Professional Documents
Culture Documents
media efusi.
Abstract
The presence of conductive hearing loss in patients with cleft lip and palate
has been known for more than a century, with Eustachian tube dysfunction being the
primary cause of middle ear disease.
The aim of this study was to examine the audiological status of patients with
cleft lip, cleft palate or both. The hearing health status of the patients was analyzed on
the basis of tympanometry and ABR examination. The patientss sex, age, type of
cleft, other anomaly and related with the family were included . The records a total
of 142 patients attending
hospital, from January 2002 to December 2007 were reviewed . In the whole patients
with clefts ( n = 142 ), there were 88 patients give respons to ABR, 40 dB this
response more in cleft lip and palate rather than cleft palate only. 6 patients no
respons until 90 dB indicated sensori nerve hearing loss. Only 2 patients give respons
30 dB. Tympanometric examination were found 100 % type B ,indicated there was
otitis media effusion. Of these patient, 77 (54,2 % ) were males and 65 ( 45,8%)
female patients, cleft lip and palate unilateral left side in 55 ( 38,7% ), right side 23 (
16,2% ) , both side 22 ( 15,5 % ) and cleft palate 42 ( 29,6 % ) patients. 10 ( 0,07 %)
associated with another anomaly such microtia, micrognathia, Pierre Robin
Syndrome, fistel preauricula, torsch and 2 patients with history mump in gestation.
32 ( 22,5 % ) patients with history same anomaly in the family, 10 patiens cleft
palate, 8 patients cleft lip and palate in left side, 7 patients cleft lip and palate in right
side. .
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Celah bibir dan langit-langit merupakan kelainan kongenital bibir dan langit
langit atau keduanya bersamaan, yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk
konfigurasinya dari yang ringan sampai berat. Celah terjadi oleh karena tidak
bersatunya jaringan yang membentuk bibir dan langit-langit selama trimester pertama
kehamilan ( Middleton and Pannbacker, 1997 ). Diantara berbagai bentuk kelainan
di kraniofasial, celah langit-langit yang paling banyak ditemukan, dengan prevalensi 1
diantara 500 sampai 750 kelahiran hidup ( Carrie et al, 1999).
Di Indonesia dilaporkan angka kejadian 1 per 1000 kelahiran hidup ( Hendrarto, 2001
)
Celah bibir , celah langit langit atau keduanya mempunyai prevalensi sekitar
1/1000 hingga 2,69/1000 diberbagai negara di dunia. Orang Asia lebih banyak dari
Kaukasia atau kulit hitam. Distribusi jenis kelamin terlihat kecenderungan laki-laki
lebih banyak terkena daripada perempuan. Rasio antara celah pada satu sisi dibanding
celah pada dua sisi adalah dua dibanding satu. Diantara celah yang unilateral, celah
disebelah kiri dilaporkan lebih banyak dari pada disebelah kanan
Keadaan ini merupakan kelainan kongenital yang terjadi pada duabelas minggu
pertama kehamilan . Gangguan pendengaran adalah salah satu masalah yang
berhubungan dengan kelainan ini, terutama pada anak . Bagian telinga yang biasanya
terkena adalah bagian telinga tengah. Secara umum seratus persen anak sampai umur
tujuh tahun pernah menderita otitis media efusi , setidaknya satu episode. Biasanya
pada umur enam atau tujuh tahun, sesuai dengan perkembangan anatomi wajah, maka
saluran tuba Eustachius berubah dari bentuk horizontal menjadi vertikal. Dengan
perubahan letak tuba Eustcahius , infeksi dari tenggorok tidak mempunyai akses
langsung ke telinga tengah. Oleh karena itu masalah infeksi di telinga tengah menurun
sesuai dengan pertambahan usia
Gangguan pendengaran konduktif pada penderita kelainan celah bibir dan langitlangit sudah dikemukakan oleh para ahli , fungsi tuba Eustachius yang tidak baik
adalah penyebab utamanya .
Adanya hubungan antara masalah pendengaran dan celah bibir dan langit-langit
pertama kali dikemukakan oleh Alt pada tahun 1878. Berbagai penelitian secara
konsisten mencatat tingginya risiko gangguan pendengaran konduktif pada pasien
celah bibir dan langit-langit. Penelitian di Amerika ( Broen, Et al, 1996), Croatia (
Handzic Cuk et al,1996) dan Australia ( Sheahan et al, 2002 ) menemukan 50 %
atau lebih pasien celah bibir dan langit-langit menderita gangguan pendengaran. Pada
tahun 1906, kebutuhan akan pemeriksaan telinga pasien celah bibir dan langit-langit
ditekankan oleh Brunck. Sejak saat itu banyak laporan yang berhubungan dengan
insiden, keadaan dan derajat gangguan pendengaran pada pasien celah bibir dan
langit-langit.
Celah bibir dan langit-langit juga berpengaruh pada fungsi mengunyah, bicara dan
menelan. Doyle , 1984, mengatakan hampir 100 % anak dengan celah bibir dan
langit-langit menderita otitis media efusi, hal ini
mengakibatkan gangguan
pendengaran yang fluktuatif dari ringan sampai sedang , hal ini juga mempengaruhi
berbicara dan bahasa bahkan perkembangan kognitif .
