You are on page 1of 13

Disusun Oleh :

Arum Asminati (31113035)


Fatimah Al Habsyi (31113019)
Ika Ariyanti (31113001)
Kelas A
Semester II
Fakultas hukum
Universitas Batam

HUKUM ISLAM KONTEMPORER


Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul
di kalangan para sahabat dapat ditanyakan langsung kepada beliau. Biasanya beliau
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan menyebut ayat al-Quran, atau
menunggu jawaban wahyu dari Allah, atau dalam keadaan tertentu ketika tidak
ditemukan jawabannya melalui wahyu, beliau memberikan jawaban melalui pendapat
beliau pribadi atau hasil musyawarah beliau dengan para sahabat. Pendapat beliau seperti
itu belakangan disebut Sunnah.
Setelah Nabi wafat dengan demikian wahyu terputus, artinya tidak ada lagi wahyu atau
hadis yang turun. Persoalan hukum tidak berhenti dengan wafatnya Nabi atau telah
terputusnya wahyu, malahan makin banyak, pelik, dan kompleks. Hal ini disebabkan
karena pada zaman Nabi, masyarakat yang ada hanyalah terbatas pada masyarakat Arab
yang berada di kota Madinah dan sekitarnya, kehidupan mereka masih sederhana, mereka
hanya bedagang, peternak dan sedikit bertani. Sementara pada zaman sesudahnya, Islam
telah jauh menembus luar batas jazirah Arab. Orang yang memeluk agama Islam bukan
hanya orang-orang Arab, tetapi juga orang Persia, Mesir, Yaman, dll. Tentu saja
akulturasipun terjadi, sehingga persoalan kehidupan yang muncul akibat pergesekan
budaya secara otomatis pasti lebih banyak dan pariatif.
Pada periode sahabat, persoalan yang timbul dapat segera diatasi dengan baik karena
mereka adalah murid-murid terbaik Rasulullah (Khair al-qurun). Mereka sangat
memahami al-Quran maupun Sunnah dan seluk beluk keduanya. Mereka mengetahui
dengan baik setiap lafadz dan maksud dari setiap ungkapan yang terdapat dalam alQuran maupun Sunnah. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidaupan Nabi dan
pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat serta
Sunnah memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan
Allah.

Bila mereka menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan
ketentuan hukumnya mereka mencari jawabannya dalam al-Quran, bila tidak
menemukan jawabanya secara harfiah dalam al-Quran, mereka mencoba mencarinya
dalam Sunnah, bila dalam Sunnah juga tidak ditemukan mereka melakukan ijtihad
dengan mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa
yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah dengan selalu mempertimbangkan
pada usaha memelihara kemaslahatan umat.
Persoalan pemahaman terhadap al-Quran dan Sunnah timbul pada masa setelah masa
sahabat, dimana orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang Arab, tetapi juga
orang luar arab (ajam) dimana mereka tidak mengerti dan memahami bahasa Arab
dengan baik, karena al-Quran dan Sunnah tertulis dalam bahasa yang sangat tinggi nilai
sastranya. Dalam posisi seperti ini, bahasa Arab merupakan suatu bidang studi yang
niscaya harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenannya, para ulama
berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam
memahami al-Qur-an dan Sunnah yang keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Selain kaidah bahasa Arab, para ulama menetapkan dan menyusun kaidah-kaidah dalam
perumussan hukum dari sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang
ditetapkan ahli bahasa untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik.
Disamping itu, juga memperhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan
mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari
sumbernya itu disebut ushul fiqh.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER


