You are on page 1of 30

1

I. Pendahuluan
Cholelithiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu empedu. Batu
empedu adalah konsentrasi dari cairan empedu yang terbentuk di traktus biliaris,
umumnya di kantong empedu.
gambar 1. Cholelithiasis.




Batu empedu berkembang tanpa gejala, dapat bersifat asimptomatis untuk
bertahun-tahun. Perpindahan dari batu empedu ke pembukaan duktus sistikus
dapat menghalangi jalur keluar dari empedu saat kantung empedu kontraksi. Hal
ini menyebabkan peningkatan tegangan pada dinding kantung empedu,
menyebabkan rasa sakit yang khas (biliary colic). Obstruksi duktus sistikus, jika
berlangsung lebih dari beberapa jam, dapat berujung menjadi peradangan kantung
empedu akut (acute cholecystitis).
Choledocholithiasis mengacu kepada adanya satu atau lebih batu empedu
di common bile duct. Umumnya hal ini terjadi akibat perpindahan batu empedu
dari kantung empedu ke common bile duct.
gambar 2. Common bile duct stone
(choledocholithiasis).




Sebuah batu empedu dapat terbentuk di distal dari ampulla Vater, titik dimana
common bile duct dan duktus pankreatikus bergabung sebelum membuka ke
2

duodenum. Obstruksi dari aliran empedu di titik ini dapat menyebabkan nyeri
abdomen dan ikterus. Empedu yang stagnan diatas batu empedu yang
menghambat saluran empedu dapat menyebabkan empedu yang stagnan tersebut
terinfeksi, dan bakteri dapat menyebar dengan cepat melalui system duktus ke
hepar dan menyebabkan infeksi berat yang disebut ascending cholangitis.
Obstruksi dari duktus pankreatikus oleh batu empedu di ampulla Vater juga dapat
menyebabkan aktivasi dari enzim digestif pankreatik didalam pancreas itu sendiri,
menyebabkan acute pancreatitis.
[1, 2]

Secara kronis, batu empedu di kantung empedu dapat menyebabkan
fibrosis progresif dan hilangnya fungsi kantung empedu, kondisi yang dikenal
dengan chronic cholecystitis. Chronic cholecystitis merupakan predisposisi dari
gallbladder cancer.
Ultrasonography adalah prosedur pilihan untuk diagnostic dasar pada
sebagian besar kasus suspek penyakit empedu atau traktus biliaris (see Workup).
Tata laksana dari batu empedu bergantung kepada tingkat dari penyakitnya.
Batu empedu yang asimptomatis dapat diterapi dengan baik. Jika sudah
simptomatik, intervensi operatif definitive dengan eksisi kantung empedu
(cholecystectomy) umumnya diindikasikan. Cholecystectomy merupakan salah
satu prosedur operatif abdominal yang paling sering dilakukan. Komplikasi dari
penyakit batu empedu membutuhkan manajemen yang khusus untuk meringankan
obstruksi dan infeksi.
II. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu terjadi akibat beberapa substansi dalam cairan
empedu meningkat melewati batas kelarutannya. Saat empedu terkonsentrasi di
kantung empedu, dapat menjadi sangat saturasi dengan substansi ini, yang
kemudian akan berubah bentuk menjadi Kristal mikroskopik. Kristal ini
terperangkap di mucus kantung empeedu, menghasilkan sludge kantung empedu.
Sejalannya waktu Kristal tersebut bertambah besar dan bergabung dengan Kristal
3

lainnya menjadi batu makroskopik. Penghambatan dari saluran empedu oleh batu
ini membentuk komplikasi dari batu empedu. Dua substansi utama yang
mencakup dalam pembentukan batu empedu adalah kolesterol dan kalsium
bilirubin.
2.1 Batu empedu kolesterol
Lebih dari 80% batu empedu di Amerika Serikat mengandung kolesterol
sebagai pembentuk utama. Sel hepar mensekresi kolesterol ke caira empedu
bersama dengan fosfolipid (lesitin) dalam bentuk gelembung membrane (vesikel
unilamellar). Sel hepar juga mensekresi garam empedu, yang merupakan deterjen
kuat yang dibutuhkan untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam diet.
Garam empedu larut di vesikel unilamelar untuk membentuk agregat larut
(mixed micelles). Hal ini terjadi umumnya di kantung empedu, dimana cairan
empedu terkonsentrasi akibat reabsorbsi cairan dan elektrolit.
Dibandingkan dengan vesikel (yang dapat mengikat 1 molekul kolesterol
untuk tiap molekul lesitin), mixd micelles memiliki kapasitas pengikatan
kolesterol yang lebih rendah (1 molekul kolesterol untuk 3 molekul lesitin). Jika
dari awalnya cairan empedu memiliki kadar kolestero yang tinggi, maka saat
cairan empedu terkonsentrasi, disolusi progresif vesikel dapat menyebabkan
lebihnya kapasitas ikat kolesterol dari micelles dan vesikel sisa. Akibatnya cairan
empedu menjadi pekat oleh kolesterol, sehingga Kristal monohidrat kolesterol
dapat terbentuk.
Sehingga factor utama yang menentukan apakah batu empedu kolesterol
akan terbentuk adalah jumlah kolesterol yang disekresi oleh sel hepar dan derajat
konsentrasi dan stasis dari cairan empedu di kantong empedu.

2.2 Batu empedu kalsium, bilirubin dan pigmen
4

Bilirubin, pigmen berwarna kuning yang merupakan derivative dari
pemecahan heme, secara aktif disekresi ke cairan empedu oleh sel hepar.
Kebanyakan dari bilirubin dalam cairan empedu berada dalam bentuk konjugat
glukoronida, yang cukup larut dalam air dan stabil, tapi bilirubin tak terkonjugasi
menyusun sebagian kecil dari komposisinya. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti
asam lemak, fosfat, karbonat dan anion lainnya, cenderung membentuk presipitat
tidak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki cairan empedu secara pasif
bersamaan dengan elektrolit lainnya.
Pada situasi dengan perubahan heme yang tinggi, seperti hemolisis kronik
atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi dapat ada di cairan empedu dengan
konsentrasi yang tinggi. Kalsium bilirubinat kemudian dapat mengkristal dari
campuran tersebut, membentuk batu. Seiring waktu beragam oksidasi dapat
menyebabkan presipitat bilirubin menjadi berwarna hitam pekat, membentuk batu
empedu pigmen hitam yang menyusun sektar 10-20% batu empedu di Amerika
Serikat.
Cairan empedu umumnya steril, namun pada beberapa keadaan (diatas
striktur biliaris misalnya), dapat menjadi tempat kolonisasi bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi, sehingga bilirubin tak terkonjugasi
meningkat sehingga dapat menyebabkan presipitasi dari Kristal kalsium
bilirubinat.
Bakteri juga menghidrolisis lesitin untuk melepaskan asam lemak, yang
mana juga dapat mengikat kalsium dan membentuk presipitat.
2.3 Batu empedu campuran
Batu empedu kolesterol dapat menjadi tempat kolonisasi bakteri dan
menyebabkan peradangan mukosa kantung empedu. Enzim litik dari bakteri dan
leukosit menghidrolisis konjugat bilirubin dan asam lemak, sehingga dapat
terbentuk batu empedu campuran.
5

