You are on page 1of 4

Nama : Romi Julio rahman

Kelas : akuntansi 5D
Nim

: 5552110226

Akuntansi sektor public

DESENTRALISASI DI INDONESIA
1. Mengapa desentralisasi justru menyebabkan perlambatan ekonomi birokrasi
menjadi sulit ?
Karena masalah sentralisasi dan desentralisasi bukan lagi dipandang sebagai
persoalan penyelenggara negara saja. Pada akhirnya kekuatan suatu bangsa harus
diletakkan pada masyarakatnya. Saat ini di banyak wilayah, politik lokal dikuasai selain
oleh orang-orang partai politik juga kelompok-kelompok yang menjalankan prinsip
bertentangan dengan pencapaian tujuan kesejahteraan umum. Kekuatan kelompok pro
pembaruan lemah di banyak daerah dan langsung harus berhadapan dengan kekuatankekuatan politik lokal dengan kepentingan sempit. Pemerintah pusat seharusnya
memperkuat elemen masyarakat untuk berhadapan dengan kekuatan tadi. Sebagai contoh,
KPU daerah diberi wewenang untuk merekomendasikan penghentian pilkada, bukan
melalui gubernur dan DPRD. Namun, sebagai institusi KPU daerah harus diperkuat
secara institusional dan organisatoris. Meskipun pemerintah pusat mungkin tidak
diharapkan untuk ikut mendorong perubahan sistem politik yang ada sekarang, perbaikan
penegakan hukum di daerah-daerah sangat membantu kekuatan masyarakat pro
perubahan.
Birokrasi sekali lagi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan daerah.
Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, bisa berperan sebagai alat
merasionalisasikan masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu pemerintah
daerah dalam mendesain pelayanan publik yang akuntabel. Pemerintah daerah sering
pada situasi terlalu terpengaruh dengan kepentingan perpolitikan lokal. Terakhir yang
tidak kalah pentingnya adalah representasi persoalan daerah di tingkat pusat. Sekarang ini
sistem perwakilan daerah yang ada baik di DPR maupun asosiasi bersifat elitis. Tetap
yang berlaku antara hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Persoalan daerah
harus ditangani oleh sesuatu badan yang lebih independen dari kepentingan yang ada di
pusat dan daerah. Badan ini seharusnya mampu membahas apa peran pemerintah pusat

dan pemerintah daerah yang paling diperlukan untuk kesejahteraan daerah. Perlu
dipikirkan suatu badan yang otoritatif untuk membuat advokasi, rekomendasi kebijakan,
dan pemonitoran yang mewakili orang-orang kompeten baik unsur pemerintah pusat,
pemerintah daerah, maupun masyarakat.

1. Mengapa Dana perimbangan tidak mempersempit kesenjangan malah memperlebar


kesenjangan

Peraturan

Pemerintah

No.104/2000

yang

berkaitan

dengan

Dana

Perimbangan yang berasal dari APBN dan dialokasikan ke daerah untuk membiayai
desentralisasi. Peraturan ini menentukan formula yang digunakan untuk distribusi
transfer dari pemerintah pusat ke daerah: dana alokasi umum, dana aloksai khusus,
dan bagi hasil dari pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan serta penerimaan dari sumberdaya alam. DAU, yang dihitung dari
pendapatan 71 persen seluruh kota pada tahun 2001 dan mencakup sekitar 2/3 dari
seluruh kabupaten, adalah gambaran tentang desentralisasi yang sangat penting
menyangkut mekanisme transfer perimbangan

antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah (Hofman, Kadjadmik and Kaiser, 2002). Pada tahun 2001, total
DAU untuk semua daerah berjumlah Rp. 60,5 trilliun or 75 persen dari total Dana
Perimbangan. DAU 2001 didasarkan pada pertimbangan masa lalu yang tidak boleh
kurang dari sebelumnya. DAU juga mengakomodir tambahan jumlah pegawai dan
kewajiban-kewajiban sehubungan dengan desentralisasi. DAU 2002 dialokasikan ke
dalam 3 hal : lumpsum, perimbangan dana, dan rumusan kapasitas fiskal. Dalam
jangka menengah,
DAU diharapkan menjadi sumber pembiayaan daerah yang tetap, sesuai dengan
alokasi yang ditetapkan dari pendapatan nasional pemerintah pusat. Dalam jangka
pendek, barangkali, pendapatan pendapatan yang diperoleh tidak tetap, berkenaan
dengan tidak semua daerah akan menerima manfaat pembangunan yang sebanding
dari DAU karena pendapatan nasional ini juga tidak tetap akibat kondisi makro
ekonomi.
Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk membelanjai kebutuhannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Tujuan dari pemberian dana itu adalah untuk mengurangi kesenjangan

fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maupun kesenjangan antara
sesama Pemerintah Daerah. Disatu pihak, Dana Perimbangan sangat berperan sebagai
perekat NKRI. Di lain pihak, alokasi dana itu sangat sensitif dan, kalau tidak hati-hati
dalam pelaksanaannya, dapat menjadi penyebab ketidak percayaan, kecemburuan
ataupun perpecahan antar daerah serta rawan terhadap penyalahgunaan. Oleh karena
itu pengelolaan dana tersebut harus benar dan sesuai dengan kesepakatan yang dimuat
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun temuan hasil
pemeriksaan atas penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan
yang signifikan, antara lain, adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ketentuan Pasal 4 ayat (3)
Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana Alokasi
Umum (DAU) dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah
mendapat alokasi DAU lebih dari seharusnya sebesar Rp168,46 miliar;
2. Penghitungan DAU tidak seluruhnya didasarkan pada data dasar yang jelas;
3. Data dasar berupa luas wilayah yang digunakan untuk penghitungan DAU belu
sepenuhnya mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005;
4. Penghitungan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak mengikuti kriteria umum,
kriteria khusus, dan kriteria teknis yang ditetapkan sehingga alokasi DAK tahun 2006
sebesar Rp1,42 triliun dan tahun 2007 sebesar Rp1,07 triliun tidak mempunyai
dasar;
5. Terdapat kesalahan penghitungan alokasi DAK sehingga 21 daerah kurang alokasi
sebesar Rp4,22 miliar dan 15 daerah kelebihan alokasi DAK sebesar Rp1,26 miliar;
6. Pencairan DAK TA 2006 tidak sesuai ketentuan dan pada akhir TA 2006 dana
tersebut menumpuk pada kas daerah atau kas Satuan Kerja Pemerintah Daerah
(SKPD) sehingga berpotensi digunakan di luar tujuan semula;
7. DAK untuk Dana Reboisasi sebesar Rp998,71 juta yang berasal dari TA 2002 s.d.
2005 sudah dikeluarkan dari kas negara, tapi masih tersimpan di rekening khusus
Dirjen Perbendaharaan;
8. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) terlambat disalurkan dan
terdapat DBH SDA tahun 2006 yang belum disalurkan sebesar Rp1,15 triliun;
9. Realisasi DBH SDA Minyak Bumi Triwulan I Tahun 2007 yang merupakan hak
Provinsi/Kota/Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur kurang disalurkan sebesa
Rp71,99 miliar;

10. Penerimaan dana perimbangan pada 45 Pemerintah Daerah senilai Rp1,54 triliun
dilakukan tanpa melalui kas daerah, diantaranya sebesar Rp71,18 miliar digunakan
secara langsung tanpa melalui mekanisme APBD dan sebesar Rp149,34 miliar belum
disetor ke kas daerah;
11. Penerimaan dan pengelolaan upah pungut Pajak Bumi dan Bangunan/ Bea
Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan (PBB/BPHTB) pada 90 Pemerintah Daerah
senilai Rp120,88 miliar dilakukan di luar mekanisme APBD dan diantaranya
digunakan langsung sebesar Rp90,77 miliar dan
sebesar Rp19,27 miliar belum disetor ke Kas Daerah. Dalam era modern sekarang ini,
pemungutan PBB/ BPHTB masih didasarkan pada cara tradisional, pemungutan pajak
era Kerajaan Mataram yang memberi upah pungut kepada Kapten Cina untuk
mengungut pajak bagi kerajaan. Padahal, berbeda dengan dahulu kini Pemerintah
sudah memiliki aparat dan administrasi perpajakan modern maupun teknologi canggih
termasuk foto udara untuk memantau kondisi setiap jengkal tanah dan bangunan.

You might also like