You are on page 1of 6

Executive Summary

Model Proyeksi Penerimaan Perpajakan


Penerimaan perpajakan merupakan sumber pendapatan yang utama dalam APBN. Selama
lima tahun terakhir, penerimaan perpajakan rata-rata sekitar 70 persen dari total pendapatan negara.
Hal ini menunjukkan bahwa peran pajak dalam membiayai APBN semakin besar. Peran pajak
tersebut akan semakin besar untuk masa yang akan datang karena pemerintah ingin mengurangi peran
utang dalam mendanai APBN. Karena peranan pajak semakin penting, maka penerimaan perpajakan
membutuhkan sistem pengelolaan yang semakin baik sehingga penerimaan perpajakan semakin
optimal sesuai dengan kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat. Oleh karena itu perlu disusun
suatu perencanaan angka target penerimaan perpajakan yang tepat dan optimal dengan menggunakan
model proyeksi penerimaan perpajakan yang mampu menghasilkan angka proyeksi yang sesuai
dengan kondisi ekonomi yang sedang dan akan terjadi, dan mampu menjelaskan pengaruh kebijakan
pemerintah terhadap penerimaan perpajakan.
Beberapa model yang dipakai sebagai alat untuk menghitung target penerimaan perpajakan
adalah: 1) Model Monitoring Penerimaan Perpajakan (Model bulanan); 2) Model target penerimaan
perpajakan (Model tahunan); 3) Model Dampak Kebijakan terhadap Penerimaan Perpajakan; 4)
Model Perhitungan Potensi Penerimaan Perpajakan; dan 5) Model target penerimaan perpajakan per
sektor. Dalam rangka menghasilkan angka target yang lebih realistik, terus dilakukan upaya
penyempurnaan dan pengembangan terhadap kelima model tersebut.
Upaya penyempurnaan dilakukan melalui update database dan perbaikan tampilan. Salah satu
contoh adalah model monitoring penerimaan perpajakan (model bulanan) yang mengalami
penyempurnaan berupa: (1) mempermudah dalam memasukan data realisasi yang terbaru; (3)
merubah tampilan tabel dan grafik untuk menganalisa perkembangan realisasi; (4) memasang tombol
cepat untuk merubah tampilan tabel dan grafik; serta (5) menyajikan perbandingan data
perkembangan realisasi penerimaan perpajakan dan perkembangan kondisi perekonomian sebagai alat
bantu dalam menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan perpajakan.
Dari hasil model monitoring penerimaan perpajakan yang sudah mengalami penyempurnaan,
penerimaan perpajakan pada tahun 2010 diperkirakan hanya akan mencapai 98,2 persen dari target
yang ditetapkan dalam APBN-P 2010, atau masih mengalami short fall Rp13,2 triliun, sebagaimana
disajikan dalam Tabel 1. Angka perkiraan realisasi tersebut dihitung berdasarkan angka realisasi
penerimaan perpajakan pada Oktober 2010. Salah satu penyebabnya adalah belum direalisasikannya
subsidi pajak dan bea masuk ditanggung pemerintah (DTP) yang secara total mencapai Rp16 triliun.

Tabel 1.
Tampilan Tabel Perkembangan Realisasi Penerimaan Perpajakan
2010

2009
Jenis Pajak

% thd
APBN-P

% thd
Realisasi

385,799.1

73.0

213,031.2

73.2

193,067.5

146,757.4

APBN-P

Realisasi

Realisasi
Oktober

A. Penerimaan DJP

528,353.3

494,489.6

PPh (Nonmigas)

291,175.8

267,571.3

PPN dan PPnBM

203,084.0

APBN-P

Realisasi
Oktober

% thd
APBN-P

78.0

606,116.2

426,198.9

70.3

586,621.7

96.8

79.6

306,836.6

235,591.5

76.8

311,679.0

101.6

4,842.4

72.3

76.0

262,963.0

160,799.1

61.1

234,856.3

89.3

(28,106.6)
3,604.7

Perk.Realisasi
Akhir Tahun

% thd
APBN-P

Selisih
thd APBN-P

(19,494.5)

