Professional Documents
Culture Documents
salah dan berakibat fatal. Salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi ini adalah perilaku
masyarakat yang dapat membuat struktur keluarga terpecah (pekerja migrasi, perceraian dll)
yang pada akhirnya membuat anak terlantar dan menjadi kurang gizi. Faktor lain yang juga
cukup dominan adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi dan kesehatan para ibu atau
keluarga yang mengasuh dan memelihara anak/balita tersebut, juga rapatnya jarak kehamilan
dan kelahiran. Selain itu juga anak tidak mendapat cukup perhatian dan ASI, karena ibunya
sangat sibuk mengurusi anak yang banyak serta asupan makanan yang kurang atau anak
sering sakit/terkena infeksi.
Beberapa faktor penyebab:
1. Tidak tersedianya makanan secara adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial
ekonomi. Kadang-kadang bencana alam, perang maupun kebijakan politik maupun
ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat
identik dengan tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain
menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dengan kemiskinan.
Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak
malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk,
makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi. Kemiskinan sering dituding
sebagai biang keladi munculnya penyakit ini di negara-negara berkembang.
Rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan kebutuhan paling mendasar yaitu
pangan pun sering tidak bisa terpenuhi. Laju pertambahan penduduk yang tidak
diimbangi dengan bertambahnya ketersediaan bahan pangan akan menyebabkan krisis
pangan. Inipun menjadi penyebab munculnya penyakit kurang gizi.
2. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang. Makanan alamiah terbaik
bagi bayi yaitu ASI, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat makanan
pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berakibat
terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi
dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta
vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di
rumah.
Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali
anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi
balita karena ketidaktahuan. Faktor sosial: yang dimaksud disini adalah rendahnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan bergizi bagi pertumbuhan anak.
Sehingga banyak balita yang diberi makan sekedarnya atau asal kenyang padahal
miskin gizi.
3. Pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh
ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal
pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin,
ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas
pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizinya buruk ternyata diasuh oleh
nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya
perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI,
kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk. Kebiasaan, mitos
ataupun kepercayaan/ adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam
pemberian makan akan sangat merugikan anak. Misalnya kebiasaan memberi minum
bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada
makanan tertentu (misalnya tidak memberikan anak-anak daging, telur, santan dll),
hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapatkan asupan lemak, protein
maupun kalori yang cukup.
Selain perdarahan juga terjadi syok yang biasanya dijumpai saat demam telahmenurun
antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda makin lemah, ujungujung jari, telinga, dan
hidung teraba dingin dan lembab (Ngastiah, 2005).
Menurut Misnadiarly (2009), tanda atau gejala awal perjalanan penyakit DBD yaitu
panas tinggi tanpa sebab jelas yang timbul mendadak dan terus-menerus, badan lemah atau
lesu, ujung jari kaki dan tangan teraba dingin atau lembab. Selanjutnya demam yang akut,
selama 2-7 hari, dengan 2 atau lebih gejala sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri otot, nyeri
persendian, bintik-bintik pada kulit sebagai manifestasi perdarahan dan leukopenia.
Menurut World Health Organization (1997), DBD diklasifikasikan menjadi 4 tingkat
keparahan.
Derajat I
: Demam disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik, satusatunya manifestasi perdarahan adalah tes torniket positif dan muntah memar.
Derajat IV :
gangguan
jantung
dan
organ
lain).
