Professional Documents
Culture Documents
Tabel 1.
Tampilan Tabel Perkembangan Realisasi Penerimaan Perpajakan
2010
2009
Jenis Pajak
% thd
APBN-P
% thd
Realisasi
385,799.1
73.0
213,031.2
73.2
193,067.5
146,757.4
APBN-P
Realisasi
Realisasi
Oktober
A. Penerimaan DJP
528,353.3
494,489.6
PPh (Nonmigas)
291,175.8
267,571.3
203,084.0
APBN-P
Realisasi
Oktober
% thd
APBN-P
78.0
606,116.2
426,198.9
70.3
586,621.7
96.8
79.6
306,836.6
235,591.5
76.8
311,679.0
101.6
4,842.4
72.3
76.0
262,963.0
160,799.1
61.1
234,856.3
89.3
(28,106.6)
3,604.7
Perk.Realisasi
Akhir Tahun
% thd
APBN-P
Selisih
thd APBN-P
(19,494.5)
23,863.6
24,270.2
18,950.3
79.4
78.1
25,319.1
22,059.7
87.1
28,923.9
114.2
BPHTB
6,980.0
6,464.5
4,532.2
64.9
70.1
7,155.5
5,098.8
71.3
7,761.4
108.5
605.8
Pajak Lainnya
3,250.0
3,116.0
2,528.0
77.8
81.1
3,841.9
2,649.9
69.0
3,401.1
88.5
(440.8)
PBB
74,568.1
75,388.9
61,748.6
82.8
81.9
81,827.2
71,408.2
87.3
90,934.4
111.1
9,107.2
Cukai
54,545.0
56,718.5
46,523.7
85.3
82.0
59,265.9
52,336.0
88.3
66,667.2
112.5
7,401.4
Bea Masuk
18,623.5
18,105.5
14,675.0
78.8
81.1
17,106.8
15,283.9
89.3
19,290.2
112.8
2,183.4
Bea Keluar
1,399.6
565.0
550.0
39.3
97.3
5,454.6
3,788.3
69.5
4,977.0
91.2
(477.6)
49,033.4
50,043.7
42,021.0
85.7
84.0
55,382.4
42,190.2
76.2
52,443.4
94.7
(2,939.0)
651,954.8
619,922.2
489,568.8
75.1
79.0
743,325.9
539,797.3
72.6
729,999.5
98.2
(13,326.3)
B. Penerimaan DJBC
C. PPh Migas
Total Penerimaan Perpajakan
Upaya penyempurnaan juga dilakukan melalui revisi besaran elastisitas pada Model Target
Penerimaan Perpajakan Tahunan. Dengan terjadinya perubahan series data realisasi tahun 2009, maka
besaran elastisitas bagi masing-masing jenis pajak akan mengalami perubahan, dan secara langsung
akan berpengaruh pada perhitungan besaran target penerimaan perpajakan. Perbandingan elastisitas
lama (data 1969-2008) dan elastisitas baru (data 1969-2009) adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Perbandingan Elastisitas Lama dengan Elastisitas Baru
Ealstisitas Baru
Elastisitas Lama
Tax Base
Tax Base
growth inf
Konsumsi Dalam Negeri
Konsumsi Rumah Tangga
Impor Kena Bea Masuk
Pendapatan Nasional
PDB Sektor Bangunan (Kumulatif)
PDB Sektor Bangunan (Flow)
PDB Sektor Perbankan
PDB Sektor Perkebunan
PDB Sektor Perhutanan
Nilai Produk Migas
1.04
1.99
1.18
2.91
0.00
0.94
2.40
3.61
0.50
0.00
1.24
(0.22)
(0.09)
(0.25)
0.00
1.88
1.47
2.99
1.46
0.00
growth inf
kurs
0.08
0.16
0.48
0.07
0.00
0.29
(0.23)
(0.22)
(0.17)
0.00
0.92
1.20
0.07
1.63
0.00
5.82
1.52
5.66
4.67
19.07
1.18
1.30
(0.16)
0.86
0.00
1.45
0.51
0.47
(0.56)
0.27
kurs
0.06
0.09
0.25
0.24
0.00
0.33
0.33
0.31
0.15
0.99
Beberapa perubahan terjadi dalam perhitungan elastisitas baru. Pertama, nilai koefisien dari
beberapa variabel ekonomi makro mengalami penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa perubahan
besaran pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kurs mempunyai pengaruh lebih kecil terhadap perubahan
tax base antara lain konsumsi dalam negeri, impor kena bea masuk (dutiable impor), dan pendapatan
nasional. Kedua, tanda dari koefisien inflasi mengalami perubahan dari negatif menjadi positif pada
konsumsi rumah tangga dan pendapatan nasional, hal ini berarti peningkatan inflasi akan
meningkatkan pengeluaran konsumsi rumah tangga, yang berujung pada meningkatnya penerimaan
PPN, dan meningkatkan pendapatan nasional, yang berujung pada meningkatnya PPh nonmigas.