23,863.6

24,270.2

18,950.3

79.4

78.1

25,319.1

22,059.7

87.1

28,923.9

114.2

BPHTB

6,980.0

6,464.5

4,532.2

64.9

70.1

7,155.5

5,098.8

71.3

7,761.4

108.5

605.8

Pajak Lainnya

3,250.0

3,116.0

2,528.0

77.8

81.1

3,841.9

2,649.9

69.0

3,401.1

88.5

(440.8)

PBB

74,568.1

75,388.9

61,748.6

82.8

81.9

81,827.2

71,408.2

87.3

90,934.4

111.1

9,107.2

Cukai

54,545.0

56,718.5

46,523.7

85.3

82.0

59,265.9

52,336.0

88.3

66,667.2

112.5

7,401.4

Bea Masuk

18,623.5

18,105.5

14,675.0

78.8

81.1

17,106.8

15,283.9

89.3

19,290.2

112.8

2,183.4

Bea Keluar

1,399.6

565.0

550.0

39.3

97.3

5,454.6

3,788.3

69.5

4,977.0

91.2

(477.6)

49,033.4

50,043.7

42,021.0

85.7

84.0

55,382.4

42,190.2

76.2

52,443.4

94.7

(2,939.0)

651,954.8

619,922.2

489,568.8

75.1

79.0

743,325.9

539,797.3

72.6

729,999.5

98.2

(13,326.3)

B. Penerimaan DJBC

C. PPh Migas
Total Penerimaan Perpajakan

Upaya penyempurnaan juga dilakukan melalui revisi besaran elastisitas pada Model Target
Penerimaan Perpajakan Tahunan. Dengan terjadinya perubahan series data realisasi tahun 2009, maka
besaran elastisitas bagi masing-masing jenis pajak akan mengalami perubahan, dan secara langsung
akan berpengaruh pada perhitungan besaran target penerimaan perpajakan. Perbandingan elastisitas
lama (data 1969-2008) dan elastisitas baru (data 1969-2009) adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Perbandingan Elastisitas Lama dengan Elastisitas Baru
Ealstisitas Baru

Elastisitas Lama
Tax Base

Tax Base
growth inf
Konsumsi Dalam Negeri
Konsumsi Rumah Tangga
Impor Kena Bea Masuk
Pendapatan Nasional
PDB Sektor Bangunan (Kumulatif)
PDB Sektor Bangunan (Flow)
PDB Sektor Perbankan
PDB Sektor Perkebunan
PDB Sektor Perhutanan
Nilai Produk Migas

1.04
1.99
1.18
2.91
0.00
0.94
2.40
3.61
0.50
0.00

1.24
(0.22)
(0.09)
(0.25)
0.00
1.88
1.47
2.99
1.46
0.00

growth inf

kurs
0.08
0.16
0.48
0.07
0.00
0.29
(0.23)
(0.22)
(0.17)
0.00

Konsumsi Dalam Negeri


Konsumsi Rumah Tangga
Impor Kena Bea Masuk
Pendapatan Nasional
PDB Sektor Bangunan (Kumulatif)
PDB Sektor Bangunan (Flow)
PDB Sektor Perbankan
PDB Sektor Perkebunan
PDB Sektor Perhutanan
Nilai Produk Migas

