PATERNITAS PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI
KAWASAN PURA PULAKI, BALI PROPOSAL PENELITIAN Disusun untuk memenuhi tugas akhir matakuliah TABM yang diampu oleh Prof.Dr. A. Duran Corebima, M.Si & Prof.Dr. Siti Zubaidah, M. Si
Oleh : Fia Izzatul Muna 100342400939 GE 2010
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI BIOLOGI Mei 2013 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Monyet Ekor Panjang atau Macaca fascicularis memang monyet populer. Monyet dengan ekor panjang inilah yang sering kita lihat. Selain populasi monyet jenis ini cenderung masih banyak, kemampuannya beradaptasi membuat monyet ekor panjang terbiasa dengan kehadiran manusia sehingga banyak dipelihara. Bahkan monyet ini populer dipergunakan dalam atraksi topeng monyet. Dalam bahasa Inggris, monyet ekor panjang dinamakan Crab-eating Macaque atau Long- tailed Macaque. Sedangkan dalam bahasa latin (nama ilmiah) primata ini dinamai Macaca fascicularis yang bersinonim dengan Macaca irus. Macaca fascicularis (monyet ekor panjang) merupakan salah satu satwa primata yang menyebar secara luas. Di kawasan Asia Tenggara monyet ekor panjang ditemukan di Vietnam, Myanmar, Muangthai, Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Supriatna dan Wahyono, 2000). Monyet ekor panjang di Indonesia diperkirakan berasal dari daratan Asia Tenggara dan bermigrasi melebihi satu juta tahun yang lalu saat daratan Asia dan lempeng Sunda menyatu (Eudey, 1980; Monica, et al., 2012). Monyet ekor panjang menyebar dari barat ke timur dengan pulau Jawa sebagai pintu penyebarannya (Fooden, 1995; Monica, et.al, 2012). Monyet ekor panjang Bali diyakini migrasi langsung dari Jawa saat kedua pulau menyatu pada waktu sebelum dan saat glasiasi maksimum terakhir ( 18 ribu tahun yang lalu) (Eudey, 1980; Fooden, 1995; Monica, et.al, 2012). Di pulau Bali, populasi monyet ekor panjang dapat ditemukan pada 43 lokasi (Fuentes dan Garmel, 2005). Populasi monyet ekor Bali telah bertambah menjadi 46lokasi (Pusat Kajian Primata, 2007, data tidak dipublikasikan). Di Bali populasi monyet ekor panjang dapat ditemukan di beberapa lokasi diantaranya Alas Kedaton, Alas Nenggan, Sangeh, Wanara Wana Padang Tegal Ubud, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pulaki (Fuentes dan Garmel, 2005). Pura Pulaki yang berada di kawasan Pulaki desa Banyu Poh kecamatan Gerokgak dikenal sebagai tempat wisata monyet yang berada di kabupaten Buleleng Bali. Pura Pulaki dengan luas sekitar 5 ha ditempati oleh fauna monyet ekor panjang dan merupakan cagar alam untukmelindungi dan melestarikan hutan. Menurut survei yang dilakukan oleh Wandia (2007) kawasan ini dihuni oleh 68 ekor monyet ekor panjang. Satwa primata ini perlu dipertahankan keberadaannya karena telah berkontribusi besar terhadap perkembangan ekonomi masyarakat sekitar. Salah satu upaya dalam mempertahankan keberadaan monyet ekor panjang adalah dengan mempelajari struktur genetiknya dalam suatu populasi. Keragaman genetik suatu populasi dapat didekati melalui polimorfisme mikrosatelit (Muladno 2000). Mikrosatelit dikenal juga sebagai Simple Sequence Repeats (SSRs) atau Simple Tandem Repeats (STRs) merupakan runutan nukleotida pendek sederhana (khususnya di-, tri-dan tetranukleotida) yang terulang secara berurutan dalam genom eukariot (Avise 1994; Anggraeni, 2009). Dalam hubungannya dengan kegunaan mikrosatelit dalam uji paternitas, beberapa penelitian primata banyak memanfaatkan mikrosatelit untuk berbagai macam tujuan. Kanthaswamy et al. (2006) memilih lokus mikrosatelit dengan motif tetranukleotida dalam pembuatan strategi manajemen genetik standar untuk koloni Macaca mulata di berbagai Pusat Penelitian Primata di Amerika. Meier et al. (2000) melakukan penelitian untuk menentukan paternitas karakteristik genetik dan sosial yang berkorelasi dengan ukuran kelompok simpanse yang dikandangkan. Chambers et al. (2004) menggunakan penanda mikrosatelit manusia untuk amplifikasi sampel non-invasive yang berasal dari Hylobates lar. Keane et al. (1997; Anggraeni, 2009) melakukan identifikasi variasi genetik dengan menggunakan lokus mikrosatelit untuk tujuan analisis paternitas pada Macaca sinica di Polonnaruwa, Srilanka. Berdasarkan informasi diatas, dianggap perlu meneliti analisis DNA mikrosatelit untuk identifikasi paternitas pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), yang berada di kawasan Pura Pulaki, Bali. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan membentuk suatu data paternitas yang baik, sehingga berguna dalam penentuan manajemen koloni monyet ekor panjang sebagai upaya dalam mempertahankan keberadaan monyet ekor panjang.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis DNA mikrosatelit pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk identifikasi paternitas yang pada nantinya berguna dalam manajemen koloni monyet ekor panjang.
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi seputar analisis DNA mikrosatelit pada monyet ekor panjang untuk identifikasi paternitas agar upaya dalam mempertahankan keberadaan monyet ekor panjang di kawasan Pura Pulaki tersebut dapat berlangsung.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. DNA Mikrosatelit Salah satu marka molekuler pada tingkat DNA adalah mikrosatelit. Mikrosatelit (runutan nukleutida sederhana, di-, tri- atau tetranukleotida, yang berulang dalam genom) adalah segmen dari materi genetik (DNA), sehingga penggunaannya sebagai marka molekuler akan lebih mencerminkan struktur genetik populasi (Whitton et al., 1997; Rumba, 2013). Mikrosatelit pada umumnya bersifat netral yaitu tidak menimbulkan kematian pada individu yang membawa alelnya (Morin et al., 1997; Rumba, 2013). Genotip individu dalam populasi merupakan kombinasi antar alel mikrosatelit tetuanya. Akumulasi tinggi suatu alel dalam populasi kemungkinan timbul, salah satunya oleh intesitas kawin keluarga (inbreeding) yang tinggi. Melalui pemilihan marka molekuler mikrosatelit yang tidak terpaut satu dengan yang lainnya, marka molekuler mikrosatelit sangat baik untuk mengkaji berbagai parameter genetik populasi seperti diversitas genetik (heterosigositas), kawin acak, dan aliran genetic (Rumba, 2013). Beberapa karakter mikrosatelit seperti alel mudah dibedakan, memiliki tingkat variabilitas yang tinggi, dan mudah didekati melalui teknik PCR menjadikannya sebagai penanda molekul yang paling diminati oleh ahli genetika untuk mencerminkan struktur genetik suatu populasi (Ellegren et al., 1992; Monica, 2012). Tidak semua lokus mikrosatelit baik digunakan untuk mengungkapkan keragaman genetik populasi. Meskipun berbagai keunggulan yang dimiliki mikrosatelit, lokus mikrosatelit yang bersifat polimorfik yang akan dipilih untuk studi genetik populasi. Semenjak berkembangnya Human Genom Project pada tahun 2005, banyak lokus mikrosatelit manusia diujicobakan pada Non Human Primata (NHP) (Rogers dan Hixson, 1997; Monica, 2012). Karakter mikrosatelit tersebut tidak selalu selaras dengan populasi alamiah karena karakteristiknya hanya dilakukan pada hewan NHP di stasiun penangkaran (Monica, 2012). Mikrosatelit telah digunakan secara luas sebagai penanda dalam dunia genetika molekuler. Beberapa karakter mikrosatelit, seperti memiliki variabilitas yang tinggi, kemudahan untuk membedakan genotipe melalui ukuran jumlah motif dan mudah didekati melalui teknik PCR, menjadikan mikrosatelit sebagai penanda molekul yang baik untuk mempelajari struktur genetik suatu populasi (Wandia 2003). Selain itu, mikrosatelit dapat digunakan dalam uji paternitas (Smith et al. 2000). Mikrosatelit terdapat melimpah dalam genom dan mudah ditemukan, oleh karena itu digunakan dalam pemetaan genom (Weber 1990; Anggraeni, 2009). Mikrosatelit juga digunakan sebagai penciri genetik (Lehmann et al. 1996) atau dapat digunakan sebagai penanda yang ideal untuk mengukur tingkat keragaman populasi karena memiliki jumlah alel yang tinggi, serta ekspresi pola pitanya kodominan sehingga dengan mudah dapat membedakan individu homozigot. Lokus mikrosatelit dengan motif tetranukleotida akan lebih mudah dibedakan jenis alelnya melalui teknik elektroforesis (Valdes et al. 1993; Anggraeni, 2009).
