Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Penyakit-penyakit infeksi merupakan suatu masalah yang paling besar di dunia.
psikososial yang rumit, dan kadang kala tidak kentara, yang dihadapi pasien HIV.
Penilaian psikiatri, yang menilai kesejahteraan pasien saat itu dan risikonya terhadap
masalah psikiatri di masa mendatang, harus menjadi baku untuk setiap pasien yang
terinfeksi HIV. Sebagian besar penyakit psikiatri yang dialami dapat diobati dan, jika
tidak sembuh, setidaknya dikendalikan, dan ini merupakan kunci untuk mencapai
keberhasilan dalam pengobatan HIV dan memperbaiki mutu hidup pasien secara
keseluruhan. Di samping penilaian dan pengobatan psikiatri, tambahan psikoterapi,
konseling kerja sosial, dan dukungan sebaya mungkin bermanfaat untuk menghadapi
masalah pokok seperti penyalahgunaan narkoba atau alkohol yang terus-menerus,
ketunawismaan, dan pertengkaran keluarga, dan mungkin membantu memperbaiki
kepatuhan dan menurunkan perilaku berisiko.2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
(Orang Dengan HIV AIDS) berdasarkan instrumen MINI ICD-10, yaitu Gangguan
Mood seperti depresi (68%), Gangguan Anxietas Menyeluruh (41%),Gangguan Psikotik
(6%). Disamping itu, beberapa referensi yang lainnya menyatakan penyakit demensia
terkait HIV (HIV-associated dementia HAD) merupakan salah satu gangguan psikiatri
terutama mengenai penyebab organik pada pasien yang terinfeksi HIV. Ini merupakan
topik penting, karena 90% pasien AIDS mempunyai tanda penyakit SSP saat diotopsi
dan 65% sampai 80% pasien AIDS yang dirawat inap.2,4
2.1.1 DEPRESI
Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,
gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta
bipolar. Gangguan depresif merupakan gangguan medik serius menyangkut kerja otak,
bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam beberapa hari. Gangguan ini menetap
selama beberapa waktu dan mengganggu fungsi keseharian seseorang.5
afek depresif
kepercayaan diri berkurang, pikiran rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa
depan yang suram dan pesimistik, pikiran atau perbuatan yang membahayakan diri atau
bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan terganggu. Untuk episode depresi dari
ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk
penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar
biasa beratnya dan berlangsung cepat.6
AIDS. Alasan lain untuk bervariasinya angka prevalensi adalah penerapan untuk kriteria
diagnostik yang bervariasi, karena beberapa kriteria untuk gangguan depresif (
gangguan tidur dan penurunan berat badan ) juga dapat disebabkan oleh infeksi HIV itu
sendiri. Depresi akibat kondisi penyakit medis atau depresi sekunder akibat penyakit
medis atau fisik banyak terjadi. Kebanyakan menekankan pada beberapa bukti: bahwa
depresi lebih banyak terjadi pada populasi dengan penyakit medk-fisik disbanding
dengan yang tidak dengan penyakit medik-fisik, depresi sering tidak terdeteksi, tetapi
dipersepsi sebagai reaksi normal terhadap penyakit medik-fisik yang dideritanya;bahwa
depresi lebih sulit ditangani pada populasi dengan penyakit medic-fisik; penanganan
standar depresi cukup menolong;depresi yang tidak diterapi akan memperburuk
morbiditas penyakit fisiknya dan meningkatkan mortalitas.7
Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan penyulit
psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk menemukan
kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian depresi yang pasti
pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di dalam
masyarakat umum. Diagnosis depresi juga bisa menjadi sulit pada Odha,seperti pada
sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi berbagai cara tampaknya sama-sama
efektif asal ahli psikiatri yang menilainya mengetahui gangguan psikiatri dan somatik
tertentu dari penyakit tersebut. Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV
berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma (cap buruk),
yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi depresi. Depresi pada Odha juga
dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan
daya ingat serta konsentrasi. 2
Gangguan depresif membuat seluruh tubuh sakit, juga perasaan dan pikiran.
Gangguan depresif mempengaruhi nafsu makan dan pola tidur, cara seseorang
merasakan dirinya, berpikir tentang dirinya dan berpikir tentang dunia sekitarnya.
Keadaan depresi bukanlah suatu kesedihan yang dapat dengan mudah berakhir, bukan
tanda kelemahan dan ketidakberdayaan, bukan pula kemalasan. Mereka yang
mengalami gangguan depresif tidak akan tertolong hanya dengan membuat mereka
bergembira dengan penghiburan. Tanpa terapi tanda dan gejala tak akan membaik
selama berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun.5
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan
tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis
dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi
faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang membuat
gangguan depresif muncul.Penyebab gangguan jiwa senantiasa dipikirkan dari sisi
organobiologik, sosiokultural dan psikoedukatif. Dari sisi biologik dikatakan adanya
gangguan
pada
neurotransmiter
norefinefrin,
serotonin
dan
dopamin.
a.
hamper setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas
atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya free floating
atau mengambang)
b.
c.
d.
