You are on page 1of 18

ANALISIS KINERJA FINANSIAL PETERNAKAN

BROILER
ANTARA POLA KEMITRAAN DAN POLA
MANDIRI
(Studi Kasus di Kabupaten Jombang)
Nanang Wijayanto1; Zaenal Fanani2 dan Bambang A
Nugroho2
1.

Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya


2
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

ABSTRACT
Poultry domestic broiler industry has become a has
a full component of upstream to downstream , where the
value strategic created from the amount of labor that can
be absorbed in Jombang, one broiler production centers
in East Java, there are two patterns of exploitation broiler
ranch, partnerships and independent, which is a "drop
out" of the partnership.
This study aims to : (1) analyze institutional ranch
chicken broiler partnership system, and (2) comparing
the level of profit ranch broiler partnerships and
independent system. Found that institutional partnerships
implemented by pattern vertical coordination by the
nucleus, breeder only passive (executorcontracts), and
contracts with the company's core is still unclear and less
detailed. Ranch broiler independent patterns more
compare favorably with usahaternak partnership, but

capital early and relatively large business risks caused


farmers in the Jombang still persist to seek a partnership
with the livestock.
Keywords : broiler, independent business and plasma
partnerships system

PENDAHULUAN
Usaha ternak Broiler di Jombang dianggap
memiliki keuntungan sehingga banyak masyarakat yang
tertarik untuk mengusahakannya. Namun untuk memulai
usaha ini, sebagian besar masyarakat terkendala oleh
besarnya modal awal yang harus disediakan oleh tiap
peternak. Besarnya modal awal untuk usaha ternak
broiler inilah yang mendorong para peternak untuk
melakukan usaha kemitraan. Peternak yang melakukan
usaha ternak melalui pola kemitraan dengan perusahaan
inti ditujukan untuk memperoleh tambahan modal usaha
ternak. Keuntungan-keuntungan yang didapatkan oleh
peternak peserta kemitraan antara lain adalah tersedianya
modal usaha ternak (khususnya modal awal) dan serta
adanya pembinaan dalam usaha ternak Broiler oleh
perusahaan inti. Melalui kemitraan diharapkan
perusahaan inti dan peternak dapat menjalin kerjasama
yang saling menguntungkan. Perusahaan mitra yang
memiliki beberapa keunggulan diantaranya teknologi
budidaya broiler dapat melakukan transfer teknologi dan
inovasi kepada peternak peserta kemitraan. Dengan
keunggulan-keunggulan yang diperoleh peternak dalam
melakukan usaha kemitraan, maka akan meningkatkan

efisiensi usaha ternak yang pada akhirnya akan


meningkatkan pendapatan.
Pola kemitraan usaha peternakan Broiler yang
dilaksanakan dengan pola inti plasma, yaitu kemitraan
antara peternak mitra dengan perusahaan mitra, dimana
lompok mitra bertindak sebagai plasma, sedangkan
perusahaan mitra sebagai inti. Pada pola inti plasma
kemitraan ayam ras yang berjalan selama ini, perusahaan
mitra menyediakan sarana produksi peternakan
(sapronak) berupa: DOC, pakan. obat-obatan/vitamin,
bimbingan teknis dan memasarkan hasil, sedangkan
plasma menyediakan kandang dan tenaga kerja. Faktor
pendorong peternak ikut pola kemitraan adalah: (1)
Tersedianya sarana produksi peternakan; (2) Tersedia
tenaga ahli; (3) Modal kerja dari inti; dan (4) Pemasaran
terjamin. Namun ada beberapa hal yang juga menjadi
kendala bagi peternak pola kemitraan yaitu: (1)
Rendahnya posisi tawar pihak plasma terhadap pihak
inti; (2) Terkadang masih kurang transparan dalam
penentuan harga input maupun output (ditentukan secara
sepihak oleh inti). Ketidakberdayaan plasma dalam
mengontrol kualitas sapronak
yang dibelinya
menyebabkan kerugian bagi
plasma. Tingkat
pelaksanaan kemitraan pola inti plasma berhubungan
positif dengan tingkat pendapatan peternak, namun hasil
penelitian Yulianti (2012) menemukan bahwa rendahnya
pendapatan peternak program kemitraan cenderung
sebagai akibat kurang transparan dalam penentuan harga
kontrak baik harga masuk (harga bibit ayam (DOC),
harga pakan, harga sapronak lainnya) maupun harga
keluar (ayam ras pedaging). Pada kemitraan Broiler
ketidakadilan biasanya terjadi karena adanya perbedaan