Untuk
mengetahui
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Jughan
Sitorus
(2003),
hasilnya
Berdasarkan kasus yang terjadi di lapangan, maka kebijakan pemerintah dan strategi
pengendalian dalam upaya memberantas nyamuk Aedes aegypti yang menyebabkan DBD di
berbagai wilayah di Indonesia belum berhasil. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan dan
pemantauan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat supaya upaya pemerintah dalam
menurunkan kasus kejadian DBD dapat berhasil. Diharapkan juga adanya pemantauan
terhadap faktor iklimsecara berkelanjutan. Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan dengan
adanya kerjasama yang baik antara Dinasa Kesehatan dengan BMKG, sehingga
kasus/kejadian penyakit dapat diprediksi,dicegah ditangani secara cepat dan tepat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidak-berhasilan Program Pencegahan dan
Pemberantasan Demam Berdarah Dengue dalam mencegah dan menurunkan tingginya angka
kejadian penyakit DBD di daerah penelitian berhubungan erat dengan belum adanya
peranserta warga masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas
program. Warga masyarakat di daerah penelitian tidak memiliki akseslangsung kepada
informasi dan pengetahuan mengenai program, yang merupakan prakondisi bagi berperan
sertanya warga masyarakat dalam suatu program Hal ini disebabkan penyuluhan, yang
merupakan saluran penyampaian informasi dari para pelaksana program di lapangan kepada
warga masyarakat, belum berjalan dengan baik; karena adanya berbagai kendala pada
pelaksana program di lapangan.
merupakan motor penggerak dari Desa Siaga. Oleh karena itu, agar desa
memiliki kesiapsiagaan untuk menanggulangi kegawatdaruratan ibu hamil dan bersalin, maka
perlu dikembangkan mekanisme kemitraan seperti kemitraan bidan desa dengan dukun bayi.
Sayangnya peran bidan seperti yang tertulis di atas tidak didukung dengan ketersediaan bidan
di setiap desa. Fenomena dukun bayi merupakan salah satu bagian yang cukup besar
pengaruhnya dalam menentukan status kesehatan ibu dan bayi, karena sekitar 40% kelahiran
bayi di Indonesia dibantu oleh dukun bayi. Keadaan ini semakin diperparah karena umumnya
dukun bayi yang menolong persalinan tersebut bukan dukun terlatih.
Pemerintah sebagai regulator seharusnya lebih menekankan warganya untuk ikut
berpartisipasi dalam program-program yang dibuat pemerintah untuk menurunkan angka
kematian ibu dan bayi melalui beberapa program. salah satuya adalah melalui bantuan
pemberian makanan tambahan (PMT) dengan harapan dapat memperbaiki konsumsi gizi
pada ibu hamil. PMT merupakan salah satu komponen penting dalam program Usaha
Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Selain itu Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
merupakan bantuan dana dari pemerintah pusat melalui Kementrian Kesehatan. Tujuannya
adalah untuk membantu pemerintah daerah melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai
Pelayanan Kesehatan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan untuk mempercepat pencapaian
MDGs dengan meningkatkan kinerja puskesmas dan jaringannya serta Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan.
Analisis Malaria
d. Lintas sektor terkait telah berperan secara penuh dan sinergis mulai dari
pemerintah, pemerintah daerah, LSM, organisasi profesi, lembaga internasional,
lembaga donor dan lain-lain dalam eliminasi malaria yang tertuang didalam
Peraturan Perundangan daerah.
e. Upaya penanggulangan malaria dilakukan secara intensif sehingga kasus dengan
penularan setempat (indigenous) tidak ditemukan dalam periode waktu satu tahun
terakhir.
4. Tahap Pemeliharaan (Pencegahan Penularan Kembali)
a. Mempertahankan Kasus indigenous tetap nol.
b. Kegiatan surveilans yang baik masih dipertahankan.
c. Re-orientasi program menuju Tahap Pemeliharaan kepada semua petugas
kesehatan, pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai
dengan baik.
d. Adanya konsistensi tanggung jawab pemerintah daerah dalam tahap pemeliharaan
secara berkesinambungan dalam kebijaksanaan, penyediaan sumber daya baik
sarana dan prasarana serta sumber daya lainnya yang tertuang dalam Peraturan
Daerah atau Peraturan Perundangan yang diperlukan di Provinsi/Kabupaten/Kota.
