You are on page 1of 28

MAKALAH KELOMPOK

TT FP HISPRUNG
Kelompok 5

PSIK/K3LN 2011
Oleh :

Bernanda HDP

115070207131003

Farida Laksitarini

115070207131005

Arif Dika Mahendra

115070207131006

Yepy Hesti Riani

115070207131007

Dwi Puji Rahayu

115070207131008

Cindy Purbo

115070207131009

Aprilia Dwi Puspitasari

115070200131011

Icca Presilia

115070207131013

Defri Andrian DA

115070207131019

Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran


Universitas Brawijaya
Malang
2014

DESINISI
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak
mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus
besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan
(ganglion), maka terjadi kelumpuhan usus besar dalam menjalanakan
fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus
besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel
ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus
halus. (Ngastiyah, 1997).
Penyakit

hirschsprung

adalah

anomali

kongenital

yang

mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas


sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003).

Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya


sel sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan
ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik
serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Kartono, Darmawan, 2004)
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan
penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan
kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak
laki laki dari pada perempuan. (Kartono, Darmawan, 2004)
Penyakit hisprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan
oleh kelainan inervasi usus, di mulai dari sfingter ani interna dan meluas

ke proximal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Hisprung adalah


penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering terjadi pada
neonatus, dengan insiden 1:1500 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak
daripada perempuan 4:1 dan ada insiden keluarga pada penyakit segmen
panjang. Hisprung dengan bawaan lain termasuk sindrom down, sindrom
laurance moon-barderbield dan sindrom wardenburg serta kelainan
kardiovaskuler.
Penyakit hisprung disebabkan oleh tak adanya sel ganglion
kongenital dalam pleksus intramuscural usus besar. Segmen yang terkena
bisa sangat pendek. Tampil pada usia muda dengan konstipasi parah.
Enema barium bisa menunjukkan penyempitan segmen dengan dilatasi
colon di proksimal. Biopsi rectum bisa mengkonfirmasi diagnosis, jika
jaringan submukosa di cakup. Terapi simtomatik bisa bermanfaat, tetapi
kebanyakan pasien memerlukan pembedahan (Kartono, Darmawan,
2004)

KLASIFIKASI
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
1. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen

aganglionosis

mulai

dari

anus

sampai

sigmoid;

ini

merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering


ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
2. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh
kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki
maupun prempuan.(Ngastiyah, 1997 : 138)
Dua kelompok besar, yaitu :
1. Tipe kolon spastik
Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala
(konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih
berganti dengan diare. Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa
berupa serangan nyeri tumpul atau kram, biasanya di perut sebelah

bawah. Perut terasa kembung, mual, sakit kepala, lemas, depresi,


kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi. Buang air besar sering
meringankan gejala-gejalanya.
2. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi
yang relatif tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak
dapat ditahan. Yang khas adalah diare timbul segera setelah makan.
Beberapa penderita mengalami perut kembung dan konstipasi dengan
disertai sedikit nyeri.
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%)
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%)
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)
Colon-rectum (Lindseth, Glenda N, 2005)

EPIDEMIOLOGI
Insidensi penyakit hisprung tidak diketahui secara pasti tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil, maka diprediksikan
setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung. Kartono
mencatat 20-40 pasien penyakit hisprung yang dirujuk setiap tahunnya ke
RSUPN Cipto Mangun Kusumo Jakarta (Kartono, 1993)
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti
adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi
faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24
keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan
dengan penyakit hisprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka

yang cukup signifikan yakni Down Syndrom (5-10%) dan kelainan urologi
(3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan
neurologi seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan
vesicaurinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990)

ETIOLOGI
Penyebab hisprung masih beluM jelas namaun diduga hisprung
terjadi karena karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk bermigrasi
ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk
kolon dan rektum.