B. Identifikasi Paternitas Identifikasi paternitas diketahui melalui alel yang diwariskan dari induk kepada anak, yang ditentukan berdasarkan migrasi pita dari setiap lokus (Anggraeni, 2009). Tes paternitas dapat dilakukan untuk beberapa alasan, antara lain untuk menentukan siapakah ayah dari seorang bayi yang dikandung oleh seorang wanita. Di dalam kasus perkosaan, tes paternitas ini dapat diajukan oleh sang wanita (korban), sang lelaki (tertuduh) atau penyidik untuk membuktikan bahwa bayi yang dikandung adalah memang benar anak dari sang pemerkosa, apalagi apabila terjadi juga dugaan multiple sexual partners (Hernanda, tanpa tahun)
C. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Salah satu jenis satwa liar yang diekspor Indonesia adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Satwa ini banyak dimanfaatkan di bidang kedokteran, biomedis, teknologi antariksa, dan lain-lain. Jumlah monyet ekor panjang yang diekspor Indonesia dari tahun 1970-1975 mencapai sekitar 86.332 ekor. Kemudian pada tahun 1980 diekspor sebanyak 14.519 ekor (Direktorat PPA, 1981; Santosa, 1996). Monyet ekor panjang merupakan salah satu primata non- manusia yang berhasil. Monyet ini tersebar di Asia Tenggara antara 20LU-10LS dan antara 920-1280 BT (Wheatley, 1980; Putra, 2006). Penyebarannya di Bali juga sangat luas. Berdasar pada hasil survei yang dilakukan oleh Suaryana et al. (2001), sedikitnya ada 44 lokasi habitat monyet yang tersebar di seluruh Bali. Beberapa lokasi tersebut digunakan sebagai obyek wisata, seperti Sangeh, Ubud, Alas Kedaton, Uluwatu, Pulah, dan Bedugul (Putra, 2006). Monyet ekor panjang Bali diyakini migrasi langsung dari Jawa saat kedua pulau menyatu pada waktu sebelum dan saat glasiasi maksimum terakhir ( 18 ribu tahun yang lalu) (Eudey, 1980; Fooden, 1995; Monica, et.al, 2012). Di pulau Bali, populasi monyet ekor panjang dapat ditemukan pada 43 lokasi (Fuentes dan Garmel, 2005). Populasi monyet ekor Bali telah bertambah menjadi 46lokasi (Pusat Kajian Primata, 2007, data tidak dipublikasikan). Di Bali populasi monyet ekor panjang dapat ditemukan di beberapa lokasi diantaranya Alas Kedaton, Alas Nenggan, Sangeh, Wanara Wana Padang Tegal Ubud, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pulaki (Fuentes dan Garmel, 2005).
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dimana seluruh proses analisis datanya dilakukan di laboratorium molekuler.
B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan April 2013. Tempat pengambilan sampel berada di kawasan Pura Pulaki, Bali dan tempat untuk analisis DNA mikrosatelit untuk identifikasi paternitas dilakukan di Laboratorium Molekuler Gedung Biologi Universitas Negeri Malang.
