You are on page 1of 25

MIKROBIOLOGI PADA SUSU

Higiene Makanan

Oleh Kelompok 3:
1.
2.
3.
4.
5.

Markzy Brondy Laskmy


Febby Dewayanti Savitri
Bangun Dwi Yulian
Deasy Andini Ersya P.
Amelda Kurnia Esty V.

(125130100111011)
(125130100111012)
(125130100111013)
(125130100111014)
(125130100111015)

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini penulis membahas
mengenai Mikrobiologi Pada Susu. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang
pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun penulis. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Malang, April 2014

Penulis

DAFTAR ISI
HAL
HALAMAN JUDUL....................................................................................

KATA PENGANTAR ..................................................................................

ii

DAFTAR ISI.................................................................................................

iii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang...............................................................................

1.2.

Rumusan Masalah .........................................................................

1.3.

Tujuan ...........................................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Susu ........................................................................................................

2.2. Mirkoorganisme .....................................................................................

BAB III. PEMBAHASAN


3.1. Mikroba Pada Susu.................................................................................

3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba Susu .........

3.3. Penularan Mikroba Antar Kuartir Ambing ............................................

3.4. Jumlah Sel Somatik dan Cemaran Mikroba Pada Susu..........................

12

3.5. Strategi Pengendalian Mikroba Pada Susu ............................................

13

3.6. Pemeriksaan Mikrobiologis Pada Susu ..................................................

14

BAB IV. PENUTUP


4.1. Kesimpulan ............................................................................................

19

4.2. Saran ......................................................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................

21

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Susu merupakan salah satu bahan pangan yang kaya akan zat gizi. Kandungan
protein, glukosa, lipida, garam mineral, dan vitamin dengan pH sekitar 6,80
menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dalam susu. Secara alami, susu
mengandung mikroorganisme kurang dari 5 x 103 per ml jika diperah dengan cara
yang benar dan berasal dari sapi yang sehat (Jay 1996). Menurut (Frank, 2001), susu
merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi karena mempunyai
kandungan nutrisi yang lengkap antara lain lemak, protein, laktosa, vitamin,
mineral, dan enzim. Sebagai produk pangan yang kaya nutrisi, pH mendekati netral
dan kandungan airnya tinggi. Oleh karena itu susu sangat mudah mengalami
kerusakan akibat pencemaran mikroba. Salah satu potensi bahaya yang terdapat
dalam susu dan berbagai produk olahannya adalah bahaya mikrobiologis
(microbiological hazards), khususnya keberadaan mikroba patogen. Mikroba
patogen dapat mengakibatkan kerusakan susu dan lebih lanjut berakibat pada
munculnya penyakit terbawa susu (milkborne diseases). Dengan demikian susu
dapat menjadi sumber penularan penyakit jika tidak dikelola secara higienis.
Indonesia sebagai negara tropis yang kelembaban udaranya tinggi dan suhunya
hangat merupakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan mikroba patogen yang
dapat membahayakan kesehatan manusia (Fardiaz, 1993). Susu sapi yang berasal
dari sapi yang sehat dapat tercemar mikroba nonpatogen yang khas segera setelah
diperah. Pencemaran juga dapat berasal dari sapi, peralatan pemerahan, ruang
penyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia
(Volk dan Wheeler, 1990). Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan
mutu dan keamanan pangan susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna,
konsistensi, dan tampilan.
Berdasarkan SNI 01-6366-2000, batas cemaran mikroba dalam susu segar
adalah Total Plate Count (TPC) < 3 x 104 cfu/ml, koliform < 1 x 101 cfu/ml,
Staphylococcus aureus 1 x 101 cfu/ml, Escherichia coli negatif, Salmonella negatif,
dan

Streptococcus

group

negatif.

Beberapa

bakteri

seperti

Listeria

monocytogenes, Camphylobacter jejuni, E.coli, dan Salmonella sp. dilaporkan


mengontaminasi susu dengan prevalensi kecil (Jayarao et al. 2006).
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroba yang ada
dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan
produk untuk dikonsumsi.
1.2 Rumusan Masalah
a. Mikroba apa saja yang terdapat dalam susu?
b. Apa saja faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada susu?
c. Apabila satu kuartir terkena cemaran, apakah kuartir lain aman untuk
dikonsumsi?
d. Berapakah jumlah sel somatic normal dan abnormal pada susu serta jumlah
cemaran mikrobia pada susu?
e. Bagaimana strategi pengendalian terhadap mikroba pada susu?
f. Bagaimana uji-uji untuk pemeriksaan mikrobiologis pada susu?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui bakteri yang terdapat pada susu.
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada susu.
c. Mengetahui apakah bakteri dapat menyebar antar kuartir ambing?
d. Mengetahui batas jumlah sel somatik pada susu dan jumlah cemaran mikrobia
pada susu.
e. Mengetahui strategi pengendalian terhadap mikroba pada susu.
f. Mengetahui uji-uji untuk pemeriksaan mikrobiologis susu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Susu
Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu
mamalia betina. Susu sapi diolah menjadi berbagai produk seperti mentega, yogurt,
es krim, keju, susu kental manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi
manusia. Dewasa ini, susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Untuk umur
produktif, susu membantu pertumbuhan mereka. Untuk orang lanjut usia, susu
membantu menopang tulang agar tidak keropos. Susu mengandung banyak vitamin
dan protein. Secara alamiah susu sapi segar telah mengandung sejumlah vitamin,
mineral, laktosa (gula susu), asam lemak esensial (asam linoleat dan asam
linolenat), asam amino esensial (triptophan, tirosin), sphingomyelin, laktoferin, serta
prebiotik

galakto-oligosakarida

(GOS)

