You are on page 1of 9

PENATALAKSANAAN DISLOKASI PANGGUL

Dislokasi sendi adalah keadaan dimana terjadi pergeseran total permukaan


tulang yang membentuk persendian. Dislokasi sendi merupakan keadaan gawat
darurat di bidang ortopedi yang memerlukan penanganan segera1,2,3,4,5.
Dislokasi panggul paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Dislokasi panggul sering disertai oleh fraktur acetabulum dan fraktur ekstremitas
pada sisi yang sama. Dua puluh lima persen dislokasi panggul disertai dengan
trauma pada lutut dan 4% disertai fraktur femur pada sisi yang sama1.
Jadi, dislokasi panggul adalah suatu keadaan dimana caput femur keluar
dari mangkok sendi atau acetabulum. Hal ini antara lain dapat disebabkan oleh
trauma dan infeksi.
Pada tinjauan dislokasi panggul kali ini hanya dibahas dislokasi panggul
akibat trauma.
Dislokasi panggul berdasarkan letak caput femur terhadap acetabulum
dibagi menjadi tiga macam1,2,4,5, yaitu :
1. Dislokasi panggul posterior dengan atau tanpa fraktur dislokasi. Caput
femur terletak posterior dari coroner palene acetabulum.
2. Dislokasi panggul anterior dengan atau tanpa fraktur dislokasi. Caput
femur terletak anterior dari coroner palene acetabulum.
3. Dislokasi sentral.
Anatomi
Sendi panggul atau articulasio coxae adalah sendi sinovial yang dibentuk
oleh tulang femur pada bagian caput femur dan tulang pelvis pada acetabulum dan
mempunyai konfigurasi ball and socket. Konfigurasi sendi yang demikian ini
memungkinkan sendi tersebut mempunyai kelebihan dalam stabilitas weight
bearing sekaligus kebabasan pergerakan. Dalam keadaan normal sendi ini dapat
bergerak karena abduksi (0-45), adduksi (0-30), fleksi (0-140), ekstensi (0-10),
eksorotasi (0-50) dan endorotasi (0-40).

Acetabulum terbuka ke arah depan dan bawah kira-kira sebanyak 30,


kolum femur mempunyai inklinasi ke depan atau anteversi berkisar 0-30 dan
mempunyai inklinasi ke atas kira-kira 12,5.
Sendi ini diliputi oleh otot dan ligamen. Otot-otot bagian anterior meliputi
otot-otot dada pada lapisan superfisial yaitu m. psoas mayor, m. pektinens dan m.
iliakus dan otot pada lapisan profunda yaitu m. rektus femoris, m. iliopsoas, m.
obturator eksterna dan ligamentum iliofemoral. Otot bagian posterior meliputi otot
pada lapisan superfisial yaitu m. glutens, m. obturator internus, m. kuadratus
femoris dan m. piriformis dan otot pada lapisan protunda yaitu m. gemeli, m.
obsturator eksterna, m. obturator internus dan ligamentum ischiofemoralis.
Ligamentum anterior lebih kuat daripada ligamentum posterior. Pada
bagian anterior terdapat dua buah ligamentum yaitu ligamentum iliofemoralis dan
ligamentum pubofemoralis sedangkan pada bagian posterior terdapat sebuah
ligamentum yaitu ischifemoralis.
Caput femoralis, mendapat perdarahan dari percabangan a. sirkumfleksa
femoris medialis dan a. obturator ramus anterior serta a. ligamentum teres3.
Dislokasi posterior
Sendi panggul yang normal dapat mengalami dislokasi dalam keadaan
fleksi dan adduksi. Pada posisi ini tenaga trauma diteruskan ke sepanjang femur,
akibat trauma dashboard atau jatuh dari ketinggian dengan posisi lutut tertekuk
atau fleksi.
Pada keadaan ini, caput femur akan bergeser ke posterior di atas tepi
acetabulum dan menyebabkan dislokasi posterior. Dislokasi posterior adalah
bentuk dislokasi terbanyak pada panggul, yaitu sebanyak 80-85% dari seluruh
kasus dislokasi panggul.
Empat dari lima pasien dengan dislokasi panggul mengalami dislokasi
posterior. Jika caput femur bergeser keluar kapsul dinamakan dislokasi tipe ekstra
artikuler1,2,3,4,5.

Klasifikasi dislokasi panggul posterior


Berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh Steward dan Milford3,4
sebagai berikut :
1. Dislokasi simpel atau tanpa fraktur.
2. Dislokasi dengan fragmen fraktur pada acetabulum yang besar dan stabil
setelah reduksi.
3. Dislokasi dengan fraktur acetabulum yang kominutif dan tidak stabil.
4. Dislokasi disertai dengan fraktur pada caput dan kolum femur.
Berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh Thompson Epstein (1973).
Sistem ini dibuat erat kaitannya untuk rencana pengobatan1,3,4.
Tipe I

: dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang kecil.