Hendrarto ( 2001 ) dalam penelitiannya menemukan adanya otitis media efusi 100 %
pada anak anak dengan celah langit langit. Schonweiler et al, 1994 menemukan
417 anak dengan celah langit-langit mengalami gangguan berbahasa dan berbicara, 80
% disebabkan oleh otitis media efusi.
dilakukan pemeriksaan THT secara keseluruhan, umur 6 bulan dilakukan test ABR
dan timpanometri.
Selama ini belum ada data mengenai fungsi pendengaran anak dengan celah bibir dan
langit-langit maka penulis tertarik melakukan penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Mengetahui keadaan di rongga telinga tengah dan fungsi pendengaran pada
pasien celah bibir dan langit-langit
Mengetahui perkiraan ambang dengar anak dengan celah bibir dan langit-langit
dengan pemeriksaan ABR dan timpanometri
Manfaat Penelitian
Mengetahui jumlah pasien celah bibir dan langit-langit yang diperiksa
timpanometri dan ABR
Mendeteksi angka kejadian otitis media efusi pasien celah bibir dan langit-langit
Untuk mengetahui data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya
Untuk FK UKRIDA
Dapat mengembangkan keilmuannya mengenai pemeriksaan pendengaran , ABR
dan timpanometri
Mengajarkan anatomi hubungan nasofaring dan telinga khususnya telinga tengah
Jenis Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif analitik
TINJAUAN PUSTAKA
Ahli embriologi membagi hidung, bibir dan palatum menjadi palatum primer
dan palatum sekunder. Palatum primer terdiri dari hidung, bibir, prolabium dan
premaksila. Palatum sekunder terdiri dari sebagian besar palatum durum dan seluruh
palatum mole.
Pembentukan palatum primer dimulai kira-kira masa kehamilan minggu ke empat
dan lima, dengan munculnya tonjolan-tonjolan wajah. Tonjolan-tonjolan ini terdiri
dari tiga pasang yaitu prosesus nasalis medialis, prosesus nasalis lateralis dan
prosesus maksilaris.
Penyatuan prosesus nasalis medialis dan prosesus nasalis maksilaris diikuti dengan
prosesus nasalis lateralis dengan prosesus nasalis medialis melengkapi pembentukan
palatum primer. Avery,1994, megatakan kegagalan penyatuan ini menyebabkan
terjadinya celah bibir.
Clarke B mengatakan perkembangan wajah pada kehamilan 6 minggu,
prosesus nasal media mengalami migrasi menuju masing-masing sisi sehingga
menyatu. Minggu ke 7 ujung inferior prosesus nasal medial mengalami ekspansi ke
lateral untuk membentuk prosesus intermaksilaris. Ujung maskila membengkak
bertumbuh bertemu prosesus intermaksilaris dan kemudian menyatu.
Bila
unilateral kiri
(Gbr 5 & 6 : dikutip dari Clinical Aspect of CLP, Clarke B )
bilateral
EP IDEMIOLOGI
Clarke B mengatakan secara keseluruhan angka kejadian celah bibir dan
langit-langit adalah 1 dalam 1000 kelahiran hidup, sedangkan celah langit-langit saja
1 dalam 2000 kelahiran hidup. Celah bibir dan langit-langit bervariasi dengan ras dan
jenis kelamin, dikatakan Asian lebih banyak dari Kaukasian . Laki-laki lebih banyak
dari perempuan, kecuali pada celah langit-langit saja. Diantara jumlah celah, celah
bibir 20 % ( 18 % satu sisi /unilateral , 2 % bilateral / dua sisi ), 50% celah bibir dan
langit-langit ( 38 % satu sisi / unilateral , 12 % bilateral / dua sisi ) dan 30 % celah
langit-langit saja
Etiologi / penyebab celah ini merupakan multifaktor, genetik dan lingkungan
merupakan faktor yang memegang peranan
faktor
EMBRIOLOGI TELINGA
membentuk auditory vesicle atau otocyst pada minggu ke empat. Otocyst ini
mengandung cairan yang menjadi endolimf. Pada umur empat setengah minggu
otocyst akan memanjang dan terbagi dua, bagian pertama menjadi duktus
endolimfatikus dan sakus endolimfatikus, bagian kedua menjadi utrikulus dan sakulus
( Adams , 1994 ) Pada minggu ke enam jaringan mesenkhim yang mengelilingi epitel
labirin akan berubah menjadi tulang rawan dan kemudian mengalami osifikasi
membentuk labirin tulang dan koklea. Kemudian koklea memanjang dan melingkar,
pada minggu ke sebelas membentuk dua setengah kali putaran
Reseptor alat pendengaran terletak di koklea disebut organ Corti melekat pada
membran basilaris.
Daun
telinga merupakan penangkap suara dan berperan menentukan sumber bunyi. Liang
telinga luar panjangnya 2,5 sampai 3 sentimeter dan diameter 0,75 sentimeter
meresonansi bunyi. Se pertiga bagian luar liang telinga terdiri dari tulang rawan, dua
pertiga bagian dalam terdiri dari tulang yang bersatu dengan tulang tengkorak.
