Professional Documents
Culture Documents
Audit kepabeanan dan audit cukai sebagai salah satu jenis audit semestinya
tidak terlepas dari auditing secara umum. Namun sifat audit kepabeanan dan audit
cukai yang lebih merupakan audit ketaatan membuatnya tampak lebih fokus kepada
pemenuhan ketentuan dibandingkan prinsip-prinsip lain yang lazim diterapkan dalam
auditing. Salah satu aspek pengujian dalam auditing adalah asersi manajemen.
Apakah dalam audit kepabeanan dan audit cukai juga terdapat asersi manajemen?
Jika memang ada, bagaimana asersi manajemen berperan dalam audit kepabeanan
dan audit cukai? Apakah pengujiannya dilakukan dalam audit kepabeanan dan audit
cukai? Bagaimana cara mengujinya?
Prosedur audit kepabeanan dan audit cukai tertuang dalam program-program
audit yang dirancang sebelum melakukan pekerjaan lapangan. Dengan menelaah
program-program audit dan membandingkannya dengan prinsip-prinsip asersi
manajemen akan dapat diketahui bahwa audit kepabeanan dan audit cukai tidak
terlepas dari asersi manajemen sebagaimana dalam audit keuangan. Meskipun
dalam audit kepabeanan dan audit cukai tidak secara lugas dinyatakan tentang
asersi manajemen, namun substansi yang hendak dicapai ternyata tetap dipengaruhi
oleh hasil pengujian terhadap asersi-asersi tersebut.
Kata kunci : audit kepabeanan, asersi manajemen, program audit
Karena audit kepabeanan dan audit cukai memiliki latar belakang yang sama
dengan audit keuangan, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam audit
kepabeanan dan audit cukai seharusnya memiliki kesamaan dengan audit keuangan.
Kalau dalam audit keuangan dikenal istilah asersi manajemen maka seharusnya hal
ini pun dijumpai dalam audit kepabeanan dan audit cukai. Akan tetapi, menilik
kepada peraturan-peraturan terkait audit kepabeanan dan audit cukai termasuk
dalam contoh program audit yang termaktub dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea
dan Cukai nomor PER-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit
Cukai serta PER-7/BC/2012 tentang Standar Audit Kepabeanan dan Audit Cukai,
tidak dijumpai adanya pernyataan tentang pengujian atas asersi manajemen.
Sedangkan pernyataan standar audit yang dikenal dalam audit keuangan secara
lugas membahas tentang asersi manajemen sebagaimana termaktub dalam
Pernyataan Standar Audit (PSA) no. 07 tentang Bukti Audit.
Asersi Manajemen
PSA No. 07 mendefinisikan asersi sebagai pernyataan manajemen yang
terkandung di dalam komponen laporan keuangan. Pernyataan tersebut bisa bersifat
eksplisit maupun implisit. Pernyataan eksplisit misalnya ketika dinyatakan dalam
neraca terdapat piutang senilai Rp. 2.000.000, maka dapat dipahami bahwa
manajemen menyatakan keberadaan piutang tersebut dengan jumlah sesuai yang
tertulis dalam neraca. Pernyataan tersebut secara implisit juga dapat dipahami,
manajemen menyatakan bahwa penyajian piutang tersebut telah dilakukan mengikuti
prinsip-prinsip pengakuan dan pelaporan piutang sesuai prinsip akuntansi berlaku
umum atau dalam konteks Indonesia sesuai Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK).
Asersi manajemen digolongkan dalam lima kategori besar asersi:
1. Asersi mengenai keberadaan atau keterjadian (existence or occurrence).
Asersi tentang keberadaan atau keterjadian berhubungan dengan apakah aktiva
atau utang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah
terjadi selama periode tertentu. Sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa
sediaan produk jadi yang tercantum dalam neraca adalah tersedia untuk dijual.
Begitu pula, manajemen membuat asersi bahwa penjualan dalam laporan laba-rugi
menunjukkan pertukaran barang atau jasa dengan kas atau aktiva bentuk lain,
misalnya piutang, dengan pelanggan.
2. Asersi mengenai kelengkapan (completeness).
Asersi tentang kelengkapan berhubungan dengan apakah semua transaksi dan
akun yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan telah dicantumkan di
dalamnya. Sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa seluruh pembelian
barang dan jasa dicatat dan dicantumkan dalam laporan keuangan. Demikian pula,
manajemen membuat asersi bahwa utang usaha di neraca telah mencakup semua
kewajiban entitas.
