Professional Documents
Culture Documents
Aspek Biologinya
Disusun Oleh :
Dosen Pengampu:
Bangau bluwok Mycteria cinerea adalah salah satu spesies burung langka dan
dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1931 dan SK Mentan No
742/Kpts/Um/12/1978 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999. Dalam dokumen Bird to
Watch II (Collar et al. 1994) spesies ini dimasukkan ke dalam kategori rentan (vulnerable)
dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah semakin berkurangnya habitatnya di
alam. Artinya, spesies ini memiliki peluang punah lebih dari 10 persen dalam waktu 100
tahun, jika tidak ada upaya serius untuk melindunginya. Oleh konvensi perdagangan satwa
liar dunia (Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora,
CITES) burung ini dimasukkan ke dalam Appendix I yang berarti spesies ini tidak dapat
diperdagangkan secara komersial di pasar internasional (Imanuddin dkk, 2007).
Di dunia, bangau bluwok tersebar mulai dari Thailand, Kamboja, Vietnam bagian
Selatan, Malaysia dan Indonesia dengan populasi total diperkirakan sebanyak 6000 ekor.
Sebagian besar populasi tersebut (5900 ekor) menghuni kepulauan Indonesia mulai dari
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, dan Sumbawa (Imanuddin dkk, 2007).
Bangau yang bernama latin Mycteria cinerea ini adalah jenis bangau yang berukuran
besar dengan tinggi sekitar satu meter (91-95 cm). Tubuhnya dibalut bulu bewarna putih
kecuali pada bagian ekor dan bulu terbang yang berwarna hitam. Karena warna tubuhnya,
bangau ini dalam Bahasa Inggris lantas dinamai Milky Stork (Mycteria cinerea). Paruhnya
kuning panjang dan melengkung. Kulit muka berwarna merah jambu sampai merah dan tidak
berbulu. Burung yang belum dewasa berwarna coklat keabu – abuan dengan tungging putih
dan warna irisnya coklat serta kakinya abu – abu (Hancock et al.1992, MacKinnon et al.
1998). Kakinya jenjang dan panjang dengan jari-jari yang didesain untuk berjalan dengan
nyaman di tanah-tanah becek, berlumpur, tetapi juga mampu dipakai untung bertengger di
dahan-dahan pohon tempat mereka bersarang. Bangau bluwok, bangau yang anggun jikala
terbang ini termasuk burung yang secara global terancam punah (Anonim1,2009).
Burung ini umumnya diam, kecuali suara serak pada burung muda dan tepukan paruh.
Kebiasaannya sering mengunjungi daerah berlumpur dan daerah tergenang termasuk rawa,
gosong lumpur di pantai, mangrove, dan sawah. Biasanya hidup sendirian atau dalam
kelompok kecil dan agak besar, di dekat pantai. Tetapi di Sumatera menyebar sampai
ketinggian 900 m. Bergabung dengan cangak dan bangau lain, kadang-kadang melayang
tinggi di angkasa. Ketika makan, katupan paruhnya bisa terdengar dari kejauhan. Bersarang
dalam koloni campuran dengan burung air lain (Anonim2, 2009).
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Ciconiiformes
Familia : Ciconiidae
Genus : Mycteria
B. Habitat
Habitat utama bangau bluwok adalah hutan bakau, rawa, sawah, tambak, dan daerah
dataran lumpur lainnya yang terletak di daerah pesisir (MacKinnon et el,1998. Indrawan et
al.1993 dalam Imanuddin, 2003) pada saat ini terjadi pengurangan secara besar-besaran
terhadap habitat spesies ini yang disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk dan
meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman dan industri (Verheught, 1987 dalam
Imanuddin, 2003).
Menurut Mutiyoso dalam blognya, bangau bluwok hidup di daerah pantai, menyukai
daerah hutan bakau dan muara yang berlumpur. Kadang terlihat burung ini mencari makan di
daerah persawahan, tambak atau di pinggiran sungai. Di daerah becek-becek begitulah dia
mencari makanannya yang berupa ikan, ikan gelodok, kodok, belut dan kadang bahkan ular.
