You are on page 1of 57

Artikel tengtang Syekh Siti Jenar sangat banyak bertebaran di internet.

Saya
mengumpulkan dari berbagai sumber, dan bisa jadi sumber tersebut juga mengutip
atau mengcopy paste dari sumber yang lain. Sumber itu di
antaranya www.faith.freedom.org, www.wikipedia.com, atau artikel yang ditulis
oleh Achmad Chodjin yang berjudul Mistik dan Makrifat Syekh Siti Jenar dan lainlain. Sebagai kepustakaan, sayang bila berbagai informasi penting itu terlewatkan
padahal bila kita berkeinginan untuk mempelajarinya maka kita akan mendapatkan
banyak pengetahuan tentng ilmu kebatinan. Mohon maaf bila saya tidak mampu
melacak sumber-sumber asli naskah tersebut. Kepada para penulis artikel di bawah
ini, saya mohon maaf karena telah dengan sengaja mengcopy paste artikel Anda
tanpa menuliskan nama Anda. (WONG ALUS)
SYEKH SITI JENAR (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lainSitibrit, Lemahbang,
dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar
agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di
masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal,
yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap
bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri.
Ajaran ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun
demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan
ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada
penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
1. Konsep dan ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup
dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syeh Siti
Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian.
Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari
kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan
lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan
syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa
manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat,
puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani
kehidupan paska kematian. Syech Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam
dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada
masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal
sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan
kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4
tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll); 2.
Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan
tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan
4. Marifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa
setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan.
Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu
tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah
melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syekh. Para ulama mengkhawatirkan adanya
kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada
masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah pada
tingkatan syariat. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap hakekat dan bahkan
marifatkepada Allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada ALLAH). Oleh

karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan
kata SESAT.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama.
Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah
zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing masing menyembah dengan menyebut nama yang
berbeda beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena
itu, masing masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa
agamanya yang paling benar.
Syech Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas
dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala
berarti belum bisa disebut ikhlas.
1. 1. Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah
menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti
bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat
kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi
sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, Manunggaling Kawula Gusti adalah bahwa di dalam diri manusia
terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Quran yang menerangkan
tentang penciptaan manusia (Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya (Shaad; 71-72))>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh
Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Quran dari para murid Syekh Siti inilah yang
menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu
polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.
2. Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini sering temui manusia yang mengalami hal ini
terutama dalam agama Islam yang sering disebut zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap
Illa yang maha Agung atau Allah.
Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur
terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan
Allah. disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya Allah yang berkehendak, Setiap
Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini. dan inilah yang dibahayakan karena
apabila tidak ada GURU yang Mursyid yang berpedoman pada AlQuran dan Hadits maka
hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia.Karena
hamba ini akan gampang terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka
semakin tinggi juga Syaitan menjerumuskannya.Seperti contohnya Lia Eden dll mereka
adalah hamba yang ingin dekat dengan Allah tanpa pembimbing yang telah melewati masa ini,
karena apabila telah melewati masa ini maka hamba tersebut harus turun agar bisa
mengajarkan yang HAK kepada manusia lain seperti juga Rasullah pun telah melewati masa
ini dan apabila manusia tidak mau turun tingkatan maka hamba ini akan menjadi seprti nabi
Isa AS.Maka Nabi ISA diangkat Allah beserta jasadnya. Seperti juga Syekh Siti Jenar yang
kematiannya menjadi kontroversi.Dalam masyarakat jawa kematian ini disebut
MUKSO ruh beserta jasadnya diangkat Allah.

2. 1. Hamamayu Hayuning Bawana


Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan
lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi
lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
3. Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang
amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi
kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan
mengingat salah satu murid Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki
Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan
mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran
ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan
ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera
menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran
Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuatSiti Jenar memenuhi panggilan Sri
Narendra Raja Demak Bintorountuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon
akhirnya paraWalisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana
perguruan Siti Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi
[b]Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja.[/b] Maka
berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa.
Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan
Sunan Geseng. (Walet: Ini adalah Noordin M Top Jaman Dulu)
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti
Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh
Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat
menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali.Ketika hal ini diketahui
oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki
Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri kematiannya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan
para wali.[rujukan?]
4. Kisah pada saat pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di
Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau
kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain
mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak
gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai
Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
MENGENAL NAMA SYEKH SITI JENAR
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali

(nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis
orang); Syekh Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar
Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan
Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf
atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh
Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu
komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan.
Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg
populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan
ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari
sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan
Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa
Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan
Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti
Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan
Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [18021873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan
ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu
kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis
diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh
selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah.
Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan
keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk manunggaling rasa (menyatu rasa ke
dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan
neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang
mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn
Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn
Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg
disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki
Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan
Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara,
Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk
Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta,
2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976;
Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, sGravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan
Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai
Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan
sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga
sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim
pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk mengubur segala
yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama
serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar
belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih
pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang. [Adapun diceritakan
kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang
manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang].<serat
Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002,
hlm. 1>.
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan
bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang
sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di
Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh Abdul
Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh Isa Alawi bin
Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid Abdul MalikalQazam. Maulana Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh Abdul Malik atau Asamat Khan.
Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg
berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di
Hadramaut.
Syekh Abdul Malik adalah putra Syekh Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama
terkenal Syekh Isa al-Muhajir al-Bashari al-Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke
berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh Abdul Malik adalah penyebar agama
Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh
Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari
silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah
Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh
Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi
penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana sa atau Syekh Datuk Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian
bermukim di Malaka. Syekh Maulana Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk
Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah
ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di
Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa
transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumbersumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh
Jabaranta dan Syekh Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu,
Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil
berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama
tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi,
putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426,
Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki
Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan
Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab,
namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota
multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal
Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran
Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali
mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak
bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti
Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri
Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut
sebagai musu(h) alit [musuh halus] <Purwaka Caruban Nagari, 75-76, cat. 39; Sejarah
Nasional Indonesia, vol. II;221>.
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan,
terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia
menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan
dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463,
dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia
bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai
titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari sangkan-paran dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah HinduBudha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu
Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai
manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya
tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, bersatu dan melebur
(fana) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak
Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, aku menyatu dgn Aku. Dan keempat,
sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala
dan melebur ke Parama-Laukika (fana fi al-fana), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari
segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi Aku.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria
Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim
Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung
Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M.
bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam
semesta yg dijabarkan dari konsep nurun ala nur (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian
dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para
bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk
memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia
bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia,
sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar,
Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar
Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad.

Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama keulama-an Syekh Datuk Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar
menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian
rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan
naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal
(sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya (bangga rohani);
rimba sumah (pamer rohani); samudera ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan
ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait
(keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke
Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal
Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu
menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu ke-Esaan afal Allah,
yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik
yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah afal Allah. Ini menambah
semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana afal Allah itu optimal
bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa
Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan
dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai
tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg
bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu
kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki
satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud.
Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia
banyak kitab-kitab marifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan
kakek al-Tawalud, Syekh Abdul Mubdi al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar
bersentuhan dgn paham Syiah Jafariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj
(858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Taaruf alKalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush alHikam-nya Ibnu Arabi (1165-1240), Ihya Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali
(w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar
sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg
masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan
terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan
ajaran Islam syari madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun
tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti
Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan
melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3
kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak.
Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.

Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti
Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqaiq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Marifat
al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg
pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh
Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan
ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham
kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh
Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu
karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara
praktis/amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana,
lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan
dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya
nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam
berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan
guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser
musik sufi yg digelar diberbagai sama khana. Sama khana adalah rumah-rumah tempat para
sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd).
Sama khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185).
Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya Abdul
Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawaid
(memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap.
Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami
(mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawaid), tajaliyat melalui Roh alhaqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya
tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsunafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi
dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia
merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li,
la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fabudni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan
selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di
sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar,
fabuduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil
man arafa bafsahu faqad arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin
memahami makna hadist Rasulullah al-Insan sirri wa ana sirruhu (Manusia adalah RahasiaKu dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi Abdul Qadir al-Jilani (w.1165),
Ibnu Arabi (560/1165-638-1240), Maruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb
mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam
kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban
politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)

SATU
Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: Pernyataan roh yg
bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala
sesuatu.
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah
sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu
diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mirah al-haya
(cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta
mencapai fana cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala
perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap,
sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), aku ini kau, tapi kau aku.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawulaGusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya,
menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
DUA
Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan
barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan
membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai
sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal
dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih,
bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki,
bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat,
menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai
nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan
perbuatannya.
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan
pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg
bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha
Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus
ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh
budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha
Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah
hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan
sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama
dalam syariat justru malah merendahkan nama-NYA.
TIGA
Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan
bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya
akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi
jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang
dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia
ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg
artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia
membuat dunia.

Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan
mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg samasama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik,
Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya. Sebab bagi Syekh Siti
Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk
penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab
manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar
termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat
Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera,
berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau
ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman
kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi
tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
EMPAT
Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah afal (perbuatan) Allah.
Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru
dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.
Afal Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena
misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah
kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa
Allahu khalaqakum wa ma tamalun (Qs.Ash-Shaffat:96), yg maknanya Allah yg menciptakan
engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan
yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari
tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku
dalil Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17), maksudnya
bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar.
Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni afal Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-aliyi al-adzimi. Rosulullah
bersabda La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yg maksudnya tidak akan bergerak
satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia
tidak lain adalah ke-Esa-an dalam afal Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar afal, sebab afal
digerakkan oleh dzat. Sehingga afal yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat,
kemana afal itu dipancarkan.
LIMA
Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur
tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia
biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak
dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu
berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap,
yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum
menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih
terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih
banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya
akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan
sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik,
tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali
kepada kehidupan.

Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan
Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan
konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya.
Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni
pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia
dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian
ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna.
(bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat
badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan
berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan Hati
yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus.
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas
ini..amin.amin.
Surga dan Negara Syekh Siti Jenar
anal jannatu wa nara katannalr al anna, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam
menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah inna al-janatu
wa al-naru qathun an al-ana (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata
adanya sejak sekarang atau di dunia ini). Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga
dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan
awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar, surga
atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya
manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg
belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu
kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali
kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai
Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan
neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah
tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali
kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Quran
sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah
proses kemanunggalan ilaihi rajiun, ilaihi al-mashir
Puasa dan Haji Syekh Siti Jenar
Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat
dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan
budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena
diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak
tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.
Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah,
pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal
ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami
suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena
itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah omong kosong
belaka, atau wes palson kabeh(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat
berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar
menolak syariat Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syariat tersebut. Syekh Siti Jenar
menggunakan istilah iku wes palson kabeh, yg artinya itu sudah dipalsukan atau dibuat

palsu semua. Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata iku palsu kabeh atau itu palsu
semua. Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syariat Islam pada
masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syariat
itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat
menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi
formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa
penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan
hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru
syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang
mengajarkan syariat juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syariat itu, dan tidak
memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syariat yg hidup dan berdaya guna. Sehingga
syariat menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu.
Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah
yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar,
karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya.
Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula
Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
MAKNA IHSAN SYEKH SITI JENAR
Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas
kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia
lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh
menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah
kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat
Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.
Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula
memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula
segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa
cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai
segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa
sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si Abid dalam keadaan
menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Mabud. Hanya sikap inilah yg akan
mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah
dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani,
bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya
dan memaklumkan pengalamannya dalam menyaksikan langsung ada-NYA Allah.
Persaksian langsung itulah terjadi dalam proses manunggal.
Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya
mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan

keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan
kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan
permulaan, karena asal dari diri pribadi.
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin
seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang
ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang
Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan
kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada
kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas
landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah
bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang WidhiAllah (seperti Rosul sering sekali
mengatakan bahwa Sesungguhnya mereka tidak mengerti).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering
membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh
Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh
Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam
kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan
demi penegakan syariat Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya
terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi
tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan
manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan
keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia,
berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA
Allah melalui kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan
manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia,
baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana
selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah
teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta
perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari
kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan
antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan
sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
TAFSIR KISAH MUSA DAN KHIDIR (SYEKH SITI JENAR)
Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan
manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan
kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut
perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-mana), perlambang alam
tidak kasatmata (alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam
kasatmata (alam asy-syahadat).
Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di
perbatasan alam kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para
penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu,
kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu, merupakan
perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.
Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di
dalam Al-Quran Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu
manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS
sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam Al-Quran tidak

lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-mana) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam).
Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).
Ikan dan lautan dalam kisah Qurani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (alam asysyahadat) yg berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (alam alghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan
tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi
Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi
Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu
dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama).
Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia
tidak bisa melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan
tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun
ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.
Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat
hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam duniayang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg
meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yg ada di luar
maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika
dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa
udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS
berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa dilihatnya.
Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal
makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya,
dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah).
Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka
tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu
dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan
perlambang keterbukaan hijab ghaib.
Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-amal
ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun,
bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut
penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan
bekalnya masuk ke dalam lautan.
Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain,
apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan
si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi
maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.
Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di
mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah
gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawaid
berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan kasih
sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu
Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).
Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah
mereguk Air Kehidupan (ma al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya,
barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan
antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang
Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan
idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia,
Sang Penuntun anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan

penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah
pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as Rasyid).
Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh alidhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di
lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-mana) yg
merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika terputus
penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke
Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran
Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing
menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam
menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak
selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.
Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan
perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian
digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk
menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syariah) yg lazimnya digunakan oleh
kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al amal ash-shalih).
Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg
sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syariah) itu harus dilubangi
agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat
air yg mengalir dari lubang tersebut.
Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi
sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg
merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian
perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik
al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk
selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang
Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud.
Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan
dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba
sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan
pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).
Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan
dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman
menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas
batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu
tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir
AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan,
apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar
bertentangan dgn hukum suci (syariat) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi
perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok
runtuh tanpa upah.
Namun jika wahana (syariah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya
tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal
(aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini,
sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah
termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia.
Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa

mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak
mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas
batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan
mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.
Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya
jelaskan sebagai berikut.
Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg
teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan
tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar
kedewasaan rohani tidak terganggu.
Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di
mana keakuan kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan
dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke
dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan
kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir
ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia
sesungguhnya adalah hamba dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur
Muhammad).
Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan
nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg
baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia
dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah
perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS Pembuhunan
itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman (mumin).
Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al
ala) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah
pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan
Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta
al-Kanz) yg ingin diketahui.
Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati
diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh).
Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan
tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak
berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan
bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mirah al-hayaI).
Adapun gambaran tentang ayah yg salih dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan
Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah
(al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg
telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82)
menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh
dgn perlambang (isyarat).
Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya
adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar anak Adam AS yg berasal dari
anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh anak Cahaya Yang Terpuji (Nur
Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ala Nurin).
Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang
Mencipta (al-Kha-liq).

Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah


Perbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan
di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg
ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar anak Adam AS akan
terserap ke dalam roh anak Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya
berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah
Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn kaidah-kaidah
nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri
sebagai sebuah pengalaman pribadi.
TANYA JAWAB DENGAN SYEH SITI JENAR
Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang
menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep
tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti.
Yaitu bersatunya antara roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama
dengan ajaran para zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam
dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih
utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh.
Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara
makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawulaGusti. Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan tentang
pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan
tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.
Suatu ketika Syeh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para murid-muridnya. Syeh Siti Jenar
berkata,Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki
Allah. Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan barang baru,
berkuasa, berkehendak, berpengetahuan, memiliki ilmu secara hakikat dan sebagainya. Para
santri mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut;
M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?
S (Syeh Jenar) ; Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari ajaran ini.
Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan mempunyai sifat-sifat itu.
Sifat tersebut pun sudah kumiliki. Kalian bisa melakukannya dengan mengamalkan apa yang
hendak kuajarkan. Allah adalah satu-satunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan
tidak berbentuk. Tidak terlihat oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya merupakan
cerminan dari wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia
melihat pancaran wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki
sifat langgeng, tak mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di mana-mana, bukan ini
dan bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di dunia.
M ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat kodrat !
S ; Kodrat adalah kekuasaan pribadi Tuhan. Tak ada yang menyamainya. KekuatanNya tanpa
sarana. kehadiranNya berasal dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda. Tak dapat
ditafsirkan. Jika engkau menghendaki sesuatu maka pasti kalian rencanakan matang-matang
dan pasti pikirkan berulang-ulang. Itupun masih sering meleset. Namun Allah tidak demikian,
bila menghendaki sesuatu tak perlu dipersoalkan terlebih dahulu.
M ; Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu ?
S ; Benar Allah tidak memerlukan sesuatu. Karena itu jika kalian hidup tanpa memerlukan
sesuatu, tanpa butuh harta benda, tanpa butuh jabatan, tanpa butuh pujian, maka kalian
akan merasakan hidup yang sesungguhnya. Kalian akan memiliki sifat Allah tersebut.

M ; Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan apapun, apakah
akhirnya dapat disamakan dengan Allah ?
S ; Tidak ! walaupun manusia hidup tanpa bergantung sama sekali kepada duniawi, namun ia
tetap berbeda dengan Allah. Tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Allah adalah pencipta dan
kalian adalah yang diciptakan. Allah berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan. Hidupnya
tanpa roh, tidak merasa sakit dan kesedihan, Allah muncul sekehendaknya.
M ; Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu karena kemauan Allah ?
S ; Untuk sampai pada jawaban itu, kita harus membedakan seseorang mana. Manusia itu
dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Ada yang awam, ada yang khowash. Orang awam
hanya beribadah secara syariat, tanpa dapat memelihara kalbu, maka ia masih jauh bisa
berhubungan dengan Allah. Sedangkan orang-orang khowash, termasuk para nabi, rasul, dan
waliyullah, mereka beribadah secara utuh. Bahkan sampai pula pada tingkatan hakikat. Kalau
kalbunya sudah bersih dari duniawi dan menyatu dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan
kemauannya itu berasal dari Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka jangan heran
jika ada orang yang diberi karomah sehingga segala ucapannya menjadi bertuah.
M ; Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan kehendak Allah ?
S ; Benar ! mereka mempunyai kejernihan akal budi. Memiliki kebersihan jiwa dan ilmu.
Shalat lima waktu dan berzikir merupakan kehendak yang sangat dalam. Bukan kehendak
nafsunya, namun kehendak Allah. Semangatnya sedemikian besar. Mereka shalat tidak
mengharapkan pahala, tetapi merupakan suatu kewajiban (diri) dan pengabdian. Badan
haluslah yang mendorong untuk menjalankan.
M ; Banyak orang melakukan shalat tetapi tidak menyentuh kepada Yang Disembah. Ini
bagaimana ?
S ; Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk shalatnya. Bibirnya sibuk
mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya ramai oleh urusan duniawi mereka. Islam
yang demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya. Padahal yang paling
nikmat adalah buah/daging kelapa dan air kelapanya. Mereka sembahyang lima waktu sebatas
lahiriah saja. Tidak berpengaruh sama sekali kepada akal budinya. Padahal sembahyang itu
diharapkan dapat mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya
dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun hakikat shalatnya itu membekas pada budinya itupun
hanya sedikit. Buat apa sembahyang lima kali jika perangainya buruk ? masih suka mencuri
dan berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma Allah, jika masih berwatak suka
mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap pahala. Shalatnya saja belum tentu
dihargai oleh Allah, tetapi buru-buru meminta balasan,..aneh!
M ; Wahai Syeh, ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal hamba yang pertama
kali diperhitungkan adalah sembahyang. Jika sembahyangnya baik, maka semua dianggap
baik. Ini bagaimana ?
S ; Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh dipahami secara dangkal makna dari hadits tersebut.
Hadits itu mengandung logika sebagai berikut; Orang yang tekun mengerjakan sembahyang
dengan sempurna, maka perilaku, budi pekerti dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi
baik. Sebab sembahyang yang dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi
cabang kehidupan lainnya. Lebih lanjut Syeh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya hadits itu
tidak berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang tetapi hatinya masih kotor,
tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin dipuji orang lain, terdapat ujub dan
sombong, serta budinya menyimpang dan menabrak tatanan yang dilarang.

M ; Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang melakukan


sembahyang ?
S ; Sesungguhnya aku (Syeh Siti Jenar) tidak sependapat jika ada orang yang mengenakan
pakaian gamis dan meniru-niru pakaian orang Arab dalam melakukan shalat. Jika selesai
shalat, jubah atau gamis itu dilepaskan. Sedangkan shalat orang tersebut tidaklah menyentuh
hatinya. Meskipun berlama-lama merunduk di masjid, namun masih mencintai duniawi.
Sembahyang yang pakaiannya kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama sampai lupa
anak istri. Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang
demikian itu tidak terpengaruh oleh sembahyang yang dilakukan. Biasanya tipe orang seperti
itu sibuk menghitung pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang masih jauh tetapi
diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat dicapainya.
M ; Dzat Yang Luhur dan Sejati itu sesungguhnya siapa, wahai Syekh ?
S ; Gusti Allah. Gusti Allah adalah Dzat yang tinggi dan terhormat. Ia memiliki dua puluh sifat,
semua timbul atas kehendakNya. Ia mampu mencurahkan ilmu kebesaran, kasampurnan,
kebaikan, keramahan, kekebalan dalam segala bentuk, memerintah umat. Dapat muncul di
segala tempat dan sakti sekali. Aku (Syekh Siti Jenar) merasa wajib dan menuruti
kehendakNya. Sebagaimana ajaran jabariyah, dengan kesungguhan dan konsekuen, selalu
kuat cita-citanya, kokoh tak tergoyahkan terhadap sesuatu yang tidak suci, berpegang teguh
kepadaNya selama hidup, tak akan menyembah terhadap ciptaanNya, baik dalam wujud
maupun dalam pengertian.
M ; Mengapa Kanjeng Syekh dianggap oleh para wali sebagai wali murtad ?
S ; Karena ajaranku tidak mudah dipahami orang awam.
M ; Bagaimana ajaran Kanjeng Syeh yang dianggap sesat ?
S ; Aku adalah penjelmaan dari Dzat Luhur, yang memiliki semangat, sakti, dan kekal akan
kematian. Dengan hilangnya dunia Gusti Allah telah memberi kekuasaan kepadaku dapat
manunggal denganNya, dapat langgeng mengembara melebihi kecepatan peluru. Bukannya
akal, bukannya nyawa, bukan penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan
kemana tujuannya.
M ; Apa hubungannya antara kanjeng Syeh Siti Jenar dengan Allah, yang kau sebut sebagai
Dzat sejati ?
S ; Dzat yang sejati menguasai wujud penampilanku. Karena kehendakNya maka wajarlah jika
aku tidak mendapat kesulitan. Aku bisa berkelana ke mana-mana. Tidak merasa haus dan
lelah, tanpa sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa suatu daya kekuatan. Semua
itu disebabkan jiwaku tiada bandingannya. Secara lahiriah memang tidak berbuat sesuatu,
tetapi tiba-tiba sudah berada di tempat lain. Gusti Kang Murbeng Dumadi (Allah) yang kuikuti,
kutaati siang malam, yang kuturut segala perintahNya. Tiada menyembah Tuhan lain, kecuali
setia terhadap suara hati nuraniku. Allah Mahasuci.
M ; Wahai Syeh jelaskan apa yang di maksud bahwa Allah itu Maha Suci?
S ; Allah Mahasuci itu hanyalah sebatas istilah saja. Merupakan nama saja. Sebenarnya hal itu
dapat disamakan dengan bentuk penampilanku. Jika kalian melihatku, maka tampak dari luar
sebagai warangka (kerangka), sedangkan di dalamnya adalah kerisnya (intinya) Hyang
Agung, yang tak ada bedanya dengan kerangka. Tuhan itu wujud yang tidak dapat dilihat
dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang yang bersinar cemerlang. Sifat-sifatNya
berwujud samar-samar bila dilihat, warnanya indah sekali seperti cahaya.
M ; Di manakah Tuhan berada ? kami membayangkan Dia ada di langit ke 7 dan bersemayam
di atas singgasana layaknya raja.
S ; Siti Jenar mendadak tertawa. Setelah tertawanya reda, ia berkata, Itu salah besar, itu
kebodohan. Sesungguhnya Tuhan tidak berada di langit ketujuh dan tidak bertahta di

singgasana atau arsy (Kursi). Bila kalian membayangkan demikian, maka hati kalian sudah
musyrik. Berdosa besar. Karena kalian menyamakan Dia dengan raja atau dengan penguasa.
M ; Kami jadi bingung, Kanjeng Syekh, lantas Tuhan itu ada di mana ?
S ; Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya mudah. Gusti Allah itu tidak kemanamana, tetapi ada di mana-mana.
M ; Kami semakin tak mengerti. Bisakah Kanjeng Syeh memberi penjelasan yang lebih
gamblang ?
S ; Gusti Allah itu berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh. Dia bersemayam di dalam
tubuh kita. Tetapi hanya orang yang khowash, orang yang terpilih dapat melihat. Tentunya
dengan mata batin. Hanya mereka yang dapat merasakannya.
M ; Apakah Allah itu berupa roh atau sukma ?
S ; Bukan roh dan bukan sukma. Allah adalah wujud yang tak dapat dilihat oleh mata, tetapi
dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang. Sudah kukatakan tadi, warnanya
indah sekali. Ia memiliki dua puluh sifat seperti; sifat ada, tak berawal, tak berakhir, berbeda
dengan barang-barang yang baru, hidup sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari sesuatu,
berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berilmu, hidup dan berbicara. Sifat Gusti Allah
yang duapuluh itu terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut dengan Dzat. Sifat
duapuluh itu juga menjelma pada diriku. Karena itu aku yakin tidak akan mengalami sakit dan
sehat, punya budi kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramahan. Roh ku memiliki sifat
duapuluh itu, sedangkan ragaku yang lahiriah memiliki sifat nur Muhammad.
M ; Wahai Syekh, bukankah Muhammad SAW itu seorang nabi. Apakah Syekh mengaku
sebagai Nabi ? Sedangkan dikatakan bahwa setelah nabi Muhammad, di dunia ini tidak ada
kenabian lagi ?
S ; Jangan salah menafsirkan kata-kataku. Jika salah, maka kau akan sesat dan timbul fitnah.
Tentu saja memfitnah diriku. Begini, bahwa rohku adalah roh Ilahi. Karena aku pun memiliki
sifat duapuluh. Sedangkan badan wadag ku, jasadku ini, adalah jasad Muhammad. Dari segi
lahiriah Muhammad adalah manusia. Namun manusia Muhammad berbeda dengan orang
kebanyakan. Muhammad memiliki jasad yang kudus, yang suci. Aku dan dia sama-sama
merasakan kehidupan, merasakan manfaat panca indera. Dan panca indra itu hanyalah
meminjam. Jika sudah diminta kembali oleh Pemiliknya akan berubah menjadi tanah yang
busuk, berbau, hancur dan najis. Nabi atau wali, jika sesudah kematian jasadnya menjadi tak
bermanfaat. Bahkan berbau, kotor, najis, busuk dan hancur. Warangka jika sudah
ditinggalkan kerisnya maka tiada guna.
M ; Jika seseorang sudah mati, berarti selesai sudah kehidupannya ?
S ; Siapa bilang begitu ? Tidak ! meskipun jasadnya mati, tetapi sebenarnya ia tidaklah mati.
Karena itu, kalian semua harus mengerti bahwa dunia ini sesungguhnya bukanlah kehidupan.
Buktinya ada mati. Di dunia ini, kehidupan disebut kematian. Coba rasakan ! Aku
mengajarkan kepada kalian untuk tidak menyintai dunia ini dan tidak terpesona terhadap
keindahannya. Carilah kebenaran dan kebahagiaan sejati demi kehidupan mendatang,
kehidupan setelah kematian. Kalian akan berarti jika telah menemui kematian dan hidup
sesudah itu. Engkau harus memilih hidup yang tak bisa mati. Dan hidup yang tak bisa mati itu
hanya kalian rasakan setelah nyawa terlepas dari badan. Kehidupan itu akan dapat dirasakan
dengan tanpa gangguan seperti sekarang ini. Ketahuilah, hidup yang sesungguhnya adalah
setelah nyawa lenyap dari badan.
M ; Agar dapat meraih kehidupan dalam kemuliaan sejati kelak, dalam kehidupan di dunia ini
dibutuhkan kebenaran dan kebahagian sejati. Bagaimanakah cara mendapatkannya Kanjeng
Syekh ?
S ; Jiwa manusia adalah suara hati nurani. suara hati nurani merupakan ungkapan Dzat Allah
yang harus ditaati perintahnya. Maka ikutilah hati nuranimu.

