You are on page 1of 34

Wakaf di berbagai Negara Muslim dan Alih fungsi harta wakaf

A. Praktek Perwakafan di Beberapa Negara Muslim


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam rangka pembangunan
ekonomi umat, Islam mengemukakan pendekatan yang integratif dan proaktif termasuk di
antaranya melalui ibadat wakaf. Wakaf merupakan salah satu institusi yang telah terbukti
dalam sejarah sebagai lembaga yang memegang peranan penting dalam membangun
kekuatan dan kesejahteraan umat Islam sejak dulu.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya Muhadarat fi al-Waqf (Pembahasan
Mengenai Wakaf), wakaf telah banyak dipraktekkan pada zaman pemerintahan kerajaan Bani
Umaiyah yaitu di Mesir dan Syam dan daerah-daerah bagian Islam yang telah dibuka dalam
pemerintahan tersebut. Harta wakaf ketika itu terdiri dari tanah, bangunan dan kebun-kebun.
Bahkan pada zaman pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik telah dikukuhkan jabatan khusus
bagi pengurus harta wakaf.[1]
Muhammad Abu Zahrah juga menyebutkan bahwa pembangunan Masjid al-Haram dan
Masjid al-Aqsa adalah sebahagian daripada bukti sejarah di mana ibadah wakaf memegang
peranan penting dalam pembangunan kehidupan umat manusia.[2]
Di beberapa negara muslim saat ini pun aktivitas perwakafan tidak terbatas hanya
kepada tanah dan bangunan, tetapi telah dikembangkan kepada bentuk-bentuk lain yang
bersifat produktif.[3] Untuk melihat perkembangan aktivitas perwakafan di beberapa negara
muslim, dapat dijelaskan dalam uraian berikut.

1. Perwakafan di Saudi Arabia


Pemerintahan Arab Saudi menyerahkan pengelolaan wakaf kepada suatu badan di
bawah payung Kementerian Haji dan Wakaf. Kementerian Haji dan Wakaf bertugas untuk
menjaga wakaf agar tetap terpelihara serta menghasilkan dana yang dapat dimanfaatkan bagi
yang berhak. Kementerian ini mempunyai kewajiban mengembangkan dan mengarahkan
wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif. Untuk itu Pemerintah
Kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi Majelis Tinggi Wakaf dengan Ketetapan No.
574 tanggal 16 Rajab 1386 H. sesuai dengan Surat Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18
Rajab 1386 H.[4] Majelis Tinggi Wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, yakni

Menteri yang mengawasi wakaf dan menguasai permasalahan-permasalahan perwakafan


sebelum dibentuk Majelis Tinggi Wakaf.
Anggota Majelis Tinggi Wakaf terdiri atas wakil Kementerian Haji dan Wakaf, ahli
hukum Islam dari Kementerian Kehakiman, wakil dari Kementerian (Departemen) Keuangan
dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota dari kalangan cendekiawan dan
wartawan.[5]
Majelis

Tinggi

Wakaf

mempunyai

wewenang

untuk

membelanjakan

hasil

pengembangan wakaf dan menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf


berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif dan manajemen wakaf. Di samping itu
Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai beberapa wewenang, antara lain: [6]
(1) melakukan pendataan wakaf serta menentukan cara-cara pengelolaannya;
(2) menentukan langkah-langkah umum untuk penanaman modal, pengembangan dan
peningkatan harta wakaf;
(3) mengetahui kondisi semua wakaf yang ada. Langkah ini dilakukan untuk
menguatkan kedudukannya sebagai lembaga yang menguasai permasalahan wakaf serta
untuk mencari jalan pemecahannya;
(4) membelanjakan harta wakaf untuk kebajikan menurut syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh wakif dan sesuai dengan Syariat Islam;
(5) menetapkan anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan mendistribusikan hasil
pengembangan harta wakaf tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu;
(6) mengembangkan wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang
sudah dikeluarkan oleh pemerintah.[7]

Wakaf yang ada di Saudi Arabia bentuknya bermacam-macam seperti hotel, tanah,
bangunan (rumah) untuk penduduk, toko, kebun, tempat ibadah dan lain-lain. Dari berbagai
macam harta wakaf tersebut ada yang diwakafkan untuk dua kota suci yakni kota Makkah
dan Madinah. Pemanfaatan hasil wakaf yang utama adalah untuk memperbaiki dan
membangun wakaf yang ada agar wakaf tersebut kekal dengan tetap melaksanakan syaratsyarat yang diajukan oleh wakif.[8] Hal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya
pemanfatan wakaf yang dipraktekkan di Saudi Arabia tetap mengacu kepada tujuan yang
diinginkan wakif. Namun dilakukan pengembangan pengelolaan dengan memproduktifkan

harta wakaf untuk kepentingan umum lainnya, dengan tujuan upaya optimalisasi pemanfaatan
hasil wakaf.
Sebagai contoh, khusus terhadap dua kota suci yakni Makkah dan Madinah, pemerintah
membantu dua kota tersebut dengan memberikan manfaat hasil wakaf terhadap segala urusan
yang ada di kota tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan hasil pengembangan wakaf. Dari hasil pengelolaan harta wakaf itu selanjutnya
dibangun perumahan penduduk. Hal ini tidak berarti bahwa dana yang dipergunakan untuk
membangun dua kota suci tersebut hanyalah hasil pengembangan wakaf saja, karena Arab
Saudi di samping memiliki harta wakaf yang cukup banyak juga memiliki kekayaan yang
berlimpah dari hasil minyak yang mereka produksi. Proyek pengembangan yang diutamakan
oleh Kementerian Haji dan Wakaf adalah pembuatan hotel-hotel di tanah wakaf yang terdapat
di Makkah al-Mukarramah terutama yang ada di dekat Masjid al-Haram. Proyek-proyek
pengembangan wakaf lain yang juga diutamakan adalah pembangunan perumahan penduduk
di sekitar Masjid Nabawi. Di kota ini juga dibangun toko-toko dan tempat-tempat
perdagangan. Semuanya ditujukan untuk membantu keperluan jamaah haji dan orang-orang
yang pergi melakukan ziarah ke Madinah.
Berdasarkan keterangan di atas terlihat bahwa untuk menjaga wakaf agar tetap
terpelihara serta menghasilkan dana yang dapat dimanfaatkan bagi yang berhak, peranan
pemerintah sangat menentukan. Untuk itu dibuatlah undang-undang atau peraturan yang
berkenaan dengan pemeliharaan serta pengembangan dan pendistribusian wakaf. Di samping
perlu lembaga khusus yang bertugas untuk mengelola wakaf. Yang lebih penting lagi kondisi
perekonomian negara juga dapat mempengaruhi berhasil tidaknya pengelolaan wakaf.
Saudi Arabia sebagai wilayah yang jumlah wakafnya cukup banyak dengan didukung
perekonomian yang memadai mampu mengembangkan harta wakaf dengan baik sehingga
masyarakatnya terjamin kesejahteraannya dan Kerajaan juga mampu menyediakan sarana dan
prasarana bagi jamaah haji.

2. Perwakafan di Mesir
Pada masa Pemerintahan Muhammad Ali Pasya, perwakafan di Mesir tidak terurus
secara baik sehmgga tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi pembangunan ekonomi
Mesir. Wakaf pada masa tersebut menjadi asset yang terlantar. Hal itu disebabkan konsentrasi
pemerintahan Muhammad Ali Pasya terfokus pada upaya mewujudkan stabilitas politik

internal dalam negeri dalam rangka menghadapi masuknya pasukan barat ke Mesir.
Kendatipun adanya usaha meningkatkan perekonomian Mesir, namun wakaf tetap secara
terabaikan. Dia berusaha mengembalikan tanah kepada petani sebelumnya yang diambil oleh
negara. Ironisnya, petani tetap saja berurusan dengan negara.[9]
Keinginan kuat untuk mengelola wakaf secara baik baru muncul pada masa pasca
pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah Mesir
adalah menertibkan tanah wakaf melalui penjagaan dan pemeliharaan serta diarahkan pada
tujuan kemaslahatan umum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu,
pemerintah juga memberikan perlindungan kepada para mustahiq. Langkah selanjutnya yang
dilakukan pemerintah adalah membentuk diwan al-waqf yang menjadi cikal bakal
departemen wakaf.[10]
Kendatipun pemerintah Mesir telah membentuk satu departemen untuk mengelola
wakaf secara serius, tetapi ternyata persoalan lainnya muncul seperti tidak adanya rasa
keadilan yang ditetapkan oleh para pewakaf (wakif), pengawasan dan pengelolan yang
kurang profesional. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak jarang wakif dalam berwakaf
tidak memperlihatkan rasa keadilan dalam masyarakat. Karena pada saat itu belum ada aturan
yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban wakif dan dengan pihak yang lain, sehingga
terkesan aturan tersebut ditentukan wakif sendiri, terutama yang berkaitan dengan orangorang yang berhak menerima harta wakaf tersebut. Kondisi demikian memunculkan sikap
malas dan menurunkan etos kerja sebahagian mustahiq. Sebagian dari penerima wakaf hanya
menggantungkan ekonominya dari wakaf itu saja, sehingga mereka malas untuk bekerja dan
menambah deretan pengangguran dalam masyarakat karena di antara mereka tidak lagi punya
etos kerja yang baik. Di samping itu, terdapat pula para nazir yang menyalahgunakan
wewenangnya untuk melakukan praktek riba.
Melihat ketidakteraturan pegelolaan wakaf tersebut, beberapa kalangan masyarakat
yang memiliki perhatian pada persoalan wakaf mendesak pemerintah untuk segera
melakukan perubahan peraturan perundang-undangan wakaf. Pada tahun 1926 masyarakat
mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi
ide dan wacana yang dikembangkan itu justru mengundang polemik yang panjang di
kalangan masyarakat luas.[11]
Pemerintah akhirnya mensahkan undang-undang tersebut meskipun proses menuju
pengesahan itu membutuhkan waktu yang agak panjang. Pada tahun 1946 peraturan

