You are on page 1of 249

Nomor 14 Tahun VIII April 2013

ISSN 1907-3232


1
APRESIASI CERPEN SUAP KARYA PUTU WIJAYA BERDASARKAN
PENDEKATAN RESEPSI OLEH SISWA KELAS X SMA N 8 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh :
Ketut Yarsama
FPBS, IKIP PGRI BALI

ABSTRACT

The literary division is the ideal literary learning which balancing
between theory and practice (skills). The purpose of this study was to
determine the ability to appreciate the short story "SUAP" by Putu Wijaya
with reception approach by the students of class X SMA N 8 Denpasar
academic year 2012/2013.
The subjects of this study were all students of class X SMA N 8
Denpasar academic year 2012/2013, amounting to 319 people. The
research sample was assigned 25% of the population. The approach
used empirical method of research subjects. Data collected by the test
method. Data were analyzed with descriptive statistics.
From the data analysis it can be concluded that the ability
appreciated short story "SUAP" from Putu Wijaya by students of Class X
SMA N 8 Denpasar that were categorized well, with the average value of
the 81. Students are advised to be more creative and critical in
appreciating literature.

Key words : Short story appreciation, reception approach

I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pengajaran sastra selama ini dinilai hanya memenuhi tuntutan
kurikulum dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa.
Kegiatan apresiasi sastra kemudian menjadi kurang hidup dan kering
karena terbatas pada penguasaan pengetahuan tentang sastra yang
bercorak teoretis dan hafalan semata. Para siswa tidak diajak untuk
mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar
menghafalkan nama-nama sastrawan beserta hasil karyanya sehingga
siswa kurang diberikan kesempatan di dalam menyatakan pendapat
mengenai penilaiannya terhadap suatu karya sastra.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


2
Pada dasarnya pengajaran sastra yang apresiatif bertitik tolak pada
hakikat apresiasi itu sendiri, yaitu kegiatan menggauli sebuah karya
sastra untuk kemudian memberi penghargaan terhadap karya sastra itu
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan objektif atas hasil analisis
yang dilakukan terhadap karya sastra tersehut. Oleh sebab itu, apresiasi
tidak hanya sebatas pada pemahaman unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik, tetapi para siswa diajak untuk meresapi karya sastra dengan
penuh kenikmatan. Selain itu, apresiasi bertujuan agar para siswa
mendapatkan sesuatu yang berharga dan mampu membangkitkan
tanggapan emosional berupa penerimaan terhadap karya sastra
tersebut. Hal tersebut bertolak dari apa yang menjadi dasar pemikiran
apresiasi sastra, yaitu sastra diciptakan untuk dinikmati. Untuk itu, yang
dibutuhkan dalam apresiasi yaitu pembacaan, penghayatan, dan
internalisasi melalui pendalaman batin (Endraswara, 2005:81). Ini
membuktikan bahwa apa yang dibutuhkan untuk berapresiasi sejalan
dengan hakikatnya, yaitu bergaul secara utuh dengan karya sastra
tersebut melalui pembacaan, penghayatan dan internalisasi secara
mendalam apabila sastra dirasa sudah sebagai kawan, maka reaksi-
reaksi pun akan muncul dari pergaulan itu. Perasaan suka, duka, tawa,
atau air mata merupakan di antara sekian bentuk respons penerimaan
terhadap sebuah karya sastra.
Berdasarkan aspek penerimaan pembaca terhadap karya sastra,
maka penulis menekankan pada kajian pendekatan resepsi sastra yang
dikaitkan dengan salah satu genre sastra yaitu cerpen. Pada sisi lain,
penggunaan pendekatan resepsi sastra secara tidak langsung akan
diperoleh kualitas karya tersebut, dalam hal ini cerpen Suap karya
Putu Wijaya melalui tanggapan-tanggapan tadi. Penelitian dengan
pendekatan resepsi sastra tidak hanya menekankan pada kemampuan
apresiasi siswa saja, tetapi juga penilaian terhadap cerpen tersebut.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


3
Cerpen dipilih karena memiliki posisi strategis dalam pengajaran, selain
sebagai bagian mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Kelebihan
lain yang dimiliki cerpen dibandingkan jenis sastra yang lain ialah dilihat
dari aspek waktu dan ruang. Pengajaran cerpen dapat berlangsung
dalam jangka waktu yang relatif pendek atau singkat. Cerpen yang dipilih
pun memiliki tema yang tidak jauh dari realitas sosial masyarakat
Indonesia sekarang, yakni bertemakan tentang korupsi. Banyak yang
berpendapat korupsi sudah membudaya di Indonesia.

II. LANDASAN TEORI
Agar budaya korupsi dapat dikikis, pemerintah kemudian
mengadakan program kampanye antikorupsi dengan tujuan
menyosialisasikan pendidikan antikorupsi sejak dini. Program tersebut
dinamakan kantin kejujuran, khusus bagi para siswa di tingkat sekolah
dasar hingga sekolah menengah atas. Bahkan dikatakan pendidikan
antikorupsi dimasukkan pula ke dalam kurikulum sekolah dengan
mengintegrasikannya pada pelajaran agama, PPKN, dan tidak
ketinggalan pelajaran bahasa Indonesia (Jawa Pos, 29 Mei 2009). Ini
artinya, pelaiaran bahasa Indonesia melalui pengajaran sastra dapat
memberikan kontribusinya terhadap pembentukkan karakter dan watak
anak bangsa yang jujur dan bersih dari tindakan korupsi. Pengajaran
sastra dirasa mampu memberikan nilai pendidikan tentang korupsi bagi
para siswa karena sastra merupakan refleksi kemanusiaan dan
didalamnya mengandung nilai-nilai ajaran.
Dengan demikian pemilihan cerpen Suap karya Putu Wijaya
diharapkan tidak hanya memberikan kenikmatan atau penghiburan bagi
para siswa, akan tetapi nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan dapat
juga diserap. Intinya sesuatu yang berharga akan didapatkan oleh siswa
dengan membaca cerpen Suap karya Putu Wijaya, seperti pengalaman
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


4
kemanusiaan. Sementara sebagai pemenuhan tuntutan kurikulum,
pelajaran bahasa Indonesia khususnya pengajaran sastra tidak lagi
menjenuhkan bagi siswa. Siswa juga akan menjadi berani dan terbiasa
untuk mengemukakan pendapat, dalam hal ini memberikan penilaiannya
terhadap suatu karya sastra. Demikian pun dengan kriteria ketuntasan
yang menjadi standar masing-masing sekolah dapat terpenuhi. Di
samping itu, apabila dilihat dari sisi karyanya, tanggapan-tanggapan
yang diberikan oleh para siswa akan didapat gambaran sejauh mana
baik buruk cerpen tersebut di mata para siswa.

II. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, masalah yang menjadi kajian
dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah kemampuan apresiasi siswa
kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 terhadap
cerpen Suap karya Putu Wijaya dengan pendekatan resepsi sastra?

III. Tujuan Penulisan
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan apresiasi siswa kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013 terhadap cerpen Suap karya Putu Wijaya dengan
pendekatan resepsi sastra.

IV. Pembahasan
Sampai saat ini pengertian tentang apresiasi sastra sangat
beraneka ragam. Timbulnya keanekaragaman tersebut karena
disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya apresiasi sastra merupakan
fenomena yang unik dan rumit. Menurut Saryono (2009:28) peristiwa
apresiasi sastra dikatakan unik dan rumit dikarenakan kegiatan tersebut
berhuhungan dengan kesenian yang sifatnya individual dan momentum,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


5
yang mana lehih banyak bersangkutan dengan jiwa, nurani, budi, rasa
dan emosi. Selain itu, seiring berjalannya waktu menyebabkan terjadinya
perubahan dan perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra, dan
penyehab lainnya ialah adanya perbedaan penyikapan dan pendekatan
terhadap hakikat apresiasi sastra sehingga tidak akan ada rumusan
yang pasti dan pendapat paling benar mengenai apresiasi sastra.
Istilah apresiasi berasal dari kata appreciation mengacu pada
pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan,
penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam
Saryono, 2009:33). Selain pengertian tadi ada pula beberapa pendapat
mengenai pengertian apresiasi, yaitu kegiatan menggauli karya sastra
dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan,
kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
karya sastra (Effendi dalam Saryono, 2009:33).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut maka apresiasi sastra
dapat diartikan sebagai upaya memahami karya sastra di antaranya
upaya bagaimana cara untuk mengerti sebuah karya sastra yang dibaca,
mengerti maknanya, dan mengerti seluk-beluk strukturnya. Pendek kata,
apresiasi sastra itu merupakan upaya merebut makna karya sastra
sebagai tugas utama seorang pembaca (Teeuw dalam Endraswara,
2005; 160).
Secara umum ada lima tahapan apresiasi menurut Natawidjaja
(1982:2), yaitu (1) tahap penikmatan yang merasakan senang dan baru
sebatas dipengaruhi, (2) tahap penghargaan bersifat kekaguman dan
sudah mulai ingin memiliki, (3) tahap pemahaman yang bersifat studi,
seperti mencari pengertian, menganalisis ataupun menyimpulkan, (4)
tahap penghayatan yang mana meyakini apa dan bagaimana akikat
produk sastra itu, dan (5) tahap implikasi memperoleh daya tepat guna,
bagaimana dan untuk apa.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


6
Dalam kaitannya dengan kegiatan apresiasi sastra di sekolah, yang
terpenting adalah memberikan pengalaman kepada peserta didik.
Peserta didik dibiarkan merasa memperoleh sesuatu, sekurang-
kurangnya kenikmatan dan atau kepuasaan batin. Apresiasi yang paling
indah dan sempurna, peserta didik harus masuk, luluh, dan mencelupkan
pada karya sastra karenanya apresiasi harus diawali dengan pengenalan
karya sastra.
Untuk itu, ada empat tingkatan bagi peserta didik di dalam
mengapresiasi sastra (Endraswara, 2005:79) adalah sebagai berikut : (1)
Menggemari, subjek didik tertarik dan ingin membaca karya sastra.
Ketertarikan untuk membaca adalah indikator bahwa mereka telah
gemar membaca. Apalagi kalau setiap ada karya yang terbit, baik
berupa Koran maupun buku lantas mereka bergegas ingin membaca
berarti telah ada kesungguhan berapresiasi. (2) Menikmati, dalam diri
subjek didik mulai muncul daya atau dorongan batin bahwa karya sastra
memiliki manfaat tertentu. Karya sastra dapat menghibur (sweet) dan
menumbuhkan rasa manis dalani dirinya. Membaca karya sastra
bagaikan orang yang telah lapar ketika akan berbuka puasa. Kalau
sikap ini sudah tumhuh tanpa ada yang menyuruh, jelas ada rasa nikmat
ketika berolah sastra. (3) Mereaksi, subjek didik mampu memberi
respons terhadap karya sastra. Respons ini tergantung pengalaman
masing-masing. Kedalaman pemahaman mereka terhadap karya, juga
akan menentukan respons. Kalau memahami karya sastra disertai
penghayatan emosional, tentu akan berbeda reaksinya dibanding yang
membaca sekadar mengisi waktu luang. Tentu saja respons yang
dimaksud tidak akan (harus) sejauh pengalaman seorang cerpenis,
penyair. dan aktor. Respons yang baik, tentunya disertai alasan mapan
dan bukan asbun (asal bunyi) saja. (4) Produsi, melalui tiga tingkatan
sebelumnya. apabila subjek didik telah berkeinginan menciptakan karya
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


7
sejenis berarti apresiasi telah menunjukkan puncaknya. Kata sejenis
tidak berarti meniru atau mengepigon melainkan cukup disertai niat
untuk membuat karya orisinal dan visi baru.
Keempat tingkatan tadi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
tahapan menurut Natawidjaja, hanya saja tingkatan apresiasi yang
dimaksud oleh Endraswara lebih mengkhusus pada kegiatan apresiasi di
sekolah. Apabila dilihat dari tahapan-tahapan yang ada serta tingkatan
apresiasi di sekolah, penelitian ini mengacu pada tingkatan mereaksi
sebagai hasil dari tahapan pemahaman dan penghayatan yang dilakukan
oleh peserta didik. Secara eksplisit, hal tersebut diuraikan pula oleh
Endraswara yang menyatakan pada lingkaran mereaksi sudah
mencakup pemahaman dan penghayatan di dalamnya.
Pada dasarnya pengajaran sastra bertujuan agar siswa menikmati
dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa. Ada beberapa fungsi pengajaran sastra
menurut Endraswara (2005:51), di antaranya sebagai berikut. (1)
Memberi Wawasan Kemanusiaan, dalam sastra itu sendiri terdapat
beraneka ragam aspek pendidikan mulai pendidikan watak, keindahan.
Religius, moral, dan sebagainya. Sastra yang baik akan mencerminkan
nilai pendidikan yang baik pula. Wawasan kemanusiaan subjek didik
akan dapat dibentuk melalui sastra, manakala subjek didik telah
menyelami kedalaman sifat-sifat manusia, emosi-emosi seseorang,
kemauan-kemauan manusia. Kiranya mereka akan semakin arif dan
menjadi manusia yang berbudi luhur. (2) Mendidik Jiwa Bangsa, dunia
pendidikan tentu saja secara tak langsung berharap agar sastra menjadi
salah satu alternatif jitu terhadap masalah-masalah kehidupan. Sastra
diharapkan menjadi solusi terbaik dengan menggunakan caranya yang
khas mendidik masyarakat. Jika sastra mampu mendidik,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


8
mencerdaskan bangsa, menawarkan nilai-nilai akhlak tentu akan besar
sumbangannya terhadap mental bangsa. (3) Memberi Wawasan Budaya,
pendidikan dan pengajaran sastra semestinya berkonteks pada harkat
martabat manusia, sehingga mampu membuahkan pemikiran-pemikiran
mengenai hak manusia, eksistensi, martabat, jati diri, kepribadian, hak
asasi, dan sebagainya. Manakala pendidikan dan pengajaran sastra
telah mempertinggi wawasan budaya, dengan sendirinya subjek didik
akan menguasai nilai-nilai dan norma-norma sebagai bekal mengarungi
kehidupan.
Untuk itu, agar tujuan pengajaran sastra dapat tercapai hendaknya
selalu bertolak pada aspek manusia, kebudayaan, dan kepribadian.
Dengan itu, melalui pengajaran sastra, baik langsung maupun tidak
langsung, akan memanusiakan manusia itu sendiri.
Cerpen mendapat salah satu bagian dari genre sastra yang
berbentuk prosa fiksi. Istilah prosa fiksi memiliki pengertian cerita
rekaan atau khayalan, sesuatu yang tidak perlu dicari kebenarannya
dalam dunia nyata. Walau berupa khayalan tidak benar jika fiksi
dianggap hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan
perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan
kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kosadaran dan
tanggung jawab (Nurgiyantoro. 2007:3). Hal tersebut didasari karena
pengarang menuliskan ceritanya berdasarkan pengalaman dan
pengamatannya terhadap kehidupan dengan memasukkan unsur
hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.
Pada dasarnya isi sebuah karya sastra memuat perilaku manusia
melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Oleh sebab itu, tidak terlepas dari
pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Yang jelas segala macam
bentuk sastra yang tergolong prosa fiksi merupakan karya imajiner dan
estetis, yang memiliki kebenaran fiksi sesuai pandangan pengarang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


9
terhadap masalah hidup dan kehidupan. Dengan demikian kebenaran
dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang herlaku di
dunia nyata.
Sebuah karya prosa fiksi secara garis besar dibangun oleh dua
bagian unsur. Pembagian dua unsur yang dimaksud adalah unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik tersebut
adalah sebagai berikut. (1) Tokoh ialah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu
cerita. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu
disebut dengan penokohan, (2) Alur adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita
yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita, (3) Setting adalah
latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun
peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologi, (4) Titik
pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita
yang dipaparkannva. Titik pandang atau biasa diistilahkan dengan point
of view atau titik kisah meliputi narrator omniscient (pengisah yang juga
berfungsi sebagai pelaku narrator observer omniscient (pengisah hanya
berfungsi sebagai pengamanat), dan narrator the third person
omniscient (sebagai pelaku ketiga yang tidak terlibat secara langsung
dalam keseluruhan jalinan cerita, pengarang dalam hal ini merupakan
penutur yang serba tahu, (5) Gaya bahasa ialah cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca,
(6) Tema adalah ide cerita yang mendasari suatu cerita sehingga
berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan
karya fiksi yang diciptakannya. (Aminuddin, 1991 : 67-91)
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


10
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisasi karya sastra. Unsur ekstrinsik dapat pula dikatakan
sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya
sastra, tetapi tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian,
unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita
yang dihasilkan.
Oleh karena itu unsur ekstrinsik sebuah prosa harus tetap
dipandang sebagai sesuatu yang penting. Sebagaimana halnya unsur
intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri atas sejumlah unsur, antara lain
keadaan subjektivitas individu pengarang psikologi (baik psikologi
pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan psikologi dalam
karya), keadaan di lingkungan pengarang (seperti : ekonomi, politik, dan
sosial) dan sebagainya (Nurgiantoro, 2007:24).
Dalam penulisan sebuah karva ilmiah pastinya ada tujuan yang ingin
dicapai, demikian pun dengan penalitian ini. Sehubungan dengan
permasalahan yang dikaji, peneliti akan memilih sebuah pendekatan
untuk dijadikan dasar atau pijakan. Pendekatan tersebut tentunya
disesuaikan dengan tujuan apresiasi itu sendiri. Hal tersebut sesuai
dengan apa yang dijelaskan Aminuddin (1991:40) bahwa pendekatan
ialah sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan oleh
seseorang sewaktu mengapresiasi sebuah karya sastra dan bertolak
dari apa yang menjadi tujuan penelitian ini maka peneliti menggunakan
pendekatan resepsi sastra untuk dapat mengetahui gambaran
kemampuan siswa di dalam mengapresiasi sebuah karya sastra.
Resepsi sastra sendiri merupakan wilayah telaah pragmatik sastra.
Meskipun resepsi bagian dari pragmatik sastra, tetapi keduanya tetap
memiliki kekhasan. Pendekatan resepsi sastra menekankan pada aspek
pembaca yang mencoba memahami dan menilai karya sastra
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


11
berdasarkan tanggapan para pembaca terhadap suatu karya sastra
tertentu. Sementara pragmatik sastra mengarah pada kegunaan dan
nilai karya sastra mengarah pada kegunaan dan nilai karya sastra bagi
pembaca.
Secara etimologis rcsepsi berarti tanggapan, maka resepsi sastra
berarti tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Dengan demikian
pendekatan resepsi sastra adalah suatu pendekatan yang mencoba
memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para
pembaca terhadap karya sastra tertentu. Tanggapan tersebut dapat
bersifat positif ataupun negatif (Wiyatmi, 2006:101). Pendekatan ini
mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra sejak terbit selalu
mendapat resepsi atau tanggapan dari para pembaca.
Menurut Jauss (dalam Endraswara, 2008:23) apresiasi pembaca
terhadap karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui
tanggapan-tanggapan. Oleh sebab itu, resepsi sastra berorientasi pada
pembaca di dalam memberikan makna terhadap suatu karya sastra yang
dibaca melalui reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tetapi perlu
diketahui pemberian arti, respons atau tanggapan terhadap sebuah
karya sastra diperoleh dari pemaknaan yang berbeda-beda tergantung
pada cipta rasa sastra masing-masing pembacanya. Pernyataan ini
didukung pula oleh pendapat Damono (dalam Siswanto, 2008:93) yang
mengatakan, Dua orang kritikus tidak mungkin menghasilkan kritik-
kritik yang persis sama meskipun mereka telah bertemu dengan sajak
yang sama. Hal ini disebabkan setiap orang memiliki kemampuan
apresiasi yang berbeda. Begitu pun dengan cerpen Suap karya Putu
Wijaya jika dianalisis oleh orang yang berbeda sudah tentu akan
menghasilkan hasil analisis yang berbeda pula.
Secara garis besar ada tiga jenis analisis resepsi sastra (Wiyatni,
2006 : 102-103), yaitu sebagai berikut. (1) Analisis resepsi sastra secara
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


12
eksperimental dilakukan dengan cara studi lapangan. Caranya karya
sastra tertentu disajikan kepada pembaca tertentu, baik secara individu
maupun berkelompok agar memberikan tanggapannya dengan mengisi
daftar pertanyaan. Jawaban yang menunjukkan tanggapan para
pembaca kemudian dianalisis secara sistematik dan kuantitatif. Dapat
pula dipancing jawaban yang tidak terarah dan bebas, yang kemudian
dianalisis secara kualitatif. (2) Analisis resepsi sastra lewat kritik sastra.
Dalam analisis ini, kritikus dianggap sebagai penanggap utama dan
khas. Karena kritikuslah yang dianggap dapat menetapkan konkritisasi
(pemaknaan) karya sastra dan kritikus pula yang mewujudkan
penempatan dan penilaian karya itu pada masanya dan
mengeksplisitkan tanggapannya terhadap karya sastra. (3) Analisis
resepsi sastra dengan pendekatan intertekstualitas dapat diterapkan
untuk mengetahui resepsi pembaca yang terwujud dalam hubungan
antara dua karya sastra atau lebih. Asumsinya karya sastra tertentu
merupakan bentuk tanggapan atau transformasi terhadap karya sastra
sebelumnya.
Pada dasarnya ketiga jenis analisis sastra tersebut memiliki tujuan
kajian yang sama, yakni berdasarkan pada tanggapan atau reaksi
pembaca. Hanya saja cara kerja masing-masing analisisnya yang
berbeda. Berkaitan dengan pembaca di lapangan, dalam hal ini siswa
sebagai subjek penelitian maka analisis resepsi sastra yang digunakan
dengan bersifat eksperimental terhadap pembaca sastra. Penelitian
secara empirik ini sering dipandang lebih memenuhi standar ilmiah
(Endraswara, 2008 : 126). Apa yang dikemukakan sebelumnya oleh
Wiyatmi mengenai cara kerja resepsi sastra eksperimental serupa
dengan apa yang disampaikan Endraswara.


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


13
III. METODE PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 319 orang.
Tabel 1.1. Populasi Penelitian Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar
tahun Pelajaran 2012/2013.
No. Kelas
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki Perempuan
1. X.1 25 15 40
2. X.2 24 16 40
3. X.3 18 22 40
4. X.4 26 14 40
5. X.5 17 22 39
6. X.6 27 13 40
7. X.7 22 19 41
8. X.8 16 23 39
Jumlah 175 144 319

Menurut Suharsimi (1993 : 107) untuk sekadar ancer-ancer apabila
subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya
merupakan penelitian populasi. Jika jumlah subjeknya besar dapat
diambil antara 10-15% atau 20-25% ataupun lebih, tergantung dari
kemampuan peneliti dilihat dari segi, waktu, tenaga dan dana.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengambil sampel sebanyak 25%
dari jumlah populasi. Dengan demikian, jumlah sampel yang diteliti
adalah 25% x 319 = 79,75 yang dibulatkan menjadi 80.
Adapun teknik yang digunakan dalam penentuan sampel ini adalah
proporsional random sampling. Teknik random sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik undian.
Pendekatan terhadap subjek penelitian merupakan hal yang tidak
boleh diabaikan untuk mendapatkan data yang benar dan sesuai dengan
tujuan. Sehubungan dengan penelitian ini, metode yang digunakan ialah
metode empiris. Dalam hal ini, peneliti tidak lagi membuat situasi buatan
karena gejala yang akan diselidiki di lapangan telah ada secara wajar.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


14
Hal ini sejalan dengan pendapat Netra (1976:36) yang menyatakan
bahwa metode empiris adalah suatu cara pendekatan di mana gejala
yang akan diselidiki itu telah ada secara wajar. Gejala wajar yang
dimaksud ialah apresiasi siswa terhadap cerpen berdasarkan
pendekatan resepsi sastra sesuai dengan kurikulum yang digunakan di
SMA Negeri 8 Denpasar.
Metode pngumpulan data sangat diperlukan setelah pendekatan
terhadap subjek penelitian dilakukan dengan harapan dapat
terkumpulnya data yang baik. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan dalam pengumpulan data, antara lain : metode observasi,
metode wawancara, metode angket atau kuesioner, metode pencatatan
dokumen, dan metode tes. Berkaitan dengan penelitian ini, metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode tes. Menurut
Nurkancana dan Sunartana (1992:34) yang dimaksud dengan tes adalah
suatu cara untuk mengadakan penelitian yang berbentuk suatu tugas
atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak atau
sekelompok anak sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku atau
prestasi anak tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang
dicapai oleh anak-anak lain atau dengan nilai standar yang ditetapkan.
Dalam mengumpulkan data, tes yang digunakan peneliti berupa tes
uraian (esai). Tes esai adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari suatu
pertanyaan atau suatu suruhan yang menghendaki jawaban yang berupa
uraian-uraian yang relatif panjang. Bentuk-bentuk pertanyaan suruhan
yang umum adalah meminta kepada murid-murid untuk
menginterpretasikan dan mencari perbedaan (Nurkancana, 1992:48).
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengumpulkan data
dengan metode tes adalah (1) penyusunan tes, (2) pelaksanaan tes, dan
(3) penilaian hasil tes.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


15
Sebelum penyusunan tes, terlebih dahulu peneliti mengadakan
tinjauan terhadap silabus mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia
(khususnya berkaitan dengan kompetensi dasar apresiasi sastra
terhadap cerpen), buku pedoman guru, dan juga buku pelajaran wajib
yang digunakan di kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2012/2013. Hal ini dilakukan agar materi tes benar-benar representatif
terhadap bahan-bahan pelajaran yang diberikan.
Dalam penyusunan tes, peneliti menggunakan bentuk tes uraian
dengan bentuk pertanyaan yang berkaitan tentang apresiasi terhadap
cerpen Suap karya Putu Wijaya dengan berdasarkan pada pendekatan
resepsi sastra. Siswa diminta untuk mengapresiasi karya sastra tersebut
melalui pertanyaan yang diberikan (lihat pada lampiran 02). Pertanyaan
itu berjumlah empat butir dengan waktu yang disediakan untuk
mengerjakan soal-soal tersebut adalah 90 menit.
Pelaksanaan tes berlangsung pada tanggal 2 Juni 2012 di SMA
Negeri 8 Denpasar. Pada pelaksanaan tes ini, peneliti dibantu oleh guru
bahasa dan sastra Indonesia yang mengajar kelas X di sekolah tersebut.
Bantuan guru bahasa dan sastra Indonesia diperlukan untuk
memberikan penjelasan mengenai tugas yang akan dikerjakan oleh
siswa. Selain itu, bertujuan agar pemberian tugas dapat berlangsung
dengan lancar dan tertib.
Setelah lembar jawaban terkumpul, langkah selanjutnya adalah
penskoran. Penilaian terhadap hasil tes (hasil kerja siswa) dilakukan
berdasarkan pembobotan atau aspek-aspek yang dinilai dalam bentuk
skor. Adapun aspek-aspek yang dijadikan sebagai pedoman penilaian
adalah sebagai berikut yang terdapat pada tabel di bawah ini.



Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


16
Tabel 3. Pedoman Penilaian Hasil Tes
No Aspek-Aspek Penilaian Skor
Maksimum
1
2

3
4
Kesesuaian tema dengan isi
Ketertarikan berdasarkan struktur pembangun
cerpen
Sikap berdasarkan emosi dan situasi
Penilaian berdasarkan minat, pengalaman, dan
struktur pembangun cerpen
5-10
5-10 15-20

5-10-15
15-10-15-20-25
Jumlah

Pada metode pengolahan data, data yang diperoleh diolah lagi
karena data tersebut masih berupa data mentah. Sesuai dengan objek
penelitian ini, maka metede pengolahan data yang digunakan adalah
metode analisis statistik deskriptif. Metode analisis statistik adalah suatu
cara yang digunakan dalam pengolahan data dengan menggunakan
rumus-rumus matematika untuk menggambarkan atau menganalisis
suatu hasil penelitian. Sementara metode deskriptif yaitu suatu cara
pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun data secara
sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum (Netra, 1976:75).
Data yang diperoleh akan disajikan dari nilai tertinggi sampai pada nilai
terendah.
Langkah-lankah yang ditempuh dalam pengolahan data ini adalah (1)
menskor tes, (2) membuat pedoman konversi, (3) menentukan kriteria
predikat kemampuan siswa, (4) mencari skor rata-rata, dan (5) menarik
kesimpulan.
Setelah tes dilaksanakan, lembar jawaban siswa selanjutnya
diperiksa berdasarkan pedoman penilaian yang telah ditentukan.
Langkah selanjutnya memberikan skor sesuai dengan item tes.
Berdasarkan item pertanyaan yang dibuat dan pemberian bobot masing-
masing pertanyaan maka skor maksimal ideal yang dicapai siswa adalah
70.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


17
Dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar digunakan
norma absolut skala seratus, yaitu suatu skala yang bergerak antara nol
sampai seratus. Pengkonversian skor mentah menjadi skor standar
dengan norma absolut skala seratus dipergunakan rumus sebagai
berikut :
X
P = --------------- x 100
SMI
Keterangan :
P = Persentil
X = Skor yang dicapai
SMI = Skor maksimal ideal (Nurkancana dan Sunartana,
1992:99)
Dalam menentukan kriteria predikat kemampuan siswa
digunakan kriteria yang lazim digunakan di sekolah menengah atas.
Demikian pula di dalam menentukan apresiasi siswa terhadap cerpen
Suapkarya Putu Wijaya berdasarkan pendekatan resepsi sastra,
digunakan sama dengan kriteria predikat pada umumnya di tingkat SMA
seperti yang tertera pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Kriteria Predikat Kemampuan Siswa
No Nilai Standar Predikat
(1) (2) (3)
1. 86 100 A (Sangat Baik)
2. 71 85 B (Baik)
3. 56 70 C (Cukup)
4. 41 55 D (Kurang)
5. < 40 E (Sangat Kurang)

Rata-rata (mean) merupakan teknik penjelasan kelompok yang
didasari atas nilai rata-rata dari kelompok tersebut. Rata-rata (mean) ini
didapat dengan menjumlahkan data seluruh individu dalam kelompok
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


18
tersebut kemudian dibagi dengan jumlah individu yang ada pada
kelompok tersebut. Rumusnya sebagai berikut :
fx
M = --------------
N
Keterangan :
M = mean (rata-rata)
fx = jumlah skor dikalikan frekuensi
N = jumlah sampel (Nurkancana dan Sunartana, 1992 : 174)

V. HASIL PENELITIAN
Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk menentukan perolehan
skor standar masing-masing siswa dan juga mencari atau menghitung
skor rata-rata prestasi siswa dalam mengapresiasi cerpen Suap karya
Putu Wijaya berdasarkan pada pendekatan resepsi sastra. Agar
mendapatkan gambaran dari data di atas, maka akan dihitung skor
standar siswa dan skor rata-rata siswa. Terlebih dahulu akan dihitung
skor standar yang diperoleh siswa berdasarkan pedoman konversi. Hasil
perhitungan tersebut, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Data Skor Standar Apresiasi Terhadap Cerpen Suap Karya
Putu Wijaya dengan Pendekatan Resepsi Sastra oleh Siswa
Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013.

No Nama Siswa
Skor
Kualifikasi
Mentah Standar
1 Ni Putu Lia Agustina 65 93 Baik Sekali
2 Ni Made Rian Sudarini 65 93 Baik Sekali
3 Made Teddy Satria Permana 65 93 Baik Sekali
4 I Kadek Andrie Prasetya 65 93 Baik Sekali
5 Made Arya Nugerah Inggas 65 93 Baik Sekali
6 I Gusti Ayu Dewi Mahayanti 65 93 Baik Sekali
7 Luh Putu Eva Sri Sedana 65 93 Baik Sekali
8 Harry Yoga Nugraha 65 93 Baik Sekali
9 I Made Handra Dwi Karya Putra 65 93 Baik Sekali
10 I Gst. Ngurah Oka Aditya Dharma 65 93 Baik Sekali
11 Ida Ayu Wayan Paramita 65 93 Baik Sekali
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


19
12 Ria Okta Lina Purnama Sari 65 93 Baik Sekali
13 I Gusti Made Satria Adiguna 65 93 Baik Sekali
14 Kadek Sri Puspa Yani 65 93 Baik Sekali
15 Gede Adi Maha Putra Sasmitha 60 86 Baik Sekali
16 I Gede Agus Andi Darmagosa 60 86 Baik Sekali
17 Made Vinanda Suparta 60 86 Baik Sekali
18 Ni Made Alit Suartami 60 86 Baik Sekali
19 Gede Andy Prawira 60 86 Baik Sekali
20 I Nyoman Tri Utama Putra 60 86 Baik Sekali
21 Ni Wayan Candra Dewi 60 86 Baik Sekali
22 I Made Dias Pratama 60 86 Baik Sekali
23 Edwin Wibisana 60 86 Baik Sekali
24 I Guti Putu Eka Wirya Adinata 60 86 Baik Sekali
25 Ester Liliana Suwito 60 86 Baik Sekali
26 Ketut Indra Purnama Dewi 60 86 Baik Sekali
27 I Putu Maha Andhika 60 86 Baik Sekali
28 Kadek Mia Komala Sari 60 86 Baik Sekali
29 Nopia Istiawan 60 86 Baik Sekali
30 A.A. Raka Riani Tanaya 60 86 Baik Sekali
31 Putu Ratna Dewi Damayanti 60 86 Baik Sekali
32 Ni Nyoman Sri Ariestini 60 86 Baik Sekali
33 Putu Cahya Januarta 60 86 Baik Sekali
34 Ketut Dima Surya 60 86 Baik Sekali
35 Kadek Dwi Chandra Sinta Dewi 60 86 Baik Sekali
36 I Gst. Ngr. Ag. Eka Martha Satya 60 86 Baik Sekali
37 Gangga Wiweka Sunu 60 86 Baik Sekali
38 Indra Lesmana 60 86 Baik Sekali
39 Putu Indra Miyari 60 86 Baik Sekali
40 Putu Isma Dewi Prabayanti 60 86 Baik Sekali
41 Sang Ayu Nyoman Risna Dewi 60 86 Baik Sekali
42 Nyoman Shintya Purnama Dewi 55 79 Baik
43 I Nyoman Agus Susanta 55 79 Baik
44 I Made Bayuartha 55 79 Baik
45 I Made Deni Surya Permana 55 79 Baik
46 Putu Dika Wijayatama 55 79 Baik
47 Ida Ayu made Dwi Jayanti 55 79 Baik
48 Ni Kadek Dwi Yanthi Supriyadhi 55 79 Baik
49 I Putu Karma Ismayasa 55 79 Baik
50 Ida Ayu Larashati 55 79 Baik
51 Maulana Khodimul H 55 79 Baik
52 Made Prihandika Ganiswara 55 79 Baik
53 I Gusti Ayu Dwi Anggreni 55 79 Baik
54 Made Ayu Indra Cahyani 55 79 Baik
55 Made Januarta Pratias 55 79 Baik
56 Ida Bagus Gede Krisna Wardana 55 79 Baik
57 Lidya Christina 55 79 Baik
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


20
58 Rizki Ashari Syahrial 55 79 Baik
59 I Gede Suma Ardika 55 79 Baik
60 Made Suryanata Prabawa 55 79 Baik
61 Ni Komang Hari Setia Dewi 50 71 Baik
62 Ni Nyoman Sri Budiantari 50 71 Baik
63 Ni Putu Ayu Siska Pebria Dewi 50 71 Baik
64 Ayu Wulandari 50 71 Baik
65 Putu Ayu Yulia Puspa Rani 50 71 Baik
66 Ni Made Dwi Permata Sari 50 71 Baik
67 Putu Emi Wahyudi Adi 50 71 Baik
68 Putu Gerhans Prawira Risnawan 50 71 Baik
69 Gery Dame Malelak 50 71 Baik
70 Ni Wayan Tiana Pertiwi 50 71 Baik
71 A.A. Tri Ayu Widyawathi 45 64 Cukup
72 Ida Ayu Angga Purnama Dewi 45 64 Cukup
73 I Gusti Ngr. Ag. Anom Suryawan 45 64 Cukup
74 Putu Ari Antara 45 64 Cukup
75 I Putu Arya Wibisana 45 64 Cukup
76 I Made Feki Raharjo 45 64 Cukup
77 I Wayan Eka Arta Jaya 45 64 Cukup
78 Gede Bagus Aryadhana 40 57 Cukup
79 I Gst. Ag. Ngr. Arpan Eka Putra 40 57 Cukup
80 Gede Chrisna Saputra 40 57 Cukup
Jumlah 4505

Bertolak dari apa yang disajikan pada tabel 5, maka dapat diperoleh
data sebagai berikut :
14 siswa memperoleh skor standar 93 dengan kualifikasi baik sekali;
27 siswa memperoleh skor standar 86 dengan kualifikasi baik sekali;
18 siswa memperoleh skor standar 79 dengan kualifikasi baik;
11 siswa memperoleh skor standar 71 dengan kualifikasi baik;
7 siswa memperoleh skor standar 64 dengan kualifikasi cukup;
3 siswa memperoleh skor standar 57 dengan kualifikasi cukup;
Apabila dilihat dari perolehan skor standar terdapat hanya tiga
orang siswa yang mendapatkan skor 57 dan berdasarkan kualifikasi skor
yang diperoleh maka ketiga siswa tersebut termasuk ke dalam kategori
cukup. Namun, jika dilihat dari perolehan skor di antara 80 siswa yang
dijadikan subjek penelitian, ketiga siswa ini memperoleh nilai yang paling
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


21
kecil dibandingkan yang lainnya. Penyebabnya bukan karena ketiga
siswa tersebut tidak mampu, melainkan kurangnya kemauan siswa untuk
mengerjakan tugas yang diberikan sehingga siswa mengerjakan tugas
tersebut seadanya. Kasus yang ada di lapangan adalah dua orang siswa
jawabannya sama persis dan satu orang lagi menjawab soal yang
diberikan tanpa disertai alasan atau penafsiran secara rinci.
Setelah memperoleh skor standar siswa, maka skor rata-rata siswa
akan dapat dihitung dengan menggunakan bantuan tabel berikut ini.
Tabel 6. Data Frekuensi Nilai Siswa Dalam Mengapresiasi Cerpen
Suap Karya Putu Wijaya dengan Pendekatan Resepsi Sastra
oleh Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran
2012/2013.

No X F FX
1. 93 14 1302
2. 86 27 2322
3. 79 18 1422
4. 71 11 781
5. 64 7 448
6. 57 3 171
Jumlah 80 6446

Berdasarkan skor yang dicapai oleh masing-masing siswa seperti
yang terlihat pada tabel 4.3 di atas, maka dapat dihitung nilai rata-rata
siswa dengan menggunakan rumus berikut :
fx
M = --------------
N
Keterangan :
M = mean (rata-rata)
fx = jumlah skor dikalikan frekuensi
N = jumlah sampel (Nurkancana dan Sunartana, 1992 : 174)


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


22
Penggunaan rumus di atas akan diperoleh skor rata-rata siswa adalah :
fx
M = -------------
N
6446
= -------------
80
= 80,57
Hasil perhitungan di atas, berupa bilangan pecahan. Untuk itu,
akan dilakukan pembulatan atas hasil yang diperoleh, rata-rata skor
yang didapat berdasarkan perhitungan di atas adalah 80,57 dibulatkan
menjadi 81. Skor ini sudah dalam bentuk skor standar. Sesuai dengan
pedoman konversi, skor 81 berada pada rentangan 71-85 dengan
kualifikasi baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apresiasi
terhadap cerpen Suap karya Putu wijaya dengan pendekatan resepsi
sastra oleh siswa kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2012/2013 dikategorikan baik.
Berdasarkan tabel 6 dan rata-rata skor siswa akan dapat dihitung
pula persentase tingkat apresiasi cerpen Suap karya Putu Wijaya
dengan pendekatan resepsi sastra oleh siswa kelas X SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2012/2013. Persentase tersebut disajikan
pada tabel di bawah ini.
Tabel 7. Persentase Tingkat Mengapresiasi Cerpen Suap Karya Putu
Wijaya dengan Pendekatan Resepsi Sastra oleh Siswa Kelas X
SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013.
No Nilai Kualifikasi Frekuensi Persentase
1. 86 - 93 Sangat Baik 41 51,25%
2. 7 - 79 Baik 29 36,25%
3. 57 - 64 Cukup 10 12,5%
Jumlah 80 100%

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


23
Sementara berpijak pada persyaratan ketuntasan mata pelajaran
bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar sebagai tempat
pelaksanaan penelitian ini, memiliki KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)
yang harus dipenuhi siswa untuk dapat dinyatakan tuntas dengan nilai
70, maka dapat diperoleh data seperti tabel di bawah ini.
Tabel 8. Pengelompokan Mengapresiasi Cerpen Suap Karya Putu
Wijaya oleh Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar dengan
Pendekatan Resepsi Sastra.

No Nilai Predikat Jumlah
Siswa
Persentase Keterangan
1. 86 -
93
Sangat
Baik
41 51,25% Tuntas
2. 7 - 79 Baik 29 36,25% Tuntas
3. 57 -
64
Cukup 10 12,5% Tidak Tuntas

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 10 siswa
atau 12,5% tidak memenuhi standar nilai ketuntasan yang ditetapkan
oleh sekolah tersebut, maka 10 siswa ini dinyatakan tidak tuntas.
Sebagian besar siswa, yakni 70 orang (87,5%) dinyatakan tuntas sesuai
kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan tingkat
kemampuan apresiasi siswa kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013 dengan pendekatan resepsi sastra tergolong baik.
Hal itu dilihat dari nilai rata-rata yang diperoleh adalah 81. Ini artinya
siswa memiliki pemahaman dan penghayatan yang baik sehingga dapat
memberikan tanggapan atau respons terhadap cerpen Suap karya
Putu Wijaya. Baiknya tingkat mereaksi siswa terhadap sebuah karya
terlihat dari perolehan skor yang didapat masing-masing siswa, yang
mana skor para siswa berada pada rentangan nilai 57-93 dengan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


24
perolehan skor terbanyak 86. Sementara dilihat dari sisi karyanya,
sebagian besar siswa memberikan tanggapan atau respon yang baik dan
positif terhadap cerpen ini sehingga secara tidak langsung menandakan
bahwa cerpen Suap karya Putu Wijaya diterima oleh siswa. Hal
tersebut dapat dilihat dari penilaian para siswa mengenai cerpen
tersebut melalui tes uraian yang diberikan. Namun, bukan masalah
kualitas karya yang menjadi pembahasan utama pada penelitian ini
karena peneliti lebih menitikberatkan pada kemampuan siswa dalam
mengapresiasi cerpen Suap karya Putu Wijaya dengan menggunakan
pendekatan resepsi sastra.

DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : CV.
Sinar Baru.
Arifin, E. Zaenal. 2003. Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah; Lengkap
dengan Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta : Grasindo.
Chulsum, Umi dan Windy Novia. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Surabaya : Kashiko.
Eagleton, Terry. 2007. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Endraswara, Suwardi. 200. Metode Penelitian Psikologi Sastra.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Hadi, Sutrisno. 1983. Metodelogi Research 1. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa
Natawidjaja, P. suparman. 1982. Apresiasi & Sastra Budaya. Jakarta:
Intermasa.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


25
Netra, Ida Bagus. 1976. Metode Penelitian. Singaraja: Biro Penelitian dan
Penerbitan Universitas Udayana.
Nurkancana, Wayan dan Sunartana. 1992. Evaluasi Hasil belajar.
Surabaya: Usaha Nasional.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta Gajah
Mada University Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera.
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta:
Gama Media.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo.
Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Bumi Aksara.
Suprapto. 2009. Pendidikan Antikorupsi yang Realistis. Dalam Jawa
Pos. 29 Mei 2009. Surabaya.
Suroso., dkk. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodelogi, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Elmatera.
Wijaya, Putu. 2008. Suap. Dalam Jawa Pos. 21 September 2008.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
www.Tokohindonesia.com Putu Wijaya, diakses hari Senin, 23 Februari
2009.







Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


26
BIMBINGAN KONSELING HIV&AIDS
Oleh :
A. A. Ngurah Adhiputra
Dekan FIP IKIP PGRI Bali

ABSTRACT
Counsellor or guidance teacher will be very much strategy in
help the community and government to intimidate explode
epidemic HIV/AIDS. In the future, counselling services will not
only be limited to the order of school, but on the broader society,
where the school is only one part of social order. Either of training
are counsellor or guidance teacher in the school and the student
as well as mentors to understand comprehensive and heighten on
base the knowledge HIV/AIDS. To follow up an people HIV/AIDS
(Odha), to action counselling of the people infection HIV positive.
Service counselling HIV/AIDS is service to client (Odha) of a
problem solving will not be stress or mental disorder, but the
discrimination community-social and advice to continuous
hospitalization a number of CD4 in zone for the best. The become
not yet all as government this know is will be service peer-
counselling a people HIV posi tive, and individual counselling a
people AIDS.

Key Words: Peer Counselling, Individual Counselling, and
Advance Directives.

I. LATAR BELAKANG
Pada masa yang akan datang, tenaga konselor dan praksis
bimbingan dan konseling tidak hanya akan terbatas pada tat anan
sekolah, melainkan pada tatanan masyarakat yang lebih luas,
dimana sekolah hanya merupakan salah satu bagian dari tatanan
masyarakat tersebut. Menghadapi perkembangan seperti itu,
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP PGRI Bali harus secara antisipatif
dan proaktif membenahi tatanan kinerja para lulusannya, dengan
menyiapkan perangkat program yang bukan hanya sekedar
memenuhi kebutuhan dan ekspektasi lingkungan masa kini,
melainkan kebutuhan dan ekspektasi lingkungan pada masa yang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


27
akan datang, bahkan menyodorkan bidang-bidang layanan baru
kepada masyarakat. Dengan kata lain, Program Studi Bimbingan
dan Konseling FIP IKIP PGRI Bali bukan hanya memenuhi
kebutuhan masyarakat, melainkan menciptakan kebutuhan
masyarakat akan layanan baru tentang bimbingan dan konseling.
Dalam menghadapi tantangan begitu pesatnya penyebaran infeksi
HIV&AIDS dimasyarakat yang sekarang jumlahnya secara
signifikan terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi
(epidemi HIV/AIDS adalah penyakit yang terlihat dipermukaan
begitu kecil, ibaratkan puncak gunung es, tetapi kenyataannya
akan mengancam ribuan masyarakat akan terinfeksi HIV), maka
diperlukan suatu langkah strategis layanan konseling HIV& AIDS.
Pemerintah sudah melaksanakan langkah-langkah
pencegahan (preventive) yang optimal dalam memerangi epidemi
HIV& AIDS, melalui Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) baik di
tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota, seperti:
mensosialisasi bahaya penyebaran virus HIV& AIDS kepada
masyarakat luas dan para siswa di sekolah baik di tingkat SMP,
SMA, dan SMK; membentuk kelompok Tutor teman sebaya di
tingkat sekolah; membentuk Kelompok Siswa Peduli AIDS (KSPA)
dan Kelompok Mahasiswa Peduli AIDS (KMPA); Pembentukan
Pusat Informasi Konseling (PIK) Siswa dan Mahasiswa melalui
program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR)
juga perlu dibentuk di setiap sekolah dan kampus yang
bekerjasama dengan pemerintah BKKBN Provinsi dan kepala
Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan di
tingkat Kabupaten dan Kota guna mempersiapkan generasi
berencana dan menjauhkan diri dari narkoba dan infeksi
HIV&AIDS, dan juga memberikan pelayanan konseling & Tes
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


28
sukarela (VCT), pelayanan, dukungan & perawatan (CST), layanan
infeksi menular seksual (IMS), layanan program pencegahan Ibu
ke Anak (PMTCT), layanan alat suntik steril (LASS), layanan
program terapi rumatan Matadon (PTRM).
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu adanya dukungan dari
pihak pemerintah dan pihak-pihak yang terkait secara bersama-
sama membentuk kelompok-kelompok pendamping untuk
menekan angka peningkatan orang yang terinfeksi HIV&AIDS.
Salah satunya adalah melatih para guru pembimbing atau
konselor di sekolah dan juga melatih para mahasiswa calon
konselor yang dibekali tentang pemahaman secara komprehensif
dan mendalam tentang pengetahuan dasar HIV&AIDS. Hal ini bisa
dilakukan dengan mencetak buku bimbingan konseling HIV&AIDS;
melakukan seminar dan lokakarya (Semlok) atau melakukan
workshop dengan pembicara dari para ahli di bidang kesehatan,
psikolog, ketua KPA, LSM, dan konselor. Dengan demikian hal
yang belum tersentuh oleh pemerintah selama ini adalah
memberikan pelayanan konseling kelompok teman sebaya ( Peer
Counseling) bagi orang dengan HIV positif, dan Konseling
Individual bagi orang yang menderita AIDS. Dibawah ini
dijelaskan secara singkat asal muasal datangnya virus HIV di
dunia dan jumlah penderita yang terinfeksi HIV&AIDS di seluruh
Dunia dan juga perkembangan orang yang terinfeksi HIV positif di
Indonesia.
Epidemi HIV sudah berlangsung selama 25 tahun, banyak
sekali informasi yang tersedia bagi pasien dan tenaga medis
mengenai HIV dan AIDS. Dengan sekian banyak situs Web dan
buku teks serta tumpukan pamflet yang tersedia, orang akan
bertanya apakah diperlukan sebuah buku lain mengenai layanan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


29
bimbingan konseling HIV&AIDS bagi mahasiswa calon konselor.
Saya berpendapat sebagai praktisi di bidang pendidikan dan
sebagai konselor sangat dibutuhkan sebuah buku atau informasi
mengenai pengetahuan dasar tentang HIV&AIDS bagi para
mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling serta bagi orang
yang peduli terhadap hal tersebut untuk memberikan pelayanan
profesional tentang layanan konseling HIV&AIDS.
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Ini
adalah virus yang menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). HIV ditularkan dari orang ke orang lewat hubungan seksual,
terpapar darah, melahirkan anak, atau menyusui (Gallant, MD., 2010:
16).
Hasil riset sekarang menunjukkan bahwa HIV-1*, jenis HIV yang
paling umum di seluruh dunia. Pertama kali menginveksi manusia di sub-
Sahara Afrika suatu saat dalam paruh pertama dari abad kedua puluh.
Virus itu ditularkan dari simpanse, mungkin ketika manusia terkena
darah simpanse sewaktu berburu atau memotong-motong dagingnya.
HIV mungkin tetap berada di Afrika selama bertahuntahun, salah satu
sebabnya adalah transportasi di dan dari Afrika belum lancar. Ini terbukti
bahwa manusia yang terinfeksi HIV di benua Afrika sudah ada sejak
tahun 1959. Virus ini akhirnya tersebar keluar Afrika, mungkin memasuki
benua Amerika Serikat (USA) antara pertengahan dan akhir tahun 1970-
an. Kasus luar biasa dari infeksi langka dan kanker mulai dideteksi di
antara kaum laki-laki homoseksual dan biseksual antara tahun 1979 dan
1981, ketika laporan ini pertama kali muncul dalam journal kedokteran,
bukti yang jelas bahwa ada epidemi yang baru muncul. HIV ditemukan
tahun 1983, sehingga cara pengujian darah dan akhirnya pengobatan
dapat ditemukan.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


30
Penyakit ini pada awalnya dilaporkan menjangkiti para laki-laki
homoseksual dan biseksual, tetapi kelompok resiko kemudian meluas
menyertakan pengguna obat terlarang yang disuntikkan, penderita
hemofili, dan orang Haiti. Akhirnya terkuak bahwa tingkah laku
beresiko lebih penting dari pada kelompok resiko. Orang dapat
terinfeksi lewat hubungan seksual yang tidak dilindungi, terpapar darah
yang terinfeksi, atau lewat persalinan atau menyusui. Sekarang ini
diperkirakan bahwa lebih dari 40 juta anak-anak dan orang dewasa
terinfeksi HIV di seluruh dunia (Gallant, MD., 2010: 19).
Sedangkan di Negara Indonesia diperkirakan bahwa kasus AIDS
berjumlah 26.483 jiwa dan 5.056 diantaranya telah meninggal (laporan
Ditjen PPM & PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada
tanggal 13 Juli 2011). Kasus tersebut sebagian besar terdapat di DKI
Jakarta (3997), Papua (3938), Jawa Barat (3809), Jawa Timur (3775), dan
Bali (1747). Dari kasus tersebut 72,3 % adalah laki-laki dan 27,4 %
perempuan. Sehingga tidak mengherankan jika kasus AIDS terbesar
menular melalui hubungan seksual (54,8 %) dan menimpa kelompok usia
produktif (usia 20-29 tahun sebanyak 46,4 %, dan 30-39 tahun sebanyak
31,5 %). Permasalahan menjadi tambah rumit karena meluasnya
kegiatan prostitusi oleh pekerja seks komersial (PSK) yang sulit dipantau
dan dikendalikan. Kegiatan prostitusi telah merambah sampai di
pedesaan dengan adanya kafe remang-remang yang menjamur. Resiko
penularan tidak hanya terjadi antara PSK dan pelanggannya, tetapi
pelanggan dapat menularkan infeksi kepada pasangan seksualnya yang
lain termasuk istri mereka dirumah. Apabila istri mereka sedang hamil
maka infeksi tersebut dapat menular kepada bayi yang dilahirkan.
Penderita HIV&AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan di Bali
tahun 1987 seorang wisatawan berusia 44 tahun asal Belanda
meninggal di rumah sakit Sanglah Provinsi Bali. Dimana rumah sakit
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


31
Sanglah adalah rumah sakit pertama di Indonesia yang merawat
penderita HIV&AIDS. Hingga akhir tahun 1987, ada enam orang yang
didiagnosis HIV positif, dua diantara mereka telah mengidap AIDS. Sejak
tahun 1987, orang Indonesia yang pertama meninggal karena AIDS
dilaporkan di Bali pada bulan Juni 1988. Selain Bali, setidaknya ada
enam provinsi yang menjadi sumber perkembangan epidemi HIV&AIDS.
Ke-enam provinsi tersebut adalah Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, Papua, dan Riau. Selain itu, kecenderungan serupa juga terjadi di
daerah lain. Seiring dengan perjalanan waktu, Bali kini meraih peringkat
ke dua tingkat nasional setelah Papua dalam hal jumlah penderita
HIV&AIDS di Indonesia. Bali sebagai daerah pariwisata terkenal di
Dunia, sejak lama telah dikhawatirkan akan menerima dampak dari
pergaulan internasional tersebut. Selain kasus kriminal berjaringan
internasional seperti narkoba dan pencucian uang, daerah ini juga
rentan berbagai kasus penyakit menular yang dibawa masyarakat dunia.
Salah satunya HIV&AIDS yang kasusnya memang pertama kali
ditemukan di Bali. Dan kini, fenomena gunung es dalam kasus ini pun
menjadi kenyataan, hanya dalam rentang waktu seminggu, lima pasien
HIV&AIDS yang dirawat di RS Sanglah meninggal.
Dalam waktu tiga bulan, penambahan penderita HIV&AIDS
baru di Bali mencapai 695 orang. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Provinsi Bali, hingga akhir tahun 2011 penderita
HIV&AIDS di Bali tercatat 5.222 orang. Namun data Maret 2012
menunjukkan jumlahnya 5.917 orang atau terjadi penambahan
sekitar 695 orang terinfeksi positif HIV&AIDS saat ini (terjadi
peningkatan sekitar 20%). Penderita paling banyak di usia
produktif yaitu rentang umur 20-29 tahun sebanyak 2.456 orang
(41,51%) dan rentang usia 30-39 tahun sebanyak 2.099 orang
(33,47%). Faktor resiko tinggi masih dipegang oleh hubungan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


32
heteroseksual sebanyak 73,77%, menyusul faktor resiko IDU atau
jarum suntik narkoba sebanyak 13,54%. Kasus HIV&AIDS
menyerang secara diam-diam di tubuh manusia. Namun, jika
mengalami tes dini, virus i ni bisa terdeteksi pada minggu ke-8
hingga ke-12 setelah virus masuk ke tubuh manusia disebut
periode jendela. Selama periode 5-10 tahun, orang yang terinfeksi
terlihat sehat atau disebut masa Asimtomatik, sebelum akhirnya
menunjukkan gejala setelah periode tersebut. Ini membuktikan
bahwa penyakit yang mematikan dan nyaris fatal secara universal,
tidak dapat diobati atau belum dapat disembuhkan telah menjadi
penyakit yang sangat mengkuatirkan masyarakat dunia. Khusus di
Bali, biasanya kasus HIV&AIDS ditemukan pada pada periode
Asimtomatik. Jarang yang tertangkap saat masih dalam periode
jendela.
Jadi sebagai seorang Konselor harus dapat menyadarkan klien
(Odha) dalam memberikan layanan konseling bahwa untuk memastikan
Anda tidak pernah menulari siapa-pun, termasuk pasangan anda yang
negatif. Infeksi ini berhenti pada diri saya adalah kata-kata yang
seharusnya menjadi pegangan klien (Odha). Tentu saja, orang dewasa
yang HIV negatif harus waspada mengenai risikonya dan harus
melindungi diri sendiri juga. Sayangnya, pendekatan itu tidak dicermati
oleh kebanyakan orang. Epidemi tetap terus tumbuh. Konselor memiliki
peran yang sangat penting mengubah pesan pencegahan untuk
memfokuskan pada orang yang menderita HIV positif orang yang tahu
lebih baik dari pada siap-pun betapa penting mencegah penularan dan
mereka harus memikul tanggungjawab paling besar untuk tidak
menyebarkan infeksi HIV ini kepada siapa-pun.
Merupakan kewajiban moral pasangan yang positif HIV untuk tidak
bekerja sama dengan tingkah laku merusak diri seperti itu, untuk
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


33
memastikan bahwa HIV mereka tidak pernah menyebar. Setiap orang
bertanggungjawab atas dirinya sendiri bukan falsafah yang memajukan
dunia yang kita inginkan. Kita hidup bermasyarakat dan harus saling
mengawasi.
Kewajiban seorang Konselor untuk terus menerus
memberikan langkah yang aman agar terhindar dari infeksi
HIV&AIDS adalah sebagai berikut: (1) setia pada pasangan, (2)
tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian atau narkoba,
(3) menggunakan kondom (kondom pria dan/at au kondom wanita)
secara konsisten dan benar, bila anda melakukan hubungan
seksual yang berisiko, dan (4) membatasi jumlah pasangan
seksual atau berpantang seks. Sebagai tambahan yang lain untuk
menghindari infeksi, yaitu: bila Anda seorang pengguna narkoba
suntikan, selalu gunakan jarum suntik atau semprit baru yang
sekali pakai atau jarum yang secara tepat disterilkan sebelum
digunakan kembali. Pastikan bahwa darah dan produk darah telah
melalui tes HIV dan standar keamanan darah dilaksanakan.