kekuatan posisi tawar (bargaining position) antara


kelompok mitra (peternak) sebagai plasma dengan
perusahaan mitra sebagai inti. Kemitraan yang
seharusnya
bersifat
win-win
solution
(saling
menguntungkan) belum tercapai, sehingga dalam upaya
mengembangkan kemitraan yang tangguh dan modern
diperlukan strategi untuk memperbaiki pondasi
perkembangan kemitraan yang lebih mendasar.
Berdasarkan kajian diatas maka dilakukan
penelitian untuk menganalisis struktur kelembagaan
usaha ternak Broiler pola kemitraan dan mandiri serta
membandingkan analisis finansial pada usaha ternak
Broiler pola kemitraan dan pola mandiri.
MATERI DAN METODE
Lokasi penelitian di Kabupaten Jombang Provinsi
Jawa Timur. Pengambilan data dilakukan selama dua
bulan yaitu bulan Maret sampai April 2013.
Metode yang digunakan adalah metode survey
dengan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 20 peternak untuk kemitraan dan 13 orang
untuk mandiri. Penentuan sampel penelitian ini
menggunakan metode sensus (sampling jenuh). Data di
analisis secara deskriptif untuk mengetahui struktur
kelembagaan usaha ternak kemitraan sedangkan untuk
tujuan mengetahui mana yang lebih menguntungkan dari
usahaternak broiler pola kemitraan atau pola mandiri
yakni dilihat dari besarnya pendapatan peternak dan
efisiensi usaha ternak digunakan analisis kuantitatif yaitu
analisis finansial dengan menghitung keuntungan dan
R/C ratio.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kelembagaan Kemitraan Usaha ternak Ayam Ras
Pedaging
Perusahaan inti yang beroperasi di Kabupaten
Jombang terdiri dari empat perusahaan yaitu PT. Pesona
Ternak Gemilang (anak cabang dari PT. Charoen
Pokphand Indonesia), PT. Ciomas Adisatwa (anak
cabang PT. Japfa Comfeed Indonesia), PT. Mus (anak
cabang dari PT. Wonokoyo Jaya Corp), PT Malindo dari
PT. Sierad Produce Tbk.
Peternak ayam ras pedaging yang melakukan
kemitraan belum mempunyai suatu wadah untuk
menunjang pelaksaan kemitraan, seperti kelompok tani.
Di lapangan, para peternak anggota kemitraan langsung
berhadapan dengan perusahaan inti melalui TS. Tidak
adanya organisasi yang mewadahi peternak ini,
seringkali menyulitkan peternak karena tidak adanya
media perantara untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang ada, terutama penentuan harga (baik
harga sarana produksi maupun harga output) yang
seringkali dianggap kurang menguntungkan oleh
peternak. Dalam hal ini peternak kemitraan dalam
penentuan harga panen sudah didasarkan ketentuan
perusahaan sehingga peternak berada di posisi tawar
yang lemah.
Aturan main kerjasama kemitraan dicerminkan
oleh adanya kewajiban bagi masing-masing lembaga
yang terlibat dalam pengelolaan usaha ternak ayam ras
pedaging di Kabupaten Jombang. Kewajiban-kewajiban
tersebut didasarkan pada kontrak yang telah
ditandatangani oleh peternak plasma dan perusahaan inti
sebelum melakukan proses produksi. Adapun kewajiban-

