Professional Documents
Culture Documents
Bila mereka menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan
ketentuan hukumnya mereka mencari jawabannya dalam al-Quran, bila tidak
menemukan jawabanya secara harfiah dalam al-Quran, mereka mencoba mencarinya
dalam Sunnah, bila dalam Sunnah juga tidak ditemukan mereka melakukan ijtihad
dengan mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa
yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah dengan selalu mempertimbangkan
pada usaha memelihara kemaslahatan umat.
Persoalan pemahaman terhadap al-Quran dan Sunnah timbul pada masa setelah masa
sahabat, dimana orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang Arab, tetapi juga
orang luar arab (ajam) dimana mereka tidak mengerti dan memahami bahasa Arab
dengan baik, karena al-Quran dan Sunnah tertulis dalam bahasa yang sangat tinggi nilai
sastranya. Dalam posisi seperti ini, bahasa Arab merupakan suatu bidang studi yang
niscaya harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenannya, para ulama
berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam
memahami al-Qur-an dan Sunnah yang keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Selain kaidah bahasa Arab, para ulama menetapkan dan menyusun kaidah-kaidah dalam
perumussan hukum dari sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang
ditetapkan ahli bahasa untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik.
Disamping itu, juga memperhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan
mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari
sumbernya itu disebut ushul fiqh.
sedangkan
andalus
jatuh
ketangan
kristen
pada
tahun
1492.
Ilmu fiqh berhenti sedikit demi sedikit, dan setelah wafatnya imam At-Thabari, mujtahid
tidak muncul lagi, bahwa mereka hanya melakukan ijtihad fil madzhab, menguraikan
masalah yang telah diijtihadkan oleh imam madzhabnyaa, memberikan legitimasi dan
justifikasi hukum-hukum yang telah ada dan mentarjihkan dalil-dalil dari pendapat yang
berbeda-beda.
Para khalifah hanya menjadi pendukung madzhab yang ada. Turki mendukung madzhab
Hanafi, Daulah Ayubiyah mendukung madzhab SyafiI, Daulah Fatimiyah mendukung
madzhab Syiah Ismailiyah. Para hakim hanya menjadi pengikut madzhab yang dianut
oleh negara dan tidak berijtihad sendiri.Pada permulaan abad ke empat hijriyah, para
fuqaha Sunni menetapkan pintu ijtihad tertutup, sehingga dengan ditutupnya pintu ijtihad,
berkembanglah bidah dan khurufat, kejumudan berfikir dan terhentinya penelitian ilmu,
yang berkembang hanyalah taqlid saja. Hal ini diperparah dengan ekspansi barat kedunia
islam yakni pada abad ke 17, tepatnya tahun 1683 M hingga sebelum Perang Dunia I
seluruh dunia Islam telah berada di bawah telapak kaki penjajah. Untuk menjamin
kelangsungan penjajahan, kaum kolonialis memaksakan berlakunya hukum sekuler pada
semua daerah jajahan sehingga timbullah dualisme ilmu pengetahuan dan hukum di dunia
Islam. Adanya pemisahan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama, sekolah
umum dan sekolah agama, Para pakar hukum mereka yang mengetahui kulit hukum
Islam, menyebarkan isyu-isyu yang dapat memberikan gambaran keliru mengenai agama
Islam, khususnya ilmu fiqh. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam itu kolot, statis,
kejam, adat bangsa Arab, tidak cocok untuk dunia masa kini, karena pintu ijtihad telah
ditutup secara ijma oleh ulama sejak abad IV H, umat Islam wajib bertaqlid kepada salah
satu dari madzhab yang empat, tidak boleh pindah madzhab, dan lain-lain.
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah itu,
maka pada awal abad ke 13 H, timbullah ide-ide, usaha dan gerakan-gerakan untuk
pembebasan diri dan ilmu pengetahuan Islam dari penjajahan dan pengaruh barat dengan
mengadakan pembaharuan yang universal dalam bidang pendidikan, sosial, pilitik,
ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia Islam. Gerakan ini menyerukan untuk
mengusir penjajah, mengembangkan ilmu Islam, meninggakan taqlid buta dan bidah
dengan kembali kepada ajaran al-Quran dan al-hadis serta mengikuti metode ulama
salaf.
Ternyata perjuangan mereka itu telah nyata berhasil dan kini kita telah rasakannya, umat
Islam kini sudah tidak dijajah lagi oleh kolonialis. Demikian juga dalam pembaharuan
dibidang pendidikan, sosial, politik, dan militer. Kemajuan ilmu dan teknologi telah
membawa banyak perubahan dalam pola fikir dan pola sikap masyarakat dalam
menghadapi hidup ini. sikap rasional menjadi ciri utama masyarakat madern,
karena itu paktek-praktek ilmu fiqh sebagai hasil pemikiran para fuqaha di masa lalu
mulai kurang dapat menjawab berbagai persoalan. Karena itu sudah mulai banyak
ketentuan-ketentuan fiqh lama yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis.