0.92
1.20
0.07
1.63
0.00
5.82
1.52
5.66
4.67
19.07

1.18
1.30
(0.16)
0.86
0.00
1.45
0.51
0.47
(0.56)
0.27

kurs
0.06
0.09
0.25
0.24
0.00
0.33
0.33
0.31
0.15
0.99

Beberapa perubahan terjadi dalam perhitungan elastisitas baru. Pertama, nilai koefisien dari
beberapa variabel ekonomi makro mengalami penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa perubahan
besaran pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kurs mempunyai pengaruh lebih kecil terhadap perubahan
tax base antara lain konsumsi dalam negeri, impor kena bea masuk (dutiable impor), dan pendapatan
nasional. Kedua, tanda dari koefisien inflasi mengalami perubahan dari negatif menjadi positif pada
konsumsi rumah tangga dan pendapatan nasional, hal ini berarti peningkatan inflasi akan

meningkatkan pengeluaran konsumsi rumah tangga, yang berujung pada meningkatnya penerimaan
PPN, dan meningkatkan pendapatan nasional, yang berujung pada meningkatnya PPh nonmigas.
Ketiga, nilai koefisien dari variabel ekonomi makro mengalami peningkatan secara signifikan,
khususnya untuk PDB sektor bangunan, perkebunan dan perhutanan. Hal ini berarti bahwa
penerimaan PBB dari ketiga sektor tersebut sangat sensitif terhadap perkembangan pertumbuhan
ekonomi.
Selanjutnya, upaya pengembangan model perpajakan dilakukan melalui pembaharuan model
perhitungan target bea masuk dan bea keluar. Secara umum, target penerimaan bea masuk dihitung
berdasarkan formula:

Besarnya target penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh besarnya tarif bea masuk, dutiable import,
dan kurs. Kebijakan yang diambil pemerintah dapat berpengaruh terhadap besarnya tarif dan dutiable
import. Besarnya dutiable import akan ditarget berdasarkan realisasi persentase dutiable import tahuntahun sebelumnya.
Dalam model perhitungan target penerimaan bea masuk sebelumnya, variabel yang dipakai
sebagai tax base adalah total nilai impor dan selanjutnya dikalikan dengan persentase besaran dutiable
import yang besaran angkanya diperoleh dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dari hasil
perhitungan tersebut diperoleh nilai nominal dutiable import yang selanjutnya akan dikalikan dengan
tarif bea masuk rata-rata sehingga menghasilkan angka target penerimaan bea masuk. Untuk besaran
tarif menggunakan data yang berasal dari masukan DJBC. Kekurangan dari model ini adalah kesulitan
dalam menentukan besaran persentase dutiable import yang lebih akurat dan besaran tarif, dan sangat
ketergantungan kepada pihak lain.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, dibangun suatu model perhitungan target penerimaan
bea masuk yang langsung menggunakan variabel nilai dutiable import sebagai tax base. Dalam hal
ini, perhitungan dutiable import dilakukan dengan menggunakan metode forecasting secara
ekonometrik dimana variabel dutiable import berperan sebagai variabel dependen, sedangkan variabel
independennya adalah PDB, tarif bea masuk, dan nilai tukar rupiah terhadap US$. Dari persamaan
tersebut dapat dijelaskan bahwa nilai dutiable import sangat dipengaruhi oleh: 1) perkembangan
ekonomi yang dalam hal ini diwakili oleh variabel PDB; 2) perkembangan tingkat tarif bea masuk
yang berlaku; dan 3) perkembangan nilai tukar rupiah. Dari ketiga variabel tersebut, hanya variabel

PDB yang mempunyai pengaruh positif terhadap dutiable import. Secara singkat, persamaan
ekonometrik yang digunakan dalam menghitung nilai dutiable import adalah sebagai berikut:
DLDM

DLPDB

DTDM

DLKURS

..................................(persamaan 1)

Keterangan:
DLDM adalah delta log dutiable import, c adalah konstanta, DLPDB adalah delta log PDB riil,
DTDM adalah delta tarif dutiable import, DLKURS adalah delta log kurs, dan e adalah error.
Selain melakukan forecasting nilai dutiable import, model perhitungan target penerimaan bea
masuk yang baru juga melakukan forecasting terhadap besaran tarif bea masuk dengan menggunakan
metode ARMA. Dari hasil forecasting tersebut bisa dihitung besaran tarif bea masuk untuk periode
mendatang. Dari hasil forecasting terhadap nilai dutiable import dan tarif bea masuk, dan dengan
menggunakan asumsi nilai tukar rupiah terhadap US$ yang ditetapkan untuk tahun anggaran ke
depan, maka bisa dihitung target penerimaan bea masuk untuk tahun depan.
Untuk perhitungan target penerimaan bea keluar, secara umum formula yang digunakan
adalah sebagai berikut:

