Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Pertumbuhan sapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ternak dikembang-biakan. Pemerintah
tidak lagi membuka impor sapi bakalan yang siap digemukkan untuk memenuhi kebutuhan akan daging. Sapi
bakalan dan kerbau didatangkan dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur oleh Peternakan sapi
potong di Cicurug, Sukabumi dengan tujuan penggemukan dan mengantisipasi kekurangan daging di Jawa
Barat dan DKI Jakarta. Karena sering terjadi kasus kematian sapi bakalan dan sapi dewasa. Maka pada bulan
September 2005 telah diambil sampel ulas darah dari 40 ekor sapi secara random dan 10 sampel feses dari
sapi klinis diare. Sampel diperiksa di Kelti Parasitologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Hasil
pemeriksaan darah menunjukkan hasil satu ekor positif Trypanosoma evansi (2,5%), dan 17 ekor positif
Theileria sp (42,5%). Sementara itu, hasil pemeriksaan feses positif mengandung Fasciola gigantica,
Mecistocirrus digitatus dan Coccidia. Penyakit akibat parasit dapat menyebabkan kematian hospes apabila
jumlah investasi banyak kematian hospes dapat pula terjadi akibat stres.
Kata kunci: Sapi potong, T. evansi, Theileria sp, F. gigantica, M. digitatus, Coccidia
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk, pendapatan
per kapita dan masyarakat Indonesia
berpengaruh terhadap kebutuhan akan sandang,
pangan dan papan. Kesadaran akan gizi asal
ternak mendorong meningkatnya permintaan
akan produk-produk peternakan salah satu
diantaranya yaitu daging sapi. Kebutuhan
daging sapi untuk kosumsi penduduk Indonesia
semakin meningkat setiap tahun sesuai dengan
kenaikan jumlah penduduk, tetapi dilain pihak
pengadaan daging sapi setiap saat menurun.
Pemerintah membuka impor sapi-sapi
bakalan yang siap digemukkan untuk
memenuhi akan daging. Sapi yang diimpor dari
Australia adalah Australia Commercial Crosses
yang berdasarkan darah tetuanya menjadi
Brahman Cross (BX) dan Shorthorn Cross
(SX) (TURNER, 1977; BRAHMANTIYO, 2001).
Potensi
pertumbuhan
dalam
periode
pertumbuhan setelah disapih dipengaruhi oleh
faktor bangsa, heterosis dan jenis kelamin.
Sementara
itu,
pola
pertumbuhannya
tergantung pada sistem manajemen yang
dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia,
kesehatan dan iklim (COLE, 1982). Dalam
penggemukan sapi pedaging, pertumbuhan
yang cepat dan pertambahan bobot badan yang
122
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Sampel
Jumlah ulas darah positif
T. evansi
Theleria sp
A. marginale
17
39
23
40
Total
40
40
40
123
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Pemeriksaan
dengan
haematocrit
centrifugation technique (HCT)
Sebanyak 0,2 ml darah diambil langsung
dari vena telinga dengan menggunakan tabung
mikrohematokrit yang dilapisi heparin. Setelah
darah masuk ke dalam tabung ditutup dengan
penutup
(plastisin).
Kapiler
kemudian
disimpan di dalam termos es dan dibawa ke
laboratorium, tabung disentrifus dengan
kecepatan kira-kira 8.000 rpm selama 3 5
menit. Dengan menggunakan reader khusus
pada PCV dapat diukur, dan parasit dapat
ditemukan pada lapisan buffy coat dengan
menggunakan mikroskop dengan pembesaran
400 x. Hasil pemeriksaan ditemukan T. evansi.
Penyebaran Penyakit Surra
Surra adalah penyakit yang disebabkan
oleh parasit darah T. evansi yang merupakan
salah satu penyakit utama pada ternak sapi,
kerbau dan kuda. Surra dapat menyebabkan
turunnya produksi daging (PAYNE et al.,
1991a, b), keguguran (PARTOUTOMO et al.,
1995) dan berkurangnya tenaga kerja (PAYNE
et al., 1990; PAYNE et al., 1991b).
