You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.

LATAR BELAKANG
Penyakit-penyakit infeksi merupakan suatu masalah yang paling besar di dunia.

Sementara mortalitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired immune


Deficiency Syndrome (AIDS) itu sendiri menduduki peringkat kedua. Masalah
HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di
seluruh dunia. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan menyebabkan
krisis kesehatan,krisis pembangunan Negara,krisis ekonomi,pendidikan dan juga krisis
kemanusiaan.Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multi dimensi.1
Telah diketahui sejak lama bahwa orang yang hidup dengan HIV, seperti pasien
lain dengan penyakit kronis, mungkin mengalami suatu bentuk gangguan psikiatri
(kejiwaan) selama perjalanan penyakitnya. Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik
mempunyai hubungan yang kompleks,menjadi terinfeksi HIV akan menyebabkan
gangguan psikiatrik sebagai konsekuensi psikologis dari infeksi atau karena efek dari
virus HIV dalam otak. Perjalanan penyakit AIDS yang progresif dan berakhir dengan
kematian,serta penyebaran yang cepat , adanya stigma dan diskriminasi terhadap
penderita dapat menimbulkan keadaan stress dan gangguan psikiatrik pada penderita
tersebut. Penelitian menunjukan bahwa prevalensi gangguan psikiatrik pada orang yang
hidup dengan HIV/AIDS adalah antara 30 60 %. Terdapat beberapa jenis gangguan
psikiatrik atau psikopatologi pada ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) berdasarkan
instrumen MINI ICD-10, yaitu Gangguan Mood seperti depresi (68%), Gangguan
Anxietas Menyeluruh (41%), Gangguan Psikotik Tunggal (6%).ada beberapa referensi
yang memasukan juga demensia terkait HIV.2,3,4

Gangguan psikiatri pada Odha telah dikaitkan dengan perilaku disfungsional,


termasuk hubungan seks tidak terlindung, dan penurunan dalam mutu hidup. Lagi pula,
kelainan ini mungkin mengganggu kemampuan pasien untuk memulai dan mematuhi
rejimen antiretroviralnya dan mungkin mengakibatkan kegagalan pengobatan. Dokter
yang mengobati pasien dengan infeksi HIV perlu menyadari permasalahan psikiatri dan

psikososial yang rumit, dan kadang kala tidak kentara, yang dihadapi pasien HIV.
Penilaian psikiatri, yang menilai kesejahteraan pasien saat itu dan risikonya terhadap
masalah psikiatri di masa mendatang, harus menjadi baku untuk setiap pasien yang
terinfeksi HIV. Sebagian besar penyakit psikiatri yang dialami dapat diobati dan, jika
tidak sembuh, setidaknya dikendalikan, dan ini merupakan kunci untuk mencapai
keberhasilan dalam pengobatan HIV dan memperbaiki mutu hidup pasien secara
keseluruhan. Di samping penilaian dan pengobatan psikiatri, tambahan psikoterapi,
konseling kerja sosial, dan dukungan sebaya mungkin bermanfaat untuk menghadapi
masalah pokok seperti penyalahgunaan narkoba atau alkohol yang terus-menerus,
ketunawismaan, dan pertengkaran keluarga, dan mungkin membantu memperbaiki
kepatuhan dan menurunkan perilaku berisiko.2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

GANGGUAN GANGGUAN PSIKIATRIK PADA ODHA


Terdapat beberapa jenis gangguan psikiatrik atau psikopatologi pada ODHA

(Orang Dengan HIV AIDS) berdasarkan instrumen MINI ICD-10, yaitu Gangguan
Mood seperti depresi (68%), Gangguan Anxietas Menyeluruh (41%),Gangguan Psikotik

(6%). Disamping itu, beberapa referensi yang lainnya menyatakan penyakit demensia
terkait HIV (HIV-associated dementia HAD) merupakan salah satu gangguan psikiatri
terutama mengenai penyebab organik pada pasien yang terinfeksi HIV. Ini merupakan
topik penting, karena 90% pasien AIDS mempunyai tanda penyakit SSP saat diotopsi
dan 65% sampai 80% pasien AIDS yang dirawat inap.2,4

2.1.1 DEPRESI
Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,
gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta
bipolar. Gangguan depresif merupakan gangguan medik serius menyangkut kerja otak,
bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam beberapa hari. Gangguan ini menetap
selama beberapa waktu dan mengganggu fungsi keseharian seseorang.5

