You are on page 1of 115

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

JALUR DISTRIBUSI KOMODITAS


PENYUMBANG INFLASI TERBESAR DI
WILAYAH SUMATERA BARAT DAN
SEKITARNYA

Kerjasama
BANK INDONESIA PADANG
Dengan
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG
2008

KATA PENGANTAR

Penelitian Jalur Distribusi Komoditas Penyumbang Inflasi Terbesar


Inflasi Terbesar Di Wilayah Sumatera Barat Dan Sekitarnya dilaksanakan oleh
Fakultas Ekonomi Universitas Andalas bekerjasama dengan Bank Indonesia
Padang. Tujuan utama penelitian adalah untuk memahami pola distribusi
komoditas (beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras,
dan minyak goreng) penyumbang inflasi terbesar di wilayah Sumatera Barat
dan

sekitarnya

dan

menemukan

strategi,

kebijakan

dan

program

pengendalian harga dalam rangka memelihara stabilitas perekonomian


daerah. Penelitian telah mengumpulkan data lapangan. Penelitian melibatkan
pihak-pihak yang secara langsung berkepentingan dengan komoditas
penyumbang inflasi terbesar mulai dari produsen hingga ke pedagang
pengecer yang berhadapan langsung dengan konsumen akhir .
Ketua Tim Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Andalas mengucapkan
terima kasih kepada Kepala Bank Indonesia Padang, BPS Provinsi Sumatera
Barat, dan pelaku usaha seperti produsen, pedagang pengumpul, pedagang
besar, dan pedagang pengecer beras, cabe merah, bawang merah, ikan
segar, daging ayam ras, dan minyak goreng atas semua bantuan dan
informasi yang telah diberikan dalam penelitian ini.
Akhirnya, kami berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak (pelaku ekonomi, pemerintah dan Bank Indonesia), Kami juga
berharap kritikan dan saran dari semua pihak bagi penyempurnaan laporan
ini.

Prof. Dr. Firwan Tan, SE, MEc, DEA, ING


Ketua Peneliti
Fakultas Ekonomi
Universitas Andalas

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar

Halaman
i
ii
iv
viii

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1
1
4

BAB 2

METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Data dan Sumber Informasi
2.2. Lokasi dan Sampel Penelitian
2.3. Teknik Analisis Data

6
6
6
9

BAB 3

KONDISI SOSIAL DAN PERILAKU EKONOMI


RESPONDEN
3.1. Sumberdaya manusia
3.2. Motivasi memulai usaha
3.3. Perilaku penggunaan laba usaha

BAB 4

10
10
14
18

POLA DISTRIBUSI KOMODITAS PENYUMBANG


INFLASI
4.1. Pola Distribusi Beras
4.2. Pola Distribusi Cabe Merah
4.3. Pola Distribusi Bawang Merah
4.4. Pola Distribusi Ikan Segar
4.5. Pola Distribusi Daging Ayam
4.6. Pola Distribusi Minyak Goreng

20

BAB 5

BIAYA PEMBENTUK HARGA KOMODITAS


5.1. Biaya Pembentuk Harga Beras
5.2. Biaya Pembentuk Harga Cabe Merah
5.3. Biaya Pembentuk Harga Bawang Merah
5.4. Biaya Pembentuk Harga Ikan Segar
5.5. Biaya Pembentuk Harga Daging Ayam
5.6. Biaya Pembentuk Harga Minyak Goreng

45
46
51
55
59
67
72

BAB 6

PEMBENTUKAN HARGA KOMODITI PENYUMBANG


INFLASI
6.1. Pembentukan Harga Beras
6.2. Pembentukan Harga Cabe Merah
6.3. Pembentukan Harga Bawang Merah

21
27
30
33
37
40

76
79
90
100

ii

BAB 7

Referensi

6.4. Pembentukan Harga Minyak Goreng


6.5. Pembentukan Harga Ikan Segar
6.6. Pembentukan Harga Daging Ayam

111
119
130

Kesimpulan dan Rekomendasi


7.1. Kesimpulan
7.2. Rekomendasi

139
139
141
151

iii

DAFTAR TABEL
Tabel
1.1

Perkembangan In/Deflasi Komoditi yang Mempengaruhi


Inflasi Padang (month to month, %)

Halaman
3

3.1

Distribusi responden menurut kelompok umur dan


kategori usaha perdagangan

11

3.2

Distribusi responden menurut kelompok umur dan


status responden dalam kegiatan usaha

12

3.3

Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan

13

3.4

Distribusi responden pedagangan menurut alasan


memilih usaha

15

3.5

Distribusi responden produsen menurut alasan memilih


usaha

15

3.6

Distribusi responden menurut bagaimana memulai


usaha

16

3.7

Distribusi responden menurut Pengalaman Usaha dan


Permasalahan yang dijumpai

16

3.8

Distribusi responden menurut struktur modal

17

3.9

Distribusi responden menurut alokasi penggunaan laba


usaha

18

5.1

Biaya Pembentuk Harga Komoditi Beras

50

5.2

Biaya Pembentuk Harga Komoditi Cabe Merah

54

5.3

Biaya Pembentuk Harga Komoditi Bawang Merah

58

5.4

Biaya Pembentuk Harga Komoditi Ikan Air Tawar

60

5.5

Biaya Pembentuk Harga Komoditi Ikan Laut

66

5.6

Perbandingan harga Perusahaan Mitra sebagai Pemasok

68

5.7

Biaya Pembentuk Harga Komoditi Daging Ayam Ras

70

5.8

Perbandingan Kapasitas Produksi 2 Produsen Minyak


Goreng Per Tahun

71

5.9

Biaya Pembentuk Harga Komoditi Minyak Goreng

74

6.1

Faktor Penyebab Naiknya Harga Komoditi Pemicu Inflasi

76

6.2

Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor yang


Menentukan Harga Beli Dalam Jalur Distribusi Komoditi
Beras (persentase)

79

6.3

Faktor Yang Menentukan Harga Jual Beras di tingkat


Petani Dan Pedagang (Persentase)

82

6.4

Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga

84
iv

Beras Pada Saat Survei Dilakukan (Persentase)


6.5

Distribusi Responden Menurut Alasan Meningkatnya


Harga Beras Pada Saat Survei Dilakukan (Persentase)

85

6.6

Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin


Pembentukan Harga Dalam Jalur Distribusi Komodit
Beras

87

6.7

Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor yang


Menentukan Harga Beli Dalam Jalur Distribusi Komoditi
Cabe (persentase)

89

6.8

Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor Yang


Menentukan Harga Jual Cabe di tingkat Pedagang Dan
Petani (Persentase)

92

6.9

Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga


Cabe Pada Saat Saat Survei Dilakukan ( Persentase)

93

6.10

Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor Yang


Menyebabkan Menurunnya Harga Cabe Pada Saat
Survei Dilakukan (Persentase)

94

6.11

Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor Yang


Menyebabkan Meningkatnya Harga Cabe Saat survei
Dilakukan (Persentase)

95

6.12

Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin


Dalam Jalur Distribusi Komoditi Cabe

97

6.13

Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor yang


Menentukan Harga Beli Bawang Merah oleh Pedagang
(persentase)

99

6.14

Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor Yang


Menentukan Harga Jual Bawang Merah di tingkat Petani
Dan Pedagang (Persentase)

101

6.15

Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga


Bawang Merah Pada Saat Survei Dilakukan (Persentase)

103

6.16

Distribusi Responden Menurut Faktor Yang


Menyebabkan Naiknya Harga Bawang Merah Pada Saat
Survei Dilakukan (Persentase)

104

6.17

Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur


Distribusi Komoditi Bawang Merah

106

6.18

Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor yang


Menentukan Harga Beli Dalam Jalur Distribusi Komoditi
Minyak Goreng (persentase)

109

6.19

Distribusi Responden Menurut Faktor Yang Menentukan


Harga Jual Minyak Goreng di tingkat Petani Dan
Pedagang (Persentase)

111

6.20

Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga


Minyak Goreng Pada Saat survei Dilakukan
(Persentase)

112

6.21

Distribusi Responden Menurut Faktor Yang


Menyebabkan Menurunnya Harga Minyak Goreng Pada
Saat Survei Dilakukani (Persentase)

113

6.22

Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur


Distribusi Komoditi Minyak Goreng

114

6.23

Distribusi Responden Menurut Faktor Penentu Harga


Beli Ikan Laut Oleh Pedagang (Persentase)

117

6.24

Distribusi Responden Menurut Faktor Penentu Harga


Beli Ikan Air Tawar (Nila) Oleh Pedagang ( Persentase)

118

6.25

Distribusi Responden Menurut Faktor Yang Menentukan


Harga Jual Ikan Air Laut di tingkat Pedagang Dan
Nelayan (Persentase)

119

6.26

Distribusi Responden Menurut Faktor Yang Menentukan


Harga Jual Ikan Air Tawar (Nila) di tingkat Petani Dan
Pedagang (Persentase)

120

6.27

Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga


Ikan Laut/Tongkol dan Ikan Air Tawar (Nila) Saat
Survei Dilakukan (Persentase)

122

6.28

Distribusi Responden Menurut Faktor Yang


Menyebabkan Menurunnya Harga Ikan Laut Pada Saat
survei Dilakukan (Persentase)

123

6.29

Distribusi Responden Menurut Faktor yang


menyebabkan Naiknya Harga Ikan Air Tawar Pada Saat
Survei dilakukan (Persentase)

124

6.30

Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur


Ikan Laut

125

6.31

Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur


Distribusi Ikan Air Tawar

126

6.32

Distribusi Responden Menurut Faktor Penentu Harga


Beli Daging Ayam di Tingkat Pedagang (Persentase)

128

6.33

Distribusi Responden Menurut Faktor Yang Menentukan


Harga Jual Beras di tingkat Petani Dan Pedagang
(Persentase)

130

6.34

Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga


Daging Ayam Pada Saat Survei Dilakukan (Perentase)

131

6.35

Distribusi Responden Menurut Faktor Yang


Menyebabkan Menurun Harga Daging Ayam Pada Saat
ini (Persentase)

132

vi

6.36

Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur


Distribusi Daging Ayam

133

vii

DAFTAR GAMBAR
Gambar
1.1
Distribusi responden produsen dan pedagang

Halaman
3

4.1

Distribusi responden komoditi beras menurut jalur


distribusi dari petani ke pengecer Pasar Raya

25

4.2

Distribusi responden komoditi beras menurut jalur


distribusi dari petani ke pengecer Pasar Siteba Padang

26

4.3

Distribusi responden komoditi cabe merah menurut


jalur distribusi dari petani ke Pengecer Pasar Raya dan
Siteba Padang

29

4.4

Distribusi responden komoditi bawang merah menurut


jalur distribusi dari petani ke Pengecer Pasar Raya dan
Siteba Padang

32

4.5

Distribusi responden komoditi ikan segar menurut jalur


distribusi dari nelayan/petani ikan ke Pengecer Pasar
Raya dan Siteba Padang

36

4.6

Distribusi responden komoditi daging ayam menurut


jalur distribusi dari Peternak ke Pengecer Pasar Raya
dan Siteba Padang

39

4.7

Distribusi responden komoditi minyak goreng menurut


jalur distribusi dari produsen ke Pengecer Pasar Raya
dan Siteba Padang

44

viii

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stabilitas ekonomi merupakan perhatian utama pembangunan
berkelanjutan. Tanpa stabilitas ekonomi, idealisme pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil, stabil dan berkelanjutan
akan sulit teruwujudkan. Salah satu komponen esensial dalam menjaga
stabilitas ekonomi adalah terciptanya stabilitas harga. Stabilitas harga menjadi
penting tidak hanya untuk menstimulasi kegiatan ekonomi produktif tetapi
juga mendorong bangkitnya permintaan efektif masyarakat. Kegiatan
ekonomi produktif yang berjalan bersamaan dengan permintaan efektif
menjadi kekuatan yang akan mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Akan tetapi, kesejahteraan masyarakat akan sulit terwujud di
dalam kondisi dimana terjadi inflasi (Fischer, Stanley, & Franco Modigliani,
1978), karenanya kebijakan pengendalian inflasi menjadi penting untuk
dilaksanakan.
Pengendalian inflasi tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan
permintaan efektif, tetapi juga sebagai salah satu indikator yang digunakan
Bank Indonesia untuk mempengaruhi kebijakan moneter. Pada tataran ini,
pengendalian inflasi merupakan indikator makro ekonomi yang mampu
memberikan gambaran pencapaian dan pengontrolan perekonomian negara
(Parkin, M. & G. Zis, 1976a; 1976b). Pengendalian inflasi memerlukan
rumusan-rumusan kebijakan yang tepat dan akurat sehingga laju inflasi dapat
ditekan pada level yang tidak membahayakan perekonomian.
Kehandalan memformulasi kebijakan pengendalian inflasi sangat
ditentukan oleh kedalaman pengetahuan dan informasi komoditas
penyumbang inflasi yang dimiliki (Awokuse, T. & J. Yang, 2003). Pengetahuan
komoditas penyumbang inflasi terutama terkait dengan pola distribusi dan
faktor pembentukan harganya. Pola distribusi dan unsur pembentukan harga
komoditas sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat harga masingmasing komoditas. Pola distribusi dan unsur pembentukan harga suatu
komoditas akan berbeda dengan komoditas lainnya. Karenanya pengetahuan
yang cermat dan akurat akan pola distribusi dan komponen pembentukan
harga masing-masing komoditas menjadi faktor kunci yang digunakan untuk
memformulasi kebijakan pengendalian inflasi (Furlong, F. & R. Ingenito,
1996). Dengan mengetahui pola distribusi dan komponen pembentukan harga
komoditas maka kebijakan pengendalian harga-harga komoditas dapat
menemukan mekanisme yang efisien dan efektif untuk dilaksanakan.
Dari data BPS olahan Bank Indonesia Padang pada Tabel 1.1, komoditas
yang memberikan pengaruh signifikan terhadap inflasi ataupun deflasi di
Provinsi Sumatera Barat yang diwakili Kota Padang adalah beras, cabe merah,
bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng. Komoditaskomoditas ini merupakan bahan makanan kebutuhan masyarakat Sumatera
Barat. Oleh karena itu, pergerakan harga beras, cabe merah, bawang merah,
ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng secara langsung
berpengaruh terhadap pergerakan inflasi ataupun deflasi di Provinsi Sumatera
Barat.
1

Tabel 1.1. Perkembangan In/Deflasi Komoditas yang Mempengaruhi Inflasi


Padang (month to month, %)
Komoditas

Mar-07
Apr-07
Mei-07
Jun-07
Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb
i
.
i
.
i
.
i
.
Beras
3,68
0,34 -4,35 -0,41 -8,40 -0,77 -7,32 -0,63
Bawang
Merah
11,18 -0,08 -9,57 -0,06 -8,39 -0,05
4,02
0,02
Cabe Merah
23,58
0,72 19,01 -0,71 29,32 -0,89 10,30
0,22
Ikan Tongkol
8,34
0,13 10,77
0,19 -6,94 -0,13
8,96
0,16
Daging
Ayam Ras
1,97
0,02
3,48
0,03 20,01
0,19
3,00
0,03
Minyak
Goreng
0,41
0,01
6,28
0,09
7,29
0,11
4,82
0,08
Umum
1,22
1,22 -0,87 -0,87 -1,32 -1,32
0,22
0,22
Komoditas

Jul-07
Agust-07
Sep-07
Okt-07
Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb
i
.
i
.
i
.
i
.
Beras
-2,98 -0,24
0,40
0,03
1,00
0,08 -1,06 -0,08
Bawang
Merah
8,37
0,05 12,61 -0,07
0,98
0,01
7,32
0,04
Cabe Merah
-1,30 -0,03
2,48
0,06
0,84
0,02 15,51
0,37
Ikan Tongkol
4,11
0,08
0,00
0,00
5,26
0,11 12,50
0,26
Daging
Ayam Ras
9,09
0,11 -1,25 -0,02 -2,25 -0,03 -0,77 -0,01
Minyak
Goreng
4,85
0,08 -0,90 -0,02
4,21
0,07
1,02
0,02
Umum
0,71
0,71
0,36
0,36
0,98
0,98
0,62
0,62
Komoditas

Nop-07
Des-07
Jan-08
Feb-08
Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb Inflas Sumb
i
.
i
.
i
.
i
.
Beras
5,23
0,39
3,65
0,29
1,83
0,15
5,39
0,43
Bawang
Merah
15,57
0,09 32,63
0,20 13,33 -0,11 14,80 -0,10
Cabe Merah
3,67
0,10
2,46
0,07 -5,27 -0,15 26,92
0,72
Ikan Tongkol
0,00
0,00
0,00
0,00 -2,38 -0,04
3,66
0,06
Daging
Ayam Ras
-1,75 -0,02 -1,21 -0,01
3,27
0,04
6,85
0,08
Minyak
Goreng
0,73
0,01
3,02
0,05
3,49
0,06
2,68
0,05

Umum
0,87
Sumber: BPS, 2008

0,87

1,53

1,53

0,87

0,87

1,99

1,99

Dengan mengamati kondisi diatas dirasakan perlu melakukan kajian


yang mengungkap jalur distribusi dan pola pembentukan harga komoditas
beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam, dan minyak
goreng di Sumatera Barat sekaligus faktor-faktor yang mempengaruhinya
sehingga dapat ditemukan solusi yang tepat, efektif, relevan, dan sistematis
dalam rangka mengendalikan harga komoditas tersebut. Pada tataran
demikian, posisi penelitian ini adalah ingin mengkaji lebih dekat kondisi pola
pembentukan harga komoditas penyumbang inflasi di Sumatera Barat dan
sekitarnya. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah jalur distribusi dan pola pembentukan harga komoditas beras,
cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam, dan minyak goreng di
Sumatera Barat? Apakah faktor-faktor yang mempengaruhinya? Strategi,
kebijakan dan program apakah yang akan dilakukan dalam mengendalikan
harga-harga komoditas tersebut? Lalu, bagaimanakah mekanismenya yang
efektif? Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan kajian terfokus dan
mendalam.
1.2. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji proses pembentukan harga
dari komoditas-komoditas yang berperan besar terhadap inflasi di Sumatera
Barat yang diwakili Kota Padang. Secara spesifik tujuan penelitian adalah:
1. Mengetahui pola distribusi beras, cabe merah, bawang merah, ikan
segar, daging ayam ras, dan minyak goreng (mulai dari pengecer yang
mewakili harga yang diterima konsumen/masyarakat hingga
petani/peternak/nelayan ) di wilayah Sumatera Barat.
2. Mengetahui pembentukan harga beras, cabe merah, bawang merah,
ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng di setiap level
distribusi serta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya harga
di setiap level distribusi.
3. Melakukan pemetaan untuk mengetahui perbedaan faktor-faktor yang
berkontribusi pada pembentukan harga beras, cabe merah, bawang
merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng di masingmasing sentra produksi di wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya.
Hasil studi diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan
instansi terkait mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan harga beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar,
daging ayam ras, dan minyak goreng.
2. Memberikan informasi kepada Kantor Pusat Bank Indonesia tentang
perilaku harga beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging
ayam ras, dan minyak goreng (volatile food) di wilayah Sumatera Barat
dan sekitarnya.

BAB 2
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Data dan Sumber Informasi
Sumber informasi penelitian ini memanfaatkan data sekunder dan data
primer. Data sekunder di peroleh dari publikasi BPS, Bank Indonesia, laporanlaporan, jurnal-jurnal serta data lainnya yang relevan dengan penelitian.
Sedangkan data primer diperoleh melalui survei lapangan. Untuk kelengkapan
data primer dilakukan wawancara mendalam terhadap responden yang
dipandu oleh pencacah berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam
kuisioner.
2.2. Lokasi dan Sampel Penelitian
Lokasi penelitian ini dipilih sesuai dengan jalur distribusi komoditas
penyumbang inflasi terbesar diwilayah Sumatera Barat dan sekitarnya. Lokasi
penelitian dimulai dari pedagang pengecer di Pasar Raya Padang dan Pasar
Siteba yang merupakan representatif harga komoditas yang diterima
konsumen akhir di Kota Padang. Dengan kata lain, kedua pasar ini
merupakan basis penghitungan inflasi/deflasi di Kota Padang. Lokasi
selanjutnya sesuai jalur distribusi komoditas yang diarahkan oleh pedagang
pengecer, pedagang perantara/agen/pedagang besar hingga produsen.
2.2.1. Cakupan sampel
a. Wilayah: Kota dan atau Kabupaten di Sumatera Barat yang memiliki
keterkaitan terhadap distribusi komoditas (beras, cabe merah, bawang
merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng), mulai dari
produsen hingga konsumen.
b. Jumlah responden: 306 responden yang terdiri dari 51 reponden
komoditas beras, 52 responden komoditas cabe merah, 51 responden
komoditas bawang merah, 57 responden komoditas ikan segar, 49
responden komoditas daging ayam ras, dan 46 respoden komoditas
minyak goreng. Masing-masing responden per komoditas memiliki
keterkaitan erat dengan jalur distribusi dan pembentukan harga
komoditas (pembagian level distribusi secara proporsional).
2.2.2. Metode penarikan sampel
Survei dilakukan dengan teknik snow-ball sampling yakni metode untuk
mengidentifikasi dan memilih kasus dalam sebuah jaringan. Melalui teknik
snow-ball, jaringan informasi yang membentuk keseluruhan kerangka gejala
dapat diketahui. Selain itu, informasi yang menyangkut persepsi subyektif
pelaku/responden juga dapat diperoleh, karena seorang responden
kemungkinan besar akan menaruh kepercayaan besar terhadap peneliti
berdasarkan referensi responden sebelumnya.
Basis penemuan awal sampel responden menurut lokasi pedagang
pengecer di Pasar Raya Padang dan Pasar Siteba untuk komoditas beras,
cabe merah, bawang merah, daging ayam ras, ikan segar dan minyak goreng.
Pengambilan sampel awal responden pedagang pengecer dilakukan secara
acak bertujuan (random sampling purposive). Sampel responden pedagang
4

pengecer berikutnya diambil dengan mempertimbangkan homogenitas data


dan informasi yang diperoleh. Ketika data dan informasi yang diperoleh dari
sampel responden pedagang pengecer yang baru bersifat homogen dengan
data dan informasi sampel responden pedagang pengecer sebelumnya maka
tidak dilakukan wawancara mendalam dengan sampel responden tersebut.
Pengambilan sampel responden pedagang pengecer berikutnya baru
dilakukan ketika data dan informasi berbeda dari sampel responden pedagang
pengecer sebelumnya.
Selanjutnya dengan teknik snow-ball dilakukan penelusuran jalur
distribusi masing-masing komoditas sampai ke produsen. Implimentasi teknik
snow ball penelitian telah menemukan 306 responden yang melakukan
aktifitas dalam jalur distribusi komoditas penyumbang inflasi di wilayah
Sumatera Barat dan sekitarnya. Secara garis besar ada 2 (dua) jenis
responden yaitu pedagang (219 responden) dan produsen (87 responden)
yang tersebar dalam 6 (enam) komoditas yaitu beras, cabe merah, bawang
merah, daging ayam ras, minyak goreng dan ikan segar.
Gambar 1.1. Distribusi responden produsen dan pedagang
Responden Produsen

Responden Pedagang

Beras 15

Ikan Segar 34

Beras 36

Ikan Segar 23

Cabe Merah 30
Minyak Goreng 44

Minyak Goreng 2
Cabe Merah 22

Daging Ayam 14
Bawang Merah 40

Bawang Merah 11

Daging Ayam 35

Responden tersebar di beberapa daerah di Sumatera Barat yaitu Padang,


Pariaman dan sekitarnya, Maninjau, Solok, Alahan Panjang, Pesisir Selatan
dan Sijunjung. Masing-masing daerah memiliki spesifikasi komoditas sesuai
dengan keunggulan yang dimiliki.
2. 3. Teknik analisis data
Data dianalisis dengan metode deskriptif dan kuantitatif. Analisis
kuantitatif dilakukan terhadap data survei responden yang telah diolah secara
statistik. Sementara analisis kualitatif dilakukan terhadap jalur distribusi
komoditas penyumbang inflasi melibatkan pelaku ekonomi dan
kelembagaannya
yang
terungkap
melalui
wawancara
mendalam.
Penggabungan kedua analisis diatas, akan lebih memperlebar wawasan
gambaran permasalahan dan kondisi objektif jalur distribusi komoditas
penyumbang inflasi terbesar di Sumatera Barat. Rumusan hasil identifikasi
dan kajian akan dipakai untuk mengambil kesimpulan yang pas dan membuat
rekomendasi yang relevan sesuai dengan kebutuhan pengendalian inflasi di

Provinsi Sumatera Barat, khususnya pengendalian harga kebutuhan pokok


komoditi beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras,
dan minyak goreng.

BAB 3
KONDISI SOSIAL DAN PERILAKU EKONOMI RESPONDEN
Kondisi sosial dan perilaku pelaku ekonomi mempengaruhi keberlanjutan
pengembangan usahanya. Kondisi sosial dan perilaku seseorang akan
mempengaruhi pola pikir dan tindakannya dalam menjalankan usaha. Kondisi
sosial dan perilaku ini tergambar dari inovasi yang ditemukan dan solusi yang
diterapkan dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam
berusaha. Tidak hanya itu, kondisi sosial dan perilaku juga mempengaruhi
pelaku ekonomi dalam proses pembentukan harga dari setiap komoditas yang
diperdagangkan.
Dengan menggunakan data dan informasi yang diperoleh dari
pengamatan lapangan, bagian ini membahas kondisi sosial dan perilaku
responden yang terkait dengan komoditas beras, cabe merah, bawang
merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng dengan fokus pada
aspek sosial dan perilaku pelaku usaha terkait. Kondisi sosial dan perilaku
ekonomi responden menyoroti lebih mendalam tentang sumberdaya manusia
terutama pendidikan, motivasi memulai usaha dan keberlanjutan usaha
melalui perilaku penggunaan hasil usaha.
3.1. Sumber Daya Manusia
Produktivitas sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam
mengembangkan kegiatan usaha. Produktivitas sumberdaya manusia
dipengaruhi oleh usia, pendidikan dan pengalaman usaha. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa pelaku ekonomi pada jalur distribusi komoditas
penyumbang inflasi didominasi (82,2%) oleh pelaku berusia produktif yaitu
2050 tahun. Implikasinya, untuk mendorong akselerasi pengembangan
usaha dapat dilakukan dengan mengoptimalkan usia produktif untuk usaha
yang produktif pula.
Tabel. 3.1. Distribusi responden menurut kelompok umur dan kategori
usaha
perdagangan (%)
Kategori usaha perdagangan
Umur
Pedagang
responden
Pedagang Pedagang
hasil
Pedagang
(Tahun)
Pengumpul
Besar
produksi
Eceran
sendiri
<20
2,3

Jumlah

2,7

21-30
31-40
41-50
51-60
> 60

15,5
24,7
18,3
6,8
1,4

4,1
5,0
5,9
3,2
0,5

1,4
6,8
0,5
1,8
0,9

0,5
-

Jumlah
68,9
18,7
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

11,9

0,5

21,0
36,5
24,7
12,3
2,7
100,0

Umumnya pelaku usaha perdagangan yang berusia produktif berada


pada pedagang eceran dan pedagang pengumpul. Hanya 8,7% memiliki
usaha perdagangan besar. Namun, fenomena unik yang muncul dari hasil
penelitian adalah hanya 0,5% responden pada jalur distribusi komoditas
penyumbang inflasi yang mampu memasarkan hasil produknya sendiri.
Pemasaran produk sendiri ini hanya ditemukan pada responden yang berumur
antara 51-60 tahun. Selebihnya, responden lebih tertarik dengan kegiatan
mendistribusikan komoditas saja dibandingkan dengan memproduksi dan
memasarkan sendiri. Kemungkinan penyebabnya adalah kegiatan
pendistribusian relatif lebih mudah dibandingkan dengan memproduksi sendiri
produk yang diperdagangkan.
Peran pelaku usaha juga merupakan salah satu aspek yang dapat
mempengaruhi kondisi dan perkembangan usaha yang dijalankan. Jika pelaku
adalah pemilik usaha maka kemampuan mengambil keputusan terhadap
usaha yang dijalankan relatif lebih cepat dibandingkan dengan pelaku
pengelola usaha. Bila dilihat dari status responden dan kelompok umur
responden, pada umumnya (70,6%) responden adalah pemilik usaha yang
berada pada usia produktif. Sisanya adalah 15,3% pengelola dan 14,1%
responden pemilik dan pengelola usaha.
Tabel. 3.2. Distribusi responden menurut kelompok umur dan status
responden dalam kegiatan usaha (%)
Umur
responden
(Tahun)

Status Responden
Pemilik

Pengelola

<20
1,2
21-30
16,5
31-40
15,3
41-50
21,2
51-60
12,9
> 60
3,5
Jumlah
70,6
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

3,5
2,4
5,9
3,5
15,3

Pemilik dan
Pengelola
2,4
4,7
2,4
3,5
1,2
14,1

Jumlah
1,2
22,4
22,4
29,4
20,0
4,7
100,0

3.1.1. Pendidikan
Pendidikan memegang peran penting dalam membentuk pola pikir
seorang memahami kondisi usaha yang dijalankan dan mempengaruhi
7

tindakannya dalam menemukan solusi permasalahan yang dihadapi dalam


berusaha. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan pelaku
ekonomi yang terkait dengan komoditas penyumbang inflasi pada umumnya
masih rendah dimana hanya 5,94% pedagang dan 10,5% produsen yang
mampu menyelesaikan sekolahnya sampai dengan perguruan tinggi, 49,77%
responden pedagang dan 38,4% produsen memperoleh pendidikan di
Sekolah menengah tingkat atas (SMTA). Sisanya hanya sampai tingkat
Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP), Sekolah Dasar (SD), tidak tamat
SD bahkan belum pernah sekolah .
Tabel 3.3. Distribusi responden menurut pendidikan tertinggi ditamatkan (%)
Kategori usaha
Tidak/
Belum
pernah
sekolah
Petani/nelayan
Pedagang
Eceran
Pedagang
Pengumpul
Pedagang Besar
Pedagang hasil
produksi sendiri

Pendidikan Formal Terakhir


Jumlah
Tidak Tamatan Tamatan Tamatan Perguruan
Tamat
SD
SMTP
SMTA
Tinggi
SD

4,7

7,0

15,1

24,4

38,4

10,5

100,0

0,7

2,6

19,9

26,5

43,0

7,3

100,0

2,4

2,4

9,8

7,3

73,2

4,9

100,0

4,0

16,0

20,0

52,0

8,0

100,0

100,0

100,0

17,4

22,0

49,5

6,9

100,0

Jumlah
0,9
3,2
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

Secara umum jika dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor lain selain
perdagangan, tingkat pendidikan responden tidak terlalu rendah, namun juga
tidak terlalu tinggi. Hal ini perlu mendapat perhatian karena pendidikan akan
sangat mempengaruhi kesiapan sumberdaya manusia dalam menerima segala
bentuk perubahan yang terjadi dalam segala bidang seperti perkembangan
teknologi, teknik penjualan, pengemasan produk dan lainnya untuk
mendukung kegiatan usaha yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan dan semakin banyak pengalaman yang dimiliki, maka akan
semakin tanggap seorang pengusaha akan perubahan yang dapat
mengembangkan atau memperburuk kondisi usaha. Dari realita diatas
peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan tingkat
pendidikan seharusnya tetap menjadi prioritas.
3.2. Motivasi memulai usaha
Motivasi yang tumbuh dalam diri seseorang memainkan peran penting
dalam berusaha. Motivasi akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam
menjalankan usaha. Motivasi seseorang dalam memulai suatu usaha akan

berbeda dengan usaha lainnya. Berdasarkan temuan lapangan terungkap


bahwa kemudahan mendapatkan barang yang akan dijual adalah alasan
utama sebagian besar (51,1%) responden memilih usaha untuk
memperdagangkan beras, cabe merah, bawang merah, daging ayam, minyak
goreng dan ikan segar. Sementara itu, 39,7% responden memilih alasan
lainnya seperti kemudahan untuk menjualnya kembali karena merupakan
bagian dari kebutuhan pokok masyarakat.
Tabel 3.4. Distribusi reponden pedagang menurut alasan memilih usaha (%)
Kategori Perdagangan
Alasan Memilih
Usaha
Mudah
mendapatkan
barang yang
akan dijual
Keuntungan
yang diperoleh
tinggi
Harga Barang
yang Selalu
Stabil
Lainnya

Pedagang Pedagang Pedagang


Eceran
Pengumpul
Besar

Pedagang
hasil
produksi
sendiri
2,44

Jumlah

70,73

9,76

17,07

100,00

55,75

29,20

14,16

0,88

100,00

66,67

11,11

22,22

100,00

78,16

11,49

10,34

100,00

Penelitian juga mengemukakan bahwa hanya 4,1% responden yang


menyatakan komoditi beras, cabe merah, bawang merah, minyak goreng,
ikan segar dan daging ayam ras memiliki harga barang yang selalu stabil.
Artinya 96,9% responden menyatakan bahwa harga komoditi tersebut selalu
berfluktuasi dan menjadi komoditas penyumbang inflasi terbesar untuk
wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya.
Dari sisi produksi, prospek produk yang cukup menguntungkan dan
ketersediaan bahan baku menjadi alasan utama dalam memproduksi beras,
cabe merah, bawang merah, minyak goreng, ikan segar, dan daging ayam
ras. Fakta ini diungkapkan masing-masing oleh 49,4% responden dan 51,1%
responden.
Alasan
ini
merupakan
rasionalitas
ekonomi
dalam
mengembangkan usaha. Kemampuan melihat prospek produk yang
menguntungkan dan bahan baku yang mendukung menjadi faktor kunci bagi
keberlanjutan usaha.
Tabel 3.5. Distribusi responden produsen menurut alasan memilih usaha
(%)
Alasan Memilih Usaha
Beras

Cabe

Komoditi
Bawang Daging Minyak

Ikan

Merah
Melanjutkan usaha
42,3
27,3
orang tua
Produk cukup
15,4
39,4
menguntungkan dan
memiliki prospek
Dorongan Pemerintah
Potensi Bahan Baku
34,6
27,3
Lainnya
7,7
6,1
Jumlah
100
100
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

Merah

Ayam

Goreng segar

38,9

15,8

28,9

16,7

52,6

33,3

28,9

5,6
33,3
5,6
100

5,3
26,3
100

33,3
33,3
100

34,2
7,9
100

Temuan di lapangan juga memperlihatkan bahwa alasan responden


memilih usaha karena dorongan dari pemerintah masih sangat kecil yaitu
sebesar 2,3%. Ada 2 (dua) implikasi yang dapat diamati. Pertama,
pemerintah belum optimal dalam menggerakkan perekonomian masyarakat.
Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah terutama untuk
menggerakkan perekonomian daerah ke arah yang lebih baik yang
merupakan kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakatnya. Kedua,
masyarakat sudah mandiri sehingga tidak memerlukan peranan yang besar
dari pemerintah atau pihak lainnya dalam melakukan usaha. Pendapat ini
diungkapkan oleh 84,5% responden yang menyatakan bahwa memulai usaha
atas kemauan diri sendiri dan 4,6% berusaha karena merupakan warisan dari
keluarga. Kemauan untuk mendirikan usaha sendiri merupakan modal dalam
mengembangkan kewirausahaan masyarakat jika didukung dengan faktorfaktor produksi yang memadai dan pengalaman dalam mengelola usaha yang
baik. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki, semakin kuat pondasi usaha
untuk menghadapi tantangan dan permasalahan yang ada.
Tabel. 3.6. Distribusi responden menurut bagaimana
memulai usaha
Bagaimana memulai usaha
Didirikan sendiri
Diwarisi
Lainnya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

Jumlah
(%)
84,5
4,6
0,9

Dari kondisi yang ditemukan dalam penelitian lapangan, tidak banyak


masalah yang ditemui dalam kegiatan perdagangan komoditas penyumbang
inflasi. Hanya sebagian kecil pelaku ekonomi yang merasa terganggu dengan
permasalahan seperti penjualan secara konsinyasi, jaringan pemasaran,
persaingan usaha dan permasalahan lainnya.