Membran timpani memisahkan bagian
dengan rongga
telinga tengah.
Telinga tengah berbentuk kubus. Tuba Eustachius menghubungkan rongga
telinga tengah dengan rongga hidung, sehingga selalu terdapat keseimbangan tekanan
udara di rongga telinga tengah dengan tekanan udara di luar tubuh. Di dalam telinga
tengah terdapat tiga tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes. Fungsi ketiga
tulang ini adalah untuk memperkuat energi suara. Pada
insersio otot tensor timpani, selain itu di rongga telinga tengah terdapat juga otot
stapedius yang berperan juga pada proses pendengaran dan proteksi.
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu koklea yang merupakan bagian
pendengaran, dan vestibula , kanalis semisirkularis yang merupakan organ
keseimbangan.
Gambar 7 : Proses jalannya suara dari telinga sampai pusat pendengaran di otak
(dikutip dari Rappaport)
Telinga tengah adalah bagian dari sistem organ yang berkesinambungan, yang
melibatkan hidung, nasofaring, tuba Eustachius, telinga tengah dan mastoid. Mukosa
respirasi adalah sistem yang berkesinambungan tersebut. Oleh karena itu akibat dari
inflamasi, infeksi atau penyumbatan ( obstruksi ) di satu area akan mengenai area lain.
Telinga tengah berisi udara terletak di bagian petrosa tulang temporal, didalamnya
terdapat tulang tulang perndengaran , maleus inkus dan stapes. Disebelah posterior
telinga tengah terdapat bagian yang berisi udara disebut antrum mastoid. Antrum ini
berfungsi menghubungkan telinga tengah dengan sel-sel mastoid. Pada bayi prosesus
mastoid berkembang dan derajat pneumatisasi masih rendah. Pada usia antara 5
ventilasi untuk mempertahankan tekanan udara didalam rongga telinga tengah agar
sama dengan tekanan udara luar. Fungsi proteksi , untuk melindungi telinga tengah
dari suara yang keras dengan jalan mengatur tekanan udara di dalam rongga telinga
tengah dan mencegah masuknya sekret ke dalam rongga telinga tengah dari
nasofaring. Fungsi pembersih untuk mengalirkan sekret dari ronga telinga tengah ke
nasofaring. Fungsi ventilasi merupakan fungsi yang terpenting dari tuba Eustachius.
Cantekin et al, 1979, Honjo et al,1979, Rich 1920, mengatakan pada fungsi tuba
Eustachius yang ideal, pembukaan aktif tuba Eustachius yang intermiten hanya
disebabkan oleh kontraksi otot levator veli palatini selama menelan.
Fungsi ventilasi dari tuba Eustachius pada anak-anak kurang efisien dari pada dewasa.
Bylander , 1980 dalam penelitiannya mrnyimpulkan pada anak-anak normal, fungsi
tuba Eustachius tidak sebaik pada dewasa, sehingga otitis media efusi lebih banyak
terdapat pada anak-anak. Fungsi ini akan semakin baik dengan bertambahnya usia
terlihat dari penurunan otitis media pada dewasa.
Brooks( 1969) mengukur tekanan udara di telinga tengah dengan timpanometri, pada
anak normal berkisar antara 0 175 mm H2O . Tekanan negatif yang tinggi tidak
selalu mengidentifikasi adanya suatu penyakit, tapi dapat mengidentifikasikan
obstruksi tuba fisiologik, diperkirakan bahwa anak ini mempunyai faktor risiko akan
menderita otitis media efusi
Gambar 8 a: Hubungan tuba eustachius dengan sekitarnya (dikutip dari Jackson and Jackson )
Gambar 8 b : Hubungan tuba eustachius dengan sekitarnya ( dikutip dari Scott Smith)
Gambar 10a : Anatomi palatum dengan otot levator veli palatini dan otot tensor veli palatini (dikutip
dari Zol B. Kryger)
Gambar 11 a : variasi tipe celah bibir dan langit-langit ( dikutip dari Children hospital of Winconsin )
gambar
Gambar 11 b : bibir normal dan tipe celah bibir ( dikutip dari Ann W Kummer )
sangat erat hubungannya dengan saluran nafas atas dan merupakan bagian yang berisi
udara. Kelainan pada hidung dan palatum seperti yang terjadi pada celah bibir dan
langit-langit mempunyai akibat sekunder terhadap pneumatisasi. Itulah sebabnya
sering terjadi otitis media efusi yang mengakibatkan penurunan mobilitas membran
timpani
Otitis media efusi adalah terdapatnya sekret non purulen di rongga telinga
tengah dengan membran timpani yang utuh
Etiologi dan patogenesis otitis media efusi adalah multi faktor. Anatomi dan fungsi
tuba Eustachius merupakan penyebab utama. Tuba Eustachius adalah bagian dari
sistem yang berdampingan dengan organ-organ lain seperti hidung, nasofaring,
telinga tengah dan sel-sel mastoid . Gangguan pada salah satu organ ini misalnya
infeksi atau obstruksi akan mempengaruhi organ lain.