Besarnya bea keluar dipengaruhi oleh besarnya volume ekspor, harga patokan ekspor (HPE), tarif bea
keluar, dan kurs. HPE merupakan harga patokan ekspor yang dikeluarkan setiap bulan oleh
kementerian perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), dan dihitung
berdasarkan rata-rata harga referensi satu bulan sebelumnya. Harga referensi merupakan rata-rata
harga CPO di pasar Rotterdam yang dijadikan acuan bagi penetapan besaran tarif bea keluar sesuai
dengan PMK no 67/PMK.011/2010.
Model perhitungan target penerimaan bea keluar terbaru menghitung target penerimaan bea
keluar dari hasil forecasting volume ekspor CPO dan turunannya, harga referensi CPO di pasar
Rotterdam dan harga patokan ekspor (HPE) dari CPO, dan kemudian dikalikan dengan besaran tarif
bea keluar sesuai dengan PMK no 67/PMK.011/2010. Dalam melakukan forecasting volume ekspor
CPO dan turunannya, persamaan model ekonometrik yang digunakan adalah sebagai berikut:
Log(CPO)t = c + Log(HCPO)t +TCPOt + e...............................................(persamaan 2)
Log(CPKO)t = c + Log(HCPO)t + TCPKOt + Log(Kurs)t + e ......(persamaan 3)

Log(Lain)t = c + Log(HCPO)t + TLaint + Log(Kurs)t + e......................(persamaan 4)


Keterangan:
CPO adalah volume ekspor Crude Palm Oil, CPKO adalah volume ekspor Crude Palm Kernel Oil,
Lain adalah volume ekspor turunan CPO selain CPO dan CPKO, c adalah konstanta, HCPO adalah
harga CPO referensi di pasar internasional (Rotterdam), TCPO adalah tarif bea keluar ekspor CPO,
TCPKO adalah tarif bea keluar ekspor CPKO, TLain adalah tarif bea keluar ekspor turunan CPO
selain CPO dan CPKO, kurs adalah nilai rupiah terhadap dollar Amerika, dan e adalah error.
Model target ekspor CPO dan turunannya di atas menggunakan data ekspor triwulanan mulai
tahun 2000 triwulan 1 sampai dengan tahun 2009 triwulan 3. Model ekspor CPO dikembangkan
hanya tiga model dengan pertimbangan bahwa data ekspor CPO dan turunannya dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok tersebut.
Dalam menghitung perkiraan harga CPO referensi, digunakan teknik forecasting melalui
metode ARIMA. Dengan diketahuinya perkiraan harga CPO referensi maka dapat ditetapkan target
besaran tarif bea keluar yang berlaku sesuai dengan PMK Nomor 67/PMK.011/2010. Misalnya, jika
harga CPO referensi sebesar $875 maka tarif yang berlaku untuk ekspor CPO adalah 6 persen.
Sama halnya dengan perhitungan harga CPO referensi, perhitungan perkiraan HPE juga
dilakukan melalui metode ARMA atau model ARMA yang menggabungkan variabel harga CPO
referensi sebagai variabel bebas. Data yang digunakan adalah data bulanan dari tahun 2008 sampai
dengan bulan Mei tahun 2010.
Perkiraan besaran tarif dan HPE yang semula dihitung secara bulanan untuk selanjutnya akan
dijadikan perkiraan dalam periode triwulanan melalui pendekatan tarif dan HPE rata-rata. Setelah
memperoleh target volume ekspor CPO, tarif, HPE, dan kurs triwulanan maka target bea keluar CPO
triwulanan dapat dihitung dengan menggunakan rumus matematis sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Target bea keluar CPO tahunan merupakan penjumlahan dari target bea keluar CPO
triwulan I, II, III, dan IV.
Dari perhitungan dengan menggunakan persamaan 2, 3, dan 4 diketahui bahwa volume
ekspor atas CPO, CPKO dan turunan CPO lainnya sangat dipengaruhi oleh harga CPO di pasar
internasional secara positif. Hal ini berarti bahwa kenaikan harga CPO di pasar Rotterdam akan
meningkatkan jumlah volume ekspor dari dalam negeri. Namun di sisi lain, kenaikan tarif bea keluar
akan menyebabkan volume ekspor menurun.
Sementara itu, variabel nilai tukar rupiah hanya mempunyai pengaruh pada volume ekspor
CPKO dan turunan CPO lainnya. Kenaikan denominasi rupiah (depresiasi rupiah) membawa
pengaruh positif bagi peningkatan volume ekspor CPKO dan turunan CPO lainnya. Sedangkan untuk