kewajiban yang harus dilaksanakan masing-masing


peserta kerjasama adalah sebagai berikut:
Kewajiban perusahaan inti
1. Perusahaan inti wajib menyediakan peralatan
kandang dan sarana produksi ternak yaitu DOC,
pakan, obat-obatan dan penyediaan ini dikredit
oleh peternak.
2. Perusahaan inti wajib untuk membeli semua hasil
produksi ternak dari peternak mitra.
3. Perusahaan inti wajib memberikan bimbingan
dan penyuluhan terhadap peternak mitra sesuai
dengan standar perusahaan.
Kewajiban peternak mitra (plasma)
1. Peternak mitra wajib menyediakan kandang yang
sesuai dengan ketentuan perusahaan.
2. Peternak mitra wajib mengelola ayam ras
pedaging sesuai dengan standar perusahaan, baik
dari segi pakan, obat-obatan dan perlakuan
lainnya.
3. Peternak mitra wajib menjual semua hasil
produksi ternak kepada perusahaan inti.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa konflik


seringkali disebabkan oleh adanya sifat opportunisme
dari perusahaan inti, yakni mencari keuntungan sebesarbesarnya bagi dirinya sendiri. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Simatupang (1997), bahwa kepatuhan
terhadap kesepakatan (credible commitment) merupakan
kunci keberhasilan dari suatu program kemitraan. Dalam
kasus kemitraan peternakan ayam ras pedaging di
Kabupaten Jombang ini, pihak yang tidak mematuhi

kesepakatan justru lebih sering dilakukan oleh


perusahaan inti.
Keuntungan-keuntungan bermitra yang selama ini
dijalankan oleh peternak dan perusahaan inti di
Kabupaten Jombang adalah ketersediaan modal awal
untuk berusaha ternak. Sebagaimana telah dijelaskan
pada pada bagian sebelumnya bahwa untuk memulai
usaha ternak ayam ras pedaging, peternak membutuhkan
modal yang relatif besar untuk pembuatan kandang dan
pembelian alat-alat kandang. Untuk skala usaha 5000
ekor ayam dalam satu siklus produksi ( 35 hari)
dibutuhkan dana berkisar antara Rp 70 juta Rp 95 juta.
Pada kondisi ini, peternak amat memerlukan bantuan
pihak lain dalam menyediakan modal awal. Di
Kabupaten Jombang peternak yang melakukan
kemitraan dengan perusahaan inti, umumnya merasa
sangat terbantu dengan adanya kerjasama kemitraan
karena modal awal yang seharusnya ditanggung oleh
peternak, sebagian ditanggung oleh perusahaan inti
melalui pemberian kredit penyediaan alat-alat kandang.
Adanya bimbingan dan penyuluhan. Keuntungan lain
dari kerjasama kemitraan yang paling besar manfaatnya
bagi peternak adalah adanya bimbingan dan penyuluhan
yang diberikan oleh technical service (TS) dari
perusahaan inti. Penyuluhan dan bimbingan melalui TS
ini sangat intensif karena setiap satu orang peternak akan
memperoleh bimbingan secara langsung. Melalui
penyuluhan tersebut, peternak peserta kemitraan
memperoleh
informasi
perkembangan
(inovasi)
teknologi usahaternak relatif lebih cepat dibandingkan
peternak non mitra. Peternak mitra menyatakan bahwa
teknologi yang diberikan oleh TS terbukti mampu

