You are on page 1of 48

PENDAHULUAN

Penyakit jantung koroner ialah suatu penyakit yang sangat umum terjadi dan
merupakan penyebab kematian nomor satu di negara-negara maju. Di Indonesia dengan
makin berkembangnya tingkat kesejahteraan masyarakat sejalan dengan lajunya
pembangunan, sudah dapat diramalkan penyakit ini juga akan menjadi penyebab kematian
nomor satu.6
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1992 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama di Indonesia
terutama di kota besar adalah penyakit kardiovaskuler. Sedangkan SKRT yang dilakukan
pada tahun 1972, penyakit kardiovaskuler baru menduduki urutan ke 11.6
Operasi jantung koroner yang dilakukan di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta
mencapai lebih dari 200 kasus pada tahun 1992 dibandingkan hanya 20-30 kasus pada
tahun 1984. Ini belum termasuk kasus-kasus yang berobat di luar negeri dan angioplasti.6
Di Rumah Sakit Jantung Rajawali Bandung, kasus penyakit jantung koroner yang
berupa infark miokard pada tahun 1992 meningkat menjadi rata-rata 1,5-2 kasus per hari,
dibandingkan 0,5-1 kasus per hari pada tahun 1990.6

PEMBAHASAN

I.

Definisi
Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan iskemia

miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment
elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST
(non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak
stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya
berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang
mengalami nekrosis.4
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP)
dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi
yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium,
sehingga adanya marker kerusakan miokardium yang dapat diperiksa.4
II. Epidemiologi
Data penelitian Framingham di Amerika Serikat yang didapat pada tahun 1950 dan
1960 menunjukkan bahwa dari empat pria dengan angina, satu orang akan mengalami
infark miokard dalam waktu 5 tahun. Sedangkan untuk wanita resikonya hanya setengah
dari itu.5
Penelitian menunjukkan pula bahwa penderita yang simtomatis prognosisnya lebih
daripada yang penderita yang asimtomatis. Data saat ini menunjukkan bahwa bila penderita
asimtomatis atau dengan simtom ringan, kematian tahunan pada penderita dengan pada satu
dan dua pembuluh darah koroner adalah 1,5 % dan kira-kira 6 % untuk lesi pada tiga
pembuluh darah koroner. Kalau pada golongan terakhir ini kemampuan latihan (exercise
capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini tidak baik kematian

tahunannya kira-kira 9 %, karena itu penderita harus dipertimbangkan untuk


revaskularisasi.5
Data dari Coronary Artery Surgery Study (CASS) telah menunjukkan hubungan
antara jumlah pembuluh darah koroner yang terlibat, banyak stenosis di pembuluh darah
koroner bagian proksimal serta kemunduran kemampuan fungsi ventrikel kiri sebagai tanda
prognosis tidak baik.5
Survey Kesehatan Rumah Tangga Nasional Departemen Kesehatan 1996
melaporkan angka kematian di daerah perkotaan dan di pedesaan untuk penyakit jantung
koroner masing-masing 53,5 dan 24,6 per 100.000 penduduk. Ini relatif masih rendah
dibandingkan negara maju. Sebagai gambaran, negara tetangga kita Singapura mempunyai
angka kematian untuk penyakit jantungkoroner sebanyak 215 per 100.00 penduduk pada
tahun 1994.5
III. Faktor Resiko
Dewasa ini ditemukan banyak faktor yang saling berkaitan dalam mempercepat
proses aterogenik. Telah ditemukan beberapa faktor yang dikenal sebagai faktor risiko yang
meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya aterosklerosis koroner pada individu tertentu.
Ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu : usia, jenis kelamin, ras dan
riwayat keluarga. Faktor-faktor risiko tambahan lainnya masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor risiko tersebut adalah
merokok, peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, gangguan toleransi glukosa, dan
obesitas.3

III. 1 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan
antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan
yang lebih panjang terhadap faktor-faktor aterogenik.3
2. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause,
setelah menopause kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan
estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause.3
3. Ras
Orang Amerika-Afrika lebih rentan tehadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.3
4. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Besarnya pengaruh genetik dan
lingkungan belum diketahui. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa
bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada
gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan
komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau
obesitas.3
III.2 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap
dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan
arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan

reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan


glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.7
2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal
dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida
adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang penting
sehubungan dengan aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut
dalam plasma.

Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu;

kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya,
sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi
terdapat pada HDL.7
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit
jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor
pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata
bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam darah mempunyai makna
klinis untuk terjadinya aterosklerosis.7
3. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai
akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi
kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertropi
kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi
semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen
miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya
mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark. 7
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah
akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).7

4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di
bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun,
dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang
berikatan dengan dinding vaskuler.7
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada
umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.7
III.3 Faktor Predisposisi
1. Hipertensi
Selain dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi
yang lama. Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak
pada pembuluh darah.1
2. Anemia
Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk
ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk
meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung
meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan
gangguan pada jantung.1
3. Kerja fisik / olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan
miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen tidak
mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi
infark.1

IV. Patogenesis
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik dari plak
arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi platelet, trombosis
terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal. Keberadaan kandungan lipid
yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik, menyebabkan tingginya resiko ruptur plak arteri
koronaria. Pembentukan trombus dan terjadinya vasokonstriksi yang disebabkan pelepasan
serotonin dan tromboxan A2 oleh platelet mengakibatkan iskemik miokardium yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner.4

Aterosklerosis

adalah

bentuk

arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan pengerasan dari dinding pembuluh darah
yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan
terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan kelainan tunggal
namun merupakan proses patologi yang dapat mempengaruhi system vaskuler seluruh
tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi
klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit arteri
koroner.1
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi dengan
stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes mellitus,
merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi
oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat
berupa peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin,
stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. 1
LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi
sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi masuk ke dalam tunika
intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung oksiLDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan membentuk
jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah
sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi radikal

oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan imunologis
sehingga terjadi kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos,
pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos tersebut. Proses
tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk growth factor (TGF beta).
Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan menyumbataliran darah ysng
lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau
claudication intermitten).1
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala
klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi
inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga
menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan berdasarkan
strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur. Plak yang
menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung menjadi
rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang
diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena
shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple, sekresi
macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika rupture,
terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade pembekuan darah,
dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut dapat langsung
menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.1

Atherosclerotic plaque with


a lipid-rich core and thin
fibrous cap
Shear forces, inflammation,
apoptosis, macrophagederived degradative enzymes
Rupture of plaque
Increased inflammation with
release of multiple cytokines,
platelet activation and
adherence, production of
thrombin and vasoconstrictors

Thrombus formation over lesion


plus vasoconstriction of vessel

Acute decrease in coronary


blood flow
Unstable angina or
myocardial infarction
Gambar 1: Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus
V. Patofisiologi
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan. Namun,
apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus akibat plak
aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut.1
- Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat mencetuskan
terjadinya infark.1
- Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan kerusakan
ireversibel dari otot jantung. 1

Atherosclerotic plaque partially obstructs


coronary blood flow

Stable plaque

Unstable plaque with ulceration or


rupture and thrombosis

Stable angina

Acute coronary syndromes

Trancient
ischemia
Unstable angina
Stunned myocytes
Hibernating myocytes
Myocardial remodeling

Sustained
ischemia

Myocardial
infarction

Myocardial
inflammation
and necrosis

Gambar 2 : Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

10

V.1 Unstable angina


Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan
oksigen jantung (cth karena takikardi atau hipertensi). Berkurangnya suplai oksigen
terjadi karena adanya pengurangan diameter lumen pembuluh darah yang
dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus. Pada banyak pasien unstable
angina, mekanisme berkurangnya suplai oksigen lebih banyak terjadi dibandingkan
peningkatan oksigen demand. Tetapi pada beberapa kasus, keduanya dapat terjadi
secara bersamaan. 2

11

Ruptur Plak
Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari
pembuluh yang mengalami rutur sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau
kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan
kurang dari 70 %. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak
lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri
dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofage.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal
atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding
plak yang paling lemah Karen adanya enzim protease yang dihasilkan makrofage
dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap).2
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh
darah 100 % akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus
tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
angina tak stabil.2
Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan
karena integrasi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen.
Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya
trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan

12

faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan


pembentukan trombin dan fibrin.2
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan
platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut
berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam
memulai trombosis yang intermitten, pada angina tak stabil.2
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi
oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan
menyebabkan spasm. Spasm yang terlokalisir seperti pada angina Prinzmetal juga
dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasm seringkali terjadi pada plak
yang tak stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus.2
Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi
dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya
perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan
penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.2
V.2. Infark miokard
Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi
nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas
plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti
yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI trombusnya

13

lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang lebih lama,
sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan kematian
miosit. Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal yang
komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada langsung di
bawah endokardium (subendocardial MI).2
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka
infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi
jantung yang parah (transmural MI). Secara klinis, MI transmural harus
diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus
mendapat terapi yang segera.2
Jejas Selular
Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit
sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik
setelah hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non
fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit. Penelitian
menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai oksigen.
Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan
aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin. Glikolisis
anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari kebutuhan energi, karena
diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada metabolisme aerob. Ion hydrogen dan
asam laktat kemudian berakumulasi sehingga terjadi asidosis, dimana sel
miokardium sangat sensitif pada pH yang rendah dan memiliki sistem buffer yang
lemah. Asidosis menyebabkan miokardium menjadi rentan terhadap kerusakan
lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi kontraktilitas dan fungsi
konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan oksigen juga disertai
gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium berespon terhadap

14

kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada sumbatan


arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin sehingga terjadi
ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung.
Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan
lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas
dan gliserol plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA
(Free Fatty Acid) yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel.
NE meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan
sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin
berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam
onset serangan.2
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam
patogenesis MI, dengan cara yaitu:
1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga
meningkatkan

beban

jantung,

akibatnya

memperparah

penurunan

kemampuan kontraktilitas jantung.2


2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot
polos pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang
peningkatan kadar katekolamin dan memperparah vasospasme koroner.2
Kematian selular
Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas
hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan.
Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim
intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal.
Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke
pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.2

15

Perubahan fungsional dan structural


Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan struktural
jantung. Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini.2
Waktu

Perubahan Jaringan

setelah MI
6-12 jam
Tidak

ada

Tahapan Proses Pemulihan

perubahan Belum dimulai

makroskopis; sianosis subseluler


18-24 jam

dengan penurunan temperatur


Pucat sampai abu-kecoklatan; Respon
slight pallor

2-4 hari

pelepasan

intraseluler
Tampak nekrosis; kuning-coklat di Enzim

inflamasi;
enzim
proteolitik

tengah dan hiperemis di sekitar dipindahkan oleh debris;


tepi

katekolamin, lipolisis, dan


glikogenolisis
meningkatkan

glukosa

plasma dan FFA untuk


membantu miokard keluar
4-10 hari

Area

soft,

lemak
10-14 hari

dengan

di

dari anaerobic state


degenerasi Debris telah dibersihkan;

tengah,

perdarahan pada area infark


Weak, fibrotic scar tissue dengan Penyembuhan
awal revaskularisasi

6 minggu

daerah collagen matrix laid down

Jaringan
komplit

parut

biasanya

berlanjut

namun area sangat lunak,


mudah dipengaruhi stress
telah Jaringan parut kuat yang
tidak elastis menggantikan
miokardium yg nekrosis

16

Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam


beberapa jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium
yang infark dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang dapat berkembang menjadi
nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau menjadi normal kembali. Jaringan
jantung yang dikelilingi daerah infark juga mengalami perubahan yang dapat
dikategorikan ke dalam2:
1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang
berlangsung selama beberapa jam beberapa hari setelah perfusi kembali
normal.2
2. Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten dan
telah mengalami adaptasi metabolik.2
3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin II,
aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan
hipertrofi miositdan penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang
jauh dari lokasi infark.2
Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari
aliran koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI. Tingkat
keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi infark.
Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan kontraktilitas jantung dengan gerak
dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance dari ventrikel kiri, (3).
Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5). Peningkatan tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7). Disritmia yang
mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.2
Fase Perbaikan