10

Tabel 3.7. Distribusi responden menurut Pengalaman Usaha dan Masalah


yang dijumpai (%)
Masalah yang
dijumpai

15

Pengalaman Usaha (Tahun)


5
11
16
21
10
15
20
25
57,0
51,2 55,9
21,4
2,2
2,4
-

> 25

Tidak ada
42,4
25,7
Penjualan secara
3,0
konsinyasi
Tidak ada jaringan
4,5
4,3
2,4
7,1
Pemasaran
Persaingan Usaha
13,6
9,7
12,2
5,9
28,6 17,1
Harga jual tidak stabil
13,6
11,8
12,2
8,8
50,0 14,3
Lainnya
1,5
4,3
2,4
8,6
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
Hal lain yang dapat disimpulkan dari penelitian lapangan adalah 50%
pelaku dengan lama usaha 21 25 tahun menganggap fluktuasi harga pada
komoditas ini adalah sebuah permasalahan. Sebaliknya, hanya sebagian kecil
responden dengan pengalaman usaha yang lebih singkat yang merasakan
efek negatif dari fluktuasi harga yang terjadi. Ini kemungkinan disebabkan
selama menjalankan kegiatan usahanya, responden yang pengalaman antara
1 sampai dengan 5 tahun belum merasakan dampak yang cukup parah dari
adanya fluktuasi terhadap usahanya, sementara mereka yang telah memiliki
pengalaman usaha yang lebih dari 5 tahun telah cukup merasakan fluktuasi
usaha yang silih berganti. Biasanya semakin lama menjalankan usaha,
semakin dapat merasakan dampak dari fluktuasi ekonomi yang terjadi.
Apakah pada saat ekonomi yang sedang ekspansi ataupun pada waktu
ekonomi sedang kontraksi. Kemampuan pelaku usaha dalam menghadapi
fluktuasi ekonomi yang terjadi merupakan faktor utama yang menentukan
keberlanjutan usahanya.
Tabel. 3.8. Distribusi responden menurut struktur
modal
Struktur Modal
Modal sendiri < Modal Pinjaman
Modal sendiri = Modal Pinjaman
Modal sendiri > Modal Pinjaman
Modal sendiri saja
Modal Pinjaman Saja
Jumlah
Sumber: Penelitian Lapangan,
2008

Jumlah
(%)
6,1
4,9
20,7
62,2
6,1
100

Persoalan modal yang menjadi masalah klasik dalam berusaha tidak


tampak signifikan untuk memproduksi 6 (enam) komoditas penyumbang
11

inflasi. Penelitian lapangan menemukan bahwa 62,2% responden dalam


menjalankan usahanya menggunakan modal sendiri. Walaupun ada juga
responden yang meminjam modal yang tercermin dari 37,8% responden yang
melakukan pinjaman modal untuk berusaha, namun lebih dari separuh
responden menyatakan bahwa proporsi modal mereka sendiri lebih besar dari
dari modal pinjaman. Modal pinjaman merupakan modal tambahan yang
diperlukan dalam berusaha, bukan sebagai modal utama. Sementara itu,
hanya 6,1% saja yang semata-mata mengandalkan modal pinjaman untuk
kegiatan usahanya.
3.3. Perilaku penggunaan laba usaha
Perilaku yang turut mempengaruhi perkembangan usaha responden
adalah perilaku penggunaan laba usaha. Dari hasil pengamatan di lapangan,
pengeluaran untuk rumah tangga masih menjadi prioritas dalam penggunaan
laba usaha. Hal ini tidak terlepas dari sikap dasar manusia yang cenderung
untuk konsumtif, terutama untuk pelaku ekonomi yang bergerak dalam
perdagangan ikan segar. Walaupun demikian penggunaan laba untuk
meningkatkan skala produksi dan menambah modal juga menjadi prioritas
dalam penggunaan laba usaha. Sebanyak 61,2% responden mengalokasi laba
untuk meningkatkan skala produksi dan 63,5% responden menggunakan laba
usaha untuk menambah modal dalam melaksanakan usaha untuk periode
berikutnya. Sisanya, alokasi laba usaha terbagi dalam beberapa aktifitas
seperti memulai usaha baru (12,9%), diversifikasi produk (14,1%), keperluan
sosial (7,1%) dan meminjamkan dengan sistem bagi hasil (12,9%).
Tabel. 3.9. Distribusi responden menurut alokasi
penggunaan laba usaha
Alokasi Penggunaan Laba
Pengeluaran RT
Memulai usaha baru
Meningkatkan skala produksi
Diversifikasi produk
Menabung
Keperluan sosial dan pengembangan
masyarakat sekitar
Meminjamkan dengan sistem bagi hasil
Menambah modal
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

Jumlah
(%)
98.8
12.9
61.2
14.1
42.4
7,1
12,9
63,5

Fakta lapangan juga memperlihatkan bahwa 42,4% responden


mengalokasikan laba usaha untuk menabung. Menabung menjadi prioritas
alokasi penggunaan laba karena usaha 6 (enam) komoditas penyumbang
inflasi merupakan usaha yang cukup berisiko sehingga diperlukan modal yang
banyak jika suatu saat mengalami kerugian karena permasalahan yang tidak
bisa dihindari seperti bencana alam dan kecelakaan dalam mendistribusikan

12

beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak
goreng .

13

BAB 4
POLA DISTRIBUSI KOMODITAS PENYUMBANG INFLASI
Pemahaman pola distribusi komoditas beras, cabe merah, bawang
merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng merupakan pijakan
dalam melihat faktor-faktor yang berpengaruh pada inflasi di Sumatera Barat.
Pemahaman yang mendalam tentang pola distribusi komoditas beras, cabe
merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng akan
memberikan arah dalam memformulasikan kebijakan dan mekanisme
pengendalian harga-harga komoditas penyebab inflasi. Berhasil atau tidaknya
pengendalian harga-harga komoditas akan tercermin dalam makin membaik
atau tidaknya harga-harga komoditas pada konsumen akhir (masyarakat) di
Sumatera Barat. Idealnya perkembangan harga-harga komoditas yang
menjadi konsumsi utama masyarakat tidak menurunkan tingkat
kesejahteraannya.
Penelitian telah melakukan identifikasi jalur distribusi komoditas (beras,
cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak
goreng) penyumbang inflasi terbesar di Sumatera Barat. Penelusuran jalur
distribusi dilakukan melalui survei lapangan terhadap pedagang pengecer
yang secara langsung menjual barang ke konsumen akhir (masyarakat).
Selanjutnya, berdasarkan informasi yang diperoleh pedagang pengecer
dilakukan penelusuran terhadap rantai distribusi hingga berujung pada
produsen (petani/peternak/nelayan/produsen lainnya) dengan menggunakan
teknik snow ball. Survei lapangan dimulai dari dua lokasi pasar di Kota
Padang yang menjadi basis utama penghitungan inflasi oleh BPS Provinsi
Sumatera Barat, yaitu Pasar Raya Padang dan Pasar Siteba. Pemahaman
tentang jalur distribusi komoditas penyumbang inflasi terbesar itu didekati
dengan pengungkapan data dan informasi melalui wawancara mendalam
kepada tiap-tiap responden yang dilewati oleh masing-masing komoditas.
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari survei lapangan
terungkap pola distribusi masing-masing komoditas (beras, cabe merah,
bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng).
4.1. Pola Distribusi Beras
Penelitian lapangan yang menggunakan teknik snow ball telah
menemukan 51 responden komoditas beras yang terkait antara satu dengan
lainnya sebagai mata rantai distribusi beras. Responden komoditas beras
terdiri dari 14 responden pedagang pengecer, 18 responden pedagang
pengumpul, 4 responden pedagang besar dan 15 responden petani. Informasi
yang diperoleh dari para responden ini telah mengungkapkan pola distribusi
beras dari pedagang pengecer yang menjual beras pada konsumen akhir
(masyarakat) sampai ke petani sebagai produsen.
Pola distribusi yang dilewati komoditas beras Sumatera Barat terlihat
pada Gambar 4.1 4.2. Gambar 4.1 memperlihatkan pola distribusi beras
yang ditelusuri melalui responden pedagang pengecer di Pasar Raya Padang
(19,61% dari 51 responden komoditas beras), sedangkan Gambar 4.2
menyajikan pola distribusi beras yang terungkap melalui responden pedagang

14

pengecer di Pasar Siteba Padang (7,84% dari 51 responden komoditas


beras).
Berdasarkan informasi dari pedagang pengecer beras di Pasar Raya
terungkap bahwa pada umumnya beras yang diminati oleh para konsumen
akhir (masyarakat) di Pasar Raya Padang terklasifikasi menjadi dua jenis
beras yaitu beras Padang dan beras Pariaman. Alur yang dilewati oleh beras
padang mulai dari petani sampai dengan pedagang pengecer Pasar Raya
dalam hal ini disebut Alur Beras Padang. Sementara aliran distribusi beras
Pariaman mulai dari para petani sampai dengan pedagang pengecer di Pasar
Raya padang disebut Alur Beras Pariaman.
Bila dilihat dari alur beras yang terungkap, Alur Beras Padang terlihat
relatif lebih pendek dibandingkan dengan Alur Beras Pariaman. Untuk Alur
Beras Padang, pedagang pengecer di Pasar Raya memperoleh beras dari
pedagang besar di Pasar Raya (3,92% responden) dan pedagang
pengumpul/huller yang ada di sekitar Kota Padang. Penelitian menemukan
bahwa pedagang pengumpul/huller yang menjual beras ke pedagang
pengecer berasal dari Kelawi (1,96% responden) dan Piai (1,96%
responden). Padagang pengumpul/huller mendapatkan padi langsung dari
para petani yang ada di sekitar Kota Padang. Padi yang diperoleh dari petani
selanjutnya diolah menjadi beras.
Sementara Alur Beras Pariaman relatif lebih panjang dibandingkan Alur
Beras Padang. Pedagang pengecer beras di Pasar Raya memperoleh beras
Pariaman tidak secara langsung dari pedagang pengumpul/huller melainkan
dari pedagang besar yang ada di Pariaman. Penelitian menemukan bahwa
salah satu pedagang besar di Pariaman adalah pedagang besar di Lubuk
Alung (1,96% responden). Pedagang ini mendapatkan beras dari pedagang
pengumpul/huller yang ada di sekitar Pariaman, seperti pedagang
pengumpul/huller di Kampung Paneh, Kayu Tanam, Lubuk Alung, Kurai Taji
dan Pakandangan. Pedagang pengumpul/huller ini biasanya memperoleh padi
yang diolah menjadi beras dari petani di Kampung Paneh, Lubuk Alung dan
Pakandangan.
Berbeda dengan pola distribusi beras yang ditelusuri lewat pedagang
pengecer di Pasar Raya, pola distribusi beras yang ditemui lewat pedagang
pengecer di Pasar Siteba Padang relatif beragam. Selain itu jalur distribusi
beras di Pasar Siteba tidak membedakan jenis beras yang diperjualbelikan.
Sebelum sampai ke konsumen akhir (masyarakat), beras yang
diperjualbelikan di Pasar Siteba melalui beberapa jalur distribusi. Pola
distribusi beras dan distribusi responden di Pasar Siteba Padang secara
lengkap diperlihatkan oleh Gambar 4.2.
Pola distribusi beras Pasar Siteba yang diperlihatkan pada Gambar 4.2
terbagi menjadi berbagai pola distribusi. Pertama, pola distribusi dari petani
pedagang pengumpul/Huller I pedagang pengumpul/Huller II
pedagang besar pedagang pengecer. Kedua, pola distribusi dari petani
pedagang pengumpul/huller pedagang besar Pasar Siteba pedagang
pengecer Pasar Siteba. Ketiga, pola distribusi dari petani pedagang
pengumpul/huller daerah pedagang pengumpul Pasar Siteba pedagang
pengecer Pasar Siteba. Keempat, pola distribusi dari petani yang menggiling
padi di huller dan menjualnya ke pedagang pengecer di Pasar Siteba.
15

Secara lebih detail, pola distribusi diatas dijelaskan oleh jalur distribusi
dari petani Sicincin pedagang pengumpul Sicincin Huller Kuranji
pedagang besar Pasar Siteba pedagang pengecer Pasar Siteba
konsumen akhir (masyarakat). Selanjutnya pola distribusi terbentuk oleh
jalur yang berasal dari petani Batang Kapas pedagang pengumpul Pesisir
Selatan Huller Kuranji pedagang besar Pasar Siteba pedagang
pengecer Pasar Siteba konsumen akhir (masyarakat). Selain itu, ditemukan
pula pola distribusi dari petani Tapakis, Pariaman pedagang
pengumpul/huller Tapakis pedagang besar Siteba pedagang pengecer
Pasar Siteba dan berakhir pada konsumen akhir (masyarakat). Sedikit
berbeda dengan pola distribusi sebelumnya, ditemukan pola distribusi beras
yang berasal dari Solok, yaitu petani Solok pedagang pengumpul/huller
Solok pedagang pengumpul Pasar Siteba pedagang pengecer yang
menjual beras ke konsumen akhir (masyarakat).
Pola lain dari distribusi beras di Pasar Siteba juga terungkap melalui jalur
distribusi dari petani Lubuk Minturun. Pola distribusi beras dari petani Lubuk
Minturun terbagi menjadi dua pola, yakni petani yang menggiling padinya
sendiri di huller, selanjutnya menjualnya secara langsung ke pedagang
pengecer Pasar Siteba. Selain itu, sebagian petani Lubuk Minturun menjual
panennya ke pedagang pengumpul/huller yang ada di Lubuk Minturun.
Pedagang pengumpul mengolah padi yang diperoleh dari petani menjadi
beras yang menggunakan huller yang dimilikinya. Beras hasil penggilingan
dijual ke pedagang besar Pasar Siteba yang selanjutnya menjualnya ke
pedagang pengecer Pasar Siteba.

16

Gambar 4.1. Distribusi responden komoditi Beras menurut jalur distribusi dari Petani ke Pengecer Pasar Raya Padang
Beras Padang
Pedagang
Besar (Agen)
Pasar Raya
(3,92%)

Konsumen
Akhir

Huller
Petani
Kelawi (1,96%)
Piai (1,96%)

Pengecer
Pasar Raya
(19,61%)
Beras Pariaman

Huller

Pedagang
Besar (Agen)

Kp Paneh (1,96%)

Petani
Kp Paneh (3,92%)

Kayu Tanam (1,96%)


Lubuk Alung
(1,96%)

Lubuk Alung (5,88%)

Lubuk Alung
(1,96%)

Kurai Taji (1,96%)


Pakandangan (1,96%)

Pakandangan
(5,88%)

Sumber: Penelitian Lapangan, 2008


17

Gambar 4.2. Distribusi responden komoditi Beras menurut jalur distribusi dari Petani ke Pengecer Pasar Siteba Padang

Huller
Konsumen
Akhir
Pedagang
Besar
Pasar Siteba
(1,96%)
Pengecer
Pasar Siteba
(7,84%)

Petani

Lubuk Minturun (1,96%)

Sicincin (1,96%)

Sicincin (3,96%)

Kuranji (1,96%)

Pesisir Selatan
(1,96%)

Batang Kapas
(3,92%)

Ulakan, Tapakis
(3,92%)

Pedagang
Pengumpul
Pasar Siteba
(3,96%)

Huller/Pedagang
Pengumpul

Lubuk Basung (X)

Tapakis (1,96%)

Pasaman (X)

Solok Talang (1,96%)

Solok Talang
(5,88%)

Lubuk Minturun
(1,96%)

Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

18

4.2. Pola Distribusi Cabe Merah


Penelusuran jalur distribusi cabe merah yang menggunakan teknik snow
ball telah menemukan 52 responden komoditas cabe merah yang menjadi
sebuah mata rantai distribusi cabe merah. Responden komoditas cabe merah
terdiri dari 19 responden pedagang pengecer, 3 responden pedagang
pengumpul daerah, 8 responden pedagang perantara di padang dan 22
responden petani. Para responden telah mengungkapkan pola distribusi cabe
merah mulai dari pedagang pengecer yang menjual cabe merah kepada
konsumen akhir (masyarakat) hingga ke produsen (petani).
Penelitian telah mengungkapkan pola distribusi cabe merah melalui
pedagang pengecer di Pasar Raya Padang (19,23% dari 52 responden
komoditas cabe merah) dan Pasar Siteba Padang (17,31% dari 52 responden
komoditas cabe merah. Penelitian lapangan menemukan tidak adanya
perbedaan yang signifikan antara pola distribusi cabe merah di Pasar Raya
Padang dan Pasar Siteba Padang. Pada umumnya pedagang pengecer di
Pasar Raya dan Pasar Siteba mendapatkan cabe merah dari pedagang
perantara di Pasar Raya Padang (15,39% responden). Pedagang perantara ini
mendapatkan komoditas cabe merah dari pedagang pengumpul yang ada di
daerah daerah seperti Alahan Panjang dan Pesisir Selatan. Pedagang
pengumpul di daerah di supply oleh petani yang ada di sekitarnya.
Pola distribusi cabe merah dapat dikelompokkan menjadi beberapa pola
distribusi. Pertama, pola distribusi petani pedagang pengumpul daerah
pedagang perantara/pedagang besar Pasar Raya pedagang pengecer ke
konsumen akhir. Kedua, pola distribusi cabe merah dari luar Sumatera Barat
(Jawa) pedagang perantara/pedagang besar Pasar Raya pedagang
pengecer konsumen akhir. Ketiga, petani yang menjual langsung hasil
panennya ke pedagang pengecer di Pasar Raya Padang.
Secara lengkap Gambar 4.3 menjelaskan mata rantai yang dilalui
komoditas cabe merah, seperti pedagang pengecer Pasar Raya dan Pasar
Siteba mendapatkan cabe merah dari pedagang perantara di Pasar Raya.
Pedagang perantara ini, biasanya bermodal besar, memperoleh komoditas
dari pedagang pengumpul dari luar daerah tetapi masih di Sumatera Barat
(Alahan Panjang dan Pesisir Selatan). Pedagang pengumpul ini di supply oleh
petani yang ada disekitarnya (Alahan Panjang, Batang Kapas, Koto Hilir, Koto
Mudiak, dan Sariak Bayang). Pola distribusi berikutnya adalah pedagang
pengecer Pasar Raya dan Pasar Siteba yang membeli cabe merah dari
pedagang perantara Pasar Padang yang memperoleh cabe merah dari Jawa.
Penelitian tidak menelusuri pola distribusi sampai ke produsen di Pulau Jawa.
Pola distribusi lainnya adalah para petani yang ada di Sumatera Barat, seperti
Alahan Panjang, Batang Kapas, Koto Hilir, Koto Mudiak, Sariak Bayang, Lubuk
Alung, Pekandangan dan Kuranji menjual langsung hasil panennya ke
pedagang pengecer yang ada di Pasar Raya Padang. Petani yang menjual
produknya langsung ke pedagang pengecer relatif lebih sedikit.
Penelitian lapangan juga mengungkapkan bahwa pola distribusi
berpengaruh pada harga cabe merah di tingkat pedagang pengecer. Menurut
hasil wawancara mendalam terhadap responden di Pasar Siteba terungkap
bahwa ketidaklancaran distribusi bersamaan dengan tingginya permintaan
masyarakat menyebabkan kenaikan harga cabe merah.
19

Gambar 4.3. Distribusi responden komoditi Cabe Merah menurut jalur distribusi dari Petani ke Pengecer Pasar Raya
dan Pasar Siteba Padang

Pengecer
Pasar Siteba
(17,31%)

Kerinci, Jawa (X)

Pedagang
Perantara
Pasar Raya
(15,39%)

Konsumen
Akhir

Pengecer
Pasar Raya
(19,23%)

Pedagang
Pengumpul
Alahan Panjang
(3,85%)
Pesisir Selatan
(1,92%)

Petani

Alahan Panjang (23,08%)


Batang Kapas (1,92%)
Koto Hilir (3,85%)
Koto Mudiak (1,92%)
Sariak Bayang (5,77%)

Lubuk Alung (1,92%)


Pakandangan (1,92%)
Kuranji (1,92%)

Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

20

4.3. Pola Distribusi Bawang Merah


Teknik snow ball yang digunakan dalam penelitian jalur distribusi
bawang merah telah menemukan 51 responden komoditas bawang merah
yang membentuk mata rantai distribusi bawang merah. Responden komoditas
bawang merah terdiri dari 30 responden pedagang pengecer, 4 responden
pedagang pengumpul daerah, 6 responden pedagang perantara di padang
dan 11 responden petani. Melalui wawancara mendalam terhadap para
responden terungkap pola distribusi bawang merah mulai dari pedagang
pengecer yang menjual produk ke konsumen akhir (masyarakat) hingga pada
produsen (petani).
Penelitian telah menemukan pola distribusi komoditas bawang merah
dari hasil wawancara mendalam terhadap pedagang pengecer Pasar Raya
(47,06% dari 51 responden komoditas bawang merah) dan pedagang
pengecer Pasar Siteba (11,76% dari 51 responden komoditas bawang
merah). Pola distribusi komoditas bawang merah yang terungkap dari
penelitian lapangan sedikit berbeda dengan pola distribusi cabe merah
(Gambar 4.4). Perbedaan pola distribusi terlihat bahwa pada pola distribusi
bawang merah tidak ditemukan petani sebagai produsen yang menjual hasil
penennya langsung ke pedagang pengecer baik di Pasar Raya Padang
maupun Pasar Raya Siteba.
Berdasarkan informasi lapangan, pola distribusi bawang merah yang
terbentuk adalah pertama, petani sebagai produsen menjual produknya
kepada pedagang pengumpul yang ada di lokasinya. Pedagang pengumpul
menjualnya kepada pedagang perantara yang selanjutnya menyuplai
pedagang pengecer. Kedua, pola distribusi dimana komoditas bawang merah
berasal dari luar Sumatera Barat yang memasok bawang merah ke pedagang
perantara. Selanjutnya pedagang perantara ini menjualnya kepada pedagang
pengecer.
Berdasarkan penelitian lapangan pola distribusi komoditas bawang
merah di Pasar Raya dan Pasar Siteba terlihat tidak berbeda. Pedagang
pengecer di Pasar Raya dan Pasar Siteba mendapatkan komoditas bawang
merah dari pedagang perantara di Pasar Raya (10,76% dari total responden
komoditas bawang merah). Pedagang perantara ini memperoleh komoditas
bawang merah dari pedagang pengumpul di daerah Solok (Alahan Panjang
dan Surian) dan Kerinci. Penelitian tidak melakukan penelusuran lebih lanjut
terhadap penyuplai dari luar Sumatera Barat. Pedagang pengumpul yang ada
di Alahan Panjang dan Surian mendapatkan komoditas bawang merah
langsung dari para petani produsen. Lebih lanjut, penelitian lapangan tidak
menemukan produsen (petani) yang menjual bawang merahnya langsung ke
pedagang pengecer yang ada di Pasar Raya dan Pasar Siteba. Dengan kata
lain, hampir seluruh petani bawang merah menjual produknya langsung
kepada pedagang pengumpul terdekat yang ada diwilayahnya.
Berdasarkan penelitian lapangan terungkap bahwa pemasok utama
komoditas bawang merah untuk Pasar Raya dan Pasar Siteba adalah dari
Alahan Panjang dan Surian. Bahkan dominasi daerah Alahan Panjang
(19,61% dari total responden komoditas bawang merah) terlihat jelas sebagai
pemasok komoditas bawang merah. Sementara pemasok bawang merah
utama lainnya adalah berasal dari luar Sumatera Barat, yakni Kerinci.
21

Gambar 4.4. Distribusi responden komoditi Bawang Merah menurut jalur distribusi dari Petani ke Pengecer Pasar Raya
dan Pasar Siteba Padang
Pengecer
Pasar Raya
(47,06%)

Pedagang
Pengumpul

Alahan Panjang (19,61%)


Pedagang
Perantara
Pasar Raya
(Agen)
(10,76%)

Konsumen
Akhir

Petani

Alahan Panjang
(5,88%)

Talang (1,96%)

Surian
(1,96%)
Kerinci, Jawa, Thailand (X)

Pengecer
Pasar Siteba
(11,76%)

Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

22

4.4. Pola Distribusi Ikan Segar


Pola distribusi ikan segar yang terbentuk mulai dari pedagang pengecer
hingga ke produsen (nelayan) ditelusuri dengan menggunakan teknik snow
ball. Teknik ini telah menemukan 57 responden komoditas ikan segar yang
membentuk mata rantai distribusi ikan segar di Sumatera Barat. Responden
komoditas ikan segar terdiri dari 27 responden pedagang pengecer, 6
responden pedagang perantara, 1 responden pedagang hasil produksi sendiri
dan 23 responden nelayan/petani ikan.
Penelitian pola distribusi ikan segar telah dilakukan terhadap pedagang
pengecer Pasar Raya (36,84% dari total responden komoditas ikan segar)
dan pedagang pengecer Pasar Siteba (10,53% dari total responden komoditas
ikan segar). Pola distribusi ikan segar yang ditelusuri adalah ikan segar yang
menjadi basis perhitungan inflasi oleh BPS Provinsi Sumatera Barat. Jalur ikan
segar yang ditelusuri adalah jalur distribusi ikan laut (ikan tongkol dan ikan
tuna) dan ikan air tawar (ikan nila).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari lapangan maka dapat
dikelompokkan pola distribusi ikan segar menjadi beberapa kelompok
(Gambar 4.5). Pola distribusi ini terbentuk dari mata rantai mulai dari nelayan
hingga ke pedagang pengecer. Adapun pola-pola distribusi yang terbentuk
adalah pertama, pola distribusi nelayan/petani ikan yang menjual ikan segar
ke pedagang perantara (agen). Selanjutnya, pedagang perantara menjual
kembali ke pedagang pengecer. Kedua, pola distribusi nelayan/petani ikan
menjual ikan segar ke pedagang perantara (agen). Pedagang perantara
menjual ke pedagang besar. Lalu, pedagang besar mendistribusikannya ke
pedagang pengecer. Ketiga, pola distribusi dimana nelayan/petani ikan
menjual ikan segar ke pedagang pengumpul yang ada di pasar. Kemudian,
pedagang pengumpul ini menjual kembali kepada pedagang pengecer di
pasar setempat. Keempat, nelayan/petani ikan yang menjual langsung hasil
tangkapannya kepada pedagang pengecer.
Pola-pola distribusi ikan segar yang terbentuk diatas dapat dijelaskan
lebih detail baik untuk komoditas ikan laut maupun komoditas ikan air tawar.
Perbedaan komoditas ikan laut dan ikan air tawar dengan mudah
teridentifikasi melalui daerah asalnya. Komoditas ikan air tawar berasal dari
Maninjau dan Lubuk Minturun, sedangkan komoditas ikan laut berasal dari
Muara, Bungus, dan Pasia Nan Tigo. Adapun pola-pola distribusinya adalah
Nelayan Muara dan Bungus menjual hasil tangkapan ikan laut kepada TPI
Muara dan TPI Gaung Bungus. Pedagang perantara yang ada di TPI Muara
dan TPI Gaung Bungus ini menjualnya ke pedagang pengecer. Pola yang
sama berlaku pula untuk petani ikan air tawar dari Maninjau yang menjual
ikan ke pedagang perantara Pasar Raya dan Lubuk Minturun. Pedagang
perantara yang ada di kedua daerah ini menjual kembali ke pedagang
pengecer di Pasar Raya. Sedikit berbeda dengan pola sebelumnya, petani ikan
Maninjau menjual ikan segar ke pedagang perantara Lubuk Minturun.
Pedagang ini memasok ikan ke pedagang besar yang ada di Pasar Raya yang
selanjutnya diedarkan ke pedagang pengecer Pasar Raya. Selain itu,
wawancara mendalam terhadap beberapa responden nelayan juga
mengungkapkan bahwa mereka kadang-kadang menjual hasil tangkapannya
langsung ke Pasar Raya.
23

Pola distribusi ikan segar diatas berlaku pula untuk daerah penelusuran
yang berbasis di Pasar Siteba. Pola distribusi yang terbentuk adalah dimana
petani ikan Maninjau menjual ikan segar ke pedagang perantara di Lubuk
Minturun atau pedagang pengumpul di Pasar Siteba. Pedagang perantara
Lubuk Minturun atau pedagang pengumpul Pasar Siteba ini menjual ke
pedagang pengecer yang ada di Pasar Siteba. Pola yang sama juga
ditemukan pada komoditas ikan laut yang berasal dari nelayan Pasia Nan
Tigo. Dimana nelayan Pasia Nan Tigo menjual hasil tangkapannya ke
pedagang perantara Pasar Siteba. Pedagang perantara ini yang menjualnya
ke pedagang pengecer. Selain pola-pola diatas, ada juga petani ikan yang ada
di Siteba yang menjual produknya langsung ke pedagang pengecer Pasar
Siteba.
Berdasarkan penelitian lapangan juga terungkap bahwa pemasok utama
ikan segar di Pasar Raya dan Pasar Siteba adalah nelayan/petani ikan Muara
Padang, Bungus, Maninjau dan Pasia Nan Tigo. Komoditas ikan segar
didominasi ikan yang berasal Maninjau dan Lubuk Minturun. Sementara ikan
laut berasal dari Muara, Bungus dan Pasia Nan Tigo. Fakta ini juga didukung
oleh hasil wawancara mendalam terhadap beberapa responden nelayan yang
ada di Muara dan Bungus dimana nelayan menyatakan bahwa pasar utama
hasil tangkapan ikan adalah pasar-pasar yang ada di Sumatera Barat
terutama Pasar Raya Padang. Ikan laut yang berasal dari Muara untuk
memenuhi permintaan pasar di Padang dan sekitarnya, sedangkan ikan laut
yang berasal dari Bungus memiliki skala pasar yang juga dipasarkan ke
daerah-daerah luar Sumatera Barat.

