You are on page 1of 10

Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) dan Beberapa

Aspek Biologinya

Disusun Oleh :

1. Nur Hidayati 1506 100 008

2. Noor komala sari 1506 100 018

3. Mardian Anugrah H. 1506 100 024

4. Lasixta Fitria Y. 1506 100 028

Dosen Pengampu:

Dra. Dian Saptarini, M.Sc NIP 132 010 713

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2009
Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) dan Beberapa Aspek Biologinya

Bangau bluwok Mycteria cinerea adalah salah satu spesies burung langka dan
dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1931 dan SK Mentan No
742/Kpts/Um/12/1978 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999. Dalam dokumen Bird to
Watch II (Collar et al. 1994) spesies ini dimasukkan ke dalam kategori rentan (vulnerable)
dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah semakin berkurangnya habitatnya di
alam. Artinya, spesies ini memiliki peluang punah lebih dari 10 persen dalam waktu 100
tahun, jika tidak ada upaya serius untuk melindunginya. Oleh konvensi perdagangan satwa
liar dunia (Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora,
CITES) burung ini dimasukkan ke dalam Appendix I yang berarti spesies ini tidak dapat
diperdagangkan secara komersial di pasar internasional (Imanuddin dkk, 2007).
Di dunia, bangau bluwok tersebar mulai dari Thailand, Kamboja, Vietnam bagian
Selatan, Malaysia dan Indonesia dengan populasi total diperkirakan sebanyak 6000 ekor.
Sebagian besar populasi tersebut (5900 ekor) menghuni kepulauan Indonesia mulai dari
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, dan Sumbawa (Imanuddin dkk, 2007).

A. Deskripsi dan Taksonomi

Bangau yang bernama latin Mycteria cinerea ini adalah jenis bangau yang berukuran
besar dengan tinggi sekitar satu meter (91-95 cm). Tubuhnya dibalut bulu bewarna putih
kecuali pada bagian ekor dan bulu terbang yang berwarna hitam. Karena warna tubuhnya,
bangau ini dalam Bahasa Inggris lantas dinamai Milky Stork (Mycteria cinerea). Paruhnya
kuning panjang dan melengkung. Kulit muka berwarna merah jambu sampai merah dan tidak
berbulu. Burung yang belum dewasa berwarna coklat keabu – abuan dengan tungging putih
dan warna irisnya coklat serta kakinya abu – abu (Hancock et al.1992, MacKinnon et al.
1998). Kakinya jenjang dan panjang dengan jari-jari yang didesain untuk berjalan dengan
nyaman di tanah-tanah becek, berlumpur, tetapi juga mampu dipakai untung bertengger di
dahan-dahan pohon tempat mereka bersarang. Bangau bluwok, bangau yang anggun jikala
terbang ini termasuk burung yang secara global terancam punah (Anonim1,2009).
Burung ini umumnya diam, kecuali suara serak pada burung muda dan tepukan paruh.
Kebiasaannya sering mengunjungi daerah berlumpur dan daerah tergenang termasuk rawa,
gosong lumpur di pantai, mangrove, dan sawah. Biasanya hidup sendirian atau dalam
kelompok kecil dan agak besar, di dekat pantai. Tetapi di Sumatera menyebar sampai
ketinggian 900 m. Bergabung dengan cangak dan bangau lain, kadang-kadang melayang
tinggi di angkasa. Ketika makan, katupan paruhnya bisa terdengar dari kejauhan. Bersarang
dalam koloni campuran dengan burung air lain (Anonim2, 2009).

Taksonomi Bangau Bluwok

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Aves

Ordo : Ciconiiformes

Familia : Ciconiidae

Genus : Mycteria

Spesies : Mycteria cinerea Gambar 1 : Bangau Bluwok


Nama daerah dari Mycteria cinerea ini adalah bluwok, walang kadak, bangau putih
atau lebih dikenal dengan Ibis (Anonim1,2009).

B. Habitat
Habitat utama bangau bluwok adalah hutan bakau, rawa, sawah, tambak, dan daerah
dataran lumpur lainnya yang terletak di daerah pesisir (MacKinnon et el,1998. Indrawan et
al.1993 dalam Imanuddin, 2003) pada saat ini terjadi pengurangan secara besar-besaran
terhadap habitat spesies ini yang disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk dan
meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman dan industri (Verheught, 1987 dalam
Imanuddin, 2003).