M ; Bagaimana caranya meyakinkan bahwa suatu bisikan adalah suara hati nurani yang
sesungguhnya ?
S ; Kalian harus cermat, karena hati nurani berbeda dengan akal budi, jiwa itu milik Allah,
sedangkan akal milik manusia. Akal bersifat manusiawi, karena itu kadang-kadang akal tak
mampu menemukan keajaiban Allah. Kehendak, angan-angan, ingatan, merupakan suatu akal
yang tak kebal atas kegilaan. Suatu ketika akal bisa menjadi bingung sehingga membuat
seseorang lupa diri. Akal seringkali tidak jujur. Siang malam membuat kepalsuan demi
memakmurkan kepentingan pribadi.
M ; Bukankah manusia menjadi lebih mulia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, karena
manusia diberi akal oleh Allah ?
S ; Ya, itulah yang membedakan. Tapi jangan lupa bahwa akal seringkali tidak jujur. Sering
bersifat dengki, suka memaksa, melanggar aturan, jahat, suka disanjung-sanjung, sombong,
yang ahirnya membuat manusia justru tidak berharga samasekali. Lebih hina dari makhluk
lainnya.
M ; Jadi kita harus menggunakan akal sesuai dengan jiwa atau kehendak Allah ?
S ; Ya, benar. Jika seseorang mampu mengendalikan akalnya dengan ajaran Allah, dengan
kebenaran, dan dengan jiwa yang bersih, maka ia bermanfaat. Menjadikan diri lebih mulia.
M ; Apa yang menghalangi seseorang sehingga gagal dalam dalam menempuh manunggaling
kawula-Gusti ?
S ; Jangan mementingkan kehidupan duniawi. Sebab kehidupan duniawi yang kalian jalani
penuh kotoran. Akal kalian mudah tercemar dengan kotoran sifat dan mudah dikuasai oleh
nafsu, sehingga menghalangi kalian untuk bisa menuju pada tahap manunggaling kawulaGusti.
M ; Di dunia ini ada yang cantik, tampan dan gagah. Bagaimana kedudukan orang-orang
tersebut jika kelak telah terlepas rohnya ?
S ; Kalian jangan menyintai dan mengagumi bentuk yang cantik, tampan atau gagah. Sebab
sebenarnya badan wadag (jasad) laksana sangkar yang mengurung jiwa. Badan wadag
merupakan beban yang memberatkan dan menyakitkan roh kalian.
M ; Wahai Syekh, benarkah sesudah kematian ada surga neraka ?
S ; Para wali memang mengajarkan demikian. Inilah ajaran yang justru menurutku
menyesatkan karena terlalu dangkal. Para wali hanya mengajarkan serabut atau kulitnya,
tidak sampai pada isinya; tidak sampai pada hakikat yang sebenarnya. Para wali mengajarkan
bahwa surga dan neraka hanya dijumpai kelak setelah kiamat. Adanya di akherat. Dan orangorang awam menelan mentah-mentah keterangan itu. Siksa kubur hanya dijumpai dan
dirasakan badan wadag ketika di tanam di kuburan. Para wali memang bertujuan baik, tetapi
diputus sampai di situ. Mereka enggan menjelaskan lebih dalam dan lebih sampai pada makna
yang hakiki.
M ; Kalau menurut Syekh bagaimana ?
S ; Begini, untuk menemui dan merasakan surga dan neraka maka seseorang tidak harus
menunggu sampai mati atau sampai datangnya kiamat. Di dunia ini saja kita sudah dapat
merasakan surga dan siksa neraka. Karena sesungguhnya surga dan neraka itu berada di
dalam jiwa kalian. Berada di dalam jiwa setiap manusia yang bernafas. Jika jiwa manusia

telah bersih dari gangguan hawa nafsu dan dapat menyatu dengan Gusti Allah, maka di dunia
ini ia akan merasakan suatu kenikmatan surga. Jika budi kalian, misalnya menolong orang
lemah, lalu hati menjadi ikhlas dan puas, maka itulah yang disebut surga. Sedangkan neraka,
perwujudannya adalah jika hawa nafsu telah menguasai diri seseorang. Kemudian jiwanya
meronta dan merasa bersalah. Maka dia tentu tersiksa. Ia tidak bisa tidur, gelisah pikirannya,
sedih dan bermacam-macam rasa tak enak. Itulah yang dinamakan neraka.
M ; Jadi surga dan neraka di akherat tidak berlaku ? maksud kami tidak ada ?
S ; Surga dan neraka di hari kiamat, di akherat kelak, sudah diterangkan dalam Al Quran. Itu
perkara gaib dan erat kaitannya dengan iman. Kalian harus meyakininya.
M ; Untuk apa meyakini ? bukankah jika di dunia berbudi baik dan beriman kepada Allah
sudah merasakan surga. Sedangkan surga dan neraka di akhirat hanyalah bersifat menakutnakuti manusia agar tidak berbuat buruk ?
S ; Pendapatmu memang cerdas dan kritis. Namun kalian tidak usah mempertanyakan,
apakah kelak di akhirat ada surga dan neraka. Itu urusan Gusti Allah. Kalian harus meyakini.
Karena meyakini hari akhir merupakan rukun iman. Sekali lagi, untuk mendapatkan surga pun
kalian tak perlu menunggu datangnya hari akhir. Meskipun seseorang sembahyang seribu kali
setiap hari, toh akhirnya mati juga. Walaupun badanmu kau tutupi dengan kain surban dan
jubah, namun akhirnya menjadi debu juga. Maka jiwalah yang paling penting. Jika keadaan
jiwa seperti Tuhan, maka surga akan didapatkannya. Kenikmatan luar biasa akan dirasakan.
M ; Wahai Syeh, sesungguhnya yang menjadi pikiranku adalah sebelum ada dunia ini, apakah
sudah ada dunia lainnya. Atau setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru lagi seperti
sekarang ?
S ; Sebelum dunia ada, apakah ada dunia lain, itu hanya Allah yang tahu. Tetapi sekarang kita
berada di dunia ini menempati ruang dan waktu. Dunia ini asalnya adalah baru. Kemudian
mengalami kerusakan dan kelak akhirnya menjadi hancur. Lenyap tak berharga. Setelah
kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru untuk keduakalinya ? Tidak !
M ; Wahai Syekh, kalau begitu dunia erat kaitannya dengan raga kita, sedangkan jiwa erat
kaitannya dengan alam akhirat ?
S ; Benar, dunia itu erat kaitannya dengan raga. Raga mempunyai sifat seperti alam semesta,
yang semula baru kemudian rusak. Sedangkan jiwa tidak akan mengenal kerusakan karena
jiwa merupakan penjelmaan Dzat Allah. Ketahuilah bahwa raga adalah barang pinjaman yang
suatu saat akan diminta oleh Pemiliknya. Ketahuilah wahai murid-muridku. Raga ini
sesungguhnya sangkar yang membelenggu dan menyulitkan jiwa. Agar jiwa menjadi bebas,
maka suatu saat kelak, kalian akan kuajarai bagaimana cara melepas jiwa dari raga. Ilmu
melepas jiwa artinya bahwa kematian adalah titik awal kehidupan yang sebenarnya. Jika
seseorang raganya mati, maka jiwanya menjadi merdeka, bebas dan tidak terkungkung lagi.
Sebab raga berhubungan erat dengan alam semesta. Sedangkan jiwa berhubungan erat
dengan Dzat Tuhan. selamanya jiwa tak akan bisa mati atau rusak.
M ; Apakah yang dimaksud jalan kehidupan, wahai Syekh ?
S ; Jalan kehidupan adalah jalan menuju kepada hidup yang sebenar-benarnya, setelah
engkau mengalami kematian. Jika seorang bayi lahir, maka bukanlah awal kehidupan, namun
merupakan awal kehidupan palsu seperti yang kalian rasakan saat ini. Inilah yang
sesungguhnya kematian sejati.
M ; Jika demikian badan ini tidak bisa merasakan kehidupan yang sebenar-benarnya ?

S ; Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati tidak dapat dirasakan oleh raga, karena jika raga mati
akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Membusuk menjadi tanah.
M ; Bagaimana jika sekarang ini seseorang berbuat dosa. Apakah jiwanya ikut
bertanggungjawab. Sedangkan yang melakukan dosanya adalah raga.
S ; Tetap ikut bertanggungjawab, karena jiwa yang menyatu ke dalam raga tidak bisa
mencegah hawa nafsunya serta akal yang suka berbuat buruk.
M ; Maaf saya belum paham Syekh.
S ; Ketahuilah, setiap orang yang lahir di dunia ini maka jiwanya menyatu dengan akal. Selain
akal dalam diri manusia juga ada hawa nafsu. Ketika seseorang berbuat buruk, berarti
raganya didorong dan dipengaruhi oleh hawa nafsu dan akalnya. Akal dan nafsu memang suka
berbuat buruk. Apabila jiwa mencegah (melalui hati nurani), maka raga tidak akan berbuat
buruk. Akan tetapi jika jiwa membiarkannya, maka raga tetap melakukannya. Karena itu
bagaimanapun juga jiwalah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk
raganya.
M ; Tadi Syekh mengatakan jiwa adalah penjelmaan dzat Tuhan. Mengapa kadang-kadang
jiwa mau mencegah dan kadang membiarkannya ?
S ; Perlu kalian semua ingat, bahwa di dalam raga ini terdapat nafsu-nafsu. Jika nafsu kuat
menguasai, maka jiwa menjadi terbelenggu. Karena itulah mengapa aku katakan bahwa
kehidupan sekarang ini adalah kematian. Sedangkan setelah ajal merupakan awal kehidupan.
Sesudah kematian maka seseorang akan mencapai kebebasan jiwanya.
Ajaran Syekh Siti Jenar memang agak beda dengan ajaran para wali sanga. Siti Jenar
mengajarkan bahwa Tuhan adalah Zat yang mendasari adanya manusia, hewan, tumbuhan
dan segala yang ada. Keberadaan segala di dunia ini tergantung pada adanya Zat. Tanpa ada
Zat Yang Mahakuasa, maka mustahil sesuatu yang wujud itu ada.
Ajaran ini tidak pernah disampaikan oleh para Wali Sanga. Mereka menyadari bahwa umatnya
masih terlalu awam terhadap Islam, sehingga memberi materi yang ringan dan praktis saja.
AJARAN SYEKH SITI JENAR MENURUT PANGERAN PANGGUNG
.Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan
itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan hidayah hanyalah
bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak jiwa, saya
tidak ingin terjebak dalam syariat.
Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi
mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada
kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang
seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika
sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was
senantiasa takut gagal.Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi
didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap
berpegang pada tekad. (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu
jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari
tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil
pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong,

sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika
belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia
didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah
kepada kehendak Allah.
Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana
utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal.
Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan
mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa
mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah.
Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah
Allah. <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.
Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat.
Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat rakaat? Itu disebabkan kita manusia
diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat Ashar empat rakaat juga, adalah
kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat
Maghrib itu tiga rakaat, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut.
Adapun shalat Isya enjadi empat rakaat karena adanya dua telinga dan dua buah mata.
Adapun shalat Subuh, mengapa dua rakaat adalah perlambang dari kejadian badan dan roh
kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan
dua rakaatnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.
Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat
Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan
istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat
Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, Terimalah cobaan Tuhan, shalat
Subuhlah dua rakaat. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam
melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada
dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi
Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak
dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan
shalat Dzuhur empat rakaat. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun
shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi
Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu
Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat rakaat. Nabi Yunus segera
melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus
keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah
Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia
diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat
Maghrib tiga rakaat, maka banjirpun surut seketika. Shalat Isya sesungguhnya Nabi Isa yang
memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan
Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan
tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa
wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat Isya. Nabi Isa
menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, Aku yang
membalaskan kepada Pendeta Balhum. <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.
Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat
yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik
dzat, sifat, asma dan afal (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah
bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali
Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak
memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya
segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang
memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua
ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama.
Sedangkan artinya afal adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh

makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian
maksud anasir Gusti.
Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian
(nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud
sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih
perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah
pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang
menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin
kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian
terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah
kepada kecenderungan hati.
Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api,
angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas
keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib.
Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 3>.
WASIAT DAN AJARAN SYEKH AMONGRAGA
Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan
Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat
dibaca di serat Centini.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya;
hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.