3. Asersi mengenai hak dan kewajiban (right and obligation).
Asersi tentang hak dan kewajiban berhubungan dengan apakah aktiva
merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban perusahaan pada tanggal
tertentu. Sebagai contoh manajemen membuat asersi bahwa jumlah sewa guna
usaha (lease) yang dikapitalisasi di neraca mencerminkan nilai pemerolehan hak
entitas atas kekayaan yang disewagunausahakan (leased) dan utang sewa guna
usaha yang bersangkutan mencerminkan suatu kewajiban entitas.
4. Asersi mengenai penilaian dan alokasi (valuation and allocation).
Asersi tentang penilaian atau alokasi berhubungan dengan apakah komponenkomponen aktiva, kewajiban, pendapatan dan biaya sudah dicantumkan dalam
laporan keuangan pada jumlah yang semestinya. Sebagai contoh, manajemen
membuat asersi bahwa aktiva tetap dicatat berdasarkan harga pemerolehannya dan
pemerolehan semacam itu secara sistematik dialokasikan ke dalam periode-periode
akuntansi yang semestinya. Demikian pula manajemen membuat asersi bahwa
piutang usaha yang tercantum di neraca dinyatakan berdasarkan nilai bersih yang
dapat direalisasikan.
5. Asersi mengenai penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure).
Asersi tentang penyajian dan pengungkapan berhubungan dengan apakah
komponen-komponen tertentu laporan keuangan diklasifikasikan, dijelaskan, dan
diungkapkan semestinya. Misalnya, manajemen membuat asersi bahwa kewajibankewajiban yang diklasifikasikan sebagai utang jangka panjang di neraca tidak akan
jatuh tempo dalam waktu satu tahun. Demikian pula, manajemen membuat asersi
bahwa jumlah yang disajikan sebagai pos luar biasa dalam laporan laba-rugi
diklasifikasikan dan diungkapkan semestinya.
Prosedur audit yang dilakukan dalam program audit impor umum adalah
sebagai berikut :
1. Lakukan penilaian keandalan pengendalian internal
2. Dapatkan dokumen pemberitahuan pabean beserta lampirannya, lakukan
rekapitulasi.
3. Uji kesesuaian jumlah dokumen pemberitahuan impor barang dengan Bukti
Audit terkait
4. Pastikan transaksi yang diberitahukan tercatat dalam pembukuan auditee.
5. Dapatkan dan pelajari bukti audit (misalnya sales contract dan perjanjian
keagenan) yang terkait dengan transaksi yang sedang diaudit
6. Dapatkan dan evaluasi pembukuan/data akuntansi atau dokumen legal untuk
meyakini bahwa persyaratan nilai transaksi terpenuhi.
7. Dapatkan dan evaluasi bukti audit berupa bukti transaksi (misalnya invoice)
atau korespondensi, bukti dari pihak ketiga (bila diperlukan), dan pembukuan.
8. Lakukan pengujian bukti audit tersebut dengan pembukuan untuk meyakini
harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar untuk transaksi
yang diberitahukan.
9. Dapatkan dan evaluasi bukti audit berupa bukti transaksi (misalnya invoice)
atau korespondensi, bukti dari pihak ketiga (bila diperlukan), dan pembukuan.
10. Lakukan pengujian bukti audit tersebut dengan pembukuan untuk meyakini
besarnya biaya-biaya yang harus ditambahkan pada harga yang sebenarnya
dibayar atau seharusnya dibayar untuk transaksi yang diberitahukan.
11. Bandingkan hasil prosedur 8 dan 10 dengan nilai pabean yang diberitahukan
dalam dokumen pemberitahuan pabean.
12. Dapatkan dan evaluasi bukti audit (misalnya packing list dan laporan
penerimaan barang).
13. Bandingkan hasil prosedur 12 dengan jumlah dan jenis barang yang
diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean.
14. Bandingkan klasifikasi dan pembebanan yang diberitahukan dalam dokumen
pemberitahuan pabean dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
15. Tentukan klasifikasi dan pembebanan sesuai dengan BTKI apabila hasil
pengujian jenis barang tidak sesuai dengan pemberitahuan.
16. Bandingkan
pemberitahuan
tarif
pembebanan
dalam
dokumen
Direktorat IKC, dan data hardcopy PIB yang dimiliki auditee sebagai bukti audit,
pengujian jumlah dokumen PIB akan memberikan beberapa kemungkinan hasil :
Terdapat data PIB dalam SPT Masa PPN namun tak ditemukan baik dalam
database IKC atau pun maupun hardcopy PIB dari auditee
Terdapat data PIB dalam database IKC yang tidak tercatat dalam SPT Masa
PPN dan juga tidak diperoleh hardcopy PIB-nya dari auditee.