Pada fungsi tuba Eustachius yang normal udara di rongga telinga tengah mempunyai
tekanan sebesar satu atmosfir, apabila kurang dari satu maka akan terjadi tekanan
negatif dalam rongga telinga tengah, hal ini meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
aktifitas sekresi telinga tengah, sehingga timbul efusi telinga tengah.
Para peneliti mengatakan dengan pemeriksaan timpanometri pada pasien celah bibir
dan langit-langit ditemukan berbagai derajat kesulitan mengimbangi tekanan negatif
dalam telinga tengah dengan aktif menelan . Doyle ( 1980 ) menemukan tuba
Eustachius anak dengan celah langit-langit, mengalami konstriksi dari pada dilatasi
selama menelan. Semua penelitian ini mengidentifikasikan bahwa tuba Eustachius
pada celah langit-langit mengalami fungsional obstruksi dan keadaan ini
yang berusia lebih tua. Pada anak berusia lebih dari 2 tahun proses maturasi inti-inti
saraf telah sempurna dan dianggap seperti orang dewasa.
Fenitzio mengatakan bahwa anak-anak yang menderita otitis media efusi dalam waktu
yang lama akan mengalami gangguan bicara lebih besar dari pada yang menderita
otitis media efusi lebih pendek.
Pada otitis media efusi dapat terjadi tuli sensorineural, hal ini disebabkan oleh toksin
yang mencapai tingkap bundar dan memasuki koklea
Gejala
Kebanyakan kasus otitis media efusi asimptomatik ( tidak ada gejala ). Anak
jarang dapat mengatakan keluhannya. Diagnosis sering terlambat beberapa bulan atau
tahun dan sering sudah menimbulkan kesulitan dalam bicara maupun perkembangan
bahasa.
Karena penyakit sering tenang ( silent ) maka sulit untuk menegakkan diagnosis dan
sering terlambat. Diagnosis yang sederhana dengan anamnesa yang teliti, pemeriksaan
otoskopi dan evaluasi audiologis.
Timpanometri dapat dilakukan pada seluruh pasien dan merupakan tes yang obyektif
yang tidak membutuhkan respons penderita. Pada otitis media efusi timpanogram
terbanyak menunjukkan kurve B yang datar ( flat).
TIMPANOMETRI
dari + 200
mmH2O sampai - 400 mmH2O. Pada keadaan normal, ketika membran timpani
ditegangkan baik oleh tekanan luar yang positif atau negatif, impedansnya akan
meningkat dan kelenturan menurun. Refleksi suara oleh oleh membran timpani
meningkat sesuai dengan ambang suara di dalam kanal yang meningkat. Ambang
tekanan suara dimonitor secara terus menerus, perubahan ambang suara secara
langsung diubah menjadi kelenturan membran timpani, sehingga kelenturan membran
timpani dapat dibaca secara kontinu. Kurve yang memperlihatkan perubahan
kelenturan membran timpani yang timbul respons dari perubahan dalam tekanan
udara liang telinga luar, disebut sebagai timpanogram.
Timpanogram adalah statu penyajian dalam bentuk grafik dari kelenturan relatif
sistem timpano-osikular, sementara tekanan udara liang telinga luar diubah-ubah.
Dalam grafik, kelenturan membran timpani dicatat pada garis vertikal dan tekanan
udara pada garis mendatar sehingga diperoleh suatu kurva. Untuk pembacaan
timpanogram yang perlu diperhatikan adalah 1) tinggi kurve ,menunjukkan kelenturan
efektif telinga tengah, 2) lokasi puncak, menunjukkan tekanan telinga tengah 3)
gradien puncak ( rata-rata perubahan tinggi kurve pada puncak ).
Pengukuran gradien penting untuk membedakan efusi dari non efusi,
gradien yang
sama atau kurang dari 0,15 disebut landai, yang lebih besar dari 0,15 disebut curam.
Liden dan Jarger membuat klasifikasi timpanogram .
Timpanogram tipe A mempunyai beberapa hal yang khas, yaitu terdapatnya puncak
dari grafik. Puncak berada pada atau dekat tekanan 0 decapascal ( 1 daPa = 1,02
mmH2O). Pada orang dewasa, diantara + 50 daPa sampai dengan 50 daPa, pada
anak-anak antara + 50 daPa sampai dengan 150 daPa. Kelenturan puncak berada
diatas 0,5 cm
utuh, dapat bergerak normal dan tekanan dalam telinga tengah dalam batas normal
yang menunjukkan bahwa rongga telinga tengah berisi udara.
Timpanogram tipe B complance rendah , tidak terdapat puncak. Tekanan telinga
tengah tidak diketahui, kemungkinan negatif , mengindikasikan adanya cairan di
telinga tengah.
Timpanogram tipe C puncak compliance
normal,
bertekanan negatif dibawah 150 daPa untuk anak-anak, menunjukkan fungsi tuba
Eustachius yang buruk.
fungsi saraf ke VIII dengan merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel-sel koklea
hingga mencapai inti inti tertentu di batang otak.