Berdasarkan PPDGJ-III ( Pedoman Penggolongan Dan diagnosis Gangguan Jiwa


di Indonesia,edisi III ),kriteria seseorang yang mengidap depresi yakni :6

Gejala utama depresi ( pada derajad ringan,sedang dan berat )

afek depresif

kehilangan minat dan kegembiraan, dan

berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah ( rasa


lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan menurunnya aktivitas.
Gejala lainnya adalah konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan

kepercayaan diri berkurang, pikiran rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa
depan yang suram dan pesimistik, pikiran atau perbuatan yang membahayakan diri atau
bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan terganggu. Untuk episode depresi dari
ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk
penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar
biasa beratnya dan berlangsung cepat.6

Kira-kira 4 - 40% pasien terinfeksi HIV telah dilaporkan memenuhi kriteria


diagnostik untuk gangguan depresif. Prevalensi gangguan depresif pra-infeksi HIV
mungkin lebih tinggi dari biasanya pada kelompok yang berada pada resiko tertular

AIDS. Alasan lain untuk bervariasinya angka prevalensi adalah penerapan untuk kriteria
diagnostik yang bervariasi, karena beberapa kriteria untuk gangguan depresif (
gangguan tidur dan penurunan berat badan ) juga dapat disebabkan oleh infeksi HIV itu
sendiri. Depresi akibat kondisi penyakit medis atau depresi sekunder akibat penyakit
medis atau fisik banyak terjadi. Kebanyakan menekankan pada beberapa bukti: bahwa
depresi lebih banyak terjadi pada populasi dengan penyakit medk-fisik disbanding
dengan yang tidak dengan penyakit medik-fisik, depresi sering tidak terdeteksi, tetapi
dipersepsi sebagai reaksi normal terhadap penyakit medik-fisik yang dideritanya;bahwa
depresi lebih sulit ditangani pada populasi dengan penyakit medic-fisik; penanganan
standar depresi cukup menolong;depresi yang tidak diterapi akan memperburuk
morbiditas penyakit fisiknya dan meningkatkan mortalitas.7

Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan penyulit
psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk menemukan
kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian depresi yang pasti
pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di dalam
masyarakat umum. Diagnosis depresi juga bisa menjadi sulit pada Odha,seperti pada
sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi berbagai cara tampaknya sama-sama
efektif asal ahli psikiatri yang menilainya mengetahui gangguan psikiatri dan somatik
tertentu dari penyakit tersebut. Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV
berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma (cap buruk),
yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi depresi. Depresi pada Odha juga
dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan
daya ingat serta konsentrasi. 2

Gangguan depresif membuat seluruh tubuh sakit, juga perasaan dan pikiran.
Gangguan depresif mempengaruhi nafsu makan dan pola tidur, cara seseorang
merasakan dirinya, berpikir tentang dirinya dan berpikir tentang dunia sekitarnya.
Keadaan depresi bukanlah suatu kesedihan yang dapat dengan mudah berakhir, bukan
tanda kelemahan dan ketidakberdayaan, bukan pula kemalasan. Mereka yang
mengalami gangguan depresif tidak akan tertolong hanya dengan membuat mereka

bergembira dengan penghiburan. Tanpa terapi tanda dan gejala tak akan membaik
selama berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun.5

Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan
tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis
dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi
faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang membuat
gangguan depresif muncul.Penyebab gangguan jiwa senantiasa dipikirkan dari sisi
organobiologik, sosiokultural dan psikoedukatif. Dari sisi biologik dikatakan adanya
gangguan

pada

neurotransmiter

norefinefrin,

serotonin

dan

dopamin.