Reaksi anxietas pada Odha sering kali mencakup rasa khawatir yang mendalam,
ketakutan, dan prihatin terhadap kesehatan, masalah somatik, kematian, dan
ketidakpastian mengenai penyakitnya. Reaksi ini kerap kali mengarah kepada sulit tidur
dan berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan somatik. Perwujudan penyakit
kegelisahan lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan selama pengobatan atau
penyakit akut.2
hubungan antara dokter dan pasien, serta pemahaman yang rendah tentang penyakit,
pengobatan, dan prognosis.2
Psikosis dan delirium dapat sulit dibedakan, khususnya bagi dokter yang tidak
biasa dengan penyakit psikiatri atau delirium. Delirium adalah perubahan dalam
kesadaran dan ketajaman, dibanding dengan psikosis, yaitu perubahan dalam proses dan
isi pikiran dan juga dapat melibatkan perubahan dalam kesadaran, biasanya karena
gangguan konsentrasi atau penilaian akibat gejala psikosis lainnya. Sebagaimana halnya
gejala depresi, penyakit psikosis dapat diperburuk oleh pengobatan (misalnya asiklovir),
kelainan metabolik, atau infeksi. Dalam keadaan ini, penyebab medis yang
mendasarinya perlu diketahui dan diobati.2
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perwujudan gejala infeksi SSP oleh
HIV, termasuk penyakit mental organik, beraneka ragam dan kadang-kadang
membingungkan. Karena kebingungan ini, World Health Organization (WHO) dan
American Academy of Neurology mengusulkan agar dibuat penjelasan dalam bidang
ini. HAD akan mencakup kondisi yang secara umum disebut AIDS dementia complex
(ADC) dan HIV minor cognitive-motor disorder (MCMD). 3
HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motor, dan perilaku. Pada bagian
akhir spektrum yang parah ini terdapat ADC, satu kondisi yang dapat mengakibatkan
kerusakan SSP secara bermakna dan ini merupakan suatu penyulit pada penyakit AIDS.
Di sisi lain dari spektrum ini adalah MCMD terkait HIV; ini menggambarkan gejala
yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk demensia karena gejala ini tidak
mengganggu kegiatan sehari-hari secara bermakna. Kejadian dan prevalensi ADC
berbeda-beda, tergantung dari tahap infeksi dan kelompok yang diteliti.3
Dalam perilaku, menarik diri dari pergaulan, apatis, atau berkurangnya perhatian
kepada teman atau kegemaran mungkin terjadi. Terutama pada awal terjadinya, gejala
ini mungkin keliru dianggap depresi bila mereka benar-benar menunjukkan
pseudodepresi yang umum terjadi pada pasien dengan ADC. Gejala HAD, yang
awalnya mungkin ringan, dapat melaju kepada kemerosotan menyeluruh fungsi
kognitif, perlambatan psikomotor yang parah, paraparesis, dan tidak dapat menahan
untuk buang air kecil dan air besar. 3
BAB III
TERAPI
3.1
FARMAKOTERAPI
Pendekatan utama terhadap infeksi HIV adalah pencegahannya. Pencegahan
primer adalah melindungi orang dari mendapatkan penyakit; dan pencegahan sekunder
meliputi modifikasi perjalanan penyakit. Semua orang dengan tiap resiko untuk infeksi
HIV harus diberi tahu tentang praktek seks yang aman dan perlu menghindari
menggunakan bersama-sama jarum hipodermik yang terkontaminasi. Strategi
pencegahan dipersulit oleh nilai-nilai sosial yang kompleks disekitar tindakan seksual,
orientasi seksual, pengendalian kelahiran dan penyalahgunaan zat.7
Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b.
Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS.
c.
Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
10
serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan
yang lengkap tersebut angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan
kejadian infeksi opurtunistik amat berkurang.