III. Etiologi
3.1 Batu empedu kolesterol
Batu empedu kolesterol dihubungkan dengan jenis kelamin wanita,
keturunan bangsa Eropa atau Native American, dan usia tua. Faktor resiko yang
lain antaranya adalah obesitas, kehamilan, stasis kantung empedu, obat-obatan
dan herediter.
Sindrom metabolic seperti obesitas sentral, resistensi insulin, DM tipe II,
HT dan hiperlipidemia dihubungkan dengan peningkatan sekresi kolesterol
hepatic, menjadi factor resiko utama untuk perkembangan batu empedu
kolesterol.
Batu empedu kolesterol lebih umum ada wanita dengan kehamilan
multiple. Factor resikonya diduga adalah level progesterone yang tinggi selama
kehamilan. Progesterone menurunkan kontraktilitas kantung empedu, yang dapat
berujung kepada retensi panjang dan meningkatnya konsntrasi cairan empedu di
kantung empedu.
Penyebab lain dari stasis kantung empedu dihubungkan dengan
peningkatan resiko batu empedu antara lain adalah cedera spinalis tinggi, puasa
lama dengan nutrisi parenteral total, dan turunnya berat badan secara drastic yang
dihubungkan dengan pembatasan lemak dan kalori yang tinggi (diet, operasi
gastric bypass, dst.).
Sejumlah pengobatan dihubungkan dengan pembentukan batu empedu
kolesterol. Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau pengobatan kanker
prostat meningkatkan resiko batu empedu kolesterol karena meningkatkan sekresi
kolesterol bilier. Clofibrate dan obat hipolipidemik fibrat lainnya meningkatkan
eliminasi hepatic dari kolesterol via sekresi bilier, meningkatkan resiko batu
empedu kolesterol. Analog somatostatin juga dapat menjadi predisposisi batu
empedu dengan menurunkan aktivitas pengosongan batu empedu.
6

Sekitar 25% predisposisi batu empedu kolesterol bersifat herediter, seperti
dari penelitian terhadap kembar identik dan fraternal. Setidaknya selusin gen
dapat menimbulkan resiko.
[3]

3.2 Batu empedu pigmen hitam dan coklat
Batu empedu pigmen hitam umumnya terjadi pada pasien dengan
pergantian heme yang tinggi. Kelainan hemolisis yang dihubungkan dengan batu
empedu pigmen antara lain sickle cell anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-
thalassemia. Pada cirrhosis, portal hypertension berujung ke splenomegaly. Hal
ini mmenyebabkan sekuestrasi sel darah merah, menuju peningkatan pergantian
hemoglobin. Sekitar setengah dari semua pasien sirosis memiliki batu empedu
pigmen.
Keadaan yang mendukung untuk pembentukan batu empedu pigmen
cokelat antara lain stasis intraduktal dan kolonisasi kronik bakteri di cairan
empedu. Di Amerika Serikat kombinasi ini umumnya ditemukan pada pasien
dengan postsurgical biliary strictures atau choledochal cysts.
Komorbiditas lain
Crohn disease, ileal resection, atau penyakit ileum lainnya menurunkan reabsorpsi
garam empedu dan meningkatkan resiko pembentukan batu empedu.
IV. Epidemiologi
4.1 United States statistics
Di AS, sekitar 20 juta orang (10-20% orang dewasa) memiliki batu
empedu. Tiap tahun 1-3% orang membentuk batu empedu dan sekitar 1-3% orang
menjadi simtomatik. Tiap tahun di AS, sekitar 500,000 orang menunjukkan gejala
atau komplikasi batu empedu yang membutuhkan cholecystectomy. Penyakit batu
empedu menimbulkan sekitar 10,000 kematian per tahun di AS.
7

4.2 International statistics
Sebuah penelitian Swedia menemukan bahwa insidensi batu empedu
adalah 1.39 per 100 person-years.
[5]
Pada penelitian di Italia, 20% wanita memiliki
batu empedu sementara pria 14%.
Prevalensi choledocholithiasis yang secara internasional lebih tinggi
dibandingkan di AS umumnya disebabkan karena masalah tambahan selain
infeksi common bile duct dasar dengan parasit hepar, seperti Clonorchis sinensis.
4.3 Race-, sex-, and age-related demographics
Prevalensi batu empedu paling tinggi pada warga dengan keturunan Eropa
Utara, Hispanik dan Native American.
[6]
Prevalensi batu empedu lebih rendah
pada Asia dan Africa Amerika.
Wanita lebih sering menderita batu empedu kolesterol dibandingkan pria,
khususnya pada usia reproduktif saat insidensi batu empedu pada wanita 2-3 kali
lipat dibandingkan pria. Umumnya disebabkan karena estrogen yang
meningkatkan sekresi kolesterol bilier.
[7]

Resiko menderita batu empedu bertambah seiring dengan usia. Batu
empedu tidaklah umum pada anak tanpa kelainan congenital atau hemolitik. Saat
pubertas konsentrasi kolesterol pada cairan empedu meningkat. Setelah usia 15
tahun, prevalensi batu emepedu pada wanita di AS meningkat sekitar 1% per
tahun; pada pria kurang dari 0,5% per tahun. Batu empedu berlanjut berkembang
seiring usia, dan prevalensinya mencapai puncak pada usia lanjut.
Diantara individu yang menjalani cholecystectomy untuk symptomatic
cholelithiasis, 8-15% pasien dibawah 60 tahun memiliki batu pada common bile
duct, dibandingkan dengan 15-60% pasien diatas 60 tahun.
V. Prognosis
8

Kurang dari setengah pasien dengan batu empedu menjadi simtomatik.
Tingkat mortalitas dari elective cholecystectomy adalah 0.5% dengan morbiditas
dibawah 10%. Tingkat mortalitas dari emergent cholecystectomy adalah 3-5%
dengan morbiditas 30-50%.
VI. Edukasi Pasien
Pasien dengan batu empedu asimtomatik sebaiknya diedukasi untuk
mengenali dan melaporkan gejala dari kolik bilier dan pancreatitis akut. Gejala
alarm termasuk nyeri epigastrik persisten lebih dari 20 menit, khususnya jika
didampingi dengan mual, muntah atau demam.
VII. Anamnesis
Penyakit batu empedu memiliki 4 tahap:
1. Tahap litogenik, dimana kondisi mendukung pembentukan batu
2. Batu empedu asimtomatik
3. Batu empedu simtomatik, ditandai dengan adanya nyeri kolik
4. Kolelitiasis komplikata
1. Batu empedu asimtomatik
Batu empedu dapat berada di kantung empedu selama bertahun-tahun tanpa
menyebabkan tanda dan gejala.