Menurut Mutiyoso dalam blognya, bangau bluwok hidup di daerah pantai, menyukai
daerah hutan bakau dan muara yang berlumpur. Kadang terlihat burung ini mencari makan di
daerah persawahan, tambak atau di pinggiran sungai. Di daerah becek-becek begitulah dia
mencari makanannya yang berupa ikan, ikan gelodok, kodok, belut dan kadang bahkan ular.
Sarangnya yang besar berada di pohon-pohon yang tinggi. Struktur sarangnya sederhana,
dibuat dalam satu kompleks sarang di mana beberapa bangau membangun sarang secara
bersama-sama. Di Pulau Rambut, salah satu pulau mereka membangun sarang pada musim
kering. Mereka bisa bertelur hingga tiga butir dengan masa mengerami hingga satu bulan.
Anak-anaknya bisa mulai meninggalkan sarang setelah berumur tujuh minggu dan mulai
terbang (Anonim2, 2009).

C. Distribusi dan Migrasi

Mycteria cinerea terdapat di Kamboja, Semenanjung Malaysia dan pulau-pulau


Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Sulawesi dan Buton, Indonesia. Populasinya diperkirakan
kurang dari 5.500 individu. Mayoritas berada di Indonesia, dengan kurang dari 5.000 di
Sumatra dan 400 di Jawa Barat. Diperkirakan ada sekitar 10-20 pasang di danau Tonle Sap,
Kamboja. Populasi ini merupakan migrasi ke Thailand dan Vietnam. Dengan angka populasi
yang menurun, ketika berada di Malaysia jumlahnya jatuh secara konsisten, dari lebih dari
100 individu pada tahun 1984, menjadi kurang dari 10 burung pada tahun 2005. Statusnya di
Indonesia tercatat hampir punah, tapi angka-angka yang baik meskipun masih dapat
ditemukan di beberapa situs di Sumatra Selatan terdapat laporan bahwa angka-angka telah
menurun jauh (Anonim3,2009).

Di Indonesia bangau bluwok tercatat berbiak di hutan bakau Pantai Timur di Jambi
(Silvius 1986,Danielsen et al. 1991a), selain itu juga terdapat lokasi di Propinsi Sumatera
Selatan yang dikonfirmasikan sebagai lokasi berbiak Bangau Bluwok yaitu Tanjung Koyan,
Tanjung Selokan dan Tanjung Banyuasin (Danielsen et al. 1991b). Di Jawa bangau bluwok
pernah tercatat berbiak di Pulau Dua di Jawa Barat (Hoogerwerf 1949) dan Pulau Rambut di
Teluk Jakarta (Allport & Wilson 1986). Namun sejak tahun 1970 Pulau Dua tidak lagi
dijadikan lokasi berbiak (Hancock et al.1992), sehingga sampai saat ini Pulau Rambut adalah
satu-satunya lokasi berbiak bagi bangau bluwok di Pulau Jawa (Imanuddin, 2007).
Gambar 3 : Distribusi Bangau Bluwok

Faktor – faktor yang mempengaruhi distribusi burung pada umumnya (Berger, 1961
dalam Sukmantoro, 1995) yaitu :
1. Waktu dan Geologi
2. Penghalang fisik
3. Mobilitas
4. Kebutuhan akan lingkungan
5. Toleransi ekologi
6. Faktor – faktor psikologis.
Faktor pembatas habitat dari burung ini diantaranya : Makanan. Mengapa makanan?
karena makanan dari bangau bluwok adalah ikan, khususnya ikan ‘blanak’ sehingga batasan
habitat dari spesies ini adalah laut dimana ikan tersebut hidup; Iklim. Burung ini hanya dapat
hidup pada iklim tropis sehingga persebarannya pun hanya dapat ditemukan pada daerah
tropis seperti di asia tenggara; vegetasi daerah pesisir. Bangau ini memiliki habitat mayoritas
di daerah hutan mangrove, hal ini berkaitan dengan ketersediaan nutrisi dan tempat
persinggahan serta tempat berbiak.
Di Pulau Jawa bangau Bluwok meletakkan telur pada bulan Maret hingga Mei
(Hoogerwerf, 1949). Hancock et al. (1992) menyatakan bahwa musim berbiak bangau
Bluwok di Jawa Barat adalah pada bulan Maret sampai Agustus, sednagkan di Sumatera pada
bulan Juni hingga Agustus. Mardiastuti (1992) menyatakan pada tahun 1990-1991 bangau
Bluwok di Pulau Rambut berbiak antara bulan Januari hingga Juni (Imanuddin, 2002).