(PADA ZAMAN KEEMASAN ISLAM)
Pada zaman keemasan Islam, - pase ini berlangsung selama masa pemerintahan
Bani Umayah dan bani Abas - para ulama giat melakukan ijtihad derhadap berbagai
persoalan, sehingga sering diantara mereka berijtihad dengan mempergunakan metode
sendiri, tidak terikat dengan metode istinbath yang ditemui ulama lain. Mereke inilah
yang terkenal dengan imam mujtahid. Mereka giat dalam mengembangkan ilmu,
khususnya dibidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Selain mengarang berbagai buku, mereka
juga mensyarah, mengomentari, mengkritik, atau meringkas buku-buku yang sudah ada.
Mereka bedah segala persoalan yang bersangkutan dengan persoalan hukum. Bukan saja
persoalan-persoalan yang telah dan sedang terjadi, bahkan mereka merambah ke
persoalan yang tidak membumi dan mengandai-andai, yang lebih terkenal dengan istilah
fiqh iftiradhi.
Perkembangan pesat ini terjadi antara lain disebabkan oleh besarnya perhatian para
khalifah terhadap ilmu, khususnya ilmu fiqh serta adanya kebebasan dalam mengeluarkan
pendapat. Di masa Abasiyah yang kedua, golongan Amawiyah mendirikan kekhalifahan
yang kedua di Andalus, sebagaimana golongan Alawiyah mendirikan Daulah Fatimiyyah
di Afrika. Dalam pemerintahan Abasiyah sendiri banyak daerah-daerah yang mendirikan
pemerintahan sendiri, sedang pemerintahan Abasiyah pada kenyataannya tidak
mempunayi kekuatan secara praktis. Kehancuran Abasiyah terjadi pada tahun 656
H/1258 M, dengan jatuhnya Bagdad ke kuasaan bahasa Mongol Tartar, yang meluaskan
kekuasaannya ke Astanah (1453) ke Syam/Syiria dan Libanon (1516 dan ke Mesir
(1517),

sedangkan

andalus

jatuh

ketangan

kristen

pada

tahun

1492.

Ilmu fiqh berhenti sedikit demi sedikit, dan setelah wafatnya imam At-Thabari, mujtahid
tidak muncul lagi, bahwa mereka hanya melakukan ijtihad fil madzhab, menguraikan
masalah yang telah diijtihadkan oleh imam madzhabnyaa, memberikan legitimasi dan
justifikasi hukum-hukum yang telah ada dan mentarjihkan dalil-dalil dari pendapat yang
berbeda-beda.

Para khalifah hanya menjadi pendukung madzhab yang ada. Turki mendukung madzhab
Hanafi, Daulah Ayubiyah mendukung madzhab SyafiI, Daulah Fatimiyah mendukung
madzhab Syiah Ismailiyah. Para hakim hanya menjadi pengikut madzhab yang dianut
oleh negara dan tidak berijtihad sendiri.Pada permulaan abad ke empat hijriyah, para
fuqaha Sunni menetapkan pintu ijtihad tertutup, sehingga dengan ditutupnya pintu ijtihad,
berkembanglah bidah dan khurufat, kejumudan berfikir dan terhentinya penelitian ilmu,
yang berkembang hanyalah taqlid saja. Hal ini diperparah dengan ekspansi barat kedunia
islam yakni pada abad ke 17, tepatnya tahun 1683 M hingga sebelum Perang Dunia I
seluruh dunia Islam telah berada di bawah telapak kaki penjajah. Untuk menjamin
kelangsungan penjajahan, kaum kolonialis memaksakan berlakunya hukum sekuler pada
semua daerah jajahan sehingga timbullah dualisme ilmu pengetahuan dan hukum di dunia
Islam. Adanya pemisahan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama, sekolah
umum dan sekolah agama, Para pakar hukum mereka yang mengetahui kulit hukum
Islam, menyebarkan isyu-isyu yang dapat memberikan gambaran keliru mengenai agama
Islam, khususnya ilmu fiqh. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam itu kolot, statis,
kejam, adat bangsa Arab, tidak cocok untuk dunia masa kini, karena pintu ijtihad telah
ditutup secara ijma oleh ulama sejak abad IV H, umat Islam wajib bertaqlid kepada salah
satu dari madzhab yang empat, tidak boleh pindah madzhab, dan lain-lain.
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah itu,
maka pada awal abad ke 13 H, timbullah ide-ide, usaha dan gerakan-gerakan untuk
pembebasan diri dan ilmu pengetahuan Islam dari penjajahan dan pengaruh barat dengan
mengadakan pembaharuan yang universal dalam bidang pendidikan, sosial, pilitik,
ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia Islam. Gerakan ini menyerukan untuk
mengusir penjajah, mengembangkan ilmu Islam, meninggakan taqlid buta dan bidah
dengan kembali kepada ajaran al-Quran dan al-hadis serta mengikuti metode ulama
salaf.
Ternyata perjuangan mereka itu telah nyata berhasil dan kini kita telah rasakannya, umat
Islam kini sudah tidak dijajah lagi oleh kolonialis. Demikian juga dalam pembaharuan
dibidang pendidikan, sosial, politik, dan militer. Kemajuan ilmu dan teknologi telah
membawa banyak perubahan dalam pola fikir dan pola sikap masyarakat dalam
menghadapi hidup ini. sikap rasional menjadi ciri utama masyarakat madern,