2. Kolik bilier
Kolik bilier terjadi saat batu empedu atau sludge bertekanan dengan
duktus sistikus saat kontraksi kantung empedu. Pada kebanyakan kasus, nyeri
hilang sekitar 30-90 menit karena kantung empedu sedang relaksasi.
9

Episode kolik bilier bersifat sporadic dan tidak dapat ditebak. Pasien
merasa nyeri di epigastrium atau kuadran kanan atas dan umumnya
menggambarkan nyeri yang menjalar sampai ujung kanan skapula (Collins sign
[8]
). Nyeri dimulai postprandial (umumnya dalam sejam setelah makan makanan
berlemak), digambarkan seperti nyeri berat tumpul delama 1-5 jam. Dari onset
nyeri memberat sapai 10-20 menit kemudian perlahan menghilang saat kantung
empedu relaksasi dan batu kembali ke kantung empedu. Nyeri bersifat konstan
dan tidak diringankan dengan emesis, antacid, defekasi, flatus, atau perubahan
posisi. Dapat diiringi dengan diaphoresis, mual dan muntah.
VIII. Pemeriksaan Fisis
Pasien dengan keadaan litogenik atau batu empedu asimtomatik tidak
memiliki penemuan abnormal pada pemeriksaan fisis. Karena kantung empedu
tidak meradang pada kolik bilier non-komplikata, nyerinya difus dan visceral;
pasien memiliki pemeriksaan fisis abdomen yang normal tanpa rebound atau
guarding. Tidak ada demam.
Pada kolesistitis akut, peradangan kantung empedu dengan iritasi
peritoneum mengakibatkan nyeri terlokalisir pada kuadran kanan atas dengan
rebound dan guarding. Walaupun non-spesifik Murphy sign (henti inspirasi pada
palpasi dalam di kuadran kanan atas saat inspirasi dalam) sangat menggambarkan
kolesistitis. Demam umumnya ada, namun dapat muncul setelah tanda dan gejala
lainnya.
Adanya demam, takikardi persisten, hipotensi atau ikterus dapat menjadi
pertanda komplikasi kolelitiasis, termasuk cholecystitis, cholangitis, pancreatitis,
atau penyebab sistemik lainnya. Pada kasus berat dari kolesistitis akut, ascending
cholangitis, atau acute pancreatitis, bising usus umumnya tidak ada atau hipoaktif.
Choledocholithiasis dengan obstruksi common bile duct menghasilkan
ikterus yang bertambah berat seiring dengan akumulasi bilirubin.
10

Charcot triad dari nyeri tekan berat kuadran kanan atas dengan demam dan
ikterus menjadi cirri khas dari ascending cholangitis.
Pancreatitis kantung empedu akut umumnya diciri khaskan dengan nyeri
tekan epigastrik. Pada kasus berat perdarahan retroperitoneal dapat menghasilkan
ekimosis tubuh dan periumbilikus (Cullen sign and Grey-Turner sign).
IX. Komplikasi
1. Komplikasi batu kantung empedu
Kolesistitis akut terjadi saat impaksi batu persisten di duktus sistikus
menyebabkan kantung empedu distensi dan meradang secara progresif. Pasien
mengalami nyeri kolik bilier yang tidak membaik.
Pertumbuhan dari bakteri koloni di kantung empedu kadang terjadi, dan
pada kasus parah terjadi akumulasi pus di kantung empedu atau gallbladder
empyema. Dinding kantung empedu dapat menjadi nekrotik, menghasilkan
perforasi dan abses perikolesistitis. Kolesistitis akut ditimbang sebagai emergensi
operatif walaupun nyeri dan radang berkurang dengan terapi konservatif, seperti
hidrasi dan antibiotik.
Secara kronis batu empedu dapat menyebabkan fibrosis progresif dari
dinding kantung empedu dan hilangnya fungsi kantung empedu, dinamakan
kolesistitis kronik. Pathogenesis dari komplikasi tidak dimengerti secara penuh.
Serangan berulang dari kolesistitis akut dapat memainkan peran, seperti yang
dapat dilakukan oleh iskemi local akibat tekanan batu ke dinding kantung
empedu.
Adenokarsinoma kantung empedu adalah kanker yang tidak umum,
biasanya muncul di keadaan batu empedu dan kolesistitis kronik.. Gallbladder
cancers umumnya menginvasi hepar terdekat dan common bile duct,
menghasilkan ikterus. Prognosis buruk kecuali kankernya terlokalisir di kantung
empedu.
11

2. Komplikasi batu di common bile duct
Batu empedu awalnya tertahan di kantung empedu oleh katup spiral
duktus sisitikus. Episode selanjutnya dari impaksi batu empedu di duktus sistikus,
katup ini bisa menghilang dan batu dapat berpindah ke common bile duct.
Batu di common bile duct bisa asimtomatik, tetapi umumnya, mereka
terimpaksi di distal ampulla Vater. Hal ini dapat menghasilkan kolik bilier yang
tidak dapat dibedakan dari yang menyebabkan batu duktus sistikus. Karena
impaksi dari batu common bile duct menghambat aliran cairan empedu dari hepar
ke usus, tekanan yang meningkat di duktus empedu intrahepatik, menyebabkan
meningkatnya enzm hepar dan ikterus.
Pertumbuhan lebih bakteri di empedu yang stagnan diatas batu common
bile duct menghasilkan peradangan purulen dari hepar dan jaringan bilier, dikenal
sebagi ascending cholangitis. Gambaran khas adalah Charcot triad (demam,
ikterus dan nyeri kuadran kanan atas). Pasien dapat menjadi septic shock, kecuali
sampai obstruksi duktus dihilangkan.
Batu yang impaksi di ampulla Vater dapat menghambat duktus
pankreatikus secara transien, mengakibatkan aktivasi in situ dari protease
pancreas dan menimbulkan serangan pancreatitis akut. Nyeri pancreas berbeda
dengan nyeri bilier. Nyerinya terletak di area epigastrik dan mid-abdominal,
bersifat tajam, berat dan kontinyu serta tembus kebelakang.

