You are on page 1of 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak pidana korupsi, menjadi salah satu permasalahan bangsa
Indonesia. Karena tindak pidana ini, Indonesia telah banyak menelan
kerugian karena pihak-pihak yang sangat tidak amanah dalam mengemban
jabatan dan kekuasaan.
Dalam mengatasi tindak pidana korupsi yang telah menggurita dan
menginfeksi seluruh rongga kehidupan bangsa, para wakil rakyat dan
intelektual negeri ini mencoba menciptakan sebuah instrumen hukum yang
diwujudkan dengan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi. Segala tipe-tipe korupsi dan sanksi hukumannya telah dirumuskan
dalam Undang-Undang ini. Sehingga dengan terciptanya Undang-Undang ini,
diharapkan dapat menekan laju perilaku korupsi yang semakin sulit untuk
dibendung.
Lalu bagaimana dengan hukum pidana Islam dalam hal mengatasi
tindak pidana korupsi?. Sebagai sebuah agama yang telah disempurnakan
Allah melalui hambaNya yang sangat mulia yaitu Rasulullah, Islam telah
memberikan pandangan mengenai tindak pidana korupsi. Karena jenis tindak
pidana ini, memang telah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Meski tidak
disebutkan secara tegas mengenai sanksi pidana korupsi dalam hukum Islam,
namun Islam selalu memberikan jawaban atas setiap permasalahan. Yaitu
dengan hukuman takzir yang identik dengan hukuman yang berdasarkan
kebijakan hakim dengan melihat kemaslahatan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2. Bagaimanakah tindak pidana korupsi menurut hukum islam?
3. Apakah penyebab terjadinya korupsi?
4. Bagaimanakah pemberantasan korupsi ala Rasululah saw.?
2

5. Apakah hukuman bagi para koruptor?
6. Apakah yang dimaksud dengan Tazir?
7. Apakah dampak dari tindakan korupsi?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan pengertian korupsi.
2. Menjelaskan mengenai tindak pidana korupsi menurut hukum islam.
3. Menjelaskan penyebab terjadinya korupsi.
4. Mendeskripsikan pemberantasan korupsi ala Rasulullah.
5. Mendeskripsikan hukuman bagi para koruptor.
6. Menjelaskan pengertian Tazir.
7. Menjelaskan dampak dari tindakan korupsi.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu menambah pengetahuan
bagi pembaca dan penulis tentang perspektif al-quran mengenai anti korupsi.


3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Korupsi
2.1.1 Pengertian Korupsi Secara Umum
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata korupsi adalah
penyelewengan atau atau penggelapan uang (uang negara atau perusahaan,
atau sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi dari asal
kata yang mengandung banyak definisi, termasuk kedalam makna korupsi
adalah suap. Dalam terminologi hukum, korupsi bermakna suatu perbuatan
dengan maksud mendapat keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi
dan melanggar hak orang lain. Sogok menyogok termasuk dalam kategori ini.
Sementara dalam istilah politik menurut World Bank dan Transparency
International, korupsi berarti penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan (baik itu
jabatan di lembaga pemerintahan atau institusi swasta)untuk kepentingan
dan/atau keuntungan pribadi.
Korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Makna dan
tipologi korupsi, korupsi dan bahasa latin corruption atau corrutus. Secara
harfiah, korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran dan
sebagainya. Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang
diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi , bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha
memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan
hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Setiap tanggal 9 Desember dunia memperingatinya sebagai hari anti
korupsi. Ini untuk mengingatkan kita perlunya komitmen untuk
menghilangkan sifat dan perbuatan korup bagi diri sendiri, lingkungan,
maupun negara.
Peringatan hari Anti Korupsi berkonotasi pada korupsi politik di atas.
Hal itu wajar karena memang korupsi kekuasaan memiliki dampak sosial
yang sangat besar. Kondisi ekonomi dan taraf pendidikan bangsa Indonesia
akan jauh lebih baik dari sekarang seandainya para pejabatnya tidak ada yang
4

korup dan komitmen menjadikan jabatan sebagai amanah bagi kepentingan
orang banyak, bukan keuntungan pribadi.
2.1.2 Pengertian Korupsi dalam Pandangan Islam
Di dalam Al-Quran terdapat beberapa istilah rujukan mengenai
korupsi. Ada sebagian yang menggunakan istilah ikhtilas untuk
menyebutkan prilaku koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti
aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang lain.
Sementara itu terdapat pengungkapan Ghulul dan mengistilahkan
Akhdul Amwal Bil Bathil, sebagaimana disebutkan oleh al-quran dalam
surat al-baqarah : 188