dengan

komposisi

yang

lengkap

(Hadiwiyoto, 1982).
Menurut Dwidjoseputro (1982), susu segar adalah susu murni, tidak
mengalami pemanasan, dan tidak ada penambahan bahan pengawet. Susu sapi segar
mengandung air (87,25%), laktosa (4,8%), lemak (3,8%), kasein (2,8%), albumin
(0,7%), dan garam-garaman (0,65%). Selain itu perlu kita tahu bahwa susu juga
mengandung vitamin, sitrat, dan enzim. Susu sapi yang baik memiliki warna putih
kekuningan dan tidak tembus cahaya. Warna susu dipengaruhi oleh jenis sapi, jenis
pakan, jumlah lemak susu, dan persentase zat padat di dalamnya. Pemeriksaan fisik
ditekankan pada BJ dan angka refraksi pada susu. Pengujian secara kimia
ditekankan untuk pengujian lemak dan bahan padat bukan lemak. Sedangkan
pengujian secara biologi harus difokuskan untuk penghitungan jumlah bakteri susu
dan karakterisasi aktifitas biokimianya.
Buckle (1987) menyebutkan bahwa susu dari sapi sehat steril pada saat
dibentuk, tetapi terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui saluran puting
karena tertarik oleh sisa susu yang masih ada. Efeknya susu yang baru diperah tidak
pernah steril, selain itu susu juga mengalami kontaminasi dari partikel debu, alat
yang tidak steril, dan dari orang yang melakukan pemerahan. Jumlah standar bakteri
susu di Indonesia adalah 3.000.000 / ml. Bakteri pada susu dapat menurunkan
kualitas dan merusak sifat fisik atau kimianya, misalnya pengasaman dan
3

penggumpalan akibat fermentasi laktosa menjadi asam laktat, pengentalan dan


pembentukan lendir, dan sebagainya.
2.2 Mikroorganisme
Mikroorganisme adalah sebuah organisme kehidupan yang terlalu kecil
untuk dilihat dengan mata telanjang. Ukuran yang digunakan untuk mikroorganisme
adalah mikrometer ( m); 1 m = 0.001 milimeter; 1 nanometer (nm) = 0.001 m.
Dalam sebuah kelompok, mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran temperatur
yang cukup luas. Namun jumlah dan jenisnya sangat berkaitan dengan suhu
lingkungan dimana dia berada. Secara umum, menurut suhu, mikroorganisme dapat
dibedakan menjadi 4 jenis utama: (Ray, 2001)

Mikroorganisme Psycrophillic, tumbuh optimum pada suhu antara 20 to 30C.


Masih dapat tumbuh pada suhu dibawah 7C. Dibagi dua kelompok
lagi, Obligate Psychrophillic (0 - 15 C) dan Facultative Psychrophillic (0 - 40
C). Pada umumnya organisme inilah yang bertanggung jawab terhadap

pembusukan dalam suhu ruang pendingin.


Mikroorganisme Mesophillic, tumbuh optimum pada suhu 30 to 40C.
Mikroorganisme mesofilik cenderung tidak tumbuh pada suhu dalam ruang

pendingin (refrigerator).
Mikroorganisme Thermophillic, tumbuh optimum pada suhu 55 and 65 C.
Mikroorganisme Hyperthermophillic, yang hidup dengan baik pada suhu sangat
tinggi (sampai 110 C, bahkan dalam percobaan, ada yang tahan pada suhu 130
C selama 2 jam).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Mikroba Pada Susu


Bakteri dalam susu dapat berasal dari sapi itu sendiri atau dari luar. Adanya
aktivitas bakteri dalam susu maka akan menyebabkan asam, mempunyai rasa dan
bau yang kurang baik, tetapi ada bakteri yang menguntungkan sehingga dipilih
sebagai kultur untuk fermentasi susu, sehingga diperoleh produk fermentasi susu.

Bakteri Asam Laktat (BAL)


Lactic acid bacteria termasuk bakteri gram positif fakultatif dan secara

umum tidak berbahaya, bahkan dibutuhkan oleh manusia dan hewan. BAL banyak
ditemukan di sekeliling kita, sebagai contoh, BAL banyak ditemukan di sekitar
vagina dan di dalam usus halus. BAL sangat berperan dalam membantu proses
pencernaan kita.BAL juga berperan dalam aspek kesehatan karena kandungan
mineral dan nutrisi lainnya. BAL mampu memproses karbohidrat dalam susu yang
disebut laktosa menjadi asam laktat. Mereka secara natural ada didalam susu
(murni) dan secara luas digunakan sebagai kultur starter dalam produksi berbagai
macam produk olahan fermentasi susu.

Bakteri Coliform
Coliform adalah mikroorganisme yang berbentuk batang (rod) dan

memiliki gram negatif. Coliform memiliki sifat fakultative anaerob. Artinya bakteri
ini normalnya dalam pernafasan aerobik memproduksi ATP (Adenosine
Triphosphate, sebuah monomer yang berfungsi sebagai media transportasi energi
kimia antar sel dalam makhluk hidup) apabila dalam lingkungannya tersedia
oksigen. Apabila oksigen tidak tersedia, organisme ini dapat berubah menjadi
produsen

asam

laktat

dan

alkohol

atau

yang

dikenal

dengan

nama

fermentasi.Coliform aktif tumbuh pada suhu sekitar 37 C. Organisme ini dapat


menyebabkan pembusukan yang cepat pada susu karena mampu melakukan
fermentasi pada laktosa pada suhu sekitar 35 C dan sekaligus juga memproduksi
asam dan gas. Selain itu mereka juga mampu mendegradasi protein pada
susu.Coliform adalah organisme indikator. Artinya, kehadiran organisme ini sering
diasosiasikan dengan organisme patogen, tapi tidak berarti bahwa coliform ini
dengan sendirinya adalah patogen. Kehadiran coliform merupakan indikator yang
baik bahwa sesuatu itu telah terkena kontaminasi. Coliform dapat dimatikan dengan
proses yang disebut HTST (High Temperature, Short Time) pada 72C selama 16

detik.Escherichia coli (E-coli) merupakan salah satu anggota dari kelompok


coliform dan dapat melakukan fermentasi gula susu (laktosa) pada suhu 44C.