3. Komplikasi lainnya
Peradangan dari kolelithiasis kronik dapat menyebabkan penggabungan kantung
empedu ke jaringan bilier extrahepatik, menyebabkan sindroma Mirizzi. Secara
alternative fistula ke GIT dapat terbentuk, menyebabkan ileus batu empedu.
[9]
XII. Pertimbangan Diagnostik
12

Pikirkan bahwa penyakit intra dan extra abdominal dapat menimbulkan keluhan
nyeri abdomen bagian atas, dan kondisi ini dapat bersandingan dengan
kolelitiasis. Penyakit lain yang dapat dipertimbangkan antara lain adalah peptic
ulcer disease, pancreatitis (acute or chronic), hepatitis, dyspepsia,
gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome, esophageal
spasm, pneumonia, cardiac chest pain, and diabetic ketoacidosis.
XIII. Differential Diagnosa
Appendicitis
Bile Duct Strictures
Bile Duct Tumors
Cholangiocarcinoma
Cholecystitis
Gallbladder Cancer
Gastritis and Peptic Ulcer Disease
Gastroenteritis
Pancreatic Cancer
Pancreatitis, Acute
XIV. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Kolelitiasis akibat obstruksi akut pada duktus koledokus awalnya
menimbulkan peningkatan akut kadar enzim-enzim transaminase hepar (alanin
dan aspartat aminotransferase), lalu diikuti oleh peningkatan kadar bilirubin serum
beberapa jam kemudian. Semakin tinggi kadar bilirubin serum maka semakin
tinggi pula kemungkinan terjadinya obstruksi duktus koledokus. Batu duktus
koledokus ditemukan pada sekitar 60% pasien dengan kadar bilirubin serum lebih
dari 3 mg/dL.
13

Jika obstruksi menetap, maka kadar enzim-enzim transaminase akan
menurun secara progresif disertai dengan peningkatan kadar alkaline fosfatase
serta bilirubin serum hingga beberapa hari kemudian. Waktu protrombin (PT)
kemungkinan memanjang pada pasien yang telah mengalami obstruksi duktus
koledokus berkepanjangan, akibat deplesi vitamin K (absorbsi vitamin K di
saluran cerna sangat bergantung pada ketersediaan cairan empedu). Jika pada saat
bersamaan terjadi pula obstruksi ampulla Vater duktus pankreatikus maka kadar
lipase serum dan amilase serum kemungkinan ikut meningkat.
Pemeriksaan yang dilakukan berulang kali dalam beberapa jam hingga
hari memiliki peranan penting dalam evaluasi pasien batu empedu yang telah
berkomplikasi. Perbaikan kadar bilirubin serum dan enzim-enzim transaminase
menunjukkan telah terjadi pelepasan obstruksi secara spontan. Sebaliknya,
peningkatan kadar bilirubin serum dan enzim transaminase disertai leukositosis
progresif sekalipun dengan pemberian antibiotik menunjukkan telah terjadi
kolangitis asendens sehingga membutuhkan intervensi segera. Kultur darah
hasilnya positif pada 30-60% pasien dengan kolangitis.
2. Radiografi Abdomen
Pemeriksaan radiografi abdomen posisi tegak dan supine biasanya cukup
membantu penegakan diagnosis penyakit batu empedu.
Batu empedu berpigmen hitam atau berwarna campuran biasanya
mengandung cukup kalsium sehingga tampak radiopak pada foto polos.
Ditemukannya udara di dalam duktus koledokus pada foto polos menunjukkan
adanya fistel koledokoenterik atau kolangitis asendens akibat mikroorganisme
penghasil gas. Kalsifikasi dinding kandung empedu (disebut juga dengan istilah
kandung empedu porselen) menunjukkan kolesistitis kronik berat.
Peran utama foto polos dalam evalusi pasien dengan kecurigaan
mengalami penyakit batu empedu adalah untuk mengeksklusi penyebab nyeri
abdomen akut lainnya seperti obstruksi usus, perforasi viseral, batu ginjal, atau
14

pankreatitis kalsifikasi kronik. Silahkan lihat gambar kolelithiasis untuk
memperoleh informasi yang lebih lengkap.
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi merupakan prosedur pemeriksaan pilihan untuk pasien-
pasien yang dicurigai mengalami gangguan pada kandung empedu atau duktus
koledokus; pemeriksaan ini memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi, non invasif,
dan murah dalam mendeteksi batu empedu. Tambahan lagi, pemeriksaan ini
sederhana, cepat dan aman bagi wanita hamil, dan tidak memaparkan pasien
material kontras intravena dan radiasi yang berbahaya. Keunggulan lainnya adalah
dapat dilakukan oleh dokter terlatih di tempat tidur pasien sendiri. American
College of Radiology (ACR) dalam kriteria kelayakan (appropriateness criteria)
nyeri kuadran kanan atas, dipublikasi tahun 2010, mendukung kesimpulan
tersebut.
Sensitivitasnya bervariasi dan bergantung pada kemahiran operator,
tetapi secara umum, pemeriksaan ultrasonografi memiliki sensitifitas dan
spesifitas tinggi jika ukuran batu empedu lebih dari 2 mm. Mikrolithiasis atau
endapan bilier berukuran lebih kecil.
Pemeriksaan ultrasonografi sangat berperan dalam upaya penegakan
diagnosis kolesistitis akut tanpa komplikasi. Gambaran ultrasonografi kolesistitits
akut meliputi penebalan dinding kandung empedu (>5 mm), adanya cairan
perikolekistik, distensi kandung empedu (>5 cm), dan adanya Murphy sign.
Semakin banyak kriteria terpenuhi, semakin tinggi pula keakuratan diagnosis.
Batu empedu tampak sebagai fokus echogenik di dalam kandung
empedu. Batu tersebut bergerak dengan bebas pada perubahan posisi dan
menimbulkan bayangan akustik (acoustic shadow). Lihat gambar di bawah ini.
15


Gambar 3. Kolesistitis dan batu empedu berukuran kecil pada leher
kandung empedu. Bayangan akustik klasik tampak di bawah batu. Dinding
kadung empedu memiliki ketebalan lebih dari 4 mm (gambar dikutip atas seizin
DT Schwarts).
Ultrasonografi juga membantu penegakan diagnosis kasus-kasus yang
dicurigai kolesistitis akut dengan mengeksklusi abses hepar dan proses parenkim
hepar lainnya.
Jika kandung empedu terisi penuh oleh batu empedu maka batu tersebut
tidak akan tampak pada gambaran ultrasonografi. Sebagai gantinya, akan tampak
garis echogenik ganda yang terletak berdampingan (satu garis merupakan dinding
kandung empedu dan garis lainnya berasal dari batu) disertai bayangan akustik
(lihat gambar di bawah ini).
16


Gambar 4. Tanda WES (wall echogenic shadow, bayangan echogenik
dinding kandung empedu), aksis kandung empedu yang panjang. Anak panah
menunjuk dinding kandung empedu. Garis hiperechoik kedua merupakan batu
empedu yang bergerombol. Tampak bayangan akustik (acoustic shadow, AS).
Duktus koledokus juga tampak tepat di atas vena porta (portal vein, PV) (gambar
dikutip atas seizin Stephen Menlove).