14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.


15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua
manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki,
merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi
manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik
pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela. <Ajaran Syekh Amongraga itu
sebenarnya meliputi semua tindakan manusia di dalam menyelami kehidupan di bumi ini,
yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut,
hendaknya jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun hendaknya diselami
dengan segenap nalar dan rasa batin.
Syariat Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia
yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di
alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya
akan bersembahyang.
Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang
kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya
yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.
Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali,
yang mengkukuhkan Syariat palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba,
pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Quran. Sesuai atau tidak
yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu. <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V
Pangkur, 8-18>.
JAWABAN KI BISONO TENTANG SEMESTA, TUHAN DAN ROH
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah
kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat
barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak
menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya :
drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada
berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini
merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.
Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan
merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah
tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau hamba
terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.

Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke


manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak
dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak
dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun hamba
orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa
biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat
menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang
empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.
Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa,
tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid
Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima
ajaran guru mereka sepenuh hati.
Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci
itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitubaytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu), artinya
lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak
sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada
paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat menerima,
bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun. Demikianlah wejangan
Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.
Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa,
sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang
menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam
kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan
nyata.
Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung,
tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa
adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu
muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya
secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan
harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.
Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mumin, diberitahu akan
adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang
dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba
ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat dijadikan dasar
atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka
mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemanamana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa
pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.
Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering
ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan
mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat bertemu
dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut
cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk
kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan
demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat
pertanyaan paduka.<Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45>.
SYEKH SITI JENAR MENURUT KI LONTHANG SEMARANG

Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia
lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi
shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-angan, jadi
kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam kematian ini, maka
sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.
Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbul alamien,
Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada
bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur bercampur
dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?
Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di
sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak,
disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan. Apalagi bila
ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia
ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.
Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang
sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat ullahu, kemudian ada rupa dan inilah yang
ia anggap Hyang Widi.
Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak
diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzatllahu yang rupanya ia lihat
waktu ia berdzikir, mengikuti syara sebagai syariat, jika Jumat ke mesjid berlenggang
mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang
di sini.
Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali,
berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu
putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat
lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja
penipu!
Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat
alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam
kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus,
dan lapar. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20>.
Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama
janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak
ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barangbarang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan
gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan
kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat
Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu
buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak
urung mereka menuruti kamu, mabuk doa, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam
yakunil.
orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu
terus-teruskan, sebab itu palsu. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur,
25-36>.
KHOTBAH PERPISAHAN SUNAN PANGGUNG
Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua
itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng
melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia

berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya
telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum
tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.
Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak
memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya.
Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah
pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibanggabanggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal
dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan
ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak
merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap
tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha
Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak
terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji
sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan.
Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.
Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian,
Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam
pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau
haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna
sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak
tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.
Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan.Alif menjadi panutan sebab
uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Duaduanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat.
Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud
tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada
yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang
merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman,
syariat.
Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya
tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini
semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.
Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat.
Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada
kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan
cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi
penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji.
Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati,
laa ilaaha illallah. <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4>.
KEMATIAN DI MATA SUNAN GESENG
Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya,
pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan
angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia
menemukan yang serba indah.

Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang
tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya
tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang
ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang
masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak
menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah
dunia ini neraka.
Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin
yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang
lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan
kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung. <Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 29-31>
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat
daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syariat. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling
Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari
kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau
pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih
adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih
terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus
sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin
efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan
tindakan ragawi.
Kata tarek berasal dari kata Arab tarki atau tarakki yang memiliki arti pemisahan.
Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan
tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah
shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju
kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar
melaksanakan perintah syariat adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan
budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang
Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari
Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk
memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat
asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan
diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan
bersamaan dengan shalat syariat sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah.
Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syariat, anggota
wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara
dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh
rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubunubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat
tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi
sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini
hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja

dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan
serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai
tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya
sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan
posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya
sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu,
orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya
adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta,
menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang
terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif
adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika
dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh
Siti Jenar serta para muridnya.
TIGA PULUH SATU
Shalat Subuh
Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah
iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu
taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang
menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma,
di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat
kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan
diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan Ya Hu, Ya Hu. Seratus
kali.
Niatnya, Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep madhep
langgeng weruh ing sirku.
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap
menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Kemudian memuji; ya Rajamu, ya Rajaku. (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe
jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku. (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH DUA
Shalat Luhur
Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran.
Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Pangeranku. (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat,
yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada
gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah
taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail
(malaikat Jibril), memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Niatnya, Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu taala Allahu akbar, tetep mantep
madhep langgeng weruh ing osikku. (Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak
hatiku, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti
akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH TIGA
Shalat Ashar
Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul
iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa,
sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep
weruh ing Rasulku.
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan
Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti
terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di
dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar,
tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Niatnya, Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.

(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku. (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH EMPAT
Shalat Maghrib
Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad.
Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Muhammadku.
(Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad.
Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala,
Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Niatnya, Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep mantep
madhep langgeng weruh ing tekadku.
(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH LIMA
Shalat Isya
Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku
lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning
nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing
uripku.
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan.
Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam
gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan,
di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar,
tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Niatnya, Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep mantep
madhep langgeng weruh ing karepku.
(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali.
Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH ENAM
Inilah shalat satu rakaat salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan
waktu tengah malam tepat :
a. Inilah niatnya, Ushalli urip dzatullah Allahu akbar (Aku berniat melaksanakan shalat
kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, aku pan Sukma
(Aku sang pemilik Sukma).
c. Melakukan ruku dengan menyebut, langgeng urip dzatullah (Kehidupan abadi dzatullah).

d. Sujud dengan mengucapkan, ibu bumi dzatullah.


e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, langgeng urip dzatullah tan kena pati (kehidupan
abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f. Sujud lagi dengan bacaan, Ibu bumi dzatullah.
g. Tahiyat dengan membaca, Urip dzatullah.
h. Membaca syahadat dengan bacaan, Ashadu uripingsun lan sukma (Ashadu kehidupanku
dan Sukma).
I. Salam dengan bacaan, Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak
terkena kema-tian.
j. Membaca doa, Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati (Allahumma
papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati).
k. Kemudian berdoa dalam hati, Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun
(ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat satu rakaat, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat
penutup akhir malam dengan rakaat yang ganjil).
Shalat satu rakaat salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat
ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan diri
dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir
dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni
madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam
shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa ajam (selain bahasa Arab).
TIGA PULUH TUJUH
Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak
pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang
dimiliki. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata
krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana
memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam
tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah
sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting
untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masingmasing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan
hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak.
Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana
yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan. (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).

Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut,
namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan
tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas,
dan juga pernyataan mengenai kebohongan syariat yang tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akalbudinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang
melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyunya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan
shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Quran, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya
dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan
siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Maun/107;4-7).
Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan
keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu. Dan shalat yang khusyu itu adalah shalat
yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak
berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2)
menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4)
menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam
kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi;
kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat
dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya
adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang
liar pasti menggagalkan pesan khusyu tersebut. Khusyu itu adalah buah dari shalat.
Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu
adalah al-Islam, penyerahan diri <Wong Jowo ngomonge Pasrah Bongkoan>. Sehingga
doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi.
Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika
Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan
menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri.
TAFSIR MISTIK SYEKH SITI JENAR
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang
yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik
surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua
dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. <Primbon Sabda
Sasmaya; hlm. 26-27>.
Bis kedudukannya. ubun-ubun.
Millahkedudukannya.. rasa.
Al-Rahman-al-Rahim.kedudukannyapenglihatan (lahir batin).
Al-hamdukedudukannya hidupmu (manusia).
Lillahikedudukannya. .cahaya.
Rabbil-alamin.kedudukannya..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim.kedudukannyaleher dan jakun.
Maliki..kedudukannya dada.
Yaumiddin..kedudukannya jantung (hati).
Iyyakakedudukannya.. .hidung.
Nabudu..kedudukannya.. .perut.
Waiyyaka nastainkedudukannya.dua bahu.
Ihdinash.kedudukannya.. ..sentil (pita suara).
Shiratal..kedudukannya. lidah.
Mustaqimkedudukannya tulang punggung (ula-ula).

Shiratalladzina..kedudukannya .dua ketiak.


Anamta..kedudukannya.. ..budi manusia.
alaihimkedudukannya tiangnya (pancering) hati.
Ghairil.kedudukannya .bungkusnya nurani.
Maghdlubi..kedudukannya .rempela/empedu.
alaihimkedudukannya .dua betis.
Waladhdhallinkedudukannya. mulut dan perut (panedha).
Aminkedudukannya. penerima.
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga
baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat
masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan
penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna surahi dalam
masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah
disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Quran merupakan
kalam yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik
Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar
menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam
hal ini huruf, kalimat dan makna historis).@@@@

AKU SEJATI
Posted in AKU SEJATI on 29 July 2009 by wongalus

Tuhan mengingatkan bahwa sebelum mengenal Dia (Tuhan) maka manusia diminta
untuk memahami Aku nya sendiri sebagai sarana atau jalan untuk menuju
pengenalan AKU-TUHAN? Itu karena dalam Aku termuat rahasia AKU-NYA.
Pembahasan tentang pengenalan diri ini adalah kunci jalan spiritual. Sehingga menyelami
kesadaran diri yang sebenarnya, dan mengenali hakikat ruh yang biasa menyebut dirinya
Aku adalah cukup penting dan menjadi bangunan suci ibadah hidup manusia. Saya tidak
akan lagi bicara soal dalil-dalil. Ibaratnya kita melakukan shalat, kita tidak lagi butuh dalil,
akan tetapi kita tinggal memasuki keadaan shalat yang sebenarnya. Diskusi kita sudah selesai
dalam hal hukum-hukum kebenaran Tuhan.
Perenungan tentang hakikat ruh ini mau tidak mau membawa kita pada khasanah filsafat
manusia. Namun tidak perlu kita masuki terlalu dalam wacana filsafat apa hakekat manusia
sesungguhnya. Yang jelas, bahwa manusia adalah makhluk sempurna yang telah diberi
mandat untuk menjadi wakil Tuhan di muka bumi.
Selain unsur biologis fisik yang sangat kompleks mulai dari kaki hingga otak, susunan dalam
mental dan kerohaniannya terdapat sifat yang tertinggi meskipun masih terdapat daya

kemauan yaitu KEKUATAN SANG AKU, yang merupakan KEKUATAN yang diterima dari Yang
Maha Mutlak.
Tubuh biologis dan mental keinginan nafsu adalah milik manusia. Namun bukan manusia itu
sendiri. Sebelum manusia (Aku) dapat menguasai atau mengalahkan atau mengarahkan
benda yang menjadi miliknya terlebih dahulu ia harus menyadari dirinya secara benar. Ia
harus dapat membedakan mana yang merupakan Aku dan mana yang merupakan milik Aku,
dapat membedakan mana yang Aku dan mana yang bukan Aku.
Yang harus disadari: SANG AKU BERSIFAT ABADI TIDAK BISA MATI -TIDAK BISA RUSAK.
AKU MEMILIKI KEKUASAAN, KEBIJAKSANAAN DAN KENYATAAN. AKU INILAH YANG AKAN
KEMBALI POSISI ASALNYA: SESUNGGUHNYA AKU ADALAH BERASAL DARI ALLAH DAN
KEPADA-NYA-LAH AKU KEMBALI.
Orang modern yang sejak lahir hingga dewasa selalu hidup dan mengarahkan dirinya dalam
kesemestaan benda-benda material beranggapan bahwa rasa keakuan mereka hanya
merupakan kesadaran mengenai nafsu badani pemenuhan keinginan, pemuasan kesenangan,
memperoleh kenyamanan bagi dirinya. Bagian bawah dari batin naluri merupakan tempat rasa
keakuan orang-orang primitif. Bila seorang primitif mengatakan Aku, maka yang dimaksud
adalah badannya. Badan ini mempunyai perasaan, keinginan dan nafsu. Mereka menggunakan
daya pikirnya guna memenuhi nafsu dan keinginan fisiknya, padahal mereka sebenarnya
hidup dalam tingkat batin naluri.
Setelah menyadari ketololannya dan beranjak tua, manusia harusnya semakin tinggi
pendakian spiritualnya. Mulailah ia mempunyai konsep tentang Aku nya yang lebih lengkap.
Bila ia mulai menggunakan akalnya, maka ia pindah dari tingkat batin naluri ke tingkat batin
mental. Ia mulai merasakan bahwa batinnya adalah lebih nyata bagi dirinya dari pada
badannya, bahkan kadang ia melupakan badannya bila sedang terbenam dalam pemikiran
secara serius.
Setelah kesadaran orang meningkat yaitu kesadarannya berpindah dari tingkat mental ke
tingkat kerohanian ia menyadari bahwa Aku yang sebenarnya adalah sesuatu yang lebih
tinggi dari pada pikiran, perasaan dan badan fisiknya, bahwa semuanya ini dapat digunakan
sebagai alat saja. Hingga akhirnya orang benar-benar merasakan sebagai Aku yang
sebenarnya (AKU SEJATI).
Berikut cara mengembangkan atau membangkitkan kesadaran Aku yang fitrah. Ini merupakan
latihan yang harus disadari, sebab kita tidak akan bisa melakukan pendekatan kepada Allah
kalau tidak menyadari hakekat diri yang hakiki. Kesadaran Aku ini merupakan langkah