Bakteri Perusak Susu


Kualitas mikrobial dalam susu segar sangat penting bagi penilaian dan

produksi produk susu yang berkualitas. Susu dapat disebut telah rusak apabila
terdapat gangguan dalam tekstur, warna, bau dan rasa pada kondisi dimana susu
tersebut sudah tidak patut lagi dikonsumsi oleh manusia. Kerusakan yang
disebabkan oleh mikroorganisme dalam makanan sering melibatkan degradasi dari
zat zat nutrisi seperti protein, karbohidrat dan lemak, baik oleh mikroorganisme itu
sendiri maupun enzim yang diproduksinya (Jansen, 2010).
Secara umum pada susu mikroorganisme yang berperan dalam hal ini
adalah organisme psikotrof. Meskipun kebanyakan dari kelompok ini dapat
dihancurkan

pada

sepertiPseudomonas

temperatur

pasteurisasi,

sayangnya,

fluorescens dan Pseudomonas

beberapa

fragi dapat

jenis

memproduksi

proteolitik dan lipolitik enzim yang stabil pada suhu tinggi dan dapat menyebabkan
kerusakan.
Beberapa

spesies

dan

keturunan

dari

Bacillus,

Clostridium,

Cornebacterium, Arthrobacter, Lactobacillus, Microbacterium, Micrococcus, dan


Streptococcus dapat bertahan pada temperatur pasteurisasi dan sekaligus mampu
tumbuh pada suhu dalam ruang pendingin yang pada akhirnya dapat menyebabkan
masalah kerusakan dan pembusukan pada bahan makanan terutama susu (Jansen,
2010).

Mikroorganisme Patogen pada Susu


Produksi susu yang higienis seperti penanganan yang cepat dan tepat,

penggunaan alat produksi dan alat penyimpanan serta teknik teknik pasteurisasi
telah menurunkan ancaman penyebaran penyakit melalui susu seperti tuberkulosis
(TBC), brucellosis dan lain sebagainya. Walaupun masih menjadi perdebatan di
kalangan ilmuwan, terbukti sudah ada beberapa kasus penyakit yang berasal dari
mengkonsumsi susu segar, atau produk susu sapi yang dibuat dari susu yang tidak
di pasteurisasi dengan benar atau kurang baik dalam penanganan sepanjang proses
produksinya. Beberapa bakteri patogen dalam susu segar dan produk susu yang
masih menjadi perhatian saat ini antara lain Bacillus cereus, Listeria
monocytogenes,

Yersinia

enterocolitica,

Salmonella

spp.,

Escherichia

coli O157:H7, Campylobacter jejuni.


6

Beberapa jenis jamur, kebanyakan dari spesies Aspergillus, Fusarium,


dan Penicillium dapat tumbuh dalam media susu dan produk susu lainnya. Apabila
kondisinya memungkinkan, organisme ini dapat memproduksi zat mycotoxin yang
dapat berbahaya bagi kesehatan (Jansen, 2010).
3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba Susu
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan mikroba meliputi
unsur-unsur nutrisi dan faktor lingkungan yaitu faktor-faktor biotik dan faktorfaktor abiotik. Faktor-faktor biotik terdiri atas mahluk-mahluk hidup, sedang faktorfaktor abiotik terdiri dari faktor-faktor alam (fisika) dan faktor-faktor kimia.
Faktor Suplai Nutrisi
Mikroba sama dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai nutrisi
sebagai sumber energi dan pertumbuhan selnya. Unsur-unsur dasar tersebut
adalah: karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, zat besi dan sejumlah
kecil logam lainnya. Ketiadaan atau kekurangan sumber-sumber nutrisi ini
dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba hingga pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian (Supardi, 1999).
Kondisi tidak bersih dan higinis pada lingkungan adalah kondisi yang
menyediakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sehingga mikroba dapat
tumbuh berkembang di lingkungan seperti ini. Oleh karena itu, prinsip daripada
menciptakan lingkungan bersih dan higinis adalah untuk mengeliminir dan
meminimalisir sumber nutrisi bagi mikroba agar pertumbuhannya terkendali
(Supardi, 1999).

Suhu
Suhu pertumbuhan suatu mikrobia dapat di bedakan dalam suhu
minimum, optimum dan maksimum. Daya tahan terhadap suhu itu tidak sama
bagi tiap-tiap spesies. Ada spesies yang mati setelah mengalami pemanasan
beberapa menit di dalam cairan medium pada suhu 60C, sebaliknya, bakteri
yang membentuk spora seperti genus Bacillus dan Clostridium itu tetap hidup
setelah di panasi dengan uap 100C atau lebih selama kira-kira setengah jam.
Untuk sterilisali, maka syaratnya untuk membunuh setiap spesies untuk
membunuh setiap spesies bakteri ialah pemanasan selama 15 menit dengan
tekanan 15 pound serta suhu 121C di dalam autoklaf (Winarno, 2000).