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di


antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui
) (
( .
Barangsiapa yang kutugaskan melakukan pekerjaan, dan mendapat imbalan
dari hasil kerjanya itu, apa yang ia ambil sesudah itu namanya ghulul
)korupsi( )Hadits riwayat Abu Dawud(
Secara harfiah, ghulul berarti pengkhianatan terhadap amanah. Karena
inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi,
atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati
kepercayaan. Selain itu dalam Al-Quran korupsi disebut dengan kata al-suht
(Q.s. al-Maidah: 42, 62, 63). Al-Suht didefinisikan oleh sahabat Nabi saw.
Abdullah ibn Masud r.a )w.32 H( sebagai menjadi perantara dengan
menerima imbalan antara seseorang dengan pihak penguasa untuk suatu
kepentingan )Ahkam Al-Quran al-Jasshash, vol.4/84, http://www.suara-
islam.com/read/index/7223/Pemberantasan-Korupsi-dalam-Perspektif-Islam).
5

Khalifah Umar ibn al-Khattab r.a (w.24 H) mengemukakan al-suht
adalah bahwa seseorang yang memiliki pengaruh di lingkungan sumber
kekuasaan menjadi perantara dengan menerima imbalan bagi orang lain yang
mempunyai kepentingan sehingga si penguasa meluluskan keperluan orang
itu )Ibid., vol.4/85, http://www.suara-islam.com/read/ index/7223/
Pemberantasan-Korupsi-dalam-Perspektif-Islam).
Dalam hadis-hadis Nabi SAW juga sangat banyak rujukan mengenai
korupsi, baik menyangkut jenis-jenis korupsi seperti risywah (penyuapan),
penerimaan hadiah oleh para pejabat, penggelapan dan lain-lain, maupun
menyangkut kebijakan dan strategi Nabi saw. dalam memberantas korupsi.
Namun demikian, alangkah baiknya kalau dalam kesempatan ini kita
gunakan juga untuk berefleksi, memperbaiki diri sendiri dari karakter dan
perilaku korup yang menjadi dasar dari perbuatan korup yang lebih besar
(korupsi jabatan) saat peluang itu ada di hadapan kita. Seperti disebut dalam
sebuah Hadits riwayat Bukhari, Ingatlah bahwa dalam badan seseorang
terdapat segumpal daging (mudghah) yang apabila ia rusak, maka rusaklah
seluruh badan. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasad. Ia adalah hati.
Dalam Islam, perilaku korupsi baik dalam artian etimologi, istilah
hukum maupun politik sama-sama dilarang keras. Larangan atas korupsi
jabatan lebih keras lagi karena dampak destruktif sosial yang
ditimbulkannnya begitu besar.
2.2 Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Islam
Tindak pidana korupsi sejatinya adalah salah satu tindak pidana yang
cukup tua usianya. Hal ini dapat ditelusuri melalui sejarah klasik Islam yaitu
pada masa Rasulullah sebelum turunnya surat Ali Imran ayat 161. Saat itu,
kaum muslimin kehilangan sehelai kain wol berwarna merah pasca perang.
Kain wol yang sebagai harta rampasan perang itu pun diduga telah diambil
sendiri oleh Rasulullah Saw. Untuk menghindari keresahan kalangan muslim
saat itu, Allah pun menurunkan surat Ali Imran ayat 161 yang berbunyi:

6

Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang
apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak
dianiaya. (Q.s. Ali Imran: 161)
Tindak pidana korupsi sangat identik dengan penyalahgunaan jabatan
yang didefinisikan sebagai perbuatan khianat dalam perspektif Islam. Karena
jabatan yang telah disandang oleh seseorang adalah sebuah kepercayaan dari
rakyat yang telah terlanjur menaruh harapan padanya. Atau jabatan yang
langsung dibebankan atas nama negara yang tentunya bertujuan untuk
menjalankan berbagai program yang bermuara kepada kesejahteraan rakyat.
Terlebih lagi jika amanat itu menyentuh pada ranah hukum seperti pegawai
pada bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dll yang berbasis kepada
keadilan yang diinginkan oleh semua pihak. Amanat yang telah diemban
itulah yang tentunya wajib untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Allah swt
berfirman dalam beberapa ayat mengenai kewajiban menjalankan amanat,
yaitu:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
(QS. al-Anfal (8) : 27)
Amanat tentunya adalah sebuah kepercayaan yang wajib untuk dipelihara dan
disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Allah swt berfirman:

