You are on page 1of 46

Case 8

Saat anda sedang bertugas di UGD datang seorang laki-laki Tn.A (20 tahun) korban ledakan
tabung gas diantar oleh perawat RS swasta. Ledakan tabung gas terjadi di rumahnya 2 hari
yang lalu. Tn. A di rawat di RS swasta dekat rumahnya, dia menderita luka bakar 70% namun
hari ini kondisinya memburuk. Menurut petugas yang mengantar, pasien tampak semakin
lemah, mual dan muntah 3x disertai kesadaran yang menurun dan volume urin yang sedikit.
Disertai juga hasil laboratorium saat pertma kali datang di rumah sakit sebagai berikut :
Hb : 13 g/ dL

(N : 12-14 gr/dL)

Ht : 40%

(N : 35-44%)

Leukosit : 9500/mm3

(N : 4,5-10,5 103 / mm3)

Ureum : 25 mg/dL

(N : < 50 mg/dL)

Kreatinin : 140 mEq/l

(N : 0,6 -1,2 mg/dL)

Na : 140 mEq/l

(N : 136-142 mEq/L)

K : 3,9 mEq/l

(N : 3,8-5,0 mEq/L)

Pada pemeriksaan fisik


Keadaan umum tampak lemah, delirium
TD 90/60 mmHg, RR 34x/ mnt cepat dan dalam, Nadi 124 x /menit kecil dan lemah, Suhu :
37,5 C
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Thoraxs batas jantung normal bunyi jantung takikardi murni reguler, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen : data, hepar / lien tidak teraba, bising usus (+) normal
Pemeriksaan kulit sesuai dengan luka bakar 70% grade 2

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah :
Hb : 15 gr/dl
Ht : 55

(N : 12-14 gr/dL)
(N : 35 44 %)

Leukosit : 15000 / mm3

(N : 4500 11.000 / mm3)

Ureum : 150 mg/dL

(N : < 50 mg/dL)

Kreatinin : 5,2

(N : 0,6-1,2 mg/dL)

Na : 127 mEq/L

(N : 136 142 mEq/L)

K : 7 mEq/L

(N : 3,8-5,0 mEq/L)

pH : 7,25

(N : 7,38 -7,44)

PCO2 : 22 mmHg

(N : 35 40 mmHg)

HCO3 : 12 mmol/L

(N : 21 28 mmol/L)

Urin :
Volume Urin 24 Jam : 300 cc
Keruh
BJ : 1,025 (1,005 1,030)
Eritroist : 0 /LPB
Leukosit : 3/LPB
Glukosa : negatif
Protein : negatif
EKG : gelombang T lancip dan tinggi, komplek QRS melebar

Terminologi : Problem :
1. Kondisi apa yang disebabkan oleh luka akibat 70%
2. Apa hubungan dari luka bakar dengan keluhan yaitu lemah, mual muntah disertai
kesadaran dan volume urin yang menurun ?
3. Mengapa saat ini pasien mengalami keadaan TD menurun, RR naik , N meningkat
dan Turgor lambat ?
4. Apa interprestasi dari peningkatan ureum dan kreatinin yang dialami pasien ?
5. Apakah peningkatan ureum dan kreatinin disebabkan oleh kerusakan ginjal ?
6. Apa yang menyebabkan ketidakseimbangan di sebabkan oleh kerusakan ginjal ?
7. Apakah kondisi asidosis matabolik berpengaruh pada kondisi pasien saat ini ?

Hipotesis :
1. Syok Hipovolemik
2. Dehidrasi
3. AKI

Mekanisme :
IDK :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Faal Ginjal
Keseimbangan Asam-Basa
Syok Hipovolemik
Kelainan imunologi GUS
TNA Anak, Dewasa*
AKI*

*(Definisi, etiologi, Klasifikasi, epidemiologi, gejala klinis, diagnoisi, penatalaksanaan,


prognosis)

Fisiologi Ginjal Normal

Fungsi Ginjal
Mengatur volume cairan ekstrasel tubuh
Mengatur komposisi elektrolit cairan ekstrasel
Kadar Na+ , K+, Ca2+, Mg2+, Chlorida (Cl-) & Fosfat (PO43-)
Imbangan asam basa (H+ & HCO3-)
Mengekskresi sisa metabolisme (urea, asam urat, creatinin, sisa metabolisme
Hb) & benda asing (obat, pestisida, bahan tambahan pada makanan)
Mensekresi hormon eritropoietin, renin & kalsitriol (1,25 DHC)
Mensintesis glukosa (glukoneogenesi

Glomerulus
1. Gulungan kapiler & Kapsula Bomwan
2. Membran kapiler & membran pars viseralis kapsula Bowman yg saling bersentuhan
membran filtrasi:
1. Endotel kapiler dg fenestra( 50-100m)
2. Membran basalis yg homogen (glikoprotein, mukopolisakarida , aseluler)
3. Membran kapsula Bowman (pars viseralis): podosit (terdapat interdigitasi
antarpodosit dg celah 20 m, yg dihub. dg membran tipis)
3. Sel-sel mesangial (~sel perisit): merupakan modifikasi otot polos, jika berkontraksi,
luas permukaan membran filtrasi turun.