perundang-undangan tentang wakaf menjadi sebuah kenyataan dan menjadi sebuah putusan
politik dengan dikeluarkannya undang-undang No. 48 tahun 1946 yang isinya mencakup
terjadinya wakaf dan syarat-syaratnya.
Pengesahan undang-undang tersebut menjadi harapan baru bagi umat Islam Mesir
untuk mengelola asset wakaf. Akan tetapi ternyata setelah undang-undang tersebut disahkan,
pcrsoalan muncul. Persoalan itu terlihat pada semakin tajamnya perbedaan antara pemeritah
dengan ulama, terutama yang berkaitan dengan terjadinya wakal. Menurut undang-undang
yang baru saja disahkan dijelaskan bahwa wakif boleh menarik kembali harta yang telah
diwakafkan ataupun mengubahnya, tetapi tidak diperbolehkan untuk menarik wakaf untuk
diri sendiri. Wakaf jenis inilah yang terbanyak beredar di Mesir pada masa sebelumnya.
Misalnya, wakaf yang diberikan untuk kepentingan publik seperti masjid. Dalam hal ini
wakif tidak dibolehkan menarik kembali dan tidak boleh mengubahnya.[12] Di samping itu
undang-undang ini juga memuat tentang berakhimya wakaf muaqqat (wakaf yang dibatasi
waktunya). Menurut undang-undang ini wakaf muaqqat hanya terbatas pada wakaf ahli,
sedangkan wakaf khari tidak dibatasi waktunya. Dalam undang-undang ini juga dicantumkan
tentang pihak-pihak yang berhak atas harta wakaf, nazir, kekuasaan nazir atas harta wakaf
dan pengembangannya.[13]
Pada tahun 1952 pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang ini dengan
mengeluarkan Undang-Undang No. 180 tahun 1952 yang berisi tentang penghapusan
peraturan wakaf ahli dengan disertai peraturan pelaksanaannya. Namun, di dalamnya tidak
dibahas bagaimana mekanisme pengawasan dan siapa yang bertanggung jawab serta
bagaimana prosedur membelanjakannya. Inilah kelemahan pertama yang terdapat dalam
undang-undang baru ini. Dengan kata lain, undang-undang ini ternyata juga belum dapat
menjawab persoalan dan subtansi yang diinginkan oleh masyarakat.
Menyadari hal yang demikian maka pada tahun yang sama pemerintah kembali
mengajukan rancangan undang-undang yang akhirnya disahkan menjadi sebuah produk
hukum No. 247 tentang pengawasan terhadap wakaf khairi dan penertiban belanja
pemeliharaan harta wakaf. Di samping berisi tentang bagaimana pengawasan, prosedur
pembelanjaan, dan pemeliharaan harta wakaf, undang-undang ini juga mengatur tentang
kebolehan wizarat al-auqaf dengan persetujuan Majelis Tinggi Wakaf, untuk menyalurkan
apakah seluruh atau pun sebagian saja dan harta wakaf jika wakif tidak menentukan penerima
wakaf.[14]

Pada tahun 1957 pemerintah mengajukan lagi rancangan undang-undang wakaf yang
baru yang akhirnya disahkan menjadi sebuah Undang-Undang No. 30 tahun 1957. Melihat
ketentuan hukum yang ada dalam undang-undang ini, pada dasamya tidaklah banyak memuat
hal-hal yang baru, kecuali sekedar menyempumakan dan meluruskan undang-undang
sebelumnya. Adapun yang terbaru dari undang-undang ini hanyalah menyangkut tentang
pendirian rumah sakit yang berada di kota Kairo, Kemudian pada tahun yang sama disusul
dengan undang-undang (qanun) No. 152 tahun 1957 yang mengatur tentang penggantian
tanah pertanian yang diwakafkan untuk tujuan kebaikan.
Berkaitan dengan pengaturan tentang penggantian tanah pertanian, pemerintah
mengeluarkan undang-undang tersendiri, yaitu undang undang No. 20 tahun 1957 yang
memuat tentang aturan lembaga perekonomian.[15] Kemudian selanjutnya dilengkapi dengan
peraturan No. 51 tahun 1958, yang merupakan penyempurnaan dari undang undang No. 152
tahun 1957. Dengan demikian sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim secara
terus menerus telah melakukan proses pematangan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan wakaf dengan senantiasa merujuk kepada syariat Islam. Salah satu hasil dari
proses ini ialah pada tahun 1971 pemerintah berhasil membentuk suatu badan yang khusus
menangani persoalan wakaf dan pengembangannya yang disesuaikan dengan Qanun No. 80
tahun 1971. Badan ini bertugas melakukan kerjasama dalam pengawasan dan memeriksa
tujuan undang-undang wakaf dan program wizarat al-auqaf. Di samping itu, badan ini juga
diberi wewenang untuk mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta
semua kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.[16]
Dalam rangka memudahkan dalam pelaksanaan undang-undang ini, maka pemerintah
membentuk struktur kepengurusan wakaf yang terdiri dari ketua badan atau lembaga dan
direktur umum. Direktur umum dibantu oleh tiga direktur umum lainnya, yang membidangi
harta benda dari pengembangan, bidang teknik (pengukuran) dan bidang pertanian. Di
samping itu, kepengurusan ini juga dibantu oleh empat orang wakil menteri, yaitu
kementerian pertanian, kementerian kependudukan dan kementerian ekonomi serta
kementerian perwakafan. Kemudian terdapat juga penasehat dan majelis pengadilan tinggi
yang dipilih oleh majelis dari seorang ahli hukum Islam yang dipilih oleh menteri
perwakafan. Adapun harta benda yang dikelola oleh badan ini: pertama, harta yang
dikhususkan oleh pemerintah untuk anggaran umum, kedua, barang yang menjadi jaminan
hutang, ketiga, hibah, wasiat dan sedekah, keempat, dokumen, uang atau harta yang harus
dibelanjakan dan sesuatu yang sudah menjadi haknya untuk dikelola sesuai dengan Undang-

undang No. 70 tahun 1972. Kelima, hasil lain yang berguna untuk menmgkatkan dan
mengembangkan harta wakaf.[17]
Sebagai negara yang sudah cukup lama mengelola harta wakaf, Mesir telah berhasil
mengembangkan wakaf untuk pengembangan ekonomi umat. Di antara faktor-faktor yang
menjadi pendukungnya adalah: Pertama, pihak pengelola wakaf menyimpan hasil harta
wakaf khair di bank sehingga dapat berkembang. Kedua, untuk pembangunan ekonomi umat,
pemerintah khususnya Departemen Perwakafan ikut berpartisipasi dalam mendirikan Bank
Syariah. Ketiga, Departemen Perwakafan melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagai
penanam modal untuk pendirian pabrik, rumah sakit Islam, pemeliharaan ternak, bank untuk
perumahan dan bangunan dan lain-lain. Keempat, Departemen Perwakafan mengelola tanah
wakaf yang kosong untuk dikelola secara produktif melalui pendirian lembaga lembaga
perekonomian, bekerja sama dengan perusahaan besi dan baja.
Di samping itu, dalam rangka pengembangan wakaf departemen wakaf tidak hanya
menanamkan sahamnya dalam skala besar tetapi juga pada penanaman dalam skala kecil.
Misalnya, membantu permodalan usaha kecil dan menengah serta membantu kaum dhuafa,
menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat melalui pendirian rumah sakit dan
penyediaan obat-obatan dan poliklinik, mendirikan tempat-tempat ibadah dan lembaga
pendidikan serta ikut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[18]
Dengan demikian terlihat jelas bahwa pengelolaan harta wakaf di Mesir dikelola secara
serius dan produktif oleh badan wakaf yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka
membantu kepentingan masyarakat baik di bidang sosial, agama, pendidikan, ekonomi dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Pengelolaannya juga terdiri dari tenaga-tenaga yang
profesional dan sistem pengelolaannya juga didukung o!eh peraturan perundang-undangan
yang memadai serta mudah untuk diterapkan.

3. Perwakafan di Pakistan
Sama halnya dengan negara-negara muslim lainnya, di Pakistan pengelolaan wakaf
berada di bawah pengawasan departemen wakaf yang tersebar di berbagai propinsi. Begitu
pula halnya dengan aturan juga mengalami proses yang amat panjang. Misalnya, sebelum
tahun 1959 wakaf diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berbeda.
Menurut catatan Adiwarman A. Karim, ada lima undang-undang yang mengaturnya, yaitu
The Punjab Muslim Awqaf Act. 1951, The Qanon-e Awqaf Islami, 1945 (sekarang propinsi

Bahwalpur), The North West Frontier Province Charitible Institution Act. 1949, The
Musalman Waqf (Sind Amandement) Act. 1959, The Musalman Waqf (Bombay
Amandement) Act, 1935.[19]
Tetapi karena dalam pelaksanaanya undang-undang ini tidak dapat berlaku secara
efektif, dan bahkan tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat, maka pada tahun
1976 undang-undang tersebut diganti dengan Awqaf (Federal Control) Act. yang berarti
pengelolaan dilakukan di tingkat federal. Kemudian pada tahun 1979 pengelolaan wakaf
dikembalikan lagi ke tingkat propensi.
Dalam operasionalnya menteri wakaf membentuk direktorat konservasi dalam rangka
menyelamatkan monumen bersejarah. Direktorat Konservasi Punjab, misalnya, berhasil
mendapatkan penghargaan Aga Khan Award dalam bidang arsitektur. Keberhasilan Awqaf
Punjab dalam mendapatkan penghargaan antara lain didorong oleh keberhasilannya
mendirikan; pertama, Akademi Ulama yang menawarkan program jangka panjang (2 tahun)
dan jangka pendek. Selain itu juga pengelolaan 25 sekolah agama, dan 22 perpustakaan.
Kedua, pendirian Tabligh Cell untuk berdakwah di berbagai media massa. Ketiga, pendirian
Rumah Sakit di Dat Darbar. Keempat, Mesjid Besar Dat Ganj Baks. Kelima, pusat riset data
Ganj Bakhs Shib, Lahore yang diberi nama Markaz Maaraf e Awlie untuk penelitian tentang
para aulia. Keenam, bantuan keuangan kepada yang tidak mampu dan para janda ex
mujawars.
Terlihat bahwa pengelolaan wakal yang baik akan memberikan hasil yang sangat
konstruktif bagi pembangunan umat, sebagaimana yang secara ringkas telah kita bahas
tentang perwakafan di Pakistan.
4. Perwakafan di Bangladesh
Bangladesh merupakan salah satu negara yang telah mengembangkan wakaf secara
modern, tidak hanya bersifat properti, tetapi sudah merambah kepada wakaf uang.
Keberhasilannya mengembangkan wakaf uang telah membawa Bangladesh kepada negara
yang memiliki dana sosial yang cukup memadai, dan tidak membutuhkan lagi belas kasihan
negara maju untuk mendapatkan bantuan. Jika dilihat dari sisi jumlah harta wakaf,
Bangladesh termasuk negara yang memiliki aset wakaf cukup banyak. Menurut penjelasan
Adiwarman A. Karim, di Bangladesh terdapat lebih dari 8317 lembaga pendidikan Islam,
123.000 masjid, 55.584 lapangan untuk shalat ied, 21.163 lahan pemakaman, 1.400 Dargah,
dan

3.859

lembaga

lainnya,

yang

merupakan

harta

wakaf.Untuk

memudahkan

operasionalnya, pengelolaan wakaf di Bangladesh di bagi dalam tiga bentuk, yaitu: Pertama,
wakaf yang dikelola oleh Yayasan Wakaf yang tidak terdaftar pada kantor Administrasi
Wakaf (OAW) Kementerian Agama Bangladesh. Kedua, wakaf yang dikelola oleh
Mutawailis atau Komite Wakaf yang tidak terdaftar pada Kantor Administrasi Wakaf
(OAW). Ketiga, wakaf yang dikelola oleh OAW.