Sehingga sel ganglion selalu tidak ditemukan dimulai

dari

panjangnya

anus

dan

menyebabkan

peristaltik

bervariasi

usus menghilang

keproksimal..
sehingga

sehingga

profulsi

feses

dalam lumen terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya distensi


dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal

sehingga timbul

gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus yang
mengalami aganglion Mengapa hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti
Hal ini dapat dikaitkan dengan beberapa gen mutations. kelainan ini akan
membuat BAB bayi tidak normal, bahkan cenderung sembelit terus
menerus. Hal ini dikarenakan tidak adanya syaraf yang dapat mendorong
kotoran keluar dari anus. Kotoran akan menumpuk terus di bagian bawah,
hingga menyebabkan pembesaran pada usus dan juga kotoran menjadi
keras sehingga bayi tidak dapat BAB. Biasanya bayi akan bisa BAB
karena adanya tekanan dari makanan setelah daya tampung di usus
penuh. Tetapi hal ini jelas tidaklah baik bagi usus si bayi. Penumpukan
yang berminggu bahkan bulan mungkin akan menimbulkan pembusukan
yang lama kelamaan dapat menyebabkan adanya radang usus bahkan
mungkin kanker usus. Bahkan kadang karena parahnya tanpa disadari
bayi akan mengeluarkan cairan dari lubang anus yang sangat bau.
Kotoran atau tinja penderita ini biasanya berwarna gelap bahkan hitam.
Dan biasanya apabila usus besar sudah terlalu besar, maka kotorannya
pun akan besar sekali, mungkin melebihi orang dewasa. Ciri lain

hirschprung adalah perut bayi akan kelihatan besar dan kembung serta
kentutnyapun baunya sangat busuk.

PATOFISIOLOGI
Terlampir

MANIFESTASI KLINIS
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi akibat dari
kelumpuhan

usus besar dalam menjalankan fungsinya, sehingga tinja

tidak dapat keluar. Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja
pertamanya (mekonium) dalam 24 jam pertama. Namun pada bayi yang
menderita penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan
tidak dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat
menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan
bayi tidak akan bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan (Budi,
2010).
Menurut Anonim (2010) gejala yang ditemukan pada bayi yang
baru lahir adalah:
Dalam rentang waktu 24-48 jam, bayi tidak mengeluarkan Meconium
(kotoran pertama bayi yang berbentuk seperti pasir berwarna hijau
kehitaman)

Malas makan

Muntah yang berwarna hijau

Pembesaran perut (perut menjadi buncit)

Pada masa pertumbuhan (usia 1 -3 tahun):

Tidak dapat meningkatkan berat badan

Konstipasi (sembelit)

Pembesaran perut (perut menjadi buncit)

Diare cair yang keluar seperti disemprot

Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus


dan dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam
jiwa.

Pada anak diatas 3 tahun, gejala bersifat kronis :

Konstipasi (sembelit)

Berbau busuk

Pembesaran perut

Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)

Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Fisik
a. Pada

neonatus

biasa

ditemukan

perut

kembung

karena

mengalami obstipasi.
b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka
feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan
kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi (Darmawan, 2004).

Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak abdomen


sangat distensi, dan dinding abdomen kemerahan yang menandakan

awal terjadi komplikasi infeksi. Pasien tampak amat menderita akibat


distensi abdomennya.
Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Polos Abdomen
Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan
usus besar (Darmawan, 2004).
2) Barium Enema
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi.
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak


rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan daerah transisi
yang melebar (Darmawan, 2004).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan
feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur
dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang
bukan

Hirschsprung namun

disertai dengan obstipasi kronis, maka

barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Darmawan,


2004).
3) Biopsi Rectal
Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa
adalah dengan biopsy rectal full-thickness.
Yakni

pengambilan

lapisan

otot

rectum,

narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.


Untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.

dilakukan

dibawah

Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis


dentata karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat
tersebut.
Kekurangan

pemeriksaan

ini

yaitu

kemungkinan

terjadinya

perdarahan dan pembentukan jaringan parut dan penggunaan


anastesia umum selama prosedur ini dilakukan (Darmawan, 2004).
4) Biopsi Isap / Simple Suction Rectal Biopsy
Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai
teknik mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologist, untuk
mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu
pisau

silinder

khusus

memotong

jaringan

yang

diinginkan

(Darmawan, 2004).
5) Manometri Anorektal
Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internal
sphincter setelah distensi lumen rektal. Untuk mencatat respons
refleks sfingter interna dan eksterna. Refleks inhibitorik normal ini
diperkirakan tidak ditemukan pada pasien penyakit Hirschsprung
(Darmawan, 2004).
Swenson yang pertama kali menggunakan pemeriksaan ini. Pada
tahun 1960, dilakukan perbaikan akan tetapi kurang disukai karena
memiliki banyak keterbatasan. Status fisiologik normal dibutuhkan
dan sedasi seringkali penting. Hasil positif palsu yang telah
dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu dilaporkan
sebanyak 24% dari kasus.
Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan,
manometri anorektal jarang digunakan di Amerika Serikat.
Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan
diatas tempat tidur pasien.
Akan