meningkatkan kualitas ayam ras pedaging yang


dihasilkan. Penanggungan resiko, usaha ternak ayam ras
pedaging sangat rentan terhadap kegagalan produksi
seperti rendahnya bobot ayam (biasanya disebabkan oleh
kualitas DOC dan pakan yang rendah), serangan
penyakit atau anjloknya harga ayam di pasar. Jika terjadi
kegagalan panen, pendapatan yang diperoleh biasanya
tidak mampu lagi digunakan untuk membiayai proses
produksi pada periode berikutnya. Bagi peternakpeternak peserta kemitraan, kegagalan panen tidak
menyebabkan proses produksi periode berikutnya
terhenti karena perusahaan inti akan tetap menyediakan
sarana produksi ternak (DOC, pakan, obat dan vaksin).
Hal ini tidak bisa dilakukan oleh peternak non mitra,
resiko kegagalan usaha akan ditanggung sendiri sehingga
jika harus memulai proses produksi pada berikutnya
mereka harus mampu mencari sumber modal baru.
Manfaat yang dirasakan oleh peternak inilah yang
membuat para peternak tetap melaksanakan program
kemitraan walaupun masih ada perselisihan antara
peternak dengan perusahaan inti seperti yang telah
dijelaskan di sub bab pelaksanaan kerjasama kemitraan.
Pada umumnya, peternak di Kabupaten Jombang yang
memilih untuk menjadi peternak mandiri (keluar dari
program kemitraan) adalah mereka yang telah memiliki
modal besar dan bersedia menanggung resiko kegagalan.
Secara keseluruhan, analisis terhadap struktur
kelembagaan kemitraan Broiler di Kabupaten Jombang
ditunjukkan oleh tiga hal yaitu: (1) batas yurisdiksi
(jurisdiction boundary) dalam kerjasama kemitraan
perusahaan inti bertindak sebagai penyedia faktor-faktor
pemasukan (peralatan kandang dan sapronak), termasuk

memberikan bimbingan proses produksi dan penampung


hasil produksi, sedangkan peternak peserta kemitraan
bertindak sebagai pelaku proses produksi ayam ras
pedaging.(2) property right dalam kerjasama kemitraan
di tingkat provinsi diatur dalam SK (Surat Keputusan)
Dinas Peternakan tingkat Provinsi sedangkan pada
tahapan pelaksanaan, hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang melakukan kerjasama diatur dalam kontrak
perjanjian yang dibuat oleh perusahaan inti dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Kewajiban
perusahaan inti untuk menampung seluruh produksi dari
peternak mitra belum dilaksanakan sesuai dengan
perjanjian yang dibuat, dan (3) aturan representasi (rules
of representation) dalam pembuatan keputusan lebih
ditentukan oleh perusahaan inti. Oleh sebab itu, adanya
keberatan peternak mengenai pembagian hasil
(penentuan harga input dan harga output) maupun
pemberian insentif tidak pernah dapat diselesaikan
secara tuntas. Peternak tidak dapat berpartisipasi untuk
menentukan proporsi bagi hasil dan pemberian insentif
yang adil bagi mereka. Hal ini terkait dengan isi
perjanjian kontrak yang masih kurang jelas dan kurang
terperinci.

Analisis Usaha Pendapatan Peternakan


Tabel 1. Perbandingan Biaya, Penerimaan dan
Pendapatan Usaha Ternak Ayam Pedaging
Pada Pola Kemitraan dan Mandiri di
Kabupaten Jombang
Uraian
Mandiri
Kemitraan
Nilai Kontri Nilai
Kontr Komp
(Rp/k busi
(Rp/k ibusi
arasi
g)
(%)
g)
(%)
BIAYA
TETAP
Penyusutan
kandang
48,26 0,39
43,56 0,32
9,74
Penyusutan
peralatan
29,70 0,24
11,88 0,09
60,00
Total
Biaya
77,96 0,63
55,44 0,41
28,89
Tetap
BIAYA
VARIABE
L
DOC *
5074,
5557,2
10
41,41
0
41,16
9,92
Pakan
6005,
7002,6
40
49
0
51,87
16,61
Obat
& 259,8
Vaksin
1
2,12
241,56 1,79
7,02
Sekam
280,8
4
2,29
207,24 1,54
26,2
LPG
190,1
5
1,55
204,14 1,51
7,3
Tenaker
110,1 1,34
117,48 0,87
6,6