Sebahagian besar wakaf yang tersebar di berbagai daerah pada umumnya termasuk
pada kelompok pertama dan kedua. Sedangkan secara administratif pengelolaan wakaf
berada di bawah Kementerian Agama yang kemudian membentuk satu bagian yang
menangani khusus persoalan wakaf, yaitu The Administrator of Waqfs. Secara teknis kantor
ini dibantu oleh 4 kantor divisi dan 24 kantor propinsi. Masing-masing kantor ini berfungsi
untuk mengatur dan melaksanakan pendaftaran harta wakaf secara administratif. Setelah
harta wakaf tersebut didafiarkan kepada kantor, lalu jenis dan penerima manfaat ditentukan,
mutawalli ditunjuk sesuai dengan keinginan pemberi wakaf. Kantor wakaf dapat
menginstruksikan kepada mutawalli untuk mengelola wakaf sesuai dengan keinginan yang
tertulis, namun mutawalli dapat juga mengajukan kepada Mahkamah Agung bila dirasakan
instruksi tersebut tidak tepat. Selanjutnya kantor wakaf dapat mengambil alih harta wakaf dan
menunjuk mutawalli lain, kapan pun dapat pula membatalkan dan memberhentikan mutawalli
dan kemudian menggantinya dengan yang lain. Untuk memastikan pengelolaan yang tepat
dan profesional, maka kantor wakaf dapat melakuan audit atas harta wakaf. Di samping itu
kantor juga dapat bertindak sebagai seorang hakim untuk meyelesaikan penyalahgunaan,
pengambilalihan harta wakaf dan sejenisnya.
Kantor wakaf hanya berhak mengambil fee 5% dari pendapatan bersih. Meskipun harta
wakaf tersebut tidak dapat dipindah-tangankan, namun kantor wakaf dapat melakukannya
dalam suatu kasus khusus, dengan izin dan pemerintah, atau diatur dalam akad wakaf, atau
atas permintaan mutawalli dengan pertimbangan memaksimalkan nilai produktifitas wakaf,
atau diambil alih oleh pemerintah dengan memberikan kompensasi.
Sejalan dengan itu, juga telah dikembangkan wakaf uang yang diperkenalkan pertama
kali oleh M.A. Mannan dengan Social Investment Bank Ltd (SIBL). Ternyata dalam praktek
ekonomi, instrumen ini dapat berperan lebih banyak dalam pembangunan Bangladesh,
terutama dalam hal suplemen bagi pendanaan berbagai proyek investasi sosial yang dikelola

oleh bank-bank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf (sebuah bank yang
menampung dana-dana wakaf).

5. Perwakafan di Sri Lanka


Pada Tahun 1931 Pemerintah Sri Lanka mengeluarkan Ordonansi Wakaf dan waris No.
31 tahun 1931.[20] Wakaf di Sri Langka sudah ada sejak agama Islam masuk dan
berkembang di negara tersebut. Di samping wakaf, lembaga Islam di Sri Langka juga
mempraktikkan hibah, wasiat, kewarisan dan sebagainya. Pada tahun 1801 pemerintah
Inggris mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan lembaga-lembaga Islam di Sri
Langka berupa undang-undang untuk umat Islam yang dibakukan dalam Muhammadan Code
1806 yang didasarkan pada fikih Syafi'i dan diberlakukan bagi seluruh umat Islam.[21]
Pada tahun 1931 pemerintah Sri Langka mengeluarkan Ordonansi Wakaf dan Waris
No. 31 tahun 1931. Menurut ordonansi ini pengadilan distrik merupakan badan pengawas
perwalian wakaf. Badan perwalian wakaf diwajibkan melaporkan keuangan wakaf yang
diurusnya kepada pengadilan distrik. Pengabaian terhadap kewajiban ini dianggap melanggar
undang-undang. Ordonansi wakaf saat itu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
karena adanya pertentangan antara konsep wakaf menurut ajaran Islam dengan undangundang Romawi-Belanda atau dengan Undang-undang Pemilikan yang sudah sangat lama
berlaku di pengadilan distrik. Di samping itu aturan-aturan wakaf di Sri Langka juga tidak
dapat diberi efek hukum di pengadilan negeri karena di Sri Langka sebelum tahun 1956 tidak
ada peradilan syari'at.
Hukum yang mengatur transfer harta di pengadilan adalah hukum Romawi-Belanda.
Hal ini berarti bahwa seorang Muslim, menurut undang-undang sebelum tahun 1956, tidak
bisa menyerahkan harta bendanya kepada Tuhan seperti masjid atau tempat ibadah sehingga
peraturan itu tidak mendukung keberadaan harta wakaf yang seharusnya dilindungi dan
dimanfaatkan untuk kepentingan keagamaan dan kesejahteraan umat. Hal ini terbukti adanya
penyalahgunaan harta wakaf dan banyaknya kasus hilangnya tanah wakaf di Sri Langka.
Dalam praktiknya pengadilan distrik tidak melakukan pengawasan terhadap harta wakaf.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam praktik perwakafan ini, para
intelektual Muslim dan ulama berusaha mencari jalan keluar agar wakaf dapat berjalan sesuai
syariat. Atas usaha itu akhirnya pemerintah mengeluarkan Undang-undang Wakaf No.

51/1956.[22] Berdasarkan ini kemudian dibentuk Badan Wakaf yang bertugas mengawasi
dan menyelesaikan masalah wakaf. Badan ini juga menghapuskan segala hal yang
berhubungan dengan hak pemilikan yang dibuat sebelum tahun 1956. Anggota Badan Wakaf
juga diberi hak untuk mengawasi semua benda wakaf yang terdiri atas 8.000 masjid, 30
sumbangan wakaf, dan sekitar 400 tanah kuburan para wali dan tempat ibadah kaum
Muslimin. Uang yang diperoleh dari sumbangan masyarakat, hibah dan sumbangan lain
dipergunakan untuk memelihara harta wakaf.
Dengan menguasai masalah hukum, diharapkan masing-masing anggota Badan Wakaf
melindungi dan mempertahankan keberadaan wakaf dan mampu mengembangkannya.
Meskipun sudah dikeluarkan Undang-undang No.51/1956 dan sudah dibentuk Badan Wakaf
tetap saja muncul masalah. Hal ini karena undang-undang tersebut belum memiliki kekuatan
untuk melaksanakan keputusan-keputusan Badan Wakaf. Oleh karena itu timbul protes dan
ungkapan keprihatinan terhadap cara-cara yang dilakukan orang untuk menyelesaikan
masalah wakaf. Di samping itu penunjukan para mutawalli wakaf dan pengelola wakaf juga
tidak memuaskan umat Islam. Akhirnya ahli hukum Islam menyerukan kepada para
intelektual untuk mengambil langkah perbaikan.[23]
Permasalahan wakaf tersebut sedikit teratasi dengan dibentuknya Kementerian Agama
yang berdiri sendiri pada tahun 1977. Kementerian Agama tersebut dikepalai oleh seorang
anggota kabinet. Setelah ada Kementerian Agama, barulah dibuat amandemen Undangundang Wakaf dengan peraturan No. 33 Tahun 1982. Dengan adanya amandemen dan
peraturan baru dibentuklah Pengadilan Syariah yang khusus menangani masalah-masalah
wakaf.[24] Badan yang menunjuk para hakim pengadilan tersebut kemudian juga
mengangkat Badan Pertimbangan Wakaf yang anggotanya orang-orang Muslim yang
kompeten dalam bidangnya. Badan ini bertindak sebagai badan yang berwenang melakukan
pemeriksaan terhadap masalah-masalah wakaf dan berwenang mengawasi seluruh perwalian
wakaf, manajer (wakaf), masjid, sumbangan, rumah ibadah dan tanah (wakaf). Pengadilan
Syariah dan Badan Pertimbangan Wakaf tersebut juga mempunyai wewenang untuk
mengeluarkan keputusan-keputusan hukum yang kuat di Pengadilan Negeri. Setelah tahun
1982, masalah administrasi dan pelaksanaan wakaf diserahkan kepada Direktur Urusan
Agama dan Kebudayaan Islam.
Perwakafan memang memerlukan kekuatan hukum dalam pelaksanaannya, karena
tanpa adanya kekuatan hukum, wakaf sangat mudah diselewengkan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.

6. Perwakafan di Yordania
Pemanfaatan wakaf di Yordania sungguh menarik untuk dikaji. Informasi ini penting
untuk diketahui, sebagai bahan pertimbangan untuk mengelola wakaf di Indonesia yang
jumlahnya cukup banyak, namun belum dikelola secara produktif. Jika kita perhatikan hadis
yang diriwayatkan Ibnu Umar, yang merupakan dialog antara Umar bin Khattab dengan Nabi
Muhammad SAW di saat Umar ingin mewakafkan tanahnya di Khaibar, antara lain Nabi
SAW bersabda Jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Ini
menyiratkan, harta yang diwakafkan itu perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga
hasilnya dapat mensejahterakan mauquf alaih. Pengelolaan wakaf di Yordania sangatlah
produktif. Adapun hasil pengelolaan wakaf itu dipergunakan antara lain untuk :[25]
- Memperbaiki perumahan penduduk di beberapa kota. Salah satu di antaranya adalah
kota yang arealnya seluas 79 dunum (dunum adalah ukuran empat persegi dengan luas kirakira 900 M2). Di areal tersebut terdapat tanah pertanian, yang berisi 1.346 pohon zaitun,
anggur, kurma dan buah badam. Pembangunan rumah penduduk dan pengembangan
pertanian tersebut kedua-duanya merupakan proyek pertanian Kementerian Perwakafan;
- Membangun perumahan petani dan pengembangan tanah pertanian di dekat kota
Amman. Wilayah tersebut luasnya 84 dunum, dan di dalamnya terdapat 1.600 pohon anggur,
zaitun, buah badam dan kurma;
- Mengembangkan tanah pertanian sebagai tempat wisata di dekat Amman. Di tanah
pertanian ini terdapat 2300 pohon zaitun, anggur, kurma, dan buah badam;
- Membangun sebuah tempat suci di daerah Selatan. Areal tersebut luasnya 122 dunum,
terdapat 350 pohon zaitun dan tanah pertanian ini akan dikembangkan terus-menerus dengan
dana wakaf. Di samping daerah-daerah Tepi Timur, proyek wakaf bidang pertanian juga
dilakukan di wilayah Tepi Barat antara lain pertanian pohon zaitun di al-Khalil (Hebron)
yang memiliki tanah wakaf berupa tanah pertanian yang cukup luas.[26]
Pelaksanaan kebijaksanaan Kementerian Wakaf tetap bersandar pada kebijaksanaan
yang ada untuk mewujudkan tujuan wakaf yang telah dijelaskan dalam Undang-undang
Wakaf. Adapun hasil yang sudah dicapai dari pengembangan wakaf yang dilakukan oleh
Wizaratul Auqaf Kerajaan Yordania antara lain adalah :[27]