C. Instrumen Penelitian Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: Sampel darah monyet ekor panjang yang diambil dari 2 titik pengamatan (titik A dan B) Ketamin HCL 10-15 mg/kg bobot badan Nacl 0,2% 1mM EDTA Nacl 0,9% STE (Sodium-Tris-EDTA) Proteinase K (10 mg/ml) 10% SDS 5M Nacl Kloroform iso Amil Alkohol Fenol Etanol Absolut TE Primer D1S548 dan D3S1768
D. Prosedur Penelitian Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor panjang, yang berada di 2 titik pengamatan. Titik A terdiri dari 2 jantan dan 20 betina dan titik B terdiri dari 2 jantan dan 12 betina. Monyet ekor panjang disedasi dengan Ketamin HCl 10-15 mg/kg bobot badan, darah diambil melalui vena femoralis dengan alat suntik 3,5 ml, kemudian disimpan dalam tabung EDTA (Ethylenediaminetetraacetic Acid). Darah disentrifugasi pada kecepatan 3.500 rpm selama 10 menit dan akan terbentuk tiga lapisan plasma, buffy coat (sel darah putih) dan sel darah merah.
Analisis ragam. Sampel yang digunakan untuk analisis keragaman, berasal dari 4 jantan dan 32 betina dari titik A dan B. Ekstraksi DNA. DNA diekstraksi dari buffy coat, dengan mengacu pada metode penelitian yang digunakan oleh Kan et al. (1997) dengan beberapa modifikasi. Buffy coat yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5 ml, kemudian dicuci dengan Nacl 0,2% dan 1mM EDTA lalu dikocok hingga tercampur merata tanpa ada endapan di dasar tabung lagi. Setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 3.500 rpm selama 10 menit. Pencucian dilanjutkan yaitu dengan memasukkan NaCl 0,9% dan 1mM EDTA ke dalam tabung dan diputar kembali dengan kecepatan 3.500 rpm selama 10 menit. Sel darah putih yang sudah dicuci, ditambah 300 l 1x STE (Sodium Tris-EDTA), 20 l Proteinase K (10 mg/ml) dan 40 l 10% SDS (Sodiumdodesilsulfate). Campuran ini dikocok pelan-pelan selama 2 jam pada suhu 55C. DNA dimurnikan dengan metode fenol-kloroform, yaitu dengan menambahkan 40 l 5M NaCl, 450 l kloroform iso amil alkohol (24:1) dan 450 l fenol (saturasi dengan 1M Tris-HCl, pH 8.0), kemudian diputar perlahan pada suhu 27C menggunakan rotator selama satu jam. Proses ekstraksi dilanjutkan dengan sentrifugasi dengan kecepatan 8.000 rpm selama 10 menit. DNA dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan 40 l 5M NaCl dan 800 l etanol absolut yang berfungsi untuk mengendapkan DNA. Campuran diinkubasi selama semalam minimal tiga jam pada suhu -20C. Pada endapan yang dihasilkan dilakukan pencucian dengan menambahkan 800 l 70% etanol, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8.000 rpm selama 10 menit, setelah itu etanol dibuang dan diuapkan dengan menggunakan pompa vakum. DNA kemudian dilarutkan dengan 80 l 80% larutan penyangga TE (10-2 M Tris, 10- 3M EDTA pH 8.0). Amplifikasi Mikrosatelit. Suhu annealing untuk primer D1S548 dan D3S1768 sebesar 50 C, suhu annealing untuk primer D5S820 adalah 55 C, dan untuk primer D12S1777 sebesar 48 C. Amplifikasi lokus mikrosatelit menggunakan empat pasang primer manusia dengan motif tetranukleotida. Primer ini sudah digunakan pada penelitian sebelumnya pada monyet ekor panjang (Perwitasari- Farajallah et al. 2004). Reaksi PCR dilakukan menurut Sambrook et al. (1989) yang telah dimodifikasi yaitu melakukan pencampuran yang merata dengan volume reaksi 25 l, yang terdiri dari campuran Green Master Mix (Promega) 12,5 l, pasangan primer 1 l (pengenceran 1000 Pmol/ l), air steril 5,5 l dan 5 l template DNA. Amplifikasi mikrosatelit DNA dilakukan dengan mesin Gene Amp PCR System 9700 (Applied Biosystem). Siklus amplifikasi sebanyak 30 siklus; dengan kondisi : denaturasi selama 40 detik pada suhu 94 C, penempelan primer pada suhu 50-55 C selama 50 detik, dan pemanjangan pada suhu 71 C selama 60 detik, kemudian diikuti dengan pemanjangan akhir pada suhu 72 C selama 5 menit. Untuk penentuan alel, hasil amplifikasi dipisahkan secara elektroforesis dengan gel poliakrilamid 15% pada voltase 160 V selama 35 menit. Pita dimunculkan dengan pewarnaan perak dan ukuran alel dihitung dengan menggunakan ukuran standar DNA 100 pb (Promega). Analisis Paternitas. Sampel yang digunakan untuk analisis, berasal dari titik A yaitu 2 jantan dan 10 ekor betina (serta anakannya) dan titik B berasal dari 2 jantan dan 11 ekor betina (serta anakannya). Betina yang lain tidak dianalisis, karena anakan tidak diketahui (sampel tidak ada). Identifikasi paternitas diketahui melalui alel yang diwariskan dari induk kepada anak, yang ditentukan berdasarkan migrasi pita dari setiap lokus.