Gambar 5. Tanda WES, tampilan kandung empedu dengan aksis pendek
(gambar dikutip atas seizin Stephen Menlove).
Batu duktus koledokus seringkali tidak ditemukan melalui ultrasonografi
transabdominal (sensitifitas, 15-40%). Deteksi batu di duktus dikaburkan oleh
adanya udara di dalam duodenum, kurvatur duktus memantulkan dan membiaskan
17

gelombang suara, dan lokasi duktus tidak terjangkau oleh titik fokus transduscer
yang optimal.
Pada sisi lain, dilatasi duktus koledokus pada gambaran ultrasonografi
secara tidak langsung menunjukkan adanya obstruksi duktus koledokus. Dilatasi
duktus koledokus dapat dikenali dengan tepat, akurasi diatas 90%. Walaupun
demikian, tampilan tersebut seringkali tidak ditemukan jika onset obstruksi masih
baru. Tingkat ketepatan temuan ultrasonografi sebagai prediktor adanya batu
duktus koledokus maksimal 15-20%. Silahkan lihat gambar kolelithiasis untuk
memperoleh informasi selengkapnya.
Ultrasonografi Endoskopik
Pemeriksaan ultrasonografi endoskopik (endoscopic ultrasound, EUS)
merupakan salah satu teknik akurat dan relatif minimal invasif untuk
mengidentifikasi batu pada bagian distal duktus koledokus. Sensitivitas dan
spesifitas deteksinya dilaporkan bervariasi dari 85-100%.
Ultrasonografi Laparoskopik
Pemeriksaan ultrasonografi laparoskopik cukup menjanjikan sebagai
metode pencitraan primer pada duktus koledokus selama operasi kolesistektomi
berlangsung. Yao et al. mampu mengavaluasi duktus koledokus menggunakan
ultrasonografi laparoskopik selama operasi kolesistektomi laparoskopik pada 111
dari 115 pasien (97,4%) yang mengalami kolelithiasis.
Pada periode perioperatif, pasien yang dianggap kemungkinan kecil
mengalami batu empedu ternyata tingkat kejadian batu ditemukan 7%; mereka
yang semula dianggap kemungkinannya sedang ternyata ditemukan 36,4%; dan
mereka dengan kecurigaan paling besar memiliki tingkat kejadian batu 78,9%.
Peneliti menyarankan bahwa dengan semakin bertambahnya pengalaman
operator menggunakan ultrasonografi laparoskopik maka metode tersebut dapat
dijaadikan pemeriksaan rutin untuk menilai saluran empedu selama operasi
kolesistektomi laparoskopik. Sebagai tambahan, Yao et al. menyarankan
18

dilakukannnya evaluasi duktus koledokus preoperatif agresif bagi mereka yang
dicurigai memiliki resiko sedang sampai berat menderita koledokolithiasis.
4. CT Scan
Pemeriksaan CT scan lebih mahal dan tidak terlalu sensitif dibanding
ultrasonografi dalam pendeteksian batu empedu. CT scan seringkali diminta pada
kasus nyeri abdomen, sebab memberikan gambaran organ-organ abdomen yang
lebih jelas. Pada kasus batu empedu yang terletak di duktus koledokus bagian
distal, CT scan memberikan hasil yang lebih baik dibanding ultrasonografi.
Batu empedu seringkali ditemukan secara tidak sengaja pada CT scan.
Gambaran CT scan untuk kolesititis akut menyerupai gambaran ultrasonografi.
Walaupun bukan sebagai pilihan pemeriksaan awal pada kasus kolik bilier, CT
scan dapat digunakan dalam membantu upaya penegakan diagnosis serta upaya
mengenali karakteristik komplikasi penyakit kandung empedu lebih lanjut. CT
scan juga berguna khususnya untuk mendeteksi batu intrahepatik atau kolangitis
piogenik rekuren. Silahkan lihat gambar kolelithiasis untuk memperoleh informasi
selengkapnya.
5. MRI
Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kolangipankreatografi resonansi
magnetik (magnetik resonance cholangiopancreatography, MRCP) telah dikenal
luas sebagai modalitas pencitraan unggulan yang nonivasif dalam mendeteksi batu
kandung empedu di mana pun lokasinya di dalam saluran empedu, termasuk
duktus koledokus (lihat gambar di bawah ini). Oleh karena pertimbangan biaya
dan kebutuhan peralatan serta perangkat lunak yang canggih maka pemeriksaan
ini hanya dilakukan pada kasus kecurigaan koledokolithiasis. Pedoman ACR 2010
merekomendasikan MRI sebagai pemeriksaan radiologis sekunder jika melalui
kolesistitis akut atau batu empedu sulit terdiagnosis melalaui gambaran
ultrasonografi.
19


Gambar. Pemeriksaan MRCP menunjukkan 5 batu empedu di duktus
koledokus (panah). Pada gambar ini, duktus koledokus berwarna putih; batu
tampak sebagai filling defect berwarna gelap. Gambaran yang sama dapat
diperoleh dari foto polos setelah injeksi material radiokontras di duktus
koledokus, baik secara endoskopis (kolangiografi retrograde endoskopik) atau
secara perkutaneus dibawah tuntunan flouroskopi (kolangiografi transhepatik
perkutaneus), tetapi kedua pendekatan tersebut jauh lebih invasif. Silahkan lihat
gambar kolelithiasis untuk memperoleh informasi selengkapnya.
6. Skintigrafi
Skintigrafi asam hepatoiminodiasetik (hepatoiminodiacetic acid, HIDA)
Technesium 99-m (
99m
Tc) seringkali digunakan untuk menyingkirkan beragam
diferensial diagnosis kasus nyeri abdomen akut. Skintigrafi memberikan informasi
terbatas seputar kolelitihiasis tanpa obstruksi dan tidak dapat mendeteksi kelainan
patologi lainnya, tetapi pemeriksaan tersebut sangat akurat dalam mendeteksi
obstruksi duktus sistikus .
Normalnya, HIDA diserap oleh hepar lalu dieksresi bersama empedu
sehingga mengisi kandung empedu dan dapat dideteksi menggunakan kamera
sinar gamma. Kegagalan HIDA memenuhi kandung empedu dan mengalir
memasuki duodenum menunjukkan adanya obstruksi duktus sistikus. Kandung
20