Membran filtrasi

Aparatus jukstaglomerulus

Aparatus jukstaglomerulus

Terdiri atas 3 komponen


Makula densa: sel-sel dinding segmen akhir A.H pars asenden & segmen awal
tub. dist. yg berjln. di antara a.aferen & a.eferen pd hilus glomerulus. nefr. yg
sama.
Fungsi: mendeteksi perubahan kecepatan aliran filtrat dlm. tubulus
zat vasoaktif (endotelin & bradikinin) konstriksi/dilatasi arteriola
Sel granular a.aferen & a.eferen: menghasilkan renin,
Fungsi: sebagai baroreseptor intrarenal
Sel lacis atau sel mesangial ekstraglomerular
Apparatus juxtaglomerulus diinervasi oleh saraf simpatis.

Proses Dasar di Ginjal

a. Filtrasi di glomerulus:
Proses penyaringan plasma
dari kapiler ke kapsula Bowman filtrat bebas protein
b. Reabsorpsi & Sekresi di tubulus
Proses pertukaran zat antara plasma di kapiler peritubuler dg cairan filtrat di
dalam lumen tubulus.
Perpindahan dari lumen tubulus ke kapiler: reabsorpsi

Perpindahan dari kapiler ke lumen tubulus: sekresi


Filtrasi reabsorpsi + sekresi ekskresi urine
Hasil: komposisi plasma normal dipertahankan.

Proses filtrasi (1)


Untuk mendorong cairan dari kapiler ke kaps Bowman, perlu gaya (tekanan filtrasi
/TF = Starling forces), yg ditentukan oleh:
Tekanan mendorong:
tekanan hidrostatik di kapiler glomerulus (PKG) & tekanan onkotik
dalam kaps. Bowman (KB)
Tekanan melawan filtrasi:
tek. hidrostatik di kaps Bowman (PKB) & tek. onkotik prot.plasma
di kap.glomerulus (KG )
TF = Tekanan mendorong tekanan melawan
TF = (PKG+ KB) (PKB+ KG ) atau TF = PKG PKB - KG

Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerular Filtration Rate)

TF = (PKG + KB) (PKB + KG)


TF (tekanan filtrasi) = (PKG PKB - KG)

LFG = Kf (koefisien filtrasi) x


TF
Kf = permeabilitas x luas
permukaan

LFG = Kf (koefisien filtrasi) x


TF
Kf = permeabilitas x luas
permukaan
LFG org normal dg BB 70 kg
adalah 180L/hari (125 ml/min)
Vol plasma 3 L
darah
difiltrasi 60x sehari (penting utk
mengatur susunan milieu
interieur secara tepat)
Proses filtrasi (2)
Tekanan hidrostatik kap.glom. + 55 mmHg, dipengaruhi oleh : kerja jantung dan
tahanan dalam a.aferen & a.eferen.
Tekanan hidrostatik kaps Bowman + 15 mmHg, dipengaruhi oleh keadaan ureter dan
kapsula fibrosa ginjal.
Tekanan onkotik di kap. glomerulus + 30
mmHG, bergantung pada kadar protein plasma
di kap. glomerulus
TF = PKG PKB - KG , maka
TF = ( 55 15 30) mmHg = 10 mmHg
Tekanan filtrasi yang berperan dalam
pembentukan filtrat adalah 10 mmHg

Laju filtrasi glomerulus (LFG) / Glomerular filtration


rate (GFR)
Vol plasma yg difiltrasi dari kapiler glomerulus
ke kapsula Bowman per satuan waktu.
Bergantung pada tekanan filtrasi (TF), permeabilitas membran glom. & luas
permukaan filtrasi (Kf)

LFG = Kf x TF atau LFG = Kf x (PKG PKB - KG)


BB 70 kg LFG = 180 L/hari (125 ml/menit)
LFG dpt berubah bergantung pada berbagai hal yg dapat menimbulkan perubahan2
pada Kf, PKG, PKB & KG

Pengaturan LFG intrinsic


Seharusnya bila tek drh a.renalis tek hidr.glom. LFG , tapi ternyata pada T.D. 80180 mmHg ADG dan LFG relatif tetap. pengaturan secara intrinsik (autoregolasi)
yi. mll. perubahan diameter a.aferen. (vasokonstriksi /vasodilatasi)
Ada 3 mekanisme autoregulasi
1. Mekanisme miogenik
Kemampuan ototpolos a.aferen, berkonstriksi bila teregang oleh arus darah yg
arus darah ke kapiler relatif tetap
2. Mekanisme umpan balik Tubuloglomerular
Bila muatan zat terlarut yang sampai di makula densa , LFG
3. Glomerulo tubular balance
Bila LFG naik maka reabsorpsi zat-zat terlarut, dan air di tub. proksimalis
naik

Autoregulasi miogenik
Disebabkan adanya perubahan resistensi a.aferen & a. eferen

Tubuloglomerular feedback
1. Bila TD GFR :
2. NaCl dan kecepatan cairan masuk tubulus
3. Stimulasi makula densa vasokonstriktor (endotelin)
4. Vasokonstriksi a. aferen (resistensi a.aferen )
5. RPF
6. GFR (kembali normal)

Pengaturan LFG intrinsik & ekstrinsik

Keseimbangan Asam Basa


Mengacu pada pengaturan konsentrasi ion (H+) bebas dalam cairan tubuh.
Asam : Substansi yang dapat memberikan ion [H+]
Basa /alkali : Substansi yang dapat menerima ion [H+]
Normal pH cairan tubuh :