Selain itu sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan sematamata membolak balik kitab-kitab fiqh yang sudah ada. Jika pada masa imam mujtahid,
fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka
pada masa beriktunya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya
aktualitasnya.
Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kehidupannya diatur oleh hukum Allah, tetapi
dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini - yang tidak lain merupakan
formulasi resmi dari hukum syara- belum seluruhnya memenuhi keinginan umat Islam,
oleh karena kondisi sekarang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika
mereka memformulasikan kitabnya itu. Karena itu diperlukan usaha reaktualisasi hukum
yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan
keagamaan dan keduniaan umat Islam sesuai dengan persoalan zamannya.
pendapat
ada
yang
memakai,
ada
pula
yang
menolaknya.
hukum-hukum
yang
terkandung
dalam
sebagian
ayat-ayatnya.
Karena kedudukan al-Quran merupakan sumber pertama dan utama bagi penetapan
hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan
pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyyelesaiannya dari al-Quran.
Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan al-Quran, maka ia tidak boleh mencari
jawaban lain di luar al-Quran. Al-Quran juga menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Quran,
maka harus sesuai dengan petunjuk al-Quran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang
bertentangan
dengan
al-Quran.
Artinya
sumber
yang
lain
tidak
boleh
bertentangan/menyalahi al-Quran.
2. Al-Sunnah
Al-Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik dalam bentuk
ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi. [10] Dari definisi ini dapatlah kita fahami bahwa
ada tiga katagori sunnah yakni sunnah qauliyah yakni ucapan lisan Nabi yang didengan
dan dinukilkan oleh sahabatnya. Sunnah filiyah yakni semua perbuatan dan tingkah laku
Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi kemudian disampaikan dan
disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Sunnah taqririyah merupakan sikap Nabi
terhadap perbuatan para shahabat. Al-Sunnah ini berkedudukan sebagai sumber dan
sekaligus
sebagai
dalil
hukum
dalam
hukum
Islam
setelah
al-Quran.
Dilihat dari segi kualitasnya, sunnah yakni mutawatir, masyhur dan ahad. [11] Ketiga
tingkatan ini merupakan sumber dan dalil hukum Islam.
3. Ijma
[
[
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah
SAW, terhadap hukum syara yang bersifat praktis. [12] Para ulama sepakat bahwa ijma
dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan hukum syara, tetapi mereka berbeda
pendapat dalam menentukan siap ulama yang berhak menetapkan ijma kecuali ijma
shahabat.
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi setingkat
dibawah dalil nash (al-quran dan sunnah). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Quran
dan sunnah, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara. Dan ijma
tersebut adalah ijma yang sharih, sementara ijma sukuti tidak dimasukkan kedalam
katagori ijma yang dapat dijadikan argumentasi, demikian pendapat imam Syafii. [13]
4. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya
dalam al-Quran dan Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Atau dengan perkataan lain qiyas adalah
menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya
karena
adanya
persamaan
illah
hukum. [14]
Dengan qiyas ini berarti para ulama telah mengembalikan ketentuan hukum suatu pada
sumbernya yani al-Quran dan Sunnah. Karena hukum Islam terkadang bersifat implisitanalogik terkandung dalam nash tersebut. Yang dilakukan dalam qiyas adalah penetapan
analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat, maka
hasilnya adalah akan melahirkan hukum yang sama pula karena azas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifar
yang membentuknya.
Metode
Penjelasan
dan
Pendekatan
Hukum
Islam
Kontemporer
bdul Wahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet VIII
1984
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo, Darul Fikr al-Arabi 1958
Ahmad Sukardja dalam Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk,
diterbitkan oleh UI Press Jakarta
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I Jakarta Logos 1997,
Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986
Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama,
Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj,
Yudian W, Asmin, Surabaya : al-Ikhlas 1995
Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Baerut, Darul Fikr 1991
[
2] ibid
5] lihat Amir Syarifuddin dalam op.cit, lihat juga Ahmad Sukardja dalam Piagam
Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup
Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk, diterbitkan oleh UI Press Jakarta
[
6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr Al-Arabi, 1958 hal 26
[
[
[
[
[
[
8] Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama,
hal 41
[
9] Abdul Waahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet
11] walaupun dalam hadis ahad ada sebagian ulama mempersyaratkan diterimanya
hadis ahad sebagai dalil hukum, diantaranya adalah madzhab Hanafi. Diantara
syaratnya adalah jika tidak terkait dengan peristiwa, tidak berlawanan dengan qiyas,
ushul dan kaidah-kaidah yang pasti dalam syariat dan terakhir perawi hadis ahad
tidak menyalahi riwayatnya, karena pa yang diriwayatkannya harus diamalkannya,
jika ditinggalkan, berarti ia meninggalkan sesuatu yang seharusnyadilakukan. (lebih
lanjut lihat Ramli SA. Op.cit, dan Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr al-Arabi)
[
[
[
[
[
[
[
[
[