24

Gambar 4.5. Distribusi responden komoditi Ikan Segar menurut jalur distribusi dari Nelayan/Petani Ikan
ke Pengecer Pasar Raya dan Pasar Siteba Padang
Pedagang Perantara/
Pengumpul

Pengecer
Pasar Raya
(36,84%)

Pengecer
Pasar Siteba
(10,53%)

TPI Muara
(1,75%)

Muara
(5,26%)

TPI Bungus
(1,75%)

Bungus
(15,79%)

Pasar Raya
(1,75%)
Pedagang Besar
Pasar Raya (1,75%)

Konsumen
Akhir

Nelayan/Petani Ikan

Maninjau
(17,54%)

Lubuk Minturun
(1,75%)

Pasar Siteba
(1,75%)

Pasia Nan Tigo (X)

Pedagang Pengumpul
Siteba (1,75%)

Pedagang Produk
Sendiri Siteba (1,75%)

Sumber: Penelitian Lapangan, 2008


25

4.5. Pola Distribusi Daging Ayam Ras


Penelusuran pola distribusi daging ayam ras yang menggunakan teknik
snow ball telah menemukan 49 responden komoditas daging ayam ras yang
membentuk mata rantai distribusi daging ayam ras. Responden komoditas
daging ayam ras terdiri dari 24 responden pedagang pengecer, 8 responden
agen, 4 responden perusahaan mitra dan 13 responden peternak. Para
responden telah mengungkapkan pola distribusi daging ayam ras mulai dari
pedagang pengecer yang menjual daging ayam ras kepada konsumen akhir
(masyarakat) hingga ke peternak.
Basis penelusuran pola distribusi daging ayam ras adalah pedagang
pengecer di Pasar Raya Padang (32,65% dari total responden komoditas
daging ayam ras) dan Pasar Siteba (16,33% dari total responden komoditas
daging ayam ras). Berdasarkan informasi yang terungkap dari penelitian
lapangan bahwa pola distribusi daging ayam ras yang terbentuk adalah
pertama, petani peternak (peternak mitra) yang menjadi mitra perusahaan
peternakan. Perusahaan peternakan menjual ayam ke pedagang perantara
(agen). Agen ini yang menjual ke pedagang pengecer yang ada di Pasar Raya
dan Pasar Siteba. Kedua, Peternak yang langsung menjual produknya ke
pedagang pengecer.
Berdasarkan fakta lapangan (Gambar 4.6) bahwa pada umumnya pola
distribusi daging ayam ras terbentuk mengacu pada pola petani peternak
mitra perusahaan. Selanjutnya perusahaan menjual ayam ke agen dimana
agen menjual ayam kembali ke pedagang pengecer. Walaupun demikian,
perbedaan utamanya adalah terletak pada mata rantai mata rantai yang
dilewati oleh komoditas daging ayam ras. Mata rantai mata rantai yang
terungkap dapat dijelas lebih detail sebagai berikut:

3 (tiga) Mata Rantai

Peternak mitra Sijunjung dan Koto Tangah PT Ciomas Adisatwa


Agen di Kampung Kelawi, Kuranji dan Lubuk Minturun Pedagang
pengecer di Pasar Raya.
Peternak mitra Sijunjung dan Koto Tangah PT Ciomas Adisatwa
Agen Kampung Kelawi Pedagang pengecer di Pasar Siteba.
Peternak mitra Pariaman PT King dan PT MTS Pariaman Agen
Kuranji pedagang pengecer Pasar Raya.
Peternak mitra Pariaman PT King dan PT MTS Pariaman
Pedagang pengumpul Lubuk Alung pedagang pengecer Pasar
Raya.
Peternak Mitra Pariaman, Solok, Kuranji, dan Sijunjung PT MTS
Anduring Agen Kuranji, pedagang pengumpul Siteba dan pedagang
besar Korong Gadang pedagang pengecer Pasar Siteba.

4 (empat) Mata Rantai

Peternak mitra Pariaman PT King dan PT MTS Pariaman


Pedagang pengumpul Lubuk Alung Agen Pasar Raya Padang
pedagang pengecer Pasar Raya.
Sedangkan untuk 1 (satu) Mata Rantai hanya terjadi pada peternak di
Bukit Lampu yang menjual produk ayam rasnya ke pedagang pengecer Pasar
Raya Padang.
26

Gambar 4.6. Distribusi responden komoditi Daging Ayam menurut jalur distribusi dari Peternak
ke Pengecer Pasar Raya dan Siteba Padang
Agen

Perusahaan Mitra

Kp. Kelawi (2,04%)


Pengecer
Pasar Raya
(32,65%)

Kuranji (2,04%)

Peternak
PT. Ciomas
Adisatwa
(2,04%)

Bukit Lampu (2,04%)

Lubuk Minturun (2,04%)


PT. King (2,04%)
Konsumen
Akhir

Pedagang Pungumpul
Lubuk Alung (2,04%)
PT. MTS Pariaman
(2,04%)

Peternak Mitra

Pariaman (7,12%)

Solok (X)

Pasar Raya Besar


(2,04%)

Kuranji (2,04%)
Kuranji (2,04%)
Pengecer
Pasar Siteba
(16,33%)

Pedagang Pengumpul
Siteba (2,04%)
Pedagang Besar Korong
Gadang (2,04%)

PT. MTS Anduring


(2,04%)

Sijunjung (12,24%)

Koto Tangah (2,04%)

Sumber: Penelitian Lapangan, 2008


27

4.6. Pola Distribusi Minyak Goreng


Penelusuran jalur distribusi minyak goreng yang dilakukan melalui teknik
snow ball telah mengungkapkan 46 responden komoditas minyak goreng
yang menjadi sebuah mata rantai distribusi. Responden komoditas minyak
goreng terdiri dari 36 responden pedagang pengecer, 3 responden pedagang
perantara I, 5 responden pedagang perantara II, dan 2 responden produsen.
Informasi dari para responden telah memperlihatkan pola distribusi minyak
goreng mulai dari pedagang pengecer yang menjual minyak goreng kepada
konsumen akhir (masyarakat) hingga ke produsen.
Penelitian lapangan mengungkapkan bahwa minyak goreng yang
diperjualkan di Sumatera Barat baik di tingkat pedagang pengecer Pasar Raya
Padang (52,17% dari 46 responden komoditas minyak goreng) maupun
pedagang pengecer Pasar Siteba (28,26% dari 46 responden komoditas
minyak goreng) dipasok oleh hanya beberapa produsen (PT Incasi Raya dan
PT Lembah Karya). Produsen inilah yang secara langsung mengendalikan
basis penentuan harga-harga minyak goreng di Sumatera Barat. Selain itu,
produsen ini memegang peran yang amat vital dalam pembentukan hargaharga minyak goreng yang sampai pada pedagang pengecer di Pasar Raya
dan Pasar Siteba.
Walaupun demikian, pola distribusi yang terbentuk mulai dari produsen
hingga ke pedagang pengecer (konsumen akhir) terbagi menjadi berbagai
pola seperti disajikan pada Gambar 4.7. Pertama, pola distribusi dimana
produsen yang ada di Sumatera Barat memasok minyak goreng kepada
pedagang perantara I. Pedagang perantara I menjual minyak goreng kepada
pedagang perantara II yang selanjutnya menyuplai pedagang pengecer di
Pasar Raya dan Pasar Siteba. Kedua, pola distribusi dimana produsen luar
Sumatera Barat (Medan dan Jambi) menyuplai minyak goreng kepada
pedagang perantara I. Pedagang perantara I menjual minyak goreng kepada
pedagang perantara II yang selanjutnya memasok pedagang pengecer di
Pasar Raya dan Pasar Siteba. Ketiga, pola distribusi dimana produsen yang
ada di Sumatera Barat menjual minyak goreng kepada pedagang perantara II
yang selanjutnya menyuplai pedagang pengecer di Pasar Raya dan Pasar
Siteba. Keempat, pola distribusi dimana pedagang pengecer langsung
mendapatkan minyak goreng dari produsen yang ada di Sumatera Barat.
Berdasarkan pola-pola yang terbentuk diatas maka dapat pula
dikelompokkan menjadi kelompok mata rantai yang dilewati minyak goreng
dari produsen hingga ke pedagang eceran yang berhadapan langsung dengan
konsumen akhir (masyarakat). Adapun mata rantai yang terbentuk adalah
sebagai berikut:

1 (Satu) Mata Rantai

Produsen PT Incasi Raya pedagang pengecer Pasar Raya ke


konsumen akhir.

2 (Dua) Mata Rantai

Produsen PT Incasi Raya pedagang perantara Pasar Raya dan


Kampung Nias pedagang pengecer Pasar Raya ke konsumen akhir.
Produsen PT Incasi Raya pedagang perantara Lubuk Raya
pedagang pengecer Pasar Raya ke konsumen akhir.
28

Produsen Medan dan Jambi pedagang perantara Lubuk Raya


pedagang pengecer Pasar Raya ke konsumen akhir.
Produsen PT Incasi Raya pedagang perantara Pasar Siteba
pedagang pengecer Pasar Siteba ke konsumen akhir.
Produsen PT Incasi Raya pedagang perantara Pasar Alai
pedagang pengecer Pasar Siteba ke konsumen akhir.
Produsen PT Incasi Raya pedagang perantara Toko Keluarga
pedagang pengecer Pasar Siteba ke konsumen akhir.
Produsen PT Lembah Karya pedagang perantara Toko Keluarga
pedagang pengecer Pasar Siteba ke konsumen akhir.
Produsen Medan dan Jambi pedagang perantara Lubuk Raya
pedagang pengecer Pasar Siteba ke konsumen akhir.
Produsen PT Incasi Raya pedagang perantara Lubuk Raya
pedagang pengecer Pasar Siteba ke konsumen akhir.

3 (Tiga) Mata Rantai

Produsen PT Incasi Raya pedagang perantara Lubuk Raya


pedagang perantara Pasar Raya pedagang pengecer Pasar Raya
ke konsumen akhir.
Produsen Medan dan Jambi pedagang perantara Lubuk Raya
pedagang perantara Pasar Raya pedagang pengecer Pasar Raya
ke konsumen akhir.
Produsen PT Incasi Raya pedagang perantara Pasar Alai
pedagang perantara Pasar Siteba pedagang pengecer Pasar
Siteba ke konsumen akhir.

29

Gambar 4.7. Distribusi responden komoditi Minyak Goreng menurut jalur distribusi dan margin dari produsen
ke Pengecer Pasar Raya dan Siteba Padang

Pedagang Perantara II

Pengecer
Pasar Raya
(52,17%)

Pedagang Perantara I

Pasar Raya (6,52%)

Incasi Raya
(2,17%)

Kp. Nias (2,17%)


Lubuk Raya
(2,17%)

Konsumen
Akhir
Pengecer
Pasar Siteba
(28,26%)

Produsen

Medan (X)
Jambi (X)

Toko Keluarga
(2,17%)
Pasar Alai (2,17%)

Lembah Karya
(2,17%)

Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

30

BAB 5
BIAYA PEMBENTUK HARGA KOMODITAS
Penelusuran biaya-biaya yang membentuk harga komoditas (beras, cabe
merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak goreng)
merupakan basis dalam menganalisis harga-harga yang diterima konsumen
akhir (masyarakat). Harga-harga yang diterima oleh konsumen akhir
(masyarakat) mencerminkan biaya yang muncul dari setiap proses kegiatan
produksi suatu komoditi dan pendistribusiannya. Harga-harga yang terbentuk
pada konsumen akhir akan dapat dikendalikan melalui mekanisme yang
efektif dengan mengendalikan biaya-biaya yang timbul dari setiap proses
produksi dan biaya pendistribusiannya.
Biaya pembentuk harga komoditas dapat ditelusuri dari berbagai level
distribusi yang dilalui masing-masing komoditi, seperti biaya pada produsen
(petani/nelayan/peternak), biaya pada pedagang pengumpul, biaya pada
pedagang besar, dan biaya pada pedagang pengecer yang berhadapan
langsung dengan konsumen akhir. Biaya pembentuk harga komoditas ini
mulai dari biaya produksi, pasca produksi, pengangkutan, biaya bongkar
muat, dan biaya-biaya lainnya.
Bagian ini membahas biaya-biaya apa saja yang mempengaruhi
pembentukan penetapan harga-harga komoditas dan bagaimana implikasinya
terhadap harga-harga yang terbentuk hingga sampai pada konsumen akhir.
Pengendalian biaya-biaya yang muncul dari sebuah proses produksi dan
pendistribusiannya merupakan strategi pengendalian harga dari sisi biaya
(cutting cost push inflation policy) untuk masing-masing komoditas
penyumbang inflasi (beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging
ayam ras, dan minyak goreng).
5.1. Biaya pembentuk harga beras
5.1.1. Biaya pada petani
Pada umumnya, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani padi meliputi
biaya pembelian bibit, upah pengolahan tanah (upah membajak), upah
penanaman, pembersihan gulma, pembelian pupuk, penyemprotan, upah
memanen, biaya angkut dan lain-lain. Berdasarkan olahan data penelitian
lapangan Tabel 5.1, untuk memproduksi 1 (satu) kilogram beras, rata-rata
petani mengeluarkan biaya sebesar Rp.1.848. Komponen-komponen biaya
yang dominan adalah biaya pemupukan, penyiangan, pengolahan tanah
(pembajakan), penanaman, dan pemanenan. Komponen biaya-biaya ini
berkisar antara 10%-25% dari total biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi satu kilogram beras. Komponen biaya tertinggi adalah biaya
pemupukan sebesar Rp.459 atau 24,9% dari total biaya produksi setiap
kilogram beras. Kelangkaan pupuk secara langsung berdampak pada
kenaikan biaya yang dikeluarkan petani. Kelangkaan ketersediaan pupuk
dicerminkan oleh kenaikan harganya dari Rp.60.000/kg menjadi
Rp.110.000/kg pada saat survei dilakukan. Ketergantungan yang tinggi
terhadap pupuk buatan (pabrik) telah mempengaruhi biaya produksi pada
tingkat petani. Implikasinya adalah salah satu upaya pengendalian harga

31

beras dari sisi produksi adalah stabilisasi harga pupuk melalui penyediaan dan
pendistribusian pupuk secara kontinyu sesuai dengan kebutuhan petani.
5.1.2. Biaya pedagang pengumpul/huller
Pedagang pengumpul/huller merupakan jalur distribusi penting komoditi
beras. Pedagang pengumpul berperan menjembatani produsen padi (petani)
dengan pedagang perantaran/pedagang besar/agen. Pedagang pengumpul
beras biasanya berlokasi di daerah sekitar petani yang mengumpulkan atau
membeli padi dari petani, mengolah (penggilingan padi), dan menjualnya ke
pedagang perantara. Pedagang pengumpul pada umumnya memiliki mesin
penggilingan padi (huller).
Di tingkat pedagang pengumpul, rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh setiap kilogram beras adalah sebesar Rp.3.943. Biaya yang
terbentuk di tingkat pedagang pengumpul ini meliputi biaya pembelian padi,
upah bongkar muat, biaya penggilingan padi, upah jemur, biaya karung/goni
dan lain-lain. Harga pembelian padi pada tingkat pedagang pengumpul untuk
menghasilkan satu kilogram beras adalah sebesar Rp.3.778 atau 95,8% dari
total biaya. Biaya pembelian padi merupakan komponen biaya terbesar bagi
pedagang pengumpul. Biaya lain yang dikeluarkan pedagang pengumpul
adalah biaya biaya penggilingan padi, upah jemur, biaya karung/goni dan
lain-lain sebesar Rp.116 atau 3% dari total biaya. Penjelasan lengkap biayabiaya pedagang pengumpul dapat dilihat pada Tabel 5.1.
5.1.3. Biaya pedagang perantara
Pedagang perantara beras merupakan jalur distribusi antara pedagang
pengumpul/huller dengan pedagang pengecer. Berdasarkan penelitian
lapangan, umumnya biaya yang dikeluarkan pedagang perantara adalah biaya
ketika beras sudah berada di Pasar Raya Padang. Biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh pedagang perantara meliputi biaya angkut/biaya bongkar
dari mobil angkut sampai ke gudang. Rata-rata biaya yang dikeluarkan
pedagang perantara untuk setiap kilogram beras adalah sebesar Rp.6.604
dimana biaya pembelian beras sebesar Rp.6.300, biaya angkut/bongkar muat
dari mobil ke gudang sebesar Rp.214, dan biaya lain-lain seperti biaya
penyusutan, plastik/karung, upah timbang sebesar Rp.103. Komponen biaya
terbesar pedagang perantara adalah pembelian beras kepada pedagang
pengumpul mencapai 95,4% dari total biaya.
5.1.4. Biaya pedagang pengecer
Pedagang pengecer memiliki peran penting dalam jalur distribusi beras
sebelum sampai pada konsumen akhir (masyarakat). Pedagang pengecer
beras dibedakan menjadi pedagang pengecer di Pasar Raya dan pedagang
pengecer di Pasar Siteba. Data olahan penelitian lapangan Tabel 5.1
mengungkapkan bahwa rata-rata biaya per kilogram beras yang dikeluarkan
pedagang pengecer Pasar Raya adalah sebesar Rp.7.438, sedangkan ratarata biaya per kilogram beras yang dikeluarkan pedagang pengecer beras di
Pasar Siteba adalah sebesar Rp.7.416. Sementara harga beli baik pedagang
Pasar Raya maupun pedagang Pasar Siteba adalah sama pada tingkat harga
Rp.7.320 per kilogram beras. Harga beli pedagang pengecer Pasar Raya
berkisar antara Rp.6.000/kg-Rp.11.000/kg, sedangkan harga beli pedagang
32

pengecer Pasar Siteba hampir merata dimana berkisar antara Rp.7.200/kgRp.7.600/kg.


Perbedaan biaya antara pedagang pengecer Pasar Raya dan pedagang
pengecer Pasar Siteba juga dipengaruhi oleh biaya lain seperti biaya bongkar
muat, biaya angkut, biaya timbang, biaya penyusutan dan lain-lain.
Perbedaan biaya terlihat pada biaya angkut dimana biaya angkut pada
pedagang pengecer Pasar Raya sebesar Rp.88/kg, sedangkan biaya angkut di
pedagang pengecer Pasar Siteba adalah Rp.56/kg.
Sementara itu biaya bongkar muat di Pasar Siteba relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya bongkar muat di Pasar Raya. Biaya bongkar muat
di Pasar Siteba adalah sebesar Rp.40/kg beras, sedangkan biaya bongkar
muat di Pasar Raya adalah sebesar Rp.6/kg. Walaupun demikian, kondisi ini
tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada total biaya pedagang
pengecer Pasar Raya. Perbedaan biaya bongkar muat tidak cukup kuat
mempengaruhi perbedaan total biaya pedagang pengecer Pasar Raya. Kondisi
ini disebabkan peran biaya bongkar muat dalam struktur biaya pedagang
pengecer Pasar Raya hanya sebesar 0,03% dari total biaya.
Implikasi temuan diatas adalah pengendalian harga beras pada
pedagang pengecer seyogyanyalah dengan mempersingkat jalur distribusi
yang dilewati komoditi beras. Adanya petani yang menjual komoditi beras
langsung ke pedagang pengecer terbukti ikut menurunkan harga beras pada
tingkat pedagang pengecer. Relatif rendahnya harga beras pada petani
disebabkan tidaknya banyaknya jalur distribusi yang dilewati, sehingga biayabiaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditi beras juga relatif lebih
rendah.
Tabel 5.1. Biaya Pembentuk Harga Komoditi Beras
Biaya Pembentuk Harga
No Beras

Biaya Produksi
Rp/kg
%

Petani
1.

Bibit

73

3,9

2.

Bajak

260

14,1

3.

Tanam

232

12,6

4.

Penyiangan

320

17,3

5.

Pupuk

459

24,9

6.

Semprot

121

6,6

7.

Panen

291

15,7

33

8.

Garap

21

1,1

9.

Angkut

36

1,9

10. Hormon

0,2

11. Lain-lain

0,5

1.848

100,0

3.778

95,8

Total Biaya

II

Pedagang Pengumpul
Harga Beli
1.

Angkut

31

0,8

2.

Muat

11

0,3

3.

Bongkar

0,2

4.

Lain-lain

116

3,0

3.943

100,0

6.300

95,4

100

1,5

Total Biaya

III Pedagang Perantara


Harga Beli
1.

Angkut

2.

Muat

75

1,1

3.

Bongkar

29

0,4

4.

Timbang

0,1

5.

Lain-lain

93

1,4

6.604

100,0

Total Biaya

IV

Pedagang Pengecer
a. Pasar Raya
Harga Beli

34

7.320

98,4

88

1,2

1.

Angkut

2.

Muat

0,0

3.

Bongkar

0,0

4.

Lain-lain

25

0,3

7.438

100,0

7.320

98,7

Total Biaya
b. Pasar Siteba
Harga Beli
1.

Angkut

56

0,8

2.

Muat

13

0,2

3.

Bongkar

28

0,4

7.416

100,0

Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan,
2008

5.2. Biaya pembentuk harga cabe merah


5.2.1. Biaya pada petani
Berdasarkan penelitian lapangan, biaya-biaya yang dikeluarkan petani
cabe merah meliputi penyewaan lahan, biaya bibit, pupuk, hormone,
pestisida, mulsa, upah tanam, upah menyiang, upah angkut, dan lain-lain.
Rata-rata biaya yang dikeluarkan petani untuk menghasilkan 1 (satu)
kilogram cabe merah adalah Rp.6.427. Total biaya yang dikeluarkan ini dapat
dirinci menurut kelompok pengeluaran. Komponen biaya dominan yang
dikeluarkan petani untuk memproduksi satu kilogram cabe merah adalah
sewa lahan sebesar Rp.1.714, pupuk sebesar Rp.1.409, dan pestisida sebesar
Rp.1.113 atau berkisar antara 17%-27% dari total biaya yang dikeluarkan.
Ketergantungan yang tinggi pada pupuk buatan dan pestisida telah
mendorong meningkatnya biaya produksi cabe merah. Komponen biaya
lainnya seperti bibit, pupuk kandang, mulsa, upah angkut, pengolahan dan
lain-lain masih berada dibawah 10% dari total biaya. Penjelasan lebih detail
dapat dilihat pada Tabel 5.2.

35

5.2.2. Biaya pedagang pengumpul


Penelitian mengungkapkan bahwa pada umumnya pedagang pengumpul
untuk daerah Padang dan Sumbar, lebih banyak mengambil cabe dari pulau
Jawa dan Kerinci. Pedagang pengumpul melakukan pembelian didaerah
Alahan Panjang, Kerinci dan Pesisir Selatan dengan harga beli saat survei
Rp.7.000-Rp.8.000/kg. Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan pedagang
pengumpul adalah biaya angkut, BBM, Sopir, dan lain-lain. Menurut olahan
data penelitian lapangan, biaya rata-rata yang dikeluarkan pedagang
pengumpul cabe merah adalah sebesar Rp.7.196/kg untuk sampai di Pasar
Raya padang. Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pedagang
pengumpul untuk setiap kilogram cabe merah adalah biaya pembelian, ratarata sebesar Rp.7.146/kg atau 99,3% dari total biaya yang dikeluarkan. Selain
itu, pedagang pengumpul juga mengeluarkan biaya bongkar muat sebesar
Rp.29/kg dan biaya penimbangan sebesar Rp.17/kg atau masing-masing
sebesar 0,2% dari total biaya. Penjelasan lengkap biaya pedagang pengumpul
dapat dilihat pada Tabel 5.2.
5.2.3. Biaya pedagang perantara/pedagang besar
Temuan penelitian lapangan pada Tabel 5.2 memperlihatkan biaya-biaya
yang dikeluarkan pedagang perantara/pedagang besar di Pasar Raya Padang.
Secara garis besar komponen biaya yang dikeluarkan pedagang
perantara/pedagang besar cabe merah meliputi biaya angkut dan biaya
bongkar/muat. Rata-rata biaya yang dikeluarkan per kilogram cabe merah
oleh pedagang perantara Pasar Raya adalah sebesar Rp.9.905. Komponen
biaya terbesar adalah biaya pembelian cabe merah dari pedagang pengumpul
yang sebesar Rp.8.813/kg atau 99,0% dari total biaya. Pada saat survei
dilakukan, harga cabe merah mengalami penurunan. Harga cabe merah per
kilogram berkisar antara Rp.9.000-Rp.11.000. Harga cabe dapat berubah
sewaktu-waktu tergantung pada persediaan pada waktu itu bahkan dalam
waktu 2-3 jam. Biaya lainnya seperti biaya angkut dari mobil ke gudang dan
biaya bongkar muat masih berada dibawah 1,0% dari total biaya.
5.2.4. Biaya pedagang pengecer
Hasil penelitian lapangan pada Tabel 5.2 memperlihatkan komponen
biaya pada pedagang pengecer di Pasar Raya dan Pasar Siteba. Komponen
biaya yang terungkap adalah biaya angkut, biaya bongkar muat, dan pajak.
Temuan memperlihatkan perbedaan komposisi komponen biaya antara
pedagang pengecer Pasar Raya dengan pedagang pengecer Pasar Siteba.
Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Raya untuk setiap
kilogram cabe merah relatif lebih rendah dibandingkan dengan pedagang
Pasar Siteba. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer Pasar
Raya untuk setiap kilogram cabe merah adalah sebesar Rp.10.595, sedangkan
rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Siteba per
kilogram cabe merah adalah Rp.10.733.
Perbedaan diatas disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi biaya
pembelian, biaya angkut, biaya bongkar muat dan retribusi/pajak. Walaupun
biaya pembelian cabe merah (Rp.10.000/kg) oleh pedagang pengecer Pasar
Raya relatif sama dengan pembelian cabe merah oleh pedagang pengecer
Pasar Siteba, biaya angkut, biaya bongkar muat, dan retribusi di pedagang
36

pengecer Pasar Siteba lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang pengecer


Pasar Raya. Sub total biaya yang dikeluarkan (biaya angkut, biaya bongkar
muat, dan retribus) pedagang pengecer Pasar Raya sebesar Rp.545/kg lebih
rendah dibandingkan dengan sub total biaya pedagang pengecer Pasar Siteba
sebesar Rp.733/kg. Perbedaan inilah yang menyebabkan relatif tingginya
biaya pedagang pengecer Pasar Siteba.
Tabel 5.2. Biaya Pembentuk Harga Komoditi Cabe Merah
Biaya Pembentuk Harga
No Cabe Merah

Biaya Produksi
Rp/kg
%

Petani
1.

Sewa lahan

1.714

26,7

2.

Bibit

576

9,0

3.

Pestisida

1.113

17,3

4.

Pupuk

1.409

21,9

5.

Hormon

388

6,0

6.

Plastik

445

6,9

7.

Pupuk kandang

253

3,9

8.

Angkut

151

2,4

9.

Garap

0,1

10. Dedak

16

0,3

11. Upah

300

4,7

12. Kapur

0,0

13. Bambu

12

0,2

14. Pengolahan

16

0,2

15. Lain-lain

24

0,4

6.427

100,0

Total Biaya

37

II

Pedagang Pengumpul
Harga Beli

7.146

99,3

1.

Angkut

16

0,2

2.

Muat

13

0,2

3.

Timbang

17

0,2

4.

Lain-lain

0,1

7.196

100,0

8.813

99,0

Total Biaya

III Pedagang Perantara


Harga Beli
1.

Angkut

89

1,0

2.

Bongkar

0,0

8.905

100,0

10.000

94,8

Total Biaya

IV

Pedagang Pengecer
a. Pasar Raya
Harga Beli
1.

Angkut

142

1,3

2.

Lain-lain

404

3,8

10.545

100,0

10.000

93,2

Total Biaya
b. Pasar Siteba
Harga Beli
1.

Angkut

194

1,8

2.
3.

Muat
Bongkar

233

2,2

38

4.

Pajak

Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

233

2,2

72

0,7

10.733

100,0

5.3. Biaya pembentuk harga bawang merah


5.3.1. Biaya pada petani
Hasil penelitian Tabel 5.3 mengemukakan komponen-komponen biaya
produksi bawang merah. Adapun struktur biaya produksi bawang merah
adalah bibit, pupuk, hama (racun), tenaga kerja (mengolah, menanam,
menyiangan dan memanen), upah angkut, dan biaya lain-lain. Rata-rata biaya
produksi petani bawang merah adalah Rp.2.998 per kilogram. Pembentukan
total biaya produksi ini dipengaruhi oleh komposisi biaya. Semakin tinggi
komponen biaya produksi, semakin tinggi pula total biaya produksi.
Berdasarkan olahan data penelitian, komponen biaya yang dominan untuk
setiap kilogram produksi bawang merah adalah tenaga kerja (mengolah,
menanam, penyiangan, panen) sebesar Rp.836, biaya pestisida, hama dan
obat-obatan sebesar Rp.635, biaya pupuk sebesar Rp.526 dan biaya angkut
sebesar Rp.439. Kontribusi biaya-biaya ini masing-masing sebesar 27,9%,
21,2%, 17,6% dan 14,6% dari total biaya. Kontribusi biaya-biaya lainnya
masih berada dibawah 10%.
Indikasi dari fakta diatas adalah pentingnya stabilisasi harga pupuk dan
pestisida serta penyediaan tenaga kerja dalam memproduksi bawang merah.
Kelangkaan pupuk dan obat-obatan ataupun tenaga kerja akan menyebabkan
kenaikan biaya produksi yang pada akhirnya akan meningkatkan harga jual
bawang merah pada tingkat petani, given pasokan bawang merah dari daerah
lain seperti Kerinci, Bengkulu, Jawa dan Thailand. Selain itu efisiensi dalam
produksi juga merupakan faktor yang akan menurunkan biaya produksi pada
tingkat petani yang akan berdampak pada harga jualnya.
5.3.2. Biaya pedagang pengumpul
Biaya-biaya yang ditanggung pedagang pengumpul bawang merah
meliputi biaya pembelian ke petani, biaya sortir, penyusutan, dan biaya lainlain. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul bawang merah
adalah sebesar Rp.5.130/kg. Komponen biaya terbesar pedagang pengumpul
adalah biaya pembelian dengan rata-rata biaya pembelian sebesar
Rp.4.397/kg atau 85,7% dari total biayanya. Selain itu komponen yang
mempengaruhi pembentukan harga bawang merah pada tingkat pedagang
pengumpul adalah biaya angkut sebesar Rp.108/kg, biaya bongkar muat
sebesar Rp.50/kg, dan biaya lain-lain seperti pajak, biaya penimbangan, biaya
perjalanan dan penyusutan sebesar Rp.575/kg. Masing-masing komponen
biaya tersebut memberikan kontribusi sebesar 2,1%, 1,0% dan 11,2% dari
total biaya. Penjelasan lengkap diperlihatkan oleh Tabel 5.3.