tetapi,

menegakkan

diagnosis

penyakit

Hirschsprung

secara patologis dari sampel yang diambil dengan simple suction

rectal biopsy lebih sulit dibandingkan pada jaringan yang diambil


dengan teknik fullthickness biopsy.
Kemudahan

mendiagnosis

telah

diperbaharui

dengan

penggunaan pewarnaan asetilkolinesterase, yang secara cepat


mewarnai serat saraf yang hipertropi sepanjang lamina propria
dan muskularis propria pada jaringan (Betz, Cecily, et al, 2002).
6) Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy isap.
Pada penyakit ini khas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin
enterase (Darmawan, 2004).
7) Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus (Betz,
Cecily, et al, 2002).
8) Pemeriksaan Colok Dubur
Pada pemerikasaan ini jari akan merasakan jepitan dan ketika jari di
tarik keluar, tinja akan menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahui
bau dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus
bagian bawah dan akan terjadi pembusukan (Betz, Cecily, et al, 2002).
PENATALAKSANAAN
Pada

prinsipnya,

sampai

saat

ini,

penyembuhan

penyakit

Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakantindakan

medis

dapat

dilakukan

tetapi

hanya

untuk

sementara

dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan


pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian
antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk
enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan
untuk

menjaga

kondisi

nutrisi

penderita

serta

untuk

menjaga

keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa tubuh (Kartono, 2003).


Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu
tahap pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan
melakukan operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai
tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan
ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen
dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan kedua adalah dengan

melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik


dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik
dengan dengan bagian bawah rektum. (Kartono, 2004).
Dikenal beberapa prosedur operasi yaitu prosedur Swenson,
prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara
reseksi anterior, prosedur Laparoskopic Pull-Through, prosedur Transanal
Endorectal Pull-Through dan prosedur miomektomi anorektal. (Lee, 2002;
Teitelbaum, 2003).

Persiapan operasi
Setelah diagnosis penyakit Hirshprung ditegakkan maka sejumlah
tindakan preoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita
dalam keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi
dan resusitasi dengan pemberian cairan intra vena , antibiotik dan
pemasangan pipa lambung. Apabila sebelum operasi ternyata telah
mengalami enterokolitis maka resusitasi cairan dilakukan secara agresif,
peberian antibiotika broad spektrum secara ketat kemudian segera
dilakukan tindakan dekompresi usus ( Langer, 2005 ).
Teitelbaum (2003) melakukan serial pencucian rektum dengan
memberikan

10

ml/kg

BB

pada

setiap

kali

pencucian

dengan

menggunakan pipa rektum ukuran 18-20. Pada penderita kemudian


diberikan antibiotik intavena.
1. Prosedur Swenson
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan
end to end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi
dan pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior.
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit
Hirschsprung dengan metode pull-through. Tehnik ini diperkenalkan
pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang
aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis
mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga
peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai

akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini
Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut
prosedur Swenson I (Lee, 2003; Kartono , 2004; Teitelbaum, 2003 ).
Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II
dimana setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik,
puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian
posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung.
Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani
dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan
pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding
dengan prosedur Swenson I (Lee, 2003; Kartono , 2004; Teitelbaum, 2003
).
2. Prosedur Duhamel.
Dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang usus aganglionik, membuat dinding
ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang
telah ditarik.
Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi
prosedur Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi
kerusakan nervi erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah
pelvis. Duhamel melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari
kerusakan tersebut dengan cara melakukan penarikan kolon proksimal
yang ganglionik melalui bagian posterior rektum. Penderita ditidurkan
dalam posisi litotomi, dipasang kateter sehingga vesika urinaria kosong
dengan maksud agar visualisasi rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit
abdomen

dilakukan

secara

paramedian

atau

transversal.