pertama pada jalan menuju mendapatkan PENCERAHAN yang merupakan realisasi hubungan
Aku dengan Yang Maha Agung.
Monggo praktekkan latihan ini di berbagai tahapan perjalanan sampai memperoleh
penerangan jiwa.
MENEMUKAN AKU SEJATI
Carilah tempat atau ruangan, yang terbebas dari gangguan, agar batin anda merasa aman
dan tenang. Anda boleh duduk, berbaring, maupun berdiri yang enak agar anda dapat
mengendorkan otot-otot dan membebaskan ketegangan syaraf. Lepaskan ketegangan dan
biarkan otot-otot menjadi lemas, sampai terasa tenang dan damai meresapi seluruh tubuh.
Istirahatkan badan dan pasrahkan seluruh jiwa raga. Atau lakukanlah dengan posisi berdiri,
hal ini dilakukan untuk menghindari mudah terlena dan tertidur
Setelah berpengalaman hendaknya mampu melakukan pengendoran badan dan menenangkan
pikiran dimana pun dan kapanpun anda memerlukannya. Ingat bahwa keadaan dzikir harus
berada di bawah penguasaan kemauan yang keras. Di dalam melakukan praktek dzikir harus
diterapkan pada waktu yang tepat dan atas kemauan sendiri. SADARI BAHWA AKU ADALAH
HAKIKI NYA MANUSIA YANG TIDAK PERNAH TIDUR TIDAK MATI ABADI, SELALU SADAR
TIDAK PERNAH MENGALAMI SEDIH DAN TAKUT AKU SANG ROH SUCI (FITRAH) YANG
MAMPU MENEMBUS ALAM MIMPI, ALAM MALAKUT DAN ALAM ULUHIYAH
Sekarang anda memasuki tahapan yang menyebabkan Aku merasa sebagai makhluk mental.
Kalau anda memejamkan mata anda akan merasakan dan bisa membedakan mana Aku yang
sebenarnya disitu ada aku yang memperhatikan sensasi badan, seperti misalnya : lapar,
haus, sakit, sensasi yang menyenangkan, kesedihan. Anda akan merasakan ternyata bukan
aku sebenarnya yang lapar, sakit dan sedih, akan tetapi itu adalah sensasi badan yang dimiliki
oleh sang Aku. Aku sejati mengatasi semua itu tadi
MUlai sekarang, melepaskan diri dari yang bukan hakiki, agar tidak diombang-ambingkan oleh
tubuh anda sendiri. Sadari AKU ADALAH YANG MENGUASAI PERASAAN DAN PIKIRAN, JADILAH
TUAN ATAS DIRI ANDA keluarlah anda seperti melepaskan baju, lalu tinggalkan dan jangan
anda memikirkan semuanya itu. Karena badan anda mempunyai batin naluri yang akan
bergerak menurut fungsinya. Perhatikan saat anda tidur Aku anda meninggalkan tubuh
anda tanpa harus memikirkan bagaimana nantinya badanku, kenyataannya tubuh bekerja
menurut yang dikehendaki oleh nalurinya sendiri.
SADARKAN SANG AKU. HUBUNGKAN DENGAN DZAT YANG MAHA MUTLAK HADIRLAH
DIHADAPAN-NYA SEBAGAIMANA KESAKSIAN AKU DIALAM `AZALIPANGGILLAH PENUH

SANTUN YA ALLAH YA ALLAH TUNDUKKAN JIWA ANDA DENGAN HORMAT DAN


DATANGLAH KEHADIRAT-NYA DENGAN TERUS MEMANGGIL YA ALLAH YA ALLAH
TIMBULKAN RASA CINTA YANG DALAM HADIRLAH TERUS DALAM DZIKIR BIARKAN
SENSASI PIKIRAN DAN PERASAAN MELAYANG-LAYANG SADARKAN DAN KEMBALIKAN
BAHWA AKU BUKAN ITU SEMUA AKU ADALAH YANG MENYAKSIKAN SEMUANYA
BERSAKSILAH DENGAN MENGUCAPKAN DUA KALIMAT SYAHADAT SAMPAIKAN DOA
SALAWAT UNTUK RASULULLAH .DAN KELUARGANYA. TERUSKAN AKU MELAYANG MENEMBUS
SEMUA ALAM-ALAM YANG MENGHALANGI, BIARKAN AKU BERJALAN MENUJU YANG MAHA TAK
TERHINGGA ###
20 Comments

MENGAKSES ENERGI ALAM SEMESTA UNTUK


KEDAMAIAN HIDUP DAN
MELENYAPKAN PENDERITAAN
Posted in AMALAN MENYERAP ENERGI ALAM SEMESTA on 4 November 2009 by wongalus

Ini adalah salah satu amalan mengakses energi alam semesta dan digunakan untuk
melenyapkan penderitaan yang kita alami, hidup dinamis dan mencapai kedamaian
hidup.
Pejamkan mata, duduk santai dan visualisasikan sebuah teratai di dalam hati kita
memancarkan cahaya putih ke semua anggota tubuh kita. Lalu, lantunkan puisi mantra ini di
dalam hati.
HATIKU ADALAH HATIMU
SEMUA HATI ADALAH SATU HATI
SATU HATI ADALAH HATI ALAM SEMESTA
Lalu diam dan rasakan aliran energi alam semesta yang begitu dahsyat merambat di nadi,
darah, tulang dan seluruh tubuh kita selama 5 menit. Sederhana dan mudah bukan? Ya,
memang ini cara yang sangat sederhana dan tidak perlu diperumit. Mengakses energi alam ini
ada di semua agama semua tradisi spiritual dan aliran kepercayaan manapun di dunia. Cara
boleh berbeda namun, tentu saja hakikatnya sama: MENYADARI SEMUA YANG ADA BERASAL
DARI SATU SUMBER. YAITU TUHAN YANG MAHA SEGALANYA YANG MERUPAKAN CAUSA
PRIMA (SUMBER SEBAB TERAKHIR YANG TIDAK DISEBABKAN LAGI).

Praktek rutin visualisasi ini sangat efektif dapat melenyapkan semua penderitaan yang kita
alami dan menghilangkan hawa nafsu serta mendapatkan pencerahan hakiki. Bahwa
sesungguhnya manusia adalah bagian dari dinamika alam semesta. Dinamika kosmologis yang
terhubung oleh satu kesadaran rasa/batin untuk selalu bersujud pada Tuhan.
Mengapa efektif? Sebab visualisasi ini secara esoterik akan menyapa alam semesta (Alam
semesta adalah makhluk terbesar ciptaan Tuhan) secara tulus sehingga alam semesta juga
menyapa kita dan terjadi transfer energi alam semesta yang luar biasa dahsyat.
Bila kita tidak mengirim getaran sinyal rasa welas asih pada mereka, bagaimana mereka
dapat menerima sinyal kita? Karena itu hati yang tulus sangat penting kita pancarkan ke alam
semesta. Hati yang tulus dapat menggugah hati alam semesta untuk menyelimuti kita dan
memberikan energinya (yang sejatinya bersumber dari energi-Nya) pada kita. Sebaliknya, hati
yang tertutup dan keras membatu akan memancarkan energi penolakan sehingga antara kita
dan alam semesta tidak bisa nyambung dan alam juga tidak akan membuka pintu energinya
untuk kita.

KESAKSIAN DALAM DIAM


Posted in AJARAN BONANG with tags ajaran sunan bonang, syahadat dacim qacim, tahap makrifat
tertinggi, tasawuf sejati on 28 August 2009 by wongalus

Jangan bertanya, Jangan memuja nabi dan wali-wali, Jangan mengaku Tuhan,
Jangan mengira tidak ada padahal ada, Sebaiknya diam, Jangan sampai digoncang
oleh kebingungan
Kenapa kita disarankan oleh Sunan Bonang untuk diam khususnya saat membicarakan soalsoal makrifatullah sebagaimana yang tertera dalam suluk Jebeng? Sebab, daripada sesat
karena bila belum mengalami sendiri keadaan makrifat, maka yang biasa terjadi adalah saling
beradu argumentasi untuk nggolek benere dhewe, nggolek menange dhewe padahal
kasunyatannya tidak seperti yang digambarkan masing-masing orang
Maka, kita diminta untuk diam dan suatu saat semoga kita mampu untuk menyaksikan sendiri
dan membuat kesaksian terhadap eksistensi-Nya yang maha tidak terhingga atau diistilahkan
oleh Sunan Bonang sebagai SYAHADAT DACIM QACIM. Syahadat ini adalah pemberian Tuhan
kepada seseorang yang diistimewakannya sehingga ia mampu menyaksikan dirinya bersatu
dengan kehendak Tuhan. Marilah kita mencebur lebih dalam hal ini.

Agama dari langit sudah sangat lengkap memadukan aspek lahiriah


(syariat/aturan/hukum/fiqih yang mengikat tubuhnya) dan juga aspek perjalanan batin
manusia menuju kebersatuan dengan Tuhan Semesta Alam. Memahami dari aspek lahir saja,
tidak akan mampu memberikan kedalaman pengalaman batin manusia. Sebaliknya, agama
yang dipahami dari sisi batin saja, biasanya cenderung mengabaikan aturan dan hukum
kemasyarakatan sehingga bisa jadi dianggap sesat oleh masyarakat.
Yang ideal memang memahami agama sebagai jalan yang lapang menuju Tuhan secara
sempurna dengan tidak mengabaikan salah satu aspek, apakah itu aspek lahir maupun aspek
batin. Bila aspek lahir dipelajari dalam disiplin ilmu syariat/fiqih/hukum serta ilmu
logika/mantiq dan lainnya. Maka aspek batiniah digeluti dengan pendekatan ilmu tasawuf. Bila
kita belajar ilmu tasawuf, maka tidak bisa tidak kita akan mempelajari sejarah tasawuf dari
masa ke masa, riwayat hidup para sufi dan istilah-istilah ruhaniah manusia.
Tidak mudah untuk belajar tasawuf. Berbeda dengan belajar syariat/fiqih/hukum maupun
filsafat yang dasarnya adalah olah pikir atau logika, maka tasawuf dasarnya adalah olah rasa
untuk menyelami sesuatu yang metafisis dan abstrak. Kita tidak mampu menggali kedalaman
samudera tasawuf jika tidak menyelami sendiri dimensi-dimensi batiniah manusia.
Tasawuf bukanlah ilmu yang teoritis, melainkan praktek (ngelmu). Bisa dengan dzikir sejuta
kali di mulut, bisa juga dengan dzikir semilyar kali di batin siang malam tanpa henti. Ini
tidak lain untuk menghancurkan kerak-kerak hati yang lalai dan kemudian digelontor dengan
puji-pujian kepada-Nya dan seterusnya. Ini hanya satu latihan ruhani yang harus dilakoni
pejalan mistik saja, substansinya justru bukan dzikir atau mengingat-Nya saja. Melainkan
bagaimana setelah mengingat-Nya, dan mendapatkan kesaksian akan kebenaran absolut-Nya,
seseorang itu kemudian mampu berbuat sesuatu sesuai dengan iradat-Nya!!!
Dimensi batiniah manusia bisa diketahui dari bagaimana seseorang itu menempuh jalan
spiritual yang melewati melalui berbagai tahapan (maqom). Dalam setiap tahapan, seseorang
akan mengalami keadaan ruhani tertentu, sebelum akhirnya penglihatan batinnya terbuka
terang benderang yang dalam khasanah tasawuf disebut disebut makrifat secara mendalam
tanpa keraguan.
RASA BATIN yang sering disebut dalam tasawuf yang ialah: tahap pertama WAJD (EKSTASE
seperti Musa AS), selanjutnya DZAUQ (RASA MENDALAM terhadap kehadiran-Nya),
kemudian SUKUR (KEGAIRAHAN MISTIS untuk bermesraan dengan-Nya), berlanjut ke
perasaan FANA atau menghilangnya diri yang benda lahir, BAKA (kekekalan di dalam DzatNya kemudian FAKIR.

Apa itu FAKIR? yaitu adalah keadaan ruhani dimana pejalan spiritual menyadari bahwa
manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali dimiliki-Nya. Seorang fakir tidak memiliki
kemelekatan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan diri jasmani
dan kebendaan. Namun demikian, dia tetap tidak melepaskan tanggung jawabnya sebagai
khalifah di muka bumi. Inilah esensi Tauhid: Yaitu Tiada Tuhan Selain Allah
Kita bisa memahami bagaimana hakikat kefakiran itu dari apa yang disampaikan para pejalan
spiritual. Sekarang, marilah kita sedikit membuka berbagai karya para pejalan spiritual yang
disebut Suluk yaitu satu jenis hasil olah rasa berbentuk prosa atau puisi yang dibuat kaum
mistikus Jawa, yang berisi pengalaman perjalanan ruhani saat bercinta dengan Dzat-nya.
Karya Sunan Bonang yang penting untuk menggali bagaimana keadaan atau suasana
kesadaran tertinggi kaum sufi yaitu SULUK GENTUR. Gentur berarti teguh dan giat, yaitu
sebuah bentuk aktivitas ruhanian yang paling sempurna. Di suluk itu digambarkan bahwa
seorang penempuh jalan tasawuf harus melaksanakan SYAHADAT DACIM QACIM. Syahadat ini
berupa KESAKSIAN DALAM DIAM, TANPA BICARA. NAMUN BATINNYA
MEMBERIKAN KESAKSIAN BAHWA EKSISTENSI DIRINYA ADA KARENA ADA-NYA.
Permisalan yang mudah adalah persenyawaan antara dua dzat. Salah satu dzat tidak akan
otomatis hilang, namun masing-masing berdiri sendiri. sebagaimana Kawulo tetap kawulo dan
Gusti tetap Gusti. Yang lenyap dalam persenyawaan dua dzat itu hanyalah kesadaran sang
kawulo akan keberadaannya yang TIDAK ADA.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang
ialah keadaan dapat MERASAKAN DALAM BATINNYA kebenaran hakiki sebagaimana dalam
kitab suci: SEGALA SESUATU BINASA KECUALI WAJAH-NYA.
Bonang dalam suluknya ini berpesan bahwa, bahwa Hati yang merupakan
RUMAH/DALEM/AKU-NYA TUHAN. Kehadiran-Nya bisa dirasakan bila hati itu ikhlas, nrimo
dan sumarah. Di dalam hati yang seperti itu, antara Kawulo dan Gusti lenyap. Yang terasa
adalah kesadaran bahwa sejatinya manusia (obyek) selalu diawasi oleh Tuhan (subyek), yang
menyebabkan dia tidak lalai sedetikpun kepada Nya.
Dan terakhir, .Bonang berpesan: Pencapaian sempurna bagaikan orang yang sedang tidur
dengan seorang perempuan, kala bercinta Mereka karam dalam asyik, terlena hanyut dalam
berahi Anakku, terimalah dan pahami dengan baik. Ilmu ini memang sukar dicerna
Wong Alus

Apa ada akibat bila kita mengamalkan berbagai ajian, seperti pelet pengasihan,
susuk, menggunakan jimat dan benda-benda bertuah bagi hidup kita? Apa
sesungguhnya khodam itu?
Pertanyaan yang sering diajukan pembaca ini sepertinya sederhana. Namun jawabannya tidak
sederhana dan saya merasa cukup rumit untuk menjelaskannya dengan bahasa yang mudah.
Sebab akan menjurus pada hakikat dunia gaib yang susah dipahami. Namun akan coba
disederhanakan agar bisa diterima oleh kalangan awam. Kitab suci menjelaskan bahwa
pengetahuan manusia atas DUNIA GAIB itu sangat sedikit dan yang mampu mengenalinya
hanya KESADARAN RUH (DIRI SEJATI/AKU SEJATI) kita. Namun meski pengetahuan tentang
ruh ini sangat sedikit tidak berarti manusia tidak boleh tahu apa-apa tentang seluk beluk
dunia gaib ini.

