You are on page 1of 5

Kelompok 3 :

Adeline Ayu Rahmadhani 1206243721


Anggita Shaskia 1206213012
Anggriyana Danastri 1206243715

Elita Ratna Nirmala 1206212930
Fadiyah Almas 1206245475
Nurul Oktaviani 1206212994
Review Policy Formulations: Design and Tools
Policy Formulation merupakan bagian pra-pengambilan keputusan dari fase
pembuatan kebijakan yang mencakup pengidentifikasian dan / atau penyusunan seperangkat
kebijakan alternatif untuk mengatasi sebuah masalah dan mempersempit rangkaian solusi
untuk persiapan keputusan kebijakan akhir. Dalam perumusan kebijakan membutuhkan
pertanyaan apa seperti apa rencana untuk mengatasi sebuah masalah? Apa tujuan dan
prioritas? Apa pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan? Apa saja biaya dan benefit dari
masing-masing pilihan? Apa eksternalitas positif dan negatif yang berhubungan dengan
masing-masing alternatif? Pendekatan perumusan kebijakan tersebut, melekat pada tahap
proses kebijakan, yang berasumsi bahwa partisipan di dalam proses kebijakan sudah
mengakui dan menentukan sebuah masalah kebijakan, dan memindahkannya ke dalam
agenda kebijakan. Hal ini melibatkan penyusunan legalisasi dan regulasi bahasa untuk setiap
alternatif yang menggambarkan tools (misalnya, sanksi, hibah, larangan, aturan, dsb) dan
mengartikulasikan untuk siapa atau untuk apa mereka berlaku dan efek apa yang akan mereka
berikan. Memilih seperangkat solusi yang mana pengambil keputusan benar-benar akan
memilih dan menerapkan seperangkat kriteria sebagai alternative misalnya menilai kelayakan
mereka, penerimaan politik, biaya, benefit, dan semacamnya.
Policy Formulation jelas merupakan fase kritis dari proses kebijakan. Nantinya
perumusan kebijakan juga merancang alternatif-alternatif yang akan dipertimbangkan oleh
pengambil keputusan secara langsung dan pengaruhnya pada pilihan kebijakan utama. Proses
ini secara bersamaan juga dapat menyampaikan dan mengalokasikan kekuasaan diantara
kepentingan sosial, politik, dan ekonomi.
Scholars pada perumusan kebijakan memerlukan berbagai masalah untuk mengkaji
faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana aktor-aktor membuat alternatif-alternatif,
menentukan cara apa yang akan digunakan, meneliti bagaimana dan mengapa alternatif
kebijakan tertentu yang dapat tetap aktif dalam agenda keputusan. Scholars juga
mempertimbangkan berbagai kepentingan yang terlibat dan keseimbangan kekuasaan yang
dipegang oleh partisipan, ide-ide dominan dan nilai-nilai dari partisipan tersebut, struktur
kelembagaan proses penetapan-alternatif, luasnya lagi seperti sejarah, politik, sosial, dan
konteks ekonomi.
Approaches to policy formulation
Secara umum literatur yang berfokus pada formulasi kebijakan merujuk pada konsep
desain kebijakan. Desain kebijakan muncul sebagai respon dari studi implementasi pada
tahun 1970an dimana sistem birokrasi bertanggung jawab pada kegagalan kebijakan. Pada
teori perumusan kebijakan disebutkan bahwa scholars seharusnya melihat kembali ke
belakang untuk dapat memahami mengapa kebijakan dapat berhasil atau gagal, sebab proses
formulasi kebijakan asli, dan perumusan kebijakan itu sendiri telah memberikan kontribusi
yang signifikan bagi outcome dari implementasi. Rasionalitas terikat (bounded rationality)
terjadi karena adanya batasan pemikiran manusia serta batasan dari pengetahuan tentang
dunia sosial yang menyebabkan para pembuat kebijakan untuk fokus pada beberapa aspek
saja dari sebuah permasalahan dengan mengorbankan aspek yang lain. Riset pada formulasi
kebijakan dilakukan untuk melihat dan memahami konteks seperti apa pembuat kebijakan
harus bertindak dan mengidentifikasi permasalahan yang menjadi perhatian.
Policy formulation melibatkan berbagai kalangan pada proses dialog pembuatan
kebijkan termasuk di dalamya turut serta kelompok marjinal. Formulasi kebijakan
mengedepankan rasionalitas sehingga membatasi hal-hal yang dianggap tidak beraturan pada
prosesnya dan mengedepankan konteks yang saat itu terjadi dan menjadi perhatian para
pembuat kebijakan. Para pembuat kebijakan ini menganalisis alternatif kebijakan yang seperti
apa yang mampu mengatasi permasalahan yang ada yang mana kebijakan ini bersifat inovatif
dan berbeda dengan praktek yang ada.
Scholars memanfaatkan teori institusional yang menyarankan hukum, konstitusi dan
organisasi dari proses politik untuk menyalurkan perilaku politik dan pilihannya. Artinya
institusi akan membentuk preferensi pilihan dan strategi aktor. Dalam hal politik, para aktor