3.1.1 Depresi
Banyak jenis terapi, efektivitas akan berbeda dari orang ke orang dari waktu ke
waktu. Psikiater memberikan medikasi dengan antidepresan dan medikasi lainnya untuk
membuat keseimbangan kimiawi otak penderita. Pilihan terapi sangat bergantung pada
hasil evaluasi riwayat kesehatan fisik dan mental penderita. Pada gangguan depresif
ringan seringkali psikoterapi saja dapat menolong. Tidak jarang terapi memerlukan
psikofarmaka antidepresan. Medikasi akan membantu meningkatkan suasana hati
sehingga relatif penderita lebih mudah ditolong dengan psikoterapi dan simptomnya
cepat menurun. Setiap individu mempunyai kebutuhan dan latar belakang yang berbeda,
sehingga terapinya disesuaikan dengan kebutuhannya. Terapi juga dipengaruhi oleh
masalah pribadi kehidupan penderita.5
Banyak klinisi percaya bahwa gangguan depresif pada pasien terinfeksi HIV harus
diobati secara agresif dengan medikasi antidepresan. faktor utama pengobatan
farmakologi mencakup tricyclic antidepressant (TCA), selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI), dan terapeutik.dosis normal yang digunakan pada orang dewasa, dan
dosis harus dinaikan sedikit-sedikit setiap dua sampai tiga hari hingga tercapai suatu
efek terapeutik. Obat-obatan ini mempunyai berbagai macam riwayat efek samping,
masa paruh, dan interaksi dengan obat lain dan karena itu sebaiknya dipilih dengan
pertimbangan yang hati-hati sesuai dengan keluhan somatik dan rejimen pengobatan
11
tertentu lainnya dari pasien. Misalnya, jika pasien menderita diare kronis dan neuropati
periferal, TCA mungkin lebih dipilih daripada SSRI karena SSRI lebih mungkin
memperburuk diare dan TCA terbukti efektif dalam mengobati neuropati periferal.
Penggunaan atau terapi elektroconvulsif (ECT) direkomendasikan jika pemeriksaan
neurologis menegakan tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial atau lesi system
saraf pusat yang mengambil tempat (space-occupying).2,7
suatu
benzodiazepine,
sebagian
besar
klinisi
lebih
menyukai
3.1.3 Psikosis
Pengobatan penyakit psikosis mencakup psikoterapi, dan obat antipsikosis atau
neuroleptik. Peningkatan dukungan sosial dan konseling kelompok dapat memberikan
dampak yang berarti pada jiwa pasien dengan riwayat psikosis. Pada satu penelitian
kecil, peningkatan konseling kelompok mengakibatkan peningkatan dalam pemakaian
kondom dan penurunan hubungan seks yang tidak aman pada kelompok pasien yang
tunawisma dengan penyakit psikosis kronis dan penyakit penyalahgunaan zat.2
12
potensi tinggi dan menggunakan alternatif yang berpotensi rendah, seperti tioridazin,
adalah bijaksana. 2,7
13
3.2
PSIKOTERAPI
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau
Tema psikodinamik utama pada pasien terinfeksi HIV adalah menyalahkan diri
sendiri, harga diri dan masalah tentang kematian. Dokter psikiatrik dapat membantu
pasien menghadapi perasaan bersalah tentang prilaku yang telah menyebabkan
perkembangan AIDS. Beberapa pasien AIDS merasa bahwa mereka adalah dihukum,
karena gaya hidup yang menyimpang. Tema praktis utama untuk pasien adalah
pekerjaan, manfaat medis, asuransi jiwa, rencana karir, dan hubungan dengan keluarga
dan teman-teman. Keseluruhan rentang pendekatan psikoterapeutik mungkin tepat
untuk pasien dengan gangguan yang berhubungan dengan HIV. Baik terapi individual,
dan terapi kelompok dapat efektif. Terapi individual dapat jangka pendek atau jangka
panjang dan dapat berupa suportif, kognitif, perilaku, atau psikodinamika. Tekhnik
terapi kelompok dapat terentang dari psikodinamika sampai yang seluruhnya bersifat
menunjang.7
14
BAB IV
KESIMPULAN
1.
2.
3.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Saragi J. Sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS dr.RSUP Haji Adam Malik
Medan (tesis).2008. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6362/1/09E00196.pdf.
2. Goldenberg D, Brian A, Boyle MD. HIV dan psikiatri : bagian 1. 2000. Available
from : URL: http://www.medscape.com/viewarticle/410244
3. Goldenberg D, Brian A, Boyle MD. HIV dan psikiatri : bagian 2. 2000. Available
from : URL: http://www.medscape.com/viewarticle/410244
4. Wibowo A. Frekuensi psikopatologi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Yayasan
Pelita
Ilmu
(YPI)
Kampung
Bali.
2004.
Available
from
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/c288787fdad0f00b69972d816c2f26045
10c0bbe.pdf
5. Muchid A, Chisin, wurjati R, et al. Pharmaceutical care untuk penderita gangguan
depresif. 2007. Available from
http://binfar.depkes.go.id/download/PC_DEPRESI.pdf
6. Maslan R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta :
PT.Nuh Jaya;2001. Hal.64
16
7. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis psikiatri edisi ketujuh jilid 1. Newyork.
hal.567
8. Maramis WF, Maramis AA. Catatan ilmu kedokteran jiwa edisi 2 : gangguan
neurotic,gangguan somatoform, dan gangguan terkait stress. Surabaya:Airlangga
university press;2009. Hal.308-11.
17