Ketidakseimbangan kimiawi otak yang bertugas menjadi penerus komunikasi antar


serabut saraf membuat tubuh menerima komunikasi secara salah dalam pikiran,
perasaan dan perilaku. Karena itu pada terapi farmakologik maka terapinya adalah
memperbaiki kerja neurotransmitter norefinefrin, serotonine dan dopamin.5

2.1.2 GANGGUAN ANXIETAS MENYELURUH


Gangguan Anxietas adalah keadaan tegang yang berlebihan atau tidak pada
tempatnya yang ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu atau takut. Gejalagejala anxietas terdiri atas 2 komponen, yaitu komponen psikis/mental dan komponen
fisik. Gejala psikis berupa anxietas atau kecemasan itu sendiri seperti was-was,
komponen fisik merupakan manifestasi dari keterjagaan yang berlebihan (hyperarousal
syndrome): jantung berdebar,napas cepat, mulut kering,keluhan lambung (maag),
tangan dan kaki terasa dingin dan ketegangan otot.Gangguan anxietas menyeluruh
termasuk yang paling sering dijumpai. Gambaran umum penyakit ini adalah adanya
kekhawiran atau anxietas yang kurang lebih konstan, yang tidak sebanding dengan
tingkat stressor sesungguhnya dalam kehidupan.8

Menurut PPDGJ-III ( Pedoman Penggolongan Dan diagnosis Gangguan Jiwa di


Indonesia,edisi III ),kriteria seseorang yang mengidap gangguan anxietas menyeluruh
yakni :6

a.

Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung

hamper setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas
atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya free floating
atau mengambang)
b.

Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsure-unsur berikut :


Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk,sulit
konsentrasi,dsb).
Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala,gemetaran,tidak dapat santai); dan
Overaktifitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebardebar,sesak napas,keluhan lambung,pusing kepala,mulut kering,dsb).

c.

Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan


(reassurance) serta keuhan-keluhan somatic berulangyang menonjol.

d.

Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),


khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan anxietas
Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresif, gangguan anxietas fobik, gangguan panik, atau gangguan obsesif
kompulsif.

Reaksi anxietas pada Odha sering kali mencakup rasa khawatir yang mendalam,
ketakutan, dan prihatin terhadap kesehatan, masalah somatik, kematian, dan
ketidakpastian mengenai penyakitnya. Reaksi ini kerap kali mengarah kepada sulit tidur
dan berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan somatik. Perwujudan penyakit
kegelisahan lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan selama pengobatan atau
penyakit akut.2

2.1.3 GANGGUAN PSIKOSIS


Psikosis pada HIV tampaknya kurang dipelajari dibanding depresi. Psikosis
merupakan istilah generik untuk satu dari sejumlah perwujudan gejala penyakit pikiran.
Gejala psikosis dapat menjadi bagian dari gangguan depresi yang parah, skizofrenia,
mania pada gangguan bipolar, atau penyakit obsessivecompulsive yang ekstrim.
Membedakan penyakit ini adalah sulit, biasanya diperlukan konsultasi dan pemantauan
psikiatri. Gejala psikosis dapat menyebabkan terlambat di diagnosis, ketegangan

hubungan antara dokter dan pasien, serta pemahaman yang rendah tentang penyakit,
pengobatan, dan prognosis.2

Psikosis dan delirium dapat sulit dibedakan, khususnya bagi dokter yang tidak
biasa dengan penyakit psikiatri atau delirium. Delirium adalah perubahan dalam
kesadaran dan ketajaman, dibanding dengan psikosis, yaitu perubahan dalam proses dan
isi pikiran dan juga dapat melibatkan perubahan dalam kesadaran, biasanya karena
gangguan konsentrasi atau penilaian akibat gejala psikosis lainnya. Sebagaimana halnya
gejala depresi, penyakit psikosis dapat diperburuk oleh pengobatan (misalnya asiklovir),
kelainan metabolik, atau infeksi. Dalam keadaan ini, penyebab medis yang
mendasarinya perlu diketahui dan diobati.2

2.1.4 DEMENSIA TERKAIT HIV


Istilah demensia terkait HIV (HIV associated dementia HAD) mencakup
spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV pada SSP. Pada
beberapa kasus, penyebab organik tertentu dari penyakit psikiatri pada pasien yang
terinfeksi HIV, terutama demensia terkait HIV (HIV-associated dementia HAD). Ini
merupakan topik penting, karena 90% pasien AIDS mempunyai tanda penyakit SSP saat
diotopsi dan 65% sampai 80% pasien AIDS yang dirawat inap diketahui mengidap salah
satu tipe penyakit mental Organik.3

Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perwujudan gejala infeksi SSP oleh
HIV, termasuk penyakit mental organik, beraneka ragam dan kadang-kadang
membingungkan. Karena kebingungan ini, World Health Organization (WHO) dan
American Academy of Neurology mengusulkan agar dibuat penjelasan dalam bidang
ini. HAD akan mencakup kondisi yang secara umum disebut AIDS dementia complex
(ADC) dan HIV minor cognitive-motor disorder (MCMD). 3

HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motor, dan perilaku. Pada bagian
akhir spektrum yang parah ini terdapat ADC, satu kondisi yang dapat mengakibatkan
kerusakan SSP secara bermakna dan ini merupakan suatu penyulit pada penyakit AIDS.
Di sisi lain dari spektrum ini adalah MCMD terkait HIV; ini menggambarkan gejala

yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk demensia karena gejala ini tidak
mengganggu kegiatan sehari-hari secara bermakna. Kejadian dan prevalensi ADC
berbeda-beda, tergantung dari tahap infeksi dan kelompok yang diteliti.3

Penelitian menyatakan bahwa hingga 20% pasien dengan AIDS mengalami


demensia HIV dan kejadian tahunan setelah berkembang menjadi AIDS kurang-lebih
7%. Penelitian yang lebih baru kurang jelas mengenai kejadian ADC, tetapi penelitian
di Australia menyimpulkan bahwa ADC meningkat sesuai dengan perbandingan dari
penyakit AIDS dan sedikitnya sebagian dari peningkatan ini berhubungan dengan
rendahnya daya tembus obat antiretroviral terhadap SSP. ADC adalah demensia
subkortikal, dan perkembangannya terjadi secara tersembunyi. Sebagai demensia
subkortikal, biasanya tidak disertai gejala kognitif fokal, seperti afasia, apraksia, dan
agnosia.3

Secara khas, pasien yang menderita HAD mula-mula mengeluhkan terjadinya


penurunan kognitif yang ringan, seperti mental yang lamban dan sulit untuk
berkonsentrasi, mengingat, dan menyelesaikan tugas. Pada titik ini, hasil pemeriksaan
sederhana untuk mengetahui keadaan mental biasanya normal, tetapi beberapa
kemunduran psikomotor mungkin terlihat. Gejala psikomotor dapat mencakup mudah
kikuk atau gaya berjalan seperti sempoyongan serta refleks-refleks primitif dari hidung
(snout), genggaman (grasp), telapak tangan (palmomental), serta pergerakan jari yang
melambat dan kesulitan untuk mengatur gerakan mata.3

Dalam perilaku, menarik diri dari pergaulan, apatis, atau berkurangnya perhatian
kepada teman atau kegemaran mungkin terjadi. Terutama pada awal terjadinya, gejala
ini mungkin keliru dianggap depresi bila mereka benar-benar menunjukkan
pseudodepresi yang umum terjadi pada pasien dengan ADC. Gejala HAD, yang
awalnya mungkin ringan, dapat melaju kepada kemerosotan menyeluruh fungsi
kognitif, perlambatan psikomotor yang parah, paraparesis, dan tidak dapat menahan
untuk buang air kecil dan air besar. 3

Kesadaran terjaga kecuali untuk hipersomnia (sering sangat mengantuk).


Diagnosis HAD biasanya dibuat berdasarkan riwayat, penilaian klinis, dan
menyingkirkan penyebab perubahan status mental lain yang dapat diobati.
Penggambaran jarang membantu kecuali sebagai penolong dalam menyingkirkan
penyebab lain. CT dan MRI secara umum menunjukkan atrofi yang merata dengan
sulkus yang meluas dan pembesaran bilik jantung, tetapi penemuan ini tidak berkaitan
dengan status klinis. Tomografi positron emission (PET) bisa memperlihatkan
hipermetabolisme subkortikal pada tahap dini dan hipometabolisme kortikal dan
subkortikal pada tahap berikutnya. EEG mungkin normal atau menunjukkan
perlambatan yang merata, khususnya pada tahap lanjut. Dalam penelitian terhadap
orang HIV-positif nondemensia, hasil CT Scan tunggal berkaitan dengan disfungsi
kognitif.3