Jewett mengatakan bahwa ABR merupakan gambaran reaksi bioelektrik saraf ke VIII
dan inti- inti di batang otak. Reaksinya adalah berupa gelombang yang timbul dalam
waktu 10 milidetik , terdapat 5 atau 7 gelombang positif. Gelombang 6 dan 7
merupakan aktifitas rostral
Prinsip pemeriksaan ABR adalah menilai perubahan potensial listrik di otak, setelah
pemberian rangsang sensorik berupa suara. Rangsang suara yang diberikan lewat
head phone akan menempuh perjalanan melalui koklea , nucleus koklearis, nukleus
olivatorius superior,
korteks auditosius di lobus temporalis otak Perubahan potensial listrik di otak akan
diterima oleh ketiga elektrode di kulit kepala. Impuls yang timbul dari setiap inti
dapat dinilai dalam bentuk gelombang. Waktu yang diperlukan dari setiap gelombang
mulai dari saat pemberian rangsang suara sampai mencapai inti saraf dapat dinilai
dengan melihat latensinya.
Pemeriksaan ABR sangat bermanfaat karena dapat dipergunakan pada keadaan sulit
dilakukan pemeriksaan dengan cara biasa, misalnya pada bayi, gangguan sifat dan
tingkah laku, inteligensia rendah, cacat ganda dan kesadaran yang menurun.
Pemeriksan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi pendengaran bayi baru lahir,
bahkan pada bayi dengan masa gestasi 26 minggu. ABR dapat memberikan informasi
mengenai fungsi pendengaran perifer dan sentral
Cara pemeriksaan ABR, dengan memasang 3 buah elektrode, di verteks, dahi dan
prosesus mastoid kiri dan kanan . Stimulus yang diberikan berupa jenis klik dengan
frekuensi menengah yaitu 1000 Hz sampai 4000 Hz yang diberikan melalui head
phone pada masing-masing telinga secara bergantian. Pemeriksaan dilakukan dalam
keadaan bayi tertidur setelah minum sehingga akan memberikan gambaran yang lebih
baik.
Reaksi yang timbul akibat rangsang suara sepanjang jalur saraf pendengaran ini dapat
dibedakan menjadi 3 bagian berdasarkan waktu yang diperlukan mulai dari saat
pemberian rangsang suara sampai menimbulkan reaksi dakam bentuk gelombag, yaitu
Early response timbul dalam waktu kurang dari 10 milidetik ( 0 10 milidetik ) dan
merupakan reaksi dari batang otak, Middle response , atara 10 50 milidetik
merupakan reaksi dari talamus dan korteks auditori primer, Late response , antara 50
500 milidetik yang timbul dari area auditoris primer dan sekitarnya. Jewett pada
tahun 1970 menulis dalam angka Romawi untuk gelombang-gelombang yang timbul.
Gelombang yang timbul 10 milidetik, gelombang I berasal dari koklea, gelombang II
berasal dari nukleus koklearis, gelombang III berasal dari nukleus olivarius superior,
gelombang IV berasal dari lemniskus lateralis dan gelombang V berasal dari kolikulus
inferior. Gelombang V selalu ada pada setiap orang, paling mudah diidentifikasi
karena berasal dari bagian paling superior yang mengalami maturasi lebih tinggi
dibandingkan dengan bagian yang lebih kaudal. Gelombang V dapat dipakai sebagai
penilaian ambang dengar. Gelombang V lebih mudah diidentifikasi sehingga pada
intensitas yang rendah hanya gelombang V yang dapat dipakai sebagai pegangan
penilaian ada tidaknya reaksi pada ABR.
Gambaran ABR pada orang dewasa dapat dijumpai 7 bentuk gelombang, sedangkan
pada bayi biasanya hanya 3 bentuk gelombang yaitu I/II, III, IV/V.
gelombang ini berasal dari folikulus inferior yang merupakan inti yang paling
sempurna mengalami maturasi dibandingkan dengan inti-inti yang lain. Pada tuli
konduktif kadang-kadang tidak semua gelombang dapat dilihat adanya perlambatan
terutama gelombang III. Hal tersebut tergantung dari durasi proses patologik dan
intensitas yang diberikan. Pada otitis media efusi kadang-kadang tidak ditemukan
perlambatan gelombang III, menurut Owen bila ada perlambatan gelombang III
menunjukkan bahwa otitis media efusi sudah kronis.
Menurut Yamada dkk, terdapat sedikit perbedaan ambang pendengaran normal ABR
antara bayi baru lahir ( 10 20 dB ) dan dewasa ( 5 10 dB ). Galambos melaporkan
hasil penelitian yang sama, ambang dengar bayi baru lahir lebih tinggi 10 dB
dibandingkan orang dewasa. Masa latensi ABR bayi baru lahir lebih panjang dari
dewasa. Perbedaan tersebut karena maturitas sel saraf pada bayi belum sempurna.