karena itu paktek-praktek ilmu fiqh sebagai hasil pemikiran para fuqaha di masa lalu
mulai kurang dapat menjawab berbagai persoalan. Karena itu sudah mulai banyak
ketentuan-ketentuan fiqh lama yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis.
Selain itu sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan sematamata membolak balik kitab-kitab fiqh yang sudah ada. Jika pada masa imam mujtahid,
fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka
pada masa beriktunya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya
aktualitasnya.
Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kehidupannya diatur oleh hukum Allah, tetapi
dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini - yang tidak lain merupakan
formulasi resmi dari hukum syara- belum seluruhnya memenuhi keinginan umat Islam,
oleh karena kondisi sekarang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika
mereka memformulasikan kitabnya itu. Karena itu diperlukan usaha reaktualisasi hukum
yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan
keagamaan dan keduniaan umat Islam sesuai dengan persoalan zamannya.

SUMBER HUKUM ISLAM KONTEMPORER


Definisi fiqh kontemporer dan cakupannya telah dibicarakan dalam makalah pertama.
Yang menjadi tugas pemakalah adalah menguraikan apa yang menjadi sumber hukum
Islam kontemporer dan metode penjelasannya.Yang dimaksud hukum Islam dalam
makalah ini adalah fiqh, dan perbedaan sekaligus persamaannya telah dibahas secara
panjang lebar oleh beberapa penulis.[5] Seperti kita ketahui bahwa makna fiqh adalah
ilmu/pemahaman tentang hukum-hukum syara yang bersifat perbuatan yang difahami
dali dalil-dalilnya yang terperinci [6] Sebagai suatu ilmu tentu saja harus bersandar pada
sumber yang kuat dan jelas. Sebelum kita membicarakan apa saja yang termasuk sumber
Hukum Islam, ada baiknya kita bahas dulu arti dari sumber hukum itu.
Sumber dalam hukum fiqh merupakan terjemahan dari . Ada juga orang
yang menyebutnya dengan dalil ( ) karena beranggapan bahwa kedua kata tersebut
adalah sinonim. Namun, bila dilihat secara etimologis, keduanya tidaklah sinonim,
setidaknya bila dihubungkan dengan kata syariah. Kata masdar dapat diartikan suatu
wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan dalil
berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum
Allah.
Kata sumber dalam pengertian ini dapat digunakan untuk al-Quran dan Sunnah,
karena memang keduanya merupakan wadah tempat ditimbanya hukum syara, tetapi
tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma, qiyas,dan yang lainnya , karena bukan
wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma, dan qiyas merupakan cara/metode dalam
menemukan hukum.
Para ulama mengartikan dalil dengan sesuatu yang dapat memberikan petunjuk kepada
apa yang dikehendaki. Secara istilah dalil - seperti yang diungkapkan oleh Abdul Wahab
Khalaf - sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan
pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara
qathi maupun secara dhanni. Oleh karena itu kata dalil dapat digunakan untuk alQuran dan sunnah juga dapat digunakan untuk ijma dan qiyas, karena memang
semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah. Al-Quran dan Sunnah merupakan
[
[

sedangkan ijma dan qiyas merupakan .