39

5.3.3. Biaya pedagang perantara/pedagang besar


Struktur biaya yang ditanggung pedagang perantara/pedagang besar di
Pasar Raya tidak jauh berbeda dengan pedagang pengumpul. Berdasarkan
temuan lapangan Tabel 5.3, rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang
perantara di Pasar Raya untuk setiap kilogram bawang merah adalah
Rp.6.505. Harga pembelian yang sebesar Rp.5.897/kg merupakan faktor yang
dominan (90,6%) dalam total biaya dimana harga beli bawang merah oleh
pedagang perantara pada saat survei lapangan berkisar antara Rp.6.000/kgRp.10.000/kg. Selain itu, sub total biaya yang dikeluarkan pedagang
perantara/pedagang besar Pasar Raya adalah sebesar Rp.608/kg atau 9,4%
dari total biaya per kilogram. Sub total biaya ini terdiri dari biaya angkut
sebesar Rp.458/kg, biaya bongkar muat sebesar Rp.50/kg dan biaya lainnya
sebesar Rp.100/kg.
5.3.4. Biaya pedagang pengecer
Hasil penelitian pada Tabel 5.3 telah mengungkapkan biaya-biaya yang
ditanggung pedagang pengecer Pasar Raya dan pedagang pengecer Pasar
Siteba. Temuan memperlihatkan adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan
pedagang pengecer Pasar Raya dengan pedagang pengecer Pasar Siteba.
Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Siteba sebesar
Rp.8.196/kg lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer
Pasar Raya yang sebesar Rp.7.773/kg. Perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan komposisi biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pedagang.
Walaupun komponen biaya beli bawang merah pedagang pengecer Pasar
Raya tidak jauh berbeda dengan biaya beli pedagang pengecer Pasar Siteba,
komponen sub total biaya lainnya seperti biaya angkut, biaya bongkar muat,
dan pajak padagang pengecer Pasar Siteba jauh lebih tinggi dari pedagang
pengecer Pasar Raya. Sub total biaya pedagang pengecer Pasar Siteba adalah
sebesar Rp.633/kg, sedangkan sub total biaya pedagang Pasar Raya adalah
sebesar Rp.210/kg. Tingginya komponen sub total biaya pedagang pengecer
Pasar Siteba disebabkan biaya angkut, biaya bongkar muat yang
ditanggungnya lebih tinggi dari pedagang pengecer Pasar Raya. Fakta ini
mengindikasikan bahwa semakin panjang jalur distribusi komoditi bawang
merah, semakin besar biaya yang ditanggung pedagang pengecer.
Tabel 5.3. Biaya Pembentuk Harga Komoditi Bawang Merah
Biaya Pembentuk Harga Bawang
No Merah

Biaya Produksi
Rp/kg
%

Petani
1. Bibit

294

9,8

2. Pupuk

526

17,6

3. Pestisida, Hama, Obat-obatan

635

21,2

40

4. Angkut

439

14,6

5. Tenaga Kerja

836

27,9

6. Plastik

158

5,3

7. Karet

0,3

8. Garap

46

1,5

9. Lainnya

56

1,9

2.998

100,0

4.397

85,7

108

2,1

2. Muat

25

0,5

3. Bongkar
Lain-lain (Pajak, Timbang,
4. Perjalanan, Susut, dll)

25

0,5

575

11,2

5.130

100,0

5.897

90,6

458

7,0

2. Muat

25

0,4

3. Bongkar

25

0,4

100

1,5

6.505

100,0

Total Biaya

II

Pedagang Pengumpul
Harga Beli
1. Angkut

Total Biaya
III Pedagang Perantara
Harga Beli
1. Angkut

4. Lain-lain (Timbang, sortir, Susut, dll)


Total Biaya
IV

Pedagang Pengecer

41

a. Pasar Raya
Harga Beli

7.563

97,3

66

0,9

144

1,8

7.773

100,0

7.563

92,3

1. Angkut

141

1,7

2. Muat

192

2,3

3. Bongkar

192

2,3

4. Pajak

108

1,3

8.196

100,0

1. Angkut
2. Lain-lain (Sortir, Susut, Plastik, dll)
Total Biaya
b. Pasar Siteba
Harga Beli

Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

5.4. Biaya pembentuk harga ikan segar


Analisis biaya ikan segar dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu
biaya ikan air tawar dan biaya ikan laut. Pengelompokan ini dilakukan karena
adanya perlakuan yang berbeda dalam struktur pembiayaan antara ikan air
tawar dan ikan laut.
5.4.1. Biaya pembentuk harga ikan air tawar
5.4.1.1. Biaya pada petani ikan
Penelitian lapangan Tabel 5.4 mengungkapkan struktur biaya petani
terdiri dari biaya pembelian bibit, pakan, upah, obat, jaring, dan biaya panen.
Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh petani ikan untuk setiap kilogram ikan
air tawar adalah sebesar Rp.8.857. Komponen utama biaya petani ikan air
tawar adalah biaya makanan ikan (pakan) yang mencapai 60,2% dari total
biaya atau setara dengan Rp.5.331 per kilogram ikan air tawar. Kelompok
biaya terbesar lainnya (39,4%) adalah biaya pembelian bibit yang mencapai
Rp.3.488 per kilogram ikan air tawar. Sementara biaya upah, obat dan
pembelian jaring berkisar antara 9%-16% dari total biaya. Implikasinya
adalah pentingnya menyediakan pakan ikan dan bibit yang murah dan
42

bermutu bagi petani ikan setiap waktu untuk menjamin pengendalian harga
ikan air tawar dari sisi produksi. Hal ini dapat dilakukan melalui mitra dengan
pengusaha pakan ikan, sementara optimalisasi pemanfaatan balai benih ikan
dalam penyediaan bibit ikan yang murah dan berkualitas menjadi penting
untuk diperhatikan. Optimalisasi balai benih ikan terutama dalam menemukan
bibit ikan yang bermutu dan berkualitas.
Tabel 5.4. Biaya Pembentuk Harga Komoditi Ikan Air
Tawar
Biaya Pembentuk Harga
No Ikan
Air Tawar
I

Petani Ikan
1. Bibit

3.488

39,4

2. Pakan

5.331

60,2

3. Upah

16

0,2

4. Obat

0,1

5. Jaring

13

0,1

0,0

8.857

100,0

11.700

97,2

1. Angkut

333

2,8

Total Biaya

12.033

100,0

13.500

96,3

1. Angkut

358

2,6

2. Muat
Total Biaya

166

1,2

6. Biaya Panen
Total Biaya

II

Biaya Produksi
Rp/kg
%

Pasar Siteba
Pedagang Pengumpul
Harga Beli

III Pedagang pengecer


Harga Beli

43

IV

14.024

100,0

13.000

98,9

1. Angkut

150

1,1

Total Biaya

13.150

100,0

11.700

98,3

100

0,8

2. Muat

50

0,4

3. Bongkar

50

0,4

11.900

100,0

14.200

95,6

620

4,2

40

0,3

14.860

100,0

Pedagang hasil produksi


sendiri
Harga Beli

Pasar Raya
V

Pedagang pengumpul
Harga Beli
1. Angkut

Total Biaya

VI

Pedagang pengecer
Harga Beli
1. Angkut
2. PO Tempat

Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

5.4.1.2. Biaya pedagang pengumpul


Biaya-biaya yang ditanggung pedagang pengumpul ikan air tawar
meliputi biaya pembelian ke petani ikan dan biaya angkut. Tabel 5.4
memperlihatkan rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul ikan

44

air tawar untuk jalur distribusi Pasar Siteba dan Pasar Raya. Rata-rata biaya
yang dikeluarkan pedagang pengumpul jalur distribusi Pasar Siteba adalah
sebesar Rp.12.033/kg. Komponen biaya terbesar adalah biaya pembelian
dengan rata-rata biaya pembelian sebesar Rp.11.700/kg atau 97,2% dari
total biayanya. Selain itu komponen yang mempengaruhi pembentukan harga
ikan air tawar pada tingkat pedagang pengumpul adalah biaya angkut
sebesar Rp.333/kg atau berkontribusi sebesar 2,8% dari total biaya yang
dikeluarkan.
Sebaliknya, rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul jalur
distribusi Pasar Raya mencapai Rp.11.900 per kilogram ikan air tawar. Ratarata biaya ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan biaya pedagang
pengumpul jalur Pasar Siteba. Relatif rendahnya biaya yang dikeluarkan oleh
pedagang pengumpul jalur distribusi Pasar Raya disebabkan rendahnya biaya
angkut dan bongkar muat yang dikeluarkannya, yakni sebesar Rp.200/kg.
Sementara itu, biaya pembelian pedagang pengumpul Pasar Raya sama
dengan biaya pembelian pedagang pengumpul Pasar Siteba.
5.4.1.3. Biaya pedagang pengecer
Pedagang pengecer ikan air tawar dibedakan menjadi pedagang
pengecer di Pasar Raya dan pedagang pengecer di Pasar Siteba. Data olahan
penelitian lapangan Tabel 5.4 mengungkapkan bahwa rata-rata biaya per
kilogram ikan air tawar yang dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Raya
adalah sebesar Rp.14.860, sedangkan rata-rata biaya per kilogram ikan yang
dikeluarkan pedagang pengecer ikan di Pasar Siteba adalah sebesar
Rp.14.024. Rata-rata harga beli ikan pedagang pengecer di Pasar Siteba dan
pedagang pengecer Pasar Raya adalah sebesar Rp.14.200/kg.
Perbedaan biaya antara pedagang pengecer Pasar Raya dengan Pasar
Siteba disebabkan adanya perbedaan biaya angkut dan PO tempat yang
dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Raya dan pedagang pengecer Pasar
Siteba. Perbedaan biaya terlihat jelas pada perbedaan biaya angkut dimana
biaya angkut pada pedagang pengecer Pasar Raya sebesar Rp.620/kg atau
setara dengan 4,2% dari total biaya, sedangkan biaya angkut di pedagang
pengecer Pasar Siteba adalah Rp.358/kg atau hanya 2,6% dari total biayanya.
Selain itu, pedagang pengecer Pasar Raya juga mengeluarkan biaya PO
tempat sebesar Rp.40/kg ikan air tawar.
5.4.1.4. Biaya pedagang hasil sendiri
Temuan penelitian lapangan mengemukakan bahwa pedagang hasil
produksi sendiri ikan air tawar hanya ada di jalur distribusi Pasar Siteba.
Adapun biaya-biaya yang mengemuka pada pedagang hasil produksinya
sendiri adalah biaya angkut. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang
besar adalah sebesar Rp.13.150/kg. Komponen biaya terbesar pedagang
besar adalah biaya pembelian dengan rata-rata biaya pembelian sebesar
Rp.13.000/kg atau 98,9% dari total biayanya. Pedagang produksi hasil sendiri
mengeluarkan biaya angkut sebesar 1,1% dari total biaya atau sebesar
Rp.150/kg ikan air tawar.
5.4.1. Biaya pembentuk harga ikan laut
45

5.4.1.1. Biaya pada nelayan


Penelitian lapangan Tabel 5.5 mengemukakan komposisi biaya yang
dikeluarkan oleh nelayan yang meliputi biaya BBM, es batang, transpor,
makanan, dan biaya lain. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh nelayan
untuk setiap kilogram ikan laut adalah sebesar Rp.9.804. Komponen terbesar
biaya nelayan adalah biaya BBM yang mencapai 75,7% dari total biaya atau
setara dengan Rp.7.423 per kilogram ikan laut yang didapatkannya.
Kelompok biaya lainnya adalah biaya pembelian es batang, transpor,
makanan dan lain-lainnya yang mencapai Rp.2.381 per kilogram ikan laut
berkisar antara 1,7%-12,7%. Implikasinya adalah pentingnya menyediakan
bahan bakar minyak (BBM) yang terjangkau bagi nelayan setiap waktu untuk
menjamin pengendalian harga ikan laut dari sisi produksi. Penyediaan BBM
yang murah dapat dilakukan melalui subsidi langsung kepada nelayan.
Tentunya, mekanisme subsidi ini dilakukan dengan pengawasan yang terpadu
dari semua pihak yang berkepentingan untuk menghindari pendistribusian
yang tidak sesuai dengan sasaran.
5.4.1.2. Biaya pedagang Pengumpul
Menurut penelitian lapangan, pedagang pengumpul hanya terungkap di
jalur distribusi ikan laut Pasar Raya. Adapun komponen biaya yang
dikeluarkan pedagang pengumpul Pasar Raya adalah biaya pembelian, biaya
angkut dan biaya lain-lain (es batang). Komponen biaya pedagang
pengumpul ikan laut ditunjukkan oleh Tabel 5.5. Rata-rata biaya yang
dikeluarkan pedagang pengumpul adalah sebesar Rp.13.663 per kilogram
ikan laut. Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pedagang pengumpul
ikan laut adalah biaya pembelian ayam sebesar Rp.13.500 per kilogram ikan
laut atau 98,8% dari total biaya. Biaya lainnya adalah biaya angkut dan
pembelian es batang. Biaya angkut dan pembelian es batang adalah sebesar
Rp.125/kg dan Rp.38/kg ikan laut atau masing-masing sebesar 0,9% dan
0,3% dari total biaya.
5.4.1.3. Biaya pedagang besar
Berbeda dengan jalur distribusi ikan laut jalur Pasar Raya, pedagang
besar ikan laut hanya ditemukan pada jalur distribusi Pasar Siteba. Komponen
biaya yang terungkap pada pedagang besar ikan laut Pasar Siteba adalah
biaya pembelian. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul
adalah sebesar Rp.13.500 per kilogram ikan laut. Komponen biaya ini juga
mencerminkan komponen biaya pembelian ikan laut pada nelayan di Pasia
Nan Tigo. Penjelasan komponen biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar
ikan laut jalur Pasar Siteba dapat di lihat pada Tabel 5.5.
5.4.1.4. Biaya pedagang pengecer
Berdasarkan temuan penelitian lapangan, pedagang pengecer ikan laut
dibedakan pula menurut jalur distribusinya, yakni pedagang pengecer di Pasar
Raya dan pedagang pengecer di Pasar Siteba. Hasil olahan data lapangan
Tabel 5.5 mengemukakan bahwa perbedaan biaya secara signifikan antara
pedagang pengecer ikan laut Pasar Raya dengan pedagang pengecer Pasar
Siteba. Rata-rata biaya per kilogram ikan laut yang dikeluarkan pedagang
46

pengecer Pasar Raya mencapai Rp.16.069, sedangkan rata-rata biaya per


kilogram ikan yang dikeluarkan pedagang pengecer di Pasar Siteba adalah
sebesar Rp.14.671. Rata-rata harga beli ikan laut pedagang pengecer di Pasar
Raya dan pedagang pengecer Pasar Siteba adalah Rp.15.500/kg. Ikan laut di
Pasar Raya berasal dari pedagang pengumpul di TPI Bungus dan TPI Muara,
sedangkan ikan laut yang diperjualbelikan di Pasar Siteba didatangkan dari
Pasia Nan Tigo. Pada saat survei dilakukan, harga beli ikan laut di Pasar Raya
berkisar antara Rp.8.000/kg-Rp.30.000/kg, sementara di Pasar Siteba hanya
berkisar Rp.7.000/kg-Rp.30.000/kg.
Akan tetapi bila ditelusuri komponen biaya lainnya tidak terlihat
perbedaan yang signifikan antara biaya pedagang pengecer Pasar Raya dan
pedagang pengecer Pasar Siteba. Fakta ini terlihat pada biaya angkut, biaya
bongkar muat, dan biaya lain-lain termasuk biaya pembelian es batang.
Biaya yang dikeluarkan untuk komponen lainnya oleh pedagang pengecer
Pasar Raya sebesar Rp.569/kg ikan laut, sedangkan biaya yang dikeluarkan
oleh pedagang pengecer Pasar Siteba sebesar Rp.571/kg ikan laut.
Penjelasan lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Biaya Pembentuk Harga Komoditi Ikan Laut


Biaya Pembentuk Harga
No Ikan Laut

Nelayan
1. BBM

7.423

75,7

2. Es batang

736

7,5

3. Transpor

175

1,8

4. Makanan

270

2,8

5. Lain-lain

1.200

12,2

9.804

100,0

13.500

100,0

Total Biaya

II

Biaya Produksi
Rp/kg
%

Pasar Siteba
Pedagang Besar
Harga Beli
1. Biaya-biaya
Total Biaya

47

13.500

100,0

14.000

95,4

553

3,8

2. Muat

53

0,4

3. Bongkar

38

0,3

4. Lain-lain (Batu Es)

27

0,2

14.671

100,0

13.500

98,8

125

0,9

38

0,3

13.663

100,0

15.500

96,5

533

3,3

2. Muat

0,1

3. Bongkar

0,0

21

0,1

16.069

100,0

III Pedagang Pengecer


Harga Beli
1. Angkut

Total Biaya
IV

Pasar Raya
Pedagang Pengumpul
Harga Beli
1. Angkut
2. Lain-lain (Batu Es)
Total Biaya

Pedagang Pengecer
Harga Beli
1. Angkut

4. Lain-lain (Batu Es)


Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

48

5.5. Biaya pembentuk harga daging ayam ras


5.5.1. Biaya pada peternak
Hasil penelitian pada Tabel 5.7 mengungkapkan beberapa komponen
biaya yang dikeluarkan peternak ayam adalah pembelian anak ayam (DOC),
pakan ayam (FEED), obat-obat/vaksin ayam (DRUG & VACCINE), pegawai,
dan biaya lain-lain, seperti gas, listrik, gula aren dan serbuk. Rata-rata biaya
yang dikeluarkan oleh peternak untuk menghasilkan 1 (satu) kilogram daging
ayam ras adalah sebesar Rp.6.384. Komponen biaya terbesar untuk
memproduksi daging ayam ras per kilogram adalah biaya pakan dan
pengadaan anak ayam (DOC) yang sebesar Rp.3.510 dan Rp.2.618 atau
masing-masing sebesar 55% dan 41% dari total biaya produksi.
Selain itu, komponen biaya yang berperan mempengaruhi komposisi
biaya produksi per kilogram ayam adalah biaya tenaga kerja sebesar Rp.80
dan obat/vaksin ayam yang sebesar Rp.84 atau masing-masing sebesar 1,3%
dari total biaya produksi. Implikasinya adalah bahwa untuk pengendalian
harga daging ayam ras dari sisi biaya produksi dilakukan dengan
mengendalikan harga anak ayam (DOC) dan harga pakan melalui penyediaan
anak ayam dan pakan murah yang terjangkau oleh peternak ayam.
Kerjasama peternak ayam dengan perusahaan mitra merupakan salah satu
upaya penyediaan anak ayam dan pakan yang mudah dan terjangkau.
5.5.2. Biaya perusahaan mitra
Pola distribusi komoditas daging ayam mempunyai jalur distribusi yang
unik yaitu melalui perusahaan mitra yang menjamin pengadaan anak ayam
(DOC), pakan ayam dan obat/vaksin ayam bahkan tenaga ahli yang
mendampingi peternak dalam membesarkan anak ayam. Perusahaan mitra
juga bertindak dalam membantu pemasaran daging ayam dengan
menfasilitasi peternak dengan agen yang akan membeli ayam. Di Pariaman
terdapat 2 (dua) perusahaan pemasok anak ayam yaitu PT. King dan PT.
Minang Ternak Sejahtera Pariaman, sedangkan di Padang yaitu PT. Minang
Ternak Sejahtera Pusat dan PT. Ciomas Adisatwa.
Dalam pelaksanaan kegiatan, antara Perusahaan Mitra dengan peternak
mitra menandatangani surat perjanjian kerjasama (kontrak). Masing-masing
perusahaan memiliki aturan kontrak sendiri. Dari pengamatan lapangan,
terdapat dua jenis perusahaan jika dibedakan berdasarkan aturan pada surat
kontrak. Pertama, perusahaan yang melakukan pembaharuan kontrak dalam
jangka waktu setahun sekali dan kedua, perusahaan yang melakukan
pembaharuan kontrak setiap 1 (satu) kali periode produksi ayam. Masingmasing ada kelebihan dan kelemahan terutama berkaitan dengan penentuan
harga daging ayam.
Dari wawancara mendalam yang dilakukan dengan peternak, jika
pembaharuan kontrak dilakukan 1 (satu) kali dalam setahun, mereka akan
terbebas dari fluktuasi harga sepanjang tahun tersebut. Apabila harga daging
ayam turun di pasar, peternak tidak akan terkena imbas karena harga sudah
ditetapkan oleh kontrak. Sebaliknya, jika harga daging ayam tinggi, maka
49

peternak juga tidak akan mendapatkan keuntungan dari peningkatan harga


tersebut. Untuk perusahaan dengan pembaharuan kontrak setiap kali periode
produksi ayam, peternak akan merasakan dampak dari fluktuasi harga. Jika
harga tinggi, peternak akan mendapatkan harga yang tinggi pula dan
sebaliknya jika harga daging ayam turun, mereka juga akan terimbas. Dari
kondisi ini, bagi peternak hal yang dapat menaikkan atau menurunkan harga
daging ayam adalah perusahaan yang menjadi mitra.
Biaya yang dikeluarkan perusahaan mitra adalah biaya pembelian DOC,
pakan, vaksin yang dipasok dari Pekanbaru, Medan dan Palembang, biaya
angkut dari gudang perusahaan ke peternak dan biaya karyawan untuk
bongkar/muat di tempat peternak. Tabel 5.6 memperlihatkan perbandingan
harga dari dua perusahan mitra.
Tabel 5.6. Perbandingan harga Perusahaan Mitra sebagai Pemasok
Jenis biaya produksi

PT. King
Beli
Jual
DOC
4.200/ek 4.350/eko
or
r
Pakan ayam (FEED) 5.600/kg 5.800/kg
Vaksin
5.550/kg 5.750/kg
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

PT. MTS
Beli
Jual
3.450/ek 3.650/eko
or
r
5.200/kg 5.350/kg
5.100/kg 5.250/kg

5.5.3. Biaya pedagang pengumpul


Temuan penelitian lapangan pada Tabel 5.7 memperlihatkan biaya-biaya
yang dikeluarkan pedagang pengumpul. Biaya-biaya yang dikeluarkan
pedagang pengumpul adalah biaya pembelian ayam, biaya angkut, biaya
penimbangan dan biaya lainnya seperti upah. Rata-rata biaya yang
dikeluarkan pedagang pengumpul adalah sebesar Rp.8.746 per kilogram
daging ayam. Biaya pembelian merupakan komponen biaya terbesar (96,9%)
yang dikeluarkan pedagang pengumpul komoditi ayam ras atau sebesar
Rp.8.473 per kilogram daging ayam ras. Komponen biaya lainnya relatif
rendah dimana kurang dari 3,1% dari total biaya. Komponen ini termasuk
biaya angkut, upah sopir, BBM, dan lain-lain yang diperlukan untuk membawa
ayam ke pedagang perantara/agen.
5.5.4. Biaya pedagang perantara
Komponen biaya yang dikeluarkan pedagang perantara tidak jauh
berbeda dengan komponen biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul.
Komponen biaya pedagang perantara ditunjukkan oleh Tabel 5.7. Rata-rata
biaya yang dikeluarkan pedagang perantara adalah sebesar Rp.10.008 per
kilogram daging ayam. Komponen biaya terbesar adalah biaya pembelian
ayam dari pedagang pengumpul dengan jumlah Rp.9.833 per kilogram daging
ayam ras atau 98,3% dari total biaya. Biaya lainnya adalah biaya angkut dan
upah. Biaya angkut dan upah yang dikeluarkan untuk setiap kilogram daging
ayam adalah sebesar Rp.175 atau 1,8% dari total biaya.

50

5.5.5. Biaya pedagang pengecer


Biaya pedagang pengecer daging ayam ras dibedakan menjadi biaya
pengecer daging ayam ras di Pasar Raya Padang dan Pasar Siteba. Walaupun
demikian, struktur komponen pedagang pengecer Pasar Raya dan pedagang
pengecer Pasar Siteba relatif tidak ada perbedaan. Adapun komponen biaya
yang terungkap dari penelitian lapangan Tabel 5.7 adalah biaya pembelian,
biaya angkut, biaya bongkar muat, dan biaya lain-lain. Komponen biaya yang
dominan dari kedua pedagang pengecer adalah biaya pembelian yang
masing-masing sebesar Rp.11.500 untuk setiap kilogram daging ayam.
Komponen biaya ini mencapai 98% dari total biaya yang dikeluarkan
pedagang pengecer. Biaya lainnya adalah biaya angkut, biaya bongkar muat
dan biaya lain-lain. Biaya-biaya yang dikeluarkan ini relatif tidak berbeda
antara pedagang pengecer Pasar Raya dan pedagang pengecer Pasar Siteba
dimana biaya yang dikeluarkan adalah sekitar Rp.200 per kilogram daging
ayam ras.
Tabel 5.7. Biaya Pembentuk Harga Komoditi Daging Ayam Ras
Biaya Pembentuk Harga Daging
No Ayam Ras

Peternak
1.

Bibit (DOC)

2.618

41,0

2.

Pakan (FEED)

3.510

55,0

3.

Obat/vaksin (DRUG & VACCINE)

84

1,3

4.

Gas

41

0,6

5.

Pegawai

80

1,3

6.

Serbuk

25

0,4

7.

Listrik

23

0,4

8.

Perbaikan kandang

0,0

6.384

100,0

8.473

96,9

Total Biaya

II

Biaya Produksi
Rp/kg
%

Pedagang Pengumpul
Harga Beli

51

1.

Angkut

169

1,9

2.

Timbang

0,1

3.

Lain-lain

98

1,1

8.746

100,0

9.833

98,3

58

0,6

117

1,2

10.008

100,0

11.500

98,2

107

0,9

0,0

103

0,9

11.713

100,0

11.500

98,3

Total Biaya
III Pedagang Perantara
Harga Beli
1.

Angkut

2.

Lain-lain

Total Biaya
IV

Pedagang Pengecer
a. Pasar Raya
Harga Beli
1.

Angkut

2.

Muat

3.

Bongkar

Total Biaya

b. Pasar Siteba
Harga Beli
1.

Bongkar

200

1,7

2.

Lain-lain

0,0

11.701

100,0

Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

52

5.6. Biaya pembentuk harga minyak goreng


5.6.1. Biaya pada produsen
Berdasarkan penelitian lapangan terungkap bahwa produsen minyak
goreng di Provinsi Sumatera Barat adalah PT Incasi Raya dan PT Lembah
Karya. Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan pabrik dalam memproduksi
minyak goreng meliputi sawit/kopra, bahan pencampur, bahan bakar, biaya
tenaga kerja, dan lain-lain. Rata-rata biaya yang dikeluarkan PT Lembah
Karya untuk memproduksi 1 (satu) kilogram minyak goreng relatif lebih tinggi
dibandingkan PT Incasi Raya. PT Lembah karya mengeluarkan biaya sebesar
Rp.8.394/kg minyak goreng, sedangkan PT Incasi Raya mengeluarkan biaya
sebesar Rp.4.125/kg. Kondisi ini sebabkan harga pembelian bahan baku yang
berbeda. PT Lembah Karya memproduksi minyak goreng berbahan baku
kopra, sedangkan PT Incasi Raya memproduksi minyak goreng berbahan
baku sawit. Pada saat survei, harga kopra jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan harga sawit. Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Perbandingan Kapasitas Produksi 2
Produsen
Minyak Goreng Per Tahun
Produksi

PT. Lembah
Karya
(Kopra)

PT Incasi
Raya
(CPO)

Volume
(kg/thn)

3.274.990

8.000.000

Harga/kg (Rp)

14.00

5.500

Nilai (Rp juta)

45.000

44.000

Biaya (Rp juta)

27.500

33.000

Laba (Rp juta)


Ratio
biaya/nilai (%)
Ratio Laba/nilai
(%)

18.300

11.000

0,60

0,75

0,40

0,25

Biaya/kg (Rp)
8.394
Sumber: Penelitian Lapangan,
2008

4.125

5.6.2. Biaya pedagang perantara I


Pedagang perantara I adalah pedagang yang membeli minyak goreng
pada produsen minyak goreng dan menjualnya langsung ke pedagang
pengecer yang ada di Pasar Raya dan Pasar Siteba. Beberapa pedagang yang

53

termasuk dalam kelompok ini adalah Lubuk Raya, Toko Keluarga dan
pedagang perantara Pasar Alai. Berdasarkan olahan data lapangan pada
Tabel 5.9 terlihat bahwa biaya yang dikeluarkan pedagang perantara I adalah
biaya pembelian, biaya angkut, biaya bongkar muat, dan lain-lain. Rata-rata
biaya yang dikeluarkan oleh pedagang perantara I untuk setiap kilogram
minyak goreng adalah sebesar Rp.4.847. Komponen biaya terbesar adalah
biaya pembelian yang sebesar Rp.4.740/kg minyak goreng atau setara
dengan 98% dari total biaya. Harga pembelian minyak goreng oleh pedagang
perantara I pada saat survei berkisar antara Rp.4.000/kg-Rp.5.800/kg.
Komponen biaya lainnya adalah biaya angkut dari produsen ke gudang
sebesar Rp.25/kg minyak goreng. Pengeluaran ini juga ditambah dengan
biaya bongkar muat sebesar Rp.39/kg minyak goreng atau 0,8% dari total
biaya yang dikeluarkan.
5.6.3. Biaya pedagang perantara II
Pedagang perantara II adalah pedagang yang membeli minyak goreng
pada pedagang perantara I dan menjualnya langsung ke pedagang pengecer
yang ada di Pasar Raya dan Pasar Siteba. Rata-rata biaya yang dikeluarkan
pedagang perantara II dalam mendistribusikan 1 (satu) kilogram minyak
goreng adalah sebesar Rp.5.350/kg. Pembelian adalah komponen biaya
terbesar yang dikeluarkan pedagang perantara II yang mencapai 99,1% dari
total pengeluaran. Biaya lainnya adalah biaya angkut dari pedagang perantara
I di Pasar Raya ke tempat pedagang perantara II. Biaya angkut yang
dikeluarkan adalah sebesar Rp.50/kg minyak goreng. Penjelasan lengkap
dapat dilihat pada Tabel 5.9.
5.6.4. Biaya pedagang pengecer
Temuan penelitian pada Tabel 5.9 mengemukakan biaya-biaya yang
ditanggung pedagang pengecer minyak goreng di Pasar Raya dan Pasar
Siteba. Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan biaya yang
dikeluarkan pedagang pengecer Pasar Raya dengan pedagang pengecer
Pasar Siteba. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer Pasar
Siteba sebesar Rp.5.772/kg minyak goreng lebih rendah dari biaya yang
dikeluarkan oleh pedagang pengecer Pasar Raya yang sebesar Rp.5.765/kg.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan komposisi biaya yang dikeluarkan
oleh masing-masing pedagang. Meskipun harga beli pedagang pengecer
Pasar Raya dan pedagang pengecer Pasar Siteba adalah Rp.5.713/kg,
komponen sub total biaya lainnya seperti biaya angkut, biaya bongkar muat,
dan biaya lainnya yang ditanggung padagang pengecer Pasar Raya juga lebih
rendah dibandingkan dengan biaya yang ditanggung oleh pedagang pengecer
Pasar Siteba. Sub total biaya pedagang pengecer Pasar Raya adalah sebesar
Rp.51/kg, sedangkan sub total biaya pedagang Pasar Siteba adalah sebesar
Rp.59/kg. Tingginya komponen rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang
pengecer Pasar Raya disebabkan biaya beli yang ditanggungnya lebih tinggi
dari pedagang pengecer Pasar Siteba. Harga beli minyak goreng pedagang
pengecer Pasar Raya pada saat survei dilakukan berkisar antara Rp.5.200/kgRp.6.100/kg, sedangkan harga beli pedagang pengecer Pasar Siteba berkisar
pada Rp.Rp.5.000/kg-Rp.7.000/kg.
54

Tabel 5.9. Biaya Pembentuk Harga Komoditi Minyak Goreng


Biaya Pembentuk Harga
No Minyak Goreng

Pedagang Perantara I
Harga Beli

4.740

97,8

1. Angkut

25

0,5

2. Muat

18

0,4

3. Bongkar

21

0,4

4. Lain-lain

43

0,9

4.847

100,0

5.300

99,1

1. Angkut

50

0,9

Total Biaya

5.350

100,0

5.713

99,1

35

0,6

2. Muat

0,1

3. Bongkar

0,1

4. Lain-lain (Batu Es, PO Tempat)

0,1

5.765

100,0

Total Biaya
II

Biaya Produksi
Rp/kg
%

Pedagang Perantara II
Harga Beli

III Pedagang Pengecer


a. Pasar Raya
Harga Beli
1. Angkut

Total Biaya

55

b. Pasar Siteba
Harga Beli

5.713

99,0

1. Angkut

0,1

2. Bongkar

22

0,4

3. Lain-lain (Batu Es)

29

0,5

5.772

100,0

Total Biaya
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

BAB 6
PEMBENTUKAN HARGA KOMODITI PENYUMBANG INFLASI
Harga merupakan salah satu indikator pengukuran daya beli masyarakat.
Kestabilan harga komoditi dalam pasar mencerminkan kestabilan daya beli
masyarakat. Daya beli masyarakat dapat menurun jika harga komoditi yang
dikonsumsi masyarakat naik. Dalam kondisi ini, tingkat kesejahteraan
konsumen atau masyarakat dapat menurun. Menurunnya kesejahteraan
masyarakat dapat mempengaruhi kestabilan perekonomian. Oleh karena itu,
menciptakan kestabilan ekonomi akan selalu memperhatikan pergerakan
harga-harga komoditi yang diperdagangkan dalam pasar terutama komoditikomoditi yang memiliki keterkaitan kuat dengan kehidupan masyarakat
banyak dan merupakan sumber pemicu inflasi.
Secara teori, permintaan dan penawaran komoditi merupakan faktor
utama dalam mempengaruhi harga yang berlaku dalam pasar. Pada konteks
ini, perubahan permintaan dan penawaran adalah faktor kunci yang
menyebabkan perubahan harga komoditi dalam pasar. Harga akan naik jika
terjadi kekurangan penawaran atau kelebihan permintaan. Dan sebaliknya,
harga akan turun jika terjadi kelebihan penawaran atau kekurangan
permintaan. Selain itu, masih ada faktor-faktor yang dapat menyebabkan
naiknya harga komoditi dalam pasar. Berdasarkan survei lapangan terhadap
perdagangan komoditi pemicu inflasi seperti seperti beras, cabe, bawang
merah, minyak goreng, ikan (laut dan air tawar), dan daging ayam di
Sumatera Barat khususnya kota Padang (BPS, 2008) mengimplikasikan bahwa
faktor utama yang dapat menyebabkan naiknya harga komoditi tersebut
56

adalah perubahan cuaca, kenaikan biaya produksi disamping naiknya


permintaan dan menurunnya penawaran dalam pasar.
Tabel 6.1. Distribusi Responden Menurut Faktor Penyebab Naiknya
Harga Komoditi Pemicu Inflasi

Faktor Penyebab

Beras

Cabe

Perubahan Musim 83,3


41,7
Naiknya
16,7
54,2
permintaan
Penawaran turun
58,3
75,5
Biaya produksi
16,7
33,3
naik
Lainnya
2,8
8,3
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008

Komoditi
Bawan
Minyak
g
50,0
0,0
56,7
15,9

Ikan
76,5
11,8

D.
Ayam
32,4
41,2

80,0
13,3

11,4
61,4

29,4
32,4

29,4
32,2

0,0

22,7

5,9

8,8

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa faktor musim adalah penyebab


utama naiknya harga komoditi beras (83,3%) dan komoditi ikan (76,5%) di
pasar. Disamping faktor musim, menurunnya penawaran merupakan faktor
yang juga dominan dalam menaikan harga beras di pasar (58,3%). Berbeda
dengan komoditi ikan, naiknya biaya produksi lebih dominan sebagai faktor
penyebab naiknya harga ikan (32,4%) dibandingkan turunnya penawaran
(32,4%).
Hampir sama dengan komoditi beras dan ikan, baik responden pedagang
komoditi cabe merah maupun responden pedagang komoditi bawang merah
mengemukakan bahwa berkurangnya penawaran dalam pasar adalah pemicu
utama naiknya harga cabe (75,5%) dan bawang (80,0%) dalam pasar.
Disamping itu, menurut responden pedagang cabe dan bawang, faktor musim
dan naiknya permintaan juga merupakan faktor lain yang dapat menaikkan
harga bawang dan cabe di pasar.
Lain halnya dengan perdagangan minyak goreng, faktor utama yang
dapat menyebabkan naiknya harga minyak goreng di pasar adalah faktor
biaya produksi (61,4%). Karakteristik perdagangan minyak goreng yang
bersifat manufaktur menyebabkan biaya produksi merupakan komponen
utama sebagai faktor pemicu naiknya harga. Dalam hal ini, biaya produksi
yang sangat berpengaruh dalam perubahan harga minyak goreng di pasar
adalah perubahan harga sawit.
Faktor lainnya seperti naiknya ongkos transportasi (Beras), distribusi
barang tidak lancar (cabe), kondisi ekonomi dan komoditas sawit dieskpor ke
luar negeri (minyak goreng), harga pakan ikan air tawar dan permintaan
daerah meningkat (Ikan), serta naiknya harga barang substitusi (daging
ayam) adalah faktor lain yang dapat menaiknya harga barang. Tetapi
menurut responden, kenaikan harga komoditi sebagai akibat dari faktor-faktor
tersebut hanya terjadi pada waktu tertentu dan tidak merupakan faktor kunci
yang menyebabkan naiknya harga komoditi dalam pasar.