Sarangnya yang besar berada di pohon-pohon yang tinggi. Struktur sarangnya sederhana,
dibuat dalam satu kompleks sarang di mana beberapa bangau membangun sarang secara
bersama-sama. Di Pulau Rambut, salah satu pulau mereka membangun sarang pada musim
kering. Mereka bisa bertelur hingga tiga butir dengan masa mengerami hingga satu bulan.
Anak-anaknya bisa mulai meninggalkan sarang setelah berumur tujuh minggu dan mulai
terbang (Anonim2, 2009).
Di Indonesia bangau bluwok tercatat berbiak di hutan bakau Pantai Timur di Jambi
(Silvius 1986,Danielsen et al. 1991a), selain itu juga terdapat lokasi di Propinsi Sumatera
Selatan yang dikonfirmasikan sebagai lokasi berbiak Bangau Bluwok yaitu Tanjung Koyan,
Tanjung Selokan dan Tanjung Banyuasin (Danielsen et al. 1991b). Di Jawa bangau bluwok
pernah tercatat berbiak di Pulau Dua di Jawa Barat (Hoogerwerf 1949) dan Pulau Rambut di
Teluk Jakarta (Allport & Wilson 1986). Namun sejak tahun 1970 Pulau Dua tidak lagi
dijadikan lokasi berbiak (Hancock et al.1992), sehingga sampai saat ini Pulau Rambut adalah
satu-satunya lokasi berbiak bagi bangau bluwok di Pulau Jawa (Imanuddin, 2007).
Gambar 3 : Distribusi Bangau Bluwok
Faktor – faktor yang mempengaruhi distribusi burung pada umumnya (Berger, 1961
dalam Sukmantoro, 1995) yaitu :
1. Waktu dan Geologi
2. Penghalang fisik
3. Mobilitas
4. Kebutuhan akan lingkungan
5. Toleransi ekologi
6. Faktor – faktor psikologis.
Faktor pembatas habitat dari burung ini diantaranya : Makanan. Mengapa makanan?
karena makanan dari bangau bluwok adalah ikan, khususnya ikan ‘blanak’ sehingga batasan
habitat dari spesies ini adalah laut dimana ikan tersebut hidup; Iklim. Burung ini hanya dapat
hidup pada iklim tropis sehingga persebarannya pun hanya dapat ditemukan pada daerah
tropis seperti di asia tenggara; vegetasi daerah pesisir. Bangau ini memiliki habitat mayoritas
di daerah hutan mangrove, hal ini berkaitan dengan ketersediaan nutrisi dan tempat
persinggahan serta tempat berbiak.
Di Pulau Jawa bangau Bluwok meletakkan telur pada bulan Maret hingga Mei
(Hoogerwerf, 1949). Hancock et al. (1992) menyatakan bahwa musim berbiak bangau
Bluwok di Jawa Barat adalah pada bulan Maret sampai Agustus, sednagkan di Sumatera pada
bulan Juni hingga Agustus. Mardiastuti (1992) menyatakan pada tahun 1990-1991 bangau
Bluwok di Pulau Rambut berbiak antara bulan Januari hingga Juni (Imanuddin, 2002).
Di seluruh dunia, populasi bangau bluwok diperkirakan hanya sekitar 6.000 ekor,
5.000 di antaranya tinggal di Indonesia. Sisanya tersebar di negara-negara Asia Tenggara
lainnya, seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia. Di Indonesia, bangau blowok dapat
ditemukan di pantai Indramayu, pantai Cilacap, dan delta sungai Brantas, di teluk Lamong,
Sidoarjo. Di Sumatera habitatnya ada di Sumatra Utara dan Aceh (Imanuddin, 2007).
Susutnya populasi bangau tak lepas dari buruknya kualitas lingkungan di sepanjang
daerah pesisir, dan lahan-lahan basah yang seharusnya menjadi tempat mencari makan bagi
burung-burung air, kini telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan industri,
sehingga habitatnya pun berkurang dan rusak.
Pulau seluas 90 hektare ini sebelumnya berstatus sebagai kawasan cagar alam. Status
ini melindungi Pulau Rambut dari campur tangan manusia dalam pengelolaan habitat satwa
liar di sana. Kini pulau tersebut diubah statusnya menjadi suaka margasatwa agar pihak yang
terkait dapat melakukan upaya-upaya pelestarian.
