Professional Documents
Culture Documents
Kerjasama
BANK INDONESIA PADANG
Dengan
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2008
KATA PENGANTAR
sekitarnya
dan
menemukan
strategi,
kebijakan
dan
program
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Halaman
i
ii
iv
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1
1
4
BAB 2
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Data dan Sumber Informasi
2.2. Lokasi dan Sampel Penelitian
2.3. Teknik Analisis Data
6
6
6
9
BAB 3
BAB 4
10
10
14
18
20
BAB 5
45
46
51
55
59
67
72
BAB 6
21
27
30
33
37
40
76
79
90
100
ii
BAB 7
Referensi
111
119
130
139
139
141
151
iii
DAFTAR TABEL
Tabel
1.1
Halaman
3
3.1
11
3.2
12
3.3
13
3.4
15
3.5
15
3.6
16
3.7
16
3.8
17
3.9
18
5.1
50
5.2
54
5.3
58
5.4
60
5.5
66
5.6
68
5.7
70
5.8
71
5.9
74
6.1
76
6.2
79
6.3
82
6.4
84
iv
85
6.6
87
6.7
89
6.8
92
6.9
93
6.10
94
6.11
95
6.12
97
6.13
99
6.14
101
6.15
103
6.16
104
6.17
106
6.18
109
6.19
111
6.20
112
6.21
113
6.22
114
6.23
117
6.24
118
6.25
119
6.26
120
6.27
122
6.28
123
6.29
124
6.30
125
6.31
126
6.32
128
6.33
130
6.34
131
6.35
132
vi
6.36
133
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1.1
Distribusi responden produsen dan pedagang
Halaman
3
4.1
25
4.2
26
4.3
29
4.4
32
4.5
36
4.6
39
4.7
44
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stabilitas ekonomi merupakan perhatian utama pembangunan
berkelanjutan. Tanpa stabilitas ekonomi, idealisme pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil, stabil dan berkelanjutan
akan sulit teruwujudkan. Salah satu komponen esensial dalam menjaga
stabilitas ekonomi adalah terciptanya stabilitas harga. Stabilitas harga menjadi
penting tidak hanya untuk menstimulasi kegiatan ekonomi produktif tetapi
juga mendorong bangkitnya permintaan efektif masyarakat. Kegiatan
ekonomi produktif yang berjalan bersamaan dengan permintaan efektif
menjadi kekuatan yang akan mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Akan tetapi, kesejahteraan masyarakat akan sulit terwujud di
dalam kondisi dimana terjadi inflasi (Fischer, Stanley, & Franco Modigliani,
1978), karenanya kebijakan pengendalian inflasi menjadi penting untuk
dilaksanakan.
Pengendalian inflasi tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan
permintaan efektif, tetapi juga sebagai salah satu indikator yang digunakan
Bank Indonesia untuk mempengaruhi kebijakan moneter. Pada tataran ini,
pengendalian inflasi merupakan indikator makro ekonomi yang mampu
memberikan gambaran pencapaian dan pengontrolan perekonomian negara
(Parkin, M. & G. Zis, 1976a; 1976b). Pengendalian inflasi memerlukan
rumusan-rumusan kebijakan yang tepat dan akurat sehingga laju inflasi dapat
ditekan pada level yang tidak membahayakan perekonomian.
Kehandalan memformulasi kebijakan pengendalian inflasi sangat
ditentukan oleh kedalaman pengetahuan dan informasi komoditas
penyumbang inflasi yang dimiliki (Awokuse, T. & J. Yang, 2003). Pengetahuan
komoditas penyumbang inflasi terutama terkait dengan pola distribusi dan
faktor pembentukan harganya. Pola distribusi dan unsur pembentukan harga
komoditas sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat harga masingmasing komoditas. Pola distribusi dan unsur pembentukan harga suatu
komoditas akan berbeda dengan komoditas lainnya. Karenanya pengetahuan
yang cermat dan akurat akan pola distribusi dan komponen pembentukan
harga masing-masing komoditas menjadi faktor kunci yang digunakan untuk
memformulasi kebijakan pengendalian inflasi (Furlong, F. & R. Ingenito,
1996). Dengan mengetahui pola distribusi dan komponen pembentukan harga
komoditas maka kebijakan pengendalian harga-harga komoditas dapat
menemukan mekanisme yang efisien dan efektif untuk dilaksanakan.
Dari data BPS olahan Bank Indonesia Padang pada Tabel 1.1, komoditas
yang memberikan pengaruh signifikan terhadap inflasi ataupun deflasi di
Provinsi Sumatera Barat yang diwakili Kota Padang adalah beras, cabe merah,
bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng. Komoditaskomoditas ini merupakan bahan makanan kebutuhan masyarakat Sumatera
Barat. Oleh karena itu, pergerakan harga beras, cabe merah, bawang merah,
ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng secara langsung
berpengaruh terhadap pergerakan inflasi ataupun deflasi di Provinsi Sumatera
Barat.
1
Mar-07
Apr-07
Mei-07
Jun-07
Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb
i
.
i
.
i
.
i
.
Beras
3,68
0,34 -4,35 -0,41 -8,40 -0,77 -7,32 -0,63
Bawang
Merah
11,18 -0,08 -9,57 -0,06 -8,39 -0,05
4,02
0,02
Cabe Merah
23,58
0,72 19,01 -0,71 29,32 -0,89 10,30
0,22
Ikan Tongkol
8,34
0,13 10,77
0,19 -6,94 -0,13
8,96
0,16
Daging
Ayam Ras
1,97
0,02
3,48
0,03 20,01
0,19
3,00
0,03
Minyak
Goreng
0,41
0,01
6,28
0,09
7,29
0,11
4,82
0,08
Umum
1,22
1,22 -0,87 -0,87 -1,32 -1,32
0,22
0,22
Komoditas
Jul-07
Agust-07
Sep-07
Okt-07
Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb
i
.
i
.
i
.
i
.
Beras
-2,98 -0,24
0,40
0,03
1,00
0,08 -1,06 -0,08
Bawang
Merah
8,37
0,05 12,61 -0,07
0,98
0,01
7,32
0,04
Cabe Merah
-1,30 -0,03
2,48
0,06
0,84
0,02 15,51
0,37
Ikan Tongkol
4,11
0,08
0,00
0,00
5,26
0,11 12,50
0,26
Daging
Ayam Ras
9,09
0,11 -1,25 -0,02 -2,25 -0,03 -0,77 -0,01
Minyak
Goreng
4,85
0,08 -0,90 -0,02
4,21
0,07
1,02
0,02
Umum
0,71
0,71
0,36
0,36
0,98
0,98
0,62
0,62
Komoditas
Nop-07
Des-07
Jan-08
Feb-08
Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb
i
.
i
.
i
.
i
.
Beras
5,23
0,39
3,65
0,29
1,83
0,15
5,39
0,43
Bawang
Merah
15,57
0,09 32,63
0,20 13,33 -0,11 14,80 -0,10
Cabe Merah
3,67
0,10
2,46
0,07 -5,27 -0,15 26,92
0,72
Ikan Tongkol
0,00
0,00
0,00
0,00 -2,38 -0,04
3,66
0,06
Daging
Ayam Ras
-1,75 -0,02 -1,21 -0,01
3,27
0,04
6,85
0,08
Minyak
Goreng
0,73
0,01
3,02
0,05
3,49
0,06
2,68
0,05
Umum
0,87
Sumber: BPS, 2008
0,87
1,53
1,53
0,87
0,87
1,99
1,99
BAB 2
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Data dan Sumber Informasi
Sumber informasi penelitian ini memanfaatkan data sekunder dan data
primer. Data sekunder di peroleh dari publikasi BPS, Bank Indonesia, laporanlaporan, jurnal-jurnal serta data lainnya yang relevan dengan penelitian.
Sedangkan data primer diperoleh melalui survei lapangan. Untuk kelengkapan
data primer dilakukan wawancara mendalam terhadap responden yang
dipandu oleh pencacah berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam
kuisioner.
2.2. Lokasi dan Sampel Penelitian
Lokasi penelitian ini dipilih sesuai dengan jalur distribusi komoditas
penyumbang inflasi terbesar diwilayah Sumatera Barat dan sekitarnya. Lokasi
penelitian dimulai dari pedagang pengecer di Pasar Raya Padang dan Pasar
Siteba yang merupakan representatif harga komoditas yang diterima
konsumen akhir di Kota Padang. Dengan kata lain, kedua pasar ini
merupakan basis penghitungan inflasi/deflasi di Kota Padang. Lokasi
selanjutnya sesuai jalur distribusi komoditas yang diarahkan oleh pedagang
pengecer, pedagang perantara/agen/pedagang besar hingga produsen.
2.2.1. Cakupan sampel
a. Wilayah: Kota dan atau Kabupaten di Sumatera Barat yang memiliki
keterkaitan terhadap distribusi komoditas (beras, cabe merah, bawang
merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng), mulai dari
produsen hingga konsumen.
b. Jumlah responden: 306 responden yang terdiri dari 51 reponden
komoditas beras, 52 responden komoditas cabe merah, 51 responden
komoditas bawang merah, 57 responden komoditas ikan segar, 49
responden komoditas daging ayam ras, dan 46 respoden komoditas
minyak goreng. Masing-masing responden per komoditas memiliki
keterkaitan erat dengan jalur distribusi dan pembentukan harga
komoditas (pembagian level distribusi secara proporsional).
2.2.2. Metode penarikan sampel
Survei dilakukan dengan teknik snow-ball sampling yakni metode untuk
mengidentifikasi dan memilih kasus dalam sebuah jaringan. Melalui teknik
snow-ball, jaringan informasi yang membentuk keseluruhan kerangka gejala
dapat diketahui. Selain itu, informasi yang menyangkut persepsi subyektif
pelaku/responden juga dapat diperoleh, karena seorang responden
kemungkinan besar akan menaruh kepercayaan besar terhadap peneliti
berdasarkan referensi responden sebelumnya.
Basis penemuan awal sampel responden menurut lokasi pedagang
pengecer di Pasar Raya Padang dan Pasar Siteba untuk komoditas beras,
cabe merah, bawang merah, daging ayam ras, ikan segar dan minyak goreng.
Pengambilan sampel awal responden pedagang pengecer dilakukan secara
acak bertujuan (random sampling purposive). Sampel responden pedagang
4
Responden Pedagang
Beras 15
Ikan Segar 34
Beras 36
Ikan Segar 23
Cabe Merah 30
Minyak Goreng 44
Minyak Goreng 2
Cabe Merah 22
Daging Ayam 14
Bawang Merah 40
Bawang Merah 11
Daging Ayam 35
BAB 3
KONDISI SOSIAL DAN PERILAKU EKONOMI RESPONDEN
Kondisi sosial dan perilaku pelaku ekonomi mempengaruhi keberlanjutan
pengembangan usahanya. Kondisi sosial dan perilaku seseorang akan
mempengaruhi pola pikir dan tindakannya dalam menjalankan usaha. Kondisi
sosial dan perilaku ini tergambar dari inovasi yang ditemukan dan solusi yang
diterapkan dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam
berusaha. Tidak hanya itu, kondisi sosial dan perilaku juga mempengaruhi
pelaku ekonomi dalam proses pembentukan harga dari setiap komoditas yang
diperdagangkan.
Dengan menggunakan data dan informasi yang diperoleh dari
pengamatan lapangan, bagian ini membahas kondisi sosial dan perilaku
responden yang terkait dengan komoditas beras, cabe merah, bawang
merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng dengan fokus pada
aspek sosial dan perilaku pelaku usaha terkait. Kondisi sosial dan perilaku
ekonomi responden menyoroti lebih mendalam tentang sumberdaya manusia
terutama pendidikan, motivasi memulai usaha dan keberlanjutan usaha
melalui perilaku penggunaan hasil usaha.
3.1. Sumber Daya Manusia
Produktivitas sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam
mengembangkan kegiatan usaha. Produktivitas sumberdaya manusia
dipengaruhi oleh usia, pendidikan dan pengalaman usaha. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa pelaku ekonomi pada jalur distribusi komoditas
penyumbang inflasi didominasi (82,2%) oleh pelaku berusia produktif yaitu
2050 tahun. Implikasinya, untuk mendorong akselerasi pengembangan
usaha dapat dilakukan dengan mengoptimalkan usia produktif untuk usaha
yang produktif pula.