(1) Membuka beberapa lembaga pendidikan tinggi antara lain Fakultas Da'wah,
Ushuluddin dan Syari'ah;
(2) Mendirikan beberapa lembaga pendidikan di Aman dan Yerusalem serta
Qalqiiliyyah, Khalil, Nablus dan Junain,
(3) Mendirikan 53 tempat belajar al-Qur'an dan al-Hadis,
(4) Mengalokasikan dana wakaf pada madrasah, rumah-rumah yatim Islam yang
mengajarkan keterampilan;
(5) Mendirikan percetakan mushaf al-Quran dan percetakan di Amman yang mencetak
barang-barang cetakan yang diperdagangkan.
(6) Mendirikan kurang lebih 250 perpustakaan di mesjid-mesjid dan kota-kota kerajaan;
(7) Setiap tahun Kementerian memberikan beasiswa untuk belajar di Universitas
Yordania;
(8) Mendirikan lima kantor (semacam Islamic Centre) di kota-kota kerajaan;
(9) Memberikan bantuan kepada rumah sakit, membantu fakir miskin dan orang-orang
yang membutuhkan;
(10) Menerbitkan majalah Islam di Amman, serta menerbitkan buku-buku agama;
(11) Mendirikan dua lembaga yang cukup penting , yakni lembaga Arkeologi Islam dan
lembaga peninggalan-peninggalan Islam. Bagian Arkeologi Islam bertugas untuk mengurusi
dan menjaga beberapa dokumen-dokumen yang berkenaan dengan benda-benda tidak
bergerak dan tradisi-tradisi Islam. Adapun lembaga Peninggalan Islam bertugas
menghidupkan kembali peninggalan-peninggalan Islam. Sedangkan tugas utamanya adalah
mengumpulkan manuskrip-manuskrip Islam yang ada pada masa kejayaan Islam. Selain itu,
lembaga tersebut juga berkewajiban membuktikan keaslian naskah-naskah, memperbaiki, dan
menyusunnya. [28]

Berdasarkan uraian yang sudah dikemukakan di atas, tampak jelas bahwa pengelolaan
wakaf di kerajaan Yordania ditangani dengan baik. Untuk mengembangkan harta wakaf,
dilakukan berbagai program yang sangat menunjang peningkatan harta wakaf. Programprogram yang berkenaan dengan pengembangan dan pemanfaatan harta wakaf banyak

mendapat dukungan dari Kabinet dan Kerajaan. Hal ini jelas merupakan salah satu faktor
keberhasilan mereka dalam mengelola wakaf.
Berkat kesungguhan mereka dalam mengelola wakaf, Kementerian Perwakafan berhasil
mendirikan berbagai lembaga yang sangat membantu kebutuhan fakir miskin mulai dari
urusan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok lainnya seperti sandang, pangan, dan
papan.
Pengelolaan wakaf di Kerajaan Yordania berdasarkan pada Undang-undang Wakaf
Islam No. 25 tahun 1947. Dalam Undang-undang Wakaf tersebut disebutkan bahwa yang
termasuk dalam urusan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam adalah wakaf masjid,
madrasah, lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, sekolahan-sekolah, lembagalembaga syariah, kuburan-kuburan Islam, urusan-urusan haji dan urusan-urusan fatwa. Dalam
Pasal 3 Qanun Wakaf No. 26 Tahun 1966 disebutkan juga tujuan Kementerian Wakaf dan
Urusan Agama Islam yang antara lain adalah sebagai berikut: [29]
1. Memelihara masjid dan harta wakaf serta mengendalikan urusan-urusannya;
2. Mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah Nabi Muhammad SAW
dengan mewujudkan pendidikan Islam;
3. Membakar semangat jihad dan menguatkan jiwa Islam serta meningkatkan kualitas
keimanan;
4. Menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkannya dalam kehidupan kaum Muslimin;
5. Menguatkan semangat Islam dan menggalakkan pendidikan agama dengan
mendirikan lembaga-lembaga dan sekolah untuk menghafal al-Quran;
6. Menyosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan Islam, melahirkan
kebudayaan baru Islam dan menumbuhkan kesadaran beragama.[30]
Untuk melaksanakan tugasnya, Kementerian Wakaf membentuk Majelis Tinggi Wakaf
yang diketuai oleh Menteri. Majelis Tinggi Wakaf, menetapkan usulan-usulan yang ada di
Kementerian yang berasal dari Direktur Keuangan, kemudian Menteri membawanya kepada
Dewan Kabinet untuk mendapat pengesahan. Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian
Wakaf selalu bersandar pada Undang-undang No. 26 Tahun 1966. Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa yang berwenang mengelola harta wakaf dan mengendalikannya
adalah Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam. Dalam memegang kekuasaannya itu

Kementerian Wakaf di samping bersandar pada undang-undang wakaf juga harus bersandar
pada peraturan-peraturan wakaf yang lain.[31]
Kementerian Wakaf diberi wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan
wakaf sesuai dengan rencana-rencana yang telah digariskan oleh Direktorat Keuangan. Pada
tahun 1984, pendapatan yang dihasilkan dari pengembangan wakaf kurang lebih sebagai
berikut:
1. Hasil sewa diperkirakan mencapai 680 ribu dinar Yordania;
2. Pendapatan yang berasal dari tempat-tempat suci mencapai 120 ribu dinar Yordania;
3. Pendapatan pabrik, rumah-rumah yatim dan industri di Yerusalem mencapai kurang
lebih 80 ribu dinar Yordania;
4. Pendapatan lain yang bermacam-macam kira-kira mencapai 160 ribu dinar
Yordania.[32]
Pada tahun 1984 seluruh pendapatan dari pengembangan wakaf berjumlah 1,030 juta
dinar Yordania. Dalam membelanjakan uang tersebut Kementerian Wakaf juga harus
memperhatikan pemeliharaan dan perbaikan tanah-tanah wakaf. Untuk menunjang tugas
kementerian itu, maka didirikan Direktorat Pembangunan dan Pemeliharaan Wakaf Islam
dengan beberapa proyek. Proyek-proyek yang dibangun cukup banyak dan meliputi wilayah
Tepi Timur dan Tepi Barat. Adapun proyek yang dilaksanakan di Tepi Timur antara lain
adalah pembangunan kantor-kantor wakaf di Amman dengan biaya 80.000 (delapan puluh
ribu) dinar Yordania; pembangunan apartemen hunian di Amman dengan biaya 85 ribu dinar
dan beberapa proyek lainnya. Proyek yang dilaksanakan di Tepi Barat antara lain adalah
kantor-kantor, pertokoan, dan pusat perdagangan di tanah-tanah wakaf. Biaya pembangunan
yang dilakukan baik di wilayah Tepi Barat maupun Tepi Timur tersebut diperkirakan
menelan biaya 700 ribu dinar. Agar proyek dapat berjalan dengan baik, di Kementerian
Wakaf juga dibentuk lembaga khusus yang bertugas melakukan studi kelayakan terhadap
rencana-rencana pengembangan tanah wakaf. Kebijaksanaan dari pemerintah ternyata sangat
membantu berkembangnya pengelolaan wakaf. Hal ini terbukti dengan berhasilnya
pengelolaan wakaf di Yordania. Bahkan Wizarat al-Auqaf mampu ikut serta dalam
meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan. Kementerian Wakaf mengelola wakaf
dengan mengutamakan perlengkapan administrasi wakaf yang memadai sesuai saran para
ahli.[33] Untuk mencapai tujuan yang diharapkan Kementerian Wakaf mempergunakan

berbagai cara. Adapun cara-cara pengembangan wakaf yang dilakukan Kementerian Wakaf
antara lain adalah sebagai berikut:[34]
1. Mengembangkan hasil harta wakaf itu sendiri;
2. Menyewakan tanah-tanah wakaf dalam waktu yang lama;
3. Kementerian Wakaf meminjam uang kepada pemerintah untuk membangun proyekproyek pembangunan tanah wakaf yang ada di kota Amman, Aqabah dan lain-lain;
4. Menanami tanaman-tanaman di tanah pertanian.[35]

7. Perwakafan di Brunai Darussalam


Negara Brunei Darussalam menyerahkan segala urusan mengenai wakaf kepada Majlis
Ugama Islam yaitu berdasarkan peruntukan undang-undang yang tercantum dalam UndangUndang Negara Brunei Darussalam yaitu Akta Majelis Ugama Islam dan MahkamahMahkamah Kadi Penggal 77 dalam bab 98 dan 100.[36]
a. Sistem perwakafaan
Secara umum sistem perwakafan di Negara Brunei Darussalam terbagi kepada dua
bentuk : 1) tidak terdaftar; 2) terdaftar.[37]
Ad.1) Secara Tidak Terdaftar :
a) Sistem perwakafan serupa ini terjadi di Negara Brunei Darussalam apabila seorang
hamba Allah mewakaf sesuatu kepada pihak-pihak tertentu seperti uang, kelengkapan
peralatan dan lain-lain secara tidak bertulis hanya dilafalkan secara lisan saja. Timbang
terima kedua belah pihak diperlukan secara lisan apabila kedua belah pihak bersetuju untuk
memberi dan menerima harta yang diwakafkan.
b) Kadang-kadang perwakafan itu dapat juga terjadi tanpa diketahui oleh pihak kedua
yaitu orang yang menerima harta wakaf tersebut. Contohnya seorang hamba Allah
mewakafkan sebuah Al-Quran di masjid tanpa diketahui oleh pegawai dan pengurus masjid.
Ad. 2) Secara Terdaftar
Sistem perwakafan seperti ini terjadi apabila seorang hamba Allah mewakafkan jenisjenis harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan dengan menentukan pergantian nama
pemilik secara yang sah menurut peraturan perundang-undangan. terhadap sistem perwakafan