57

Namun, pembentukan harga, dalam hal ini harga yang diterima oleh
konsumen akhir, tidak ditentukan secara langsung oleh perubahan
permintaan dan penawaran. Perubahan permintaan dan penawaran memang
mempengaruhi harga (naik atau turun), tetapi proses pembentukan harga
komoditi juga memperhitungkan faktor keuntungan atau margin yang
diharapkan. Semakin tinggi margin yang diharapkan dari perdagangan
komoditi akan semakin tinggi harga barang dalam pasar dan sebaliknya.
Selain itu, jalur distribusi komoditi yang diperdagangkan juga merupakan
faktor yang sangat menentukan dalam proses pembentukan harga. Dalam
jalur distribusi tersebut, pelaku ekonomi dapat bersifat ganda yaitu sebagai
pembeli sekaligus penjual yang mengharapkan margin tertentu dari aktivitas
ekonominya. Semakin panjang rentang jalur distribusi komoditi, semakin
tinggi harga yang diterima konsumen akhir. Dengan demikian, pengetahuan
dan mekanisme proses pembentukan harga komoditi yang diperdagangkan
dapat menjadi titik tolak pengambilan kebijakan dalam mengendalikan hargaharga terutama komoditi-komoditi yang menjadi pemicu inflasi seperti beras,
cabe, bawang merah, minyak goreng, ikan (laut dan air tawar), dan daging
ayam.
6.1. Pembentukan Harga Komoditi Beras
Harga beras berbeda menurut asal daerah. Beras solok berbeda
harganya dengan beras pariaman, beras pariaman berbeda harganya dengan
beras padang walaupun jenis beras tersebut sama. Perbedaan ini disebabkan
karena kualitas beras yang dihasilkan berbeda antara satu daerah dengan
derah lainnya. Walaupun demikian, proses pembentukan harga beras antara
beras solok, beras padang, dan beras pariaman tidak jauh berbeda. Harga
beras yang diterima konsumen akhir merupakan proses pembentukan harga
yang terjadi di tingkat pedagang pengecer, pedagang besar (agen), pedagang
pengumpul/huller, dan petani. Pengecer, pedagang besar (agen), dan
pedagang pengumpul dalam jalur distribusi perdagangan beras ini melakukan
aktivitas jual-beli. Artinya dalam perdagangan beras mereka membeli beras
kemudian menjual kembali dengan harapan mendapatkan tingkat keuntungan
atau margin tertentu dari aktivitas jual beli yang mereka lakukan.
6.1.1. Faktor Penentuan Harga Beli Beras Di tingkat Di Pedagang
Harga beli dalam jalur distribusi perdagangan komoditi beras
merupakan tahap awal proses pembentukan harga pasar beras di tingkat
pedagang. Bagi pedagang, harga beli beras ini merupakan komponen biaya
produksi utama dan dapat mempengaruhi turun-naiknya harga beras dalam
pasar. Semakin tinggi harga beras yang dibeli pedagang, semakin tinggi
harga beras yang akan diterima oleh konsumen akhir dan sebaliknya. Dengan
demikian, harga beli beras termasuk sebagai salah satu sumber pemicu inflasi
atau deflasi di tingkat pedagang.
Banyak faktor yang menentukan harga beli beras di tingkat pedagang.
Mekanisme pasar, pengaruh penjual, kesepakatan pedagang, dan lain-lainnya
adalah beberapa faktor yang menentukan harga komoditi yang dibeli oleh
pedagang dalam pasar. Faktor-faktor tersebut dapat berbeda di setiap jalur
distribusi perdagangan komoditi beras. Dalam arti kata, faktor penentu harga
58

beli pedagang pengecer belum tentu sama dengan pedagang besar (agen),
bergantung pada persepsi dan pengetahuan masing-masing pedagang dalam
jalur distribusinya.
Tabel

6.2.
Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor yang
Menentukan Harga Beli Dalam Jalur Distribusi Komoditi Beras
(persentase)
Pedagang
Pedagang
Pengecer
Besar
Pengumpul/Huller
Penentuan Harga
(Agen)
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak Ya
Mekanisme Pasar
35,7
64,3 66,7 33,3
50,0
50,0
Penjual
57,1
42,9 11,1 88,9
50,0
50,0
Kesepakatan Pedagang
14,3
85,7 33,3 66,7
25,0
75,0
Lainnya
0,0
100,0 11,1 88,9
0,0
100,0
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa mekanisme pasar adalah
faktor yang dominan dalam menentukan harga beli beras dalam pasar di
tingkat pedagang besar (agen) (66,7%) dan pedagang pengumpul/Huller
(50,0%).
Menurut
responden
pedagang
besar
dan
pedagang
pengumpul/huller, permintaan dan penawaran beras dalam pasar merupakan
mekanisme pasar yang menentukan harga beli komoditi oleh pedagang.
Berdasarkan pandangan mereka, apabila penawaran beras dalam pasar
meningkat, harga beras akan turun. Sedangkan jika penawaran beras
berkurang, harga beras akan naik dalam pasar.
Di tingkat pengecer, penjual memegang peranan penting dalam
penentuan harga beras yang mereka beli. Lebih dari separuh responden
pengecer atau 57,1% responden dari total responden pedagang pengecer
menyatakan bahwa harga beras yang mereka beli lebih ditentukan oleh
penjual, dalam hal ini adalah pedagang besar. Menurut pedagang pengecer
ini, mereka tidak akan dapat membeli beras untuk dijual jika tidak sepakat
dengan harga yang telah ditetapkan oleh pedagang besar. Kondisi ini juga
hampir sama dengan pedagang pengumpul/huller. Separuh dari total
responden pedagang pengumpul/huller (50,0%) juga menyatakan bahwa
harga beras/padi yang mereka beli ditentukan oleh penjual, dalam hal ini
adalah petani. Pada tataran ini, petani sebagai penjual padi/beras akan
membandingkan harga antara pedagang pengumpul/huller yang satu dengan
pedagang pengumpul/huller yang lain dan akan menjual beras/padi pada
pedagang yang membeli dengan harga tertinggi, walaupun perbedaan harga
hanya seratus rupiah per kilogram.
Faktor lain yang dapat menentukan harga beras yang dibeli oleh
pedagang baik pedagang pengecer, pedagang besar, dan pengumpul/huller
adalah kesepakatan pedagang. Faktor ini lebih dominan pada pedagang besar
atau agen (33,3 %) dibandingkan pedagang pengecer (14,3 %) dan
pedagang pengumpul (25,0 %). Menurut responden pedagang besar, harga
beli mereka pada
penjual, dalam hal ini bisa petani atau pedagang

59

pengumpul, merupakan kesepakatan diantara mereka. Mereka sepakat


membeli beras dengan harga yang telah ditentukan sesuai dengan
mekanisme pasar.
6.1.2.

Faktor-Faktor Penentuan Harga Jual Beras Di Tingkat


Pedagang Dan Petani

Disamping melakukan aktivitas pembelian beras, pedagang baik


pedagang pengecer, pedagang besar (agen), maupun pedagang
pengumpul/huller juga melakukan aktivitas penjualan. Beras yang mereka beli
dalam pasar, dijual kembali pada konsumen baik konsumen akhir
(masyarakat) maupun konsumen yang bertindak sebagai pedagang. Dalam
kondisi ini, pedagang tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan
petani yaitu sebagai produsen beras tetapi dengan proses produksi yang
berbeda. Dengan biaya produksi yang berbeda-beda, aktivitas penjualan
beras di setiap jalur distribusi perdagangan beras mulai dari petani hingga
pedagang pengecer memiliki efek pembentukan harga baru dalam pasar.
Proses pembentukan harga yang diterima konsumen di setiap jalur distribusi
perdagangan komoditi beras dapat ditentukan oleh beberapa faktor seperti
biaya produksi, tingkat keuntungan, dan lainnya.
Tabel 6.3. Faktor Yang Menentukan Harga Jual Beras di tingkat Petani Dan
Pedagang (Persentase)

No
1.

2.

3.

4.

Faktor
Penetapan
Harga

Kategori Pedagang
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Besar
Pengumpul
Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak

Total biaya
produksi
per unit +
tingkat
42,9 57,1 100,0 0,0 72,2
keuntungan
yang
diinginkan
Total biaya
produksi
per unit + 14,3 85,7
0,0 100,0 22,2
persentase
keuntungan
Harga
tertinggi
yang
14,3 85,7 25,0 75,0 27,8
berlaku
dalam
pasar
Dispesifikasi 0,0 100,0 0,0 100,0 27,8

Petani
Ya

Tidak

27,8

66,7

33,3

77,8

100,0

72,2

46,7

53,3

72,2

20,0

80,0

60

oleh
pemesan
5
Lainnya
35,7 64,3
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlahan disetiap blokkategoripedagang dan petani adalah 100.0
Berdasarkan hasil survei lapangan diperoleh gambaran bahwa faktor
penting bagi pedagang dalam menentukan harga jual adalah biaya produksi
per unit ditambah dengan dengan tingkat keuntungan yang diinginkan.
Menurut responden pedagang baik pedagang pengecer (42,9%), pedagang
besar (100,0%), dan pedagang pengumpul (72,2%) mengemukakan bahwa
keuntungan yang diinginkan bergantung pada tawar menawar dengan
pembeli. Dalam tawar menawar ini, pedagang telah menetapkan keuntungan
minimum yang diinginkan. Pedagang tidak akan menjual beras jika harga
yang ditawar pembeli tidak mencerminkan keuntungan minimum yang
diinginkan.
Selain faktor biaya per unit dengan tingkat keuntungan yang diinginkan,
penetapan harga jual beras oleh pedagang juga berdasarkan pada harga
tertinggi yang berlaku dalam pasar dan dispesifikasi oleh pemesan. Tetapi
penetapan harga berdasarkan kedua faktor ini tidak dominan bagi pedagang
baik pedagang pengecer, pedagang pesar, maupun pedagang pengumpul.
Bahkan dalam jalur distribusi pedagangan beras ini, penetapan harga
berdasarkan spesifikasi pemesan hanya terjadi pada pedagang pengumpul.
Menurut responden pedagang pengumpul, jika konsumen mengambil dalam
jumlah yang banyak maka harga jual bisa lebih rendah dibandingkan
sebelumnya. Selain itu, hubungan antara penjual dan konsumen yang telah
terbentuk dengan baik dapat menyebabkan harga dapat dispesifikasi oleh
pemesan (konsumen). Walaupun penetapan harga jual beras oleh pedagang
berdasarkan harga tertinggi dan spesifikasi pemesan, pedagang tetap
mempertimbangkan keuntungan dan biaya produksi beras yang dijulanya.
Hampir sama dengan level pedagang, penetapan harga jual yang lebih
dominan di tingkat petani adalah mempertimbangkan total biaya produksi per
unit dan keuntungan yang diinginkan (66,7%). Harga pupuk merupakan
faktor utama yang menjadi pertimbangan petani dalam penentuan harga jual
padi/beras. Selain itu, sekitar 46,7% petani menetapkan harga jual beras
berdasarkan harga tertinggi yang berlaku dalam pasar. Dalam kondisi ini,
petani akan selalu membandingkan harga dari satu pedagang ke pedagang
lainnya. Petani akan menjual padi/beras pada pedagang yang menawarkan
harga tertinggi walaupun perbedaannya hanya seratus rupiah/Kg.

6.1.3. Volatilitas Harga Komoditi Beras


Harga beras dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan harga
beras tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti perubahan biaya
produksi, kurang atau tidaknya supply beras dalam pasar, naik atau turunnya
permintaan beras dalam pasar, dan lainnya. Namun, dari waktu ke waktu,
faktor perubahan harga yang dapat menyebabkan inflasi/deflasi tidak sama.
61

Pada waktu tertentu, perubahan harga beras lebih disebabkan kenaikan biaya
produksi, tetapi pada waktu lainnya perubahan harga beras lebih disebabkan
oleh perubahan ketersediaan beras dan perubahan permintaan dalam pasar.
Jika dilihat kondisi harga beras saat survei dilakukan, harga beras
cenderung mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya. Kondisi ini
tercermin pada persepsi responden terhadap kondisi perkembangan harga
beras seperti yang tergambar pada tabel dibawah ini.
Tabel 6.4.
Distribusi Responden Menurut
Perkembangan Harga Beras Pada Saat
Survei Dilakukan (Persentase)
Kondisi Harga Saat ini
Kategori
Pedagang Meningkat Menurun stabil
Pengecer
33,3
5,6
Besar
8,3
2,8
Pengumpul
44,4
5,6
Total
86,1
5,6
8,3
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008

Total
38,9
11,1
50,0
100,0

Hasil olahan data survei lapangan memperlihatkan bahwa sekitar


86,1% dari total responden pedagang baik pedagang pengecer, perantara,
maupun pengumpul menyatakan bahwa harga beras cenderung mengalami
peningkatan dibandingkan sebelumnya. Hanya 5,6% dari total responden
pedagang beras yang menyatakan harga menurun. Persepsi menurunnya
harga beras pada saat survei dilakukan hanya terjadi di pedagang pengecer.
Disamping iitu, sekitar 8,3% dari total responden pedagang, dalam hal ini
pedagang besar dan pedagang pengumpul, menyatakan harga beras stabil.
Menurut responden pedagang beras, meningkatnya harga beras pada
saat survei dilakukan lebih disebabkan kelangkaan beras yang terjadi di
pasar. Berkurangnya penawaran beras/padi merupakan faktor dominan yang
menyebabkan harga beras meningkat pada saat ini dibandingkan faktorfaktor lain seperti faktor kenaikan biaya produksi, permintaan beras naik, dan
faktor lainnya seperti belum panennya petani.
Tabel 6.5.
Distribusi Responden Menurut Alasan
Meningkatnya Harga Beras Pada Saat Survei
Dilakukan (Persentase)
No

1.
2.
3.

Faktor
Kenaikan
Harga

Kategori Pedagang
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Besar(agen) Pengumpul
Ya Tidak
Ya
Tidak Ya Tidak

Biaya
produksi
0,0 100,0 33,3
naik
Kelangkaan
83,3 16,7 100,0
beras
Permintan
16,7 83,3 33,3

66,7

6,3

93,7

0,0

93,7

6,3

66,7

18,8

81,2
62

Beras Naik
4. Lainnya
0,0 100,0 5,6
94,4 25,0 75,0
Sumber :Olahan Data Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah disetiap blok kategori pedagang adalah
100.0
Tabel diatas mengimplikasikan bahwa naiknya harga beras yang dapat
memicu inflasi pada saat ini lebih disebabkan karena kelangkaan beras di
pasar. Baik pedagang pengecer (83,3%), pedagang besar (100,0%), maupun
pedagang pengumpul (93,7%) menyatakan bahwa meningkatnya harga beras
lebih disebabkan karena faktor kelangkaan beras dalam pasar. Walaupun
persepsi pedagang juga berbeda tentang faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kenaikan harga beras, namun kurangnya supply beras
merupakan faktor yang lebih dominan dalam menaikkan harga beras pada
saat survei dilakukan dibandingkan dengan kenaikkan biaya produksi dan
permintaan beras dalam pasar.
Menurut responden pedagang, buruknya cuaca dan curah hujan yang
tinggi pada bulan oktober hingga september menyebabkan aktivitas
penggilangan beras berkurang sehingga produksi beras berkurang. Selain itu,
dari pantauan lapangan, berkurangnya stok beras di pasar pada saat survei
dilakukan juga disebabkan karena petani di daerah Pariaman, Solok, dan
Padang belum masa panen melainkan masih dalam taraf habis masa tanam
padi. Kondisi ini juga menyebabkan beras di pasar menjadi berkurang,
sementara beras yang beredar di kota Padang banyak disupply dari daerah
tersebut.
6.1.4. Margin Pembentukan Harga Komoditi Beras
Harga dan margin komoditi beras merupakan dua variabel yang tidak
dapat dipisahkan oleh agen-agen ekonomi yang bergerak dalam perdagangan
beras. Pembentukan harga di setiap jalur distribusi perdagangan beras
berimplikasi pada margin yang diperoleh pedagang/petani. Dalam kondisi ini,
margin yang diperoleh pedagang/petani juga merupakan komponen utama
pembentukan harga komoditi yang akan diterima konsumen akhir.
Nilai margin yang diterima pedagang/petani merupakan selisih antara
harga jual dari setiap jalur distribusi atau merupakan penjumlahan antara
laba yang diperoleh dengan total biaya produksi selain biaya pembelian
komoditi oleh pedagang. Di tingkat pedagang, biaya perdagangan yang
dikeluarkan berupa harga beli komoditi ditambah dengan biaya-biaya lainnya
seperti biaya transportasi, biaya bongkar muat dan biaya lainnya. Sedangkan
biaya yang dikeluarkan petani berupa biaya produksi dalam menghasilkan
padi seperti pupuk, bibit, upah tanam, dan lain-lainnya.
Disamping biaya produksi, besar-kecilnya margin yang diterima
pedagang/petani juga bergantung pada laba yang diterima oleh pedagang.
Semakin besar selisih harga jual setiap jalur distribusi perdagangan, semakin
besar margin yang diterima dalam jalur distribusi tersebut. Dan sebaliknya.
Semakin rendah selisih antara harga jual setiap jalur distribusi perdagangan,
maka semakin kecil margin yang diterima dalam jalur distribusi perdagangan
tersebut. Besar-kecilnya margin yang diterima pedagang memiliki implikasi
63

pada tinggi-rendahnya harga beras yang diterima konsumen akhir. Hal ini
disebabkan juga karena penjumlahan margin setiap jalur distribusi
perdagangan komoditi dengan harga jual petani/peternak merupakan harga
jual ditingkat pengecer. Harga ditingkat pengecer merupakan harga yang
diterima oleh konsumen akhir. Dengan demikian, pada tataran ini margin
yang diterima pedagang juga mempengaruhi daya beli masyarakat.
Perubahan daya beli masyarakat merupakan cerminan inflasi/deflasi.
Tingginya margin disetiap jalur distribusi perdagangan menyebabkan
tingginya harga beras di konsumen akhir. Kondisi menurun daya beli
masyarakat. Dan Sebaliknya, rendahnya margin disetiap jalur distribusi
perdagangan berasa menyebabkan rendahnya harga beras. Kondisi ini akan
meningkat daya beli masyarakat.
Berdasarkan pengolahan data lapangan dan data total biaya produksi
pada Bab sebelumnya memperlihatkan bahwa margin pembentukan harga
dalam jalur komoditi perdagangan beras berkisar antara Rp. 1020 perkilogram
beras hingga Rp. 2.522 per kilogram beras. Rata-rata margin yang diterima
pedagang dan petani dalam jalur distribusi komoditi beras dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 6.6.
Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin
Pembentukan Harga
Dalam Jalur Distribusi Komodit Beras

No
1.

Harga Jual dan Biaya


Harga Pengecer Pasar
Raya
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya Lain

2.

3.

Laba
Harga Pengecer Pasar
Siteba
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain
Laba
Harga Pedagang Besar
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain
Laba

Nilai
(Rp/Kg)

Margin
(Rp/Kg)

8.450

1.130

% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
13,4

7.438
7.320
118
1.012
8.395

1.075

12,8

7.416
7.320
96
979
7.320
6.604
6.300

1.020

12,1

12,2

304
716

64

4.

Harga Pedagang
Pengumpul/Huller
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain

6.300

2.522

29,8

30,0

3.943
3.778

165
Laba
2.357
5. Harga Petani
3.778
Total Biaya Produksi
1.848
Laba
1.930
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008

Tabel diatas memperlihatkan bahwa margin pembentukan harga beras


berbeda disetiap jalur distribusi perdagangan. Margin terbesar dalam jalur
distribusi perdagangan komoditi beras terbentuk pada jalur distribusi
pedagang pengumpul atau huller (29,8 % untuk jalur distribusi pasar raya
dan 30,0 % untuk jalur distribusi pasar siteba). Sementara, margin
perdagangan dalam jalur distribusi lainnya (pedagang pengecer baik Pasar
Raya maupun Siteba dan pedagang besar) tidak jauh berbeda. Kondisi ini
memberikan implikasi bahwa pedagang pengumpul/huller adalah jalur
distribusi perdagangan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap
pembentukan harga beras yang diterima konsumen akhir.
Besarnya margin yang diterima pedagang pengumpul dibandingkan
dengan pedagang lain disebabkan karena pada umumnya pedagang
pengumpul memiliki huller sendiri. Dalam hal ini, pedagang pengumpul
membeli padi dan mengolah sendiri padi tersebut menjadi beras. Perbedaan
harga padi dan beras yang cukup signifikan menyebabkan laba yang
diperoleh pedagang pengumpul/heller dalam jalur distribusi perdagangan
komoditi beras lebih besar dibandingkan pedagang pengecer dan pedagang
besar.
6.2.

Pembentukan Harga Cabe


Harga cabe dapat berubah dengan cepat. Harga cabe hari ini bisa tidak
sama dengan harga cabe pada hari esoknya atau hari sebelumnya.
Perubahan harga cabe yang cepat tersebut lebih disebabkan karena
perubahan harga pasar cabe lebih dominan ditentukan oleh perubahan cuaca
yang dapat menyebabkan perubahan permintaan dan penawaran dalam
pasar. Namun, pembentukan harga cabe dalam besar, dalam hal ini harga
yang diterima oleh konsumen akhir, juga ditentukan oleh aktivitas jual beli
pedagang dalam pasar. Faktor-faktor yang menentukan harga beli cabe dari
pedagang dan faktor-faktor yang menentukan harga jual kembali oleh
pedagang, serta margin yang diperoleh oleh pedagang/petani merupakan
proses yang dapat menentukan harga yang diterima oleh konsumen akhir.
6.2.4.

Faktor-Faktor Penentuan Harga Beli Cabe Di tingkat Di


Pedagang

65

Harga beli cabe oleh pedagang merupakan proses awal pembentukan


harga cabe di tingkat pedagang. Hal ini disebabkan karena harga beli cabe
oleh pedagang merupakan komponen biaya produksi di tingkat pedagang.
Jika harga beli cabe oleh pedagang tinggi maka harga beras yang diterima
konsumen akhir juga tinggi. Sebaliknya, jika harga beli cabe oleh pedagang
rendah maka harga cabe yang diterima oleh konsumen akhir juga rendah.
Secara umum, ada beberapa faktor yang dapat menentukan harga beli
cabe di tingkat pedagang. Data survei lapangan menunjukkan bahwa
mekanisme pasar, faktor penjual atau penetapan harga beli oleh penjual, dan
kesepakatan pedagang merupakan beberapa faktor yang dapat menentukan
harga cabe yang di beli pedagang dalam pasar.
Tabel 6.7. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor yang
Menentukan Harga Beli Dalam Jalur Distribusi Komoditi
Cabe (persentase)
Pedagang
Pedagang
Besar
Pengumpul
Penentuan Harga
Ya
Tidak
Ya Tidak Ya Tidak
Mekanisme Pasar
36,8 63,2 20,0 80,0 66,7
33,3
Penjual
52,6 47,4 80,0 20,0 16,7
83,3
Kesepakatan Pedagang
21,1 78,9 0,0 100,0 16,7
83,3
Lainnya
5,3 94,7 0,0 100,0 0,0
100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah disetiap blok kategori pedagang adalah 100.0
Pengecer

Di tingkat pedagang pengecer, penjual adalah faktor yang dominan


dalam menentukan harga komoditi yang dibelinya dalam pasar (52.6%).
Menurut responden pengecer, kuatnya pengaruh penjual dalam penentuan
harga beli cabe tercermin pada perilaku penjual itu sendiri dimana penjual
bisa menawarkan harga yang berbeda-beda pada konsumennya. Dalam hal
ini, pedagang tidak membeli cabe pada satu penjual saja tetapi tergantung
pada harga yang ditawarkan oleh penjual. Bahkan dalam hitungan menit
harga cabe yang dijual oleh penjual bisa berubah dengan cepat bergantung
pada persepsi dari pedagang. Disamping penjual, harga cabe yang dibeli
pedagang pengecer juga ditentukan oleh mekanisme pasar atau interaksi
antara konsumen dan produsen. Sekitar 36,8 % pedagang pengecer
menyebutkan bahwa jika permintaan konsumen meningkat maka harga cabe
juga akan meningkat. Sebaliknya jika petani cabe mengalihkan fungsi
lahannya pada tanaman lain maka produksi cabe akan berkurang. Kondisi ini
berimplikasi pada kenaikan harga cabe di pasar. Mekanisme pasar dalam
menentukan harga beli cabe oleh pedagang sangat dominan pada pedagang
pengumpul. Sekitar 66,7% responden pedagang pengumpul menyatakan
bahwa mekanisme pasar sangat menentukan harga cabe yang mereka beli di
pasar dibandingkan penentuan harga beli oleh penjual (16,7%)
Hampir sama dengan pengecer, menurut pedagang besar harga beli
cabe di tingkat pedagang juga lebih dominan ditentukan oleh penjual
dibandingkan dengan mekanisme pasar. Sekitar 80,0% pedagang besar

66

menyatakan bahwa harga cabe yang dibelinya ditentukan oleh penjual.


Penjual tidak menjual cabenya pada satu pedagang besar saja dan memilih
menjual produknya pada pedagang yang mau membeli dengan harga
tertinggi.
Disamping itu, faktor lain yang dapat menentukan harga cabe yang
dibeli pedagang dalam pasar adalah kesepakatan pedagang. Tetapi faktor ini
bukanlah faktor dominan dalam menentukan harga beli cabe. Hanya sekitar
21,1% dari total responden pengecer dan 16,7% dari total pedagang
pengumpul yang menyatakan bahwa penentuan harga beli cabe ditentukan
oleh kesepakatan pedagang. Dalam hal ini sesama pedagang sepakat dalam
menentukan harga beli cabe dalam pasar. Sesama pedagang secara langsung
sepakat menjual cabe pada konsumennya pada harga yang telah disepakati.
Pada hakekatnya harga kesepakatan ini adalah harga berdasarkan mekanisme
pasar.
6.2.2. Faktor-Faktor Penentuan
Pedagang Dan Petani

Harga

Jual Cabe Di

Tingkat

Cabe yang dibeli oleh pedagang dalam pasar akan dijual kembali pada
konsumen yang membutuhkannya. Pedagang pengecer menjual produknya
pada konsumen akhir, pedagang perantara menjual cabenya pada pedagang
pengecer, pedagang pengumpul menjual produknya pada pedagang
perantara, dan petani menjual produknya pada pedagang pengumpul. Setiap
jalur distribusi perdagangan cabe tersebut membentuk harga jual baru
dengan harga beli, biaya transportasi, biaya bongkar muat, dan biaya lainnya
sebagai biaya produksi di tingkat pedagang. Sedangkan biaya pupuk
pestisida, bibit, biaya tanam dan lainnya adalah biaya yang dipertimbangkan
petani dalam menentukan harga jual cabe dalam pasar.

Tabel

N
o
1.

6.8. Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor Yang


Menentukan Harga Jual Cabe di tingkat Pedagang Dan Petani
(Persentase)
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Petani
Faktor
Besar
Pengumpul
Penetapan
Harga
Ya Tidak Ya Tidak
Ya
Tidak Ya Tidak
Total biaya
produksi
per unit +
84,
80,
100,
36,
tingkat
15,8
20,0
0,0
63,6
2
0
0
4
keuntunga
n
yang
diinginkan

67

2.

3.

4.
5

Total biaya
produksi
per unit +
persentase
keuntunga
n
Harga
tertinggi
yang
berlaku
dalam
pasar
Dispesifikas
i
oleh
pemesan
Lainnya

10,
5

89,5

20,
0

80,0

0,0

100,
0

0,0

100,
0

15,
8

84,2

0,0

100,
0

0,0

100,
0

72,
7

27,3

0,0

100,
0

0,0

100,
0

0,0

100,
0

13,
6

86,4

100,
100,
100,
0,0
0,0
0,0
0
0
0
Sumber :Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah disetiap blok kategori pedagang adalah 100.0
0,0

0,0

Data olahan survei untuk komoditi cabe memperlihatkan bahwa total


biaya produksi per unit ditambah dengan tingkat keuntungan yang diinginkan
merupakan faktor yang dominan dalam menentukan harga jual cabe di
tingkat pedagang, baik pedagang pengecer, pedagang besar maupun
pedagang pengumpul. Disamping faktor ini, penetapan harga jual dikalangan
pedagang juga berdasarkan total biaya produksi per unit ditambah dengan
persentase keuntungan, harga tertinggi yang berlaku dalam pasar,
dispesifikasi oleh pemesan. Tetapi faktor-faktor tersebut tidak dominan dalam
penetapan harga jual cabe di pasar.
Berbeda dengan pedagang, penetapan harga jual cabe yang dipanen
petani lebih dominan berdasarkan harga tertinggi yang berlaku dalam pasar.
Lebih dari 70% responden petani menetapkan harga jual dengan
memperhatikan harga tertinggi. Menurut petani cabe daerah alahan panjang,
mereka akan menjual cabenya pada pedagang yang berada disekitarnya
dengan membandingkan harga tawar tertinggi antara satu pedagang dengan
pedagang lainnya. Petani akan selalu menjual hasil panennya pada pedagang
yang menawarkan harga tertinggi. Disamping itu, sama seperti pedagang,
petani juga menetapkan harga jual cabe berdasar biaya produksi per unit dan
tingkat keuntungan yang diinginkan serta berdasarkan spesifikasi pemesan.
Tetapi kedua faktor ini tidak dominan dalam penetapan harga jual cabe hasil
panennya di pasar.
6.2.3. Volatilitas Harga Komoditi Cabe
Sama seperti komoditi beras, harga cabe juga dapat berubah dari
waktu ke waktu. Bahkan perubahan harga lebih cepat terjadi pada komoditi
cabe. Menurut responden pedagang dan petani, harga cabe hari jumat dapat
llebih rendah atau lebih tinggi dari harga cabe hari minggu. Kondisi ini secara
llangsung terlihat pada survei lapangan untuk komoditi cabe. Perbedaan
68

survei satu minggu antara pedagang pengecer dengan pedagang pengumpul


dan satu minggu lagi antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul
dan petani, terlihat siklus perubahan harga cabe yang cepat dalam pasar.
Tabel 6.9. Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga
Cabe Pada Saat Saat Survei Dilakukan ( Persentase)
Kondisi Perkembangan Harga
Total
Pedagang
Meningkat Menurun Fluktuasi stabil
Pengecer
23,3
23,3
3,3
13,3
63,3
Pengumpul
6,7
10,0
3,3
0,0
20,0
Besar
0,0
16,7
0,0
0,0
16,7
Total
30,0
50,0
6,7
13,3 100,0
Sumber : Penelitian lapangan, 2008
Pada awal survei dilapangan, harga cabe di pasar sedang mengalami
penurunan. Sekitar 50,0% persen dari total responden pedagang baik
pedagang pengecer (23,3%), pedagang pengumpul (10,0%), maupun
pedagang besar (16,7%) menyatakan bahwa harga cabe di pasar sedang
mengalami penurunan. Menurut responden, faktor yang menyebabkan
menurunnya harga cabe di pasar lebih disebabkan oleh faktor kelebihan
penawaran dan permintaan cabe yang menurun dalam pasar.
Tabel 6.10. Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor
Yang Menyebabkan Menurunnya Harga Cabe
Pada Saat Survei Dilakukan (Persentase)
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Faktor
Besar
Pengumpul
No Penetapan
Harga
Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak
1. Biaya
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
produksi
turun
2. Kelebihan 71,4 28,6 80,0 20,0 66,7 33,3
Penawaran
3. Permintan 42,9 57,1 40,0 60,0 33,3 66,7
cabe turun
4. Lainnya
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah disetiap blok kategori pedagang adalah
100.0
Menurut responden pedagang, kelebihan penawaran cabe di Sumatera
Barat di pasar disebabkan karena banyak cabe dari luar Sumatera Barat
seperti cabe Brebes (Jawa), khususnya kota Padang. Kelebihan penawaran
sebagai akibat banyak masuknya cabe dari pulau Jawa tersebut menekan
harga cabe di Sumatera Barat. Menurut pedagang, kondisi ini pula yang
sering menurunkan harga cabe yang kadangkala dapat menekan petani cabe
di Sumatera Barat.

