Professional Documents
Culture Documents
Philosophical background
Etik dan Etika
Dalam bahasa Indonesia, kita membedakan antara Etik dan Etika.
Etik = kumpulan asas atau nilai yg berkenaan dengan akhlak
Etika = ilmu tt apa yg baik dan apa yg buruk dan tt hak dan kewajiban moral
(akhlak)
Sebagai bagian dari etika, bioetika juga merupa-kan ilmu tentang apa yang baik dan
yang buruk.
Dengan kata lain: Tujuan dari etika adalah memberikan dasar rational dari suatu perbuatan
yang baik dan yang buruk
Tujuan dari Etika
Sebagai seorang dokter, suatu tindakan kedokteran juga bisa menjadi perbuatan yang
baik ataupun buruk.
Bioetika akan membantu para dokter memberikan penalaran suatu tindakan:
Mana yang baik dan yang mana yang buruk/benar
Mengapa suatu tindakan itu baik dan mengapa buruk/salah
Jadi: Tujuan utama bioetika bagi para dokter bukan untukmenjadikan dokter yang baik,
tetapi memberikan dasar-dasar rational dari tindakan medisnya.
Keputusan terakhir dari suatu tindakan medis, tentu saja bukan hanya berdasarkan
pertimbangan medis, tetapi pertimbangan holistik yang emyangkut seluruh manusia.
Ada beberapa kasus medis yang perlu petimbanganlain selain etis, misalnya amputasi,
end of life, prolonged treatment dsb.
Kita akan melihat beberapa prinsip sebagai contoh:
Prinsip Totalitas dan Integritas
Prinsip Double effect
Prinsip Totalitas & Integritas
Semua agama menajarkan bahwa hidup manusia ini adalah anugerah dari Allah dan bukan milik
100% dari manusia.
Page 1
Karena bukan pemilik absolut dari hidupnya, maka pada umumnya kita tidak boleh mengambil
hidup sendiri (bunuh diri) ataupun mengambil hidup orang lain (membunuh).
Oleh karena itu, tugas manusia adalah untuk menjaga dan memeliharanya
Hanya oleh karena alasan tertentu, kita boleh melakukan perubahan, memodifikasi, memotong,
menyambung dsb.
Untuk keperluan ini, maka prinsip Totalitas dan Integritas akan menolong kita.
Manusia itu terdiri dari pelbagai anggota tubuh (bagian-bagian). Kesluruhan anggota tubuh
bersama-sama akan membentuk keseluruhan badan manusia.
Ketika semua nggta badan itu sehat, maka seluruh badan bisa berfungsi secara optimal.
Bagaimana kalau suatu ketika, salah satu anggota tidak sehat dan malah mengancam seluruh
badan manusia?
Dalam kasus ini, maka semua orang sepakat untuk menghilangkan bagian yang mengancam
keseluruhan itu (amputasi). Mengapa boleh:
1. Antara bagian dan keseluruhan, yang dipentingkan adalah keseluruhan, sebab hanya dalam
keseluruhan itulah ada hidup. Dkl Bagian-bagian itu dari dirinya sendiri tidak bisa hidup.
2. Oleh karena itu, jika ada pertentangan antara keduanya, maka yang bagian boleh dikurbankan
demi kebaikan keseluruhan.
Prinsip ini totalitas dan integritas ini juga biasa dikenal dengan istilan pars pro toto yakni adanya bagianbagian itu ada untuk keseluruhan sehingga dengan syarat-syarat tertentu dapat dibenarkan untuk
mengurbankan bagian tubuh (anggota badan) demi kebaikan dan keutuhan seluruh manusia.
Hal ini berkenaan dengan eksistensi manusia sebagai makluk yang untuh dan integral (menyatu).
Keutuhan dan integritas manusia ini sangat penting artinya sebab ketiadaan integritas manusia secara
biologis akan menjadikan ketiadaan manusia. Keutuhan dan integritas manusia itu secara biologis diatur
oleh otak manusia.
Supaya penerapannya dalam bidang amputasi bisa benar secara moral maka diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut.
1. Membiarkan organ tubuh itu dan tidak memo-tongnya akan menyebabkan kerusakan yang
serius atau menyebabkan kematian orang itu.
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 2
2. Apabila ada harapan yang masuk akal bahwa hanya dengan amputasi organ tubuh itulah maka
kerusakan serius (kematian) itu bisa dihindarkan.
Apabila pemotongan organ itu atau menjadikan organ itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya akan
mengurangi resiko bagi orang itu, baik secara substansial ataupun menghilangkannya secara total
Prinsip Double Effects
Secara singkat prinsip double effect bisa diringkaskan sebagai berikut: Apakah seseorang
diperbolehkan melakukan perbuatan yang dimaksudkan untuk mencapai kebaikan jika sudah
sejak semula bisa dipastikan bahwa akan terjadi efek yang tidak baik?
Jadi, dalam hal ini sebuah tindakan mempunyai effek ganda: yang satu baik dan yang lainnya
tidak baik.
Untuk bisa menerapkan dengan tepat perlu prasyarat yang harus diterapkan bersama-sama:
1. Perbuatan (aksi) itu dari dirinya sendiri harus bersifat baik atau sekurang-kurangnya indifferent.
Dengan kata lain perbuatan yang intrinsik jahat tidak bisa dipakai.
2. Yang menjadi intensinya adalah efek baik itu sendiri dan bukan effek jahatnya.
3. Efek yang baik itu bukan dihasilkan dari cara yang jahat atau yang berefek jahat.
4. Harus ada alasan yang kuat (berat) secara proporsional untuk menghalalkan efek yang jahat itu.
Dengan kata lain: Efek jahat itu terpaksa harus terjadi.
Kapan suatu perbuatan disebut baik:
1. Tujuannya baik
2. Caranya baik
3. Keadaan/lingkuannya tepat
Ada beberapa perbuatan yang intrinsic jahat: lepas dari motivasi, cara dan keadaan, perbuatan
itu selalu jahat, misalnya memperkosa, merendahkan martabat orang dsb.
Intensinya sendiri haruslah intensi pada effek yang baik. Yang menjadi intensi yang dituju dari
perbuatan itu adalah intensi yang baik dan bukan yang jahat. Yang jahat terjadi tanpa
dimaksudkan sama sekali dan samasekali tidak bisa dihindari untuk mendapatkan efek baik yang
dimaksudkan. Kalau bisa mendapatkan hasil yang dimaksudkan tanpa ada effek jahatnya maka
dia harus memakai cara itu.
Page 3
Effek. Effek yang dimaksud di sini ialah effek moral dan/atau fisik secara langsung. Effek yang
baik ini haruslah hasil langsung/segera (bukan dalam arti kronologis tetapi kausali-tas) dari
perbuatan itu & bukan berasal dari effek yang jahat itu.
Alasan proporsional. Effek yang jahat (tidak baik) itu haruslah proporsional lebih kecil dari pada
effek baik yang dimaksudkan. Dalam hal ini proporsional juga harus dilihat dengan hal-hal baik
yang diperoleh dengan perbuatan itu dan hal-hal baik yang hilang oleh karena perbuatan itu.
Dengan kata lain: meskipun effek jahat itu tidak dimaksudkan, tetapi bila effek jahatnya itu lebih
besar dari pada effek baiknya maka perbuatan itu menjadi tidak syah.
MENGIDENTIFIKASI
MASALAH ETIKA - ETIK
DR. CB. Kusmaryanto, SCJ
Etika dan Etik
Kamus Besar bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa membedakan antara etik dan etika.
Etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia menge-nai apa yang baik dan yang buruk atau benar dan
salah
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Jadi, etika adalah cabang ilmu filsafat praktis yang member
dasar untuk berfikir secara lurus dengan premis (dasar pemikiran) yang benar sehingga bisa ditarik
kesimpulan
yang benar pula. Oleh karena premisnya bias berbeda-beda maka kesimpulan akhirnya pun bias berbedabeda.
Ppt 2
Etik adalah kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah
yang
dianut suatu golongan atau masyarakat (codes of profesional ethics). Etik merupakan kumpulan azas
(yang
sudah dikodifikasikan) yang ditarik dari pemikiran etika (etis) sehingga nilai itu bisa dipertanggung jawabkan
secara rasional. Nilai-nilai perlu dikritisi setiap waktu oleh karena perkembangan zaman yang tidak
memungkinkan nilai-nilai lama selalu bisa terus bertahan. Tetapi begitu nilai itu disetujui maka nilai itu
mengikat
bagi semua anggota sehingga kegagalan untuk bertindak sesuai dengan nilai itu akan menjadi pelanggaran
etik.
Ppt 3
Ppt 4
Page 4
Moral
Moral. Sebagai asal-usul kata, antara etika dan moral mempunyai arti yang sama, yakni menyangkut adat
kebiasaan. Yang berbeda hanya asal katanya yakni etika dari bahasa Yunani sedangkan moral dari bahasa
Latin.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya ada 2 pendapat yang berbeda. Ada kelompok ahli yang menyamakan
antara etika dan moral sehingga keduanya bisa dipertukarkan tetapi juga ada kelompok ahli yang
membedakan
antara etika dan moral.
Di dalam etika, prinsip dasar yang dipakai adalah rasio (akal budi) sedangkan dalam moral yang dipakai
sebagai
dasar adalah wahyu.
Ppt 5
Moral
Ajaran Moral = ajaran , wejangan, khotbah, kumpulan peraturan dan ketetapan tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia baik. Kebaikan di sini diukur sebagai manusia secara
keseluruhan.
Norma moral berarti: tolok ukur untuk mengukur kebaikan orang. Dia dinilai dalam kapasitasnya sebagai
manusia.
2
Theme: Bioethics
Penilaian moral selalu mengacu kepada baik-burukya manusia sebagai manusia yakni menentukan betul
salahnya sikab dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu/ profesi atau norma tertentu yang terbatas (sbg.dosen, dokter, hakim dsb).
Ppt 6
Moral
Bisa jadi seseorang adalah manusia yang baik tetapi tidak baik dalam profesi tertentu, misalnya sebagai
dosen
atau sebagai dokter. Bisa juga sebaliknya, seseorang sangat baik di dalam profesinya (etik) tetapi tidak baik
sebagai manusia (moral).
Cakupan moral lebih luas (universal) dari pada etik yang berlaku hanya pada kelompok tertentu.
Semua orang perlu (harus) bermoral supaya menjadi baik tetapi tidak semua orang bisa beretika (berfikir
secara
sistematik untuk mengetahui yang baik dan buruk atau benar dan salah).
Ppt 7
Hukum
Hukum. Walaupun sama-sama diresmikan dan disetujui, tetapi ada perbedaan mendasar antara etik dan
hukum. Pada dasarnya hukum adalah seperangkat kesepakatan bersama (persetujuan) yang
pelanggarannya
akan mendapatkan sangsi hukum (denda, penjara).
Definisi hukum bisa bermacam-macam, misalnya himpunan peraturan yang dibuat oleh yang
berwenang
dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri
memerintah dan melarang
serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang
melanggarnya.
Ppt 8
Hukum
Orang lain mendefinisikan hukum sebagai: Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat
yang
Page 5
secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga
atau
institusi hukum.
Perbedaan pokok antara etik dan hukum adalah kekuatan memaksanya dan instansi yang membuatnya.
Ppt 9
Hukum
Secara filosofis, norma hukum harus dikritisi dan dinilai berdasarkan prinsip-prinsip etis supaya hukum
menjadi
hukum yang adil.
Bisa terjadi bahwa norma etika kemudian menjadi norma hukum ketika diundangkan oleh yang
berwewenang
sehingga pelanggarannya bukan hanya pelanggaran etik melainkan pelanggaran hukum (misalnya informed
consent. Pada awalnya ini adalah norma etik tetapi sekarang di Indonesia dengan adanya UU praktek
kedokteran dan UU Kesehatan, menjadi norma hukum).