II. PEMBAHASAN
1. Perbedaan antara HIV dan AIDS
Setiap orang menderita AIDS pasti terinfeksi HIV, namun tidak
semua orang dengan infeksi HIV menderita AIDS. AIDS adalah singkatan
dari Acquired Immunodeficiency Syndrome (sindrom hilangnya
kekebelan tubuh yang diperoleh). Disebut acquired (diperoleh) karena
Anda hanya menderita kalau terinfeksi HIV dari orang lain yang sudah
terinfeksi. Immunodeficiency berarti menyebabkan rusaknya sistem
kekebalan tubuh. ini disebut Syndrome karena ditahun-tahun sebelum
HIV ditemukan dan dikenali sebagai penyebab AIDS, kita mengenali
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


34
sejumlah gejala dan komplikasi, termasuk infeksi dan kanker yang terjadi
pada orang yang mempunyai faktor-faktor risiko umum.
Di tahun 1993, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
memperluas difinisi AIDS dengan menyertakan orang dengan jumlah
CD4 kurang dari 200. Hindari istilah AIDS yang sudah berkembang
sepenuhnya. Ini istilah kuno, tidak perlu khawatir dan tidak berarti
apapun kecuali AIDS. Sebenarnya, kata AIDS juga tidak bermanfaat. Bila
Anda HIV positif, penyakit yang anda derita adalah infeksi HIV atau
penyakit HIV. AIDS hanya merujuk pada tahap yang lebih lanjut dari
penyakit itu. Pengobatan dapat mencegah agar infeksi HIV tidak berubah
menjadi AIDS, dan dapat memulihkan kesehatan orang yang sudah
menderita AIDS. Dalam pandangan organisasi dan ilmuwan yang
mengikuti perkembangan epidemic, setelah Anda menderita AIDS, anda
akan selalu menderita AIDS. Namun hal yang lebih penting bagi perawat
kesehatan Anda dan seharusnya lebih penting bagi Anda adalah
bagaimana keadaan anda sekarang.
Tahap pertama dari infeksi HIV, terjadi beberapa minggu setelah
penularan, disebut infeksi primer atau Acute Retroviral Syndrome
(ARS). Sakitnya mungkin ringan dan singkat atau bisa juga cukup berat
sehingga penderita harus dirawat di rumah sakit. Biasanya, gejala-gejala
serupa dengan penyakit flu atau mononucleosis. Gejala itu termasuk
demam, nyeri otot, lelah, sakit tenggorokan, kelenjar betah bening
bengkak atau ruam. Kadang-kadang orang yang menderita ARS
kekebalan tubuhnya tertekan secara serius dan menderita infeksi
oportunistik yang normalnya hanya terjadi pada orang yang sudah lama
menderita penyakit HIV, namun keadaan ini jarang terjadi.
ARS akan mereda dengan sendirinya dan diikuti dengan tahap laten
(tersembunyi) biasanya disebut infeksi HIV Asimptomatik. Penderita
pada umumnya merasa sehat selama tahap ini, walaupun kelenjar betah
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


35
beningnya mungkin membesar (limfadenopati), dan beberapa kondisi
umum dapat terjadi lebih sering atau lebih berat, termasuk infeksi ragi di
vagina, herpes, atau sinanaga.
Beberapa orang mengalami gejala-gejala infeksi HIV sebelum benar-
benar mengalami AIDS. Tahap ini disebut sebagai infeksi HIV
simptomatik (sebelumnya disebut AIDS related complex, atau ARC).
Gejala-gejalanya termasuk penurunan berat badan, kandidiasis (infeksi
ragi dalam mulut), diare yang tak kunjung sembuh, berkeringat dimalam
hari, dan keletihan.
Selama ARS, tes HIV standar (serologi) sering negatif atau tidak
pasti, tetapi jumlah virus pasti amat tinggi (mencapai ratusan ribu atau
bahkan juta). Ke dua tes harus diminta kalau pasien diduga ARS. Bila
hasil serologi negatif dan jumlah virus tidak terdikteksi, maka HIV bukan
penyebab gejala-gejala tersebut.
Penting untuk menegakkan diagnosis ARS karena beberapa alasan.
Pertama, orang ditahap ini mempunyai jumlah HIV yang amat besar
dalam darah, air mani, dan cairan vagina mereka. Dengan mudah
mereka dapat menyebar HIV kepada orang lain, bila mereka tidak tahu
bahwa mereka sudah terinfeksi. Kedua, ada kemungkinan terinfeksi
dengan HIV yang resisten terhadap obat (virus yang tidak tertekan oleh
satu atau beberapa obat). Waktu yang paling baik untuk menguji
resistensi yang ditularkan adalah selama ARS. Hasil tes resistensi
menyatakan virus anda resisten terhadap obat yang mana. Tidak semua
virus terpengaruh oleh semua pengobatan. Tes resistensi membantu
tenaga medis Anda memilih obat terbaik untuk mengobati virus anda
(apakah anda menjadi kebal bila pengobatan anda gagal dan untuk
menentukan obat mana yang tidak dapat digunakan lagi dan obat mana
yang digunakan selanjutnya).
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


36
Anda menderita AIDS bila jumlah CD4 Anda turun di bawah 200
(anda mengalami gejala atau tidak) atau ketika kondisi indikator AIDS
telah didiagnosis. Pada umumnya jumlah CD4 mencapai 200 sebelum
pasiennya mengalami komplikasi, jadi jumlah CD4 yang rendah adalah
alasan paling umum untuk didiagnosis AIDS. Kalau jumlah CD4 turun
lagi, kemunkinan komplikasi dalam daftar timbul (seorang dengan jumlah
CD4 di bawah 50 sebagai mengalami infeksi HIV tingkat lanjut).
Hanya ada sedikit cara HIV dapat menyebar. Sebagai seorang
Konselor harus secara terus menerus memberikan layanan bimbingan
konseling bagi klien (orang yang belum terinfeksi) untuk tindakan
preventif (khusus bagi kalangan siswa di tingkat SMP, SMA/SMK
diperlukan pelatihan Tutor Sebaya KSPAN), yaitu:
a. Penularan Seksual. Hal ini terjadi lewat hubungan seksual di
vagina atau di anus. HIV dapat menyebar lewat seks, cairan
vagina, atau darah dari orang yang sudah terinfeksi harus
memasuki badan orang yang belum terinfeksi.
b. Terpapar Darah. HIV dapat tertular lewat transfusi darah,
walaupun risiko ini praktis dihilangkan di tempat-tempat yang
menguji darah donor. Jauh lebih umum, penularanya lewat
penggunaan obat terlarang yang disuntikan, ketika pengguna
yang negatif menggunakan jarum suntik bersama-sama dengan
pengguna yang positif. Tenaga medis ada yang tertular kalau
tertusuk jarum yang mengandung darah yang terinfeksi atau
ketika mata, hidung, atau luka yang terbuka terpecik darah atau
cairan badan dari pasien yang positif HIV.
c. Melahirkan Anak dan Menyusui. Perempuan yang terinfensi HIV
dapat menularkan HIV kepada bayinya saat melahirkan anak
(biasanya saat melahirkan atau beberapa saat sebelumnya) atau
dengan menyusui. Bayi tidak terinfeksi saat dikandung, jadi laki-
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


37
laki dengan HIV positif hanya dapat menulari bayinya secara
tidak langsung dengan menulari ibunya.
HIV tidak menyebar, lewat kontak dengan air ludah, air seni,
keringat atau feses, dan tidak seperti yang dipercaya oleh masyarakat
luas, penyakit ini tidak ditularkan oleh nyamuk, kulit utuh yang terpapar
cairan badan, berpegangan tangan, berciuman, berpelukan,
menggunakan gelas minum atau peralatan makan bersama-sama, saling
melakukan mastrubasi, atau mempunyai pikiran yang jorok.
Seberapa cepat HIV bisa berkembang menjadi AIDS, lamanya
dapat bervariasi dari satu individu dengan individu yang lain. Dengan
gaya hidup sehat, jarak waktu antara infeksi HIV dan menjadi sakit
karena AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, kadang-kadang bahkan
lebih lama. Terapi antiretroviral dapat memperlambat perkembangan
AIDS dengan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam tubuh yang
terinfeksi.

2. Metode dan Pendekatan
Dalam merancang model konseling HIV&AIDS digunakan metode
dan pendekatan konseling teman sebaya (peer counselling); konseling
individual; dan pengarahan awal (advance directives). Untuk ketiga
aspek tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut.

3. Gejala-gejala Umum yang ditimbulkan oleh HIV
Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya
karena tidak ada gejala yang tampak segera telah terjadi infeksi awal.
Beberapa orang mengalami gangguan kelenjar yang menimbulkan efek
seperti demam (disertai panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan
pembengkakan pada limpa), yang dapat terjadi pada saat
seroconversion. Seroconversion adalah pembentukan antibodi akibat
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


38
HIV yang biasanya terjadi antara 6 minggu dan 3 bulan setelah terjadinya
infeksi.
Kendatipun infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang
terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang
lain. Satu-satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada di dalam
tubuh seseorang adalah melalui tes HIV. Infeksi HIV menyebabkan
penurunan dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Hal ini
menyebabkan tubuh renta terhadap infeksi penyakit dan dapat
menyebabkan berkembangnya AIDS.
Istilah AIDS dipergunakan untuk tahap-tahap infeksi HIV yang paling
lanjut. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat
pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10
tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang
dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organizatioan), sebagai berikut:
a. Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak
dikatagorikan sebagai AIDS.
b. Tahap II (meliputi manifestasi mucocutaneous minor dan infeksi-
infeksi saluran pernafasan bagian atas yang tak sembuh-
sembuh)
c. Tahap III (meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya
yang berlangsung lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang
parah, dan TBC paru-paru), atau
d. Tahap IV (meliputi Toksoplasmosis pada otak, Kandidiasis pada
saluran tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan
(trachea), batang saluran paru-paru (bronchi) atau paru-paru
dan Sarkoma Kaposi). Penyakit HIV digunakan sebagai indikator
AIDS.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


39
Organisme yang paling umum menyebabkan masalah mulut dan
tenggorokan adalah Kandidiasis Orofaring, populasi Candida (ragi
atau jamur) yang menjadi banyak sekali. Kandidiasis ini mudah
didiagnosis menggunakan cermin dan senter. Anda akan melihat bercak-
bercak seperti gumpalan susu berwarna kuning keputihan, terutama
dilangit-langit dan di kedua sisi mulut, bagian belakang tenggorokan, dan
gusi. Bercak-bercak ini dengan mudah dapat dibuang dengan dikerok.
Jangan salah mengenali lapisan berwarna putih pada lidah sebagai
kandidiasis. Lidah biasanya bagian terakhir dari mulut yang terinfeksi,
dan lapisan putih pada lidah, tanpa bukti adanya kandidiasis ditempat
lain, biasanya ....... lapisan putih pada lidah.
Kandidiasis dapat juga salah dikenali sebagai oral hairy leukoplakia
(OHL), kondisi yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr yang terlihat
seperti garis-garis putih memanjang di kedua sisi lidah. Tidak seperti
kandidiasis, garis putih itu tidak dapat dibuang dengan dikerok. Selain
kandidiasis, Candida dapat menyebabkan masalah mulut yang lain
erythematous candidiasis (langit-langit berwarna merah yang kadang-
kadang sakit) dan angular cheilitis (sudut bibir pecah-pecah).
Tukak yang terasa sakit di mulut dapat disebabkan oleh virus,
namun lebih sering adalah apthous ulcer, yang pada dasarnya berarti
bahwa kita tidak tahu apa yang menyebabkannya. Diagnosis dari kondisi
ini pada umumnya didasarkan pada apa yang terlihat saja; tes khusus
biasanya tidak diperlukan.
Kandidiasis dan OHL (Oral Hairy Leukoplakia) adalah kondisi yang
cukup ringan, tetapi keduanya menunjukkan bahwa ada yang tidak beres
dengan sistem kekebalan tubuh Anda dan bahwa Anda seharusnya
mendapat ART. Kandidiasis diobatai dengan obat anti jamur. Obat-obat
seperti flu-conazole, yang diminum dan diserap kedalam aliran darah,
efektif, tetapi penggunaan berulang-ulang dapat menyebabkan infeksi
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


40
oleh jamur yang resisten terhadap obat. Lebih baik menggunakan obat
yang hanya mengobati permukaan, seperti clotrimazole (Mycelex),
troches (obat yang dikumur) atau kumur-kumur dengan cairan anti jamur
seperti nystatin. Karena senyawa ini tidak merugikan, kita biasanya tidak
mengobati OHL kecuali dngan ART.
Sebelum kita meninggalkan mulut, jangan lupa gigi dan gusi Anda.
Orang dengan jumlah CD4 rendah berisiko terkena infeksi mulut yang
serius. Menggosok gigi, membersihkan selah gigi menggunakan benang,
dan memeriksakan diri ke dokter gigi serta ahli higienis mulut secara
teratur penting untuk menjaga gigi dan gusi Anda dalam keadaan baik.
Pada orang dengan HIV positif, mual paling sering disebabkan oleh
pengobatan. Zidovudine dan beberapa penghambat protease adalah
penyebab yang paling umum. Bila mual Anda dimulai sesaat setelah anda
mulai minum obat baru, maka penyebabnya sudah jelas. Dalam beberapa
kasus, intensitas mual mungkin berkurang dengan berlalunya waktu atau
dengan menelan obat bersama dengan makanan. Dokter Anda dapat
juga meresepkan obat untuk mengatasi rasa mual, namun bila masalah
itu tidak hilang, anda mungkin harus menganti obat. Bila Anda merasa
mual baru-baru ini belum mengubah atau menambahkan obat, maka
dokter perlu mencari lebih jauh penyebabnya.
Diare dapat juga disebabkan oleh obat, terutama beberapa PI. Cara
yang paling baik untuk mengobati diare yang berkaitan dengan obat
adalah dengan suplemen serat setiap hari, seperti psyllium. Jangan
menjadi khawatir dengan kata Laksatif di botol. Suplemen serat
menambah volume kotoran, keadaan ini baik bagi anda yang menderita
diare atau sembelit. Bila obat itu tidak berhasil mengatasi masalah,
mintalah dokter Anda untuk meresepkan obat atau beli obat bebas anti
diare.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


41
Banyak infeksi yang menyebabkan diare, termasuk virus, bakteri,
dan parasit umum. Beberapa organisme ini, seperti Crytosporidium,
Microsporidia, Isospora, dan Salmonella adalah oportunistik
microorganisme ini muncul atau menjadi lebih ganas karena kekebalan
tubuh tertekan. Infeksi HIV tingkat lanjut dapat juga menyebabkan diare.
Bila Anda mengalami diare berkepanjangan yang tidak disebabkan oleh
pengobatan, Anda harus dievaluasi, pertama dengan memeriksa tinja,
dan bila hasilnya negative, dengan peneropongan (pipa fleksibel dengan
kamera), baik dari atas (endoskopi), atau dari bawah (kolonoskopi), atau
keduanya.
Diare yang disebabkan oleh virus atau keracunan makanan biasanya
menjadi lebih baik dengan sendirinya setelah beberapa hari, tetapi
periksalah diri ketenaga medis bila diare anda tidak kunjung mereda,
atau bila anda menderita demam, sakit perut, darah keluar bersama
dengan kotoran, atau pusing. Kalau Anda menderita diare, kosumsi
makanan yang lunak tanpa produk olahan susu, dan minum air terus
menerus.
Menderita batuk atau nafas pendek. Kemungkinan penyebab batuk
atau nafas pendek tergantung pada jumlah CD4 Anda. Bila jumlahnya
jauh di atas 200, maka daftarnya akan kira-kira sama dengan yang akan
dialami oleh orang dengan HIV negative. Batuk dapat disebabkan oleh
selesma, bronchitis, pneumonia, asma, merokok, penggunaan obat
tertentu, atau asam lambung mengalir balik ke atas dalam kerongkongan
(refluks esofagus). Napas pendek dapat karena asma, pneumonia,
anemia, asidosis (menumpuknya asam dalam darah anda). Jenis batuk
yang anda derita bersama dengan selesma atau bronchitis biasanya
tidak memerlukan perhatian medis.
Orang dengan HIV positif yang sakit selesma dan flu sama seperti
semua orang lain. Gejala-gejala dan lama sakit sama, dan resiko mereka
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


42
mengalami konflikasi tidak lebih besar. Hal itu karena virus yang
menyebabkan selesma dan flu dikendalikan oleh system kekebalan
tubuh humoral (ditangani dengan anti bodi), bukan sistem kekebalan
tubuh seluler yang menggunakan sel-sel CD4 dan dirusak oleh HIV.
Karena alasan itu, Anda tidak perlu melakukan apapun yang khusus bila
Anda sakit selesma atau flu istirahat saja dan minum banyak cairan.
Obat selesma, yang dijual bebas, aman dan tidak berinteraksi dengan
obat HIV. Anda tidak perlu antibiotic hanya karena anda positif. Sakit
anda disebabkan oleh virus; antibiotic hanya membunuh bakteri.
Berat badan turun. Selama masa kelam sebelum ada ART, turunnya
berat badan hampir universal ketika AIDS menjadi semakin parah, dan
banyak pasien menjadi kurus sekali pada waktu mereka meninggal.
Turunnya berat badan menjadi lebih jarang terjadi sekarang karena kita
mempunyai terapi yang efektif untuk infeksi HIV. Dibawah ini tindakan
bimbingan yang diperlukan, bila ada beberapa penyebab turunnya berat
badan yang dapat diobati, yaitu:
a. Infeksi HIV yang tidak diobati. Bila berat badan Anda turun karena
infeksi HIV, anda perlu minum obat ART. Kemungkinan turunya berat
badan lebih besar terjadi bila jumlah virus anda tinggi.
b. Hipogonadisme. Laki-laki denga kadar testosterone rendah dapat
turun berat badannya. Diagnosis dibuat dengan mengukur kadar
testoteron dalam darah. Kondisi ini diobati dengan gel, plester, atau
suntikan testoteron.
c. Depresi. Ini adalah penyebab umum turunya berat badan, karena
orang depresi sering kehilangan selera makannya. Orang yang
mengalami depresi merasa sedih, kosong, hampa, tanpa harapan,
dan terisolasi. Aktivitas dan orang yang mereka pernah senangi tidak
lagi memberikan kegembiraan. Mereka mungkin kehilangan minat
dalam seks, bekerja, hobi, teman, dan keluarga. Mereka mungkin
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


43
kehilangan selera makan aau makan berlebihan, mereka mungkin
menggunakan narkoba, minum alkohol dalam usaha untuk merasa
lebih baik. Hal tersebut di atas, Anda segera berdiskusi dengan
tenaga medis karena depresi aalah kondisi yang berbahaya tetapi
dapat diobati (cara yang baik untuk mengobati depresi adalah minum
obat antidepresan-obat yang dapat mengembalikan keseimbangan
kimia dalam otak).
d. Lipoatropi (menyusutnya lemak). Ini biasanya tidak menyebabkan
turunnya berat badan total, tetapi akibatnya dapat membuat anda
terlihat menjadi lebih ramping.
e. Gangguan percernaan. Masalah dengan esofagus dapat membuat
pasien lebih sulit menelan; rasa mual dan muntah dapat membuat
anda merasa engan untuk makan atau menyerap makanan. Anda
dapat juga mengalami masalah dengan penyerapan nutrisi dalam
usus alus.
Keletihan yang tidak biasa. Letih pada umumnya dirasakan oleh
orang yang menderita HIV positif. Bila Anda mengalami keletihan yang
tidak biasa, pertimbangkan kemungkinan penyebab di bawah ini sebagai
suatu langkah tindakan bimbingan dan konseling:
a. Depresi. Ini mungkin penyebab yang paling umum untuk keletihan.
Orang dengan depresi tidak mempunyai energi, tetapi depresi juga
mempunyai sejumlah gejala lain, seperti mereka merasa sedih,
kecewa, marah, khawatir, atau kehilangan semangat sepenuhnya
respon normal terhadap hal-hal menyedihkan yang kita alami dalam
hidup. Orang yang HIV positif mengalami depresi sering
menganggap mereka hanya mengalami respon normal karena
didiagnosis positif HIV. Tetapi depresi dalam arti medis yang
sesungguhnya, tidak pernah normal. Tindakan bimbingan dan
konseling yang dilakukan bila orang yang HIV positif mengalami
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


44
depresi adalah kondisi yang berbahaya tetapi dapat diobati (minum
obat antidepresan- obat yang mengembalikan keseimbangan kimia
dalam otak). Tindakan konseling bukan sebagai pengganti untuk
pengobatan karena dalam keadaan depresi, berbicara tidak banyak
membantu. Tetapi berbicara bisa menjadi bermanfaat ketika Anda
mulai menjadi lebih baik konseling itu membantu anda kembali ke
kehidupan, untuk menghadapi berbagai masalah yang mungkin
memberi kontribusi pada depresi dan menjaga Anda tetap sehat
setelah anda menjadi lebih baik.
b. Anemia. Selain keletihan, orang dengan anemia mungkin terlihat
pucat, pusing, dan napas pendek. Penyebaabnya termasuk obat-
obatan (terutama zidovudine), kekurangan diet, komplikasi yang
berhubungan dengan HIV, dan HIV itu sendiri. Anemia mudah
didiagnosis dengan hitung darah sederhana.
c. Kekurangan Hormon. Ini termasuk kadar testosterone yang rendah
(hipogonadisme), kekurangan hormone tiroid (hipotiroidisme), dan
kekurangan adrenal.
d. Infeksi HIV. Keletihan umum pada orang dengan jumlah virus tinggi
dan/atau jumlah CD4 rendah, atau ketika ada penyusutan otot yang
cukup besar. Jadi tindakan bimbingan yang diperlukan adalah
masalah keletihan dapat diobati, diagnosis perlu dilakukan. Keletihan
bukan sesuatu untuk menemani hidup Anda.
Masalah kulit dapat disebabkan oleh HIV itu sendiri, oleh
komplikasi HIV, dan oleh obat-obatan. Bila anda mengalami masalah
kulit, kunjungi tenaga medis anda atau dokter ahli kulit. Tindakan
bimbingan yang diperlukan bila anda mengalami hal-hal yang dapat
terjadi di kulit segera berobat, yaitu :
a. Abses (bisul) menjadi umum karena epidemic community acquired
MRSA (staph aureus resisten terhadap methicillin). Bisul ini biasanya
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


45
harus dibuka dan dikeringkan, tetapi nanahnya perlu dibiarkan lebih
dahulu sehingga antibiotic yang tepat dan dapat dipilih.
b. Reaksi Obat sering dimulai dengan bercak-bercak merah, gatal.
Reaksi ini dapat disebabkan oleh NNRTI (nevirapine, efavirenz, dan
delavirdine), fosamprenavir, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
banyak lagi obat yang lain.
c. Folliculitis menyebabkan benjolan gatal, merah di daerah yang ada
rambutnya. Masalah ini dapat disebabkan oleh bakteri, kutu
Demodex, atau dapat karena esosinofilik, istilah yang digunakan
untuk menggambarkan tipe sel yang terlihat pada biopsies.
d. Herpes simplex dapat menyerang bibir, alat kelamin, daerah sekitar
anus, atau bagian-bagian lain dari kulit. Virus ini menyebabkan bisul
kecil, sakit, pecah, dan menjadi tukak dangkal dengan dasar
berwarna merah.
e. Scabies disebabkan oleh kutu kulit. Kutu ini menyebabkan rasa gatal
yang amat menggangu, terutama dimalam hari. Lokasi yang banyak
dijangkiti adalah dipunggung tangan dan diantara jari-jari tangan.
Scabies dapat cukup luas dan berat pada orang dengan jumlah CD4
rendah.
f. Sinanaga adalah reaktivitas dari varicella zoster virus (VZV), virus
cacar air, dalam kulit pada satu saraf tunggal. Virus ini menyebabkan
bisul yang sakit di daerah terbatas disalah satu sisi badan.

4. Pengobatan dan cara menghadapinya dalam layanan Bimbingan dan
Konseling
Tidak ada obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan
HIV&AIDS. Perkembangan penyakit dapat diperlambat namun tidak
dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang tepat antara berbagai
obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat kerusakan yang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


46
diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal
terjadinya AIDS.
Obat antiretroviral tidak membunuh HIV; obat ini menghentikan
penggandaan diri (reproduksi) virus. Menekan penggandaan diri juga
menghentikan proses aktivasi kekebalan tubuh yang diduga
menyebabkan terjadinya banyak kerusakan pada sistem kekebalan
tubuh. Selanjutnya sistem kekebalan tubuh dapat pulih tanpa terus
menerus kehilangan sel-sel CD4.
Terapi kombinasi sudah menjadi pedoman utama sejak
pertengahan tahun 1990-an. Alasan untuk mengkombinasikan beberapa
obat ke dalam suatu campuran (Cocktail) adalah untuk mencegah
resistensi. Kalau anda minum kombinasi obat ART yang menyertakan
beberapa obat aktif, resistensi hanya dapat terjadi kalau kadar obat-obat
itu tidak cukup tinggi untuk menekan agar virusnya tidak menggandakan
diri, seperti kalau anda tidak minum obat sesuai dengan dosisnya. Ada
kemungkinan untuk menggunakan obat yang lebih sedikit bila obat itu
cukup kuat dan bila virus memerlukan beberapa kali mutasi untuk
menjadi resistensi terhadap obat itu. Apa yang penting bukan angkanya,
melainkan bahwa kita menegakkan hambatan yang kuat melawan
perkembangan resistensi.
Pengobatan dan perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur
yang berbeda, yang meliputi konseling dan tes mandiri (VCT), dukungan
bagi pencegahan penularan HIV, konseling tindak lanjut, saran-saran
mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi,
pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IOS), dan pemberian
obat-obatan antiretroviral.
Tindakan layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan kepada
orang yang dengan HIV positif adalah apakah Anda siap untuk membuat
semacam komitmen yang menjadi persyaratan ART (Antiretroviral
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


47
Therapy). Hanya ada dua kelompok orang yang kita sarankan tidak
memulai pengobatan, yaitu: mereka dengan hasil jumlah CD4 normal dan
jumlah virus rendah yang mungkin non-progesor jangka panjang (orang
yang sistem kekebalan tubuhnya dapat menangani HIV dengan baik
tanpa pengobatan), dan mereka yang belum siap memberikan komitmen,
atau dapat setia mengikuti terapi.
Konseling teman sebaya (peer counselling) sangat strategis
diberikan bagi para remaja produktif yang sudah terinfeksi HIV positif
karena teknik konseling ini dapat memecahkan permasalahan remaja
yang mengalami stress dan tekanan mental akibat dari perlakuan
deskriminasi sosial di masyarakat. Para remaja yang terinfeksi HIV dapat
saling bertukar informasi dan pengalamannya dengan didampingi oleh
konselor yang ahli HIV&AIDS untuk menemukan solusi yang tepat untuk
tetap berobat agar jumlah CD4 tetap berada di zona yang aman. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa orang yang taat minum obat dapat
menjalani hidup bertahun-tahun, mungkin beberapa dekade tanpa
pernah mengalami resistensi. Jadi sebagai seorang Konselor harus
dapat menyadarkan klien (Odha) dalam memberikan layanan konseling
bahwa untuk memastikan Anda tidak pernah menulari siapa-pun,
termasuk pasangan anda yang negatif. Infeksi ini berhenti pada diri
saya adalah kata-kata yang seharusnya menjadi pegangan klien.
Konseling individual sangat strategis diberikan bagi orang yang
menderita AIDS (ingat setiap orang yang menderita AIDS pasti terinfeksi
HIV, namun tidak semua orang dengan infeksi HIV menderita AIDS).
Pelayanan konseling individual diberikan oleh seorang konselor yang
ahli HIV/AIDS kepada klien (Odha) sebagai pengarahan awal (advance
directives) yang berbicara mengenai kematian dan prosesnya dan
membantu klien untuk membuat keputusan di akhir kehidupannya.
Menganjurkan kepada klien, teman-teman, dan anggota keluarganya
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


48
untuk membuat rencana dan mendiskusikan keinginan klien mengenai
kematian dan prosesnya dengan orang-orang yang penting bagi klien.
Waktu yang paling baik untuk memikirkan hal ini dalam proses konseling
adalah ketika klien sedang sehat dan tidak mempunyai rencana dalam
waktu dekat untuk meninggalkan dunia ini.

5. Hubungan Seksualitas yang lebih Aman
Tidak ada seks yang 100% aman. Seks yang lebih aman
menyangkut upaya-upaya kewaspadaan untuk menurunkan potensi
penularan dan terkena infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV, saat
melakukan hubungan seks. Menggunakan kondom secara tepat dan
konsisten selama melakukan hubungan seks dianggap sebagai seks
yang lebih aman. Kondom yang kualitasnya terjamin adalah satu-satunya
produk yang saat ini tersedia untuk melindungi pemakai dari infeksi
seksual karena HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Ketika
digunakan secara tepat, kondom terbukti menjadi alat yang efektif untuk
mencegah infeksi HIV di kalangan perempuan dan laki-laki. Walaupun
begitu, tidak ada metode perlindungan yang 100% efektif, dan
penggunaan kondom tidak dapat menjamin secara mutlak perlindungan
terhadap segala infeksi menular seksual (IMS). Agar perlindungan
kondom efektif, kondom tersebut harus digunakan secara benar dan
konsisten. Penggunaan yang kurang tepat dapat mengakibatkan
lepasnya atau bocornya kondom, sehingga menjadi tidak efektif.
Dengan didiagnosis positif HIV tidak berarti Anda tidak dapat
mempunyai hubungan intim atau seks, tetapi hal itu rumit karena anda
harus mengungkapkan status HIV anda kepada pasangan dan
melindungi mereka yang negatif agar tidak menjadi terinfeksi. Masalah
pengungkapan dapat berlangsung tidak mulus. Berterus terang
terutama menjadi penting ketika Anda berkencan atau memulai
hubungan baru. Beberapa orang menyelesaikan masalah ini dengan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


49
hanya berkencan dengan pasangan yang HIV positif. Hal ini
menyederhanakan berbagai hal, namun tidak semua orang dapat
melakukan itu. Menjelaskan status anda kepada pasangan yang negatif
dapat menjadi pemutus hubungan, akibatnya bukan hanya penolakan
melainkan resiko mantan anda yang baru mungkin menyebarkan
informasi mengenai anda kepada orang lain. Dengan alasan ini, banyak
orang yang memilih untuk menunggu sampai sudah terbentuk perasaan
saling sayang, percaya, dan rasa bahwa hubungan ini masih akan
dilanjutkan lagi.
Masalahnya adalah bahwa semakin lama Anda menunggu, semakin
besar kemungkinan pasangan baru anda akan merasa dikhianati ketika
akhirnya anda menceritakan status anda, terutama bila hubungan ini
telah menjadi hubungan seksual. Bila anda positif HIV dan sasaran anda
tetap menjaga hubungan, anda mungkin harus memperlambat proses
yang biasanya berlangsung masa kini dengan menggunakan Kondom,
dan kondom merupakan sesuatu keharusan dalam hubungan apa-pun
karena HIV dan penyakit menular seksual yang lain. Kenali dan percayai
pasangan anda lebih dahulu, berbicara mengenai status HIV anda
selanjutnya, dan kemudian baru berhubungan seks. Bila proses ini
memerlukan waktu, hal itu tidak masalah. Dibawah ini beberapa
komentar umum mengenai tingkat resiko dari aktivitas seksual yang
umum dilakukan, yaitu:
a. Hubungan seksual Anal dan Vaginal. Bila pasangan positif HIV
berada di atas ini adalah aktivitas berisiko tinggi tanpa kondom.
Kondom yang rapat dapat mengurangi resiko secara dramatis tetapi
bila bocor tidak demikian. Resikonya lebih kecil bila pasangan yang
positif berada dibawah. Hal itu karena lapisan dalam anus dan
vagina terbuat dari sel-sel mukosa, yang dapat terinfeksi, sedangkan
penis hampir seluruhnya tertutup oleh kulit, yang tidak dapat
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


50
terinfeksi. Akan tetapi, laki-laki masih dapat terinfeksi dari hubungan
seksual dengan penis yang dimasukan. Resikonya meningkat bila dia
tidak disunat atau menderita herpes, sefilis, atau ada luka terbuka di
penisnya. Resiko menularkan HIV dan virus hepatitis B meningkat
bila terjadi luka saat melakukan hubungan seks.
b. Seks Oral. HIV dapat ditularkan dengan memasukan cairan pra-air
mani, air mani, cairan vagina, atau darah menstruasi dari orang yang
positif ke dalam mulut (bukan masalah ditelan atau tidak). Resikonya
menjadi lebih tinggi bila gusi bentuknya buruk. Bila pasangan yang
positif HIV adalah yang menggunakan mulut ke pasangan yang
negatif, pada dasarnya tidak ada resiko menularkan HIV, walaupun
penyakit menular seksual (PMS) yang lain dapat ditularkan dengan
cara ini.
c. Seks Oral Anal (menjilat atau mengisap). Ini bukan cara yang
mudah untuk menyebarkan HIV, tetapi orang yang menjilat dapat
tertular hepatitis A atau infeksi bakteri atau parasit saluran
pencernaan.
d. Saling Masturbasi. Ini adalah cara yang amat aman asalkan Anda
tidak mempunyai luka atau bisul terbuka di tangan dan menjauhkan
cairan badan dari mulut dan mata.
e. Olah Raga Air (saling mengencingi). Air seni adalah cairan badan
yang aman.
f. Berciuman, saling memeluk, saling membelai, saling memijat.
Semuanya aman.
Berpasangan dengan orang yang positif HIV menghilangkan
persoalan mengenai penyebaran HIV baru, namun masih ada alasan
untuk mempertimbangkan seks yang aman, termasuk menghindari
penyakit menular seksual yang lain dan superinfeksi (kita sarankan bagi
orang yang positif mengenai seks dengan pasangan positif lain,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


51
sebaiknya tetap menggunakan kondom dengan pasangan biasa). Kita
tahu bahwa orang dengan HIV positif dapat terinfeksi lagi dengan galur
virus tambahan. Terdapat banyak kasus yang didokumentasikan dengan
baik, yang juga menjelaskan mengapa terdapat galur rekombinan HIV di
dunia (virus yang merupakan kombinasi dua subtipe atau lebih).
Superinfeksi dapat menyebabkan naiknya jumlah virus dan turunnya
jumlah CD4, serupa dengan apa yang terjadi dengan infeksi awal. Anda
dapat juga mengalami superinfeksi dengan galur virus yang resisten
terhadap obat yang anda minum.

6. Penyakit Menular Seksual (PMS)
Perilaku seks yang tidak aman, bisa berimplikasi pada banyak hal,
baik secara fisik, psikis maupun social. Salah satu implikasi fisiknya
adalah terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV&AIDS. PMS ini
kemudian bisa menimbulkan implikasi yang lain lagi, misalnya
kemandulan (BKKBN Provinsi Bali, 2008: 79).
PMS adalah singkatan dari penyakit menular seksual atau juga
dikenal dengan sebutan STD (Sexually Transmitted Deseases). PMS
merupakan penyakit-penyakit yang dapat ditularkan dari seseorang
kepada orang lain melalui hubungan seksual. Ada berbagai cara
penularan yaitu dengan melalui seks oral (Cunnilingus: stimulasi vulva
khususnya pada klitoris dan vagina pasangannya dengan mulut atau
lidah, Fellatio: stimulasi pada penis pasangan dengan mulut atau lidah),
seks vaginal (penis masuk vagina), seks anal (penis masuk anus).
Sebanyak 90% kasus HIV merupakan akibat dari penularan seksual,
dan 60-70% kasus HIV terjadi dikalangan heteroseksual. Anda akan
dapat terkena lebih dari satu infeksi penyakit menular seksual (IMS)
pada saat yang bersamaan. Masing-masing infeksi memerlukan
pengobatan sendiri. Anda tidak dapat menjadi kebal terhadap IMS. Anda
juga dapat terkena infeksi yang sama berkali-kali. Banyak pria dan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


52
wanita yang tidak merasa atau melihat gejala awal apapun ketika mereka
pertama kali terinfeksi dengan IMS, kendatipun mereka masih bisa
menulari pasangan seksualnya. Selain itu, Anda harus ingat bahwa
terapi antiretroviral tidak dapat mencegah penularan virus HIV ke orang
lain. Terapi dapat membantu menurunkan jumlah virus ketingkat yang
tidak terdeteksi, namun HIV masih tetap ada dalam tubuh, dan dapat
ditularkan kepada orang lain melalui hubungan seksual, dengan
bergantian memakai peralatan suntikan, atau melalui ibu yang menyusui
bayinya.
Menjadi positif tidak berarti Anda tidak perlu khawatir lagi mengenai
penyakit menular seksual (PMS). Anda sudah tertular oleh yang Besar,
tetapi masih ada lagi yang lain untuk dihindari. Seks aman masih
merupakan cara yang harus dipertahankan.
Sefilis dapat lebih parah pada orang dengan infeksi HIV.
Perkembangan dapat lebih cepat bila tidak diobati. Kemungkinan besar
penyakit ini menyerang sistem saraf, dan dapat mempengaruhi
penglihatan dan pendengaran anda. Tes darah yang digunakan untuk
memonitor respon anda terhadap pengobatan sefilis dapat lebih sulit
dipahami dan memerlukan waktu lebih lama untuk menjadi negatif
daripada orang dengan HIV negatif. Bila Anda HIV positif, anda harus
memeriksakan diri apakah terinfeksi sefilis, dan tes ini harus diulang-
ulang paling sedikit setahun bila anda aktif secara seksual.
Gonore dan Klamida adalah infeksi umum yang dapat menginfeksi
saluran air seni dalam penis, leher rahim, anus, dan tenggorokan.
Gonore telah menjadi resisten terhadap antibiotic minum standar dan
sekarang diobati dengan suntikan. Laki-laki dengan HIV positif harus
diperiksa apakah sakit gonore dan klamida dengan tes air seni dan
kadang-kadang dengan biakan yang diambil dari anus dan/atau
tenggorokan. Perempuan harus di tes pada waktu mereka
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


53
memeriksakan pinggul secara rutin. Tipe infeksi klamida berbeda,
limfogranuloma venereum (LGV) sudah ada laporannya sekarang,
terutama yang menyebabkan infeksi anus dan rectum (proktitis) pada
laki-laki homoseksual.
Herpes genitalis, biasanya disebabkan oleh herpes simplex virus
tipe 2 (HSV-2), menimbulkan bintil-bintil yang terasa sakit dan tukak
dangkal di alat kelamin, disekitar anus, atau kulit. Infeksi ini tetap
bertahan seumur hidup dan dapat timbul kembali, terutama pada orang
dengan jumlah CD4 rendah. ART dapat membantu, tetapi ketika sedang
timbul harus diobati dengan obat anti herpes, seperti acyclovir (Zovirax),
famciclovir (Famvir), atau valacyclovir (Valtrex). Bila penyakit anda ini
sering kambuh, anda harus minum salah satu dari obat di atas setiap
hari, yang bukan hanya mencegah herpes berkembang, tetapi mungkin
dapat membantu menurunkan jumlah virus HIV anda dan resiko
menularkan herpes (dan mungkin HIV). HSV-1 biasanya menyebabkan
bintik di bibir (herpes labialis); virus ini tidak biasa menimbulkan masalah
yang timbul berulang-ulang dibawah pinggang.
PMS yang disebabkan oleh bakteri dan jamur umumnya relatif
mudah untuk disembuhkan dengan antibiotic tertentu, asal diketahui dan
diobati sedini mungkin. Sedangkan yang disebabkan oleh virus lebih sulit
diobati, bahkan seringkali tidak dapat disembuhkan.
Secara umum gejala-gejala yang nampak akan dirasakan oleh
penderita PMS pada laki-laki dan perempuan adalah rasa sakit atau gatal
di alat kelamin, muncul benjolan atau luka di sekitar alat kelamin, dan
pembengkakan di pangkal paha. Khusus pada perempuan, kebanyakan
PMS yang dideritanya biasanya tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Hal ini disebabkan karena anatomi organ produksi perempuan ada di
dalam tubuh, sehingga bila ada infeksi di dalam vagina maka sulit untuk
diketahui (tidak bisa dilihat dari luar). Jika ada gejala seringkali keluar
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


54
cairan yang tidak biasa keluar dari alat kelaminnya, biasanya akan
berwarna kekuning-kuningan dan berbau. Gejala lain yang mungkin
nampak adalah keluarnya darah bukan pada masa menstruasi. Hal ini
menunjukkan bahwa ada kemungkinan telah terjadi infeksi di dalam
vagina.
Khusus pada laki-laki, sebagian besar PMS yang dideritanya akan
mudah menunjukkan gejala-gejalanya. Hal ini disebabkan karena
anatomi organ reproduksi laki-laki yang berada di luar tubuh, sehingga
akan mudah diketahui gejala-gejala yang muncul. Gejala-gejala PMS
pada pria antara lain: pada saat kencing terasa sakit dan jika diurut akan
keluar cairan ata nanah dari alat kelaminnya, terjadi pembengkakan
pada buah pelir dan terasa sakit atau panas.
Pada perempuan, sebagian PMS biasanya tidak dapat terasa
gejalanya. Hal ini paling sering terjadi pada penyakit yang disebabkan
oleh gonore atau klamidia. Pada laki-laki dan perempuan, ada sebagian
gejala PMS juga yang tidak akan terasa sakit sehingga orang tersebut
tidak akan sadar jika ada gejala tersebut. Kalau ada kesempatan,
sebaiknya diperiksa dulu alat kelamin pasangannya untuk mengetahui
apakah ada gejala PMS atau tidak. Terkadang gejala seperti luka atau
nanah dapat dilihat. Walaupun begitu, orang yang kelihatan sehat
mungkin terinfeksi PMS yang gejalanya tidak dapat dilihat dengan mata.
Mungkin jika orang yang kelihatan sehat akan terinfeksi HIV (virus
penyebab AIDS). Oleh karena itu gunakanlah kondom, sampai dua-
duanya telah diperiksa dokter.
Kuman penyebab PMS hanya ada di cairan vagina dan air mani dan
terkadang di darah. Kalau salah satu cairan tersebut ada di WC atau
kamar mandi, kuman tersebut tidak dapat hidup cukup lama. Dan yang
perlu diingat bahwa seseorang akan tertular PMS jika kuman tersebut
masuk ke dalam tubuh sehingga tidak mungkin terjadi penularan pada
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


55
kegiatan sehari-hari. Tidak ada sabun atau desinfektan apapun yang
dapat mencegah PMS. Pada perempuan, mencuci bagian dalam vagina
justru akan mempertinggi resiko terkena vaginitis (keputihan yang
disebabkan bakteri). Demikian pula minum antibiotik tidak bisa
mencegah PMS, walaupun antibiotic terkadang dapat menyembuhkan
sebagian PMS sesudah seseorang terinfeksi.
Infeksi PMS tidak akan mempengaruhi siklus menstruasi pada
perempuan, kalaupun ada kemungkinan darah yang keluar dari vagina
itu bukan merupakan darah menstruasi tetapi merupakan darah akibat
luka infeksi pada saluran reproduksi pada perempuan.

III. PENUTUP
Berbicara mengenai infeksi HIV sebagai penyakit kronik, yang
dapat dikelola seperti sekarang ini. Hal ini sudah banyak tersedia tempat
pengobatan dan dapat dijangkau (seperti: VCT disetiap Rumah Sakit
Umum dan Swasta, Puskesmas dan Klinik, dsb). Akan tetapi, lebih sulit
untuk bersikap optimistik mengenai keadaan epidemi global. Lebih dari
25 juta orang meninggal karena AIDS, dan lebih dari 40 juta orang
sekarang hidup dengan infeksi HIV, sebagian besar berada di Negara-
negara sedang berkembang. AIDS membunuh lebih dari 3 juta orang
setiap tahun, dan ada infeksi baru setiap 5 detik. Dalam perkembangan
global ini, berdampak buruk terhadap pemberitaan tentang epidemi
HIV&AIDS yang semakin meningkat setiap tahun. Dunia maju akhirnya
menyadari bahwa mereka tidak dapat mengabaikan apa yang terjadi di
dunia sedang berkembang. Uang sekarang mengalir dari sektor
pemerintah, swasta, dan para dermawan untuk menyediakan
pengobatan bagi orang di seluruh Dunia, atau paling sedikit di Negara-
negara yang mempunyai kemauan politik untuk menangani epidemi
HIV&AIDS. Obat generik diproduksi, membuat pengobatan lebih
terjangkau. Orang mulai mendapat pengobatan, dan pengobatan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


56
membuat perbedaan besar dalam hidup mereka. Sekarang ini sudah
banyak ditemukan pelayanan medis yang tepat, guna mengetahui
apakah memang terinfeksi atau tidak, masyarakat dapat memeriksakan
diri ke klinik maupun layanan yang tersebar di setiap Puskesmas baik
Kabupaten maupun Kota, seperti klinik IMS (layanan Infeksi Menular
Seksual); klinik PTRM (layanan Program Terapi Rumatan Metadon); klinik
VCT (layanan Konseling &Tes Sukarela); Layanan Konseling HIV&AIDS;
Layanan CST (layanan Dukungan & Perawatan), dan PMTCT (layanan
Program Pencegahan Ibu ke Anak) di Rumah Sakit Umum. Biaya
pengobatan HIV di Indonesia adalah gratis dari pemerintah untuk
mereka yang telah memenuhi syarat odha.

DAFTAR RUJUKAN
BKKBN Provinsi Bali. 2008. Seputar Seksualitas Remaja. Denpasar:
Dipa Satker.
Bloom Kelly, F.R. 2000. HIV Prevention with Young Men who have Sex
with Men: what Young Men Themselves Say is Needed. Medical
Collegge of Wisconsin, USA.
Currier Judith, MD. 2010 Informasi HIV. Los Angeles: University of
California.
Gallant Joel, MD, MPH. 2010 100 Tanya jawab mengenai HIV dan AIDS.
Jakarta: PT. Indeks
Gulick Roy, MD, MPH. 2011 Informasi Mengenai Obat dan Berita
Mengenai Percobaan Clinis mengenai HIV/AIDS. New York:
Clinical Trials Unit.
Georges Guiella and Janet Madise. 2007. HIV/AIDS and Sexual Risk
Behaviors among Adolescents. African Journal of Reproductive
Health. Vol.11 No.3 Desember 2007.
Satati Retno Pudjiati. 2009. Sexuality Transmitted Deseases.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.



Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


57
GEGURITAN SEBUAH MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh :
Ni Nyoman Karmini
FPBS, IKIP Saraswati Tabanan

ABSTRACT
The creativity of a poet could make t he reader ponder life
issues. Basically everyone would have problems and try to solve
them regardless of success or not. As well as an action done by
Damayanti who adhered to the principle of satyeng laki in
overcoming her problem. Her action proved that Damayanti was
able to show her pride and identity as a respectable woman.
Description of the porsonages life experiences and how to cope
with her life was a reflection of her character. The analysis
showed that eighteen characters announced by the Ministry of
Nation Education reflected on the behavior of the storys
personage.