Tabel. 3.1. Distribusi responden menurut kelompok umur dan kategori
usaha
perdagangan (%)
Kategori usaha perdagangan
Umur
Pedagang
responden
Pedagang Pedagang
hasil
Pedagang
(Tahun)
Pengumpul
Besar
produksi
Eceran
sendiri
<20
2,3
Jumlah
2,7
21-30
31-40
41-50
51-60
> 60
15,5
24,7
18,3
6,8
1,4
4,1
5,0
5,9
3,2
0,5
1,4
6,8
0,5
1,8
0,9
0,5
-
Jumlah
68,9
18,7
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
11,9
0,5
21,0
36,5
24,7
12,3
2,7
100,0
Status Responden
Pemilik
Pengelola
<20
1,2
21-30
16,5
31-40
15,3
41-50
21,2
51-60
12,9
> 60
3,5
Jumlah
70,6
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
3,5
2,4
5,9
3,5
15,3
Pemilik dan
Pengelola
2,4
4,7
2,4
3,5
1,2
14,1
Jumlah
1,2
22,4
22,4
29,4
20,0
4,7
100,0
3.1.1. Pendidikan
Pendidikan memegang peran penting dalam membentuk pola pikir
seorang memahami kondisi usaha yang dijalankan dan mempengaruhi
7
4,7
7,0
15,1
24,4
38,4
10,5
100,0
0,7
2,6
19,9
26,5
43,0
7,3
100,0
2,4
2,4
9,8
7,3
73,2
4,9
100,0
4,0
16,0
20,0
52,0
8,0
100,0
100,0
100,0
17,4
22,0
49,5
6,9
100,0
Jumlah
0,9
3,2
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
Secara umum jika dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor lain selain
perdagangan, tingkat pendidikan responden tidak terlalu rendah, namun juga
tidak terlalu tinggi. Hal ini perlu mendapat perhatian karena pendidikan akan
sangat mempengaruhi kesiapan sumberdaya manusia dalam menerima segala
bentuk perubahan yang terjadi dalam segala bidang seperti perkembangan
teknologi, teknik penjualan, pengemasan produk dan lainnya untuk
mendukung kegiatan usaha yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan dan semakin banyak pengalaman yang dimiliki, maka akan
semakin tanggap seorang pengusaha akan perubahan yang dapat
mengembangkan atau memperburuk kondisi usaha. Dari realita diatas
peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan tingkat
pendidikan seharusnya tetap menjadi prioritas.
3.2. Motivasi memulai usaha
Motivasi yang tumbuh dalam diri seseorang memainkan peran penting
dalam berusaha. Motivasi akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam
menjalankan usaha. Motivasi seseorang dalam memulai suatu usaha akan
Pedagang
hasil
produksi
sendiri
2,44
Jumlah
70,73
9,76
17,07
100,00
55,75
29,20
14,16
0,88
100,00
66,67
11,11
22,22
100,00
78,16
11,49
10,34
100,00
Cabe
Komoditi
Bawang Daging Minyak
Ikan
Merah
Melanjutkan usaha
42,3
27,3
orang tua
Produk cukup
15,4
39,4
menguntungkan dan
memiliki prospek
Dorongan Pemerintah
Potensi Bahan Baku
34,6
27,3
Lainnya
7,7
6,1
Jumlah
100
100
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
Merah
Ayam
Goreng segar
38,9
15,8
28,9
16,7
52,6
33,3
28,9
5,6
33,3
5,6
100
5,3
26,3
100
33,3
33,3
100
34,2
7,9
100
Jumlah
(%)
84,5
4,6
0,9
10
15
> 25
Tidak ada
42,4
25,7
Penjualan secara
3,0
konsinyasi
Tidak ada jaringan
4,5
4,3
2,4
7,1
Pemasaran
Persaingan Usaha
13,6
9,7
12,2
5,9
28,6 17,1
Harga jual tidak stabil
13,6
11,8
12,2
8,8
50,0 14,3
Lainnya
1,5
4,3
2,4
8,6
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
Hal lain yang dapat disimpulkan dari penelitian lapangan adalah 50%
pelaku dengan lama usaha 21 25 tahun menganggap fluktuasi harga pada
komoditas ini adalah sebuah permasalahan. Sebaliknya, hanya sebagian kecil
responden dengan pengalaman usaha yang lebih singkat yang merasakan
efek negatif dari fluktuasi harga yang terjadi. Ini kemungkinan disebabkan
selama menjalankan kegiatan usahanya, responden yang pengalaman antara
1 sampai dengan 5 tahun belum merasakan dampak yang cukup parah dari
adanya fluktuasi terhadap usahanya, sementara mereka yang telah memiliki
pengalaman usaha yang lebih dari 5 tahun telah cukup merasakan fluktuasi
usaha yang silih berganti. Biasanya semakin lama menjalankan usaha,
semakin dapat merasakan dampak dari fluktuasi ekonomi yang terjadi.
Apakah pada saat ekonomi yang sedang ekspansi ataupun pada waktu
ekonomi sedang kontraksi. Kemampuan pelaku usaha dalam menghadapi
fluktuasi ekonomi yang terjadi merupakan faktor utama yang menentukan
keberlanjutan usahanya.
Tabel. 3.8. Distribusi responden menurut struktur
modal
Struktur Modal
Modal sendiri < Modal Pinjaman
Modal sendiri = Modal Pinjaman
Modal sendiri > Modal Pinjaman
Modal sendiri saja
Modal Pinjaman Saja
Jumlah
Sumber: Penelitian Lapangan,
2008
Jumlah
(%)
6,1
4,9
20,7
62,2
6,1
100
Jumlah
(%)
98.8
12.9
61.2
14.1
42.4
7,1
12,9
63,5
12
beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak
goreng .
13
BAB 4
POLA DISTRIBUSI KOMODITAS PENYUMBANG INFLASI
Pemahaman pola distribusi komoditas beras, cabe merah, bawang
merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng merupakan pijakan
dalam melihat faktor-faktor yang berpengaruh pada inflasi di Sumatera Barat.
Pemahaman yang mendalam tentang pola distribusi komoditas beras, cabe
merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng akan
memberikan arah dalam memformulasikan kebijakan dan mekanisme
pengendalian harga-harga komoditas penyebab inflasi. Berhasil atau tidaknya
pengendalian harga-harga komoditas akan tercermin dalam makin membaik
atau tidaknya harga-harga komoditas pada konsumen akhir (masyarakat) di
Sumatera Barat. Idealnya perkembangan harga-harga komoditas yang
menjadi konsumsi utama masyarakat tidak menurunkan tingkat
kesejahteraannya.
Penelitian telah melakukan identifikasi jalur distribusi komoditas (beras,
cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak
goreng) penyumbang inflasi terbesar di Sumatera Barat. Penelusuran jalur
distribusi dilakukan melalui survei lapangan terhadap pedagang pengecer
yang secara langsung menjual barang ke konsumen akhir (masyarakat).
Selanjutnya, berdasarkan informasi yang diperoleh pedagang pengecer
dilakukan penelusuran terhadap rantai distribusi hingga berujung pada
produsen (petani/peternak/nelayan/produsen lainnya) dengan menggunakan
teknik snow ball. Survei lapangan dimulai dari dua lokasi pasar di Kota
Padang yang menjadi basis utama penghitungan inflasi oleh BPS Provinsi
Sumatera Barat, yaitu Pasar Raya Padang dan Pasar Siteba. Pemahaman
tentang jalur distribusi komoditas penyumbang inflasi terbesar itu didekati
dengan pengungkapan data dan informasi melalui wawancara mendalam
kepada tiap-tiap responden yang dilewati oleh masing-masing komoditas.
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari survei lapangan
terungkap pola distribusi masing-masing komoditas (beras, cabe merah,
bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng).
4.1. Pola Distribusi Beras
Penelitian lapangan yang menggunakan teknik snow ball telah
menemukan 51 responden komoditas beras yang terkait antara satu dengan
lainnya sebagai mata rantai distribusi beras. Responden komoditas beras
terdiri dari 14 responden pedagang pengecer, 18 responden pedagang
pengumpul, 4 responden pedagang besar dan 15 responden petani. Informasi
yang diperoleh dari para responden ini telah mengungkapkan pola distribusi
beras dari pedagang pengecer yang menjual beras pada konsumen akhir
(masyarakat) sampai ke petani sebagai produsen.
Pola distribusi yang dilewati komoditas beras Sumatera Barat terlihat
pada Gambar 4.1 4.2. Gambar 4.1 memperlihatkan pola distribusi beras
yang ditelusuri melalui responden pedagang pengecer di Pasar Raya Padang
(19,61% dari 51 responden komoditas beras), sedangkan Gambar 4.2
menyajikan pola distribusi beras yang terungkap melalui responden pedagang
14
Secara lebih detail, pola distribusi diatas dijelaskan oleh jalur distribusi
dari petani Sicincin pedagang pengumpul Sicincin Huller Kuranji
pedagang besar Pasar Siteba pedagang pengecer Pasar Siteba
konsumen akhir (masyarakat). Selanjutnya pola distribusi terbentuk oleh
jalur yang berasal dari petani Batang Kapas pedagang pengumpul Pesisir
Selatan Huller Kuranji pedagang besar Pasar Siteba pedagang
pengecer Pasar Siteba konsumen akhir (masyarakat). Selain itu, ditemukan
pula pola distribusi dari petani Tapakis, Pariaman pedagang
pengumpul/huller Tapakis pedagang besar Siteba pedagang pengecer
Pasar Siteba dan berakhir pada konsumen akhir (masyarakat). Sedikit
berbeda dengan pola distribusi sebelumnya, ditemukan pola distribusi beras
yang berasal dari Solok, yaitu petani Solok pedagang pengumpul/huller
Solok pedagang pengumpul Pasar Siteba pedagang pengecer yang
menjual beras ke konsumen akhir (masyarakat).
Pola lain dari distribusi beras di Pasar Siteba juga terungkap melalui jalur
distribusi dari petani Lubuk Minturun. Pola distribusi beras dari petani Lubuk
Minturun terbagi menjadi dua pola, yakni petani yang menggiling padinya
sendiri di huller, selanjutnya menjualnya secara langsung ke pedagang
pengecer Pasar Siteba. Selain itu, sebagian petani Lubuk Minturun menjual
panennya ke pedagang pengumpul/huller yang ada di Lubuk Minturun.
Pedagang pengumpul mengolah padi yang diperoleh dari petani menjadi
beras yang menggunakan huller yang dimilikinya. Beras hasil penggilingan
dijual ke pedagang besar Pasar Siteba yang selanjutnya menjualnya ke
pedagang pengecer Pasar Siteba.
16
Gambar 4.1. Distribusi responden komoditi Beras menurut jalur distribusi dari Petani ke Pengecer Pasar Raya Padang
Beras Padang
Pedagang
Besar (Agen)
Pasar Raya
(3,92%)
Konsumen
Akhir
Huller
Petani
Kelawi (1,96%)
Piai (1,96%)
Pengecer
Pasar Raya
(19,61%)
Beras Pariaman
Huller
Pedagang
Besar (Agen)
Kp Paneh (1,96%)
Petani
Kp Paneh (3,92%)
Lubuk Alung
(1,96%)
Pakandangan
(5,88%)
Gambar 4.2. Distribusi responden komoditi Beras menurut jalur distribusi dari Petani ke Pengecer Pasar Siteba Padang
Huller
Konsumen
Akhir
Pedagang
Besar
Pasar Siteba
(1,96%)
Pengecer
Pasar Siteba
(7,84%)
Petani
Sicincin (1,96%)
Sicincin (3,96%)
Kuranji (1,96%)
Pesisir Selatan
(1,96%)
Batang Kapas
(3,92%)
Ulakan, Tapakis
(3,92%)
Pedagang
Pengumpul
Pasar Siteba
(3,96%)
Huller/Pedagang
Pengumpul
Tapakis (1,96%)
Pasaman (X)
Solok Talang
(5,88%)
Lubuk Minturun
(1,96%)
18
Gambar 4.3. Distribusi responden komoditi Cabe Merah menurut jalur distribusi dari Petani ke Pengecer Pasar Raya
dan Pasar Siteba Padang
Pengecer
Pasar Siteba
(17,31%)
Pedagang
Perantara
Pasar Raya
(15,39%)
Konsumen
Akhir
Pengecer
Pasar Raya
(19,23%)
Pedagang
Pengumpul
Alahan Panjang
(3,85%)
Pesisir Selatan
(1,92%)
Petani
20
Gambar 4.4. Distribusi responden komoditi Bawang Merah menurut jalur distribusi dari Petani ke Pengecer Pasar Raya
dan Pasar Siteba Padang
Pengecer
Pasar Raya
(47,06%)
Pedagang
Pengumpul
Konsumen
Akhir
Petani
Alahan Panjang
(5,88%)
Talang (1,96%)
Surian
(1,96%)
Kerinci, Jawa, Thailand (X)
Pengecer
Pasar Siteba
(11,76%)
22
Pola distribusi ikan segar diatas berlaku pula untuk daerah penelusuran
yang berbasis di Pasar Siteba. Pola distribusi yang terbentuk adalah dimana
petani ikan Maninjau menjual ikan segar ke pedagang perantara di Lubuk
Minturun atau pedagang pengumpul di Pasar Siteba. Pedagang perantara
Lubuk Minturun atau pedagang pengumpul Pasar Siteba ini menjual ke
pedagang pengecer yang ada di Pasar Siteba. Pola yang sama juga
ditemukan pada komoditas ikan laut yang berasal dari nelayan Pasia Nan
Tigo. Dimana nelayan Pasia Nan Tigo menjual hasil tangkapannya ke
pedagang perantara Pasar Siteba. Pedagang perantara ini yang menjualnya
ke pedagang pengecer. Selain pola-pola diatas, ada juga petani ikan yang ada
di Siteba yang menjual produknya langsung ke pedagang pengecer Pasar
Siteba.
Berdasarkan penelitian lapangan juga terungkap bahwa pemasok utama
ikan segar di Pasar Raya dan Pasar Siteba adalah nelayan/petani ikan Muara
Padang, Bungus, Maninjau dan Pasia Nan Tigo. Komoditas ikan segar
didominasi ikan yang berasal Maninjau dan Lubuk Minturun. Sementara ikan
laut berasal dari Muara, Bungus dan Pasia Nan Tigo. Fakta ini juga didukung
oleh hasil wawancara mendalam terhadap beberapa responden nelayan yang
ada di Muara dan Bungus dimana nelayan menyatakan bahwa pasar utama
hasil tangkapan ikan adalah pasar-pasar yang ada di Sumatera Barat
terutama Pasar Raya Padang. Ikan laut yang berasal dari Muara untuk
memenuhi permintaan pasar di Padang dan sekitarnya, sedangkan ikan laut
yang berasal dari Bungus memiliki skala pasar yang juga dipasarkan ke
daerah-daerah luar Sumatera Barat.
