You are on page 1of 9

AGAMA HINDU

Agama Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan terutama
di India dan Nepal yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini meliputi berbagai aliran di
antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta serta suatu pandangan luas akan hukum dan aturan
tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan.
Agama Hindu cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual,
daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam.
Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini, dan
umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Santana-dharma (Dewanagari: ),
artinya "darma abadi" atau "jalan abadi" yang melampaui asal mula manusia. Agama ini
menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya tanpa memandang strata,
kasta, atau sekte seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.
Para ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi
dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkalpangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah
Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500200 SM, dan
tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "sintesis
Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi.
Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah
"Hinduisme" mulai dipakai secara luas), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat
berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama
Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan
tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan
politis dan jati diri bangsa India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan
pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang
disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat
Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa
brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar") dan Smerti
(apa yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban),
prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu. Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda,
Upanishad (keduanya tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana,
Manusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).

Karakteristik Agama Hindu


Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan
Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian
berbeda. Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat teistik. Sebagian besar sekte
dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam semesta dasar bagi segala fenomena di
dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai wujud yang disebut dengan berbagai nama,
seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai
kemajemukan di dunia merupakan bagian dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat
boleh berkontemplasi tentang misteri Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat
didefinisikan sebagai Tuhan personal atau pun impersonal) dan mengungkapkannya melalui
mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari
kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau
dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).

Akar Hinduisme
Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah
menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah 'Hinduisme'
atau 'agama Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak
purbakala. Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan seorang tokoh
pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme sebagai gabungan dari
berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India. Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau
agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi, yang merupakan hasil peleburan antara bangsa
Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban Harrapa. Selain itu, tradisi yang mendukung
perkembangan agama Hindu meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta
kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai
Indus, tradisi bangsa Dravida, serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.
Setelah periode Weda (antara 500200 SM dan kr. 300 M, pada permulaan periode "Wiracarita
dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul (masa ketika
dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan tradisi bhakti
ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di bawah tekanan
perkembangan Buddhisme dan Jainisme. Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab
Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di tengah-tengah
akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya adalah kemunculan
Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan
dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan Smerti). Selama
beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan, sampai akhirnya memperoleh
keunggulan pada abad ke-8 M.
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India
Selatan dan sebagian Asia Tenggara. Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan
pemukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;
2

dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang
populer; dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-orang dari berbagai strata
masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan normanorma Brahmanis". Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal
di India diselimuti oleh selubung persamaan konseptual.

Keanekaragaman Dalam Agama Hindu


Diversitas Hinduisme

Anak-anak Hindu saat perayaan gaijtra di Kathmandu, Nepal.

Ritual keagamaan Hindu di Candi Prambanan, Yogyakarta, Indonesia.

Tari kebaktian yang dilakukan wanita Hindu di Moskwa, Rusia.

Upacara barthaband pooja di Bagmati, Nepal

Seorang petapa Hindu di tepi sungai Gangga, Benares, India

Ritus tindik lidah saat thaipusam di Batu Caves, Malaysia.

Perayaan mandi suci (baruni snan) di Bangladesh.

Praktisi yoga melakukan sikap halasana di Zhengzhou, Tiongkok

Prosesi keagamaan Hindu di Bali, Indonesia.

Anak-anak Hindu dengan pakaian tradisional dari Afghanistan.

Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki "sifat kompleks,
bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal." Agama Hindu tidak
mengenal "satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau iman",
namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di India. Menurut
Mahkamah Agung India:
Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak
memuja satu dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau
mengadakan satu ritus keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri [agama Hindu] itu tidak seperti agama
atau kepercayaan lain pada umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama [Hindu] itu merupakan
suatu jalan hidup.
5

Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah
adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh. Agama ini merupakan
sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda tetapi memiliki
persamaan.
Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran bersifat
monoteisme mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa sementara aliran lainnya bersifat
monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan manifestasi
beragam dari Yang Maha Esa. Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme sebagaimana
disebutkan dalam kitab Bhagawadgita yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam
semesta, namun alam semesta bukanlah Tuhan. Beberapa filsafat Hindu membuat postulat
ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun
beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme tak lebih dari sebuah
filsafat, bukan agama.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan"
(salvation), namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi keagamaan.
Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi keselamatan,
namun berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan. Agama
Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahirmati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan gagasan tentang "keselamatan" adalah kondisi saat
individu terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling kompleks dari seluruh agama yang masih
bertahan hingga saat ini.