Tipe II : dislokasi dengan fragmen tunggal yang besar pada bagian posterior
acetabulum.
Tipe III : dislokasi dengan fraktur tepi acetabulum yang kominutif.
Tipe IV : dislokasi dengan fraktur dasar acetabulum.
Tipe V : dislokasi dengan fraktur caput femur.
Dislokasi anterior
Lebih jarang dibandingkan dislokasi posterior, kurang lebih 10-15% dari
seluruh dislokasi panggul1,2,3,4,5.
Mekanisme
Pada bagian anterior panggul terdapat ligamentum iliofemoral yang sangat
kuat. Ligamentum ini berperan untuk menahan caput femoris agar tidak
terdislokasi ke arah anterior. Jika terjadi dislokasi anterior biasanya caput femur
akan melewati ligamentum ini melalui sisi medialnya. Pada dislokasi panggul
anterior jarang disertai fraktur acetabulum.
Dislokasi anterior menyebabkan panggul ekstensi, abduksi dan rotasi
eksternal. Hal ini jelas terlihat pada saat pasien berbaring.
Pada dislokasi anterior ekstremitas tidak tampak memendek karena adanya
perlekatan otot yang menjaga caput tidak berpindah ke arah atas1,4.

Klasifikasi dislokasi panggul anterior


Epstein mengklasifikasikan dislokasi panggul anterior3 sebagai berikut :
1. Pubik (superior)
a. Tanpa fraktur (sederhana/simpel)
b. Dengan fraktur caput femoris
c. Dengan fraktur acetabulum
2. Obturator (inferior)
a. Tanpa fraktur (sederhana/simpel)
b. Dengan fraktur caput femoris
c. Dengan fraktur acetabulum
Dislokasi sentral
Dislokasi ini mengenai sisi sentral dari panggul terutama ketika panggul
dalam keadaan abduksi (misalnya saja sewaktu pasien mengalami trauma
kecelakaan tertabrak dari samping atau jatuh dari ketinggian dengan posisi lateral
punggung mengenai lantai). Mekanisme trauma seperti ini akan menyebabkan
caput femur bergeser ke sentral dan menyebabkan fraktur kominutif pada sisi
medial acetabulum. Berat ringannya caput femur penetrasi ke sisi medial menuju
rongga pelvis tergantung dari berat ringannya kekuatan trauma yang terjadi2,4,5.
Klasifikasi dislokasi panggul sentral4
1. Hanya bagian dalam dinding acetabulum
2. Fraktur sebagian acetabulum
3. Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur acetabulum yang
kominutif
Pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis
Pada pemeriksaan fisik dislokasi panggul posterior tampak pasien
berbaring dengan posisi fleksi, abduksi dan rotasi internal dan kedua ekstremitas
di bawah kelihatan lebih pendek. Sering disertai dengan rasa nyeri akibat spasme
otot di sekitar panggul. Caput femur tidak terletak dalam socket sehingga sering
teraba pada sisi posterior (glutea). Untuk dislokasi panggul anterior, tipe obturator,

tungkai dalam keadaan fleksi, rotasi eksterna dan abduksi. Pemeriksaan radilogis
tampak caput femur terletak pada foramen obturator, posisi femur sangat abduksi
dan eksorotasi.
Untuk tipe pubik dan iliaka, tungkai dalam keadaan rotasi eksterna (90),
abduksi ringan (15-20) dan ekstensi dan sering dapat diraba caput femoris
berada pada daerah SIA pada dislokasi tipe iliaka dan berada dekat pubikum pada
dislokasi tipe pubik.
Pada pemeriksaan radiologis tampak caput femoris terletak pada tulang
pubis, inferolateral terhadap acetabulum. Femur ekstensi, eksorotasi dan sedikit
abduksi.
Gambaran radiologis dalam posisi obliq memperlihatkan caput femur
berada di bawah acetabulum pada regio foramen obturator. Fraktur dislokasi pada
dislokasi anterior jarang terjadi. Fraktur biasanya malah terjadi pada caput femur
dibandingkan acetabulum. Pada dislokasi panggul sentral, paha mengalami memar
dan posisi kaki berada pada posisi normal. Regio trochanter dan panggul terasa
sakit. Pergerakan ringan dari panggul masih dapat dilakukan1,2,3,4,5.
Pemeriksaan radiologis meliputi foto pelvis, proyeksi diambil secara obliq
dan anterio-posterior, karena pada dislokasi interpretasi hanya dengan satu
proyeksi tidak dapat dilakukan Shentons line harus diperhatikan. Tambahan foto
radiologis untuk ekstremitas pada sisi yang sama seringkali bermanfaat untuk
mencari lokasi fraktur yang lain.
Sumber pustaka lain menyebutkan selain foto di atas, pengambilan foto
posterior pelvis dan lateral dari panggul juga amat perlu.
Jika pada pemeriksaan radiologis pelvis antero-posterior ditemui
kecurigaan adanya fraktur acetabulum maka harus dilakukan pemeriksaan foto
pelvis proyeksi miring obturator dan miring iliaka untuk mengidentifikasi secara
lebih jelas fraktur acetabulum.
Dikatakan bahwa fraktur acetabulum dengan fragmen < 20-25% dari
dinding acetabulum tidak akan mempengaruhi stabilitas panggul, sedangkan
fragmen > 40-50% akan menyebabkan instabilitas sehingga dapat terjadi dislokasi
yang berulang.

