Presipitasi (AGP)


Sementara itu dari hasil uji Agar Gel Presipitasi (AGP) terhadap serum
terakhir (serum III), terlihat bahwa dari kedua kelompok marmot yang
divaksinasi dengan vaksin H5N1 maupun H5N2 mengghasilkan antibodi yang
memiliki kesesuaian yang tinggi terhadap antigen virus H5N1. Hal ini
ditunjukkan dengan terbentuknya garis presipitasi, yang terlihat sebagai garis
buram berwarna putih di antara lubang yang diisi antigen virus H5N1 dan
keempat lubang yang diisi serum uji (Gambar 4 dan Gambar 5) . Garis presipitasi
yang terbentuk merupakan hasil difusi antara antigen (H5N1) dengan antibodi
dalam serum. Namun hasil positif dari agar B (Gambar 3) pada uji tersebut tidak
berarti bahwa antibodi yang dihasilkan dari vaksinasi dengan vaksin H5N2
memang benar-benar homolog terhadap antigen H5N1 (ditinjau dari antigen H
dan N), karena di dalam uji AGP terdapat kemungkinan terjadi reaksi silang
antara antibodi terhadap suatu antigen dengan antigen lain yang berbeda (dalam
hal protein H dan N-nya). Hal tersebut terjadi karena uji AGP atau imunodifusi
dapat mendeteksi adanya antigen nukleokapsid dan matriks yang dimiliki oleh
semua virus AI tipe A (Suwarno et al. 2006). Dari hasil uji AGP tersebut dapat
diketahui bahwa virus AI H5N1 memiliki kesamaan antigen nukleokapsid dan
matriks dengan virus AI H5N2.

Ag
2

4
3

Ag

Gambar 4 Foto hasil uji AGP serum hasil vaksinasi dengan vaksin H5N1
terhadap antigen virus H5N1; (Ag) Antigen Ai H5N1, (1) Serum
H5N1 A, (2) Serum H5N1 B, (3) Serum H5N1 C, (4) Serum H5N1 D.

Ag
b

d
c

Ag
b

d
c

Gambar 5 Foto hasil uji AGP serum hasil vaksinasi dengan vaksin H5N2
terhadap antigen virus H5N1; (Ag) Antigen Ai H5N1, (a) Serum
H5N2 A, (b) Serum H5N2 B, (c) Serum H5N2 C, (d) Serum H5N2 D.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1) Produksi antibodi standar anti H5N1 pada marmot (Cavia porcellus) dapat
dilakukan dengan melakukan vaksinasi terhadap marmo t sebanyak tiga
kali dengan interval waktu satu bulan dari masing-masing vaksinasi,
menggunakan vaksin AI inaktif, kemudian menyuntikkan antigen secara
intra vena.
2) Titer antibodi yang diperoleh adalah sebesar 28,75 untuk vaksinasi dengan
menggunakan

vaksin

H5N1

dan

26,75

untuk

vaksinasi

dengan

menggunakan vaksin H5N2.

5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan IgG anti H5N1
yang murni agar diperoleh IgG yang lebih spesifik. Untuk mendapatkan respon
produksi antibodi yang baik, sebaiknya vaksinasi dilakukan pada saat titer
antibodi dalam tubuh hewan sedang tidak dalam keadaan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2007. Introduction to Antibodies. [27 April 2007].


Asmara W. 2007. Peran Biologi Molekuler dalam Pengendalian Avian Influenza
dan Flu Burung. http://www.komnasfbpi.go.id. [26 Juli 2007].
Akoso BT. 1998. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh
dan Peternak. Kanisius. Yogyakarta.
[CIDRAP]. Center of Infectious Disease Research and Policy. 2007. Avian
Influenza (Bird Flu): Agricultural and Wildlife Considerations.
http://www.cidrap.umn.edu. [27 Mei 2007].
Damayanti R, Dharmayanti NLPI, Indriani R, Wiyono A, Adjid RMA. 2005.
Monitoring Kasus Penyakit Avian Influenza Berdasarkan Deteksi Antigen
Virus Subtipe H5N1 secara Imunohistokimiawi. J Ilmu Ternak Vet
10:322-330.
Davis DB, Dulbeco R, Elsen HN, Ginsberg HS. 1980. Microbiology. Edisi ke-3.
Harper and Row Publisher. Hangerstown.
Dharmayanti NLPI, Indriani R, Damayanti R, Wiyono A, Adjid RMA. 2005.
Karakter Virus Avian Influenza Isolat Lokal Indonesia pada Wabah
Gelombang Ke Dua. J Ilmu Ternak Vet 10:217-226.
[Ditkeswan]. Direktorat Kesehatan Hewan. 2005. Pedoman Survailans dan
Monitoring Avian Influenza Di Indonesia. Direktorat Kesehatan Hewan
Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Jakarta.
[Ditjennak]. Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Prosedur Operasi Standar
Pengendalian Avian influenza Di Indonesia. Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
.
[Ditjennak]. Direktorat Jenderal Peternakan. 2005. Bagaimana Terhindar dari Flu
Burung (Avian Influenza). Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
Decker JM. 2006. Antibody. http://microvet.arizona.edu. [5 Juli 2007].
Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Root R, studdert MJ, White DO. 1995.
Virologi Veteriner. Edisi ke-2. Terjemahan oleh Harya Putra. IKIP
Semarang Press. Semarang.
Harder TC, Werner O. 2006. Avian Influenza. http://www.influenzareport.ai.htm
[5 Mei 2007].