seperti ini contohnya tanah, apabila wakaf seseorang itu telah diterima, dilafalkan dan
disahkan oleh pihak-pihak tertentu, maka urusan penggantian hak milik tanah dari orang yang
berwakaf kepada Majlis ugama Islam akan diselesaikan oleh Majlis Ugama Islam selaku
pihak yang akan mengurus harta wakaf.
b. Jenis-jenis Wakaf
Harta wakaf yang diurus dan dikendalikan oleh Majlis Agama Islam dapat dibagikan
kepada dua jenis yang terdiri atas:
1) Wakaf Khas
Wakaf khas adalah merupakan wakaf yang telah ditentukan sendiri oleh seorang yang
berwakaf. Contohnya sebidang tanah telah diwakafkan oleh seorang hamba Allah dan tanah
yang diwakafkannya itu telah ditentukannya untuk kegunaan-kegunaan tertentu misalnya
untuk didirikan masjid. Oleh yang demikian wakaf serupa ini adalah dinamakan Wakaf Khas.
2) Wakaf Am
Wakaf am pula adalah merupakan wakaf yang tidak ditentukan secara khusus
kegunaannya oleh orang yang berwakaf. Bagi wakaf jenis ini Majlis Ugama Islam adalah
bebas untuk menentukan tindakan-tindakan yang patut dibuatnya ke atas harta wakaf jenis
ini.
c. Institusi yang mengurus wakaf dan Prosedur berwakaf
Institusi yang dipertanggungjawabkan di Negara Brunei Darussalam dalam mengurus
persoalan harta wakaf secara terdaftar adalah Majlis Ugama Islam. Pengurusan yang
dijalankan adalah harus berdasarkan jenis wakaf yang dilafazkan oleh orang yang berwakaf.
Perlaksanaan awal atau prosedur yang akan dilakukan oleh pihak yang berwakaf adalah
seperti berikut:
1) Mengantar surat permohonan untuk berwakaf.
2) Apabila wakaf diterima, dapat melafazkan wakaf di hadapan Hakim.
3) Disampaikan ke Jabatan Tanah.
4) Perlaksanaan wakaf oleh pihak-pihak berkenaan mengikut jenis wakaf yang
dilafazkan.
2. Terhadap wakaf yang tidak terdaftar, pengurusannya diserahkan kepada pihak yang
diberikan atau menerima harta wakaf tersebut. Misalnya sebuah masjid menerima wakaf 100

kitab suci Al-Quran, maka masjid itu sendiri yang akan mengurus segala hal yang berkaitan
dengannya.
8. Perwakafan di Malaysia
a. Pelaksanaan Wakaf
Negara Malaysia merupakan sebuah negara yang mempunyai potensi untuk menjadi
negara maju dengan membangun, mewujudkan dan mengukuhkan institusi wakaf.
Pelaksanaan wakaf di negara ini pada umumnya tidak jauh berbeda dibanding dengan negaranegara muslim yang lain seperti di negara Mesir, Kuwait, Turki dan Morocco. Di negaranegara Afrika dan Asia Barat seperti di Mesir, Kuwait dan Morocco telah diwujudkan
kementerian wakaf untuk men-tadbir harta-harta wakaf. Dari dana wakaf, masjid-masjid
didirikan, berbagai aktivitas keislaman dilaksanakan secara terencana.[38]
Praktek pelaksanaan ibadah wakaf di Malaysia mulai subur dan berkembang dengan
pembangunan pondok-pondok pengajian agama secara tradisional yang mempengaruhi
masyarakat setempat untuk mewakafkan harta mereka. Walaupun begitu dalam konteks
zaman sekarang, ibadah tersebut telah diperluas, terutama dalam mendirikan rumah sakit
wakaf yang memberi biaya yang relatif rendah. Di samping itu, wakaf juga memegang
peranan penting dalam pembangunan rumah-rumah anak yatim serta pembiayaan yang
diperlukan untuk pendidikan mereka.
Dengan demikian perwakafan di Malaysia tidak terbatas hanya dalam bentuk
pembangunan masjid semata-mata. Salah satu contoh pengelolaan wakaf di Malaysia adalah
peranan YADIM yang bertugas mengelola skim wakaf berdasarkan konsep pelaksanaan
wakaf menurut Islam.
YADIM telah menawarkan 14 juta saham wakaf yaitu harga keseluruhan Pusat Latihan
YADIM di Semungkis, Hulu Langat. Saham Wakaf ini ditawarkan kepada masyarakat umum
dengan harga RM1 sesaham. YADIM juga membeli bangunan di pusat-pusat perdagangan
strategis untuk meneruskan skim wakaf. Dengan cara ini, masyarakat Islam Malaysia
memiliki bangunan perdagangan yang dapat disewakan kepada pedagang-pedagang Islam
dengan harga sewa yang relatif rendah. Dengan cara demikian, mereka dapat bersaing dengan
pedagang-pedagang lain, dalam upaya melibatkan peranan umat Islam di Malaysia dalam
perdagangan global.[39]

Di samping itu, di daerah bagian Malaysia lainnya seperti di Labuhan Aceh, peranan
Majlis Agama Islam Pulau Pinang (MAIPP) dalam menangani harta wakaf sangat penting.
MAIPP memiliki harta yaitu 1,000 lot serta 520 hektar tanah wakaf atau baitulmal.
Skim Wakaf di Pulau Penang, dilaksanakan melalui sumbangan setiap orang muslim
Pulau Penang dengan ringgit ke dalam Dana Wakaf sekurang-kurangnya RM5.00. Dana yang
dikumpulkan itu dibelikan kepada benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan dan proyek
yang boleh mendatangkan manfaat kepada umat Islam.
Secara ringkas, Skim Dana Wakaf Pulau Pinang adalah salah satu bentuk wakaf dan
asas-asasnya masih mengikut konsep asal wakaf.
Dalam konteks ini, skim dana wakaf mementingkan kebajikan umum. Dengan cara
demikian, wakaf tersebut boleh dipergunakan untuk berbagai tujuan kebajikan dan
pembangunan umat Islam.

Demikianlah di antara bentuk pengelolaan wakaf di beberapa negara muslim yang tidak
lagi membatasi wakaf dalam bentuk pembangunan mesjid dan tanah saja, tetapi telah
dikembangkan dalam bentuk-bentuk lain yang produktif. Uraian di atas juga menjelaskan
bahwa praktek pemanfaatan perwakafan di beberapa negara muslim tersebut pada dasarnya
dimanfaatkan sesuai dengan tujua wakaf semula, namun dalam beberapa bentuk telah
dilakukan pengembangan pemanfaatannya dengan tujuan optimalisasi pemanfaatan benda
wakaf untuk kepentingan umum.

B. Analisis Terhadap Alihfungsi Harta Wakaf


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mayoritas ulama seperti
Hanafiyah, Malikiyah

dan Hanabalah membolehkan penggantian atau perubahan

pemanfaatan harta wakaf dengan beberapa persyaratan, seperti apabila harta wakaf tidak
dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan semula dan atau adanya manfaat yang lebih besar
dari wakaf semula.[40] Akan tetapi golongan Syafi'iyah berpendapat bahwa wakaf mesti
dipertahankan a'in-nya meskipun telah hancur sebagiannya, sedangkan sebagian lainnya
masih dapat dimanfaatkan. Dengan kata lain, menurut golongan Syafi'iyah harta wakaf tidak
dapat dialihfungsikan atau dijual dan ganti dengan harta yang lain.

Menurut penulis, pendapat yang membolehkan penggantian dan pengalihfungsian harta


wakaf maupun yang tidak membolehkan penggantian ataupun pengalihfungsian harta wakaf
dari tujuan semula, keduanya memiliki sisi positif dan negatif.
Pendapat yang membolehkan penggantian harta wakaf dengan syarat bahwa wakaf itu
tidak dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan wakaf semula atau adanya manfaat yang lebih
besar, secara positif menjadikan harta wakaf bersifat dinamis dan elektis sebagai milik
bersama yang harus memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Namun secara negatif, dibolehkannya pengalihfungsian harta wakaf tersebut dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan pemanfaatan benda-benda wakaf dari keinginan si
wakif sejak semula. Hal ini mungkin saja dapat menimbulkan konflik antara pihak wakif atau
ahli warisnya dengan pihak nazir (pengelola wakaf). Apabila hal ini terjadi, implikasinya
dapat merugikan pihak pemberi wakaf ataupun penerima wakaf itu sendiri.
Pendapat yang menyatakan bahwa benda wakaf mesti dipertahankan wujud dan
pemanfatannya harus tetap sesuai dengan tujuan yang telah diikrarkan oleh wakif kendatipun
sebagian bendanya telah rusak, secara positif memberikan jaminan kelanggengan pemanfatan
harta wakaf sesuai dengan kehendak si wakif. Namun secara negatif akan menyebabkan harta
wakaf tidak dapat dikembangkan atau dilakukan modifikasi agar dapat memberikan manfaat
yang lebih besar demi kepentingan masyarakat umum, dan di samping itu mungkin juga
terjadi tindakan penyia-nyiaan atau penelantaran harta wakaf karena tidak dapat
dimanfaatkan lagi akibat perubahan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat atau akibat
perubahan dan kerusakan benda wakaf itu sendiri.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam persoalan perubahan harta wakaf, baik
dengan dialihfungsikan ataupun dijual dan diganti dengan harta yang lain, bertitik tolak dari
pemahaman mereka terhadap dalil wakaf. Dalil wakaf yang secara khusus mengatur tentang
perwakafan dan menjadi sumber perbedaan pendapat tersebut adalah hadis riwayat Ibnu
Umar yang menceritakan peristiwa wakaf pertama dalam Islam yang dilakukan oleh Umar
ibn al-Khaththab atas sebidang tanahnya di Kaibar. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:



(. : : .
14[ )]
Menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Said, menceritakan kepada kami
Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, menceritakan kepada kami Ibnu Aun, bahwa dia
berkata, Nafi telah menceritakan kepadaku ibn Umar r.a bahwa: Umar ibn al-Khaththab
memperoleh tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW. untuk minta petunjuk
mengenai tanah tersebut. Ia berkata: Wahai Rasulullah SAW! Saya memperoleh lahan di
Khaibar, yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi harta
tersebut; apa perintah engkau kepadaku mengenainya? Nabi SAW. menjawab: Jika mau,
kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya. Ibnu Umar berkata: Maka Umar
menyedekahkan tanah tersebut (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak
dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya) kepada fuqara, kerabat,
riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibn sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas
orang yang mengelolanya untuk memakan dari hasil tanah itu secara maruf (wajar) dan
memberi makan (kepada yang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. Rawi
berkata: dalam hadis Ibnu Sirrin dikatakan: Tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik.
(H.R al-Bukhari).