Keyword : geguritan and character aducation

I. LATAR BELAKANG
Sebuah karya sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang
hidup dalam masyarakat (realitas-objektif). Karya sastra bukan saja
mengungkapkan realitas objektif melainkan juga mengungkapkan nilai-
nilai. Karya sastra bukan semata-mata tiruan dari alam (imitation of
nature) atau tiruan dari hidup (imitation of life), tetapi juga merupakan
penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (interpretation of
life). Karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan
kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Sastra melukiskan
penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayangnya,
nafsunya, dan segala sesuatu yang dialaminya. Lewat karya sastra,
pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih
agung. Lewat karya sastra dapat menafsirkan tentang makna hidup dan
hakikat hidup (Karmini, 2011:2).
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


58
Hasil karya sastra, dapat membuat pembaca merenungkan
masalah kehidupan, yang pada akhirnya dapat mengasah batinnya,
menjadi lebih peka, berbudaya, serta dapat menghargai miliknya serta
milik orang lain. Pembaca dapat mempelajari keindahan dalam karya,
baik keindahan bahasa maupun keindahan suatu pemikiran. Pembaca
dapat belajar melalui pengalaman hidup sang tokoh cerita, baik
pengalaman yang baik maupun pengalaman yang buruk. Dengan
merenungkan pengalaman-pengalaman sang tokoh cerita, pembaca
dapat menentukan sikap, dapat menentukan pilihan hidup dan kehidupan
yang dicita-citakannya. Pada dasarnya, karya sastra bermanfaat bagi
hidup dan kehidupan manusia, memiliki manfaat untuk membimbing
manusia ke arah yang lebih positif, seperti dikatakan Teeuw (2003:21),
sastra adalah alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau
pengajaran.
Setiap kelompok masyarakat memiliki hasil karya sastra, baik
karya sastra tradisional maupun karya sastra modern. Bentuknya pun
beraneka ragam, seperti bentuk puisi, prosa, dan drama. Bali misalnya.
Bali banyak sekali memiliki dan menyimpan hasil karya sastra bermutu.
Misalnya sastra geguritan. Bagus dan Ginarsa menyatakan geguritan
merupakan salah satu karya sastra tradisional (Bali Purwa) (1978:6).
Geguritan termasuk karya sastra yang berbentuk puisi sekaligus
berbentuk naratif. Geguritan dibentuk oleh pupuh-pupuh, mengikuti
persyaratan yang disebut padalingsa, dan biasanya menggunakan
tembang macapat atau sekar alit.
Geguritan Bali biasanya memuat nilai-nilai pendidikan yang
berkaitan dengan agama Hindu. Ajaran-ajaran moral sesuai agama
Hindu dituangkan dalam kisah kehidupan sang tokoh cerita. Dari
perilaku sang tokoh cerita dapat dipetik suatu pembelajaran moral, yang
tentunya berupa moral yang baik sesuai ajaran agama yang semestinya
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


59
ditiru. Pembelajaran moral yang baik dari sebuah kisah cerita dapat
dipetik dan dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan ini.
Perilaku seseorang dalam menjalankan kehidupan ini mencerminkan
karakter seseorang. Karakter seseorang biasanya dibentuk oleh budaya
di sekitarnya (budaya daerah), sedangkan karakter bangsa Indonesia
dibentuk oleh budaya-budaya daerah yang ada di wilayah Indonesia.
Bangsa Indonesia sedang mengalami degradasi moral. Moralitas
dikesampingkan, pemikiran-pemikian libral banyak bermunculan. Pada
masa ini, banyak yang tidak mampu membeda-bedakan dan tidak bisa
menimbang-nimbang antara yang baik dan yang buruk. Keinginan-
keinginan yang berlebihan menguasai sehingga muncul keserakahan
yang tidak terkendalikan. Keserakahan yang tidak terkendalikan
penyebab jatuhnya martabat sebagai manusia.
Untuk mengatasi keadaan dimaksud di atas, pemerintah dalam hal
ini Kementerian Pendidikan Nasional mencanangkan delapan belas
pendidikan karakter. Kedelapan belas pendidikan karakter dimaksud
dituangkan pada setiap bidang ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Delapan belas pendidikan karakter yang dicanangkan oleh Kementerian
Pendidikan Nasional adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung
jawab.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Perlu diketahui bahwa
sebagai manusia yang memiliki banyak kekurangan atau kelemahan,
mungkin saja setiap manusia atau siapa pun dapat mengalami
perubahan karakter akibat situasi tertentu yang mendesak dan darurat.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


60
Namun, individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat
dari keputusannya.
Sastra melukiskan tentang hidup dan kehidupan manusia. Tokoh
ceritanya dijadikan pusat, dijadikan objek penceritaan, yang menyangkut
situasi, kondisi, dan pengalaman hidupnya. Dalam tulisan ini disorot
sebuah sastra tradisional berjudul Geguritan Damayanti karya I Wayan
Djapa. Di dalamnya ada penggambaran tokoh yang kuat, berpendidikan,
mampu menentukan sikap, mampu mengambil keputusan, mampu
melaksanakan tugas berat, mampu mempertahankan citra diri, tahan uji,
sabar, dan setia. Kalau dikaji secara mendalam, Geguritan Damayanti
berisi pemikiran yang relevan dengan kehidupan masa kini, yang
berkaitan dengan pendidikan karakter, yang dicanangkan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional.
Hal-hal yang diuraikan di atas, sangat menarik untuk dibahas dan
diangkat ke permukaan mengingat salah satu wacana yang muncul
dewasa ini adalah soal karakter. Ketertarikan penulis diwujudkan dalam
tulisan berjudul Geguritan sebuah Media Pendidikan Karakter, dengan
permasalahan karakter apa saja yang terkandung dalam geguritan?

II. PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Karakter
Pengertian karakter sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari orang lain; tabiat; watak (Alwi, 1996:445), sedangkan
dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, character berarti watak,
karakter, sifat (Echols dan Shadily, 1996:107).
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


61
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter
baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggung-jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter
dapat diangkat sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan kebangsaaan yang terwujud dalam pikiran. sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku
yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun
dalam bertindak (Samani dan Hariyanto, 2012:41-42).
Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa karakter adalah nilai
dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena
pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang
membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat degradasi moral melanda dunia, khususnya Indonesia,
maka Kementerian Pendidikan Nasional mencanangkan delapan belas
pendidikan karakter, yang dituangkan pada setiap bidang ilmu dalam
pembelajaran di sekolah-sekolah. Dalam Undang-Undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan sebagai
berikut.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan-kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Selanjutnya pada pasal 3 dikemukan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan untuk
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


62
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa: pendidikan adalah
usaha sadar yang terencana; proses pendidikan yang terencana itu
diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran;
suasana belajar dan pembelajaran itu diarahkan agar peserta didik
dapat mengembangkan potensi dirinya; akhir dari proses pendidikan
adalah kemampuan anak memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Ini berarti proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap,
pengembangan kecerdasan atau intelektual, serta pengembangan
keterampilan anak sesuai dengan kebutuhan. Sikap, kecerdasan dan
keterampilan merupakan arah dan tujuan pendidikan yang harus
diupayakan (Sanjaya, 2007:2).
Winton (2010) menyatakan pendidikan karakter adalah upaya sadar
dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai
kepada para siswanya (dalam Samani dan Hariyanto, 2012:43).
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang
mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta
didik dengan mempraktekkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan
pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama
manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya (Samani dan
Hariyanto, 2012:44). Pendidikan karakter adalah proses pemberian
tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang
berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang
bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


63
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati (Samani dan Hariyanto, 2012:45).

2.2 Isi Geguritan Damayanti
Geguritan Damayanti dibentuk oleh pupuh Durma, Pangkur,
Ginada, Sinom, Smarandana, Ginanti, dan Dangdang Gula. Geguritan
Damayanti dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian pertama
berisi pemujaan dan permohonan penulis supaya berhasil menulis;
bagian kedua, mengenai isi Geguritan Damayanti; bagian ketiga, berisi
nasihat Resi Wrehadaswa kepada Yudhistira juga di dalamnya implisit
nasihat dari penulis.
Bagian pertama (pencerminan tradisi)
Cerita diawali dengan memuja dan memohon anugerah Tuhan
dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Nara Narayana dan Dewi
Saraswati. Tujuan pemujaan adalah supaya berhasil dalam membuat
karya sastra (Geguritan Damayanti) dan supaya dapat dijadikan
pedoman dalam menjalani suka duka kehidupan di dunia ini (pupuh
Durma, bait 1, 2). Sebagai contoh dikutip hanya bait 1
Inggih Ratu Sang Hyang Nara Narayana, miwah Dewi Saraswati,
jaya namostu manggala, maring bukpadanta wantah, mogi ledang
manywecanin, lelugrahan, wastu sida kang inapti.
Terjemahannya:
Ya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Nara
Narayana dan Dewi Saraswati, semoga berhasil dalam berkarya,
hanya kepada-Mu, semoga memberi jalan, memberi anugerah,
semoga tercapai yang diinginkan

Memuja Tuhan, memohon keberhasilan dalam berkarya, dan
hasilnya supaya bermanfaat bagi pembacanya, merupakan tradisi dalam
penulisan sastra tradisional Bali. Pada bagian ini tersirat pesan bahwa
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


64
setiap melakukan sesuatu hendaknya selalu memohon kepada Tuhan
supaya berhasil dan bermanfaat bagi kehidupan.
Bagian kedua (memuat isi cerita)
Tahap pertama, cerita diawali dengan menyebutkan dua kerajaan,
yakni kerajaan Nisadha dengan rajanya Wirasena dan putranya Prabhu
Nala dan kerajaan Widarbha dengan rajanya bernama Bhima dan
putrinya bernama Damayanti. Damayanti mendengar keberadaan
Prabhu Nala dan Prabhu Nala juga mendengar keberadaan Damayanti.
Mereka jatuh cinta walau belum pernah bertemu. Mereka juga
mendengar cerita tentang masing-masing lewat seekor Angsa pada saat
mereka berada di taman masing-masing sedang mengenang sang pujaan
hati. Cerita si Angsa membuat Damayanti semakin mencintai Prabhu
Nala, yang berakibat Damayanti sakit sebab menahan rindu. Oleh karena
itu, diadakanlah sayembara memperebutkan Damayanti. Banyak raja
yang datang termasuk Hyang Catur Loka Pala (Hyang Indra, Hyang Agni,
Hyang Yama, dan Hyang Baruna) dan Prabhu Nala.
Pada saat perjalanan menuju Widarbha, Nala bertemu dengan
Hyang Catur Loka Pala dan Nala berjanji menolong Hyang Catur Loka
Pala untuk mendapatkan Damayanti. Dengan seizin Hyang Catur Loka
Pala, Nala dapat masuk ke kamar Damayanti yang sedang terbaring
sakit. Pada saat itu, Damayanti menyatakan cintanya dan berjanji
memilih Nala sebagai suaminya. Walaupun Nala telah menjelaskan
bahwa Hyang Catur Loka Pala mengikuti sayembaranya, namun,
Damayanti menyarankan Nala tetap hadir dalam sayembara.
Semua raja telah dipanggil satu persatu. Saat Nala dipanggil
terjadi keanehan, yakni Nala ada lima. Damayanti bingung, tidak dapat
membedakan Nala yang asli. Dalam kebingungan, Damayanti memuja
Hyang Widhi dan mohon supaya ia dapat memilih Nala yang asli sebab ia
telah berjanji menyerahkan cintanya hanya kepada Nala.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


65
Permohonannya terkabul. Nala yang asli kelihatan menginjak tanah.
Akhirnya, ia dapat memilih Nala yang asli. Pernikahan pun berlangsung
atas anugrah Hyang Catur Loka Pala. Kemudian Nala dan Damayanti
bertolak ke Nisadha dan memerintah bersama-sama dengan baik dan
adil demi kesejahteraan rakyatnya, sedangkan Hyang Catur Loka Pala
kembali ke asalnya (Durma, bait 3-11; Pangkur, bait 1-8; Ginada, bait 1-
21; Sinom, bait 1-19).
Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif (dalam Karmini,
2000:19), maka bagian ini tergolong situation. Berikut ini, hanya dikutip
satu contohnya.
Prabhu Nala kabuncingang, sareng Dewi Damayanti, antuk ida
Prabhu Bhima, maring Widarbha negari, yan maletan kudang ratri,
Prabhu Nala raris mantuk, sareng ida nrepa duhita, prapti maring
Nisadhapuri, lanang wadhu, guluk ngardi jagaddhita (pupuh Sinom,
bait 19).
Terjemahannya:
Nala dinikahkan dengan Damayanti, oleh Raja Bhima, di negara
Widarbha, entah beberapa malam, Nala kemudian pulang,
bersama permaisuri, sampai di negara Nisadha, suami-istri,
bertekad sama yakni membuat rakyatnya sejahtera dan hidup
damai

Pada bait di atas, ada persuasif penulis kepada pembaca yang
diangankannya agar mau memanfaatkan hidup ini sebaik mungkin.
Kehidupan ini harus dimanfaatkan dengan baik sehingga bermanfaat
pula bagi orang lain, sebab setiap saat manusia diincar oleh kematian.
Persuasinya mengandung makna bahwa manusia harus melaksanakan
kebaikan, manusia harus bermakna bagi dirinya maupun bagi
sesamanya.
Tahap kedua, saat Hyang Catur Loka Pala kembali ke asalnya,
dalam perjalanan bertemu dengan Hyang Kali dan Hyang Dwapara. Dari
pertemuan itu diketahui bahwa Hyang Kali ingin mengikuti sayembara
Damayanti. Hyang Kali marah kepada Nala dan berjanji balas dendam
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


66
dan mengutuk Nala supaya mereka meninggalkan kerajaan dan hidup
terpisah dengan istrinya. Caranya adalah dengan merasuki tubuh Nala
dan Hyang Dwapara masuk ke dalam batu dadu. Mereka pun berangkat
ke Nisadha dan tidak dapat segera melakukan maksudnya. Hyang Kali
pun menunggu waktu.
Pernikahan Damayanti Nala telah 12 tahun berlalu. Pada suatu saat
Nala lupa membasuh kaki saat mau memuja, sehingga Hyang Kali bisa
merasuki tubuhnya dan menguasai pikirannya, sedangkan Hyang
Dwapara segera menemui Raja Puskara supaya menantang Nala
bermain dadu dengan janji kemenangan ada di pihak Puskara. Dalam
permainan dadu, harta dan negaranya dijadikan jaminan. Nala kalah.
Damayanti menugaskan Warsneya mengirim putra putrinya ke Widabha
dan membebaskannya memilih tempat tinggal untuk mengabdikan diri.
Nala dibuang ke hutan tanpa ada yang boleh menolongnya. Setelah di
hutan pun musibah datang lagi yang dilakukan oleh Hyang Dwapara
(Pangkur, bait 1-8; Sinom, bait 1-6; Pangkur, bait 1-9; Smarandana, bait
1-8).
Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif, maka bagian ini
tergolong generating circumstances. Berikut ini, hanya dikutip satu
contohnya.
Napi pacang tohang malih, drewen Beli sampun telas, wenten
kantun maka etoh, Damayanti ratna diyah, durus punika etohang,
yening mantuk maring kayun, maka etohe panelas (Smarandana,
bait 2).
Terjemahannya:
Apalagi yang akan dijadikan taruhan, kekayaan kanda telah habis,
masih ada lagi sebagai barang taruhan, yakni Damayanti, silakan
dipertaruhkan, bila cocok di hati, sebagai taruhan terakhir.
Pada bagian ini tersirat pesan bahwa pada dasarnya setiap orang
pasti berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapinya terlepas dari
berhasil atau tidak.. Hal itu dapat dilakukan karena manusia mempunyai
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


67
tiga kemampuan yang disebut Tri Sakti, yaitu iccha-sakti (kemauan),
krya-sakti (prana) dan jenana-sakti (intelek), yang biasanya disebut
cipta, rasa dan karsa atau bayu-sabda-idep (Wiratmadja, 1988:66).
Demikian halnya dengan Damayanti. Tujuan hidup Damayanti adalah
keserasian, keseimbangan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia ini
maupun di dunia yang lain. Oleh karena itu, ia berusaha menghentikan
permainan dadu, ia berusaha menyelamatkan keluarganya tetapi tidak
berhasil. Usaha-usaha yang dilakukannya dalam mencegah kehancuran
telah dilakukannya sejalan dengan kemampuan yang dimilikinya.
Tahap ketiga adalah Nala sangat kebingungan, pikirannya kacau,
lalu istrinya berkali-kali disarankan kembali ke Widarbha (rumah orang
tuanya), tetapi Damayanti menolak sebab sebagai istri ia harus
mendampingi suaminya dalam suka dan duka, ia seorang satia. Suatu
saat, karena kelelahan Damayanti tidur sangat pulas. Saat itulah Nala
meninggalkannya di hutan sendirian. Begitu terjaga, Damayanti sangat
sedih, tetapi ia tetap melanjutkan perjalanan mencari suaminya. Banyak
cobaan berat dialaminya, seperti hampir diperkosa, dihina karena dikira
tidak waras, hampir dibunuh oleh para pedagang saat terjadi banyak
kematian ketika gajah mengamuk. Cobaan bertubi-tubi dialaminya. Ia
tidak tahan, lalu mengutuk si penyebab kehancuran keluarganya.
Kutukan itu menyebabkan Hyang Kali menderita dan tersiksa dalam
tubuh Nala. Kemudian ia ditolong seorang pendeta sampai di negara
Cedi.
Nala meninggalkan Damayanti dan bertemu dengan Naga
Karkotaka yang kena kutuk. Nala menolongnya, dan sang Naga pun
berjanji menolong Nala. Nala menyamar menjadi Wahuka atas bantuan
Naga Karkotaka Kemudian Wahuka (Nala) disuruh mengabdi di negara
Ayodhya. Wahuka (Nala) setiap malam menyanyikan lagu tentang
perpisahannya dengan istrinya dengan penuh perasaan dan kesedihan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


68
yang amat sangat (Ginada, bait 1-5; Ginanti, bait 1-5; Sinom, bait 1-14;
Durma, bait 1-11; Ginada, bait 1-3; Pangkur, bait 1-8; Sinom, bait 1-10;
Ginada, bait 1-10; Sinom, bait 1-12; Dangdang Gendis, bait 1-7). Bila
dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif, maka bagian ini tergolong
rising action. Berikut ini, hanya dikutip satu contohnya.
Sang Wahuka cinarita mangkin, ring Ayodhya, suka trepti kocap,
ineman de narapati, rowange kekalih tutut, nyiksa kuda sahi-sahi,
sakewanten Sang Wahuka, nyabran dalu sedih ngunngun, eling
ring putri Widarbha, nandang rimang, asesambat nyabran wengi,
kariptayang jroning gita (Dangdang Gendis, bait 3)
Terjemahannya:
Diceritakan Wahuka, di Ayodhya, senang dan damai, sebagai
pelayan raja, temannya berdua sangat taat, melakukan pekerjaan
mengajari kuda, akan tetapi Wahuka, setiap malam sangat sedih,
ingat kepada Damayanti istrinya, menahan sedih, setiap malam
memanggil-manggil, lalu dituangkan dalam bentuk nyayian.

Pelukisan yang panjang pada bagian ini berisi uraian tentang
tradisi yang dilakukan sang tokoh yang bersumber pada nilai-nilai Hindu.
Nilai-nilai dimaksud berupa ajaran tri hita karana dan trikaya parisuda.
Pelukisan dimaksud dalam bentuk perilaku, yang dapat dikatakan
sebagai rekaman budaya, dalam hal ini budaya Hindu.
Tindakan Damayanti mencerminkan seorang perempuan terdidik
yang sangat memahami sastra (ajaran agama), perempuan yang mampu
mengambil sikap, mampu membuat keputusan, mampu melaksanakan
tugas berat, mampu mempertahankan citra diri, tahan uji, sabar, dan
setia. Tindakannya itu sesuai dengan yang dinyatakan dalam Rgveda,
yakni perempuan sebagai penyeimbang (dhruva bintang), pemegang
tanggung jawab rumah tangga serta perempuan seperti perawat yang
menolong pasien (dhrtri dan Dharani). Oleh karena itu, Tuhan
memberikan panjang umur kepada perempuan (Somvir, 2001:166).
Tahap keempat, yakni raja Widarbha mengerahkan rakyatnya
untuk mencari putri dan menantunya dengan memberikan hadiah yang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


69
besar bagi penemunya. Usaha tersebut berhasil dengan menemukan
Damayanti di Negara Cedi dan kemudian dibawa kembali ke Widarbha.
Selanjutnya, Damayanti berusaha mengadakan sayembara untuk
menemukan suaminya Dalam sayembara ini yang diundang hanya Raja
Rituparna (Raja Ayodhya). Mendengar berita sayembara itu, Wahuka
(Nala) hampir pinsan, hatinya sangat sedih dan beranggapan Damayanti
sudah tidak satyeng laki. Sebagai kusir kereta, ia tetap berangkat
mengantar raja Rituparna ke Widarbha. Kemudian dalam perjalanan
terjadi perjanjian saling tukar ilmu, yakni ilmu aswa aji milik Wahuka
ditukar dengan ilmu wijnyeng aji, mapetekan dan manita milik Raja
Rituparna. Sejak Wahuka memiliki ilmu aji nita, Hyang Kali ke luar dari
tubuhnya dan muntah-muntah karena tidak tahan kesakitan dan
kepanasan karena kutuk Damayanti dan racun Naga Karkotaka. Hyang
Kali mohon maaf kepada Wahuka (Prabhu Nala). Hyang Kali berjanji
mengembalikan kekuasaannya dan negaranya seperti dahulu. Dan, jika
ada orang yang mau menceritakan kisah Damayanti Nala, maka Hyang
Kali akan membebaskannya dari bahaya yang ditimbulkan oleh Hyang
Kali. Itulah janjinya dan Hyang Kali pun masuk ke dalam pohon Wibhitaka
sehingga pohon itu mendapat kesempurnaan.
Selanjutnya, mereka sampai di Widarbha. Tanda-tanda sayembara
tidak ada. Damayanti tidak melihat Prabhu Nala, tetapi ia mencurigai si
kusir kereta. Oleh karena itu, Damayanti menyuruh Ni Kesini menyelidiki
Wahuka. Dari tanda-tanda yang ada disimpulkan bahwa Wahuka adalah
Prabhu Nala yang menyamar. Dengan demikian, Damayanti langsung
berhadapan dengan Wahuka dan berakhirlah penyamaran Prabhu Nala
sesuai janji Naga Karkotaka. Mereka pun hidup bahagia (Pangkur, bait 1-
10; Sinom, bait 1-12; Durma, bait 1-11; Ginanti, bait 1-6; Ginada, bait 1-
31; Pangkur, bait 1-10; Sinom, bait 1-13; Ginada, bait 1-17, Durma, bait 1-
3; Ginada, bait 1-9; Durma, bait 1-11, Pangkur, bait 1-6.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


70
Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif, maka bagian ini
tergolong climax. Berikut ini, hanya dikutip satu contohnya.
Prabhu Nala mewali ya jatimula, dahat ledang Damayanti, Prabhu
Nala ledang, rawuhing putra karuwa, Prabhu Bhima ledang tan sipi,
sareng girang, sadaging Widarbha puri (Durma, bait 11).
Terjemahannya:
Nala kembali seperti semula, Damayanti sangat senang, Nala
senang, kedua putranya senang, raja Bhima sangat senang, ikut
senang, semua isi negara Widarbha

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa secara tersirat
tokoh Damayanti adalah tokoh yang berpendidikan. Dalam menghadapi
penderitaan hidup, Damayanti berjuang keras dan selalu berusaha untuk
meraih kembali kebahagiaan hidupnya. Damayanti mampu mengambil
keputusan terbaik dalam hidupnya. Dengan berpegang pada prinsip
satyeng laki dan keyakinan yang kuat, ia dapat bertemu kembali dengan
suaminya. Dalam penderitaan yang dialaminya, Damayanti mampu
menunjukkan sikap-sikap positif dalam kehidupannya sehingga
kebahagiaan hidup dapat diraihnya kembali. Tokoh Damayanti dapat
melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya, yakni mampu
menentukan sikap, mampu mengambil putusan, mampu melaksanakan
tugas berat, mampu mempertahankan citra diri, kuat dan tahan uji.
Perjuangan dan usaha yang dilakukan Damayanti untuk berkumpul
kembali dengan suaminya, membuktikan bahwa Damayanti mampu
menunjukkan harga dirinya dan jati dirinya sebagai perempuan
terhormat.
Tokoh antagonis dalam Geguritan Damayanti bukan merupakan
tokoh manusia. Kedua tokoh tersebut, yakni Hyang Kali dan Sang Hyang
Dwapara dikategorikan sebagai pelaksana takdir Tuhan terhadap jalan
kehidupan manusia. Dengan demikian, konflik kehidupan yang dialami
oleh tokoh disebabkan oleh kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi di
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


71
luar diri manusia yaitu kekuatan antagonistik (antagonistic force)
berupa takdir Tuhan. Takdir itu tercermin dalam jalan hidup kedua tokoh
protagonis dan takdir itu sendiri diakhiri pula oleh kekuatan antagonistik.
Tahap kelima, yakni kira-kira sebulan tinggal di Widarbha, Prabhu
Nala dan Damayanti kembali ke Nisadha dan menantang Puskara
bermain dadu dengan jaminan Damayanti. Kemenangan pun terjadi
sesuai janji Hyang Kali dan kerajaan Nisadha pun dapat direbut dari
tangan Puskara. Prabhu Nala tidak menghukum Puskara sebab ia sangat
menyadari bahwa Puskara tidak salah. Penderitaan yang dialaminya itu
karena keteledorannya sendiri yakni tidak mensucikan diri pada saat
sembahyang sehingga Hyang Kali merasukinya. Kesadaran itu,
menunjukkan bahwa Prabhu Nala dan Damayanti pada hakikatnya orang
arif bijaksana (Sinom, bait 1-9).
Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif, maka bagian ini
tergolong denoument. Berikut ini, hanya dikutip satu contohnya.
Cinarita Prabhu Nala, malih ida ngenca gumi, malinggih ring
singasana, Damayanti tan sah nyanding, ngardi jagat gemuh trepti,
kerta raharja tur landuh, jati ratu dahat prajnyan, nuntun panjak
ngawe trepti, sandang tiru, jroning ngardi jagaddhita (Sinom, bait
9).
Terjemahannya:
Dikisahkan Nala, kembali menjadi raja, duduk di singgasana,
Damayanti selalu mendampingi, menjadikan negaranya damai dan
sejahtera, menjadi raja amat bijaksana, membimbing rakyatnya
menjadi damai, patut ditiru, dalam membuat kesejahteraan dan
kedamaian

Dari uraian di atas, dapat dipetik simpulan bahwa setiap orang
pasti mengalami permasalahan hidup dan kehidupan. Permasalahan
datang dengan tidak membedakan orang kaya atau miskin, penguasa
atau bukan, berpendidikan atau tidak, dan sebagainya. Namun, dalam
memecahkan permasalahan diperlukan adanya waktu yang tepat dan
kesabaran, dalam arti setelah adanya ketenangan. Dengan demikian,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


72
akan dapat mengambil keputusan yang tidak keliru sehingga dapat
menjaga kenyamanan bagi semua yang terkait.
Bagian ketiga (berisi nasihat)
Setelah selesai menceritakan kisah Damayanti, Resi Wrehadaswa
mendoakan Yudhisthira supaya menemukan kebahagiaan hidup dengan
mencontoh Prabhu Nala dan Damayanti. Jika Yudhisthira bisa setiap hari
melaksanakan ajaran sad angga dan upaweda serta yang sejenis dengan
itu, tentu kecil kemungkinan menimbulkan kesengsaraan hidup. Kisah
Naga Karkotaka, Nala Damayanti, semestinya sering didengarkan dan
dihayati sebab berupa pembersihan jiwa. Dengan demikian,
keburukan-keburukan dalam diri sirna sebab dalam kehidupan menjadi
manusia suka duka silih berganti (Ginada, bait 1-8). Berikut ini disajikan
bait 6 pupuh Ginada.
Awinan sampunang girang, rikala sukane panggih, sampunang
banget duhkita, rikala mamanggih kewuh, tanggun sukane duhkita,
duhka panggih, sukane pasti nyantosang.
Terjemahannya:
Karena itu jangan senang, jikalau bertemu suka, jangan bersedih,
jika menemukan duka, ujung suka adalah duka, duka ditemukan,
suka pasti menunggu

Pada bagian ini, dapat dipetik bahwa penulis memberi saran
kepada pembaca lewat nasihat Resi Wrehadaswa untuk meniru perilaku
sang tokoh cerita. Persuasi penulis diulang lagi pada bagian ini sebab ia
mempunyai harapan yang sangat besar kepada pembaca yang
diangankannya untuk berbuat baik dan memberi arti bagi kehidupannya
demi tercapainya kebahagiaan hidup.

2.3 Karakter-Karakter Tokoh Sesuai Pendidikan Nasional
Setelah dicermati, Geguritan Damayanti menggambarkan karakter-
karakter tokohnya sesuai dengan pendidikan karakter yang disiapkan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


73
oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Hal itu bisa terjadi, karena
budaya nasional dibangun atas budaya-budaya daerah. Geguritan
Damayanti merupakan karya sastra tradisional Bali tentu mencerminkan
budaya yang banyak dipengaruhi ajaran agama Hindu. Berkaitan dengan
pembahasan pada bagian ini, berikut dipaparkan karakter para tokoh
Geguritan Damayanti yang sesuai dengan karakter dalam pendidikan
nasional.
1. Karakter Religius
Tokoh Damayanti dan Nala memiliki karakter religius. Karakter
religius terlihat pada bait-bait yang memaparkan saat-saat sang tokoh
berdoa memuja Hyang Widhi (Tuhan) atau manifestasi-Nya. Dengan
perilaku demikian berarti sang tokoh percaya terhadap keberadaan-Nya.
Karakter religius sang tokoh tersurat pada bait 9, 10 pupuh Sinom 1, bait
8 pupuh Sinom 4, dan bait 2 pupuh Gnada 3. Sebagai contoh dapat dilihat
pada bait yang dikutip di bawah ini.
Pupuh Sinom 1
Nenten keni antuk ida, ngelingan ida sang kapti, Prabhu Nala
wenten panca, adeg warni sami patis, Dewi Damayanti sedih, antuk
bingunge kalangkung, raris ida nunas ica, maring Ida Sang Hyang
Widhi, tur matimpuh, ngastawa Hyang Widhi Wasa (bait 9, pupuh
Sinom 1)
Terjemahannya:
Tidak diketahui olehnya, mengingat yang diharapkan, Prabhu Nala
ada lima, penampilan semua bagus/baik, Damayanti sedih, karena
sangat bingung, lalu berdoa, kepada Hyang Widhi (Tuhan), dan
bersimpuh berdoa kepada Hyang Widhi Wasa

2. Karakter Jujur
Damayanti dan Nala memiliki karakter jujur. Sang tokoh cerita
menjunjung tinggi kejujuran, baik kejujuran hati/pikiran, kejujuran
perkataan, maupun kejujuran perbuatan/tindakan. (Dalam agama Hindu
disebut ajaran trikaya parisuda). Kejujuran hati dimaksud di sini adalah
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


74
rasa cinta sang tokoh. Mereka saling mencintai, saling merindukan
walaupun sama-sama belum saling mengenal. Cinta mereka tumbuh
lewat berita dari seekor angsa tentang tokoh masing-masing. Kemudian
diadakan sayembara untuk pasangan hidup Damayanti. Cobaan ada
dalam pemilihan pasangan, yakni Prabu Nala ada lima. Damayanti
sempat kebingungan, lalu berdoa supaya tetap dapat memilih Nala yang
asli sebagai suaminya. Demikian juga Nala berjanji hanya beristrikan
Damayanti saja. Kejujuran perkataan, maupun kejujuran perbuatan/
tindakan sang tokoh tersirat dan tersurat dalam Geguritan Damayanti.
Kejujuran hati/pikiran sang tokoh dilukiskan pada bait 9, 10 pupuh
Durma 1, bait 1, 10 pupuh Sinom 1, bait 3 pupuh Ginada 3. Bait yang
dipaparkan di bawah ini sebagai contoh.
Inggih Ratu Sang Hyang Titah, atur titiang pireng mangkin, ngawit
saking paksi angsa, ngaturang Nala Nrepati, manah titiang ngilis
tunggil, nunggal ring ida sang prabhu, naweg ratu tulung titiang,
keni antuk mangelingin, mangda durus, titiang manunggal ring ida
(bait 10, Pupuh Sinom 1)
Terjemahannya:
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, dengarkanlah doa hamba, sejak
burung angsa, menyampaikan tentang Nala, pikiranku hanya satu,
menyatu dengan Nala, tolonglah hamba, supaya bisa mengenali
Nala, supaya jadi, hamba menyatu dengan Nala.

3. Karakter Toleransi
Tokoh Damayanti dan Nala memiliki sifat toleransi yang tinggi. Sifat
toleransi tercermin pada saat Nala menangkap seekor angsa. Angsa
ketakutan dan supaya tidak dibunuh, angsa berjanji bercerita tentang
Nala kepada Damayanti. Hal ini dilukiskan pada bait 11 pupuh Durma 1,
bait 18 pupuh Pangkur 1.
Nala selalu berharap supaya Damayanti kembali ke Widharba,
tetapi Damayanti tetap bertekad mendampingi suaminya dalam
penderitaan. Pada bagian kisah ini sifat toleransi tersurat dengan jelas
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


75
dalam cerita. Sifat toleransi dilukiskan pada bait 38 pupuh
Smarandana, bait 15 pupuh Ginada 2, bait 15 pupuh Ginanti 1, bait
114 pupuh Sinom 3, bait 111 pupuh Durma 2, bait 13 pupuh Ginada 3,
bait 18 pupuh Pangkur 4, bait 110 pupuh Sinom 4, dan bait 110 pupuh
Ginada 4.
Puskara dikalahkan oleh Nala saat perebutan kembali kerajaan
Nisadha. Puskara tidak dihukum dan tetap diberikan wilayah serta tetap
dianggap keluarga oleh Nala walaupun Puskara berbuat tidak baik
kepada Nala. Artinya, Nala tidak mendendam kepada Puskara. Kisah ini
dilukiskan pada bait 19 pupuh Sinom 8. Paparan pada bait dimaksud,
menurut penulis mencerminkan sifat atau sikap toleransi.
Di bawah ini dipaparkan hanya dua bait sebagai contoh sikap
toleransi sang tokoh cerita.
Prabhu Nala nuli nabda, ring ida sang satyeng laki, uduh adi nrepa
duhita, lacur beline kalangkung, lara lapa tan busanan, kantun
wastrane abidang, sareng ledis, saparan uber duhkita (bait 2,
Pupuh Ginada 2)
Terjemahannya:
Prabhu Nala berkata, kepada istrinya ynag setia, aduh adikku
sayang, penderitaan kakak teramat sangat, sengsara sekali tanpa
pakaian, pakaian hanya selembar, turut hilang, karena dikejar
derita

Ento ane dadi krana, kita tan patut manampi, dosan Sang Hyang
Kali pecak, gumine atenga jani, urip kita muwuh malih, pacang ya
waliyang ingsun, mogi kita dirghayusa, kita mula wandawan mami,
preman ingsun, maring kita tan suruda (bait 7, pupuh Sinom 8)
Terjemahannya:
Itu yang menjadi sebab, kamu tidak perlu menerima, dosa Sang
Hyang Kali, sebagian tanah kamu, akan kukembalikan kepadamu,
semoga kamu panjang umur, kamu memang keluargaku,
premanku, aku tetap menganggapmu.



Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


76
4. Karakter Disiplin
Sifat disiplin tersirat pada tokoh Damayanti dan Nala, sebab
mereka sebagai raja dan permaisuri raja yang dihormati dan disegani
oleh rakyat dan para sahabatnya. Pada saat Damayanti menjalani masa
penyamarannya sebagai pelayan di negara Cedi, ia sangat disiplin
melaksanakan pantangan yang ditetapkannya. Hal ini dilukiskan pada
bait 110 pupuh Ginada 4. Demikian juga Nala sangat disiplin
melaksanakan tugasnya sebagai hamba raja Rituparna, sebagai perawat
dan pengajar kuda. Hal ini dilukiskan pada bait 17 pupuh Dangdang
Gendis. Sebagai contoh di bawah ini dipaparkan dua bait saja.
Damayanti sahur sembah, naweg Ratu Prameswari, titiang nyadia
mangiringang, nging wenten utpanan ipun, titiang pacang nenten
nunas, sisan nasi, tan masuh sukun wong liyan (bait 7, Pupuh
Ginada 4)
Terjemahannya:
Damayanti berkata sopan, maaf Prameswari, saya bersedia, tetapi
ada syaratnya, saya tidak akan makan, makanan sisa, tidak
membasuh kaki orang lain

Sang Wahuka cinarita mangkin, ring Ayodhya, suka trepti kocap,
ineman de narapati, rowange kekalih tutut, nyiksa kuda sahi-sahi,
sakewanten Sang Wahuka, nyabran dalu sedih ngunngun, eling
ring putri Widarbha, nandang rimang, asesambat nyabran wengi,
kariptayang jroning gita (bait 3, Pupuh Dangdang Gendis)
Terjemahannya:
Diceritakan Sang Wahuka, di Ayodhya, sangat nyaman, menjadi
pelayan raja, dua temannya sangat taat, setiap hari mengajari
kuda, tetapi Wahuka, setiap malam sedih sekali, ingat kepada
Damayanti, menahan sedih, setiap malam memanggil-manggil
Damayanti, lalu ditulis dalam sebuah lagu

5. Karakter Kerja Keras
Tokoh Damayanti adalah tokoh yang kerja keras. Kerja keras
dimaksudkan di sini adalah suatu usaha yang dilakukan terus menerus,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


77
tidak mengenal lelah, dan tidak putus asa. Hal itu dilakukannya pada saat
mencari dan mencari suaminya Banyak rintangan yang ditemukannya
tetapi tidak menyurutkan keinginannya untuk bertemu kembali dengan
suaminya. Banyak usaha dilakukannya. Usaha terakhir adalah dengan
melakukan sayembara. Akhirnya mereka berkumpul lagi dan hidup
bahagia.
Bait yang dikutip di bawah ini hanya sebagai contoh untuk
melukiskan kerj keras Damayati dalam menemukan suaminya.
Raris ida masusupan maring alas, ngrereh ida Sri Nrepati, nunggal
tan parowang, ida nenten sahuninga, rawuh ring genah lelipi,
ageng tur lapa, galak ipun tan sinipi (bait 7, Pupuh Durma 2)
Terjemahannya:
Kemudian masuk ke hutan, mencari-cari Nala, sendirian,
Damayanti tidak tahu, sampai di tempat seekor ular, ular besar dan
kelaparan, galak luar biasa

6. Karakter Kreatif
Damayanti adalah tokoh yang kreatif. Setelah mendengar berita
bahwa ada yang membalas lagunya di Ayodhya, maka Damayanti
membuat sayembara upaya untuk memancing kedatangan Nala.
Contohnya dipaparkan di bawah ini.
Munggwing yajnyane puniku, swayambaran Damayanti, malih milih
anak lanang, swamin ida Nala Nrepati, rawuh mangkin durung
tinas, pati urip tan kuningin (bait 2, Pupuh Ginanti 2)
Terjemahannya:
Adapun upacara itu, adalah sayembara Damayanti, lagi mencari
suami, suaminya Nala, sampai sekarang belum pasti, hidup mati
tidak diketahui

7. Karakter Mandiri
Kemandirian sang tokoh terlihat pada saat mereka mengalami
penderitaan. Mereka bersama namun akhirnya terpisah. Damayanti tidak
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


78
mau pulang ke Widarbha. Ia tetap mengikuti suami dalam
penderitaannya. Bahkan pada saat Damayanti ditinggal sendirian di
hutan, ia tetap berusaha mencari Nala. Dalam pencarian banyak cobaan
dialaminya tetapi tetap tidak menyurutkan keinginannya. Kalau
Damayanti mau pulang ke Widarbha, ia tidak akan hidup menderita,
tetapi tidak dilakukannya karena ia berprinsip bahwa istri adalah teman
setia suami pada saat suka maupun duka.
Di bawah ini dikutip bait yang mendukung sifat mandiri sang tokoh
cerita sebagai contoh.
Yening manggeh patibrata, durus tulung titiang mangkin, sang
mamarikosa titiang, nenten pakarana lampus, Damayanti sihin
Hiyang, sang duskreti, magelebug nuli pejah (bait 3, Pupuh Ginada
3)
Terjemahannya:
Kalau betul setia, silakan tolong saya, orang yang memperkosa
saya, mati tanpa sebab, Damayanti disayang Tuhan, si penjahat,
jatuh dan mati

8. Karakter Demokratis
Nala seorang raja yang sangat arif dan bijaksana, sangat
mementingkan kesejahteraan dan kenyamanan rakyatnya. Itulah
sebabnya ia dihormati dan disegani oleh rakyat dan sahabat-sahabatnya.
Tokoh Nala mempunyai karakter demokratis. Untuk melukiskan hal itu,
hanya dikutip satu bait saja sebagai contoh.
Tuhu wibuh kasub kasumbung ring jagat, putus maring linging aji,
purusa norana sama, satyawadhi sistacara, wadwan ida sura sakti,
sayang pisan, ida seneng mamotohin (bait 4, Pupuh Durma 1).
Terjemahannya:
Berkuasa dan terkenal di dunia, pandai dan bijaksana, laki-laki
tiada banding, sangat setia dan berperilaku utama, rakyatnya kuat-
kuat, tetapi sayang, ia suka berjudi.



Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


79
9. Karakter Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu Nala sangat besar. Keingintahuan Nala terhadap
sesuatu, tercermin pada saat adanya berita tentang sayembara
Damayanti. Nala sangat terkejut, tetapi ia tetap bersedia menjadi kusir
kereta raja Rituparna. Nala ingin tahu kesetiaan Damayanti kepada
dirinya. Keingintahuan Nala juga muncul pada saat raja Rituparna
merinci jumlah daun dan buah pohon Wibhitaka. Nala ingin membuktikan
kebenaran perkataan raja Rituparna. Bait yang mengandung rasa ingin
tahu sang tokoh dikutip hanya satu bait sebagai contoh.
Saja satia lawan nora, ne jani seken mabukti, kayun ida tusing
satia, sayang idane ya luntur, saja satia lawan nora, ane jani, ada
galah ka Widarbha (bait 4, Pupuh Ginada 5)
Terjemahannya:
Betul tidaknya setia, sekarang akan terbukti, hatinya tidak setia,
rasa sayangnya luntur, betul setia atau tidak, ada kesempatan
untuk ke Widarbha

10. Karakter Semangat Kebangsaan
Semangat kebangsaan Nala sangat tinggi. Ia seorang negarawan.
Itu sebabnya ia menjadi raja yang dihormati dan disegani oleh rakyat dan
para sahabatnya. Contohnya dipaparkan di bawah ini.
Cinarita Prabhu Nala, malih ida ngenca gumi, malinggih ring
singasana, Damayanti tan sah nyanding, ngardi jagat gemuh trepti,
kerta raharja tur landuh, jati ratu dahat prajnyan, nuntun panjak
ngawe trepti, sandang tiru, jroning ngardi jagaddhita (bait 9, Pupuh
Sinom 8)
Terjemahannya:
Diceritakan Prabhu Nala, kembali menjadi raja, duduk di
singasana, Damayanti selalu mendampingi, membuat negara
sejahtera dan nyaman, damai dan sentosa, betul-betul raja yang
sangat bijaksana, mengantarkan rakyat mencapai sejahtera dan
nyaman, patut dicontoh, dalam membuat kebahagiaan di dunia


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


80
11. Karakter Cinta Tanah Air
Rasa cinta tanah air Nala sangat tinggi, karena itu ia merebut
kembali kerajaannya dengan mempertaruhkan segala yang dimilikinya.
Usaha yang dilakukannya berakhir dengan kemenangan dan negara
diperolehnya kembali. Contohnya dipaparkan di bawah ini.
Prabhu Nala gelis nimbal, jalan kawitang ne jani, Sang Puskara
andel pisan, pacang sida menang malih, panangtange kadagingin,
irika raris majuluk, jroning patohe partama, Prabhu Nala mapikolih,
kang nagantun, mawali ya kadrewenan (bait 4, Pupuh Sinom 8)
Terjemahannya:
Nala cepat menjawab, silakan mulai sekarang, Puskara yakin
sekali, menang lagi, tantangan dipenuhi, perjudian pun terjadi,
taruhan pertama adalah negara, Nala menang, negara
diperolehnya, dan dimilikinya kembali

12. Karakter Menghargai Prestasi
Tokoh Damayanti dan Nala adalah tokoh yang berusaha keras
dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupannya. Damayanti
selalu setia dan berusaha untuk mencapai keinginannya yakni
berkumpul kembali bersama keluarganya dan hidup bahagia. Nala
berusaha dengan segala cara untuk mengatasi masalahnya. Ia berani
masuk ke dalam api yang besar, yang akhirnya ia mendapat bantuan dari
naga Karkotaka sehingga kekuatan (Hyang Kali) yang merasuki
tubuhnya kepanasan di dalam dirinya. Setelah Nala menjadi Wahuka, ia
bekerja dengan baik pada raja Rituparna sehingga disayang dan
akhirnya ia pun diberi ilmu manita (ilmu perjudian) oleh raja Rituparna.
Dengan bantuan naga Karkotaka dan ilmu manita, maka keluarlah Hyang
Kali dari dalam diri Nala. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Damayanti
dan Nala menyebabkan mereka berkumpul kembali dan hidup bahagia.
Contoh bait yang dipaparkan berikut ini sebagai pendukung pernyataan
di atas.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


81
Dwaning sampun adung kocap, raris ya saling tibakin, kaputusan
sowang-sowang, crita mangkin Nala Prabhu, sampun ngamong aji
nita, Sang Hyang Kali, medal saking anggan ida (bait 25, Pupuh
Ginada 5)
Terjemahannya:
Setelah sama-sama setuju, lalu saling memberi, keputusan masing-
masing, diceritakan Nala, telah memiliki ilmu nita, Sang Hyang Kali,
keluar dari tubuhnya

13. Karakter Bersahabat/Komunikatif
Nala adalah tokoh yang mempunyai sifat sangat bersahabat. Ia
mempunyai dua orang teman, yakni Warsneya dan Jiwala. Mereka saling
membantu dalam melaksanakan tugas. Pada saat malam mereka selalu
berkomunikasi. Jiwala selalu bertanya tentang nyanyian dan kesedihan
Wahuka. Untuk mendukung hal itu, di bawah ini dikutip bait 6 pupuh
Dangdang Gendis.
Sang Jiwala pireng becik-becik, ada anak, wahu mapumahan,
indriyane mangodag reke, rabin ipun lintang hayu, satya laki tan
patanding, sang lanang kodag indriya, nuli ninggal rabi sadhu, kija
kaden twara tinas, dadi ati, ninggal wadhu satya laki, tuhu saja tan
pangrasa.
Terjemahannya:
Jiwala dengarkan baik-baik, ada orang, baru berumah tangga,
digoda inderia, istrinya sangat cantik, setia pada suami tiada
banding, suaminya dikluasai inderia, lalu meninggalkan istri yang
sangat baik, tidak tahu entah kemana, sampai hati, meninggalkan
istri yang sangat setia pada suami, sungguh betul-betul tidak
punya rasa

14. Karakter Cinta Damai
Tokoh Nala dalam Geguritan Damayanti adalah tokoh yang cinta
damai. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Bapa patut uttamayang, mikolihang Damayanti, Bapa jani ngutus
Dewa, durusang Cening lumaku, rawuh ya maring Widarbha,
Damayanti, durusang aturin ida (bait 11, Pupuh Ginada 1)
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


82
Terjemahannya:
Bapa yang harus diutamakan, memperoleh Damayanti, Bapa
menugaskan Dewa, silakan berangkat, ke Widarbha, sampaikan
kepada Damayanti

15. Karakter Gemar Membaca
Tokoh Damayanti dan Nala adalah tokoh berpendidikan.
Dikatakan demikian karena mereka adalah tokoh nomor satu di kerajaan
Nisadha. Sebagai pemimpin suatu negara tentulah memiliki kepandaian,
keahlian, kebijaksanaan, kearifan. Para tokoh memang tidak dinyatakan
secara eksplisit sebagai orang yang gemar membaca, tetapi para tokoh
dinyatakan dengan jelas sebagai orang yang memiliki kepandaian,
keahlian, kebijaksanaan, kearifan, dan mau menerima pengetahuan dari
orang lain. Orang yang dinyatakan demikian tentu orang yang suka
membaca atau suka belajar. Di bawah ini dikutip hanya satu bait sebagai
contoh sifat atau sikap sang tokoh cerita yang gemar membaca.
Sang Wahuka matur nimbal, yening wantah Narapati, arsa ledang
maicayang, kaweruhe ring inghulun, titiang pacang mangaturang,
aswa aji, anggen titiang panebasnya (bait 24, Pupuh Ginada 5)
Terjemahannya:
Wahuka berkata, jika raja berkenan mewariskan, kepandaian
kepada saya, saya akan memberikan, keahlian tentang kuda
kepada raja, sebagai penggantinya

16. Karakter Peduli Lingkungan
Tokoh Nala sangat peduli pada lingkungan sosial. Pada saat
ditugaskan oleh Catur Lokapala untuk menemui Damayanti, Nala tidak
ingin diketahui oleh orang lain supaya tidak membuat keributan. Nala
bisa masuk istana Damayanti karena anugerah Hyang Catur Lokapala.
Pernyataan tersebut dilukiskan pada bait 21 pupuh Durma 1 yang dikutip
di bawah ini.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


83
Ida wantah ne ngawinang, wastu titiang sida ngranjing, nenten
pisan katangehan, raris matur ring i ratu, titiang sampun
lumaksana, sane mangkin, sara ledang pakayunan
Terjemahannya:
Beliau yang menyebabkan, sehingga saya bisa masuk, sama sekali
tidak ada yang melihat, lalu menyampaikan kepadamu, saya sudah
melaksanakan tugas, silakan memikirkannya

17. Karakter Peduli Sosial
Karakter peduli sosial dimiliki oleh Nala dan Damayanti sebagai
raja dan permaisuri. Nala dan Damayanti mempunyai karakter peduli
sosial sangat tinggi. Itu sebabnya mereka sangat dihormati dan disegani
oleh rakyat dan para sahabat, Setelah Damayanti berpikir bahwa
negaranya dan keluarganya akan kena bencana, maka ia menyuruh
Warsneya mengantar putra-putrinya ke Widharba, sedangkan Warsneya
diberi kebebasan untuk memilih tempat tinggal. Demikian juga Nala.
Setelah memenangkan kembali kerajaannya, ia tidak menghukum
Puskara, bahkan tetap menganggap Puskara sebagai keluarganya. Di
bawah ini dikutip satu bait yang mendukung pernyataan di atas sebagai
contoh.
Sesubane maka ruwa, putran ingsun katampi olih nrepati, Paman
dadi jenek ditu, nawi malih ya matinggal, sara Paman, salampah
paraning laku, nira tusing mamialang, sara Paman maminehin (bait
6, Pupuh Pangkur 2)
Terjemahannya:
Setelah keduanya, anakku diterima oleh raja (ayah Damayanti),
paman boleh tinggal di sana, atau pergi lagi, terserah paman, mau
kemana, saya tidak menghalangi, terserah paman memikirkan

18. Karakter Tanggung Jawab
Tokoh Nala dan Damayanti adalah tokoh yang bertanggung jawab,
baik terhadap dirinya, orang lain, maupun terhadap tugasnya. Banyak
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


84
bait melukiskan tokoh Damayanti dan Nala sebagai tokoh yang
bertanggung jawab. Di bawah ini hanya dikutip satu bait sebagai contoh.
Ratu mula kantin titiang, imbuh ipun I Ratu manglantur raris, dados
wandawan inghulun, aswa siksa kreta siksa, pacang katur, maring
I Ratu Sang Prabhu, nuli raris katiwakang, aswa siksa aji sarathi
(bait 5, Pupuh Pangkur 7)
Terjemahannya:
Raja (Rituparana) memang sahabat saya, lebih lanjut dikatakan
bahwa, raja adalah keluarga saya, ilmu tentang mengendalikan
kuda dan kreta, akan saya serahkan, kepada raja, lalu diserahkan,
ilmu dimaksud

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa Geguritan Damayanti
mengandung delapan belas karakter sesuai ketentuan dalam pendidikan
nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya sastra
tradisional merupakan representasi kehidupan manusia.

5. KESIMPULAN
Gambaran kehidupan tokoh-tokoh dalam Geguritan Damayanti
dapat dijadikan bahan renungan dalam hidup ini. Gambaran pengalaman
hidup sang tokoh dan cara mengatasi kehidupannya merupakan
cerminan karakter sang tokoh. Setelah dilakukan analisis terhadap
Geguritan Damayanti dapat diketahui bahwa di dalamnya ditemukan
delapan belas jenis karakter sang tokoh cerita yang sesuai dengan
delapan belas butir pendidikan karakter yang ditetapkan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional. Delapan belas butir karakter
dimaksud adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Dengan
penemuan dimaksud, maka dapat disimpulkan bahwa geguritan, dalam
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


85
tulisan ini adalah Geguritan Damayanti dapat dijadikan media
pembelajaran untuk pembentukan karakter.