24
Gambar 4.5. Distribusi responden komoditi Ikan Segar menurut jalur distribusi dari Nelayan/Petani Ikan
ke Pengecer Pasar Raya dan Pasar Siteba Padang
Pedagang Perantara/
Pengumpul
Pengecer
Pasar Raya
(36,84%)
Pengecer
Pasar Siteba
(10,53%)
TPI Muara
(1,75%)
Muara
(5,26%)
TPI Bungus
(1,75%)
Bungus
(15,79%)
Pasar Raya
(1,75%)
Pedagang Besar
Pasar Raya (1,75%)
Konsumen
Akhir
Nelayan/Petani Ikan
Maninjau
(17,54%)
Lubuk Minturun
(1,75%)
Pasar Siteba
(1,75%)
Pedagang Pengumpul
Siteba (1,75%)
Pedagang Produk
Sendiri Siteba (1,75%)
Gambar 4.6. Distribusi responden komoditi Daging Ayam menurut jalur distribusi dari Peternak
ke Pengecer Pasar Raya dan Siteba Padang
Agen
Perusahaan Mitra
Kuranji (2,04%)
Peternak
PT. Ciomas
Adisatwa
(2,04%)
Pedagang Pungumpul
Lubuk Alung (2,04%)
PT. MTS Pariaman
(2,04%)
Peternak Mitra
Pariaman (7,12%)
Solok (X)
Kuranji (2,04%)
Kuranji (2,04%)
Pengecer
Pasar Siteba
(16,33%)
Pedagang Pengumpul
Siteba (2,04%)
Pedagang Besar Korong
Gadang (2,04%)
Sijunjung (12,24%)
29
Gambar 4.7. Distribusi responden komoditi Minyak Goreng menurut jalur distribusi dan margin dari produsen
ke Pengecer Pasar Raya dan Siteba Padang
Pedagang Perantara II
Pengecer
Pasar Raya
(52,17%)
Pedagang Perantara I
Incasi Raya
(2,17%)
Konsumen
Akhir
Pengecer
Pasar Siteba
(28,26%)
Produsen
Medan (X)
Jambi (X)
Toko Keluarga
(2,17%)
Pasar Alai (2,17%)
Lembah Karya
(2,17%)
30
BAB 5
BIAYA PEMBENTUK HARGA KOMODITAS
Penelusuran biaya-biaya yang membentuk harga komoditas (beras, cabe
merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng)
merupakan basis dalam menganalisis harga-harga yang diterima konsumen
akhir (masyarakat). Harga-harga yang diterima oleh konsumen akhir
(masyarakat) mencerminkan biaya yang muncul dari setiap proses kegiatan
produksi suatu komoditi dan pendistribusiannya. Harga-harga yang terbentuk
pada konsumen akhir akan dapat dikendalikan melalui mekanisme yang
efektif dengan mengendalikan biaya-biaya yang timbul dari setiap proses
produksi dan biaya pendistribusiannya.
Biaya pembentuk harga komoditas dapat ditelusuri dari berbagai level
distribusi yang dilalui masing-masing komoditi, seperti biaya pada produsen
(petani/nelayan/peternak), biaya pada pedagang pengumpul, biaya pada
pedagang besar, dan biaya pada pedagang pengecer yang berhadapan
langsung dengan konsumen akhir. Biaya pembentuk harga komoditas ini
mulai dari biaya produksi, pasca produksi, pengangkutan, biaya bongkar
muat, dan biaya-biaya lainnya.
Bagian ini membahas biaya-biaya apa saja yang mempengaruhi
pembentukan penetapan harga-harga komoditas dan bagaimana implikasinya
terhadap harga-harga yang terbentuk hingga sampai pada konsumen akhir.
Pengendalian biaya-biaya yang muncul dari sebuah proses produksi dan
pendistribusiannya merupakan strategi pengendalian harga dari sisi biaya
(cutting cost push inflation policy) untuk masing-masing komoditas
penyumbang inflasi (beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging
ayam ras, dan minyak goreng).
5.1. Biaya pembentuk harga beras
5.1.1. Biaya pada petani
Pada umumnya, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani padi meliputi
biaya pembelian bibit, upah pengolahan tanah (upah membajak), upah
penanaman, pembersihan gulma, pembelian pupuk, penyemprotan, upah
memanen, biaya angkut dan lain-lain. Berdasarkan olahan data penelitian
lapangan Tabel 5.1, untuk memproduksi 1 (satu) kilogram beras, rata-rata
petani mengeluarkan biaya sebesar Rp.1.848. Komponen-komponen biaya
yang dominan adalah biaya pemupukan, penyiangan, pengolahan tanah
(pembajakan), penanaman, dan pemanenan. Komponen biaya-biaya ini
berkisar antara 10%-25% dari total biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi satu kilogram beras. Komponen biaya tertinggi adalah biaya
pemupukan sebesar Rp.459 atau 24,9% dari total biaya produksi setiap
kilogram beras. Kelangkaan pupuk secara langsung berdampak pada
kenaikan biaya yang dikeluarkan petani. Kelangkaan ketersediaan pupuk
dicerminkan oleh kenaikan harganya dari Rp.60.000/kg menjadi
Rp.110.000/kg pada saat survei dilakukan. Ketergantungan yang tinggi
terhadap pupuk buatan (pabrik) telah mempengaruhi biaya produksi pada
tingkat petani. Implikasinya adalah salah satu upaya pengendalian harga
31
beras dari sisi produksi adalah stabilisasi harga pupuk melalui penyediaan dan
pendistribusian pupuk secara kontinyu sesuai dengan kebutuhan petani.
5.1.2. Biaya pedagang pengumpul/huller
Pedagang pengumpul/huller merupakan jalur distribusi penting komoditi
beras. Pedagang pengumpul berperan menjembatani produsen padi (petani)
dengan pedagang perantaran/pedagang besar/agen. Pedagang pengumpul
beras biasanya berlokasi di daerah sekitar petani yang mengumpulkan atau
membeli padi dari petani, mengolah (penggilingan padi), dan menjualnya ke
pedagang perantara. Pedagang pengumpul pada umumnya memiliki mesin
penggilingan padi (huller).
Di tingkat pedagang pengumpul, rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh setiap kilogram beras adalah sebesar Rp.3.943. Biaya yang
terbentuk di tingkat pedagang pengumpul ini meliputi biaya pembelian padi,
upah bongkar muat, biaya penggilingan padi, upah jemur, biaya karung/goni
dan lain-lain. Harga pembelian padi pada tingkat pedagang pengumpul untuk
menghasilkan satu kilogram beras adalah sebesar Rp.3.778 atau 95,8% dari
total biaya. Biaya pembelian padi merupakan komponen biaya terbesar bagi
pedagang pengumpul. Biaya lain yang dikeluarkan pedagang pengumpul
adalah biaya biaya penggilingan padi, upah jemur, biaya karung/goni dan
lain-lain sebesar Rp.116 atau 3% dari total biaya. Penjelasan lengkap biayabiaya pedagang pengumpul dapat dilihat pada Tabel 5.1.
5.1.3. Biaya pedagang perantara
Pedagang perantara beras merupakan jalur distribusi antara pedagang
pengumpul/huller dengan pedagang pengecer. Berdasarkan penelitian
lapangan, umumnya biaya yang dikeluarkan pedagang perantara adalah biaya
ketika beras sudah berada di Pasar Raya Padang. Biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh pedagang perantara meliputi biaya angkut/biaya bongkar
dari mobil angkut sampai ke gudang. Rata-rata biaya yang dikeluarkan
pedagang perantara untuk setiap kilogram beras adalah sebesar Rp.6.604
dimana biaya pembelian beras sebesar Rp.6.300, biaya angkut/bongkar muat
dari mobil ke gudang sebesar Rp.214, dan biaya lain-lain seperti biaya
penyusutan, plastik/karung, upah timbang sebesar Rp.103. Komponen biaya
terbesar pedagang perantara adalah pembelian beras kepada pedagang
pengumpul mencapai 95,4% dari total biaya.
5.1.4. Biaya pedagang pengecer
Pedagang pengecer memiliki peran penting dalam jalur distribusi beras
sebelum sampai pada konsumen akhir (masyarakat). Pedagang pengecer
beras dibedakan menjadi pedagang pengecer di Pasar Raya dan pedagang
pengecer di Pasar Siteba. Data olahan penelitian lapangan Tabel 5.1
mengungkapkan bahwa rata-rata biaya per kilogram beras yang dikeluarkan
pedagang pengecer Pasar Raya adalah sebesar Rp.7.438, sedangkan ratarata biaya per kilogram beras yang dikeluarkan pedagang pengecer beras di
Pasar Siteba adalah sebesar Rp.7.416. Sementara harga beli baik pedagang
Pasar Raya maupun pedagang Pasar Siteba adalah sama pada tingkat harga
Rp.7.320 per kilogram beras. Harga beli pedagang pengecer Pasar Raya
berkisar antara Rp.6.000/kg-Rp.11.000/kg, sedangkan harga beli pedagang
32
Biaya Produksi
Rp/kg
%
Petani
1.
Bibit
73
3,9
2.
Bajak
260
14,1
3.
Tanam
232
12,6
4.
Penyiangan
320
17,3
5.
Pupuk
459
24,9
6.
Semprot
121
6,6
7.
Panen
291
15,7
33
8.
Garap
21
1,1
9.
Angkut
36
1,9
10. Hormon
0,2
11. Lain-lain
0,5
1.848
100,0
3.778
95,8
Total Biaya
II
Pedagang Pengumpul
Harga Beli
1.
Angkut
31
0,8
2.
Muat
11
0,3
3.
Bongkar
0,2
4.
Lain-lain
116
3,0
3.943
100,0
6.300
95,4
100
1,5
Total Biaya
Angkut
2.
Muat
75
1,1
3.
Bongkar
29
0,4
4.
Timbang
0,1
5.
Lain-lain
93
1,4
6.604
100,0
Total Biaya
IV
Pedagang Pengecer
a. Pasar Raya
Harga Beli
34
7.320
98,4
88
1,2
1.
Angkut
2.
Muat
0,0
3.
Bongkar
0,0
4.
Lain-lain
25
0,3
7.438
100,0
7.320
98,7
Total Biaya
b. Pasar Siteba
Harga Beli
1.
Angkut
56
0,8
2.
Muat
13
0,2
3.
Bongkar
28
0,4
7.416
100,0
Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan,
2008
35
Biaya Produksi
Rp/kg
%
Petani
1.
Sewa lahan
1.714
26,7
2.
Bibit
576
9,0
3.
Pestisida
1.113
17,3
4.
Pupuk
1.409
21,9
5.
Hormon
388
6,0
6.
Plastik
445
6,9
7.
Pupuk kandang
253
3,9
8.
Angkut
151
2,4
9.
Garap
0,1
10. Dedak
16
0,3
11. Upah
300
4,7
12. Kapur
0,0
13. Bambu
12
0,2
14. Pengolahan
16
0,2
15. Lain-lain
24
0,4
6.427
100,0
Total Biaya
37
II
Pedagang Pengumpul
Harga Beli
7.146
99,3
1.
Angkut
16
0,2
2.
Muat
13
0,2
3.
Timbang
17
0,2
4.
Lain-lain
0,1
7.196
100,0
8.813
99,0
Total Biaya
Angkut
89
1,0
2.
Bongkar
0,0
8.905
100,0
10.000
94,8
Total Biaya
IV
Pedagang Pengecer
a. Pasar Raya
Harga Beli
1.
Angkut
142
1,3
2.
Lain-lain
404
3,8
10.545
100,0
10.000
93,2
Total Biaya
b. Pasar Siteba
Harga Beli
1.
Angkut
194
1,8
2.
3.
Muat
Bongkar
233
2,2
38
4.
Pajak
Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
233
2,2
72
0,7
10.733
100,0
39
Biaya Produksi
Rp/kg
%
Petani
1. Bibit
294
9,8
2. Pupuk
526
17,6
635
21,2
40
4. Angkut
439
14,6
5. Tenaga Kerja
836
27,9
6. Plastik
158
5,3
7. Karet
0,3
8. Garap
46
1,5
9. Lainnya
56
1,9
2.998
100,0
4.397
85,7
108
2,1
2. Muat
25
0,5
3. Bongkar
Lain-lain (Pajak, Timbang,
4. Perjalanan, Susut, dll)
25
0,5
575
11,2
5.130
100,0
5.897
90,6
458
7,0
2. Muat
25
0,4
3. Bongkar
25
0,4
100
1,5
6.505
100,0
Total Biaya
II
Pedagang Pengumpul
Harga Beli
1. Angkut
Total Biaya
III Pedagang Perantara
Harga Beli
1. Angkut
Pedagang Pengecer
41
a. Pasar Raya
Harga Beli
7.563
97,3
66
0,9
144
1,8
7.773
100,0
7.563
92,3
1. Angkut
141
1,7
2. Muat
192
2,3
3. Bongkar
192
2,3
4. Pajak
108
1,3
8.196
100,0
1. Angkut
2. Lain-lain (Sortir, Susut, Plastik, dll)
Total Biaya
b. Pasar Siteba
Harga Beli
Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
bermutu bagi petani ikan setiap waktu untuk menjamin pengendalian harga
ikan air tawar dari sisi produksi. Hal ini dapat dilakukan melalui mitra dengan
pengusaha pakan ikan, sementara optimalisasi pemanfaatan balai benih ikan
dalam penyediaan bibit ikan yang murah dan berkualitas menjadi penting
untuk diperhatikan. Optimalisasi balai benih ikan terutama dalam menemukan
bibit ikan yang bermutu dan berkualitas.
