Professional Documents
Culture Documents
Higiene Makanan
Oleh Kelompok 3:
1.
2.
3.
4.
5.
(125130100111011)
(125130100111012)
(125130100111013)
(125130100111014)
(125130100111015)
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini penulis membahas
mengenai Mikrobiologi Pada Susu. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang
pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun penulis. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Malang, April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HAL
HALAMAN JUDUL....................................................................................
ii
DAFTAR ISI.................................................................................................
iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang...............................................................................
1.2.
1.3.
Tujuan ...........................................................................................
12
13
14
19
20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
21
BAB I
PENDAHULUAN
Streptococcus
group
negatif.
Beberapa
bakteri
seperti
Listeria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susu
Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu
mamalia betina. Susu sapi diolah menjadi berbagai produk seperti mentega, yogurt,
es krim, keju, susu kental manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi
manusia. Dewasa ini, susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Untuk umur
produktif, susu membantu pertumbuhan mereka. Untuk orang lanjut usia, susu
membantu menopang tulang agar tidak keropos. Susu mengandung banyak vitamin
dan protein. Secara alamiah susu sapi segar telah mengandung sejumlah vitamin,
mineral, laktosa (gula susu), asam lemak esensial (asam linoleat dan asam
linolenat), asam amino esensial (triptophan, tirosin), sphingomyelin, laktoferin, serta
prebiotik
galakto-oligosakarida
(GOS)
dengan
komposisi
yang
lengkap
(Hadiwiyoto, 1982).
Menurut Dwidjoseputro (1982), susu segar adalah susu murni, tidak
mengalami pemanasan, dan tidak ada penambahan bahan pengawet. Susu sapi segar
mengandung air (87,25%), laktosa (4,8%), lemak (3,8%), kasein (2,8%), albumin
(0,7%), dan garam-garaman (0,65%). Selain itu perlu kita tahu bahwa susu juga
mengandung vitamin, sitrat, dan enzim. Susu sapi yang baik memiliki warna putih
kekuningan dan tidak tembus cahaya. Warna susu dipengaruhi oleh jenis sapi, jenis
pakan, jumlah lemak susu, dan persentase zat padat di dalamnya. Pemeriksaan fisik
ditekankan pada BJ dan angka refraksi pada susu. Pengujian secara kimia
ditekankan untuk pengujian lemak dan bahan padat bukan lemak. Sedangkan
pengujian secara biologi harus difokuskan untuk penghitungan jumlah bakteri susu
dan karakterisasi aktifitas biokimianya.
Buckle (1987) menyebutkan bahwa susu dari sapi sehat steril pada saat
dibentuk, tetapi terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui saluran puting
karena tertarik oleh sisa susu yang masih ada. Efeknya susu yang baru diperah tidak
pernah steril, selain itu susu juga mengalami kontaminasi dari partikel debu, alat
yang tidak steril, dan dari orang yang melakukan pemerahan. Jumlah standar bakteri
susu di Indonesia adalah 3.000.000 / ml. Bakteri pada susu dapat menurunkan
kualitas dan merusak sifat fisik atau kimianya, misalnya pengasaman dan
3
pendingin (refrigerator).
Mikroorganisme Thermophillic, tumbuh optimum pada suhu 55 and 65 C.
Mikroorganisme Hyperthermophillic, yang hidup dengan baik pada suhu sangat
tinggi (sampai 110 C, bahkan dalam percobaan, ada yang tahan pada suhu 130
C selama 2 jam).
BAB III
PEMBAHASAN
umum tidak berbahaya, bahkan dibutuhkan oleh manusia dan hewan. BAL banyak
ditemukan di sekeliling kita, sebagai contoh, BAL banyak ditemukan di sekitar
vagina dan di dalam usus halus. BAL sangat berperan dalam membantu proses
pencernaan kita.BAL juga berperan dalam aspek kesehatan karena kandungan
mineral dan nutrisi lainnya. BAL mampu memproses karbohidrat dalam susu yang
disebut laktosa menjadi asam laktat. Mereka secara natural ada didalam susu
(murni) dan secara luas digunakan sebagai kultur starter dalam produksi berbagai
macam produk olahan fermentasi susu.