17

Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri


dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak, proliferasi
fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan substrat nutrisi
harus tersedia agar proses penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dalam 24 jam
terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh
enzim proteolisis dari neutrofil scavenger. Fase pseudodiabetik sering timbul oleh
karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya
glukosa dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin yang
meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada 10-14
hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan terhadap jejas
yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa sehat dan meningkatkan
aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu,
area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan parut yang kuat namun tidak dapat
berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat.2
VI. Diagnosis
Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi
sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa perubahan
EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau
adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam,
maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan
dari NSTEMI.2
VI.1 Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan
keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma,
yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki terutama berusia > 35 tahun atau

18

wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih lanjut
tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan,
reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri dada
atipik dan gejala tidak khas, penderita diabetes mungkin tidak menunjukkan gejala khas
karena gangguan saraf otonom.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas,
ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian
tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu
jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua
lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.2
Keluhan pasien umumnya berupa
- Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit
- New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari, aktifitas
ringan/ istirahat
- Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering, nyeri atau
dicetuskan aktivitas lebih ringan.
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai
muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak
ada yang khas. 8,9
VI.1.1. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko
pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan
adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti

19

depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negatif kurang dari 2mm, tidak
spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4%
mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal.2
2. Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara
lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi
dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik.
Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi miokardium.2
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai
petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology
(ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam.
Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat
kenaikan troponin. 2
CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam
48jam.2
VI.2. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
VI.2.1. Evaluasi klinis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium dengan ciri
khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan,
menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan
gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset baru angina berat /
terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan memiliki nyeri pada waktu

20

istirahat. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan,
epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama
pasien lebih dari 65 tahun.2
VI.2.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting
yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial
(TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan
predictor outcome yang buruk. Outocme yang buruk meningkat secara progresif dengan
memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin
T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.2
2. Biomarker Kerusakan Miokard
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai,
karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan
IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4jam dan dapat menetap
sampai 3-4minggu.2
3. Stratifikasi Risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian
risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal
yang segera. Beberapa pendekatan untuk stratifikasi telah tersedia.2

VI.3 Skor TIMI

21

Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi risiko,
dan angka faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini berasal
dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada empat
penelitian dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah terobservasi manfaat
yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan low molecular weight heparin
(LMWH) versus unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP Iib/IIIa receptor blocker
tirofiban versus palcebo, dan strategi nivasif versus konservatif.2
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel
menunjukkan penurunan keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam
memprediksi keluaran yang buruk pada pasien yang pulang.2
Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
Usia 65 tahun
3 faktor risiko PJK (diabetes mellitus, perokok aktif, riwayat
keluarga CAD, hipertensi, hiperkolesterolemi)
Stenosis sebelumnya 50%
Deviasi ST
2 kejadian angina 24 jam
Aspirin dalam 7 hari terakhir
Peningkatan petanda jantung
Tabel 1: Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI

VI.3.1. Penanda biologis (Biomarker) multipel untuk penilaian risiko


Newby et.al mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin,
creatinine kinase-MB dan troponin I memberikan stratifikasi risiko yang lebih akurat

22

dibandingkan jika menggunakan petanda tunggal berbasis laboratorium. Sabatine et.al


mempertimbangkan 3 faktor patofisiologi vyang terjadi pada UA/NSTEMI yaitu2:

Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat mikroembolisasi

Inflamasi vaskular

Kerusakan ventrikel kiri


Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap

petanda-petanda seperti cardiac-specific troponin, C-reactive protein dan brain-natriuretic


peptide, berturut-turut. Pada penelitian TACTICS-TIMI 18, di mana risiko relatif,
mortalitas 30 hari pasien-pasien dengan marker 0,1,2, dan 3 semakin meningkat berkali
lipat 1,2.1,5.7 dan 13 berturut-turut. Pendekatan ini dengan berbagai petanda laboratorium
ini sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi harusnya dapat memperjelas penemuan
klinis.2
VI. 4 Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan
prekordial yang berdampingan atau 1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is
muscle.2
Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung
atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan
apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada
riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi,

23

diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga.2
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI
bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur.2
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena
gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.2
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut2,4,5:

Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.

Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.

Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas.

