Professional Documents
Culture Documents
Penyakit jantung koroner ialah suatu penyakit yang sangat umum terjadi dan
merupakan penyebab kematian nomor satu di negara-negara maju. Di Indonesia dengan
makin berkembangnya tingkat kesejahteraan masyarakat sejalan dengan lajunya
pembangunan, sudah dapat diramalkan penyakit ini juga akan menjadi penyebab kematian
nomor satu.6
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1992 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama di Indonesia
terutama di kota besar adalah penyakit kardiovaskuler. Sedangkan SKRT yang dilakukan
pada tahun 1972, penyakit kardiovaskuler baru menduduki urutan ke 11.6
Operasi jantung koroner yang dilakukan di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta
mencapai lebih dari 200 kasus pada tahun 1992 dibandingkan hanya 20-30 kasus pada
tahun 1984. Ini belum termasuk kasus-kasus yang berobat di luar negeri dan angioplasti.6
Di Rumah Sakit Jantung Rajawali Bandung, kasus penyakit jantung koroner yang
berupa infark miokard pada tahun 1992 meningkat menjadi rata-rata 1,5-2 kasus per hari,
dibandingkan 0,5-1 kasus per hari pada tahun 1990.6
PEMBAHASAN
I.
Definisi
Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan iskemia
miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment
elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST
(non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak
stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya
berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang
mengalami nekrosis.4
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP)
dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi
yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium,
sehingga adanya marker kerusakan miokardium yang dapat diperiksa.4
II. Epidemiologi
Data penelitian Framingham di Amerika Serikat yang didapat pada tahun 1950 dan
1960 menunjukkan bahwa dari empat pria dengan angina, satu orang akan mengalami
infark miokard dalam waktu 5 tahun. Sedangkan untuk wanita resikonya hanya setengah
dari itu.5
Penelitian menunjukkan pula bahwa penderita yang simtomatis prognosisnya lebih
daripada yang penderita yang asimtomatis. Data saat ini menunjukkan bahwa bila penderita
asimtomatis atau dengan simtom ringan, kematian tahunan pada penderita dengan pada satu
dan dua pembuluh darah koroner adalah 1,5 % dan kira-kira 6 % untuk lesi pada tiga
pembuluh darah koroner. Kalau pada golongan terakhir ini kemampuan latihan (exercise
capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini tidak baik kematian
1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan
antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan
yang lebih panjang terhadap faktor-faktor aterogenik.3
2. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause,
setelah menopause kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan
estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause.3
3. Ras
Orang Amerika-Afrika lebih rentan tehadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.3
4. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Besarnya pengaruh genetik dan
lingkungan belum diketahui. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa
bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada
gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan
komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau
obesitas.3
III.2 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap
dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan
arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan
kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya,
sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi
terdapat pada HDL.7
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit
jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor
pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata
bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam darah mempunyai makna
klinis untuk terjadinya aterosklerosis.7
3. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai
akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi
kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertropi
kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi
semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen
miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya
mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark. 7
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah
akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).7
4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di
bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun,
dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang
berikatan dengan dinding vaskuler.7
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada
umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.7
III.3 Faktor Predisposisi
1. Hipertensi
Selain dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi
yang lama. Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak
pada pembuluh darah.1
2. Anemia
Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk
ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk
meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung
meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan
gangguan pada jantung.1
3. Kerja fisik / olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan
miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen tidak
mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi
infark.1
IV. Patogenesis
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik dari plak
arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi platelet, trombosis
terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal. Keberadaan kandungan lipid
yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik, menyebabkan tingginya resiko ruptur plak arteri
koronaria. Pembentukan trombus dan terjadinya vasokonstriksi yang disebabkan pelepasan
serotonin dan tromboxan A2 oleh platelet mengakibatkan iskemik miokardium yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner.4
Aterosklerosis
adalah
bentuk
arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan pengerasan dari dinding pembuluh darah
yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan
terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan kelainan tunggal
namun merupakan proses patologi yang dapat mempengaruhi system vaskuler seluruh
tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi
klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit arteri
koroner.1
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi dengan
stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes mellitus,
merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi
oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat
berupa peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin,
stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. 1
LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi
sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi masuk ke dalam tunika
intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung oksiLDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan membentuk
jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah
sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi radikal
oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan imunologis
sehingga terjadi kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos,
pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos tersebut. Proses
tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk growth factor (TGF beta).
Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan menyumbataliran darah ysng
lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau
claudication intermitten).1
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala
klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi
inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga
menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan berdasarkan
strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur. Plak yang
menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung menjadi
rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang
diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena
shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple, sekresi
macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika rupture,
terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade pembekuan darah,
dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut dapat langsung
menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.1
Stable plaque
Stable angina
Trancient
ischemia
Unstable angina
Stunned myocytes
Hibernating myocytes
Myocardial remodeling
Sustained
ischemia
Myocardial
infarction
Myocardial
inflammation
and necrosis
10
11
Ruptur Plak
Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari
pembuluh yang mengalami rutur sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau
kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan
kurang dari 70 %. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak
lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri
dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofage.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal
atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding
plak yang paling lemah Karen adanya enzim protease yang dihasilkan makrofage
dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap).2
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh
darah 100 % akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus
tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
angina tak stabil.2
Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan
karena integrasi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen.
Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya
trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan
12
13
lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang lebih lama,
sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan kematian
miosit. Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal yang
komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada langsung di
bawah endokardium (subendocardial MI).2
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka
infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi
jantung yang parah (transmural MI). Secara klinis, MI transmural harus
diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus
mendapat terapi yang segera.2
Jejas Selular
Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit
sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik
setelah hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non
fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit. Penelitian
menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai oksigen.
Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan
aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin. Glikolisis
anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari kebutuhan energi, karena
diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada metabolisme aerob. Ion hydrogen dan
asam laktat kemudian berakumulasi sehingga terjadi asidosis, dimana sel
miokardium sangat sensitif pada pH yang rendah dan memiliki sistem buffer yang
lemah. Asidosis menyebabkan miokardium menjadi rentan terhadap kerusakan
lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi kontraktilitas dan fungsi
konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan oksigen juga disertai
gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium berespon terhadap
14
beban
jantung,
akibatnya
memperparah
penurunan
15
Perubahan Jaringan
setelah MI
6-12 jam
Tidak
ada
2-4 hari
pelepasan
intraseluler
Tampak nekrosis; kuning-coklat di Enzim
inflamasi;
enzim
proteolitik
glukosa
Area
soft,
lemak
10-14 hari
dengan
di
tengah,
6 minggu
Jaringan
komplit
parut
biasanya
berlanjut
16
17
18
wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih lanjut
tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan,
reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri dada
atipik dan gejala tidak khas, penderita diabetes mungkin tidak menunjukkan gejala khas
karena gangguan saraf otonom.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas,
ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian
tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu
jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua
lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.2
Keluhan pasien umumnya berupa
- Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit
- New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari, aktifitas
ringan/ istirahat
- Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering, nyeri atau
dicetuskan aktivitas lebih ringan.
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai
muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak
ada yang khas. 8,9
VI.1.1. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko
pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan
adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti
19
depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negatif kurang dari 2mm, tidak
spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4%
mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal.2
2. Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara
lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi
dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik.
Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi miokardium.2
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai
petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology
(ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam.
Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat
kenaikan troponin. 2
CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam
48jam.2
VI.2. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
VI.2.1. Evaluasi klinis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium dengan ciri
khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan,
menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan
gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset baru angina berat /
terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan memiliki nyeri pada waktu
20
istirahat. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan,
epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama
pasien lebih dari 65 tahun.2
VI.2.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting
yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial
(TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan
predictor outcome yang buruk. Outocme yang buruk meningkat secara progresif dengan
memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin
T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.2
2. Biomarker Kerusakan Miokard
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai,
karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan
IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4jam dan dapat menetap
sampai 3-4minggu.2
3. Stratifikasi Risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian
risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal
yang segera. Beberapa pendekatan untuk stratifikasi telah tersedia.2
21
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi risiko,
dan angka faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini berasal
dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada empat
penelitian dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah terobservasi manfaat
yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan low molecular weight heparin
(LMWH) versus unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP Iib/IIIa receptor blocker
tirofiban versus palcebo, dan strategi nivasif versus konservatif.2
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel
menunjukkan penurunan keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam
memprediksi keluaran yang buruk pada pasien yang pulang.2
Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
Usia 65 tahun
3 faktor risiko PJK (diabetes mellitus, perokok aktif, riwayat
keluarga CAD, hipertensi, hiperkolesterolemi)
Stenosis sebelumnya 50%
Deviasi ST
2 kejadian angina 24 jam
Aspirin dalam 7 hari terakhir
Peningkatan petanda jantung
Tabel 1: Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
22
Inflamasi vaskular
23
diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga.2
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI
bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur.2
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena
gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.2
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut2,4,5:
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas.