empedu yang tidak tervisualisasi melalui HIDA scan pada pasien dengan nyeri
abdomen mendukung diagnosis kolesistitis akut.
Sebuah metanalisis yang dilakukan oleh Mahid et al. menemukan bahwa
pasien tanpa batu empedu yang mengalami nyeri di kuadran kanan atas dan hasil
HIDA scan positif cenderung mengalami perbaikan gejala jika dilakukan operasi
kolesistektomi dibanding terapi konservatif.
7. Kolangipankreatografi Retrograde Endoskopik
Kolangiopankreatografi retrograde endoskopik (endoscopic retrograde
cholangiopancreatography, ERCP) memungkinkan pemeriksaan bagian dalam
saluran empedu. Pada prosedur ini, sebuah endoskop dimasukkan ke duodenum
hingga mencapai papilla Vater. Kontras cair radiopak diinjeksi ke dalam duktus
bilier, sehingga gambaran kontras sangat jelas pada pemeriksaan radiologis. Batu
di seluran empedu tampak sebagai filling defect di tengah-tengah duktus yang
opak. Akhir-akhir ini, ERCP biasanya dilakukan bersamaan dengan spinkterotomi
retrograde dan ekstraksi batu empedu secara endoskopik.
8. Kolangiografi Transhepatik Perkutaneus
Kolangiografi transhepatik perkutaneus (percutaneus transhepatik
cholangigraphy, PTC) merupakan modalitas pilihan pada pasien yang sulit
menjalani pemeriksan ERCP (misalnya ada riwayat operasi gaster sebelumnya
atau lokasi batu empedu di sebelah distal duktus koledokus), tidak adanya ahli
endoskopi berpengalaman, dan pada pasien dengan penyakit batu intrahepatik
ekstensif dan kolangihepatitis. Jarum berdiameter besar dimasukkan perkutaneus
dan mencapai duktus intrahepatik secara transhepatik, lalu dilakukan kolangigrafi.
Sebuah kateter dapat dipasang pada saluran empedu dengan bantuan kawat
penuntun.
Koagulapati tidak terkoreksi merupakan kontraindikasi dilakukannya
PTC, dan ukuran duktus intrahepatik yang normal turut mempersulit prosedur.
Antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk menurunkan resiko kolangitis.
21

XV. PENATALAKSANAAN
1. Pertimbangan Pendekatan
Penatalaksanaan batu empedu bergantung pada stadium penyakit.
Idealnya, intervensi dilakukan pada stadium litogenik dapat mencegah
pembentukan batu, walaupun akhir-akhir ini pendapat tersebut penerapannya
terbatas pada keadaan-keadaan tertentu. Batu empedu yang tidak menimbulkan
gejala dapat ditunda penanganannya.
Sekali batu empedu menimbulkan gejala, maka intervensi bedah definitif
dengan metode kolesistektomi biasanya dianjurkan, meskipun dalam beberapa
kasus dapat dipertimbangan disolusi secara farmakologis. Pada pasien
kolelithiasis tanpa komplikasi yang mengalami kolik bilier, maka pemberian obat-
obatan merupakan alternatif tindakan kolesistektomi pada pasien tertentu,
khususnya yang beresiko tinggi menjalani pembedahan. Tatalaksana dengan obat-
obatan selain kontrol nyeri tidak diberikan pada tahap awal pasien masuk unit
emergensi.
Terapi medis untuk batu empedu dapat diberikan sendiri-sendiri atau
kombinasi, meliputi:
Terapi garam empedu oral (asam ursodeoksiholik)
Dissolusi kontak
Litotripsi gelombang kejut ektrakorporeal (extracorporeal shockwave
lithotripsy)
Tatalaksana medis lebih efektif pada pasien dengan fungsi kandung
empedu normal yang memiliki batu berukuran kecil (<1 cm) yang dominan
mengandung kolesterol. Terapi garam empedu dibutuhkan selama lebih dari enam
bulan dan angka keberhasilannya kurang dari 50%.


22

2. Tatalaksana Batu Empedu Asimptomatis
Tindakan operasi pada pasien batu empedu asimptomatis tanpa
komplikasi penyakit medis sangat tidak dianjurkan. Resiko komplikasi akibat
tindakan jauh lebih tinggi dibanding resiko akibat penyakit yang bergejala. Sekitar
25% pasien batu empedu asimptomatis akan mengalami gejala dalam 10 tahun.
Pasien dengan diabetes melitus dan wanita hamil harus di-follow up
secara berkala untuk menentukan apakah pasien telah menderita gejala atau justru
telah mengalami komplikasi..
Walaupun demikian, kolesistektomi pada pasien batu empedu
asimptomatis diindikasikan pada pasien-pasien sebagai berikut:
Pasien dengan batu empedu yang berdiameter lebih dari 2 cm.
Pasien dengan kandung empedu porselen atau non fungsional yang diamati
melalui pemeriksaan radiologis dan beresiko mengalami karsinoma kandung
empedu.
Pasien yang mengalami cedera medulla spinalis atau neuropati sensoris yang
mengenai abdomen
Pasien yang menderita anemia sel sabit sehingga sulit membedakan antara
krisis nyeri (akibat anemia sel sabit) dengan kolesistitis.
Pasien yang beresiko mengalami komplikasi akibat batu empedu dapat
ditawari kolesistektomi elektif, termasuk jika mereka mengalami batu empedu
asimptomatis. Kelompok ini meliputi kondisi dan demografis berikut ini:
Sirosis
Hipertensi portal
Anak-anak
Kandidat transplantasi
Diabetes dengan gejala minor
23