Ppt 10
Etiket/sopan santun. Norma yang menyangkut sikab lahiriah manusia. Walaupun sikab lahirian
seharusnya
mencerminkan sikab hati tetapi tidak semua pelanggaran norma sopan santun menjadikan dia buruk secara
moral. Norma-norma ini biasanya berasal dari kebudayaan setempat. Etiket juga berbicra mengenai tingkah
laku
manusia tetapi tidak langsung berhubungan dengan etik ataupun etika. Pelanggaran etiket tidak seberat
seperti
pelanggaran etik.
Ppt 11
Profesionalism (SOP)
SOP - Profesionalism. SOP adalah sebuah set (kumpulan) instruksi yang mempunyai kekuatan direktif
yang
mengkover langkah-langkah (features of operations) yang mengarahkan pada suatu prosedure yang
terstandard
atau definitif agar tercapai efektifitas dan keamanan. SOP bisa menjadi katalisator yang efektif untuk
memacu
peningkatan performance (penyelenggaraan) dan mutu hasilnya. SOP disusun berdasarkan pelbagai
macam
pertimbangan yang salah satunya adalah disiplin ilmu yang bersangkutan (cq. Ilmu kedokteran dsb.). Bisa
dimengerti bahwa SOP bisa ada (sedikit) perbedaan antara satu tempat dengan yang lainnya karena
menyangkut keadaan kongkrit.
Ppt 12
Theme: Bioethics
Etik dan Etika
Yang kita bicarakan pada kesempatan ini menyangkut dua-duanya (Etik dan Etika) dan harus dibedakan
dengan
yang sejenis tetapi bukan etik (etika) seperti di atas. Prinsip etika kedokteran dewasa ini yang banyak dianut
berdasarkan prinsip (norma) respect for autonomy, nonmaleficence, beneficence dan justice yang
dikembangkan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress. Mana yang masalah moral dan mana
yang
bukan masalahmoral, tergantung apakah suatu perbuatan itu menyangkut benar salahnya atau baikburuknya
suatu perbuatan.
Page 6
Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomnedical Ethics (6th ed.), Oxford
University Press,
Oxford, 2008. (Irst ed. tahun 1979).
Ppt 13
BEBERAPA
PERSOALAN DILEMATIS
Ppt 14
Dilema Etis
Dilema etis. Dilema etis timbul ketika dua atau lebih prinsip-prinsip etis saling bertabrakan (saling
bertentangan) satu sama lain sehingga tidak bisa bertindak dengan hasil yang memuaskan. Tindakan
apapun
yang dibuat tetap menimbulkan masalah etis yang berat. Terjadi pertentangan antara 2 atau lebih prinsip
yang
sama-sama membawa kebaikan.
Misalnya seorang dokter yang tinggal di desa. Dia satu-satunya dokter di wilayah itu. Anak dan istrinya
sedang
sakit dan membutuhkan kehadirannya. Pada saat yang sama ada panggilan urgen dari desa yang cukup
jauh,
yang juga menjadi tanggung jawabnya, karena ada pasien yang kritis yang memerlukan bantuan dokter
tersebut.
Ppt 15
Ketidakpastian Etis
Ketidakpastian etis. Hal ini terjadi ketika dilema moral terjadi oleh karena ketidak pastian tentang
macam
tindakan yang harus dibuat seseorang untuk mencapai tujuan yang paling baik. Hal ini bisa disebabkan oleh
karena hasil tidak diketahui di masa mendatang atau bisa juga oleh karena fakta-fakta yang bisa
mempengaruhi
hasilnya tidak ada.
Ppt 16
Self Imposed ethical dilemmas. Suatu dilema yang diakibatkan oleh nilai yang dipegangnya sendiri.
Dari nilainilai
itu ternyata tidak bisa berjalan bersama. Dari contoh di atas, dilema itu terjadi oleh karena prinsip etis yang
dipegang sendiri bahwa dia harus dirumah untuk mengurusi anak-istrinya yang sakit. Kalau prinsip itu bisa
diubah, misalnya untuk sementara waktu bisa ditunggui oleh tetangganya, maka dilema itu tidak ada. Orang
lain
dalam situasi yang sama mungkin tidak masuk dalam dilemanya.
Ppt 17
World Imposed ethical Dilemmas: Dilema etis ini terjadi ketika dia harus memilih salah satu
anggota keluarga
mana yang harus mati. Dilema ini terjadi bukan oleh dirinya sendiri tetapi oleh karena faktor di luar dirinya
yang
memaksanya dan dia tidak bisa tidak harus mengambil keputusan. Misalnya bayi kembar siam yang hanya
mempunyai satu jantung dan harus dipisahkan karena jantungnya tidak akan kuat untuk mensupply darah
kepada keduanya. Mana yang harus mati?
Ppt 18
Terima kasih
Ppt
Page 7
Critical Thinking
on the 4 Basic Ethical principles
Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ
Introduction
Dalam beberapa dekade terakhir ini Medical Ethics yang banyak dianut adalah 4 prinsip, yakni
Respect for autonomy,
Nonmaleficence,
Beneficence dan
Justice
Dikembangkan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress dalam bukunya yang sangat terkenal Principles
of Biomedical Ethics yang pertama kali diterbitkan tahun 1979 dan sudah mengalami revisi dan cetak ulang
beberapa kali.
Ppt 2
Introduction
Dari ini kemudian lahir beberapa varian mengenai pedoman etik dalam medical ethics, misalnya Belmont Report
menge-nai riset yang memakai subjek manusia. Dalam Belmont Report disebutkan bahwa prinsip etis dasarnya
ialah Respect for Person (autonomy), Beneficence dan Justice.
CIOMS 2008 mengenai International Ethical Guidelines for Epidemiological Studies yang merupakan hasil
kerja bareng antara Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) dengan World Health
Organization (WHO). Di dalamnya juga disebutkan prinsip etika utamanya ialah Respect for Person (autonomy),
Beneficence dan Justice,
Ppt 3
Kata autonomy berasal dari kata bahasa Yunani autos yang berarti diri sendiri dan nomos yang berarti
memerintah. Di alam Yunani kuno, kata autonomi dipakai untuk menunjukkan bahwa kota-kota (polis)
memerintah sendiri.
Penggunaannya lalu diperluas bagi masing-masing manusia dan berarti memerintah diri sendiri dalam arti bisa
menentukan diri sendiri.
Manusia pada dasarnya adalah makluk yang otonom karena dia harus bisa menentukan sendiri apa yang baik
sehingga akan dilakukan sendiri.
Otonomi diri berarti bahwa dia bebas dari campur tangan asing sehingga bisa menentukan sendiri pilihanpilihannya
yang sesuai dengan tata nilai yang dia anut.
Ppt 4
Tentu saja untuk bisa mengambil keputusan sendiri diperlukan beberapa syarat: kompetensi, kebebasan,
pengetahuan dan kehendak.
10
Theme: Bioethics
Prinsip respect for autonomi berarti bahwa masing-masing manusia harus punya kebebasan untuk menentukan
sendiri apa yang akan dibuat dan dihormati apa keputusannya.
Penghormatan ini bersumber pada kodrat manusia bahwa masing-masing manusia mempunyai nilai intrinsik
dan uncon-ditional sehingga dengan alasan apapun juga manusia tidak bisa dipandang hanya sebagai alat
tetapi harus menjadi subjek.
Dengan kata lain, manusia tidak boleh berbuat instrumentalisasi manusia lainnya karena ketika manusia hanya
dipandang sebagai alat untuk mencapai sesuatu, maka kita menurunkan harkat dan martabatnya.
Dalam dunia kedokteran, respect for autonomy ini diwujudnyatakan dalam informed consent.
Ppt 5
Page 8
Tujuan akhir dari informed consent ialah supaya pasien sendiri yang mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
Untuk bisa mengambil keputusan yang baik dan benar diperlukan pengetahuan atau informasi. Yang
mempunyai informasi adalah para pelayan kesehatan. Oleh karena itu, para pelayan kesehatan berkewajiban
untuk memberikan informasi secara baik, benar dan utuh kepada pasien.
Lalu pasienlah yang mengambil keputusan. Pelayan kesehatan hanya boleh bertindak sejauh diberi otoriasi oleh
si pasien.
Ppt 6
Critical thinking
Untuk Indonesia, menjalankan Informed secara baik dan benar seperti di atas masih mengalami kendala konkrit,
misalnya :
Kurangnya pendidikan formal bagi warganegara. Untuk bisa menangkap apa yang diterangkan oleh
pelayan kesehatan diperlukan level minum pendidikan formal atau training.
Pandangan hidup timur yang lebih komunal daripada individual. Ini menyebabkan bahwa pengambilan
keputusan tidak selalu mudah, karena terbuka konflik bagi anggota keluarga yang dipandang mempunyai
hak untuk itu.
Pandangan hidup timur yang tidak individualis menjadikan pengam-bilan keputusan pribadi sering
dipandang sebagai bentuk kesombongan.
Ppt 7
Mengingat kendala konkrit tersebut, maka perlu diperhatikan kelompok tertentu dalam masyarakat yang tidak
cukup hanya tanda tangan informed consent tetapi harus diperhatikan vulnerabilitynya sehingga perlu special
protection.
Ppt 8
Prinsip Vulnerability
Kesulitan-kesulitan tersebut menjadi catatan untuk menilai bahwa informed consent sendiri seringkali tidak
cukup ada aspek lain yang harus diperhatikan, misalnya aspek vulnerability dari pasien. Prinsip vulnerability
ini akhir-akhir ini semakin menjadi perhatian pelbagai pihak.
Ppt 9
Prinsip Vulnerability
Kata vulnerability berasal dari kata bahasa Latin vulnerbilis, dengan kata kerjanya vulnerre yang berarti
melukai. Kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris menjadi kata vulnerable (adjective) yang berarti lemah,
rentan, mudah diserang, mudah kena serangan/ancaman yakni keadaan rentan terhadap suatu bahaya
11
Theme: Bioethics
yang oleh karena keadaannya, dari dirinya sendiri dia tidak mampu untuk mengalahkannya atau
melawannya atau mengatasinya.
Ppt 10
Tidak mudah untuk membuat definisi atau kriteria vulnerability yang bisa menyangkut banyak aspek seperti
biologi, kesehatan, sosial, ekonomi, psikologis, karakter kultur dsb. Walaupun tidak mudah membuat definisi
tetapi seringkali mudah dirasakan bahwa dalam diri orang ini atau kelompok ini adalah yang vulnerable. Orangorang
yang masuk dalam ketegori ini misalnya orang cacat, orang sakit, orang yang sudah tua, wanita
mengandung dan janinnya, anak-anak di bawah umur, orang miskin, tahanan, kelompok minoritas dan
sebagainya.
Peter Kemp, Four Ethical Principles in Biolaw, Rhodos Internasional Science and Art Publishers,
Copenhagen,
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 9
2000, hlm. 13 - 22
Ppt 11
Prinsip vulnerability ini dikembangkan terutama untuk melindungi mereka yang tidak terjangkau oleh prinsip
otonomi.
Pada dasarnya, semua orang harus menghormati keputusan yang dibuat oleh seorang individu untuk dirinya
sendiri, juga seandainya keputusan itu dipandang orang lain sebagai keputusan yang salah.
Masing-masing orang berhak untuk menjadi dirinya sendiri dan juga menjadi tuan atas dirinya sendiri sehingga
masing-masing orang itu otonom.
Akan tetapi prinsip otonomi ini mengandaikan yg bersang-kutan mempunyai prasarana (pengetahuan dan
kebebasan) sehingga bisa mengambil keputusan yang baik dan benar.
Ppt 12
Salah satu perwujudan dari otonomi ini ialah pemberian informed consent apabila orang lain mau membuat
sesuatu terhadap dirinya. Bagaimana bagi mereka yang tidak mempunyai rasarana itu?