Suhu dapat mempengaruhi mikroba dalam dua cara yang berlawanan sebagai
berikut :
1. Apabila suhu naik maka kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan
dipercepat. Sebaliknya apabila suhu turun, maka kecepatan metabolisme
akan menurun dan pertumbuhan diperlambat.
2. Apabila suhu naik atau turun secara drastis, tingkat pertumbuhan akan
terhenti, kompenen sel menjadi tidak aktif dan rusak, sehingga sel-sel
menjadi mati.
Berdasarkan hal di atas, maka suhu yang berkaitan dengan pertumbuhan
mikroorganisme digolongkan menjadi tiga, yaitu :
Suhu minimum yaitu suhu yang apabila berada di bawahnya maka
pertumbuhan terhenti.
Suhu optimum yaitu suhu dimana pertumbuhan berlangsung paling cepat
dan optimum. (Disebut juga suhu inkubasi)
Suhu maksimum yaitu suhu yang apabila berada di atasnya maka
pertumbuhan tidak terjadi.
Tabel 1 : Penggolongan bakteri menurut suhu
Kelompok
Psikrofil
Psikrotrof
Mesofil
Thermofil
Thermotrof

Suhu Minimum
o

- 15 C.
- 1o C.
5 10o C.
40o C.
15o C.

Suhu Optimum
o

10 C.
25o C.
30 37o C.
45 55o C.
42 46o C.

Suhu
Maksimum
20o C.
35o C.
40o C.
60 80o C.
50o C.

pH (derajat keasaman)
Mikrobia dapat tumbuh baik pada daerah pH tertentu, misalnya untuk
bakteri pada pH 6,5 7,5; khamir pada pH 4,0 4,5 sedangkan jamur dan
aktinomisetes pada daerah pH yang luas. Setiap mikrobia mempunyai pH
minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhanya. Berdasarkan atas
perbedaan daerah pH untuk pertumbuhanya dapat dibedakan mikrobia yaitu:
(Glimour, 1990)
a. asidofil, tumbuh pada pH 2,0 5,0
b. mesofil ( neutrofil ) tumbuh pada pH 5,5 8,0
c. alkalofil tumbuh pada pH 8,4 9,5
Tabel 2. Nilai pH untuk pertumbuhan mikrobia

Mikrobia
Bakteri:

pH minimum

pH maksimum

Escherichia coli

4,4

9,0

Salmonella typhi

4,5

8,0

4,3 4,8

Streptococcus lactis
Lactobacillus spp.

30

7,2

Thiobacillus thiooxidans
Jamur

< 1,0

9,8

1,5-2,0

11,0

Yeast
Acontium velatum (fungi)

1,5
0,2-0,7

8,0-8,5
7,0

3.3 Penularan Mikroba Antar Kuartir Ambing


Cara Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari kuartir
terinfeksi ke kuartir normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin
pemerah dan lalat.
Untuk

mengetahui

mekanisme

infeksi

staphylococcalmastitis

harus

diketahui terlebih dahulu anatomi fisiologi dari ambing. Pada sapi, ambing terdiri
dari empat kuartir yang terletak di dacrah inguinal, caudal dari umbilikus dan
meluas ke belakang antara dua paha. Setiap kuartir dibatasi oleh selubung (sekat
pemisah), sehingga antar kuartir tidak ada hubungan langsung. Lubang puting
berhubungan langsung dengan pucuk saluran (kanal puting), yang kerjanya diatur
oleh otot sphincter. Di dorsal kanel puting terdapat di siterna puting (sinus
papilaris) dan di siterna kelenjar (sinus laktiferus) terletak di atas sinus papilaris. Di
dalam sinus laktiferus terjulur 8 I2 saluran susu atau galaktophor. Kanal puting
berdinding epitel squamos yang serupa dengan struktur epidermis kulit, di bawah
epitel terdapat serabut-serabut otot. Sinus laktiferus dibatasi oleh epitel berlapis dua
(Blood dan Henderson, 1963).
Gejala klinis mastitis akan nampak pada tahap inflamasi dan pada
pemeriksaan mikroskopis terlihat, jumlah sel somatik meningkat. Peradangan yang
terjadi adalah sebagai respon tubuh terhadap metabolit dan toksin yang dihasilkan
oleh metabolisme bakteri yang merangsang jaringan kelenjar ambing. Gejala-gejala
yang terlihat merupakan ekspresi pertahanan tubuh (homeostase) yang bertujuan
untuk memperbaiki kerusakan jaringan tubuh dan menghilangkan bakteri penyebab
serta mengembalikan keadaan tubuh seperti semula.
9

Cowan dan Stael (1973), mengemukakan bahwa higiene kandang yang


kurang, cara pemerahan yang tidak legeartis dan adanya luka/lecet pada ambing
merupakan faktor-faktor yang mempermudah terjadinya invasi Staphylococcus.
Mereka mengemukakan tiga cara invasi Staphylococcus ke kelenjar ambing yaitu
melalui kanal puting, luka pada puting dan luka pada kulit ambing.
Sphincter puting adalah otot yang mengatur membuka dan menutup kanal
puting sehingga mikroorganisme tidak leluasa masuk ke kelenjar ambing.
Kemungkinan mikroorganisme dapat melalui sphincter puting karena adanya
mekanisme fisis puting. Mc Donald (1975), mengemukakan peranan mesin perah
dapat mempermudah invasi mikroorganisme ke kelenjar ambing. Setelah mesin
perah berhenti bekerja, bagian distal dan pertengahan saluran susu berdilatasi
kemudian bagian proksimal dan kemungkinan pada saat inilah mikroorganisme
dengan mudah masuk melalui saluran puting. Invasi bakteri melalui luka puting
atau luka pada kulit ambing dapat terjadi sewaktu pemerahan. Bakteri dapat berasal
dari lap ambing yang digunakan, tangan si pemerah dan air pencuci ambing. Selain
itu bakteri yang terdapat di lantai kandang juga dapat menginvasi ambing melalui
luka puting atau ambing pada saat hewan berbaring.
Staphylococcus yang masuk ke kelenjar ambing berkembang biak dengan
cepat pada tempat perlokatannya. Sel epitel kanal puting, sinus laktiferus dan
duktus lal, tiferus merupakan jaringan tempat perlekatan Staphylococcus.
Resistensi kelenjar ambing, virulensi Staphylococcus, status laktasi pada saat
infeksi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tanda-tanda klinis penyakit
dan derajat peradangan. Tanda-tanda klinis staphylococcalmastitis dapat dilihat dari
bentuk sekresi susu, konsistensi dan temperatur ambing, reaksi peradangan dan
sistemik yang terjadi (Anderson, 1982). Staphylococcus adalah kuman pembentuk
nanah. Pada pemeriksaan patologis anatomis terlihat adanya penimbunan nanah di
dalam sinus dan duktus laktiferus. Oleh karena itu, gejala khas yang nampak
terbentuknya gangraena yang meluas. Gangraen terjadi secara cepat, dimana dalam
waktu lebih kurang 24 jam dapat menjadi hitam dan mengeluarkan serum. Juga
disertai emphisema subcutaneus dan pembentukan lepuh. Penyebaran gangraen
mulai terjadi setelah 6 - 7 hari (Blood dan Henderson, 1963). Secara histopatologis
ambing yang menderita staphylococcalmastitis perakut menunjukkan adanya
kerusakan jaringan yang nekrotik, terutama pada lumen alveolar dan dapat terlihat
10