Kaga melaporkan ambang dengar ABR, gelombang V , berubah sesuai dengan
bertambahnya usia
Gambar 15. hasil pemeriksaan ABR ( dikutip dari Lippincott Williams and Wilkins )
dokter gigi, ortodontis, dokter anak, spesialis anestesi, psikolog, ahli terapi wicara,
tenaga paramedik, dan petugas administrasi.
Pada prinsipnya semua disiplin ilmu saling memberi saran untuk penanganan kasus
celah bibir dan langit-langit sesuai bidang masing masing.
METODOLOGI PENELITIAN
Desain penelitian
Penelitian ini merupakan deskriptif analitik.
Populasi penelitian
Populasi adalah semua pasien celah bibir dan langit-langit yang diperiksa
ABR dan timpanometri dari 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2007
Kriteria penerimaan
adalah pasien dengan kelainan celah bibir,gusi dan langit-langit atau celah
langit-langit saja, usia antara 6 bulan sampai 6 tahun
Kriteria penolakan
kelainan hanya celah bibir saja
berusia lebih dari 6 tahun
Cara Kerja
Pasien yang datang ke bagian THT dijadwalkan untuk diperiksa ABR dan
timpanometri.
Dilakukan anmnesis yang meliputi :
-
riwayat keluarga
Alat-alat penelitian
- Rekam medik pasien
- Alat diagnostik : lampu kepala, otoskop, ABR dan timpanometer
Pemeriksaan THT
Teknik Pengukuran
ABR merupakan respons listrik saraf kedelapan dan sebagian batang otak
yang timbul dalam 10 sampai 12 milidetik setelah rangsang suara
ditamgkap telinga dalam. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
rangsang klik dengan frekuensi 1000 Hz 4000 Hz. Pasien dalam keadaan
tidur setelah diberi chloral hidrat. Elektroda dipasang tiga buah, satu pada
vertex atau dahi dan dibelakang telinga di prosesus mastoideus kanan dan
kiri. Akan terlihat V gelombang,
Gelombang III
tengah ( midbrain)
Pada penelitian ini dipakai alat ABR merk Nihon Kohden MEB 7102 K
neuropack 2.
Timpanometri
Pemeriksaan timpanometri dilakukan dengan alat timpanometer, alat
ini mengukur kelenturan relative sistem timpano-osikular sementara
tekanan telinga tengah diubah- ubah. Ujung probe disumbatkan ke liang
telinga
luar sebagai ruang tertutup. Ujung ini menghubungkan tiga saluran berupa
1), osilator penerima, yang menyampaikan nada dengan frekuensi tetap 2)
mikrofon yang memonitor ambang tekanan suara dan
3) pompa
dicapai
membran timpani
kekakuan
Telah dilakukan penelitian terhadap 142 pasien celah bibir dan celah langitlangit yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, sejak 1 Januari 2002
hingga 31 Desember 2007 di bagian THT RS Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta.
Frekuensi
Persentase (%)
2002
20
14,1
2003
19
13,4
2004
33
23,2
2005
35
24,6
2006
20
14,1
2007
15
10,6
TOTAL
142
100
Frekuensi
Persentase (%)
Laki-laki
77
54,2
Perempuan
65
45,8
105
73,9
25
17,6
4,2
2,1
1,4
0,7
142
100
Jenis Kelamin
Umur (tahun)
TOTAL
Tipe Celah
Total
Palato
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgp bilat
Ada
10
32
Tidak ada
32
16
47
15
110
TOTAL
42
23
55
22
142
110, 77%
Riwayat keluarga (+)
Tidak ada
32, 23%
Dijumpai sebesar 23% (32 sampel) yang memiliki riwayat keluarga menderita
celah bibir dan / atau celah langit-langit.
Tipe Celah
Total
Palato
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgp bilat
Mikrotia
Ankylosis OD
Assesori ear
Tidak ada
37
23
50
22
132
TOTAL
42
23
55
22
142
Micrognatia
+ Pierre Robin Synd
Pierre Robin Synd
TORSCH + cortical blindness
+ tetraparesis spastis
vander Ward syndrome
Riw kehamilan dg peny
(campak, mumps)
Dari 142 sampel penelitian, terdapat 10 sampel memiliki kelainan penyerta yaitu
mikrotia, ankylosis Oculi Dextra, fistel preaurikuler, micrognatia dan Pierre-Robin
Syndrome, TORSCH-cortical blindness-tetraparesis spastis, vander Ward Syndrome,
telinga dengan asesori, masing-masing pada 1 sampel, dan riwayat kehamilan ibu
dengan penyakit (campak, mumps) pada 2 sampel.