Di Indonesia bangau bluwok tercatat berbiak di hutan bakau Pantai Timur di Jambi
(Silvius 1986,Danielsen et al. 1991a), selain itu juga terdapat lokasi di Propinsi Sumatera
Selatan yang dikonfirmasikan sebagai lokasi berbiak Bangau Bluwok yaitu Tanjung Koyan,
Tanjung Selokan dan Tanjung Banyuasin (Danielsen et al. 1991b). Di Jawa bangau bluwok
pernah tercatat berbiak di Pulau Dua di Jawa Barat (Hoogerwerf 1949) dan Pulau Rambut di
Teluk Jakarta (Allport & Wilson 1986). Namun sejak tahun 1970 Pulau Dua tidak lagi
dijadikan lokasi berbiak (Hancock et al.1992), sehingga sampai saat ini Pulau Rambut adalah
satu-satunya lokasi berbiak bagi bangau bluwok di Pulau Jawa (Imanuddin, 2007)
F. Perkiraan kondisi biota atau habitat Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) dimasa
yang akan datang
Perkiraan kondisi biota atau habitat dari bangau Bluwok (Mycteria cinerea) di masa yang
akan datang terdapat dua kemungkinan, yaitu kemungkinan pertama bangau Bluwok (Mycteria
cinerea akan menuju kepunahan dikarenakan kondisi habitatnya, dimana habitat utama bangau
bluwok adalah hutan bakau, rawa, sawah, tambak, dan daerah dataran lumpur lainnya yang
terletak di daerah pesisir (MacKinnon et el,1998. Indrawan et al.1993 dalam Imanuddin,
2003) pada saat ini terjadi pengurangan secara besar-besaran terhadap habitat spesies ini yang
disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan lahan untuk
pemukiman dan industri, sehingga habittnya berkurang dan tempat mereka mencari makan yang
rusak serta banyak yang dialih fungsikan. Selain itu burung ini akan menjadi punah apabila
masyarakat tetap saja menjadikan burung ini menjadi hewan buruan mereka, konon kabarnya daging
burung ini enak disantap. Polusi air juga mungkin menyebabkan burung ini hidup dalam kesulitan
sebab otomatis ketersedian makanan buat mereka juga berkurang karena banyak ikan yang mati.
Selain itu tempat mereka berbiak sering dirusak, sehingga menjadikan burung ini rentan punah.
Apalagi bangau Bluwok pada musim bertelur tak lebih dari empat butir, dengan tingkat
keberhasilan tetas hanya separuhnya. Artinya dari empat telur yang dierami paling banyak
yang menjadi anakan cuma dua butir. Kesemuanya sebagian besar disebabkan karena ulah tangan
manusia sendiri. Oleh sebab itu sangat diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk pentingnya
pelestarian dari burung ini.
Kemungkinan kedua jika konservasi yang sudah dilakukan seperti yang dilakukan di Pulau
Rambut berjalan dengan baik maka populasi bangau Bluwok (Mycteria cinerea) akan dapat
meningkat sehingga terhindar dari kepunahan. Karena Pulau Rambut merupakan daerah berbiaknya.
Pada puncak musim berkembang-biak antara bulan Januari-Agustus, Pulau Rambut dihuni
tak kurang dari 20.000 ekor burung air. Sehingga diharapkan dengan dijadikan Pulau Rambut
suaka margasatwa akan dapat menjaga tempat berbiak bagi burung ini, sehingga dapat
terhindar dari ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Dan dapat menghindari
dari status burung ini menurut Birdlife International memasukkan spesies ini ke dalam
kategori rentan (vulnerable) dapat berubah statusnya lebih serius lagi seperti menjadikan
statusnya Genting (Endangered) atau bahkan punah.
Daftar Pustaka
Hancock JA, Kushlan JA, Kahl MP. 1992. Strok, Ibises and Spoonbills of the World. London
: Academic Pr
Soehartono TR. Mardiasuti A. 2002. CITES and Its Implementation in Indonesia. Jakarta:
Nagao Environment Foundation
Verhaught WJM. 1987. Conservation status and action program for the Milky Stork. Colonial
Waterbird 10:211-220