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
7

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (QS. an-
Nisa (4) : 58)
Dalam hadis-hadis Nabi saw. juga sangat banyak rujukan mengenai
korupsi, baik menyangkut jenis-jenis korupsi seperti risywah (penyuapan),
penerimaan hadiah oleh para pejabat, penggelapan dan lain-lain, maupun
menyangkut kebijakan dan strategi nabi Muhammad saw. dalam
memberantas korupsi.
Mengomentari hadis larangan menerima hadiah bagi pejabat, Imam
al-Syafii )w.204 H( dalam kitab al-Umm (vol.2/63, http://www.suara-
islam.com/read/ index/7223/Pemberantasan-Korupsi-dalam-Perspektif-Islam)
menulis, Apabila seorang warga memberikan hadiah kepada pejabat, maka
jika hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh melalui pejabat itu- suatu
hak atau yang batil, maka haram atas pejabat itu menerima hadiahnya. Itu
karena haram atasnya mempercepat pengambilan hak yang belum waktunya
untuk kepentingan orang yang ia menangani urusannya (dengan terima
imbalan) karena Allah mewajibkannya mengurus hak tersebut, dan haram
pula atasnya mengambilkan suatu yang batil untuk orang itu dan imbalan
atas pengambilan suatu yang batil itu lebih haram lagi. Demikian pula
haram atasnya jika ia menerima hadiah itu agar ia menghindarkan pemberi
hadiah dari sesuatu yang tidak disukai. Adapun jika ia dengan menerima
hadiah itu bermaksud menghindarkan pemberi hadiah dari suatu kewajiban
yang harus ditunaikannya, maka haram atas pejabat itu menghindarkan si
pemberi hadiah dari kewajiban yang harus dilakukannya.
Fatwa al-Syafii itu gamblang mengharamkan segala bentuk hadiah
(gratifikasi) atas pejabat dengan motif-motif berikut:
a. si pemberi mendapatkan haknya lebih cepat dari waktunya yang
semestinya,
b. si pemberi memperoleh suatu yang batil seperti kasusnya dimenangkan
atau dibebaskan dari tuntutan hukum padahal bukti menunjukkan
sebaliknya,
8

c. si pemberi dibebaskan dari sebagian kewajiban yang harus ia tunaikan
seperti pajak yang nilainya dikecilkan dari aslinya,
d. pemerasan di mana si pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian
yang akan mengancam diri dan kepentingannya.
Termasuk korupsi adalah segala tindakan penggunaan uang pelicin
oleh seseorang, meski secara ril tidak merugikan keuangan Negara dan
rakyat, akan tetapi tindakan itu mengakibatkan lumpuhnya penegakan hukum.
Di antara ulama yang keras mengharamkannya adalah Ibnu Taymiah. Beliau
kemukakan hal ini dengan landasan hadis yang melaporkan kisah anak muda
yang bekerja pada sebuah keluarga dan berselingkuh dengan istri majikannya.
Untuk menghindari pengaduan sang majikan dan penerapan sanksi
terhadapnya, ayah anak muda itu menghadiahkan 100 ekor kambing dan
seorang pelayan sebagai uang damai atas kelakuan anaknya. Perkara itu
sampai juga kepada Rasulullah saw., lalu beliau perintahkan agar harta itu
dikembalikan dan para pihak yang berselingkuh dihukum sesuai aturan yang
berlaku. )Majmu al-Fatawa, vol.27/202-203, http://www.suara-islam.com/
read/index/7223/Pemberantasan-Korupsi-dalam-Perspektif-Islam).
2.3 Penyebab Terjadinya Korupsi
Korupsi sebagaimana digambarkan di atas telah menjadi sebuah
peraktek kebiasaan di kalangan masyarakat dan pemerintah yang sulit dicegah
dan dibendung penularannya. Hal ini adalah merupakan sebuah akibat
langsung dari kondisi riel masyarakat Indonesia yang sangat rendah
mentalitasnya yang barangkali dapat disebabkan oleh minimnya penghasilan,
rendahnya pengetahuan dan pengamalan agama, sikap tamak dan rakus yang
menghantui setiap anggota masyarakat dan lain-lain sebagainya. Kondisi riel
inilah barangkali yang menyebabkan suburnya peraktek korupsi pada
masyarakat dan pemerintah.
Untuk lebih lanjut dalam masalah ini dapat diuraikan penyebab-
penyebab terjadinya peraktek korupsi, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Lemahnya Keyakinan Agama
Kita semua mengetahui bahwa penduduk Indonesia 100% adalah
beragama dan 88% di antaranya adalah penganut agama Islam. Hal ini
9

menunjukkan bahwa sesunguhnya pelaku-pelaku korupsi itu adalah orang
yang memiliki dan meyakini agama, dan sebagian besar di antaranya adalah
penganut agama Islam. Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya pelaku tindak pidana korupsi itu adalah penganut agama Islam.
Padahal sesungguhnya ajaran agama Islam itu dapat mencegah seseorang dari
perbuatan keji dan munkar termasuk di dalamnya mencegah perbuatan
korupsi. Yang jadi masalah adalah ada beberapa orang tertentu yang rajin
melaksanakan ibadah sesuai ajaran agamanya, namun peraktek korupsinya
tetap juga jalan. Hal ini disebabkan oleh karena pelaksanaan ajaran agama itu
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sekaligus tidak mendalami
makna yang terkandung dalam ibadah itu. Akibatnya ibadah yang
dilaksanakan baru sebatas ibadah ritual ceremonial, belum menjalankan
ibadah sebagai ibadah ritual dan aktual.
2. Pemahaman Keagamaan yang keliru
Pemahaman keagamaan yang keliru yang dimaksudkan di sini adalah
adanya satu pemahaman bahwa setiap berbuat satu kebaikan akan diberikan
pahalanya tujuh ratus kali lipat pada satu pihak, sebagaimana tercermin dalam
Firman Allah SWT :
Artinya : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di Jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha luas (kurniaNya) lagi Maha Mengetahui.
Dan adanya pemahaman bahwa berbuat satu kejahatan akan diberikan
satu ganjaran / balasan pada pihak yang lain. Kedua pemahaman ini
digabungkan menjadi satu dalam hal kejahatan. Akibatnya seseorang berpikir
bahwa kalau dia melakukan korupsi Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
akan diberikan dosa sebanyak seratus juta dosa. Untuk itu maka dia berpikir
alangkah baiknya uang yang dikorupsi itu disedekahkan sebanyak Rp.
1.000.000,00 (Satu juta rupiah) dan akan mendapatkan pahala sebanyak
700.000.000,00 kebaikan. Dan masih untung sebanyak 600.000.000,00
kebaikan. Padahal dia tidak sadar bahwa uang yang disedekahkan itu harus
10