Tentu saja informed consent formal yang berupa tanda persetujuan saja tidak cukup, perlu perlindungan khusus
mengenai kepentingan dasarnya sehingga tidak disalah gunakan.
Ppt 13
Secara singkat prinsip ini bisa dikatakan bahwa orang yang kuat wajib melindungi orang yang lemah dan tidak
boleh mempergunakan vulnerability itu untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau memperdayakan orangorang
yang lemah. Hanya dengan demikianlah bisa tercipta tatanan masyarakat yang damai dan aman di mana
orang yang kecil dan lemah tidak terancam oleh orang yang kuat dan dengan demikian terhindar dari homo
momini lupus (manusia menjadi serigala bagi yang lainnya) dimana terjadi penindasan orang yang lemah dari
orang yang kuat.
Ppt 14
Prinsip ini harus dipegang baik-baik oleh para pelayan kesehatan sebab hubungan antara dokter dengan pasien
adalah hubungan yang tidak seimbang: hubungan antara orang yang kuat dan lemah.
Di satu pihak dokter punya pengetahuan, kemampuan dan sarana sedangkan di lain pihak pasien berada dalam
kondisi lemah karena sakit dan kebanyakan tidak mempunyai pengetahuan, kemampuan dan sarana
penyembuhan. Dalam hubungan yang seperti ini rawan terhadap abuse of power.
Ppt 15
12
Theme: Bioethics
1. Respect for Autonomy
Vulnerability ini seharusnya menjadi sumber tanggung jawab kita karena keadaan itu seringkali bukan karena
kesalahan si subjek tetapi bisa datang dari luar dirinya sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Lagi pula, yang
vulnerable bukan hanya seorang subyek tetapi bisa juga sekelompok manusia. Bagi mereka pun kita harus
menunjukkan tanggung jawab.
Mereka yang vulnerable harus mendapatkan perlindungan yang khusus dan tidak bisa disamakan dengan
mereka yang tidak vulnerable. Justru karena kerentanan dan ketidak mampuannya untuk
mengatasi/menyelesaikan ancamannya maka perlindungan khusus itu harus diterapkan.
Robert E. Goodin, Protecting the Vulnerable: A Reanalysis of Our Social Responsibilities, University Chicago
Press,
Chicago, 1985
Ppt 16
Badan PBB juga memberikan perhatian yang istimewa kepada kelompok vulnerable ini, misalnya tahun 2005,
UNESCO mengeluarkan dokumen yang berjudul Universal Declaration on Bioethics and Human Rights,
Article 8: Respect for human vulnerability and personal integrity mengatakan, In applying and advancing
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 10
scientific knowledge, medical practice and associated technologies, human vulnerability should
be taken into
account. Individuals and groups of special vulnerability should be protected and the personal
integrity of such
individuals respected.
Ppt 17
2. Nonmaleficence
Kata ini berasal dari dua kata: male (jahat) + fic (berbuat). Jadi prinsip nonmaelficence berarti adanya kewajiban
berat untuk tidak mencelakai (melukai) atau berbuat jahat secara sengaja.
Hal ini sangat dekat dengan semboyan etika medis yang sudah ada sejak dulu yakni primum non nocere
(above all, do no harm). Prinsip ini berasal dari sumpah Hippokrates, I will use treatment to help the sick
according to my ability and judgement, but I will never use it to injure or wrong them.
Ppt 18
2. Nonmaleficence
Prinsip ini sering disamakan dengan prinsip yang berikut yakni prinsip Beneficence.
Ada perbedaan yang jelas antara keduanya. Kewajiban untuk do no harm (nonmaleficence) tentu saja berbeda
dengan kewajiban untuk membantu sesama karena yang nonmaleficence itu bersifat refrain from sedangkan
beneficence bersifat harus berbuat.
Mana yang lebih kuat tergantung dari situasinya. Bisa terjadi kewajiban do no harm lebih berat dari pada
beneficence, misalnya dalam hal berhubungan dengan orang yang lemah. Tetapi bisa juga beneficence lebih
kuat dari pada nonmaleficence.
Ppt 19
2. Nonmaleficence
Critical thinking
Prinsip ini begitu penting dalam hubungan antara dokter dan pasien terutama sehubungan dengan tugas dokter
sebagai yang menyembuhkan dan menjaga kehidupan. Sepanjang sejarah telah banyak dialokasikan riset,
dana, tenaga dsb untuk menjaga agar hidup manusia tidak dibahayakan. Dewasa ini sudah ada begitu banyak
kemajuan teknology sehingga penyembuhan penyakit yang dulu harus dilakukan dengan operasi besar tetapi
sekarang diganti dengan yang non invasive atau seminimal mungkin harus melukai.
Ppt 20
13
Theme: Bioethics
2. Nonmaleficence
Akan tetapi ada kasus dimana mau tidak mau harus membuat tindakan yang melukai atau bahkan
mengamputasi bagian (anggota) tubuh.
Untuk itu perlu dilihat prinsip Totalitas dan integritas manusia.
Ppt 21
2. Nonmaleficence
2. Nonmaleficence
Page 11
Prinsip ini totalitas dan integritas ini juga biasa dikenal dengan istilan pars pro toto yakni adanya bagianbagian
itu ada untuk keseluruhan sehingga dengan syarat-syarat tertentu dapat dibenarkan untuk
mengurbankan bagian tubuh (anggota badan) demi kebaikan dan keutuhan seluruh manusia. Hal ini
berkenaan dengan eksistensi manusia sebagai makluk yang untuh dan integral (menyatu).
Keutuhan dan integritas manusia ini sangat penting artinya sebab ketiadaan integritas manusia secara
biologis akan menjadikan ketiadaan manusia.
Ppt 23
2. Nonmaleficence
2. Nonmaleficence
2. Nonmaleficence
Theme: Bioethics
Pertama-tama harus jelas benar bahwa di antara keduanya ada hubungan antara keselu-ruhan dan bagian.
Dengan kata lain, kalau kalau hubungan antara mereka itu bukan hubungan antara keseluruhan (totalitas)
dan bagian, maka prinsip ini tidak bisa diterapkan.
Ppt 26
2. Nonmaleficence
3. Beneficence
Prinsip Beneficence ini mewajibkan kepada kita bukan hanya untuk menghormati otonomynya dan tidak berbuat
yang mencelakakannya tetapi kita juga wajib untuk memberikan atau menyumbang bagi kebaikan mereka
(kebaikan bersama).
Kewajiban ini berdasarkan pada kodrat manusia yang makluk sosial dimana masing-masing orang berkewajiban
untuk menyumbang demi kebaikan bersama (bonum comune) (NB: Bandingkan dengan Tujuan Nasional kita
yang dirumuskan dalam Pembukaan UU 45 yakni memajukan kesejahteraan umum).
Ppt 28
3. Beneficence
Dalam prinsip beneficence ini harus dilandasi dengan mercy, kindness, charity, altruism, love and humanities.
Beauchamp and Childress menggaris bawahi kewajiban moral bahwa tindakan dokter harus menguntungkan
orang lain (pasien) atau memberikan manfaat bagi orang lain (pasien).
Dengan kata lain, kalau suatu tindakan tidak memberikan manfaat ataupun keuntungan bagi pasien, maka
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 12
3. Beneficence
Ketika kriterianya menjadi demikian, ada bahaya bahwa orang akan jatuh pada instrumentalisasi manusia yakni
memandang manusia hanya sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.
Tentu saja ini mendegradasikan manusia hanya sebagai alat dan bukan lagi sebagai subjek.
Ppt 30
3. Beneficence
Kritical Thingking
Kita memang mempunyai kewajiban untuk berbuat demi keuntungan pasien (beneficence). Hanya kadangkadang
pilihannya tidak selalu mudah.
Ada kalanya pilihannya semuanya sulit dan jelek semuanya dan tidak ada pilihan yang baik.
Oleh karena itu, dalam kasus ini harus diterapkan dua prinsip etis yakni minus malum dan double effect.
Ppt 31
3. Beneficence
Prinsip minus mallum
Dari katanya sendiri, prinsip ini sudah menjadi jelas: minus (kurang) + malum (jahat, jelek) = yang kurang
jelek. Yang dimaksud dengan prinsip minus mallum ialah kalau kita harus memilih beberapa pilihan yang semuanya
adalah jelek/jahat maka pilihan harus dijatuhkan kepada suatu pilihan yang paling sedikit nilai
kejahatannya atau paling sedikit nilai tidak baiknya.
Dalam situasi tertentu orang terpaksa harus memilih diantara dua atau lebih pilihan yang semuanya
mengandung nilai atau konsekwensi kejahatan.
Ppt 32
3. Beneficence
3. Beneficence
3. Beneficence
Untuk bisa menerapkan dengan tepat prinsip-prinsip double effect, diperlukan prasyarat yang harus diterapkan
bersama-sama:
Perbuatan (aksi) itu dari dirinya sendiri harus bersifat baik atau sekurang-kurangnya indifferent. Dengan
kata lain perbuatan yang intrinsik jahat tidak bisa dipakai.
Yang menjadi intensinya adalah efek baik itu sendiri dan bukan effek jahatnya.
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 13
Efek yang baik itu bukan dihasilkan dari cara yang jahat atau yang berefek jahat.
Harus ada alasan yang kuat (berat) secara proporsional untuk menghalalkan efek yang jahat itu. Dengan
kata lain: Efek jahat itu terpaksa harus terjadi.
Ppt 35
4. Justice
Pertanyaan tentang definisi keadilan sudah lama menjadi pertanyaan banyak orang. Beauchamp dan Childress
mentafsirkan justice sebagai fair, equitable and appropriate treatment in light of what is due or owed
to persons. Mereka juga menggarisbawahi arti keadilan dalam apa yang disebut distributive justice yakni fair,
equitable and appropriate distribution in society determined by justified norms that structure the
terms of social cooperation.
Ppt 36
4. Justice
Dalam pelayanan kesehatan, sudah lama soal justice ini menjadi pemikiran, Apakah semua orang harus
mempunyai akses yang sama terhadap segala macam pelayanan kesehatan? Bagaimana harus memperguna-kan
scared resources? Bagaimana kompetisi antar pelayan dan pelayanan kesehatan? Dalam riset kesehatan,
apakah adil bila pemerintah mengalokasikan dana besar untuk riset penyakit yang diderita hanya bagi sejumlah
kecil warganegara sedangkan yang menyang-kut banyak orang tidak mendapatkan dana yang memadai? Dan
masih banyak pertanyaan mengenai justice dalam pelayanan kesehatan.
Pertanyaan ini di Indonesia menjadi semakin urgen sebab ketidak adilan dalam banyak hal terjadi di manamana.
Ppt 37
4. Justice
Critical Thingking
Secara teoritis, tidak ada kritik terhadap prinsip ini. Dengan kata lain, secara konseptual sudah memadai
hanya tinggal aplikasinya yang tidak selalu mudah.
Masalah justice ini adalah masalah yang sangat serius ditangani bagi para pelayan kesehatan.
Ketidak adilan yang dialami banyak orang sering menjadi kurban sehingga ada yang menulis, Orang miskin
dilarang sakit. Tetapi di lain pihak, para pelayan kesehatan sendiri juga sering mendapat perlakuan yang tidak
adil. Memang tidak mudah berbuat adil walaupun konsepnya jelas.
Ppt 38
Thank You
Ppt
HUBUNGAN DOKTER PASIEN
Page 14
Page 15
Yaitu persetujuan antara pihak dokter dan pasien tentang sifat pemberian
pelayanan pengobatan yang ditawarkan dokter dan diterima dengan baik oleh
pasien. Persetujuan yang terjadi antara dokter dengan pasien haruslah bersifat
sukarela.