Darah Arteri 7.4


Darah Vena dan cairan interstitial 7.35
Cairan Intrasel 7.0

Base axcess

Base excess : banyaknya asam kuat (mmol) yang

harus ditambahkan pada 1 L darah arteri pada suhu


37C dan pCO2 40 mmHg agar pH kembali ke normal

Pada asidosis metabolik, asam harus dikurangi agar

pH kembali normal base ekses (-), sebaliknya pada


alkalosis metabolik, base ekses (+).
Normal: [-2] [+2 ] mmol/L
Metabolic acidosis: < [-2] mmol/L
Mild [-4] [-6 ]
Moderate [-6] [-9]
Marked [-9] [-13]
Severe [ < -13 ]
Metabolic alkalosis:

> [+2] mmol/L


Severe > [+13]
Marked [+9] [+13]
Moderate [+6] [+9]
Mild [+4] [+6]

Nilai normal analisis gas darah

Standard bikarbonat : kadar [HCO3-], pada [pCO2 ] 40 mmHg, [pO2 ] 100 mmHg,

suhu 37C, pH 7.40.

[pCO2]: Normal: 35 - 45 mmHg


Respiratory acidosis: > 45 mmHg
Respiratory alkalosis: <35 mmHg

[HCO3-] Normal: 22 - 26 mEq/L


Metabolic acidosis: < 22 mEq/L
Metabolic alkalosis: > 26 mEq/L

Asam

2 jenis asam : asam karbonat & asam non karbonat

Asam karbonat terbentuk terutama pada metabolisme karbohidrat dan lemak

Asam non karbonat terbentuk terutama pada metabolisme protein

Peningkatan [H+] diregulasi melalui


1. Sistem buffer ekstrasel & intrasel (dalam detik)
2. Pusat respirasi di batang otak, mengontrol ventilasi paru untuk mengontrol CO2
[pCO2] ( dalam 1-3 menit)
3. Mekanisme ginjal melalui pengaturan kadar [HCO3-]: (1) reabsorpsi bikarbonat
dan
(2) regenerasi bikarbonat
(memerlukan waktu lebih lama beberapa jam sampai beberapa hari untuk berefek pada
perubahan pH darah).

1) Sistem buffer
Buffer adalah larutan yang dapat meminimalisasi perubahan pH, bila suatu basa
atau asam ditambahkan ke dalam larutan itu.
1) Buffer terdiri dari suatu asam lemah (yang melepaskan ion H+ ) / basa lemah (yang
dapat mengikat ion H+ ) dengan garamnya
2) Bila suatu larutan asam ditambahkan ke dalam larutan buffer, buffer akan mengikat
ion H+ yang berlebihan sehingga pH dapat dipertahankan
3) Bila larutan basa ditambahkan ke dalam larutan buffer, buffer akan melepaskan ion H+
agar pH dapat dipertahankan
3 sistem buffer utama :

Sistem asam karbonat, bikarbonat


Sistem buffer phosphate
Sistem buffer protein (hemoglobin, asam amino, protein plasma)

Buffer asam karbonat-bikarbonat


Merupakan buffer utama ECF

a. Bila asam kuat ditambahkan ke larutan, asam karbonat [H2CO3] hampir tidak
berubah, tetapi ion bikarbonat [HCO3-] dari garamnya [NaHCO3] akan mengikat H+
yang berlebihan menghasil-kan lebih banyak asam karbonat [H2CO3] .

b. Bila basa kuat ditambahkan ke larutan, natrium bikarbonat [NaHCO3] , pH relatif


tidak berubah, tetapi asam karbonat berdisosiasi menghasilkan lebih banyak ion H+
[H2CO3] [H+] + [HCO3-] untuk mengikat kelebihan [OH-]

c. Kadar bicarbonate di ECF diregulasi oleh ginjal , dan kadar bikarbonat plasma
dikontrol sistem respirasi.

Sistem buffer Phosphate

Hampir serupa dengan buffer asam karbonat- bikarbonat.

Komponen buffer ini :


Garam natrium dihidrogen phosphate (NaH2PO4), suatu asam lemah
Monohydrogen phosphate (Na2HPO42), suatu basa lemah

Buffer ini efektif sebagai buffer di urin dan cairan intracellular.

Sistem buffer protein

Protein plasma dan protein intracellular merupakan buffer paling banyak dalam
tubuh dan kuat .

Beberapa asam amino dari protein memiliki:


Gugus asam organik bebas (weak acids)
Gugus amin yang bereaksi basa lemah (amino groups)

Amphoteric molecules merupakan molekul protein yang dapat berfungsi sebagai asam
lemah dan basa lemah.

2) Mekanisme ginjal dalam mengontrol pH


Reabsorbsi & pembentukan ion bikarbonat (asidosis)

Jumlah H+ yg dapat disekresi bergantung pada derajat keasaman urin pH urin


maks /pH limit = 4,5 H+ msih dpt disekresi .