DAFTAR RUJUKAN
Alwi, Hasan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua.
Jakarta: Balai Pustaka.
Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa. 1978. Kembang Rampe
Kesusastraan Bali Purwa. Buku I. Singaraja: Balai Penelitian
Bahasa.
Djapa, I Wayan. 1999. Kumpulan Geguritan. Tabanan.
Echols, John M, Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Karmini, Ni Nyoman. 2000. Teori dan Pengkajian Prosa Fiksi : Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Saraswati Tabanan.
Karmini, Ni Nyoman. 2011. Teori Pengkajian Prosan Fiksi dan Drama.
Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Saraswati
Institut Press.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Pendidkan Karakter. Bandung:
REMAJA ROSDAKARYA
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Somvir. 2001. 108 Mutiara Veda: Untuk Kehidupan Sehari-hari.
Surabaya: Paramita.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wiratmaja, G.K. Adia. 1988. Etika Tata Susila Hindu Dharma







Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


86
JAWA KUNA:
THE KEY OF THE ANTION CULTURE HERITAGE

Oleh :
A.A. Gde Alit Geria
FPBS, IKIP PGRI Bali


ABSTRACT
Jawa Kuna is one the oldest documentary languages which
has the richest material as well as the most beautiful and the
greatest cultural values. Jawa Kuna is the key point to explain
about the old history of Indonesian culture. As the result, studying
Jawa Kuna is like digging the hidden pearl, due to its glamorous
and supreme value (adiluhung) implied on it and furthermore, it
can be used a guidance in the daily life. A very strong willing from
the Jawa Kuna experts to know about the history and the richness
of the ancient culture, have been able to change their mindset
about the Jawa Kuna itself, changing from the a wild, frightening
and far jungle into a virgin, close, attractive and friendly
jungle.
In Bali, the infl uence of Jawa Kuna language has existed
since the 10
th
century to globalization era nowadays. The Rakawi
has put Jawa Kuna language into consideration in making a piece
of literature (parwa, kakawin) to the beginning of 21
st
century. As
a media to explore Hindu and Buddha literature, Jawa Kuna
language is not merely preserved by the sense that it is read, sung
and discussed, but it is also shown by the production of new
Kakawin using Jawa Kuna language made by Balinese Rakawi.
Bisides that, Jawa Kuna always plays important role in every
Hindu's ritual ceremony as seen in pajajiwan, nyenuk, mider githa,
mamutru,etc. This proved how the beauty is inexplicitty expressed
in Jawa Kuna manuscrif which is archaic and sacred-religious.

Key Words: Jawa Kuna, adiluhung, lang, rakawi, and ritual


I. PENDAHULUAN
Belajar Jawa Kuna, ibarat menggali sebuah "mutiara
terpendam" (Jendra, 1985:6). Bila mutiara itu digali maka
kemilauan gemerlapan cahayanya akan menerangi keadaan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


87
sekitarnya. Hal ini berarti bahwa bila studi Jawa Kuna telah digali
dan didalami isinya akan memberi manfaat yang sangat besar bagi
kepentingan teoretik ilmu pengetahuan itu sendiri dan
kepentingan praktis pembangunan bangsa ( nation and character
building).
Jawa Kuna merupakan salah satu bahasa dokumenter
tertua yang memiliki materi terkaya di antara bahasa-bahasa
nusantara. Sederetan nama penakluk Jawa Kuna dengan aji
silamnya, (sebagaimana diungkap Budya Pradipta, dalam
seminar ahli-ahli Jawa Kuna se-Indonesia, 1975), yakni keinginan
kuat untuk mengetahui riwayat dan kekayaan budaya masa silam,
seperti: Kern, Juynboll, Poerbatjaraka, Zoetmulder, Pigeaud,
Teeuw, Hooykaas, Sutjipto Wirjosuparto, Robson, Haryati
Soebadio, Supomo, dan yang lainnya. Mereka telah berhasil
mengubah pandangan tentang Jawa Kuna dari hutan buas yang
amat jauh, menakutkan dan mengerikan menjadi hutan perawan
yang amat dekat, ramah dan penuh daya tarik. Poerbatjaraka
(1957:146) misalnya, salah seorang yang telah menikmati
keperawanan hutan tersebut, menyatakan dalam Kepustakaan
Djawanya sebagai berikut: Bagi saya, pelajaran yang terdapat di
dalam kitab Sanasunu, dirangkapi dengan pelajaran dari kitab
Ramayana, telah cukup untuk bekal hidup lahir-bathin. Kiranya,
banyak selamatnya daripada jatuh sengsara. Meskipun demikian,
patutlah dicoba saja".
Karya-karya sastra Jawa Kuna tidak hanya penting untuk
diketahui oleh ahli-ahli sastra Jawa Kuna, akan tetapi juga oleh
ahli-ahli sastra, sastrawan dan pecinta sastra lainnya, di luar
sastra Jawa Kuna terutama bagi sastra-sastra Indonesia. Bahasa
dan Sastra Jawa Kuna masih merupakan hutan perawan yang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


88
memerlukan jamahan tangan-tangan ahli sastra Jawa Kuna
bersama-sama dengan sastrawan lainnya untuk lebih dapat
menyingkap betapa hakikat dan kekayaan karya sastra Jawa Kuna
itu. Karenanya, karya-karya sastra Jawa Kuna perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik, agar dapat
dipakai sebagai bahan studi ilmu perbandingan sastra Nusantara.

II. PEMBAHASAN
2.1 Jawa Kuna: Kunci Wasiat Budaya Masa Lampau
Jawa Kuna/Kawi adalah kunci wasiat untuk membuka
sejarah budaya yang tersurat dalam lontar atau kitab sastra
zaman dulu. Tanpa pemahaman bahasa Jawa Kuna, sangatlah
mustahil dapat menyingkap isi teks yang ditulis para rakawi
zaman lampau. Di Jawa, misalnya diawali dengan penemuan batu
bertulis berangka tahun 760 menggunakan bahasa Sanskerta,
dengan bentuk tulisan tidak lagi menggunakan sifat-sifat khusus
tulisan Palawa, yang kemudian disebut huruf Jawa Kuna. Krom
mengatakan bahwa huruf Palawa berkembang menjadi huruf Jawa
Kuna (aksara Kawi), sebagaimana dijumpai dalam sejumlah
piagam tertulis berupa prasasti.
Pada zaman Dharmawangsa Teguh, Jawa Kuna tidak hanya
dipakai pada kesusasteraan, tetapi dipakai untuk menulis undang-
undang dan bahasa resmi kenegaraan. Atas perintah raja
dilakukan penyaduran kitab Mahabharata Sanskerta ke dalam
bahasa Jawa Kuna, yakni Adiparwa dan Wirataparwa. Masing-
masing parwa ini menyebut nama Dharmawangsa Teguh.
Adiparwa telah dicetak ke dalam huruf Latin oleh Hazeau dan
dikupas oleh Kern, sedangkan Wirataparwa dicetak ke dalam
huruf Latin oleh Juynboll. Kiranya saduran kedua kitab tersebut
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


89
masih terdapat pengaruh Sanskerta, hal semacam ini dapat
dijumpai pada seseorang dalang dalam lakon wayangnya. Jika
diperhatikan dari parwa-parwa lainnya, Adiparwa merupakan
bentuk prosa (gancaran) tertua di Indonesia. Hingga kini ada
parwa-parwa lain yang telah disadur ke dalam bahasa Jawa Kuna,
seperti Bhismaparwa, Udyogaparwa, dan Asrama Wasanaparwa.
Di samping itu, pemakaian bahasa Jawa Kuna dan huruf Jawa
Kuna dapat dilihat dalam kitab Undang-undang Manawa
Dharmasastra dan Siwa Sasana yang dikutip dari Purwa
Adhigama. Kitab ini terkenal di Bali sebagai pegangan salah satu
hukum adat karena secara teori memuat tentang hukum Hindu.
Kemudian muncul Airlangga sebagai pengganti
Dharmawangsa sejak abad XI bertempat di Kahuripan. Pada
zamannya, gubahan-gubahan Jawa Kuna semakin diperhatikan.
Salah satu gubahan yang sangat penting adalah Kakawin
Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa. Pada tahun 1850, kitab ini
dicetak ke dalam huruf Jawa oleh Friedrick dan tahun 1926
dicetak ke dalam huruf Latin. Menurut Berg, Kakawin
Arjunawiwaha adalah kesusasteraan Jawa yang paling indah.
Bukan hanya berupa terjemahan sloka Sanskertanya tetapi
merupakan gubahan baru dari Mahabharata yang mengambil
peristiwa di tanah Jawa. Selain itu, karya Jawa Kuna berupa
Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna juga muncul pada
zaman Airlangga, yang melukiskan suatu kematian karena
kekuatan bunga.
Munculnya dua kitab Jawa Kuna, yakni Pararaton yang
ditulis dalam bentuk prosa dan Negarakertagama berbentuk
kakawin. Kedua kitab itu menggambarkan keberadaan raja
Singosari gambaran istana Majapahit terutama saat kekuasaan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


90
Hayam Wuruk. Pada zaman Ken Arok, kehidupan bahasa Jawa
Kuna masih mendapat perhatian baik, terbukti adanya sebuah
Kakawin Lubdhaka karya Mpu Tan Akung. Kakawin ini
menyebutkan bahwa kerajaan Jawa telah pindah dari Kadiri ke
Tumapel. Di samping itu, lahirnya kakawin ini adalah untuk
mengambil hati Ken Arok semata.
Pada zaman Majapahit, kehidupan Jawa Kuna tetap
mendapat perhatian terutama oleh raja Hayam Wuruk yang
didampingi mahapatih Gajah Mada. Muncul rakawi-rakawi
terkenal, seperti Prapanca mengarang Kakawin
Negarakertagama; Mpu Tantular mengarang Kakawin
Arjunawiwaha yang bersumber dari Uttarakanda, juga kitab
Purusadasanta yang kemudian terkenal dengan nama Sutasoma.
Setelah Hayam Wuruk dan Gajah Mada meninggal, sinar Kerajaan
Majapahit semakin surut terlebih sejak kedatangan Islam pada
abad XV. Desakan ini sangat terasa, ketika pandangan rakyat
semula berkiblat kepada keraton dan raja, beralih ke Sunan.
Akibatnya, seluruh kesusasteraan dan kebudayaan Hindu
terdesak ke pelosok-pelosok, di antaranya Tengger, Blambangan,
bahkan yang terbanyak hingga ke Bali.
Hingga abad XVI setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit
masih ada sekelompok pencinta sastra Jawa Kuna melakukan
penyelamatan terhadap naskah-naskah Jawa Kuna ke wilayah-
wilayah di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. Koleksi naskah-
naskah Jawa Kuna itu dinamakan koleksi Merapi -Merbabu
(Wiryamartana, 1994; Molen, 2002). Sekitar 400 cakep koleksi
lontar tersebut kini tersimpan di bagian naskah (manuscrift)
Perpustakaan Nasional Jakarta. Sifat istimewa yang tampak pada
koleksi tersebut adalah koleksi lama yang masih utuh; usia naskah
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


91
tergolong tua (sekitar abad XVI-XVIII); dan sebagian besar
berisikan tentang keagamaan dan sastra Hindu-Buddha; diungkap
dengan bahasa Jawa Kuna yang cenderung bersifat ragam lokal.
Yang paling unik dari koleksi tersebut adalah bentuk aksaranya
(Buddha atau sering disebut Jawa Kuna) yang bervariasi dari
setiap zamannya. Bentuk aksaranya lebih mendekati aksara-
aksara yang terdapat dalam prasasti berhuruf Palawa. Selain itu,
ciri-ciri aksara Dewanagari masih mewarnai bentuk aksaranya.
Hampir semua koleksi tersebut berwarna kehitam-hitaman,
sehingga tampak sebagai koleksi lontar yang pernah tersimpan di
sebuah perapian. Apabila dilihat dari perjalanan sejarah
kesusastraan Jawa Kuna, penemuan koleksi naskah Merapi -
Merbabu itu memperlihatkan bahwa adanya kesinambungan
kehidupan sastra Jawa Kuna setelah runtuhnya Majapahit. Ada
yang berlanjut di Jawa Tengah dan ada pula diteruskan di Bali
(Suarka, 2005:1).

2.2 Karya Sastra Jawa Kuna sebagai Wahana Sastra Hindu
Di Bali, pengaruh ini telah terasa sejak abad X, yakni saat
kekuasaan Mahendradatta (Gunapriya Dharmapatni) bersama
suaminya Raja Udayana. Politik expedisi Jawa ke Bali sejak abad
X hingga jatuhnya Majapahit, kiranya tak dapat dipungkiri bahwa
Bali telah mendapat pengaruh Jawa Kuna terlihat dalam bidang
kesenian, adat, dan agama.
Pada abad XV, kerajaan Gelgel diperintah Raja
Waturenggong dengan patih Ki Dauh Bale Agung. Di sinilah
sebagaimana disebut dalam Pamancangah, sebagai pusat
aktivitas Jawa Kuna di Bali. Kehidupan bahasa Jawa Kuna pada
zaman Gelgel dapat dibedakan menj adi dua periode, yakni (1)
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


92
periode sebelum datangnya Danghyang Nirartha; dan (2) periode
setelah datangnya Danghyang Nirartha. Dalam Pamancangah,
secara jelas dinyatakan bahwa sebelum datangnya Nirartha, di
Gelgel sesungguhnya telah ada aktivitas sastra memakai bahasa
Jawa Kuna, di antaranya dapat dilihat dalam karya sastra Wukir
Padelengan, Tan Dirgha Rinasa, dan Pupuh Sumaguna. Dengan
datangnya Nirartha di kerajaan Gelgel, pengaruh bahasa Jawa
Kuna semakin luas. Bersama istri dan para putranya, Nirartha
semula berhenti di Desa Gading Wani (Jembrana) setelah
melewati Purancak. Nirartha berhasil menolong penduduk yang
terkena wabah. Di Gading Wani beliau menghasilkan karya yang
disebut Sebun Bangkung. Kesaktian Nirartha didengar oleh
Pangeran Mas, dan segera dimohon agar Nirartha berkenan ke
Desa Mas hingga memperistri adiknya dan menurunkan Ida Mas.
Didengar oleh Raja Waturenggong, Danghyang Nirartha segera
dijemput oleh Ki Dauh Bale Agung dan dijadikan purahita di
kerajaan Gelgel.
Tradisi sastra Jawa Kuna atau Kawi terus berlanjut pada
masa Kerajaan Klungkung abad XVIII--XIX, terutama pada masa
pemerintahan Dewa Agung Istri Kanya. Pada abad XIX muncul
pengarang besar Bali, yakni Ida Pedanda Ngurah dari Geria Gede
Blayu Marga Tabanan, dengan empat buah mahakaryanya yaitu
Kakawin Surantaka, Geguritan Yadneng Ukir, Kakawin Gunung
Kawi, dan Kidung Bhuwana Winasa (Phalguna, 1988).
Pada abad XX di Bali muncul sejumlah pujangga besar,
diawali oleh Ida Pedanda Made Sidemen dari Geriya Delod Pasar
Intaran Sanur. Beliau meninggal tahun 1984 dalam usia 126
tahun. Ada sejumlah karya beliau yang telah dipastikan, antara
lain Siwagama, Kakawin Candra Bhairawa, Kakawin Cayadijaya,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


93
Kakawin Singhalanggyala, Kakawin Kalpha Sanghara, Kidung
Tantri Pisacarana, Kidung Rangsang, dan Geguritan Salampah
Laku (Agastia, 1994). Selanjutnya, I Nyoman Singgih Wikarman,
seorang pangawi muda asal Bangli dengan karyanya Kakawin
Kebo Tarunantaka dan Geguritan Gusti Wayan Kaprajaya.
Munculnya Kakawin Gajah Mada yang diteliti oleh Partini Sardjono
Pradotokusuma (1994), dikatakan ditulis pada abad XX (Kusuma,
2005:4). Lebih jauh Partini mengatakan, bahwa pengarang
Kakawin Gajah Mada itu bernama Ida Cokorda Ngurah dari Puri
Saren Kauh, Ubud Gianyar, seorang keturunan bangsawan
(kesatria, ahli sastra Kawi).
Di era globalisasi ini bahasa Jawa Kuna tetap eksis di Bali.
Tidak saja dilestarikan dalam artian dibaca, dilantunkan,
didiskusikan, justeru terciptanya karya baru Jawa Kuna berupa
kakawin, sebagaimana dilakukan para rakawi Bali. Pada akhir
abad XX di belahan Bali timur di Banjar Tengah Sibetan Babandem
Karangasem muncul seorang pangawi bernama Made Degung
sangat produktif di bidang olah sastra puisi Jawa Kuna ( kakawin).
Kakawin Nilacandra (KN1, 1993) adalah hasil mahakaryanya yang
pertama, disusul karya yang kedua (Kakawin Eka Dasa Siwa), dan
Kakawin Candra Banu (Dharma Acedya) sebagai karyanya yang
ketiga yang kini tengah dirampungkan. Karyanya yang pertama
merupakan cerminan masyarakat Bali dalam srada bhaktinya
kepada Hyang Widhi, yang sarat akan filosofis Siwa-Buddha yang
menjiwai setiap khazanah sastra lama, karena Siwa-Buddha
bersisian tempatnya yang diyakini sebagai jiwa alam semesta
beserta isinya (sira pinaka jiwaning praja). Berselang 4 tahun
kemudian lahir kembali Kakawin Nilacandra (KN2) karya I Wayan
Mandra (alm.) dari Banjar Dlod Tangluk Sukawati Gianyar.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


94
Menurut informasi yang tertera pada kolofonnya, kakawin ini
selesai ditulis pada Radite Kliwon Medangkungan Purnamaning
Kalima (November) tahun Saka 1919 (1997 Masehi). Pada awal
penceritaannya dijumpai adanya kesamaan dengan KN1, yakni
silsilah Prabu Nilacandra dan keberhasilannya membuat tiruan
Sorga-Naraka, hingga membuat Kresna marah dan menyerangnya.
Selain itu, dijumpai tentang keberadaan kuda milik Kresna
sebagai anugerah Dewa Indra, hakikat Wisnumurti, serta hakikat
Siwa-Buddha. Pembicaraan konsep Siwa-Buddha, tampak pada
penyatuan hakikat dan ajaran yoga, sementara Siwattatwa tidak
dijelaskan secara mengkhusus.
Tampaknya kreativitas para pangawi Bali meresepsi teks
Nilacandra yang disadur menjadi sastra kakawin tidak berhenti
sampai di wilayah Karangasem dan Gianyar. Justru di tengah-
tengah kota penuh kebisingan, setahun kemudian di sekitar
daerah Kayu Mas Denpasar terlahir lagi Kakawin Nilacandra
(KN3) berangka tahun 1998 karya I Wayan Pamit (alm.).
Sebagaimana tertera dalam kolofon naskahnya, I Wayan Pamit
menyatakan, bahwa kakawin ini selesai disadur pada Sabtu
Kliwon Wariga (Tumpek Wariga), Panglong ke-8, sasih ke Sanga,
tepatnya pada tanggal 21 Maret 1998. Dalam KN3 ini diawali
dengan penjelasan tentang keutamaan ajaran Buddha, penjelmaan
Buddha zaman dahulu dan sekarang yang disebut Sri Sakyamuni
yang tersirat dalam ajaran Trikona. Sakyamuni inilah dikatakan
sebagai jalan utama, karena mampu menghilangkan segala dosa
dan kekurangan di dunia.



Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


95
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Uraian Jawa Kuna sebagai kunci wasiat pembuka sejarah
budaya masa lampau adalah sebuah bahasa dokumenter tertua
tersirat ungkapan "mutiara terpendam" yang mesti digali untuk
sesuluh urip. Karena itu, sejak zaman silam (di Jawa) Jawa Kuna
sangat diindahkan oleh para rakawi hingga hidup dan lestari di
Bali. Hal itu dapat dibuktikan sejarah Jawa Kuna semula tersurat
di sejumlah prasasti, karya sastra klasik ( parwa, kakawin), hingga
ratusan koleksi Merapi-Merbabu beraksara Jawa Kuna/Buddha
senantiasa menunggu para ahli Jawa Kuna untuk menyingkap isi
teks Jawa Kuna yang susastra.
Melalui studi Jawa Kuna akan bermanfaat sebagai ssuluh
dalam kehidupan keseharian (berpikir, berkata, berperilaku).
Pentingnya pemahaman Jawa Kuna berkaitan dengan kegiatan
keagamaan di Bali. Tidak saja dilestarikan dalam artian dibaca,
dilantunkan, didiskusikan, justeru terciptanya karya baru Jawa
Kuna berupa kakawin, sebagaimana dilakukan para rakawi Bali.
Semua teks Jawa Kuna, pada hakikatnya adalah wahana sastra
Hindu.

3.2 Saran
Untuk menggali dan mengungkap keadiluhungan sastra
Jawa Kuna, semoga semakin tumbuh niat generasi muda
mendalami Jawa Kuna. Pada gilirannya mereka akan mampu
membabat hutan Jawa Kuna bersama para ahli Jawa Kuna, hingga
memperoleh kekayaan-kekayaan budaya, bahasa, dan sastranya.
Diharapkan kepada segenap pengajar Jawa Kuna agar bersedia
melaksanakan misi suci Jawa Kuna, yaitu merangsang anak
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


96
didiknya untuk lebih tertarik dan tergugah minatnya terhadap
warisan leluhur.


DAFTAR PUSTAKA

Agastia, IBG. 1982. Sastra Jawa Kuna dan Kita. Denpasar: Wyasa
Sanggraha.
Hadi, Sutrisno. 1983. Metodelogi Research. Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Jelantik, IB. dan IB. Putu Suamba. 2002. Ida Wayan Oka Granoka:
Seni sebagai Ritus. Cintamani, Edisi 06 Tahun I: 50-52.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar
Harapan.
Molen, W. Van Der. 1983. Javaanse Tekstkritiek een overzicht en
een nieuwe benadering geillustreerd aan de
Kunjarakarna. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal.
Moleong, Lexy J. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robson, S.O. 1978. The Kawi Classic in Bali. BKI. 128. 308-329.
Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. S-
Gravehage: Martinus Nijhoff.
Zoetmulser, P.J. 1983 dan 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna
Selayang Pandang. Cetakan ke-1 dan ke-2. Jakarta:
Djambatan.






Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


97
EFEKTIVITAS PSYCHOLOGICAL FIRST AID DALAM MENGURANGI
GEJALA KECEMASAN PADA PENYINTAS KECELAKAAN
KENDARAAN BERMOTOR

Oleh
I Made Mahaardhika
Dosen BK FIP IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

The aim of this research is to see the effect of PFA
intervention in decreasing anxiety symptoms that are experienced
by motor vehicle accident (MVA) survivors. This research use the
qualitative method with three teenager participants. Anxiety level
is measured with the Beck Anxiety Inventory (BAI) and deep
interview. PFA intervention is applied during four meetings for
four consecutively days. Anxiety symptoms are experienced in the
few days after accidents are : fear, tension, and worries related to
the impact of physical injury the experience of the accident. PFA
helps survivors to change negative emotions in to more positive
emotions, positive coping strengths and awarenes of the
importance of psychosocial support. The result shows that
intervention is able to decrease the BAI score and anxiety
symptoms are lower between after the given intervention.

Keywords: anxiety, psychological first aid (PFA), motor vehicl e
accidents (MVAs)

A. Latar Belakang Masalah
Di negara-negara barat seperti di Amerika Serikat,
kecelakaan kendaraan bermotor merupakan salah satu penyebab
trauma yang cukup besar. Data Departemen Transportasi Amerika
menunjukkan, terjadi enam juta kecelakaan per tahun, dengan
lebih dari 42 ribu yang fatal dan 2,7 juta mengalami luka personal
(Hickling & Blanchard dalam Carll 2007). Selanjunya Hickling dan
Blanchard mengatakan, luka fisik akibat kecelakaan tidak selalu
akan disertai dengan luka psikologis, namun luka fisik yang parah
atau serius dapat dijadikan pertimbangan akan adanya luka
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


98
psikologis di kemudian hari. Sebuah penelitian awal yang
dilakukan oleh Oxley dan Fildes (dalam Harrison, 1999) yang
meneliti efek jangka panjang dari luka fisik dan besarnya biaya
yang harus dikeluarkan oleh individu akibat kecelakaan
menemukan bahwa, luka fisik yang tidak terlalu parah juga
menimbulkan dampak psikologis sampai dua tahun setelah
peristiwa kecelakaan terjadi. Luka fisik yang tidak begitu parah
juga berpengaruh terhadap emosi dan perilaku yang disebabkan
adanya kecemasan dan avoidance reactions yang dialami
penyintas.
Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan,
dalam rentang waktu dua minggu (immediate) pasca kecelakaan,
besar kemungkinan penyintas akan mengalami kecemasan.
Orang-orang yang mengalami kecemasan dan sampai berkembang
mengalami gangguan kecemasan atau PTSD adalah orang-orang
yang mempunyai pengalaman kecemasan yang ekstrim, pikiran-
pikiran yang mengganggu dan ketakutan yang luar biasa setelah
mengalami kecelakaan. Biasanya orang-orang seperti itu juga
terganggu dalam melakukan aktivitas sehari -hari, dalam bekerja
dan berhubungan dengan orang lain, serta merasa tidak berdaya
akibat pengalaman kecelakaan yang dialaminya
Pada banyak kasus, ketika ditemukan adanya gejala-gejala
permasalahan psikologis yang akut, maka early treatment sangat
dibutuhkan untuk mencegah berkembangnya permasalahan
psikologis yang lebih serius atau sampai menjadi PTSD (Bryant
et.al, dalam Bryant, Moulds & Guthrie, 2000). Early treatment yang
dilakukan beberapa hari setelah peristiwa traumatis, berfungsi
untuk memfasilitasi pemulihan psikologis (Yehuda, 2002).
Selanjutnya Yehuda (2002) mengatakan, proses pemulihan dapat
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


99
terbantu dengan berkomunikasi dan berbagi cerita dengan orang
lain, yang dapat meningkatkan kemampuan untuk menahan
ketidaknyaman dan mengekspresikan emosi -emosi yang tidak
menyenangkan. Intervensi awal atau sesegera mungkin ( Early
Intervention) merupakan pendekatan yang menekankan pada
penguatan persepsi mengenai self-efficacy dalam menghadapi
pengalaman traumatis atau stresor yang menyertainya. Intervensi
yang dilakukan sesegera mungkin akan menjadi efektif dalam
mencegah dampak yang lebih serius akibat pengalaman
traumatis, apabila intervensi tersebut mampu membantu
penyintas menghadirkan gambaran baru dalam mempersepsi
coping yang sesuai dengan kebutuhan (Benight, Cielsak, Molton &
Johnson, 2008).
Motor Accidents Authority of NSW (2003) merekomendasikan
Psychological First Aid (PFA) untuk diberikan dalam rentan waktu
dua minggu sejak peristiwa kecelakaan terjadi. PFA yang
diberikan sesegera mungkin kepada penyintas kecelakaan
meliputi penyediaan rasa aman dan kenyamanan, memfasilitasi
kebutuhan fisiknya, menghubungkannya dengan keluarga atau
orang dekatnya, serta meningkatkan fungsi sosial support. PFA
juga mencakup pemberian informasi yang sederhana namun
akurat mengenai respon normal berupa kecemasan maupun
bentuk distres lainnya yang muncul pasca mengalami kecelakaan,
serta informasi tentang layanan profesional kesehatan mental
bagi yang membutuhkannya. Apabila penyintas merasa butuh,
dengan berbicara tentang perasaan dan pikiran yang timbul
setelah mengalami kecelakaan kepada orang lain, juga
merupakan bentuk PFA yang direkomendasikan Motor Accidents
Authority of NSW.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


100
Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang merasa
bahwa dia harus bertanggung jawab serta mengakui dalam dirinya
bahwa kecelakaan tersebut adalah bagian dari kesalahannya,
mempunyai resiko lebih kecil untuk mengalami PTSD dan
mengalami pemulihan psikologis lebih cepat. Penyintas
kecelakaan yang memaknai bahwa dirinya bersalah dalam
kecelakaan yang terjadi, mempunyai kekuatan mengontrol
persepsinya dalam menilai peristiwa yang terjadi. Penyintas
mempunyai lebih banyak sense of control mengenai apa yang
telah dia alami dan bagaiamana menyikapi apa yang akan terjadi
ke depan (Delahanty et al., 1997).
Remaja usia 16-19 tahun beresiko lebih besar mengalami
kecelakaan jika dibandingkan dengan kelompok usia lainnya,
terutama pada remaja yang mulai mengemudikan kendaraan
bermotor (McCartt ; National Center for Injury Prevention and
Control-NCIPC, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Data dari
Kepolisian Daerah Bali Direktorat Lalu Lintas, pada semester I
Tahun 2010 mengenai korban kecelakaan lalu lintas terdapat pada
tabel 1 :


Tabel 1 : Angka jumlah korban kecelakaan kendaraan bermotor
periode Januari-Juni 2010 (Direktorat Lalu Lintas
Kepolisian Daerah Bali).
usia Jumlah (orang)
0 s/d 9 th 120
10 s/d 15 th 396
16 s/d 30 th 613
31 s/d 40 th 331
41 s/d 50 th 226
51 th ke atas 174
1860

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


101
Dari data tersebut, 54,25 % korban kecelakaan lalu lintas
pada wilayah Polda Bali adalah usia 10 sampai 30 tahun. Dari
hasil pengamatan peneliti, Di Bali sendiri terutama di wilayah Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung, hampir sebagian besar usia
remaja, sejak mereka bersekolah di SMP, sudah mengendarai
motor sendiri untuk pergi ke sekolah. Hal ini tentu menjadi
perhatian penting bagi peneliti dalam mempertimbangkan usia
remaja sebagai partisipan penelitian. Ketika remaja mengalami
luka atau bekas luka pada wajah dan daerah tubuh lainnya,
mungkin muncul kekhawatiran mengenai akan ditolak teman
lawan jenisnya. Luka fisik juga akan mengganggu aktivitas
pendidikan remaja dan interaksi sosial lainnya, yang mungkin
menimbulkan ketidaknyamanan pada diri remaja. Perasaan malu,
harga diri yang menurun karena dianggap tidak mahir dalam
mengendarai motor oleh teman sebaya, mungkin menjadi pikiran-
pikiran yang hadir pada diri remaja yang baru mengalami
kecelakaan. Rasa sakit dibagian tubuh yang luka dan penilaian
tentang bagaimana nanti keberfungsian organ tubuh yang luka
mungkin menjadi sumber stres atau kecemasan pada diri remaja.
Merujuk pada hasil pemaparan di atas, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah Psychological First
Aid (PFA) dapat mengurangi gejala kecemasan pada penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor.

B. Tinjauan Teoritis
Freud (dalam Feist & Feist 2008) mendefinisikan kecemasan
sebagai kondisi yang tidak menyenangkan, bersifat emosional dan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


102
sangat terasa kekuatannya, disertai sebuah sensasi fisik yang
memperingatkan seseorang terhadap bahaya yang sedang
mendekat. Ketidaknyamanan dari kondisi ini seringkali samar-
samar dan sulit untuk ditentukan penyebabnya, namun kecemasan
itu sendiri selalu dapat dirasakan. Sedangkan Rogers
mendefinisikan kecemasan sebagai kondisi tidak nyaman atau
tegangan yang penyebabnya tidak diketahui.
Peurifoy (2005) mengatakan, kecemasan biasanya didorong
oleh ancaman yang hadirnya samar-samar, tidak nyata atau tidak
langsung, sedangkan ketakutan didorong oleh ancaman yang jelas
atau nyata. Baik kecemasan dan ketakutan mengakibatkan gejala-
gejala mental seperti rasa putus asa, bingung, takut, khawatir dan
adanya pengulangan pikiran-pikiran negatif. Kecemasan dan
ketakutan juga mengakibatkan munculnya gejala fisik ringan
seperti ketegangan otot-otot tubuh.
Pada orang yang sedang sakit atau mengalami luka, kondisi
yang dialaminya menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan
terasa mengganggu dirinya. Terkadang perasaan seperti ini
menjadi sesuatu yang disadari, namun ketika ketidaknyaman
tersebut muncul tanpa disadari dan terasa sangat mengganggu
tanpa diketahui penyebab pastinya serta terjadi terus menerus,
hal inilah yang menjadi sebuah bentuk kecemasan (Meares, 1963).
Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan
bahwa penyebab kecemasan bisa karena ketakutan akibat
memikirkan sesuatu yang tidak jelas atau tidak pasti,
kekhawatiran karena penilaian tentang sesuatu yang akan datang
atau di kemudian hari, atau persepsi tentang sesuatu yang sudah
lalu, seperti tentang pengalaman kecelakaan yang pernah
dialaminya, bertanya-tanya dalam diri sendiri, mengapa dan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


103
kenapa hal itu bisa terjadi, siapa yang salah dan penyebab utama
dari kecelakaan tersebut. Motor Accidents Authority of NSW
(2003) menyebutkan, dalam rentang waktu dua minggu
(immediate) pasca kecelakaan, besar kemungkinan penyintas
akan mengalami kecemasan.
Jacobson (dalam Soewondo, 2009) mengatakan bahwa,
relaksasi otot berjalan bersama dengan relaksasi mental.
Perasaan cemas subjektif dapat dikurangi atau dihilangkan
dengan sugesti tidak langsung atau menghapus atau
menghilangkan komponen otonomik perasaan-perasaan itu.
Jacobson mengembangkan relaksasi progresif untuk mengurangi
rasa cemas, stres atau tegang. Relaksasi progresif ini juga
menjadi salah satu bagian dari intervensi yang akan peneliti
berikan kepada partisipan, sebagai salah satu upaya mengurangi
kecemasan atau ketegangan yang dialami penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor.
Seseorang dapat melakukan berbagai cara atau teknik untuk
mengurangi gejala kecemasan yang dia alami. Peurifoy (2005)
mengatakan ada empat keterampilan dasar yang bisa dilakukan
untuk mengurangi gejala kecemasan, yaitu :
1. Relaksasi.
2. Mengatur aliran nafas.
3. Coping Self-Statements. Ketika seseorang menginter-
pretasi suatu situasi, pikiran dan perasaannya sangat
berpengaruh dalam penilaian yang dihasilkannya. Dengan
melatih untuk memaknai secara positif sebuah peristiwa
yang tidak menyenangkan, seseorang dapat merubah
penilaiannya terhadap situasi atau pengalaman tertentu,
sehingga pikiran dan perasaan yang dihasilkan juga
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


104
menjadi lebih baik atau positif. Salah satu bagian dalam
sesi intervensi yang peneliti lakukan adalah mengajak
penyintas untuk memaknai secara positif dan menemukan
hikmah dari kecelakaan yang dialaminya.
4. Distraction, yaitu melakukan sesuatu aktivitas yang
mengasikkan atau menyenangkan untuk mengalihkan fokus
atau perhatian kita dari stresor atau sesuatu yang
membuat kita cemas. Bekerja, bermain, olahraga, berdoa
serta berbicara dengan orang lain merupakan bentuk
distraction yang umum dikakukan.
Psychological First Aid (PFA) adalah suatu pendekatan untuk
mengurangi distres yang dialami individu atau komunitas yang
terkena bencana, serta membantu mengembangkan fungsi adaptif
jangka pendek maupun jangka panjang dalam menghadapi
dampak bencana (Vernberg, et.al, 2008). Sedangkan menurut
Everly, Phillips, Kane & Feldman (2006) Psychological First Aid
(PFA) merupakan serangkaian keterampilan yang digunakan untuk
mengurangi distres dan mencegah timbulnya perilaku negatif,
memberikan pemahaman mengenai respon normal terhadap
situasi yang penuh tekanan atau ketika mengalami peristiwa
traumatis, termasuk kemampuan untuk memahami kapan harus
mencari bantuan dari profesional kesehatan mental.
PFA digunakan dalam respon bencana dan ditujukan bagi
siapa saja yang terkena dampak dalam hitungan jam atau hari,
baik dalam situasi darurat, bencana atau serangan teroris. Tujuan
dasar PFA adalah memberikan bantuan atau dukungan bagi
individu dan resiliensi komunitas untuk mengurangi stres akut
yang muncul akibat bencana serta mendorong fungsi adaptif
jangka pendek maupun jangka panjang (Uhernik & Husson, 2009).
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


105
Konsep PFA adalah meningkatkan cara dalam menyediakan
dukungan dan ketenangan bagi orang yang mengalami luka atau
ketakutan ketika kondisi untuk mendapatkan intervensi dari orang
yang ahli dalam hal itu tidak memungkinkan. Teman atau siapa
pun dapat menyediakan pertolongan non medis sementara kepada
orang yang terluka, sampai pertolongan dari orang yang
berkompeten datang untuk menolong. Jadi siapa saja dapat
menggunakan teknik psikologis sederhana untuk mengurangi
kesedihan atau kepanikan yang dialami seseorang yang terluka,
sehingga apa yang dilakukan tersebut dapat mencegah kebutuhan
untuk mendapatkan intervensi dari psikiater (Blain, Hoch & Ryan,
dalam Reyes & Jacobs, 2006).
Pemulihan dari trauma adalah dengan memfasilitasi
pengungkapan emosi serta menghubungkannya dengan dukungan
sosial yang ada (Pennebaker, dalam Boege & Gehrke, 2005).
Orner (dalam Boege & Gehrke, 2005) menemukan, setelah
mengalami peristiwa traumatis atau kecelakaan, 71,4 % orang
melaporkan bahwa mereka melakukan kontak atau hubungan
dengan koleganya dan hanya 9,2 % melakukan kontak dengan
profesional.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami dan mendalami
situasi nyata sehari-hari agar dapat mendeskripsikan dan
memahami tingkah laku yang tampak maupun kondisi -kondisi
internal manusia, baik itu pandangan hidupnya, nilai -nilai yang
dipegang, pemahaman tentang diri dan lingkungan, serta
bagaimana ia mengembangkan pemahaman tersebut (Patton,
dalam Poerwandari 2009). Pendekatan kualitatif digunakan dalam
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


106
penelitian ini untuk mendapatkan pemahaman mengenai reaksi
atau dampak yang timbul dalam beberapa hari (reaksi akut) pada
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor. Kecemasan
merupakan reaksi utama yang ingin dilihat dalam penelitian ini.
Perilaku, pikiran dan perasaan apa saja yang sering muncul dalam
beberapa hari yang dialami penyintas. Pendekatan kualitatif juga
dimaksudkan untuk memahami mekanisme coping penyintas,
serta dukungan psikososial seperti apa saja yang telah ia
dapatkan dan harapkan untuk membantu pemulihannya.
Penelitian i ni bertujuan untuk menguji apakah psychological
first aid (PFA) sebagai sebuah bentuk treatment awal dalam
mengurangi dampak peristiwa traumatis, dapat secara efektif
mengurangi gejala kecemasan yang dialami penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor. Untuk menguji efektivitas sebuah intervensi
atau program, maka penelitian ini menggunakan desain pre test
post test (Kumar, 1996).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
pengisian kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI) oleh penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor untuk melihat tingkat
kecemasannya, serta wawancara dan observasi kepada
partisipan penelitian.

D. Partisipan Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini adalah penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor yang bertempat tinggal di wilayah Provinsi Bali.
Partisipan yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri dari tiga
orang yang memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan fenomena atau
tujuan yang ingin diteliti (purposive sampling), yaitu :
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


107
1. Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang mendapatkan
penangan segera setelah kecelakaan di instalasi rawat darurat
(IRD) di rumah sakit, yang mengalami luka pada wajah dan/atau
bagian tubuh lainnya.
2. Berusia remaja (10-19 tahun).
3. Tingkat kecemasan tinggi (di atas skor 36) hasil interpretasi BAI
yang telah diisi oleh partisipan.
4. Bersedia menjadi partisipan penelitian dan mengisi inform
consent.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Alat ukur the Beck Anxiety Inventory (BAI).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Beck Anxiety
Inventory (BAI) sebagai alat untuk mengukur tingkat kecemasan
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor. BAI merupakan
Pengembangan dari 21 item self report inventory untuk mengukur
tingkat kecemasan. BAI sendiri telah mempunyai panduan
interpretasi mengenai tingkat kecemasan itu sendiri, yaitu angka
0-21 mengindikasikan kecemasan yang sangat rendah, 22-35
mengindikasikan tingkat kecemasannya sedang dan 36-63
mengindikasikan tingkat kecemasan yang tinggi dan perlu
mendapatkan perhatian yang serius (dalam Beck, Epstein,
Brown, Steer, 1988). Dalam penelitian ini BAI yang digunakan
sudah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia (Kartikasari, 2009).
b. Panduan wawancara bagi peneliti.
c. Modul PFA bagi penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.
d. Alat bantu lain seperti kamera digital dan tape recorder untuk
merekam wawancara yang dilakukan.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


108

F. Prosedur Intervensi
Intervensi dilakukan dengan mengunjungi penyintas di rumahnya.
Setelah peneliti memperkenalkan diri serta menyampaikan maksud dan
tujuan kedatangannya dan menjelaskan bahwa peneliti mengetahui data
penyintas dari rumah sakit, peneliti meminta penyintas untuk mengisi
Beck Anxiety Inventory (BAI) sebagai alat untuk mengukur level gejala
kecemasan. Apabila skor kecemasan penyintas di atas skor 22-35
(sedang) atau 36-66 (tinggi), maka peneliti akan melakukan intervensi
kepada penyintas dengan terlebih dahulu menanyakan kesediaannya
untuk menjadi partisipan penelitian. Bila skor kecemasan penyintas
hanya 21 atau di bawahnya (rendah), peneliti tidak akan memberikan
intervensi, namun hanya memberikan psikoedukasi. Penyintas dengan
level kecemasan tinggi atau sedang yang bersedia untuk menjadi
partisipan penelitian, akan menjalani empat sesi pertemuan selama
empat hari berturut-turut, dimana setiap sesinya akan berlangsung
selama 90 menit.
Di sesi pertemuan pertama intervensi, peneliti lebih banyak
melakukan komunikasi yang sifatnya membangun raport dengan
partisipan. Peneliti memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud
dan tujuan kedatangaan peneliti menemui penyintas. Peneliti menggali
informasi dengan menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan rasa aman
dan kenyamanan partisipan selama beristirahat di rumah atau selama
menjalani rawat jalan. Peneliti juga mengkomunikasikan apakah
partisipan mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses pemulihan.
Di sesi pertemuan kedua dengan partisipan, peneliti memberikan
intervensi dengan membantu penyintas untuk mengungkapkan
perasaan, pikiran serta reaksi fisik dan perilaku yang partisipan alami
pasca mengalami kecelakaan. Dalam sesi ini diharapkan apa yang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


109
diungkapkan partisipan kepada peneliti bisa menjadi ventilasi untuk
mengekspresikan emosi-emosi negatif yang dirasakan partisipan.
Peneliti juga membantu penyintas untuk lebih mengenal coping positif
dan dukungan psikososial yang dapat membantu penyintas dalam
mempercepat proses pemulihan psikologisnya.
Pada sesi pertemuan ketiga intervensi, peneliti mengajak
partisipan untuk memaknai secara positif dan menemukan hikmah dari
kecelakaan yang baru dialaminya. Peneliti memberikan teknik relaksasi
progresif kepada penyintas sebagai salah satu cara mengurangi gejala
kecemasan, ketegangan-ketegangan otot tubuh ataupun mengurangi
bentuk distres lainnya. Peneliti juga meminta partisipan untuk
mengajarkan sebuah teknik relaksasi atupun teknik olah pernapasan
atau teknik manajemen stres lainnya yang mungkin telah dimiliki
penyintas dan efektif bagi dirinya untuk mengurangi distres yang pernah
dia alami. Dengan partisipan mengajarkan sebuah teknik relaksasi
kepada peneliti, diharapkan penyintas merasa bahwa dirinya berdaya
dan lebih mengenal kapasitas yang ada dalam dirinya juga dapat
membantu mempercepat proses pemulihan psikologisnya.
Pada sesi pertemuan terakhir (pertemuan ke empat), partisipan
diminta untuk mengungkapkan kembali gejala atau apa yang dia rasakan
pasca mengalami kecelakaan, serta bagaimana perubahan yang terjadi
terhadap gejala-gejala tersebut setelah menjalani proses intervensi
selama empat hari bersama peneliti. Peneliti meminta penyintas
menghayati kembali coping yang telah dilakukannya serta apa yang dia
rasakan dari dukungan psikososial yang didapatkannya. Partisipan juga
diminta mengisi kembali kuesioner BAI, untuk melihat apakah ada
penurunan skor gejala kecemasan setelah dilakukan intervensi.


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


110
G. Metode Analisa Data
Data dianalisa sesuai dengan tema-tema yang ingin dicari dalam
penelitian ini. tema-tema yang ingin dilihat adalah gambaran umum
kehidupan sehari-hari partisipan (penyintas kecelakaan kendaraan
bermotor), gambaran stres dan gejala kecemasan partisipan pasca
mengalami kecelakaan, strategi coping, dukungan psikososial, penilaian
partisipan terhadap intervensi, serta perubahan skor dan penghayatan
stres dan gejala kecemasan partisipan pasca menjalani proses
intervensi.

H. Hasil Penelitian
Secara ringkas hasil penelitian dapat peneliti paparkan dalam
tabel di bawah ini :
Y DP D
Gambaran
Umum
Kehidupan
Partisipan
Laki-laki berumur
15 tahun,
keluarga sangat
sejahtera, setiap
hari pergi ke
sekolah dan
melakukan
aktivitas lain di
luar rumah
dengan
mengendarai
motor sendiri.
Perempuan
berumur 16 tahun,
keluarga sangat
sederhana, setiap
hari pergi ke
sekolah dan
melakukan aktivitas
lain di luar rumah
dengan
mengendarai motor
sendiri.
Perempuan
berumur 20 tahun,
keluarga menengah
ke atas, setiap hari
pergi ke kampus
dan melakukan
aktivitas lain di luar
rumah dengan
mengendarai motor
sendiri.
Pikiran Bertanya-tanya
pada diri sendiri
tentang bagaimana
komentar teman-
teman dengan gigi
saya yang patah 2.
Bertanya-tanya
pada diri sendiri
bagaimana keadaan
ibu dan
bayi/kehamilannya
nanti, sulit
berkonsentrasi.
Bertanya-tanya
pada diri sendiri
kenapa saya bisa
jatuh lagi, teringat
tentang kecelakaan
yang dialami, sulit
berkonsentrasi.
Perasaan Malu, kecewa,
kurang semangat,
waspada, takut,
bosan, malas,
cemas, tidak
sabar, orang lain
yang
Takut, merasa
bukan dirinya yang
bersalah dalam
peristiwa yang
terjadi.
Takut, cemas, was-
was, merasa tidak
enak karena
merepotkan orang
lain, kecelakaan
merupakan
kesalahan sendiri.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


111
menyebabkan
dirinya mengalami
kecelakaan.
Fisik Otot tubuh
tegang, gigi sakit,
sulit tidur, baru
bangun tidur leher
sakit.
Otot-otot tubuh
tegang dan kaku,
sulit tidur, tubuh
lemas, kurang
bersemangat.
Perilaku Takut mengendarai
motor sendiri di
jalan raya.
Jadi sering
menyendiri di
kamar.
Strategi
Coping
Baca komik, main
game,
menggambar,
ngobrol dengan
keluarga,
memakai gigi
palsu,
sembahyang.
Bercerita/ngobrol
dengan anggota
keluarga atau
teman,
mendengarkan
musik, nonton tv,
menulis diary
Cerita atau ngobrol
dengan teman,
jalan-jalan, makan,
sms-an, internetan,
nonton tv,
sembahyang atau
berdoa.
Dukungan
Psikososial
Orang tua,
keluarga, teman
sekolah.
Anggota keluarga di
rumah, saudara,
teman sekolah.
Teman kampus.
Hambatan
dalam
pemulihan
psikologis
Kurangnya
perhatian dan
dukungan dari
anggota keluarga di
rumah.
Hikmah
Positif dari
Kecelakaan
yang
Dialami.
Harus lebih hati-
hati dan waspada
jika mengendarai
motor, jadi lebih
rajin berdoa.
Harus lebih berhati-
hati, tidak boleh
bengong jika
mengendarai
motor, harus lebih
terbuka dengan
keluarga jika punya
masalah.
Ketika mengendarai
motor tidak boleh
buru-buru dan
dalam keadaan
marah atau kesal,
jadi lebih dekat
dengan teman,
tidak selalu
menyalahkan
lingkungan, diri
sendiri yang sangat
berperan dalam
menyebabkan
kecelakaan yang
dialami.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


112
Penilaian
Terhadap
Intervensi
Bermanfaat,
membantu
pemulihan
psikologis, ada
teman
berkomunikasi,
mendapat
manfaat dari
relaksasi dan
rileks. progresif
yaitu menjadi
lebih tenang
Bermanfaat,
membantu
pemulihan
psikologis,
membuat lebih
tenang, nyaman
dan dikuatkan
(coping DP
didukung atau
dinilai baik oleh
peneliti)
Membantu
pemulihan
psikologis,
membantu dalam
menemukan hikmah
positif.


Perubahan
penghayata
n gejala
kecemasan.
Lebih rileks,
tenang, nyaman.
Tidur lebih nyaman,
lebih bisa
berkonsentrasi,
tenang, nyaman.
Merasa senang,
nyaman, merasa
banyak yang
perhatian, otot-otot
jadi lebih rileks.
Perubahan/
Penurunan
Skor Gejala
Kecemasan
Sebelum
dan
Sesudah
Intervensi
Dari 36 menjadi 18
(turun 18 poin)
Dari 23 menjadi 8
(turun 15 poin)
Dari 34 menjadi 8
(turun 26 poin)

I. Analisa Antar Partisipan
Skor gejala kecemasan Y yang tinggi (36) ketika peneliti
memulai intervensi, kemungkinan dikarenakan Y masih merasakan
sakit dan persepsi yang tidak menyenangkan karena giginya yang
patah dua. Sebelum mengalami kecelakaan, bisa dikatakan Y tidak
pernah mengalami permasalahan atau stres yang sampai
mengganggu fungsi keseharian dalam hidupnya, sehingga
kecelakaan ini menjadi pengalaman traumatis pertama dia alami.
Oleh karena itu, peneliti memperkirakan kecelakaan yang Y alami
menjadi sesuatu yang dihayatinya dengan sangat dalam, sehingga
menimbulkan gejala-gejala kecemasan yang tinggi ketika
dilakukan pengukuran melalui beck anxiety inventory (BAI).
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


113
DP merupakan partisipan yang menunjukkan skor gejala
kecemasan yang paling rendah (23) diantara ketiga partisipan
dalam penelitian ini. Meskipun skor gejala kecemasan DP berada
dalam tingkat sedang, namun dari apa yang diungkapkan DP
selama proses intervensi berjalan menunjukkan bahwa,
penghayatannya terhadap kecelakaan yang baru saja dia alami
sangat mengganggu dan membuatnya tidak nyaman.
Keyakinannya yang merasa tidak bersalah dalam kecelakaan yang
terjadi, namun tetap harus memberikan perhatian kepada ibu yang
bertabrakan dengan dirinya, menjadi sesuatu yang bertentangan
di dalam dirinya. DP juga merasa bersalah pada dirinya dan kedua
orang tuanya, karena tidak mengikuti nasihat kedua orang tuanya
agar tidak menyeberang melewati candi (gapura gang yang
terbuat dari batu) ketika akan memasuki gang untuk menuju ke
rumahnya sebelum kecelakaan tersebut terjadi.
Terbatasnya keadaan ekonomi keluarga dan di sisi lain DP
harus berurusan dengan hukum karena motornya ditahan dan
dinyatakan bersalah oleh polisi, menjadikan stresor yang sangat
kuat dalam penghayatan DP. Kondisi ibu yang sedang hamil
delapan bulan anak pertamanya dan harus diopname, menjadi
stres yang sangat besar bagi DP karena dengan terbatasnya
ekonomi keluarga, bagaimana harus bertanggung jawab dalam
membantu biaya pengobatan ibu yang bertabrakan dengan dirinya
tersebut. DP lebih menerima manfaat intervensi yang berupa
penguatan-penguatan emosi dan support dari peneliti yang
menilai baik strategi coping yang telah dilakukannya.
Temuan yang sangat menarik adalah baik Y dan DP sama-
sama mendapatkan dukungan psikososi al dari teman dan
keluarga, sedangkan D hanya mendapatkan dukungan psikososial
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


114
dari temannya, bahkan menurut D keluarga merupakan faktor
penghambat dalam proses pemulihan psikologisnya. Sebelum
mengalami kecelakaan, D telah mempunyai permasalahan dengan
anggota keluarganya di rumah. Hal ini juga menjadi stresor
tambahan bagi D, karena dia menghayati bahwa kurangnya
perhatian dan komunikasi dengan keluarga, membuat dirinya
merasakan tidak mempunyai sumber daya yang bisa dimintai
bantuan ketika mengalami permasalahan dalam hidupnya.
Pengalaman mengalami kecelakaan sebanyak dua kali dalam
sebulan menjadikan stres yang dialami D seolah terakumulasi,
sehingga faktor inilah yang menyebabkan skor gejala
kecemasannya hampir berada pada tingkat yang tinggi (34).
Namun diantara ketiga partisipan dalam penelitian ini, D
mempunyai penurunan skor gejala kecemasan yang paling besar.
Walaupun D tidak mendapatkan dukungan psikososial dari
keluarga, namun peneliti berkeyakinan bahwa faktor yang
membuat skor gejala kecemasannya menurun paling besar adalah
karena D lebih banyak memaknai secara positif dan mendapatkan
hikmah dari kecelakaan yang dialaminya. D sangat merasakan
manfaat intervensi dari hal-hal yang berusaha menggali lebih
dalam pemaknaan partisipan tentang peristiwa yang dialaminya,
serta mengajak partisipan menemukan hikmah positif dari
kecelakaan yang baru dialaminya.