Persetujuan yang diperoleh berdasarkan kesalahan (mistakes), tekanan atau
kekerasan (violence),ditakut-takuti (intimidation) ,pengaruh tekanan yang tak
wajar (undur influence), atau penipuan (fraud), akan membuat kontrak itu bisa
dibatalkan demi hukum. ( J.Guwandi,SH, ibid,h 19-20)
Page 16
Page 17
JENIS PERJANJIAN
Dalam ilmu Hukum dikenal dua jenis perjanjian , yaitu :
1. RESULTAATSVERBINTENIS , yang berdasarkan hasil kerja
2. INSPANNINGSVERBINTENIS , yang berdasarkan upaya yang maksimal.
Pada Umumnya,secara hukum hubungan dokter pasien merupakan usaha
maksimal atau inspanningverbintennis, yaitu suatu perikatan yang harus dilakukan
dengan hati hati dan usaha keras. Karena prestasinya merupakan suatu upaya , maka
hasilnya jelas belum pasti. Perlu digaris bawahi bahwa secara etis dokter tidak
menjanjikan kesembuhan, tetapi berusaha semampunya agar pasien sembuh. Hal ini
sesuai dengan jenis perjanjian ke 2. Akibat yang ditimbulkan pasien bisa saja sembuh
atau gagal , maka bila usaha itu gagal merupakan resiko yang harus ditanggung baik
oleh dokter maupun pasien.
Dalam keadaan keadaan tertentu , mungkin ada hubungan hasil kerja atau
resultaatsverbintennis pada hubungan dokter pasien. Misalnya pembuatan protease
atau anggota badan palsu oleh dokter orthopedi
Perbedaan kedua jenis perjanjian ini terletak pada beban pembuktiannya .
Inspanningvertbintennis , penggugat yang harus mengajukan bukti bukti bahwa
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 18
Page 19
Berakhirnya hubungan dokter dan pasien adalah penting, karena segala hak dan
kewajiban masing masing pihak telah berakhir . Hal ini menimbulkan kewajiban pasien
untuk menyelesaikan pembayaran pelayanan pengobatan
yang telah diterimanya .
Ada beberapa cara berakhirnya hubungan dokter dengan pasien , yakni :
1. Sembuhnya pasien atau dokter menganggap tidak diperlukannya lagi
pengobatan , sehingga pasien tidak akan menemukan manfaat bila pengobatan
tetap dijalankan .
Penyembuhannya tidak perlu sampai benar benar sembuh. Penyembuhan
dianggap bahwa keadaan pasien tidak memerlukan lagi pelayanan medis.
Mengakhiri secara sepihak pengobatan terhadap pasien yang masih
memerlukan pengobatan bisa mengakibatkan tuduhan terhadap penelantaran (
abondonment ).
2. Dokter mengundurkan diri
Hal ini diperbolehkan bila :
Pasien menyetujuinya
Kepada pasien diberikan waktu yang cukup dan pemberitahuan sehingga
ia bisa memperolah dokter pengganti
Atau jika dokter merekomendasikan kepada dokter lain yang keahliannya
sama untuk menggantikan dokter pertama dengan persetujuan pasien .
3. Pengakhiran oleh pasien
Bila hal ini terjadi maka dokter berkewajiban memberikan nasihat apakah masih
diperlukan pengobatan lanjutan, serta memberikan informasi yang cukup
sehingga bisa diteruksan oleh penggantinya.
4. Meninggalnya pasien .
5. Meninggalnya dokter atau tidak mampu lagi menjalaninya profesinya (incapacity)
profesinya dari sang dokter .
6. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti yang ditentukan dalam kontrak.
Contohnya kasus kasus rujukan kepada dokter specialis untuk memeriksa organ
atau system untuk mendeteksi apakah ada penyakit dan penerapan prosesdur
medik yang tepat. Kecuali ditentukan lain , maka konsultasi klinis berakhir pada
setiap akhir kunjungan.
7. Didalam kasus gawat darurat , apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan
pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan kegawat daruratannya
.
Page 20
8. Lewatnya jangka waktu , apabila kontrak ditentukan untuk jangka waktu tertentu
.( dr asuransi / dr kontrak )
9. Persetujuan kedua belah pihak antara dokter dan pasiennya bahwa hubungan
dokter dan pasien itu sudah diakhiri.
PEMBATALAN PERSETUJUAN
Pembatalan persetujuan bisa dilakukan . Bilamana salah satu pihak merasa ada
ketidak cocokan , bahkan kadang tidak mau melanjutkan transaksi . Dalam hubungan
dokter dengan pasien, hal ini bisa dilakukan secara otentik dengan bukti tertulis
.Misalkan pada pasien yang menolak untuk dioperasi dan memilih untuk pulang paksa
,di rumah sakit telah tersedia form khusus untuk ditandatangani .
Seorang dokterpun mempunyai hak untuk membatalkan persetujuan , hal ini
dilakukan bilamana pasien sudah tidak mau bekerja sama serta tidak merasa yakin
akan pengobatan yang dilakukan , maka dokter berhak mengundurkan diri , tetapi
masih punya kewajiban memberikan resume medis yang akan digunakan oleh pasien
bila berobat kedokter lain.
Landasan Hukum yang dipakai pada pembatalan persetujuan ini terdapata
dalam pasa 1338 KUH Perdata yang berbunyi :
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi
mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak bisa ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihat atau alasan-alasan yang oleh undang dinyatakan cukup
untuk itu . Persetujuan harus dilakukan dengan itikat baik .
Namun pembatalan tidak selalu berjalan mulus , sehingga dokter harus berhatihati dalam pemutusan transaksi terapeutik, karena bisa saja timbul resiko dikemudian
hari . (M.Jusuf Hanafian & Amri Amir, 1998 , h 43 ).
Page 21
III.
Etika, Disiplin, dan Hukum
Etika dan Moral 1,2,3.
MORAL
Yunani
Latin
Morales, mos, moris, adat,
istiadat,kebiasaan, cara,
tingkah laku
Tabiat, watak, akhlak, cara
hidup
Ethicos, ethos-adat
kebiasaan, praktek
= 1. Etika Umum
2. Etika Khusus
- Individual
- Institusional
- Sosial
Filsafat :
Page 22
Ajaran
Moral
Moral
Falsafah
Moral
Teori2
etika
Kerangka berpikir yang disusun oleh filsuf tertentuuntuk memberi pembenaran, mengapa suatu
perbuatan dinilai baik dari pendekatan moral
Ajaran
Asas2
Moral
etika
Aturan2
etika
Kode Etik
Profesi
Page 23
B. TEORI-TEORI ETIKA1,2,3
KLASIK
1.
2.
3.
Utilitarianisme
Teologi
Konsenkuensialisme
Consequence-based
Deontologi
Kewajiban
Obligation-based
Hukum Kodrat
Lex Naturalis
Natural Law
KONTEMPORER
1. Budi Pekerti Luhur
Virtue/character/Value-based
Compassion
Discernment
Dapat di dipercaya
Integritas moral tinggi
2. Etik mengasuh
Caring/relation -based
3. Penalaran praktis
Kasuistik, care - based
4. Pancasila, filsafat moral dan teori
etika
7
1) Teori Utilitarianisme
Utilitarianisme = usefulness
Teori konsekuensialisme
2) Konsekuensi
(utilitarianism)
Kasus : - Pembunuhan
Page 24
- aborsi
- pembunuhan bayi
1) Teori Deontologi
(Kantianisme, obligation based theory)
Perbuatan kepada orang lain, secara moral baik dan benar, didasarkan pada niat-niat
(good intention)
Kontianisme : lakukan terhadap orang lain sebagaimana yang anda inginkan mereka
berbuat terhadap anda, tidak usah melihat hasilnya.
- justifikasi theologis
- justifikasi kemasyarakatan
- justifikasi intuisionis
- justifikasi murni (justifikasi kant)
Page 25
1. Beneficence
2. Non maleficence
(Primum non nocere)
3. Menghormati hidup
manusia
4. Konfidensialitas
5. Kejujuran (veracity)
6. Tidak mementingkan diri
7. Budi Pekerti
Tingkah laku luhur
1. - Menghormati otonomi
pasien
- Universal Human right
UN,
- HAM
2. Keadilan /justice
3. Berkata benar / truth telling
/ veracity
12
Kegiatan-kegiatan :
Pendidikan
Penelitian & pengembangan
Pelayanan
13
Page 26
:
Keadaaan sejahtera yang sempurna dari
hanya tidak ada penyakit atas kelemahan
hidup
UU RI No.36 Th 2008
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap oranguntuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
F. Bidang Kesehatan5
1. Kode Etik Kedokteran
2. Kode Etik Keparawatan
3. Kode Etik Rumah Sakit
4. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
5. Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (MAKERSI)
6. Majelis Kehormatan DISIPLIN Kedokteran Indonesia (MKDKI)
III ETIKA & HUKUM
1. Hukum menurut standar moral yang minimal larangan-larangan
Etika menurut standar moral yang tertinggi larangan-larangan dan hal- hal yang positif dokter
kepada pasiennya.
2. Perbuatan seorang yang profesional
1. Etis dan legal
2. Etis tidak legal tidak ada kriteria etis melanggar hukum
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 27
Moral philosophy
HUKUM
Hal-hal kecil merebut pasien, menjelekan nama baik sejawat, mengiklan diri.
Disiplin
Belanda :
Medische Tuchtrech
Page 28
Hukum :
Keseluruhan asas dan aturan tentang perbuatan manusia yang ditetapkan atau diakui oleh otoritas
tertinggi
Hukum Perdata :
Hukum Pidana :
hukum yang mengatur perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana (=hukuman) kepada siapa
yang melanggarnga
hukum yang mengatur cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dan kekuasaan alat-alat
perlengkapan negara.
Hukum kebiasaan :
hukum tidak tertulis yang hidup dalam keyakinan masyarakat dan ditaati seperti suatu peraturan
perundangan
Hukum Yurisprudensi :
Hukum yang terbentuk karena keputusan hukum oleh hakim dalam prekara sejenis sebelumnya.
KEPUSTAKAAN
1. Jacobalis S., 2005 Perkembangan Ilmu kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika : Tentang moral
dan Etika. Cetakan ke I. Agung Seto. Jakarta (pp. 62 84)
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 29
2. Beauchamp TT and Children JP, 1994 Principles of Biomedical Ethics Fourth Ed. Oxford Univ.
Press. NY.
3. Kushe H and Singer P, 2004 A Companion to Bioethics. Reprinted. Blackwell Publishing Ltd.
Australia.
4. Emmanuel Ej. et al, 2004 Ethical and Regulatory Aspect of Clinical Research. Reading and
Communitary The John Hopkins Univ. Press. Baltimore ad london. (pp. 25 80)
5. Guwandi J, 2005 Medical Error dan Hukum Medis: Etika, Disiplin, dan Hukum. Balai Penerbit
FK UI Jakarta (pp. 125 134)
6. Wiradharma D, 1996 Penutun Kuliah Hukum Kedokteran : Masalah Etis yang berkaitan dengan
hukum Kedokteran. Bima rupa Aksara. Jakarta (pp. 117 -146)
Understanding"4-Box"Method
Medical Indications
of
Clinical
Ethics:
Menurut Dr.Moh Hakimi yang mengadaptasi keputusan medical etik dari buku
Jonson Albert, Siegel Mark and Wiliam J.Win Slade (2002) dalam Clinical etic :
1. A Identify the fact
2. Determine the ethical principles in conflict
3. Explore the options
4. Act on your decision and evaluate Pratical Aprroach to ethical dessition in
medicine.
Client Preferences:
Quality of Life:
Contextual Features:
Page 30
Medical Indications are the facts, opinions, and interpretations about the patient's physical
and/or psychological condition that provide a reasonable basis for diagnostic and therapeutic
activities aiming to realize the overall goals of medicine: prevention, cure, and care of illness and
injury.
In medicine, benefit and harm have a specific meaning: helping by trying to heal and doing so as
safely and painlessly as possible
Beneficence primarily means the duty to try to bring about those improvements in
physical or psychological health that medicine can achieve
Nonmaleficence means going about these activities in ways that prevent further injury or
reduce its risk
BenefitRisk Ratio
The principles of beneficence and nonmaleficence do not merely instruct the clinician to help
and do no harm; they coalesce to guide the clinician's assessment of how much risk is justified
by the intended benefit.