Bakteri Coliform
Coliform adalah mikroorganisme yang berbentuk batang (rod) dan
memiliki gram negatif. Coliform memiliki sifat fakultative anaerob. Artinya bakteri
ini normalnya dalam pernafasan aerobik memproduksi ATP (Adenosine
Triphosphate, sebuah monomer yang berfungsi sebagai media transportasi energi
kimia antar sel dalam makhluk hidup) apabila dalam lingkungannya tersedia
oksigen. Apabila oksigen tidak tersedia, organisme ini dapat berubah menjadi
produsen
asam
laktat
dan
alkohol
atau
yang
dikenal
dengan
nama
produksi produk susu yang berkualitas. Susu dapat disebut telah rusak apabila
terdapat gangguan dalam tekstur, warna, bau dan rasa pada kondisi dimana susu
tersebut sudah tidak patut lagi dikonsumsi oleh manusia. Kerusakan yang
disebabkan oleh mikroorganisme dalam makanan sering melibatkan degradasi dari
zat zat nutrisi seperti protein, karbohidrat dan lemak, baik oleh mikroorganisme itu
sendiri maupun enzim yang diproduksinya (Jansen, 2010).
Secara umum pada susu mikroorganisme yang berperan dalam hal ini
adalah organisme psikotrof. Meskipun kebanyakan dari kelompok ini dapat
dihancurkan
pada
sepertiPseudomonas
temperatur
pasteurisasi,
sayangnya,
beberapa
fragi dapat
jenis
memproduksi
proteolitik dan lipolitik enzim yang stabil pada suhu tinggi dan dapat menyebabkan
kerusakan.
Beberapa
spesies
dan
keturunan
dari
Bacillus,
Clostridium,
penggunaan alat produksi dan alat penyimpanan serta teknik teknik pasteurisasi
telah menurunkan ancaman penyebaran penyakit melalui susu seperti tuberkulosis
(TBC), brucellosis dan lain sebagainya. Walaupun masih menjadi perdebatan di
kalangan ilmuwan, terbukti sudah ada beberapa kasus penyakit yang berasal dari
mengkonsumsi susu segar, atau produk susu sapi yang dibuat dari susu yang tidak
di pasteurisasi dengan benar atau kurang baik dalam penanganan sepanjang proses
produksinya. Beberapa bakteri patogen dalam susu segar dan produk susu yang
masih menjadi perhatian saat ini antara lain Bacillus cereus, Listeria
monocytogenes,
Yersinia
enterocolitica,
Salmonella
spp.,
Escherichia
Suhu
Suhu pertumbuhan suatu mikrobia dapat di bedakan dalam suhu
minimum, optimum dan maksimum. Daya tahan terhadap suhu itu tidak sama
bagi tiap-tiap spesies. Ada spesies yang mati setelah mengalami pemanasan
beberapa menit di dalam cairan medium pada suhu 60C, sebaliknya, bakteri
yang membentuk spora seperti genus Bacillus dan Clostridium itu tetap hidup
setelah di panasi dengan uap 100C atau lebih selama kira-kira setengah jam.
Untuk sterilisali, maka syaratnya untuk membunuh setiap spesies untuk
membunuh setiap spesies bakteri ialah pemanasan selama 15 menit dengan
tekanan 15 pound serta suhu 121C di dalam autoklaf (Winarno, 2000).
Suhu dapat mempengaruhi mikroba dalam dua cara yang berlawanan sebagai
berikut :
1. Apabila suhu naik maka kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan
dipercepat. Sebaliknya apabila suhu turun, maka kecepatan metabolisme
akan menurun dan pertumbuhan diperlambat.
2. Apabila suhu naik atau turun secara drastis, tingkat pertumbuhan akan
terhenti, kompenen sel menjadi tidak aktif dan rusak, sehingga sel-sel
menjadi mati.
Berdasarkan hal di atas, maka suhu yang berkaitan dengan pertumbuhan
mikroorganisme digolongkan menjadi tiga, yaitu :
Suhu minimum yaitu suhu yang apabila berada di bawahnya maka
pertumbuhan terhenti.
Suhu optimum yaitu suhu dimana pertumbuhan berlangsung paling cepat
dan optimum. (Disebut juga suhu inkubasi)
Suhu maksimum yaitu suhu yang apabila berada di atasnya maka
pertumbuhan tidak terjadi.
Tabel 1 : Penggolongan bakteri menurut suhu
Kelompok
Psikrofil
Psikrotrof
Mesofil
Thermofil
Thermotrof
Suhu Minimum
o
- 15 C.
- 1o C.
5 10o C.
40o C.
15o C.