Biaya
Panen
Lain-lain

4
115,0
4
113,8
2

1,4

100,21 0,74

0,9

1,39

14,52

87,24

0,11

Total
1217
13444,
Biaya
4,41
99,36
95
99,59
10,41
Variabel
1225
13500,
100,00
Total
2,37
100,00 39
10,18
Biaya
Total
15000,
Penerimaa 1600
0,00
00
6,25
n **
1499,6
Pendapata 3747,
63
1
59,98
n
1,3
1,11
R/C
Sumber : Data Primer diolah, 2013
Keterangan : * = Strain DOC pola mandiri dan pola
kemitraan tidak berbeda
** = untuk satu ekor ayam ras
pedaging setara dengan 1.7 kg (35 hari)

Dari Tabel 1 terlihat bahwa total biaya yang


dikeluarkan dalam proses produksi satu ekor ayam ras
pedaging pada pola mandiri lebih rendah dibandingkan
dengan pola kemitraan. Selisih total biaya antara pola
kemitraan dengan pola mandiri mencapai Rp 1248,02
per ekor. Artinya untuk memproduksi satu ekor ayam ras
pedaging pada pola kemitraan membutuhkan biaya 10,18
persen lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan pada pola mandiri. Dari komposisi biaya

tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan oleh peternak


masing-masing pola tidak jauh berbeda. Artinya untuk
usaha ternak ayam ras pedaging, biaya yang paling
banyak dikeluarkan berturut - turut adalah biaya untuk
pembelian pakan, DOC, obat dan vaksin, sewa kandang
dan pembelian gas. Perbedaan komposisi biaya variabel
pada pola kemitraan dengan pola mandiri adalah
pengeluaran untuk pembelian kunyit. Untuk peternak
pola mandiri, pemberian kunyit adalah salah satu cara
untuk mengurangi penggunaan vaksin karena pemberian
kunyit dipercaya oleh peternak sebagai cara untuk
meningkatkan daya tahan tubuh ayam ras pedaging dari
serangan penyakit. Bagi peternak peserta pola kemitraan,
hal tersebut tidak dapat dilakukan karena perusahaan inti
telah memberikan persyaratan bahwa peternak dilarang
untuk memberikan perlakuan yang tidak sesuai dengan
standar perusahaan inti. Untuk ketahanan tubuh terhadap
serangan penyakit maka ternak pada pola kemitraan
harus diberikan vaksin sesuai dengan dosis dan anjuran
dari penyuluh (TS).
Berdasarkan jumlah nilainya, biaya tetap yang
dikeluarkan oleh peternak peserta pola kemitraan tidak
berbeda dengan peternak pola mandiri. Hal ini
disebabkan karena adanya ketentuan dari perusahaan inti
bahwa peternak peserta pola kemitraan harus dapat
menyediakan sendiri kandang dan peralatannya sehingga
harga input per unit yang diterima oleh peternak peserta
kemitraan sama dengan peternak pola mandiri, yakni
sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Untuk biaya
variabel, yakni biaya DOC, pakan, obat dan vaksin,
terlihat perbedaan yang relatif besar antara biaya yang
dikeluarkan oleh peternak mandiri dengan peternak