69

Disamping harga cabe menurun, responden terutama responden di tingkat


pengecer merasakan perkembangan harga cabe setelah lebaran idul fitri
stabil. Tetapi pedagang pengecer yang menyatakan harga stabil tidak
dominan hanya sekitar 13,3% dari total responden pengecer. Menurut
responden ini, harga cabe yang dijualnya setelah hari lebaran tidak menaik
dan tidak menurun. Kondisi ini disebabkan karena permintaan dan penawaran
cabe yang dijualnya tidak menaik dan tidak juga menurun setelah hari
llebaran idul fitri.
Selanjutnya, pertambahan responden pengecer dan pedagang pengumpul
dalam jalur distribusi perdagangan komoditi cabe pada minggu berikutnya
telah memperlihat harga cabe yang meningkat dalam pasar. Peningkatan
harga cabe disebabkan karena terjadinya kelangkaan cabe dalam pasar.
Tabel 6.11. Distribusi Responden Berdasarkan FaktorFaktor Yang Menyebabkan Meningkatnya Harga
Cabe Saat survei Dilakukan (Persentase)
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Faktor
Besar
Pengumpul
No Penetapan
Harga
Ya
Tidak Ya Tidak Ya
Tidak
1. Biaya
produksi
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
naik
2. Kelangkaan
100,0 0,0 0,0 100,0 100,0 0,0
cabe
3. Permintan
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
cabe Naik
4. Lainnya
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0
Sumber :Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah disetiap blok kategori pedagang adalah
100.0
Berdasarkan tabel diatas, seluruh responden pedagang menyatakan
bahwa kenaikan harga cabe disebabkan karena menurun tajamnya
penawaran cabe yang masuk ke Sumatera Barat, khususnya kota Padang.
Kondisi menyebabkan terjadi kelangkaan cabe di Sumatera Barat sehingga
harga cabe meningkat dibandingkan sebelumnya. Langkanya cabe di
Sumatera Barat menurut responden sehubungan dengan tidak masuknya
cabe dari luar Jawa karena gangguan cuaca yang menyebabkan tidak
panennya petani di Jawa. Sementara petani cabe di Alahan Panjang yang
juga merupakan sumber utama cabe di Sumatera Barat juga baru mulai
panen dan belum banyak memasok cabe ke dalam pasar.
6.2.4. Margin Pembentukan Harga Komoditi Cabe
Perubahan harga cabe yang cepat dalam pasar merupakan salah satu
kondisi yang mempengaruhi margin yang diterima petani. Jika harga cabe
tinggi maka keuntungan petani juga akan besar sebaliknya jika harga cabe
turun maka keuntungan petani juga akan rendah. Dalam siklus perubahan

70

harga tersebut, petani bisa mendapatkan keuntungan yang rendah dalam


periode satu kali panen, mendapatkan keuntungan tinggi pada periode panen
lain, bahkan bisa merugi dalam periode panen yang lainnya.
Kondisi yang dialami petani berbeda dengan pedagang pengecer.
Menurut responden pedagang, walaupun harga pasar rendah mereka tidak
akan rugi. Hal ini disebabkan karena cabe merupakan kebutuhan pokok
masyarakat yang permintaannya relatif stabil. Dengan permintaan cabe yang
relatif stabil, jika harga cabe turun maka pedagang juga mengeluarkan biaya
produksi yang rendah dan tetap dapat menetapkan keuntungan tertentu dari
perdagangan yang mereka lakukan. Pedagang dapat menyesuaikan jumlah
kuantitas cabe yang dibeli dan dijualnya sesuai dengan kondisi harga cabe
yang berlaku dalam pasar. Kondisi ini menyebabkan margin yang diterima
oleh pedagang relatif stabil dari hari ke hari.

Tabel 6.12.
Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan
Margin Pembentukan Harga Dalam Jalur Distribusi
Komodit Cabe Merah

No
1.

2.

3.

4.

Harga Jual dan Biaya


Harga Pengecer Pasar
Raya
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya Lain
Laba
Harga Pengecer Pasar
Siteba
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain
Laba
Harga Pedagang
Perantara
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain
Laba
Harga Pedagang
Pengumpul
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya lain

% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
22,5

Nilai
(Rp/Kg)

Margin
(Rp/Kg)

12.900

2.900

10.545
10.000
545
2.355
12.900

2.900

10.733
10.000
733
2.167
10.000

1.187

9,2

9,2

8.905
8.813
92
1.095
8.813

1.667

12,9

12,9

22,5

7.196
7.146
50

71

Laba
1.617
5. Harga Petani
7.146
Total Biaya Produksi
6.427
Laba
719
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008

Data olahan survei terhadap margin pembentukan harga yang diterima


oleh pedagang menunjukkan bahwa margin yang diterima responden
pedagang baik pedagang pengecer, perantara, maupun pengumpul berkisar
antara rata-rata Rp.1,187/Kg hingga Rp. 2,900/Kg atau berkisar antara 9,2%
hingga 22,5% dari harga yang diterima oleh konsumen akhir. Margin terbesar
dalam jalur distribusi perdagangan cabe adalah pedagang pengecer. Secara
rata-rata, margin pedagang pengecer baik pedagang pengecer pasar raya
maupun pengecer pasar Siteba adalah Rp. 2,900 /Kg atau 22,5 % dari harga
yang diterima oleh konsumen akhir. Kondisi ini memperlihatkan bahwa
pedagang pengecer merupakan jalur distribusi yang memberikan kontribusi
terbesar terhadap pembentukan harga cabe.
Besarnya margin yang diterima pedagang pengecer disebabkan karena
laba per kilogram yang diperoleh pedagang pengecer baik pedagang
pengecer pasar raya maupun pengecer pasar Siteba lebih besar dibandingkan
jalur distribusi perdagangan lainnya. Sementara, petani adalah jalur distribusi
yang mendapatkan laba terendah. Pada saat survey dilakukan, laba per
kilogram yang diterima petani cabe hanya Rp. 719. Namun, menurut petani,
laba yang mereka peroleh dalam perdagangan cabe tidak selalu rendah
dibandingkan dengan jalur distribusi lainnya. Jika harga cabe dalam pasar
meningkat maka laba yang diperoleh petani juga akan meningkat bahkan
lebih besar dibandingkan dengan laba yang diperoleh oleh pengecer. Dengan
kata lain, dalam siklus perubahan harga cabe, petani juga bisa mendapatkan
laba yang rendah dalam periode satu kali panen, mendapatkan laba tinggi
pada periode panen panen lain, bahka bisa merugi dalam periode panen yang
lainnya.
6.3. Pembentukan Harga Bawang Merah
Karakteristik perdagangan bawang merah hampir sama dengan cabe.
Bagi pedagang, cabe dan bawang merupakan barang tidak dapat dipisahkan.
Hampir setiap pedagang baik pedagang pengecer, pengumpul maupun besar
memperjualbelikan komoditi bawang dan cabe. Begitu juga dikalangan petani,
antara bawang dan cabe dapat menjadi tanaman yang bersifat tumpang sari.
Artinya tanaman cabe diselingi dengan menanam bawang. Cabe dan bawang
juga merupakan tanaman muda tetapi karakteristik bawang lebih tahan lama
dibandingkan cabe. Semakin kering bawang semakin bagus kualitasnya, dan
semakin tinggi harga bawang di pasaran. Namun, pembentukan harga
bawang merah di pasar juga ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi harga beli, biaya lainnya, harga jual dari pedagang, dan
margin yang diterima oleh pedagang bawang merah hingga petani sebagai
produsen bawang merah.

72

6.3.1. Faktor-Faktor Penentuan Harga Beli Bawang Di tingkat Di


Pedagang
Harga bawang juga berbeda menurut asalnya. Bawang merah yang
dikenal dengan bawang kampung lebih tinggi harganya dibandingkan dengan
harga bawang yang disebut dengan bawang jawa. Perbedaannya menurut
responden karena kualitas bawang itu sendiri. Bawang merah lebih tahan
lama dan tidak cepat busuk sementara bawang Jawa lebih cepat busuk
akibatnya harganya lebih rendah dibandingkan dengan harga bawang merah.
Walaupun demikian, pembentukan harga bawang merah dengan
bawang jawa tidak jauh berbeda. Harga bawang yang diterima konsumen
akhir merupakan proses pembentukan harga yang terjadi di tingkat di tingkat
pedagang pengecer, pedagang perantara, pedagang pengumpul dan petani
bawang. Pengecer, pedagang perantara, dan pedagang pengumpul dalam
jalur distribusi perdagangan bawang juga melakukan aktivitas jual-beli.
Artinya pedagang akan membeli bawang pada petani atau penjual
lainnya, kemudian menjual kembali bawang tersebut pada konsumennya
dengan tingkat keuntungan tertentu yang diharapkan. Dalam aktivitas
pembelian tersebut harga bawang yang dibeli pedagang ditentukan oleh
beberapa faktor antara lain mekanisme pasar, pengaruh penjual terhadap
harga beli pedagang, serta kesepakatan pedagang dalam menentukan harga
bawang.
Tabel 6.13. Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor yang
Menentukan Harga Beli Bawang Merah oleh Pedagang
(persentase)
Kategori Pedagang
Pedagang
Pedagang
Pengecer
Penentuan Harga Beli
Besar
Pengumpul
Tidak
Ya Tidak Ya Tidak Ya
Mekanisme Pasar
38.7 61.3 50.0 50.0 60.0 40.0
Penjual
58.1 41.9 25.0 75.0 80.0 20.0
Kesepakatan Pedagang
9.7 90.3 25.0 75.0
0.0 100.0
Lainnya
6.5 93.5 0.0 100.0 0.0 100.0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
Data olahan survei lapangan menunjukan bahwa pembentukan harga
beli bawang di kalangan pedagang lebih dominan ditentukan oleh penjual dan
mekanisme pasar. Di tingkat pengecer, sekitar 58,1% pengecer dari total
responden pedagang menyatakan bahwa harga bawang yang mereka beli
ditentukan oleh penjual. Sama dengan komoditi cabe, penjual bawang dapat
menentukan harga jual mereka sesuai dengan kondisi pada saat itu.
Pedagang pengecer tidak akan bisa membeli bawang yang akan mereka jual
diluar harga yang telah ditetapkan penjual. Begitu juga di tingkat pedagang
pengumpul, sekitar 80,0% total responden pedagang pengumpul menyatakan
bahwa harga bawang yang mereka beli sangat ditentukan oleh penjual dalam
hal ini adalah petani.

73

Disamping penetapan harga yang ditentukan oleh penjual, sebagian


responden pedagang menyatakan bahwa harga bawang yang mereka beli
juga ditentukan oleh mekanisme pasar. Baik pedagang pengecer (38,7%),
pedagang pengumpul (60,0%) maupun pedagang besar (50,0%) menyatakan
bahwa pelaku-pelaku perdagangan bawang hanya menerima harga dari
mekanisme pasar. Semakin banyak bawang semakin rendah harga bawang
yang mereka beli. Sebaliknya jika penawaran bawang berkurang di pasar
maka bawang yang mereka beli akan naik harganya. Faktor lain yang dapat
menentukan harga bawang yang mereka beli adalah bahwa kesepakatan
pedagang. Tetapi faktor ini tidak dominan dalam penentuan harga bawang
yang dibeli oleh pedagang. Hanya sekitar 25,0% dari total responden
pedagang besar dan 9,7% dari total pedagang pengecer menyatakan bahwa
harga bawang yang mereka beli ditentukan oleh kesepakatan pedagang.
Dalam kesepakatan ini, pedagang sepakat untuk membeli pada harga sesuai
mekanisme pasar.
6.3.2. Faktor-Faktor Penentuan Harga Jual Bawang Merah Di
Tingkat Pedagang Dan Petani
Sama seperti pedagang beras dan cabe, harga yang di terima oleh
konsumen akhir adalah harga jual yang ditetapkan oleh pedagang pengecer.
Harga yang diterima oleh konsumen akhir di pasar merupakan mata rantai
proses pembentukan harga yang dimulai dari petani, pedagang pengumpul,
pedagang perantara, pedagang pengecer, dan akhirnya konsumen. Semakin
panjang mata rantai distribusi komoditi semakin tinggi harga yang diterima
konsumen, dan sebaliknya. Banyak faktor yang menentukan harga jual dalam
distribusi perdagangan komoditi bawang. Kadangkala dalam setiap jalur
distribusi perdagangan, faktor pembentukan harga jual sama sama, tetapi
kadangkala juga bisa tidak sama.
Tabel

N
o
1.

2.

6.14. Distribusi Responden Menurut Faktor-Faktor Yang


Menentukan Harga
Jual Bawang Merah di tingkat Petani Dan Pedagang
(Persentase)
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Petani
Faktor
Besar
Pengumpul
Penetapan
Harga
Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak
Total biaya
produksi
per unit +
93,
100,
100,
54,
tingkat
6,5
0,0
0,0
45,5
5
0
0
5
keuntungan
yang
diinginkan
Total biaya
100,
100,
100,
produksi
3,2 96,8
0,0
0,0
0,0
0
0
0
per unit +

74

3.

4.
5

persentase
keuntungan
Harga
tertinggi
yang
berlaku
dalam
pasar
Dispesifikas
i
oleh
pemesan
Lainnya

3,2

96,8

0,0

100,
0

0,0

100,
0

45,
5

54,5

0,0

100,
0

20,0

80,0

0,0

100,
0

18,
2

81,8

0,0

100,
0

100,
100,
100,
0,0
0,0
0
0
0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
0,0

Total biaya produksi per unit dan tingkat keuntungan yang diinginkan
merupakan faktor utama yang menjadi penentu dalam penentuan harga jual
bawang di tingkat pedagang. Secara rata-rata hampir dari semua responden
dalam hal ini pedagang pengecer, pedagang perantara, dan pedagang
pengumpul menetapkan harga jual bawang mereka berdasarkan biaya per
unit ditambah dengan tingkat keuntungan yang mereka inginkan. Jika setiap
jalur distribusi perdagangan mengharapkan keuntungan sebesar seribu rupiah
per kilogram dengan jalur distribusi pengecer, pedagang perantara, dan
pedagang pengumpul maka harga yang diterima oleh konsumen akhir sudah
bertambah Rp.3.000 per kilogram ditambah dengan harga pokok yang dijual
petani.
Berbeda dengan pedagang, disamping penetapan harga berdasarkan
biaya unit komoditi dan tingkat keuntungan yang diinginkan, petani juga
menetapkan harga berdasarkan harga tertinggi bawang yang berlaku dalam
pasar. Petani akan mencari penjual bawang yang membeli hasil panen
dengan harga tertinggi. Dalam kondisi ini, petani akan membandingkan harga
antara satu pedagang dengan pedagang lain. Menurut petani, walaupun
harga jual mereka berdasarkan harga tertinggi yang berlaku dalam pasar,
biaya produksi juga menjadi pertimbangan mereka dalam menentukan harga
jual bawang.
6.3.3. Volatilitas Harga Komoditi Bawang Merah
Survei lapangan komoditi bawang yang dilakukan bersamaan dengan
komoditi cabe memperlihatkan pola perubahan harga yang sama dengan pola
perubahan harga cabe yaitu berubah dari waktu ke waktu dengan cepat.
Perbedaan survei satu minggu antara pedagang pengecer dengan pedagang
pengumpul dan satu minggu lagi antara pedagang besar dengan pedagang
pengumpul dan petani, maka terlihat perubahan siklus harga bawang merah
yang cepat tersebut dalam pasar.
Tabel 6.15. Distribusi Responden Menurut Perkembangan
Harga Bawang Merah Pada Saat Survei Dilakukan

75

(Persentase)
Kondisi Harga Bawang Merah
Pedagang
Meningkat Menurun Fluktuasi stabil
Pengecer
55,6
13,9
0,0
8,3
Perantara
8,3
0,0
2,8
0,0
Pengumpul
5,6
2,8
2,8
0,0
Total
69,4
16,7
5,6
8,3
Sumber Penelitian Lapangan, 2008

Total
77,8
11,1
11,1
100,0

Pada minggu pertama survei, harga bawang merah dalam sedang


mengalami penurunan dibandingkan sebelumnya terutama pada pedagang
pengecer. Disamping menurun, beberapa pedagang pengecer juga
menyatakan bahwa harga bawang merah pada saat survei dilakukan stabil.
Tetapi responden pedagang perantara dan pengumpul merasakan harga
bawang berfluktuasi dibandingkan sebelumnya
Menurut responden pedagang, menurunnya harga bawang di pasar
lebih disebabkan adanya kelebihan penawaran. Disamping kelebihan
penawaran, menurunnya harga bawang juga disebabkan karena menurunnya
permintaan konsumen. Sementara, stabilnya harga bawang menurut
pengecer disebabkan karena permintaan dan penawaran stabil bawang di
pasar. Sedangkan, menurut responden pedagang perantara dan pengumpul,
berfluktuasinya harga bawang di pasar disebabkan karena mekanisme pasar
yaitu tidak stabilnya permintaan dan penawaran. Disamping itu,
berfluktuasinya harga bawang juga disebabkan kualitas bawang yang
diperjual belikan. Jika bawang kualitasnya baik maka harga bawang di pasar
akan tinggi dan jika kualitas bawang kurang, dalam hal ini kadar air masih
tinggi, maka harga bawang akan turun di pasar.
Selanjutnya, pada minggu kedua survei dilakukan terhadap responden
pedagang baik pedagang pengecer, pedagang besar, dan pengumpul
memperlihatkan perubahan harga bawang yang menyolok dibandingkan
minggu sebelumnya dimana harga bawang merah dalam pasar sudah
mengalami kenaikan. Meningkatnya harga bawang dalam pasar lebih
disebabkan karena berkurangnya penawaran bawang merah dari luar
Sumatera Barat dan diikuti naiknya permintaan bawang dalam pasar.
Tabel 6.16. Distribusi Responden Menurut Faktor Yang
Menyebabkan Naiknya Harga Bawang Merah
Pada Saat Survei Dilakukan (Persentase)
Faktor
Pengecer
Pedagang
Pedagang
Penyebab
Besar
Pengumpul
No
Naiknya
Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak
Harga
1. Biaya
produksi
0,0 100,0 0,0 100,0 33,3 66,7
naik
2. Kelangkaan 85,7 14,3 75,0 25,0 66,7 33,3

76

Bawang
3. Permintan
Bawang
28,6 71,4 0,0 100,0 33,3 66,7
Naik
4. Lainnya
14,3 85,7 0,0 100,0 0,0 100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah
100.0
Tabel pengolahan data penelitian lapangan menunjukkan bahwa naiknya
harga bawang lebih disebabkan karena terjadinya kelangkaan bawang.
Hampir semua responden pada tingkat pedagang menyatakan bahwa tidak
masuknya bawang jawa ke Sumatera Barat khususnya kota Padang
merupakan penyebab penawaran bawang dalam pasar berkurang.
Sebelumnya, banyaknya bawang yang berasal dari luar Sumatera Barat
menyebabkan turunnya harga bawang merah di Sumatera Barat, khususnya
kota Padang.
Sementara itu, sekitar 28,6% pedagang pengecer dan 33,3% pedagang
pengumpul juga menyatakan bahwa permintaan bawang yang meningkat
merupakan faktor yang menyebabkan naiknya harga bawang. Disamping
permintaan bawang meningkat, menurut responden, naiknya harga bawang
juga disebabkan faktor lain yaitu kualitas bawang yang dijual dalam pasar
adalah bawang yang berkualitas tinggi dan tidak mudah busuk.

6.3.4. Margin Pembentukan Harga Komoditi Bawang Merah


Dalam siklus perubahan harga bawang, petani juga bisa mendapatkan
laba yang rendah dalam periode satu kali panen, mendapatkan keuntungan
tinggi pada periode panen panen lain, bahka bisa merugi dalam periode
panen yang lainnya. Kondisi ini berbeda di tingkat pedagang. Menurut
pedagang pengecer, walaupun harga pasar rendah mereka tidak akan rugi.
Hal ini disebabkan karena bawang merupakan kebutuhan pokok masyarakat
yang permintaannya relatif stabil sama seperti cabe. Dengan permintaan
bawang yang relatif stabil, jika harga bawang turun maka pedagang juga
mengeluarkan biaya produksi yang rendah dan tetap dapat menetapkan laba
tertentu dari perdagangan yang mereka lakukan. Pedagang dapat
menyesuaikan jumlah kuantitas bawang yang dibeli dan dijualnya sesuai
dengan kondisi harga bawang yang berlaku dalam pasar.
Kondisi ini menyebabkan laba yang diterima petani dan pedagang
berbeda. Dalam waktu tertentu, laba yang diterima petani tidak berpengaruh
terhadap pembentukan harga komoditi bawang di pasar karena lebih rendah
dibandingkan pedagang. Tetapi pada waktu lain, laba yang diterima petani
memberikan kontribusi besar terhadap naiknya harga bawang di pasar.
Ditingkat pedagang, perbedaan laba yang diterima oleh pedagang baik
pedagang pengecer, perantara, maupun pedagang pengumpul menyebabkan
terjadinya perbedaan margin yang diterima diantara mereka. Selain itu,
perbedaan margin diantara pedagang juga disebabkan oleh perbedaan biaya
77

produksi. Dalam hal ini, biaya yang menjadi komponen langsung perhitungan
margin adalah biaya produksi selain dari biaya pembelian bawang merah
untuk dijual kembali oleh pedagang.
Tabel 6.17. Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Distribusi Komoditi Bawang Merah

No
1.

Harga Jual dan Biaya

Nilai
(Rp/Kg)

Harga Pengecer Pasar


9.854
Raya
Total Biaya Produksi
7.773
Harga Beli
7.563
Biaya Lain
210
Laba Pengecer Pasar Raya
2.081
2. Harga Pengecer Pasar
9.500
Siteba
Total Biaya Produksi
8.196
Harga Beli
7.563
Biaya lain
633
Laba Pengecer Pasar
1.305
Siteba
3. Harga Pedagang
7.563
Perantara
Total Biaya Produksi
6.505
Harga Beli
5.897
Biaya lain
608
Laba Pedagang Perantara
1.058
4. Harga Pedagang
5.897
Pengumpul
Total Biaya Produksi
5.130
Harga Beli
4.397
Biaya lain
733
Laba Pedagang
767
Pengumpul
5. Harga Petani
4.397
Total Biaya Produksi
2.998
Laba Petani
1.399
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008

Margin
(Rp/Kg)
2.291

% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
23,2

1.938

20,4

1.666

16,9

17,5

1.500

15,2

15,8

Hasil pengolahan data lapangan menunjukkan bahwa margin


pembentukan harga di tingkat pedagang baik pedagang pengecer, pedagang
perantara, dan pedagang pengumpul berkisar antara rata-rata Rp. 1,500
perkilogram hingga Rp. 2,291 perkilogram atau berkisar antara 15,2 %
hingga 23,2 % dari total margin pembentukan harga komoditi bawang merah.

78

Selanjutnya, hampir sama dengan perdagangan komoditi cabe, jalur


distribusi yang memberikan margin terbesar terhadap pembentukan harga
bawang yang diterima oleh konsumen akhir adalah jalur distribusi pedagang
pengecer. Sekitar Rp. 2,291 perkilogram atau sekitar 23, 2 % dari total
margin pembentukan harga adalah margin yang diperoleh oleh pedagang
pengecer pasar raya dan sekitar Rp 1,938 perkilogram atau 20,4 % dari total
margin pembentukan harga adalah margin yang diperoleh pedagang
pengecer pasar Siteba. Relatif tingginya laba perkilogram bawang merah yang
mampu diperoleh oleh pengecer dibandingkan jalur distribusi lainnya
menyebabkan margin pembentukan harga ditingkat pedagang pengecer lebih
tinggi dibandingkan dengan margin pedagang perantara dan pedagang
pengumpul.
Disamping itu, rendahnya margin pembentukan harga pedagang
pengumpul dibandingkan dengan pedagang perantara disebabkan laba yang
diterima pedagang pengumpul tidak sebesar laba yang diterima oleh
pedagang perantara. Menurut responden pedagang pengumpul, rendahnya
laba yang mereka peroleh dibandingkan dengan pedagang perantara
disebabkan karena penetapan harga bawang yang mereka beli lebih
ditentukan oleh penjual, dalam hal ini adalah petani. Petani akan
membandingkan harga pedagang pengumpul yang satu dengan pedagang
pengumpul lainnya dan hanya akan menjual bawang merah yang mereka
panen pada pedagang pengumpul yang menawarkan harga tertinggi.
Akibatnya persaingan sesama pedagang pengumpul untuk mendapatkan
bawang yang akan mereka jual kembali menyebabkan harga beli mereka
lebih tinggi. Sementara harga beli bawang merah di tingkat pedagang
perantara tidak ditentukan oleh pedagang pengumpul tetapi lebih dominan
ditentukan oleh mekanisme pasar. Kondisi ini menyebabkan laba yang mereka
peroleh akan berbeda satu sama lainnya, walaupun biaya produksi selain
biaya pembelian bawang merah relatif sama diantara pedagang pengumpul
dan pedagang perantara.
6.4. Pembentukan Harga Minyak Goreng
Minyak goreng merupakan kebutuhan pokok hasil produksi perusahaan
yang beroperasi dalam industri pengolahan. Dalam hal ini, perusahaan
minyak goreng mengolah bahan baku sawit menjadi minyak goreng curah
yang siap untuk dikonsumsi masyarakat. Kategori produsen minyak goreng
tersebut menyebabkan harga minyak goreng sangat bergantung pada
ketersediaan dan harga bahan baku. Jika harga bahan baku rendah maka
harga minyak juga akan rendah di pasar. Dan sebaliknya, jika harga bahan
baku tinggi maka harga minyak goreng yang berlaku dalam pasar juga tinggi.
Ekspektasi terhadap ketersediaan bahan bakulah yang menjadi harga minyak
dapat merubah dengan cepat. Harga minyak goreng curah dapat berubah
dari hari ke hari.
Namun, harga minyak goreng yang diterima konsumen akhir, dalam hal
ini adalah masyarakat yang mengkonsumi minyak goreng, juga bergantung
pada interaksi antara pedagang yang memasarkan minyak goreng dalam
pasar. Semakin panjang jalur distribusi perdagangan minyak goreng akan
79

semakin tinggi harga yang diterima oleh konsumen akhir. Dan sebaliknya.
Dengan demikian, pembentukan harga yang berlaku dalam pasar juga
ditentukan biaya produksi, dalam hal ini harga beli minyak dari penjual, yang
dikeluarkan oleh pedagang baik pedagang pengecer maupun pedagang
perantara yang berada dalam jalur distribusi perdagangan minyak.
6.4.1. Faktor-Faktor Penentuan Harga Minyak Goreng Di tingkat Di
Pedagang
Penelusuran jalur distribusi minyak goreng di tingkat pedagang dalam
Kota Padang memperlihatkan bahwa harga beli minyak goreng yang akan
mereka jual kembali adalah interaksi antara pedagang pengecer, pedagang
besar, dan produsen penghasil. Pedagang pengecer membeli pada pedagang
besar dan pedagang besar berhubungan langsung dengan produsen minyak
goreng. Dalam hubungan tersebut, penentuan harga beli minyak yang akan
dijual kembali lebih dominan ditentukan oleh penjual yaitu pedagang besar
dan produsen minyak.
Tabel 6.18.
Distribusi Responden Menurut FaktorFaktor yang Menentukan Harga Beli
Dalam Jalur Distribusi Komoditi Minyak
Goreng (persentase)
Pedagang
Pengecer
Besar
Penentuan Harga
Tidak
Ya Tidak
Ya
Mekanisme Pasar
13,2 86,8
0,0
100,0
Penjual
81,6 18,4
100,0
0,0
Kesepakatan
Pedagang
0,0 100,0
0,0
100,0
Lainnya
0,0 100,0
0,0
100,0
Sumber : Penelitian lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah
100.0
Survei pada pedagang minyak goreng di pasar raya dan pasar siteba
sebagai sampel penelitian memperlihatkan bahwa harga minyak goreng yang
mereka beli lebih dominan ditentukan oleh penjual. Sekitar 81,6% dari total
responden pedagang pengecer menyatakan bahwa harga minyak goreng
yang mereka beli ditentukan oleh pedagang perantara. Menurut pedagang
pengecer, jika pedagang perantara menyatakan harga minyak naik maka
mereka akan tetap membeli pada harga yang ditentukan oleh pedagang
tersebut.
Begitu juga di tingkat pedagang besar, seluruh responden
mengemukakan bahwa harga minyak yang mereka supply ke pengecer
merupakan harga minyak yang telah ditentukan oleh produsen minyak
goreng.
Disamping penjual, harga beli minyak goreng curah juga ditentukan
oleh mekanisme pasar. Tapi mekasnime pasar tidak dominan dalam
menentukan harga beli minyak di tingkat pedagang. Hanya sekitar 13.2%
responden pedagang pengecer yang menyebutkan bahwa harga beli minyak
ditentukan oleh mekanisme pasar. Menurut pedagang pengecer, naik

80

turunnya harga minyak yang mereka beli disebabkan oleh mekanisme pasar
yaitu bergantung pada ketersediaan minyak yang dihasilkan produsen dalam
pasar.
6.4.2. Faktor-Faktor Penentuan Harga Jual Minyak Goreng Di
Tingkat Pedagang dan Perusahaan
Harga minyak yang diterima oleh konsumen akhir adalah proses
pembentukan harga jual barang mulai dari produsen, pedagang perantara,
dan pengecer. Biaya produksi utama pedagang pengecer adalah harga jual
pedagang perantara dan biaya produksi utama dari pedagang perantara
adalah harga jual dari produsen minyak. Ada beberapa faktor yang
menentukan harga jual minyak disetiap jalur distribusi perdagangan minyak
goreng. Total biaya produksi per unit merupakan faktor utama dalam
penentuan harga jual dalam setiap jalur distribusi perdagangan minyak
goreng.
Tabel

6.19. Distribusi Responden Menurut Faktor Yang


Menentukan Harga
Jual Minyak Goreng di tingkat Petani Dan Pedagang
(Persentase)
Pedagang
Pengecer
Perusahaan
Faktor
Besar
No
Penetapan
Ya
Tida Ya
Tidak
Ya
Tidak
Harga
k
1. Total biaya
47, 52,6 40,0
60,0
50, 50,0
produksi per
4
0
unit + tingkat
keuntungan
yang diinginkan
2. Total biaya
15, 84,2 20,0
80,0
50, 50,0
produksi per
8
0
unit +
persentase
keuntungan
3. Harga tertinggi
28, 71,1 40,0
60,0
0,0 100,0
yang berlaku
9
dalam pasar
4. Dispesifikasi
0,0 100, 0,0
100,0
0,0 100,0
oleh pemesan
0
5 Lainnya
10, 89,5 0,0
100,0
0,0 100,0
5
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
Hampir sama dengan komoditi beras, cabe, dan bawang, data olahan
penelitian lapangan menunjukkan bahwa total biaya produksi per unit dan
tingkat keuntungan yang diinginkan merupakan faktor yang lebih dominan

81

oleh pedagang baik pedagang pengecer (47,4%) maupun pedagang besar


(40,0%) dalam menetapkan harga jual produk mereka dalam pasar.
Disamping itu, berdasarkan tingkat keuntungan yang diinginkan, sekitar
28,9% pedagang pengecer dan 40,0% pedagang besar menetapkan harga
minyak goreng yang mereka jual pada konsumen berdasarkan harga tertinggi
yang berlaku dalam pasar. Menurut responden ini, biaya produksi per unit
tetap menjadi komponen utama dalam penentuan harga tetapi perubahan
harga minyak yang berubah dari hari ke hari menyebabkan mereka menjual
minyak goreng pada konsumen berdasarkan harga jual tertinggi pada hari
tersebut.
Berbeda dengan pedagang, penetapan harga jual minyak goreng oleh
perusahaan minyak lebih didasarkan pada biaya produksi per unit dan tingkat
keuntungan. Kuntungan yang mereka harapkan berdasarkan keuntungan
yang diinginkan dan persentase tertentu. Secara umum dapat dikatakan
bahwa harga jual yang ditetapkan oleh produsen minyak merupakan titik
permulaan pembentukan harga yang berlaku dalam pasar ditambah dengan
margin yang diinginkan oleh pedagang baik pedagang pengecer maupun
pedagang besar.
6.4.3. Volatilitas Harga Komoditi Minyak Goreng
Menurut responden, harga minyak goreng yang berlaku dalam pasar
dapat berubah dengan cepat. Harga minyak dapat berubah dari hari ke hari.
Harga beli minyak pedagang perantara ke pengecer bisa berbeda dalam
hitungan satu hari. Begitu juga harga dari pedagang produsen ke pedagang
basar. Harga pagi belum tentu sama dengan harga sore hari. Perubahan
harga minyak yang cepat ini disebabkan ekspektasi ketersediaan bahan baku
dari produsen yang menghasilkan minyak. Perkembangan harga minyak
goreng saat survei dilakukan dapat di lihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 6.20. Distribusi Responden Menurut
Perkembangan Harga Minyak Goreng
Pada Saat survei Dilakukan (Persentase)
Perkembangan Harga
Pedagang
Total
Meningkat Menurun Fluktuasi
Pengecer
15,9
56,8
9,1
81,8
Besar
2,3
15,9
0,0
18,2
Total
18,2
72,7
9,1
100,0
Sumber Penelitian Lapangan, 2008
Berdasarkan hasil olahan survei lapangan pada pedagang pengecer dan
pedagang besar di pasar raya dan pasar siteba, memperlihatkan bahwa harga
minyak pada saat survei dilakukan cenderung mengalami penurunan. Sekitar
72,7% (dengan komposisi 56,8% pedagang pengecer dan 15,9% pedagang
besar) menyatakan bahwa terjadi penurunan harga minyak goreng di pasar.
Faktor utama penurunan harga minyak goreng adalah penurunan biaya
produksi.
Tabel 6.21. Distribusi Responden Menurut Faktor
Yang Menyebabkan Menurunnya Harga

82

Minyak Goreng Pada


Dilakukani (Persentase)
N
o

Faktor Penetapan
Harga

Pengecer
Ya

Tida
k

Saat

Survei

Pedagang
Besar
Ya

Tidak

Biaya produksi
46,7 53,3 60,0 40,0
menurun
Kelebiahan
2.
20,0 80,0 0,0 100,0
penawaran minyak
Permintan minyak
3.
6,7
93,3 0,0 100,0
goreng menurun
4. Lainnya
73,3 26,7 40,0 60,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang
adalah 100.0
1.