bersaing untuk membuat pengartian dan makna sebanyak mungkin agar dapat memenangkan
suara. Nantinya ide tentang kemungkinan yang akan terjadi, intrepretasi peradilan yang
dominan, gagasan tentang kelompok yang terkena dampak kebijakan, semuanya akan
memainkan peran dalam membentuk alternatif kebijakan. Dinamika dan tantangan diperlukan
dalam proses policy design untuk mengembangkan ide-ide dari kelompok kepentingan.
Misalnya ketika banyak kelompok kepentingan yang mengambil bagian aktif dalam
mendefinisikan masalah dan mengusulkan alternatif pastinya akan banyak ide-ide yang
bertentangan. Tantangannya ialah ketika proses itu berlangsung bagaimana menemukan
solusi atau penyelesaian yang dapat diterima semua pihak (participants) dan mencapai hasil
yang diinginkan. Namun, ternyata ketika suatu keseimbangan persaingan kepentingan sudah
dapat tercapai belum tentu beriringan dengan tercapainya hasil yang optimal. Jadi sebenarnya
yang terpenting bukan kebijakan yang dapat diterima semua pihak yang berkepentingan saja
tapi juga penting untuk menemukan cara bagaimana dapat mencapa hasil yang optimal.
Dalam proses policy design terdapat interaksi antara level of design dengan lokus
design untuk membentuk resep kebijakan. Misalnya antara legislative setting dan
bureaucratic setting yang masing-masing membawa kepiawaiannya dalam proses tersebut.
Legislatif setting membutuhkan keahlian kompromi antara pendapat-pendapat yang berbeda
yang kadang mengarah kepada perluasan dan pengaburan konten. Pada Bureaucratic setting
terdapat keahlian teknis dan ilmiah untuk dibawa pada proses policy design.
Approaches to policy tools
Literatur kebijakan kini berfokus pada policy tools. Menurut Bardach dalam lampiran
things governments do terdapat 8 step kerangka analisis kebijakan yaitu describing taxes,
regulation, grants (hibah), services, budgets, information, rights (hak), dan policy tools
lainnya.
Riset pada policy tools juga melihat konsekuensi politik dari penggunaan alat-tertentu
asumsi-asumsi mengenai permasalahan, individu-individu dan perilaku. Dalam pemilihan alat
tersebut yang dipertaruhkan bukan hanya cara yang paling efisien dalam menyelesaikan
masalah publik melainkan juga pengaruh dari kelompok-kelompok kepentingan. Tools pun
juga membutuhkan seperangkat keterampilan manajemen dan pengetahuan yang khas, pilihan
tools ini secara pasti memengaruhi lingkungan dari manajemen publik.
Policy Design Beyond The Stages Model
Kerangka yang diungkapkan oleh Schneider dan Ingram merupakan kerangka dengan
proses berulang-ulang. Tahapan diskresi dari pembuatan public policy menjadi tahap tunggal
dan menekankan pada hubungan antara definisi, agenda setting, dan policy design di lain hal,
serta policy design, implementasi dan dampaknya pada masyarakat di satu sisi. Kerangka ini
menawarkan beberapa prediksi mengenai tipe desain kebijakan yang akan muncul dari
berbagai jenis proses politik, dan secara eksplisit menggabungkan analisis normatif dengan
mempertimbangkan dampak dari desain kebijakan pada kelompok sasaran dan praktek
demokrasi.
Kerangka ini menjawab tuntutan untuk menggunakan pendekatan integratif terhadap
penelitian kebijakan. Pendekatan integratif yaitu gabungan analisis kebijakan dengan analisis
politik dengan menggabungkan pengetahuan kebijakan dengan kepentingan, ide serta
lembaga. Kerangka ini juga menggabungkan pendekatan kritis terhadap studi kebijakan
dengan mengeksplorasi bagaimana pemerintah dan kebijakan membuat dan menjaga sistem
hak istimewa, dominasi dan ketenangan diantara mereka yang paling tertindas. Menurut
mereka desain kebijakan mencerminkan usaha untuk memajukan nilai-nilai dan kepentingan
tertentu. Apalagi desain kebijakan memengaruhi tidak hanya implementasi tapi juga
mobilisasi politik dan sifat demokrasinya. Status dan pentingnya kebijakan juga diangkat
dalam kerangka ini karena dianggap sebagai alat utama dalam mengamankan janji demokrasi.
Pandangan ini disebut juga sebagai analisis yang memperhitungkan seberapa efektif
kebijakan mengurangi masalah sosial dan juga sejauh mana mereka memanjukan
kewarganegaraan yang demokratis, yang menginspirasi partisipasi politik dan memperbaiki
pembagian sosial.
Scheinder and Ingram secara khusus memperhatikan mengenai dampak dari desain
kebijakan yang merupakan hasil dari kemunduran proses politik. Selama proses tersebut,
aktor politik menggolongkan populasi menjadi kelompok layak dan tidak layak sebagai