Penyebarannya diduga berkaitan erat dengan
penyebaran dan tingginya populasi lalat
pengisap darah Tabanus sp. Yang merupakan
vektor utama penyebaran penyakit surra di
Indonesia. Selain Tabanus sp., bisa juga
beberapa vektor lainnya seperti Chrysops sp..
Haematopota sp., Stomoxys sp., Musca sp., dan
Stegomya sp. Agen penyakit T. evansi dapat
pula disebarluaskan secara mekanis melalui
jarum suntik bekas vaksinasi atau pengobatan
yang terkontaminasi oleh ternak terinfeksi
surra. Disamping itu, penyebaran penyakit ini
juga didukung oleh tingginya tingkat mobilitas
dan impor ternak di Indonesia (PARTOUTOMO
et al., 1995)
Berdasarkan
penelitian
tim
BALITVET/ODA di sebelas provinsi (Aceh,
Sumatra Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara dan Selatan, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur) adalah
endemik. Kejadian infeksi diketemukan di
setiap lokasi pengambilan sampel (SUKANTO,
1994). Menurut penelitian tersebut, derajat
prevalensi antibodi pada kerbau lebih tingi
124
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
125
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 2. Hasil pemeriksaan tinja pada sapi klinis diare di salah satu peternakan di Sukabumi
Hasil Pemeriksaan
F. gigantica
M. digitatus
Paramphistomum
Oocyst
Tinja positif
Tinja negatif
10
Total
10
10
10
10
126
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
2.
3.
4.
5.
127
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Haemonchus
sp.
Memiliki
kemiripan,
demikian juga patogenesa dan gejala klinisnya.
Secara ultrastruktur dengan scanning electron
microscop kedua spesies tersebut mempunyai
perbedaan pada synlophe-nya, Haemonchus sp.
Memiliki synlophe longitudinal tajam atau
tumpul. Sedangkan M. digitatus synlophenya
sirkuler dan tumpul (HALIMAH, 2001b).
Perbedaan ultrastruktur karena perbedaanperbedaan profil protein dan menyebabkan
perbedaan imunegenitas di dalam memicu
terbentuknya antibodi (HALIMAH et al., 2004).
Penyebaran mecistocirrusis pada umumnya
melalui rumput atau pakan hijauan yang
terkontaminasi oleh larva infektil (L3). Di
dalam lambung L3 akan mengalami ekdisis
menjadi L4, pada stadium L4 dimulai periode
parasitik (mulai mengisap darah induk semang)
di dalam abomasum induk semang tahap L4
cukup lama yaitu dari hari ke-9 sampai hari ke
28 pasca infeksi (KUSUMAMIHARDJA, 1993).
Periode prepaten dicapai selama 59 82 hari
(DUNN, 1978), sedangkan menurut SOULSBY
(1986) dan KUSUMAMIHARDJA (1993) 60 hari,
dan menurut URQUHART et al (1994) 60 80
hari.
Pengobatan mecitocirrusis umumnya single
dosis Albendazol untuk sapi dosis 7,5 10
mg/kg, Fenbendazol untuk sapi 7,5 mg/kg,
Febantel untuk sapi 7,5 mg/kg.
Hasil pemeriksaan tinja ditemukan
Coccidia setelah di sporulasikan ternyata
Eimeria zurnii.
Patogenesitas dan gejala klinis. Tidak
semua faktor penentu patogenisitas Eimeria
diketahui, namun faktor-faktor penentu yang
penting adalah:
1. Jumlah ookista yang termakan.
2. Jumlah merozoit yang terbentuk selama
masing-masing stadium skizogoni. Hasil
perkembangan ini sangat menentukan
jumlah sel dan jaringan induk semang
yang rusak oleh setiap infeksi ookista
(SOULSBY, 1986).
3. Lokasi parasit di dalam jaringan dan sel
induk semang.
4. Tingkat kekebalan induk semang baik
secara alami maupun perolehan.
Koksidiosis pada sapi memperlihatkan
gejala klinis dehidrasi, anemia, diare.
Pengobatan penyakit koksidiosis pada sapi
menggunakan koksidiostat. Dalam pemilihan
128
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
129
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
130