Tabel 5.4. Biaya Pembentuk Harga Komoditi Ikan Air
Tawar
Biaya Pembentuk Harga
No Ikan
Air Tawar
I
Petani Ikan
1. Bibit
3.488
39,4
2. Pakan
5.331
60,2
3. Upah
16
0,2
4. Obat
0,1
5. Jaring
13
0,1
0,0
8.857
100,0
11.700
97,2
1. Angkut
333
2,8
Total Biaya
12.033
100,0
13.500
96,3
1. Angkut
358
2,6
2. Muat
Total Biaya
166
1,2
6. Biaya Panen
Total Biaya
II
Biaya Produksi
Rp/kg
%
Pasar Siteba
Pedagang Pengumpul
Harga Beli
43
IV
14.024
100,0
13.000
98,9
1. Angkut
150
1,1
Total Biaya
13.150
100,0
11.700
98,3
100
0,8
2. Muat
50
0,4
3. Bongkar
50
0,4
11.900
100,0
14.200
95,6
620
4,2
40
0,3
14.860
100,0
Pasar Raya
V
Pedagang pengumpul
Harga Beli
1. Angkut
Total Biaya
VI
Pedagang pengecer
Harga Beli
1. Angkut
2. PO Tempat
Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
44
air tawar untuk jalur distribusi Pasar Siteba dan Pasar Raya. Rata-rata biaya
yang dikeluarkan pedagang pengumpul jalur distribusi Pasar Siteba adalah
sebesar Rp.12.033/kg. Komponen biaya terbesar adalah biaya pembelian
dengan rata-rata biaya pembelian sebesar Rp.11.700/kg atau 97,2% dari
total biayanya. Selain itu komponen yang mempengaruhi pembentukan harga
ikan air tawar pada tingkat pedagang pengumpul adalah biaya angkut
sebesar Rp.333/kg atau berkontribusi sebesar 2,8% dari total biaya yang
dikeluarkan.
Sebaliknya, rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul jalur
distribusi Pasar Raya mencapai Rp.11.900 per kilogram ikan air tawar. Ratarata biaya ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan biaya pedagang
pengumpul jalur Pasar Siteba. Relatif rendahnya biaya yang dikeluarkan oleh
pedagang pengumpul jalur distribusi Pasar Raya disebabkan rendahnya biaya
angkut dan bongkar muat yang dikeluarkannya, yakni sebesar Rp.200/kg.
Sementara itu, biaya pembelian pedagang pengumpul Pasar Raya sama
dengan biaya pembelian pedagang pengumpul Pasar Siteba.
5.4.1.3. Biaya pedagang pengecer
Pedagang pengecer ikan air tawar dibedakan menjadi pedagang
pengecer di Pasar Raya dan pedagang pengecer di Pasar Siteba. Data olahan
penelitian lapangan Tabel 5.4 mengungkapkan bahwa rata-rata biaya per
kilogram ikan air tawar yang dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Raya
adalah sebesar Rp.14.860, sedangkan rata-rata biaya per kilogram ikan yang
dikeluarkan pedagang pengecer ikan di Pasar Siteba adalah sebesar
Rp.14.024. Rata-rata harga beli ikan pedagang pengecer di Pasar Siteba dan
pedagang pengecer Pasar Raya adalah sebesar Rp.14.200/kg.
Perbedaan biaya antara pedagang pengecer Pasar Raya dengan Pasar
Siteba disebabkan adanya perbedaan biaya angkut dan PO tempat yang
dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Raya dan pedagang pengecer Pasar
Siteba. Perbedaan biaya terlihat jelas pada perbedaan biaya angkut dimana
biaya angkut pada pedagang pengecer Pasar Raya sebesar Rp.620/kg atau
setara dengan 4,2% dari total biaya, sedangkan biaya angkut di pedagang
pengecer Pasar Siteba adalah Rp.358/kg atau hanya 2,6% dari total biayanya.
Selain itu, pedagang pengecer Pasar Raya juga mengeluarkan biaya PO
tempat sebesar Rp.40/kg ikan air tawar.
5.4.1.4. Biaya pedagang hasil sendiri
Temuan penelitian lapangan mengemukakan bahwa pedagang hasil
produksi sendiri ikan air tawar hanya ada di jalur distribusi Pasar Siteba.
Adapun biaya-biaya yang mengemuka pada pedagang hasil produksinya
sendiri adalah biaya angkut. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang
besar adalah sebesar Rp.13.150/kg. Komponen biaya terbesar pedagang
besar adalah biaya pembelian dengan rata-rata biaya pembelian sebesar
Rp.13.000/kg atau 98,9% dari total biayanya. Pedagang produksi hasil sendiri
mengeluarkan biaya angkut sebesar 1,1% dari total biaya atau sebesar
Rp.150/kg ikan air tawar.
5.4.1. Biaya pembentuk harga ikan laut
45
Nelayan
1. BBM
7.423
75,7
2. Es batang
736
7,5
3. Transpor
175
1,8
4. Makanan
270
2,8
5. Lain-lain
1.200
12,2
9.804
100,0
13.500
100,0
Total Biaya
II
Biaya Produksi
Rp/kg
%
Pasar Siteba
Pedagang Besar
Harga Beli
1. Biaya-biaya
Total Biaya
47
13.500
100,0
14.000
95,4
553
3,8
2. Muat
53
0,4
3. Bongkar
38
0,3
27
0,2
14.671
100,0
13.500
98,8
125
0,9
38
0,3
13.663
100,0
15.500
96,5
533
3,3
2. Muat
0,1
3. Bongkar
0,0
21
0,1
16.069
100,0
Total Biaya
IV
Pasar Raya
Pedagang Pengumpul
Harga Beli
1. Angkut
2. Lain-lain (Batu Es)
Total Biaya
Pedagang Pengecer
Harga Beli
1. Angkut
48
PT. King
Beli
Jual
DOC
4.200/ek 4.350/eko
or
r
Pakan ayam (FEED) 5.600/kg 5.800/kg
Vaksin
5.550/kg 5.750/kg
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
PT. MTS
Beli
Jual
3.450/ek 3.650/eko
or
r
5.200/kg 5.350/kg
5.100/kg 5.250/kg
50
Peternak
1.
Bibit (DOC)
2.618
41,0
2.
Pakan (FEED)
3.510
55,0
3.
84
1,3
4.
Gas
41
0,6
5.
Pegawai
80
1,3
6.
Serbuk
25
0,4
7.
Listrik
23
0,4
8.
Perbaikan kandang
0,0
6.384
100,0
8.473
96,9
Total Biaya
II
Biaya Produksi
Rp/kg
%
Pedagang Pengumpul
Harga Beli
51
1.
Angkut
169
1,9
2.
Timbang
0,1
3.
Lain-lain
98
1,1
8.746
100,0
9.833
98,3
58
0,6
117
1,2
10.008
100,0
11.500
98,2
107
0,9
0,0
103
0,9
11.713
100,0
11.500
98,3
Total Biaya
III Pedagang Perantara
Harga Beli
1.
Angkut
2.
Lain-lain
Total Biaya
IV
Pedagang Pengecer
a. Pasar Raya
Harga Beli
1.
Angkut
2.
Muat
3.
Bongkar
Total Biaya
b. Pasar Siteba
Harga Beli
1.
Bongkar
200
1,7
2.
Lain-lain
0,0
11.701
100,0
Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
52
PT. Lembah
Karya
(Kopra)
PT Incasi
Raya
(CPO)
Volume
(kg/thn)
3.274.990
8.000.000
Harga/kg (Rp)
14.00
5.500
45.000
44.000
27.500
33.000
18.300
11.000
0,60
0,75
0,40
0,25
Biaya/kg (Rp)
8.394
Sumber: Penelitian Lapangan,
2008
4.125
53
termasuk dalam kelompok ini adalah Lubuk Raya, Toko Keluarga dan
pedagang perantara Pasar Alai. Berdasarkan olahan data lapangan pada
Tabel 5.9 terlihat bahwa biaya yang dikeluarkan pedagang perantara I adalah
biaya pembelian, biaya angkut, biaya bongkar muat, dan lain-lain. Rata-rata
biaya yang dikeluarkan oleh pedagang perantara I untuk setiap kilogram
minyak goreng adalah sebesar Rp.4.847. Komponen biaya terbesar adalah
biaya pembelian yang sebesar Rp.4.740/kg minyak goreng atau setara
dengan 98% dari total biaya. Harga pembelian minyak goreng oleh pedagang
perantara I pada saat survei berkisar antara Rp.4.000/kg-Rp.5.800/kg.
Komponen biaya lainnya adalah biaya angkut dari produsen ke gudang
sebesar Rp.25/kg minyak goreng. Pengeluaran ini juga ditambah dengan
biaya bongkar muat sebesar Rp.39/kg minyak goreng atau 0,8% dari total
biaya yang dikeluarkan.
5.6.3. Biaya pedagang perantara II
Pedagang perantara II adalah pedagang yang membeli minyak goreng
pada pedagang perantara I dan menjualnya langsung ke pedagang pengecer
yang ada di Pasar Raya dan Pasar Siteba. Rata-rata biaya yang dikeluarkan
pedagang perantara II dalam mendistribusikan 1 (satu) kilogram minyak
goreng adalah sebesar Rp.5.350/kg. Pembelian adalah komponen biaya
terbesar yang dikeluarkan pedagang perantara II yang mencapai 99,1% dari
total pengeluaran. Biaya lainnya adalah biaya angkut dari pedagang perantara
I di Pasar Raya ke tempat pedagang perantara II. Biaya angkut yang
dikeluarkan adalah sebesar Rp.50/kg minyak goreng. Penjelasan lengkap
dapat dilihat pada Tabel 5.9.
5.6.4. Biaya pedagang pengecer
Temuan penelitian pada Tabel 5.9 mengemukakan biaya-biaya yang
ditanggung pedagang pengecer minyak goreng di Pasar Raya dan Pasar
Siteba. Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan biaya yang
dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Raya dengan pedagang pengecer
Pasar Siteba. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer Pasar
Siteba sebesar Rp.5.772/kg minyak goreng lebih rendah dari biaya yang
dikeluarkan oleh pedagang pengecer Pasar Raya yang sebesar Rp.5.765/kg.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan komposisi biaya yang dikeluarkan
oleh masing-masing pedagang. Meskipun harga beli pedagang pengecer
Pasar Raya dan pedagang pengecer Pasar Siteba adalah Rp.5.713/kg,
komponen sub total biaya lainnya seperti biaya angkut, biaya bongkar muat,
dan biaya lainnya yang ditanggung padagang pengecer Pasar Raya juga lebih
rendah dibandingkan dengan biaya yang ditanggung oleh pedagang pengecer
Pasar Siteba. Sub total biaya pedagang pengecer Pasar Raya adalah sebesar
Rp.51/kg, sedangkan sub total biaya pedagang Pasar Siteba adalah sebesar
Rp.59/kg. Tingginya komponen rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang
pengecer Pasar Raya disebabkan biaya beli yang ditanggungnya lebih tinggi
dari pedagang pengecer Pasar Siteba. Harga beli minyak goreng pedagang
pengecer Pasar Raya pada saat survei dilakukan berkisar antara Rp.5.200/kgRp.6.100/kg, sedangkan harga beli pedagang pengecer Pasar Siteba berkisar
pada Rp.Rp.5.000/kg-Rp.7.000/kg.
54
Pedagang Perantara I
Harga Beli
4.740
97,8
1. Angkut
25
0,5
2. Muat
18
0,4
3. Bongkar
21
0,4
4. Lain-lain
43
0,9
4.847
100,0
5.300
99,1
1. Angkut
50
0,9
Total Biaya
5.350
100,0
5.713
99,1
35
0,6
2. Muat
0,1
3. Bongkar
0,1
0,1
5.765
100,0
Total Biaya
II
Biaya Produksi
Rp/kg
%
Pedagang Perantara II
Harga Beli
Total Biaya
55
b. Pasar Siteba
Harga Beli
5.713
99,0
1. Angkut
0,1
2. Bongkar
22
0,4
29
0,5
5.772
100,0
Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
BAB 6
PEMBENTUKAN HARGA KOMODITI PENYUMBANG INFLASI
Harga merupakan salah satu indikator pengukuran daya beli masyarakat.
Kestabilan harga komoditi dalam pasar mencerminkan kestabilan daya beli
masyarakat. Daya beli masyarakat dapat menurun jika harga komoditi yang
dikonsumsi masyarakat naik. Dalam kondisi ini, tingkat kesejahteraan
konsumen atau masyarakat dapat menurun. Menurunnya kesejahteraan
masyarakat dapat mempengaruhi kestabilan perekonomian. Oleh karena itu,
menciptakan kestabilan ekonomi akan selalu memperhatikan pergerakan
harga-harga komoditi yang diperdagangkan dalam pasar terutama komoditikomoditi yang memiliki keterkaitan kuat dengan kehidupan masyarakat
banyak dan merupakan sumber pemicu inflasi.
