Elita Ratna Nirmala 1206212930 Fadiyah Almas 1206245475 Nurul Oktaviani 1206212994 Review Policy Formulations: Design and Tools Policy Formulation merupakan bagian pra-pengambilan keputusan dari fase pembuatan kebijakan yang mencakup pengidentifikasian dan / atau penyusunan seperangkat kebijakan alternatif untuk mengatasi sebuah masalah dan mempersempit rangkaian solusi untuk persiapan keputusan kebijakan akhir. Dalam perumusan kebijakan membutuhkan pertanyaan apa seperti apa rencana untuk mengatasi sebuah masalah? Apa tujuan dan prioritas? Apa pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan? Apa saja biaya dan benefit dari masing-masing pilihan? Apa eksternalitas positif dan negatif yang berhubungan dengan masing-masing alternatif? Pendekatan perumusan kebijakan tersebut, melekat pada tahap proses kebijakan, yang berasumsi bahwa partisipan di dalam proses kebijakan sudah mengakui dan menentukan sebuah masalah kebijakan, dan memindahkannya ke dalam agenda kebijakan. Hal ini melibatkan penyusunan legalisasi dan regulasi bahasa untuk setiap alternatif yang menggambarkan tools (misalnya, sanksi, hibah, larangan, aturan, dsb) dan mengartikulasikan untuk siapa atau untuk apa mereka berlaku dan efek apa yang akan mereka berikan. Memilih seperangkat solusi yang mana pengambil keputusan benar-benar akan memilih dan menerapkan seperangkat kriteria sebagai alternative misalnya menilai kelayakan mereka, penerimaan politik, biaya, benefit, dan semacamnya. Policy Formulation jelas merupakan fase kritis dari proses kebijakan. Nantinya perumusan kebijakan juga merancang alternatif-alternatif yang akan dipertimbangkan oleh pengambil keputusan secara langsung dan pengaruhnya pada pilihan kebijakan utama. Proses ini secara bersamaan juga dapat menyampaikan dan mengalokasikan kekuasaan diantara kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Scholars pada perumusan kebijakan memerlukan berbagai masalah untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana aktor-aktor membuat alternatif-alternatif, menentukan cara apa yang akan digunakan, meneliti bagaimana dan mengapa alternatif kebijakan tertentu yang dapat tetap aktif dalam agenda keputusan. Scholars juga mempertimbangkan berbagai kepentingan yang terlibat dan keseimbangan kekuasaan yang dipegang oleh partisipan, ide-ide dominan dan nilai-nilai dari partisipan tersebut, struktur kelembagaan proses penetapan-alternatif, luasnya lagi seperti sejarah, politik, sosial, dan konteks ekonomi. Approaches to policy formulation Secara umum literatur yang berfokus pada formulasi kebijakan merujuk pada konsep desain kebijakan. Desain kebijakan muncul sebagai respon dari studi implementasi pada tahun 1970an dimana sistem birokrasi bertanggung jawab pada kegagalan kebijakan. Pada teori perumusan kebijakan disebutkan bahwa scholars seharusnya melihat kembali ke belakang untuk dapat memahami mengapa kebijakan dapat berhasil atau gagal, sebab proses formulasi kebijakan asli, dan perumusan kebijakan itu sendiri telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi outcome dari implementasi. Rasionalitas terikat (bounded rationality) terjadi karena adanya batasan pemikiran manusia serta batasan dari pengetahuan tentang dunia sosial yang menyebabkan para pembuat kebijakan untuk fokus pada beberapa aspek saja dari sebuah permasalahan dengan mengorbankan aspek yang lain. Riset pada formulasi kebijakan dilakukan untuk melihat dan memahami konteks seperti apa pembuat kebijakan harus bertindak dan mengidentifikasi permasalahan yang menjadi perhatian. Policy formulation melibatkan berbagai kalangan pada proses dialog pembuatan kebijkan termasuk di dalamya turut serta kelompok marjinal. Formulasi kebijakan mengedepankan rasionalitas sehingga membatasi hal-hal yang dianggap tidak beraturan pada prosesnya dan mengedepankan konteks yang saat itu terjadi dan menjadi perhatian para pembuat kebijakan. Para pembuat kebijakan ini menganalisis alternatif kebijakan yang seperti apa yang mampu mengatasi permasalahan yang ada yang mana kebijakan ini bersifat inovatif dan berbeda dengan praktek yang ada. Scholars memanfaatkan teori institusional yang menyarankan hukum, konstitusi dan organisasi dari proses politik untuk menyalurkan perilaku politik dan pilihannya. Artinya institusi akan membentuk preferensi pilihan dan strategi aktor. Dalam hal politik, para aktor bersaing untuk membuat