B. KEGIATAN DALAM ELIMINASI MALARIA
1. Tahap Pemberantasan Tujuan utama pada Tahap Pemberantasan adalah
mengurangi tingkat penularan malaria disatu wilayah minimal kabupaten/kota,
sehingga pada akhir tahap tersebut tercapai SPR < 5 %. Sasaran intervensi
kegiatan dalam Tahap Pemberantasan adalah seluruh lokasi endemis malaria
(masih
terjadi
penularan)
di
wilayah
yang
akan
dieliminasi.
Untuk mencapai tujuan Tahap Pemberantasan, perlu dilakukan pokok-pokok
kegiatan sebagai berikut :
a. Penemuan dan Tata Laksana Penderita
- Meningkatkan cakupan penemuan penderita malaria dengan konfirmasi
laboratorium baik secara mikroskopis maupun RDT.
- Mengobati semua penderita malaria (kasus positif) dengan obat malaria
efektif dan aman yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI (saat ini
menggunakan Artemisinin Combination Therapy).
- Melakukan pemeriksaan ulang sediaan darah, pemantauan kualitas RDT, dan
meningkatkan kemampuan mikroskopis.
- Memantau efikasi obat malaria.
b. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
- Melakukan survei vektor dan analisis dinamika penularan untuk menentukan
metode pengendalian vektor yang tepat.
- Mendistribusikan kelambu berinsektisida secara massal maupun integrasi
dengan program/sektor lain di lokasi endemis malaria.
- Melakukan penyemprotan rumah (Indoor Residual Spraying) atau
pengendalian vektor lain yang sesuai di lokasi potensial atau sedang terjadi
KLB.
Melibatkan sepenuhnya peran praktek swasta dan klinik serta rumah sakit
swasta dalam penemuan dan pengobatan penderita.
b. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
Melakukan pengendalian vektor yang sesuai, antara lain dengan pembagian
kelambu berinsektisida (cakupan > 80% penduduk) atau penyemprotan rumah
(cakupan > 90% rumah) untuk menurunkan tingkat penularan di lokasi fokus
baru dan sisa fokus lama yang masih aktif.
Bila perlu melakukan larvasidasi atau manajemen lingkungan dilokasi fokus
yang reseptivitasnya tinggi (kepadatan vektor tinggi dan adanya faktor
lingkungan serta iklim yang menunjang terjadinya penularan).
Memantau efikasi insektisida (termasuk kelambu berinsektisida) dan resistensi
vektor.
Memberikan perlindungan individu dengan kelambu berinsektisida kepada
penduduk di wilayah eliminasi yang akan berkunjung ke daerah lain yang
endemis malaria baik di dalam maupun di luar negeri.
c. Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah
Semua unit pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta (Puskesmas,
poliklinik, rumah sakit) melaksanakan SKD-KLB malaria, dianalisis dan
dilaporkan secara berkala ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Segera melakukan penanggulangan bila terjadi KLB malaria.
Melaksanakan surveilans penderita dengan ketat, terutama bila sudah mulai
jarang ditemukan penderita dengan penularan setempat.
Melaksanakan surveilans migrasi untuk mencegah masuknya kasus impor.
Melakukan penyelidikan epidemologi terhadap semua kasus positif malaria
untuk menentukan asal penularan penderita.
Melaporkan dengan segera setiap kasus positif malaria yang ditemukan di unit
pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta kepada Dinas Kesehatan
secara berjenjang sampai tingkat pusat.
Melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap fokus malaria untuk
menentukan asal, luas dan klasifikasi fokus tersebut.
Memperkuat sistem informasi malaria sehingga semua kasus dan hasil
kegiatan intervensi dapat dicatat dengan baik dan dilaporkan.
Mencatat semua kasus positif dalam buku register secara nasional.
Melaksanakan pemeriksaan genotipe isolate parasit secara rutin.
Membuat peta GIS berdasarkan data fokus, kasus positif, genotipe isolate
parasit, vektor, dan kegiatan intervensi yang dilakukan.
Memfungsikan Tim Monitoring Eliminasi Malaria di Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
d. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
Meningkatkan promosi kesehatan dan kampanye eliminasi malaria.