BAB III
TERAPI
3.1

FARMAKOTERAPI
Pendekatan utama terhadap infeksi HIV adalah pencegahannya. Pencegahan

primer adalah melindungi orang dari mendapatkan penyakit; dan pencegahan sekunder
meliputi modifikasi perjalanan penyakit. Semua orang dengan tiap resiko untuk infeksi
HIV harus diberi tahu tentang praktek seks yang aman dan perlu menghindari
menggunakan bersama-sama jarum hipodermik yang terkontaminasi. Strategi
pencegahan dipersulit oleh nilai-nilai sosial yang kompleks disekitar tindakan seksual,
orientasi seksual, pengendalian kelahiran dan penyalahgunaan zat.7

Banyak badan kesehatan telah menganjurkan distribusi kondom disekolah dan


distribusi jarum yang bersih bagi orang yang tergantung pada obat, tetapi masalah
tersebut masih kontroversial. Kondom telah terbukti merupakan strategi pencegahan
yang cukup aman (walaupun tidak sepenuhnya) dan efektif untuk melawan infeksi HIV.
Beberapa orang yang konservatif dan religious berpendapat bahwa abstinensia seksual
harus menjadi pesan pendidikan. Banyak laboratorium universitas dan perusahan
farmasi berusaha untuk mengembangkan suatu vaksin yang akan melindungi orang dari
infeksi HIV. Tetapi, perkembangan vaksin tersebut kemungkinan sekurangnya masih
satu dekade lagi. 7
Secara umum, penatalaksanaan orang dengan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis
yaitu :1
a.

Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

b.

Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS.

c.

Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama

10

serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan
yang lengkap tersebut angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan
kejadian infeksi opurtunistik amat berkurang.
3.1.1 Depresi
Banyak jenis terapi, efektivitas akan berbeda dari orang ke orang dari waktu ke
waktu. Psikiater memberikan medikasi dengan antidepresan dan medikasi lainnya untuk
membuat keseimbangan kimiawi otak penderita. Pilihan terapi sangat bergantung pada
hasil evaluasi riwayat kesehatan fisik dan mental penderita. Pada gangguan depresif
ringan seringkali psikoterapi saja dapat menolong. Tidak jarang terapi memerlukan
psikofarmaka antidepresan. Medikasi akan membantu meningkatkan suasana hati
sehingga relatif penderita lebih mudah ditolong dengan psikoterapi dan simptomnya
cepat menurun. Setiap individu mempunyai kebutuhan dan latar belakang yang berbeda,
sehingga terapinya disesuaikan dengan kebutuhannya. Terapi juga dipengaruhi oleh
masalah pribadi kehidupan penderita.5

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengobatan depresi pada Odha adalah


aman dan efektif. Dukungan dan konseling yang memungkinkan pasien menghadapi
dan menyelesaikan atau menyesuaikan diri terhadap kejadian yang menyebabkan stres
dalam hidup seperti masalah keuangan, kekerasan fisik, dan pertentangan dalam
keluarga yang dilakukan sendiri mungkin membantu mengendalikan depresi dan
memperbaiki mutu hidup. Terapi kelompok telah terbukti berguna untuk depresi ringan
sampai menengah, tetapi pengobatan farmakologi tampaknya diperlukan untuk depresi
yang lebih parah terkait dengan HIV.7

Banyak klinisi percaya bahwa gangguan depresif pada pasien terinfeksi HIV harus
diobati secara agresif dengan medikasi antidepresan. faktor utama pengobatan
farmakologi mencakup tricyclic antidepressant (TCA), selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI), dan terapeutik.dosis normal yang digunakan pada orang dewasa, dan
dosis harus dinaikan sedikit-sedikit setiap dua sampai tiga hari hingga tercapai suatu
efek terapeutik. Obat-obatan ini mempunyai berbagai macam riwayat efek samping,
masa paruh, dan interaksi dengan obat lain dan karena itu sebaiknya dipilih dengan
pertimbangan yang hati-hati sesuai dengan keluhan somatik dan rejimen pengobatan

11

tertentu lainnya dari pasien. Misalnya, jika pasien menderita diare kronis dan neuropati
periferal, TCA mungkin lebih dipilih daripada SSRI karena SSRI lebih mungkin
memperburuk diare dan TCA terbukti efektif dalam mengobati neuropati periferal.
Penggunaan atau terapi elektroconvulsif (ECT) direkomendasikan jika pemeriksaan
neurologis menegakan tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial atau lesi system
saraf pusat yang mengambil tempat (space-occupying).2,7