bersumber dari yang halal, bukan dari yang haram sebagaimana Sabda
Rasulullah SAW :
Artinya : Tidak diterima sholat seseorang kecuali dalam keadaan suci dan
tidak diterima sedekah seseorang yang bersumber dari penipuan.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya pemahaman yang keliru tentang ganjaran
pahala dan dosa yang dipahami oleh seseorang, akibatnya dia rajin korupsi
dan rajin pula memberikan infaq/shodaqah.
3. Adanya Kesempatan dan Sistem yang Rapuh
Seseorang melakukan tindak pidana korupsi salah satunya adalah
disebabkan adanya kesempatan dan peluang serta didukung oleh sistem yang
sangat kondusif untuk berbuat korupsi. Adanya kesempatan dan peluang itu
antara lain adalah dalam bentuk terbukanya kesempatan dan peluang untuk
berbuat korupsi karena tidak adanya pengawasan melekat dari atasannya dan
terkadang justru atasannya mengharuskan seseorang untuk berbuat korupsi.
Atau bisa dalam bentuk sistem penganggaran yang memang mengharuskan
seseorang berbuat korupsi seperti diperlukannya uang pelicin untuk
menggolkan anggaran kegiatan, atau dalam bentuk lain diperlukannya uang
setoran kepada atasan di akhir pelaksanaan kegiatan.
4. Mentalitas yang rapuh
Mentalitas ataupun sikap mental yang rapuh adalah disebabkan
pengetahuan dan pengamalan agama yang kurang, disamping penyebab-
penyebab lainnya. Apabila pengetahuan dan pengamalan agama seseorang
baik, maka dapat dipastikan bahwa sikap mental orang tersebut akan baik,
namun demikian tidak semua yang bermental baik berarti memiliki
pengetahuan dan pengamalan agama yang baik, sebab masih banyak
penyebab-penyebab lainnya yang menyebabkan seseorang bermental baik.
Perlu diketahui bahwa faktor mentalitas ini adalah merupakan faktor yang
paling dominan yang menyebabkan terjadinya korupsi, sebab dalam
kenyataannya yang melakukan peraktek korupsi itu biasanya yang paling
tinggi jabatannya, disamping yang mempunyai peluang dan kesempatan
untuk melakukannya.
5. Faktor Ekonomi / Gaji Kecil
11

Faktor ekonomi / gaji kecil ditengarai adalah salah satu faktor
penyebab orang melakukan korupsi, sebab bagaimana mungkin seseorang
tidak melakukan korupsi, sementara gajinya relatif kecil, kebutuhannya
banyak, dan dia mengelola uang. Sebagaimana diketahui bahwa gaji Pegawai
Negeri Sipil di Indonesia adalah merupakan salah satu gaji terendah di dunia
dan jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga
Singapura dan Malaysia, akibatnya untuk mencari tambahan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan anak-anak sekolah, maka
dicarilah jalan pintas dengan mengambil uang negara secara tidak sah
(melawan hukum). Hal ini sepintas kilas dapat dibenarkan, tetapi karena yang
melakukannya hampir semua orang yang mempunyai kesempatan dan
peluang, maka keuangan negara habis dikorupsi orang-orang tertentu untuk
selanjutnya dinikmati oleh orang-orang tertentu pula.
6. Faktor Budaya
Adalah sebuah kebiasaan bagi kita orang Indonesia bahwa setiap
seseorang menjadi pejabat tinggi dalam sebuah pemerintahan, maka yang
bersangkutan akan menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi
keluarganya, akibatnya dia diharuskan melakukan perbuatan korupsi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya tersebut, apalagi permintaan
akan kebutuhan itu datang dari orang yang sangat berpengaruh bagi dirinya
seperti mamak umpamanya. Selain daripada itu dalam budaya kita akan
dianggap bodoh seseorang manakala dia tidak mempunyai apa-apa di luar
penghasilannya, sementara dia menduduki suatu jabatan penting, akibatnya
dipaksa untuk melakukan korupsi.
7. Faktor Kebiasaan dan Kebersamaan
Peraktek korupsi sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi yang
mempunyai peluang dan kesempatan melakukannya, ditambah lagi peraktek
korupsi ini telah dilakukan oleh banyak orang, dan bahkan dilakukan secara
berjamaah. Akibatnya peraktek ini menjadi kebiasaan yang tak perlu diusik
dan diutak-atik. Akhirnya terjadilah pembiasaan terhadap yang salah, padahal
seharusnya kita membiasakan yang benar dan bukan membenarkan yang
biasa apalagi perbuatan yang salah itu merugikan dan menjadi wabah
12