adanya Staphylococcus dalam jumlah banyak. Selain itu di sekitar jaringan yang
mengalami nekrotik banyak ditemukan sel-sel neutrophyl (Anderson, 1982).
Terdapat S. epidermidis merupakan bakteri penyebab utama mastitis kronis.
Penetrasi Staphylococcus yang masuk secara laktogen maupun hematogen adalah
pada epitel kisterna dan duktus laktiferus. Anderson (1982) menyatakan bahwa
Staphylococcus yang terdapat pada epitel kisterna dan duktus laktiferus akan segera
berpindah ke alveoli kelenjar ambing dan membentuk pusat peradangan. Sebagai
usaha pertahanan tubuh terhadap adanya infeksi Staphylococcus, pada daerah
peradangan banyak terdapat leukosit terutama neutrofil dan makrophag. Leukosit
tersebut bersifat memfagosit kuman penyebab peradangan. Kemudian Anderson
(1982), mengemukakan akibat adanya leukosit terhadap produksi susu sebagai
berikut leukosit yang terdapat pada alveoli kelenjar ambing dapat menyebabkan
pembesaran ruang alveolar dan mempersempit saluran gelembungair susu sehingga
dapat menghambat pengaliran air susu. Selain daripada itu adanya interaksi antara
Staphylococcus dan leukosit pada kelenjar ambing dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan komposisi air susu secara kimiawi dan fisis. Jika leukosit berhasil
melemahkan kuman penyebab peradangan, maka dalam beberapa hari peradangan
dapat terhenti.
Terhentinya peradangan kadang-kadang diikuti dengan pembentukan
tenunan ikat di sekitar saluran air susu. Hal ini dapat menghambat pengeluaran air
susu sehingga terjadi penurunan produksi bahkan dapat menyebabkan berhentinya
produksi susu dari kuartir yang menderita.
3.4 Jumlah Sel Somatik dan Cemaran Mikroba Pada Susu
Jumlah sel somatik diatas 3-5 x 105 per ml susu menunjukan kemungkinana
terjadinya mastitis subklinis pada ternak sapi laktasi.
Jumlah sel somatik pada susu normal mempunyai jumlah kurang dari
300.000 per ml susu (Alfa, 1977).
Tabel rata-rata jumlah bakteri total pada susu segar dan susu pasteurisasi.
NO
1
2

Jumlah bakteri total..x 106 CFU/ml


Susu Segar
Susu Pasteurisasi
1,90
3,52
5,60
3,45
11

3
Rata-rata

3,65
3,70

3,37
3,45

Tabel rata-rata jumlah koliform pada susu segar dan susu pasteurisasi
Jumlah bakteri total..x 106 CFU/ml
Susu Segar
Susu Pasteurisasi
2,26
0,22
1,83
1,39
2,40
0,48
2,16
0,69

NO
1
2
3
Rata-rata

Spesifikasi persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada


susu (dalam satuan CFU/gram atau ml)
Jenis Cemaran

Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM)


Susu Segar
Susu
Susu Bubuk
Susu
Pasteurisasi
<3x104

5x10

Steril/UHT
<10/0,1

Count)
Coliform
2x101
Eschericia Coli 0

<0,1x101
0

0
0

0
0

(patogen)
Enterococci
Staphylococcus

1x102
1x102

1x102
1x101

1x101
1x101

0
0

aureus
Clostridium sp
Salmonella sp
Camphylobacte

0
Negatif
0

0
Negatif
0

0
Negatif
0

0
Negatif
0

Jumlah

Total 1x10

(Total

plate

r sp
Listeria sp
0
0
(Dewan Standardisasi Nasional_DSN, 2000)

3.5 Strategi Pengendalian Mikroba Pada Susu


Mencegah keracunan setelah minum susu dapat dilakukan dengan
memperbaiki proses penerimaan bahan baku atau susu segar, penanganan,
pemrosesan, dan penyimpanan. Kontaminasi pada susu dapat dikurangi antara lain
dengan menjaga kesehatan ternak, higiene susu, dan pasteurisasi (Jeffrey et al.
2009). Higiene personal berperan penting pula dalam mencegah keracunan setelah
12

minum susu. Penerimaan bahan baku harus memenuhi standar SNI susu segar.
Selama penanganan, susu ditempatkan pada suhu dingin dalam milk can tertutup
sehingga terhindar dari kontaminasi lingkungan.
Untuk susu segar yang telah memenuhi standar SNI, proses penyimpanan
dan

pendistribusiannya

sampai

ke

tangan

konsumen

perlu

diperhatikan.