Hadis ini merupakan satu-satunya dalil yang secara khusus membicarakan tentang
wakaf, sedangkan dalil-dalil yang lain hanya berbentuk umum. Hadis ini dianggap telah
mengatur persoalan wakaf khusus, karena di dalamnya telah tercakup berberapa unsur yang
ditetapkan oleh para sebagai rukun-rukun wakaf, yakni adanya pihak yang berwakaf, adanya
benda wakaf, adanya pihak penerima wakaf, dan bentuk perbuatan wakaf yakni penahanan
asal harta dan penyerahan manfaatnya untuk tujuan wakaf.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat ulama bertitik tolak
dari pemahaman mereka terhadap makna "penahanan asal harta wakaf" (in syi'ta habasta
ashlaha). Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa golongan Hanafiyah
berpendapat bahwa pengertian penahan asal harta itu adalah, bahwa status pemilikan benda
wakaf tetap berada si wakif tanpa berpindah kepada penerima wakaf, sedangkan yang
diberikan itu adalah manfaat benda tersebut. Oleh sebab itu, yang mesti kekal itu adalah
manfaatnya bukan bendanya. Namun golongan Syafi'iyah berpendapat bahwa "penahanan
asal harta" berarti "pengekalan bendanya". Oleh sebab itu, status pemilikan terhadap benda

wakaf berpindah menjadi milik Allah sejak saat diwakafkan, tidak boleh dilakukan transaksi
lagi atas benda wakaf tersebut, baik dengan cara menjual, menghibahkan ataupun
mewariskannya. Dengan demikian, baik benda maupun manfaatnya mesti dikekalkan untuk
tujuan wakaf.
Terhadap permasalahan di atas, perlu dilakukan penelusuran terhadap apakah pemilikan
harta wakaf itu masih berada di tangan wakif atau berpindah menjadi milik Allah yang
pengelolaanya diserahkan kepada nazir.
Apabila ditetapkan bahwa hakikat wakaf adalah menyedekahkan manfaat benda wakaf
saja, sedang wujud bendanya tetap pada kekuasaan si wakif atau ahli warisnya (dalam hal
wakif telah meninggal dunia), maka pengalihfungsian harta wakaf tidak dapat dilakukan
kecuali setelah adanya izin dari pihak wakif atau ahli warisnya. Karena dalam hal ini, yang
disebut wakaf bukan hartanya melainkan hasilnya. Berdasarkan kepada Sunnah Rasulullah
SAW. tentang riwayat Umar ibn al-Khaththab yang tidak menjual, tidak menghibahkan dan
tidak mewariskan benda wakafnya dan tindakan Umar tersebut tidak dilarang oleh Nabi
SAW. sehingga dapat ditetapkan sebagai sunnah taqririyah. Namun sunnah taqririyah dapat
menjadi sinyal bahwa hukum menahan asal harta dengan tidak menjual, menghibahkan, atau
mewariskan adalah mubah, bukan haram ataupun makruh. Sesuatu praktek kehidupan
masyarakat yang dibiarkan oleh Nabi SAW. di kala beliau masih hidup, tidak dilarang dan
tidak pula diperintahkannya agar dilaksanakan, maka hukumnya adalah mubah.
Apabila dilihat pula pemahaman nash secara tekstual, dalam hadis Ibnu Umar terdapat
kalimat Rasulullah SAW. yang menyatakan "in syi'ta, habasta ahslahu wa tashadaqta biha".
Ungkapan tersebut memberikan sinyal bahwa wakaf bukanlah sesuatu yang wajib tetapi
berdasarkan kerelaan, dan tidak ada satu pun nash yang secara tegas menunjukan adanya
larangan menjual dan mengganti benda wakaf dengan benda wakaf yang lain.
Berbeda dengan ibadah-ibadah yang berhubungan dengan harta lainnya, ibadah wakaf
sangat kepada dapat atau tidaknya harta tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya.
Dalam hal harta wakaf berkurang manfaatnya, atau rusak sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya sebagaimana yang dituju wakif, harus dicari jalan keluar supaya harta wakaf itu
dapat berfungsi secara optimal. Untuk itu seharusnya tidak ada halangan untuk menjual harta
wakaf yang tidak berfungsi itu, kemudian ditukar dengan benda lain yang dapat memenuhi
tujuan wakaf.

Hal ini senaga dengan pendapat Ibn Taimiyah yang menyatakan, bahwa benda wakaf
itu boleh ditukar atau dijual, apabila tindakan ini benar-benar sangat dibutuhkan.[42]Dasar
pemikiran Ibn Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama, tindakan menukar atau menjual
benda wakaf tersebut sangat diperlukan. Lebih lanjut Ibn Taimiyah mengajukan contoh,
seseorang mewakafkan kuda untuk tentara yang sedang berjihad fi sabilillah, setelah perang
usai, kuda tersebut tidak diperlukan lagi. Dalam kondisi seperti ini, kuda tersebut boleh
dijual, dan hasilnya dibelikan sesuatu benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan.
Kedua, karena kepentingan mashlahat yang lebih besar, seperti masjid dan tanahnya yang
dianggap kurang bermanfaat, dijual untuk membangun mesjid baru yang lebih luas atau lebih
baik.[43] Dalam hal ini didukung pula oleh tindakan Umar ibn al-Khaththab ketika ia
memindahkan mesjid Kufah dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Usman kemudian
melakukan tindakan yang sama terhadap mesjid Nabawi.[44]
Argumentasi lebih jauh yang dapat diajukan bahwa tindakan tersebut ditempuh adalah
untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau setidaknya penyia-nyiaan benda
wakaf itu. Hal ini sejalan dengan kaidah:

"Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemashlahatan"

Selain itu, perubahan atau pengalihfungsin warta wakaf tersebut bertujuan untuk
mempertahankan tujuan hakiki disyari'atkannya wakaf, yaitu untuk kepentingan orang
banyak dan kesinambungan.[45]
Apabila kita lihat dari segi hakikat pengertian wakaf, sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya, di dalam bahasa Arab berarti penahanan.[46] Penahanan memiliki
makna ganda, yaitu tidak bermakna hilangnya hak milik pewakaf atas harta tersebut dan
makna lainnya penahanan dari tindakan hukum selama diwakafkan. Dari kedua pendapat
yang berkembang, yakni jumhur dan Syafi'iyah, sebenarnya dapat digabungkan antara
pendapat Hanafiyah dengan pendapat Syafi'iyah dengan mengambil unsur-unsur positif dari
masing-masing pendapat mereka dan menghilangkan unsur-unsur yang negatifnya.
Unsur yang positif dalam pendapat Hanafiyah adalah bahwa terhadap benda wakaf
masih dapat dilakukan transaksi lain seperti dijual, dihibahkan dan diwariskan, sehingga
dengan pendapat ini maka pengalihfungsian harta wakjapun menjadi seustau yang mungkin
dilakukan, apalagi untuk kepentingan kemashlahatan yang lebih besar. Unsur positif dalam

pendapat Syafi'iyah adalah bahwa harta wakaf itu mesti dipertahankan ain dan manfaatnya.
Oleh sebab itu, wakaf itu berpindah kepemilikannya dari hak wakif menjadi hak Allah.
Dengan mengambil pendapat ini, maka wakaf dapat dipertahankan kelanggengannya dan
tidak dapat ditarik kembali oleh wakif atau ahli warisnya.
Perbedaan pandangan di atas memberi ruang untuk membina dan membentuk sistem
wakaf kontemporer, serta merekonstruksi konsep baru mengenai wakaf yang relevan dengan
perubahan masa demi melahirkan perktek wakaf yang lebih profesional, progresif, dan
berguna bagi pengembangan amal jariah tersebut untuk tujuan kebajikan.
Berdasarkan perbedaan pendapat itu, dapat dilihat dan dipahami bagaimana Islam
sebagai agama yang fleksibel dan harus diciptakan kaedah-kaedah dan sistem terkini untuk
menjadikan ibadah wakaf itu lebih menarik dan dapat mengumpulkan lebih banyak pewakaf
untuk mengembangkan ibadah berwakaf di negara ini. Dengan demikian, sumber untuk
mendanai amal-amal kebajikan menjadi lebih kokoh. Kerangka pikir untuk membangun
sistem wakaf baru dapat diupayakan agar ibadah wakaf dapat dimanfaatkan secara
berkesinambungan demi terwujudnya keadilan sosial dan terbantunya kelompok yang berada
di bawah garis kemiskinan dalam masyarakat, juga untuk tujuan-tujuan lain seperti dakwah.
Tidak ada halangan syarak untuk membangun konsep baru tentang wakaf guna memudahkan
umat Islam dalam membangun sistem wakaf yaitu melalui penggabungan rumusan dari
ulama al-Hanafiyah, al-Malikiyah dan al-Shafiiyyah seperti dijelaskan di atas.
Apabila dilihat pasal 225 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan :
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan
perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksudkan dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan
terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala
Kantor Urusan Agama kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama kecamatan dan
Camat setempat dengan lasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf sepertio diikrarkan oleh wakif.
b. Karena kepentingan umum.
Terlihat bahwa perumus Kompilasi Hukum Islam secara tegas menggabungkan antara
pendapat ulama Syafi'iyah dengan pendapat ulama Hanafiyah. Pada pasal 225 ayat (1) dapat
dipahami bahwa yang lebih dominan adalah pendapat Syafi'iyah, di mana harta wakaf pada

prinsipnya adalah kekal dan mesti dipertahankan untuk kepentingan bersama. Namun pada
ayat 2 pasal 225 KHI tersebut terlihat adanya prinsip keluesan dan fleksibelitas hukum Islam
dengan mempertimbangkan maqashid al-syar'i dari amalan wakaf tersebut.
Dengan kata lain, bahwa pada prinsipnya terhadap harta wakaf tidak dapat dilakukan
perubahan baik perubahan terhadap status, maupun penggunaan selain dan pada apa yang
dimaksud di dalam ikrar wakaf. Namun kenyataannya perlu diakui bahwa di dunia fana ini
tidak ada suatu pun yang abadi. Menurut kodratnya segala sesuatu akan berubah, dan bahkan
karena kemajuan yang terjadi di dalam kehidupan manusia telah banyak perubahan yang
tidak dilakukan olehnya. Oleh karena itu dalam keadaan-keadaan tertentu, yakni:
a. Keadaan benda wakaf sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf sebagaimana yang
telah diikrarkan oleh wakif;
b. Kepentingan umum menghendaki.[47]
Keadaan-keadaan ini termasuk pengecualian dari jangkauan ketentuan tersebut di atas.
Dengan kata lain bahwa jika suatu benda wakaf dihadapkan kepada kenyataan tersebut di atas
dapat saja dilakukan suatu perubahan atasnya, baik perubahan status, peruntukkan ataupun
penggunaannya.
Perubahan dimaksud dikarenakan adanya perubahan kondisi benda wakaf atau
lingkungannya, atau bisa juga dikarenakan adanya perubahan rencana tata guna tanah, tata
ruang atau rencana pembangunan daerah/nasional.
Beberapa contoh dapat dikemukakan seperti wakaf sawah yang diperuntukkan sebagai
sumber dana suatu yayasan yatim piatu, dan ternyata sawah tersebut akhirnya menjadi kering
dan tidak subur lagi, sehingga mengakibatkan tidak dapat lagi diambil hasilnya[48].