Arteria

hemorrhoidalis superior dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan


rektum. Kolon proksimal dimobilisir sehingga panjang kolon akan
mencapai anus. Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembuluh
darah dan kolon proksimal dengan cara menghindari regangan yang
berlebihan. Setelah segmen kolon yang aganglionik direseksi, puntung
rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar refleksi peritonium dan

ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal dibuka sehingga


seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan. (Holschneider,
2005; Langer, 2005).
Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat
sayatan endoanal setengah lingkaran dan dari lobang sayatan ini segmen
kolon proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang
anus

dan

dibiarkan

bebas

menggelantung

kemudian

dilakukan

anastomosis end to side setinggi sfingter ani internus. Anastomosis


dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka
waktu 6-8 hari anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat
pemotongan septum yang tidak sempurna (Holschneider, 2005; Langer,
2005).
3. Prosedur ENDORECTAL PULL THROUGH ( SOAVE ).
Dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rektum tetap
utuh kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat
dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot
rektosigmoid yang tersisa.
Pada prinsipnya tehnik ini adalah merupakan diseksi ekstramukosa
rektosigmoid yang mula-mula dipergunakan untuk operasi atresia ani letak
tinggi. Persiapan preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi rektum,
dilatasi anorektal manual serta pemberian antibiotik. ( Kartono, 2004 ).
Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal,
dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid. Posisi pasien terlentang
dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen pararektal kiri
melewati lubang kolostomi dan dipasang kateter ( Kartono, 2004 ).
Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium
kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan
direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon
distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis
kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm
diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea
dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik kedistal melewati

cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong


setelah 21 hari. ( Kartono, 2004 ).

Noted: The three basic operations for surgical correction of Hirschsprung's disease. A.
The Duhamel procedure leaves the rectum in place and brings ganglionic bowel into the
retrorectal space. The common wall, indicated by lines, is crushed to eliminate the
septum. B. Classic Swenson operation (1948) is a resection with end-to-end anastomosis
performed by exteriorizing bowel ends through the anus. C. The Soave operation is
performed by endorectal dissection and removal of mucosa from the aganglionic distal
segment and bringing the ganglionic bowel down to the anus within the seromuscular
tunnel.

Noted: Hirschsprung's disease and surgical procedures for repair. A, lack of ganglionic
cells in a segment of the colon prevents the transmission of normal peristaltic waves and
results in an intestinal obstruction. B, Swenson procedure: Aganglionic bowel is
completely resected and ganglionic bowel is anastomosed to anus. C, Duhamel
procedure: Ganglionic bowel is anastomosed side-to-side to aganglionic bowel and to
the anus. D, Soave procedure: Ganglionic bowel is brought through a retained muscular
sleeve of the rectum and anastomosed to the rectum. From Betz et al., 1994.

4. Prosedur Boley
Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi
anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon
terlebih dulu ( Kartono, 2004 ).
5 . Prosedur Rehbein.
Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian
dilakukan anastomosis end to end antara kolon yang berganglion
dengan sisa rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal.
Tehnik ini sering menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang
aganglionik masih panjang (Rehbein, 1966; Holschneider dan Ure, 2005).
6. Prosedur miomektomi anorektal.
Pada pasien-pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra
pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding
posterior rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi
anorektal, dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum
ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah
yang berganglion ( Teitelbaum at al, 2003 ).
7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.
Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah
dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan
povidon-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas
linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi
diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah
terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga
terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa (Tore, 2000 ).
Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi
lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding
dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada.
Akan tetapi masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konsipasi dan
striktur anastomosis.

