You are on page 1of 3

Nat Wahyu Srikuning-Rizky Haryogi

BARILLA SPA
Company Background
Bermula dari suatu kedai kecil di Parma-Italia , Barilla didirikan pada tahun 1875 oleh Pietro
Barilla. Kedai tersebut berdampingan dengan tempat pembuatan pasta dan roti yang akan
dijual di kedai tersebut. Pada tahun 1960, dengan semakin ketatnya persaingan lebih dari
2.000 perusahaan pasta di Italia membuat Pietro Gianni & Barilla melakukan diferensiasi
produl dengan menggunakan program marketing inovasi untuk mendukung kualitas produk
yang tinggi. Selain itu Barilla mengubah dengan cepat praktek marketing dengan
menciptakan suatu brand name dan image yang kuat, penjualan pasta dalam kardus dengan
warna yang dapat dikenal serta investasi yang besar dalam program advertising. Bahkan pada
tahun 1968, Pietro Barilla juga memulai pembangunan 1,25 meter persegi pasta plant.
Dampak dari adanya program peningkatan teknologi yang signifikan tersebut menyebabkan
membengkaknya biaya dan membuat Barilla terlilit hutang sehingga pada tahun 1971 mereka
menjual perusahaan tersebut kepada Perusahaan Multinasional AMerika yang bernama W.R.
Grace Inc. Namun karena adanya kondisi ekonomi yang sulit dan aturan dari pemerintah
Italia yang tidak kondusif membuat Grace harus menjual kembali perusahaan kepada Pietro
Barilla.
PROBLEM IDENTIFICATION
Adapun identifikasi permasalahan dari Barilla adalah sebagai berikut:
Adanya fluktuasi dari permintaan yang sulit diprediksi memberikan dampak bagi
variabilitas pembuatan dan logistik dari Barilla.
Perubahan proses internal dari Distributor/Customer dimana mereka tidak memiliki
tempat penyimpanan inventory yang memadai
Implementasi dari Proposal JITD (Just In Time Distribution): apakah program tersebut
layak? Jika layak, apakah target customernya dan bagaimana menyakinkan customer?
THEORIES
Bullwhip effect (atau efek cambuk) adalah suatu keadaan yang terjadi dalam rantai suplai
dimana permintaan dari customer mengalami perubahan (distorsi). Perubahan tersebut
mengakibatkan serangkaian efek yang akan mengacaukan rantai suplai. Ada banyak hal yang
mempengaruhi bullwhip effect, antara lain :
- Demand yang jarang sekali stabil
Hal ini diakibatkan oleh peramalan permintaan yang kita buat juga jarang sekali
akurat, sehingga terjadinya error pada forecast dimana perusahaan mengantisipasi
dengan membuat safety stock. Pada periode dimana demand sedang melonjak maka
seluruh
partisipan
pada chain akan
meningkatkan
inventorinya
namun
jika demand pada periode tertentu sedang turun maka partisipan harus menurunkan
inventorinya. Akibat dari besarnya safety stock berpengaruh pada tidak efisiensinya
produksi, dan juga mengakibatkan rendahnya utilization pada pendistribusian.
Contohnya, pada minggu ke 31 di tahun 1989, inventory yang berada di DC Cortese
sebanyak 1000 kuintal akan tetapi actual demand-nya sebesar 310 kuintal.
Ketidakcocokan ini mengakibatkan semakin banyak biaya yang dikeluarkan oleh
Barilla
- Order Batching
Pada saat inventory pada perusahaan sudah menurun, maka perusahaan biasanya tidak
langsung memesan barang, ini dikarenakan perusahaan memesan berdasar order
batching atau akumulasi permintaan sebelum memesan pada supplier. Perusahaan
biasanya memesan secara mingguan, dua mingguan atau bahkan bulanan. Jadi yang

Nat Wahyu Srikuning-Rizky Haryogi

dihadapi oleh supplier ketika perusahaan memesan secara periodik adalah terjadinya
tingkat permintaan yang tinggi untuk bulan ini disusun dengan kekosongan di bulan
berikutnya. Pemesanan secara periodik ini mengakibatkan bullwhip effect.
Price Fluctuation
Manufacture dan distributor biasanya membuat promosi secara periodikal, sehingga
membuat pembeli melakukan permintaan yang lebih banyak dari yang sebenarnya
dibutuhkan. Promosi semacam ini dapat membuat supply chain menjadi terancam, ini
dikarenakan pembeli akan memesan lebih banyak dari yang dibutuhkan ketika sedang
ada promosi dan ketika harga menjadi normal maka tidak ada pembelian karena
customer masih memiliki stock barang. Ini membuat peta permintaan tidak
menunjukkan pola yang sebenarnya. Dan variasi dari pembelian lebih besar dari
variasi consumsion rate sehingga ini menimbulkan bullwhip effect.
Rationing and Shortage Gaming
Pada saat salah satu rantai dari supply chain management ada yang melakukan
permainan yang mengakibatkan pabrik tidak mengetahui permintaan pasar yang
sebenarnya sehingga terjadi kekurangan atau kelebihan stock di pasaran yang
mengakibatkan kekacauan di downstream, atau ada salah satu mata rantai yang
melakukan penimbunan barang agar terjadi scarcity dan menimbulkan kekacauan di
mata rantai SCM, sehingga permintaan meningkat dari downstream. Ini juga
mengakibatkan bullwhip effect