pengartian dan makna sebanyak mungkin agar dapat memenangkan suara. Nantinya ide tentang kemungkinan yang akan terjadi, intrepretasi peradilan yang dominan, gagasan tentang kelompok yang terkena dampak kebijakan, semuanya akan memainkan peran dalam membentuk alternatif kebijakan. Dinamika dan tantangan diperlukan dalam proses policy design untuk mengembangkan ide-ide dari kelompok kepentingan. Misalnya ketika banyak kelompok kepentingan yang mengambil bagian aktif dalam mendefinisikan masalah dan mengusulkan alternatif pastinya akan banyak ide-ide yang bertentangan. Tantangannya ialah ketika proses itu berlangsung bagaimana menemukan solusi atau penyelesaian yang dapat diterima semua pihak (participants) dan mencapai hasil yang diinginkan. Namun, ternyata ketika suatu keseimbangan persaingan kepentingan sudah dapat tercapai belum tentu beriringan dengan tercapainya hasil yang optimal. Jadi sebenarnya yang terpenting bukan kebijakan yang dapat diterima semua pihak yang berkepentingan saja tapi juga penting untuk menemukan cara bagaimana dapat mencapa hasil yang optimal. Dalam proses policy design terdapat interaksi antara level of design dengan lokus design untuk membentuk resep kebijakan. Misalnya antara legislative setting dan bureaucratic setting yang masing-masing membawa kepiawaiannya dalam proses tersebut. Legislatif setting membutuhkan keahlian kompromi antara pendapat-pendapat yang berbeda yang kadang mengarah kepada perluasan dan pengaburan konten. Pada Bureaucratic setting terdapat keahlian teknis dan ilmiah untuk dibawa pada proses policy design. Approaches to policy tools Literatur kebijakan kini berfokus pada policy tools. Menurut Bardach dalam lampiran things governments do terdapat 8 step kerangka analisis kebijakan yaitu describing taxes, regulation, grants (hibah), services, budgets, information, rights (hak), dan policy tools lainnya. Riset pada policy tools juga melihat konsekuensi politik dari penggunaan alat-tertentu asumsi-asumsi mengenai permasalahan, individu-individu dan perilaku. Dalam pemilihan alat tersebut yang dipertaruhkan bukan hanya cara yang paling efisien dalam menyelesaikan masalah publik melainkan juga pengaruh dari kelompok-kelompok kepentingan. Tools pun juga membutuhkan seperangkat keterampilan manajemen dan pengetahuan yang khas, pilihan tools ini secara pasti memengaruhi lingkungan dari manajemen publik. Policy Design Beyond The Stages Model Kerangka yang diungkapkan oleh Schneider dan Ingram merupakan kerangka dengan proses berulang-ulang. Tahapan diskresi dari pembuatan public policy menjadi tahap tunggal dan menekankan pada hubungan antara definisi, agenda setting, dan policy design di lain hal, serta policy design, implementasi dan dampaknya pada masyarakat di satu sisi. Kerangka ini menawarkan beberapa prediksi mengenai tipe desain kebijakan yang akan muncul dari berbagai jenis proses politik, dan secara eksplisit menggabungkan analisis normatif dengan mempertimbangkan dampak dari desain kebijakan pada kelompok sasaran dan praktek demokrasi. Kerangka ini menjawab tuntutan untuk menggunakan pendekatan integratif terhadap penelitian kebijakan. Pendekatan integratif yaitu gabungan analisis kebijakan dengan analisis politik dengan menggabungkan pengetahuan kebijakan dengan kepentingan, ide serta lembaga. Kerangka ini juga menggabungkan pendekatan kritis terhadap studi kebijakan dengan mengeksplorasi bagaimana pemerintah dan kebijakan membuat dan menjaga sistem hak istimewa, dominasi dan ketenangan diantara mereka yang paling tertindas. Menurut mereka desain kebijakan mencerminkan usaha untuk memajukan nilai-nilai dan kepentingan tertentu. Apalagi desain kebijakan memengaruhi tidak hanya implementasi tapi juga mobilisasi politik dan sifat demokrasinya. Status dan pentingnya kebijakan juga diangkat dalam kerangka ini karena dianggap sebagai alat utama dalam mengamankan janji demokrasi. Pandangan ini disebut juga sebagai analisis yang memperhitungkan seberapa efektif kebijakan mengurangi masalah sosial dan juga sejauh mana mereka memanjukan kewarganegaraan yang demokratis, yang menginspirasi partisipasi politik dan memperbaiki pembagian sosial. Scheinder and Ingram secara khusus memperhatikan mengenai dampak dari desain kebijakan yang merupakan hasil dari kemunduran proses politik. Selama proses tersebut, aktor politik menggolongkan populasi menjadi kelompok layak dan