Suhu Optimum
o
10 C.
25o C.
30 37o C.
45 55o C.
42 46o C.
Suhu
Maksimum
20o C.
35o C.
40o C.
60 80o C.
50o C.
pH (derajat keasaman)
Mikrobia dapat tumbuh baik pada daerah pH tertentu, misalnya untuk
bakteri pada pH 6,5 7,5; khamir pada pH 4,0 4,5 sedangkan jamur dan
aktinomisetes pada daerah pH yang luas. Setiap mikrobia mempunyai pH
minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhanya. Berdasarkan atas
perbedaan daerah pH untuk pertumbuhanya dapat dibedakan mikrobia yaitu:
(Glimour, 1990)
a. asidofil, tumbuh pada pH 2,0 5,0
b. mesofil ( neutrofil ) tumbuh pada pH 5,5 8,0
c. alkalofil tumbuh pada pH 8,4 9,5
Tabel 2. Nilai pH untuk pertumbuhan mikrobia
Mikrobia
Bakteri:
pH minimum
pH maksimum
Escherichia coli
4,4
9,0
Salmonella typhi
4,5
8,0
4,3 4,8
Streptococcus lactis
Lactobacillus spp.
30
7,2
Thiobacillus thiooxidans
Jamur
< 1,0
9,8
1,5-2,0
11,0
Yeast
Acontium velatum (fungi)
1,5
0,2-0,7
8,0-8,5
7,0
mengetahui
mekanisme
infeksi
staphylococcalmastitis
harus
diketahui terlebih dahulu anatomi fisiologi dari ambing. Pada sapi, ambing terdiri
dari empat kuartir yang terletak di dacrah inguinal, caudal dari umbilikus dan
meluas ke belakang antara dua paha. Setiap kuartir dibatasi oleh selubung (sekat
pemisah), sehingga antar kuartir tidak ada hubungan langsung. Lubang puting
berhubungan langsung dengan pucuk saluran (kanal puting), yang kerjanya diatur
oleh otot sphincter. Di dorsal kanel puting terdapat di siterna puting (sinus
papilaris) dan di siterna kelenjar (sinus laktiferus) terletak di atas sinus papilaris. Di
dalam sinus laktiferus terjulur 8 I2 saluran susu atau galaktophor. Kanal puting
berdinding epitel squamos yang serupa dengan struktur epidermis kulit, di bawah
epitel terdapat serabut-serabut otot. Sinus laktiferus dibatasi oleh epitel berlapis dua
(Blood dan Henderson, 1963).
Gejala klinis mastitis akan nampak pada tahap inflamasi dan pada
pemeriksaan mikroskopis terlihat, jumlah sel somatik meningkat. Peradangan yang
terjadi adalah sebagai respon tubuh terhadap metabolit dan toksin yang dihasilkan
oleh metabolisme bakteri yang merangsang jaringan kelenjar ambing. Gejala-gejala
yang terlihat merupakan ekspresi pertahanan tubuh (homeostase) yang bertujuan
untuk memperbaiki kerusakan jaringan tubuh dan menghilangkan bakteri penyebab
serta mengembalikan keadaan tubuh seperti semula.
9
adanya Staphylococcus dalam jumlah banyak. Selain itu di sekitar jaringan yang
mengalami nekrotik banyak ditemukan sel-sel neutrophyl (Anderson, 1982).
Terdapat S. epidermidis merupakan bakteri penyebab utama mastitis kronis.
Penetrasi Staphylococcus yang masuk secara laktogen maupun hematogen adalah
pada epitel kisterna dan duktus laktiferus. Anderson (1982) menyatakan bahwa
Staphylococcus yang terdapat pada epitel kisterna dan duktus laktiferus akan segera
berpindah ke alveoli kelenjar ambing dan membentuk pusat peradangan. Sebagai
usaha pertahanan tubuh terhadap adanya infeksi Staphylococcus, pada daerah
peradangan banyak terdapat leukosit terutama neutrofil dan makrophag. Leukosit
tersebut bersifat memfagosit kuman penyebab peradangan. Kemudian Anderson
(1982), mengemukakan akibat adanya leukosit terhadap produksi susu sebagai
berikut leukosit yang terdapat pada alveoli kelenjar ambing dapat menyebabkan
pembesaran ruang alveolar dan mempersempit saluran gelembungair susu sehingga
dapat menghambat pengaliran air susu. Selain daripada itu adanya interaksi antara
Staphylococcus dan leukosit pada kelenjar ambing dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan komposisi air susu secara kimiawi dan fisis. Jika leukosit berhasil
melemahkan kuman penyebab peradangan, maka dalam beberapa hari peradangan
dapat terhenti.