Gambar 2 : migrasi bangau Bluwok

Di seluruh dunia, populasi bangau bluwok diperkirakan hanya sekitar 6.000 ekor,
5.000 di antaranya tinggal di Indonesia. Sisanya tersebar di negara-negara Asia Tenggara
lainnya, seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia. Di Indonesia, bangau blowok dapat
ditemukan di pantai Indramayu, pantai Cilacap, dan delta sungai Brantas, di teluk Lamong,
Sidoarjo. Di Sumatera habitatnya ada di Sumatra Utara dan Aceh (Imanuddin, 2007).
Susutnya populasi bangau tak lepas dari buruknya kualitas lingkungan di sepanjang
daerah pesisir, dan lahan-lahan basah yang seharusnya menjadi tempat mencari makan bagi
burung-burung air, kini telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan industri,
sehingga habitatnya pun berkurang dan rusak.

D. Konservasi dan Manajemen Pelestarian


Pulau Rambut yang berada di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu secara
administratif terletak di Kelurahan Kepulauan Untung Jawa, Kecamatan Kepulauan Seribu
Selatan. Sebagai kawasan suaka margasatwa, pulau yang tak ditinggali oleh manusia ini
pengelolaannya berada dalam wewenang Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI
Jakarta.

Pulau seluas 90 hektare ini sebelumnya berstatus sebagai kawasan cagar alam. Status
ini melindungi Pulau Rambut dari campur tangan manusia dalam pengelolaan habitat satwa
liar di sana. Kini pulau tersebut diubah statusnya menjadi suaka margasatwa agar pihak yang
terkait dapat melakukan upaya-upaya pelestarian.

Di Indonesia bangau bluwok tercatat berbiak di hutan bakau Pantai Timur di Jambi
(Silvius 1986,Danielsen et al. 1991a), selain itu juga terdapat lokasi di Propinsi Sumatera
Selatan yang dikonfirmasikan sebagai lokasi berbiak Bangau Bluwok yaitu Tanjung Koyan,
Tanjung Selokan dan Tanjung Banyuasin (Danielsen et al. 1991b). Di Jawa bangau bluwok
pernah tercatat berbiak di Pulau Dua di Jawa Barat (Hoogerwerf 1949) dan Pulau Rambut di
Teluk Jakarta (Allport & Wilson 1986). Namun sejak tahun 1970 Pulau Dua tidak lagi
dijadikan lokasi berbiak (Hancock et al.1992), sehingga sampai saat ini Pulau Rambut adalah
satu-satunya lokasi berbiak bagi bangau bluwok di Pulau Jawa (Imanuddin, 2007)

Pada puncak musim berkembang-biak antara bulan Januari-Agustus, Pulau Rambut


dihuni tak kurang dari 20.000 ekor burung air. Bangau bluwok pada musim itu bertelur tak
lebih dari empat butir, dengan tingkat keberhasilan tetas hanya separuhnya. Artinya dari
empat telur yang dierami paling banyak yang menjadi anakan cuma dua butir. Sedikitnya
jumlah telur itu boleh jadi disebabkan oleh jumlah dan kualitas makanan yang tersedia tidak
mencukupi.

Koloni-koloni spesies burung ini sedikitnya berlokasi di 5 kawasan lindung di


Sumatra dan di masing-masing di Jawa, Sulawesi, dan semenanjung Malaysia. Di danau
Tonle Sap, Kamboja, pembiakan koloni burung air besar ditunjuk sebagai wilayah inti
Biosphere Reserve yang diajukan sebagai Situs Ramsar dan telah menerima pemantauan aktif
dan peningkatan penegakan peraturan sejak tahun 1997. Di Kamboja, poster yang
menggambarkan jenis digunakan dalam mempromosikan kesadaran lingkungan masyarakat.

E. Tindakan Konservasi yang Diusulkan


Survei dan penelitian untuk menemukan koloni tambahan,
Memonitor pergerakan musiman (migrasi) dan memperjelas persyaratan ekologis.
Memantau jumlah dan penangkaran atau kesuksesan berbiak di semua koloni tempat
bersarangnya
Menetapkan kawasan lindung khususnya di Riau, Jambi dan provinsi Sumatera
Selatan, Sumatera dan Matang Hutan Mangrove di Malaysia sebagaimana Pulau
Rambut di Jakarta.
Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian baurung
air ini.