Melalui pemeriksaan radiologis harus dilakukan penilaian terhadap ada tidaknya :


1. Fraktur caput femur
2. Fraktur acetabulum
3. Fraktur cohun femur pada fraktur batang femur yang undisplaced.
Gambaran radiologis pada dislokasi panggul posterior menunjukkan
adanya caput femur yang terletak di atas acetabulum. Gambaran radiologis
dislokasi panggul sentral tampak caput femur bergeser ke medial dan dasar
acetabulum mengalami fraktur.
Pemeriksaan radiologis juga harus dilakukan setelah reposisi selesai. Hal
ini dilakukan untuk menilai adekuasi reposisi, ada tidaknya fragmen tulang pada
persendian, dan akurasi reposisi pada dislokasi yang disertai dengan fraktur caput
femur serta fraktur acetabulum.
Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan CT scan untuk melihat
adanya fragmen tulang yang hilang pada persendian, reposisi yang inkomplit pada
fraktur caput femur atau adanya interposisi soft-tissue2,3,4,5.
Penatalaksanaan dislokasi panggul
1. Reposisi tertutup
Dilakukan dalam anestesi umum dengan skletal muscle relaxtion. Reposisi
lebih baik dilakukan kurang dari 24 jam post trauma. Setelah reduksi dilakukan
pengecekan dengan pemeriksaan radiologis.
Radiologis diambil 2 proyeksi. Kemungkinan yang terjadi adalah :
1. Dislokasi berhasil direduksi sempurna.
2. Dislokasi dan fraktur pada bibir acetabulum berhasil dikoreksi dan
sekarang dalam keadaan stabil.
Jika hasil rontgen menunjukkan 1 dan 2, selanjutnya pasien dirawat secara
konservatif. Jika reposisi dengan cara tersebut tidak berhasil, tidak perlu
dipaksakan karena pada kasus-kasus tertentu memang reposisi secara tertutup
tidak memungkinkan. Percobaan melakukan reposisi berulang-ulang karena sulit
tercapai reposisi merupakan suatu kontra indikasi.

Keadaan-keadaan yang memerlukan reposisi terbuka yaitu jika :


1. Caput femur menembus m. iliopsoas dan terjepit di dalamnya.
2. Caput femur merobek kapsul sendi bagian anterior dan menyebabkan
keadaan button hole.
3. Terdapat fraktur fremur atau acetabulum.
4. Untuk mengambil fragmen tulang pada persendian.
5. Untuk menjaga fragmen tulang ukuran besar agar tetap stabil.
6. Untuk memperkuat hasil reposisi tertutup.
7. Jika panggul mengalami subluksasi atau dislokasi tidak stabil.
Reposisi terbuka yang sering dilakukan adalah dengan melakukan insisi
anterior (sint petersons approach), dimana insisi diawali dengan menyusuri crista
iliaka ke arah anterior sampai spina iliaka anterior superior kemudian diteruskan
ke vertikal dan ke kaudal sepanjang 8-10 cm. Setelah reposisi secara klinis dan
radiologis berhasil dilakukan, pasien istirahat berbaring. Cara ini dinamakan
metode Allis.
Metode lain untuk reduksi adalah metode Bigelow. Metode lain untuk
reposisi adalah metode Stimson. Reduksi untuk dislokasi anterior, prinsipnya
sama dengan dislokasi panggul posterior. Didahului oleh anestesi umum dan
pemberian muscle relaxan setelah itu pasien ditidurkan di lantai. Terdapat
perbedaan cara reposisi tipe obturator dan pubis pada dislokasi anterior1,2,3,4,5.
Tipe obturator
Pasien terletak di lantai, SIAS ditekan sebagai fiksasi tulang panggul oleh
asisten, operator memegang tungkai bawah (cruris), kemudian membawa tungkai
ke arah fleksi sekaligus melakukan enderotasi, sambil ditarik arahkan caput femur
masuk kembali ke dalam acetubulum. Setelah masuk tarikan terus diberikan
sambil membawa tungkai ke arah ekstensi. Kadang-kadang dengan cara di atas,
reposisi belum dapat terjadi, usaha lain yang dapat digunakan adalah dengan
menarik tungkai ke arah fleksi dan abduksi, selama tarikan masih berlangsung,
perlahan-lahan tungkai dibawa ke posisi vertikal dan dilanjutkan dengan gerakan