Menurut responden, menurunnya harga minyak lebih disebabkan karena


turunnya biaya produksi dalam menghasilkan minyak goreng. Baik pedagang
pengecer maupun pedagang besar menyatakan bahwa harga barang yang
mereka beli pada jalur distribusinya menurun dibandingkan hari sebelumnya.
Dengan demikian, biaya produksi yang mereka keluarkan juga rendah.
Turunnya biaya produksi sebagai akibat penurunan harga minyak juga
diperlihatkan oleh pengecer (73,3%) dan pedagang besar (40,0%)
menyatakan bahwa faktor lain seperti turunnya harga CPO dan kelapa sawit
serta harga ekspor sawit yang menurun merupakan penyebab utama mulai
menurunnya harga minyak goreng di pasar. Sedangkan faktor lain yang
diduga sebagai akibat penurunan harga minyak disebabkan oleh kelangkaan
minyak dan permintaan minyak goreng yang meningkat. Tetapi faktor ini
tidak dominan sebagai penyebab naiknya harga minyak goreng curah
dikalangan pedagang pada saat survei dilakukan.
6.4.4. Margin Pembentukan Harga Komoditi Minyak Goreng
Secara rata-rata, margin yang diterima pedagang pengecer dan
pedagang besar dalam jalur distribusi perdagangan minyak goreng berkisar
antara Rp 472/Kg hingga Rp 712/Kg. Secara keseluruhan, rata-rata margin
yang diterima pedagang minyak goreng lebih rendah dibandingkan dengan
rata-rata margin komoditi beras, cabe merah, dan bawang merah. Kondisi ini
disebabkan karena penetapan harga beli minyak goreng dalam jalur distribusi
perdagangannya lebih dominan ditentukan oleh penjual. Dengan kata lain,
penentuan harga beli pengecer lebih dominan ditentukan oleh pedagang
besar, dan penentuan harga beli pedagang besar lebih dominan ditentukan
oleh produsen. Dengan harga beli yang berfluktuasi setiap hari menyebabkan
laba yang diterima oleh pedagang minyak goreng baik pedagang pengecer
maupun pedagang juga berfluktuasi.
Tabel diatas memperlihatkan bahwa persentase margin yang diperoleh
pedagang pengecer pasar Siteba adalah 11,1% dari total margin
83

pembentukkan harga yang diterima konsumen akhir. Margin ini lebih tinggi
dibandingkan dengan margin yang diterima pedagang pengecer pasar raya
maupun pedagang besar. Namun, secara rata-rata margin yang diterima
pedagang pengecer baik pedagang pengecer pasar raya maupun pedagang
pengecer pasar Siteba lebih tinggi dibandingkan dengan margin yang diterima
pedagang besar dalam jalur distribusi perdagangan minyak goreng.
Tabel 6.22. Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Distribusi Komodit Minyak Goreng

No
1.

Harga Jual dan Biaya

Nilai
(Rp/Kg)

Harga Pengecer Pasar


6.259
Raya
Total Biaya Produksi
5.765
Harga Beli
5.713
Biaya Lain
52
Laba Pengecer Pasar Raya
494
2. Harga Pengecer Pasar
6.425
Siteba
Total Biaya Produksi
5.772
Harga Beli
5.713
Biaya lain
59
Laba Pengecer Pasar
653
Siteba
3. Harga Pedagang Besar
5.713
Total Biaya Produksi
5.348
Harga Beli
5.241
Biaya lain
107
Laba Pedagang Besar
365
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008

Margin
(Rp/Kg)
546

% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
8,7

712

472

11,1

7,5

7,3

Lebih tingginya margin yang diperoleh oleh pedagang pengecer baik


pedagang pengecer pasar raya dan pasar siteba disebabkan karena antara
pedagang pengecer dan konsumen rumah tangga terjadi tawar menawar
dalam aktivitas jual beli. Proses tawar menawar tersebut dapat menghasilkan
harga yang diterima konsumen akhir berbeda satu sama lain. Kadangkala
pengecer dapat menjual dengan harga tinggi pada konsumennya. Tingginya
harga jual mereka pada konsumen juga menyebabkan laba yang mereka
terima akan tinggi juga. Tetapi kadangkala pengecer juga terjebak dengan
turunnya harga minyak di pasar. Dalam artikata, pedagang pengecer yang
membeli minyak goreng dengan harga beli yang lebih tinggi dibandingkan
hari ini terpaksa menjual produknya mengikuti harga jual pedagang dengan
harga pokok hari ini. Dengan harga beli yang lebih tinggi dibandingkan
sebelumnya menyebabkan laba yang diterima oleh pedagang juga sedikit
dibandingkan pedagang pengecer yang membeli minyak dengan harga pokok

84

yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan laba yang diterima oleh pedagang
pengecer dapat berbeda satu sama lainnya.
6.5. Pembentukan Harga Ikan
Komoditi ikan segar sebagai pemicu inflasi/deflasi berasal dari ikan laut
dan ikan air tawar. Sebagai pemicu inflasi/deflasi, pembentukan harga ikan
juga bergantung pada jalur distribusi perdagangan ikan dalam pasar. Jalur
distribusi perdagangan ikan laut (tongkol) dan ikan air tawar (nila) yang
berbeda menyebabkan harga ikan laut dan air tawar juga berbeda dalam
pasar. Walaupun demikian, faktor penentu harga beli pedagang dan faktor
penentu harga jual produk antara ikan laut dan air tawar relatif sama tetapi
dapat berbeda dalam hal dominasinya.
6.5.1. Faktor-Faktor Penentu Harga Beli Ikan Di tingkat Pedagang
Penelusuran jalur distribusi perdagangan komoditi ikan laut
memperlihatkan bahwa harga ikan laut (tongkol dan tuna) dan ikan air tawar
(nila) yang dibeli pedagang sangat ditentukan oleh beberapa faktor antara
lain mekanisme pasar, penjual, dan kesepakatan pedagang.
Tabel 6.23. Distribusi Responden Menurut Faktor Penentu Harga
Beli Ikan Laut Oleh Pedagang (Persentase)
Pedagang Ikan Laut
Faktor Penentu
Pengecer
Pengumpul
Besar
Harga Beli
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Mekanisme Pasar
11,8 88,2 0,0 100,0 0,0 100,0
Penjual
82,4 17,6 0,0 100,0 50,0 50,0
Kesepakatan
Pedagang
5,9 94,1 50,0 50,0 50,0 50,0
Lainnya
0,0 100,0 50,0 50,0 0,0 100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
Hasil pengolahan data lapangan terhadap responden pedagang ikan laut
(tongkol dan tuna) menunjukkan bahwa penjual merupakan faktor yang
dominan dalam menentukan harga beli ikan laut oleh pedagang terutama
pedagang pengecer (82,4%) dan pedagang besar (50,0%). Menurut
pedagang pengecer dan pedagang besar, penjual hanya akan mau menjual
ikan yang dimilikinya jika harga ikan laut sudah sesuai dengan keinginan
penjual. Jika tidak maka penjual akan mencari pedagang pegecer atau
pedagang besar lainnya yang juga membutuhkan ikan untuk aktivitas
perdagangan mereka. Disamping pengaruh penjual, pada tingkat pedagang
besar, harga ikan yang mereka beli juga ditentukan oleh kesepakatan
pedagang (50,0%).
Tabel 6.24. Distribusi Responden Menurut Faktor Penentu Harga

85

Beli Ikan Air Tawar (Nila) Oleh Pedagang ( Persentase)


Pedagang Ikan Laut
Pedagang
Faktor Penentu Harga
Pengecer
Pengumpul
Hasil
Beli
Sendiri
Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak
Mekanisme Pasar
25,0 75,0 50,0 50,0
0,0
0,0
Penjual
75,0 25,0 0,0 100,0 0,0
0,0
Kesepakatan Pedagang 0,0 100,0 0,0 100,0 0,0
0,0
Lainnya (Pembeli)
0,0 100,0 50,0 50,0
0,0
0,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Di tingkat pedagang pengumpul, harga ikan laut yang mereka beli lebih
ditentukan oleh kesepakatan pedagang (50,0%) dan lainnya seperti lelang
yang dilakukan oleh nelayan setelah pulang melaut (50,0%). Menurut
pedagang pengumpul, harga ikan yang mereka beli pada nelayan merupakan
hasil kesepakatan mereka untuk membeli pada harga yang telah mereka
sepakati secara bersama. Mereka tidak akan membeli pada harga yang lebih
tinggi dibandingkan dengan harga yang telah disepakati. Kondisi ini berbeda
dengan perdagangan komoditi ikan air tawar. Kesepakatan pedagang sebagai
penentuan harga ikan air tawar tidak pernah sebagai hasil kesepakatan
pedagang.
Hampir sama dengan harga beli ikan laut, harga beli ikan air tawar oleh
pedagang juga dominan ditentukan oleh penjual terutama di tingkat pengecer
(75,0%). Sedangkan di tingkat pedagang pengumpul, penentuan harga ikan
air tawar yang mereka beli lebih dominan ditentukan oleh mekanisme pasar
(50,0%) dan lainnya seperti pembeli (50,0%). Menurut pedagang pengumpul
ikan air tawar, mekanisme pasar dapat dilihat pada perubahan permintaan
dan penawaran ikan air tawar dalam pasar. Jika nelayan tambak banyak yang
panen menyebabkan ikan air tawar berlimpah dalam pasar. Akibat panen raya
ini maka harga ikan air tawar yang dibeli oleh pedagang pembeli akan lebih
rendah. Dan sebaliknya, jika ketersediaan ikan air tawar berkurang di pasar
maka harga ikan yang dibeli oleh pedagang pembeli akan meningkat di
pasar.
6.5.2. Faktor-Faktor Penentu Harga Jual Ikan Tawar Dan Laut Di
Tingkat Pedagang Dan Nelayan
Harga jual ikan air laut mulai dari nelayan hingga pengecer dalam jalur
distribusi perdagangan komoditi ikan laut merupakan mata rantai
pembentukan harga ikan laut dalam pasar. Sama seperti komoditi pemicu
inflasi/deflasi lainnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pedagang
dan petani dalam menentukan harga jual ikan laut. Walaupun faktor-faktor
yang menentukan harga jual ikan dalam pasar sama dengan komoditi lainnya,
namun pengaruh faktor-faktor tersebut dalam proses pembentukan harga
ikan laut bisa berbeda dengan komoditi lain seperti beras, cabe, dan bawang
merah.

86

Tabel 6.25. Distribusi Responden Menurut Faktor Yang Menentukan


Harga Jual Ikan Air Laut di tingkat Pedagang Dan Nelayan
(Persentase)

No

1.

2.

3.
4.
5.

Faktor
Penetapan
Harga
Total biaya
produksi per unit
+ tingkat
keuntungan
yang diinginkan
Total biaya
produksi per unit
+ persentase
keuntungan
Harga tertinggi
yang berlaku
dalam pasar
Dispesifikasi
oleh pemesan
Lainnya

Pengecer

Pedagang Pedaga
Pengump
ng
ul
Besar
Y
Td
Tdk Ya
a
k
5
50
10 0
0
0

Nelayan
Ya

Td
k
0

Ya

Tdk

41,
2

58,
8

17,
6

82,
4

100

10
0

10
0

41,
2

58,
2

100

10
0

10
0

100

50

100

100

10
0
10
0

5
0
0

10
0
10
0

100

Sumber : Penelitian Lapangan, 2008


Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0
Pengolahan data penelitian lapangan memperlihatkan bahwa total
biaya produksi per unit dan keuntungan yang diinginkan lebih dominan dalam
menentukan harga jual ikan dalam pasar baik pada tingkat pengecer,
pedagang
pengumpul,
pedagang
besar,
dan
nelayan.
Selain
memperhitungkan biaya produksi dan tingkat keuntungan yang diinginkan,
penetapan harga jual ikan oleh pedagang pengecer juga didasarkan pada
harga tertinggi yang berlaku dalam pasar. Dalam hal ini, pedagang pengecer
akan menjual ikan laut dengan memperhatikan perkembangan harga ikan dan
akan menjual akan menjual ikan dalam pasar pada harga tertinggi yang
berlaku dalam pasar.
Proses pembentukan harga ikan air tawar juga hampir sama dengan
proses penetapan harga ikan laut. Total biaya produksi per unit ditambah
tingkat keuntungan yang diinginkan merupakan pertimbangan yang lebih
dominan bagi pedagang pengecer (62,5%) dan pedagang pengumpul
(100,0%) dalam menentukan harga jual. Tetapi faktor tersebut kurang
dominan dalam penetapan harga ikan air tawar di tingkat nelayan tambak
(36,6%).
Tabel 6.26. Distribusi Responden Menurut Faktor Yang Menentukan Harga
Jual Ikan Air Tawar (Nila) di tingkat Petani Dan Pedagang

87

(Persentase)
Pedagang
Pedagang
Nelayan
Faktor
Pengecer
pengumpul
Hasil Sendiri
Tambak
Penetapan
No
Harga
Ya Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak Ya Tidak
1. Total biaya
62,5 37,5 100,0 0,0
0,0 100,0 36,6 63,4
produksi per
unit + tingkat
keuntungan
yang
diinginkan
2. Total biaya
0,0 100,0 0,0 100,0 100,0 0,0
9,1 90,9
produksi per
unit +
persentase
keuntungan
3. Harga
37,5 62,5
0,0 100,0 0,0
0,0
9,1 90,9
tertinggi
yang berlaku
dalam pasar
4. Dispesifikasi
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0
0,0 54,5 45,5
oleh
pemesan
5
Lainnya
0,0 100,0 0,0 100,0 0,0
0,0
0,0
0,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Berbeda dengan pedagang ikan hasil sendiri, faktor utama penetapan
harga jual ikan di pasar adalah dengan mempertimbangkan total biaya per
unit ditambah dengan persentase keuntungan. Pedagang hasil sendiri ikan ar
tawar menetapkan persentase keuntungan sekitar 25% - 35% dari total biaya
produksi ikan air tawar.
Tabel diatas juga memperlihatkan bahwa faktor penetapan harga jual
yang dominan pada nelayan tambak adalah dispesifikasi oleh pemesan
(54,5%). Menurut nelayan tambak, terutama di Maninjau, Kabupaten Agam,
harga jual ikan yang mereka panen pada hakekatnya merupakan hasil
spesifikasi dari pemesan. Pemesan adalah langganan yang selalu membeli
ikan hasil panen mereka. Dalam pembelian tersebut, berat dan harga ikan
yang mereka pesan pada umumnya dispesifikasi sesuai dengan keinginan
mereka.
Selanjutnya, penentuan harga jual ikan air tawar dalam pasar juga
ditentukan oleh harga tertinggi yang berlaku dalam pasar. Penentuan harga
jual semacam ini banyak terjadi pada pedagang pengecer (37,5 %). Dalam
hal ini, pedagang ikan air tawar dalam pasar akan selalu memperhatikan
perkembangan harga ikan air tawar dan akan menjual ikannya pada harga
tertinggi yang berlaku dalam pasar.
6.5.3. Volatilitas Harga Komoditi Ikan Segar

88

Menurut responden ikan baik ikan laut maupun ikan air tawar,
perkembangan harga ikan bergantung pada perubahan cuaca/musim bagi
ikan laut dan biaya produksi bagi ikan air tawar. Harga ikan laut akan
bergerak naik jika musim berganti dari musim gelap ke musim terang.
Perubahan kondisi ini menyebabkan supply ikan ke pasar mulai turun. Dan
menyebabkan harga ikan naik. Sebaliknya musim gelap dan terang pada
nelayan tambak tidak akan mempengaruhi harga ikan air tawar. Harga ikan
air tawar bergantung pada biaya produksi ikan. Jika harga pakan ikan air
tawar meningkat, harga ikan air tawar juga meningkat. Perkembangan harga
ikan laut/tongkol dan ikan air tawar (nila) pada saat survei dilakukan dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 6.27. Distribusi Responden Menurut Perkembangan Harga Ikan
Laut/Tongkol dan Ikan Air Tawar (Nila) Saat Survei Dilakukan
(Persentase)

Pedagang Ikan Laut


Mening Menur
Stabil
kat
un

Kategori
Pedagang

Pengecer
Pengump
ul

10,0

75,0

15,0

0,0

100,0

0,0

Tota
l

Besar
0,0
100,0
0,0
Pedagang
Hasil
Sendiri
0,0
0,0
0,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008

100,
0
100,
0
100,
0
0,0

Pedagang Ikan Air


Tawar
Tota
l
Mening Menur stabi
kat
un
l
100,
62,5
12,5
25,0
0
100, 100,
0,0
0,0
0
0
0,0
0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

100,
0

100,
0

Berdasarkan pengolahan data lapangan, pada semua kategori


pedagang baik pedagang pengecer (75,5 %), pedagang pengumpul (100,0%)
maupun pedagang besar (100,0%) menyatakan bahwa pada saat ini (saat
survei dilakukan) terjadi penurunan harga ikan air laut. Menurunnya harga
ikan laut pada saat survei dilakukan lebih disebabkan oleh kelebihan
penawaran ikan laut dan menurunnya permintaan ikan laut di pasar.
Tabel 6.28. Distribusi Responden Menurut Faktor Yang
Menyebabkan Menurunnya Harga Ikan Laut
Pada Saat survei Dilakukan (Persentase)
Pengecer

No
1.

Faktor
Penurunan Ya
Harga
Biaya
produksi
0.0
Menurun

Tida
k
100.
0

Pedagang
Pedagang
Pengumpul
Besar
Ya
Tida Ya
Tida
k
k
0.0

100.
0

0.0

100.
0

89

2.
3.
4.

Kelebihan
47,1
Penawaran
Permintan
29,4
Menurun
Lainnya
10,0

52,9

0,0

100,
0

100,
0

70,6

100,
0

0,0

0,0

90,0

0,0

100,
0

0,0

0,0
100,
0
100,
0

Sumber :Penelitian Lapangan, 2008


Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah
100.0
Di tingkat pedagang pengumpul, kelebihan penawaran merupakan
alasan utama kenapa harga ikan laut menurun pada saat survei dilakukan.
Menurut responden pedagang pengumpul, musim pada saat survei dilakukan
adalah musim melaut bagi nelayan. Musim melautnya nelayan menyebabkan
produksi ikan laut mulai berlimpah di pasar sehingga harga ikan laut dalam
pasar juga mulai menurun. Sedangkan menurut pedagang besar,
menurunnya harga ikan laut di pasar lebih disebabkan karena menurunnya
permintaan terhadap ikan laut. Kurangnya permintaan terhadap ikan laut
pada saat musim melaut ikut mendorong turunnya harga ikan laut di pasar.
Berbeda dengan perkembangan harga ikan tawar (nila). Harga ikan air
tawar (nila) pada saat survei dilakukan cenderung mengalami kenaikan
terutama pada pedagang pengecer. Sementara pada pedagang pengumpul,
harga ikan air tawar cenderung stabil, tidak menaik dan menurun
dibandingkan sebelumnya.
Tabel 6.29. Distribusi Responden Menurut Faktor yang menyebabkan
Naiknya Harga Ikan Air Tawar Pada Saat Survei dilakukan
(Persentase)
Kategori Pedagang
No

1.
2.

Faktor Penyebab
Naiknya Harga

Pengecer
Ya
57,1

Tidak
42,9

Biaya produksi naik


Kelangkaan Ikan Air
Tawar
14,3 85,7
3. Permintan
Ikan
Air
Tawar Naik
0,0 100,0
4. Lainnya
0,0 100,0
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang

Ya
0,0

Tidak
100,0

Pedagang
Hasil
Sendiri
Ya Tidak
0,0 100,0

0,0

100,0

0,0 100,0

0,0
0,0

100,0
100,0

0,0 100,0
0,0 100,0

Pedagang
Pengumpul

adalah 100.0

Menurut responden pedagang pengecer ikan air tawar, naiknya harga


ikan air tawar di pasar lebih didominasi oleh kenaikan biaya produksi
(57,1 %). Kenaikan biaya produksi ikan air tawar disebabkan karena naiknya
harga pakan air tawar terutama pelet yang mengalami kenaikan harga
dibandingkan sebelumnya. Disamping biaya produksi naik, sekitar 14,3 %
90

responden pengecer juga menyatakan bahwa supply ikan air tawar mulai
berkurang di pasar. Kondisi ini ikut menyebabkan harga ikan air tawar
meningkat di pasar
Sementara itu, menurut pedagang pengumpul dan pedagang yang
memasarkan hasil produksi sendiri menyatakan bahwa harga ikan air tawar
pada saat survei dilakukan masih stabil, sama seperti minggu yang lalu.
Stabilnya harga ikan air tawar menurut responden disebabkan belum adanya
goncangan terhadap permintaan dan penawaran ikan air tawar. Permintaan
dan penawaran ikan air tawar relatif sama seperti minggu sebelumnya.
6.5.4. Margin Pembentukan Harga Komoditi Ikan Segar
Penelusuran terhadap jalur distribusi perdagangan ikan segar
memperlihatkan bahwa margin pembentukan harga antara pedagang ikan air
laut/tongkol berbeda dengan jalur distribusi perdagangan ikan air tawar
(nila). Rata-rata margin pedagang pengecer ikan laut adalah jalur distribusi
yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan harga ikan laut
di pasar. Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan jalur distribusi
perdagangan ikan air tawar.
Berdasarkan olahan data penelitian lapangan, margin pembentukan
harga dalam jalur distribusi perdagangan komoditi ikan laut berkisar antara
Rp 500/Kg hingga Rp 7,176 /Kg. Dalam jalur distribusi perdagangan komoditi
ikan laut, pedagang pengecer baik pedagang pengecer pasar raya (31,6 %
dari total margin pasar raya) maupun pedagang pengecer pasar Siteba (27,6
% dari total margin pasar siteba) adalah jalur distribusi yang memperoleh
margin terbesar. Ini berarti bahwa pedagang pengecer merupakan jalur
distribusi perdagangan yang memberikan berkontribusi besar terhadap
pembentukan harga ikan di pasar. Besarnya kontribusi pengecer dalam
pembentukan harga ikan disebabkan laba yang diterima pedagang pengecer
jauh lebih besar dibandingkan dengan pedagang besar. Kondisi ini
menyebabkan margin yang diterima pedagang pengecer merupakan margin
yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan harga ikan laut
ditingkat pedagang.
Tabel 6.30.Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Ikan Laut

No

Harga Jual dan Biaya

1.

Harga Pengecer Pasar Raya


Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya Lain
Laba Pengecer Pasar Raya
Harga Pedagang Perantara
Psr. Raya

2.

Nilai
(Rp/Kg)

Margin
(Rp/Kg)

22.676
16.069
15.500
569
6.607
15.500

7.176

2.000

% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
31,6

8,8

91

Total Biaya Produksi


13.663
Harga Beli
13.500
Biaya Lain
163
Laba Pedagang Perantara
1.837
Psr. Raya
3. Harga Pengecer Pasar
19.333
Siteba
Total Biaya Produksi
14.671
Harga Beli
14.000
Biaya lain
671
Laba
4.662
4. Harga Pedagang Besar
14.000
Pasar Siteba
Total Biaya Produksi
13.500
Harga Beli
13.500
Biaya lain
Laba Pedagang Besar Pasar
500
Siteba
5. Harga Nelayan
13.500
Total Biaya Produksi
9.804
Laba Nelayan
3.696
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008

5.333

27,6

500

2,6

Berbeda dengan pedagang ikan air tawar/nila. Pedagang pengumpul


merupakan jalur distribusi yang berkontribusi besar terhadap pembentukan
harga ikan air tawar di pasar. Ditingkat pedagang, sekitar 15,6 % dari total
margin pembentukan harga dalam jalur pasar raya diperoleh oleh pedagang
pengumpul. Margin ini lebih besar dibandingkan dengan margin yang
diperoleh oleh pedagang pengecer dimana margin yang diterima oleh
pengecer hanya sekitar 11,6 % dari total margin pembentukkan harga ikan
air tawar dalam jalur distribusi perdagangan ikan air tawar di pasar raya.
Tabel 6.31. Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Distribusi Ikan Air Tawar

No
1

Harga Jual dan Biaya


Harga Pengecer Pasar
Raya
Total Biaya Produksi
Harga Beli
Biaya Lain
Laba
Harga Pedagang
Pengumpul Pasar Raya
Total Biaya Produksi

Nilai
(Rp/Kg)

Margin
(Rp/Kg)

15.997

1.797

% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
11,2

14.860
14.200
660
1.137
14.200

2.500

15,6

11.900

92

Harga Beli
Biaya Lain

11.700
200
2.300
15.333

Laba
Harga Pengecer Pasar
Siteba
Total Biaya Produksi
14.024
Harga Beli
13.500
Biaya lain
524
Laba
1.309
4 Harga Pedagang
13.500
Pengumpul Pasar siteba
Total Biaya Produksi
12.033
Harga Beli
11.700
Biaya lain
333
Laba
1.467
5 Harga Nelayan
11.700
Total Biaya Produksi
8.857
Laba
2.843
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
3

1.833

12,0

1.800

11,7

Kondisi diatas berbeda dengan jalur distribusi perdagangan ikan dipasar


Siteba. Ditingkat pedagang, kontribusi pedagang pengecer dan pedagang
pengumpul terhadap pembentukan harga ikan air tawar yang diterima
konsumen tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena kontribusi margin
pedagang pengecer relatif sama dengan kontribusi margin pedagang
pengumpul terhadap pembentukan harga ikan air tawar yang diterima
konsumen akhir. Rata-rata margin dalam jalur distribusi ikan air tawar dapat
dilihat pada tabel.
Hasil olahan data penelitian lapangan menunjukkan bahwa perbedaan
laba yang diterima pedagang menyebabkan margin yang diterima pedagang
juga berbeda satu sama lainnya. Tetapi dalam jalur distribusi perdagangan
ikan air tawar di pasar Siteba, baik biaya produksi selain biaya pembelian ikan
maupun laba yang peroleh oleh pedagang pengecer tidak jauh berbeda
dengan pedagang pengumpul. Kondisi ini menyebabkan, ditingkat pedagang,
margin pembentukan harga ikan air tawar antara pedagang pengecer relatif
sama dengan pedagang pengumpul.
Walaupun demikian, laba yang diperoleh petani ikan air tawar adalah
laba terbesar dalam jalur distribusi perdagangn ikan air tawar. Besarnya laba
yang diterima petani ikan air tawar disebabkan karena pada saat survei
dilakukan, harga ikan air tawar sedang mengalami peningkatan dibandingkan
sebelumnya. Peningkatan harga ikan air tawar disebabkan karena biaya
produksi menaik. Naiknya biaya produksi menyebabkan petani melakukan
penyesuaian-penyesuaian harga termasuk penyesuaian laba yang ingin
diterimanya.
6.6. Pembentukan Harga Daging Ayam

93

Jalur distribusi perdagangan komoditi daging ayam mengambarkan


bahwa pembentukan harga ayam hanyalah interaksi antara pedagang
pengecer, agen, perusahaan mitra, dan peternak. Dalam hal ini, hubungan
antara pengecer, pedagang (agen), dan perusahaan bersifat independent
satu sama lain, tetapi hubungan antara perusahaan dengan peternak tidak
independent. Dalam artikata, pembentukan harga antara peternak daging
ayam dengan perusahaan mitra terikat dalam suatu hubungan kontrak
kerjasama.
Walaupun antara peternak daging ayam dan perusahaan mitra memiliki
hubungan kerjasama, tetapi harga yang diterima konsumen akhir adalah
proses pembentukan harga yang terbentuk dari interaksi antara pedagang
pengecer dengan agen dan agen dengan perusahaan mitra. Dalam hal ini,
proses pembentukan harga juga ditentukan oleh faktor-faktor yang
menentukan harga beli daging ayam oleh pedagang dan harga jual daging
ayam oleh pedagang kepada konsumen akhir.
6.6.1. Faktor-Faktor Penentuan Harga Daging Ayam Di tingkat Di
Pedagang
Berdasarkan survei lapangan ke pedagang ayam mulai dari pengecer ,
agen (pedagang perantara) hingga perusahaan mitra diperoleh gambaran
bahwa faktor dominan dalam menentukan harga ayam yang dibeli pedagang
untuk dijual kembali pada konsumen akhir adalah mekanisme pasar dan
penjual.
Pada tingkat pedagang pengecer, penjual atau lainnya, dalam hal juga
agen yang juga merupakan penjual dan lainnya dalam hal ini adalah
agen/penjual merupakan faktor kunci dalam menentukan harga daging ayam
yang mereka beli. Artinya harga daging ayam yang mereka untuk dijual
sangat ditentukan oleh penjual atau agen. Pengecer hanya menerima harga
ayam yang telah ditetapkan oleh agen tersebut.
Tabel. 6.32. Distribusi Responden Menurut Faktor Penentu Harga
Beli Daging Ayam di Tingkat Pedagang (Persentase)
Kategori Pedagang
Penentuan Harga

Pengecer
Ya Tidak
0,0 100,0
54,2 45,8

Agen
Ya
Tidak
75,5
25,0
12,5
87,5

Perusahaan
Mitra
Ya
Tidak
66,7
33,3
0,0
100,0

Mekanisme Pasar
Penjual
Kesepakatan
Pedagang
0,0 100,0
0,0
100,0
0,0
Lainnya
50,0 50,0
25,0
75,0
33,3
Sumber : Penelitian lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0

100,0
66,7

Berbeda di tingkat pedagang pengumpul dan perusahaan mitra, faktor


utama yang menentukan harga daging ayam yang mereka beli adalah
mekanisme pasar. Menurut agen, harga ayam yang mereka beli didasarkan

94

pada mekanisme pasar. Pada saat supply daging ayam tidak banyak maka
harga ayam yang mereka beli pada perusahaan mitra juga naik dan
sebaliknya. Berbeda dengan perusahaan mitra, mekanisme pasar juga
merupakan faktor utama dalam menentukan harga ayam yang mereka beli
pada peternak tetapi antara peternak dengan perusahaan mitra terikat dalam
suatu kontrak kerja sama. Dalam kontrak tersebut, semua input mulai dari
bibit ayam, makanan ayam, serta vaksin untuk ayam disediakan oleh
perusahaan mitra. Setelah panen, ayam dijual oleh peternak pada perusahaan
mitra sesuai dengan harga yang tertulis dalam kontrak kerjasama. Perjanjian
kontrak kerjasama berbeda antar satu perusahaan berbeda dengan
perusahaan mitra lain. Ada perusahaan mitra yang selalu memperbaruhi
kontrak satu kali periode panen. Iisi kontrak disesuaikan dengan kondisi pada
saat itu, sementara ada juga perusahaan mitra yang memperbaruhi isi
kontrak sekali setahun atau delapan kali panen.
6.6.2. Faktor-Faktor Penentuan Harga Jual Daging Ayam Di Tingkat
Pedagang Dan Petani
Harga jual daging ayam mulai dari peternak, perusahaan mitra, agen,
dan pengecer merupakan mata rantai pembentukan harga daging ayam
dalam jalur distribusi perdagangan daging ayam. Sama seperti komoditi
pemicu inflasi/deflasi lainnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pedagang dan peternak dalam menentukan harga jual daging ayam dalam
pasar. Walaupun faktor-faktor yang menentukan harga jual daging ayam
sama dengan komoditi lainnya, namun pengaruh faktor-faktor tersebut dalam
proses pembentukan harga bisa berbeda dengan komoditi lain seperti beras,
cabe, bawang merah dan ikan segar.
Tabel 6.33. Distribusi Responden Menurut Faktor Yang Menentukan
Harga Jual Beras di tingkat Petani Dan Pedagang
(Persentase)
N
o
1.