Terhentinya peradangan kadang-kadang diikuti dengan pembentukan
tenunan ikat di sekitar saluran air susu. Hal ini dapat menghambat pengeluaran air
susu sehingga terjadi penurunan produksi bahkan dapat menyebabkan berhentinya
produksi susu dari kuartir yang menderita.
3.4 Jumlah Sel Somatik dan Cemaran Mikroba Pada Susu
Jumlah sel somatik diatas 3-5 x 105 per ml susu menunjukan kemungkinana
terjadinya mastitis subklinis pada ternak sapi laktasi.
Jumlah sel somatik pada susu normal mempunyai jumlah kurang dari
300.000 per ml susu (Alfa, 1977).
Tabel rata-rata jumlah bakteri total pada susu segar dan susu pasteurisasi.
NO
1
2
3
Rata-rata
3,65
3,70
3,37
3,45
Tabel rata-rata jumlah koliform pada susu segar dan susu pasteurisasi
Jumlah bakteri total..x 106 CFU/ml
Susu Segar
Susu Pasteurisasi
2,26
0,22
1,83
1,39
2,40
0,48
2,16
0,69
NO
1
2
3
Rata-rata
5x10
Steril/UHT
<10/0,1
Count)
Coliform
2x101
Eschericia Coli 0
<0,1x101
0
0
0
0
0
(patogen)
Enterococci
Staphylococcus
1x102
1x102
1x102
1x101
1x101
1x101
0
0
aureus
Clostridium sp
Salmonella sp
Camphylobacte
0
Negatif
0
0
Negatif
0
0
Negatif
0
0
Negatif
0
Jumlah
Total 1x10
(Total
plate
r sp
Listeria sp
0
0
(Dewan Standardisasi Nasional_DSN, 2000)
minum susu. Penerimaan bahan baku harus memenuhi standar SNI susu segar.
Selama penanganan, susu ditempatkan pada suhu dingin dalam milk can tertutup
sehingga terhindar dari kontaminasi lingkungan.
Untuk susu segar yang telah memenuhi standar SNI, proses penyimpanan
dan
pendistribusiannya
sampai
ke
tangan
konsumen
perlu
diperhatikan.
Penyimpanan harus dilakukan pada suhu dingin sampai susu ke tangan konsumen
karena meskipun telah melalui proses pasteurisasi, susu masih mengandung bakteri
pembusuk. Bakteri pembusuk akan berkembang pada suhu ruang. Oleh karena itu,
susu pasteurisasi harus disimpan pada kondisi dingin. Susu yang mengandung
mikroba >106 cfu/ml sudah terbentuk toksin yang dengan pasteurisasi masih dapat
bertahan hidup (Suwito, 2010).
Pasteurisasi
Kasus keracunan setelah minum susu perlu diwaspadai dan diperlukan
tindakan pencegahan. Pasteurisasi merupakan salah satu tindakan yang dapat
dilakukan untuk mematikan bakteri patogen. Namun, melalui pasteurisasi, bakteri
yang berspora masih tahan hidup sehingga susu pasteurisasi hanya memiliki masa
kedaluwarsa sekitar satu minggu. Pasteurisasi dilakukan dengan waktu tertentu.
Pasteurisasi tidak mengubah komposisi susu sehingga komposisinya masih setara
susu segar (Jay 1996). Pasteurisasi umumnya dilakukan pada suhu 72 0 C selama 15
detik.
Ultra high temperature (UHT)
Susu yang melalui proses UHT akan memiliki masa kedaluwarsa lebih
panjang dibandingkan dengan susu pasteurisasi. Susu dengan proses UHT akan
steril karena bakteri pembusuk, patogen, dan berspora akan mati sehingga susu
aman dikonsumsi. Kasus keracunan setelah minum susu yang disebabkan oleh S.
aureusterjadi karena kontaminasi selama penyimpanan maupun proses produksi
(Suwito, 2010).
Penggunaan Bakteriosin
Bakteriosin merupakan antimikroba yang digunakan untuk menonaktifkan
mikroba. Pengendalian bakteri patogen dapat dilakukan dengan kombinasi antara
bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam laktat dan suhu tinggi. Cara ini sudah
diterapkan pada industri keju di Spanyol (Arques, 2005).