Untuk yang pertama sering para ulama menyebutnya dengan dalil naqli sementara yang
kedua disebut dalil aqli. Sealain ijma dan Qiyas yang termasuk dalam katagori ini adalah
al-Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, al-istishab, al-Urf, syaru man qablana, qaul
shahabi. Namun yang disepakati para ulama hanyalah ijma dan qiyas, artinya semua
ulama memakai keduanya sebagai dalil hukum. Sementara yang lainnya para ulama
berbeda

pendapat

ada

yang

memakai,

ada

pula

yang

menolaknya.

Yang termasuk sumber hukum dan dalil hukum Islam adalah :


1. Al-Quran
Yang menjadi sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah al-Quran. Al-Quran
merupakan kitab suci yang ditutunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam
mushaf, diturunkan dengan perantraan malaikat Jibril dinukilkan secara mutawatir, terdiri
dari 30 juz dan 114 surat, merupakan mukjizat bagi kenabian Muhammad dan bagi yang
membacanya merupakan ibadah.
Dari 6 ribuan lebih ayat al-Quran, hanya sebagian kecil yang mengandung hukum yaitu
yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan perbuatan dan
ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik
dalam hubungannya dengan Allah maupun dalam hubungannya dengan manusia dan
alam sekitarnya Al-Quran merupakan sember utama bagi hukum Islam sekaligus juga
sebagai dalil utama fiqh. Alquran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk
menemukan

hukum-hukum

yang

terkandung

dalam

sebagian

ayat-ayatnya.

Karena kedudukan al-Quran merupakan sumber pertama dan utama bagi penetapan
hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan
pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyyelesaiannya dari al-Quran.
Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan al-Quran, maka ia tidak boleh mencari
jawaban lain di luar al-Quran. Al-Quran juga menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Quran,

maka harus sesuai dengan petunjuk al-Quran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang
bertentangan

dengan

al-Quran.

Artinya

sumber

yang

lain

tidak

boleh

bertentangan/menyalahi al-Quran.
2. Al-Sunnah
Al-Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik dalam bentuk
ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi. [10] Dari definisi ini dapatlah kita fahami bahwa
ada tiga katagori sunnah yakni sunnah qauliyah yakni ucapan lisan Nabi yang didengan
dan dinukilkan oleh sahabatnya. Sunnah filiyah yakni semua perbuatan dan tingkah laku
Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi kemudian disampaikan dan
disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Sunnah taqririyah merupakan sikap Nabi
terhadap perbuatan para shahabat. Al-Sunnah ini berkedudukan sebagai sumber dan
sekaligus

sebagai

dalil

hukum

dalam

hukum

Islam

setelah

al-Quran.

Dilihat dari segi kualitasnya, sunnah yakni mutawatir, masyhur dan ahad. [11] Ketiga
tingkatan ini merupakan sumber dan dalil hukum Islam.

3. Ijma
[
[

Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah
SAW, terhadap hukum syara yang bersifat praktis. [12] Para ulama sepakat bahwa ijma
dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan hukum syara, tetapi mereka berbeda
pendapat dalam menentukan siap ulama yang berhak menetapkan ijma kecuali ijma
shahabat.
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi setingkat
dibawah dalil nash (al-quran dan sunnah). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Quran
dan sunnah, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara. Dan ijma
tersebut adalah ijma yang sharih, sementara ijma sukuti tidak dimasukkan kedalam
katagori ijma yang dapat dijadikan argumentasi, demikian pendapat imam Syafii. [13]
4. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya
dalam al-Quran dan Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Atau dengan perkataan lain qiyas adalah
menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya

karena

adanya

persamaan

illah

hukum. [14]

Dengan qiyas ini berarti para ulama telah mengembalikan ketentuan hukum suatu pada
sumbernya yani al-Quran dan Sunnah. Karena hukum Islam terkadang bersifat implisitanalogik terkandung dalam nash tersebut. Yang dilakukan dalam qiyas adalah penetapan
analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat, maka
hasilnya adalah akan melahirkan hukum yang sama pula karena azas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifar
yang membentuknya.

