You are on page 1of 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah penduduk merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh negara
berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu masalah kependudukan yang dihadapi
Indonesia adalah laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Berbagai program
pembangunan telah, sedang dan akan dilaksanakan untuk mengatasi masalah
kependudukan tersebut, antara lain melalui program pelayanan kesehatan ibu dan
anak, keluarga berencana dan pembangunan keluarga sejahtera (BKKBN, 2009).
Keluarga Berencana adalah usaha untuk menjarangkan atau merencanakan
jumlah dan jarak kehamilan dengan memakai kontrasepsi. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan norma keluarga kecil
bahagia dan sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat sejahtera
dengan pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk. Hal tersebut diupayakan
melalui gerakan reproduksi keluarga sejahtera, gerakan ketahanan keluarga sejahtera
dan gerakan ekonomi keluarga sejahtera dengan sasaran pasangan usia subur
(BKKBN, 2009).
Paradigma baru program Keluarga Berencana (KB) adalah mewujudkan
keluarga berkualitas tahun 2015 dan bertujuan memberdayakan masyarakat untuk
membangun keluarga kecil berkualitas, menggalang kemitraan dalam peningkatan

Universitas Sumatera Utara

kesejahteraan, kemandirian dan ketahanan keluarga serta meningkatkan kualitas


pelayanan keluarga berencana (Syaifuddin, 2003).
Belum maksimalnya peran pemerintah dalam menggalakkan program KB
mengakibatkan

tingginya

pertambahan

penduduk

yang

akan

menyebabkan

meningkatnya kebutuhan pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan


pelayanan lainnya. Ketidakmampuan menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup,
berdampak pada naiknya angka pengangguran dan kemiskinan (Herlianto, 2008).
Berdasarkan laporan BPS tahun 2007 jumlah penduduk miskin sebesar
16,58% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 37,17 juta jiwa. Hal ini
mengakibatkan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut United
Nations Development Program/UNDP (2008),IPM Indonesia masih sangat rendah
yaitu 0,728 menduduki peringkat 107 dari 177 negara. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa Indonesia belum mampu untuk memanfaatkan jumlah
populasinya yang besar menjadi kekuatan ekonomi dan harus segera mengatur laju
pertumbuhan penduduknya (Herlianto, 2008).
Cakupan peserta KB Baru dan KB Aktif pada profil kesehatan 2010, jumlah
PUS di seluruh Indonesia mencapai 44.738.378 orang dengan jumlah peserta KB
Baru 8.647.024 orang (19,33%), dan jumlah peserta KB Aktif 33.713.115 orang
(75,36%). Persentase peserta KB Aktif menurut metode kontrasepsi di Indonesia IUD
11,03%, MOW 3,53%, MOP 0,68%, Implan 8,26%, Kondom 2,50%, Suntik 47,19%,
Pil 26,81%. Persentase peserta KB Baru menurut metode Kontrasepsi di Indonesia