8. Posterior Sagital Neurektomi Repair for Hirschsprung Disease


Teknik ini diperkenalkan oleh Rochadi, 2005. Rincian teknik operasi
adalah sebagai berikut:
Persiapan preoperasi :
Pemeriksaan fisik yang teliti, penilaian keadaan umum penderita,
adanya kelainan bawaan yang lain, pemeriksaan laboratorium rutin,
albumin dan pemeriksaan rontgen dievaluasi secara cermat untuk
menentukan ada tidaknya kontraindikasi pembedahan dan pembiusan.
Bila ada dehidrasi, sepsis, gangguan eletrolit, enterokolitis, anemia atau
gangguan asam basa tubuh semuanya harus dikoreksi terlebih dahulu.
Pencucian rektum dilakukan dengan cara pemasangan pipa rektum dan
kemudian dimasukkan air hangat 10 ml/kg berat badan. Informed consent
dilakukan kepada keluarga meliputi cara operasi, perkiraan lama operasi,
lama perawatan, komplikasi-komplikasi,cara-cara penanganan apabila
terjadi komplikasi dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin
terjadi (Rochadi, 2007).
Jalannya operasi :
Setelah dilakukan pembiusan, kemudian dipasang pipa lambung
dan kateter. Dipasang infus pada tangan dengan menggunakan abbocath
yang sesuai dengan umur penderita. Tehnik ini dilakukan dengan posisi
pasien tertelungkup Rochadi, 2007).
Setelah dilakukan desinfeksi pada daerah anogluteal kemudian
daerah operasi ditutup doek steril. Irisan pertama dimulai dengan irisan
kulit intergluteal dilanjutkan membuka lapisan-lapisan otot yang menyusun
muscle complex secara tumpul dan tajam sehingga terlihat dinding
rektum. Lapisan otot dinding rektum dibuka memanjang sampai terlihat
lapisan mukosa menyembul dari irisan operasi. Identifikasi daerah setinggi
linea dentata dilakukan dengan cara memasukkan jari telunjuk tangan kiri
ke anus. Panjang irisan adalah 1 cm proksimal linea dentata sampai zone
transisi yang ditandai dengan adanya perubahan diameter dinding rektum.
Agar supaya tidak melukai mukosa rektum maka setelah mukosa

menyembul, muskularis dinding rektum dipisahkan dari mukosa dengan


cara tumpul sehingga lapisan muskularis benar-benar telah terpisah dari
mukosa. Strip muskularis dinding rektum dengan lebar 0,5 cm dilepaskan
dari mukosa sepanjang zone spastik sampai zone transisi. Material ini
dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk pemeriksaan pewarnaan
hematoksilin-eosin guna identifikasi sel ganglion Auerbach dan Meissner
(Rochadi, 2007).
Lapisan-lapisan otot muscle complex ditutup kembali seperti
semula dengan benang Vicryl 3/0 diikuti lapisan subkutis dengan benang
plain cat-gut 2/0 dan lapisan kulit dijahit intra kutan dengan benang Vicryl
3/0. Dipasang pipa rektum untuk mencegah terjadinya infeksi pada irisan
operasi (Rochadi, 2007).
Tehnik Posterior Sagittal Repair for Hirschsprungs Disease ini
dilakukan satu tahap, tanpa kolostomi dan tanpa pull through (Rochadi,
2007).
Perawatan pasca operasi :
Penderita dirawat langsung dibangsal perawatan, kecuali apabila
ada indikasi dirawat terlebih dahulu di Intensive Care Unit (ICU) untuk
pengamatan pasca operasi yang ketat. Pipa lambung dilepas apabila
fungsi gastrointestinal telah kembali normal dan kateter dilepas pada hari
kedua perawatan. Antibiotik diberikan sampai 2 hari pasca operasi.
Pengawasan yang teliti pada daerah perineum untuk mencegah terjadinya
infeksi dengan melihat ada tidaknya eritema atau selulitis. Untuk
mencegah ekskoriasis diberikan salf zinc dan tiap hari kasa betadin
diganti untuk menutup irisan operasi. Apabila tidak ada komplikasi
penderita dapat dipulangkan pada hari ke empat pasca operasi. Dilatasi
anorektal dimulai pada hari ke tujuh pasca operasi dengan menggunakan
busi hegar nomer enam, mula-mula dikerjakan di poliklinik dan kemudian
dilanjutkan dirumah. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
striktur. Apabila terjadi enterokolitis maka diperlukan tindakan pencucian
rektum, pemberian antibiotik dan suspensi kaolin-pektin (Rochadi, 2007).