Terdapat 3 jenis reaksi buffer asam yg memudahkan sekresi H+ di tubulus:


1. Reaksi dg bikarbonat untuk membentuk H2O dan CO2
2. Reaksi dg HPO42- untuk menghasilkan H2PO43. Reaksi dg NH3 untuk membentuk NH4+

1. Buffer bikarbonat

Dlm lumen TP, H+ yang di buffer oleh HCO3- H2CO3 CO2 dan H2O ;
pH filtrat di TP tdk bnyk berubah.

2. Buffer bifosfat

Apabila buffer bikarbonat tdk cukup untuk mengikat semua ion H+

H+ yang dibuffer HPO42- H2PO4- , tdd di TD dan DK. Buffer bifosfat akan
menambah keasaman urin

3. Buffer amonia

Reaksi ion H+ dengan NH3, tdd di TP dan TD

Proses reabsorbsi ion bikarbonat

Kontribusi ginjal membentuk ion bikarbonat baru

Kontribusi ginjal membentuk ion bikarbonat melalui metabolisme glutamin

Sekresi ion bikarbonat pada alkalosis

Pada alkalosis, sel tubulus mensekresi ion bikarbonat dan membentuk ion H+ untuk
mengasamkan darah.

Mekanisme ini bertolak belakang dengan proses reabsorpsi ion bikarbonat.

3) Pengaturan [H+] oleh paru

Bila pH darah turun, menstimulasi pusat pernafasan, menyebabkan frekwensi dan


kedalaman pernafasan meningkat untuk meningkatkan pembuangan CO2 melalui
paru.
Bila pH darah meningkat, pusat pernafasan tertekan sehingga CO2 tertumpuk dalam
darah dan menyebabkan pH turun sebagai kompensasi.

Gangguan keseimbangan asam basa

Asidosis respiratorik belum terkompensasi

Asidosis respiratorik terkompensasi

Asidosis metabolik belum terkompensasi

Asidosis metabolik terkompensasi

Alkalosis respiratorik belum terkompensasi

Alkalosis respiratorik terkompensasi

Alkalosis metabolik belum terkompensasi

Alkalosis terkompensasi

1) Asidosis respiratorik

Terjadi peningkatan [pCO2 ] > normal akibat hipoventilasi disertai penurunan pH.
Hipoventilasi penimbunan [CO2 ] [CO2] + [H2O] kadar [H2CO3] (asam
karbonat) meningkat. pH turun.

Etiologi asidosis respiratorik

Inhibisi pada pusat respirasi di otak :


Obat : opiate, anestetik, sedatif.
Oksigen pada hiperkapnia kronik
Cardiac arrest

Kelainan otot respirasi dan otot dinding dada


Kelemahan otot : miastenia gravis, sindroma Guillain- barre
Hipokalemia berat

Obstruksi saluran nafas

Kelainan pertukaran gas melewati kapiler paru


Sindroma distres respirasi, asthma berat, pneumotorak

2) Asidosis respiratorik terkompensasi

Hipoventilasi kronik [pCO2] meningkat ginjal melakukan kompensasi [HCO3-]


meningkat.

Setelah 3-5 hari tercapai keseimbangan baru.

Untuk tiap kenaikan [pCO2] sebesar 10 mmHg, [HCO3-] meningkat 3.5 mEq/L .

Walaupun pH naik tetapi masih < 7.4 (asam)

Etiologi asidosis respiratorik terkompensasi

Kelainan otot dada & bentuk thorax :

Spinal cord injury, poliomielitis, kyphoskloliasis,


obesitas.

Kelainan pertukaran gas : COPD

Lesi sistem saraf pusat (jarang)

3) Alkalosis respiratorik

Keadaan dimana terjadi kehilangan [CO2] secara akut.

Hiperventilasi [pCO2] menurun pH meningkat alkalosis

Bila tekanan CO2 < 30 mmHg dan disertai perubahan/ peningkatan pH.

Mekanisme kompensasi ginjal belum terjadi seluruhnya tergantung pada penurunan


tekanan CO2 dan perubahan ventilasi.

Bikarbonat dan base excess dalam batas normal

Etiologi biasanya disebabkan oleh keadaan hiperventilasi

4) Alkalosis respiratorik terkompensasi


Sudah terjadi mekanisme kompensasi. Etiologi
disebabkan oleh:

Hypoxemia :

Penyakit paru : pneumonia, edema, fibrosis interstitialis

Gagal jantung kongestif

Anemia berat

Rangsangan pusat pernafasan

Psychogenic /voluntary hyperventilation

Keracunan salisilat , kelainan neurologik (tumor pontine, CVA), septicemia gram


negatif

5) Alkalosis metabolic

Terjadi akibat kelebihan alkali terutama ion bikarbonat [HCO3-] atau kehilangan asam
(H+) non karbonat

Penimbunan basa/ kehilangan asam non karbonat pH meningkat penekanan


kemoreseptor pernafasan hipoventilasi [pCO2] meningkat pH menurun sedikit
(masih alkalosis)

Etiologi alkalosis metabolic

Intake basa meningkat (NaHCO3)

Kehilangan ion [H+] :


Renal loss : diuretika (thiazide)
GI loss : muntah2 .
Perpindahan [H+] ke sel hipokalemia

Produksi bikarbonat berlebihan di ginjal

Dalam jangka waktu beberapa hari akan terjadi mekanisme kompensasi oleh ginjal dengan
meningkatkan sintesis [H+] dan mengurangi reabsorbsi HCO3. Terjadilah alkalosis metabolik
terkompensasi

6) Alkalosis metabolik terkompensasi

Terjadi bila sudah terjadi mekanisme komoensasi ginjal dengan mensintesis [H+] dan
mengeliminasi bikarbonat melalui sekresi di urin.