A physician must calculate this "ratio" and fashion it into a recommendation to the patient who
will, in the last analysis, evaluate it in light of his or her own values.
Page 31
PHILOSOPHY OF BIOETHICS
CB. Kusmaryanto, DR., SCJ
Pengantar
Dalam sejarahnya, bioetika merupakan perkembangan lebih lanjut dari etika kedokteran yang memang
sudah ada sejak lama. Salah satu etika profesi yang paling kuno lkeberadaanya adalah etika kedokteran.
Walaupun dalam perkembangannya bioetika berkembang menjadi sangat luas, namun sumbangan etika
kedokteran dalam memperkembangkan Bioetika sangat besar sekali. Bahkan prinsip-prinsip etis bioetika
modern yang senantiasa dikutip berasal dari buku tentang etika medis, yakni Principle of Biomedical Ethics
oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress1. Etika kedokteran sendiri banyak dipengaruhi oleh aliranaliran filsafat etika yang ada sejak jaman Aristoteles sampai dengan sekarang.
Aliran-aliran etika
Aristoteles
Sepanjang sejarah manusia, mungkin Aristoteles yang paling banyak pengaruhnya terhadap kehidupan
manusia. Ia hidup tahun 384 322 SM. Ia adalah murid Plato dan pendidik Iskandar Agung. Ia mengarang
banyak buku etika: Etica Nicomachea, Etica Eudemia, Politica dan Magna Moralia (mungkin bukan ditulis oleh
Aristoteles tetapi dimasukkan dalam Corpus Aristotelicum). Prinsip Etikanya, Hendaknya kita hidup dan
bertindak sedemikian rupa sehingga kita mencapai hidup yang baik, yang bermutu dan berhasil. Sebab
semakin bermutu hidup manusia maka semakin bahagialah dia. Menurut Aristoteles, kebaikan yang tertinggi
adalah kebahagiaan itu sebab dia dibuat hanya untuk dirinya sendiri. Segala pekerjaan manusia akhirnya akan
bermuara ke kebahagiaan itu. Misalnya: orang pingin bekerja untuk mendapatkan uang, dengan uang itu
akhirnya orang akan bisa hidup bahagia. Jadi: Kebahagiaan (eudaimonia) adalah ukuran tertinggi sebab
kebahagiaan itu dibuat untuk kebahagiaan itu sendiri dan tidak ada tujuan lebih lanjut. Suatu perbuatan yang
baik adalah perbuatan yang menambah kebahagiaan (eudaimonia) dan perbuatan yang tidak baik adalah
perbuatan yang tidak mendatangkan kebahagiaan. Oleh karena itulah etika Aristoteles disebut eudemonisme.
Manusia menjadi bahagia apabila bisa merealisasikan diri secara sempurna dengan mengaktifkan
kekuatan-kekuatan hakikatnya. Bagi Aristoteles, antara tuan dan hamba, yang paling bahagia adalah hamba
1
Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, Oxford University Press, Oxford, 1994.
Page 32
karena dia bisa mengembangkan seluruh potensi dalam dirinya sendiri sedangkan tuan hanya sebagian saja.
Kekuatan yang utama ialah akal budi sebab akal budi itu kekhasan manusia. Oleh karena itu, kekuatan
pokoknya ialah kemampuan bagian jiwa yang berakal budi:
a) Akal budi murni = kontemplasi ke hal-hal abadi (theoria)
b) Akal budi praktis = perwujudan kehidupan praktis di tengah masyarakat (etike).
Ciri lain dari etika Aristoteles adalah Virtue (keutamaan). Etika Aristoteles mulai dengan pertanyaan, Apa
yang baik bagi umat manusia? Yang baik untuk manusia adalah jika ia bertindak secara virtue. Dengan kata
lain: Apa yang diinginkan di dalam hidup adalah apa yang utama, noble, yang terpuji dan bukan hanyasekedar
yang biasa-biasa saja. Orang yang punya keutamaan akan bertindak demi kebaikan orang lain atau demi
gagasan-gagasan indah dan bukan hanya sekedar memajukan kebahagiaan diri sendiri. Jadi: Egoisme bukan
bagian dari etika Aristoteles.
Aristoteles membagi keutamaan menjadi:
a) Keutamaan yan teoritis = bagaimana manusia berfikir dengan baik
b) Keutamaan Etis = Bagaimana bertindak dengan baik.
Buku etika Nicomakeia berbicara mengenai keutamaan etika: Agar manusia bisa merealisasikan diri secara
sempurna, dia harus mengembangkan bakat-bakat etis yang tertanam dalam kodratnya sampai dia menjadi
manusia yang sempurna. Apa yang terpuji dalam diri seseorang adalah sifat karakternya dan bukan pada
ketundukan seseorang terhadap aturan atau moral.
Deontologi
Deontologi berasal dari bhs Yunani deont = yang mengikat (kewajiban). Deontology = kewajiban moral yang
mewajibkan kita untuk bertindak, lepas dari effek kebahagiaan untuk diri sendiri atau orang lain. Apakah
sesudah saya bertindak saya rugi atau untung, itu tidak penting. Kalau saya merasa wajib, maka apapun juga
harus dilakukan. Salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh ialah Immanuel Kant (1724 1804). Kant
Sangat menekankan bahwa kita tidak boleh memperlakukan orang lain hanya sebagai alat/cara untuk
memperoleh tujuan diri sendiri atau tujuan orang lain. Setiap orang punya finalitas bagi dirinya sendiri.
Kewajiban itu harus keluar dari diri sendiri dengan melihat bahwa ini memang baik untuk dilakukan dan
bukan karena dipaksakan oleh pihak luar (moral otonom). Kant membedakan antara moral heteronome dan
moral otonom. Orang yang bertindak berdasarkan moral yang heteronom adalah orang yang bertindak oleh
karena penentuan dari luar, misalnya takut dihukum, bertindak karena disuruh, bertindak karena diperintah oleh
orang luar dan sebagainya. Moral yang heteronom ini tidak banyak nilainya karena di dalamnya kurang
menyangkut kehendak kebebasan seseorang. Orang yang bertindak secara otonom berarti dia melihat bahwa
memang sesuatu itu baik untuk dikerjakan dan oleh karena itu dia memutuskan dengan kebebasannya untuk
melakukannya. Moral yang otonom ini sangat tinggi nilainya karena perbuatannya bisa menjadi expresi
jiwanya. Benar dan salahnya suatu tindakan akan sangat tergantung pada apakah merasa wajib atau tidak.
Sangat mirip dengan moral agama: Kita wajib berbuat begini atau begitu bagi orang lain, entah perbuatan
itu membahagiakan atau tidak bagi orang itu, tapi wajib untuk dibuat tetapi kewajiban itu datang dari dirinya
Page 33
sendiri oleh karena kesadarannya sendiri. Deontologi ini yang akan banyak mempengaruhi bioetika dan etika
medis modern.
Consequentialism
Aliran filsafat ini menekankan pada akibat (konsekwensi) dari perbuatan kita. Perbuatan kita adalah baik
kalau memberikan konsekwensi yang baik sedangkan perbuatan kita akan menjadi buruk kalau
konsekwensinya buruk. Yang masuk dalam kategori ini dan berkembang baik ialah Utilitarianisme dengan
tokohnya Jerem Bentham, Henry Sidgwick, J. Mill.
Peletak dasar Utilitarianisme adalah Jeremy Bentham (17481832) walaupun sebenarnya bukan sama
sekali baru sebab sudah ada benihnya di dalam karya Epikurus (341 270 BC). Dalam jaman yang lebih
kemudian, utilitarianisme ini juga dijumpai dalam David Hume (1711-1766), yang mengatakan bahwa "utility, in
all subjects, is a source of praise and approbation; . . . it is a foundation of the chief part of morals, which has a
reference to mankind and our fellow creatures" (Hume, 1948, p. 221).
Bentham merumuskan semboyan utilitarianisme yang terkenal: The greatest happiness of the greatest
number. Di sini kebahagiaan disamakan dengan kenikmatan dan kebebasan dari perasaan sakit. Dalam
bukunya An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), Bentham menekankan bahwa
utility harus menjadi sumber utama bagi pembaharuan hukum dan sosial dan bahkan harus dijadikan pedoman
bagi para legislators.
Dalam pemikirannya, kodrat manusia itu ditentukan oleh 2 hal pokok "two sovereign masters" yakni
pleasure and pain. Orang akan mengusahakan kenikmatan dan menjauhi kesengsaraan. Oleh karena itu
Bentham merumuskan utility sebagai "that property in any object, whereby it tends to produce benefit,
advantage, pleasure, good, or happiness . . . or . . . to prevent the happening of mischief, pain, evil, or
unhappiness to the party whose interest is considered" (1789, p. 12).
Bisa dikatakan bahwa prinsip utilities Bentham merupakan expresi politis dan moral dari hedonisme
psikologis. Dia mengatakan We ought to approve and do, or disapprove and refrain from doing, actions
according to their promotion of pleasure and happiness. Jadi: Bentham menggandengkan utilitarianisme
dengan hedonisme.
Oleh karena itu banyak dikritik sebab moralitas seolah-olah tidak lebih dari pada sekedar mencari bagi
dirinya sendiri suatu hidup penuh nikmat. Oleh karena itu banyak yang mengejek filsafatnya dia sebagai pig
philosophy atau filsafat yang cocok untuk babi. Kritik lain: Ini filsafat egois karena semua diarahkan ke aku.
Penerus Utilitarianisme adalah John Stuart Mill (1806 1873) yang adalah keponakan dari Jeremy
Bentham. Ia mengkritik atau dalam arti tertentu membela pamannya dari kritikan yang pedas yang dialamatkan
kepadanya. Salah satu kritik Mill terhadap Bentham ialah pandangan Bentham mengenai nilai dari kenikmatan
bahwa hal itu tergantung pada intensitas, lamanya, kepastiannya, kedekatannya, fecundity (yakni prospect dari
kenikmatan atau penderitaan itu apakah akan diikuti oleh sensasi semacam itu atau tidak), kemurnian, dan
jumlah orang yang terkena hal itu.
Page 34
Bagi Mill ukuran gradasi kenikmatan itu bukanlah demikian, tapi sesuai dengan apa yang disebutnya
qualitative features; Jadi pleasures yang berasal dari "higher faculties (intelek, perasaan, imajinasi, perasaan
moral) lebih bernilai dari pada pleasure yang berasal dari "lower faculties" yakni kenikmatan badaniah atau
sensual. Oleh karena itu dia mengatakan "It is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied;
better to be Socrates dissatisfied than a fool satisfied" (Mill, 1863, p. 20).
Mill mau meluruskan pendapat pamannya dengan mengatakan bahwa nikmat jangan dibatasi hanya
dengan nikmat jasmani saja sebab nikmat rohani lebih luhur dari pada nikmat jasmani. Keunggulan pleasures
akal budi dari yang badaniah dapat dibuktikan dengan mudah bagi yang mengalami keduanya.
Prinsip umum dari Utilitarianisme adalah suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila akibatakibatnya menunjang kebahagiaan sebanyak mungkin orang yang bersangkutan dengan sebaik mungkin. The
greatest happiness of the greatest number.
Jadi, benar tidaknya sebuah tindakan tergantung pada
tujuan/kegunaan (Utility) dari tindakan itu, yakni apakah perbuatan itu menunjang kebahagiaan umum atau
tidak.