J. Diskusi
PFA menjadi intervensi yang efektif dalam mengurangi
gejala kecemasan yang dialami penyintas dalam beberapa hari
pasca mengalami kecelakaan dikarenakan PFA membantu
penyintas untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran yang tidak
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


115
menyenangkan, sehingga beban atau tekanan yang dialami
penyintas juga menjadi berkurang. Menguatkan dan meningkatkan
coping positif serta dukungan psikososial yang dimi liki penyintas
juga menjadi bagian utama intervensi. Penyintas juga diajak untuk
menemukan hikmah dan memaknai secara positif kecelakaan yang
dialaminya, sehingga dapat mengimbangi atau mengurangi emosi -
emosi negatif yang hadir akibat persepsi penyintas tentang
peristiwa yang dialaminya.
Peneliti menemukan bahwa tidak tersedianya data lengkap
tentang penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang ditangani
di instalasi gawat darurat (IGD) di kedua rumah sakit tempat
peneliti mencari data penelitian. Penyintas yang diperbolehkan
langsung pulang setelah mendapatkan penanganan di IGD,
menyebabkan data lengkap mengenai identitas serta alamat
penyintas menjadi tidak begitu penting untuk menjadi bagian
catatan atau dokumen pelayanan di rumah sakit. Fenomena
seperti ini juga didukung oleh faktor bahwa, sebagian besar
penyintas kecelakaan yang mendapatkan penanganan di IGD
merupakan, hasil rujukan masyarakat atau sesama pengguna
jalan, sehingga ketika tiba di IGD tidak ada orang yang
bertanggung jawab untuk mendaftarkannya sesuai dengan
identitas lengkap penyintas.

K. Kesimpulan
Peneliti menyimpulkan bahwa gejala kecemasan yang
dialami penyintas kecelakaan kendaraan bermotor dikarenakan
persepsi mengenai apa atau bagaiamana yang akan terjadi nanti
akibat dari kecelakaan yang terjadi. Persepsi mengenai dampak
negatif yang mungkin akan dialami penyintas ataupun orang lain,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


116
menimbulkan perasaan-perasaan tidak nyaman dalam diri
penyintas. Perasaan takut, was-was dan khawatir untuk
mengendarai motor menjadi gejala yang paling sering muncul
pada penyintas. Penyintas juga menjadi tegang dan tidak tenang
pasca mengalami kecelakaan. Penyintas cenderung menggunakan
coping yang berfokus emosi untuk menghadapi atau mengurangi
stres yang dialaminya pasca mengalami kecelakaan.
Hasil penelitian ini juga mendukung teori bahwa, orang
yang mengalami peristiwa traumatis dan mendapatkan dukungan
psikososial dari anggota keluarga, teman ataupun orang-orang
terdekatnya, akan mengalami pemulihan psikologis yang lebih
cepat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang lebih
banyak mendapatkan hikmah positif dari kecelakaan yang
dialaminya, serta memaknai bahwa apa yang dialaminya
merupakan bagian dari kesalahan dirinya, mengalami pemulihan
psikologis yang lebih baik.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa, bantuan psikologis
sesegera mungkin dalam hal ini melalui intervensi psychological
first aid (PFA) yang diberikan kepada penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor sangat efektif dalam mengurangi gejala
kecemasan yang timbul dalam beberapa jam atau beberapa hari
pasca kecelakaan. Efektivitas PFA sebagai sebuah intervensi
dalam mengurangi gejala kecemasan yang dialami penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor dapat dilihat dengan penurunan
gejala kecemasan yang antara sebelum dengan sesudah
intervensi, serta perubahan penghayatan gejala kecemasan yang
menjadi lebih baik (rileks, tenang, nyaman, lebih dapat
berkonsentrasi dan tidur lebih mudah), selama menjalani proses
intervensi.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


117

L. Saran
Intervensi yang peneliti lakukan kepada partisipan dalam
penelitian ini terbatas hanya dalam empat sesi pertemuan dalam
empat hari berturut-turut. Oleh karena itu, pelaku PFA sebaiknya
melakukan monitoring terhadap penyintas, untuk melihat apakah
skor dan penghayatan gejala kecemasan penyintas semakin
menurun, meningkat atau tetap, selama satu sampai dua minggu
pasca melakukan intervensi. Ketika ditemukan adanya gejala-
gejala kecemasan ataupun perubahan perilaku yang berlanjut
pada partisipan, sebaiknya dilakukan tindak lanjut, baik dengan
melakukan pendampingan psikologis maupun merujuk ke
profesional kesehatan mental.
Dukungan psikologis awal seharusnya dapat dilakukan
ketika peyintas kecelakaan berada di instalasi gawat darurat
(IGD). Sebelum penyintas pulang setelah mendapatkan
penanganan di IGD, perawat atau petugas dapat melakukan
komunikasi atau memberikan informasi yang dapat membantu
mengurangi kecemasan yang dirasakan penyintas, sekaligus
mencari infomasi lengkap identitas penyintas. Petugas pencatat
identitas dapat memberikan informasi tentang reaksi -reaksi apa
yang biasanya muncul pada orang yang mengalami kecelakaan
kendaraan bermotor dan reaksi tersebut merupakan reaksi yang
normal.
Untuk di Bali sendiri, dengan sistem organisasi
kemasyarakatannya yang sangat kuat dan mengikat, pelatihan
PFA dapat dilakukan kepada ibu-ibu PKK atau pengurus banjar
setempat, sehingga promosi dan penerapan PFA dapat
menjangkau sampai ke lapisan masyarakat paling bawah,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


118
termasuk ketika ada salah satu anggota banjar yang mengalami
kecelakaan. Pelatihan PFA juga harus meli batkan anggota STT
(seka teruna teruni/karang taruna), yang sekaligus disisipkan
dengan materi bagaimana perilaku berkendara yang baik di jalan,
disamping meningkatkan pengetahuan mereka tentang pentingnya
dukungan psikososial dan menjaga kesejahteraan psi kologis itu
sendiri.
Khusus untuk di PMI sendiri, PFA seharusnya menjadi
kompetensi wajib bagi setiap relawan yang bertugas dalam
respon bencana. Selain berguna dalam membantu penyintas
bencana, PFA juga bisa diberikan bagi sesama anggota relawan
yang sedang bertugas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip
komunikasi yang teraupetik dan penyediaan dukungan emosi, PFA
dapat menjadi salah satu alternatif bantuan psikologis bagi
sesama anggota relawan yang menghadapi permasalahan atau
distres ketika bertugas dalam seting respon bencana.
Keterbatasan waktu dan kecilnya jumlah partisipan dalam
penelitian ini, tentunya akan menjadi bahan diskusi dan
perdebatan ketika peneliti menarik kesimpulan tentang efektivitas
PFA. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa penelitian-penelitian
serupa harus segera dilakukan. Tingginya angka kecelakaan di
Indonesia serta kurangnya literatur mengenai dampak psikologis
jangka panjang yang dialami penyintas kecelakaan juga menjadi
pertimbangan penting, mengapa penelitian seperti ini harus
menjadi perhatian serius para penyedia layanan kesehatan
mental. Diharapkan penelitian serupa bisa dilakukan kepada
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor usia dewasa atau
anak-anak.

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


119
DAFTAR PUSTAKA
Beck, A.T., Epstein, N., Brown, G., & Steer, R.A. (1988). An Inventory for
Measuring Clinical Anxiety: Psychometric Properties, APA.
Benight, C.C., Cielsak, R., Molton, I.R., & Johnson, L.E. (2008). Self-
Evaluative Appraisals of Coping Capability and Posttraumatic
Distress Following Motor Vehicle Accidents. Journal of
Consulting and Clinical Psychology. Vol. 76. No. 4, 677-685.
Boege, K., & Gehrke, A. (2005). Preventing Posttraumatic Stress-
Psychological First Aid at the Workplace, Safety Science
Monitor. Vol 9, Issue 1, Short Communication 1, Dresden.
Bryant, R.A., Moulds, M.L., & Guthrie, R.M. (2000). Accute Stress
Disorder Scale: A Self-Report Measure of Acute Stress
Disorder, Psychological Assesment, Vol. 12, No. 1, 61-68.
Carll, E.K. (2000). Trauma Psychology, Issues in Violence,
Disaster, Health, and Illness, Volume 2 : Health and Illness.
USA : Praeger.
Delahanty, D.L. (1997). Acute and Chronic Distress and
Posttraumatic Stress Disorder as a Function of
Responsibility for Serious Motor Vehicle Accidents. Journal
of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 165. No. 4, 560-
567.
Everly, G.S., Phillips, S.B., Kane, D., & Feldman, D. (2006).
Introduction to and overview of Group Psychological First
Aid. Oxford University Press.
Feist, J & Feist, G.J. Theories and Personality (Yudi Santosa,
Penerjemah). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Harrison, W.A. (1999). Psychological Disorders as Consequences
of Involvement in Motor Vehicle Accidents : A Discussion
and Recommendations for A Research Program. Monash
University Accident Research Centre. Report No. 153.
Kumar, R. (1996). Research Methodology A Step-By-Step Guide
For Beginners. London : Sage Publications.
Meares, A. (1963). The Management of The Anxious Patient.
London: W. B. Saunders Company.
Motor Accidents Authority of NSW. (2003). Guidelines for the
Management of Anxiety Following Motor Vehicle Accidents.
Sydney NSW.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


120
Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human
Development Perkembangan Manusia, Jakarta: Salemba
Humanika.
Peurifoy, R.Z. (2005). Anxiety, Phobias, & Panic. New York:
Warner Books.
Poerwandari, E.,K. (2009). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian
Perilaku Manusia. Cetakan Ketiga. Depok: LPSP3 UI.
Reyes, G., & Jacobs, G.A. (2006). Handbook of International
Disaster Psychology. Volume II Practices and Programs.
USA: Praeger Publisher.
Kartikasari, A. D. (2009). Pelatihan Teknik Relaksasi Untuk
Menurunkan Kecemasan pada Primary Caregiver Penderita
Kanker Payudara. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Tesis.
Soewondo, S. (2009). Panduan dan Instruksi Latihan Relaksasi
Progresif. (CD) Depok: LPSP3 UI.
Uhernik, J.A., & Husson, M.A. (2009). Psychological First Aid : An
Evidence Informed Approach for acute Disaster
Behavioral Health Response. American Counseling
Association. North Carolina: Charlotte.
Vernberg, E.M., et al. (2008). Innovation in Disaster Mental Health
: Psychological First Aid, APA, Vol.39, No. 4, 381 388.
Yehuda, R. (2002). Treating Trauma Survivors With PTSD.
Washington: American Psychiatric Publishing.










Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


121
PENGARUH PENERAPAN SENAM OTAK (BRAIN GYM) TERHADAP
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK KELAS VII
SMP PGRI 8 DENPASAR

Oleh
I Wayan Suana
Jurusan Pendidikan Sejarah

ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of the application of
brain exercises (Brain Gym) on the critical thinking skills of
students of class VII SMP PGRI 8 Denpasar. The population in this
study is learners VII 8 SMP PGRI many as 178 people. Sampling
technique in this study using random sampling techniques, but are
randomized class. This type of research includes studies
ekspimen. Experimental design to be used is the design of non-
equivalent control group design, by analyzing the results of post-
test scores only from the treatment and control groups.
From the analysis of the t-
t est
showed that t count of 9.73
whereas t-
t abl e
of 1.67 which was significant. It can be concluded
that the application of brain exercise no influence on the ability of
critical thinking class VII SMP PGRI 8 Denpasar.


Keywords: Gymnastics brain (Brain Gym), the ability to think creatively


I. LATAR BELAKANG
Bidang pendidikan adalah salah satu wahana dan sarana
yang sangat penting untuk dipikirkan, karena pendidikan sangat
menentukan kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan
suatu negara. Oleh karena itu bidang pendidikan haruslah menjadi
hal yang diprioritaskan oleh pemerintah, masyarakat pada
umumnya dan pengelola pendidikan pada khususnya. Ahli -ahli
kependidikan telah menyadari bahwa mutu pendidikan sangat
tergantung pada kualitas guru dan praktek pembelajaran,
sehingga peningkatan pembelajaran merupakan issu yang sangat
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


122
mendasar bagi peningkatan mutu pendidikan secara nasional.
Peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran harus selalu
diupayakan dan dilaksanakan dengan cara meningkatkan kualitas
pembelajaran. Melalui peningkatan kualitas pembelajaran maka
peserta didik akan semakin termotivasi untuk belajar, semakin
bertambah pengetahuan dan ketrampilannya, serta semakin
mantap pemahamannya terhadap materi yang dikuasai sehingga
pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik.
Tiga strategi spesifik untuk pembelajaran kemampuan
berpikir kritis, yakni membangun kategori, menentukan masalah,
dan menciptakan lingkungan yang mendukung (fisik dan
intelektual). Akan tetapi dalam pembelajaran di sekolah, guru
terbiasa menggunakan metode konvensional yaitu metode
ceramah. Metode mengajar ini menjadikan peserta didik pasif
dalam menerima informasi. Peserta didik hanya diajak untuk
mendengarkan, mencatat tanpa adanya aktivitas. Dengan
demikian guru tidak tahu apakah peserta didiknya benar-benar
mengerti dengan materi yang disampaikan sehingga berakibat
pada rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Pembelajaran konvensional selama ini yang diterapkan guru
membuat siswa kurangnya konsentrasi dalam hal perhatian dan
sikap peserta didik saat pelajaran berlangsung, sehingga kondisi
pembelajaran di kelas kurang kondusif. Proses belajar mengajar
yang baik adalah guru harus mampu menciptakan suasana yang
membuat perserta didik antusias terhadap materi pelajaran yang
sedang berlangsung sehingga mereka mampu mengikuti dan
dapat memahaminya.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


123
Dalam proses belajar mengajar guru perlu membantu
mengaktifkan peserta didik untuk memaksimalkan kinerja otak
peserta didik, dan kurikulum saat ini telah mengarah kepada
pemikiran peserta didik yang bersifat pengoptimalan fungsi otak.
Dengan bekerjanya otak secara maksimal, maka akan membuat
kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran akan
semakin meningkat pula yang pada akirnya diharapkan
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Peneliti
mencoba suatu strategi yang dapat digunakan sebagai alternatif
untuk meningkatkan konsentrasi peserta didik dalam belajar, yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan minat belajar peserta
didik dalam pembelajarandan pada ahkirnya meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa. Strategi yang dimaksud adalah
Metode Brain Gym.
Gerakan-gerakan sederhana dalam Brain Gym disinyalir
dapat membantu peserta didik untuk memaksimalkan kinerja otak
mereka, dapat meningkatkan konsentrasi peserta didik saat
pembelajaran berlangsung, mengurangi stres bagi peserta didik
yang mengalami kesulitan belajar, menguatkan mekanisme
integrasi otak yang melemah, menajamkan penerimaan informasi
yang diterima di otak bagian belakang yang sulit diekspresikan
sehingga peserta didik minat belajar. Brain gym didasarkan pada
tiga pokok yang sederhana yaitu; 1) belajar adalah kegiatan yang
alami dan menyenangkan yang terus terjadi sepanjang hidup, 2)
kesulitan belajar adalah ketidakmampuan mengatasi stres dan
keraguan dalam menghadapi suatu tugas yang baru, dan 3) kita
semua mengalami kesulitan belajar selama kita telah belajar
untuk tidak bergerak.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


124
Umumnya kita menerima saja keterbatasan dalam hidup kita
sebagai sesuatu yang tidak bisa dielakkan dan mungkin juga
gagal menemukan manfaat dari stres yang positif Selain i tu, Brain
Gym dapat dilakukan dalam waktu singkat, tidak memerlukan
bahan atau tempat yang khusus gerakan-gerakan ini membuat
pelajaran lebih mudah dan terutama sangat bermanfaat bagi
kemampuan akademik, dapat dipakai dalam semua situasi belajar,
dapat meningkatkan kepercayaan diri peserta didik, dapat
memandirikan peserta didik dalam pembelajaran dan
mengaktifkan seluruh potensi dan keterampilan yang mereka
miliki.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul pengaruh penerapan senam
otak (brain gym) terhadap kemampuan berpikir kritis peserta
didik kelas VII SMP PGRI 8 Denpasar

II. RUMUSAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah, yaitu apakah ada pengaruh
penerapan senam otak (brain gym) terhadap kemampuan berpikir
kritis peserta didik kelas VII SMP PGRI 8 Denpasar? Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan senam otak
(brain gym) terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik
kelas VII SMP PGRI 8 Denpasar.

III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasy
exsperiment) dengan menggunakan desain Non Equivalent Control
Group design. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


125
PGRI 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 yang terdistribusi menjadi
lima kelas, dengan banyaknya populasi 178 orang. Pengambilan sampel
dilakukan dengan teknik random sampling, tetapi yang dirandom adalah
kelas. Hasil random yang dilakukan ternyata terpilih Semester VIIB dan
sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIID sebagai kelompok kontrol.
Penelitian ini mengkaji pengaruh penerapan senam otak terhadap
kemampuan berpikir kritis. Untuk itu, instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah tes kemampuan berpikir kritis yang disusun
oleh peneliti. Data kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini diambil
dari skor post test saja yang dilakukan pada akhir penelitian.
Hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan kemampuan
berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan senam otak
dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran
tanpa senam otak. Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik
parametrik, berupa uji-t.

IV. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil analisis data telah terbukti bahwa terdapat
terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan senam otak dengan kemampuan berpikir kritis
siswa yang mengikuti pembelajaran tanpa senam otak. Hal ini
ditunjukkan dengan dari hasil uji-t yang ternyata signifikan. Selanjutnya
terbukti bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan senam otak dengan skor rata-rata sebesar 72,69
lebih tinggi daripada kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran tanpa senam otak dengan skor rata-rata sebesar 53,00.
Jadi dalam perbandingan antara pembelajaran dengan senam otak
dengan pembelajaran tanpa senam otak, terdapat pengaruh senam otak
terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Tiga strategi spesifik untuk
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


126
pembelajaran kemampuan berpikir kritis, yakni membangun kategori,
menentukan masalah, dan menciptakan lingkungan yang mendukung
(fisik dan intelektual). Akan tetapi dalam pembelajaran di sekolah, guru
terbiasa menggunakan metode konvensional yaitu metode ceramah.
Metode mengajar ini menjadikan peserta didik pasif dalam menerima
informasi. Peserta didik hanya diajak untuk mendengarkan, mencatat
tanpa adanya aktivitas. Dengan demikian guru tidak tahu apakah peserta
didiknya benar-benar mengerti dengan materi yang disampaikan
sehingga berakibat pada rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta
didik. Pembelajaran konvensional selama ini yang diterapkan guru
membuat siswa kurangnya konsentrasi dalam hal perhatian dan sikap
peserta didik saat pelajaran berlangsung, sehingga kondisi
pembelajaran di kelas kurang kondusif. Proses belajar mengajar yang
baik adalah guru harus mampu menciptakan suasana yang membuat
perserta didik antusias terhadap materi pelajaran yang sedang
berlangsung sehingga mereka mampu mengikuti dan dapat
memahaminya.
Dalam proses belajar mengajar guru perlu membantu mengaktifkan
peserta didik untuk memaksimalkan kinerja otak peserta didik, dan
kurikulum saat ini telah mengarah kepada pemikiran peserta didik yang
bersifat pengoptimalan fungsi otak. Dengan bekerjanya otak secara
maksimal, maka akan membuat kemampuan siswa dalam memahami
materi pelajaran akan semakin meningkat pula yang pada akirnya
diharapkan meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik.
Peneliti mencoba suatu strategi yang dapat digunakan sebagai alternatif
untuk meningkatkan konsentrasi peserta didik dalam belajar, yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan minat belajar peserta didik
dalam pembelajaran dan pada ahkirnya meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa. Strategi yang dimaksud adalah Metode Brain Gym.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


127
Gerakan-gerakan sederhana dalam Brain Gym dapat membantu
peserta didik untuk memaksimalkan kinerja otak mereka, dapat
meningkatkan konsentrasi peserta didik saat pembelajaran berlangsung,
mengurangi stres bagi peserta didik yang mengalami kesulitan belajar,
menguatkan mekanisme integrasi otak yang melemah, menajamkan
penerimaan informasi yang diterima di otak bagian belakang yang sulit
diekspresikan sehingga peserta didik minat belajar. Brain gym
didasarkan pada tiga pokok yang sederhana yaitu; 1) belajar adalah
kegiatan yang alami dan menyenangkan yang terus terjadi sepanjang
hidup, 2) kesulitan belajar adalah ketidakmampuan mengatasi stres dan
keraguan dalam menghadapi suatu tugas yang baru, dan 3) kita semua
mengalami kesulitan belajar selama kita telah belajar untuk tidak
bergerak.
Seperti yang di jelaskan di atas bahwa berpikir merupakan suatu
kegiatan yang melibatkan kemampuan otak, dimana berpikir kritis besar
terdiri dari mengevaluasi argumen atau informasi dan membuat
keputusan yang dapat membantu mengembangkan kepercayaan dan
mengambil tindakan serta membuktikan. Berpikir kritis matematis yaitu
berpikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan matematika dimana
diklasifikasikan atas lima komponen berpikir kritis, yaitu analisis,
evaluasi, pembuktian, pemecahan masalah, dan menemukan analogi.
Agar peserta didik dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritisnya tentu saja dibutuhkan suatu metode untuk mengasah
kemampuan otak, salah satunya dengan metode senam otak. Metode
senam otak dapat meningkatkan kemampuan kognitif, yaitu konsentrasi,
kecepatan, persepsi, memori, pemecahan masalah, dan kreatifitas.
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritisnya.

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


128
V. Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis seperti disajikan terdahulu,
maka dalam penelitian ini diperoleh simpulan sebagai berikut.
Penelitian ini menemukan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan senam otak berbeda secara
signifikan dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran tanpa senam otak. Lebih jauh dapat dilihat dari rata-rata
kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
senam otak lebih tinggi daripada kemampuan berpikir kritis siswa yang
mengikuti pembelajaran tanpa senam otak.
Berkenaan dengan hasil penelitian yang diperoleh maka beberapa
saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut. Penelitian lanjutan
yang berkaitan dengan senam otak perlu dilakukan berkaitan dengan
kemampuan siswa yang lain, misalnya kemampuan memecahkan
masalah, berpikir kreatif maupun yang lainnya dengan melibatkan
sampel yang lebih luas. Di samping itu, variabel lain seperti: intelegensi,
minat, bakat, motivasi, konsep diri yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari siswa perlu dikaji pengaruhnya terhadap
pengembangan dan penerapan pembelajaran dengan senam otak.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsini. 1993. Prosedur Penelitian.Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
Aunurrahmad, 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : PT. Bumi
Aksara
Dennison, Gail E. & Dennison, Paul E.. 2004. Brain gym (Senam Otak).
Jakarta: Gramedia.
...............2008. Brain Gym (Senam Otak) dan Aku Merasaka Kembali
Kenikmatan Belajar. Jakarta : Grasindo
Husaini. P. 2008. Pengantar Statistik. Jakarta : Bumi Aksara
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


129
Johnson, Elaine B, 2010. CTL (Contextual Teaching and Learning)
Bandung : Kaifa
Judy Willis, M.D, 2010. Srategi Pembelajaran Efektif Berbasis Riset Otak.
Yogyakarta: Mitra Media.
Sugiyono, 2009. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta

























Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


130
MATEMATIKA SEBAGAI MODAL DAN MODEL BERPIKIR ILMIAH

Oleh
I Made Surat
Dosen FPMIPA IKIP PGRI BALI

ABSTRACT
This scientific writing aimed to describe a model of scientific
thinking by taking a form of mathematical thinking can be used as a
reference or basis for developing Scientific think patterns. Thinking is a
form of directional sense and is a form of truth is the agreement between
theory and practice, expectations and reality.
Scientific thinking is to combine deductive and inductive thinking
patterns. Deductive and inductive mindset or otherwise directing us to
the scientific method, the method to obtain scientific knowledge, which
known as a model Logiko-hypothetico-verification. Inductive-deductive
reasoning process is one characteristic in mathematics. Mathematics
known as deductive science can also use inductive thinking patterns that
complete induction. A branch of mathematics that is widely used in
drawing the conclusions are logical. In the material studied the logic of
the procedures to deduce the rules of Modus ponens, Modus Tollens and
syllogism. People who learn mathematics means to practice reasoning,
which a mental activity. Since in primary school children were trained in
a matter of working through the steps: Diketahui:.; Buktikan:..;
Bukti:. The mindset is the capital to train scientific thought process
models Logiko-hipotetiko-verifikatif.
Key words : Scientific, Logiko-hypothetico-verification and characteristic
in mathematics

I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman
konkreet, pengalaman sensitive-rasional, fakta, objek-objek kejadian
atau peristiwa yang dialami. Tetapi akal kita tidak puas hanya dengan
mengetahui fakta-fakta saja. Akal kita ingin mengerti mengapa sesuatu
itu demikian adanya. Kita ingin bertanya terus dan mencari bagaimana
hal-hal yang kita ketahui itu berhubungan satu sama lain, hubungan apa
yang terdapat antara gejala-gejala yang kita ketahui. Mengerti sungguh-
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


131
sungguh, berarti mengerti mengapa dan bagaimana sesuatu itu
demikian. Berhadapan dengan sesuatu yang tidak rutin dan kemudian
mencoba memecahkannya merupakan ciri khas dari makhluk hidup yang
berakal, yang hanya dimiliki oleh manusia.
Manusia dalam sejarahnya yang singkat telah mengubah wajah
dunia dan dirinya sendiri. Ciri khas yang dipunyai adalah perubahan
yang terarah dengan menggunakan pemikirannya. Dialah Si Homosapien
mahluk yang berpikir. Berpikirlah yang membedakan manusia dengan
mahluk lainnya. Kita sudah begitu sering berpikir, rasa-rasanya berpikir
begitu mudah, semenjak kecil kita sudah biasa melakukannya. Setiap
hari kita berdialog dengan diri kita sendiri, berdialog dengan orang lain,
bicara, menulis, membaca suatu uraian, mengkaji suatu tulisan,
mendengarkan penjelasan-penjelasan dan mencoba menarik suatu
kesimpulan dari apa yang kita lihat, dan kita dengar. Namun apabila
diselidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus dipraktikkan sungguh-
sungguh, ternyata bahwa berpikir dengan teliti dan tepat merupakan
kegiatan yang cukup sukar. Manakala kita meneliti dengan seksama dan
sistematis berbagai penalaran, ternyata banyak penalaran tidak
nyambung ataupun sesat dalam mengambil kesimpulan. Diperlukan
kemampuan, pengetahuan dan latihan yang cukup untuk dapat
melakukan proses berpikir yang runut dan benar. Dituntut kemampuan
untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan dan
kesalahan yang tersambung. Waspada terhadap pembenaran diri dicari-
cari terhadap perasaan pribadi, kelompok atau golongan . Charles Lamb
( dalam Poespoprojo dan Gilarso, 1999 ) menyebut dirinya sebagai a
bundle of prejudices made up of liking and disliking . Orang biasanya
menganggap benar terhadap apa yang disukainya atau apa yang
dimauinya, ucapan salah kaprah, kebiasaan-kebiasaan dan pendapat
umum mempengaruhi jalan pikiran kita.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


132
Kampus sebagai masyarakat ilmiah hendaknya mengembangkan
dan melatih pola-pola berpikir yang benar. Sebagai masyarakat ilmiah
tentu mempunyai beban dan tanggung jawab untuk mengembangkan
khasanah ke ilmuan. Pemikiran ke ilmuan bukanlah pemikiran yang
biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh.
Artinya suatu cara berpikir yang berdisiplin, di mana seorang yang
berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan ide dan konsep yang
sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, tapi harus diarahkan pada
suatu tujuan tertentu, yaitu ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya melalui
metode ilmiah. Berarti ilmu pada hakikatnya adalah pengetahun ilmiah.
Seseorang yang telah memiliki pengetahuan ilmiah dituntut memiliki
sifat-sifat terbuka, jujur, teliti, kritis, tidak mudah percaya tanpa adanya
bukti-bukti tidak cepat putus asa dan tidak cepat puas dengan hasil
kerjanya. Sifat-sifat tersebut merupakan pencerminan sikap ilmiah yang
pada akhirnya mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Setiap karya
ilmiah harus mengandung kebenaran ilmiah, yakni kebenaran yang tidak
hanya didasarkan atas rasio, tetapi juga dapat dibuktikan secara
empiris. Rasionalisme dan emperisme inilah yang menjadi tumpuan
berpikir manusia. Rasionalisme mengandalkan kemampuan penalaran,
sedangkan emperisme mengandalkan bukti-bukti fakta nyata.
Menggabungkan kedua cara tersebut yakni berpikir rasional dan berpikir
empiris adalah merupakan berpikir ilmiah.
Sebagai kaum terpelajar sudah sepatutnya berlatih dan terus
mengembangkan pola- pola berpikir ilmiah. Sebagaimana yang
diamanatkan dalam pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup
(Depdiknas ; 2002) bahwa kemampuan berpikir rasional dan kecakapan
akademik yang disebut sebagai kemampuan berpikir ilmiah adalah
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


133
merupakan kompetensi dasar yang harus dicapai pada setiap jenjang
pendidikan menurut kompleksitas dan tingkatannya.
Dalam proses berpikir ilmiah yang membuahkan ilmu pengetahuan,
sering kali dalam kegiatannya menggunakan lambang. Lambang
merupakan abstraksi dari objek yang sedang dipikirkan. Bahasa adalah
salah satu dari lambang tersebut , di mana objek-objek kehidupan yang
konkret dinyatakan dengan kata-kata. Dapat dibayangkan betapa
sukarnya proses berpikir tersebut tanpa adanya lambang-lambang yang
dapat mengabstraksikan berbagai gejala kehidupan.
Dalam pendidikan formal anak belajar matematika dari SD sampai
SLTA, bahkan dari TK sampai Perguruan Tinggi. Matematika yang
merupakan ilmu penalaran banyak menggunakan simbol-simbol dalam
proses penalaran, mempunyai fungsi yang sama dengan bahasa. Melalui
bahasa verbal dan bahasa kuantitatif, anak mulai berkomunikasi dengan
lingkungannya. Selanjutnya diperkenalkan kepada anak suatu berpikir
formal, yaitu suatu kegiatan yang untuk selanjutnya tidak akan pernah
berhenti sampai pada akhir hayatnya. Persoalannya dapatkah
matematika dijadikan sebagai modal dalam berpikir ilmiah, serta
bagaimana model-model berpikir ilmiah dalam matematika. Untuk itu hal
ini perlu dibahas lebih lanjut, sehingga anak yang belajar matematika
dapat menajamkan proses berpikirnya serta menjadikan matematika
sebagai pedoman dalam kerangka berpikir ilmiah.
Menyadari adanya kesulitan dan kesesatan yang sering dialami
seseorang dalam berpikir ilmiah mendorong penulis untuk menggali
potensi-potensi ilmu matematika yang dikenal sebagai ilmu penalaran
yang bersifat deduktif. Melalui pola berpikir matematika seseorang akan
belajar memikirkan caranya ia berpikir serta menemukan suatu model
untuk berpikir ilmiah.

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


134
II. PEMBAHASAN
A. Hakikat Berpikir
Istilah berpikir menunjuk kepada suatu bentuk kegiatan akal yang
terarah (Poespoprodjo dan Gilarso, 1989). Melamun tidaklah sama
dengan berpikir, demikian pula merasakan, kerja pancaindra, kegiatan
ingatan dan khayalan. Dengan kata-kata yang lebih sederhana Plato dan
Aristoteles menyebutkan bahwa berpikir adalah bicara dengan dirinya
sendiri di dalam batin.
Pemahaman lain tentang berpikir dalam konteks keilmuan adalah,
bahwa berpikir itu merupakan suatu penalaran (reasoning). Dalam hal ini
titik beratnya terletak dalam usaha untuk memahami objek yang belum
ditetapkan. Bochenski (1992) menyebutkan bahwa hanya terdapat dua
kemungkinan dalam hubungannya dengan objek yang ingin diketahui,
yaitu apakah objek itu telah ditetapkan atau belum. Jika objek itu telah
ditetapkan maka kita lakukan hanyalah mengamatinya dan kemudian
mengilustrasikannya. Jika belum ditetapkan maka tak ada jalan lain
kecuali melakukan penalaran.
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang
benar dan sedapat mungkin pasti. Tetapi dalam kenyataan hasil
pemikiran (kesimpulan) maupun alasan-alasan yang diajukan belum
tentu selalu benar. Benar berarti sesuai dengan kenyataan. Ukuran
untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau
tidak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang, enak atau tidak
enak didengar, melainkan cocok atau tidak cocok dengan realitas atau
fakta.
Agar suatu pemikiran atau penalaran menghasilkan kesimpulan
yang benar, harus memenuhi tiga syarat pokok yaitu :
1) Pikiran harus berpangkal dari kenyataan atau titik pangkalnya harus
benar
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


135
2) Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat
3) Jalan pikiran harus logis/ urutan langkah-langkahnya tepat.
Sebagai contoh, bandingkan tiga pemikiran berikut ini, dan mengapa
kesimpulannya salah.
a) Semua orang berambut gondrong itu penjahat. Para penjahat harus
dihukum. Jadi, semua orang yang berambut gondrong harus
dihukum.
Analisis : Jalan pikiran logis tetapi kesimpulan salah karena titik
pangkal salah ; berambut Gondrong ; Tidak sama dengan
penjahat.
b) Tetangga saya mempunyai mobil. Oleh karena itu sayapun harus
mempunyai mobil.
Analisis : Tidak cukup alasan bahwa tetangga harus sama dengan
saya ; Jadi dalam hal apa harus sama atau tidak sama.
c) Semua sapi itu binatang. Semua kuda itu binatang. Jadi sapi itu kuda.
Analisis : Kalimat pertama dan kedua benar (premis-premis), tapi
kesimpulan salah. Karena jalan pikiran (kaitan antara
premis dan kesimpulan) keliru.
Sesuai dengan titik pangkal dalam proses pemikiran, dapat
dibedakan dua pola dasar pemikiran, yaitu berpikir deduktif dan berpikir
induktif.
1. Berpikir Deduktif
Berpikir deduktif atau berpikir rasional merupakan sebagian dari
berpikir ilmiah. Logika deduktif yang dipergunakan dalam berpikir
rasional merupakan salah satu unsur dari metode logiko-hipoteko-
verifikatif atau metode ilmiah. Dalam logika deduktif, menarik suatu
kesimpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-
pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio (berpikir
rasional). Hasil atau produk berpikir deduktif dapat digunakan untuk
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


136
menyusun hipotesis, yakni jawaban sementara yang kebenarannya
masih perlu diuji atau dibuktikan melalui proses keilmuan selanjutnya.
Contoh berpikir deduktif : Salah satu prinsip atau hukum dalam fisika
menyatakan bahwa setiap benda padat kalau dipanaskan akan memuai
(pernyataan umum). Besi, seng , adalah benda padat (fakta-fakta
khusus). Oleh sebab itu, besi dan seng, jika dipanaskan, akan memuai
(kesimpulan atau pernyataan khusus). Dengan perkataan lain,
menggunakan argumentasi teoritis melalui penalaran, tidak
menggunakan bukti-bukti secara empiris.
Contoh lainnya : Teori dalam bidang pendidikan menyatakan :
prestasi seseorang ditentukan oleh kemampuan yang dimilikinya (faktor
intern) dan lingkungan yang membentuknya (faktor ekstern). Cara
belajar atau metode belajar termasuk salah satu lingkungan (faktor
eksternal). Oleh sebab itu, prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh cara
belajar yang digunakannya. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
dalam kondisi kemampuan siswa yang relatif sama, manakah yang lebih
tinggi prestasinya di antara siswa yang menggunakan metode belajar
kelompok dibandingkan siswa yang menggunakan metode belajar
mandiri?
Hipotesis yang bisa diturunkan dari pertanyaan di atas adalah:
a. Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar diantara siswa yang
melakukan cara belajar mandiri dengan siswa yang melakukan cara
belajar secara kelompok (M=K).
b. Siswa yang melakukan cara belajar secara mandiri menunjukan
prestasi belajar yang lebih tinggi daripada siswa yang melakukan
cara belajar secara kelompok (M>K).
c. Siswa yang melakukan cara belajar secara kelompok menunjukan
prestasi belajar yang lebih tinggi daripada siswa yang melakukan
cara belajar secara mandiri (K>M).
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


137
Dari ketiga hipotesis di atas, hipotesis manakah yang paling benar?,
untuk menjawabnya dibutuhkan fakta-fakta empiris yang relepan.

2. Berpikir Induktif
Proses berpikir induktif adalah kebalikan dari berpikir deduktif,
yakni pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta
khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. Proses berpikir
induktif tidak dimulai dari teori yang bersifat umum, tetapi dari fakta atau
data khusus berdasarkan pengamatan di lapangan atau pengalaman
empiris. Data dan fakta hasil pengamatan empiris disusun, diolah, dikaji,
untuk kemudian ditarik maknanya dalam bentuk pernyataan atau
kesimpulan yang besifat umum. Menarik kesimpulan umum dari data
khusus berdasarkan pengamatan empiris tidak menggunakan rasio atau
penalaran, tetapi menggunakan cara lain , yakni menggeneralisasikan
fakta melalui statistika. Perhatikan contoh di bawah ini.
Kita ingin mengetahui selera atau minat warga kota Denpasar
terhadap jenis film yang paling disukainya. Kemudian dipilih beberapa
jenis film yang sering diputar di sebagian besar bioskop yang ada di kota
Denpasar. Misalnya ada tiga jenis film, yakni film India, film Mandarin dan
film Nasional. Pertanyaan yang diajukan adalah : Jenis film manakah
yang paling disukai warga kota Denpasar? Apakah film India, film
Mandarin atau film Nasional? Hipotesis atau praduga dirumuskan
sebagai berikut :
a) Warga kota Denpasar lebih menyukai film Nasional daripada film
India.
b) Warga kota Denpasar lebih menyukai film India daripada film
Mandarin.
c) Warga kota Denpasar lebih menyukai film Mandarin daripada film
Nasional.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


138
d) Warga kota Denpasar lebih menyukai film India daripada film
Nasional.
e) Dan seterusnya berdasarkan kemungkinan lainnya.
Untuk menguji manakah hipotesis yang paling betul, kita tidak
mungkin mengkaji teori atau argumentasi teoritis, tetapi perlu
pengamatan langsung di beberapa gedung bioskop. Misalnya
menghitung jumlah karcis yang terjual di sejumlah gedung bioskop pada
saat ketiga jenis film tersebut diputar. Langkah selanjutnya, jumlah
karcis yang terjual untuk setiap jenis film tersebut dibandingkan. Usaha
menghitung jumlah karcis yang terjual ini dilakukan beberapa kali
disejumlah gedung bioskop yang ada di kota Denpasar. Pada akhirnya
dicari rata-rata jumlah pengunjung untuk ketiga film tersebut, dihitung
pula simpangan baku atau deviasi standarnya, lalu diuji perbedaan-
perbedaan jumlah pengunjung tersebut melalui cara cara yang lazim
digunakan dalam statistika.
Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut adalah kesimpulan
umum mengenai minat warga kota Denpasar terhadap jenis film yang
disukai diantara tiga jenis film tersebut di atas. Kesimpulan tersebut
semata-mata hanya didasarkan atas hasil analisis data tanpa didukung
oleh penalaran teoritis. Demikian juga hipotesis tidak diturunkan dari
teori keilmuan. Oleh sebab itu, kesimpulan berpikir induktif masih harus
dipertanyakan. Ada semacam kecenderungan kebenaran hasil analisis
data dikaitkan dengan teori ilmiah hanya sekedar untuk membenarkan
kesimpulan deduktif.

B. Berpikir Ilmiah
Ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya melalui
metode ilmiah, oleh sebab itu ilmu pada hakekatnya adalah pengetahuan
ilmiah. Seorang ilmuwan dituntut memiliki sifat-sifat terbuka, jujur, teliti,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


139
kritis, tidak mudah percaya tanpa adanya bukti-bukti, tidak cepat putus
asa dan tidak cepat puas dengan hasil karyanya untuk dapat
menghasilkan ilmu pengetahuan harus melalui proses berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah adalah menggabungkan berpikir deduktif (rasional)
dengan berpikir induktif (emperis). Proses berpikir ilmiah mengikuti
langkah-langkah tertentu yang disangga oleh tiga unsur pokok, yakni
pengajuan masalah, perumusan hipotesis dan verifikasi data (Nana
Sudjana: 2009). Melalui proses berpikir rasional (deduktif) menghasilkan
hipotesis, sedangkan hipotesis diuji kebenarannya secara emperis
(induktif) dengan menggunakan fakta-fakta. Pengujian seperti tersebut
di atas disebut metode logiko hipoteko verifikatif yang menuntun kita
kepada cara-cara berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang
bersifat ilmiah.
Apabila hipotesis tidak teruji kebenarannya, tetap harus
disimpulkan dengan memberikan pertimbangan dan penjelasan faktor
penyebabnya. Menurut Nana Sudjana (2009) penyebab yang paling
utama, yakni (a) kesalahan verifikasi data seperti intrumen kurang tepat,
sumber datanya keliru, teknis analisis data yang digunakan tidak
memenuhi syarat dan (b) kekurang tajaman dalam menurunkan hipotesis
atau teorinya kedaluarsa. Apabila proses penurunan hipotesis telah
dipenuhi dan verifikasi data telah memenuhi persyaratan, hipotesis tetap
tidak terbukti kebenarannya, dapat disimpulkan: tidak terdapat bukti-
bukti yang kuat bahwa teori yang mendukung hipotesis dapat
diaplikasikan dalam kondisi dan di tempat penelitian tersebut
dilaksanakan. Tidak berarti teori harus disalahkan.
Berpikir rasional untuk menurunkan hipotesis, dilanjutkan dengan
berpikir secara empiris untuk membuktikan kebenaran hipotesis, adalah
tonggak utama dalam berpikir ilmiah. Sifat analisis dalam berpikir
rasional diikuti oleh sintesis dalam pengujian hipotesis. Berpikir deduktif
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


140
diikuti oleh berpikir induktif. Teori dibuktikan oleh fakta. Rasio diikuti
oleh pengamatan pancaindra. Berpikir ilmiah mengarahkan kita kepada
metode ilmiah, yakni metode untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah,
atau metode logiko hipoteko verifikatif. Wujud rasional dari metode ini
adalah penelitian ilmiah

C. Hakikat Matematika
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para pakar matematika
seperti : Johnson dan Rissing (1972), Moris Kline (1973), James dan
James (1976), Reys dkk (1984), serta masih banyak lagi yang lainnya
(Ruseffendi, 1993). Masing-masing mempunyai perbedaan dan
persamaan. Menerapkan definisi matematika yang eksak terasa agak
sulit karena perkembangan matematika itu sendiri dan kegunaannya
dalam ilmu-ilmu lain. Dari keseluruhan definisi yang dikemukakan dapat
dirangkum sebagai berikut. Pada hakikatnya matematika adalah:
a. Merupakan aktivitas mental yang mengandung sifat ilmiah.
b. Merupakan pengetahuan tentang penalaran yang logis, pola pikir,
mengenai bentuk, susunan, besaran, konsep-konsep yang saling
berhubungan, suatu kunci guna memahami gejala-gejala alam,
teknologi, maupun kehidupan sosial masyarakat.
c. Merupakan suatu cabang ilmu yang eksak yang terorganisir secara
sistematis.
d. Merupakan bagian dari pengetahuan manusia tentang bilangan dan
kalkulasi.
e. Merupakan bahasa yang menggunakan istilah yang didefinikan
dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan simbol.
f. Sebagai pelayan dan sekaligus raja dari semua ilmu.
Ciri utama matematika adalah metode dalam penalaran. Metode
yang digunakan dalam mencari kebenaran di dalam matematika adalah
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


141
dengan cara deduksi (Ruseffendi, 1985). Suatu kebenaran matematika
dikembangkan berdasarkan alasan-alasan yang logis dengan hipotesis
deduktif. Namun cara kerja dari matematika terdiri dari : observasi,
intuisi, menguji hipotesis, mencari analog, induksi, menebak, dan bahkan
dengan cara coba-coba (trial and error). Matematika dimulai dari unsur-
unsur yang tidak didefinisikan, berkembang keunsur-unsur yang
didefinisikan, terus ke aksioma atau postulat, sampai kepada dalil atau
teorema. Rangkaian argumentasi deduktif yang menuju kepada suatu
teorema atau formula, desebut dengan pembuktian.
Dalam komunikasi pemikiran keilmuan, matematika memainkan
dua peranan penting, yaitu sebagai raja dan sebagai pelayan ilmu
(Ruseffendi, 1993). Sebagai raja, matematika merupakan bentuk logika
yang paling tinggi. Logika dilukiskan dalam bentuk sistem simbolik dari
kegiatan pemikiran serta sruktur yang teratur. Dapat dicermati bahwa
betapa rumitnya sistem yang ada di dalam matematika, dari definisi yang
satu kedefinisi yang lain, aksioma-aksioma dan sifat-sifat yang
digabungkan untuk membentuk sistem baru maupun dalam menarik
suatu kesimpulan, namun selalu taat azas. Artinya dari satu sistem
kesistem lain tidak pernah terdapat kontradiksi. Sebagai pelayan
matematika dapat digunakan sebagai alat oleh ilmu-ilmu lain,
matematika menyediakan formula bagi ilmu-ilmu lain, bukan saja sistem
logika matematikanya tetapi juga model matematis dari berbagai segi
kegiatan keilmuan.
Salah satu cabang matematika yang banyak digunakan dalam
menarik suatu kesimpulan adalah logika. Matematika dan logika
merupakan bidang yang sama, karena seluruh konsep dan dalil
matematika dapat diturunkan dari logika. Bertran Russel (Jujun S.
Suryasumantri, 1989) menyatakan bahwa logika telah menjadi bersifat
matematis dan matematika menjadi lebih logis. Akibatnya adalah tidak
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


142
mungkin menarik garis pemisah di antara keduanya, sesungguhnya dua
hal tersebut merupakan satu. Mereka berbeda seperti anak dan orang
dewasa, logika merupakan masa muda dari matematika dan matematika
merupakan masa dewasa dari logika.
Salah satu pola berpikir menggunakan logika matematika adalah
dalam menarik suatu kesimpulan. Banyak sekali dalam proses menarik
kesimpulan yang sah dari suatu pernyataan matematik dengan
menggunakan kaidah-kaidah logika. Kaidah-kaidah tersebut anatara
lain:
a). Modus Ponens b). Modus Tollens c). Silogisma
p q p q p q

p ~q q r
_____________ ____________ ___________
q ~p p r

Keterangan :
Baris pertama disebut dengan premis mayor. Baris kedua disebut
dengan premis minor. Baris ketiga disebut dengan konklusi/kesimpulan.
Tanda merupakan notasi implikasi atau jika....maka.... Tanda
~ merupakan notasi ingkaran/negasi, dan ~q dibaca bukan q.
Tanda dibaca jadi
Dengan demikian pada pernyataan majemuk modus ponens dapat
dibaca: Diketahui jika pernyataan p mengakibatkan q. Selanjutnya dalam
kondisi lain diketahui p benar, maka dapat disimpulkan q terjadi. Pada
pernyataan majemuk Modus Tollens dapat dibaca: Jika p maka q adalah
pernyataan yng benar, dan selanjutnya diketahui bukan q, maka kita
dapat menarik kesimpulan pastilah bukan p. Pada pernyataan majemuk
Sillogisme dapat dibaca: Jika diketahui pernyataan p maka q dan q maka
r bernilai benar, maka kesimpulannya adalah p mengakibatkan r.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


143
Pernyataan majemuk seperti di atas adalah merupakan Tautologi
artinya pernyataan yang selalu benar bagaimanapun nilai kebenaran dari
masing-masing komponennya, hal ini dapat ditunjukkan melalui tabel
kebenaran. Suatu kebenaran matematis adalah bersifat menyeluruh,
maksudnya apabila suatu sistem itu dikatakan benar, maka pastilah
berlaku benar untuk setiap komponen yang terkandung di dalamnya.
Jika suatu sistem itu dikatakan salah, maka tidak berarti seluruh
komponen di dalamnya salah. Prinsip ini analog dengan sistem yang
bekerja pada sebuah mesin. Mesin itu dikatakan baik/hidup berarti
semua komponen di dalamnya berjalan baik, tetapi jika mesin itu
dikatakan rusak bukanlah berarti semua komponennya rusak.

D. Matematika Sebagai Modal dan Model Barpikir Ilmiah
Orang yang belajar matematika melakukan aktivitas mental.
Aktifitas mental yang dimaksud adalah cara berpikir atau menalar untuk
menguji sah atau tidaknya suatu argumen dengan menggunakan metode
penalaran logika deduktif. Melalui penalaran secara logika deduktif inilah
suatu kebenaran ilmiah ataupun pengetahuan baru diturunkan dari
pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui kebenarannya. Sebagai
contoh, misalkan kita mempunyai fakta bahwa suatu kalimat terbuka
yang berbentuk x 5 = 3. Kita akan mencari harga x yang memenuhi
sehingga kalimat tersebut menjadi pernyataan yang bernilai benar, yaitu
nilai x manakah apabila dikurangi 5 menghasilkan 3 ?. Proses yang
dilakukan adalah dengan cara menambahkan masing-masing ruas
dengan 5 maka diperoleh nilai x = 8. Persoalannya bolehkah kita
melakukan langkah yang demikian?. Untuk menjawab pertanyaan ini
maka kita harus mengacu pada pengetahuan sebelumnya, yaitu suau
sifat menyatakan bahwa suatu persamaan nilainya tak akan berubah jika
pada masing-masing ruas ditambahkan dengan bilangan yang sama.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


144
Inilah rangkaian argumentasi deduktif, yaitu suatu pikiran rasional yang
dapat dijadikan sebagai modal dalam berpikir ilmiah.
Hipotesis yang diturunkan dari teori melalui proses penalaran,
proses pembuktian dalam matematika dapat dilakukan antara lain
dengan model pembuktian langsung, pembuktian tak langsung (terbalik),
atau dengan induksi matematika (Wono Setya Budhi, 2003)
a) Pembuktian langsung.
Cara ini menggunakan prinsip silogisme sebagai dasar kebenaran
pernyataan pertama, berakibat pada kebenaran pernyataan kedua,
dan demikian seterusnya.
Contoh: Buktikan ada benda langit yang tidak bulat.
Solusinya: Asteroid adalah benda langit dan asteroid tidak bulat. Jadi
ada benda langit yang tidak bulat. Argumen dari proses pembuktian
tersebut adalah sebagai berikut: Dalam hipotesis tersebut termuat
kata ada, ini berarti kalimat tersebut mengandung kuantor
eksistensial. Pada pernyataan berkuantor eksistensial, bukti langsung
dilakukan dengan menyebutkan minimal sebuah contoh dari semesta
yang menyebabkan pernyataan bernilai benar. Cara lain adalah
dengan melakukan substitusi langsung.
Contoh lain adalah: Buktikan bahwa x
2
x ; untuk setiap x bilangan
asli.
Solusi: ambil sebarang (secara acak) bilangan asli n, berarti n 1
n n
n
n
n
n
n > > >
2
1
2
1 . . Oleh karena n adalah sebarang bilangan
asli yang dipilih secara acak, maka n menjelajah /mewakili semua
bilangan asli x , maka terbukti x
2
x ; untuk setiap x bilangan asli.
Makna sebarang (random) merupakan konsep yang sangat mendasar
dalam proses pembuktian matematika yang memuat kuantor universal
(kata setiap), karena dengan mengambil secara sebarang/acak
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


145
berarti semua unsur telah terwakili (representatif) atau paling tidak
semua unsur telah mendapatkan kesempatan yang sama untuk
mewakili. Proses random merupakan prinsip dasar sampling dalam
melakukan penelitian ilmiah yang akan melakukan generalisasi.
Sebagai contoh nyata misalkan kita sebagai seorang guru memiliki
sebuah bendah yang sangat berharga. Benda tersebut akan diberikan
kepada seorang siswanya, tanpa pandang bulu, artinya apakah siswa
laki atau perempuan, pintar atau bodoh, ganteng/cantik atau jelek
tidak menjadi syarat. Kalau kita berikan kepada salah seorang siswa
yang paling cantik (sebutlah si Oneng), tentu banyak siswa yang
lainnya akan protes. Memandang bahwa gurunya tidak adil, pilih
kasih. Lalu apa jalan keluarnya? Tentu dengan cara undianlah yang
dapat dianggap paling adil. Sekalipun nanti yang kebetulan keluar
namanya sebagai pemenang tetap si Oneng. Kalau orang yang
berakal tidak ada alasan untuk menolak hasilnya. Inilah prinsip
randomisasi.
b) Pembuktian tak langsung.
Cara pembuktian tidak langsung menggunakan prinsip modus tollens
sebagai dasarnya. Membuktikan sebuah pernyataan berkuantor
universal bernilai salah, adalah cukup dengan mengambil contoh
menyangkal kebenarannya, sedangkan untuk membuktikan
kebenarannya adalah cukup dibuktikan bahwa ingkarannya salah.
Contoh: Buktikan bahwa setiap x bilangan asli, x + 2 3
Solusi: Andaikan tidak benar bahwa setiap x bilangan asli, x + 2 3
ini berarti bahwa ingkaranya adalah ada bilangan asli x sedemikian
sehingga x + 2 < 3 1 2 3 < < x x . Karena diketahui bahwa x
adalah bilangan asli maka tak mungkin x < 1 jadi pengandaian harus
diingkar. Kesimpulannya benar berlaku bahwa setiap x bilangan
asli, berlaku x + 2 3.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


146
Perkembangannya dalam bidang hukum ada yang namanya suatu
pembuktian terbalik. Apabila sulit untuk membuktkan secara
langsung sebagai bentuk pembuktian Modus Ponens maka digunakan
Modus Tollens.
c) Pembuktian dengan Induksi Lengkap.
Bentuknya adalah sebagai berikut: Misalkan P(n) adalah pernyataan
untuk setiap n e N. Jika (1) P(1) benar ; (2) Jika P(k) berakibat P(k+1)
benar ; maka P(n) benar untuk setiap n e N
Dalam ilmu sosial berlaku bahwa prilaku (behavior) dapat
dipengaruhi oleh watak dan lingkungan. Secara matematis pernyataan
ini dapat dapat dirumuskan ke dalam fungsi matematis dua variabel
yaitu, P = f (w,l) , yang mana P = prilaku; w = watak bawaan; l =
lingkungan. Seberapa kuat adanya pengaruh watak bawaan dan
seberapa kuat pengaruh lingkungan masing-masing dapat dikuantifikasi
dengan suatu konstanta a untuk watak dan b untuk lingkungan.
Selanjutnya formulasi untuk prinsip tentang prilaku dapat dinyatakan
sebagai persamaan linier:
P = a w + b l, model ini nantinya berkembang menjadi :
Regresi linier Y = B + B
1
X
1
+ B
2
X
2
Berpikir matematis adalah berpikir dengan menggunakan logika
deduktif dan induktif, maupun analogi. Menalar secara induksi dan
analogi menggunakan pengamatan dan bahkan percobaan untuk
memperoleh fakta yang dapat dipakai sebagai dasar argumentasi untuk
menarik kesimpulan, tetapi harus disadari bahwa pancaindra kita
terbatas dan tak teliti. Sebagai contoh misalnya: Melalui pengamatan kita
bahwa 3 adalah bilangan ganjil dan prima, begitu juga 5, 7, 11, 13, 17 dan
yang lainnya. Harus sangat hati-hati kita menyimpulkan bahwa bilangan
prima adalah bilangan ganjil atau bilangan ganjil adalah prima. Inilah
bahaya dari proses induksi maupun analogi. Model matematika
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


147
mempergunakan induksi lengkap untuk memberikan jaminan kebenaran
dari kesimpulan yang diperoleh, namun bagaimana halnya dengan
penerapan dalam bidang penelitian? Untuk itu matematika dapat
memberikan model untuk mengatasi kelemahan tersebut.
Dalam proses pembuktian hipotesis, menggunakan pola pikir
induktif. Ini berarti harus dicari fakta-fakta empiris untuk mendukung
hipotesis yang diajukan. Sampel yang digunakan untuk mendukung fakta
harus diambil secara acak sehingga dapat melakukan generalisasi.
Beberapa teknik statistika mensyaratkan adanya asumsi sampel diambil
secara acak. Selanjutnya juga melakukan pengukuran terhadap atribut-
atribut dari sampel. Setiap pengukuran pasti mengandung kesalahan.
Untuk mengatasi semua persoalan ini, maka matematika
memperkenalkan teori peluang, sehingga setiap penarikan kesimpulan
disertai dengan peluang kesalahan sebagai akibat kesalahan sampling,
pengukuran atau yang lainnya. Selanjutnya dalam penelitian ini dikenal
dengan taraf signifikansi penerimaan atau penolakan hipotesis.
Secara konvensional apabila kita menyelesaikan soal-soal
matematika, maka disarankan melakukan langkah-langkan sebagai
berikut:
- Diketahui:...............
- Tentukan / Hitung / Buktikan: ..........
- Jawaban / Hitungan / Bukti
Dari ketiga langkah pokok di atas, hal ini sejalan dengan kerangka
berpikir ilmiah, yaitu logiko hipotetiko verifikasi.
a) Pada langkah Diketahui :........., kita akan mengumpulkan
semua fakta pendukung yang diketahui, serta pengetahuan
sebelumnya yang diketahui benar (logika)
b) Pada langkah Tentukan / Hitung / Buktikan: ..........., ini
merupakan suatu hipotesis yang diturunkan dari suatu penalaran
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


148
logis secara deduktif, yang merupakan dugaan sementara. Tentu
saja hal ini harus dibuktikan pada langkah selanjutnya.
c) Pada Langkah Jawaban / Hitungan / Bukti : ................, ini
merupakan langkah-langkah mencari jawab, melakukan
perhitungan, atau melakukan pembuktian melalui proses antara lain
mencari pola, menghitung, mengukur, sintesa, analisa substitusi,
induksi, analogi, trial and error, bahkan menebak.
Sebagai contoh misalnya kita akan menyelidiki kebenaran dari
argumen berikut: Semua manusia akan mati. Sokrates adalah manusia,
karena itu Sokrates akan mati. Langkah-langkah menjawab adalah:
Diketahui : (1) Semua manusia akan mati; (2) Sokrates adalah manusia.
Buktikan : Sokrates akan mati. Bukti : Misalkan p = manusia; q = mati,
dengan demikian kalimat majemuk di atas dapat dinyatakan sebagai
model matematis:
Jika semua manusi akan mati : (p q)
Sedangkan Sokrates adalah manusia Sokrates e p
----------------------------------------------------- -------------------------
Maka dapat disimpulkan Sokrates akan mati p

Ternyata bentuk pernyataan majemuk di atas setelah dibuat ke dalam
model matematis analog dengan modus ponen, sehingga argumennya
benar. Pernyataan pada soal di atas, menyiratkan makna bahwa
siapapun dia, asalkan dia manusia maka pasti dia akan mati. Tak bisa
kita menyimpulkan, kalau sesuatu itu bukan manusia maka pasti tdak
akan mati, tetapi yang pasti benar adalah: Jika ia tidak akan mati maka
pastilah itu bukan manusia.