2.

3.

Pengecer
Agen
Perusahaan
Peternak
Faktor
Mitra
Penetapan
Harga
Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak Ya
Tidak
Total biaya
produksi
per unit +
47,
71,
66,
tingkat
52,4
28,6
33,3 7,1 92,9
6
4
7
keuntungan
yang
diinginkan
Total biaya
produksi
100, 28,
100,
100,
per unit + 0,0
71,4 0,0
0,0
0
6
0
0
persentase
keuntungan
Harga
100, 33,
35,
tertinggi
9,5 90,5 0,0
66,7
64,3
0
3
7
yang

95

4.
5

berlaku
dalam
pasar
Dispesifikas
i
oleh
pemesan
Lainnya

9,5

90,5

0,0

100,
0

0,0

100,
0

50,
0

38,
100,
100,
61,9 0,0
0,0
0,0
1
0
0
Sumber :Olahan Data Lapangan, 2008
Ket : Penjumlah kedua blok kategori pedagang adalah 100.0

50,0
100,
0

Pengolahan data penelitian lapangan memperlihatkan bahwa total


biaya produksi per unit dan keuntungan yang diinginkan lebih dominan dalam
menentukan harga jual daging ayam oleh pengecer (47,6%), agen/pedagang
perantara (71,4%), dan perusahaaan mitra (66,7%). Disamping itu sekitar
38,1% pengecer menyebutkan bahwa harga jual daging ayam mereka pada
konsumen akhir didasarkan pada informasi pasar yang disampaikan oleh
agen dan perusahaan. Berdasarkan informasi tersebut, pengecer akan
menentukan harga jual daging ayam ke konsumen akhir
Selain itu, penetapan harga jual daging ayam juga ditentukan
spesifikasi pemesan dan harga tertinggi yang berlaku dalam pasar. Penetapan
harga semacam ini lebih dominan pada peternak ayam. Menurut peternak
ayam, harga jual mereka telah ditentukan oleh harga yang telah disepakati
sesuai dengan kontrak antara peternak dan perusahaan mitra (50,0%).
Sementara itu, 35,7% peternak menyatakan bahwa walaupun harga yang
mereka jual pada perusahaan mitra tetapi harga kontrak yang mereka
sepakati adalah harga tertinggi pada saat kontrak ditandatangani.
6.6.3. Volatilitas Harga Komditi Daging Ayam
Perkembangan harga daging ayam juga mengalami perubahan dari
waktu ke waktu. Hal ini diperlihatkan oleh pendapat responden terhadap
kondisi harga ayam pada saat survei dilakukan. Perbedaan waktu survei
antara pengecer dengan pedagang pengumpul dan perusahaan mitra
memperlihatkan pola perubahan harga daging ayam dalam pasar, semula
menurun menjadi naik satu minggu kemudian.
Tabel

6.34.
Distribusi
Responden
Menurut
Perkembangan Harga Daging Ayam Pada
Saat Survei Dilakukan (Perentase)

Pedagang
Pengecer
Agen
Perusahaan
Mitra

Perkembangan Harga
Meningkat Menurun stabil
0,0
68,6
0,0
11,4
8,6
2,9
5,7

0,0

2,9

Total
68,6
22,9
8,6

96

Total
17,1
77,1
Sumber Penelitian Lapangan, 2008

5,7

100,0

Berdasarkan pengolahan data lapangan, pada saat survei dilakukan


harga daging ayam di pasar cenderung mengalami penurunan. Sekitar 77,1%
dari total responden daging ayam mengemukan bahwa saat ini (pada saat
urvey dilakukan), harga daging ayam mengalami penurunan dibandingkan
sebelumnya. Penurunan harga daging ayam tersebut disebabkan kelebihan
penawaran daging ayam dan turunnya permintaan daging ayam dalam pasar.
Tetapi satu minggu kemudian pada saat dilakukan survei ke agen dan
perusahaan mitra ternyata harga ayam telah nailk dibandingkan sebelumnya.
11,4% dari total responden agen dan 5,7% dari total responden perusahaan
mitra mengatakan bahwa harga ayam mengalami peningkatan dibandingkan
sebelummnya. Selain itu, menurut responden perusahaan mitra,
meningkatnya harga daging ayam dalam pasar lebih disebabkan
meningkatnya biaya produksi dalam menghasilkan daging ayam terutama
naiknya pakan ayam. Kenaikan harga ayam tidak hanya di dorong oleh
kenaikan biaya produksi tetapi juga disebabkan menaiknya pemintaan daging
ayam naik dalam pasar. Sedangkan penurunan harga ayam pada awal survei
dilakukan lebih disebabkan karena perubahan penawaran dan permintaan
dalam pasar.
Tabel 6.35. Distribusi Responden Menurut Faktor Yang
Menyebabkan Menurun Harga Daging Ayam Pada Saat
ini (Persentase)

No
1.

Faktor Penetapan
Harga

Pengecer
Ya

Biaya
produksi
0,0
Turun
2. Kelebihan
75,0
Penawaran
3. Permintan Daging
54,2
Ayam turun
4. Lainnya
0,0
Sumber : Penelitian Lapangan,

Agen

Tidak

Ya

Tidak

Perusahaan
Mitra
Ya
Tidak

100,0

0,0

100,0

0,0

100,0

25,0

20,0

80,0

0,0

100,0

45,8

60,0

40,0

0,0

100,0

100,0 20,0
2008

80,0

0,0

100,0

Tabel diatas memperlihatkan bahwa, 75,0% responden pengecer


mengemukan bahwa harga daging ayam mengalami penurunan di pasar lebih
disebabkan terjadinya kelebihan penawaran dalam pasar. Disamping itu,
54,2% responden pengecer dan 60,0% responden agen/pedagang perantara
daging ayam mengemukan bahwa penurunan harga daging ayam dalam
pasar disebabkan menurunnya permintaan konsumen terhadap daging ayam.
6.6.4. Margin Pembentukan Harga Komoditi Daging Ayam
Penelusuran terhadap jalur distribusi perdagangan daging ayam
memperlihatkan bahwa margin yang memberikan kontribusi terbesar

97

terhadap pembentukan harga daging ayam ras dipasar adalah pengecer. Hal
ini berarti bahwa ditingkat pedagang, pedagang pengecer merupakan jalur
distribusi perdagangan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap
pembentukan harga yang diterima oleh konsumen akhir. Rata-rata margin
yang diterima oleh pedagang dalam jalur distribusi perdagangan daging ayam
ras dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Tabel 6.36. Rata-Rata Biaya Produksi, Harga Jual, Dan Margin Jalur
Distribusi Daging Ayam Ras

No
1.

Harga Jual dan Biaya

Nilai
(Rp/Kg)

Harga Pengecer Pasar


14.125
Raya
Total Biaya Produksi
11.713
Harga Beli
11.500
Biaya Lain
213
Laba Pengecer Pasar Raya
2.412
2. Harga Pengecer Pasar
15.609
Siteba
Total Biaya Produksi
11.701
Harga Beli
11.500
Biaya lain
201
Laba Pengecer Pasar
3.908
Siteba
3. Harga Agen
11.500
Total Biaya Produksi
10.008
Harga Beli
9.833
Biaya lain
175
Laba Agen
1.492
4. Harga Perusahaan Mitra
9.833
Total Biaya Produksi
8.746
Harga Beli
8.473
Biaya lain
273
Laba Perusahaan Mitra
1.087
5. Harga Peternak
8.473
Total Biaya Produksi
6.384
Laba Peternak
2.089
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008

Margin
(Rp/Kg)
2.625

% Distribusi
Margin
Pasar
Siteba
Raya
18,6

4.109

26,3

1.667

11,8

10,7

1.360

9,6

8,7

Secara rata-rata, margin pedagang pengecer berkisar antara Rp 2,625


perkilogram (18,6 % dari total margin pembentukkan harga daging ayam)
untuk jalur distribusi perdagangan daging ayam ras di pasar raya dan sekitar
Rp 4,109 perkilogram ( 26,3 % dari total margin pembentukkan harga daging

98

ayam) untuk jalur distribusi perdagangan daging ayam ras di pasar Siteba.
Tingginya laba yang diperoleh pedagang pengecer merupakan faktor yang
menyebabkan margin pembentukkan harga pedagang pengecer lebih tinggi
dibandingkan margin pembentukkan harga di tingkat pedagang perantara
(agen) dan perusahaan mitra.
Selain itu, laba yang diterima pengecer terutama pedagang pengecer
pasar Siteba relatif hampir sama dengan laba yang diterima oleh peternak
daging ayam. Tingginya laba yang diperoleh peternak daging ayam
disebabkan karena adanya kontrak antara peternak dengan perusahaan
mitra. Walapun harga ayam pada saat survei dilakukan menurun, tetapi harga
ayam yang dijual peternak pada perusahaan mitra tetap tinggi sesuai dengan
kesepakatan kontrak yang telah dibuat sebelumnya. Sementara, hubungan
antara perusahaan mitra dengan agen dan pengecer tidak terikat dengan
kontrak. Turunnya harga ayam juga akan mempengaruhi margin yang
mereka peroleh.

99

BAB 7
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan
Penelitian jalur distribusi komoditas penyumbang inflasi terbesar di
wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya menelusuri pola distribusi komoditas
beras, cabe merah, bawang merah, ikan segar, daging ayam ras, dan minyak
goreng yang memanfaatkan responden pedagang pengecer, pedagang
pengumpul, pedagang besar/agen/pedagang perantara, dan produsen
masing-masing komoditas.
Penelusuran responden yang menggunakan
teknik snow ball telah menemukan 306 responden yang meliputi responden
pedagang pengecer di Pasar Raya dan Pasar Siteba yang dilanjutkan ke
pedagang besar/agen/pedagang perantara dan pedagang pengumpul hingga
ke produsen yang dilewati oleh komoditas.
Penelitian lapangan menemukan bahwa pola distribusi yang terbentuk
mulai dari produsen hingga ke pedagang pengecer (konsumen akhir) dari
komoditas beras, cabe merah, bawang merah, daging ayam, ikan segar, dan
minyak goreng terbagi menjadi berbagai pola distribusi. Pertama, pola
distribusi dimana produsen yang ada di Sumatera Barat memasok komoditas
kepada pedagang perantara I/pedagang pengumpul. Pedagang perantara I
menjual komoditas kepada pedagang perantara II/pedagang besar/agen yang
selanjutnya menyuplai pedagang pengecer di Pasar Raya dan Pasar Siteba.
Kedua, pola distribusi dimana produsen luar Sumatera Barat menyuplai
komoditas kepada pedagang perantara I/pedagang pengumpul. Pedagang
perantara I menjual komoditas kepada pedagang perantara II/pedagang
besar/agen yang selanjutnya memasok pedagang pengecer di Pasar Raya dan
Pasar Siteba. Ketiga, pola distribusi dimana produsen yang ada di Sumatera
Barat menjual komoditas kepada pedagang perantara II/pedagang
besar/agen yang selanjutnya menyuplai pedagang pengecer di Pasar Raya
dan Pasar Siteba. Keempat, pola distribusi dimana pedagang pengecer
langsung mendapatkan komoditas dari produsen yang ada di Sumatera Barat.
Pembentukan harga komoditas mengikuti harga yang terbentuk dari
setiap level distribusi yang dilewatinya. Perbedaan pola distribusi
menyebabkan perbedaan harga-harga komoditas yang terbentuk. Semakin
panjang mata rantai distribusi komoditas semakin tinggi harga yang diterima
oleh konsumen dan sebaliknya. Selain itu perbedaan harga harga yang
terbentuk disebabkan perbedaan lingkungan yang mempengaruhinya. Faktor
utama yang menyebabkan naiknya harga komoditas adalah perubahan cuaca,
kenaikan biaya produksi disamping naiknya permintaan dan menurunnya
penawaran dalam pasar.
Total biaya produksi per unit dan tingkat keuntungan yang diinginkan
merupakan faktor utama yang menjadi penentu dalam penentuan harga jual
komoditas ditingkat pedagang. Secara rata-rata hampir dari semua responden
apakah pedagang pengecer, pedagang perantara, dan pedagang pengumpul
menetapkan harga jual komoditas mereka berdasarkan biaya per unit
ditambah dengan tingkat keuntungan yang mereka inginkan.

100

Dari sisi produksi, pembentukan harga komoditi ditentukan oleh


struktur biaya masing-masing komoditi. Komponen biaya utama yang
mempengaruhi produksi komoditi beras adalah biaya pemupukan dan
pengolahan. Untuk komoditi cabe merah adalah sewa lahan, pupuk dan
pestisida. Komoditi bawang merah adalah biaya pengolahan, pemupukan dan
pestisida. Untuk komoditi ikan air tawar adalah biaya pakan dan bibit,
sedangkan komoditi ikan laut dipengaruhi oleh biaya bahan bakar minyak
(BBM). Komponen biaya utama produksi daging ayam buras adalah biaya
pembelian pakan dan bibit anak ayam (DOC). Komoditi minyak goreng
ditentukan oleh biaya bahan baku. Minyak goreng dengan bahan baku kopra
lebih mahal dibandingkan dengan berbahan baku sawit.
Disamping penetapan harga berdasarkan biaya unit komoditas dan
tingkat keuntungan yang diinginkan, produsen/petani/nelayan kecuali
peternak juga menetapkan harga berdasarkan harga tertinggi yang berlaku di
pasar. Produsen/petani/nelayan akan mencari penjual komoditas yang
membeli produknya dengan harga tertinggi. Dalam kondisi ini,
produsen/petani/nelayan akan membandingkan harga antara satu pedagang
dengan pedagang lain. Menurut produsen/petani/nelayan, walaupun harga
jual mereka berdasarkan harga tertinggi yang berlaku dalam pasar, biaya
produksi juga menjadi pertimbangan mereka dalam menentukan harga
produknya. Peternak menetapkan harga jual sesuai dengan kontrak dengan
perusahaan mitra. Dalam hal ini, pangsa pasar sudah pasti dan jelas.
Peternak tidak memikirkan lagi pangsa pasar produknya. Naik atau turunnya
harga daging ayam tidak mempengaruhi harga kontrak yang telah ditetapkan.
Selain faktor pola distribusi dan struktur biaya produksi, penentuan
harga komoditi juga dipengaruhi oleh aktivitas jual beli yang tercermin dalam
tingkat margin perdagangan. Untuk komoditi beras, margin yang paling besar
diperoleh oleh pedagang pengumpul. Ini disebabkan Besarnya margin yang
diterima pedagang pengumpul dibandingkan dengan pedagang lain lebih
disebabkan karena pada umumnya pedagang pengumpul memiliki huller
sendiri. Pedagang pengumpul membeli padi dan mengolah sendiri padi
menjadi beras. Perbedaan harga padi dan beras yang cukup signifikan
menyebabkan margin pedagang pengumpul/heller dalam jalur distribusi
perdagangan komoditi beras menjadi besar.
Margin terbesar komoditi cabe merah diperoleh oleh petani. Besarnya
margin pembentukan harga yang diterima petani disebabkan karena harga
cabe jauh meningkat dibandingkan sebelumnya. Dengan biaya produksi yang
sama sebelumnya dan harga jual cabe yang meningkat karena kurangnya
supply cabe menyebabkan margin yang diterima oleh petani jauh meningkat
dibandingkan pedagang. Sedangkan untuk komoditi bawang merah margin
paling besar proporsinya terhadap pembentukan harga bawang merah
dipasar diperoleh oleh petani dan pedagang perantara. Tingginya margin
pembentukan harga yang diterima oleh petani disebabkan karena naiknya
harga bawang di pasar. Dengan biaya produksi yang relatif sama minggu
sebelumnya dan harga bawang merah yang relatif meningkat dibandingkan
minggu sebelumnya menyebabkan margin yang diterima petani jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan pedagang.

101

Untuk komoditi ikan air tawar, margin paling besar diperoleh oleh
petani ikan dan pedagang pengumpul, sedangkan ikan laut diperoleh oleh
pengecer. Besarnya margin yang diterima petani ikan air tawar disebabkan
karena pada saat survei dilakukan, harga ikan air tawar sedang meningkat.
Peningkatan harga ikan air tawar disebabkan karena biaya produksi menaik.
Naiknya biaya produksi menyebabkan petani melakukan penyesuaianpenyesuaian harga termasuk penyesuaian margin yang ingin diterimanya.
Besarnya kontribusi pengecer dalam pembentukan harga ikan disebabkan
karena selisih antara harga jual ikan pedagang pengecer dengan harga biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan ikan laut lebih besar dibandingkan
dengan pedagang maupun nelayan.
Untuk komoditi daging ayam, margin terbesar diperoleh peternak.
Tingginya kontribusi margin peternak terhadap pembentukan harga yang
diterima konsumen akhir disebabkan karena kontrak antara peternak dengan
perusahaan mitra. Walaupun harga ayam pada saat survei dilakukan
menurun, tetapi harga ayam yang dijual peternak pada perusahaan mitra
tetap tinggi sesuai dengan kesepakatan kontrak yang telah dibuat
sebelumnya.
Sementara untuk komoditi minyak goreng, margin dibagi merata oleh
pedagang pengecer dan pedagang besar. Lebih tingginya margin yang
diperoleh oleh pedagang pengecer baik pedagang pengecer Pasar Raya dan
Pasar Siteba disebabkan karena antara pedagang pengecer dan konsumen
rumah tangga terjadi tawar menawar dalam aktivitas jual beli. Proses tawar
menawar tersebut dapat menghasilkan harga yang diterima konsumen akhir
berbeda satu sama lain. Kadangkala pengecer dapat menjual dengan harga
tinggi pada konsumennya. Tingginya harga jual mereka pada konsumen juga
menyebabkan margin yang mereka terima akan tinggi juga.
7.2. Rekomendasi
Persoalan inflasi adalah suatu keadaan yang dikatagorikan sebagai
penyakit ekonomi dan lebih disebabkan oleh tidak berkerjanya mekanisme
pasar secara effisien dan sempurna (imperfect market competition effects)
sehingga tingkat harga yang berlaku berkembang menjadi tidak menentu dan
cendrung meningkat lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pendapatan
nyata individu (real income per head). Kalau kondisi seperti ini dibiarkan
berkerja secara terus menerus dan berkepanjangan akan dapat menyebabkan
rakyat atau konsumer akhir kehilangan daya beli.
Dikaitkan dengan
komoditas-komoditas seperti: beras, cabe merah, bawang merah, daging
ayam ras, ikan segar dan minyak goreng, yang merupakan komoditas yang
sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau konsumer akhir dalam
kehidupannya setiap waktu maka melemahnya daya beli masyarakat akan
berakibat buruk bagi kesejahteraan kehidupan mereka karena komoditaskomiditas seperti ini (beras, cabe merah, bawang merah, daging ayam ras,
ikan segar dan minyak goreng), sangat dibutuhkan dalam kehidupan seharihari mereka. Apalagi kalau dikaitkan dengan masyarakat yang berpendapatan
relatif rendah dan tidak tetap maka persoalan inflasi yang berkepanjangan
dan terus menerus sudah pasti akan semakin memberatkan kehidupan
ekonomi mereka sehari-hari.
102

Hasil penelitian menunjukkan bahwa demand full inflation dan cost


push inflation cenderung merupakan faktor utama sebagai pendorong
terjadinya inflasi yang disumbangkan oleh komoditas seperti: beras, cabe
merah, bawang merah, daging ayam ras, ikan segar dan minyak goreng.
Oleh karena itu maka iklim inflasi yang disebabkan oleh komoditas-komoditas
tersebut perlu diantisipasi secara teratur dan terus menerus agar tidak
tumbuh dan berkembang menjadi hyperinflation dan open inflation yang tak
terkendalikan. Jika hal ini terjadi sudah pasti akan lebih menyusahkan lagi
bagi kesejahteraan kehidupan masyarakat banyak sebagai konsumer akhir.
Dalam hal ini maka sangat diperlukan campur tangan pemerintah di semua
lini pemegang kekuasaan untuk menetapkan tindakan kebijakan pengendalian
dan pengelolaan permainan harga baik ditingkat petani, maupun ditingkat
pedagang perantara sampai ke kunsumer akhir begitu pula sebaliknya dari
konsumer akhir, pedagang penyalur sampai ke petani produsen awal.
Dilihat dari sudut pandang aliran tingkatan pembentukan harga mulai
dari petani produsen awal sampai ke konsumer akhir dan sebaliknya maka
dapat dikemukakan dua aksi strategi kebijakan (action strategic policies) yang
relefan dan mungkin dapat diimplementasikan: pertama, pengendalian dan
pengelolaan ditingkat petani produsen awal, yang terkait dengan jumlah
produksi, waktu berproduksi, teknologi dan qualitas produk, biaya produksi
dan harga di tingkat petani produsen awal (pekebun/nelayan/petani
ikan/peternak); kedua, pengendalian dan pengelolaan harga disepanjang
jalur tingkatan jaringan pemasaran (marketing networks) mulai dari tingkatan
pasar paling bawah atau pasar ditingkat petani, pasar pedagang pengumpul,
perantara, pedagang pengencer sampai ke pasar konsumer akhir.
Pertama: Pengendalian dan pengelolaan produksi ditingkat petani
produsen awal dapat dilakukan dengan cara melengkapi sistem pemerintahan
di nagari bagi Sumatera Barat.
Pemerintahan ditingkat nagari perlu
dilengkapi sistemnya sehingga terdapat institusi yang betul-betul bertanggung
jawab dalam menyediakan akses yang mudah dan cepat bagi masyarakat
petani (pekebun/nelayan/penambak/perternak) terhadap kebutuhan akan
SAPRODI, informasi produksi, teknologi, pasar dan harga, dan lain-lain yang
diperlukan dalam usaha meningkatkan qualitas produk, produktivitas, nilai
tambah dan sistem produksi. Untuk tujuan tersebut maka perlu didirikan
Unit Pelaksana Teknis (UPT) DisPrinDakKop di tingkat nagari. UPT ini
diperankan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan
nagari.
Unit Pelaksana Teknis Deprindagkop dinagari ini bertugas mengevaluasi,
mengidentifikasi, menstimulasi dan mendinamisasi secara terus menerus dan
teratur serta berkesinambungan kegiatan-kegiatan produksi di nagari. Tidak
hanya itu, UPT ini juga memberikan pendidikan dan pelatihan, informasi
tentang perkembangan permintaan pasar, harga dan teknologi produk baik
bagi komoditas yang sedang laris dipasar maupun yang mungkin
ditumbuhkembangkan untuk masa-masa mendatang. Dalam hubungan ini
maka Sumber Daya Manusia (SDM) perlu pula dipersiapkan karena
bagaimanapun sulitnya persoalan tentu yang menyelesaikannya adalah
manusia itu sendiri dan anak nagari yang berdomisili di nagarinya masingmasing.
103

Lemahnya kualitas SDM di pedesaan atau nagari dipandang oleh banyak


kalangan sebagai persoalan yang sangat krusial dalam pembangunan
ekonomi regional dan nasional Republik Indonesia. Hal ini terkait dengan
pola fikir dan kebiasaan dalam kehidupan mereka sehari-hari yang masih
dalam ekonomi subsistem dan tradisonal, artinya kemampuan/keterampilan
mereka dalam berkerja dan berusaha masih jauh tertinggal dibandingkan
dengan mereka-mereka yang berada di negara-negara kawasan kita seperti:
Singapura, Malaysia, dan Thailand, dll.
Kondisi kehidupan di daerah sampai ke pedesaan memang diakui sampai
sekarang belum begitu atraktif untuk kegiatan industri dan bisnis karena tidak
didukung oleh fasilitas-fasilitas dan sarana-sarana yang memadai kalau
dibandingkan dengan di perkotaan.
Lemahnya fasilitas dan sarana
pendukung ekonomi pedesaan atau nagari tersebut telah menyebabkan
masyarakat pada umumnya kurang terinformasi secara teratur tentang
perkembangan-perkembangan yang terjadi disekelilingnya, dan kurang
terstimulasi untuk lebih maju dan kreatif, yang akhirnya membuat mereka
menjadi pemalas dan tertinggal dalam segala hal.
Justru itu, kedepan
kualitas SDM ditingkat pedesaan harus ditempatkan sebagai aspek penting
dan dijadikan prioritas dalam pembangunan bangsa. Apalagi dikaitkan
dengan tuntutan Otonomi Daerah yang pada dasarnya adalah bagaimana
secara bertahap mengurangi ketergantungan Daerah ke Pusat, sehingga
dalam waktu yang tidak terlalu lama maka ekonomi daerahlah yang menjadi
tulang punggung ekonomi nasional, di daerahlah terjadinya titik-titik tumbuh
ekonomi nasional, bukan lagi hanya di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya
seperti masa-masa lalu.
Kedua: pengendalian dan pengelolaan harga di setiap tingkatan alur
jalur jaringan pemasaran sampai ke konsumer akhir dapat dilakukan dengan
cara: memperpendek mata rantai jalur pemasaran (marketing networks)
disamping meningkatkan qualitas dan profesionalisme sistem manajemen
pemasaran itu tersendiri. Untuk itu maka perlu ditumbuhkembangkan model
pembangunan kawasan pedesaan berbasis konsep AGROPOLITAN dan
pembangunan sistem pemasaran terpadu model Terminal Agrobisnis,
disamping menumbuh kembangkan sistem pasar rakyat sehingga menjadi
lebih effisien dan attraktif.
Konsep Agropolitan diterjemahkan sebagai sebuah system yang
memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah
lain yang digunakan di negara-negara maju adalah kota di ladang, atau
sistem ekonomi desa yang identik dengan kota. Dengan demikian maka para
petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk
mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan yang berhubungan dengan
masalah produksi dan pemasaran maupun masalah yang berhubungan
dengan teknik budidaya pertanian, kredit modal kerja dan informasi pasar,
dan teknologi, dan lain-lain. Dengan demikian maka kawasan Agropolitan
bukanlah merupakan batas administrative-politis tetapi merupakan suatu
kawasan dimana kegiatan pertanian dan bisinis dapat berjalan secara terpadu
dan sinergis.
Konsep AGROPOLITAN ini di Indonesia pernah dielaborasi lebih dalam
oleh Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec, Mantan Menteri Pertanian RI,
104

dalam tulisannya tentang Pembangunan Agribisnis Sebagai Penggerak Utama


Ekonomi Daerah pedesaan di Indonesia (1999).
Namun sampai hari ini
diakui bahwa model ini belum begitu dikenal secara menyeluruh dan kalau
toh ada yang sudah menerapkannya tapi belum terlaksana menurut sistem
yang sesungguhnya dan seutuhnya. Terminal agrobisnis adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem AGROPOLITAN, berfungsi sebagai tempat
penampungan semua hasil-hasil pertanian dan dibangun dekat dengan
kawasan pertanian. Terminal Agrobisnis merupakan sebuah wadah yang
memfasilitasi dan mendinamisasi berkerjanya kegiatan transaksi bisinis
komoditas atau identik dengan lembaga bursa komoditas yang berperan
sebagai pintu keluar komoditas untuk bisa memasuki pasar yang lebih luas
dan lebih moderen.
Dalam kaitan dengan sistem pasar rakyat terdapat berbagai cara
memberi namanya, misal dari sudut pandang ukuran skala areal jangkauan
pasar, maka terdapat istilah untuk pasar rakyat tersebut yakni: pasar desa,
pasar kecamatan, pasar kabupaten, dst; kalau dilihat dari sisi kualitas fasilitas
pelayanan maka terdapat istilah yang namanya Pasar Rakyat, Pasar
Swalayan, Supermarket, Minimarket, dst. Yang paling sederhana dan sangat
terkait dengan kepentingan rakyat banyak kelas menengah kebawah adalah
pasar yang menurut nama hari ramainya seperti di Jawa dikenal dengan
istilah: pasar Pahing, Pon, Wage atau Kliwon, sedangkan di Jakarta dikenal
dengan nama pasar Minggu, Senen, Rebo, dan Jumat. Di Sumatera Barat
dikenal dengan nama: Pakan Kamieh, Pakan Rabaa, Pakan Sanayan, Pakan
Sabtu, dst.
PASAR RAKYAT pada hakikinya merupakan sebuah tempat atau areal
yang biasanya terletak disuatu kawasan pedesaan yang penduduknya dengan
mudah dapat datang atau mengunjunginya, ditempat tersebut berlangsung
pertemuan banyak orang atau rakyat kelas menengah kebawah secara teratur
dalam rangka pertukaran kebutuhan/keperluan (transaksi jual beli) baik
dengan menggunakan alat tukar maupun dilakukan dengan cara barter
antara pembeli dangan penjual atau sesamanya, antara produsen dengan
konsumen atau sesamanya.
Singkatnya, jika sistem agropolitan, terminal agrobisnis dan pasar rakyat
bertumbuh dan berkembang dengan baik maka dengan sendirinya mata
rantai sistem pemasaran yang panjang, bersekat-sekat selama ini dapat di
perpendek dan dimuluskan. Dengan demikian maka aliran pergerakkan
komoditas dari penjual awal ke konsumer akhir dan sebaliknya bisa bergerak
lebih cepat dan mudah. Kondisi yang demikian ini tentu sangat dibutuhkan
dalam rangka memotong margin margin harga yang monopolis atau
monopsonis dan merugikan rakyat banyak.
Walaupun diakui di Sumatera Barat bahwa perhatian dari para Public
Policy Makers adalah cukup tinggi dalam usahanya mendorong percepatan
sistem ekonomi dan bisnis berbasis nagari, namun dari banyak hasil penelitian
sebelum ini menunjukkan bahwa semuanya itu masih terlaksana secara
partial dan belum terpadu, sinergis dan berkesenambungan. Justru itu untuk
tahapan pertama dalam jangka pendek maka perlu didirikan UPT
Disporindagkop di Nagari sehingga bisa menjadi inisiator, stimulator dan
dinamisator untuk menumbuhkembangkan Kawasan Agropolitan yang
105

didukung oleh Terminal Agrobisnis dan Pusat-Pusat Pasar Rakyat. Untuk


Jangka Panjang merupakan bagian dari penyelamatan dan pembangunan
kekuatan saing ekonomi rakyat kedepan maka sudah waktunya untuk disusun
Rancang Bangun Sistem Terpadu Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan untuk
Indonesia dalam arti keseluruhan dan di Nagari dalam kasus Sumatera Barat.
REFERENSI
Awokuse, T. and J. Yang (2003), The Informational Role of Commodity Prices
in Formulating Monetary Policy: A Reexamination, Economics Letters, 79,
219-224.
Fischer, Stanley, and Franco Modigliani (1978), Towards an Understanding of
the Real Effects and Costs of Inflation, Weltwirtschaftliches Archiv, 114
(4), 736-787.
Furlong, F. and R. Ingenito (1996), Commodity Prices and Inflation, Federal
Reserve Bank of San Francisco Economic Review, 27-47.
Parkin, M. and G. Zis (1976a), Inflation in the World Economy. Manchester:
Manchester University Press.
Parkin, M. and G. Zis (1976b), Inflation in Open Economies. Manchester:
Manchester University Press.

106

You might also like