Nisin dan bakteriosin merupakan antimikroba yang dihasilkan oleh
Lactococcus lactis subsp. Lactis yang dapat menekan Bacillus cereus dalam susu.
13
Uji Didih
Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak
bagus akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu
dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein
ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan
baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam
keadaan homogen atau tidak pecah.
Susu sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan
menggunakan
penjepit
tabung,
kemudian
tabung
dipanaskan
dengan
menggunakan api Bunsen sampai mendidih. Uji didih menunjukkan hasil yang
positif (kualitas susu tidak baik) bila terdapat gumpalan yang menempel pada
dinding tabung reaksi, sedangkan hasil yang negatif tidak terlihatnya gumpalan
susu pada dinding tabung reaksi (Dwitania, et al, 2013).
15
Uji Alkohol
Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal
protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butirbutir protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang
memiliki daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi
derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan
yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.
Tuangkan susu sebanyak 3 ml ke dalam tabung reaksi kemudian
tambahkan 3 ml alkohol 70%, kemudian tabung dikocok perlahan-lahan. Uji
alkohol positif ditandai dengan adanya butiran susu yang melekat pada dinding
tabung reaksi, sedangkan uji alkohol negatif ditandai dengan tidak adanya
butiran susu yang melekat pada dinding tabung reaksi (Dwitania, et al, 2013).
tengah paddle), dan positif 3 (banyak terbentuk gel dan gel pada paddle tidak
bisa digoyang-goyang) (Setiawan, et al, 2012).
Uji Breed
Pengujian breed dilakukan secara duplo dengan prosedur susu sebanyak
0,01 ml diletakkan pada gelas obyek bebas lemak dan disebarluaskan pada
bidang 1 cm2 dengan menggunakan ose siku. Susu diletakkan di atas gelas
obyek kemudian dikeringkan di udara selama 10 15 menit kemudian difiksasi
di atas nyala api bunsen. Lalu preparat susu dihilangkan kandungan lemaknya
dengan direndam eter alkohol 96% selama 2 menit kemudian preparat direndam
dalam methylen blue selama 2 menit. Setelah pewarnaan preparat dicuci dengan
air lalu dengan alkohol 96% kemudian dikeringkan lalu diamati dengan
mikroskop pada pembesaran 1000x (Firmansyah., et al, 2012).
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Susu merupakan salah satu bahan pangan yang kaya akan zat gizi.
Kandungan protein, glukosa, lipida, garam mineral, dan vitamin dengan pH sekitar
6,80 menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dalam susu. Sedangkan
mikroorganisme adalah sebuah organisme kehidupan yang terlalu kecil untuk
dilihat dengan mata telanjang. Mikroorganisme dalam susu dapat berasal dari sapi
itu sendiri atau dari luar adapaun bakteri itu adalah Bakteri Asam Laktat (BAL),
bakteri Coliform, bakteri perusak susu dan mikroorganisme patogen pada susu.
Bakteri ini dapat berkembang dalam susu dipengaruhi oleh faktor unsur nutrisi dan
faktor lingkungan yaitu faktor-faktor biotik dan faktor-faktor abiotik. Bakteri ini
juga dapat menular antar kuartir yang abnormal ke kuartir yang normal dengan cara
dari kuartir terinfeksi ke kuartir normal bisa melalui tangan pemerah, kain
pembersih, mesin pemerah dan lalat dan juga kemungkinan mikroorganisme dapat
melalui sphincter puting karena adanya mekanisme fisis puting. Sedangkan susu
yang normal itu mempunyai jumlah sel somatik dibawah 300.000 per ml susu dan
susu yang tidak normal itu jumlah sel somatik diatas 3-5 x 10 5 per ml susu yang
menunjukan kemungkinana terjadinya mastitis subklinis pada ternak sapi laktasi.
Apabila untuk mencegah adanya keracunan dengan cara memperbaiki
proses penerimaan bahan baku atau susu segar, penanganan, pemrosesan, dan
penyimpanan. Selain itu kontaminasi pada susu dapat dikurangi antara lain dengan
menjaga kesehatan ternak, higiene susu, dan pasteurisasi. Dan pemeriksaan
mikrobiologi pada susu dapat dilakuakan dengan Uji Lemak Metode Gerber, Uji
WST (Whiteside Test), Uji CMT (California Mastitis Test) , Uji alcohol, Uji Breed ,
Uji SFMT (Surf Field Mastitis Test), Uji didih, Uji derajat asam (SH) , Polymerase
Chain Reaction (PCR), Isolasi dan Identifikasi, Total Plate Count (TPC)
19
DAFTAR PUSTAKA
Alfa Laval. 1977. Dairy Handbook. Alfa Laval Dairy and Food Engineering Division.