CONCLUSION & SUGGESTION


1. Fluktuasi Permintaan
Fluktuasi permintaan dapat berakibat terhadap proses produksi dan logistik dari Barilla.
Sebagai contoh untuk produksi pasta khusus yang mengharuskan pemanasan dan
kelembaban tertentu dalam tunnel yang tidak dapat diproduksi dengan cepat untuk
mengantisipasi tingginya permintaan. Di lain pihak untuk menyimpan persedian yang
cukup
terhadap
barang
tersebut
adalah
sangat
mahal.
Untuk mengatisipasi hal tersebut maka Perusahaan sebaiknya mengoptimalkan fungsi
managing inventory sehingga akan menambah fleksibilitas dari operasional perusahaan.
Inventory Management merupakan sesuatu yang krusial. Di satu pihak perusahaan dapat
mengurangi biaya dengan pengurangan persediaan namun dilain pihak produksi dapat
berhenti dan customer menjadi tidak puas ketika tidak ada stok persediaan. Dengan
demikian makan tujuan dari manajemen persediaan adalah untuk mencapai suatu
keseimbangan antara investasi persediaan dan customer service.
2. Kekurangan Tempat untuk Penyimpanan Inventori
Inventori adalah satu dari asset yang sangat penting dimana dari banyak perusahaan,
merepresentasikan 50% bahkan lebih dari modal. Untuk kasus Barilla, inventory model
yang digunakan adalah menggunakan Dependent Inventory Model. Agar dependent
inventory model berjalan dengan efektif, maka manager operasi harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Master production schedule (apa yang dibuat dan kapan)
2. Specification or bill of material (material dan bagian yang diperlukan untuk membuat
produk)
3. Inventory availability (apa yang ada dalam persediaan)
4. Purchase orders outstanding (apa yang sedang dipesan atau disebut expected receipt)
5. Lead times (berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh komponen yang
beragam)

Nat Wahyu Srikuning-Rizky Haryogi

Jumlah inventori yang terlalu banyak di Barilla tentunya akan mengurangi pendapatan
perusahaan karena perusahaan akan mengeluarkan biaya tambahan untuk penyimpanan dan
penjagaan inventori tersebut. Resiko yang mungkin di hadapi perusahaan bermacammacam
seperti kerusakan akibat kelalaian manusia yang menyebabkan inventori menjadi tidak
bernilai dan menimbulkan kerugian bagi perusahaan, kerugian akibat pencurian, biaya
asuransi, dll. Jadi, semakin tinggi Tingkat inventori yang melebihi kapasitas produksi dan
penjualan juga akan meningkatkan biaya dan resiko kerugian bagi perusahaan. Just in time
merupakan solusi bagi perusahaan untuk meminimalisir biaya-biaya yang mungkin timbul.
3. Implementasi dari Proposal JITD (Just In Time Distribution).
Apakah program tersebut layak? Jika layak, apakah target customernya dan bagaimana
menyakinkan
customer?
Sistem JITD bertujuan untuk meminimalkan jumlah persediaan dalam suatu perusahaan,
semakin rendah tingkat persediaan, maka akan semakin rendah biaya yang mungkin timbul.
Sistem ini direncakan sedemikian rupa agar inventori yang dibutuhkan Barilla untuk
distribusi tersedia ketika akan dikirimkan. Hal ini memang tidak mudah dicapai bagi
perusahaan karena dibutuhkan komunikasi dan hubungan yang baik dengan para distributor.
Apabila program JITD ini dapat dijalankan dengan baik oleh Barilla maka program ini dapat
dikatakan layak. Kesuksesan JITD akan menurunkan biaya penyimpanan di Barilla sehingga
memungkinkan perusahaan dapat mengurangi harga jualnya. Penawaran kepada pelanggan
akan lebih baik dan lebih banyak karena perusahaan dapat menjual barang yang sama dengan
harga yang lebih murah.

You might also like