pembenaran untuk menyalurkan manfaat atau hukuman kepada mereka. Bahasa dan alokasi
sumber daya cenderung menstigmatisasi kelompok yang kurang beruntung, memperkuat
stereotip, dan mengirim pesan ke anggota kelompok dan ke -publik yang lebih luas, bahwa
pemerintah lah yang tidak menghargai mereka.
Policy Design
Desain kebijakan itu pada intinya untuk merumuskan ide atau kerangka pemikiran
yang abstrak supaya dapat dengan mudah diidentifikasi dan dianalisis. Dalam desain
kebijakan biasanya memuat tujuan, kelompok sasaran, agen, struktur implementasi, peralatan,
aturan, alasan-alasan, dan asumsi.
Pembuatan kebijakan mempertimbangkan banyak hal, disebutkan dalam Kerangka
Schneider dan Ingram mengacu pada teori institusional dan ideasional, tahap model, dan
teori-teori pengambilan keputusan, seperti bounded rationality. Jadi rasionalitas pembuat
kebijakan itu dapat dibatasi oleh banyak hal, misalnya aturan dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat, sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang dihasilkan, bisa
saja suatu kebijakan di suatu daerah ini baik untuk diterapkan tapi tidak untuk daerah lain
karna berbenturan dengan nilai yang ada dalam masyarakatnya.
Namun sulit sekali menemukan titik tengah untuk mencapai manfaat yang maksimal
untuk seluruh kelompok masyarakat, konsekuensi dari kebijakan publik adalah adanya pihak
yang untung dan rugi, kelompok yang merasa untung akan cenderung mempertahankan dan
memperkuat kelompoknya, sedangkan kelompok yang rugi cenderung merasa terisolir dan
merasa bahwa pemerintah tidak pro terhadap kelompok mereka, dan ini sebenarnya solusi
yang harus dicari, bagaimana agar tidak terjadi ketimpangan yang cukup signifikan antar
kelompok kepentingan.
Critique and New Direction
Kritik pada perumusan kebijakan dan perangkat kebijakan berfokus pada keterbatasan
dari tahapan model itu sendiri. Spesifikasi alternatif kebijakan dan pemilihan perangkat
kebijakan tidak mengikuti proses pengaturan agenda dan mengarah kepada implementasi.
Dengan demikian, penelitian ini menawarkan rekomendasi untuk menghasilkan alternatif
masalah framing telah terjadi, dan desain yang dihasilkan akan diteruskan kepada pelaksana.
Di sisi lain, jika peneliti memahami perumusan kebijakan sebagai fungsi bukan sebagai tahap
yang dimulai dan berakhir di suatu tahapan tertentu, mereka cenderung untuk mencari catatan
empiris dari arena kebijakan secara lebih luas.
Peradilan merupakan lingkup dari pemerintah yang paling berperan pada analisis
kebijakan publik. Pada pemahaman tradisional pengadilan di artikan sebagai pembuat hukum
yang dapat berfungsi sebagai penghalang. Pengadilan merupakan kelembagaan yang khas,
memiliki aktor, prosedur, bahasa, dan proses penalaran berbeda dengan yang berlaku di
legislatif dan birokrasi. Pengadilan menawarkan kasus yang berpotensi memiliki manfaat
tentang dampak lembaga pada perumusan kebijakan.
Sektor nirlaba yang berperan dalam perumusan kebijakan terus meningkat. Penelitian
terbaru pada instrumen kebijakan moneter menekankan bahwa "non profitization merupakan
kebijakan alat dan yang lebih sering digunakan di arena kebijakan, antara lain dari
pendidikan. Organisasi non-pemerintah (LSM) juga membuat kebijakan di ranah mereka
sendiri. Organisasi lingkungan memiliki motivasi sangat berbeda merancang kebijakan
daripada legislator, sehingga teori-teori desain kebijakan yang dibuat legislatif mungkin tidak
membantu dalam pemahaman membuat kebijakan dan ekstra-pemerintah.
Dalam lingkungan marjinal, organisasi menargetkan kebijakan yang mereka buat
untuk mereka yang membutuhkan. Berbeda dengan harapan Schneider dan Ingram bahwa
pembuat kebijakan menghindari pemberian manfaat langsung untuk kelompok yang paling
terpinggirkan. Lebih banyak perhatian untuk perumusan kebijakan luar birokrasi, dan di
bawah tingkat nasional dapat memperluas teori dan pengetahuan substantif fungsi penting ini.
Pekerjaan tersebut akan membangun penelitian tentang kebijakan nasional yang semakin
menemukan formulasi kebijakan terjadi di luar kantor-bahwa pemerintah dalam penasehat
kebijakan dan dalam jaringan longgar advokasi dan minat kelompok yang bersama-sama
dengan pejabat pejabat pemerintah membuat kebijakan masyarakat (lihat Miller dan Demir,
dan Stone, buku ini). Penelitian mengenai perumusan kebijakan memberikan kontribusi untuk
penelitian tentang pengaturan agenda, batasan masalah, pelaksanaan, dan kebijakan koalisi.

You might also like