F. Perkiraan kondisi biota atau habitat Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) dimasa
yang akan datang

Perkiraan kondisi biota atau habitat dari bangau Bluwok (Mycteria cinerea) di masa yang
akan datang terdapat dua kemungkinan, yaitu kemungkinan pertama bangau Bluwok (Mycteria
cinerea akan menuju kepunahan dikarenakan kondisi habitatnya, dimana habitat utama bangau
bluwok adalah hutan bakau, rawa, sawah, tambak, dan daerah dataran lumpur lainnya yang
terletak di daerah pesisir (MacKinnon et el,1998. Indrawan et al.1993 dalam Imanuddin,
2003) pada saat ini terjadi pengurangan secara besar-besaran terhadap habitat spesies ini yang
disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan lahan untuk
pemukiman dan industri, sehingga habittnya berkurang dan tempat mereka mencari makan yang
rusak serta banyak yang dialih fungsikan. Selain itu burung ini akan menjadi punah apabila
masyarakat tetap saja menjadikan burung ini menjadi hewan buruan mereka, konon kabarnya daging
burung ini enak disantap. Polusi air juga mungkin menyebabkan burung ini hidup dalam kesulitan
sebab otomatis ketersedian makanan buat mereka juga berkurang karena banyak ikan yang mati.
Selain itu tempat mereka berbiak sering dirusak, sehingga menjadikan burung ini rentan punah.
Apalagi bangau Bluwok pada musim bertelur tak lebih dari empat butir, dengan tingkat
keberhasilan tetas hanya separuhnya. Artinya dari empat telur yang dierami paling banyak
yang menjadi anakan cuma dua butir. Kesemuanya sebagian besar disebabkan karena ulah tangan
manusia sendiri. Oleh sebab itu sangat diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk pentingnya
pelestarian dari burung ini.
Kemungkinan kedua jika konservasi yang sudah dilakukan seperti yang dilakukan di Pulau
Rambut berjalan dengan baik maka populasi bangau Bluwok (Mycteria cinerea) akan dapat
meningkat sehingga terhindar dari kepunahan. Karena Pulau Rambut merupakan daerah berbiaknya.
Pada puncak musim berkembang-biak antara bulan Januari-Agustus, Pulau Rambut dihuni
tak kurang dari 20.000 ekor burung air. Sehingga diharapkan dengan dijadikan Pulau Rambut
suaka margasatwa akan dapat menjaga tempat berbiak bagi burung ini, sehingga dapat
terhindar dari ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Dan dapat menghindari
dari status burung ini menurut Birdlife International memasukkan spesies ini ke dalam
kategori rentan (vulnerable) dapat berubah statusnya lebih serius lagi seperti menjadikan
statusnya Genting (Endangered) atau bahkan punah.
Daftar Pustaka

Anonim1.2009. Bangau Bluwok. Dikutip dari


(http://www.birdlife.org/datazone/species/index.html). Diakses pada 10 Nopember
2009. Pukul 13.00 WIB

Anonim2.2009.Burung Terancam Punah di Indonesia. Dikutip dari


(http://www.birdlife.org/datazone/species/index.html). Diakses pada 11 Nopember
2009. Pukul 10.00 WIB

Anonim3.2009. Mycteria cinerea. Dikutip dari


(http://www.birdlife.org/datazone/species/index.html). Diakses pada 11 Nopember
2009. Pukul 10.00 WIB

Hancock JA, Kushlan JA, Kahl MP. 1992. Strok, Ibises and Spoonbills of the World. London
: Academic Pr

Imanuddin, Mardiastuti A. 2007. Breeding Biology of Milky Stork (Mycteria cinerea).


Indonesian Ornithologists Union (IdOU)-2007

Imanuddin, Mardiastuti A. 2002. Karakteristik Areal Mencari Makan Burung Bangau


Bluwok pada Musim Berbiak. Media Konservasi 7:37

Imanuddin, Mardiastuti A. 2003. Kesuksesan Perkembangbiakan dan Pertumbuhan Anakan


Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Hayati, vol
10 No. 2. Hal 76-80

MacKinnnon J, Phillips K, van Balen B. 1998. Burung-burung di Sumatra, Jawa dan


Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi.: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Soehartono TR. Mardiasuti A. 2002. CITES and Its Implementation in Indonesia. Jakarta:
Nagao Environment Foundation

Verhaught WJM. 1987. Conservation status and action program for the Milky Stork. Colonial
Waterbird 10:211-220

You might also like