Penyimpanan harus dilakukan pada suhu dingin sampai susu ke tangan konsumen
karena meskipun telah melalui proses pasteurisasi, susu masih mengandung bakteri
pembusuk. Bakteri pembusuk akan berkembang pada suhu ruang. Oleh karena itu,
susu pasteurisasi harus disimpan pada kondisi dingin. Susu yang mengandung
mikroba >106 cfu/ml sudah terbentuk toksin yang dengan pasteurisasi masih dapat
bertahan hidup (Suwito, 2010).
Pasteurisasi
Kasus keracunan setelah minum susu perlu diwaspadai dan diperlukan
tindakan pencegahan. Pasteurisasi merupakan salah satu tindakan yang dapat
dilakukan untuk mematikan bakteri patogen. Namun, melalui pasteurisasi, bakteri
yang berspora masih tahan hidup sehingga susu pasteurisasi hanya memiliki masa
kedaluwarsa sekitar satu minggu. Pasteurisasi dilakukan dengan waktu tertentu.
Pasteurisasi tidak mengubah komposisi susu sehingga komposisinya masih setara
susu segar (Jay 1996). Pasteurisasi umumnya dilakukan pada suhu 72 0 C selama 15
detik.
Ultra high temperature (UHT)
Susu yang melalui proses UHT akan memiliki masa kedaluwarsa lebih
panjang dibandingkan dengan susu pasteurisasi. Susu dengan proses UHT akan
steril karena bakteri pembusuk, patogen, dan berspora akan mati sehingga susu
aman dikonsumsi. Kasus keracunan setelah minum susu yang disebabkan oleh S.
aureusterjadi karena kontaminasi selama penyimpanan maupun proses produksi
(Suwito, 2010).
Penggunaan Bakteriosin
Bakteriosin merupakan antimikroba yang digunakan untuk menonaktifkan
mikroba. Pengendalian bakteri patogen dapat dilakukan dengan kombinasi antara
bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam laktat dan suhu tinggi. Cara ini sudah
diterapkan pada industri keju di Spanyol (Arques, 2005).
Nisin dan bakteriosin merupakan antimikroba yang dihasilkan oleh
Lactococcus lactis subsp. Lactis yang dapat menekan Bacillus cereus dalam susu.
13

Nisin merupakan antimikroba alami yang sudah lama digunakan untuk


mengendalikan bakteri pembusuk dalam proses pasteuri- sasi susu sehingga sel
vegetatif dan spora Bacillus cereus tidak aktif (Wandling, 1999).

Pencucian dengan neutral electrolysed water (NEW)


Pencucian peralatan yang digunakan dalam proses pasteurisasi dapat

menggunakan neutral electrolysed water (NEW). Efektivitas NEW sama dengan


sodium hipoklorit (NaOCl) dan metode ini efektif untuk menonaktifkan E. coli, L.
monocytogenes, Pseudomonas aeroginosa, dan S. aureus. Peralatan yang terbuat
dari baja tahan karat yang digunakan selama proses pasteurisasi, bila tidak segera
dicuci akan berpotensi terbentuknya biofilm atau koloni bakteri yang berbentuk
seperti lendir sehingga akan lebih tahan terhadap proses pencucian biasa (Deza et
al. 2005).
3.6 Pemeriksaan Mikrobiologis Pada Susu

Total Plate Count (TPC)


SNI 01-6366-2000 mensyaratkan pemeriksaan TPC perlu dilakukan
untuk mengetahui kualitas susu. Jumlah TPC >106 cfu/ml menyebabkan mikroba
cepat berkembang dan toksin sudah terbentuk. Susu akan cepat rusak apabila
disimpan pada suhu ruang lebih dari 5 jam, jarak antara peternak dan tempat
pengumpul susu jauh tanpa dilengkapi dengan sarana pendingin (Jayarao et al.
2006). Sebagian industri pengolahan susu akan menolak susu apabila jumlah
TPC >106 cfu/ml. Pemeriksaan TPC dapat dilakukan dengan metode hitungan
cawan (Dwitania, et al, 2013).

Isolasi dan Identifikasi


Isolasi dan identifikasi merupakan metode konvensional dalam
pemeriksaan bakteri yang didasarkan pada reaksi biokimia. Oleh karena itu,
dalam isolasi dan identifikasi bakteri diperlukan media yang selektif. Setelah
dilakukan pewarnaan Gram dilanjutkan dengan uji biokimia pada berbagai
media seperti gula. Bakteri yang sudah diisolasi dan diidentifikasi selanjutnya
diuji secara serologis untuk menentukan serotipenya. Isolasi dan identifikasi
untuk berbagai jenis bakteri dapat mengikuti metode Cowan (Dwitania, et al,
2013).

Polymerase Chain Reaction (PCR)


14

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan uji mikrobiologis yang


lebih sensitif dibandingkan dengan metode konvensional. Saat ini banyak
pengembangan dari metode PCR, salah satunya adalah Multiplex PCR. Metode
ini dapat digunakan untuk mendeteksi S. aureus dan membedakan jenis
enterotoksin. Pengembangan PCR yang memberikan sensitivitas 93,30% dan
mendeteksi S. aureus 103 cfu/g adalah Real Time PCR (RTQ-PCR). Teknik 3
Reaction multiplex PCR lebih akurat, cepat, dan spesifik karena metode tersebut
menggunakan tiga primer sehingga dalam satu kali running dapat mendeteksi
tiga jenis bakteri patogen sekaligus (Dwitania, et al, 2013).