Daftar Rujukan Anggraeni, N., Ayuningsih, E.D., Farajallah, D.P., Pamungkas, J. 2009. Analisis DNA Mikrosatelit untuk Identifikasi Paternitas pada Beruk (Macaca nemestrina) di Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata IPB. Jurnal Primatologi Indonesia, 6 (2): 32-39 Chambers EK, Reichard UH, Moller A, Nowak K, Vigilant L. 2004. Cross- Species Amplification of Human Microsatellite using Noninvasive Samples from White-Handed Gibbons (Hylobates lar). American Journal of Primatology, 64:19-27 Fuentes, A., Garmel S. 2005. Dispropotionte participation by age/sex clases in aggresive interaction between long-tailed macaque (macaca fascicularis) and human tourist at padangtegal monkey forest, Bali, Indonesia: Brief Report. America Journal of Primatology, 66: 197-204. Hernanda, P.Y. Tanpa tahun. Pap Smear dengan Analisa DNA Fingerprintingnya sebagai Alat untuk Tes Paternitas saat Prenatal. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya Kanthaswamy, S et al. 2006. Microsatellite markers for standardized genetic management of captive colonies of rhesus macaques (Macaca mulatta). American Journal of Primatology. 68:73-95 Monica, S.W., Widyastuti, S.K., & Wandia, I.N. 2012. Keragaman Genetik Populasi Monyet Ekor Panjang di Pura Pulaki menggunakan Marka Molekul Mikrosatelit D13s76. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus, 1(1): 37- 54 Muladno. 2000. Polimorfisme dan analisis keterpautan mikrosatelit pada genom babi. Jurnal Hayati, 7(1): 11-15 Putra, 1.G.A., Wandia, I. N., Soma, I.G., Sajuthi, D. 2006. Indeks Massa Tubuh dan Morfometri Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Bali. Jurnal Veterinus 7(3): 119-124 Rumba, J. N., Putra, I.G.A.A., & Wanida, I.N. 2013. Karakteristik Lokus Mikrosatelit D8S1100 pada Populasi Monyet Ekor Panjang di Bukit Gumang, Karangasem, Bali. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus, 2(1): 115- 125 Santosa, Yanto. 1996. Beberapa Parameter Bio-Ekologi Penting dalam Pengusahaan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Jurnal Media Konservasi V(1): 25-29 Smith DG, Kanthasmawy S, Viary J, Cody L. 2000. Additional highly polymorphic microsatellite (STR) loci for estimating kinship in Rhesus Macaques (Macaca mulatta). American Journal of Primatology, 50: 1-7 Supriatna, J., E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Wandia, I.N. 2003. Mikrosatelit sebagai Penanda molekul untuk mengukur polimorfisme genetik monyet ekor panjang di Sangeh, Bali. J. Vet. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, 4(3):93-100 Wandia, I.N. 2007. Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Disertasi. PRM. IPB. Bogor