Sweden. Arques, J.L., E. Rodriguez, G. Gaya, M. Medina, B. Guamis, and M. Nunez. 2005. Inactivation of Staphylococcus aureus in raw milk cheese by combinations of highpressure treatments and bacteriocin producing lactic acid bacteria. J. Appl. Microbiol.
(98): 254260.
Anderson, J. C. 1982. Progressive pathology of staphylococcalmastitis with a note on control,
immunisation and therapy. The Vet. Recrd 17: 372 - 376.
Blood, D.C and J.A. Henderson. 1963. ne. 3th ed. Bailliere Tindall. London.
Buckle,K.A., 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Cowan, S.T and K.J. Stael. 1973. Cation Of Medical Bacteria. Press, London. Manual of the
Identify Cambridge University.
Deza, M.A., M. Araujo, and M.J. Garrido. 2005. Inactivation of Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, Pseudomonas aeruginosa, and Staphylococcus aureus on stainless
steel and glass surfaces by neutral electrolysed water. Lett. Appl. Microbiol. (40):
341346.
Dwijoseputro. 1982. Dasar Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Dwitania, Deski Citra dan Swacita, Ida Bagus Ngurah. 2013. Uji Didih, Alkohol dan Derajat
Asam Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. Indonesia
Medicus Veterinus 2013 2(4) : 437 - 444 ISSN : 2301-7848
Fardiaz, S. 1993. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Firmansyah, Diki, et al. 2012. Effect Subclinical Mastitis Stage Toward Milk Quality For Pfh
(Peranakan Friesian Holstein) Dairy Catle In All Months Of Lactation. Program Studi
Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya
Frank J.F. 2001. Milk and Dairy Products. Dalam Doyle M.P., Food Microbiology:
Fundamentals and Frontiers Edisi k-2. Washington, DC: sam Press.
20
Glimour, A. Rowe MT. 1990. Microorganism Associated With Milk Dairy Microbiology. Vol. 1.
2nd Ed. Department of Food Science and Teknology. University of Reading. UK.
Hadiwiyoto, S. 1982. Teknik Uji Mutu Susu dan Hasil Olahannya (Teori dan Praktek).
Yogyakarta: Liberty.
Jay, M.J. 1996. Modern Food Microbiology. Fifth Ed. International Thomson Publishing,
Chapman & Hall Book, Dept. BC. p. 469471.
Jayarao, B.M., S.C. Donaldson, B.A. Straley, A.A. Sawant, N.V. Hegde, and J.L. Brown. 2006.
A survey of foodborne pathogens in bulk tank milk and raw milk consumption among
farm families in Pennsylvania. J. Dairy Sci. (89): 24512458.
Jeffrey, T., Lejeune, and P.J.R. Schultz. 2009. Unpasteurized milk: A continued public health
threat. Food Safety. Clinical Infectious Dis. (48): 93100.
Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology 2nd Ed. Boca Raton: CRC Press.
Setiawan, Heri et al. 2012. The sensitivity and Specificity Study of CMT, WST, and SFMT
reagents as Subclinical Mastitis Test Materials at Sumber Makmur Dairy Farm,
Ngantang. Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan,
Universitas Brawijaya.
[SNI] Standar Nasional Indonesia 01- 6366-2000. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba
dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta: Dewan
Standarisasi Nasional.
Suardana, IW. dan I.B.N. Swacita.2004. Food Hygiene. Petunjuk Laboratorium. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar.
Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung:
IKAPI.
Suwito, Widodo. 2010. Bakteri yang Sering Mencemari Susu: Deteksi, Patogenesis,
Epidemiologi dan Cara Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010 p. 96100.
21
Volk, W.A. dan M.F. Wheeler. 1990. Mikrobiologi Dasar.S. Adisoemarto (Ed.). Edisi ke-5.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Wandling, L.R., B.W. Sheldon, and P.M. Foegeding. 1999. Nisin in milk sensitizes spores to
heat and prevents recovery of survivors. J. Food Protect. 65(5): 492498.
Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 2000. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.
Gramedia.
22