Alat apa pada diri manusia yang mampu mengenal dunia gaib? Apakah akal, mata, telinga,
kulit, lidah? Tidak. Jawabnya adalah RUH. Kenapa manusia cuma diberi sedikit pengetahuan
oleh Tuhan tentang Ruh? Itu karena Tuhan tidak ingin menyusahkan manusia. Tuhan Maha
Tahu bahwa manusia biasanya hanya belajar dengan menggunakan akal saja. Padahal,
akal/rasio tidak akan mampu membeber sesuatu yang gaib. Kecuali merekayasa dan
mengkonstruksikan dugaan-dugaan itu ke dalam sebuah teori.
Kecenderungan peradaban saat ini yang dibangun dengan cara berpikir Barat memang
akhirnya membuat perkembangan ruhani menjadi mandeg dan mangkrak. Akhirnya, orang
meninggalkan aspek ruhani yang metafisis. Diganti dengan aspek gaya hidup pragmatik dan
hedonistik. Maka peradaban saat ini disebut juga dengan peradaban post metafisik. Apa yang
ada diluar peta pemahaman akal ditolak mentah-mentah, padahal bukankah akal itu
hakekatnya adalah metafisik juga?
Coba kita pikirkan hal sederhana sebagai berikut: Bagaimana jari tangan kita bergerak? Itu
karena perintah dari pikiran untuk mengerakkan jari tangan. Bagaimana perintah pikiran bisa
dibaca dan diterjemahkan oleh jari tangan kemudian dituruti kehendak pikiran itu? Dalam
khasanah Ilmu Neurologi kira diberitahu bahwa perintah dari otak kemudian dibawa oleh
neurotrasmitter yakni semacam energi biolistrik yang mampu menggerakkan syaraf-syaraf jari
tangan. Tapi tetap perintah otak itu sumbernya dari mana? Nah, kita akhirnya paham bahwa
yang fisik itu dasarnya juga metafisik.
Seperti juga seutas kabel yang dialiri energi listrik. Energi listrik tentu saja tidak bisa dilihat
mata dan energi listrik bisa diketahui keberadaannya bila dipegang dan kita akhirnya
mengalami kesetrum. Pada kesempatan kali ini, ada baiknya kita tanggalkan dulu untuk
sementara akal kita. Sebab yang akan kita bahas adalah RUH (DIRI SEJATI/AKU SEJATI)
YANG MERUPAKAN BAGIAN PALING INTI SUBSTANSI MANUSIA. Karena ruh itu tidak bisa
dilihat, maka kita perlu akan menggunakan pengalaman kesetrum tersebut.
Ruh akan nampak jelas saat seseorang itu meninggal. Apa yang terjadi saat orang dinyatakan
denyut nadinya tidak lagi bergerak? Maka, orang itu oleh dokter dinyatakan telah MATI. Apa
yang terjadi saat jasad fisik kita mati? Yaitu ruh akan keluar dari fisik dan dia ingat semua
perbuatan yang pernah dilakukan semasa hidup. Perbuatan yang pernah dilakukan itu tampak
seperti album foto panorama yang berjejer bergerak melewati kalbunya. Atau bahkan tampak
seperti sebuah film otobiografi tentang diri sendiri. Ingatan yang jadi tajam itu diperlukan
karena rekaman film tindakan semasa hidup itu memang ditunggu oleh ruhnya DI ALAM
ASTRAL yaitu alam perpindahan dari alam bumi/jagad fisik sekarang ini ke ALAM ALUSALAM
KELANGGENGAN ALAM BARZAKH. Untuk mempermudah pemahaman, maka alam berdimensi
bumi ini kita bagi menjadi tiga: ALAM FISIK atau ALAM BUMI, ALAM ASTRAL: alam antara fisik
dan alam halus sifatnya sudah gaib. ALAM HALUS: ALAM GAIB di bumi dibagi menjadi ALAM
BAIK dan ALAM BURUK
ALAM ASTRAL adalah tempat singgah badan halus manusia sudah meninggal namun masih
melekat pada ruhnya. Alam astral juga merupakan alam HUKUM PANTULAN berlaku. Yaitu
alam bentukan dari perbuatan dan pikiran manusia yang memantul kemudian membentuk
energi. SAAT SESEORANG MENJALANI LAKU UNTUK MENDAPATKAN AJIAN-AJIAN, MEMBACA
MANTRA ATAU MENGISI KEHENDAKNYA PADA BENDA DALAM BENTUK SUSUK, JIMAT ATAU
TOSAN AJI (BENDA-BENDA BERTUAH) MAKA SESUNGGUHNYA ENERGI PIKIRANNYA
TERPUSAT DAN MEMBENTUK BENDA/MATERI DI ALAM ASTRAL. INILAH YANG DIMAKSUD
DENGAN KHODAM!!!! Jadi Khodam bukan entitas makhluk halus tersendiri. Namun makhluk
halus yang dibentuk oleh kehendak kita.

DI ALAM ASTRAL INI PULA TEMPAT KEBERADAAN MAKHLUK HALUS SEHINGGA SAAT
SESEORANG BERNEGOSIASI/BERDISKUSI DENGAN MAKHLUK HALUS MAKA YANG TERJADI
ADALAH SINKRONISASI KEHENDAK ANTARA MANUSIA DAN MAKHLUK HALUS DI ALAM
ASTRAL.
Alam astral ini sama persis seperti alam fisik. Itu karena alam astral ini adalah ALAM TIRUAN
DARI ALAM FISIK. Seperti antara kita dengan bayangan kita di cermin. Sehingga apapun
perbuatan kita, apakah itu baik atau buruk akan memantul di alam astral dan ada akibatnya
cepat atau lambat. Setiap kegiatan dan kehendak yang kita pantulkan itu menghasilkan
pantulan di alam astral bahkan hingga jagad halus. Bedanya, bila di alam fisik kita sekarang
bisa merasakan panas karena cahaya matahari maka di alam astral cahaya matahari tidak
memberikan panas pada kita. Di alam astral juga tidak ada pergantian siang dan malam.
Alam Gaib terbagi menjadi dua yaitu ALAM BAIK dan ALAM BURUK. Kedua alam ini masih ada
di bumi. Di antara dua alam yang mengapit bumi dari atas dan dari bawah itu ada alam astral.
Digambarkan dengan sederhana sebagai berikut:
ALAM GAIB BERDIMENSI DUNIA/BUMI
(1). ALAM GAIB BAIK. Berada di atas bumi. terdiri dari tujuh sap/tingkat dari bawah ke atas:
7 ANDRATASAMIRA, 6 KALASUTRA, 5 MAHARAUNNAWA, 4 RAUNAWA, 3 AMBARISHA, 2
MAHAKALA, 1 LOKANTARIKA
(2). ALAM ANTARA atau ALAM ASTRAL: alam pergantian dari alam fisik ke alam gaib. Alam ini
dihuni oleh empat jenis makhluk halus namun jumlahnya tidak terhingga: keempat jenis itu
adalah JIN API (Salamandala), JIN UDARA (Gandarwa), JIN AIR (Apsara) dan JIN TANAH
(Yaksa).
(3). ALAM GAIB BURUK berada di dalam tanah/bumi. Alam ini terdiri dari atas ke bawah: 1
JAMBU, 2 KASHA, 3 PLAKSHA, 4 SHAMALIA, 5 KRAUNTSHA, 6 SHAKA, 7 PUSKHARA. Di alam
GAIB BURUK, di tingkat 2,3,4 masih terasa cahaya matahari. Namun tingkat 5,6,7 selalu
dalam gelap tanpa cahaya. Ini beda bila ruh manusia yang meninggal di alam BAIK. Di alam
BAIK ini, semua lapisan mendapat cahaya penerangan. Ruh manusia mendapat tempat yang
baik dan menyenangkan. Ini ruh manusia yang semasa hidupnya berbuat baik.
Ruh manusia saat berada di alam astral tergantung pada keikhlasannya untuk meninggalkan
dunia. Bila dia ikhlas karena kemelekatan terhadap dunia ini sangat ringan, maka ruhnya akan
naik ke alam BAIK. Sebaliknya, bila hasrat dan keinginan manusia terhadap dunia ini meluapluap, kemelekatannya terhadap dunia begitu tinggi dan dia belum ikhlas meninggal dunia
maka ruhnya akan sangat berat hingga masuk ke alam gaib alam BURUK.
ALAM GAIB BAIK, berada di langit. Langit dibagi ke dalam dua bagian utama yaitu langit luar
dan langit dalam. Langit luar masih ada bentuknya (Rupa), sementara langit dalam tidak
berbentuk (Arupa/ALAM SUWUNG). Langit yang masih ada bentuknya itu dihuni oleh para
malaikat sementara langit tidak bebentuk itu dihuni oleh para Nabi, Utusan Tuhan dan juga
manusia-manusia terpilih yang dikasihi Tuhan. Di langit berbentuk ini ada Ruh tertinggi yang
mengatur yang alam semesta fisik dan metafisik. Sementara di langit yang tanpa bentuk ada
juga ruh tertinggi yang mengendalikan semuanya.
ALAM GAIB SEJATI BERDIMENSI AKHIRAT
Ada lagi alam gaib setelah dimensi bumi habis. Yaitu selesainya pergelaran alam semesta fisik
dan metafisik bumi dan diganti alam gaib berdimensi akhirat. Di alam gaib akhirat ini adalah
pantulan dari alam gaib berdimensi bumi. Ada Surga/BAIK dan ada Neraka/BURUK juga. Ruh

Manusia dihisab lagi kemudian dimasukkan ke dua tempat gaib terakhir yang abadi. Tidak ada
lagi hukum sebab akibat/sunatullah.
ALAM GAIB AKHIRAT berada di kegaiban langit. Langit dibagi ke dalam dua bagian utama
yaitu langit luar dan langit dalam. Langit luar masih ada bentuknya (Rupa), sementara langit
dalam tidak berbentuk (Arupa, ALAM SUWUNG). Langit yang masih ada bentuknya itu dihuni
oleh para malaikat sementara langit tidak bebentuk itu dihuni oleh para Nabi, Utusan Tuhan
dan juga manusia-manusia terpilih yang dikasihi Tuhan. Di langit berbentuk ini ada Ruh
tertinggi yang mengatur yang alam semesta fisik dan metafisik. Sementara di langit yang
tanpa bentuk ada juga ruh tertinggi yang mengendalikan semuanya.
KESIMPULAN:
Dari penjelasan di atas, kita menjadi tahu bahwa di alam fisik/alam bumi sekarang ini tidak
ada yang bisa lepas dari HUKUM SEBAB AKIBAT. Termasuk juga saat ruh kita berada di ALAM
ASTRAL yang merupakan adalah tempat singgah badan halus manusia /ruh manusia. Di alam
astral berlaku HUKUM PANTULAN. Saat seseorang menjalani laku untuk mendapatkan ajianajian, membaca mantra atau mengisi kehendaknya pada benda dalam bentuk susuk, jimat
atau tosan aji (benda-benda bertuah) maka sesungguhnya energi pikirannya terpusat dan
membentuk benda/materi di alam astral yang disebut dengan KHODAM. Di alam astral ini
pula tempat keberadaan makhluk halus tingkat rendah sehingga saat seseorang
bernegosiasi/berdiskusi dengan makhluk halus maka yang terjadi adalah sinkronisasi
kehendak antara manusia dan makhluk halus di alam astral. Dan SINKRONISASI KEHENDAK
INI DIHARAMKAN OLEH AGAMA. Sebab, kebanyakan bertentangan dengan hukum sebab
akibat, hukum karma atau sunatullah. Ada konsekuensi atau akibat bila kita suka bermain
ajian, menggunakan susuk, jimat atau tosan aji? Jawabnya mereka akan susah meninggal
dunia. Jangan heran bila orang yang memasang susuk di tubuhnya sulit mati. Begitu juga
dengan mereka yang punya ajian di tubuhnya. Kenapa? Sebab RUH KITA MASIH MEMILIKI
KEMELEKATAN KEPADA ALAM NYATA/ALAM BUMI. Apa yang terjadi bila orang sulit mati? Dia
akan sangat tersiksa karena jasad fisiknya sudah tidak berdaya dan tubuh ini hanya bertahan
hidup secara singkat, sementara ruh ingin terbang menuju alam gaib halus. Ruh bisa masuk
ke alam gaib halus karena tidak melekat di dunia fisik/bumi. Ruh yang masih punya hasrat
dan keinginan duniawi bisa dipastikan akan menangis kesakitan. Mereka membutuhkan doa
agar Tuhan berkenan mengangkat ruh ini lepas menuju alam gaib halus.
Maka, akan lebih bijaksana bila kita semua mempertimbangkan kembali dampak baik buruk,
positif negatifnya memiliki ilmu-ilmu supranatural tersebut. Bila dirasa tidak/kurang
bermanfaat jangan ragu untuk meninggalkan berbagai ajian bila kita merasa tidak
membutuhkannya. Waspadai dengan adanya niat, kehendak, pikiran dan amalan buruk yang
kita lakukan sehari-hari. Itu semua akan mempersulit kita untuk menembus dimensi gaib
yang halus untuk bersimpuh di kaki TUHAN YANG MAHA HALUS.
@wongalus,2009