Terdapat hardcopy PIB yang datanya tidak tercatat dalam database IKC
Dengan menganalisis berbagai fakta yang ditemukan dari perbandingan
tersebut akan dapat diidentifikasi keberadaan PIB fiktif dari berbagai sudut pandang
yaitu sudut pandang DJBC, sudut pandang Ditjen Pajak dan auditee. Ketika tim audit
membaca data yang disajikan oleh auditee baik berupa SPT Masa PPN maupun
hardcopy PIB selama periode audit, maka melalui data tersebut secara implisit
auditee menyatakan bahwa PIB yang tercantum dalam SPT Masa PPN maupun
hardcopy tersebut benar-benar merupakan kegiatan pemasukan barang yang
dilakukan auditee. Ketika kegiatan kepabeanan tersebut ternyata dapat dibuktikan
tidak pernah terjadi atau pun pemberitahuan impor itu sebenarnya tidak pernah ada
maka
auditee
harus
bersiap
menghadapi
implikasinya
sesuai
ketentuan
kemungkinan
ketidakakuratan
kesimpulan
audit
akibat
kepabeanan ternyata salah sasaran maka secara jelas terdapat indikasi bahwa telah
terjadi penyimpangan ketentuan kepabeanan dan cukai.
Ketika terjadi kegiatan kepabeanan dan cukai, setiap pihak yang terlibat
dalam prosesnya seharusnya ditempatkan sesuai posisinya masing-masing. Pembeli
yang sebenarnya melakukan pembelian terhadap suatu produk impor seharusnya
diposisikan sebagai importir sedang sang penjual diposisikan sebagai eksportir.
Keduanya
terikat
dengan
ketentuan-ketentuan
perundangan
yang
memang
diperuntukkan bagi importir atau eksportir. Sedangkan pihak yang hanya berperan
sebagai perantara transaksi bukanlah importir atau eksportir sehingga tidak
seharusnya diperlakukan mengikuti ketentuan perundangan yang mengikat importir
atau eksportir. Sebaliknya, posisi mereka dalam konteks ketentuan perundangan di
bidang kepabeanan dan cukai bisa jadi adalah indentor, makelar atau pengusaha
pengurusan jasa kepabeanan.
Faktanya, dalam pengakuan transaksi seringkali terjadi ketidaksesuaian
antara pihak yang mengaku sebagai penjual dan pembeli dengan pihak yang
sebenarnya melakukan transaksi jual beli. Pihak yang sebenarnya hanya menjadi
perantara dan memang hanya memperoleh fee atas jasanya sebagai perantara
transaksi ternyata mengaku sebagai pembeli atau pun penjual. Akibatnya, ketika
proses audit menguji kebenaran transaksi, justru data transaksi tersebut tidak dapat
ditemukan karena memang sesungguhnya transaksi itu dilakukan oleh pihak lain.
Pengakuan akuntansi atas pembelian dilakukan oleh pihak yang sesungguhnya
melakukan transaksi sedang pihak yang diaudit ternyata hanya mencatat
penerimaan sejumlah fee dan tidak pernah mencatat pembayaran atau pun
pengakuan kewajiban.
Dalam konteks audit atas importir umum, ketika asersi mengenai hak dan
kewajiban tidak terpenuhi maka tidak dimungkinkan untuk melakukan pengujian nilai
transaksi suatu transaksi impor karena catatan yang valid atas nilai transaksi
tersebut hanya dimiliki oleh pihak yang sesungguhnya melakukan transaksi. Dalam
hal ini langkah yang kemudian dilakukan adalah menggugurkan persyaratan nilai
transaksi karena tidak adanya transaksi pembelian yang sesungguhnya antara
pemberitahu impor (importir) dengan penjual (eksportir) di luar negeri. Dengan
gugurnya persyaratan nilai transaksi maka penetapan nilai pabean berdasarkan nilai
10
mengenai
penyajian
dan
pengungkapan
(presentation
and
disclosure).
Salah satu faktor utama dalam audit keuangan, berhubungan dengan apakah
komponen-komponen tertentu laporan keuangan diklasifikasikan, dijelaskan, dan
11
perundangan,
maka
bisa
berakibat
diberikannya
sanksi-sanksi
administrasi.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa audit kepabeanan dan
audit cukai ternyata tidak terlepas dari asersi manajemen sebagaimana dalam audit
keuangan. Meskipun dalam audit kepabeanan dan audit cukai tidak secara lugas
dinyatakan tentang asersi manajemen, namun substansi yang hendak dicapai
ternyata tetap dipengaruhi oleh hasil pengujian terhadap asersi-asersi tersebut.
12
13