Secara teori, permintaan dan penawaran komoditi merupakan faktor
utama dalam mempengaruhi harga yang berlaku dalam pasar. Pada konteks
ini, perubahan permintaan dan penawaran adalah faktor kunci yang
menyebabkan perubahan harga komoditi dalam pasar. Harga akan naik jika
terjadi kekurangan penawaran atau kelebihan permintaan. Dan sebaliknya,
harga akan turun jika terjadi kelebihan penawaran atau kekurangan
permintaan. Selain itu, masih ada faktor-faktor yang dapat menyebabkan
naiknya harga komoditi dalam pasar. Berdasarkan survei lapangan terhadap
perdagangan komoditi pemicu inflasi seperti seperti beras, cabe, bawang
merah, minyak goreng, ikan (laut dan air tawar), dan daging ayam di
Sumatera Barat khususnya kota Padang (BPS, 2008) mengimplikasikan bahwa
faktor utama yang dapat menyebabkan naiknya harga komoditi tersebut
56
Faktor Penyebab
Beras
Cabe
Komoditi
Bawan
Minyak
g
50,0
0,0
56,7
15,9
Ikan
76,5
11,8
D.
Ayam
32,4
41,2
80,0
13,3
11,4
61,4
29,4
32,4
29,4
32,2
0,0
22,7
5,9
8,8
57
Namun, pembentukan harga, dalam hal ini harga yang diterima oleh
konsumen akhir, tidak ditentukan secara langsung oleh perubahan
permintaan dan penawaran. Perubahan permintaan dan penawaran memang
mempengaruhi harga (naik atau turun), tetapi proses pembentukan harga
komoditi juga memperhitungkan faktor keuntungan atau margin yang
diharapkan. Semakin tinggi margin yang diharapkan dari perdagangan
komoditi akan semakin tinggi harga barang dalam pasar dan sebaliknya.
Selain itu, jalur distribusi komoditi yang diperdagangkan juga merupakan
faktor yang sangat menentukan dalam proses pembentukan harga. Dalam
jalur distribusi tersebut, pelaku ekonomi dapat bersifat ganda yaitu sebagai
pembeli sekaligus penjual yang mengharapkan margin tertentu dari aktivitas
ekonominya. Semakin panjang rentang jalur distribusi komoditi, semakin
tinggi harga yang diterima konsumen akhir. Dengan demikian, pengetahuan
dan mekanisme proses pembentukan harga komoditi yang diperdagangkan
dapat menjadi titik tolak pengambilan kebijakan dalam mengendalikan hargaharga terutama komoditi-komoditi yang menjadi pemicu inflasi seperti beras,
cabe, bawang merah, minyak goreng, ikan (laut dan air tawar), dan daging
ayam.
6.1. Pembentukan Harga Komoditi Beras
Harga beras berbeda menurut asal daerah. Beras solok berbeda
harganya dengan beras pariaman, beras pariaman berbeda harganya dengan
beras padang walaupun jenis beras tersebut sama. Perbedaan ini disebabkan
karena kualitas beras yang dihasilkan berbeda antara satu daerah dengan
derah lainnya. Walaupun demikian, proses pembentukan harga beras antara
beras solok, beras padang, dan beras pariaman tidak jauh berbeda. Harga
beras yang diterima konsumen akhir merupakan proses pembentukan harga
yang terjadi di tingkat pedagang pengecer, pedagang besar (agen), pedagang
pengumpul/huller, dan petani. Pengecer, pedagang besar (agen), dan
pedagang pengumpul dalam jalur distribusi perdagangan beras ini melakukan
aktivitas jual-beli. Artinya dalam perdagangan beras mereka membeli beras
kemudian menjual kembali dengan harapan mendapatkan tingkat keuntungan
atau margin tertentu dari aktivitas jual beli yang mereka lakukan.
6.1.1. Faktor Penentuan Harga Beli Beras Di tingkat Di Pedagang
Harga beli dalam jalur distribusi perdagangan komoditi beras
merupakan tahap awal proses pembentukan harga pasar beras di tingkat
pedagang. Bagi pedagang, harga beli beras ini merupakan komponen biaya
produksi utama dan dapat mempengaruhi turun-naiknya harga beras dalam
pasar. Semakin tinggi harga beras yang dibeli pedagang, semakin tinggi
harga beras yang akan diterima oleh konsumen akhir dan sebaliknya. Dengan
demikian, harga beli beras termasuk sebagai salah satu sumber pemicu inflasi
atau deflasi di tingkat pedagang.
Banyak faktor yang menentukan harga beli beras di tingkat pedagang.
Mekanisme pasar, pengaruh penjual, kesepakatan pedagang, dan lain-lainnya
adalah beberapa faktor yang menentukan harga komoditi yang dibeli oleh
pedagang dalam pasar. Faktor-faktor tersebut dapat berbeda di setiap jalur
distribusi perdagangan komoditi beras. Dalam arti kata, faktor penentu harga
58
beli pedagang pengecer belum tentu sama dengan pedagang besar (agen),
bergantung pada persepsi dan pengetahuan masing-masing pedagang dalam
jalur distribusinya.
Tabel
6.2.
Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor yang
Menentukan Harga Beli Dalam Jalur Distribusi Komoditi Beras
(persentase)
Pedagang
Pedagang
Pengecer
Besar
Pengumpul/Huller
Penentuan Harga
(Agen)
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak Ya
Mekanisme Pasar
35,7
64,3 66,7 33,3
50,0
50,0
Penjual
57,1
42,9 11,1 88,9
50,0
50,0
Kesepakatan Pedagang
14,3
85,7 33,3 66,7
25,0
75,0
Lainnya
0,0
100,0 11,1 88,9
0,0
100,0
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa mekanisme pasar adalah
faktor yang dominan dalam menentukan harga beli beras dalam pasar di
tingkat pedagang besar (agen) (66,7%) dan pedagang pengumpul/Huller
(50,0%).
Menurut
responden
pedagang
besar
dan
pedagang
pengumpul/huller, permintaan dan penawaran beras dalam pasar merupakan
mekanisme pasar yang menentukan harga beli komoditi oleh pedagang.
Berdasarkan pandangan mereka, apabila penawaran beras dalam pasar
meningkat, harga beras akan turun. Sedangkan jika penawaran beras
berkurang, harga beras akan naik dalam pasar.
Di tingkat pengecer, penjual memegang peranan penting dalam
penentuan harga beras yang mereka beli. Lebih dari separuh responden
pengecer atau 57,1% responden dari total responden pedagang pengecer
menyatakan bahwa harga beras yang mereka beli lebih ditentukan oleh
penjual, dalam hal ini adalah pedagang besar. Menurut pedagang pengecer
ini, mereka tidak akan dapat membeli beras untuk dijual jika tidak sepakat
dengan harga yang telah ditetapkan oleh pedagang besar. Kondisi ini juga
hampir sama dengan pedagang pengumpul/huller. Separuh dari total
responden pedagang pengumpul/huller (50,0%) juga menyatakan bahwa
harga beras/padi yang mereka beli ditentukan oleh penjual, dalam hal ini
adalah petani. Pada tataran ini, petani sebagai penjual padi/beras akan
membandingkan harga antara pedagang pengumpul/huller yang satu dengan
pedagang pengumpul/huller yang lain dan akan menjual beras/padi pada
pedagang yang membeli dengan harga tertinggi, walaupun perbedaan harga
hanya seratus rupiah per kilogram.
Faktor lain yang dapat menentukan harga beras yang dibeli oleh
pedagang baik pedagang pengecer, pedagang besar, dan pengumpul/huller
adalah kesepakatan pedagang. Faktor ini lebih dominan pada pedagang besar
atau agen (33,3 %) dibandingkan pedagang pengecer (14,3 %) dan
pedagang pengumpul (25,0 %). Menurut responden pedagang besar, harga
beli mereka pada
penjual, dalam hal ini bisa petani atau pedagang
59
No
1.
2.
3.
4.
Faktor
Penetapan
Harga
Kategori Pedagang
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Besar
Pengumpul
Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak
Total biaya
produksi
per unit +
tingkat
42,9 57,1 100,0 0,0 72,2
keuntungan
yang
diinginkan
Total biaya
produksi
per unit + 14,3 85,7
0,0 100,0 22,2
persentase
keuntungan
Harga
tertinggi
yang
14,3 85,7 25,0 75,0 27,8
berlaku
dalam
pasar
Dispesifikasi 0,0 100,0 0,0 100,0 27,8
Petani
Ya
Tidak
27,8
66,7
33,3
77,8
100,0
72,2
46,7
53,3
72,2
20,0
80,0
60
oleh
pemesan
5
Lainnya
35,7 64,3
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlahan disetiap blokkategoripedagang dan petani adalah 100.0
Berdasarkan hasil survei lapangan diperoleh gambaran bahwa faktor
penting bagi pedagang dalam menentukan harga jual adalah biaya produksi
per unit ditambah dengan dengan tingkat keuntungan yang diinginkan.
Menurut responden pedagang baik pedagang pengecer (42,9%), pedagang
besar (100,0%), dan pedagang pengumpul (72,2%) mengemukakan bahwa
keuntungan yang diinginkan bergantung pada tawar menawar dengan
pembeli. Dalam tawar menawar ini, pedagang telah menetapkan keuntungan
minimum yang diinginkan. Pedagang tidak akan menjual beras jika harga
yang ditawar pembeli tidak mencerminkan keuntungan minimum yang
diinginkan.
Selain faktor biaya per unit dengan tingkat keuntungan yang diinginkan,
penetapan harga jual beras oleh pedagang juga berdasarkan pada harga
tertinggi yang berlaku dalam pasar dan dispesifikasi oleh pemesan. Tetapi
penetapan harga berdasarkan kedua faktor ini tidak dominan bagi pedagang
baik pedagang pengecer, pedagang pesar, maupun pedagang pengumpul.
Bahkan dalam jalur distribusi pedagangan beras ini, penetapan harga
berdasarkan spesifikasi pemesan hanya terjadi pada pedagang pengumpul.
Menurut responden pedagang pengumpul, jika konsumen mengambil dalam
jumlah yang banyak maka harga jual bisa lebih rendah dibandingkan
sebelumnya. Selain itu, hubungan antara penjual dan konsumen yang telah
terbentuk dengan baik dapat menyebabkan harga dapat dispesifikasi oleh
pemesan (konsumen). Walaupun penetapan harga jual beras oleh pedagang
berdasarkan harga tertinggi dan spesifikasi pemesan, pedagang tetap
mempertimbangkan keuntungan dan biaya produksi beras yang dijulanya.
Hampir sama dengan level pedagang, penetapan harga jual yang lebih
dominan di tingkat petani adalah mempertimbangkan total biaya produksi per
unit dan keuntungan yang diinginkan (66,7%). Harga pupuk merupakan
faktor utama yang menjadi pertimbangan petani dalam penentuan harga jual
padi/beras. Selain itu, sekitar 46,7% petani menetapkan harga jual beras
berdasarkan harga tertinggi yang berlaku dalam pasar. Dalam kondisi ini,
petani akan selalu membandingkan harga dari satu pedagang ke pedagang
lainnya. Petani akan menjual padi/beras pada pedagang yang menawarkan
harga tertinggi walaupun perbedaannya hanya seratus rupiah/Kg.
Pada waktu tertentu, perubahan harga beras lebih disebabkan kenaikan biaya
produksi, tetapi pada waktu lainnya perubahan harga beras lebih disebabkan
oleh perubahan ketersediaan beras dan perubahan permintaan dalam pasar.
Jika dilihat kondisi harga beras saat survei dilakukan, harga beras
cenderung mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya. Kondisi ini
tercermin pada persepsi responden terhadap kondisi perkembangan harga
beras seperti yang tergambar pada tabel dibawah ini.
Tabel 6.4.
Distribusi Responden Menurut
Perkembangan Harga Beras Pada Saat
Survei Dilakukan (Persentase)
Kondisi Harga Saat ini
Kategori
Pedagang Meningkat Menurun stabil
Pengecer
33,3
5,6
Besar
8,3
2,8
Pengumpul
44,4
5,6
Total
86,1
5,6
8,3
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Total
38,9
11,1
50,0
100,0
1.
2.
3.
Faktor
Kenaikan
Harga
Kategori Pedagang
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Besar(agen) Pengumpul
Ya Tidak
Ya
Tidak Ya Tidak
Biaya
produksi
0,0 100,0 33,3
naik
Kelangkaan
83,3 16,7 100,0
beras
Permintan
16,7 83,3 33,3
66,7
6,3
93,7
0,0
93,7
6,3
66,7
18,8
81,2
62
Beras Naik
4. Lainnya
0,0 100,0 5,6
94,4 25,0 75,0
Sumber :Olahan Data Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah disetiap blok kategori pedagang adalah
100.0
Tabel diatas mengimplikasikan bahwa naiknya harga beras yang dapat
memicu inflasi pada saat ini lebih disebabkan karena kelangkaan beras di
pasar. Baik pedagang pengecer (83,3%), pedagang besar (100,0%), maupun
pedagang pengumpul (93,7%) menyatakan bahwa meningkatnya harga beras
lebih disebabkan karena faktor kelangkaan beras dalam pasar. Walaupun
persepsi pedagang juga berbeda tentang faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kenaikan harga beras, namun kurangnya supply beras
merupakan faktor yang lebih dominan dalam menaikkan harga beras pada
saat survei dilakukan dibandingkan dengan kenaikkan biaya produksi dan
permintaan beras dalam pasar.