Dengan demikian, berarti wakaf sawah tersebut dapat dikatagorikan sebagai tanah
wakaf yang mengalami kerusakan. Keadaan semacam itu tentu sangat mengancam akan
kelestarian dan keabadian pemanfaatan hasilnya. Padahal justru pemanfaatannya inilah yang
merupakan shadaqah jariyah yang senantiasa akan mengalirkan pahala secara terus menerus
kepada pemberi wakafnya itu.
Jadi untuk menjaga kelestarian dan keabadian pemanfaatan sebagai titik tolak dalam
masalah perwakafan, maka penanggung jawab pengelolaannya - yang dalam hal ini adalah
nadzir- dapat mengajukan perubahan status tanah wakaf tersebut kepada Menteri Agama,

sesuai dengan peraturan perundang-undangan, selanjutnya menggantinya dengan tanah wakaf


yang baru yang seharga dengan hasil penjualan. Nazir dapat juga merubah peruntukkan atau
penggunaannya dengan peruntukkan atau penggunaan lain yang sekiranya akan dapat
memberikan kemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat. Kejadian semacam dikuatkan oleh
tindakan Umar ibn al-Khaththab terhadap sebuah masjid di Kufah dan dipindahkan ke tempat
lain, serta bekas masjid tersebut selanjutnya dijadikannya sebagai pasar.[49]
Dengan demikian berarti tanah wakaf dimaksud dapat dipergunakan kembali seperti
tujuan wakafnya semula. Kebolehan seperti tersebut di atas adalah semata-mata karena dalam
keadaan darurat dan didasarkan atas adanya prinsip maslahah (memelihara maksud syara
yaitu memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan). Pertimbangannya
dari pada harta wakaf tidak boleh dijual tetapi sebagai akibatnya harta wakaf itu tidak dapat
berfungsi. Maksud syara akan lebih terpelihara manfaat wakafnya bila ia boleh dijual atau
diganti dengan tanah lain.[50]
Selain kebolehan merubah status benda wakaf seperti tersebut di atas, dibolehkan juga
bagi benda wakaf yang akan dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti kebun lokasi
tanah wakaf tersebut terkena jalur jalan baru, akan dipergunakan sebagai komplek/pusat
perkantoran pemerintah, komplek pertokoan dan lain-lainnya, dengan catatan harus diganti
dengan tanah lain yang setidaknya senilai dan seimbang dengan kegunaannya sesuai dengan
ikrar wakaf.
Kebolehan dimaksud berlaku juga bagi perubahan peruntukkan dan penggunaan tanah
wakaf seperti apa yang telah diikrarkan oleh wakif. Sebuah contoh dapat dikemukakan
seperti tanah wakaf yang semula sebagal tanah pertanian yang diperuntukkan sebagai sumber
dana suatu lembaga pendidikan, Karena perkembangan kota, maka daerah tersebut menurut
tata ruang diperuntukkan sebagai lokasi perkantoran dan lain-lainnya, sehingga sebagai
akibatnya tidak boleh lagi ada sawah di daerah tersebut.
Menghadapi kenyataan semacam ini, maka tanah wakaf tersebut harus disesuaikan,
misalnya saja:
a. Tanah wakaf tersebut yang semula sebagai tanah pertanian di atasnya didirikan suatu
gedung atau kantor kemudian gedung atau kantor tersebut dikontrakan atau disewakan, lantas
hasil kontrakan atau sewaan tersebut dijadikannya sebagai sumber dana bagi lembaga
pendidikan dimaksud.

b. Di lokasi tanah wakaf tersebut didirikan bangunan-bangunan, dan kemudian


bangunan-bangunan tersebut dijadikannya sebagai pusat pendidikan.
Meskipun oleh hukum suatu perubahan status, peruntukkan dan kegunaan tanah wakaf
dibolehkan, namun di dalam prakteknya tidaklah sekehendak hati nadzir dapat mengubahnya.
Akan tetapi nadzir yang bersangkutan terlebih dahulu harus mendapatkan restu dan izin dan
Menteri Agama atau Pejabat lain yang ditunjuknya.[51] Ketentuan semacam ini dlmaksudkan
guna menjamin obyektivitas alasan-alasan perubahan atau penggantian tanah wakaf, sehingga
kelestarian dan keabadian amalan dan manfaat tanah wakaf tersebut dapat diamankan, dan
dapat pula dinilai bahwa perubahan wakaf secara obyektif dipandang perlu, agar benda wakaf
tetap bermanfaat sehingga tujuan wakaf dapat tercipta.
Berdasarkan pengalaman pahit masa lalu tentang banyaknya kejadian adanya
perubahan status maupun perubahan peruntukan tanah wakaf yang dilakukan oleh Nadzir
secara sepihak tanpa alasan yang jelas dan dapat merugikan lembaga wakaf itu sendiri, maka
oleh politik hukum Agraria Nasional yang digariskan di dalam PP No. 28 Tahun 1977,
Nadzir tidak diperkenankan melakukan perubahan baik terhadap status maupun
peruntukannya tanpa alasan yang jelas dan melalui prosedur yang telah ditentukan.
Perubahan tanah wakaf, baik terhadap status maupun peruntukannya oleh Nadzir hanya dapat
dibenarkan apabila terdapat suatu keadaan yang dibenarkan oleh hukum. Seperti, karena
keadaan tanah wakaf tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf, atau karena kepentingan umum
menghendakinya. Meskipun demikian, kebolehan inipun harus dilakukannya melalui
prosedur yang telah ditetapkan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Di dalam suatu permohonan perubahan-perubahan baik terhadap peruntukan lain dan
apa yang telah ditentukan dalam ikrar wakaf, maupun terhadap status tanah wakaf itu sendiri
kepada pejabat yang berwenang atas pemberian izin perubahan tersebut, keberperanan Nadzir
dalam hal ini, mengingat ia adalah sebagai manager harta wakaf, sehingga ia tahu persis
tntang keadaan obyek tanah wakaf yang akan dialihkan statusnya maupun akan dirubah
peruntukan atau kegunaannya.
Dalam hal nadzir bermaksud merubah peruntukan atau penggunaan lain dan apa yang
telah ditentukan di dalam ikrar wakaf maupun perubahan atas status harta wakaf itu, maka ia
wajib mengajukan permohonannya dengan disertai alasan yang menyakinkan sebagaimana
tersebut di atas kepada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan secara khirarkis.
Permohonan tersebut, selanjutnya disertai suatu pertimbangan oleh Kepala Kantor Urusan

Agama (KUA) Kecamatan dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kotamadya
harus diteruskan secana hirarkis kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi
atau yang sejenis C.q Kepala Bidang Urusan Agama Islam di Propinsi setem pat.
Untuk suatu permohonan perubahan atas peruntukan atau penggunaan lain dan pada
apa yang telah ditentukan di dalam ikrar wakaf, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama c.q. Kepala Bidang Urusan Agama Islam diberi wewenang untuk memberikan
persetujuan atau penolakannya secara tertulis. Jadi atas permohonan semacam ini Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama c.q Kepala Bidang Urusan Agama Islam itu sendiri
tidak perlu meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri Agama.
Lain halnya apabila permohonan tersebut menyangkut masalah perubahan atas status
tanah wakafnya itu sendiri, maka Kepala Kantor Wilayah Departernen Agama c.q. Kepala
Bidang Urusan Agama Islam yang bersangkutan tidak berwenang untuk memberikan
persetujuan atau penolakannya atas permohonan tersebut, melainkan ia dengan menyertakan
suatu pertimbangan harus meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri Agama c.q.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji. Ini karena wewenang untuk
menyetujui atau menolaknya adalah merupakan wewenang Direktur Jenderal dimaksud. Dan
permohonan perubahan tersebut akan dapat disetujui, apabila perubahannya itu sendiri
diberikan penggantian yang sekurang kurangnya senilai dan seimbang dengan kegunaannya
sesuai dengan ikrar wakaf.
Dengan adanya perubahan peruntukan atau penggunaan lain dan pada apa yang telah
ditentukan di dalam ikrar wakaf rnaupun perubahan atas status tanah wakafnya karena adanya
alasan-alasan tersebut di atas, maka untuk kepentingan administrasi pertanahan, hal tersebut
oleh Nadzir yang bersangkutan harus dilaporkan kepada kepala Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kabupaten atau Kotamadya setempat guna untuk mendapatkan penyelesaian lebih
lanjut.
Penyimpangan-penyimpangan dan prosedur dari ketentuan tersebut di atas, selain
terkena sanksi pidana, juga perubahan tersebut dengan sendirinya batal menurut hukum.
Sesuai ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu
perubahan peruntukan dan pada apa yang ditentukan dalam ikrar wakaf maupun perubahan
status atas tanah wakafnya itu sendiri, pelaksanaannya dibatasi secara ketat. Hal ini tentu
dimaksudkan agar dapat dihindarkan praktek-praktek yang dapat merugikan eksistensi dan
keberadaan masalah perwakafan itu sendiri.

Karena itu, meski melalui prosedur dan proses yang panjang, Kompilasi Hukum Islam
tetap memberikan peluang dibolehkannya mengubah atau mengalihfungsikan benda wakaf.
Demikian pula diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dan peraturan pelaksaaannya dalam
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978.
Yang perlu dipahami adalah bahwa yang dimiliki oleh penerima wakaf adalah terbatas
pada manfaatnya saja. Sementara benda wakaf itu tidak dapat lagi dimiliki, karena itu di
dalam hadis disebutkan, bahwa harta wakaf itu tidak dihibahkan, diperjualbelikan atau
diwariskan.
Kendatipun demikian, meski tidak bisa dimiliki, maka pengelolaan benda wakaf
tersebut menjadi tanggung jawab Nazir yang ditunjuk, baik oleh wakif maupun oleh PPAIW
(Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf) menurut peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa benda wakaf adalah milik mutlak Allah.
Menurut Abu al-A'la al-Maududi, corak pemilikan yang semacam inilah yang sesunguhnya
merupakan gambaran fitrah yang benar dalam Islam.[52] Jadi, kalaupun manusia memiliki
hara sesungguhnya adalah milik yang bersifat nisbi.
Dapat

dilihat

bahwa

perumus

Kompilasi

Hukum

Islam

secara

bijaksana

menggabungkan pendapat yang berkembang di kalangan ulama Syafi'iyyah dan Hanafiah


menyangkut pengalihfungsian benda wakaf. Dari sisi pengekalan materi benda wakaf harus
dihindarkan dari transaksi perdata, seperti menghibahkan, menjual-belikan, mewariskan,
diadopsi dari pendapat Syafi'iyyah. Sementara dari sisi pemeliharaan pengekalan manfaat
benda wakaf itu untuk kepentingan umum diadopsi dari pendapat Hanafiah. Dalam makna
lain, bahwa pengalihfungsian benda wakaf pada dasarnya tidak dibenarkan, sesuai dengan
ketentuan 225 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, kecuali dalam rangka pengekalan manfaat
benda wakaf karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif (ayat
2 huruf a) dan untuk kepentingan umum (ayat 2 huruf b).
Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara tegas tentang batasan
kepentingan umum, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b. Hal ini dimaksudkan
agar penilaian kelayakan pengalihfungsian suatu benda wakaf dari apa yang diikrarkan
semula diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat umum melalui permohonan tertulis dari
nazir yang disetujui oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa pengalihfungsian benda wakaf dari


pemanfaatan semula kepada pemanfaatan lain atau penggantian harta wakaf dengan barang
yang lebih bermanfaat, dibenarkan dalam hukum Islam, dengan syarat bahwa benda tersebut
tidak dapat dimanfaatkan lagi sesuai tujuan ikrar wakaf, atau terdapat manfaat yang lebih
besar yang dapat diambil dari benda tersebut.
Apabila harta wakaf tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi, baik oleh karena perubahan
situasi dan kondisi kebutuhan masyarakat maupun oleh karena penyusutan dan tingkat
kerusakan dari benda wakaf itu sendiri, maka akan menyebabkan terjadinya pemubaziran
(pemborosan) atau penelantaran benda-benda wakaf. Apabila hal ini terjadi, maka secara
hukum perbuatan tersebut dilarang (haram), sebagaimana ditegaskan dalam ayat al-Quran
surat al-Isra' ayat 27, yang menyatakan:

"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-sauadra syaithan dan syaithan


itu adalah sangat engkar kepada Tuhannya".