Pasien dengan kandung empedu porselen sebaiknya menjalani
kolesistektomi elektif sebab meningkatkan resiko karsinoma (25%). Rujukan ke
dokter bedah untuk operasi pengangkatan batu empedu merupakan prosedur rawat
jalan.
Disolusi Batu Empedu Secara Medis
Asam ursodeoksiholik (ursodiol) merupakan obat disolutif batu
empedu. Pada manusia, pemberian obat tersebut dalam jangka panjang dapat
menurunan kejenuhan kolesterol pada cairan empedu, baik dengan cara
menurunkan sekresi kolesterol hepar atau dengan menurunkan efek deterjen pada
garam empedu (sehingga vesikel yang memiliki kapasitas pengangkutan
kolesterol yang tinggi tetap terpelihara). Desaturasi cairan empedu mencegah
pembentukan kristal sekaligus membantu pemecahan kolesterol dari batu secara
gradual.
Pada pasien dengan batu empedu yang mengandung kolesterol, asam
urodeoksiholik yang diberikan dengan dosis 8-10 mg/kg/hari per oral dalam dua
hingga tiga kali pemberian sehari, dapat melarutkan batu empedu secara perlahan-
lahan. Intervensi ini biasanya membutuhkan waktu 6-18 bulan dengan angka
keberhasilan yang tinggi hanya pada batu empedu berukuran kecil dan
mengandung kolesterol murni. Pasien masih beresiko mengalami komplikasi batu
empedu hingga disolusi berlangsung komplit. Angka rekurensinya sekitar 50%
dalam 5 tahun. Lebih dari itu, setelah penghentian terapi pada umumnya pasien
kembali mengalami batu empedu setelah 5-20 tahun.
3. Tatalaksana Batu Empedu Simptomatis
Pada pasien yang mengalami batu empedu simptomatis, perlu
dipertimbangkan intervensi bedah dan non bedah; setelah tertangani di unit gawat
darurat, dokter harus mengembalikan pasien ke dokter keluarga serta dokter
bedahnya untuk menjalani follow up.

24

Kolesistektomi
Operasi pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya
diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala dan komplikasi akibat batu
empedu, kecuali pasien usia lanjut atau mengalami gangguan kesehatan secara
umum maka tindakan operasi sebaiknya dihindari. Dalam beberapa kasus epiema
kandung empedu, drainase pus dari kandung empedu secara temporer (sementara)
biasanya dilakukan terlebih dahulu untuk menciptakan kestabilan sebelum
kolesistektomi dijadwalkan elektif.
Pada pasien batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu saluran
empedu, dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada saat
operasi kolesistektomi. Duktus koledokus dapat dieksplorasi menggunakan
koledokoskop. Jika batu pada duktus koledokus ditemukan, dokter bedah dapat
mengangkatnya sat itu juga. Sebagai alternatif, dokter bedah dapat membuat fistel
antara bagian distal saluran empedu dengan duodenum di dekatnya
(koledokoduodenostomi) sehingga batu empedu dapat memasuki duodenum
dengan aman.
Kolesistektomi Terbuka Versus Laparoskopik
Kolesistektomi pertama kali dilakukan pada tahun 1800an. Pendekatan
terbuka yang dirintis pertama kali oleh Langenbuch masih digunakan sampai
akhir tahun 1980an, ketika kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan pelopor revolusi operasi invasif minimal
yang selanjutnya berdampak pada semua praktek bedah modern. Akhir-akhir ini,
kolesistektomi terbuka masih dilakukan pada kondisi tertentu.
Pendekatan kolesistektomi terbuka yang bersifat tradisional menyisakan
luka insisi yang berukuran besar daerah subkosta. Sebaliknya, dengan teknik
laparoskopik, hanya diperlukan 4 insisi kecil. Waktu penyembuhan dan nyeri
pasca operasi sangat rendah pada operasi laparoskopik.
25

Sekarang, kolesistektomi laparoskopik semakin sering dilakukan pada
pasien rawat jalan. Dengan mengurangi masa perawatan dan waktu yang
terbuang, maka teknik laparoskopik juga memperkecil biaya kolesistektomi.
Dalam pedoman aplikasi klinis bedah traktus bilier secara laparoskopik
tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons
(SAGES) menetapkan bahwa pasien dengan kolelithiasis simptomatis memenuhi
syarat menjalani operasi laparoskopik. Pasien kolelithiasis yang menjalani operasi
kolesistektomi laparoskopik yang tidak mengalami komplikasi dapat dipulangkan
pada hari yang sama jika nyeri dan nausea sudha terkontrol. Pasien yang berusia
lebih dari 50 tahun beresiko lebih tinggi menjalani perawatan ulang.
Selama kolesistektomi laparoskopik dilakukan, ahli bedah harus
mengambil semua batu yang kemungkinan lolos melalui kandung empedu yang
perforasi. Konversi tindakan ke kolesistektomi terbuka diperlukan pada beberapa
keadaan.
Pada pasien yang batu empedunya lolos mencapai kavum peritoneum,
berdasarkan rekomendasi terakhir dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
ultrasonografi rutin sampai 12 bulan. Pada umumnya komplikasi (biasanya berupa
abses di sekeliling batu) terjadi dalam rentang waktu tersebut.
Komplikasi kolesistektomi yang paling menakutkan serta menimbulkan
morbiditas tingg adalah kerusakan duktus koledokus. Cedera pada duktus
koledokus meningkat seiring dengan semakin luasnya penggunaan laparoskopi,
tetapi insidens komplikasi tersebut juga semakin menurun bila dilakukan oleh ahli
yang terlatih dan berpengalaman.
Kolangiografi rutin peranannnya kecil dalam mencegah cedera duktus
koledokus. Walaupun demikian, dalam beberapa kasus terbukti bahwa
pemeriksaan tersebut membantu deteksi cedera duktus koledokus intraoperatif.


26

Kolesistostomi
Pada pasien sakit berat yang mengalami epiema kandung empedu dan
sepsis, kolesistektomi merupakan tindakan yang berbahaya. Pada kasus ini, dokter
bedah dapat melakukan kolesistostomi, sebuah prosedur minimal invasif dengan
menempatkan pipa drainase ke dalam kandung empedu. Tindakan ini biasnaya
memperbaiki gejala klinis pasien. Ketika pasien stabil, maka kolesistektomi
definitif dapat dilakukan secara elektif.
Kolesistostomi juga dapat dilakukan pada beberapa kasus dengan
teknik radiologis invasif dibawah tuntunan CT scan. Pendekatan ini tidak
membutuhkan tindakan anestesia dan khususnya dilakukan pada pasien yang tidak
stabil secara klinis.
Spinkterotomi Endoskopik
Jika operasi pengangkatan duktus koledokus tidak dapat dilakukan
segera, maka dapat dipertimbangkan spinkterotomi retrograde endoskopik.
Melalui prosedur ini, kanul endoskop dimasukkan kedalam duktus bilier
melewati papilla Vater. Dengan elektrokauterisasi dilakukan spinkterotomi,
endoskopis membuat insisi sekitar 1 cm melewati spinkter Oddi dan bagian
intraduodenal dari duktus koledokus, sehingga tercipta lubang yang
memungkinkan batu dapat diekstraksi dengan mudah.
Spinkterotomi retrograde endoskopik sangat berguna khususnya pada
pasien yang mengalami sakit berat disertai kolangitis asendens akibat impaksi
batu empedu di ampulla Vater. Indikasi lain prosedur tersebut sebagai berikut:
Pengangkatan batu duktus koledokus yang tersisa setelah operasi
kolesistektomi.
Pembersihan batu duktus koledokus preoperatif agar eksplorasi intraoperatif
tidak diperlukan lagi, khususnya pada situasi dimana keahlian laparoskopik
dokter bedah masih terbatas atau resiko anestesi yang berbahaya.
27