Ketiga, nilai koefisien dari variabel ekonomi makro mengalami peningkatan secara signifikan,
khususnya untuk PDB sektor bangunan, perkebunan dan perhutanan. Hal ini berarti bahwa
penerimaan PBB dari ketiga sektor tersebut sangat sensitif terhadap perkembangan pertumbuhan
ekonomi.
Selanjutnya, upaya pengembangan model perpajakan dilakukan melalui pembaharuan model
perhitungan target bea masuk dan bea keluar. Secara umum, target penerimaan bea masuk dihitung
berdasarkan formula:
Besarnya target penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh besarnya tarif bea masuk, dutiable import,
dan kurs. Kebijakan yang diambil pemerintah dapat berpengaruh terhadap besarnya tarif dan dutiable
import. Besarnya dutiable import akan ditarget berdasarkan realisasi persentase dutiable import tahuntahun sebelumnya.
Dalam model perhitungan target penerimaan bea masuk sebelumnya, variabel yang dipakai
sebagai tax base adalah total nilai impor dan selanjutnya dikalikan dengan persentase besaran dutiable
import yang besaran angkanya diperoleh dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dari hasil
perhitungan tersebut diperoleh nilai nominal dutiable import yang selanjutnya akan dikalikan dengan
tarif bea masuk rata-rata sehingga menghasilkan angka target penerimaan bea masuk. Untuk besaran
tarif menggunakan data yang berasal dari masukan DJBC. Kekurangan dari model ini adalah kesulitan
dalam menentukan besaran persentase dutiable import yang lebih akurat dan besaran tarif, dan sangat
ketergantungan kepada pihak lain.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, dibangun suatu model perhitungan target penerimaan
bea masuk yang langsung menggunakan variabel nilai dutiable import sebagai tax base. Dalam hal
ini, perhitungan dutiable import dilakukan dengan menggunakan metode forecasting secara
ekonometrik dimana variabel dutiable import berperan sebagai variabel dependen, sedangkan variabel
independennya adalah PDB, tarif bea masuk, dan nilai tukar rupiah terhadap US$. Dari persamaan
tersebut dapat dijelaskan bahwa nilai dutiable import sangat dipengaruhi oleh: 1) perkembangan
ekonomi yang dalam hal ini diwakili oleh variabel PDB; 2) perkembangan tingkat tarif bea masuk
yang berlaku; dan 3) perkembangan nilai tukar rupiah. Dari ketiga variabel tersebut, hanya variabel
PDB yang mempunyai pengaruh positif terhadap dutiable import. Secara singkat, persamaan
ekonometrik yang digunakan dalam menghitung nilai dutiable import adalah sebagai berikut:
DLDM
DLPDB
DTDM
DLKURS
..................................(persamaan 1)
Keterangan:
DLDM adalah delta log dutiable import, c adalah konstanta, DLPDB adalah delta log PDB riil,
DTDM adalah delta tarif dutiable import, DLKURS adalah delta log kurs, dan e adalah error.
Selain melakukan forecasting nilai dutiable import, model perhitungan target penerimaan bea
masuk yang baru juga melakukan forecasting terhadap besaran tarif bea masuk dengan menggunakan
metode ARMA. Dari hasil forecasting tersebut bisa dihitung besaran tarif bea masuk untuk periode
mendatang. Dari hasil forecasting terhadap nilai dutiable import dan tarif bea masuk, dan dengan
menggunakan asumsi nilai tukar rupiah terhadap US$ yang ditetapkan untuk tahun anggaran ke
depan, maka bisa dihitung target penerimaan bea masuk untuk tahun depan.