penyakit serius bagi bangsa Indonesia seperti korupsi. Kebiasaan ini harus
dicegah dan bila perlu dibasmi sampai ke akar-akarnya, sehingga hilang sama
sekali dari bumi Indonesia.
8. Penegakan Hukum yang Lemah
Orang tidak kapok melakukan korupsi secara berulang-ulang, salah
satu penyebabnya adalah karena tidak adanya sanksi hukum yang jelas yang
diberikan kepada pelaku korupsi, padahal hukuman terhadap mereka telah
diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi
karena penegakan hukumnya lemah, ditambah dengan aparat penegak
hukumnya juga pelaku korupsi, maka pelaku korupsi tadi tidak merasa jera
dengan perbuatannya dan bahkan semakin menjadi-jadi, akibatnya menjadi
sebuah kebiasaan yang sulit dihindari apalagi untuk dihentikan.
9. Hilangnya Rasa Bersalah
Seorang koruptor tidak merasa bersalah atas perilakunya memakan
uang negara, sebab dia merasa bahwa korupsi tidak sama dengan mencuri.
Baginya korupsi berbeda dengan mencuri. Orang seperti ini sering berdalih,
kalau yang dirugikan itu negara maka negara tidak bisa bersedih apalagi
menangis, apalagi saya ini termasuk bahagian dari negara. Kalau yang dicuri
uang rakyat, maka rakyat yang mana ? sebab saya sendiri juga adalah rakyat,
hal itu berarti bahwa saya juga mencuri uang saya sendiri. Akibatnya para
pelaku korupsi itu tidak pernah merasa bersalah atas perbuatannya, padahal
kalaulah ia merasa bersalah atas perbuatannya maka besar kemungkinan ia
akan mengembalikan uang yang dikorupsinya itu atau minimal dia tidak akan
mengulangi lagi perbuatnnya di kemudian hari. Perasaan hilangnya rasa
bersalah atau tidak punya rasa malu ini, harus ditumbuh kembangkan lagi,
sehingga menjadi bahagian dari hidup ataupun menjadi budaya bangsa.
Namun inilah yang sudah hilang dari diri bangsa ini.
10. Hilangnya Nilai Kejujuran
Nilai kejujuran adalah merupakan satu asset yang sangat berharga
bagi seseorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, sebab
kejujuran akan mampu menjadi benteng bagi seseorang untuk menghindari
perbuatan-perbuatan munkar seperti perbuatan korupsi ini. Hanya saja
13

memang harus diakui bahwa nilai-nilai kejujuran telah hilang dari pelaku-
pelaku korupsi itu. Oleh karena itulah maka sejak kecil dalam rumah tangga
sudah harus ditanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak-anak sesuai dengan
hadis Nabi, Katakanlah yang benar itu walau pahit sekalipun.
11. Sikap Tamak dan Serakah
Sikap tamak dan serakah adalah merupakan dua sikap yang sering
menjerumuskan ummat manusia ke jurang kehinaan dan keghancuran sebab
kedua sikap ini mengantar manusia kepada sikap tidak pernah merasa puas
dan tidak pernah merasa cukup sekalipun harta yang telah dimilikinya sudah
melimpah ruah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran :
Artinya : Bagi orang-orang yang memenuhi seruan TuhanNya, (disediakan)
pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan,
sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi, dan
ditambah sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan
menebus dirinya dengan kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya
hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahannam dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.
12. Ingin Cepat Kaya, Tanpa Usaha dan Kerja Keras
Korupsi cepat tumbuh da berkembang biak dengan pesat adalah
disebabkan sikap manusia yang ingin cepat mendapatkan kekayaan, tanpa
melalui usaha dan kerja keras, akibatnya korupsi menjadi pilihan utama untuk
dilaksanakan, sebab pekerjaan korupsi tidak memerlukan kerja keras dan
tidak memerlukan waktu lama. Dalam sekejap seseorang bisa cepat kaya dan
mendapat harta yang berlimpah ruah, hanya dengan melakukan korupsi.
Korupsi nampaknya menjadi jalan pintas untuk mendapatkan harta kekayaan
yang berlimpah, padahal dalam konsep agama Islam, untuk mendapatkan
harta kekayaan haruslah melalui kerja keras dan halal.
13. Terjerat Sifat Materialistik, Kapitalistik dan Hedonistik
Materialistik, Kapitalistik dan hedonistik adalah tiga sifat yang siap
siaga mengantarkan ummat manusia untuk menghalalkan segala macam cara
agar mendapatkan harta yang berlimpah. Harta yang berlimpah inipun tidak
pernah merasa puasa dan cukup, selalu kehausan dan kekurangan setiap saat.
14