3.1.2 Gangguan Anxietas Menyeluruh


Usaha untuk mengobati suatu aspek gangguan kecemasan pada pasien terinfeksi
HIV dengan suatu tekhnik psikoterapeutik yang tepat dapat dilakukan; tetapi,
penggunaan obat anti anxietas sedative benzodiazepine atau non benzodiazepine
(misalnya Buspirone) atau penggunaan obat antidepresan mungkin diperlukan. Jika
menggunakan

suatu

benzodiazepine,

sebagian

besar

klinisi

menggunakan obat dengan paruh waktu yang singkat atau sedang.

lebih

menyukai

3.1.3 Psikosis
Pengobatan penyakit psikosis mencakup psikoterapi, dan obat antipsikosis atau
neuroleptik. Peningkatan dukungan sosial dan konseling kelompok dapat memberikan
dampak yang berarti pada jiwa pasien dengan riwayat psikosis. Pada satu penelitian
kecil, peningkatan konseling kelompok mengakibatkan peningkatan dalam pemakaian
kondom dan penurunan hubungan seks yang tidak aman pada kelompok pasien yang
tunawisma dengan penyakit psikosis kronis dan penyakit penyalahgunaan zat.2

Gejala psikotik mungkin memerlukan penggunaan obat antipsikotik untuk


mengendalikan prilaku yang sangat terdisorganisasi atau untuk menurunkan waham
atau halusinasi. Pasien terinfeksi HIV adalah rentan terhadap efek samping obat-obat
tersebut; Sebagaimana dengan obat antidepresan, obat antipsikosis sebaiknya dipilih
dengan mengingat riwayat efek samping dan interaksi obat. Haloperidol, mungkin obat
antipsikosis yang paling umum diresepkan, dan neuroleptik lain dengan kemampuan
tinggi, lebih mungkin menyebabkan efek ekstrapiramidal, khususnya gejala Parkinson,
pada orang dengan infeksi HIV. HIV merupakan virus neurotropik yang mempengaruhi
daerah subkortikal otak termasuk ganglia basal.. Jadi, menghindari obat neuroleptik

12

potensi tinggi dan menggunakan alternatif yang berpotensi rendah, seperti tioridazin,
adalah bijaksana. 2,7

Obat antipsikosis baru, seperti risperidon dan olanzapin, tampaknya dapat


diterima lebih baik pada orang dengan HIV. Khusus olanzapin tampak mempunyai lebih
sedikit efek samping Parkinson. Psikosis dan delirium dapat sulit dibedakan, khususnya
bagi dokter yang tidak biasa dengan penyakit psikiatri atau delirium. Delirium adalah
perubahan dalam kesadaran dan ketajaman, dibanding dengan psikosis, yaitu perubahan
dalam proses dan isi pikiran dan juga dapat melibatkan perubahan dalam kesadaran,
biasanya karena gangguan konsentrasi atau penilaian akibat gejala psikosis lainnya.
Sebagaimana halnya gejala depresi, penyakit psikosis dapat diperburuk oleh pengobatan
(misalnya asiklovir), kelainan metabolik, atau infeksi. Dalam keadaan ini, penyebab
medis yang mendasarinya perlu diketahui dan diobati. 2

3.1.4 Demensia Terkait HIV


Pada masa sebelum HAART, sedikit yang dapat dilakukan untuk menghentikan
laju HAD. Namun, selama beberapa tahun terakhir, ada peningkatan bermakna dalam
pemahaman neuropatogenesis penyakit HIV di otak serta dampak obat antiretroviral
pada SSP dan penyerapannya ke dalam SSP. Dengan peningkatan pemahaman tentang
patogenesis, ada sejumlah bukti yang terus berkembang yang mendukung pengobatan
infeksi HIV yang mendasarinya. namun, berdasarkan data ini, terapi antiretroviral
dengan obat yang dapat menembus SSP secara optimal (AZT, ddI, d4T, nevirapine,
efavirenz, indinavir) sebaiknya diteruskan secara agresif sebagai sarana untuk
memperlambat, atau dalam beberapa kasus, membalik arah laju HAD. Tentu saja,
karena kepatuhan adalah hal yang tidak mungkin pada pasien dengan HAD tahap apa
pun, sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap pengobatan termasuk terapi dengan
pengawasan langsung (directly observed therapy DOT).3