kemitraan. Perbedaan biaya ini lebih disebabkan oleh


adanya perbedaan harga yang diterima peternak peserta
kemitraan karena kualitas DOC dan kuantitas pemberian
pakan yang diberikan antara peternak pola mandiri dan
pola kemitraan tidak ada perbedaan. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa peternak ayam ras
pedaging pola mandiri yang ada di Kabupaten Jombang
merupakan eks peserta kemitraan sehingga teknologi
yang diterapkan pada usaha ternak mereka relatif tidak
jauh berbeda dengan peternak pola kemitraan.
Pengetahuan tentang kualitas strain DOC,
pemberian pakan termasuk dosispemberian obat dan
vaksin masih diterapkan oleh peternak pola mandiri
dalamproses usahaternak mereka sehingga diyakini
bahwa perbedaan jumlah biaya variabel lebih disebabkan
oleh adanya perbedaan harga input. Namun khusus untuk
biaya obat dan vaksin, selisih biaya yang terjadi juga
disebabkan perbedaan kuantitas vaksin yang diberikan.
Sebagaimana penjelasan pada komposisi biaya variabel,
bahwa sebagian penggunaan vaksin untuk ternak pada
pola mandiri digantikan dengan pemberian kunyit dan
daun pepaya sehingga biaya vaksinnya relatif lebih
rendah bila dibandingkan dengan pola kemitraan.
Harga input yang diterima oleh peternak peserta
kemitraan telah ditentukan oleh perusahaan inti dan
biasanya lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga
yang berlaku di pasar. Dari hasil penelitian terlihat
bahwa selisih biaya pembelian DOC yang diterima
peternak kemitraan adalah 9,52 persen lebih tinggi
dibandingkan biaya pembelian DOC yang dikeluarkan
oleh peternak pola mandiri atau sebesar Rp 483,10 per
DOC. Selisih harga input ini merupakan keuntungan

yang diperoleh perusahaan inti dan hal ini sangat wajar


jika perusahaan inti menginginkan dapat memperoleh
keuntungan dari penjualan DOC. Namun hal ini yang
membuat sebagian besar peternak merasa dirugikan
adalah karena harga pemasukan tidak pernah ditentukan
di awal kontrak dan persentase keuntungan yang diambil
oleh perusahaan inti tidak pernah diketahui secara pasti.
Total penerimaan disini sama dengan harga jual
per ekor ayam ras pedaging. Peternak pola mandiri
memperoleh penerimaan sebesar Rp 16.000 sedangkan
untuk peternak pola kemitraan hanya Rp 15.000 atau
6,25 persen lebih rendah dibandingkan penerimaan
peternak pola mandiri. Selisih penerimaan atau hargajual
ini juga disebabkan adanya kontrak kesepakatan atas
harga output sebelum proses produksi oleh peternak
peserta pola kemitraan. Jika harga yang berlaku dipasar
lebih tinggi dari harga kesepakatan, peternak hanya
memperoleh peningkatan harga sebesar 15-40 persen
dari selisih harga yang berlaku atau biasa disebut dengan
pemberian insentif. Oleh sebab itu, harga output yang
diterimapeternak pola kemitraan akan selalu lebih rendah
dibandingkan dengan hargaoutput pola mandiri. Jika
terjadi kasus sebaliknya atau harga kontrak lebih tinggi
dibandingkan harga pasar, maka sesuai kontrak peternak
peserta kemitraan akan menerima sesuai harga kontrak.
Namun demikian, hal ini (harga kontrak lebihtinggi dari
harga pasar) jarang sekali terjadi. Menurut hasil
wawancara dengan peternak peserta kemitraan, selama
sepuluh tahun terakhir ini belum pernah terjadi harga
kontrak lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar.
Hal ini disebabkan karena perusahaan inti lebih
menguasai informasi harga pasar apalagi perusahaan inti

memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan para


pedagang besar sehingga perusahaan inti mempunyai
kemampuan yang relatif baik dalam memprediksi harga
pasar.
Pendapatan yang merupakan selisih penerimaan
dengan biaya menunjukkan hal yang sama karena pola
mandiri memiliki penerimaan lebih tinggi dan biaya
lebih rendah maka pendapatan yang diperoleh peternak
pola mandiri juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan
peternak pola kemitraan. Pendapatan yang mampu
diperoleh peternak pola mandiri adalah Rp 3747,63 per
ekor ayam ras pedaging sedangkan untuk peternak pola
kemitraan memperoleh pendapatan senilai Rp 1499,61
per ekor. Dengan kata lain, untuk tiap ekor Broiler,
peternak pola kemitraan memperoleh pendapatan Rp
2248,02 atau 59,98 persen lebih rendah bila
dibandingkan dengan pendapatan peternak pola mandiri.
Sejalan dengan pendapatan yang diterima, analisis
R/C ratio juga menunjukkan bahwa usaha ternak pola
mandiri lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan
usaha ternak pola kemitraan. Hasil perhitungan R/C
ratioyang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
R/C ratio pola mandiri adalah 1,44 sedangkan pola
kemitraan sebesar 1,11. Nilai ini menunjukkan bahwa
usahaternak pola mandiri lebih efisien dalam
penggunaan inputnya, yakni untuk tiap Rp 1 biaya yang
dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp
1,3. Sedangkan untuk usaha ternak pola kemitraan, tiap
Rp 1 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
penerimaan sebesar Rp 1,11. Secara keseluruhan, hasil
analisis R/C ratio menunjukkan bahwa baik pola
kemitraan maupun pola mandiri, usaha ternak ayam ras

pedaging di Kabupaten Jombang efisien dan


menguntungkan karena penerimaan/imbalan yang
diperoleh lebih besar dari pengeluarannya sehingga
peternak dapat memperoleh manfaat dari usaha ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka
dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut
1.
Peternak kemitraan berhadapan langsung dengan
perusahaan inti melalui TS (technical service)
dan peternak bersifat pasif (hanya melaksanakan
kontrak yang telah dibuat perusahaan inti).
Perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh
perusahaan inti masih kurang jelas dan tidak
terperinci khususnya mengenai harga dan kualitas
input yang dikreditkan kepada peternak,
penentuan proporsi insentif jika terjadi perbedaan
harga dengan harga pasar serta kriteria ayam ras
pedaging yang dibeli.
2.
Hasil analisis finansial menunjukkan pendapatan
usaha ternak ayam broiler pola mandiri lebih
tinggi dibandingan dengan pendapatan peternak
pola mandiri.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
2011. Statistik Peternakan. Departemen
Pertanian RepublikIndonesia. Jakarta.

Elieser, S. 2000. Analisis Ekonomi Kelembagaan


Kemitraan dalam Sistem Pengembangan
Usahaternak Domba pada Lahan Kering, di
Provinsi Sumatera Utara. Tesis Program
Magister Sains. Program Pascasarjana,Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi.
LPFE. Universitas Indonesia. Jakarta.
Sahari,

D. dan A. Musyafak. 2002. Analisis


Kelembagaan
Pemasaran
Menunjang
Pengembangan Agribisnis Jagung di Kawasan
Sentra Produksi Sanggau Ledo Kalimantan
Barat. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 5(2): 26-43.
Sarwanto, C. 2004. Kemitraan, Produksi dan
Pendapatan Peternak Rakyat Broiler (Studi
Kasus
di
Kabupaten
Jombang
dan
Sukoharjo).Tesis Magister Sains. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Simatupang,
P.,
1997.
Kemitraan
Agribisnis
Berdasarkan Paradigma Ekonomi Biaya
Transaksi. Makalah Seminar Pemberdayaan
Usaha Kecil dalam Menghadapi Perdagangan
Bebas. Universitas Brawijaya, Malang.
Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan
Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas.
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan


Pedesaan dan Pertanian.PT. Bina Rena
Pariwara. Jakarta.
Yulianti, F., 2012.
Kajian Analisis Pola Usaha
Pengembangan
Ayam Broiler Di Kota
Banjarbaru. Jurnal Socioscientia Kopertis
Wilayah XI Kalimantan. Februari 2012.
Volume 4 Nomor 1

You might also like