tidak layak sebagai pembenaran untuk menyalurkan manfaat atau hukuman kepada mereka. Bahasa dan alokasi sumber daya cenderung menstigmatisasi kelompok yang kurang beruntung, memperkuat stereotip, dan mengirim pesan ke anggota kelompok dan ke -publik yang lebih luas, bahwa pemerintah lah yang tidak menghargai mereka. Policy Design Desain kebijakan itu pada intinya untuk merumuskan ide atau kerangka pemikiran yang abstrak supaya dapat dengan mudah diidentifikasi dan dianalisis. Dalam desain kebijakan biasanya memuat tujuan, kelompok sasaran, agen, struktur implementasi, peralatan, aturan, alasan-alasan, dan asumsi. Pembuatan kebijakan mempertimbangkan banyak hal, disebutkan dalam Kerangka Schneider dan Ingram mengacu pada teori institusional dan ideasional, tahap model, dan teori-teori pengambilan keputusan, seperti bounded rationality. Jadi rasionalitas pembuat kebijakan itu dapat dibatasi oleh banyak hal, misalnya aturan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang dihasilkan, bisa saja suatu kebijakan di suatu daerah ini baik untuk diterapkan tapi tidak untuk daerah lain karna berbenturan dengan nilai yang ada dalam masyarakatnya. Namun sulit sekali menemukan titik tengah untuk mencapai manfaat yang maksimal untuk seluruh kelompok masyarakat, konsekuensi dari kebijakan publik adalah adanya pihak yang untung dan rugi, kelompok yang merasa untung akan cenderung mempertahankan dan memperkuat kelompoknya, sedangkan kelompok yang rugi cenderung merasa terisolir dan merasa bahwa pemerintah tidak pro terhadap kelompok mereka, dan ini sebenarnya solusi yang harus dicari, bagaimana agar tidak terjadi ketimpangan yang cukup signifikan antar kelompok kepentingan. Critique and New Direction Kritik pada perumusan kebijakan dan perangkat kebijakan berfokus pada keterbatasan dari tahapan model itu sendiri. Spesifikasi alternatif kebijakan dan pemilihan perangkat kebijakan tidak mengikuti proses pengaturan agenda dan mengarah kepada implementasi. Dengan demikian, penelitian ini menawarkan rekomendasi untuk menghasilkan alternatif masalah framing telah terjadi, dan desain yang dihasilkan akan diteruskan kepada pelaksana. Di sisi lain, jika peneliti memahami perumusan kebijakan sebagai fungsi bukan sebagai tahap yang dimulai dan berakhir di suatu tahapan tertentu, mereka cenderung untuk mencari catatan empiris dari arena kebijakan secara lebih luas. Peradilan merupakan lingkup dari pemerintah yang paling berperan pada analisis kebijakan publik. Pada pemahaman tradisional pengadilan di artikan sebagai pembuat hukum yang dapat berfungsi sebagai penghalang. Pengadilan merupakan kelembagaan yang khas, memiliki aktor, prosedur, bahasa, dan proses penalaran berbeda dengan yang berlaku di legislatif dan birokrasi. Pengadilan menawarkan kasus yang berpotensi memiliki manfaat tentang dampak lembaga pada perumusan kebijakan. Sektor nirlaba yang berperan dalam perumusan kebijakan terus meningkat. Penelitian terbaru pada instrumen kebijakan moneter menekankan bahwa "non profitization merupakan kebijakan alat dan yang lebih sering digunakan di arena kebijakan, antara lain dari pendidikan. Organisasi non-pemerintah (LSM) juga membuat kebijakan di ranah mereka sendiri. Organisasi lingkungan memiliki motivasi sangat berbeda merancang kebijakan daripada legislator, sehingga teori-teori desain kebijakan yang dibuat legislatif mungkin tidak membantu dalam pemahaman membuat kebijakan dan ekstra-pemerintah. Dalam lingkungan marjinal, organisasi menargetkan kebijakan yang mereka buat untuk mereka yang membutuhkan. Berbeda dengan harapan Schneider dan Ingram bahwa pembuat kebijakan menghindari pemberian manfaat langsung untuk kelompok yang paling terpinggirkan. Lebih banyak perhatian untuk perumusan kebijakan luar birokrasi, dan di bawah tingkat nasional dapat memperluas teori dan pengetahuan substantif fungsi penting ini. Pekerjaan tersebut akan membangun penelitian tentang kebijakan nasional yang semakin menemukan formulasi kebijakan terjadi di luar kantor-bahwa pemerintah dalam penasehat kebijakan dan dalam jaringan longgar advokasi dan minat kelompok yang bersama-sama dengan pejabat pejabat pemerintah membuat kebijakan masyarakat (lihat Miller dan Demir, dan Stone, buku ini). Penelitian mengenai perumusan kebijakan memberikan kontribusi untuk penelitian tentang pengaturan agenda, batasan masalah, pelaksanaan, dan kebijakan koalisi.