Menggalang kemitraan dengan berbagai program, sektor, LSM, organisasi
keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi
internasional, lembaga donor, dunia usaha dan seluruh masyarakat.
I.
II.
III.
Untuk mencegah munculnya kembali kasus dengan penularan setempat, dilakukan kegiatan
kewaspadaan sebagai berikut:
-
Di samping kegiatan kewaspadaan seperti di atas, masih dilakukan kegiatan surveilans yang
lain seperti :
IV.
V.
Mencatat semua kasus positif dalam buku register di kabupaten/kota, provinsi dan
pusat.
Melakukan pemeriksaan genotip isolate parasit.
Melakukan penyelidikan epidemologi terhadap fokus malaria untuk menentukan asal
dan luasnya penularan serta klasifikasinya.
Membuat peta GIS berdasarkan data fokus, kasus, genotip isolate parasit, vektor dan
kegiatan intervensi.
Peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Meningkatkan promosi kesehatan untuk mencegah kembalinya penularan dari kasus
impor yang terlambat ditemukan.
Menggalang kemitraan dengan berbagai program, sektor, LSM organisasi keagamaan,
organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi internasional, lembaga
donor, dunia usaha, dan seluruh masyarakat.
Melakukan integrasi dengan program lain dalam kegiatan penurunan reseptivitas.
Melakukan advokasi dan sosialisasi agar mendapat dukungan politik dan jaminan
dalam penyediaan dana minimal untuk pemeliharaan eliminasi (mencegah penularan
kembali).
Peningkatan Sumber Daya Manusia
Melakukan refreshing dan motivasi kepada petugas mikroskopis agar tetap
menjaga kualitas dalam pemeriksaan sediaan darah
Sesuai dengan KEPMENKES No. 293 Tahun 2009 Tentang Malaria. Pemerintah
Indonesia fokus aktif dalam pemberantasan malaria melalui suatu kegiatan preventif
(pencegahan) dengan membagi-bagikan kelambu dengan insektisida secara gratis. Hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya kontak langsung dengan media penularan malaria yaitu
nyamuk. Diharapkan dengan pembagian kelambu gratis ini dapat mengurangi peningkatan
dan endemik kasus malaria yang terjadi di Papua, kabupaten kulon progo, dan daerah-daerah
endemik malaria lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencana Pembangunan Nasional. 2010. Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi
2011-2015. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia.
Hidajat, Diana D. Inderajao. _____. Peranserta Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue: Kasus di Jakarta. Depok: Tesis
Fakultas Kdokteran Universitas Indonesia
HUSNI, FAISAL. 2012. Tesis dengan judul : Efektivitas Bantuan Operasional Kesehatan Di
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Rian Tahun 2011 dan 2012. Universitas Indonesia
: Depok.
Iriani, Yulia. 2012. Hubungan antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus Demam Berdarah
Dengue Anak di Kota Palembang. Vol. 3, No. 6. Palembang: Sari Pediatri
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 293/Menkes/Sk/Iv/2009. Tentang
Eliminasi Malaria Di Indonesia. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Nirwana, Topan. 2013. Pengaruh Curah Hujan, Temperatur dan Kelembaban Terhadap
Kejadian Penyakit DBD,Ispa dan Diare: Suatu Kajian Literatur. Bandung: Program
Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran
Rahma Edy Pakaya, dkk. Upaya Penanggulangan Gizi Buruk pada Balita. Ilmu Kesehatan
Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat Vol. 24, No. 2, Juni
2008. Hal 69-75 . 2008.
Riset Kesehatan Dasar. 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI.
World Health Organization. 2011. Nutrition for Health and Development. Jenewa. WHO.
http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/06/08/upaya-perbaikan-gizi-dimulai-dari-ibuhamil-guna-melahirkan-bayi-yang-sehat/
http://www.bakrieglobal.com/corporate-social-responsibility/read/2306/Program-Gizi-Balitadan-Ibu-Hamil-Kepedulian-EMP-Malacca-Strait-S.A-pada-Masa-Depan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41225/3/Chapter%20II.pdf