7) Asidosis metabolik
Penimbunan asam non karbonat atau kehilangan basa (alkali) pH turun menstimulasi
kemoreseptor pernafasan hiperventilasi [pCO2] turun pH agak meningkat (masih
asam/asidosis)

8) Asidosis metabolik terkompensasi


Ditandai nafas cepat dan CO2 dieliminasi melalui paru [pCO2] menurun di bawah normal.
Ginjal mengekskresi [H+] dan menahan / mensintesis [HCO3-] untuk mengatasi asidosis

Klasifikasi Keseimbangan asam-basa uncompensated & compensated

Uncompensated
Asidosis

pH

< normal

Respiratorik

pCO2

meningkat

HCO3
Alkalosis
Respiratorik

pH
pCO2
HCO3

normal
> normal
menurun
normal

Compensated
normal rendah
meningkat
meningkat
normal tinggi
menurun
menurun

Keseimbangan asam-basa uncompensated & compensated


Uncompensated
Asidosis
Metabolik

Compensated

pH
pCO2
HCO3

Alkalosis

pH

Metabolik

pCO2
HCO3

< normal
normal
menurun

normal rendah
menurun
menurun

> normal

normal rendah

normal

meningkat

meningkat

meningkat

Syok Hipovolemik

SYOK

Definisi :

Merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik
yang ditandai dengan kegagalan sist.sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital tubuh.

Macam-macam Syok :
Syok kardiogenik
Syok hipovolemik
Syok septik
Syok neurogenik
Syok anafilaktik

Syok hipovolemik

Adalah terganggunya sistem sirkulasi akibar dari volume darah dalam pembuluh
darah yang berkurang.

Etiologi

Perdarahan

Kehilangan plasma

Kehilangan cairan ekstraselular

Klasifikasi

Hipovolemik ringan

Hipovolemik sedang

Hipovolemik berat

Gejala klinis

Ringan : ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler meningkat, diaporesis, vena


kolaps, cemas

Sedang : sama, ditambah dengan Takikardia, takipnea, oliguria, hipotensi ortostatik

Berat : sama, ditambah dengan hemodinamik tak stabil, takikardia, hipotensi,


perubahan kesadaran.

Diagnosis

Ditemukan tanda berupa ketidak stabilan hemodinamik dan adanya sumber


perdarahan.

Kehilangan plasma ditandai dengan : hemokonsentrasi

Kehilangan cairan bebas : hipernatremia

Tatalaksana

Menempatkan pasien dalam posisi yang lebih tinggi

Menjaga jalur nafas

Resusitasi cairan dengan cepat IV/pemasangan kateter CVP (central venous


presure)/jalur intraarterial

Kelainan Imunologi GUS


Terdapat 2 bentuk cedera akibat antibodi pada glomerulus :
1. Pengendapan kompleks antigen-antibodi larut yg beredar dlm darah di glomerulus.
2. Antibodi yg bereaksi in-situ di dlm glomerulus.

Nefritis kompleks imun dalam darah

Glomerulus dianggap innocent bystander .

Antigen tidak berasal dari glomerulus. Antigen endogen dan eksogen.

Kompleks antigen terbentuk


tersangkut di glomerulus
menimbulkan cedera
(tdd atas sebukan leukosit ke dlm glomerulus dan proliferasi sel endotel, mesangium
dan epitel parietal).

Lokasi endapan kompleks imun :


1. Di mesangium, antara sel endotel dan GBM (pengendapan subendotel)
2. Antara permukaan luar GBM dan podosit (pengendapan subepitel)
Pemeriksaan dg fluoresens, kompleks imun tampak sebagain endapan granular di glomerulus

Nefritis kompleks imun in-situ


Antibodi bereaksi secara langsung dg antigen yg sudah terfiksasi di glomerulus.
1. Penyakit anti GBM : spontan pada manusia, sindrom Goodpasture
2. Nefritis Heymann : ditandai dg endapan difus imunoglobulin dan komplemen pola
granular.

MEDIATOR CEDERA IMUN

C5-C9 (membrane attack complex).

Monosit dan makrofag

Trombosit

Sel glomerulus residen

Sindrom Nefrotik
Merupakan suatu kempleks klinis yg mencangkup:
1. Proteinuria masif 3,5 gram/ lebih perhari
2. Hipoalbuminemia
3. Edema generalisata
4. Hiperlipidemia & lipiduria
Biasanya azotemia, hematuria dan hipertensi tidak begitu nyata walaupun terdapat dengan
kenaikan yg tidak signifikan seperti sindrom nefritik.