Menurut responden pedagang, buruknya cuaca dan curah hujan yang
tinggi pada bulan oktober hingga september menyebabkan aktivitas
penggilangan beras berkurang sehingga produksi beras berkurang. Selain itu,
dari pantauan lapangan, berkurangnya stok beras di pasar pada saat survei
dilakukan juga disebabkan karena petani di daerah Pariaman, Solok, dan
Padang belum masa panen melainkan masih dalam taraf habis masa tanam
padi. Kondisi ini juga menyebabkan beras di pasar menjadi berkurang,
sementara beras yang beredar di kota Padang banyak disupply dari daerah
tersebut.
6.1.4. Margin Pembentukan Harga Komoditi Beras
Harga dan margin komoditi beras merupakan dua variabel yang tidak
dapat dipisahkan oleh agen-agen ekonomi yang bergerak dalam perdagangan
beras. Pembentukan harga di setiap jalur distribusi perdagangan beras
berimplikasi pada margin yang diperoleh pedagang/petani. Dalam kondisi ini,
margin yang diperoleh pedagang/petani juga merupakan komponen utama
pembentukan harga komoditi yang akan diterima konsumen akhir.
Nilai margin yang diterima pedagang/petani merupakan selisih antara
harga jual dari setiap jalur distribusi atau merupakan penjumlahan antara
laba yang diperoleh dengan total biaya produksi selain biaya pembelian
komoditi oleh pedagang. Di tingkat pedagang, biaya perdagangan yang
dikeluarkan berupa harga beli komoditi ditambah dengan biaya-biaya lainnya
seperti biaya transportasi, biaya bongkar muat dan biaya lainnya. Sedangkan
biaya yang dikeluarkan petani berupa biaya produksi dalam menghasilkan
padi seperti pupuk, bibit, upah tanam, dan lain-lainnya.
Disamping biaya produksi, besar-kecilnya margin yang diterima
pedagang/petani juga bergantung pada laba yang diterima oleh pedagang.
Semakin besar selisih harga jual setiap jalur distribusi perdagangan, semakin
besar margin yang diterima dalam jalur distribusi tersebut. Dan sebaliknya.
Semakin rendah selisih antara harga jual setiap jalur distribusi perdagangan,
maka semakin kecil margin yang diterima dalam jalur distribusi perdagangan
tersebut. Besar-kecilnya margin yang diterima pedagang memiliki implikasi
63
pada tinggi-rendahnya harga beras yang diterima konsumen akhir. Hal ini
disebabkan juga karena penjumlahan margin setiap jalur distribusi
perdagangan komoditi dengan harga jual petani/peternak merupakan harga
jual ditingkat pengecer. Harga ditingkat pengecer merupakan harga yang
diterima oleh konsumen akhir. Dengan demikian, pada tataran ini margin
yang diterima pedagang juga mempengaruhi daya beli masyarakat.
Perubahan daya beli masyarakat merupakan cerminan inflasi/deflasi.
Tingginya margin disetiap jalur distribusi perdagangan menyebabkan
tingginya harga beras di konsumen akhir. Kondisi menurun daya beli
masyarakat. Dan Sebaliknya, rendahnya margin disetiap jalur distribusi
perdagangan berasa menyebabkan rendahnya harga beras. Kondisi ini akan
meningkat daya beli masyarakat.
Berdasarkan pengolahan data lapangan dan data total biaya produksi
pada Bab sebelumnya memperlihatkan bahwa margin pembentukan harga
dalam jalur komoditi perdagangan beras berkisar antara Rp. 1020 perkilogram
beras hingga Rp. 2.522 per kilogram beras. Rata-rata margin yang diterima
pedagang dan petani dalam jalur distribusi komoditi beras dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 6.6.
Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin
Pembentukan Harga
Dalam Jalur Distribusi Komodit Beras
No
1.
2.
3.
Laba
Harga Pengecer Pasar
Siteba
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain
Laba
Harga Pedagang Besar
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain
Laba
Nilai
(Rp/Kg)
Margin
(Rp/Kg)
8.450
1.130
% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
13,4
7.438
7.320
118
1.012
8.395
1.075
12,8
7.416
7.320
96
979
7.320
6.604
6.300
1.020
12,1
12,2
304
716
64
4.
Harga Pedagang
Pengumpul/Huller
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain
6.300
2.522
29,8
30,0
3.943
3.778
165
Laba
2.357
5. Harga Petani
3.778
Total Biaya Produksi
1.848
Laba
1.930
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
65
66
Harga
Jual Cabe Di
Tingkat
Cabe yang dibeli oleh pedagang dalam pasar akan dijual kembali pada
konsumen yang membutuhkannya. Pedagang pengecer menjual produknya
pada konsumen akhir, pedagang perantara menjual cabenya pada pedagang
pengecer, pedagang pengumpul menjual produknya pada pedagang
perantara, dan petani menjual produknya pada pedagang pengumpul. Setiap
jalur distribusi perdagangan cabe tersebut membentuk harga jual baru
dengan harga beli, biaya transportasi, biaya bongkar muat, dan biaya lainnya
sebagai biaya produksi di tingkat pedagang. Sedangkan biaya pupuk
pestisida, bibit, biaya tanam dan lainnya adalah biaya yang dipertimbangkan
petani dalam menentukan harga jual cabe dalam pasar.
Tabel
N
o
1.
67
2.
3.
4.
5
Total biaya
produksi
per unit +
persentase
keuntunga
n
Harga
tertinggi
yang
berlaku
dalam
pasar
Dispesifikas
i
oleh
pemesan
Lainnya
10,
5
89,5
20,
0
80,0
0,0
100,
0
0,0
100,
0
15,
8
84,2
0,0
100,
0
0,0
100,
0
72,
7
27,3
0,0
100,
0
0,0
100,
0
0,0
100,
0
13,
6
86,4
100,
100,
100,
0,0
0,0
0,0
0
0
0
Sumber :Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah disetiap blok kategori pedagang adalah 100.0
0,0
0,0
69
70
Tabel 6.12.
Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan
Margin Pembentukan Harga Dalam Jalur Distribusi
Komodit Cabe Merah
No
1.
2.
3.
4.
% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
22,5
Nilai
(Rp/Kg)
Margin
(Rp/Kg)
12.900
2.900
10.545
10.000
545
2.355
12.900
2.900
10.733
10.000
733
2.167
10.000
1.187
9,2
9,2
8.905
8.813
92
1.095
8.813
1.667
12,9
12,9
22,5
7.196
7.146
50
71
Laba
1.617
5. Harga Petani
7.146
Total Biaya Produksi
6.427
Laba
719
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
72
73
N
o
1.
2.
74
3.
4.
5
persentase
keuntungan
Harga
tertinggi
yang
berlaku
dalam
pasar
Dispesifikas
i
oleh
pemesan
Lainnya
3,2
96,8
0,0
100,
0
0,0
100,
0
45,
5
54,5
0,0
100,
0
20,0
80,0
0,0
100,
0
18,
2
81,8
0,0
100,
0
100,
100,
100,
0,0
0,0
0
0
0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
0,0
Total biaya produksi per unit dan tingkat keuntungan yang diinginkan
merupakan faktor utama yang menjadi penentu dalam penentuan harga jual
bawang di tingkat pedagang. Secara rata-rata hampir dari semua responden
dalam hal ini pedagang pengecer, pedagang perantara, dan pedagang
pengumpul menetapkan harga jual bawang mereka berdasarkan biaya per
unit ditambah dengan tingkat keuntungan yang mereka inginkan. Jika setiap
jalur distribusi perdagangan mengharapkan keuntungan sebesar seribu rupiah
per kilogram dengan jalur distribusi pengecer, pedagang perantara, dan
pedagang pengumpul maka harga yang diterima oleh konsumen akhir sudah
bertambah Rp.3.000 per kilogram ditambah dengan harga pokok yang dijual
petani.
Berbeda dengan pedagang, disamping penetapan harga berdasarkan
biaya unit komoditi dan tingkat keuntungan yang diinginkan, petani juga
menetapkan harga berdasarkan harga tertinggi bawang yang berlaku dalam
pasar. Petani akan mencari penjual bawang yang membeli hasil panen
dengan harga tertinggi. Dalam kondisi ini, petani akan membandingkan harga
antara satu pedagang dengan pedagang lain. Menurut petani, walaupun
harga jual mereka berdasarkan harga tertinggi yang berlaku dalam pasar,
biaya produksi juga menjadi pertimbangan mereka dalam menentukan harga
jual bawang.
6.3.3. Volatilitas Harga Komoditi Bawang Merah
Survei lapangan komoditi bawang yang dilakukan bersamaan dengan
komoditi cabe memperlihatkan pola perubahan harga yang sama dengan pola
perubahan harga cabe yaitu berubah dari waktu ke waktu dengan cepat.
Perbedaan survei satu minggu antara pedagang pengecer dengan pedagang
pengumpul dan satu minggu lagi antara pedagang besar dengan pedagang
pengumpul dan petani, maka terlihat perubahan siklus harga bawang merah
yang cepat tersebut dalam pasar.
Tabel 6.15. Distribusi Responden Menurut Perkembangan
Harga Bawang Merah Pada Saat Survei Dilakukan
75
(Persentase)
Kondisi Harga Bawang Merah
Pedagang
Meningkat Menurun Fluktuasi stabil
Pengecer
55,6
13,9
0,0
8,3
Perantara
8,3
0,0
2,8
0,0
Pengumpul
5,6
2,8
2,8
0,0
Total
69,4
16,7
5,6
8,3
Sumber Penelitian Lapangan, 2008
Total
77,8
11,1
11,1
100,0
76
Bawang
3. Permintan
Bawang
28,6 71,4 0,0 100,0 33,3 66,7
Naik
4. Lainnya
14,3 85,7 0,0 100,0 0,0 100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah
100.0
Tabel pengolahan data penelitian lapangan menunjukkan bahwa naiknya
harga bawang lebih disebabkan karena terjadinya kelangkaan bawang.
Hampir semua responden pada tingkat pedagang menyatakan bahwa tidak
masuknya bawang jawa ke Sumatera Barat khususnya kota Padang
merupakan penyebab penawaran bawang dalam pasar berkurang.
Sebelumnya, banyaknya bawang yang berasal dari luar Sumatera Barat
menyebabkan turunnya harga bawang merah di Sumatera Barat, khususnya
kota Padang.
Sementara itu, sekitar 28,6% pedagang pengecer dan 33,3% pedagang
pengumpul juga menyatakan bahwa permintaan bawang yang meningkat
merupakan faktor yang menyebabkan naiknya harga bawang. Disamping
permintaan bawang meningkat, menurut responden, naiknya harga bawang
juga disebabkan faktor lain yaitu kualitas bawang yang dijual dalam pasar
adalah bawang yang berkualitas tinggi dan tidak mudah busuk.
produksi. Dalam hal ini, biaya yang menjadi komponen langsung perhitungan
margin adalah biaya produksi selain dari biaya pembelian bawang merah
untuk dijual kembali oleh pedagang.
Tabel 6.17. Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Distribusi Komoditi Bawang Merah
No
1.
Nilai
(Rp/Kg)
Margin
(Rp/Kg)
2.291
% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
23,2
1.938
20,4
1.666
16,9
17,5
1.500
15,2
15,8
78
semakin tinggi harga yang diterima oleh konsumen akhir. Dan sebaliknya.
Dengan demikian, pembentukan harga yang berlaku dalam pasar juga
ditentukan biaya produksi, dalam hal ini harga beli minyak dari penjual, yang
dikeluarkan oleh pedagang baik pedagang pengecer maupun pedagang
perantara yang berada dalam jalur distribusi perdagangan minyak.
6.4.1. Faktor-Faktor Penentuan Harga Minyak Goreng Di tingkat Di
Pedagang
Penelusuran jalur distribusi minyak goreng di tingkat pedagang dalam
Kota Padang memperlihatkan bahwa harga beli minyak goreng yang akan
mereka jual kembali adalah interaksi antara pedagang pengecer, pedagang
besar, dan produsen penghasil. Pedagang pengecer membeli pada pedagang
besar dan pedagang besar berhubungan langsung dengan produsen minyak
goreng. Dalam hubungan tersebut, penentuan harga beli minyak yang akan
dijual kembali lebih dominan ditentukan oleh penjual yaitu pedagang besar
dan produsen minyak.
Tabel 6.18.
Distribusi Responden Menurut FaktorFaktor yang Menentukan Harga Beli
Dalam Jalur Distribusi Komoditi Minyak
Goreng (persentase)
Pedagang
Pengecer
Besar
Penentuan Harga
Tidak
Ya Tidak
Ya
Mekanisme Pasar
13,2 86,8
0,0
100,0
Penjual
81,6 18,4
100,0
0,0
Kesepakatan
Pedagang
0,0 100,0
0,0
100,0
Lainnya
0,0 100,0
0,0
100,0
Sumber : Penelitian lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah
100.0
Survei pada pedagang minyak goreng di pasar raya dan pasar siteba
sebagai sampel penelitian memperlihatkan bahwa harga minyak goreng yang
mereka beli lebih dominan ditentukan oleh penjual. Sekitar 81,6% dari total
responden pedagang pengecer menyatakan bahwa harga minyak goreng
yang mereka beli ditentukan oleh pedagang perantara. Menurut pedagang
pengecer, jika pedagang perantara menyatakan harga minyak naik maka
mereka akan tetap membeli pada harga yang ditentukan oleh pedagang
tersebut.