Uji derajat asam (SH)


Prinsip pada uji derajat asam yaitu secara titrasi ditetapkan kadar asam
yang terbentuk dalam susu. Asam yang terbentuk sebagian besar karena
perombakan laktosa menjadi asam akibat kerja mikroorganisme. Susu sebanyak
10 ml masukkan dalam 2 botol Erlenmeyer. Kemudian diteteskan indikator
phenolphtalein sebanyak 0,4 ml ke dalam botol Erlenmeyer pertama, sedangkan
botol Erlenmeyer yang kedua sebagai kontrol. Botol Erlenmeyer pertama
dititrasi dengan NaOH 0,1N setetes demi setetes sambil digoyang-goyangkan
sampai terbentuk warna merah muda, pada kondisi ini sudah tercapai bagian
antara asam dan basa. Jumlah NaOH 0,1N yang dipakai dikali empat karena
jumlah susu yang dipakai 10 ml, seharusnya 100 ml (Suardana, et al, 2004).

Uji Didih
Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak
bagus akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu
dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein
ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan
baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam
keadaan homogen atau tidak pecah.
Susu sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan
menggunakan

penjepit

tabung,

kemudian

tabung

dipanaskan

dengan

menggunakan api Bunsen sampai mendidih. Uji didih menunjukkan hasil yang
positif (kualitas susu tidak baik) bila terdapat gumpalan yang menempel pada
dinding tabung reaksi, sedangkan hasil yang negatif tidak terlihatnya gumpalan
susu pada dinding tabung reaksi (Dwitania, et al, 2013).

15

Uji Alkohol
Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal
protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butirbutir protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang
memiliki daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi
derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan
yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.
Tuangkan susu sebanyak 3 ml ke dalam tabung reaksi kemudian
tambahkan 3 ml alkohol 70%, kemudian tabung dikocok perlahan-lahan. Uji
alkohol positif ditandai dengan adanya butiran susu yang melekat pada dinding
tabung reaksi, sedangkan uji alkohol negatif ditandai dengan tidak adanya
butiran susu yang melekat pada dinding tabung reaksi (Dwitania, et al, 2013).

Uji CMT (California Mastitis Test)


Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml
reagen CMT. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama 10-15 detik.
Hasil pengujian berupa negatif (bila campuran susu dan reagen CMT tetap
homogen), Trace (Terbentuk sedikit endapan), positif 1 (Endapan terlihat jelas),
positif 2 (Campuran langsung mengental dan Gel bergerak ke tengah paddle),
dan positif 3 (Banyak terbentuk gel dan gel yang terbentuk menyebabkan
permukaan menjadi cembung) (Setiawan, et al, 2012).

Uji WST (Whiteside Test)


Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml
reagen WST. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama 15-20 detik.
Hasil pengujian berupa negatif (tidak terjadi perubahan larutan, campuran tetap
dalam keadaan cair), Trace (terbentuk sedikit endapan), positif 1 (terjadi sedikit
koagulasi namun segera menghilang), positif 2 (terjadi koagulasi pada
permulaan diputar), positif 3 (gel mengumpul ditengah setelah diputar-putar),
dan positif 4 (terbentuk jel yang sangat kental) (Setiawan, et al, 2012).

Uji SFMT (Surf Field Mastitis Test)


Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml
reagen SFMT (S) 10%. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama
15-20 detik. Hasil pengujian berupa negatif (campuran terlihat encerdan tidak
terbentuk endapan), positif 1 (terdapat endapan dan tidak ada kecenderungan
membentuk), positif 2 (campuran langsung mengental dan gel bergerak ke
16

tengah paddle), dan positif 3 (banyak terbentuk gel dan gel pada paddle tidak
bisa digoyang-goyang) (Setiawan, et al, 2012).

Uji Breed
Pengujian breed dilakukan secara duplo dengan prosedur susu sebanyak
0,01 ml diletakkan pada gelas obyek bebas lemak dan disebarluaskan pada
bidang 1 cm2 dengan menggunakan ose siku. Susu diletakkan di atas gelas
obyek kemudian dikeringkan di udara selama 10 15 menit kemudian difiksasi
di atas nyala api bunsen. Lalu preparat susu dihilangkan kandungan lemaknya
dengan direndam eter alkohol 96% selama 2 menit kemudian preparat direndam
dalam methylen blue selama 2 menit. Setelah pewarnaan preparat dicuci dengan
air lalu dengan alkohol 96% kemudian dikeringkan lalu diamati dengan
mikroskop pada pembesaran 1000x (Firmansyah., et al, 2012).

Uji Lemak Metode Gerber


Sampel susu dihomogenkan kemudian diambil 10 ml dan dimasukan ke
dalam butirometer. Selanjutnya, H2SO4 dimasukan ke butyrometer dengan
dispensette-11 ml kemudian ditambahkan 1 ml amyl alkohol lalu ditutup dengan
rubberlock dan direndam pada suhu 65 C selama 5 menit. Kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit, lalu diamati hasilnya.
Uji Protein, Laktosa, Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak
Menggunakan Lactoscan. Pengujian menggunakan lactoscan Hasil dari
penggujian bisa dilihat pada layar lactoscan (Firmansyah., et al, 2012).