ILMU LADUNI
Posted in ILMU LADUNI on 28 July 2009 by wongalus

Dalam khasanah makrifat, pejalan spiritual akan bersinggungan dengan istilah ILMU
LADUNI. Yaitu pengetahuan yang diperolehi tidak melalui proses kegiatan belajar
mengajar dan membaca buku-buku, namun melalui PANDANGAN MATA HATI YANG
DITERIMA LANGSUNG DARI ALLAH.
Tuhan hanya bisa dikenal jika Dia sendiri berkehendak untuk dikenali. Jika Dia ingin
memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka hati hamba itu akan dipersiapkan untuk
dilakukan pembersihan. Selanjutnya, Hati hambanya tersebut diterangi dengan CAHAYA atau
Nur-Nya. Nur-Nya adalah kendaraan bagi hati untuk sampai ke SISI-Nya.
HATI ADALAH BADAN DAN RUH ADALAH NYAWANYA. RUH PULA YANG LANGSUNG TERKAIT
DENGAN TUHAN DAN KETERKAITAN ITU DINAMAKAN AS-SIR (RAHASIA). RUH ADALAH
NYAWANYA HATI DAN SIR ADALAH NYAWANYA RUH. BOLEH JUGA DIKATAKAN BAHWA
HAKIKAT HATI ADALAH RUH DAN HAKIKAT RUH ADALAH SIR. SIR ATAU RAHASIA YANG
SAMPAI KEPADA TUHAN DAN SIR YANG MASUK KE HADRAT-NYA. SIR INILAH MAMPU UNTUK
YANG MENGENAL ALLAH KARENA SIR ADALAH HAKIKAT SEMUA YANG BERWUJUD.
Cahaya Ilahi menerangi hati, ruh dan Sir. Cahaya Ilahi akan membuka hakikat-hakikat. Amal
dan ilmu tidak mampu menyingkap rahasia hakikat-hakikat. Cahaya Ilahi berperanan
menyingkap tabir hakikat. Orang yang mengambil hakikat dari buku atau memahami dari
ucapan orang lain belumlah dikatakan mengetahui hakikat yang sebenarnya. Mereka hanyalah
menyangka atau mengkhayal sudah mengetahui hakikat padahal sesungguhnya belum.
Hakikat akan diketahui apabila seseorang gigih mendalami pengetahuan tentang hakikat dari
perenungan-perenungannya sendiri (berarti dia menggunakan akalnya sebagaimana yang
dianjurkan Tuhan dalam agama) dan kemudian mempraktekkannya dalam perbuatan seharihari dengan mempertimbangkan dengan hati nuraninya. Ditambah dengan memohon
ampunan, memuji Nama Tuhan sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti hadirnya
sinar kebijaksanaan sambil terus juga berharap.

Alam ini pada hakikatnya adalah gelap. Alam menjadi terang karena ada kenyataan Tuhan
padanya. Misalnya kita berdiri di atas puncak sebuah bukit pada waktu malam yang gelap
gelita. Apa yang dapat dilihat hanyalah kegelapan. Apabila hari siang, matahari bersinar, akan
terlihat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang menghuni bukit itu. Yang terlihat di atas bukit itu
menjadi nyata karena diterangi oleh cahaya matahari. Cahaya mewujudkan yang gelap
menjadi benda-benda yang nyata.
Sesungguhnya cahaya hanya satu jenis saja dan datangnya dari sumber yang satu jua. Begitu
juga halnya pandangan mata hati. Mata hati melihat banyaknya hakikat karena banyaknya
hakikat yang tercermin dari ragam Cahaya Ilahi, sedangkan Cahaya Ilahi datangnya dari
cahaya yang satu yang bersumberkan Zat Yang Maha Esa.
Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah daripada kebenaran. Hatilah
yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup. Dalil atau bukti yang dicari bukanlah
untuk menyatakan kebenaran tetapi untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada
cahaya yang terang benderang. Cahayalah yang menerangi atau membuka hijab hati.
Nur Ilahi adalah cahaya yang menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan serta
membawanya untuk menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli. Apabila cahaya Ilahi
sudah membuka tirai dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati dapat memandang
kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata. Semakin terang
cahaya Ilahi yang diterima oleh hati akan menambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya.
Pengetahuan yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersumber dari Cahaya Ilahi
dinamakan ILMU LADUNI ATAU ILMU YANG DITERIMA DARI ALLAH SWT SECARA LANGSUNG.
KEKUATAN ILMU YANG DIPEROLEHI BERGANTUNG KEPADA KEKUATAN HATI MENERIMA
CAHAYA ILAHI.
Para pejalan spiritual awal yang hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Ilahi yang
diperolehinya tidak begitu terang. Oleh itu ILMU LADUNI yang diperolehinya masih belum
mencapai peringkat yang halus. Pada tahap ini hati terkadang masih mudah goyah dan
sewaktu-waktu mengalami kekeliruan. Kadang-kadang hati masih cenderung menuju yang
samar-samar dan abu-abu.
Orang yang tataran spiritualnya pada peringkat ini memang perlu mendapatkan bimbingan
dan penjelasan dari ahli makrifat yang ilmunya lebih tinggi. Apabila hatinya semakin bersih
cahaya Ilahi semakin bersinar meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas. Lalu
hatinya menghadap kepada yang lebih benar, sehinggalah dia menemui kebenaran hakiki.

TERBUKANYA MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA ANDA AKAN KEBERADAAN ALLAH.


KESAKSIAN MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA ANDA KETIADAAN DIRI SELAIN WUJUD
NYA. KESAKSIAN HAKIKI MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA ANDA BAHWA HANYA TUHAN
YANG WUJUD, TIDAK TERLIHAT LAGI KETIADAAN DAN WUJUD ANDA.
Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini
dinamakan Cahaya Qalbu. Ia akan menerangi AKAL lalu AKAL dapat memikirkan dan
merenung tentang HAKIKAT KETUHANAN yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri.
Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyadari perjalanan hal-hal ketuhanan
yang menguasai dirinya. Kesadaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa
dekatnya ALLAH dengannya.
Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahwa DIA sentiasa mengawasi gerak-gerik kita,
mendengar pembicaraan dan mengetahui bisikan hati kita. Jadilah dia seorang yang CERMAT,
ELING DAN WASPADA.
Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada MARTABAT ini ialah: 1. CERMAT
DALAM MELAKSANAKAN HUKUM TUHAN. 2. HATI TIDAK CENDERUNG KEPADA HARTA, CUKUP
DENGAN APA YANG ADA DAN BAHAGIA BILA BISA MEMBANTU ORANG LAIN DENGAN HARTA
YANG DIMILIKINYA. 3. BERTAUBAT DENGAN SEBENARNYA (TAUBAT NASUHA) DAN TIDAK
KEMBALI LAGI KEPADA KEJAHATAN. 4. RUHANINYA CUKUP KUAT UNTUK MENANGGUNG
KESUSAHAN DENGAN SABAR DAN BERTAWAKAL 5. KEHALUSAN RUHANINYA MEMBUATNYA
MERASA MALU KEPADA TUHAN DAN MERENDAHKAN DIRI KEPADA-NYA SAJA.
Orang yang taat kepada perintah-NYA senantiasa kuat melakukan ibadah dan meningkatlah
kekuatan ruhaninya. Dia akan kuat untuk menyerahkan semua urusan kehidupannya kepada
TUHAN saja. Dia tidak lagi takut apapun yang menimpanya. Dia tidak lagi tergantung kepada
sesama makhluk. Hatinya teguh dan ikhlas dengan semua ketentuan-NYA.
BAHAYA dan BENCANA SEHEBAT APAPUN tidak lagi menggugat imannya dan KENIKMATAN
DUNIA tidak lagi menggelincirkannya. Baginya SUKA dan DUKA, BENCANA dan
KEBERUNTUNGAN sama saja, karena ini takdir yang SUDAH DITENTUKAN TUHAN untuknya
dan takdir-NYA kepada kita pasti yang terbaik.
Orang yang seperti ini sentiasa di dalam penjagaan TUHAN karena dia telah menyerahkan
dirinya kepada TUHAN juga. TUHAN menganugerahi orang ini dengan kemampuan untuk
melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui pikiran,
kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan memberi

kesan kuat kepada hatinya (kalbunya). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia
menafikan perwujudan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud ALLAH.
Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati.. Dia MERASAKAN benarbenar akan keesaan Allah bukan sekadar mempercayainya. Hakikat sesungguhnya hanya bisa
dialami dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan TUHAN dan hati
merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud-NYA, tidak lagi
melihat kepada wujud dirinya.
Orang yang di dalam suasana seperti ini telah transenden dari sifat-sifat kemanusiaan. Orang
yang mencapai tingkat ini dikatakan telah mencapai maqam TAUHID SIFAT. Hatinya jelas
merasakan bahawa tidak ada yang berkuasa melainkan DIA dan segala sesuatu datangnya
dari ALLAH.
Yang perlu digarisbawahi, bahwa perjalanan spiritual manusia akan melalui beberapa
tingkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tahap pertama terbuka mata hati dan cahaya
Qalbu memancar menerangi akalnya. Seorang yang akalnya diterangi cahaya Qalbu akan
melihat betapa dekatnya TUHAN. Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang
dinamakan ILMUL YAQIN.
Pada tahap keduanya mata hati yang telah terbuka. Seseorang tidak lagi melihat dengan mata
ilmu tetapi melihat dengan mata hati dan mata hati memandang itu dinamakan KASYAF.
KASYAF MELAHIRKAN PENGENALAN ATAU MAKRIFAT. Seseorang yang berada di dalam
maqam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperolehi keyakinan
yang dinamakan AINUL YAQIN. Pada tahap AINUL YAQIN seseorang telah menceburkan diri di
wilayah kegaiban segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. ###

SETENANG TELAGA MAKRIFAT


Posted in MATA KETIGA on 19 November 2009 by wongalus

Kenapa disebut mata ketiga? Bukankah mata kita hanya ada dua? Jawabannya akan
kita telusuri pada malam Jumat Kliwon ini
Mata ketiga sebenarnya adalah indera keenam manusia. Indera yang letaknya di antara dua
mata kita. Persis di tengah kedua mata agak ke atas maju ke depan sekitar 20 sentimeter.
Mata ketiga ini bukanlah mata fisik untuk melihat benda fisik. Mata ketiga ini adalah mata
ruhani manusia. Siapa yang mampu memfungsikan mata ketiganya dengan baik, maka dia

akan memiliki kecerdasan spiritual yang melahirkan kepekaan tinggi untuk merasakan setiap
getaran atau vibrasi kegaiban. Itu sebanya kita diminta untuk sujud khusyuk. Kenapa sujud?
Sujud adalah cara paling hebat untuk menghidupkan mata ketiga; yaitu menghilangkan diri
yang tidak sejati di hadapan DIRI YANG MAHA SEJATI.
Fungsi mata ketiga pada diri manusia adalah agar dia mampu mengakses dan mengunduh
petunjuk Tuhan Yang Maha Lembut. Secara umum, petunjuk Tuhan datang pada kita melalui
tiga macam cara: Bisa disampaikan dalam mimpi, disampaikan oleh malaikat dan disampaikan
dalam bentuk simbol-simbol. Ketiganya hal yang supranatural dan religius ini hanya bisa
ditangkap bila kita sudah mampu menghidupkan indera keenam atau mata ketiga.
Mata ketiga akan mengantarkan kita pada percaya pada hal-hal gaib. Ini harus dimiliki oleh
manusia agar mampu mengangkat dirinya dari derajat binatang. Mata ketiga adalah khas
milik manusia, karena di mata ketiga ini tersimpan kebijaksanaan untuk memilih dimensi
mana yang bisa dilihat dan mana yang tidak perlu dilihatnya. Suatu ketika, saat saya berada
di tengah kuburan saya bisa mendengarkan rintihan dan keluhan para arwah yang disiksa di
alam gaib. Itu karena saya berkeinginan untuk mendengarkan suara-suara mereka. Namun,
bila kita tidak ingin mendengarkan suara-suara mengerikan itu, maka suara itu pun tidak akan
terdengar. Inilah kebijaksanaan mata ketiga. Mata yang bisa secara otomatis untuk terbuka
atau tertutup. Bila dirasa sebuah fenomena itu bermanfaat untuk perkembangan ruhani, maka
mata ketiga akan terbuka. Sebaliknya, bila sebuah fenomena itu dirasa membahayakan ruhani
kita, maka mata ketiga akan tertutup dengan sendirinya.
Mata ketiga adalah pelengkap unsur kemanusiaan sehingga manusia mampu melaksanaan
pemujaan Realitas Yang Tertinggi, Yang Maha Sempurna tanpa cacat, tanpa batas, tanpa akhir
yaitu Allah Yang Maha Agung. Mata ketiga adalah batin atau rasa sejati kita yang mampu
mengantarkan kita pada keyakinan yang kokoh dan tanggul (Haqqul Yakin) karena benarbenar mampu tidak hanya yakin tanpa dasar, tapi bisa menyaksikan Tuhan, dan mengalami
kemahadekatan-Nya.
Mata ketiga secara hakiki adalah alat untuk menangkap pengetahuan yang berupa Nur
(khasanah Jawa dinamakan ilmu sejati) yang diinstalkan Tuhan kepada manusia yang
bersedia untuk mendayagunakan dan mempersiapkan mata ketiganya. Kehebatan manusia
tidak diukur dari seberapa baik dia mendayagunakan emosi dan akalnya, melainkan pada
bagaimana dia mengolah mata ketiganya untuk mendapatkan ilmu hakikat segala yang ada
ini. Kemajuan pengembangan mata ketiga, akan mendorong terciptanya keinginan pada diri
kita untuk melakukan hidup berdasarkan atas kehendak Tuhan, mampu menekan ego bahkan
menghilangkannya.