Lupus eritomatosus sistemik (SLE)


Adalah reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ / sistem tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.
Epidemiologi
Menyerang wanita muda dengan insiden puncak 15-40 tahun selama masa produktif
aktif
Prevalensi 2,9 / 100.000 40 / 100.000
Lebih sering di temukan ras seperti negro, cina
Etiologi
Faktor genetik
Faktor ligkungan

Sinar ultraviolet

Tembakau

Obat-obatan

virus

Faktor hormonal

Gejala Klinis
Discoic rush
Oral ulcer
Potosensitivity
Atritis non erosif
Malar rush
Imunologo
Neurologi
Renal
Ana Test
Serosis
Hematologi

Serangan pada ginjal


SLE melibatkan pengendapan kompleks DNA / Anti DNA dalam glomerulus sehingga
menimbulkan peradangan yang menyebabkan proliferasi sel endotel, mesangium /
epitel
Hampir semua kelainan SLE menunjukan kelainan ginjal tertentu di px dengan
mikroskop elektron
Menurut Klasifikasi WHO ada 5 pola :

Kelas I
Normal melalui px. Mikroskop cahaya, elektron dan imunofluoresen

Kelas II (Glomeruonefritis Lupus Mesangial)


Terjadi pada 20 % kasus
Gejala klinis ringan

Komleks imun menetap dalam mesangium, disertai peningkatan pada matriks dan
selularitas mesangium

Kelas III (Glomerulonefitis Proliferatif Fokal)


Terjadi kira-kira 25%
Lesi terlihat kurang dari setengah glomerulus
Secara khas, jika glomerulus tidak normal terdapat setengah fokus adanya
pembengkakan serta proliferasi sel endotel dan mesangium. Infiltrasi oleh neutrofil
dan endapan fibrinoid disertai trombus kapiler
Disertai proteinuria dan hematuria

Kelas IV (Glomerulonefritis Proliferatif Difus)


Bentuk lesi paling serius dan sering di temukan pada sle
Sebagian besar glomerulus menunjukan adanya proliferasi endotel dan mesangium
yang menyerang seluruh glomerulus, maka terdapat hiperseluler difus pada
glomerulus yang beberapa kasus menghasilkan epitel bentuk sabit mengisi rongga
bowmann
Kompleks imun dapat terlihat dengan pewarnaan fluresen granular
Jika cukup luas, kompleks imun akan menebalkan seluruh dinding kapiler,
menyerupai gulungan kawat pada px. Rutin dengan mikroskop cahaya (kompleks
imun sub endotel)
Cedera glomerulus akan menimbulkan jaringan parut (glomerulosklerosis)
Ku : hematuria disertai proteinuria ringan-berat, hipertensi

Kelas V (Glomerulonefritis Membranosa)


Terjadi pada 15 %
Merupakan penyakit glomerulus yang di tandai dengan penebalan dinding kapiler
yang meluas
Penebalan dinding kapiler terjadi karena peningkatan pengendapan material yang
menyerupai membran basalis serta akumulasi kompleks imun

Diagnosis
DOPAMIN RASH
Px. Penunjang

Px. Darah rutin

Px. Urin

Px. AutoAtibodi (ANA, Anti ds DNA, px. Komplemen C1, C4,C2,C3)

Talak non Farmako


Memakai pelindung jika mau keluar siang hari (baju lengan panjang, pakai topi /
payung)
Hindari rokok
Harus hati-hati terhadap infeksi

Talak Farmako SLE untuk gejala ginjal


Jika ada gangguan ginjal (Siklosfosfamid) untuk nyembuhin glomerulonefritis difus
awal dan nyembuhin Laju filtrasi glomerulus yang menurun / peningkatan kreatinin.
Dosis 0,5-1 gr /m2 IV dalam 150 Nacl 0.9% selama 60 menit. Jika peyakit sudah
terkontrol dilakukan trapping off. Efek samping mual, muntah
Alternatif siklosfosfamid Azatioprin dosis 1-3 mg/kgbb/hari oral diberikan selama 612 bulan lalu di trapping off jika penyakit sudah terkontrol. Efek samping
peningkatan enzim hati

Prognosis
Saat ini tingkat kelangsungan hidup 10 tahun 90% dan kelangsungan hidup 15 tahun
80% di karenakan penanganan yang cepat dan teknologi yang canggih
Penurunan kematian harus dilakukan diagnosis dini

Acute Tubular Necrosis


Penyebab utama dari acute kidney injury (75%)

Definisi
Suatu entitas klinikopatologik yang secara morfologis ditunjukan dengan destruksi sel
epitel tubulus dan secara klinis oleh supresi akut fungsi ginjal (Robbins)
Secara umum, menunjukan bagian tubulus dari ginjal yang mengalami nekrosis

Epidemiology
Angka mortalitas berkisar antara 40-70% tergantung penyebab penyakit yang
mendasari

Etiology
ATN umumnya disebabkan oleh keadaan akut seperti iskemia atau toksik.
Penyebab dari iskemia
Keadaan hpovolemik (perdarahan, cairan ayng banyak keluar dari GI dan
Ginjal, dan luka bakar)
Volume darah dari jantung yg menurun (gagal ginjal, aritmia)
Vasodilatasi sistemik (sepsis)
Disseminated Intravascular Coagulation
Vasokontriksi renal (siklosforin, norepinefrin, epinefrin)
Penyebab dari toksik
Eksogen (aminoglikosida, amfoterisn B dan kontras dari radiografi)
Endogen

Clasiffication
ATN iskemik
ATN nefrotoksik

Pathogenesis
Cedera Tubulus
Gangguan aliran darah yang menetap dan berat
Ciri khas khusus
Nekrosis tubulus dengan membran basalis yang utuh pada ATN nefrotoksis
Nekrosis tubulus dan membran basalis pada ATN iskemia