Pada tehnik operasi ini penderita

ditidurkan

dalam posisi

tertelungkup dengan pertimbangan bahwa secara topografi rektum berada


pada rongga pelvis, sehingga tindakan bedah secara PSNRHD akan
dapat langsung menuju target operasi, sedangkan pada tehnik ERPT
target operasi hanya dapat dicapai dengan membuat sayatan pada
dinding depan perut, membuka peritonium posterior, memotong arteri dan
vena hemorrhoidalis superior, memotong arteri dan vena sigmoidea dan
bahkan kadang-kadang harus memotong arteri dan vena kolika sinistra.
Kecuali hal tesebut diatas posisi telungkup pada operasi PSRHD akan
memberikan lapangan pandangan operasi yang lebih jelas oleh karena
masuknya persarafan menuju dinding rektum adalah lewat bagian
posterior sehingga tindakan neurektomi akan lebih mudah dikerjakan
(Rochadi, 2007).
H. Permasalahan-Permasalahan Pembedahan
Permasalahan pembedahan yang sering dijumpai adalah masalah
komplikasi pasca bedah. Kebocoran anastomosis, stenosis, gangguan
fungsi sfingter ani ,enterokolitis serta mortalitas masih merupakan
permasalahan yang serius. Komplikasi yang timbul dalam 4 minggu
pertama merupakan komplikasi dini pasca bedah. Prosedur bedah
manapun yang dipilih mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan
komplikasi. Usia pada saat pembedahan, keadaan umum prabedah,
prosedur bedah yang digunakan, ketrampilan dan pengalaman ahli bedah,
antibiotika

yang

dipakai

serta

perawatan

pasca

bedah

sangat

berpengaruh untuk terjadinya komplikasi. Lebih muda usia pasien serta


keadaan umum praoperasi yang kurang optimal umumnya lebih sering
mengalami komplikasi (Rehbein, 1966; Langer, 2005).
Prosedur prosedur operasi tersebut dapat menyebabkan trauma
pada persarafan traktus genitourinarius dan otot-otot dasar panggul yang
akan mengakibatkan masalah pada traktus urinarius bagian bawah.
Inkontinensia urin yang terjadi setelah operasi dengan prosedur Rehbein
5,4%, prosedur Swenson 10,4%, prosedur Soave 15,3% dan prosedur
Duhamel 14,3%.

Perawatan Pasca Operasi.


Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah kembali
normal, sedangkan kateter dilepas pada hari kedua pasca operasi.
Antibiotik dapat diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Perhatian khusus
ditujukan pada daerah perineum untuk terjadinya eritema dan selulitis
yang dapat merupakan tanda awal dari kebocoran anastomosis
(Teitelbaum et al, 2003).
Dilatasi anorektal dapat dilakukan tiga minggu setelah operasi.
Pada penderita neonatus dilatasi anorektal dapat dilakukan dengan insersi
Hegar dilator nomer 6-7 yang dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah
terjadinya striktur anastomosis. Irigasi anorektal dapat dilakukan tiga bulan
setelah operasi untuk mencegah enterokolitis (Teitelbaum et al, 2003).
Beberapa pasien mendapatkan fungsi usus yang normal setelah
dilakukan operasi, akan tetapi pada reseksi usus yang panjang dapat
tejadi buang air besar yang frekwen dan berair sehingga menyebabkan
ekskoriasis pada perineum. Pada kasus yang demikian loperamid dapat
diberikan untuk menurunkan frekwensi buang air besar. Untuk agar feses
menjadi padat dapat diberikan kaolin-pectin (Holschneider dan Ure, 2005).
Hartman et al (2006) meneliti masalah fisik dan psikososial
penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi dan
menyarankan pengamatan pada inkontinensi feses, inkontinensi urin,
konstipasi dan disfungsi sex. Perawatan pasca operasi yang disarankan
adalah dilatasi anus, pemberian laxatif, enema, diet dan toilet. Perawatan
medis harus dilakukan bersama perawatan paramedis yaitu fisioterapi,
pengobatan psikososial dan konsultasi diet.
KOMPLIKASI
Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
keteganan

yang

berlebihan

pada

garis

anastomos,vaskularisasi

(pembentukan pembuluh darah abnormal atu berlebih) yang tidak adekuat


pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeski atau abses sekitar

anastomose serta trauma colok dubur atau bunisasi pasca operasi yang
dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anstomose ini
beragam.

Kebocoran

anastomosis

ringan

menimbulkan

gejala

peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,


kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umu, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini
kebocoan, segera dibuat kolostomi di segmen progsimal.
1. Stenosis (penyempitan)
Stenosis pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan peyembuhan
luka didaerah anastomose, infeksi yang menyebabkan terbentuknya
jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis
sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau
Rehbein, Stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel
sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur soave
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fisula perianal.
Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab
stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior.
2. Enterokolitis
Enterokolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus
halus. Semakin berkembang penyakit hisprung makan lumen usus
halus makin dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko
perfrasi (perlubangan saluran cerna). Proses ini dapat terjadi pada
usus yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis terjadi pada
10=30% pasien penyakit hisprung tertutama jika segmen usus yang
terkena panjang.
Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada
megakolon kongenital, mekanisme timbulnya elektrokolitis menurut
Swenson

adalah

karena

obstruksi

parsial.