Frekuensi
Persentase (%)
Palatoskisis
42
29,6
23
16,2
55
38,7
Labiognatopalatoskisis bilateral
22
15,5
TOTAL
142
100
Frekuensi
Persentase (%)
30
1,4
40
86
60,6
50
28
19,7
60
20
14,1
4,2
TOTAL
142
100
Tabel 7. Tabel silang jenis kelamin sampel penelitian dengan tipe celah
Tipe celah
Jenis
Total
kelamin
Palatoskisis
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgb bilat
Laki-laki
20
17
30
10
77
Perempuan
22
25
12
65
TOTAL
42
23
55
22
142
Keterangan :
lgp uni ka = labiognatopalatoskisis unilateral kanan
lgp uni ki = labiognatopalatoskisis unilateral kiri
Umur
Total
(tahun)
Palatoskisis
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgb bilat
31
15
39
20
105
12
25
TOTAL
42
23
55
22
142
Keterangan :
lgp uni ka = labiognatopalatoskisis unilateral kanan
lgp uni ki = labiognatopalatoskisis unilateral kiri
lgp bilat = labiognatopalatoskisis bilateral
Pemeriksaan ABR dan timpanometri paling banyak dilakukan pada usia 1 tahun yaitu
pada 105 sampel, dengan tipe celah langit- langit yaitu 31 sampel
Tabel 9. Tabel silang adanya riwayat keluarga menderita celah bibir dan/atau
celah langit-langit pada sampel penelitian dengan tipe celah
Tipe celah
Riwayat
Total
Keluarga
Palatoskisis
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgb bilat
Ada
10
32
Tidak ada
32
16
47
15
110
TOTAL
42
23
55
22
142
Keterangan :
lgp uni ka = labiognatopalatoskisis unilateral kanan
lgp uni ki = labiognatopalatoskisis unilateral kiri lgp bilat = labiognatopalatoskisis bilateral
Tabel 10. Tabel silang hasil pemeriksaan ABR sampel penelitian dengan tipe
celah
Tipe celah
Ambang
Total
respons ABR
Palatoskisis
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgb bilat
30 dB
40 dB
25
16
32
13
86
50 dB
12
28
60 dB
20
42
23
55
22
142
Tidak
ada
gel
TOTAL
Keterangan :
lgp uni ka = labiognatopalatoskisis unilateral kanan
lgp uni ki = labiognatopalatoskisis unilateral kiri
lgp bilat = labiognatopalatoskisis bilateral
Tabel 11. Tabel 2 x 2 jenis kelamin dengan tipe palatoskisis sampel penelitian
Jenis Kelamin
Tipe celah
Total
Palatoskisis
Non-palatoskisis
Laki-laki
20
57
77
Perempuan
22
43
65
TOTAL
42
100
142
Tabel 12. Tabel 2 x 2 hasil pemeriksaan ABR dengan tipe palatoskisis sampel
penelitian
Ambang
respons
ABR
Tipe celah
Total
Palatoskisis
Non-palatoskisis
</= 40 dB
25
63
88
>40 dB
17
37
54
TOTAL
42
100
142
PEMBAHASAN
Celah bibir dan langit-langit mempunyai prevalensi berkisar antara 1/1000 ke
2,69/1000 di berbagai negara di dunia ini. Orang Asia lebih berisiko tinggi dari pada
Kaukasian dan kulit hitam. Distribusi jenis kelamin cenderung laki-laki lebih banyak.
Dalam penelitian ini dijumpai jumlah pasien
dari pada perempuan yaitu 77 (54,2 % ), sedangkan Chu dkk dalam penelitiannya di
Hong Kong menemukan jumlah yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan.
Dalam kepustakaan dikatakan bahwa celah bibir dan langit-langit satu sisi
lebih banyak di sisi kiri dari pada sisi kanan. Dalam penelitian ini ditemukan celah
bibir gusi langit-langit satu sisi lebih banyak disisi kiri dari pada kanan yaitu 55
pasien ( 38,7 % )
Diantara kelainan kongenital dikatakan bahwa kelainan celah bibir dan langitlangit menduduki tempat ke tiga , terjadi sekitar 1 dalam 700 kelahiran . Dikatakan
lebih dari 150 sindrom genetik bersamaan dengan celah bibir dan langit-langit. Dua
kelainan paling sering ditemukan yaitu Hemifacial Microsomia dan Pierre Robin
Sequence. Hal ini terjadi berturut-turut 1 dalam 4000 dan 1 dalam 8000. Kelainan ini
menyebabkan konsekuensi yang sangat penting dalam perkembangan anak tersebut,
yaitu perkembangan makan, bernafas, pertumbuhan, tumbuh kembang, pendengaran ,
berbicara dan berbahasa, belajar dan sosial integrasi. Dalam penelitian ini didapatkan
10 penderita menderita kelainan kongenital yang lain, yaitu mikrotia 1 pasien, fistel
preaurikula 1 pasien, Vander Ward sindrome 1 pasien, Ankylosis Okuli Dextra 1
pasien, Pierre Robin Sequence 3 pasien, Cortical blindness, gangguan pendengaran
saraf berat 2 pasien.
Faktor keluarga dalam penelitian ditemukan 32 pasien ( 23 % ) ada riwayat
keluarga yang menderita celah juga, paling banyak ditemukan pada celah langit-langit
saja yaitu 10 pasien. Dalam kepustakaan dikatakan celah bibir dengan atau tanpa
celah langit-langit 2% ditemukan ada riwayat keluarga, celah langit-langit saja 7%
ditemukan keluarga yang juga menderita kalainan yang sama.