V. PENUTUP
Dari hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
Pola pikir dalam matematika yang merupakan penalaran logis, melalui
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


149
proses kerja deduksi, induksi, analogi, menghitung, mengukur, trial and
error, mencari pola, bahkan menebak, dapat dijadikan modal dalam
berpikir ilmiah. Bahkan bahasa simbolik yang digunakan dapat
menyederhanakan prmasalahan sehingga menghemat intelektual,
konsisten dan taat azas. Karateristik tersebut sangat menunjang
kemampuan untuk berpikir ilmiah.
Model berpikir ilmiah dalam matematika dapat direfleksikan dalam
memecahkan masalah, dengan mengambil model langkah-langkah
sebagai berikut:
~ Diketahui............, hal ini adalah merupakan sesuatu yang
dijadikan landasan atau dasar berpikir
~ Hitung / Tentukan / Buktikan:................., hal ini merupakan
dugaan atau hipotesis yang diturunkan berdasarkan kajian yang
diketahui.
~ Hitungan / Jawaban / Bukti:......., hal ini merupakan verifikasi
lewat langkah-langkah atau kajian yang logis atau melalui suatu
induksi matematika untuk menerima atau menolak dugaan/hipotesis
Ini tidak lain dari pada suatu model kerangka berpikir ilmiah.

DAFTAR RUJUKAN
Amin, Moh. 1996. Filsafat, Science, Teknologi dan Manusia. Yogyakarta:
PPS IKIP Yogyakarta
Andi Hakim Nasution.1982. Landasan Matematika. Jakarta: Bratara
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Baker, Stephen F. 1994. Philosophy of Mathematics. Englewood Cliffs:
Prentice Hall.
Bochenski. 1992. Philosophy An Introduction. New York: Harper & Row
DS Daniel Solow. 1990. How to Read and Do Proofs. John Wiley & Sons:
New York.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


150
Depdiknas. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta : Depdiknas,
Tim Broad Based Education.
Evawati Alisah dan Eko Prasetyo D. 2007. Filsafat Dunia Matematika:
Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep
Matematika. Jakarta: Prestasi Pustaka
Jujun S Suryasumantri. 1989. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: PT
Gramedia.
Max A. Sobel & Evan M. Maletsky. 1999. Teaching Mathematics: A
Sourcebook of Aids, Activities, and Strategi. Allyn & Bacon
Nana Sudjana. 2009. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Denpasar:
Sinar Baru Algensindo.
Polya, PH G.. 1988. How to Solve it, A New Aspect to Mathematical
Method. Princeton Science Library
Poepoprodjo, W., Gilarso T. 1999. Logika Ilmu Menalar. Denpasar:
Remaja Karya
Ruseffendi, E.T. dkk. 1993. Pendidikan Matematika 3, Buku I dan II.
Jakarta: UT
-------------. 1985. Pengajaran Matematika Modern. Denpasar : Tarsito
Wono Setya Budhi, 2003. Langkah Awal Menuju ke Olimpiade
Matematika. Jakarta: CV Ricardo










Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


151
PERBANDINGAN METODE PLS DAN PCA DALAM REGRESI COX UNTUK
MENGATASI TIDAK TERPENUHINYA ASUMSI MULTIKOLINIERITAS

Oleh
1. I Wayan Sudiarsa
2. Adji Achmad Renaldo Fernandes
ABSTRACT
One of the methods it can be used to formulate multikolinearite
problem in kox regretion are using PLS-Cok and PCA-Cok methods.
Purpose of the research is to find out which of the methods is the best to
formulate multikolinearitas in kox regretion. The data which used in this
research is sekunder data with respon variabel is survival time and
continue respon variabel even the category based on analysis. PLS-Cox
regretion model shown a better results than PCA-Cox regretion model.

I. LATAR BELAKANG
McCullagh and Nelder (1997), salah satu model linier tergeneralisir
adalah model untuk data survival, yaitu dengan variabel respon berupa
waktu hidup (lifetime) komponen atau survival time (waktu ketahanan)
pasien dari suatu penyakit.
Salah satu metode yang dapat dipakai untuk memodelkan antara
variabel respon yang berupa waktu survival dengan satu atau lebih
variabel prediktor adalah model Cox Proportional Hazard atau biasa
disebutkan dengan model regresi Cox (Fox, 2002a). Jika analisis regresi
Cox melibatkan lebih dari satu variabel prediktor, maka akan sangat
memungkinkan terjadi hubungan yang erat diantara variabel prediktor
atau ditandai dengan adanya multikolinieritas.
Menurut Bastien (2004) salah satu metode yang dapat digunakan
untuk mengatasi masalah multikolinieritas dalam regresi Cox adalah
dengan menggunakan metode PLS-Cox (Partial Least Square-Cox
Regression). PLS-Cox merupakan metode yang dapat digunakan untuk
membentuk model dan meningkatkan kemampuan prediksi ketika
asumsi non-multikolinieritas tidak terpenuhi. Selain metode PLS yang
dikemukakan oleh Bastien (2004), Bair E., Hastie, T., Paul, D., and
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


152
) ( 1 ) ( ) ( t F t T P t S = > =
Tibshirani, R. (2004) menyatakan bahwa Principal Component Analysis
Cox Regression (PCA-Cox) merupakan salah satu alternatif metode yang
bisa digunakan untuk mengatasi masalah multikolinieritas.
Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini akan diterapkan
dua metode dalam mengatasi multiolinieritas pada regresi Cox yaitu
metode Principal Component Cox Regression (PCA-Cox) dan metode
Partial Least Square-Cox Regression (PLS-Cox).

I.1 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah: manakah
metode yang paling baik diantara keduanya untuk mengatasi
multikolinearitas dalam Regresi Cox.

I.2 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode
mana yang paling baik dalam mengatasi multikolinearitas dalam Regresi
Cox.

II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Fungsi Survival dan Fungsi Hazard
Misal t didefinisikan sebagai waktu survival yang sebenarnya dari
suatu objek, dan nilai dari variable T mempunyai nilai yang non-negatif.
Fungsi survival S (t), didefinisikan sebagai sebagai peluang atau
probabiltas suatu objek mempunyai waktu survival lebih besar daripada
t, dengan kata lain suatu objek mempunyai peluang hidup yang lebih
lama daripada t dapat dinyatakan sebagai (Collet, 2003) :
(1)

Menurut Kleinbaum dan Klein (2005), S(t) adalah fungsi non-
increasing terhadap waktu t dinyatakan sebagai :
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


153

( )

=
=
=
t untuk
t untuk
t S
0
0 1
(2)
Berdasarkan persamaan (2) pada waktu t = 0 maka S(t) = S(0) = 1
yang diartikan sebagai awal dari pengujian di mana tidak ada satupun
objek yang mendapatkan kejadian yang dispesifikasikan dan peluang
hidup dari suatu objek bernilai satu. Pada waktu t = maka S(t) = S() =
0, artinya jika periode pengujian meningkat sampai tidak terbatas maka
pada akhirnya tidak akan ada suatu objek yang dapat bertahan hidup
sehingga peluang hidup dari suatu objek akan mendekati nilai nol.
Secara grafik, fungsi S(t) diilustrasikan pada Gambar 1.
t = time
S

(
t
)

=

f
u
n
g
s
i

s
u
r
v
i
v
a
l
0
1

Gambar 1. Grafik Fungsi S(t) Berdasarkan Nilai t.

Berdasarkan Gambar 1. secara teori fungsi survival S(t)
digambarkan sebagai fungsi menurun seiring dengan peningkatan t.

II.2. Model Regresi Cox
Menurut Sun dan Tanaka (2003), model Cox Proportional Hazard
yang biasa disebut dengan Regresi Cox mempunyai peranan penting di
dalam analisis survival. Model dasar dari regresi Cox dihasilkan dari
fungsi hazard untuk objek ke-i pada waktu ke-t yang terdiri dari dari dua
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


154
faktor yaitu fungsi baseline hazard yang disimbolkan sebagai ( ) t h
0
dan
fungsi linier dari sekumpulan k variabel prediktor yang terbentuk secara
eksponen. Secara umum model regresi Cox didefinisikan sebagai berikut
(Allison, 1995) :
( ) ( ) ( )
ik
x
k i
x t h t
i
h | | + + = ...
1 1
exp
0

(3)
Fungsi ( ) t h
0
dapat dianggap sebagai fungsi hazard untuk suatu objek,
jika variabel prediktor dari persamaan (11) bernilai 0, maka
( )
ik
x
k i
x | | + +...
1 1
exp dapat ditulis sebagai ( )
i
q exp dan disebut sebagai
relatif hazard dimana
i
q disebut sebagai kombinasi linier dari k variabel
prediktor dalam
j
x dimana k j ..., , 2 , 1 = .
ik
x
k i
x
i
x
i
| | | q + + + = ...
2 2 1 1

=
=
k
j
ij
x
j i
1
| q (4)
di mana | merupakan vektor dari koefisien parameter variabel
prediktor
j
x dalam model. Jumlah
i
q disebut sebagai komponen linier
model, tetapi juga diketahui sebagai nilai resiko untuk objek ke-i. Model
umum dari regresi Cox dapat juga ditulis sebagai berikut :
( )
( )
( )
ik
x
k i
x
i
x
t h
t
i
h
| | | + + + =
|
|
.
|

\
|
...
2 2 1 1
exp
0
(5)
Di mana ( )
( )
( ) t S
t f
t h =
0

h
i
(t) adalah peluang objek ke-i mengalami kegagalan atau mati pada
waktu t, h
0
(t) adalah fungsi baseline hazard, f (t) adalah fungsi
kepekatan peluang ketahanan objek ke-t, sedang S (t) adalah fungsi
survival. Nilai fungsi hazard, h
i
(t) ditentukan setelah nilai h
0
(t) diperoleh.


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


155
II.2.1. Pendugaan Parameter dalam Regresi Cox
Dalam model regresi Cox, koefisien merupakan parameter yang
tidak diketahui, oleh karena itu diperlukan adanya suatu estimasi untuk
menaksir parameter ini. Menurut Collet (2003), koefisien dalam model
model regresi Cox dapat ditaksir dengan menggunakan metode
Maximum Partial Likelihood. Jika terdapat sebanyak n objek yang
mempunyai jarak waktu kegagalan (r) dengan waktu survival (n-r),
dengan r waktu kegagalan yang dinyatakan dengan t
(1)
< t
(2)
<. < t
(r)
dan
t
(j)
adalah waktu urutan kegagalan ke-j, maka suatu objek yang mendapat
resiko pada waktu t
(j)
dinyatakan sebagai R(t
(j)
), di mana R(t
(j)
) adalah
kelompok objek yang masih hidup dan tidak tersensor oleh waktu t
(j)
.
Penjumlahan dari R(t
(j)
) disebut dengan sekumpulan resiko. Menurut
Bastien (2004) fungsi likelihood untuk model proportional hazard adalah :
( )
( )
( )
[
=

e
=
|
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
r
j
j
t R l
l
x
j
x
L
1
'
exp
'
exp
)
'
(
|
|
| (6)
X
(j)
merupakan vektor variabel prediktor dari objek yang mati pada saat
ke-j pada urutan waktu t
(j)
. Apabila data terdiri dari n pengamatan ditulis
sebagai
n
t t t , ,
2
,
1
, dengan indikator kejadian (
t
o ) maka fungsi
likelihood pada persamaan (13) dapat dinyatakan dalam bentuk :
( )
( )
( )
[
=

e
=

n
i
i
i
t R l
l
x
i
x
L
1
,
' exp
' exp
)
'
(
o
|
|
|

(7)
di mana R(t
(i)
) adalah kelompok objek yang beresiko saat t
i
, dan
i

merupakan indikator tersensor yang bernilai nol jika t
i
, i=1,2,..,n adalah
tersensor kanan dan bernilai 1 untuk lainnya.
Fungsi kesesuaian log-likelihood adalah sebagai berikut :
( ) ( )
( )

=

e
=
)
`

n
i
i
t R l
i
x
i
x
i
L
1
' exp log ' log | | o | (8)
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


156
Penaksiran parameter pada model proportional hazard didapatkan
dengan cara memaksimumkan fungsi log-likelihood menggunakan
prosedur Newton-Raphson di mana penaksiran parameter
1
,
2
,...,
p

diperoleh dari penyelesaian sejumlah px1 vektor persamaan yang
dinyatakan dengan skor koefisien vektor ( ) | u . Skor koefisien untuk
j

adalah ( )
( )
,
log
j
L
j
u
|
|
|
c
c
= sehingga
( )
( )
( )
( )
( )

=

e

e
=

|
|
|
.
|

\
|
n
j
i
t R l
l
x
i
t R l
l
x
jl
x
jl
x
i j
u
1
exp
exp
|
|
o | (9)
Misal matriks I() adalah matriks pxp yang merupakan turunan kedua
dari fungsi log-likelihood yang bernilai negatif maka I() adalah :
( )
k j
L
| |
|
|
c c
c
=
log
2
) I( (10)
dengan j = 1, 2,, p dan k = 1, 2,, p, maka I() disebut matriks Hessian
atau matriks informasi pengamatan.
Berdasarkan prosedur Newton-Raphson, penaksiran dari
parameter | pada s+1 yang disimbolkan
1

+ s
| adalah :
( ) ( )
s
u
s
I
s s
| | | |


+ =
+
(11)
dengan
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )

)

(
(
(

|
|
|
.
|

\
|
|
|
|
.
|

\
|
(
(
(

e
=

i
t R l
l
x
i
t R l
l
x
kl
x
i
t R l
l
x
i
t R l
l
x
jl
x
i
t R l
l
x
i
t R l
l
x
kl
x
jl
x
jk
I
|
|
|
|
|
|
|
exp
exp
exp
exp
exp
exp
1
(12)
di mana :
s : 0, 1, 2,
u( )
s

| : vektor skor koefisien


I
-1
( )
s

| : invers matriks informasi yang diamati


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


157
Proses iterasi dimulai dengan menentukan nilai awal 0

0
= | dan proses
akan dihentikan jika perubahan pada fungsi likelihood relatif kecil atau
perubahan dalam nilai perkiraan parameter terbesar relatif kecil.

II.3. Partial Least Square Cox Regression ( PLS-Cox )
Partial Least Square Regression (PLS) merupakan metode yang
dibentuk dari persamaan regresi linear dengan membentuk variabel
prediktor baru yang biasa disebut dengan faktor atau komponen yang
berfungsi sebagai kombinasi linear dari variabel asal (Li dan Gui, 2004).
Menurut Jian, J.D; L. Linh, dan D. Rocke (2006), metode PLS
mereduksi variabel menjadi variabel atau komponen baru dengan
banyak komponen dengan jumlah kurang dari atau sama dengan dimensi
terkecil matriks variabel prediktor. Komponen baru yang telah terbentuk
merupakan komponen yang saling bebas atau tidak terdapat korelasi
antar sesamanya, sehingga dapat digunakan untuk mengatasi tidak
terpenuhinya asumsi non-multikolinieritas pada regresi.

II.3.1. Pendugaan Parameter Model Regresi PLS-Cox
a. Pembentukan Komponen
Menurut Boulesteix dan Strimmert (2005), regresi PLS didasarkan
pada dekomposisi variabel respon dan variabel prediktor yang dapat
ditulis sebagai :
X = KP

+ E (13)
Y = KQ

+ F (14)
di mana :
X : matriks variabel prediktor berukuran n x p (p banyaknya prediktor)
Y

:

vektor variabel respon berukuran n x 1
K

:

matriks komponen PLS berukuran n x m
P

: matriks koefisien komponen PLS berukuran p x m
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


158
Q

: vektor koefisien PLS berukuran 1 x m
E

: matriks residual dari X berukuran n x p
F

: vektor residual dari Y berukuran n x 1
m : banyaknya komponen PLS
n : banyaknya observasi
Dalam PLS, matriks komponen K merupakan kombinasi linier dari
variabel prediktor, dan ditulis dengan persamaan :
K = XW (15)
di mana W
(pxm)
adalah matriks pembobot.
Matriks variabel prediktor X = {x
1
, x
2
, , x
p
} merupakan matriks
yang menentukan waktu survival dan berfungsi untuk membentuk K
h

komponen PLS yang ortogonal.
Dalam regresi PLS-Cox pembentukan K
h
komponen untuk h = 1, 2,
, m dapat dituliskan sebagai persamaan :
K
h
= w
1h
x
1
+ w
2h
x
2
+ + w
ph
x
p
(16)
di mana w
jh
merupakan normalisasi dari koefisien a
jh


jh
jh
jh
a
a
w =

(17)
Koefisien a
jh
merupakan koefisien regresi Cox bagi variabel prediktor.
Koefisien a
jh
yang dinormalisasi pada PLS adalah koefisien a
jh
yang
signifikan, sedangkan untuk koefisien a
jh
yang tidak signifikan ditetapkan
bernilai nol. Koefisien a
jh
dalam regresi Cox dituliskan sebagai :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (c
1
k
1
+ c
2
k
2
+ + c
h-1
k
h-1
+ a
jh
x
jh
) (18)
dan x
jh
merupakan vektor residual yang diperoleh dari regresi antara x
j(h-
1)
dengan k
1
,,k
h-1
dengan persamaan :
x
j(h-1)
= p
j1
k
1
+ .... + p
j (h-1)
k
h-1
+ x
jh
(19)
di mana
k
h
: vektor komponen PLS ke-h berukuran (nx1)
w
jh
: pembobot x
j
pada komponen k
h

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


159
c
1
c
h-1
: koefisien regresi Cox untuk k
1
k
h-1

a
jh
: koefisien regresi Cox untuk masing-masing x
jh

x
jh
: vektor j variabel prediktor berukuran (nx1)
p
j1
p
j(h-1)
: koefisien komponen k
h
Untuk komponen k
1
, x
jh
= x
j1
= x
j
dengan x
j
adalah vektor variabel
prediktor awal. Pembentukan komponen dilakukan dengan jalan
mendapatkan koefisien a
jh
yang signifikan pada hasil regresi Cox dan
pembentukan komponen berakhir jika sudah tidak ada lagi koefisien a
jh

yang signifikan. Syarat pembentukan komponen PLS adalah adanya
koefisien a
jh
yang signifikan, jika diketahui tidak ada koefisien a
jh
yang
signifikan pada regresi Cox maka pembentukan komponen PLS tidak
dapat dilakukan.

II.3.2. Uji Signifikansi Parameter Model Regresi PLS-Cox
Pengujian signifikansi parameter dalam model regresi PLS-Cox
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh yang diberikan
oleh masing-masing variabel prediktor terhadap variabel respon.
Pengujian signifikansi koefisien dalam regresi PLS-Cox dapat dilakukan
dengan menggunakan metode bootstrap (Bastien, 2004).
Efron dan Tibshirani (1993), mengatakan bahwa metode bootstrap
merupakan metode yang menjelaskan masalah resampling (sampling
berulang) yaitu pengambilan contoh secara acak dari sampel yang telah
ada dengan pengembalian. Metode bootstrap merupakan metode yang
tergolong kedalam statistika nonparametrik, di mana dalam pendugaan
tidak memerlukan berbagai asumsi seperti pada statistika parametrik.
Metode bootstrap dapat digunakan sebagai alernatif pada data yang
berukuran kecil (Fox, 2002
b
).
Prinsip dari metode bootstrap adalah mengambil sampel secara
random sebanyak n dari data asal sebanyak B ulangan dengan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


160
pengembalian. Berikut langkah-langkah metode bootstrap untuk menguji
signifikansi dari parameter regresi PLS-Cox:
1. Mengambil sampel secara random sebanyak n dari data asal X (x
1
, x
2
,
, x
p
) dan y.
2. Selanjutnya dibentuk sampel bootstrap X
*b
dan y
*b
berukuran n dari
data asal X dan y dengan melakukan pengambilan sebanyak B
ulangan dengan pengembalian. Pada tiap b sampel bootstrap
dibentuk komponen PLS dan model regresi PLS-Cox sehingga
didapatkan koefisien regresi PLS-Cox.
3. Untuk tiap b pengulangan, di mana b = 1, , B dihitung simpangan
baku dengan rumus:
( )
1 n
2
B
1 b
(.)
*

(b)
*

*
)

S(

=

=
,
dengan
B
B
1 b
(b)
*

(.)
*


=
=

di mana :
(b)
*

: koefisien regresi Cox dari setiap sampel bootstrap


(.)
*

: nilai penduga booststrap untuk koefisien regresi Cox


B : banyaknya pengambilan sampel bootstrap
*
)

S( : simpangan baku bootstrap


4. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik uji Z
yang dibandingkan dengan nilai Z tabel dengan taraf kesalahan
tertentu. Hipotesis yang diajukan untuk pengujian parameter adalah
sebagai berikut :
H
0
: = 0
H
1
: 0
Statistik uji didapatkan dengan rumus :
/2) (
)

(
hitung
Z ~
se

Z
o
=
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


161
di mana
)

(
se adalah standard error penduga |. Jika Z
hitung
Z
(/2)
atau p-
value , maka keputusannya tolak H
0
sehingga dapat dikatakan
bahwa koefisien yang dihasilkan layak digunakan dalam model.

II.4. Principal Component Analysis Cox Regression (PCA-Cox)
Principal Component Analysis atau Analisis Komponen Utama
merupakan teknik statistik yang dapat digunakan untuk menjelaskan
struktur variansi-kovariansi dari sekumpulan variabel melalui beberapa
variabel baru di mana variabel baru ini merupakan kombinasi linier dari
variabel asal dan bersifat saling bebas. Selanjutnya variabel baru ini
dinamakan komponen utama (principal component). Secara umum
tujuan dari analisis komponen utama adalah mereduksi dimensi data dan
untuk kebutuhan interpretasi.
Menurut Bair et al (2004), PCA dapat diterapkan pada masalah
multikolinieritas pada analisis regresi seperti regresi cox pada analisis
survival. Metode PCA dapat juga melihat pengaruh dari variabel
prediktor serta mengidentifikasi variabel prediktor mana yang penting.
Pada analisis komponen utama, vektor kolom sebanyak p variabel asal X
ditransformasi menjadi sebanyak q vektor kolom variabel baru Y di mana
q p. Dalam bentuk persamaan, PCA dinyatakan sebagai :
j
X
p
j
ij
a
i
C
=
=
1

di mana 1 i q, 1 j p dan
q 2 1
C , , C , C saling bebas. Vektor variabel
baru C
q
menjelaskan sebesar mungkin proporsi keragaman vektor
variabel asal.




Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


162
II.4.1. Pembentukan Komponen Utama
Komponen utama didefinisikan sebagai kombinasi linier dari p
variabel asal yang dinyatakan dalam bentuk persamaan matriks sebagai
berikut (Gasperz, 1992) :
C
px1
= a
pxp
X
px1
(20)
di mana a merupakan matriks konstanta, C dan X adalah Matriks
variabel baru dan matriks variabel asal.
Persamaan (31) dapat dinyatakan sebagai berikut :
(
(
(
(
(

(
(
(
(
(

(
(
(
(
(

=
p
X
X
X
pp
a
p
a
p
a
p
a a a
p
a a a
p
C
C
C

2
1
2 1
2 22 21
1 12 11
2
1
(21)
Menurut Giudici (2003), jika didefinisikan C = a X dan diketahui
bahwa = {(X - ) (X - )} maka diperoleh ragam setiap komponen utama
yaitu :
Var (C) = Var ( a X)
= E {( a X - a ) ( a X - a )}
= E [(X - ) ( a ( X - ))] a
= a E (X - ) ( X - ) a
= a a
di mana,
px1
= vektor rata-rata X
Agar didapatkan Var (C) maksimum digunakan batasan a
i
a
i
= 1
dan dengan menggunakan metode pengganda Lagrange didapatkan :
L ( a
i
, ) = a
i
a
i

i
( a
i
a
i
-1)
Fungsi ini akan maksimum jika turunan parsial pertama dari L ( a , )
terhadap a
i
dan
i
disama dengankan dengan nilai nol, sehingga
didapatkan :
=
c
c
i
i i
a
a L ) , (
2 a
i
2 a
i
= 0
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


163
= 2 ( -
i
I) a
i
= 0
= ( -
i
I) a
i
= 0
= a
i
-
i
a
i
= 0
=
c
c
i
)
i
,
i
(

a L
a
i
a
i
1 = 0
= a
i
a
i
= 1
Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan karakteristik dari
matriks ragam-peragam, sehingga diperoleh akar-akar karakteristik
q
, . ,
2
,
1
di mana . 0
2 1
> > > >
q
Jika persamaan di atas dikalikan
dengan a
i
dan a
i
a
i
= 1, maka akan diperoleh hasil
(a
i
-
i
a
i
) a
i
= a
i
a
i
- a
i

i
a
i
= 0
= a
i
a
i
-
i
a
i
a
i
= 0
= a
i
a
i
-
i
= 0

i
= a
i
a
i

sehingga berdasarkan persamaan diatas didapatkan nilai untuk Var (C)
adalah sama dengan . Dengan demikian diketahui bahwa ragam setiap
komponen utama berpadanan dengan nilai setiap akar ciri yang ada
(Johnson dan Winchern, 2002).
Menurut Johnson dan Winchern (2002), keragaman yang dapat
dijelaskan oleh komponen utama ke-i terhadap keragaman total adalah :
% 100
1
1
x
p
i
i
q
i
i

(22)

Di mana q adalah banyaknya komponen utama yang ditentukan (q p).
Menurut Morrison dalam Draper dan Smith (1992), prosedur
penentuan jumlah komponen utama yang digunakan dalam membentuk
model adalah :
1. Mengambil akar ciri yang lebih besar dari satu (
i
>1) dan atau
2. Memilih beberapa q buah komponen utama yang dapat
menyumbang keragaman data lebih besar dari 75%.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


164
Dalam analisis komponen utama setelah didapatkan komponen
utama, tahap selanjutnya adalah pembentukan skor komponen utama
dari setiap observasi untuk digunakan sebagai analisis lebih lanjut.
Jika observasi ke-i pada variabel asal ke-j adalah
np i i
X X X , , ,
2 1

maka skor komponen dari observasi ke-i, di mana i = 1, 2, , n dan j = 1,
2, , p pada komponen utama c
l
(l = 1, 2, , r dengan r = >1) yang
dihasilkan dari matriks korelasi R, maka matriks data objek digantikan
oleh matriks data skor baku Z
ij
. Skor komponen utama dituliskan sebagai
berikut :
( )
ij
Z
i
a
ij
SK
,
= (23)
di mana
ij
SK

: skor komponen ke-i variabel asal ke-j
i : 1, 2, , n
n : banyaknya observasi
,
i
a

: vektor koefisien komponen utama ke-i
Z
ij
: vektor kolom nilai variabel standarisasi X ke- i pada
variabel asal ke-j.

II.4.2. Uji Signifikansi Parameter Model Regresi PCA-Cox
Pengujian signifikansi parameter dalam model regresi PCA-Cox
dapat dilakukan dengan menggunakan metode bootstrap dengan tujuan
untuk menguji pengaruh masing-masing variabel prediktor terhadap
variabel respon (Mehlman, D.W., Sepherd, U.L., and Kelt, D.A., 1995).
Berbeda dengan perhitungan bootstrap pada PLSCox langkah-langkah
perhitungan bootstrap pada PCA-Cox tidak melibatkan variabel y dalam
pembentukan komponen. Berikut langkah-langkah metode bootstrap
untuk menguji signifikansi parameter regresi PCA-Cox:
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


165
1. Mengambil sampel secara random sebanyak n dari data asal X (x
1
,
x
2
, , x
p
).
2. Selanjutnya dibentuk sampel bootstrap X
*b
yang berukuran n dari
data asal X dengan mengambil sebanyak B ulangan dengan
pengembalian. Pada tiap b sampel bootstrap dibentuk komponen
PCA dan model regresi PCA-Cox sehingga didapatkan koefisien
regresi PCA-Cox.
3. Untuk tiap b ulangan, di mana b = 1, , B dihitung simpangan
baku.
4. Dilakukan pengujian hipotesis untuk menentukan koefisien yang
layak digunakan dalam model.

II.5. Kemampuan Prediksi
Kemampuan prediksi dengan nilai cross validation (Q
2
) dapat
digunakan untuk mengetahui seberapa baik keakuratan prediksi yang
dihasilkan dari model yang terbentuk (Polanski, J. A. Bak, R. Gieleciak
dan T. Magdzdiarz, 2004). Perbandingan model regresi PLS-Cox dan
model regresi PCA-Cox dapat dilakukan dengan cara membandingkan
nilai Q
2
adjusted yang didapatkan dari kedua model. Hal ini dikarenakan
nilai Q
2
adjusted merupakan ukuran kemampuan prediksi yang
mempertimbangkan banyaknya variabel prediktor yang terbentuk dalam
model. Nilai Q
2
adjusted dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
( )
( )
n
k n
adjusted



=
i
2
y
i
y
i
2
i
y
i
y
1
2
Q
(24)
di mana :
Q
2
adjusted : nilai cross validation yang disesuaikan
k : banyak variabel prediktor yang terbentuk
y
i
: variabel respon pengamatan ke-i
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


166
i
y : nilai prediksi bagi y
i

y : rata-rata variabel respon
Besaran Q
2
adjusted memiliki nilai dengan rentang -1 < Q
2
adjusted < 1, di
mana semakin mendekati 1 berarti model yang diperoleh menghasilkan
prediksi yang semakin akurat.

III. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dengan variabel respon berupa waktu survival dan variabel prediktor
bersifat kontinyu maupun kategorik. Berikut data yang akan digunakan
dalam Penelitian tentang Probabilitas kesembuhan pasien CVA Infark di
RSU Sanglah. Subyek yang diteliti sebanyak 69 pasien (Ismiyati, 2007).
Variabel respon (Y) adalah lama rawat pasien (hari), dengan variabel
prediktor adalah usia (X1), jenis kelamin (X2, 0=perempuan, 1=laki-laki),
diagnosis (X3, 4 kategori, komplikasi DM, komplikasi hipertensi,
komplikasi lebih dari satu penyakit, dan tanpa komplikasi), kolesterol
LDL (X4), kolesterol HDL (X5), dan Tekanan Darah (X6).
Tabel 1. Hasil Pengujian Asumsi Multikolinieritas Data Penelitian
Variabel VIF
- Usia (X1) 1,0
- Jenis Kelamin (X2) 1,1
- Diagnosis (X3) 1,1
- Kolesterol LDL (X4) 13,4
- Kolesterol HDL (X5) 9,8
- Tekanan Darah (X6) 4,2
Pemodelan Regresi Cox menggunakan pendekatan metode
kuadrat terkecil parsial (PLS-Cox) maupun komponen utama (PCA-Cox)
sangat sensitif terhadap adanya sifat multikolinieritas yang terjadi pada
variabel prediktornya. Hasil perhitungan asumsi multikolinieritas data
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


167
penelitian ditunjukkan pada Tabel 1 dan terlihat asumsi multikolinieritas
tidak terpenuhi.
IV. Hasil Penelitian:
IV.1. Model Regresi PLS-Cox
Berdasarkan hasil uji asumsi didapatkan bahwa data penelitian
mengandung multikolinieritas sehingga sebelum dilakukan pemodelan
regresi Cox diperlukan metode partial least square dengan tujuan untuk
mendapatkan variabel prediktor baru yang bebas atau tidak saling
berkorelasi antara satu dengan lainnya.
Pendugaan parameter model regresi PLS-Cox dilakukan melalui
pembentukan komponen yang didasarkan pada dekomposisi variabel
respon dan variabel prediktor. Tiap komponen k
h
yang terbentuk
merupakan kombinasi linier dari variabel prediktor x
jh
dengan koefisien
w
jh
yang didapatkan dari perhitungan normalisasi koefisien a
jh
yang
signifikan dari hasil regresi variabel prediktor x
jh
terhadap variabel
respon secara parsial. Perhitungan pembentukan komponen dapat
dilihat pada Lampiran 1 dan secara ringkas ditunjukkan pada Tabel 2
sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Pembentukan Komponen PLS-Cox
Tahap Pembentukan Komponen Terbentuk
Komponen k
1
k
1
= 0,69667 x
4
+ 0,60122 x
5
+ 0,39139 x
6

Komponen k
2
k
2
= 0,87354 x
4
+ 0,39626 x
5
- 0,28295 x
6

Komponen k
3
k
3
= 1,0000 x
1

Komponen k
4
k
4
= -3,61612 x
3.2
+ 0,99007 x
4

- 0,59743 x
5
+ 1,29290 x
6

Komponen k
5
Tidak terbentuk

Pada Tabel 2 terlihat bahwa hanya terbentuk empat komponen
PLS-Cox pada yaitu k
1,
k
2,
k
3
dan k
4
sedangkan pada k
5
tidak terbentuk
dikarenakan tidak terdapat koefisien a
j5
yang signifikan dapat digunakan
dalam pembentukan koefisien w
j5
. Kemudian pembentukan model
regresi PLS-Cox untuk dilanjutkan dengan meregresikan kedua
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


168
komponen yaitu k
1,
k
2,
k
3
dan k
4
dengan variabel Y (lama rawat pasien)
sehingga didapatkan koefisien hasil regresi Cox yang ditunjukkan Tabel
3 sebagai berikut:

Tabel 3. Koefisien Regresi Cox Komponen k
h
terhadap Y
Komponen Koefisien SE Wald
p-
value
95.0% Normal CI
Lower Upper
k1 0.02504 0.001 15.77 0.000 0.022 0.028
k2 0.03913 0.007 5.34 0.000 0.024 0.053
k3 0.00880 0.003 2.58 0.010 0.003 0.015
k4 0.08160 0.030 2.69 0.007 0.022 0.141

Berdasarkan Tabel 3 nilai koefisien pada komponen PLS-Cox dapat
digunakan sebagai dasar pembentukan model regresi Cox untuk dengan
memasukkan koefisien hasil regresi komponen k
1,
k
2,
k
3
dan k
4
dengan
variabel Y, sehingga didapatkan bentuk persamaan model regresi PLS-
Cox dalam bentuk komponen yang dituliskan sebagai persamaan :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (0,02504 k
1
+ 0,03913 k
2
+ 0,00880 k
3
+ 0,08160 k
4
)
Selanjutnya diperlukan transformasi model untuk mengetahui
bentuk hubungan antara variabel prediktor X dengan variabel respon Y
serta menguji signifikansi parameter untuk melihat pengaruh yang
diberikan masing-masing variabel prediktor X terhadap variabel respon Y
dengan menggunakan metode bootstrap. Berdasarkan Lampiran 1 hasil
transformasi model regresi PLS-Cox dapat dituliskan kedalam bentuk
persamaan :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (0,00880 x
1
0,29508 x
3.2
+ 0,13241 x
4
0,01819 x
5
+ 0,10423
x
6
)
Uji signifikansi paramater model regresi PLS-Cox untuk ditunjukkan pada
Tabel 4 sebagai berikut :




Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


169
Tabel 4 Hasil Pengujian Signifikansi Parameter Model Regresi PLS-Cox
Variabel Koefisien p-value
X1 0.00880 0.94571
X2
X3.1
X3.2 -0.29508 0.99270
X3.3
X4 0.13241 0.00000
X5 -0.01819 0.00000
X6 0.10423 0.00000

Pada Tabel 4 terlihat bahwa dari delapan variabel prediktor, hanya
lima variabel prediktor yaitu Usia (X
1
), Diagnosis Komplikasi Hipertensi
(X
3.2
), Kolesterol LDL (X
4
), Kolesterol HDL (X
5
) dan Tekanan Darah (X
6
)
yang membentuk model regresi PLS-Cox. Terlihat pula bahwa dari
kelima variabel yang terbentuk, hanya variabel Kolesterol LDL (X
4
),
Kolesterol HDL (X
5
) dan Tekanan Darah (X
6
) yang memberikan pengaruh
signifikan terhadap lama rawat pasien penderita CVA infark di RSU
Sanglah karena mempunyai p-value yang lebih kecil daripada taraf
signifikansi (o) sebesar 5%.
IV.2. Model Regresi PCA-Cox
Sebagai metode yang membentuk komponen baru dengan cara
memaksimumkan ragam dari variabel prediktor, dalam mengatasi
permasalahan multikolinieritas, Regresi principal component analysis
Cox regression (PCA-Cox) memberikan alternatif lain disamping
penggunaan metode PLS-Cox.
Pendugaan paramater model regresi PCA-Cox dilakukan dengan
membentuk komponen utama pada di mana pembentukan komponen
utama dilakukan dengan cara memaksimumkan ragam variabel
prediktor asal melalui turunan parsial pertama. Berdasarkan Lampiran 2,
nilai akar ciri yang lebih besar dari 1 sebanyak empat sehingga
didapatkan bahwa pada komponen yang terbentuk sebanyak empat
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


170
komponen yaitu k
1,
k
2,
k
3,
dan k
4
. Hasil pembentukan komponen utama
dapat dilihat pada Lampiran 2 dan ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pembentukan Komponen PCA-Cox
Tahap Pembentukan Komponen Terbentuk
Komponen k
1
k
1
= 0,059 x
1
+ 0,172 x
2
- 0,157 x
3.1

- 0,013 x
3.2
- 0,120 x
3.3
- 0,569 x
4

- 0,555 x
5
-0,544 x
6

Komponen k
2
k
2
= 0,600 x
1
+ 0,237 x
2
- 0,511 x
3.1

+ 0,445 x
3.2
+ 0,331 x
3.3
+ 0,055 x
4

+ 0,094 x
5
+ 0,052 x
6

Komponen k
3
k
3
= - 0,004 x
1
+ 0,134 x
2
+ 0,228 x
3.1

+ 0,681 x
3.2
- 0,678 x
3.3
+ 0,056 x
4

+ 0,063 x
5
- 0,013 x
6

Komponen k
4

k
4
= - 0,244 x
1
+ 0,831 x
2
+ 0,358 x
3.1


+ 0,037 x
3.2
+ 0,334 x
3.3
+ 0,036 x
4


+ 0,072 x
5
- 0,053 x
6

Pada Tabel 5 di atas terlihat bahwa pemodelan regresi PCA-Cox
pada terbentuk tiga komponen yaitu k
1,
k
2,
dan

k
3
. Terlihat pula bahwa
masing-masing komponen yang terbentuk merupakan kombinasi linear
dari variabel asal sehingga pada tiap komponen yang terbentuk terdiri
dari semua dari variabel prediktor asal. Selanjutnya dibentuk model
regresi PCA-Cox dengan meregresikan skor komponen utama dengan
variabel Y (lama rawat pasien). Berdasarkan Lampiran 2, didapatkan
koefisien hasil regresi Cox tiap komponen serta ditunjukkan pada Tabel
berikut :

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


171
Tabel 6. Koefisien Regresi PCA-Cox Sk
ij
terhadap Y
Komponen Koefisien SE Wald p-value
95.0% Normal CI
Lower Upper
k1 -0.29255 0.022 -13.25 0.000 -0.336 -0.249
k2 0.06224 0.042 1.49 0.137 -0.019 0.144
k3 0.08348 0.059 1.4 0.161 -0.033 0.200
k4 0.01168 0.043 0.27 0.787 -0.073 0.096
Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dibentuk persamaan regeresi
PCA-Cox didapatkan persamaan regresi Cox dengan variabel prediktor
berupa komponen dalam bentuk persamaan :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (-0,29255 k
1
+ 0,06224 k
2
+ 0,08348 k
3
+ 0,01168 k
4
)
Kemudian dilakukan transformasi model kedalam bentuk
persamaan variabel asal untuk mengetahui bentuk hubungan antara
variabel prediktor X dengan variabel respon Y sehingga didapatkan
bentuk persamaan kedalam bentuk variabel asal dengan persamaan :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (0,01690 x
1
- 0,01467 x
2
+ 0,03735 x
3.1
+ 0,08878 x
3.2

+ 0, 00301 x
3.3
+ 0,17498 x
4
- 0,17432x
5
+ 0,16068 x
6
)
Selanjutnya dilakukan pengujian signifikansi parameter untuk
mengetahui pengaruh masing-masing variabel prediktor X terhadap
variabel respon Y dengan menggunakan metode bootstrap. Hasil
pengujian signifikansi parameter masing-masing variabel prediktor
terdapat pada Lampiran 2 dan ditunjukkan pada Tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 7 Hasil Pengujian Signifikansi Parameter Model Regresi PCA-Cox
Variabel Koefisien p-value
X1 0.01690 0.67137
X2 -0.01467 0.26056
X3.1 0.03735 0.34340
X3.2 0.08878 0.58132
X3.3 0.00301 0.31960
X4 0.17498 0.00000
X5 -0.17432 0.00000
X6 0.16068 0.00000
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


172
Pada Tabel 7 terlihat bahwa dari dari delapan variabel prediktor
yaitu Usia (X
1
), Jenis Kelamin (X
2
), Diagnosis Komplikasi DM (X
3.1
),
Diagnosis Komplikasi Hipertensi (X
3.2
), Diagnosis > 1 penyakit (X
3.3
),
Kolesterol LDL (X
4
), Kolesterol HDL (X
5
) dan Tekanan Darah (X
6
) hanya
variabel prediktor Kolesterol LDL (X
4
), Kolesterol HDL (X
5
) dan Tekanan
Darah (X
6
) yang memberikan pengaruh signifikan terhadap Y (lama rawat
pasien CVA infark). Hal ini dikarenakan ketiga variabel tersebut
mempunyai p-value yang lebih kecil daripada taraf signifikansi (o)
sebesar 5%.
IV.3. Perbandingan Model Regresi PLS-Cox dan PCA-Cox
Berdasarkan hasil pemodelan regresi PLS-Cox dan PCA-Cox yang
telah dilakukan pada data penelitian di atas, perbandingan antara hasil
pengaruh variabel prediktor terhadap peluang kegagalan suatu objek
pada pada masing-masing data penelitian. Hasil perbandingan pengaruh
variabel prediktor terhadap peluang kegagalan antara pemodelan
regresi PLS-Cox dan regresi PCA-Cox masing-masing data
penelitian ditunjukkan sebagai berikut :
Tabel 8. Perbandingan Pengaruh Variabel Prediktor antara Model
Regresi PLS-Cox dan Model Regresi PCA-Cox
Variabel Regresi PLS-Cox Regresi PCA-Cox
Prediktor Koefisien p-value Koefisien p-value
X1 0.00880 0.94571 0.01690 0.67137
X2 -0.01467 0.26056
X3.1 0.03735 0.34340
X3.2 -0.29508 0.99270 0.08878 0.58132
X3.3 0.00301 0.31960
X4 0.13241* 0.00000 0.17498* 0.00000
X5 -0.01819* 0.00000 -0.17432* 0.00000
X6 0.10423* 0.00000 0.16068* 0.00000
Q
2
adj
0,8991 0,8379
Keterangan : tanda * menyatakan signifikan pada taraf 5%
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


173
Berdasarkan Tabel 8 di atas, dengan menggunakan model regresi
PLS-Cox maupun regresi PCA-Cox pada taraf signifikansi (o) sebesar 5%,
terdapat kesamaan pengaruh variabel prediktor terhadap peluang
bertahan hidup. Berdasarkan Tabel 8 di atas terlihat bahwa variabel
yang mempunyai pengaruh sama terhadap peluang bertahan hidup
pasien CVA Infark adalah variabel Kolesterol LDL (X
4
), Kolesterol HDL
(X
5
) dan Tekanan Darah (X
6
). Kesamaan dalam hal ini juga terlihat dari
sisi signifikansi koefisien dan magnitude koefisien (tanda koefisien).
Selanjutnya dilakukan perbandingan antara pemodelan PLS-Cox
dan PCA-Cox dengan nilai Q
2
adjusted. Pada Tabel di atas terlihat bahwa
dari data yang diteliti, pemodelan dengan menggunakan model regresi
PLS-Cox menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
menggunakan model regresi PCA-Cox. Hal ini didukung dengan hasil
perhitungan nilai Q
2
adjusted yang relatif lebih besar untuk model regresi
PLS-Cox dibandingkan dengan model regresi PCA-Cox, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pemodelan menggunakan regresi PLS-Cox pada data
yang mengandung multikolinieritas dapat memberikan kemampuan
prediksi yang baik dan relatif lebih baik.

V. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan nilai cross validation
yang disesuaikan (Q
2
adjusted), dapat disimpulkan bahwa pemodelan
menggunakan regresi PLS-Cox pada data yang mengandung
multikolinieritas dapat memberikan kemampuan prediksi yang baik dan
relatif lebih baik.
Saran yang diperoleh adalah bahwa pada kenyataan tidak semua
data survival memenuhi asumsi proportional hazard sehingga seringkali
terjadi hilangnya informasi yang didapatkan. Oleh karena itu, disarankan
pada penelitian selanjutnya dilakukan pemodelan regresi PLS-Cox dan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


174
PCA-Cox pada data survival yang tidak memenuhi asumsi proportional
hazard dengan menerapkan pemodelan regresi PLS-Cox dan PCA-Cox
pada model stratified Cox atau model regresi Cox dengan variabel time-
dependent.

DAFTAR RUJUKAN

Abdi, H. 2003. Partial Least Square (PLS) Regression.
http:/www.utdallas.edu~herveAbdi-PLS-pretty.pdf.
Agresti, A. 2002. An Introduction to Categorical Data Analysis. John
Wiley & Sons. New York.
Bair, E., Hastie, T., Paul, D., and Tibshirani, R. 2004. Prediction by
Supervised Principal Component. Department of Statistics and
Health, Research Policy. University of Stanford.
Bastien, P. 2004. PLS-Cox model: Application to Gene Expression. In:
COMSTAT, Section: Partial Least Square.
Bastien, P.,Vinci. E., dan Tenenhaus, M. 2005. PLS Generalized Linear
Regression. Computational Statistics & Data Analysis.
Berka, M. 2007. Multicollinearity. http://www.massey.ac.nz~
mberkaMChandout.pdf.
Borovkova, S. 2002. Analysis of Survival Data. Journal of Technische
Universiteit Delft. Faculteit Informatietechnologie System: 302-
307.http://citeseerx.ist.psu.edu=10.1.167.5970.pdf.
Boulesteix, A. dan K. Strimmer. 2005. Partial Least Square : A Versatile
Tool For The Analysis of High-Dimensional Genomic Data.
http://www.stat.unimuenchen.desfb386. papersdspaper457.pdf.
Candes E. J., Li X., Ma Y., and Wright J. 2009. Robust Principal
Component Analysis. Department of Statistics. Stanford
University.
Chan, YH. 2004. Bostatistics 203 : Survival Analysis. Singapore Med J
Vol. 45 (6) : 249.
Collet, D. 2003. Modelling Survival Data in Medical Research Second
Edition. Chapman and Hall. London.
Draper, N.R. dan Smith, H. 1992. Analisis Regresi Terapan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


175
Efron, B. dan R.J. Tibshirani. 1993. An Introduction to The Bootstrap.
Chapman & Hall. New York.
Etzioni, R. D. Feuer, E. J., Sullivan D. S., Lin, D., Hu, C., Remsey, D. S.
1997. On the Use of Survival Analysis Techniques to Estimate
Medical Care Costs. Department of Biostatistics. University of
Wahington. USA.
Fox, J. 2002
a
. Cox Proportional Hazards Regression for Survival Data.
http://www.google.com/Search:Cox-ph-Fox/files,
Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Terjemahan: Zain, S. Erlangga,
Jakarta.
Hosmer, DW., Lemeshow, S. 1999. Applied Survival Analysis: Regression
Modelling of Time to Event Data. John Wiley and Son. Canada.
Iachine, I. 2001. Basic Survival Analysis. Biostatistik- Basale Bregeber.
Revision 2.11. hal. 1-34.
Ismiyati. 2007. Penerapan Metode Product Limit kaplan Meier untuk
Mengetahui Probabilitas Kesembuhan Pasien CVA Infark (Studi
Kasus di RSU Sanglah). Universitas Airlangga. Surabaya. Tesis.
Tidak Dipublikasikan.
Jenkins, SP,. 2005. Survival Analysis. http://www.google.com/search/
627D2174d01
Jian, J.D; L. Linh, dan D. Rocke. 2006. Dimension Redustion for
Classification With Gene Expression Microarray Data.
http://www.cipic.ucdavis.edu~
dmrockepapersDai_Lieu_Rocke_SAGMB2006.pdf.
Johnson, R.A. and D.W. Wichern. 2002. Applied Multivariate Statistical
Analysis, Fifth Edition. Prentice-Hall, Inc. New Jersey.
Kleinbaum, D.G. and Klein, M. 2005. Survival Analysis : A Self-Learning
Text. Second Edition. Springer-Verlag. New York.
Kutner, M. H., Machtseim, dan J. Neter. 2004. Applied Linier Regression
Models. Fourth Edition. Mc Graw Hill. New York.
Lee, E.T. and Wang, J. W. 2003. Statistical Methods for Survival Data
Analysis. Wiley.
Li, H. dan J. Gui. 2004. Partial Cox Regression Analysis for High-
Dimensional Microarray Gene Expression Data. Center for
Bioinformatics & Molecular Biostatistics. University of
California. San Fransisco.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


176
Mehlman, D.W., Sepherd, U.L., and Kelt, D.A. 1995. Bootstraping
Principal Component Analysis. Journal of Ecology, 76 (2) pp.
640-643. Ecological Society of Amerika.
Nguyen, D.V. dan D. Rocke. 2002. Partial Least Square Proportional
Hazard Regression for Applicaation to DNA Microarray Survival
Data. Bioinformatics, 18, 1625-1632.
O Brien, Robert M. 2007. A Caution Regarding Rules of Tumb for
Variance Inflation Factors. Quality and Quantity 41 (5); 673-690.
http://cat. inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt.
Sung, J., dan Tanaka, Y., 2003. A Numerical Study on Statistical
Diagnostics in Cox Proportional Hazard Model for Survival Data
Analysis. Okayama University. Vol. 9, No. 1.
Tableman, M. dan Kim, J. S. 2005. Survival Analysis Using S-Analysis of
Time to Event Data. Chapman & Hall. New York.
















Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


177
CORRELATION BETWEEN ACHIEVEMENT MOTIVATION OF PARENTS
WITH LEARNING IPA SEVENTH GRADE STUDENTS SEMESTER
JUNIOR SILA CANDRA BATUBULAN
ACADEMIC YEAR 2011/2012

Oleh
Ni Nyoman Parmithi
Lecturer FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

Student achievement is inseparable from the factors that effect.
One such factor is motivation. Motivation is a mental boost that drives
and directs human behavior, including learning behavior. Motivation can
come from the student (internal motivation) and those from outside the
student (external motivation). One motivation that comes from outside is
not less important to the motivation of the student is motivated parents,
where a student was raised and is the headliner.
This study aimed to determine the correlation between parental
motivation to learn science achievement even junior high school
students Semester Sila Batubulan Candra school year 2011/2012. The
population consists of 5 classes with a number of 205 people, which is
defined as a sample of 67 people who are determined by proportional
random sampling technique. Instrument used to find data on motivation
of the parents was a questionnaire, and the value obtained from the list
of values IPA IPA semester. The data obtained were then processed
using statistical correlation test.
The results of the analysis of data obtained value rxy = 0.52. Using
a significance level of 5%, then r count is greater than the table r = 0.244.
This means that on the way the null hypothesis is rejected and accept the
alternative hypothesis, so it can be concluded that there is a significant
correlation between parental motivation to learn science achievement of
students of class VII semester junior Sila Batubulan Candra school year
2011/2012.

Key words : Motivation; science achievement
I. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam
mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan
tujuan pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh pihak sekolah sebagai
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


178
lembaga formal, namun juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan
keluarga dan masyarakat. Begitu juga prestasi belajar siswa di sekolah,
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dari dalam dirinya sendiri (faktor
intrinsik), namun banyak faktor yang berasal dari luar dirinya (faktor
ekstrinsik) yang dapat mempengaruhinya.
Salah satu faktor yang berasal dari luar dirinya, yang memegang
peranan penting adalah faktor keluarga yaitu orang tua. Orang tua
merupakan lingkungan pertama dikenal oleh anak, sehingga orang tua
merupakan faktor utama yang dapat memotivasi seorang anak untuk
meraih prestasi belajarnya. Dengan motivasi siswa dapat
mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan
memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar.
Dimyati dan Mudjiono (2009), menyatakan bahwa motivasi orang
tua dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan
mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam
motivasi terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan,
menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap dan perilaku
individu belajar. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan
kegiatan dalam rangka memenuhi harapan. Dorongan merupakan
kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau
pencapaian tujuan.
Selanjutnya dikatakan bahwa anak akan selalu membutuhkan
suatu motivasi untuk bisa terus konsisten belajar. Ada beberapa motivasi
yang bisa diberikan orang tua kepada anak, misalnya : (1) memberikan
semangat pada putra-putrinya, karena orang tua adalah sebagai sosok
yang paling dekat dengan mereka; (2) memberikan pujian, karena
dengan memberikan pujian akan menambah kepercayaan diri seorang
anak hingga ia menjadi lebih semangat untuk belajar; (3) memberikan
suatu barang sebagai hadiah atas prestasi tertentu yang dicapai oleh
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


179
siswa; (4) memberikan iming-iming yang dilakukan sebelum anak
melakukan kegiatan belajar; dan (5) perancangan cita-cita. Maksudnya,
orang tua sebaiknya menanyakan terlebih dahulu apa cita-cita siswa,
setelah itu akan lebih mudah mendorong anak untuk belajar lebih giat.
Oleh karena itu yang menjadi penanggung jawab dalam
pendidikan, dan bimbingan anak adalah orang tua, disamping sekolah
dan masyarakat, sebab waktu anak sebagian besar ada dalam
lingkungan keluarga. Peran keluarga khususnya orang tua dalam
memberikan pendidikan dan bimbingan terhadap anak, lebih banyak bila
dibandingkan dengan pendidikan dan bimbingan yang diberikan oleh
guru di sekolah. Dengan demikian, motivasi orang tua diharapkan
mampu mengkondisikan anak supaya mau belajar dan berhasil meraih
prestasi belajarnya dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara motivasi
orang tua dengan prestasi belajar IPA pada siswa kelas VII semester
genap SMP Sila Candra Batubulan, tahun pelajaran 2011/2012.

II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang Motivasi
Motivasi kadang-kadang diibaratkan sebagai mesin dan kemudi
pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang
motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan
seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi
dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need),
nilai (value), sikap (attitude), aspirasi dan insentif (Gage dan
Berliner,1984).
Motivasi mempunyai fungsi yang penting dalam belajar, karena
motivasi akan menentukan intensitas usaha belajar yang dilakukan
siswa. Yusuf Syamsu (1993) menyatakan bahwa para siswa yang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


180
memiliki motivasi tinggi, belajarnya lebih baik dibandingkan dengan
siswa yang motivasi belajarnya rendah. Hal ini dapat dipahami, karena
siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan tekun dalam belajar dan
terus belajar secara kontinyu tanpa mengenal putus asa serta dapat
mengesampingkan hal-hal yang dapat mengganggu kegiatan belajar
yang dilakukannya.
Sardiman (1988) mengemukakan ada tiga fungsi motivasi, yaitu :
(1) Mendorong manusia untuk berbuat. Motivasi dalam hal ini merupakan
motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan; (2)
Menuntun arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai,
dengan demikian motivasi dapat memberi arah, dan kegiatan yang harus
dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. ; (3) Menyeleksi
perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan
perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Syaodih dalam Riduwan (2005) menyatakan fungsi dari motivasi
adalah: 1) Mendorong anak dalam melaksanakan sesuatu aktivitas dan
tindakan; (2) Dapat menentukan arah perbuatan seseorang; (3) Motivasi
berfungsi dalam menyeleksi jenis-jenis perbuatan dan aktivitas
seseorang.
Selanjutnya Prayitno dalam Sardiman (1988) mengatakan bahwa
fungsi dari motivasi dalam Proses Belajar Mengajar adalah : (1)
Menyediakan kondisi yang optimal bagi terjadinya belajar; (2)
Menguatkan semangat belajar siswa; (3) Menimbulkan atau menggugah
minat siswa agar mau belajar; (4) Mengikat perhatian siswa agar mau
dan menemukan serta memilih jalan/tingkah laku yang sesuai untuk
mencapai tujuan belajar maupun tujuan hidup jangka panjang.
Aspek motivasi dalam keseluruhan proses belajar mengajar sangat
penting, karena motivasi dapat mendorong siswa untuk melakukan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


181
aktivitas-aktivitas tertentu yang berhubungan dengan kegiatan belajar.
Motivasi dapat memberikan semangat kepada siswa dalam kegiatan-
kegiatan belajarnya dan memberi petunjuk atas perbuatan yang
dilakukannya.
Pada dasarnya motivasi orang tua terhadap pendidikan anaknya
menyangkut dua hal pokok yaitu dukungan moral dan dukungan
material. Dukungan moral dari orang tua terhadap pendidikan anaknya
dapat berupa perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan psikis yang
meliputi kasih sayang, keteladanan, bimbingan dan pengarahan,
dorongan, menanamkan rasa percaya diri. Dengan perhatian orang tua
yang berupa pemenuhan kebutuhan psikis tersebut diharapkan dapat
memberikan semangat belajar anak guna meraih suatu cita-cita atau
prestasi.
Keaktifan orang tua dalam memperhatikan dan memberikan
dorongan kepada anak di saat belajar meliputi : pengawasan di saat
belajar; memberi teguran jika malas belajar; mempedulikan tentang
kesulitan belajar; memberi bantuan/membimbing untuk mengatasi
kesulitan belajar; mambatasi waktu bermain; dan mengingatkan waktu
untuk belajar.
Sedangkan keaktifan orang tua dalam memperhatikan prestasi
belajar siswa di sekolah meliputi : mengontrol nilai ulangan harian;
mengontrol nilai UTS; mengotrol nilai raport; memberikan teguran jika
prestasi menurun; berkomunikasi dengan siswa mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan sekolah; berkomunikasi dengan sekolah (Guru,
Wali Kelas, BP) tentang kemajuan belajar siswa.
Dengan adanya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan psikis
tersebut di atas, akan sangat mempermudah bagi orang tua dalam
mengawasi atau memantau aktivitas belajar anaknya selama di rumah
sebagai penunjang aktivitas belajar di sekolahnya.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


182
Dengan demikian bahwa orang tua tersebut telah melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawabnya dengan baik dalam mengasuh anak-
anaknya di tengah-tengah keluarga yang dibinanya dalam rangka
mempersiapkan masa depan anak-anaknya dalam meraih kehidupan
yang lebih cemerlang.
Namun berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat tidak
semua orang tua atau keluarga dapat memenuhi kebutuhan psikis
tersebut karena adanya berbagai macam susunan atau karakter dalam
sebuah keluarga tersebut. Adapun mengenai susunan keluarga tersebut,
menurut Ary Gunawan (2006) membagikan menjadi tiga macam yaitu :
(1) Keluarga yang bersifat otoriter, disini perkembangan anak itu
semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang
otoriter suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-
ragu didalam semua tindakan serta lambat berinisiatif. (2) Keluarga
Demokrasi, disini sikap pribadi anak lebih dapat menyesuaikan diri,
sifatnya fleksibel, dapat menguasai diri, mau menghargai pekerjaan
orang lain, menerima kritik dengan terbuka, aktif di dalam hidupnya,
emosi lebih stabil, serta mempunyai rasa tanggung jawab. (3) Keluarga
liberal, disini anak-anak bebas bertindak dan berbuat. Sifat-sifat dari
keluarga ini biasanya bersifat agresif, tak dapat bekerjasama dengan
orang lain, sukar menyesuaikan diri, emosi kurang stabil serta
mempunyai sifat selalu curiga.
Perbedaan pola asuh dari setiap keluarga akan berdampak pada
sifat atau tingkah laku anak di masing-masing keluarga. Hal ini
merupakan hasil dari pola asuh dari perhatian yang telah ditujukan
kepada anak, sebagai contoh dalam belajar di sekolah.
Jadi meskipun terdapat keanekaragaman bentuk atau susunan
keluarga yang ada di masyarakat, namun kesadaran akan tanggung
jawab mendidik dan membina anak secara terus menerus perlu
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


183
dikembangkan pada setiap orang tua tentunya dengan bekal teori-teori
pendidikan modern sesuai dengan perkembangan zaman. Bila hal ini
dapat dilakukan oleh setiap orang tua maka generasi mendatang telah
mempunyai kekuatan mental menghadapi perubahan dalam masyarakat.
Selain dukungan moral orang tua terhadap kelangsungan
pendidikannya, ada juga dukungan dari orang tua yang berupa
dukungan material. Dimana dukungan material ini berupa pemenuhan
fasilitas belajar siswa, yaitu : ruang belajar, meja belajar, lampu terang
untuk belajar, buku pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, pemberian
uang saku untuk sekolah, pemberian alat tulis, mengantar saat
berangkat sekolah, menjemput saat pulang sekolah
Untuk memenuhi kebutuhan fisik tersebut tentunya berkaitan
dengan status sosial ekonomi keluarga atau pendapatan di dalam
keluarga itu sendiri. Pendapatan orang tua adalah segala penghasilan
baik yang berupa uang atau barang yang diterima sebagai balas jasa
atau kontraprestasi. Keluarga yang memiliki pendapatan tinggi akan
dengan mudah memenuhi biaya kebutuhan pendidikan anak yang
meliputi sumbangan komite, peralatan sekolah, transportasi, sarana
belajar dirumah, baju seragam, biaya ekstrakurikuler, dan tidak
terkecuali uang saku anak. Dan sebaliknya, keluarga yang memiliki
pendapatan rendah akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan anak.
Dengan demikian, siswa yang orang tuanya memiliki pendapatan
tinggi, semua kebutuhan yang berkaitan dengan aktivitas belajar akan
segera terpenuhi, sehingga dengan pemenuhan kebutuhan belajar
tersebut dapat menunjang tercapainya prestasi belajar yang baik yang
merupakan harapan atau cita-cita akhir dari aktivitas belajar. Dan
sebaliknya jika dalam suatu keluarga yang status ekonominya rendah
akan merasa keberatan dalam memenuhi kebutuhan belajar anaknya
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


184
secara penuh, sehingga kondisi yang seperti akan berdampak pada
perolehan prestasi belajar yang rendah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas mengenai dukungan moral
maupun material yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya, dapat
disimpulkan bahwa potensi seorang anak itu akan dapat berkembang
dengan baik apabila mendapat bimbingan dan dukungan serta
pengawasan dari orang tuanya dalam pendidikan informalnya dan selalu
terpenuhinya semua kebutuhan belajar akan lebih mudah dalam meraih
prestasi dibandingkan dengan siswa yang tidak pernah mendapat
perhatian, bimbingan dan dukungan orang tuanya.

2.2 Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan hasil yang telah dicapai dari suatu
proses belajar yang telah dilakukan. Untuk mengetahui berhasil atau
tidaknya diperlukan suatu pengukuran. Pengukuran adalah proses
penentuan luas/kuantitas sesuatu (Nurkancana,1986). Dalam kegiatan
pengukuran hasil belajar, siswa dihadapkan pada tugas, pertanyaan
atau persoalan yang harus dipecahkan/dijawab. Hasil pengukuran
tersebut masih berupa skor mentah yang belum dapat memberikan
informasi kemampuan siswa. Agar dapat memberikan informasi yang
diharapkan tentang kemampuan siswa maka diadakan penilaian
terhadap keseluruhan proses belajar mengajar sehingga akan
memperlihatkan banyak hal yang dicapai selama proses belajar
mengajar. Misalnya pencapaian aspek kognitif, aspek afektif dan aspek
psikomotorik. Prestasi belajar menurut Bloom meliputi 3 aspek yaitu
kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam penelitian ini yang ditinjau
adalah aspek kognitif yang meliputi: pengetahuan, pemahaman, dan
penerapan.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


185
Prestasi belajar ditunjukkan dengan skor atau angka yang
menunjukkan nilai-nilai dari sejumlah mata pelajaran yang
menggambarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa,
serta untuk dapat memperoleh nilai digunakan tes terhadap mata
pelajaran terlebih dahulu. Hasil tes inilah yang menunjukkan keadaan
tinggi rendahnya prestasi yang dicapai oleh siswa.

2.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori di atas,
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah hipotesis
alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada korelasi antara motivasi
orang tua dengan prestasi belajar IPA siswa kelas VII semester genap
SMP Sila Candra Batubulan tahun pelajaran 2011/2012.

III. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII SMP Sila Candra Batubulan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional, dengan populasi
adalah seluruh siswa kelas VII SMP Sila Candra Batubulan yang terdiri
dari 5 kelas dengan jumlah keseluruhan adalah 205 orang siswa.
Mengingat populasinya cukup besar, maka untuk menentukan ukuran
sampel sebagai wakil populasi digunakan rumus
2
. 1 e N
N
n
+
=
Dengan rumus tersebut maka teknik pengambilan sampelnya
adalah proporsional random sampling, yaitu cara pengambilan sampel
dari anggota atau unsur yang heterogen (tak sejenis) dan berstrata
secara proporsional. Dengan teknik ini setiap anggota populasi
memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel. Dengan
demikian maka diperoleh sampel sebanyak 67 orang siswa, yang berasal
dari 5 kelas, dan dari masing-masing kelas diambil secara proporsional.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


186
Dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel, yaitu variabel bebas
adalah motivasi orang tua, dan variabel terikat adalah prestasi belajar
IPA. Untuk mendapatkan data tentang motivasi orang tua digunakan
metode angket, yang terdiri dari 15 pertanyaan, sedangkan prestasi
belajar IPA diambil dari nilai rata-rata ulangan yang terdapat pada leger
nilai. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis
statistik deskriptif dan analisis korelasi untuk menguji hipotesis
penelitian. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui nilai
kecenderungan data hasil penelitian yaitu dengan jalan menguraikan
atau menjabarkan data-data variabel penelitian (motivasi dan prestasi
belajar) seperti: mean, median, range, dan standar deviasi. Cara
permberian skor untuk mengungkap variabel motivasi belajar siswa
digunakan skala Likert dengan pemberian skor berdasarkan pernyataan
positif dan pernyataan negatif. Pernyataan positip terdiri dari sangat
setuju nilainya 5, setuju nilainya 4, ragu nilainya 3, tidak setuju nilainya 2,
dan sangat tidak setuju nilainya 1. Sebaliknya pernyataan negatif terdiri
dari sangat setuju nilainya 1, setuju nilainya 2, ragu nilainya 3, tidak
setuju nilainya 4, dan sangat tidak setuju nilainya 5 (Riduwan, 2005).
Tingkat motivasi orang tua dapat diklasifikasikan berdasarkan
skala pengukurannya yaitu ordinal dengan kategori rendah bila M (mean)
SD (standar deviasi), sedang bila skor antara (M-SD) (M+SD), dan
tinggi bila skor (M+SD), sebelum menentukan rentang nilai, terlebih
dahulu dihitung mean, dan standar deviasinya (Agus Irianto, 2004).
Selanjutnya, analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui kuat
lemahnya hubungan antar variabel yang dianalisis. Analisis korelasi yang
digunakan adalah Pearson Product Moment (PPM).
Rumus korelasi PPM sebagai berikut:
rxy =
( )( )
( ) ( ) ( ) ( )
2
2
(
2
2
(

Y Y n X X n
Y X XY n

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


187
Keterangan :
rxy = koefisien korelasi yang dicari
n = banyaknya subjek pemilik nilai
X = nilai variabel X
Y = nilai variabel Y
(Sumber : Arikunto, 2000)
Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih
dari harga (-1 < r < + 1). Apabila nilai r = 1 artinya korelasinya negatif
sempurna; r = 0 artinya tidak ada korelasi; dan r = 1 berarti korelasinya
sangat kuat. Sebelum dilakukan analisis data, maka terlebih dahulu
dilakukan uji persyaratan analisis yang terdiri dari: 1) Uji normalitas
data, dan 2) Uji Linieritas.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan standar deviasi dan mean yang diperoleh, maka
diperoleh tingkat motivasi orang tua seperti dalam tabel 01.
Tabel 01
Pengkategorian Tingkat Motivasi Orang Tua
Rumus Rentang Nilai Kategori
M SD= (62,49 4,71) = 57,78 < 57,78 Rendah
(M SD)-(M+SD) =(62,49-4,71)
(62,49+4,71) = 57,78-67,2
57,78 67,2 Sedang
M+SD = 62,49+4,71 = 67,2 >67,2 Tinggi

Setelah diketahui tingkat motivasi orang tua, maka distribusi
frekuensi motivasinya adalah sebagai berikut.




Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


188
Tabel 02
Distribusi Frekuensi Motivasi Orang Tua
Motivasi Orang
Tua
Frekuensi Persentase
Rendah 10 14,92 %
Sedang 50 74,62 %
Tinggi 7 10,44 %
Jumlah 67 100 %

Selanjutnya setelah melalui beberapa uji persyaratan yaitu uji
normalitas data, dan uji linearitas, maka diperoleh hasil uji hipotesis yaitu
nilai rxy sebesar 0,52.
Harga r tabel untuk taraf kesalahan 5% dengan n =67 diperoleh r
tabel = 0,244. Karena r hitung lebih besar dari r tabel untuk kesalahan 5
%, maka Ho di tolak dan Ha diterima, yang berarti bahwa ada korelasi
yang positif dan signifikan sebesar 0,52 yang tergolong sedang, antara
motivasi orang tua dengan prestasi belajar IPA siswa kelas VII semester
genap SMP Sila Candra Batubulan. Koefisien determinasinya r= 0,52 =
0,2704. Hal ini berarti nilai prestasi belajar IPA siswa kelas VII 27,04 %
ditentukan oleh motivasi orang tua, melalui persamaan regresi Y
2
=
14,55 +0,91X. Sisanya 72,96% dipengaruhi oleh faktor lain.

4.2 Pembahasan
Dengan diterimanya hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa
ada korelasi antara motivasi orang tua dengan prestasi belajar IPA siswa
kelas VII semester genap tahun pelajaran 2011/2012, maka hasil
penelitiasn ini dapat dipakai sebagai acuan bagi para orang tua dalam
upaya meningkatkan prestasi belajar anaknya. Dari hasil perhitungan
diketahui koefisien determinasinya 0,52 = 0,2704, yang berarti nilai
prestasi belajar IPA siswa kelas VII 27,04 % ditentukan oleh motivasi
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


189
orang tua, melalui persamaan regresi Y
2
= 14,55 +0,91X. Sisanya 72,96%
dipengaruhi oleh faktor lain.
Motivasi orang tua merupakan motivasi ekstrinsik, yang ikut
berperan dalam menentukan prestasi belajar anaknya. Sardiman (2011)
menyatakan bahwa motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan
berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Selanjutnya juga
dikatakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar motivasi ekstrinsik
tetap penting, karena kemungkinan besar kesadaran siswa itu dinamis,
berubah-ubah, dan juga mungkin komponen-komponen lain dalam
proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa, sehingga
diperlukan motivasi ekstrinsik.
Aspek motivasi dalam keseluruhan proses belajar mengajar
sangat penting, karena motivasi dapat mendorong siswa untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang berhubungan dengan
kegiatan belajar. Motivasi dapat memberikan semangat kepada siswa
dalam kegiatan-kegiatan belajarnya dan memberi petunjuk atas
perbuatan yang dilakukannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka
harus dilakukan suatu upaya agar siswa memiliki motivasi belajar yang
tinggi. Dengan demikian siswa yang bersangkutan dapat mencapai hasil
belajar yang optimal.

V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa
ada korelasi positif yang signifikan antara motivasi orang tua dengan
prestasi belajar IPA siswa kelas VII semester genap SMP Sila Candra
Batubulan, Tahun Pelajaran 2011/2012.
5.2 Saran
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


190
1. Dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa, guru hendaknya
selalu menjalin kerja sama dengan orang tua, karena baik guru
maupun orang tua dapat berfungsi sebagai motivator dalam proses
belajar anak.
2. Orang tua sebagai keluarga terdekat diharapkan mampu memotivasi
anak dalam belajarnya, baik melalui perhatian, komunikasi,
pemberian hadiah, maupun hal-hal lainnya yang mampu
membangkitkan semangat belajar anak, sehingga anak mampu
meraih prestasinya yang optimal.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Ary, H. Gunawan. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi
tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Candiasa. 2007. Statistik Multivariat. Bahan Ajar. DIKSH . Undiksha
Singaraja.
Depdiknas. 2000. Penyusunan Butir Soal dan Instrumen Penilaian.
Jakarta.
Dimyati & Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Proyek
Pembinaan dan Peningkatan Mutu Kependidikan, Dirjen Dikti
Depdikbud.
Gage dan Berliner. 1984. Teori Belajar Behavioristik. Jakarta : CV.
Rajawali
Hamalik, Oemar. 2000. Psikologi Belajar dan Manager. Bandung : Sinar
Baru Algessindo
Hasbullah. 2001. Dasar-dasar Pendidikan. Edisi Revisi Jakarta : PT.
Grafindo Persada.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta
: Rineka Cipta.
Nurkancana, Wayan dan Sunartana. 1986. Evaluasi Pendidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


191
Purwanto, M. Ngalim. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan
Peneliti Pemula. Bandung : Alfabeta.
Sardiman, A.M. 1988. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta.
PT. Raya Grafindo Persada.
Yusuf, Syamsu. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Kemampuan Proses
Belajar Mengajar. Bandung : CV. Andria.






















Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


192
BAHASA BALI DALAM AKULTURASI MULTIKULTURAL
DAN POSMODEREN

Oleh
Ni Ketut Ratna Erawati
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS UDAYANA

ABSTRACT

The article focuses on the existence of Balinese diversity, which
is aimed at seeng the Balinese change together with its culture change.
This article is based on the concept of the language change and cultural
diffusion. The concept of language change is based on William Labovs
opinion (1993) while the concept of cultural diffusion is based on F.
Ratzels opinion supported also by his students opinion, L. Probenius.
Considering the two concepts, in this global era, it was found that the
use of some Balinese verbs in the society were shifted that caused to
cultural change. Therefore, language and cultural are two different but
collaborated concepts that can be in a linear development.

Key words : akulturation, multicultural, verbal lexikal, posmodern


I. PENDAHULUAN
Bahasa dan budaya merupakan dua hal yang sangat sulit
menentukan dalam perkembangannya. Kebudayaan mempunyai tujuh
unsur kebudayaan yang sangat penting. Salah satunya adalah bahasa
yang dianggap sangat fundamental dan memberi pengaruh dalam suatu
perkembangan antarunsur terkait ke arah yang lebih maju. Kebudayaan
sebagai payung konsep yang sangat luas akan dapat sebagai wahana
dalam memaknai suatu perubahan. Selanjutnya kebudayaan dapat
dikatakan mempunyai makna tertentu dalam kehidupan manusia. Makna
itu merupakan inti budaya berupa sistem nilai dan seperangkat konsep
dasar yang terintegrasi dalam pikiran manusia yang sangat berpengaruh
bagi perilaku manusia dan masyarakat bersangkutan (Sedyawati, 1997:
7). Hal tersebut mencerminkan bahwa kebudayaan dapat dipandang
sebagai anugerah Tuhan Yang Mahakuasa dan manusia sebagai aktor
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


193
budaya harus mampu berpikir serta memiliki visi dan misi, apa yang
harus dilakukan, untuk apa hal itu dilakukan sehingga dapat dipandang
sebagai suatu filsafat ilmu.
Sebagai salah satu dari tujuh unsur kebudayaan bahasa
merupakan sarana komunikasi yang sangat penting untuk menyatukan
antarbangsa, antarbudaya, dan antarbahasa sehingga bahasa memiliki
kedududkan dan fungsi yang sangat dominan dalam mengantarkan
perkembangan budaya, bahasa, maupun perkembangan teknologi
informasi pada umumnya. Sejalan dengan pernyataan di atas, dalam
etnis Bali yang memiliki bahasa Bali sebagai alat komunikasi dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Bali sangat berkaitan erat dengan
budaya Bali. Saat ini bahasa Bali telah berkembang pesat dan banyak
terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Bahasa yang semakin sering
digunakan kemudian dipungut untuk menambah kosa kata bahasa Bali.
Hal ini sangat mempengaruhi situasi kebahasaan bahasa Bali demikian
pula terhadap budaya masyarakat Bali.
Berdasarkan uraian di atas dapat dimunculkan permasalahan yang
akan di formulasikan dalam bentuk pertanyaan berikut ini.
1) Bagaimanakah akulturasi bahasa Bali dalam multikultural dan
posmoderen?
2) Bagaimanakah akulturasi unsur-unsur budaya Bali akibat adanya
multikultural dan posmoderen?
Masalah-masalah di atas akan dikaji berdasarkan konsep
perubahan bahasa, difusi budaya, dan akulturasi budaya. Konsep
perubahan bahasa didasari oleh pendapat William Labov (1994) dalam
bukunya Principles of Language Change. Dua konsep dasar dari
perubahan bahasa yakni bahasa itu dapat berubah secara internal dan
eksternal. Perubahan secara internal maksudnya perubahan bahasa
yang disebabkan oleh faktor bahasa itu sendiri yang menyangkut tata
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


194
bahasanya, sedangkan perubahan secara eksternal merupakan
perubahan yang disebabkan oleh faktor geografis dan migrasi penduduk
dengan bahasanya. Selanjutnya konsep tentang difusi kebudayaan yang
diacu adalah seorang ilmuwan bernama F. Ratzel (1884-1904) dan
sorang muridnya L. Frobenius. Anggapan dasarnya adalah kebudayaan
manusia itu pangkalnya satu di satu tempat tertentu pada waktu manusia
itu muncul. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan
pecah ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh keadaan
lingkungan dan waktu. Proses penyebaran seperti itu menyebabkabkan
akulturasi budaya pendatang dengan budaya lokal yang menyangkut
bahasanya. Gabungan kedua konsep di atas cukup relevan untuk
mengkaji masalah kebahasaan bahasa Bali dan kebudayaannya.
Selanjutnya pendekatan dalam mengkaji masalah di atas berdasarkan
pendekatan deskriptif, artinya pendekatan itu dibahas dengan fakta-
fakta dan realita sebagaimana adanya.

II. MULTIKULTURAL DAN POSMODEREN
2.1. Multikultural
Multikultural merupakan sebuah bentuk kompleks. Pada awalnya
kata ini merupakan kata bahasa Inggris, yakni multicultural. Kata ini
dibentuk dari dua kata yaitu multi aneka dan cultural kebudayaan,
namun kata multicultural ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi multikultural. Selanjutnya, kata tersebut dipadankan dengan
kata-kata bahasa Indonesia asli dengan kata aneka budaya.
Di era globalisasi ini wawasan multikultural banyak sekali
ditampilkan dan dianjurkan dalam berbagai forum atau pertemuan-
pertemuan ilmiah lainnya seperti misalnya; pada Pameran Seni Rupa
Kontemporer Negara-Negara Nonblok dan pada Art Summit Indonesia
1995: Music and Dance. Kalau dicermati lebih jauh mengenai konsep
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


195
multikultural antarnegara di dunia, situasi aneka budaya tidaklah sama.
Ketidaksamaan budaya itu dilandasi oleh ideologi negara yang
berbudaya itu memang terdapat kemajemukan.
Terkait dengan hal tersebut, konsep multikultural ini yang
berkaitan dengan bahasa dapat dipakai sebagai acuan konseptual
terutama berkaitan dengan hal-hal yang sesuai dengan pandangan
terhadap pemberdayaan masyarakat. Masalah pemberdayaan
masyarakat dalam konteks civil society sangat ditekankan karena dalam
masyarakat sipil merupakan wilayah kehidupan sosial yang terletak di
antara negara dan komunitas lokal yang terhimpun kekuatan masyarakat
untuk mempertahankan kebebasan dalam keberanekaragaman serta
kemandirian masyarakat terhadap kekuasaan negara dan pemerintah
(Alam, 1999: 1).
Konsep aneka budaya jika dikaitkan dengan persoalan bahasa,
maka multikulturalisme sebagai suatu konsep menyeluruh dalam suatu
masyarakat yang beradab dengan sendirinya menyangkut pula
persoalan bahasa sebagai salah satu unsur di dalamnya. Multikultural
dipahami sebagai konsep aneka budaya memiliki berbagai pengertian. Di
sisi lain dapat pula dipahami bahwa multikultural itu hanya menekankan
pada ras semata. Oleh karena lebih menekankan ras tersebut, maka
yang diacu sebagai keanekaragaman yang hanya menunjukkan
keharmonisannya saja tanpa memperhatikan masalah bahasa dan
budaya. Dalam kenyataannya masing-masing ras tidak menyatakan
keharmonisannya (termasuk juga di dalamnya kehidupan bahasa)
sehingga sering kali memunculkan konflik-konflik horizontal seperti yang
terlihat juga di Indonesia. Sesungguhnya dalam kebijakan politik bahasa
nasional telah dicantumkan tiga hal pokok, yaitu bahasa Indonesia,
bahasa daerah, dan bahasa asing. Ketiga hal pokok itu hendaknya dapat
berjalan bersama-sama untuk membangun persatuan dan kesatuan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


196
sehingga dapat mempertahankan faham nasionalisme yang didasari oleh
kemajemukan. Selanjutnya bahasa dan budaya merupakan dua konsep
yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan yang dianalogikan seperti
sekeping uang logam salah satu sisinya mengandung nilai masing-
masing. Jelaslah antara budaya dan bahasa sangatlah erat di mana ada
budaya di sana pasti ada masyarakat dengan bahasanya, demikian pula
di mana ada bahasa pastilah di sana ada masyarakat yang mempunyai
budaya-budaya tersendiri.

2.2. Moderenisme dan Posmoderen
Posmoderen merupakan tindak lanjut dari moderenisme. Di
Indonesia modernisasi mulai tampak tahun tiga puluhan yang merupakan
pengaruh modernisme dari Eropa khususnya dari negeri Belanda.
Pelajar-pelajar Indonesia yang kembali dari Belanda banyak terpengaruh
model modernisme Eropa itu. Semangat modernisme itu tampak dalam
pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana dalam wacana kebudayaan
nasional. Menurut beliau kebudayaan nasional Indonesia harus meniru
kebudayaan modern dari barat yang bersifat progresif, individual
(mandiri), dan melepaskan budaya timur yang berbau mistik. Dalam hal
ini Indonesia harus meningkatkan kualitas materialisme, intelektualisme,
egoisme, dan individualisme. Konsep yang dituangkan oleh barat itu
lambat laun akan mempengaruhi pola pikir bangsa timur khususnya
Indonesia, namun di sisi lain hal ini ditolak oleh Armin Pane yang
mengemukan bahwa kemajuan bangsa Indonesia dicapai dengan cara
kembali ke kepribadian timur yang lebih mementingkan kerohanian,
perasaan gotong royong, dan berorientasi pada masa lalu budaya suku
bangsa di derah-daerah bersangkutan. Namun, hal-hal yang berbau
provinsionalisme perlu dihindari. Konsep barat ini telah diterapkan pada
masa pemerintahan orde baru. Pada pemerintahan ini sangat
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


197
terpengaruh nasionalisme yang berkembang di Eropa yang
mengunggulkan arti kesatuan, keseragaman atau homogenitas yang
dapat melahirkan konsep negara bangsa. Hal semacam ini menyebabkan
terjadinya perubahan ke arah pluralisme yang dipengaruhi oleh
posmoderen.
Istilah posmoderen pada mulanya muncul di bidang arsitektur
kemudian menjadi istilah yang cukup popoler di dunia sastra dan budaya
sejak tahun 1950. Di bidang filsafat ilmu dan ilmu sosial istilah ini baru
menggema sekitar tahun 1970 dan 1980-an namun istilah itu belum
secara jelas. Misalnya, di bidang arsitektur istilah posmoderen lebih
menunjuk pad gaya atau corak bentuk bangunan yang mencoba
melepaskan diri dari kaidah-kaidah arsitektur moderen atau gaya
internasional. Indonesia sendiri baru mengalami moderenisasi secara
nyata pada dasawarsa tujuh puluhan. Pada periode ini adalah periode
orde baru. Dari kaca mata barat, kolonialisme itu bukanlah gejala
penjajahan maupun eksploitasi melainkan sebuah proses modernisasi.
Pada masa orde baru kita menerima dan menjalankan modernisasi
(progres, kemajuan, rasionalitas, dan teknologi) tetapi kita juga
mengeluh dan memprotes modernisasi. Dalam hal ini ada keerosian jati
diri sehingga dilaksanakan penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4).sebagai upaya untuk menangkal pengaruh
kebudayaan asing.
Demam posmoderen (pascamoderen) muncul di kalangan
intelektual Indonesia pada tahun 1993 pada saat perayaan ritual bulan
bahasa. Posmoderen menunjukkan kepada kita bahwa apa yang tidak
beres dalam Garis-Garis Besar Haluan tertama yang sangat terkait
dengan kajian ini adalah studi bahasa, sastra, dan budaya di Indonesia
selama ini. Bangkitnya demam posmoderen pantas diterima sebagai
cambuk yang pedas tetapi sekaligus perlu bagi para pencinta ilmu
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


198
bahasa dan sastra. Istilah posmoderen ini menyadarkan kita betapa
mubazirnya format dan wawasan resmi yang mematok acara-acara
bulan bahasa selama beberapa tahun ini. Demam posmoderen di
Indonesia masih pada tarap awal. Para pencinta kajian bahasa dan
sastra Indonesia berpeluang memberikan sumbangan yang lebih serius
dan bersejarah bagi perkembangan masyarakat ini dibandingkan hanya
sekadar tukang bongkar pasang onderdil bahasa (Heryanto, 1996: 94).
Di era posmoderen ini tampaknya hal-hal yang bersifat monoton perlu
diadakan penyegaran sehingga apa yang menjadi kebijakan dalam politik
bahasa nasional dapat terbina dan berkembang sesuai dengan pola yang
telah disepakati pada acara-acara seperti Kongres Bahasa Indonesia
yang telah beberapa kali diadakan oleh lembaga-lembaga terkait. Maka
dari itu hal yang perlu ditekankan adalah sumber daya manusia yang
perlu ditingkatkan untuk mencapai hal-hal yang diinginkan, yaitu bahasa
Indonesia yang dilatari oleh aneka budaya atau multikultural yang
bersifat pluralistik.

3. Bahasa Bali Dalam Akulturasi
Berdasarkan beberapa konsep yang disebutkan di atas maka
konsep multikultural sangat berkaitan dengan bahasa (penggunaan
bahasa). Secara konseptual istilah ini digunakan sebagai pandangan
untuk memberdayakan masyarakat. Bahasa dan budaya merupakan dua
konsep yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan seperti sekeping
uang logam yang mana salah satu sisinya mengandung nilai masing-
masing. Hubungan budaya dengan bahasa sangatlah erat sehingga
keduanya tumbuh dan berkembang secara ekuivalen. Di mana ada
budaya pasti ada masyarakat dengan bahasanya, demikian pula di mana
ada bahasa pastilah ada masyarakat yang memiliki budaya-budaya
tersendiri. Demikian pula dengan bahasa Bali di sana pula ada budaya
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


199
masyarakat Bali yang sekarang telah menyebar ke berbagai pelosok di
Nusantara. Misalnya, bahasa Bali yang ada di Sulawesi, Lampung, dan
lain-lainnya yang masing-masing membawa budaya tersendiri.
Konsep aneka budaya dan aneka bahasa yang dikaitkan dengan
situasi kebahasaan bahasa Bali merupakan suatu konsep yang
menyeluruh dalam masyarakat yang beradab yang menyangkut
persoalan bahasa sebagai salah satu unsur di dalamnya. Bahasa dan
budaya Bali telah tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
zaman dari struktural, posstruktural, moderen, dan posmoderen.
Tahapan-tahapan perkembangan seperti itu sangat berpengaruh
terhadap perkembangan budaya Bali yang menyebabkan situasi
terhadap bahasa Bali semakin mengalami perubahan. Perubahan
terhadap budaya dan bahasa Bali akan dideskripsikan melalui
penggunaan bahasa Bali dalam ranah keluarga berikut ini.
Pengguna-pengguna bahasa yang dilatari oleh multukultural dan
multilingual sudah tentunya akan terjadi kontak di antara budaya-budaya
yang ada sekaligus terjadi kontak antara bahasa-bahasa daerah yang
satu dengan bahasa daerah lainnya. Terjadinya kontak bahasa dengan
kadar yang cukup banyak seringkali menyebabkan terjadinya
pergeseran penggunaan bahasa sehingga lama kelamaan terjadi
penyusupan bahasa dan akhirnya situasi kebahasaan pun akan menjadi
lain dari sebelumnya dan menyebabkan terjadinya pemakaian campur
kode dan alih kode (istilah sosiolinguistik). Hal-hal seperti ini lambat laun
akan menyebabkan terjadinya perubahan bahasa. Contohnya dapat
diamati seperti yang terjadi dalam ranah keluarga yang memiliki bahasa
ibu yang sama seperti berikut ini.
Sepasang suami istri yang baru menikah. Sejak berpacaran
senantiasa menggunakan bahasa daerah (bahasa Bali). Namun, setelah
mereka dikaruniai anak mereka mengasuh anak-anaknya dengan bahasa
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


200
Indonesia. Bukan saja dalam mengasuh anak-anaknya berbahasa,
mereka dalam memakai bahasa Bali pun telah bergeser. Hal seperti ini
tampak dalam kata sapaan untuk suami istri tersebut menjadi sebutan
mama dan papa, ada juga menggunakan sebutan ded (dady) dan mam
(mother) bagi mereka yang multilingual. Hal-hal semacam ini banyak
tampak dalam kehidupan keluarga yang bersifat heterogen yang
berdampingan dengan banyak bahasa di sekitarnya. Perubahan seperti
itu banyak dijumpai di daerah perkotaan. Hal penting yang menyebabkan
perubahan itu adalah faktor pendidikan yang lebih tinggi dengan tujuan
mengejar kemajuan yang lebih baik.
Di sisi lain dijumpai pada ranah keluarga yang kawin campur
antarsuku. Dalam keluarga yang dilandasi oleh kawin campur umumnya
mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Contohnya: sepasang
suami istri (suku Bali-suku Jawa). Si suami adalah orang Bali atau
pengguna bahasa ibu bahasa Bali tetapi pernah tinggal di Jawa
sedangkan istrinya orang Jawa. Pasangan ini telah menikah lebih dari
dua puluh tahun dan dikaruniai anak-anaknya. Penulis mengamati dalam
keseharian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa pasangan ini telah tinggal di Bali. Apa yang
menyebabkan situasi kebahasaan dalam keluarga ini demikian?. Apakah
bahasa Bali sulit dipahami?. Atau ada hal-hal yang sangat subjektif
mempengaruhinya?. Kalau masalah itu dicermati sangatlah aneh berada
dalam lingkungan etnis Bali tidak bisa menggunakan bahasa Bali.
Namun, tidak semua pasangan kawin campur seperti itu, banyak juga
pasangan kawin campur menggunakan bahasa Bali secara baik bahkan
menjadi lebih fasih berkomunikasi dengan bahasa Bali sehingga tidak
tampak yang melatari aslinya. Jika hal ini bisa terjadi barangkali sendi
dasar dalam penggunaan sebuah bahasa khususnya bahasa Bali
berpulang kepada masing-masing individu pengguna bahasa.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


201
Berdasrkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kawin campur sangat
mempengaruhi situasi kebahasaan bahasa Bali yang tidak bisa lepas
dari budayanya masing-masing.
Di samping terjadi pergeseran terhadap bahasa Bali, lambat laun
terlihat juga adanya pergeseran budaya. Budaya tradisional semakin
berubah didesak oleh budaya moderen. Hal-hal semacam ini dapat
dijumpai dalam beberapa budaya Bali yang telah terakulturasi. Di era
global ini budaya-budaya tradisional semakin tidak dikenali oleh anak-
anak dan remaja bagi mereka yang lahir di era delapan puluhan ke atas.
Beberapa budaya itu dapat ditunjukkan dengan struktur leksikal bahasa
Bali seperti berikut ini.
Sebutan budaya nebuk menumbuk padi. Sekarang ini muda-
mudi tidak pernah melihat orang nebuk. Hal ini disebabkan oleh adanya
peralatan yang sangat moderen bahkan mengarah pada posmoderen
sehingga budaya nebuk ini semakin ditinggalkan dan beralih pada
peralatan yang lebih canggih yaitu mesin penggilingan. Demikian pula
budaya makan dengan menggunakan tangan. Di era global ini
kebanyakan orang-orang telah beralih dengan menggunakan sendok,
bahkan ada beberapa orang telah menggunakan alat-alat lain seperti
sumpit ataupun pisau dengan meniru gaya atau pola luar negeri seperti
negara-negara barat, Cina, Jepang, dan lain-lain. Budaya ngidu
mendekatkan diri ke api/bara api. Di daerah-daerah yang heterogen
dengan aneka budaya dan aneka bahasa, budaya seperti itu tidak
ditemukan lagi. Peralatan dapur yang tradisional sudah ditinggalkan
kemudian mengarah pada peralatan dapur yang semakin moderen. Di
kota-kota tidak lagi ada tungku, yang ada hanya seperangkat peralatan
elektronik seperti kompor gas bahkan kompor listrik atau rice cooker
beserta majic jarnya. Secara pragmatik budaya ngidu tidak dikenali lagi
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


202
oleh remaja sekarang atau mungkin hanya mengenali leksikalnya tetapi
mereka tidak pernah sebagai pelakunya.
Hal lain yang dapat diungkapkan di sini adalah ngayah bekerja
tampa pamrih biasanya dilakukan secara bersama-sama atau gotong
royong. Gotong royong merupakan sebuah tatanan nilai dan menjadi
salah satu ciri khas budaya bangsa yang konon memiliki kelebihan-
kelebihan dengan sistem bekerja bersama-sama. Dalam gotong royong
bisa didapati nuansa kekeluargaan dan persaudaraan yang senasib
sepenanggungan, ada nilai tanpa pamrih, rasa saling membantu, dan
sangat ideal bagi suatu kelompok masyarakat yang sifatnya komunal.
Seiring dengan perubahan zaman yang serba canggih dan instan,
barangkali dapat ditanyakan sampai sejauh manakah nilai-nilai yang
ideal tersebut diapresiasi oleh masyarakat?. Di zaman sekarang masih
adakah orang yang betutl-betul bekerja tanpa pamrih?. Senyatanyalah
didapati di masyarakat sekarang bahwa pragmatisme dalam kehidupan
tampak orang-orang sudah menghargai waktu untuk kepentingan
pribadinya, egoistis, acuh tak acuh, dan sejenisnya sehingga pekerjaan
yang pengerjaannya sifatnya masal sekarang lebih banyak diongkoskan.
Contoh lain yang dapat diungkapka yaitu pada saat membangun.
Dahulu ketika masyarakat ingin membangun sebuah bale banjar, tiap-
tiap anggota banjar kena iuran material seperti batu atau bata masing-
masing seratus biji misalnya, lalu pada hari tertentu anggota banjar
tersebut mendapat giliran bekerja berkelompok. Demikian seterusnya
sampai bangunan tersebut selesai. Sekarang hal itu sangat jarang,
mereka cenderung menggunakan jasa pemborong untuk menyelesaikan
masalah seperti itu bahkan untuk pemeliharaannya sudah menggunakan
jasa tukang sapu. Tidak itu saja, pada saat akan dilakukan upacara di
pura atau rumah-rumah warga biasanya banten sesajen dikerjakan
secara bergotongroyong, namun kenyataannya banyak didapati mereka
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


203
mengambil dengan cara lain, yakni dengan cara membeli sehingga pada
hari Hnya mereka hanya cukup datang saja. Penggunaan leksikal-
leksikal seperti di atas dari hari ke hari semakin berkurang akhirnya
tidak dikenali lagi. Artinya perilaku terhadap budaya itu berubah
sehingga penggunaan bahasanya pun berubah.

4. PEMBAHASAN
Berdasarkan bebrapa deskripsi di atas, rupanya sangat mengena
apa yang diungkapkan oleh Haugen, dkk.,(1981) bahwa ekologi bahasa
dengan konsep multikultural atau aneka budaya harus dimaknai sebagai
suatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras
saja melainkan juga berhadapan dengan budaya sehingga bahasa dan
budaya berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan zaman.
Keragaman dalam pertumbuhan yang beraneka ragam merupakan
angan-angan dari semua masyarakat yang selalu hidup berdampingan
secara selaras dan saling menguntungkan.
Terjadinya perubahan situasi dalam penggunaan bahasa Bali
seperti yang diuraikan di atas nampaknya disebabkan oleh adanya
keanekaan bahasa atau kedwibahasaan. Salah satu faktor yang
mengkondisikan keadaan seperti itu adalah tidak adanya loyalitas
masyarakt etnis Bali sebagai pilar utama pewaris kebudayaan Bali tidak
mampu berkompetisi dengan ekologinya sehingga kurang mampu
mempertahankan bahasa Bali sebagai identitas diri dan jati diri bagi
masyarakat Bali. Hal ini menyebabkan adanya kebocoran
kedwibahasaan (Bagus dan Aron, 1996). Pengalihan seperti itu tidak saja
terjadi di Bali bahkan telah terjadi terhadap bahasa lain di Nusantara.
Apakah bahasa Bali akan punah seperti yang telah dikumandangkan oleh
pakar-pakar dalam Kongres Bahasa Bali 1996?. Hal seperti itu bukan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


204
menjadi tanggung jawab sepihak melainkan harus menjadi tanggung
jawab bersama sebagi etnis Bali.

5. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
bahasa Bali telah mulai bergeser. Hal ini tampak dalam perilaku budaya
yang dapat diwujudkan dalam leksikal verbal. Peristiwa itu terjadi pada
masyarakat yang dilandasi multikultural sehingga masyarakat itu
minimal berdwibahasa.
Hal yang perlu disarankan bahasa Bali yang memiliki fungsi dan
kedudukan penting bagi etnis Bali dan bahasa Indonesia di satu sisi
sebagai bahasa Nusantara hendaknya dapat hidup berdampingan
secara harmonis sehingga bahasa dan budaya Bali perlu diberi ruang
gerak yang bebas sesuai dengan hak kebudayaannya secara utuh untuk
mengembangkan pemikiran-pemikiran tanpa mengesampingkan ciri-ciri
universal Indonesia yang multikultural, multietnis, dan sekaligus
multilingual.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Taufik. 1999. Nasionalisme Indonesia. Dalam Sejarah,
Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi. Edisi 8. Jakarta: MSI
Bekerja sama dengan Arsip Nasional RI.
Abdulah, Taufik, 2000. Beberapa Gagasan ke Arah Perumusan Kembali
Politik Bahasa dalam Bahasa Indonesia Dalam Era Globalisasi:
Pemantapan Peran Bahasa Sebagai Sarana Pembangunan
Bangsa. Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Penyunting
Hasan Alwi dkk. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Alam, Bachtiar. 1999. Civil Society dan Wacan Kebudayaan. Jakarta:
Harian Kompas. Hari Selasa, tanggal 1 Juni 1999.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


205
Alwi, Hasan. 1998.Bahasa Sebagai Jati Diri Bangsa dalam Kongres
Bahasa Bali IV. Penyunting I Made Purwa dkk. Denpasar. Balai
Penelitian Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagus, I Gusti Ngurah, I Wayan Bawa, Aron Meko Mbete, dan Ni Luh
Sutjiati Beratha. 1999. Kedwibahasaan Masyarakat Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian
Proyek URGE Batch I. Denpasar. Program Pascasarjana,
Program Studi Magister Linguistik Universitas Udayana.
Haugen, Eniar dkk. 1981. Minority Language To Day. Adinburgh.
University Press.
Heryanto, Ariel. 1996. Bahasa dan Kuasa Tatapan Posmoderenisme
dalam Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung
Orde Baru. Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed.). Bandung:
Mizan Pustaka.
Labov, William. 1994. Priciples of Linguistic Change. Volume 1: Internal
Factor. Cambridge: Blackwell.
Purwo, Bambang Kaswanti. 2000. Bangkitnya Dunia Linguistik dan
Pendidikan. Orasi Ilmiah Pengukuhan guru Besar Linguistik
Universitas Atma Jaya. Jakarta: Mega Media Abadi.
Sedyawati, Edi. 1997. Kebudayaan dan Pembangunan dalam Masalah
Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Disunting oleh I
Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Program Studi Magister (S2)
Kajian Budaya Universitas Udayana.
Tim Peneliti LIPI. 2001. Bara dalam Sekam. Identifikasi Akar Masalah dan
Solusi Atas Konflik-konflik Lokal, Aceh, Maluku, Papua, dan
Riau. Bandung: Mizan.













Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


206
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN METODE
OBSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS WACANA
DESKRIPSI OLEH SISWA KELAS X.3 SMA NEGERI 8 DENPASAR TAHUN
PELAJARAN 2012/2013

Oleh :
DEWA AYU WIDIASRI

ABSTRACT
Writing is an active and productive language skill. Nevertheless,
writing a descriptive composition is not an easy thing for the students.
Referring to the problem elaborated in the background of the study, one
of the solutions is by appying Observation Method of Contextual
Approach during the teaching-learning process. The problem of the
study, then, was whether the use of The observation method of
contextual approach really could improve the X.3 students of SMA
NEGERI 8 DENPASAR in the academic year of 2012/2013s ability in
writing descriptive composition? It had been expected that the use of
observation method of contextual approach could improve the students
achievement and ability in writing descriptive composition.
The theoretical background of the study was (1) the theory of
contextual learning and (2) the theory of descriptive writing. The
methods applied in this study were: (1) the research setting, (2) the
subject of the study, (3) the action procedure, (4) data collection method
and (5) data processing method.
The raw data which was the test result of Cycle I and II was
processed into standard scores using descriptive statistics served in the
form of tables. Using the data procession method , the average score in
cycle I was calculated to be 54.02% which belonged to the Less Good
category, while the data in cycle II showed an improvement in the
average score of 82.27% and, thus, belonged to the Good Category. The
students mastery learning in cycle I was only 27.27 and improved
significantly into 84.09% in the cycle II.
Based on the data procession result, this study can be considered
a success since the implementation of observation method of contextual
approach was able to improve the students ability in writing descriptive
composition. Therefore, the conclusion to be drawn from the study is
that the implementation of obeservation method of contextual approach
improved students ability in writing descriptive composition of the x.3
students of sma negeri 8 denpasar in the academic year of 2012/2013.