Metode

Penjelasan

dan

Pendekatan

Hukum

Islam

Kontemporer

Salah satu metode penjelasan dan pendekatan dalam memecahkan permasalahan


[
[
[

kontemporer adalah melalui metode lintas madzhab (perbandingan Madzhab) yakni


dengan mempelajari pendapat semua fuqaha dalam semua madzhab fiqh seperti
madzhab Hanafi, Maliki, SyafiI, Hambali, Dzahiri, Syiah Imamiyah dll beserta
dalil-dalil dan qaidah-qaidah istinbath masing-masing madzhab dalam membahas
sesuatu persoalan. Kemudian dibanding antara satu pendapat dengan pendapat yang
lain, untuk kemudian dipilih satu pendapat yang lebih benar, karena didukung oleh
dalil terkuat, ataupun dengan mengetengahkan pendapat baru yang dapat digali dari
al-quran dan sunnah melalui metode kajian ushuli, qaidah istinbath, maqasid syariah
dan ilmu bantu lainnya secara objektif dan terlepas dari pengaruh pendapat dan
bembelaan terhadap madzhab tertentu, serta terjauh dari segala unsur subjektifitas
pribadi, golongan dll. selanjutnya pendapat itu dibandingak dengan hukum positif
dengan tidak perlu mamaksakan pendapat dan pendirian pembahasnya sendiri.
Metode ini merupakan metode yang paling efektif untuk membasmi khilafiyah,
mempersatukan umat, memperkenalkan hakekat syariat Allah yang hakiki dan untuk
membuktikan bahwa fiqh Islam dapat berkembang dan cocok untuk setiap tempat,
dan setiap waktu.
Adapun metode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada
suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan
mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan
pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dll. Persoalan yang dibahas
juga tidak hanya terbatas pada persoalan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqh,
akan tetapi meliputi pembahasan persoalan yang timbul dalam masyarakat khususnya
permasalahan yang baru dan bersentuhan dengan teknologi seperti kloning, bank susu
atau permasalahan-permasalahan aktual lainnya.
Agar selalu aktual dan membumi tentu saja aspek sosiologis, antropologis dan
kemaslahatan selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan hukum
kontemporer tersebut. Wallahu Alam.
DAFTAR PUSTAKA

bdul Wahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet VIII
1984
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo, Darul Fikr al-Arabi 1958
Ahmad Sukardja dalam Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk,
diterbitkan oleh UI Press Jakarta
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I Jakarta Logos 1997,
Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986
Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama,
Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj,
Yudian W, Asmin, Surabaya : al-Ikhlas 1995
Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Baerut, Darul Fikr 1991
[

1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta Logos 1997, jilid I hal 33

2] ibid

3] Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan

Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986, hal 9


[

4] Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, hal 44

5] lihat Amir Syarifuddin dalam op.cit, lihat juga Ahmad Sukardja dalam Piagam

Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup
Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk, diterbitkan oleh UI Press Jakarta
[

6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr Al-Arabi, 1958 hal 26

[
[
[
[
[
[

7] Amir Syarifudin, op. Cit hal 43

8] Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama,

hal 41
[

9] Abdul Waahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet

VIII 1984, hal 20


[

10] Ibid, hal 36

11] walaupun dalam hadis ahad ada sebagian ulama mempersyaratkan diterimanya

hadis ahad sebagai dalil hukum, diantaranya adalah madzhab Hanafi. Diantara
syaratnya adalah jika tidak terkait dengan peristiwa, tidak berlawanan dengan qiyas,
ushul dan kaidah-kaidah yang pasti dalam syariat dan terakhir perawi hadis ahad
tidak menyalahi riwayatnya, karena pa yang diriwayatkannya harus diamalkannya,
jika ditinggalkan, berarti ia meninggalkan sesuatu yang seharusnyadilakukan. (lebih
lanjut lihat Ramli SA. Op.cit, dan Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr al-Arabi)
[

12] Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, hal 198

13] Ibid, hal 205

14] ibid, hal 218

[
[
[
[
[
[
[
[

You might also like