Universitas Sumatera Utara

sebanyak IUD 5,97%, MOW 1,05%, MOP 0,27%, Kondom 7,98%, Implan 6,50%,
Suntik 49,04%, Pil 29,19% (Depkes RI, 2010).
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan program KB tersebut
di antaranya adalah pengadaan alat kontrasepsi yang masih kurang, jumlah petugas
KB lapangan (PLKB) yang minim, serta kebijakan pemerintah di tiap daerah tidak
sama (BKKBN, 2004).
Cakupan pemakaian alat kontrasepsi pada pria di negara lain seperti Malaysia
16%, Bangladesh 14%, Iran 13%, Amerika 35%, dan Jepang 80%. Hal ini sangat
penting, sebab peran pria dalam KB akan memberikan kontribusi yang sangat
signifikan terhadap pengendalian pertumbuhan penduduk dan penanganan masalah
kesehatan reproduksi (BKKBN, 2005).
Idealnya, dalam pelaksanaan program KB nasional, penggunaan kontrasepsi
merupakan tanggung jawab bersama pria dan wanita sebagai pasangan, sehingga
metode kontrasepsi yang dipilih mencerminkan kebutuhan serta keinginan suami istri.
Pasangan suami istri harus saling mendukung dalam pemilihan dan penggunaan
metode kontrasepsi karena kesehatan reproduksi, khususnya KB bukan hanya urusan
pria atau wanita saja (Suprihastuti, 2003).
Peserta KB di Indonesia masih didominasi oleh perempuan. Pemerintah
dengan berbagai sumber daya yang telah ada berupaya untuk meningkatkan
kesetaraan pria dalam ber-KB. Namun hasilnya masih belum seperti yang diharapkan
(BKKBN, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Usia subur seorang wanita biasanya antara 15-49 tahun, oleh karena itu untuk
mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita/pasangan ini lebih
diprioritaskan untuk menggunakan alat/metode KB. Rata-rata cakupan peserta KB
aktif pada tahun 2010 adalah sekitar 75,4%, dimana Provinsi dengan persentase
peserta KB aktif tertinggi adalah Bengkulu (89,9%), Gorontalo (85,6%), dan Bali
(85,3%). Sedangkan persentase peserta KB aktif terendah adalah Papua (48,4%),
Maluku Utara (58,2%), dan Kepulauan Riau (64%). Pada tahun 2010 sebesar 76,5%
peserta KB aktif masih banyak menggunakan alat kontrasepsi jangka pendek
terutama suntik (47,19%) dan Pil KB (26,81%). Sebaliknya metode MOP (Metode
Operasi Pria) yang paling rendah proporsi penggunaannya yaitu hanya sebesar
0,68%. Sebagian besar peserta KB aktif adalah perempuan yaitu sebesar 96,82% dan
3,18% lainnya adalah laki-laki (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan cakupan peserta KB Baru dan KB Aktif di Provinsi Pemerintah
Aceh dengan jumlah PUS 776.140 orang, peserta KB Baru sebanyak 197.755
(25,48%), peserta KB Aktif sebanyak 593.025 (76,41%). Peserta KB Baru yang
menggunakan metode kontrasepsi IUD 2.438 (1,23%), MOW 644 (0,33%), MOP 22
(0,01%), kondom 33.691 (17,04%), Implan 3.496 (1,77%), Suntik 83.222 (42,08%),
Pil 74.242 (37,54%). Peserta KB Aktif yang menggunakan metode kontrasepsi IUD
11.993 (2,02%), MOW 4.479 (0,76%), MOP 187 (0,03), Implan 11,746 (1,98%),
Kondom 51.698 (8,72%), Suntik 267.195 (45,06%), Pil 245.727 (41,44%) (Depkes
RI, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Ketidaksetaraan gender dalam ber KB dan kesehatan reproduksi sangat


berpengaruh

pada

keberhasilan

program.

Sebagian

besar

masyarakat

dan

penyelenggara serta penentu kebijakan masih menganggap bahwa pengguna


kontrasepsi adalah urusan perempuan, masih relatif rendahnya kepedulian pria dalam
proses reproduksi keluarganya, terutama dalam hal kehamilan dan kelahiran.
Rendahnya partisipasi pria terhadap pemakaian kontrasepsi sebanyak 1,3% dari total
peserta KB aktif merupakan manifestasi ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender
(BKKBN, 2005).
Masih adanya perempuan yang tidak berpartisipasi dalam program KB
dipengaruhi juga oleh pengetahuan dan perilaku. Rendahnya pengetahuan perempuan
tersebut memengaruhi persepsinya tentang penggunaan alat kontrasepsi, karena salah
satu yang menentukan persepsi seseorang adalah pengetahuan yang ia miliki.
Seseorang yang memiliki pengetahuan baik tentang sesuatu objek akan memiliki
persepsi yang lebih positif terhadap hal tersebut. Seseorang yang memiliki persepsi
positif tentang sesuatu akan membuat individu tersebut akan memiliki sikap dan
perilaku yang positif juga terhadap hal tersebut (BKKBN, 2004). Menurut
Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya sikap dan perilaku seseorang (over behaviour). Penerimaan sikap dan
perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka akan
menghasilkan sebuah perilaku yang akan dapat dipertahankan lebih lama.
Menurut Affandi (1987) faktor yang berhubungan dengan pemakaian alat/cara
kontrasepsi, baik sebagai faktor yang penentu penerimaan pemakaian kontrasepsi