volume ekspor CPO, hasil perhitungan dari persamaan 2 menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah tidak
mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkembangan volume ekspor CPO. Argumen yang bisa
dipakai untuk menjelaskan masalah ini adalah karena volume dan nilai ekspor CPO tiap bulan ratarata paling besar dibanding ekspor turunan CPO lainnya, maka para eksportir CPO lebih berorientasi
pada profit yang berasal dari selisih harga dan tarif, bukan dari selisih nilai tukar. Oleh karena itu, dari
data realisasi yang diolah dalam model persamaan 2 menunjukkan hasil bahwa nilai tukar tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap volume ekspor CPO. Sedangkan untuk ekspor CPKO dan
CPO lainnya, nilai dan volume ekspornya tidak sebesar ekspor CPO sehingga selain mengharapkan
profit dari selisih harga dan tarif, ekportir juga berharap profit dari selisih kurs. Hal ini diketahui dari
hasil perhitungan persamaan 3 dan 4 yang menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah mempunyai
pengaruh signifikan terhadap volume ekspor meskipun pengaruhnya tidak terlalu besar.
Hasil model proyeksi bea masuk dan model proyeksi bea keluar CPO yang dibangun selama
tahun 2010 di atas, telah mampu menghasilkan angka proyeksi yang mendekati aktual untuk tahun
2010 sehingga dapat digunakan untuk menghitung angka proyeksi bea masuk dan bea keluar CPO
tahun berikutnya. Selain itu, kedua model tersebut mampu menjelaskan secara ekonomi tentang
perkembangan penerimaan bea masuk dan bea keluar CPO selama tahun 2010.
Namun demikian, kedua model tersebut masih memiliki kelemahan. Untuk model bea masuk,
angka proyeksi merupakan total bea masuk dari semua negara, sehingga tidak mampu menjelaskan
perkembangan bea masuk dari masing-masing kelompok negara yang memiliki perjanjian
perdagangan bebas, seperti IJEPA dan ACFTA. Masing-masing perjanjian perdagangan tersebut
memiliki tarif yang berbeda-beda. Untuk model bea keluar, proyeksi harga CPO internasional
dilakukan dengan metode ARIMA yang belum mempertimbangkan adanya pengaruh variabel lain
selain harga CPO. Pada triwulan IV tahun 2010, harga CPO internasional meningkat cepat melebihi
angka proyeksi. Kenaikan harga yang tinggi tersebut

dipengaruhi oleh faktor lain yang belum

dimasukkan dalam model. Untuk menghasilkan angka proyeksi yang lebih detail dan mampu
menjelaskan pengaruh variabel lain yang belum dimasukkan dalam model, maka model proyeksi bea
masuk dan bea keluar CPO perlu dilakukan penyempurnaan di tahun 2011.

You might also like