Psikostimulan (pemolin, metilfenidat, dekstoamfetamin) mungkin berguna untuk


mengobati apatis dan perlambatan psikomotor. Antidepresan sebaiknya dipakai untuk
mengobati depresi yang terjadi bersamaan, tetapi antidepresan trisiklik sebaiknya

13

dihindari karena adanya kekhawatiran yang meningkat sehubungan dengan delirium


antikoligernik.3

3.2

PSIKOTERAPI
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau

mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola


perilaku,maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional
antara terapis dengan penderita. Psikoterapi dilakukan dengan memberikan kehangatan,
empati, pengertian dan optimisme. Dalam pengambilan keputusan untuk melakukan
psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dari dokter atau penderitanya.5

Tema psikodinamik utama pada pasien terinfeksi HIV adalah menyalahkan diri
sendiri, harga diri dan masalah tentang kematian. Dokter psikiatrik dapat membantu
pasien menghadapi perasaan bersalah tentang prilaku yang telah menyebabkan
perkembangan AIDS. Beberapa pasien AIDS merasa bahwa mereka adalah dihukum,
karena gaya hidup yang menyimpang. Tema praktis utama untuk pasien adalah
pekerjaan, manfaat medis, asuransi jiwa, rencana karir, dan hubungan dengan keluarga
dan teman-teman. Keseluruhan rentang pendekatan psikoterapeutik mungkin tepat
untuk pasien dengan gangguan yang berhubungan dengan HIV. Baik terapi individual,
dan terapi kelompok dapat efektif. Terapi individual dapat jangka pendek atau jangka
panjang dan dapat berupa suportif, kognitif, perilaku, atau psikodinamika. Tekhnik
terapi kelompok dapat terentang dari psikodinamika sampai yang seluruhnya bersifat
menunjang.7

14

BAB IV
KESIMPULAN
1.

Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang kompleks,


menjadi terinfeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai
konsekuensi psikologis dari infeksi atau karena efek dari virus HIV tersebut yang
menyerang otak.

2.

Terdapat beberapa jenis gangguan psikiatrik atau psikopatologi pada ODHA


(Orang Dengan HIV AIDS) berdasarkan instrumen MINI ICD-10, yaitu
Gangguan Mood seperti depresi (68%), Gangguan Anxietas Menyeluruh (41%),
Gangguan Psikotik Tunggal (6%). Terdapat beberapa referensi yang memasukan
penyakit mental organik akibat HIV yaitu demensia terkait HIV.

3.

Terapi pada Gangguan-gangguan psikiatrik pada ODHA mencakup terapi


Psikofarmakologi yakni pengobatan terutama untuk penyakit HIV/AIDS itu

15

sendiri serta terapi untuk gangguan-gangguan psikiatrik yang menyertainya dan


Psikoterapi terutama ditujukan untuk gangguan-gangguan psikiatriknya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Saragi J. Sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS dr.RSUP Haji Adam Malik
Medan (tesis).2008. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6362/1/09E00196.pdf.
2. Goldenberg D, Brian A, Boyle MD. HIV dan psikiatri : bagian 1. 2000. Available
from : URL: http://www.medscape.com/viewarticle/410244
3. Goldenberg D, Brian A, Boyle MD. HIV dan psikiatri : bagian 2. 2000. Available
from : URL: http://www.medscape.com/viewarticle/410244
4. Wibowo A. Frekuensi psikopatologi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Yayasan

Pelita

Ilmu

(YPI)

Kampung

Bali.

2004.

Available

from

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/c288787fdad0f00b69972d816c2f26045
10c0bbe.pdf
5. Muchid A, Chisin, wurjati R, et al. Pharmaceutical care untuk penderita gangguan
depresif. 2007. Available from
http://binfar.depkes.go.id/download/PC_DEPRESI.pdf
6. Maslan R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta :
PT.Nuh Jaya;2001. Hal.64

16

7. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis psikiatri edisi ketujuh jilid 1. Newyork.
hal.567
8. Maramis WF, Maramis AA. Catatan ilmu kedokteran jiwa edisi 2 : gangguan
neurotic,gangguan somatoform, dan gangguan terkait stress. Surabaya:Airlangga
university press;2009. Hal.308-11.

17

You might also like