Gambar 3 : Pola nyeri dada pada iskemia miokard

24

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi
aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan
pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia
lanjut.2,4,5

25

Gambar 4: Diagnosis banding nyeri dada

Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit dan
banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior
mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan
hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardia dan/atau hipotensi).2
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C
dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .2
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat
untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk
STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial

26

dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus
dilakukan unutk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan.2
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard
gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika
obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI.
Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan infark miokard
nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST atau
gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi
infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q
menggantikan infark mural atau nontransmural.2,4,8

27

Gambar 5 : EKG menunjukkan STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I


dan VL

Laboratorium
Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac
Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena
pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker.2
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard)2,4,8

28

CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada
operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.

cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu2,4,8:

Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.

Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Biomarker

Berat molekul

Rentang waktu

Rerata waktu

Waktu kembali

(Da)

untuk

evaluasi

ke rentang

meningkat

puncak

normal

(nonreperfusi)

29

Sering di praktek klinik


CKMB

86000

3-12jam

24jam

48-72jam

cTnI

23500

3-12jam

24jam

5-10hari

cTnT

33000

3-12jam

12jam-2hari

5-14hari

17800

1-4jam

6-7jam

24hari

86000

2-6jam

18jam

tidak diketahui

Myoglobin
CKMB Tissue
Isoform
CKMM Tissue

Isoform
86000
1-6jam
12jam
3jam
Tabel 2. Biomarker Molekuler Untuk Evaluasi Pasien Infark Miokard dengan
Elevasi ST

Gambar 6 : Perubahan konsentrasi enzim plasma setelah infark miokard

30

Komplikasi STEMI
1. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark,
ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark.
Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan
yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara
keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi
pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis yang buruk.2
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda
klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4
gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru.8,10
3. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90%
ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.8,10
4. Infark ventrikel kanan

31

Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurangkurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark
terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan
tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmauls,
hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi
kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark
ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload
ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi
takanan arteri pulmonalis.8,10
5. Aritmia pasien pasca STEMI
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.8,10

6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah
aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus
diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesemia
merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum
diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.8,10
7. Takikardi dan fibrilasi ventrikel.
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa
tanda bahaya aritmia sebelumnya.8,9,10
8. Komplikasi mekanik

32

- Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel.2


- Penatalaksaan : operasi.2
VII. Penatalaksanaan
VII.1. Angina Pektoris Tidak Stabil (unstable angina)

Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan

diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin
perlu ada pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.2
VII.1.2. Terapi Medikamentosa

Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan

efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan
kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh
koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Yang ada di Indonesia terutama Isosorbit
dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4mg/jam. Bila keluhan sudah
terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.2

Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan

denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700 pasien dengan UA
menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko infark sebesar 13% (p<0.04). Semua
pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi seperti asam bronkiale dan
pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol, metoprolol, atenolol, telah
diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang serupa. 2

33

Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin seperti

nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan
ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.2
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan
nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil.
Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan
sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang,
pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada
pasien SKE dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang
ada kontraindikasi dengan beta-bloker.2

Obat antiagregasi trombosit


Obat antiplatelet merupakan satu dasar dalam pengobatan UA maupun NSTEMI.

Tiga golongan obat antiplatelet seperti aspirin, tienopiridin dan GPIIb/IIIa inhibitor telah
terbukti bermanfaat.2

Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung

dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu aspirin dianjurkan seumur
hidup dengan dosis awal 160mg per hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg per hari.2

Tiklopidin
Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan

UA bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek
samping granulositopenia, dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang lebih
aman pemakaian tiklopidin mulai ditinggal.2

34

Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet.

Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular dan
dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian
klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel
dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.2

Glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir

pada proses agregasi platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3
macam obat golongan ini yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu
siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Tirofiban dan eptifibatid harus
diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-menerus atau
pasien risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui
untuk pasien dengan UA dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan invasif di mana
PCI direncanakan dalam 12 jam.2
o Obat antitrombin

Unfractionated Heparin
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai

polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda.


Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor
Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan heparin
dapat dirusak oleh platelet faktor 4.2
o Low Molekuler Weight Heparin (LMWH)

35

LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.


Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja pada faktor Xa.
LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin dan enoksaparin.2
Stratifikasi Risiko
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah2:
-

pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada
serangan

sebelumnya tidak memakai obat anti angina

ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.

Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya usia lebih
muda.

Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah2:


-

Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu
istirahat

Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus

Tidak ada perubahan ST segmen

Enzim jantung tidak meningkat.

Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah2:


-

Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat


terapi yang intensif

Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau rales pada pemeriksaan


fisik

Terdapat perubahan segmen ST yang baru

Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.

Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan,
maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko

36

rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi
yang

membutuhkan

tindakan

invasif

segera,

dengan

kemungkinan

tindakan

revaskularisasi.2
o Infark miokard akut tanpa elevasi ST
Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi semen T dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu2:

Terapi antiiskemia

Terapi antiplatelet/antikoagulan

Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)

Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

o Terapi antiiskemia
Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk
menghilangkan nitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena dan
penyekat beta oral antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan
iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.2

Nitrat
Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami

nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan
interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit). 2

Penyekat Beta

37

Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60kali/menit.


Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti diltiazem dan verapamil
pada pasien dengan nyeri dada persisten.2

Terapi antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis

NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombin-activated
fibrin bertanggungjawab atas klot.2

Terapi antiplatelet

o Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan
dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang
punggung dalam penatalaksanaaan UNSTEMI/STEMI. Sindrom resistensi aspirin
muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif
untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang
waktu pendarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasienpasien dengan resisitensi aspirin mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren. Walaupun
penelitian prospektif secara acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah
logis untuk memberikan terapi klopidogrel, wlaaupun aspirin sebaiknya juga tidak
dihentikan.2
o Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada
permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya
pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina To
Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for The reduction of Events

38

During Observation (CREDO). Efek bermanfaat ditemukan unutk semua subkelompok,


termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST dan kelompok yang memiliki skor risiko
TIMI rendah. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan pendarahan mayor dan
minor, sejalan dengan kecenderungan peningkatan pendarahan yang mengancam jiwa (lifethreatening bleeding).2
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi sebagai obat
lini pertama (first-line drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi
pendarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan
pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi2:

Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini

Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi

Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.

Terapi antikoagulan

o UFH (Unfractionated heparin)


Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh tahun penelitian
acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI
untuk lebih dari 15 tahun. Namun demikian terdapat kerugian pada penggunaan UFH.
Produksi

antbodi

antiheparin

mungkin

berhubungan

dengan

heparin-induced

thrombositopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tidak menentu,


memerlukan monitor lebih sering terhadap activated partial thromboplastin time (aPTT),
pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinu. 2

LMWH (Low Molecular Weight Heparin)


Kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat diatasi dengan penggunaan

LMWH. Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian

39

trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang. LMWH adalh inhibitor utama pada
sirkulasi trombin dan juga faktor Xa sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya
kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti factor IIa), tapi juga mengurangi pembentukan
trombin (efek anti factor Xa).2

Strategi invasif dini versus konservatif dini


Trial klinis multipel membuktikan keuntungan dari strategi invasib yang dini pada

pasien dengan risiko tinggi seperti pasien dengan faktor risiko multipel, deviasi segmen ST,
dan/atau biomarker yang positif (Tabel kls I.). Pada strategi ini, arteriografi koroner
dilakukan dalam 48jam setelah admisi, setelah diberikan terapi anti iskemik dan anti
trombotik. Ini disusuli dengan revaskularisasi koroner (PCI atau CABG), tergantung
anatomi koroner pasien.2
Strategi ini adalah kos efektif buat pasien dengan risiko tinggi. Pada pasien dengan
risiko rendah, hasil dari strategi invasif hampir sama dengan strategi konservatif dini,
dimana pasien mendapat terapi anti iskemik dan anti trombotik diikuti dengan watchful
waiting. Arteriografi hanya dilakukan jika terdapat nyeri dada pada waktu istirahat,
perubahan pada ST segmen atau adanya bukti iskemia pada stress test.2
Rekomendasi Kelas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini
angina rekuren saat intirahat / aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat terapi

Peninggian troponin I atau T

Depresi segmen ST baru

Angina/iskemia rekuren baru dngan gejala gagal jantung kongestif, ronki.