Begitu juga di tingkat pedagang besar, seluruh responden
mengemukakan bahwa harga minyak yang mereka supply ke pengecer
merupakan harga minyak yang telah ditentukan oleh produsen minyak
goreng.
Disamping penjual, harga beli minyak goreng curah juga ditentukan
oleh mekanisme pasar. Tapi mekasnime pasar tidak dominan dalam
menentukan harga beli minyak di tingkat pedagang. Hanya sekitar 13.2%
responden pedagang pengecer yang menyebutkan bahwa harga beli minyak
ditentukan oleh mekanisme pasar. Menurut pedagang pengecer, naik
80
turunnya harga minyak yang mereka beli disebabkan oleh mekanisme pasar
yaitu bergantung pada ketersediaan minyak yang dihasilkan produsen dalam
pasar.
6.4.2. Faktor-Faktor Penentuan Harga Jual Minyak Goreng Di
Tingkat Pedagang dan Perusahaan
Harga minyak yang diterima oleh konsumen akhir adalah proses
pembentukan harga jual barang mulai dari produsen, pedagang perantara,
dan pengecer. Biaya produksi utama pedagang pengecer adalah harga jual
pedagang perantara dan biaya produksi utama dari pedagang perantara
adalah harga jual dari produsen minyak. Ada beberapa faktor yang
menentukan harga jual minyak disetiap jalur distribusi perdagangan minyak
goreng. Total biaya produksi per unit merupakan faktor utama dalam
penentuan harga jual dalam setiap jalur distribusi perdagangan minyak
goreng.
Tabel
81
82
Faktor Penetapan
Harga
Pengecer
Ya
Tida
k
Saat
Survei
Pedagang
Besar
Ya
Tidak
Biaya produksi
46,7 53,3 60,0 40,0
menurun
Kelebiahan
2.
20,0 80,0 0,0 100,0
penawaran minyak
Permintan minyak
3.
6,7
93,3 0,0 100,0
goreng menurun
4. Lainnya
73,3 26,7 40,0 60,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang
adalah 100.0
1.
pembentukkan harga yang diterima konsumen akhir. Margin ini lebih tinggi
dibandingkan dengan margin yang diterima pedagang pengecer pasar raya
maupun pedagang besar. Namun, secara rata-rata margin yang diterima
pedagang pengecer baik pedagang pengecer pasar raya maupun pedagang
pengecer pasar Siteba lebih tinggi dibandingkan dengan margin yang diterima
pedagang besar dalam jalur distribusi perdagangan minyak goreng.
Tabel 6.22. Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Distribusi Komodit Minyak Goreng
No
1.
Nilai
(Rp/Kg)
Margin
(Rp/Kg)
546
% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
8,7
712
472
11,1
7,5
7,3
84
yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan laba yang diterima oleh pedagang
pengecer dapat berbeda satu sama lainnya.
6.5. Pembentukan Harga Ikan
Komoditi ikan segar sebagai pemicu inflasi/deflasi berasal dari ikan laut
dan ikan air tawar. Sebagai pemicu inflasi/deflasi, pembentukan harga ikan
juga bergantung pada jalur distribusi perdagangan ikan dalam pasar. Jalur
distribusi perdagangan ikan laut (tongkol) dan ikan air tawar (nila) yang
berbeda menyebabkan harga ikan laut dan air tawar juga berbeda dalam
pasar. Walaupun demikian, faktor penentu harga beli pedagang dan faktor
penentu harga jual produk antara ikan laut dan air tawar relatif sama tetapi
dapat berbeda dalam hal dominasinya.
6.5.1. Faktor-Faktor Penentu Harga Beli Ikan Di tingkat Pedagang
Penelusuran jalur distribusi perdagangan komoditi ikan laut
memperlihatkan bahwa harga ikan laut (tongkol dan tuna) dan ikan air tawar
(nila) yang dibeli pedagang sangat ditentukan oleh beberapa faktor antara
lain mekanisme pasar, penjual, dan kesepakatan pedagang.
Tabel 6.23. Distribusi Responden Menurut Faktor Penentu Harga
Beli Ikan Laut Oleh Pedagang (Persentase)
Pedagang Ikan Laut
Faktor Penentu
Pengecer
Pengumpul
Besar
Harga Beli
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Mekanisme Pasar
11,8 88,2 0,0 100,0 0,0 100,0
Penjual
82,4 17,6 0,0 100,0 50,0 50,0
Kesepakatan
Pedagang
5,9 94,1 50,0 50,0 50,0 50,0
Lainnya
0,0 100,0 50,0 50,0 0,0 100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
Hasil pengolahan data lapangan terhadap responden pedagang ikan laut
(tongkol dan tuna) menunjukkan bahwa penjual merupakan faktor yang
dominan dalam menentukan harga beli ikan laut oleh pedagang terutama
pedagang pengecer (82,4%) dan pedagang besar (50,0%). Menurut
pedagang pengecer dan pedagang besar, penjual hanya akan mau menjual
ikan yang dimilikinya jika harga ikan laut sudah sesuai dengan keinginan
penjual. Jika tidak maka penjual akan mencari pedagang pegecer atau
pedagang besar lainnya yang juga membutuhkan ikan untuk aktivitas
perdagangan mereka. Disamping pengaruh penjual, pada tingkat pedagang
besar, harga ikan yang mereka beli juga ditentukan oleh kesepakatan
pedagang (50,0%).
Tabel 6.24. Distribusi Responden Menurut Faktor Penentu Harga
85
86
No
1.
2.
3.
4.
5.
Faktor
Penetapan
Harga
Total biaya
produksi per unit
+ tingkat
keuntungan
yang diinginkan
Total biaya
produksi per unit
+ persentase
keuntungan
Harga tertinggi
yang berlaku
dalam pasar
Dispesifikasi
oleh pemesan
Lainnya
Pengecer
Pedagang Pedaga
Pengump
ng
ul
Besar
Y
Td
Tdk Ya
a
k
5
50
10 0
0
0
Nelayan
Ya
Td
k
0
Ya
Tdk
41,
2
58,
8
17,
6
82,
4
100
10
0
10
0
41,
2
58,
2
100
10
0
10
0
100
50
100
100
10
0
10
0
5
0
0
10
0
10
0
100
87
(Persentase)
Pedagang
Pedagang
Nelayan
Faktor
Pengecer
pengumpul
Hasil Sendiri
Tambak
Penetapan
No
Harga
Ya Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak Ya Tidak
1. Total biaya
62,5 37,5 100,0 0,0
0,0 100,0 36,6 63,4
produksi per
unit + tingkat
keuntungan
yang
diinginkan
2. Total biaya
0,0 100,0 0,0 100,0 100,0 0,0
9,1 90,9
produksi per
unit +
persentase
keuntungan
3. Harga
37,5 62,5
0,0 100,0 0,0
0,0
9,1 90,9
tertinggi
yang berlaku
dalam pasar
4. Dispesifikasi
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0
0,0 54,5 45,5
oleh
pemesan
5
Lainnya
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0
0,0
0,0
0,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Berbeda dengan pedagang ikan hasil sendiri, faktor utama penetapan
harga jual ikan di pasar adalah dengan mempertimbangkan total biaya per
unit ditambah dengan persentase keuntungan. Pedagang hasil sendiri ikan ar
tawar menetapkan persentase keuntungan sekitar 25% - 35% dari total biaya
produksi ikan air tawar.
Tabel diatas juga memperlihatkan bahwa faktor penetapan harga jual
yang dominan pada nelayan tambak adalah dispesifikasi oleh pemesan
(54,5%). Menurut nelayan tambak, terutama di Maninjau, Kabupaten Agam,
harga jual ikan yang mereka panen pada hakekatnya merupakan hasil
spesifikasi dari pemesan. Pemesan adalah langganan yang selalu membeli
ikan hasil panen mereka. Dalam pembelian tersebut, berat dan harga ikan
yang mereka pesan pada umumnya dispesifikasi sesuai dengan keinginan
mereka.
Selanjutnya, penentuan harga jual ikan air tawar dalam pasar juga
ditentukan oleh harga tertinggi yang berlaku dalam pasar. Penentuan harga
jual semacam ini banyak terjadi pada pedagang pengecer (37,5 %). Dalam
hal ini, pedagang ikan air tawar dalam pasar akan selalu memperhatikan
perkembangan harga ikan air tawar dan akan menjual ikannya pada harga
tertinggi yang berlaku dalam pasar.
6.5.3. Volatilitas Harga Komoditi Ikan Segar
88
Menurut responden ikan baik ikan laut maupun ikan air tawar,
perkembangan harga ikan bergantung pada perubahan cuaca/musim bagi
ikan laut dan biaya produksi bagi ikan air tawar. Harga ikan laut akan
bergerak naik jika musim berganti dari musim gelap ke musim terang.
Perubahan kondisi ini menyebabkan supply ikan ke pasar mulai turun. Dan
menyebabkan harga ikan naik. Sebaliknya musim gelap dan terang pada
nelayan tambak tidak akan mempengaruhi harga ikan air tawar. Harga ikan
air tawar bergantung pada biaya produksi ikan. Jika harga pakan ikan air
tawar meningkat, harga ikan air tawar juga meningkat. Perkembangan harga
ikan laut/tongkol dan ikan air tawar (nila) pada saat survei dilakukan dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 6.27. Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga Ikan
Laut/Tongkol dan Ikan Air Tawar (Nila) Saat Survei Dilakukan
(Persentase)
Kategori
Pedagang
Pengecer
Pengump
ul
10,0
75,0
15,0
0,0
100,0
0,0
Tota
l
Besar
0,0
100,0
0,0
Pedagang
Hasil
Sendiri
0,0
0,0
0,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
100,
0
100,
0
100,
0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
100,
0
100,
0
No
1.
Faktor
Penurunan Ya
Harga
Biaya
produksi
0.0
Menurun
Tida
k
100.
0
Pedagang
Pedagang
Pengumpul
Besar
Ya
Tida Ya
Tida
k
k
0.0
100.
0
0.0
100.
0
89
2.
3.
4.
Kelebihan
47,1
Penawaran
Permintan
29,4
Menurun
Lainnya
10,0
52,9
0,0
100,
0
100,
0
70,6
100,
0
0,0
0,0
90,0
0,0
100,
0
0,0
0,0
100,
0
100,
0
1.
2.
Faktor Penyebab
Naiknya Harga
Pengecer
Ya
57,1
Tidak
42,9
Ya
0,0
Tidak
100,0
Pedagang
Hasil
Sendiri
Ya Tidak
0,0 100,0
0,0
100,0
0,0 100,0
0,0
0,0
100,0
100,0
0,0 100,0
0,0 100,0
Pedagang
Pengumpul
adalah 100.0
responden pengecer juga menyatakan bahwa supply ikan air tawar mulai
berkurang di pasar. Kondisi ini ikut menyebabkan harga ikan air tawar
meningkat di pasar
Sementara itu, menurut pedagang pengumpul dan pedagang yang
memasarkan hasil produksi sendiri menyatakan bahwa harga ikan air tawar
pada saat survei dilakukan masih stabil, sama seperti minggu yang lalu.
Stabilnya harga ikan air tawar menurut responden disebabkan belum adanya
goncangan terhadap permintaan dan penawaran ikan air tawar. Permintaan
dan penawaran ikan air tawar relatif sama seperti minggu sebelumnya.
6.5.4. Margin Pembentukan Harga Komoditi Ikan Segar
Penelusuran terhadap jalur distribusi perdagangan ikan segar
memperlihatkan bahwa margin pembentukan harga antara pedagang ikan air
laut/tongkol berbeda dengan jalur distribusi perdagangan ikan air tawar
(nila). Rata-rata margin pedagang pengecer ikan laut adalah jalur distribusi
yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan harga ikan laut
di pasar. Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan jalur distribusi
perdagangan ikan air tawar.
Berdasarkan olahan data penelitian lapangan, margin pembentukan
harga dalam jalur distribusi perdagangan komoditi ikan laut berkisar antara
Rp 500/Kg hingga Rp 7,176 /Kg. Dalam jalur distribusi perdagangan komoditi
ikan laut, pedagang pengecer baik pedagang pengecer pasar raya (31,6 %
dari total margin pasar raya) maupun pedagang pengecer pasar Siteba (27,6
% dari total margin pasar siteba) adalah jalur distribusi yang memperoleh
margin terbesar. Ini berarti bahwa pedagang pengecer merupakan jalur
distribusi perdagangan yang memberikan berkontribusi besar terhadap
pembentukan harga ikan di pasar. Besarnya kontribusi pengecer dalam
pembentukan harga ikan disebabkan laba yang diterima pedagang pengecer
jauh lebih besar dibandingkan dengan pedagang besar. Kondisi ini
menyebabkan margin yang diterima pedagang pengecer merupakan margin
yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan harga ikan laut
ditingkat pedagang.
Tabel 6.30.Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Ikan Laut
No
1.
2.