Oleh sebab itu, benda wakaf yang tidak dapat dimanfaatkanlagi dan terancam
mengalami kehancuran secara sia-sia, dibenarkan untuk dialihfungsikan, atau dijual dan
diganti dengan benda wakaf yang lain. Demikian pula halnya apabila benda-benda wakaf
tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada pemanfaatan semula, namun
pemanfaatan yang baru tidak sesusai dengan ikrar wakaf, maka dalam hal ini menurut hemat
penulis dibolehkan untuk dialihfungsikan kepada pemanfaatan yang lebih besar, karena
hakikat dari wakaf itu sendiri adalah untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan umum. Pengalihfungsian tersebut tidak perlu mendapat izin terlebih
dahulu dari wakif, tetapi mesti melalui permohonan dari nazir atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat dan mendapat izin dari Menteri Agama. Apabila hal itu
memang sangat dibutuhkan, maka kebutuhan itu sendiri kadangkala dapat meningkat menajdi
sesuatu yang diharuskan sesuai dengan kaidah fikih:
35[ ]
"Kepentingan atau hajjah itu ditempatkan pada tempat darurat"

Dalil lain tindakan Umar ibn al-Khaththab dan Usman ibn Affan yang pernah
memindahkan mesjid dan menjadikan tanah wakaf tersebut sebagai pasar. Demikian pula
tindakan Usman ibn Affan yang membangun mesjid Nabawi tanpa mengikuti konstruksi
pertama dan memberi tambahan.
Adapun adanya kalimat "la yabi'u, wa la yuhabu, wa la yuratsu" (tidak dijual, tidak
dihibahkan, dan tidak pula diwariskan) dalam hadis Ibnu Umar, menurut hemat penulis tidak
bertentangan dengan mengalihfungsikan harta wakaf. Karena dalam hal ini, substansi wakaf
tersebut tidak dihilangkan, hanya saja dialihfungsikan kepada pemanfatan yang lebih baik,
demi mengoptimalisasikan pemanfaatan harta wakaf. Mengingat harta wakaf itu telah
menjadi milik Allah dan dimanfaatkan oleh publik, maka yang boleh mengalihfungsikan atau
mengubah dan menggantinya hanyalah pemerintah selaku yang bertanggung jawab terhadap
kepentingan masyarakat secara umum. Dalam hal ini telah ditunjuk dalam peraturan
perundang-undangan yakni Menteri Agama dengan permohonan tertulis dari nazir,
berdasarkan saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat di wilayah harta wakaf itu berada.
Dengan demikian, segala bentuk pemubaziran atau penyia-nyian harta wakaf dapat
dihindari dan dapat pula dikontruksi bentuk-bentuk wakaf baru dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan sosial masyarakat yang lebih baik.
Pengalihfungsian harta wakaf itu bukan berarti menghilangkan substansi benda wakaf.
Pengalihfungsian itu hanya bertujuan memenuhi fungsi wakaf yaitu mengekalkan manfaat
benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.[54] Oleh sebab itu, harta wakaf yang telah
dialihfungsikan tetap sebagai harta wakaf, yakni tetap menjadi milik publik tidak berubah
menjadi harta pribadi. Karena harta wakaf yang baru tersebut tentu saja tidak akan pernah ada
tanpa adanya harta yang lama yang dimodifikasi pemanfatannya ke dalam bentuk yang baru.
Di sinilah terlihat salah satu bentuk adaptabilitas hukum Islam yang relevan dan sesuai
dengan segala situasi dan kondisi masa (shalih li kulli zaman wa makan).

[1]Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, (Mesir: Dar al-Fikr al-'Arabiy, 1971), h. 5.
[2]Ibid.
[3]Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus Pengelolaan
Wakaf di Jakarta Selatan), Disertasi tidak diterbitkan, IAIN Syarif Hidayatullah, 1997, h. 81.
[4]Ibid.
[5]Ibid., h. 82
[6]Ibid., h. 83-84
[7]Ahmad Syalabi, Mausu'ah al-Tarikh al-Islamiy, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), h. 357.
[8]Ibid.
[9]Ahmad Syalabi, loc.cit.
[10]Uswatun Hasanah, loc.cit.
[11]Pendapat yang berkembang pada saat itu terbagi kepada tiga kelompok. (1), kelompok yang
berpendapat bahwa tidak diperlukan lagi aturan yang mengatur tentang wakaf dan seyogyanya lembaga
wakaf dibubarkan, denagn alasan: a. banyaknya orang yang hidup bersenang-senang dengan tanah wakaf
yang jumlahnya mencapai 1/8 (seperdelapan) dari seluruh tanah pertanian di Mesir dan tidak dikelola
secara produktif. b. wakaf ahli menimbulkan pengangguran. c. sebagian nazir menyelewengkan harta
wakaf. d. pertentangan antara para nazir, kekacauan pelaksanaan wakaf, dan perbedaan pendapat di
antara para penegak hukum menyebabkan lemahnya lembaga wakaf. e. jumlah orangnya makin banyak
menyebabkan bagian yang diterima masing-masing generasi semakin kecil. f. harta wakaf tidak terpelihara
sebagaimana mestinya, baik mustahiq maupun nazir kurang memiliki rasa tanggung jawab untuk
melestarikan harta wakaf tersebut. (2) kelompok yang mendukung rancangan undang undang tersebut
untuk segera disahkan. Namun terhadap wakaf ahli dan khairi mereka sepakat dengan kelompok pertama
bahwa jenis wakaf ini tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat Mesir. (3) Kelompok yang
mendukung semua rancangan tersebut dan menentang pembubaran lembaga wakaf, dengan alasan bahwa
terjadinya kesemrawutan pengelolaan wakaf disebabkan oleh pengelolaan yang tidak profesional dan
belum adanya aturan yang mengatur sistem kerja pengelola dan wakif.
[12]Jumhuriyyah Misr al-Arabiyah, Qawanin al-Waqf wa al-Hikr wa al-Qararat al-Tanfiziyah, (Kairo: alHaiah al-Ammah li Syuun al-Matabi al-amiriyah, 193), h. 1-4.
[13]Ibid.
[14]Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 88.
[15]Jumhuriyyah Misr al-Arabi, op.cit., h. 34-37.

[16]Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Perekonomian Islam, diterjemahkan oleh M. Nastagin,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), h. 385.
[17]Jumhur Misr al-Arabi, op.cit., h. 149.
[18]Hasan Abdullah al-Amin (ed), Idarah wa Tassmir Mumtalakat al-Auqaf, (Jeddah: Mahad al-Islamiy li alBuhuts wa al-Tadrib al-Bank al-Islamiy, 1989). h. 344.
[19]Adiwarman A. Karim, Wakaf Tunai untuk Investasi, dalam Makalah-Makalah Seminar Wakaf Tunai
untuk Investasi Bisnis Bank Nasional Indonesia-Dompet Dhuafa, Republika, Jakarta, 8 Mei 2003.
[20]Uswatun Hasanah, Manajemen Kelembagaan Wakaf". Makalah disampaikan pada Workshop
Internasional tentang "Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif", diselenggarakan oleh The
International Institute of Islamic Thought bekerja sama dengan Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji Departemen Agama RI di Batam, tanggal 7 dan 8 Januari 2002, h. 3.
[21]Ibid., h. 4.
[22]Ibid.
[23]Ibid., h. 4-5.
[24]Ibid.
[25]Uswatun Hasanah, Peranan , op.cit., h. 6-7.
[26]Ibid.
[27]Ibid., h. 8.
[28]Ibid.
[29]Ibid., h. 10.
[30]Ibid., 10-13.
[31]Ibid.
[32]Ibid.
[33]Adiwarman. A. Karim, loc.cit.
[34]Ibid.
[35]Ibid.
[36]Ibid.
[37]Ibid.
[38] Uswatun Hasanah, Manajemen , op.cit., h. 6-7.
[39]Ibid.

[40]Lihat bab III tesis ini.


[41]Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), bab al-syuruth hadis nomor 2532,
diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, op.cit., bab al-washaya hadis nomor 3080;
Imam al-Turmuzi, bab al-Ahkam an Rasulillah, hadis nomor 1296; Imam al-Nasai dalam Sunan al-Nasai,
bab al-ahbas, hadis nomor 3546 dan 3547; Imam Abu Daud dalam Sunan Abi Daud, bab al-washaya, hadis
nomor 2493; Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, bab al-ahkam hadis nomor 2387 dan 2388; Imam
Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad, bab masnad al-muktsirin min al-shahabah, hadis nomor 4379,
4923 dan 5805.
[42]Ibid.
[43] Sayyid Sabiq, op.cit.,juz. 3, h. 530.
[44] Ibid., h.
[45] Abd al-Rahman al-Asyimi, Majmu' al-Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (T.Tp: T.pn, t.th): juz. 22,
h. 100.
[46] Baca bab II halaman .. tesis ini.
[47]Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 pasal 11.
[48]Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan,
Wakaf, (Bandung: Alumni, 1983), h. 133.
[49]Sayyid Sabiq, halaman 350.
[50]Ibid
[51] PP. Nomor 28 Tahun 1977, pasal 11 ayat (2)

[52]M. Abd. Al-Jawad, al-Milkiyyah al-Aradi fi al-Islam, (Beirut: Mansya' al-Ma'arif, t.th.), juz II, h. 262.
[53]Jalaluddin Abd. Ibn Abi Bakar al-Syayuti, al-Asbah wa al-Nazhair, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 59.
[54] Pasal 216 Kompilasi Hukum Islam.

You might also like