24
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi
aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan
pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia
lanjut.2,4,5
25
Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit dan
banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior
mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan
hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardia dan/atau hipotensi).2
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C
dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .2
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat
untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk
STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial
26
dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus
dilakukan unutk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan.2
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard
gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika
obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI.
Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan infark miokard
nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST atau
gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi
infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q
menggantikan infark mural atau nontransmural.2,4,8
27
Laboratorium
Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac
Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena
pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker.2
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard)2,4,8
28
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada
operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Biomarker
Berat molekul
Rentang waktu
Rerata waktu
Waktu kembali
(Da)
untuk
evaluasi
ke rentang
meningkat
puncak
normal
(nonreperfusi)
29
86000
3-12jam
24jam
48-72jam
cTnI
23500
3-12jam
24jam
5-10hari
cTnT
33000
3-12jam
12jam-2hari
5-14hari
17800
1-4jam
6-7jam
24hari
86000
2-6jam
18jam
tidak diketahui
Myoglobin
CKMB Tissue
Isoform
CKMM Tissue
Isoform
86000
1-6jam
12jam
3jam
Tabel 2. Biomarker Molekuler Untuk Evaluasi Pasien Infark Miokard dengan
Elevasi ST
30
Komplikasi STEMI
1. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark,
ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark.
Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan
yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara
keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi
pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis yang buruk.2
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda
klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4
gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru.8,10
3. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90%
ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.8,10
4. Infark ventrikel kanan
31
Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurangkurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark
terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan
tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmauls,
hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi
kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark
ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload
ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi
takanan arteri pulmonalis.8,10
5. Aritmia pasien pasca STEMI
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.8,10
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah
aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus
diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesemia
merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum
diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.8,10
7. Takikardi dan fibrilasi ventrikel.
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa
tanda bahaya aritmia sebelumnya.8,9,10
8. Komplikasi mekanik
32
Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan
diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin
perlu ada pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.2
VII.1.2. Terapi Medikamentosa
Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan
efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan
kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh
koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Yang ada di Indonesia terutama Isosorbit
dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4mg/jam. Bila keluhan sudah
terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.2
Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan
denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700 pasien dengan UA
menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko infark sebesar 13% (p<0.04). Semua
pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi seperti asam bronkiale dan
pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol, metoprolol, atenolol, telah
diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang serupa. 2
33
Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin seperti
nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan
ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.2
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan
nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil.
Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan
sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang,
pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada
pasien SKE dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang
ada kontraindikasi dengan beta-bloker.2
Tiga golongan obat antiplatelet seperti aspirin, tienopiridin dan GPIIb/IIIa inhibitor telah
terbukti bermanfaat.2
Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung
dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu aspirin dianjurkan seumur
hidup dengan dosis awal 160mg per hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg per hari.2
Tiklopidin
Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan
UA bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek
samping granulositopenia, dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang lebih
aman pemakaian tiklopidin mulai ditinggal.2
34
Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet.
Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular dan
dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian
klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel
dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.2
Glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir
pada proses agregasi platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3
macam obat golongan ini yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu
siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Tirofiban dan eptifibatid harus
diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-menerus atau
pasien risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui
untuk pasien dengan UA dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan invasif di mana
PCI direncanakan dalam 12 jam.2
o Obat antitrombin
Unfractionated Heparin
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai
35
pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada
serangan
Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya usia lebih
muda.
Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu
istirahat
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan,
maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko
36
rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi
yang
membutuhkan
tindakan
invasif
segera,
dengan
kemungkinan
tindakan
revaskularisasi.2
o Infark miokard akut tanpa elevasi ST
Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi semen T dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu2:
Terapi antiiskemia
Terapi antiplatelet/antikoagulan
o Terapi antiiskemia
Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk
menghilangkan nitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena dan
penyekat beta oral antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan
iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.2
Nitrat
Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami
nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan
interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit). 2
Penyekat Beta
37
Terapi antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis
NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombin-activated
fibrin bertanggungjawab atas klot.2
Terapi antiplatelet
o Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan
dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang
punggung dalam penatalaksanaaan UNSTEMI/STEMI. Sindrom resistensi aspirin
muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif
untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang
waktu pendarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasienpasien dengan resisitensi aspirin mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren. Walaupun
penelitian prospektif secara acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah
logis untuk memberikan terapi klopidogrel, wlaaupun aspirin sebaiknya juga tidak
dihentikan.2
o Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada
permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya
pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina To
Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for The reduction of Events
38
Terapi antikoagulan
antbodi
antiheparin
mungkin
berhubungan
dengan
heparin-induced
39
trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang. LMWH adalh inhibitor utama pada
sirkulasi trombin dan juga faktor Xa sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya
kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti factor IIa), tapi juga mengurangi pembentukan
trombin (efek anti factor Xa).2
pasien dengan risiko tinggi seperti pasien dengan faktor risiko multipel, deviasi segmen ST,
dan/atau biomarker yang positif (Tabel kls I.). Pada strategi ini, arteriografi koroner
dilakukan dalam 48jam setelah admisi, setelah diberikan terapi anti iskemik dan anti
trombotik. Ini disusuli dengan revaskularisasi koroner (PCI atau CABG), tergantung
anatomi koroner pasien.2
Strategi ini adalah kos efektif buat pasien dengan risiko tinggi. Pada pasien dengan
risiko rendah, hasil dari strategi invasif hampir sama dengan strategi konservatif dini,
dimana pasien mendapat terapi anti iskemik dan anti trombotik diikuti dengan watchful
waiting. Arteriografi hanya dilakukan jika terdapat nyeri dada pada waktu istirahat,
perubahan pada ST segmen atau adanya bukti iskemia pada stress test.2
Rekomendasi Kelas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini
angina rekuren saat intirahat / aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat terapi
40
hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tingi sebaiknya segera menjalani arteriografi
koroner dan berdasarkan temuan anatomi revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi
koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.2
41
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya
di bidang kardiologi intervensi).2
yaitu: aritmia dan pump failure. Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Elemen utama
tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain2:
Segera memanggil tim medis emergensi ytang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih.
Tatalaksana Umum
o Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jm pertama. 2
42
o Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat
diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi
pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada
terus berlansungdapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan untuk
mengendalikan hipertensi atau edema paru.2
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi
nitrat.2
o Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada
Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.2
Morfin
Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-4mg dan
dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total 320mg.2
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2 dicapai
dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan EMG.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.2
Penyekat Beta
43
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol
5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung
>60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0.24detik dan ronki
tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan
dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.2
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.2
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika dilakukan
dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif bila
dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang teroklusi
dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang
lebih baik.2
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam
30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat patensi arteri
koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu2:
- Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh dinerikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat
mencakup harganya yang murah dan insidens pendarahan intracranial
yang rendah.
44
Terapi Farmakologis
o Antitrombotik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam
patogenesis. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tedensi
pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.2
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractinated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat
trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan
memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.2
o Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika
obat diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian secara iv membaiki kebutuhan suplai serta
45
Definisi
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif
+ S3 dan / atau ronkhi basah
Edema paru
Syok kardiogenik
Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA
Mortalitas (%)
6
17
30-40
60-80
46
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Sudoyo A.W. Setiyohadi B, Alwi I, Simadbrata M.K. Ilmu Penyakit Dalam. Ed.5.
Jilid II. Interna Publishing. Jakarta : 2010
3.
4.
Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:
2010
5.
Darmawan
A.
Regresi
Aterosklerosis.
Fakultas
Kedokteran
Universitas
47
7.
8.
9.
Depre C, Vatner SF, Gross G. Coronary Blood Flow and Ischemia in Hurts Heart.
Vol.2 Ed. 13th. McGraw Hill. New York: 2011
10.
48