Mill juga mau meluruskan kritik bahwa utilitarianisme itu egois karena bagi Mill, prinsip kebahagiaan
terbesar haruslah mencakup semua orang yang terkena dampak tindakan itu, jadi bukanlah kebahagiaan diri
yang dikejar (seperti etika Epikuros) tetapi kebahagiaan semua orang. Sebagaimana diuraikan dalam bukunya
Utilitarianism (1863), dia menekankan bahwa manusia ingin mewujudkan keinginan akan kebahagiaan melalui
perbuatannya, maka utility atau the greatest happiness principle harus dijadikan standard moralitas akan
tetapi di sini penting bahwa moral agent harus "disinterested and benevolent spectator" terhadap kebahagiaan
dirinya sendiri jika dibandingkan dengan kebahagiaan orang lain
Oleh karena itu bagi Mill, tolok ukur kesempurnaan utilitarianisme ialah cinta terhadap sesama dan The
Golden Rule (yakni: Perbuatlah apa yang ingin orang lain perbuat bagimu dan janganlah berbuat apa yang
kamu tidak ingn orang lain perbuat bagimu).
Dua garis dasar yang dibeberkan Mill dalam teori utilitarianismenya:
a) Benar atau tidaknya sebuah tindakan tergantung apakah tindakan itu memajukan kebahagiaan, yani
kebahagiaan terbesar atau kegunaan yang besar.
b) Kebahagiaan itu adalah pengalaman nikmat dan bebas dari penderitaan atau perasaan sakit.
Kedua hal itulah yang diinginkan manusia demi dirinya sendiri oleh karena itu, maka menurut utilitarianisme
mengusahakan nikmat dan menghindari perasaan sakit adalah merupakan norma dasar moralitas sebuah
tindakan moral. Tetapi kebahagiaan sendiri akan tercapai kalau jangkauannya bukanlah kebahagiaan yang
berlebihan. Kebahagiaan itu bukannya tanpa pengurbanan tetapi pengurbanan itu bukanlah dibuat demi dirinya
sendiri tetapi demi kebahagiaan orang lain. Jadi: Tolok ukurnya bukanlah kebahagiaan egois tetapi
kebahagiaan semua.
Kritik yang sering dilontarkan kepadanya ialah Apakah mungkin bahwa tindakan manusia itu bisa
memenuhi tolok ukur itu (kebahagiaan semua orang)? kalau demikian maka Utilitarisnisme ini bukankah hanya
autopia? Untuk menjawab ini, Mill membedakan antara Kriteria moralitas suatu tindakan dan motivasi sebuah
tindakan.
Kriteria moralitas suatu tindakan ialah apa yang secara objektif membuat suatu tindakan itu adalah benar,
sedangkan motivasi tindakan adalah apa yang mendorong seseorang untuk berbuat. Utilitarianisme hanya
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 35
membicarakan apa yang menjadi kriteria moralitas suatu tindakan dan bukan mengenai motivasi. Apa yang
menjadi kebenaran objektif tidak harus menjadi motivasinya.
Memang benar bahwa motivasi itu menentukan nilai moral sebuah tindakan, tetapi mengenai kebenaran
moralnya tidaklah tergantung motivasinya. Misalnya: Menolong orang yang kecelakaan karena memang mau
menolong tentu lebih mulia daripada karena berharap imbalan jasa, tetapi keduanya benar secara moral.
Beberapa kritik yang bisa diajukan:
a) Utilitarianisme yang mendasarkan penilaiannya terhadap sesuatu tergantung pada kegunaannya, ini
cenderung menempatkan manusia hanya sebagai obyek saja dan bukan sebagai subyek.
b) Manusia cenderung dipandang hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Akibatnya
bahwa harkat dan martabat manusia sering kurang dihormati dan sering dilanggar.
c) Utilitarianisme akan cenderung melegalkan segala macam cara asal konsekwensinya akan
memberikan manfaat atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Tujuan menghalalkan cara
(The end, indeed, does justify the means). Dalam hal ini, orang bisa membunuh seorang manusia
yang tidak bersalah kalau kematiannya akan memberikan manfaat (kebahagiaan) bagi sebanyak
mungkin orang.
d) Dalam utilitarianisme yang extrem, maka orang-orang tua yang sudah tidak banyak manfaatnya itu,
apalgi sakit-sakitan dan menghabiskan banyak urang, lebih baik diterminasi saja karena dana dan
tenaga yang dialokasikan kepadanya sebenarnya bisa dialokasikan untuk sesuatu yang lebih
bermanfaat dan mendatangkan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.
Masalah utama sehubungan dengan utilitarianisme ialah keinginan untuk memberikan kenikmatan kepada
sebanyak mungkin orang. Keinginan itu tentu saja banyak bergantung pada pilihan pribadi. Oleh karena pada
umumnya orang akan cenderung untuk mengekpresikan keinginannya itu dalam belbagai macam keadaan,
oleh karena itu teori keinginan itu seharusnya lebih luas dari pada sekedar kenikmatan berdasarkan
utilitiesnya. Jikalau utilitarianisme hedonistik itu dikritik oleh karena melanggar penentuan pribadi dari
seseorang (personal self-determination) demi kebahagiaan sosial, maka teori keinginan ini terlalu
menekankan pada pandangan mengenai prinsip utilities dan otonomi manusia.
Pengaruhnya dalam bidang bioetika cukup besar. Konsep pemilihan utilitarianisme sangat jelas berdampak
dalam bidang medis. Biasanya ukuran yang dipakai ialah the quality-adjusted life year (QALY) dimana dicoba
untuk diukur antara harapan hidup (life expectancy) dan kwalitas hidup (quality of life) berdasarkan nilai-nilai
etis yang umum diperbandingkan dengan kurban yang harus dibayar. Rasionalitas moral dan economis
perhitungan berdasarkan metode QALY akan lebih mengedepan-kan pilihan mengenai hidup yang lebih sehat
(walaupun pendek) dibandingkan dengan hidup yang panjang yang disertai dengan penyakit dan cacat. QALY
juga dapat dipergunakan baik dalam tingkat micro untuk melakukan alternative therapies bagi pasien tertentu
maupun dalam tingkat macro untuk membuat kebijaksa-naan mengenai alokasi sumberdaya kesehatan yang
terbatas.
Penerapan utilitarianisme dalam bidang kesehatan bukannya tanpa kritik. Dalam tingkat clinical decision
making, metode QALY memang bisa dipertanyakan validitasnya berdasarkan study yang menunjukkan bahwa
pilihan pribadi mengenai status kesehatan telah mengalami variasi yang besar tergantung pada waktu dan
keadaan. Misalnya saja mengenai pilihan untuk mengurangi rasa sakit tenggorokan yang sangat parah. Bisa
terjadi bahwa pilihan itu tidak hanya berdasarkan pada kesakitan dan stress yang dialami oleh pasien itu
sekarang tetapi juga pada prognose pada akibat yang akan ditimbulkan oleh cara pengobatan itu bagi
kesehatan di masa mendatang.
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 36
Demikian pula penggunaan utilitarianisme (QALY) dalam bidang alokasi kesehatan secara macro juga
mendapatkan kritikan terutama sehubungan dengan nilai hidup manusia. Kritiknya ialah bahwa metode QALY
ini lebih memprioritaskan sarana penunjang kehidupan dari pada hidup manusia itu sendiri sehingga hal ini
melanggar prinsip equal concern and respect for individual preferences. Apalagi kebijaksanaan yang
memaksimalkan QALY cenderung menjadi bias dalam prioritas kesehatan yang biasanya lebih memihak
kepada generasi muda yang masih akan hidup lebih lama dan lebih berguna dari pada orang yang tua. Oleh
karena itu QALY cenderung melakukan pembedaan yang bisa mengarah bukan hanya kepada tua muda
tetapi juga rasisme dan sexism.
Jadi, pertanyaan pokoknya ialah apakah QALY yang mencoba untuk mempromosikan efisiensi, kwalitas
hidup dan keuntungan bersama dapat diterapkan tanpa harus melanggar prinsip-prinsip etika yang utama.
Pemecahan masalah ini akan punya dampak yang sangat besar dalam perdebatan mengenai alokasi health
care yang sampai sekarang cenderung berdasarkan QALY. Jelaslah bahwa alokasi resources yang terbatas
dalam kesehatan akan diukur berdasarkan utilitiesnya yakni kriteria mengenai kebutuhan dan kemungkinan
keuntunganyang bisa dipetik darinya.
Kalau kedua prinsip ini (deontologi dan konsequentialism/utilitarianism) di pertentangkan, maka akan jelas
terjadinya selisih pendapat:
a) Bagi para deontolog, konsekwensi tindakan (apakah menguntungkan atau merugikan) tidak menjadi
perhitungan. Yang penting merasa wajib untuk buat itu maka dia akan membuat.
b) Bagi para consequentialist persis kebalikannya. Konsekuensi dari tindakan menentukan benar dan
tidaknya suatu perbuatan. Oleh karena itu, kebahagiaan atau kepuasan merupakan satu-satunya
kebaikan manusia intrinsik sedangkan penyakit atau ketidak bahagiaan merupakan intrinsic evil.
Prinsip tindakannya: manusia harus bertindak demi greatest happiness of the greatest number.
Dengan kata lain, benar salahnya suatu tindakan tergantung pada konsekwensi keseluruhan dan
long-term bagi well being manusia, atau sekurang-kurangnya kebaikan yang paling banyak yang
paling mungkin.
Etika Paternalistik
Paternalistik berasal dari kata Pater yang berarti bapak/ayah. Dalam etika ini hubungan dua orang
diperlakukan dan memperlukan diri yang satu sebagai bapak yang baik dan yang lainnya sebagai anaknya.
Sebagai bapak yang baik, dia akan memikirkan dan memperjuangkan apa yang terbaik bagi anaknya, juga
seandainya hal itu bertentangan dengan kehendak si anak tetapi jikalau dipandang baik oleh si bapak, maka si
bapak akan memaksakan kehendaknya. Sebaliknya si anak, oleh karena dia tidak tahu banyak maka si anak
hanya akan mengikuti saja apa yang diperintahkan oleh si ayah.
Sejak jaman Yunani kuno dulu, etika medis Paternalistik inilah yang banyak dipergunakan. Dalam
hubungan itu, seorang dokter akan memposisikan didirinya sebagai bapak yang baik, yang tahu dan mampu
untuk menyembuhkan pasien serta mempunyai kehendak baik untuk membantu pasien yang diposisikan
sebagai anaknya yang tidak tahu apa-apa mengenai penyakit dan kekurangannya.
Page 37
Hubungan macam ini bisa dirunut kembali dari dokumen paling kuno yang sampai kepada kita ialah
sumpah Hippokrates. Dalam salah satu pasalnya dikatakan, I will apply dietetic measures for the benefit of the
sick according to my ability and judgement. I will keep them from harm and injustice.2 Dalam sumpah
Hippokrates ini para dokter akan berusaha keras sesuai dengan kemampuan dan penilaiannya demi
keuntungan pasien. Demikian pula seorang dokter pertama-tama akan menjauhkan pasien dari
melukai/mencelakakan (first do no harm) serta harus berlaku adil.
Dalam Etika Paternalistis, hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan laksana bapak dengan
anak. Seorang bapak yang mengetahuai apa yang dibutuhkan oleh si anak sedangkan anak adalah pihak yang
tidak tahu apa-apa mengenai penyakitnya dan mengharapkan bantuan seorang ayah agar dia bisa
disembuhkan dari penyakitnya3. Paternalisme sendiri biasanya didefinisikan sebagai, pembenaran untuk
campur tangan dalam kebebasan seseorang untuk bertindak dengan alasan khusus yakni demi kesejahteraan,
kebaikan, kebahagiaan, kebutuhan, kepentingan dan nilai-nilai orang yang dipaksa itu.4 Dengan kata lain, Aku
memaksa kamu untuk berbuat ini atau untuk tidak berbuat itu demi kebaikanmu! Walaupun seorang pasien itu
adalah orang yang sudah dewasa tetapi demi kebaikan, kesejahteraan dan kesembuhannya maka seorang
pelayan kesehatan bisa memaksa pasien untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu walaupun pasien tidak
menghendakinya.