17

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Susu merupakan salah satu bahan pangan yang kaya akan zat gizi.
Kandungan protein, glukosa, lipida, garam mineral, dan vitamin dengan pH sekitar
6,80 menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dalam susu. Sedangkan
mikroorganisme adalah sebuah organisme kehidupan yang terlalu kecil untuk
dilihat dengan mata telanjang. Mikroorganisme dalam susu dapat berasal dari sapi
itu sendiri atau dari luar adapaun bakteri itu adalah Bakteri Asam Laktat (BAL),
bakteri Coliform, bakteri perusak susu dan mikroorganisme patogen pada susu.
Bakteri ini dapat berkembang dalam susu dipengaruhi oleh faktor unsur nutrisi dan
faktor lingkungan yaitu faktor-faktor biotik dan faktor-faktor abiotik. Bakteri ini
juga dapat menular antar kuartir yang abnormal ke kuartir yang normal dengan cara
dari kuartir terinfeksi ke kuartir normal bisa melalui tangan pemerah, kain
pembersih, mesin pemerah dan lalat dan juga kemungkinan mikroorganisme dapat
melalui sphincter puting karena adanya mekanisme fisis puting. Sedangkan susu
yang normal itu mempunyai jumlah sel somatik dibawah 300.000 per ml susu dan
susu yang tidak normal itu jumlah sel somatik diatas 3-5 x 10 5 per ml susu yang
menunjukan kemungkinana terjadinya mastitis subklinis pada ternak sapi laktasi.
Apabila untuk mencegah adanya keracunan dengan cara memperbaiki
proses penerimaan bahan baku atau susu segar, penanganan, pemrosesan, dan
penyimpanan. Selain itu kontaminasi pada susu dapat dikurangi antara lain dengan
menjaga kesehatan ternak, higiene susu, dan pasteurisasi. Dan pemeriksaan
mikrobiologi pada susu dapat dilakuakan dengan Uji Lemak Metode Gerber, Uji
WST (Whiteside Test), Uji CMT (California Mastitis Test) , Uji alcohol, Uji Breed ,
Uji SFMT (Surf Field Mastitis Test), Uji didih, Uji derajat asam (SH) , Polymerase
Chain Reaction (PCR), Isolasi dan Identifikasi, Total Plate Count (TPC)

4.2 Kritik dan Saran


18

Demikian yang telah dipaparkan mengenai materi yang menjadi pokok


bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatankesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.

19

DAFTAR PUSTAKA
Alfa Laval. 1977. Dairy Handbook. Alfa Laval Dairy and Food Engineering Division.
Sweden. Arques, J.L., E. Rodriguez, G. Gaya, M. Medina, B. Guamis, and M. Nunez. 2005. Inactivation of Staphylococcus aureus in raw milk cheese by combinations of highpressure treatments and bacteriocin producing lactic acid bacteria. J. Appl. Microbiol.
(98): 254260.
Anderson, J. C. 1982. Progressive pathology of staphylococcalmastitis with a note on control,
immunisation and therapy. The Vet. Recrd 17: 372 - 376.
Blood, D.C and J.A. Henderson. 1963. ne. 3th ed. Bailliere Tindall. London.
Buckle,K.A., 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Cowan, S.T and K.J. Stael. 1973. Cation Of Medical Bacteria. Press, London. Manual of the
Identify Cambridge University.
Deza, M.A., M. Araujo, and M.J. Garrido. 2005. Inactivation of Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, Pseudomonas aeruginosa, and Staphylococcus aureus on stainless
steel and glass surfaces by neutral electrolysed water. Lett. Appl. Microbiol. (40):
341346.
Dwijoseputro. 1982. Dasar Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Dwitania, Deski Citra dan Swacita, Ida Bagus Ngurah. 2013. Uji Didih, Alkohol dan Derajat
Asam Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. Indonesia
Medicus Veterinus 2013 2(4) : 437 - 444 ISSN : 2301-7848
Fardiaz, S. 1993. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Firmansyah, Diki, et al. 2012. Effect Subclinical Mastitis Stage Toward Milk Quality For Pfh
(Peranakan Friesian Holstein) Dairy Catle In All Months Of Lactation. Program Studi
Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya
Frank J.F. 2001. Milk and Dairy Products. Dalam Doyle M.P., Food Microbiology:
Fundamentals and Frontiers Edisi k-2. Washington, DC: sam Press.
20

Glimour, A. Rowe MT. 1990. Microorganism Associated With Milk Dairy Microbiology. Vol. 1.
2nd Ed. Department of Food Science and Teknology. University of Reading. UK.
Hadiwiyoto, S. 1982. Teknik Uji Mutu Susu dan Hasil Olahannya (Teori dan Praktek).
Yogyakarta: Liberty.
Jay, M.J. 1996. Modern Food Microbiology. Fifth Ed. International Thomson Publishing,
Chapman & Hall Book, Dept. BC. p. 469471.
Jayarao, B.M., S.C. Donaldson, B.A. Straley, A.A. Sawant, N.V. Hegde, and J.L. Brown. 2006.
A survey of foodborne pathogens in bulk tank milk and raw milk consumption among
farm families in Pennsylvania. J. Dairy Sci. (89): 24512458.
Jeffrey, T., Lejeune, and P.J.R. Schultz. 2009. Unpasteurized milk: A continued public health
threat. Food Safety. Clinical Infectious Dis. (48): 93100.
Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology 2nd Ed. Boca Raton: CRC Press.
Setiawan, Heri et al. 2012. The sensitivity and Specificity Study of CMT, WST, and SFMT
reagents as Subclinical Mastitis Test Materials at Sumber Makmur Dairy Farm,
Ngantang. Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan,
Universitas Brawijaya.
[SNI] Standar Nasional Indonesia 01- 6366-2000. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba
dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta: Dewan
Standarisasi Nasional.
Suardana, IW. dan I.B.N. Swacita.2004. Food Hygiene. Petunjuk Laboratorium. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar.
Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung:
IKAPI.
Suwito, Widodo. 2010. Bakteri yang Sering Mencemari Susu: Deteksi, Patogenesis,
Epidemiologi dan Cara Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010 p. 96100.
21

Volk, W.A. dan M.F. Wheeler. 1990. Mikrobiologi Dasar.S. Adisoemarto (Ed.). Edisi ke-5.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Wandling, L.R., B.W. Sheldon, and P.M. Foegeding. 1999. Nisin in milk sensitizes spores to
heat and prevents recovery of survivors. J. Food Protect. 65(5): 492498.
Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 2000. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.
Gramedia.

22

You might also like