Manifestasi

klinis

enterokolitis berupa distensi abdomen diikutitanda obstruksi seperti


muntah hijau adat fekal dan feseskeluar eksplosif cair dan berbau

bususk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah


dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi.
3. Gangguan fungsi sfinkter
Keciprit merupakan salah satu bentuk manifestasi gangguan sfrinkter
ani, yaitu keluarnya feces lewat anus yang tidakdapat dikendalikan
oleh pasien yang terjadi sewaktu-waktu dan pada tempat yang tidak
diinginkan penderita.

Daftar Pustaka
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri
Kurnianingsih (Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi 4 Jakarta : EGC.
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung
Seto, 3-82.
Lindseth, Glenda N. 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati.
Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 1,
Edisi 6. Jakarta. EGC. 456-468.

Nurko

SMD. 2007. Hirschsprung

Disease. Center

for

Motility

and

Functional Gastrointestinal Disorders.

Kessman

JMD. 2006. Hirschsprung

Disease:

Diagnosis

and

Management. American Family Physician.

Anonim. 2003. Mengenal Penyakit Hirschsprung (Aganglionic Megacolon).


Disitasi dari http://www.indosiar.co.id/v2003/pk. Diakses pada tanggal 1
Maret 2014.

Budi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung. Disitasi dari


http://www.mediakeperawatan.com/?id=budixtbn. Diakses pada tanggal
26 Maret 2014.

Betz, Cecily, L., Linda A. Swoden. 2002. Buku Saku Keperawatan


Pediatrik. Edisi ke 3. Jakarta : EGC.

Darmawan, Kartono. 2004. Penyakit Hirschprung. Jakarta : Sagung Seto.


Swenson O, Raffensperger JG. 2002. Hisrchprungs Disease : A Review. J

Pediatric. 109:914-918.
Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprungs disease. In:
Raffensperger JG, editor.
Swensonspediatric surgery. 2003. 5th ed. Connecticut: Appleton & Lange:
555
Lee,

Steven

L.

2005.

Hirschprung

Disease.

at:http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

Available
Accesed

March 2014.
Heikken M., Rintala R, Luukonen. 1997. Longterm anal spinchter
perfoemance after surgery for Hirschprungs disease. J Pediatric Surgery;
32:1443-6.
Ludman L, Spitz L, Truji H, et al. 2002. Hisprung disease: functional
psychological follow up
aganglionis.Arch Dis Child.

company total colonic and

rectosigmoid

PATOFISIOLOGI

Gaya hidup

Faktor Genetik

Gizi dalam kandungan

masa embrional

Teori dasar Hirschprung :


teori kegagalan migrasi
neuroblas dan neural crest

Terhentinya migrasi sel


neuroblas dan tidak mencapai
rektum

Pada minggu ke-8


intrauterine harusnya neural
crest bermigrasi dari lapisan
mesoderm menuju dinding
usus

tidak adanya ganglion pada


parasimpatis myenteric
(Auerbach ) dan pleksus
submukosa ( Meissner )

tidak adanya ganglion pada


parasimpatis myenteric
(Auerbach ) dan pleksus
submukosa ( Meissner )

Penyakit Hirschprung

kadar asetilkolin naik

Pemecahan Asetikolin
meningkat

SensitifitasParasimpatisturun

kontrol kontraksi dan


relaksasi peristaltik abnormal

Usustidakbisarelaksasi

Absorsiususmenurun

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh

tidak adanya evakuasi usus


spontan dan gerakan tenaga
pendorong

mencegahkeluarnyafesesseca
ra normal

adanya akumulasi pada usus


dan distensi pada saluran
cerna.

Banyaknya feses di lambun


yang belum terbuang

Membesarnyausus
konstipasi
Usus menekan organ lain
Perut buncit

Bayi menangis

Keluarga tidak tau apa yg


terjadi
cemas
Deficit pengetahuan

nyeri

You might also like