Cara bekerjanya Mata Ketiga tidak seperti cara bekerjanya akal. Akal cenderung aktif
mengakses informasi padahal tidak selamanya informasi itu diperlukan. Bahkan tidak jarang
justeru malah membingungkan dan menyesatkan. Memang informasi diperlukan untuk
memecahkan problem jika informasi itu sejalan dengan problem yang dihadapi. Tetapi, jika
informasi itu sangat banyak kita akan dibuat bingung untuk memilah dan mencari kesimpulan.
Cara bekerjanya mata ketiga hanyalah pasif menunggu hidayah petunjuk atau Nur Ilahi. Dia
hanya pasrah, ikhlas, sumeleh serta bersikap diam. Hasil pencerapan mata ketiga tidak
disimpan di otak namun di qalbu atau hati nurani. Sehingga sangat tidak mungkin direkayasa
oleh akal. Itu sebabnya, karena hasil pencerapan mata ketiga itu berada di hati nurani maka
kebanyakan informasinya tidak mampu diakses oleh akal. Saat akal bertanya apa hasil
pencerapan mata ketiga, maka mulut hanya mampu mengucapkan AKU TIDAK TAHU.
Ini sekedar kisah saya pribadi. Yaitu soal keinginan saya untuk bertemu dengan para
nabi/rasul yang waskita di alam gaib. Namun, saat akan bertemu dan mewawancarainya pasti
ada hambatan dan tantangan. Hati ini terasa belum siap untuk langsung mendapatkan
anugerah Tuhan besar: bertemu dan mengungkapkan cinta saya pada mereka.
Hari demi hari, saya menumpuk-numpuk bekal untuk menjalani sebuah perjalanan mencari
para kekasih Tuhan ini. Bekal yang paling utama adalah bekal kesiapan mental spiritual.
Sebab perjumpaan dengan mereka membutuhkan kesiapan yang besar. Bagaimana tidak?
Saya harus siap misalnya, bertemu Ibrahim AS dan diperintahkan untuk mengikuti jejaknya
menyembelih anak. Atau bertemu Musa AS dan bisa jadi saya diperintahkan untuk
mengingatkan penguasa agar kembali menyembah Tuhan, atau bertemu Isa AS dan saya
diperintahkan untuk menebus dosa umat manusia se jagad. Apakah saya siap?
Selain bekal kesiapan mental, saya harus pula membekali diri untuk menempuh perjalanan
panjang mencari mereka. Jangan bayangkan perjalanan ini seperti kaum muda yang
berkelana ke gunung-gunung, keliling dunia pakai mobil off road, mencakar-cakar dinding
gua-gua yang penuh tanda, masuk ke pyramid membawa kamera dan bekal baju tahan dingin
dan sebagainya.
Namun perjalanan untuk mencari para Utusan Allah terkasih ini sebenarnya bukanlah
perjalanan mencari di luar diri. Sebaliknya, ini adalah perjalanan memasuki jagad gaib yang
ada di dalam diri. Membuka selubung demi selubung, tabir demi tabir, lapis demi lapis yang
menutupi pandangan mata batin agar terang benderang seluruh kasunyatan di jagad
makrokosmos ini. Kenapa begitu?

Jawabnya: Para nabi sekarang sudah tidak ada di bumi dan berada di alam gaib, maka
perjalanan mencari mereka adalah perjalanan memasuki pintu alam gaib yang sangat
berbahaya.

Selubung

demi

selubung

itu

kegaiban

itu

sebenarnya

adalah

sifat-sifat

kemanusiaaan kita sendiri. Iri, dengki, sombong, takabur, sok tahu dan diganti dengan sifat
sabar, ikhlas, pasrah dan seterusnya.
Saat kita mampu menepis sifat-sifat tersebut dari dalam diri kita, sesungguhnya kita sedang
melakukan perjalanan mental menuju jagad gaib di dalam diri. Pada akhirnya, tampak sinar
beraneka warna cemlorot bercahaya dari berbagai sudut kemudian menyatu dalam sinar putih
yang akan memancar ke luar diri dalam bentuk sinar kebijaksanaan. Pada kesempatan yang
sama, pintu kegaiban pun terbuka lebar untuk dimasuki oleh diri sejati kita. Mulai memasuki
alam gaib yang paling rendah yang dihuni oleh makhluk halus beraneka rupa, memasuki alam
gaib tingkatan para ruh yang suci, hingga alam suwung yang dihuni oleh para malaikat dan
seterusnya memasuki alam gaib tersuci yang dihuni para kekasih Allah. Mereka ini adalah
para wali, para nabi dan rasul. Termasuk segelintir para kekasih Allah yang sampai ke tingkat
tertinggi pencapaian spiritual.
Akhirnya hari yang saya tunggu-tunggu itupun tiba. Saat niat dan tekad sudah membulat,
tak ada yang mampu menghalangi untuk bertemu dengan para kekasih Allah, pujaan hati.
Saya pun bermeditasi menghilangkan ruang dan waktu, memasuki wilayah tersunyi di dalam
bilik hati yang sepi:
Hening sejenak, saya dilemparkan ke bebatuan terjal. Jari-jari tangan saya mencengkeram
bebatuan keras dan tajam itu. Di bawah kaki saya sekitar 20 meter, tampak ombak ganas
lautan. Ya, saya berada di sebuah pantai yang tidak saya kenal sebelumnya. Konsentrasi
harus sangat tinggi agar kaki tidak terpeleset. Pilihannya, meniti bebatuan terjal atau jatuh ke
ombak samudra yang ganas.
Nafas saya tersengal, jari kaki dan tangan sedikit lelah. Namun semangat masih menyala.
Saya merangkak perlahan ke atas. Licinnya bebatuan berlumut hijau terasa oleh jari-jari.
Beberapa saat lamanya berjuang untuk hidup saya menemukan sebuah lorong gelap kecil.
Ukurannya kurang lebih 30 sentimeter. Segera saya selamatkan diri dengan memasuki lorong
lembab tersebut. Saat sudah semua bagian tubuh saya masuk ke lorong, saya terjerembab ke
sebuah kedung. Celakanya, sebuah ular weling sebesar jempol kaki berada di depan wajah
siap mematuk. Habis rasanya saya
Saya hanya bisa pasrah menerima kematian. Ternyata weling itu tidak jadi mematuk saya
dan kemudian tiba-tiba dia melesat masuk tanah. Dia menjadi sekelebat bayangan putih
samar tidak jelas. Saya kejar kelebat bayangan itu namun dia masuk lorong dengan

kecepatan tinggi. Saya pun mengejarnya dengan kecepatan yang hampir mampu mendekati
dia. TIba-tiba bayangan itu berhenti. Saya mendapat petunjuk inilah sesosok yang saya cari
selama ini, Nabi Khidir (NK). Dengan nafas tersengal saya wongalus (WA) mewawancarainya
WA:

Anda

NK:

siapa?

Aku

WA:

Kok

tidak

bisa

NK:

Anda

Aku

tidak

tahu

tahu

tidak

siapa

Anda?

mau

bicara

WA: Ketidaktahuanmu dan ketertutupanmu membuatku penasaran. Kamu itu hamba Allah,
sama

seperti

NK:

saya

Kamu

sok

tahu

WA: Aku masih manusia normal jadi tidak boleh menghilangkan jati diriku. Diriku akan hancur
bila

aku

NK:

meleburkan

kau

WA:

Sedikit.

diri

tahu
Tolong

dalam

tentang

ajari

aku

kesatuan

wujud

kesatuan

tentang

kesatuan

wujud?
wujud

itu?

NK: Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu? (NK balik bertanya ke saya. Terus terang
awalnya

saya

WA:

Dengan

NK:
WA:

tidak

mampu

untuk

pancaindera,

akal

Kamu
Memang

NK:

begitu

keadaanku,

menangkap
dan

masih
ajari

aku

dengan

ARAFTU

apa

isyaratnya)
hatiku
bodoh

aku

mengenal

RABBII

Tuhanku?
RABBII!!!

WA: Berarti aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku, kalau kamu bagaimana kau mengenal
Tuhanmu?
NK:

Aku

tidak

tahu.

WA: Tolong berikan aku petunjuk kalau salah menafsirkan. Bahwa ketidaktahuanmu berarti
ketidakmampuanmu menjangkau sesuatu yang memang tidak terjangkau. Itulah kadar
keterjangkauan
NK:

manusia.
Aku

Begitulah?
tidak

tahu

WA: Aku tidak tahu juga terhadap semua jawabanmu


Tiba-tiba NK yang sejak tadi hanya terlihat bayangan putih itu menghilang dan hanya tercium
bau wangi yang saya belum pernah menghirupnya. Saya kemudian bersujud dan berkali kali
mengucapkan Allah Alam (Allah Yang Maha Mengetahui). Ya, setelah saya bertemu dengan
NK ini saya benar-benar mendapatkan ilmu tentang tidak mengetahui apa-apa itu.
Saat itulah NK hadir lagi dan mengatakan kepada saya: Aku mengijinkanmu untuk
menyampaikan kisah dariku dengan syarat engkau harus berkata AKU TIDAK TAHU
MENYANGKUT APA YANG ENGKAU TIDAK KETAHUI DAN TETAP TEKUN BELAJAR

NK tadi pun mengakhiri pengajarannya: Tahukah engkau kenapa aku tidak menjawab
pertanyaan-pertanyaanmu dengan tidak tahu? Tahukah kau apa yang sesungguhnya kau
kehendaki dari pertanyaanmu itu? Sesungguhnya, kau ingin menjadikan punggungku
jembatan api neraka.
Kini, di malam Jumat Kliwon ini saya membaca perlahan ayat Al Quran: Allah Maha
Mengetahui dan kamu tidak mengetahui dan Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit
dan kemudian saya bolak balik hadits berikut ini: Nabi Muhammad sering tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan kepada beliau sebab beliau menunggu jawaban dari Allah SWT.
Saya memaknai pengajaran terakhir NK itu sebagai peringatan kepada kita semua: bila kita
menggunakan akal maka akan berbahaya. Akal yang terus menerus menanyakan suatu
rangkaian sebab akibat tidak akan pernah puas dengan satu jawaban. Akhirnya, waktu dan
usia habis untuk permainan-permainan akal. Beda bila kita menggunakan MATA KETIGA;
ruhani kita akan terpelihara, mulut bersih dari ucapan kotor dan sumpah serapah, bila
beruntung maka bersyukur, bila diuji maka akan bersabar, bila berdosa akan beristighfar, bila
bersalah akan menyesal dan bila dimaki akan tersenyum. Meski tidak punya harta, dia tetap
bangga dengan kesederhanaan. Tubuhnya boleh gemetar menahan lapar tapi jiwanya
setenang telaga makrifat.
Kepada NK yang selalu kurindukan, salam sejahtera untukmu!
@wongalus,2009

MEMINDAHKAN MAKHLUK HALUS


PENGHUNI PEKARANGAN
Posted in MEMINDAHKAN MAKHLUK HALUS on 29 October 2009 by wongalus

Apabila Anda ingin membeli dan memiliki tanah pekarangan, maka rasakanlah apa
ada makhluk halus yang hidup di sana.
Apabila tanah pekarangan tersebut ternyata dihuni oleh makhluk-makhluk halus maka yang
perlu Anda lalukan adalah tidak perlu memaksakan diri untuk membelinya. Sebab nanti
diperkirakan makhluk halus tersebut akan mengganggu kehidupan Anda.
Namun apabila memang sangat terpaksa Anda membeli tanah pekarangan tersebut, maka
langkah yang perlu dilakukan adalah meminta agar mereka untuk pindah sebelum dibangun

rumah. Sebab bila tidak, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Misalnya
ada anggota keluarga yang mengalami gangguan sakit, rumah tangga bercerai berai dan lainlain.
Untuk memindahkan makhluk halus, yang perlu dilakukan adalah: Puasa 3 hari atau 7 hari
dan saat malam tidak tidur. Baca sholawat 100 kali setiap malam jam 12 setelah itu diakhiri
dengan bacaan astagfirullahhal adzim. Setelah semua amalan itu dilakukan maka baca
rapalan sebagai berikut:
Ya dayina yani yanu yamarkaba yasiyata yasiyara yaamusa yarimua yadibuda
yadibaya
Setelah itu, di setiap pojok bidang tanah ditanam jimat yang ditulis di kertas atau kain.
Jimatnya sebagai berikut:

@wongalus,2009

You might also like