You are on page 1of 4

Tugas Individu

Hukum Transnasional Pemanfaatan Laut


Marcell Linggom S. (1006789311)

ANALISA KASUS PENANGKAPAN KAPAL NELAYAN MALAYSIA


DI SELAT MALAKA OLEH PETUGAS PEMERINTAHAN INDONESIA

Permasalahan penangkapan ikan secara tidak sah di wilayah perbatasan laut antara
Indonesia dengan Malaysia terulang kembali baru-baru ini di perairan Selat Malaka. Kedua kapal
Malaysia yang masing-masing berawak lima orang berkewarganegaraan Thailand ditangkap di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perairan Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia
(ZEEI) Selat Malaka.
Pernyataan dari Pemerintah Indonesia bahwa kapal yang ditangkap adalah KM KF 5325
GT 75,80 ditangkap pada posisi 04 derajat 35`02" N/099 derajat 24`01" E dengan nahkoda
berinisial KLA. Sedangkan kapal lainnya adalah KM. KF 5195 GT 63,80 ditangkap pada posisi
04 derajat 40`50" N/099 derajat 25`00" E dengan nahkoda berinisial NHOI. Keduanya ditangkap
karena tidak mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan
(SIPI) dari pemerintah RI serta penggunaan alat tangkap terlarang Trawl (pukat harimau).
Dengan demikian, keduanya melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (b) Jo pasal 92 Jo pasal 93 ayat (2)
Jo pasal 86 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Usai ditangkap, kedua kapal langsung dibawa ke dermaga Lantamal I
Belawan dan langsung dilakukan pembongkaran ikan sebagai barang bukti untuk disimpan di
suatu tempat agar tidak rusak, dengan disaksikan Kepala Stasiun Pengawas Belawan. Apabila

fakta-fakta tersebut di atas dipandang sebagai benar (yang tergantung dari bagaimana
pembuktiannya), telah dapat cukup dibuktikan unsur kesalahan dari kedua kapal Malaysia
tersebut, akan tetapi perlu juga diperhatikan faktor-faktor lain yang juga terlibat di dalamnya.
Sebagai contoh, pernyataan dari Pemerintah Malaysia sebaliknya, menurut Konsul
Jenderal Malaysia untuk Medan Puan Norlin Othman, dua kapal nelayan itu masih berada di
dalam wilayah teritorial Malaysia. Mereka masih berada di sekitar 25 mil dari Pulau Sipadan
dan 45 mil dari Pulau Pinang Indonesia, ungkapnya. Norlin menuturkan, Pemerintah Malaysia
telah melayangkan nota protes ke Indonesia terkait insiden tersebut. Mereka berharap agar
Pemerintah Indonesia segera membebaskan seluruh awak kedua kapal itu. Kembali lagi, jika
kebenaran pernyataan dari pihak Malaysia ini dapat dibuktikan sebagai benar, maka Indonesia
harus melepaskan kedua kapal yang ditangkap dan menyatakan permintaan maaf secara resmi
kepada Malaysia.
Terlepas dari pihak mana yang benar dan salah, kasus semacam ini sudah terjadi untuk
kesekian kalinya, dikarenakan tidak adanya kesepakatan perbatasan wilayah laut antara
Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka sepanjang 17 mil laut; 12 mil laut di Tanjung Datuk,
Kalimantan Barat; dan 18 mil di Sebatik, Kalimantan Timur. Indonesia-Malaysia memiliki
permasalahan perbatasan yang belum disepakati di empat kawasan. Yakni, Permasalahan klaim
tumpang tindih wilayah zona ekonomi eksklusif di kawasan Selat Malaka bagian utara (Peta
sepihak Malaysia 1979), belum ditetapkannya garis laut teritorial di kawasan Selat Malaka
bagian selatan, belum ditetapkannya wilayah zona ekonomi eksklusif di kawasan Laut China
Selatan, dan klaim Malaysia pada wilayah Ambalat di kawasan Laut Sulawesi (setelah Kasus
Sipadan-Ligitan). Kondisi 'perbatasan tanpa batas' yang sudah dibiarkan mengambang selama 65
tahun Indonesia merdeka ini akan terus menjadi bumerang bagi Indonesia dan Malaysia. Hal ini

sudah tentu dapat menjadi potensi konflik yang besar bagi hubungan Indonesia dan Malaysia
apabila tidak diselesaikan, terlebih berada di beberapa kawasan yang krusial karena keempat
kawasan tersebut tidak saja terkait dengan permasalahan kedaulatan, tetapi juga nilai ekonomi
seperti jalur perdagangan, perikanan, dan sumber daya alam.
Batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka telah ditetapkan oleh
kedua negara dengan melakukan perjanjian batas landas kontinen yang ditandatangani pada
tanggal 27 Oktober 1969. Perjanjian ini menyetujui penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik
koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan (pantai Timur
Malaka). Penetapan titik-titik koordinat secara teknis menggunakan ketentuan-ketentuan pada
konferensi PBB I tahun 1958 yang oleh Malaysia secara sepihak dianggap sekaligus garis batas
ZEE (single line), sedangkan Indonesia menganggap batas ZEE kedua negara belum pernah
dirundingkan sehingga belum ada batasnya dan menurut ketentuan UNCLOS 1982 batas landas
kontinen tidak harus sama dengan batas ZEE. Sebagai implementasi lahirnya UNCLOS 1982,
Indonesia berupaya untuk menetapkan batas maritim dengan Malaysia terutama batas laut ZEE
di perairan Selat Malaka.
Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan kasus serupa secara tuntas agar tidak terulang
kembali di masa mendatang, menurut hemat saya adalah dengan membuat perjanjian perbatasan
wilayah laut yang jelas antara Indonesia dengan Malaysia. Apabila sudah menyangkut
pembuatan perjanjian seperti ini, sayangnya bukan merupakan permasalahan bidang hukum
melainkan tawar-menawar yang bersifat politis. Menurut berita antaranews.com
(http://www.antaranews.com/news/253911/11-negara-bahasa-masalah-perbatasan-laut),
sebanyak 11 negara akan bertemu di Jakarta pada Mei 2011 untuk membahas berbagai
permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan laut antarnegara. Negara-negara yang diundang

dalam pertemuan itu antara lain, Australia, Timor Leste, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina,
India dan Sri Lanka. Pertemuan ini tentunya diharapkan dapat menghasilkan solusi positif
mengenai perbatasan wilayah laut dengan negara tetangga Indonesia, khususnya dalam hal ini
dengan Malaysia.

You might also like