Sudah punya mobil satu maka ingin punya mobil dua, sudah punya mobil dua
maka iapun berhasrat untuk memiliki tiga dan seterusnya, akibatnya apapun
dilakukan untuk mendapatkannya termasuk di dalamnya dengan melakukan
korupsi yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat dan negara. Oleh karena
itulah maka Nabi memperingatkan kepada yang haus akan harta melalui
sabda beliau :
Artinya : Rasulullah SAW bersabda, : Celakah hamba dinar dan hamba
dirham, hamba permadani, dan hamba baju. Apabila ia diberi maka ia puas
dan apabila ia tidak diberi maka iapun menggerutu kesal.
2.4 Pemberantasan Korupsi Ala Rasulullah
Beberapa strategi yang dilakukan Nabi saw. dalam menangani korupsi
adalah melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat seusai menjalankan
tugas. Selain itu Rasulullah SAW berupaya menimbulkan efek kejiwaan yang
dahsyat sehingga masyarakat menghindari korupsi. Hal ini dilakukan,
misalnya, dengan penolakan Nabi saw. untuk menyalatkan jenazah koruptor
(cukup disalatkan oleh sahabatnya saja, lihat hadis riwayat an-Nasai,
Shalatkanlah teman kalian itu (aku sendiri tidak mau menyalatkannya karena
dia telah lakukan ghulul saat berjuang di jalan Allah, ketika kami periksa
barang-barangnya, kami temukan manik-manik orang yahudi yang harganya
tidak sampai 2 dirham(, Kitab al-Janaiz, no.1933 pada http://www.suara-
islam.com/read/index/7223/Pemberantasan-Korupsi-dalam-Perspektif-Islam).
2.5 Hukuman Bagi Para Koruptor
Islam sebagai sistem nilai memegang peranan penting untuk
memberikan penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan
akhlak dengan memanfaatkan potensi baik setiap individu, yaitu hati nurani.
Lebih jauh islam tidak hanya berkomitmen dengan upaya penshalehan
individu, akan tetapi juga penshalehan sosial. Dalam penshalehan sosial ini
islam mengembangkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat
saling mengingatkan, dan saling menasehati. Pada dasarnya islam
mengembangkan semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain, islam juga
mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistem yang
15

mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistem
pengawasan administratif dan managerial yang ketat. Oleh sebab itu dalam
memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi seharusnya tidak
pandang bulu, apakah ia adalah seorang pejabat ataukah lainnya. Tujuan
hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan
yang telah ia lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa damai dan rukun dalam
masyarakat.
Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara
meskipun nash tidak menjelaskan had atau kifarahnya. Akan tetapi pelaku
korupsi dikenakan hukuman tazir atas kemaksiatan tersebut. Adapun
hukuman untuk koruptor adalah Tazir, dari yang paling ringan dengan
kurungan penjara, lalu memecatnya dari jabatan dan memasukkannya dalam
daftar orang tercela (tasyhir), penyitaan harta untuk Negara, hingga hukuman
mati, sesuai besar kecilnya jumlah yang dikorupsi dan dampaknya bagi
masyarakat. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa kemiripan, diantaranya
ialah mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, dan lain sebagainya. Maka
perbuatan tersebut termasuk dalam jarimah tazir yang penting. Sebagaimana
yang terdapat dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh ahmad dan tirmizy,
yang artinya :
Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda : Tidak
ada (hukuman) potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan
perampas/pencopet. (HR.Ahmad dan Tirmizy).
Sebagai aturan pokok islam membolehkan menjatuhkan hukuman
tazir atas perbuatan maksiat apabila dikehendaki oleh kepentingan umum,
artinya perbuatan-perbuatan dan keadaan yang dapat dijatuhi hukuman tazir
tidak mungkin ditentukan hukumannya sebelumnya, sebab hal tersebut
tergantung pada sifat-sifat tertentu, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka
perbuatan tersebut tidak lagi dilarang dan tidak dikenakan hukuman. Sifat
tersebut merugikan kepentingan dan ketertiban umum, dan apabila perbuatan
tersebtu telah dibuktikan didepan pengadilan maka hakim tidak boleh
membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan hukuman tazir yang sesuai
untuknya. Perjatuhan hukuman tazir untuk kepentingan dan ketertiban umum
16