Universitas Sumatera Utara

oleh masyarakat yaitu: faktor medik mekanik dan faktor sosial budaya (sosial
ekonomi, sosio demografi, pengetahuan).
Pemakaian alat kontrasepsi merupakan salah satu bentuk perilaku kesehatan,
terutama pada perempuan. Banyak faktor yang memengaruhi perempuan dalam
pemakaian alat kontrasepsi. Green dalam Notoatmodjo (2007) menganalisis perilaku
manusia dari tingkat kesehatan. Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor
yaitu faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam karakteristik,
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Faktor
pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan sosial, ketersediaan
atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan. Faktor pendorong (reinforcing
factors) yang terwujud dalam dukungan dari orang terdekat, dukungan sikap dan
perilaku petugas kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan, yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan determinan pemakaian
alat kontrasepsi pada wanita PUS yaitu penelitian Sulistio (2010), bahwa ada empat
variabel independen yang memiliki hubungan dengan pemilihan alat KB, yaitu
variabel umur ibu, pendidikan, jumlah anak hidup, dan umur anak terakhir. Demikian
juga penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti (2007) mengenai beberapa faktor yang
berhubungan dengan pemakaian alat kontrasepsi pada wanita di Kecamatan Tonjong
Kabupaten Brebes menunjukkan ada hubungan umur, pendidikan, pengetahuan,
komunikasi KB, ketersediaan alat kontrasepsi, keterjangkauan pelayanan, peran
petugas, dengan pemakaian alat kontrasepsi.

Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syamsiah (2002) mengenai dukungan


suami dalam pemilihan alat kontrasepsi pada peserta KB di Kelurahan Serasan Jaya
Sumatera Selatan menyatakan bahwa adanya hubungan antara dukungan suami dalam
pemilihan alat kontrasepsi (p=0,000).
Penelitian yang dilakukan oleh Wurjayanto, Eko Berbudi (2007) mengenai
hubungan peran petugas, kenyamanan KB dan dukungan suami dengan pergantian
dini metode KB di Puskesmas Salaman 1 Kec. Salaman Kab. Magelang menunjukkan
ada hubungan antara dukungan suami dengan pergantian dini metode KB.
Setelah dilakukan survei dan pengambilan data di wilayah kerja Puskesmas
Blangkejeren diperoleh data jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak 556
pasangan dan jumlah akseptor KB sampai Agustus 2010 yaitu Suntik (41%), Implant
(20,5%), pil (20%), AKDR (13,6%), kondom (4,1%), MOP (0%). Hasil wawancara
dengan PUS sebanyak 20 orang, ibu yang membawa anak dan bayi berobat, bahwa
sebagian besar dari mereka (11 orang) belum menjadi akseptor KB dengan berbagai
alasan tidak tahu KB apa yang cocok untuk dirinya, tidak tahu alat-alat KB apa saja
yang tersedia, agak susah menjangkau pelayanan kontrasepsi, kurang dukungan dari
petugas kesehatan, dan tidak diizinkan oleh suami.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
Determinan pemakaian alat kontrasepsi pada wanita pasangan usia subur di wilayah
kerja Puskesmas Kota Blangkejeren.

Universitas Sumatera Utara

1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah determinan pemakaian alat
kontrasepsi pada wanita PUS di wilayah kerja Puskesmas Kota Blangkejeren Gayo
Lues.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh determinan
pemakaian alat kontrasepsi pada wanita PUS di wilayah kerja Puskesmas Kota
Blangkejeren Gayo Lues.

1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh determinan pemakaian alat
kontrasepsi pada wanita PUS di wilayah kerja Puskesmas Kota Blangkejeren Gayo
Lues.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Sebagai masukan bagi pihak Puskesmas Kota Blangkejeren dalam
menggalakkan kembali program keluarga berencana di wilayah kerjanya,
untuk menggunakan alat kontrasepsi.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues
dalam menyusun program kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan
program keluarga berencana.

Universitas Sumatera Utara

3. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai


kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan
pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

You might also like