endorotasi. Setelah caput femur ke tempat semula, tungkai dibawa ke posisi


ekstensi3.
Tipe pubik
Pasien terlentang di atas meja operasi, tungkai ditarik mengikuti arah
deformitas kemudian panggul dihiperekstensikan, secara perlahan-lahan tungkai
diputar ke arah endorotasi dan eksorotasi, sementara asisten membantu dengan
menekan caput femur yang teraba di linguinal ke arah posterior.
Secara klinis reposisi dinilai memadai jika tungkai dapat diekstensikan ke
posisi normal secara mudah. Tidak dibenarkan melakukan adduksi pada tungkai
yang cedera sebelum reposisi tercapai.
Dilakukan reduksi tertutup sesegera mungkin dengan cara traksi pada
femur yang mengalami fleksi dan kemudian dilakukan rotasi internal dan adduksi
pada panggul. Setelah reduksi secara klinis dan radiologis berhasil dilakukan,
panggul diimobilisasi dengan gips spika dengan posisi stabil (fleksi-adduksi-rotasi
internal)3.
Dislokasi Sentral
Pada dislokasi panggul sentral, operator menarik kuat paha dan coba
menempatkan caput femur keluar dengan cara melakukan gerakan adduksi pada
paha. Jika hal ini tidak berhasil dilakukan reposisi terbuka dan fragmen fraktur
yang besar difiksasi dengan screw. Traksi lateral menggunakan pin atau screw
melalui trochanter mayor jarang berhasil.
Jika disertai dengan fraktur kominutif pada acetabulum yang tidak terlalu
luas, maka dilakukan reposisi terbuka dengan fiksasi internal, tetapi jika
frakturnya luas dan tidak mungkin untuk dilakukan stabilitas sendi maka kita
diamkan saja dengan kondisi rusak yang tidak dapat diperbaiki (irreparably
damaged), pergerakan sendi akan restriksi tetapi fungsinya tetap baik1,4.

2. Fiksasi
Jika kondisi telah stabil pasca reposisi, traksi atau gips digunakan untuk
immobilisasi. Latihan aktif dan pasif diawali pada minggu kedua, weight bearing
secara bertahap sekitar 3-4 minggu3.
Pada kondisi yang disertai fraktur acetabulum pasien setelah reposisi
dilakukan imobilisasi dengan gips spika dalam posisi netral agar lebih stabil hasil
reposisinya (ekstensi, abduksi dan rotasi eksternal) selama 8 minggu3.
Pada dislokasi panggul sentral, dilakukan traksi sentral dengan beban 7 kg,
dipertahankan selama 4 minggu. Pada tipe II dislokasi posterior, setelah reposisi
fragmen yang besar difiksasi dengan screw. Pada tipe III biasanya dilakukan
reduksi tertutup dan apabila ada fragmen yang terjebak dalam acetabulum
dikeluarkan melalui tindakan operasi. Tipe IV dan V juga dilakukan reduksi
secara tertutup dan apabila bagian fragmen yang lepas tidak tereposisi maka harus
dilakukan reposisi dengan operasi. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa yang
terpenting adalah tirah baring dengan atau tanpa traksi sampai pasien merasa
enak, baru setelah itu early weight bearing, hal tersebut tidak terbukti
meningkatkan kejadian komplikasi4.
3. Mobilisasi
Setelah pemasangan traksi, gips atau traksi dilepas. Kemudian pasien
difoto lagi, jika fraktur yang menyertai dislokasi sudah tidak ada dan tanda-tanda
nyeri (miositis osifilikans) tidak ada, pasien diperbolehkan weight bearing3.
Pada dislokasi panggul sentral, setelah traksi dilepas, pasien non weight
bearing, weight bearing baru boleh dilakukan setelah 8 minggu3.
Pada dislokasi panggul yang disertai fraktur, dimana caput femur
menembus acetabulum, setelah dilakukan traksi selama 6 minggu, pada minggu 8
pasien dapat berjalan dengan menggunakan kruk4.

You might also like