Persamaan dalam Agama Hindu


Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam Hinduisme.
Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental dalam tubuh
Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk pelaksanaannya. Pada
umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang,
Dewata, dan Batara. Beberapa aliran memandang nama dan gelar tersebut sebagai aneka
manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa, sehingga agama Hindu dapat dikatakan
bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan makhluk
ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan
beberapa aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang Mahakuasa. Karakteristik
lainnya yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme adalah iman tentang reinkarnasi dan karma,
serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak (darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut
Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya. Sekte Hindu seperti Linggayata
bahkan tidak mengikuti Weda, namun masih memiliki kepercayaan akan Siwa. Sebaliknya, sekte
Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai, namun masih

mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme contohnya Narayana dan Laksmi serta
memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu atau Narayana
dan Kresna disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat
dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang
diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai
aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan
pujangga dari masing-masing tradisi yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas,
rasa koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar
[kepercayaan] secara umum.
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai
memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari Upanishad,
wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari
filsafat Hindu yang umum." Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh
Burley. Hacker menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme", dan Michaels berpendapat
tentang "sifat identifikasi diri". Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa
interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,[85] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk
membedakan kaum Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an. Menurut
Michaels:
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi yang
berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu: pembentukan
sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya. Para orang
suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti pujangga Maratha [bernama] Tukaram
(16091649) dan Ramdas (16081681), menyuarakan gagasan-gagasan yang mengagungkan
kejayaan agama Hindu pada masa lampau. Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan
bersejarah yang kian bertambah, terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya),
atau mengobarkan semangat reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan
yang ekstensif tentang berbagai subjek.
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan
reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.

Tempat Suci Agama Hindu


Tempat suci Hindu adalah suatu tempat maupun bangunan yang dikeramatkan oleh umat Hindu
atau tepat persembahyangan bagi umat Hindu untuk memuja Brahman beserta aspek-aspeknya.
Di Tanah Hindu, banyak kuil yang didedikasikan untuk Dewa-Dewi Hindu, beserta inkarnasinya
ke dunia (awatara), seperti misalnya Rama dan Kresna. Di India setiap kuil menitikberatkan
pemujaannya terhadap Dewa-Dewi tertentu, termasuk memuja Bhatara Rama dan Bhatara
Kresna sebagai utusan Tuhan untuk melindungi umat manusia.

Tempat suci Hindu umumnya terletak di tempat-tempat yang dikelilingi oleh alam yang asri,
seperti misalnya laut, pantai, gunung, gua, hutan, dan sebagainya. Namun tidak jarang ada
tempat suci Hindu yang berada di kawasan perkotaan atau di dekat pemukiman penduduk.

Istilah lain Tempat Suci Agama Hindu


Tempat suci Hindu memiliki banyak sekali sebutan di berbagai belahan dunia, dan nama tersebut
tergantung dari bahasa yang digunakan. Umumnya berbagai nama tersebut memiliki arti yang
hampir sama, yaitu merujuk kepada pengertian Rumah pemujaan kepada Tuhan.
Berbagai istilah tempat suci Hindu yaitu:

Mandir atau Mandira (bahasa Hindi salah satu bahasa resmi India)
Alayam atau Kovil (bahasa Tamil)
Devasthana atau Gudi (Kannada)
Gudi , Devalayam atau Kovela (bahasa Telugu)
Puja pandal (bahasa Bengali)
Kshetram atau Ambalam (Malayalam)
Pura atau Candi (Indonesia: Bali, Jawa, dll.)

Terdapat juga berbagai nama lain seperti Devalaya, Devasthan, Deval atau Deul, dan lain-lain,
yang berarti Rumah para Dewa. Biara Hindu sering disebut Matha, dimana para pendeta
dididik dan guru spiritual tinggal. Kebanyakan tempat-tempat tersebut merupakan rumah kuil.

Struktur dan arsitektur Tempat Suci

Pura Besakih, kuil Hindu terbesar di pulau Bali

Bangunan suci Hindu umumnya menyerupai replika sebuah gunung, karena menurut filsafat
Hindu, gunung melambangkan alam semesta dengan ketiga bagiannya. Selain itu, gunung
merupakan kediaman para Dewa, seperti misalnya gunung Kailasha yang dipercaya sebagai
kediaman Dewa Siwa. Selain menyerupai gunung, terdapat bangunan suci Hindu yang memiliki
atap bertumpuk-tumpuk, dan di Indonesia dikenal dengan istilah Meru. Meru merupakan
lambang dari lapisan alam, mulai dari alam terendah sampai alam tertinggi.
Arsitektur bangunan suci Hindu tidak lepas dari aturan-aturan yang termuat dalam kitab suci.
Dalam pembangunan suatu tempat suci Hindu, arsitekturnya harus mengikuti apa yang termuat
dalam sastra suci Hindu. Di Indonesia, selain berbentuk candi dan meru, bangunan suci Hindu
juga berbentuk gedong dan padmasana.
Dalam bangunan suci Hindu, tidak jarang dijumpai relief atau pahatan, serta patung-patung yang
berada di sekeliling areal suatu tempat suci. Umumnya patung-patung tersebut melambangkan
Dewa-Dewi yang muncul dalam sastra dan mitologi Hindu. Fungsi berbagai patung dalam
bangunan suci Hindu adalah sebagai hiasan atau simbol, karena bukan untuk disembah.

You might also like