regurgitasi mitral

Tes stress positif

Fraksi ejeksi kurang dari 40%

Penurunan tekanan darah

40

Takikardia ventrikel sustained

PCI < 6 bulan, CABG sebelumnya


Tabel 3. Rekomendasi Klas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini

Perawatan Untuk Pasien Risiko Rendah


Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien yang

hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tingi sebaiknya segera menjalani arteriografi
koroner dan berdasarkan temuan anatomi revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi
koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.2

Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder


Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal,

nasihat diet, penghentian merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana


intensif diabetes melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya. 2

Infark Miokard Dengan Elevasi ST


Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,

penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian


antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi
IMA. Pedoman (guideline) yang digunakan dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST
adalah dari ACC/AHA 2004. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi

41

sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya
di bidang kardiologi intervensi).2

Tatalaksana Pra Rumah Sakit


Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum

yaitu: aritmia dan pump failure. Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Elemen utama
tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain2:

Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

Segera memanggil tim medis emergensi ytang dapat melakukan tindakan resusitasi.

Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih.

Melakukan terapi reperfusi.

Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup2:

Mengurangi / menghilangkan nyeri dada

Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,

Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit

Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

Tatalaksana Umum

o Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jm pertama. 2

42

o Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat
diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi
pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada
terus berlansungdapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan untuk
mengendalikan hipertensi atau edema paru.2
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi
nitrat.2
o Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada
Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.2

Morfin
Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-4mg dan
dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total 320mg.2

Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2 dicapai
dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan EMG.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.2

Penyekat Beta

43

Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol
5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung
>60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0.24detik dan ronki
tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan
dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.2

Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.2
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika dilakukan
dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif bila
dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang teroklusi
dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang
lebih baik.2
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam
30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat patensi arteri
koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu2:
- Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh dinerikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat
mencakup harganya yang murah dan insidens pendarahan intracranial
yang rendah.

44

- tissue plasmibnogen Activator (tPA, alteplase)


Keuntungannya menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar
15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA
harganya lebih mahal daripada SK dan resiko pendarahan intracranial
lebih tinggi.
- Reteplase ( Retavasemencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan
resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1)

Terapi Farmakologis

o Antitrombotik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam
patogenesis. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tedensi
pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.2
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractinated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat
trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan
memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.2
o Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika
obat diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian secara iv membaiki kebutuhan suplai serta

45

kebutuhan oksigen moikard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan


menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang khusus.2
o ACE inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE harus
diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus
dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan
imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.2
VIII. Prognosis
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca IMA2:
Klas
I
II
III
IV

Definisi
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif
+ S3 dan / atau ronkhi basah
Edema paru
Syok kardiogenik
Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA

Mortalitas (%)
6
17
30-40
60-80

46

DAFTAR PUSTAKA

1.

Brashers L. Valentina. Alterations of Cardiovaskular Function in Pathofisiology the


Biologic basis for disease in Adults and Children 5th edition. McGraw-Hill.
Philadelphia: 2010

2.

Sudoyo A.W. Setiyohadi B, Alwi I, Simadbrata M.K. Ilmu Penyakit Dalam. Ed.5.
Jilid II. Interna Publishing. Jakarta : 2010

3.

Antman Elliot M., Braunwald Eugene. Unstable Angina and non-ST-Elevation


Myocardial Infarction in Harrisons Principles of Internal Medicine 16 th edition.
McGraw Hill. USA: 2010

4.

Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:
2010

5.

Darmawan

A.

Regresi

Aterosklerosis.

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Muhammadiyah. Yogyakarta: 2011


6.

Price, Silvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. edisi 4. EGC.


Jakarta: 2010

47

7.

Wijaya P.I. Ranitya R. Muhadi. Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular.


Jakarta: 2010

8.

Pratanu S. Dawkins K.D. Kardiologi. Ed.5. Erlangga. Jakarta: 2010

9.

Depre C, Vatner SF, Gross G. Coronary Blood Flow and Ischemia in Hurts Heart.
Vol.2 Ed. 13th. McGraw Hill. New York: 2011

10.

Katz M.J. Acute Coronary Syndrome. American Heart Association. 2010

48

You might also like