Mencegah rekurensi pankreatitis batu empedu akut atau komplikasi
koledokolitiasis pada pasien sakit berat yang akan menjalani operasi
kolesistektomi elektif atau bagi pasien yang prognosisnya buruk dalam jangka
panjang.
Spinkterotomi endoskopik intraoperatif (intraoperative endoscopic
sphincterotomy, IOES) selama kolesistektomi laparoskopik disarankan sebagai
tatalaksana alternatif spinkterotomi endoskopik preoperatif (POES) diikuti oleh
kolesistektomi laparoskopik, sebab keamanan dan keefektifan IOES dan POES
sama dan hasilnya adalah lama perawatan yang lebih singkat.
XVI. Pencegahan
Terapi asam ursodeoksiholik dapat mencegah pembentukan batu. Hal
ini berhasil dibuktikan dalam penurunan berat badan yang pesat melalui diet
rendah kalori dan bedah bariatrik yang dikaitkan dengan peningkatan resiko
pembetukan batu empedu baru yang mengandung kolesterol (20-30% dalam
empat bulan). Pemberian asam ursodeoksiholik dosis 600 mg per hari selama 16
minggu menurunkan insidens batu empedu sekitar 80% pada kelompok tersebut.
Sangat dianjurkan mengubah diet terutama asupan lemak, hal ini dapat
menurunkan insidens serangan kolik bilier. Walaupun demikian, belum ada bukti
bahwa diet menyebabkan disolusi batu.
1. Diet dan Aktivitas
Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa komposisi diet
mempengaruhi riwayat alamiah penyakit batu empedu pada manusia. Pasien
obese yang ikut serta dalam program penurunan berat badan agresif atau
menjalani operasi bariatrik justru beresiko mengalami penyakti batu empedu;
profilaksis jangka pendek dengan asam ursodeoksiholik dapat dipertimbangkan.
Olahraga rutin terbukti dapat menurunkan frekuensi operasi
kolesistektomi ulang.
28

2. Konsultasi
Pasien yang telah berulang kali mengalami kolik khas bilier atau
komplikasi batu empedu harus dirujuk ke ahli bedah umum yang berpengalaman
dalam bidang kolesistektomi laparoskopik. Jika gejala tidak khas, maka
diperlukan konsultasi dengan ahli gastroenterohepatologi. Ahli
gastroenterohepatologi spesialisasi endoskopi harus dihubungi jika operasi
spinkterotomi retrograde diperlukan.
3. Pengawasan Jangka Panjang
Setelah menjalani kolesistektomi, sekitar 5-10% pasien akan
mengalami diare kronis. Hal ini terjadi akibat kandungan garam empedu.
Frekuensi sirkulasi enterohepatik garam empedu meningkat setelah kandung
empedu diangkat, akibatnya semakin banyak garam empedu yang mencapai
kolon. Di kolon, garam empedu menstimulasi mukosa mensekresi garam dan air.
Pasca kolesistektomi diare yang timbul umumnya bersifat ringan dan
dapt ditangani dengan pemberian obat-oabt anti diare misalnya loperamid.
Semakin sering diare terjadi maka pengobatan dapat diganti dengan resin pengikat
garam empedu (misalnya kolestipol, kolestiramin, colesevelam).
Setelah kolesistektomi, beberapa individu juga bisa saja mengalami
nyeri rekuren menyerupai kolik bilier. Istilah sindrom pasca kolesistektomi
seringkali digunakan untuk menamai kondisi tersebut.
Banyak pasien yang mengalami sindrom pasca kolesistektomi memang
memiliki riwayat gangguan motilitas spinkter Oddi, yang disebut diskinesi bilier,
dimana spinkter gagal berelaksasi secara normal setelah ingesti makanan.
Diagnosis dapat ditegakkan pada sentra spesialistik melalui pemeriksaan
manometri bilier endoskopik. Pada kasus diskinesia bilier, spinkterotomi
retrograde endoskopik biasanya efektif dalam meringankan gejala.
4. Ringkasan Medikasi
29

Disolusi batu empedu secara medikamentosa dapat diupayakan dengan
pemberian ursodiol.


Obat Disolutif Batu Empedu
Ringkasan
Obat ini menekan sintesis dan sekresi kolesterol, serta menghambat
absorbsi kolestrol di usus. Ursodiol merupakan jenis obat yang paling sering
digunakan. Obat tersebut melarutkan kolesterol menjadi misel dan bertindak
mendispersi kolesterol dalam media pelarutnya.
Ursodiol (Actigall, URSO, URSO forte) diindikasikan pada pasien batu
empedu dengan gambaran batu non kalsifikasi radiolusen berdiameter kurang dari
20 mm yang tidak memungkinkan atau menolak operasi kolesistektomi. Ursodiol
menekan sintesis dan sekresi kolesterol, serta menghambat absorbsi kolesterol di
usus. Obat ini juga memiliki efek inhibisi yang lemah terhadap sintesis dan
sekresi asam empedu endogen dan tidak mempengaruhi sekresi fofolipid ke dalam
cairan empedu. Setelah pemberian dosis berulang, kadar obat menjaga konsentrasi
cairan empedu selama sekitar 3 minggu. Kolesterol tidak larut dalam media
berbahan dasar air, tetapi dapat dilarutkan melalui dua mekanisme oleh asam
empedu dehidroksil. Sebagai tambahan, untuk mengurai kolesterol menjadi misel,
ursodiol bertindak mendispersi kolesterol sebagai kristal cair di media berbahan
dasar air. Keseluruhan efek ursodiol adalah meningkatkan konsentrasi dimana
kejenuhan kolesterol terjadi.
Beragam aksi ursodiol berkombinasi untuk mengubah cairan empedu
pasien dengan batu empedu dari presipitat kolesterol menjadi kolesterol yang
mudah dilarutkan sehingga disolusi batu dapat berlangsung.

30

You might also like