Nilai
(Rp/Kg)
Margin
(Rp/Kg)
22.676
16.069
15.500
569
6.607
15.500
7.176
2.000
% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
31,6
8,8
91
5.333
27,6
500
2,6
No
1
Nilai
(Rp/Kg)
Margin
(Rp/Kg)
15.997
1.797
% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
11,2
14.860
14.200
660
1.137
14.200
2.500
15,6
11.900
92
Harga Beli
Biaya Lain
11.700
200
2.300
15.333
Laba
Harga Pengecer Pasar
Siteba
Total Biaya Produksi
14.024
Harga Beli
13.500
Biaya lain
524
Laba
1.309
4 Harga Pedagang
13.500
Pengumpul Pasar siteba
Total Biaya Produksi
12.033
Harga Beli
11.700
Biaya lain
333
Laba
1.467
5 Harga Nelayan
11.700
Total Biaya Produksi
8.857
Laba
2.843
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
3
1.833
12,0
1.800
11,7
93
Pengecer
Ya Tidak
0,0 100,0
54,2 45,8
Agen
Ya
Tidak
75,5
25,0
12,5
87,5
Perusahaan
Mitra
Ya
Tidak
66,7
33,3
0,0
100,0
Mekanisme Pasar
Penjual
Kesepakatan
Pedagang
0,0 100,0
0,0
100,0
0,0
Lainnya
50,0 50,0
25,0
75,0
33,3
Sumber : Penelitian lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
100,0
66,7
94
pada mekanisme pasar. Pada saat supply daging ayam tidak banyak maka
harga ayam yang mereka beli pada perusahaan mitra juga naik dan
sebaliknya. Berbeda dengan perusahaan mitra, mekanisme pasar juga
merupakan faktor utama dalam menentukan harga ayam yang mereka beli
pada peternak tetapi antara peternak dengan perusahaan mitra terikat dalam
suatu kontrak kerja sama. Dalam kontrak tersebut, semua input mulai dari
bibit ayam, makanan ayam, serta vaksin untuk ayam disediakan oleh
perusahaan mitra. Setelah panen, ayam dijual oleh peternak pada perusahaan
mitra sesuai dengan harga yang tertulis dalam kontrak kerjasama. Perjanjian
kontrak kerjasama berbeda antar satu perusahaan berbeda dengan
perusahaan mitra lain. Ada perusahaan mitra yang selalu memperbaruhi
kontrak satu kali periode panen. Iisi kontrak disesuaikan dengan kondisi pada
saat itu, sementara ada juga perusahaan mitra yang memperbaruhi isi
kontrak sekali setahun atau delapan kali panen.
6.6.2. Faktor-Faktor Penentuan Harga Jual Daging Ayam Di Tingkat
Pedagang Dan Petani
Harga jual daging ayam mulai dari peternak, perusahaan mitra, agen,
dan pengecer merupakan mata rantai pembentukan harga daging ayam
dalam jalur distribusi perdagangan daging ayam. Sama seperti komoditi
pemicu inflasi/deflasi lainnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pedagang dan peternak dalam menentukan harga jual daging ayam dalam
pasar. Walaupun faktor-faktor yang menentukan harga jual daging ayam
sama dengan komoditi lainnya, namun pengaruh faktor-faktor tersebut dalam
proses pembentukan harga bisa berbeda dengan komoditi lain seperti beras,
cabe, bawang merah dan ikan segar.
Tabel 6.33. Distribusi Responden Menurut Faktor Yang Menentukan
Harga Jual Beras di tingkat Petani Dan Pedagang
(Persentase)
N
o
1.
2.
3.
Pengecer
Agen
Perusahaan
Peternak
Faktor
Mitra
Penetapan
Harga
Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak
Total biaya
produksi
per unit +
47,
71,
66,
tingkat
52,4
28,6
33,3 7,1 92,9
6
4
7
keuntungan
yang
diinginkan
Total biaya
produksi
100, 28,
100,
100,
per unit + 0,0
71,4 0,0
0,0
0
6
0
0
persentase
keuntungan
Harga
100, 33,
35,
tertinggi
9,5 90,5 0,0
66,7
64,3
0
3
7
yang
95
4.
5
berlaku
dalam
pasar
Dispesifikas
i
oleh
pemesan
Lainnya
9,5
90,5
0,0
100,
0
0,0
100,
0
50,
0
38,
100,
100,
61,9 0,0
0,0
0,0
1
0
0
Sumber :Olahan Data Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
50,0
100,
0
6.34.
Distribusi
Responden
Menurut
Perkembangan Harga Daging Ayam Pada
Saat Survei Dilakukan (Perentase)
Pedagang
Pengecer
Agen
Perusahaan
Mitra
Perkembangan Harga
Meningkat Menurun stabil
0,0
68,6
0,0
11,4
8,6
2,9
5,7
0,0
2,9
Total
68,6
22,9
8,6
96
Total
17,1
77,1
Sumber Penelitian Lapangan, 2008
5,7
100,0
No
1.
Faktor Penetapan
Harga
Pengecer
Ya
Biaya
produksi
0,0
Turun
2. Kelebihan
75,0
Penawaran
3. Permintan Daging
54,2
Ayam turun
4. Lainnya
0,0
Sumber : Penelitian Lapangan,
Agen
Tidak
Ya
Tidak
Perusahaan
Mitra
Ya
Tidak
100,0
0,0
100,0
0,0
100,0
25,0
20,0
80,0
0,0
100,0
45,8
60,0
40,0
0,0
100,0
100,0 20,0
2008
80,0
0,0
100,0
97
terhadap pembentukan harga daging ayam ras dipasar adalah pengecer. Hal
ini berarti bahwa ditingkat pedagang, pedagang pengecer merupakan jalur
distribusi perdagangan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap
pembentukan harga yang diterima oleh konsumen akhir. Rata-rata margin
yang diterima oleh pedagang dalam jalur distribusi perdagangan daging ayam
ras dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Tabel 6.36. Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Distribusi Daging Ayam Ras
No
1.
Nilai
(Rp/Kg)
Margin
(Rp/Kg)
2.625
% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
18,6
4.109
26,3
1.667
11,8
10,7
1.360
9,6
8,7
98
ayam) untuk jalur distribusi perdagangan daging ayam ras di pasar Siteba.
Tingginya laba yang diperoleh pedagang pengecer merupakan faktor yang
menyebabkan margin pembentukkan harga pedagang pengecer lebih tinggi
dibandingkan margin pembentukkan harga di tingkat pedagang perantara
(agen) dan perusahaan mitra.
Selain itu, laba yang diterima pengecer terutama pedagang pengecer
pasar Siteba relatif hampir sama dengan laba yang diterima oleh peternak
daging ayam. Tingginya laba yang diperoleh peternak daging ayam
disebabkan karena adanya kontrak antara peternak dengan perusahaan
mitra. Walapun harga ayam pada saat survei dilakukan menurun, tetapi harga
ayam yang dijual peternak pada perusahaan mitra tetap tinggi sesuai dengan
kesepakatan kontrak yang telah dibuat sebelumnya. Sementara, hubungan
antara perusahaan mitra dengan agen dan pengecer tidak terikat dengan
kontrak. Turunnya harga ayam juga akan mempengaruhi margin yang
mereka peroleh.
99
BAB 7
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan
Penelitian jalur distribusi komoditas penyumbang inflasi terbesar di
wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya menelusuri pola distribusi komoditas
beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak
goreng yang memanfaatkan responden pedagang pengecer, pedagang
pengumpul, pedagang besar/agen/pedagang perantara, dan produsen
masing-masing komoditas.
Penelusuran responden yang menggunakan
teknik snow ball telah menemukan 306 responden yang meliputi responden
pedagang pengecer di Pasar Raya dan Pasar Siteba yang dilanjutkan ke
pedagang besar/agen/pedagang perantara dan pedagang pengumpul hingga
ke produsen yang dilewati oleh komoditas.
Penelitian lapangan menemukan bahwa pola distribusi yang terbentuk
mulai dari produsen hingga ke pedagang pengecer (konsumen akhir) dari
komoditas beras, cabe merah, bawang merah, daging ayam, ikan segar, dan
minyak goreng terbagi menjadi berbagai pola distribusi. Pertama, pola
distribusi dimana produsen yang ada di Sumatera Barat memasok komoditas
kepada pedagang perantara I/pedagang pengumpul. Pedagang perantara I
menjual komoditas kepada pedagang perantara II/pedagang besar/agen yang
selanjutnya menyuplai pedagang pengecer di Pasar Raya dan Pasar Siteba.
Kedua, pola distribusi dimana produsen luar Sumatera Barat menyuplai
komoditas kepada pedagang perantara I/pedagang pengumpul. Pedagang
perantara I menjual komoditas kepada pedagang perantara II/pedagang
besar/agen yang selanjutnya memasok pedagang pengecer di Pasar Raya dan
Pasar Siteba. Ketiga, pola distribusi dimana produsen yang ada di Sumatera
Barat menjual komoditas kepada pedagang perantara II/pedagang
besar/agen yang selanjutnya menyuplai pedagang pengecer di Pasar Raya
dan Pasar Siteba. Keempat, pola distribusi dimana pedagang pengecer
langsung mendapatkan komoditas dari produsen yang ada di Sumatera Barat.
Pembentukan harga komoditas mengikuti harga yang terbentuk dari
setiap level distribusi yang dilewatinya. Perbedaan pola distribusi
menyebabkan perbedaan harga-harga komoditas yang terbentuk. Semakin
panjang mata rantai distribusi komoditas semakin tinggi harga yang diterima
oleh konsumen dan sebaliknya. Selain itu perbedaan harga harga yang
terbentuk disebabkan perbedaan lingkungan yang mempengaruhinya. Faktor
utama yang menyebabkan naiknya harga komoditas adalah perubahan cuaca,
kenaikan biaya produksi disamping naiknya permintaan dan menurunnya
penawaran dalam pasar.
Total biaya produksi per unit dan tingkat keuntungan yang diinginkan
merupakan faktor utama yang menjadi penentu dalam penentuan harga jual
komoditas ditingkat pedagang. Secara rata-rata hampir dari semua responden
apakah pedagang pengecer, pedagang perantara, dan pedagang pengumpul
menetapkan harga jual komoditas mereka berdasarkan biaya per unit
ditambah dengan tingkat keuntungan yang mereka inginkan.
100
101
Untuk komoditi ikan air tawar, margin paling besar diperoleh oleh
petani ikan dan pedagang pengumpul, sedangkan ikan laut diperoleh oleh
pengecer. Besarnya margin yang diterima petani ikan air tawar disebabkan
karena pada saat survei dilakukan, harga ikan air tawar sedang meningkat.
Peningkatan harga ikan air tawar disebabkan karena biaya produksi menaik.
Naiknya biaya produksi menyebabkan petani melakukan penyesuaianpenyesuaian harga termasuk penyesuaian margin yang ingin diterimanya.
Besarnya kontribusi pengecer dalam pembentukan harga ikan disebabkan
karena selisih antara harga jual ikan pedagang pengecer dengan harga biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan ikan laut lebih besar dibandingkan
dengan pedagang maupun nelayan.
Untuk komoditi daging ayam, margin terbesar diperoleh peternak.
Tingginya kontribusi margin peternak terhadap pembentukan harga yang
diterima konsumen akhir disebabkan karena kontrak antara peternak dengan
perusahaan mitra. Walaupun harga ayam pada saat survei dilakukan
menurun, tetapi harga ayam yang dijual peternak pada perusahaan mitra
tetap tinggi sesuai dengan kesepakatan kontrak yang telah dibuat
sebelumnya.
Sementara untuk komoditi minyak goreng, margin dibagi merata oleh
pedagang pengecer dan pedagang besar. Lebih tingginya margin yang
diperoleh oleh pedagang pengecer baik pedagang pengecer Pasar Raya dan
Pasar Siteba disebabkan karena antara pedagang pengecer dan konsumen
rumah tangga terjadi tawar menawar dalam aktivitas jual beli. Proses tawar
menawar tersebut dapat menghasilkan harga yang diterima konsumen akhir
berbeda satu sama lain. Kadangkala pengecer dapat menjual dengan harga
tinggi pada konsumennya. Tingginya harga jual mereka pada konsumen juga
menyebabkan margin yang mereka terima akan tinggi juga.
7.2. Rekomendasi
Persoalan inflasi adalah suatu keadaan yang dikatagorikan sebagai
penyakit ekonomi dan lebih disebabkan oleh tidak berkerjanya mekanisme
pasar secara effisien dan sempurna (imperfect market competition effects)
sehingga tingkat harga yang berlaku berkembang menjadi tidak menentu dan
cendrung meningkat lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pendapatan
nyata individu (real income per head). Kalau kondisi seperti ini dibiarkan
berkerja secara terus menerus dan berkepanjangan akan dapat menyebabkan
rakyat atau konsumer akhir kehilangan daya beli.
Dikaitkan dengan
komoditas-komoditas seperti: beras, cabe merah, bawang merah, daging
ayam ras, ikan segar dan minyak goreng, yang merupakan komoditas yang
sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau konsumer akhir dalam
kehidupannya setiap waktu maka melemahnya daya beli masyarakat akan
berakibat buruk bagi kesejahteraan kehidupan mereka karena komoditaskomiditas seperti ini (beras, cabe merah, bawang merah, daging ayam ras,
ikan segar dan minyak goreng), sangat dibutuhkan dalam kehidupan seharihari mereka. Apalagi kalau dikaitkan dengan masyarakat yang berpendapatan
relatif rendah dan tidak tetap maka persoalan inflasi yang berkepanjangan
dan terus menerus sudah pasti akan semakin memberatkan kehidupan
ekonomi mereka sehari-hari.
102
106