Cedera Tubulus
Sel epitel tubulus sangat peka terhadap anoksia serta rentan terhadap toksin
Iskemia menyebabkan perubahan struktural di sel epitel (hilangnya polaritas sel)
Iskemia yang menyebabkan sel mengalami nekrosis dapat menyebabkan terlepasnya
sel epitel ke dalam tubulus dan membentuk silinder serta dapat menyebabkan
obstruksi

Gangguan Aliran Darah


Perubahan hemodinamik (vasokontriksi intrarenal) yang menyebabkan penurunan
GFR
Berefek pada penurunan filtrat glomerulus dan penurunan perfusi oksigen ke tubulus

Stage of Disease
Initial Phase
Maintenance Phase
Recovery Phase

Initial Phase
Sekitar 36 jam
Ditandai dengan penurunan jumlah urin dan peningkatan nitrogen urea dalam plasma
Penurunan urin berdasarkan penurunan transien aliran darah ke ginjal
Maintenance Phase
Hari kedua sampai keenam
Penurunan tetap dari GFR
Penurunan drastis pengeluaran urin (50-400 ml/hari)
Anuria total jarang terjadi
Gambaran klinis uremia dan kelebihan cairan
Tanpa perawatan yang tepat dan dialisis, pasien bisa meninggal pada fase ini

Recovery Phase
Peningkatan secara tetap volume urin (sampai 3 L/hari) dalam beberapa hari
Karen fungsi tubulus masih terganggu, masih ada gangguan keseimbangan elektrolit
Adanya kerentanan terhadap infeksi (25%)
Dengan perawatan yang tepat 90-95% pulih dari ATN
70% ATN meninggal karena infeksi, 30% merupakan penyebab utama

Histopathologic Feature

Interstitial edema, accumulation of


Early and early maintenance phases leukocytes in vase recta, tubular
dilatation, ultrastructural changes.

Maintenance Phase

Epithelial cell damage and necrosis,


tubular dilatation, cast formation.

Recovery Phase

Epithelial cell regeneration with


flattened cells containing
hyperchromatic nuclei and mitotic
figures, restoration of ultrastructural
features.

Sign and Symptom


Penurunan pengeluaran urin
Hiperkalemia
Sindrom uremik dengan oligouria
Membran mukosa dan kulit yang kering

Gejala SSP, letargi, kedutan, serangan kejang


Uremic Syndrome
kumpulan tanda dan gejala pada insufisiensi ginjal progresif dan GFR menurun
hingga < 10 ml/menit (<10% dari normal) dan puncaknya pada ESRD (end
stage renal disease)
Pada titik ini nefron yang masih utuh, tetapi tidak mampu lagi mengkompensasi dan
mempertahankan fungsi ginjal normal

Complication
Gagal jantung
Perikarditis uremik
Edema paru
Uremic lung (perihilar edema of the lung associated with renal failure and
hypertension; the peripheral parts of the lung remain clear)
Anemia
Anoreksia, muntah persisten
Apabila ada demam dan menggigil, memandakan adanya infeksi yang menyebabkan
kematian utama pada ATN

Diagnosis
Oligouria
Pemeriksaan Darah
Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum
Hiperkalemia
Asidosis metabolik
EKG
Pelebaran segmen QRS, gel. P yang menghilang dan gel. T yang tingggi serta
meruncing.

Differential Diagnoses
Acute Renal Failure
Azotemia
Chronic Renal Failure
Acute Glomerulonephritis
Interstisial Nefritis

Treatment
Tujuan utama pada pengobatan ATN adalah mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut.
Pantauan ECF
Oligouria
Intravenous Furosemide dosis tunggal (100-200mg)
Dopamin sebagai renal vasodilatation (tidak direkomendasikan)
Dialisis
Nefrotoksik, seluruh pengobatan dihentikan
Antioksidan
Asupan protein yang adekuat dan kalori yang cukup
Adanya pretein katabolik yang berefek pada malnutrisi dan penurunan sistem
imun
25-35 kkal/kg/hari serta asam amino 1.7 gr/kg/hari (pasien dengan dialisis dengan
hiperkatabolik

AKI (Acute Kidney Injury)


Definisi
adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa
metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Epidemiologi
merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir
menunjukkan peningkatan insidens. Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang
bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah
sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka
kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.
Etiologi
AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang
menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung
menyebabkan gangguan
pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait
dengan obstruksi saluran kemih (AKIpascarenal,~5%). Angka kejadian
penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI.4,9 Salah satu
cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI (Dimodifikasi)
AKI Prarenal
I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi
usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran
kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
(luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik


- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
(contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi
kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna),
penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi
tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,
sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. Renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/intrinsik
I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,
kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis,
asam urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial


- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri,
viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
Sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
Eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan,
Darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di
atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau
merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan
kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI,
pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada
AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar
seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.4,9 Upaya pendekatan diagnosis
harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.
Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan
dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE
dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia,
penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata
penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI
renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki
tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat
nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat).

Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong
seperti gejala trombosis,glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal
dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi
pelviokalises ginjal,kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang
menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik
gejala obstruksi maupun iritatif,dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur
menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat
dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.
Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih,atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat
ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan
berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy
brown granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada
ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit
dan pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial. Hasil pemeriksaan
biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea
urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada
tabel 4).
Tabel 4. Kelainan Analisis Urin (Dimodifikasi)4,12,13
Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal

Urinalisis Silinder hialin Abnormal


Gravitasi spesifik >1,020 ~1,010
Osmolalitas urin (mmol/kgH20) >500 ~300
Kadar natrium urin (mmol/L) <10 (<20) >20 (>40)
Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35
Rasio Cr urin/Cr plasma >40 <20
Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik,vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya,
ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat
vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi
ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang
dari 1%, FEUrea kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi
pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan
reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku
untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan
pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal
akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal
secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula
menunjukkan hasil kurang dari 1%.13 Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan

AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu
kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan
adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal.
Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal
dapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan
penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil
disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN
yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.
Peranan Penanda Biologis
Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis AKI (Cr serum, LFG dan UO)
dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain (1) sangat tergantung dari
usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat
membedakan tipe kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomerulus atau
tubulus); (3) tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan
penurunan LFG dan tidak baik dipakai sebagai parameter pemulihan. Penghitungan LFG
menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk pasien
dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat
terjadi tidak dapat ditangkap oleh rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria UO tidak
menyingkirkan pengaruh faktor prarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik.
Keseluruhan keadaan tersebut menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat
ini, yang dapat berpengaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata laksana sehingga dapat
berpengaruh pada prognosis penderita. Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah
diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin,
dapat membedakan penyebab AKI, menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan
prognosis AKI. Penanda biologis dari spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada
umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus
(kidneyinjury molecule [KIM]-1, Na+/H+ exchanger isoform 3),penanda kerusakan tubulus
(cystatin C, a-1 mikroglobulin, retinol-binding protein, NAG).14,16
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa IL-18 dan
KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI; NGAL, IL-18,
GST-p , dan g-GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL18 merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI. Tampaknya untuk
mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda
biologis. Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang beredar di Indonesia.
Tata Laksana
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa
AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I),
upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah
pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI
adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi
pascarenal, dan menghin dari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan
dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti,
sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman
volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum.

Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005
Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI
(Dimodifikasi) Katabolisme Variabel Ringan Sedang Berat
Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis, ARDS, klinis obat infeksi MODS
Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering Rute pemberian Oral Enteral +/- pa- Enteral +/panutrisi renteral renteral

Rekomendasi energi 20-25 kkal/kg 25-30 kkal/kg 25-30 kkal/kg


BB/hari BB/hari BB/hari
Sumber energi Glukosa 3-5 g/ Glukosa 3-5 g/ Glukosa3-5 g/kgBB/hari kgBB/hari
BB/hari
Lemak 0,5-1 g/ Lemak 0,8-1,2 kgBB/hari kgBB/hari
Kebutuhan protein 0,6-1 g/kgBB/ 0,8-1,2 g/kgBB/ 1,0-1,5 g/kgBB/hari
Pemberian nutrisi Makanan Formula enteral Formula enteral
Glukosa 50-70% Glukosa 50-70%
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien

Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan
tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa
Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih
baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi
yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis.
Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk
pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien
oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko
ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78).20,21 Meskipun demikian, pada keadaan tanpa
fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari
tata laksana AKI adalah
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan
dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan
dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin
bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal.
Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari
12 jam). Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam
atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan
translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada
8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat
bahkan dapat menyebabkan toksisitas.
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat
digunakan untuk tatalaksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol
ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat
nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek
negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian
lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak
memperbaiki prognosis pasien Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara
historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan
DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah
ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan
yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga
tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin.
Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang
meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes
mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian
dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan
terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa
saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin
dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis,
dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap
dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1
(fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk
penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada
tata laksana AKI.

Tata Laksana Komplikasi


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai
dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan komplikasi juga dapat dilakukan
dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria,
hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema
paru, ensefalopati uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum,
disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang
dapat didialisis.26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan

terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi
sudah teratasi.
Tabel 6. Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI4
Komplikasi Tata laksana
Kelebihan cairan
Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
intravaskular
Penggunaan diuretik
Hiponatremia
Batasi cairan (<1 L/hari)
Hindari pemberian infus cairan hipotonik
Hiperkalemia
Batasi asupan K(<40 mmol/hari)
Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
Beri resin potassium-binding ion exchange
Beri Dekstrosa 50% 50 cc + insulin 10 unit
Beri Natrium bikarbonat 50-100 mmol
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg iv
Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit
Asidosis metabolik Batasi asupan protein (0,8-1 g/KgBB/hari)
Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH
arteri >7,2)
Hiperfosfatemia
Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
Beri pengikat fosfat
Hipokalsemia
Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat10% (10-20 cc) Hiperurisemia
Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL
Pencegahan
Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya memuaskan, maka pencegahan sangat penting
untuk dilakukan.Walaupun demikian sampai saat ini, tidak ada pencegahan umum yang dapat
diberikan pada seorang dengan penyakit dasar yang dapat menyebabkan AKI,seperti usia
lanjut dan seseorang dengan PGK. Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan
status hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah
penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada
seseorang dengan gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak
terbukti efektif mencegah terjadinya AKI.

You might also like