ini merujuk terhadap perbuatan rasulullah saw, dimana ia pernah menahan
seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta setelah diketahui buktinya ia
tidak mencurinya, maka nabi membebaskannya. Syariat islam sendiri tidak
menentukan macam-macam hukuman untuk tazir, akan tetapi hanya
menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-
ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai hukuman yang seberat-beratnya.
Penerapan sepenuhnya diserahkan terhadap hakim (penguasa), dengan
kewenagan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai
dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan umum islam dalam menjatuhkan hukuman yaitu:
1. Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan
umum.
2. Efektifitas hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus
merendahkan martabat pelakunya.
3. Sepadan dengan kejahatannya sehingga terasa adil.
4. Tanpa ada pilih kasih, yaitu semua sama kedudukannya didepan hukum.
Seorang hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan
ringannya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang
telah ditetapkan sanksi hukuman oleh nash, seorang hakim tidak punya
pilihan lain kecuali menerapkannya. Meskpun sangsi hukuman bagi pelaku
korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, akan tetapi perampasan dan
penghianatan dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi.
Nabi Muhammad saw. menyatakan koruptor akan masuk neraka
meski nominalnya kecil (riwayat Sahih Muslim no.182 dan 114, Saat
perang Khaibar seorang diduga syahid tetapi Nabi SAW mengatakan orang
itu masuk neraka karena menyembunyikan selimut atau mantel sebelum
ghanimah dibagikan, Nabi SAW suruh Umar umumkan bahwa tidaklah
masuk surga kecuali orang-orang yang beriman).
Selain itu, di akhirat kelak para koruptor akan sangat dihinakan,
dipermalukan di hadapan Allah dengan saksi barang-barang yang ia korupsi
di dunia (HR Abu Humaid al-Saidi dalam Sahih Bukhari no.6145(. Pelaku
suap, penerimanya dan kurirnya akan mendapat laknat Allah (HR Ahmad dan
17

Ibnu Majah). Nabi SAW tegaskan bahwa sedekah atau infak dari hasil
korupsi tidak diterima Allah (Sahih Muslim, Kitab Thaharah : 114). Juga doa
koruptor tak akan dikabulkan oleh Allah (Sahih Muslim).
Rasulullah saw. juga memperingatkan agar koruptor tidak dilindungi,
disembunyikan atau ditutupi kejahatannya. Barang siapa melakukan
demikian, maka ia sama dengan pelaku korupsi itu sendiri. Dari Samurah bin
Jundub ra, ia berkata Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang menyembunyikan
koruptor, maka ia sama dengannya". (HR Abu Dawud no. 2716 Kitab al-
Jihad Bab Nahyu an Satr ala Man Ghalla, dan al-Thabrani dalam al-Mujam
al-Kabir no.7023).
Sesuai dengan ayat AL-Quran pada Q.S At-taubah ayat 12:

Artinya: Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji,
dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin
orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang
(yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.
2.6 Tazir
2.6.1 Pengertian dan Jenis-jenis Tazir
Tazir ialah hukuman terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara
tegas bentuk sangsinya didalam nash. Hukuman ini dijatuhkan unutk
memberikan pelajaran terhadap terpidana agar ia tidak mengulangi kejahatan
yang pernah ia lakukan, jadi jenis hukumannya disebut dengan Uqubah
Mukhayyarah (hukuman pilihan). Jarimah sendiri yang dikenal dengan
hukuman tazir ada dua jenis yaitu :
1. Jarimah yang dikenakan hukuman had dan qishash, apabila tidak terpenuhi
salah satu rukunnya seperti pada jarimah pencurian dihukum tazir bagi
orang yang mencuri barang yang tidak disimpan dengan baik, atau bagi
orang yang mencuri barang yang tidak mencapai nishab pecurian. Pada
jarimah zina dihuk tazir bagi yang menyetubuhi pada selain pada oral sex.
18

Pada jarimah qadzaf dihukum tazir bagi yang mengqadzaf dengan
tuduhan berciuman bukan berzina.
2. Jarimah yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, seperti jarimah
penghianatan terhadap sesuatu amanah yang telah diberikan jarimah
pembakaran, suap dan lain sebagainya.
2.6.2 Penerapan Tazir bagi pelaku korupsi
Hukuman tazir dapat diterapkan kepada pelaku korupsi. Dapat
diketahui bahwa korupsi termasuk dalam salah satu jarimah yang tidak
disebutkan oleh nash secara tegas, oleh sebab itu ia tidak termasuk dalam
jenis jarimah yang hukumannya adalah had dan qishash. Korupsi sama halnya
seperti hokum Ghasab, meskipun harta yang dihasikan sipelaku korupsi
melebihi dari nashab harta curian yang hukumannya potong tangan. Tidak
bisa disamakan dengan hukuman terhadap pecuri yaitu potong tangan, hal ini
disebabkan oleh masuknya syubhat. Akan tetapi disamakan atau diqiyaskan
pada hukuman pencurian yang berupa pencurian pengambilan uang hasil
curian.
Dalam jarimah sendiri korupsi ada tiga unsure yang dapat dijadikan
pertimbangan bagi hakim dalam menentukan besar hukuman, yaitu :
1) Perampasan harta orang lain
2) Penghianatan atau penyalahgunaan wewenang
3) Kerjasama atau kongkalikong dalam kejahatan
Ketiga unsur tersebut telah jelas dilarang dalam syariat islam. Selanjutnya
tergantung kepada kebijaksanaan akal sehat keyakinan dan rasa keadilan
hakim yang didasarkan pada rasa keadilan masyarakat untuk menentukan
hukuman bagi pelaku korupsi. Meskipun seorang hakim diberi kebebasan
untuk mengenakan tazir, akan tetapi dalam menentukan hukuman seorang
hakim hendaknya memperhatikan ketentuan umum perberian sangsi dalam
hukum pidana islam yaitu :
Hukuman hanya dilimpahkan kepada orang yang berbuat jarimah, tidak
boleh orang yang tidak berbuat jahat dikenai hukuman.
Adaya kesengajaan seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsur
kesengajaan untuk berbuat jahat, tidak ada kesengajaan berarti karena
19