Untuk perhitungan target penerimaan bea keluar, secara umum formula yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Besarnya bea keluar dipengaruhi oleh besarnya volume ekspor, harga patokan ekspor (HPE), tarif bea
keluar, dan kurs. HPE merupakan harga patokan ekspor yang dikeluarkan setiap bulan oleh
kementerian perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), dan dihitung
berdasarkan rata-rata harga referensi satu bulan sebelumnya. Harga referensi merupakan rata-rata
harga CPO di pasar Rotterdam yang dijadikan acuan bagi penetapan besaran tarif bea keluar sesuai
dengan PMK no 67/PMK.011/2010.
Model perhitungan target penerimaan bea keluar terbaru menghitung target penerimaan bea
keluar dari hasil forecasting volume ekspor CPO dan turunannya, harga referensi CPO di pasar
Rotterdam dan harga patokan ekspor (HPE) dari CPO, dan kemudian dikalikan dengan besaran tarif
bea keluar sesuai dengan PMK no 67/PMK.011/2010. Dalam melakukan forecasting volume ekspor
CPO dan turunannya, persamaan model ekonometrik yang digunakan adalah sebagai berikut:
Log(CPO)t = c + Log(HCPO)t +TCPOt + e...............................................(persamaan 2)
Log(CPKO)t = c + Log(HCPO)t + TCPKOt + Log(Kurs)t + e ......(persamaan 3)
volume ekspor CPO, hasil perhitungan dari persamaan 2 menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah tidak
mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkembangan volume ekspor CPO. Argumen yang bisa
dipakai untuk menjelaskan masalah ini adalah karena volume dan nilai ekspor CPO tiap bulan ratarata paling besar dibanding ekspor turunan CPO lainnya, maka para eksportir CPO lebih berorientasi
pada profit yang berasal dari selisih harga dan tarif, bukan dari selisih nilai tukar. Oleh karena itu, dari
data realisasi yang diolah dalam model persamaan 2 menunjukkan hasil bahwa nilai tukar tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap volume ekspor CPO. Sedangkan untuk ekspor CPKO dan
CPO lainnya, nilai dan volume ekspornya tidak sebesar ekspor CPO sehingga selain mengharapkan
profit dari selisih harga dan tarif, ekportir juga berharap profit dari selisih kurs. Hal ini diketahui dari
hasil perhitungan persamaan 3 dan 4 yang menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah mempunyai
pengaruh signifikan terhadap volume ekspor meskipun pengaruhnya tidak terlalu besar.
Hasil model proyeksi bea masuk dan model proyeksi bea keluar CPO yang dibangun selama
tahun 2010 di atas, telah mampu menghasilkan angka proyeksi yang mendekati aktual untuk tahun
2010 sehingga dapat digunakan untuk menghitung angka proyeksi bea masuk dan bea keluar CPO
tahun berikutnya. Selain itu, kedua model tersebut mampu menjelaskan secara ekonomi tentang
perkembangan penerimaan bea masuk dan bea keluar CPO selama tahun 2010.
Namun demikian, kedua model tersebut masih memiliki kelemahan. Untuk model bea masuk,
angka proyeksi merupakan total bea masuk dari semua negara, sehingga tidak mampu menjelaskan
perkembangan bea masuk dari masing-masing kelompok negara yang memiliki perjanjian
perdagangan bebas, seperti IJEPA dan ACFTA. Masing-masing perjanjian perdagangan tersebut
memiliki tarif yang berbeda-beda. Untuk model bea keluar, proyeksi harga CPO internasional
dilakukan dengan metode ARIMA yang belum mempertimbangkan adanya pengaruh variabel lain
selain harga CPO. Pada triwulan IV tahun 2010, harga CPO internasional meningkat cepat melebihi
angka proyeksi. Kenaikan harga yang tinggi tersebut
dimasukkan dalam model. Untuk menghasilkan angka proyeksi yang lebih detail dan mampu
menjelaskan pengaruh variabel lain yang belum dimasukkan dalam model, maka model proyeksi bea
masuk dan bea keluar CPO perlu dilakukan penyempurnaan di tahun 2011.