Secara nyata, hubungan yang paternalistis ini sering terlihat pada sikab pelayan kesehatan yang tanpa
banyak komunikasi, lalu berbuat dan menentukan apa saja yang harus dibuat demi kebaikan pasien, Udah,
kamu diam saja, gak usah banyak tanya, yang penting sembuh. Masih segaris dengan paternalistik ini, ada
pelayan kesehatan yang marah ketika pasien bertanya tentang penyakitnya.
Etika medis paternalistis bisa berlangsung lebih dari dua ribu tahun karena didukung oleh kedudukan
pelayan kesehatan di mata masyarakat yang sangat istimewa dan juga oleh karena kesetiaannya untuk
menjunjung etika medis dalam menjalankan profesi medisnya yang tidak mementingkan dirinya sendiri tetapi
demi kepentingan pasien (altruisme). Seorang dokter diharapkan mempunyai sifat dasar etis yang melekat
pada profesinya sebagai dokter yang baik dan bijaksana. Dalam menjalankan tugasnya, mereka diharapkan
mempunyai kemurnian niat dan kesungguhan kerja serta kerendahan hati oleh karena integritas ilmiah dan
sosialnya, lebih-lebih karena profesi ini menuntut pandangan dan penghargaan kemanusiaan yang tinggi
sehingga karya ini adalah karya kemanusiaan. Para pelayan kesehatan juga mempunyai kemauan teguh untuk
membantu pasien sebaik mungkin. Oleh karena para pelayan kesehatanlah yang paling mengetahui penyakit
dan cara pengobatannya maka para merekalah yang memilihkan intervensi medis yang menurutnya paling
tepat.
Etika otonomi
The Hippocratic Oath dalam Thomas A. Mappes dan David DeGrazia, Biomedical Ethics, McGraw-Hill, New York, 1996, hlm.
59
3 H. Tristram Engelhardt, The Foundation of Bioethics, Oxford University Press, New York, 1996, hlm. 319 321
4 Gerald Dworkin, Paternalism, The Monist 56(1972) 65
Page 38
Orang yang paling berpengaruh dalam bioetika modern adalah Tom L. Beauchamp dan James F. Childress
yang menulis buku Principles of Biomedical Ethics5. Dia menyatakan ketidak puasannya atas beberapa teori
etika yang beredar dan kemudian mengusulkan teori etika yang baru6. Teori etika yang ada dirasa sudah tidak
bisa lagi menjawab persoalan etika medis yang berkembang dengan sangat cepat. Pola hubungan antar dokter
dengan pasien mengalami perubahan yang luar biasa.
Perubahan ini pertama-tama terjadi sejalan dengan kesadaran akan otonomi diri pada setiap manusia.
Dengan adanya kesadaran baru ini maka etika paternalisme itu semakin banyak di gugat dan ditinggalkan.
Secara historis, gugatan itu sudah dimulai oleh beberapa filsuf John Stuart Mill (1806 1873), dalam bukunya
On Liberty (1859) dan Immanuel Kant (1724 1804) dalam karyanya Imperium Paternale. Secara singkat,
otonomi ini bisa dijabarkan sebagai kekuasaan atas diri sendiri untuk menentukan sendiri apa yang akan dibuat
atau apa yang tidak akan dibuat. Subjek penentunya adalah diri sendiri dan bukan orang lain. Kesadaran akan
otonomi diri ini berdampak dalam berbagai bidang kehidupan sehingga orang semakin menyadari perlunya
menjadi tuan atas dirinya sendiri yang harus menentukan apa saja yang menyangkut dirinya sendiri.
Dalam bidang medis, otonomi diri inipun berdampak sangat besar. Oleh karena intervensi medis itu adalah
intervensi yang mengena langsung pada diri/tubuh pasien, maka pelayan kesehatan tidak sembarangan bisa
berbuat sesuatu terhadap pasien, juga seandainya demi kebaikan pasien. Pasien menuntut bahwa pasienlah
dan bukan dokter yang harus menentukan tindakan medis yang harus dibuat untuk menyembuhkannya.
Penyebab ke dua yang menjadikan pergeseran pola hubungan antara pelayan kesehatan dengan pasien
berasal dari pelayan kesehatan itu sendiri. Para pelayan kesehatan ada yang tidak memegang teguh dasardasar etika Hippokratik (altruisme, kepentingan pasien, humanisme dsb) dalam pelayanannya sehingga banyak
yang jatuh kepada kepentingan diri. Demikian pula ada pelayan kesehatan yang kurang profesional sehingga
sering menimbulkan masalah, baik oleh karena terjadinya malpraktek, atau negligence, atau kesalahan yang
lainnya yang mengakibatkan harm, cacat atau kematian pada pasien. Tentu saja semua akibat buruk ini harus
ditanggung oleh pasien.
Berhadapan dengan masalah-masalahetis itu, Tom L. Beauchamp dan James F. Childress menawarkan
serangkaian nilai etika baru yakni Respect for autonomy, nonmaleficence (do no harm), Beneficence dan
Justice. Jika terjadi konflik di antara prinsip-prinsip itu, maka autonomi harus menjadi prioritas. Lebih lanjut
Beauchamp dan Childress meringkaskan:
a) Autonomi Personal Autonomy personal ruleof the self that is free from both controlling
interferences by others and from personal limitations that prevent meaningful choice, such as
inadequate understanding. The autonomous individual freely acts in accordance with a self-chosen
plan, analogous to the way an independent government manages its territories and sets its
policies.7
b) Nonmaleficence The principle of nonmaleficence asserts an obligation not to inflict harm
intentionally. It has been closely associated in medical ethics with the maxim Primum non nocere:
above all (or first) do no harm.8
Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, Oxford University Press, Oxford, 1994. Buku ini
sudah mengalami cetak ulang dan perbaikan beberapa kali. Yang terakhir: Edisi ke 5 tahun 2008
6 Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, hlm. 111
7 Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, hlm. 121
8 Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, hlm. 189
5
Page 39
c) Beneficence Morality requires bot only that we treat persons autonomously and refrain from
harming them, but also that we contribute to their welfare. Such beneficial actions fall under the
heading of beneficence agents must take positive steps to help others, not merely refrain from
harmful act.9
d) Justice Justice as fair, equitable, and appropriate treatment in light of what is due or owed to
persons.10
Dalam otonomi ini, setiap individu harus bebas bertindak sesuai dengan rencana yang dia pandang baik
dan pilih sendiri11. Juga seandainya pilihan itu bukanlah pilihan yang terbaik secara medis. Prinsip ini bukannya
tanpa kritik12, tetapi diyakini banyak sekali kalangan yang menerimanya dan menganggapnya sebagai suatu
kebangkitan penghargaan atas harkat dan martabat manusia. Prinsip inilah yang persis bertentangan dengan
etika kedokteran yang paternalisme yang masih dianut oleh banyak dokter, termasuk beberapa dokter di
Indonesia.
Oleh karena keputusan (consent) itu ada di tangan pasien, maka pasien perlu informasi yang baik, benar
dan lengkap agar bisa mengambil keputusan yang adekuat. Untuk itu maka bersama dengan faktor-faktor
lain berkembanglah informed consent yang dewasa ini bukan hanya berhubungan dengan dokter yang
diperlukan informed consent, tetapi hampir semua intervensi atau riset yang memakai subjek manusia mana
harus ada informed consent.
Secara nyata, penerapan Informed Consent di Indonesia mengalami kendala yang tidak mudah. Ada
beberapa hal kongkrit yang sering di luar kemampuan para dokter:
a) Penerapan informed consent itu mengandaikan level pendidikan tertentu dari pasien yang ternyata
di Indonesia sangat variatif. Mengandaikan bahwa semua pasien kita berpendidikan tinggi jelas
pengandaian yang salah; demikian pula sebaliknya, mengandaikan bahwa pasien kita bodoh
semua, ini jelas salah juga. Ada orang yang sudah diterangkan tetapi tidak mengerti tetapi kalau
tidak diterangkan jelas ada banyak yang menuntut.
b) Mengenai siapa yang harus tanda tangan juga tidak mudah penyelesainnya. Hukum hanya
mengatakan bahwa persetujuan atau penolakan itu dilakukan oleh pasien yang kompeten atau
keluarga terdekat. Siapa keluarga terdekat? Bagaimana kalau terjadi konflik antar mereka: siapa
yang harus dimenangkan? Bagaimana kalau pasien mau tetapi keluarga tidak mau? Bagaimana
kalau terjadi perselisihan antar anggota keluarga. Di negara maju mungkin lebih mudah karena
semua biaya ditanggung oleh asuransi.
c) Consentnya apakah individual atau keluarga atau kelompok? Ini juga tidak mudah untuk diatasi
karena ada banyak orang Indonesia yang memang sudah individualis tetapi di beberapa tempat
sangat komunal sehingga consent ini harus bersifat kekeluargaan atau bahkan suku.
d) Ada dokter yang karena alasan pasiennya sangat banyak sehingga tidak punya waktu untuk
menerangkan kepada pasien.
Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, hlm. 259
Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, hlm. 327
11 Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, op.cit, hlm. 121
12 Pengkritiknya menamainya sebagai principlisme oleh karena principle-orientednya. Lihat Guy Durand, Introduction Gnrale
la Biothique: Histoire, Concepts et Outils, Fides - Cerf, Montral, 1999, pp. 60 62; Antonio G. Spagnolo, Bioetica nella
Ricerca e nella Prassi Medica, Torino, Edizione Camilliane, 1997, p. 93. Ronald M. Green, Method in Bioethics: A Troubled
Assessment, in Journal of Medicine and Philosophy 15(1990) 179 197; K. Danner Clouser and Bernard Gert, A Critique of
Principlism, in Journal of Medicine and Philosophy 15(1990) 219 - 236
9
10
Page 40
Walau banyak kesulitan, tetapi saya yakin bahwa suka atau tidak suka, etika paternalistik pasti akan
ditinggalkan dan diganti dengan etika otonomi yang baru ini apalagi di UU praktek kedokteran sudah dicantumkan
mengenai informed consent ini. Ini berarti pelanggarannya bisa terkena sangsi hukum dan bukan hanya sangsi etis.
Page 41
Semua agama menajarkan bahwa hidup manusia ini adalah anugerah dari Allah dan bukan milik
100% dari manusia.
Page 42
Hukum Kedokteran atau Hukum Kesehatan sepertinya telah menjadi wacana bagi
sebagian masyarakat di dunia pada umumnya serta negara kita Indonesia pada khususnya,
tetapi di jaman dahulu Hukum Kedokteran adalah sesuatu yang hampir tidak pernah
diperdebatkan, karena seperti yang telah disinggung pada bab terdahulu dokter adalah dewa.
HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER PASIEN
Didalam Hukum Kesehatan atau Hukum Kedokteran sebenarnya adalah membicarakan
rutinitas kegiatan sehari hari seorang dokter terhadap pasiennya, tentu saja hal ini meliputi
Hak serta Kewajiban dokter dalam upaya mencari penyembuhan terhadap pasiennya.
Di dalam bab sebelumnya telah kita bicarakan tentang Transaksi Terapeutik dimana
kedua belah pihak mengadakan perjanjian timbal balik dalam suatu hal, yang berarti bahwa
dokter dan pasien mempunyai suatu hubungan Hukum.
Kita mulai dengan membahas tentang Standar Profesi Medis yang merupakan dasar
dari hak dan kewajiban seorang dokter terhadap pasiennya. Pengertian standar Profesi Medis
dijabarkan dengan dua doktrin Hukum Kesehatan yang disampaikan Oleh Prof.Dr.Mr.H.J.J
Leenen dan Prof Mr.W.B van der Mijn pakar hukum kesehatan dari Belanda .
Prof Dr.Mr.H.J.J Leenen membedakannya menjadi
-
Standar Profesi
Page 43
Menurut Prof. Leenen Standar Profesi Medis adalah : De formulering van de norma
voor de medische profesionele standard zou dan kunnen zinj:zorgvuldigd volgens de medische
standard handeleln al seen gemiddelde bekwaam arts van gelijke medische categorie in gelijke
omstandigheden met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concrete handelingsdoel
.