kelalaian, salah, atau lupa. Meskipun demian karena kelalaian salah atau
lupa tetap diberikan hukuman, meskipun bukan hukuman kejahatan,
melainkan untuk kemaslahatan yang bersifat mendidik.
Hukuman hanya akan dijatuhkan apabila kejahatan tersebut secara
meyakinkan telah diperbuatnya.
Berhati-hati dalam menentukan hukuman, membiarkan tidak dihukum dan
menyerahkannya kepada allah apabila tidak cukum bukti.
Batas minimal hukuman tazil tidak dapat ditentukan, akan tetapi
adalah semua hukuman menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan,
tindakan atau diasingkan. Terkadang seseorang dihukum tazir dengan
memberinya nasehat atau teguran, terkadang juga seorang dihukum tazir
dengan mengusirnya dengan meninggalkannya sehingga ia bertaubat. Uraian
tersebut menegaskan bahwa hukuman jarimah tazir sangatlah bervariasi
mulai dari pemberian teguran sampai pada pemenjaraan dan pengasingan.
Mengenai Uqubah sendiri yaitu sebagai berikut:
1. Pidana atas jiwa (Al-Uqubah Al-Nafsiyah), yaitu hukuman yang berkaitan
dengan kejiwaan seseorang, seperti peringatan dan ancaman.
2. Pidana atas badan (Al-Uqubah Al-Badaniyyah), yaitu hukuman yang
dikenakan pada bagan manusia seperti hukuman mati atau hukuman dera,
dan lain sebagainya.
3. Pidana atas harta (Al-Uqubah Al-Maliyah), yaitu hukuman yang
dijatuhkan atas harta kekayaan seseorang, seperti diyat, denda, dan
perampasan.
4. Pidana atas kemerdekaan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada
kemerdekaan manusia seperti hukuman pengasingan (Al-Hasb) atau
penjara (Al-Sijn).
2.7 Dampak dari Korupsi
Memang harus diakui bahwa dampak negatif yang ditimbulkan
praktek-praktek KKN itu amat banyak dan sangat merugikan masa depan
suatu bangsa. Robert Klitgaard dalam bukunya Membasmi Korupsi
menyatakan bahwa ada empat dimensi akibat KKN, yaitu :
20

1. Inefisiensi, terjadi pemborosan sumber-sumber, menciptakan keburukan-
keburukan umum dan mengancaukan kebijakan.
2. Distribusi, mengalokasikan kembali sumber-sumber kepada kaum kaya
dan penguasa, kepada militer atau polisi, atau orang-orang yang
mempunyai kekuasaan monopoli.
3. Insentif-insentif, mengacaukan tenaga pegawai dan warga negara ke arah
usaha mencari upaha korupsi yang secara sosial tidak produktif,
menciptakan resiko, mendorong langkah-langkah pencegahan yang tidak
produktif, sehingga investasi menjauhi wilayah-wilayah yang memiliki
korupsi tinggi.
4. Politik, menimbulkan alienasi dan sinisme masyarakatr serta menciptakan
ketidak stabilan masyarakat.

21

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Secara harfiah, korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak
jujuran dan sebagainya. Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun
1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , bahwa yang dimaksud dengan
korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu
korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
2. Korupsi adalah segala tindakan penggunaan uang pelicin oleh seseorang,
meski secara ril tidak merugikan keuangan Negara dan rakyat, akan tetapi
tindakan itu mengakibatkan lumpuhnya penegakan hukum. Di antara
ulama yang keras mengharamkannya adalah Ibnu Taymiah.
3. Kondisi riel masyarakat Indonesia yang sangat rendah mentalitasnya yang
barangkali dapat disebabkan oleh minimnya penghasilan, rendahnya
pengetahuan dan pengamalan agama, sikap tamak dan rakus yang
menghantui setiap anggota masyarakat dan lain-lain sebagainya. Sehingga
terjadinya korupsi.
4. Adapun hukuman untuk koruptor adalah Tazir, dari yang paling ringan
dengan kurungan penjara, lalu memecatnya dari jabatan dan
memasukkannya dalam daftar orang tercela (tasyhir), penyitaan harta
untuk Negara, hingga hukuman mati, sesuai besar kecilnya jumlah yang
dikorupsi dan dampaknya bagi masyarakat.
3.2 Saran
Bagi pembaca agar lebih memahami dan mempelajari bagaimana dampak
dari tindakan korupsi agar bisa menyadari bahwa dampak yang dihasilkan
dari tindakan korupsi itu lebih banyak pada dampak negatifnya. Sehingga,
tidak lagi terjadi korupsi yang semakin merajalela.

You might also like