Herman R. 2002. Marmot : Ternak Sahabat Keluarga Miskin Untuk Sumber


Daging. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor.
Indriani R, Dharmayanti NLPI, Syafriati T, Wiyono A, Adjid RMA. 2005.
Pengembangan prototipe vaksin inaktif Avian Infuenza (AI) H5N1 Isolat
Lokal dan Aplikasinya pada Hewan Coba di Tingkat Laboratorium. J Ilmu
Ternak Vet 10:315-321.
Indriani R, Dharmayanti NLPI, Wiyono A, Darminto, Parede L. 2004. Deteksi
Respon Antibodi dengan Uji Hemaglutinasi Inhibisi dan Titer Proteksi
terhadap Virus Avian Influenza Subtipe H5N1. J Ilmu Ternak Vet 9:204209.
Kuby J. 1997. Immunology. Edisi ke-3. W.H. Freeman and Company. New York.
USA.
Lee CW, Senne DA, Suarez DL. Develeopment and Application of reference
Antisera against 15 Haemaglutinin Subtypes of Avian Influenza Virus By
DNA Vaccination Of Chicken. J Clin and Vaccine Immunol 13:395-402.
Malole, M B. 1987. Virologi. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor
Bekerja Sama Dengan Lembaga Sumber Daya Informasi IPB. Bogor.
Malole MB, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Institut Pertanian
Bogor.
Meijer A, Bosman A, Kamp EEHM, Wilbrink B, Holle Mdrb, Koopman M. 2006.
Measurement of Antibodies to Avian Influenza A (H7N7) in Human By
Hemagglutination Inhibition. J Virologycal Methods 132:113-120.
Mulyadi B, Prihatini. 2005. Diagnosis Laboratorik Flu Burung (H5N1). Indones J
Clin Pathol and Med Lab 12 : 71-81.
Mulyanto. 1994. Pemanfaatan Hewan Dalam Pembuatan Antibodi Sebagai
Bahan Baku Reagensia Untuk Pemeriksaan Antigen. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Universitas Mataram. Mataram.
[OIE]. World Organization for Animal Health. 2005. Avian Influenza.
http://www.oie.int. [27 Mei 2007].
Outteridge P.M. 1985. Veterinary Immunology. Academic Press. London.
Patu I. 2007. Flu Burung Di Indonesia. http://www.infeksi.com. [27 Mei 2007].

Radji M. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, Pencegahan, dan


Penyebaran pada Manusia. Majalah Ilmu Kefarmasian 3:55-65.
Rahardjo Y. 2004. Avian Infuenza, Pencegahan, Pengendalian
Pemberantasannya. PT. Gallus Indonesia Utama. Jakarta.

dan

Schober, M. 1999. Cavia Porcellus. http://animaldiversity.ummz.umich.edu. [07


Juni 2007].
Siagian A. 2002. Keracunan Pangan oleh Mikroba. http://library.usu.ac.id. [27
Mei 2007].
Siregar AA, 1987. Petunjuk Praktikum Virologi dan Serologi. Pusat Antar
Universitas Institut Pertanian Bogor Bekerja Sama Dengan Lembaga
Sumber Daya Informasi IPB. Bogor.
Soejoedono RD, Hardharyani E. 2005. Flu Burung, Virus Flu Burung dari
Unggas terbukti Bisa Menular ke Manusia. Jangan Panik, Tetapi Tetap
Waspada. Penebar Swadaya. Depok.
Soejoedono RD, Pasaribu FH, Siregar AA, Pamungkas J, Indrawati A, Sunartatie
T, Hidayat R, Poetri ON. 2004. Petunjuk Praktikum Imunologi Veteriner.
Laboratorium Imunologi Veteriner Depertemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Kanisius.
Yogyakarta.
Suprayogi A, Satrija F. 2007. Keterkaitan Karakter Mikroklimat Wilayah dengan
Kejadian Penyakit Zoonosis : Flu burung dan Anthraks. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Stringfellow Dale A. 1983. Virology. The Upjohn Company. Michigan. USA.
Suwarno, Rahardjo AP, Fauziah, Srihanto EA. 2006. Karakterisasi Virus Avian
Influenza dengan Uji Serologik dan Reverse Transcription-Polymerase
Chain Reaction. Media Kedokteran Hewan 22:74-78.
Sudaryani T. 1994. Teknik Vaksinasi dan Pengendalian Penyakit Ayam. Penebar
Swadaya. Depok.
Tizard I. 1987. Veterinary Immunology An Introduction. WB Saunders Company.
Philadelpia.
Wagner Joseph E, Manning Patrick J. 1976. The Biology of The Guinea Pig.
Academic Press. London. UK.

Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, Tauffani TB. 2003. Diktat
Imunologi. Laboratorium Imunologi Depertemen Kitwan dan Kesmavet
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wikipedia1. 2007. Polyclonal Antibody. http://www.wikipedia.org. [5 April 2007].
Wikipedia2. 2007. Guinea pig. http://www.wikipedia.org. [5 April 2007].

LAMPIRAN

Lampiran 1

JADWAL KEGIATAN PENELITIAN

Rencana pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :


Tabel 5. Jadwal Kegiatan Penelitian
No.

Kegiatan

Bulan I

Bulan 2

Bulan 3

Bulan 4

(Februari

(Maret

(April

(Mei 2007)

2007)

2007)

2007)

Minggu ke-

Minggu ke-

Minggu ke-

Minggu ke

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1.

Persiapan

2.

Pengadaptasian

Marmot
3.

Perlakuan

4.

Pengambilan

x
x

x
x

Darah, Pemisahan
serum, uji HI, uji
AGP
5.

Penyusunan
Laporan/skripsi

x x x

You might also like