(Ameln.F Drs ,SH Kapita Selekta Hukum Kedokteran,Grafikatama Jaya,Jakarta, 1991, Hal 58)
Terjemahan bebasnya :
Norma standar profesi medik dapat di formulasikan sebagai berikut : bertindak teliti
sesusai dengan standar medik sebagai dilakukan seorang dokter yang memiliki kemampuan
rata-rata dari kategori keahlian medik yang sama dengan cara yang ada dalam perseimbangan
yang pantas untuk mencapai tujuan dari tindakan yang kongkret (DR.Wila Chandrawita
Supriadi,SH.2001.h52).
Uraian Standar profesi medis adalah sebagai berikut :
1. Tindakan teliti dan hati-hati
2. Standar Medis
3. Kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian medik yang sama
4. Situasi dan kondisi yang sama
5. Azas proporsionalitas
Sedangkan
Prof
Mr.W.B
Van
der
Mijn
menyatakan
dalam
melaksanakan
Page 44
Page 45
3. Harus ada indikasi medis yang merupakan titik awal dari segala tindakan medis selanjutnya
4. Sang dokter harus dapat merumuskan tujuan pemberian pengobatannya, disamping juga
harus mempertimbangkan alternatif lain selain yang dipilihnya
5. Segala tindakannya harus selalu ditujukan kepada kesejahteraan pasiennya (J.Guwandi,SH
; 1996 ; h 42 )
TINDAKAN MEDIS
Tindakan medik yang dimaksud penjelasan diatas adalah suatu tindakan yang hanya
boleh dilakukan oleh tenaga medik, karena ditujukan terutama bagi pasien yang mengalami
gangguan kesehatan.( Safitri Hariyani,S.H.M.Hum;2005; h 37). Dalam hal ini hanya dokter yang
telah mempunyai surat registrasi yang bekerja dibawah lindungan dokter senior atau dokter
yang telah mempunyai ijin praktik kedokteran. Untuk itu UU No.29 Th.2004 , memberikan
aturan yang lebih jelas bahwa seorang dokter yang sudah lulus belum tentu dapat melakukan
praktik kedokteran kecuali sudah memiliki surat tanda registrasi, sehingga dokter atau dokter
gigi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan
kompetensi yang dimilikinya. Kemudian aturan ini diperkuat dengan
pasal 36 UU No.29
Th.2004 yang berbunyi; setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memeliki surat izin praktek. Kemudian dilanjutkan pasal 37 menjelaskan surat
izin praktik dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat
praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
STANDAR PROFESI
Rumusan Leenen menyebutkan bahwa standar profesi sebagai norma norma yang
timbul dari sifat tindakan medik ( standar profesi medis) dan norma-norma masyarakat.
(J.Guwandi,SH ; 1996 ; h 42 ). Pasien juga mempunyai hak, haknya berupa informed consent
(akan dibahas dalam bab selanjutnya) .
Page 46
Pasien juga berhak menolak diberi tahu tentang kondisi penyakitnya serta menolak pengobatan
yang diberikan .Pasien juga berhak untuk menentukan siapa dokter yang akan menanganinya,
berhak memutuskan hubungan dengan dokter yang merawatnya , hak untuk melihat rekam
medis, juga hak atas second opinion serta hak untuk melakukan pengaduan dan meminta
jawaban atas pengaduannya tersebut.
Tolak ukur dari standar profesi medis yang dipergunakan adalah kemampuan rata rata
seorang dokter dalam kondisi situasi dan kondisi yang sama , jadi tidak memakai ukuran dokter
yang paling jago atau yang paling pandai.
Didalam keadaan khusus seorang dokter tidaklah terikat untuk semua keadaan untuk
mengikuti standar profesi medisnya. Kasus medis yang bersifat kasuistis, dimana kadang
ditemukan hal hal khusus pada diri pasien, sehingga standar profesi medis tidak bisa begitu
saja diterapkan terhadapnya ( J.Guwandi ,SH ; 1996 ;h 42)
Dari pedoman Leenen tentang standar profesi medis maka seorang dokter dituntut
profesionalitasnya yang menimbulkkan kewajiban kewajiban yakni :
1. Seorang Dokter harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan
bidang keahliannya .
2. Seorang Dokter dituntut untuk selalu membuat rekam medis yang lengkap sesuai dengan
ketentuan yang berlaku .
Rekam medis ini nanti akan dibicarakan dalam bab tersendiri .
Page 47
Seorang dokter sebagai manusia biasa yang hidup bersosialisi dengan sesama dalam
menjalani kehidupan ini,mempunyai tanggung jawab profesi baik terhadap diri sendiri, keluarga
atau sesama manusia .Oleh karenanya seorang dokter mempunyai hak hak yang harus
dihormati dan dimengerti oleh masyarakat .
Menurut pasal ( 50) UU Praktik Kedokteran No.29 Tahun 2005 menyebutkan :
Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi medis dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya ;
d. menerima imbalan jasa.
Disamping yang tertuang dalam undang undang Hak hak dokter yang lain meliputi :
1. Hak melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Tanda Registrasi(STR)
dan Surat Ijin Praktik (SIP)
Dalam pasal 29, UU Praktik Kedokteran No.29 Tahun 2004, seorang dokter atau
dokter gigi wajib memilki surat registrasi ,dimana setelah mendaftar dokter ataupun
dokter gigi mempunyai wewenang melalukan praktik kedokteran.
Surat Tanda Registrasi dokter dan dokter gigi menurut pasal 1(8) UU No.29 Th
2004 adalah Surat tanda registrasi dokter atau dokter gigi adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi
Page 48
Definisi
praktik
kedokteran
1419/MENKES/PER/2005 didalam
menurut
peraturan
permenkes
No.
2004 pasal 1(1) : Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Definisi SIP menurut UU Praktik Kedokteran No.29 Th 2004 pasal 1 (7) adalah
bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang akan
menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan .
2. Hak menolak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan etika
hukum,agama dan hati nuraninya .
Hak ini dimiliki dokter untuk menjaga martabat profesinya .Dalam hal ini berlaku Sa
science et sa conscience ya ilmu pengetahuan dan ya hati nurani.
3. Hak
untuk
mengakhiri
hubungan
dengan
seorang
pasien,jika
menurut
penilaiannya kerjasama pasien dengannya tidak ada gunanya lagi, kecuali dalam
keadaan gawat darurat.
Hubungan dokter dan pasiennya haruslah saling percaya,saling menghormati dan saling
menghargai. Sehingga bila pasien telah berkali-kali tidak mematuhi instruksi dokter ,
dokter bisa memutuskan hubungan dengan alasan pasien tidak kooperatif.
4. Hak menolak pasien yang bukan bidang spesialisnya,kecuali dalam keadaan
darurat atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya.
Seorang dokter pastilah telah menyadari kemampuan yang dimilikinya sehingga dia
berhak menolak menangani pasien karena bukan bidang specialisainya, tetapi untuk
pasien gawat darurat dokter wajib untuk menanganinya terlebih dahulu
5. Hak atas privasi dokter
Page 49
Dokter juga mempunyai privasi yang wajib dihormati sehingga bila seorang pasien
mengetahui kehidupan pribadi dokter maka pasien tersebut sebaiknya tidak menyebar
luaskan hal hal tersebut.
6. Hak atas ketentraman bekerja
Hal ini sangatlah mutlak diperlukan, karena suasana tentram akan lebih membantu
dokter untuk berkonsentrasi, juga sikap profesionalitas dokter tidaklah terpengaruh
dibawah tekanan fisik atau permintaan pasien yang tidak wajar. Untuk itu dokterpun
dituntut untuk bekerja memegang teguh prinsip-prinsip ilmiah dan moral/etika profesi
7. Hak mengeluarkan surat surat keterangan dokter
Seorang dokter hanya memberikan surat keterangan berdasar pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenaranya , meliputi cuti sakit;kelahiran; kematian; cacat; penyakit
menular; visum et repetum (pro justicia);keterangan kesehatan untuk asuransi jiwa,untuk
lamaran kerja,untuk kawin dan sebagainya. (KODEKI psl 7).
8. Hak menjadi anggota himpunan profesi
Seorang dokter berhak bergabung dengan organisasi profesinya dengan tujuan untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan dan tehnologi sesuai dengan perkembangan jaman .
9. Hak membela diri
Seorang dokter mempunyai hak membela dirinya dari tuntutan pasien yang tidak puas
atas pelayanan pengobatan yang telah diberikan.
10. Hak untuk menolak memberi kesaksian mengenai pasiennya dipengadilan
Seorang dokter berhak menolak memberikan kesaksian dipengadilan bila menyangkut
rahasia jabatan ,diatur dalam pasal 170 KUHP yang berbunyi :
Page 50
Menurut KODEKI ( Kode Etik Kedokteran Indonesia ) kewajiban dokter terbagi atas :
I.
II.
III.
IV.
Kodeki ini akan kita bahas pasal demi pasal dalam bab lebih lanjut .
Page 51
rata-
rata setingkat, sesuai dengan bidang bidang yang telah dia tempuh. Pengetahuan bisa
didapatkan dari diskusi bersama teman sejawat ataupun dari seminar-seminar,konvensi
internasional bahkan jurnal jurnal yang sekarang ini bisa didapatkan dengan mudah lewat
internet. Hal ini diperkuat dialam Kode etik kedokteran dalam pasal 17 yang berbunyi
Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap
sesuai dengan cita citanya yang luhur .
2. Harus mempergunakan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya dengan hati hati,
proporsional dan teliti .
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 52
Seorang dokter yang dianggap tidak memenuhi prosedur, kasus persalinan sungsang di
kota Surabaya yang operasinya ditangani seorang dokter umum hal ini bertentangan
dengan standar pelayanan medik, karena proses melahirkan hanya bisa dilakukan oleh
dokter
specialis
kandungan,
tetapi
bila
berada
dipuskesmas
terpencil
misalnya
dipegunungan jaya wijaya dimana yang ada hanyalah seorang dokter umum , maka operasi
tersebut bisa dilakukan inilah hal-hal yang disebut kasuistis.
3. Dokter harus mempunyai pertimbangan yang terbaik (to exercise the best judgment),
walapun sebagai manusia biasa tak pernah lepas dari kesalahan , asalkan tidak
tergolong kesalahan yang kasar (gross negligence ) .
Dokter dituntut untuk memberi penilaian dan pertimbangan yang terbaik untuk mengobati
pasienya, misalkan dengan memakai obat obatan merek A atau merek B , kasus kedua
dimana pasien bisa saja dioperasi ataupun hanya dengan berobat jalan . Sehingga standar
profesi medis
Kewajiban kewajiban dokter juga diatur didalam Undang undang Kesehatan No. 23 Tahun
1992 pasal 50 dan pasal 51 yaitu :
KELALAIAN
Seorang dokter dapat dianggap telah berbuat kelalaian apabila dapat dibuktikan bahwa :
tidak menggunakan suatu standar praktek medik untuk melakukan uji-uji diagnostik tertentu
BIOETIK HUMANIORA (Dr.Pinky)
Page 53
bahwa dokter itu tidak menggunakan uji-uji tersebut sehingga diagnosis yang ditegakkan
dan pengobatannya tidak tepat.
bahwa sebagai akibatnya pasien menjadi luka atau
Page 54
Setiap hubungan hukum yang terjadi antara dua pihak akan membawa hak dan kewajiban
yang bersifat timbal balik. Hak pihak pertama merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
pihak kedua dan sebaliknya pihak pertama juga mempunyai kewajiban yang merupakan hak
dari pihak kedua.
Demikian juga pada hubungan hukum antara dokter dan pasien. Masing masing mempunyai
hak dan kewajiban yang akan kita bahas berikut ini.
Page 55
Page 56
Page 57