Ditemukannya gangguan pendengaran konduktif pada pasien celah bibir dan
langit langit telah diketahui lebih dari 1 abad, dengan penyebab utama
adalah
langit otot ini tidak bersambung oleh adanya celah sehingga tidak dapat membuka
tuba Eustachius.
Banyak peneliti menemukan hampir 100 % pasien celah bibir dan langit-langit
menderita otitis media efusi ( adanya cairan di rongga telinga tengah ) Derajat
gangguan pendengaran tergantung jumlah cairan yang terjadi di telinga tengah. Ratarata gangguan pendengaran adalah 15 45 dB.
Gangguan pendengaran merupakan hal yang sering ditemukan pada penderita celah
bibir dan langit-langit, gangguan ini akan mengakibatkan gangguan perkembangan
bahasa dan berbicara. Bluestone mengatakan bahwa fungsi tuba terganggu akibat
celah sehingga hampir 100 % mengalami gangguan fungsi tuba Eustachius. Cuk et
all dalam penelitiannya menemukan seluruh pasien mengalami otitis media efusi.
Saraf pendengaran dapat terkena oleh toksin inflamasi yang masuk ke telinga dalam
melalui tingkap lonjong dan tingkap bundar yang menyebabakan labirintitis serosa
atau kerusakan organ corti.
Dalam penelitian ini respons pada pemeriksaan ABR sama dengan 40 dB didapatkan
pada 77 pasien ,
dibandingkan pada celah langit-langit saja. Ditemukan 6 pasien tidak ada respons (
tidak ada gelombang) yang berarti ditemukan gangguan saraf pendengaran, disini
gangguan pendengarn saraf telinga ini akibat penyakit yang diderita ibu waktu hamil
yaitu mumps dan torsch, jadi merupakan kelainan kongenital penyerta. Tunbileck et al
dalam penelitiannya menemukan gangguan pendengaran konduktif sebanyak 18 %,
sedangkan gangguan saraf tidak ditemukan. Mello dkk dalam penelitiannya
menemukan 88,4 % terdapat gangguan pendengaran konduktif, 1 kasus terdapat
gangguan pendengaran campur. Derajat gangguan pendengaran berkisar antara 25
DAFTAR PUSTAKA
nd
Chu KMY, McPherson B. Audilogical Status of Chinese Patients With Cleft Lip
/Palate.. The Cleft-Palate Craniofacial Journal , vol 42, Iss 3; pg 280, May 2005
10. Clarke B. clinical Aspects of Cleft Lip / Palate Reconstruction. Dalhousie universi
Ty. Halifax, Nova Scotia.
11. Cuk JH, Cuk V, Gluhinic M, Risavi R, Katusic. Tympanometric findings in cleft
Palate patients : Influence of age and cleft type. The Journal of Laryngology and
Otology. Vol 115, Iss 2; pg 91 98, London, Feb 2001.
12. Core curriculum sylabus audiology. Available at:
http://www.bcm.edu/oto/studs/aud.html .
13. DMello J, Kumar S. Audilogical findings in cleft palate patients attending
speech camp. Indian J Med Res 125, pp 777-782, June 2007
14. Finitzo T. Imcidence, prevalence and duration of otitis media in infant. In : Lim
DJ,Bluestone CD, Klein JO eds. Proceedings of fourth International Symposium
of Recent Advances in Otitis Media. Decker Inc, Toronto,Philadelphia: 15 - 7
15. Fria TJ. Hearing Acuity of Children with Otitis Media Effusion. Arch Otolaryngol
203 p : 310 16, 1985.
16. Galambos CS, Galambos R. Brain stem E#voked Response Audiometry in New
Born Hearing Screening Arch Otolaryngol 105, p : 86 90, 1979
17. Glassock ME, Jackson CG, Josey AF. The ABR Handbook: Auditory Brainstem
Response, 2 nd. New York. Thieme Medical Publisher, p 1 149, 1987
18. Hendrarto. Pengaruh Tindakan Palatoplasti Terhadap Aerasi Telinga Tengah
pada Anak usia 2-3,5 tahun dengan Kelainan Celah Langit-langit di Rumah Sakit
Dr Hasan Sadikin Bandung. ( Karya Ilmiah Ahir Program Dokter Spesialis THT)
Hal 9-15
17. Holborow CA. Deafness associated with cleft palate. J Laryngol Otol; 76 p 762
773, 1962.
18. Jackson and Jackson.. Disease of The Nose Throat and Ear.. WB Saunders
company Philadelphia and London, p 423, 1959.
19. Kahn SY, Paul R, Sengupta A, Roy.P . Clinical study of otological manifestations
in cases of cleft palate.. Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Sur
gery vol 58, No 1, January March 2006
20. Liston SL, Duvall AJ . Embriology, anatomy and physiology of the ear
21. Milczuk, HA. Comprehensive Mangement of Children with Cleft Lip, Cleft
Palate, or Craniofacial. Avalaible from www.ohsu.edu/ent/peds/hamcomp.html
22. Owen MJ, Nechay KN, Howie VM. Brainstem auditory evoked potensials in
young children before and after tympanostomy tube replacement. Int J Ped
Otorhinolaryngol
; 25 : 105 17,1993
pp
34 309, 2002.