Keywords: Observation method of contextual approach, descriptive
composition
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


207
1. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran bahasa merupakan alat untuk belajar
berkomunikasi, mengingat bahasa merupakan sarana komunikasi dalam
masyarakat. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik, maka seseorang
perlu belajar cara berbahasa yang baik dan benar. Pembelajaran
tersebut akan lebih baik apabila dipelajari sejak usia dini dan secara
berkesinambungan. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa disertakan
dalam kurikulum. Hal ini berarti bahwa, setiap peserta didik dituntut agar
mampu menguasai bahasa yang mereka pelajari terutama dalam
penggunaan bahasa resmi yang dipakai oleh warga negara khususnya
bagi peserta didik. Bahasa Indonesia menjadi materi pembelajaran yang
wajib diberikan di setiap jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar
hingga di perguruan tinggi. Hal ini dilakukan agar peserta didik mampu
menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar serta mampu
menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan
berbahasa yang mendasar (berbicara, mendengar, menulis, dan
membaca). Dewasa ini, keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan
literasi (literacy skill) sudah menjadi keterampilan berbahasa lanjutan
(advanced linguistic skill) (Zainurrahman 2011: 2)
Selama ini pembelajaran menulis wacana deskripsi dilakukan
secara umum. Dalam hal ini siswa diberi sebuah teori tentang menulis
deskripsi, kemudian siswa melihat contoh, dan akhirnya siswa
ditugaskan untuk menulis wacana deskripsi secara langsung.
Fenomena yang terjadi saat ini dalam pembelajaran menulis di
sekolah, khususnya di SMA Negeri 8 Denpasar, berdasarkan hasil survei
yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa rendahnya hasil
pembelajaran menulis siswa kelas X.3. Hal ini dapat dilihat dari hasil
evaluasi (free test) dari menulis wacana pada kelas tersebut, di mana
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


208
dari 49 orang siswa hanya 10 orang siswa yang berhasil mencapai
ketuntasan belajar yaitu dengan nilai 75 ke atas, padahal SKBM dari
menulis wacana adalah 75. Ini berarti ketuntasan klasikal baru tercapai
sebesar 20% atau dengan kata lain secara klasikal belum tercapai.
Selain itu, peneliti beranggapan bahwa metode pengajaran dan
pembelajaran yang digunakan oleh guru cenderung menggunakan
metode ceramah dan kegiatan tanya jawab yang tidak berpengaruh pada
perubahan hasil pembelajaran siswa dalam menulis. Masalah lain yang
muncul, adalah siswa akan beranggapan negatif terhadap materi
menulis, karena metode yang digunakan terkesan membosankan serta
membingungkan.
Melihat kondisi demikian, maka permasalahan tersebut haruslah
dapat diminimalisasikan. Akhirnya peneliti bersama guru bidang studi
Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar berusaha memberikan
solusi alternatif dalam pembelajaran menulis agar segala permasalahan
serta kendala yang terdapat pada siswa maupun guru dapat diatasi
melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi dalam
pembelajaran.
Pendekatan kontekstual dengan metode observasi merupakan
pembelajaran konseptual untuk membantu guru dalam penulisan wacana
deskripsi karena adanya masalah yang dialami siswa kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013.
Bertitik tolak pada permasalahan- permasalahan di atas, maka
peneliti memandang perlu untuk mengangkat topik ini menjadi sebuah
penelitian dengan judul: Pendekatan Kontekstual dengan Metode
Observasi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi
oleh Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran
2012/2013. Penerapan strategi pembelajaran ini diharapkan mampu
memberikan tanggapan atas permasalahan yang diberikan oleh
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


209
pendidik. Apabila siswa mampu menjadi pelajar yang mandiri diharapkan
pula mampu menjadi pelajar yang mandiri serta mampu menciptakan
suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.

2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap suatu kegiatan tentulah mempunyai tujuan tertentu yang
ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus
seperti berikut.
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam menulis wacana.
b. Tujuan Khusus
Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan
khusus. Adapun tujuan khusus penelitian tindakan kelas ini adalah
sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui kemampuan siswa kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 dalam menulis wacana
deskripsi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
2) Untuk dapat mengetahui respon terhadap pendekatan
kontekstual dengan metode observasi dalam menulis wacana
deskripsi siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2012/2013.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian tindakan
kelas ini dapat dibagi menjadi empat, yaitu bagi siswa, guru, sekolah,
dan pengembangan kurikulum.


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


210
1. Manfaat bagi siswa
Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis pada
umumnya, menulis wacana deskripsi pada khususnya, serta
meningkatkan kreativitas dan keberanian siswa dalam berpikir.
2. Manfaat bagi guru
Untuk memperkaya khasanah/ wawasan metode dan strategi dalam
pembelajaran menulis, dapat memperbaiki metode yang tepat dalam
mengajar, dan dapat mengembangkan keterampilan guru Bahasa
Indonesia khususnya dalam menerapkan pembelajaran menulis
wacana deskripsi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
3. Manfaat bagi sekolah
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka memajukan dan
meningkatkan prestasi sekolah yang dapat disampaikan dalam
pembinaan guru bahwa alam pembelajaran menulis wacana
deskripsi dapat menggunakan pendekatan kontekstual dengan
metode observasi.
4. Manfaat bagi pengembangan kurikulum. Dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam rangka memajukan dan meningkatkan prestasi
belajar siswa dan kemajuan bidang pendidikan serta dapat
disampaikan dalam pembinaan guru Bahasa Indonesia, dan dapat
dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kurikulum berikutnya.

3. Metode Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 8
Denpasar, khususnya di kelas X.3 karena permasalahan yang muncul di
dalam kaitannya dengan pembelajaran menulis wacana deskripsi. Dalam
hal ini, peneliti berkolaborasi dengan guru bidang studi Bahasa
Indonesia, di mana peneliti berperan sebagai perencana, pengamat,
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


211
pelaksana pengumpulan data, penganalisis data, pelapor hasil
penelitian, dan selalu berada di lapangan selama proses penelitian
berlangsung.
Dalam penelitian ini akan direncanakan beberapa siklus yang
dilaksanakan selama satu kali pertemuan (2X45 Menit). Apabila dalam
siklus pertama belum mencapai hasil yang maksimal maka akan
dilanjutkan dengan siklus II yang dilaksanakan pada minggu berikutnya,
dan telah mendapat persetujuan dari kepala sekolah dan guru bidang
studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar pada semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013 yang
berjumlah 44 orang siswa. Sedangkan yang menjadi objek penelitian
tindakan kelas ini adalah pembelajaran menulis wacana deskripsi
melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:
1. Melakukan observasi awal tentang pembelajaran tentang menulis
wacana deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
2. Mengidentifikasi masalah mengenai pembelajaran menulis wacana
deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
3. Menganalisis masalah secara mendalam dengan mengacu pada
teori- teori yang relevan.
4. Menyusun bentuk tindakan yang sesuai untuk mengatasi
permasalahan yang ditemukan dengan memanfaatkan pendekatan
kontekstual dengan metode observasi pada siklus pertama.
5. Menyusun jadwal penelitian dan rancangan pelaksanaan tindakan.
6. Menyusun lembar observasi dan lembar evaluasi kerja siswa yang
berupa rubrik penilaian kerja siswa berupa tulisan deskripsi.


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


212
Pada tahap ini, peneliti dan guru menyusun:
1. Perangkat pembelajaran berupa penentuan kompetensi dasar yang
akan dicapai.
2. Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang isinya sebagai
berikut.
a. Guru membuka pelajaran.
b. Guru memberikan materi tentang menulis wacana deskripsi.
c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya
tentang materi yang disampaikan.
d. Guru bersama dengan siswa melakukan observasi pada tempat
yang telah ditentukan.
e. Guru membagikan lembar kerja dan menugaskan siswa untuk
menulis wacana deskripsi berdasarkan pendekatan kontekstual
dengan metode observasi.
Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini
adalah meningkatnya kemampuan menulis wacana deskripsi pada siswa
kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar melalui pengoptimalan pemanfaatan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi. Setiap tindakan
menunjukkan peningkatan indikator tersebut dirancang dalam satu
siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu 1) perencanaan
tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi dan evaluasi, dan 4)
analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. Tahap ini
dilakukan dengan melaksanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) yang telah direncanakan. Pada siklus I, direncanakan satu kali
pertemuan dengan alokasi waktu 2 X 45 menit.




Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


213
Gambar 01 Desain Penelitian Tindakan
















Adapun langkah- langkah yang ditempuh dalam pengumpulan
data dengan metode tes adalah: 1) menyusun tes, 2) menyusun format
penyekoran tes, dan 3) melaksanakan tes. Untuk lebih jelasnya,
pembahasan terhadap ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada bagian
berikut ini.
1. Menyusun Tes
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini
adalah tes, instrumen penelitian harus disusun dengan teliti agar
hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu bentuk tes yang
digunakan dalam penelitiannya ini adalah tes tulis, yaitu dengan cara
menyuruh siswa membuat wacana deskripsi berdasarkan hasil
observasi.

Observasi


Refleksi

Perencana
an

Tindakan

Observasi

Refleksi

Perencana
an

Tindakan
Siklus I Siklus II
N Siklus
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


214
2. Menetapkan Skor
Setelah lembar jawaban siswa dikumpul, langkah selanjutnya
adalah menetapkan skor. Aspek yang dinilai dalam penetapan skor yaitu:
1) struktur wacana deskripsi, 2) hubungan antar kalimat, 3) pemakaian
kalimat efektif, 4) pilihan kata, dan 5) pemakaian ejaan
Tes dilaksanakan setiap akhir siklus di mana siswa diberikan
tugas untuk menulis sebuah wacana deskripsi. Tes dikerjakan ketika jam
pelajaran Bahasa Indonesia, serta pelaksanaan tes dilakukan dan
diawasi oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia dan peneliti.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis kritis. Teknik tersebut mencakup kegiatan yang mengungkapkan
kelebihan dan kekurangan kerja siswa dan guru dalam proses belajar
mengajar yang terjadi di kelas selama penelitian berlangsung. Hasil
analisis digunakan untuk menyusun rencana tindakan kelas berikutnya
sesuai dengan siklus yang ada. Analisis dilakukan oleh guru dan peneliti
secara bersama- sama.
Data yang diperoleh dari penelitian ini masih merupakan skor
mentah atas jawaban siswa terhadap tes yang dikerjakan oleh siswa
sebagai subjek penelitian sehingga data tersebut perlu diolah dengan
langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi
skor standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) kreteria ketuntasan
minimal, (4) mencari skor rata- rata, (5) skor maksimal ideal, dan (6)
menarik kesimpulan.
Data respon siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual
dikumpulkan melalui angket dengan cara menyebarkan angket kepada
siswa pada akhir siklus. Jumlah item dalam angket sebanyak 10 item
yang penyekorannya menggunakan skala likert 5. Angket yang
digunakan terdiri atas 5 alternatif jawaban yaitu: SS untuk pilihan sangat
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


215
setuju, S untuk pilihan setuju, KS untuk pilihan kurang setuju, TS untuk
pilihan tidak setuju, dan STS untuk pilihan sangat tidak setuju.
Data hasil wawancara dan penyebaran angket yang digunakan
untuk mengetahui respon siswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
Data mengenai respon siswa dianalisis untuk memperoleh gambaran
tentang respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Skor Maksimal Ideal (SMI) respon siswa adalah 50 dan skor minimum
idealnya adalah 10. Nilai tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai
indikator respon siswa dengan 5 alternatif jawaban respon siswa.
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil pembelajaran menulis siswa, ditandai dengan keaktifan siswa
dalam mengikuti pembelajaran menulis, serta meningkatnya
kemampuan siswa dalam menghasilkan kosa kata yang bervariasi
dalam tulisan, mampu menggorganisasikan gagasan dengan baik,
munculnya kreatifitas dan imajinasi siswa dalam menyusun kalimat-
kalimat menjadi sebuah tulisan yang baik, dan ada kesesuaian antara
isi tulisan dengan objek yang diamati.
2. Ketuntasan hasil belajar ditandai dengan hasil pekerjaan siswa yang
telah mencapai angka 75% ke atas dari jumlah KKM yang telah
ditentukan.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil observasi awal menunjukkan rendahnya minat siswa ketika
mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas. Di samping itu siswa
cenderung pasif selama proses pembelajaran. Tidak semua siswa yang
aktif mengeluarkan pendapat dengan sukarela selama proses
pembelajaran. Walaupun sudah ditunjuk pun terkadang siswa masih
ragu dalam mengeluarkan pendapat. Siswa tidak memiliki kemauan
untuk bekerjasama, berkreativitas untuk membahas materi
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


216
pembelajaran dan hanya menunggu penjelasan dari guru sehingga
pembelajaran terlihat monoton dan tidak efektif. Namun, dalam
menyimak penjelasan guru siswa cukup serius. Begitu pula dengan
semangat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran masih sangat
cukup. Hal inilah yang menjadi usaha awal bagi peneliti untuk
menyampaikan materi pembelajaran dan sekaligus menjadi data awal
bagi peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sesuai dengan
rancangan prosedur penelitian yang sudah ditentukan. Prosedur
penelitian tindakan ini terbagi dalam dua siklus seperti yang akan
diuraikan di bawah ini.
Siklus I
Adapun langkah- langkah yang dilaksanakan pada siklus I ini
akan diuraikan sebagai berikut.
Perencanaan Tindakan
Kegiatan pada tahap perencanaan yaitu membuat Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan Standar Kompetensi
Dasar (lampiran 01).
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan siklus I dilaksanakan di ruang kelas X.3
SMA Negeri 8 Denpasar pada tanggal 17-18 Oktober 2012 selama 2 jam
pelajaran (2X45 Menit).
Berdasarkan data dari hasil siklus I, dapat disimpulkan sebagai
berikut. Dari 44 orang siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar yang
mengikuti pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi 12 orang yang mendapat nilai baik (B), dengan persentase
27,27% dan 32 orang yang mendapat nilai kurang (D), dengan
persentase 72,73%. Rata- rata nilai siswa baru mencapai 54,02. Dengan
demikian dapat dikatakan tingkat ketuntasan belajar baru dicapai
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


217
sebanyak 12 orang dengan persentase 27,27%, sedangkan sebanyak 32
orang siswa atau 72,73% belum tuntas
Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I diadakan pengamatan
yang dilaksanakan guru pendamping untuk mengetahui respon siswa
terhadap tindakan yang diberikan. Sesuai metode pembelajaran yang
digunakan oleh guru dan berdasarkan pengamatan peneliti, tampaknya
siswa mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal ini dilihat dari
suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. Namun, respon
siswa terhadap metode yang yang digunakan oleh guru masih rendah.
Hal ini terlihat dari hasil pengamatan peneliti melalui lembar observasi
yang menunjukkan skor 23,11 yang dikategorikan Rendah.
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh maka, terlihatlah
kemampuan siswa dalam menulis wacana deskripsi yang dapat
dikategorikan kurang dan masih berada di bawah KKM (Kriteria
Ketuntasan Minimal). Sedangkan proses pembelajaran menulis wacana
melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi pada siklus I
masih dikategorikan rendah karena siswa masih belum mampu
melaksanakan tahap- tahap pelaksanaan pembelajaran kontekstual
dengan baik.
Adapun kelemahan- kelemahan yang masih ditemukan pada
pelaksanaan siklus I adalah sebagi berikut.
a. Dalam evaluasi, siswa masih belum terampil dalam menulis wacana
deskripsi.
b. Sebagian siswa masih belum memahami pendekatan kontekstual
dengan metode observasi yang diterapkan oleh peneliti.
c. Siswa masih kurang percaya diri dalam menuangkan gagasan dan
menyampaikan pendapat.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


218
d. Suasana pembelajaran yang mengarah pada pendekatan kontekstual
dengan metode observasi masih belum tercipta dengan baik karena
siswa masih terbiasa belajar melalui metode ceramah.
Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I juga diperoleh
beberapa keberhasilan, diantaranya sebagai berikut.
a. Kreativitas siswa selama mengikuti pembelajaran meningkat
walaupun tidak signifikan.
b. Semangat belajar siswa bertambah karena belajar dengan metode
pembelajaran baru. Pendekatan kontekstual dengan metode
observasi ini mengajak siswa untuk selalu belajar dari hasil
pengamatan sehari-hari mereka.
Untuk memperbaiki kelemahan- kelemahan yang masih ditemui
selama siklus I dan mempertahankan serta meningkatkan keberhasilan
yang sudah diperoleh, maka peneliti merumuskan perbaikan tindakan
yang akan dilaksanakan pada siklus selanjutnya, diantaranya sebagai
berikut.
a. Selama pembelajaran berlangsung, peneliti memberikan motivasi
serta penguatan positif sehingga akan mampu menambah rasa
percaya diri siswa.
b. Bimbingan dengan memberi contoh yang relevan ditingkatkan
sehingga siswa lebih memahami materi pembelajaran yang
diberikan.
c. Guru dan peneliti membantu serta mengarahkan siswa dalam
memahami materi, serta melaksanakan langkah- langkah
pembelajaran yang diberikan.
Perencanaan tindakan siklus II dilakukan terlebih dahulu dengan
melihat kelemahan- kelemahan yang ditemui pada siklus I. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian tindakan pada siklus II merupakan
upaya perbaikan dari siklus I. Dilihat dari pelaksanaan siklus I, maka
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


219
upaya perbaikan yang dilaksanakan pada siklus II adalah sebagai
berikut.
a. Guru dan peneliti memberikan lebih banyak motivasi serta penguatan
positif sehingga mampu menambah rasa percaya diri siswa.
b. Lebih intensif untuk membimbing siswa dalam melaksanakan
pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan
Standar Kompetensi yang dikembangkan dengan melihat hasil
refleksi dari siklus I.
Pelaksanaan tindakan pada siklus II ini dilaksanakan di ruang
kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar pada tanggal 24-25 Oktober 2012,
selama 2 jam pelajaran (2 X 45 Menit) setelah memperoleh hasil dari
penelitian pada siklus I.
Selama pembelajaran pada siklus II juga dilakukan pengamatan
yang dilakukan oleh guru pendamping. Pengamatan ini bertujuan untuk
mengetahui respon siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual
dengan metode observasi. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui
keberhasilan pelaksanaan perbaikan terhadap hambatan- hambatan
yang ditemui pada siklus sebelumnya. Berikut akan disajikan hasil
observasi melalui angket yang sudah disebarkan kepada siswa kelas X.3
SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013.
Adapun keberhasilan- keberhasilan yang diperoleh pada siklus II
ini antara lain sebagai berikut.
a. Setelah penerapan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi dilaksanakan secara efektif, kemampuan siswa dalam
menulis wacana deskripsi meningkat dari siklus sebelumnya.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


220
b. Dengan pemberian motivasi pada penerapan pendekatan
kontekstual, mampu meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam
menuangkan gagasan mereka ke dalam sebuah wacana deskripsi.
Selain memperoleh keberhasilan, masih ditemui juga beberapa
kelemahan dimana masih ada 7 orang siswa yang belum tuntas belajar.
Namun hal ini tidak begitu berpengaruh karena persentasenya hanya
15,90%. Dengan semakin terbiasanya siswa belajar menulis wacana
deskripsi dengan pendekatan kontekstual, maka ketuntasan belajar
siswa dapat mencapai hasil yang maksimal.
Berdasarkan analisis data menunjukan bahwa penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi mampu
meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi siswa. Hal ini
terlihat dari rata- rata kelas sebesar 54,02 pada siklus I yang kemudian
meningkat menjadi 82,45 pada siklus II.
Peningkatan ini tidak hanya pada rata- rata kelas saja tetapi,
secara individual juga mengalami peningkatan dimana pada siklus I
terdapat 12 orang siswa memperoleh nilai baik (B), dengan persentase
27,27% dan 32 orang siswa yang mendapat nilai kurang (D), dengan
persentase 73, 73%. Sedangkan pada siklus II terdapat 6 orang siswa
yang memperoleh nilai amat baik (A), dengan persentase 13,64%,
31 orang siswa yang memperoleh nilai baik (B), dengan persentase
70,45%, 4 orang memperoleh nilai cukup (C), dengan persentase 9, 09%,
dan 3 orang siswa yang memperoleh nilai kurang (D), dengan persentase
6,82%. Berikut akan disajikan tabel perbandingan nilai siswa dalam
menulis wacana deskripsi melalui penerapan pendekatan kontekstual
dengan metode observasi.
Berdasarkan hasil analisis data yang sudah disajikan, maka
hipotesis penelitian yang diajukan terbukti, bahwa penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi secara efektif mampu
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


221
meningkatkan kemmpuan menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar tahun Pelajaran 2012/2013. Selain meningkatkan
kemampuan siswa, pendekatan kontekstual dengan metode observasi
juga mendapatkan respon yang positif, sehingga dalam proses
pembelajaran ini dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas, dan rasa
percaya diri siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

5. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 tentang penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi untuk meningkatkan
kemampuan menulis wacana deskripsi, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut.
1. Penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi
dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 dalam menulis wacana
deskripsi. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata- rata pada
perbandingan siklus I dengan siklus II yang mengalami peningkatan
nilai dari 54,02 menjadi 82,45.
2. Respon siswa terhadap pendekatan kontekstual dengan metode
observasi yang diterapkan oleh guru bidang studi dalam menulis
wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
mengalami peningkatan skor rata- rata dari 23,11 yang berkategori
Rendah menjadi 44,34 yang berkategori Sangat Tinggi.
Meningkatkan mutu pengajaran Bahasa Indonesia, khususnya
pengajaran keterampilan menulis wacana di Sekolah Menengah Atas
(SMA) tidak terlepas dari kerjasama antara guru bidang studi dan siswa
di sekolah tersebut. Berikut adalah saran- saran yang perlu penulis
sampaikan.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


222
1. Siswa yang telah dinyatakan berhasil memperoleh nilai di atas KKM
disarankan agar mempertahankan, bahkan meningkatkan lagi
penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi dalam
menulis wacana deskripsi.
2. Guru bidang studi hendaknya selalu bersikaf kreatif dan inovatif
dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan
mampu untuk mengajak siswa untuk terus belajar.
3. Supaya pembelajaran lebih menarik bagi siswa, maka guru
hendaknya selalu memilih dan menerapkan metode, serta media
pembelajaran yang sesuai dengan situasi ketika kegiatan
pembelajaran berlangsung.
4. Kepada seluruh pihak pemerintah yang menangani masalah
pendidikan, hendaknya lebih banyak menyiapkan program- program
untuk memotivasi para guru untuk meningkatkan kreatifitas dalam
upaya mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Pemerintah juga
diharapkan memberikan buku- buku penujang dan sarana belajar
yang memadai untuk sekolah, sehingga tujuan pembinaan,
pelestarian, dan pengembangan keterampilan berbahasa dapat
terwujud.
5. Setelah diperolehnya hasil penelitian bahwa penerapan pendekatan
kontekstual dengan metode observasi dapat memberikan hasil yang
lebih baik dalam menulis wacana deskripsi, maka sebagai tinjak
lanjut disarankan agar keberhasilan itu hendaknya diteruskan
sehingga pengulangan dalam proses pembelajaran dapat diatasi.
Apabila penerapan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi mengalami perubahan hasil terhadap evaluasi belajar
siswa, maka guru dapat mengganti dengan metode lainnya.


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


223
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi
Aksara.
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.
Johnson, Elaine B. 2011. CTL (Contextual Teaching & Learning).
Bandung: Kaifa Learning.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran
Berbahasa. Ende: Nusa Indah.
Moeliono, Anton M. (penyunting). 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Nababan, Diana. 2008. Intisari Bahasa Indonesia untuk SMA. Jakarta:
Kawan Pustaka.
Nurkencana dan Sunartana. 1990. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya:
Usaha Nasional.
Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Refrensi
bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang
Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Rosidi, Imron. 2009. Menulis Siapa Takut? Panduan bagi Penulis Pemula.
Yogyakarta: Kanisius.
Saminanto. 2010. Ayo Praktik PTK (Penelitian Tindakan Kelas).
Semarang: RaSAIL Media Group.
Sapta Wigunadika, I Wayan. 2011. Kemampuan Memahami Isi Wacana
yang Menggunakan Aksara Bali Siswa Kelas XI SMA Negeri 1
Gianyar Tahun Pelajaran 2010/2011 Skripsi. Denpasar: FPBS
IKIP PGRI Bali.
Sastrawan, Gede Agus. 2011. Kemampuan Menulis Hasil Observasi
dalam Bentuk Karangan Deskripsi Siswa Kelas X SMA Negeri 1
Abiansemal Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2010/2011
Skripsi. Denpasar. FPBS IKIP PGRI Bali.
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.



Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


224
PENGGUNAAN METODE KONTEKTUAL UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MEMAHAMI KRUNA TIRON OLEH SISWA
KELAS VI SDN I SUMERTA DENPASAR TAHUN
PELAJARAN 2012/2013

Oleh :
Ni Nyoman Sutarpini
FPBS, IKIP PGRI BALI

ABSTRACT

Use contextual methods to improve the ability to understand Kruna
Tiron by 6th grade students SDN 1 Sumerta Denpasar, school year
2012/2013. In line with the development of a very rapid education in the
era of globalization, then the civil servants who work as teachers are
required to create human resources at its disposal. In order to improve
the quality of education in primary schools it is necessary to prepare
students in a creative, independent and responsible and personable. For
some elements and the way it should be controlled and developed by
schools and teachers as implementers. Among other subject matter and
its curriculum development, management development, and utilization of
the environment, infrastructure and education facilities, supervising the
development, test development and assessment of learning outcomes
and the relationship with the public schools.
In this case the authors use contextual methods to improve the
ability to understand Kruna tiron as a writer baseline study carried out in
SDN 1 Sumerta, Denpasar Timur.
The problem is: 1). whether by using contextual methods can
improve learning achievement bali, especially Kruna tiron? 2). how to
respond after using contextual methods? Goals: 1. to improve the quality
of language learning Bali. 2. improve students' responses after using
contextual methods. thus the general research objectives are to improve
/ enhance the quality of bali language learning, and research objectives
in particular is to improve learning achievement in particular bali Kruna
Tiron and want to improve students' responses after using contextual
methods.
Hypothesis: the role of contextual will be able to improve the ability
to understand Kruna Tiron and improve students' responses. Subject:
siswa kelas 6 SDN 1 Sumerta Denpasar with a total of 39 people. Method
used is the method of contextual.

Key Words: Contextual methods, to understand, Kruna Tiron.

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


225
I. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari bahasa Bali masih tetap digunakan
sebagai alat komunikasi bagi penuturnya. Pemakaian bahasa Bali
diberbagai ranah masih nampak terpelihara dengan baik. Sebagai upaya
penyelamatan, pemerintah daerah Bali telah menetapkan peraturan
daerah, Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1992, tentang
bahasa, aksara, dan sastra Bali. Pada pasal 4 dikatakan bahwa, bahasa,
aksara, dan sastra Bali merupakan wahana tumbuh dan berkembangnya
kebudayaan Bali khususnya di Pulau Dewata ini.
Usaha terus dilakukan oleh pemerintah untuk melestarikan bahasa
Bali, misalnya dengan mengadakan perlombaan-perlombaan di bidang
bahasa Bali, contohnya lomba menulis aksara Bali, masatwa, dharma
gita, dharma wacana Bali, dan puisi Bali. Dalam hal ini untuk memenuhi
persyaratan tersebut di atas kami para guru berusaha semaksimal
mungkin memotivasi peserta didik supaya selalu bersemangat
menghadapi pelajaran yang mereka hadapi. Selama ini penulis
menghadapi kendala di dalam pengajaran bahasa Bali dengan
penggunaan metode-metode yang ada, karena di sisi lain seperti metode
ceramah misalnya menghadapi kendala terutama dengan tingkat
kemampuan penerimaan materi pelajaran oleh siswa.
Dari sekian metode yang ada, salah satunya adalah metode
kontekstual yang dapat meningkatkan kemampuan memahami kruna
tiron. Penulis mengangkat judul Penggunaan Metode Kontekstual Untuk
Meningkatkan Kemampuan Memahami Kruna Tiron Oleh Siswa Kelas VI
SD 1 Sumerta Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013, karena sebagian
besar siswa masih belum memahami tentang kruna-kruna yang ada
dalam pelajaran bahasa Bali. Penulis mengangkat kruna tiron sebagai
dasar acuan penelitian, karena masih rancu bagi siswa untuk dapat
memahami kruna-kruna yang ada, seperti contoh; kruna lingga, kruna
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


226
polah, kruna dwi sama lingga, kruna dwi samatra lingga, kruna dwi maya
lingga, kruna dwi purwa, kruna dwi wesana, kruna tiron dan kruna
satma. Di antara kruna-kruna yang disebutkan tadi maka penulis
menganggap kruna tiron yang paling sulit untuk dipahami oleh siswa.
Hal ini dapat dibuktikan melalui test yang telah dilaksanakan
sebelumnya sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa kruna tiron
sebagai acuan dasar penelitian. Untuk mendapatkan hasil pembelajaran
yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan, tidak terlepas dari
faktor proses pembelajaran yang dikelola oleh guru. Proses
pembelajaran akan dapat berjalan optimal dengan adanya bimbingan
guru terhadap siswa dan kemampuan faktor guru dalam merancang,
mempersiapkan dan melaksanakan proses pembelajaran.
Di samping itu media pengajaran dan metode juga akan membantu
para siswa, yaitu akan mempermudah untuk memahami dan menerima
materi yang diberikan oleh guru. Diharapkan melalui pemanfaatan
media atau metode dalam proses pembelajaran, siswa dapat melihat
secara lebih nyata sehingga teori yang diberikan dapat lebih melekat
dalam ingatan siswa yang akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi
belajar. Bertitik tolak dari hal tersebut penulis mengadakan penelitian
yang fokusnya pada model pembelajaran kontekstual.
Beberapa alasan kami dalam menggunakan metode kontektual
diantaranya; (1).menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. (2). Mendorong agar siswa dapat
menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi
kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata. Hal ini sangat penting. (3). Mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan, artinya metode kontektual bukan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


227
hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya,
akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian
yang hendak dicapai adalah tujuan umum dan tujuan khusus. Secara
umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Bali.
Tujuan umum yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut: untuk meningkatkan prestasi belajar bahasa Bali khususnya
Kruna Tiron.

II. KAJIAN TEORI
Metode Kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk
dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya
dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka (Elok Sudibyo. 2003). Dari
konsep tersebut di atas, ada tiga hal yang harus dipahami, yaitu (1)
Kontekstual, menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Proses ini tidak mengharapkan agar siswa
hanya menerima, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri
materi pelajaran. (2) Mendorong agar siswa dapat menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata,
artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. (3) Mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya bukan
hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya,
akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


228
dalam kehidupan sehari-hari. Definisi yang mendasar tentang
pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar, dimana guru
menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

A. Metode Pembelajaran (Penelitian Tindakan Kelas)
Penelitian ini dilakukan di SDN 1 Sumerta, Denpasar Timur pada
siswa kelas V. peneliti adalah guru bahasa Bali pada instansi tersebut.
Penelitian ini dirancang dalam 2 siklus penelitian.

B. Tinjauan Tentang Kruna Tiron
Kruna Tiron inggih punika kruna sane sampun polih wewehan
(afiks). Wewehan punika luire pangater (prefiks), seselan (infiks),
pangiring (sufiks), miwah gabungan wewehan (konfiks). Kruna tiron
yening selehin mawit saking kruna tiru miwah pangiring -an, dadosne
kruna tiron punika tiruan saking kruna lingga (Disbud Prov Bali, 2007: 9).

C. Kruna Tiron yang dibentuk oleh Pangater
Pangater itu terletak di depan kata dasar. Pangater dalam bahasa
Bali misalnya N- (anusuara) ma-, ka-, sa-, pa-, pi-, a-, pra-, pari-, pati-,
maka-, saka-, dan kuma-. Dari sekian banyak pangater yang ada, sesuai
dengan ruang lingkup di atas, penulis akan membahas pangater ma- dan
ka-, pangater dan pangiring ma-an, ka-an, serta pemakaiannya dalam
kalimat aktif dan kalimat pasif.

D. Pangater ma-
Pangater ma- membentuk kruna kria (kata kerja). Bentuk pangater
ma-, bukan saja berubah bila kata dasarnya diawali dengan vokal dan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


229
konsonan. Pangater ma- sering membentuk sandi tat kala kruna tiron
kata dasarnya diawali dengan vokal, misalnya :
ma- + kenta > makenta
ma- + gigi > magigi
ma- + sar > masar
ma- + adan > madan
ma- + umah > mumah
ma- + mbon > mmbon dan lain-lain.

Contoh pangater ma- dalam kalimat aktif (limaksana).
I Putra seleg (ga) di jumahn
I Putra seleg maga di jumahn
Contoh pangater ma- dalam kalimat pasif (linaksana).
I Putra (sar) di jumahn
I Putra masar di jumahn

E. Pangater ka-
Bentuk pangater ka- sama dengan pangater ma-, yaitu bisa
membentuk sandi bila digabungkan dengan kata dasar yang diawali
dengan vokal, seperti:
uber > kauber > kuber
ucap > kaucap > kocap
icn > kaicn > kicn
tulis > katulis
baang > kabaang

Pangater ka- dalam kalimat aktif (limaksana), seperti:
Nomer ujian suba (tulis) di lembaran jawaban
Nomor ujian suba katulis di lembaran jawaban
Pangater ka- dalam kalimat pasif, seperti:
Pianak tiang luh tusing pati (baang) majalan peteng
Pianak tiang luh tusing pati kabaang majalan peteng


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


230
F. Kruna Tiron yang dibentuk oleh Wewehan ma-an
Gabungan imbuhan ma-an, berguna untuk membentuk kruna kria
(kata kerja). Syarat gabungan imbuhan itu, apabila digabungkan dengan
kata dasar sama seperti pangater ma- dan pangiring an, misalnya:
jemak > majemakan
jahit > majahitan
jagur > majaguran
jukung > majukungan
banyol > mabanyolan

Wewehan ma-an dalam kalimat aktif, contoh:
I Putra jagur ibi sanja
I Putra majaguran ibi sanja
Wewehan ma-an dalam kalimat pasif, contoh
I Putra jukung ka Nusa Penida
I Putra majukungan ka Nusa Penida.


G. Kruna Tiron yang dibentuk oleh Wewehan ka-an.
Gabungan Wewehan ka-an memiliki makna untuk membentuk
kruna aran (kata benda). Syarat Wewehan ka-an bila bergabung dengan
kata dasar, sama seperti pangater ka- dan pangiring an. Contoh:
sengsara > kasengsaran
sugih > kasugihan
rahayu > karahayuan
pati > kapatian
bupati > kabupaten
ditu > kadituan
Wewehan ka-an dalam kalimat aktif
Siap suba (ulah) tekn Ni Sari
Siap suba kaulahan tek Ni Sari

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


231
Wewehan ka-an dalam kalimat pasif
Gagapan I Mm (telah) olih adin
Gagapan I Mm katelahan olih adin (Depdikbud, 2007: 9-29).

H. Kruna Tiron yang dibentuk oleh Wewehan ma-in
Kruna Tiron yang dibentuk oleh wewehan ma-in, seperti :
Wewehan ma-in dalam kalimat aktif :
I Putra (jagur) ibi sanja
I Putra majagurin ibi sanja
Wewehan ma-in dalam kalimat pasif :
I Putra (jukung) ka Nusa Penida
I Putra majukungin ka Nusa Penida

I. Kruna Tiron yang dibentuk olih Wewehan ka-in
Kruna Tiron yang dibentuk oleh wewehan ka-in misalnya :
Wewehan ka-in dalam kalimat aktif
Siap (ulah) tekn I Mm
Siap kaulahin tekn I Mem
Wewehan ka-in dalam kalimat pasif
Jajan (telah) tekn I Beli
Jajan katelahin tekn I Beli
Hipotesis Tindakan
Secara etimologi kata hipotesa berasal dari dua kata, yaitu hipo
artinya di bawah dan thesa artinya kebenaran atau
pendapat. Selanjutnya penulisannya menjadi hipotesa menurut
ejaan bahasa Insdonesia yang diperbaharui. Menurut maknanya
dalam suatu penelitian hipotesa merupakan jawaban sementara
atau kesimpulan yang diambil untuk menjawab permasalahan yang
dilakukan dalam penelitian (Mardalis, 2006: 47).
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa
penerapan metode kontektual dapat meningkatkan kemampuan
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


232
memahami kruna tiron siswa kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar Tahun
Pelajaran 2012/2013.

III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada kelas VI SDN 1 Sumerta tahun
pelajaran 2012/2013. Penelitian ini dirancang untuk dua siklus dengan
melibatkan seorang guru, jumlah siswa yang dijadikan subjek penelitian
sebanyak 30 (tiga puluh ) orang terdiri dari 15 orang laki-laki dan 15
orang perempuan. Topik yang akan diteliti adalah : 1) memahami
pembentukan kata: ma-, ka- (siklus I). 2) memahami kombinasi ma-in, ka-
in (siklus II). Dalam penelitian ini, yang penulis jadikan objek adalah
kemampuan memahami kruna tiron yang mapangater ma-ka dan kruna
tiron yang mendapat gabungan (wewehan) ma-an, ka-an ,ma-in, dan ka-
in.
A. Tahap Observasi/Evaluasi
Melalui observasi dapat diketahui bagaimana sikap dan prilaku
siswa pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Pada tahapan ini
dilakukan kegiatan yang ada kaitannya dengan proses dan hasil belajar
siswa yang meliputi:
a. Pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran.
b. Pengamatan terhadap kesungguhan siswa dalam proses
pembelajaran siswa di dalam kelas.
c. Pengamatan terhadap interaksi antara siswa dengan siswa/siswa
dengan guru.
d. Pengamatan dan pencatatan terhadap keberanian siswa untuk
bertanya dan mengemukakan pendapat serta dalam menjawab
pertanyaan.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


233
e. Memberikan tes pada setiap akhir siklus untuk memperoleh data
tentang hasil pembelajaran.

B. Tahap Refleksi
Refleksi dilakukan menjelang berakhirnya kegiatan pada siklus.
Kegiatan refleksi ini dilakukan dengan menyaring kesan siswa terhadap
metode yang digunakan dalam proses pembelajaran dan ini dilakukan
setiap akhir pelajaran. Tujuannya adalah untuk memperoleh umpan balik
dan perbaikan serta penemuan unsur-unsur yang menguatkan. Kegiatan
refleksi ini juga dilakuakan untuk mengkaji pelaksanaan dengan melihat
hambatan-hambatan yang dialami dalam siklus sebelumnya dan factor
penyebab hambatan tersebut, kemudian mencari jalan pemencahan
untuk merencanakan perbaikan yang akan dilaksanakan pada siklus
berikutnya.

C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini disesuaikan dengan data
yang akan dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Data
yang dibutuhkan adalah jumlah siswa dalam kelas baik laki maupun
perempuan, nama siswa sesuai dengan daftar absensinya. Data yang
dimaksud adalah kemampuan memahami kruna tiron. Yang mana, data
tersebut nantinya akan dianalisis untuk mengetahui tujuan yang dicapai.
Pengumpulan data seperti ini menggunakan metode tes.
Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk
tugas, yang harus dikerjaka oleh siswa atau sekelompok siswa, sehingga
menghasilkan nilai tentang tingkah laku prestasi siswa tersebut, yang
dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai anak-anak lain atau nilai
standar yang ditetapkan.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


234
Dari pendapat di atas, dalam penelitian menggunakan metode tes.
Tujuannya untuk memperoleh data secara obyektif tentang penggunaan
metode kontektual dalam pembelajaran kruna tiron siswa kelas VIC SD 1
Sumerta Denpasr Tahun Pelajaran 2012/2013.
Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pengumpulan data
dengan metode tes :
1) Penyusunan Tes
Untuk memperoleh data diperlukan alat yang bernama
instrument penelitian. Sebuah instrument harus disusun dengan
teliti agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Tes yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tes objektif tipe pilihan
ganda. Hal yang terpenting dilakukan di dalam menyusun tes
adalah sebagai berikut:
2) Menentukan Materi Tes
Materi tes ditentukan berdasarkan materi pembelajaran tentang
kruna tiron yang mapangater ma-, ka-, kruna tiron yang
mendapat gabungan wewehan ma-an, ka-an, ma-in, dan ka-in
3) Menentukan jumlah dan jenis tes
Bentuk tes yang digunakan adalah objektif tipe pilihan ganda.
4) Menulis Soal
5) Menentukan Bobot Tes: berdasarkan pembobotan ini, maka skor
maksimal idealnya adalah 50 x 1 = 50.
6) Waktu Mengerjakan Tes
7) Uji Coba Tes
Tes yang disusun untuk penelitian tentang kemampuan
memahami kruna tiron Siswa Kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar,
Tahun Pelajaran 2012/2013, diharapkan memenuhi persyaratan
tes yang baik, Nurkencana (1983:123) Menyatakan,baik
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


235
buruknya tes dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu: (1) Validitas
Tes, (2) Derajat Kesukaran, (3) Daya Beda, dan (4) Reabilitas Tes.
DK = WL+WH x 100%
NL + NH
Keterangan :
DK = derajat kesukaran
WL = jumlah individu kelompok bawah (27% dari bawah yang
tidak menjawab atau menjawab salah) pada item
tertentu
WH = jumlah individu kelompok atas (27% dari atas yang tidak
menjawab atau menjawab salah) pada item tertentu.
nL = jumlah kelompok bawah
nH = jumlah kelompok atas (Nurkancana, dan Sunartana,
1986:136)

c. Daya beda
Tes yang baik adalah item yang mampu membedakan
antara anak yang pandai dengan yang kurang pandai. Adapun
rumus yang digunakan dalam menentukan daya beda adalah
sebagai berikut.:
DB = WL WH
n
Keterangan:
DB = Daya Beda
WL = Jumlah individu kelompok bawah (27%) yang tidak
menjawab atau menjawab salah pada item tertentu.
N = Jumlah kelompok atas atau kelompok bawah
(Nurkancana, 1986:136).
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


236
Tabel 3.1: Kriteria Predikat Kemampuan Memahami kruna tiron siswa
kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar

Skor Standar Predikat
86-100
71-85
56-70
41-55
40-35
A = Baik Sekali
B = Baik
C = Cukup
D = Kurang
E = Sangat Kurang
(Depdikbud, 2000: 11)
8) Mencari Skor Rata-rata
Rata-rata (mean) merupakan teknik penjelasan kelompok yang
didasarkan atas nilai rata-rata dari kelompok tersebut.
Tabel 1: Subjek siswa kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013
Nama
Sekolah
Kelas
Jenis Kelamin
Laki Perempuan Jumlah
SDN 1
Sumerta
Denpasar
VI A
VI B
VI C
20
17
15
19
14
15
39
31
30
Jumlah siswa 100

Netra (1979: 20) menyatakan, bahwa objek penelitian
adalah setiap gejala atau peristiwa yang akan diteliti atau
diselidiki, baik itu berupa gejala alam, maupun gejala kehidupan.
Dalam penelitian ini, yang penulis jadikan objek adalah Kruna
Tiron.
9) Analisis Data
Dalam melaksanakan kegiatan pengolahan data ada suatu
cara yang digunakan, yaitu dengan metode pengolahan data atau
analisis data. Metode pengolahan data adalah suatu cara yang
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


237
digunakan untuk mengolah data hasil penelitian. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik deskriptif.
Sesuai dengan metode yang digunakan dalam mengolah
data penelitian ini, maka ditempuh langkah-langkah sebagai
berikut.
i. Mengubah skor mentah menjadi skor standar, langkah-
langkah:
a. menentukan Skor Maksimal Ideal (SMI)
b. membuat pedoman konversi.
ii. Menentukan kriteria predikat;
iii. Mencari skor rata-rata;
D. Skor Mentah menjadi Skor Standar
1. Menentukan Skor Maksimal Ideal
Skor maksimal ideal dapat ditentukan setelah tes
dilaksanakan, lembar jawaban siswa selanjutnya diperiksa
berdasarkan kunci jawaban yang telah disiapkan. Setiap jawaban
yang benar diberi skor 1 dan yang salah diberi skor 0. Langkah
berikutnya adalah menghitung berapa jumlah betul dan salahnya.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa tes yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tes objektif tipe pilihan
ganda (multiple choice), dengan jumlah 25 item. Bobot masing-
masing item adalah 1. Berdasarkan hal tersebut, diketahui besar
skor maksimal ideal yang dapat dicapai oleh siswa adalah 25. Hal
ini berarti bahwa skor tertinggi yang dicapai siswa adalah 25 jika
siswa mampu mengerjakan seluruh item dengan benar.
Pedoman konversi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan norma absolut seratus (persentil)
digunakan rumus sebagai berikut.

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


238
X
P = --- x 100
SMI

Keterangan:
P = Persentil
X = Skor yang dicapai
SMI = Skor Maksimal Ideal (Nurkencana, 1992:99)

1) 25 x 100 2) 12 x 100
25 25
= 100 = 48

Tabel 3.2: Kriteria Predikat Kemampuan Memahami Kruna Tiron siswa
kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
Skor Standar Predikat
86-100
71-85
56-70
41-55
< 40
A = Baik Sekali
B = Baik
C = Cukup
D = Kurang
E = Sangat Kurang
(Depdikbud, 2000)
E. Hasil Penelitian
Rumus rata-rata hasil belajar (mean):
X
M =
N
Keterangan
M = nilai rata-rata
X = jumlah nilai siswa
N = jumlah siswa/individu (Sutrisno Hadi, 2000: 40).


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


239
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan penelitian difokuskan pada peningkatan prestasi
belajar siswa. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan dua siklus.
Waktu yang digunakan dalam masing-masing siklus yaitu 2 (dua) kali
pertemuan atau 4 (empat) jam pelajaran. Siswa yang dilibatkan
A. Hasil Penelitian siklus I
Data hasil penelitian tentang prestasi belajar siswa dapat dilihat
dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 : Prestasi Belajar Siswa Kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
Tahun Pelajaran 2012/2013
No. Nama Siswa
Skor
Mentah
Skor
Standar
Keterangan
1 Juniantara, I Wayan 32 62 Tidak tuntas
2 A Januarta, I Wayan 34 68 Tidak tuntas
3 Agus Ariana, I Wayan 38 76 Tuntas
4 A Sirsilia, Ni Made 44 88 Tuntas
5 Agus Sanjana, Kadek 40 80 Tuntas
6 Dipta A. Wijaya, I Gede 32 62 Tidak tuntas
7 Dwiyani Agustin, Kadek 35 70 Tuntas
8 Dedi Ariani, Komang 32 62 Tidak tuntas
9 Stya P. Gung Made 33 64 Tidak tuntas
10 Herjawan, Putu 35 70 Tuntas
11 Indri Savitri, Putu 32 62 Tidak tuntas
12 Indah Maharani 32 62 Tidak tuntas
13 Inten Dwipaya, Gst. A. 42 84 Tuntas
14 Ifanco D. Hidayatulla 33 64 Tidak tuntas
15 Ludri T. Alaulana 31 60 Tidak tuntas
16 L. M. Galuh, Ni Wayan 41 82 Tuntas
17 Kurniawan, Ngh W 40 80 Tuntas
18 Ayu Martiningsih, Kadek 32 62 Tidak tuntas
19 Natih A. Ni Luh Wayan 31 60 Tidak tuntas
20 Novi Ekayani, Ni Putu 33 64 Tidak tuntas
21 Putrayasa, Gede 40 80 Tuntas
22 Rindiani, Ni Luh Made 32 62 Tidak tuntas
23 Sinta Pratiwi, Ni Kadek 39 78 Tuntas
24 Sri Wahyuni, Ni Komang 31 60 Tidak tuntas
25 Sudiantara P. I Gede 39 78 Tuntas
26 Siti Nursamsah 39 78 Tuntas
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


240
27 Sinta Yuliani, Gst. A. 31 60 Tidak tuntas
28 Yogi Pratama, I Wayan 38 76 Tuntas
29 Yuki Paramita, Ni Made 38 76 Tuntas
30 Yoga Nic. Pratama P. 37 74 Tuntas
Jumlah 1066

B. Hasil Penelitian siklus II
Hasil penelitian tentang prestasi belajar siswa kelas VIII B SMP
Dharma Wiweka Denpasar pada siklus II dapat dilihat dalam tabel 4.2 di
bawah ini.
Tabel 4.2: Prestasi belajar siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar Tahun
Pelajaran 2012/2013.

No. Nama Siswa
Skor
Mentah
Skor
Standar
Keterangan
1 Juniantara, I Wayan 45 90 Baik sekali
2 A Januarta, I Wayan 45 90 Baik sekali
3 Agus Ariana, I Wayan 45 90 Baik sekali
4 A Sirsilia, Ni Made 44 88 Baik sekali
5 Agus Sanjana, Kadek 44 88 Baik sekali
6 Dipta A. Wijaya, I Gede 44 88 Baik sekali
7 Dwiyani Agustin, Kadek 44 88 Baik sekali
8 Dedi Ariani, Komang 44 88 Baik sekali
9 Stya P. Gung Made 43 86 Baik sekali
10 Herjawan, Putu 43 86 Baik sekali
11 Indri Savitri, Putu 43 86 Baik sekali
12 Indah Maharani 42 84 Baik
13 Inten Dwipaya, Gst. A. 42 84 Baik
14 Ifanco D. Hidayatulla 42 84 Baik
15 Ludri T. Alaulana 41 82 Baik
16 L. M. Galuh, Ni Wayan 41 82 Baik
17 Kurniawan, Ngh W 41 82 Baik
18 Ayu Martiningsih, Kadek 41 82 Baik
19 Natih A. Ni Luh Wayan 41 82 Baik
20 Novi Ekayani, Ni Putu 40 80 Baik
21 Putrayasa, Gede 40 80 Baik
22 Rindiani, Ni Luh Made 40 80 Baik
23 Sinta Pratiwi, Ni Kadek 39 78 Baik
24 Sri Wahyuni, Ni Komang 39 78 Baik
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


241
25 Sudiantara P. I Gede 39 78 Baik
26 Siti Nursamsah 39 78 Baik
27 Sinta Yuliani, Gst. A. 38 76 Baik
28 Yogi Pratama, I Wayan 38 76 Baik
29 Yuki Paramita, Ni Made 38 76 Baik
30 Yoga Nic. Pratama P. 37 74 Baik
Jumlah 1285 2404

Tabel 4.4: Kriteria Predikat Kemampuan Memahami Kruna Tiron siswa
kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar

No. SKOR PREDIKAT JUMLAH
SISWA
%
1

2
86 100

71 85
Baik sekali

Baik
11

19
37

67

Dari tabel di atas dapat dilihat hasil siklus II mengenai nilai rata
ketuntasan siswa, yaitu:
Rumus:
X
X =
N
1285
X =
30

X = 42,83 = 43 (dibulatkan) skor mentah

C. Prestasi Belajar
Prestasi belajar siswa dapat dinilai dari hasil tes pada setiap siklus
yang dilaksanakan pada akhir pelajaran. Hasil yang diperoleh dapat
dilihat dari perbandingan nilai-nilai yang diperoleh pada siklus I dan
siklus II sesuai dengan tabel 4.3 dibawah ini.

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


242
Tabel 4.3 : Prestasi Belajar Siswa Kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
Tahun Pelajaran 2012/2013

Nomor Nilai Nilai Perubahan
Keterangan
Siswa siklus I siklus II Nilai %
01 32 45 13 26 Meningkat
_
02 34 45 11 22 Meningkat
03 38 45 7 14 Meningkat
04 44 44 0 0 Tetap
05 40 44 4 8 Meningkat
06 32 44 12 24 Meningkat
__
07
35 44
9 18
Meningkat
_ _
08 32 44 8 16 Meningkat
_
09 33 43 10 20 Meningkat
10 35 43 8 16 Meningkat
11 32 43 11 22 Meningkat
12 32 42 10 20 Meningkat
13 42 42 0 0 Tetap
14
33 42
9 18 Meningkat
15 31 41 10 20 Meningkat
16 41 41 0 0 Tetap
17 40 41 1 2 Meningkat
18 32 41 9 18 Meningkat
19 31 41 10 20 Meningkat
20 33 40 7 14 Meningkat
21
40 40
0 0
Tetap
_
22 32 40 8 16 Meningkat
23
39 39
0 0 Tetap
24 31 39 8 16 Meningkat
25 39 39 0 0 Tetap
26 39 39 0 0 Tetap
27 31 38 7 14 Meningkat
28 38 38 0 0 Tetap
29 38 38 0 0 Tetap
30 37 37 0 0 Tetap
Jml 1066 1285 219 Meningkat
Rt-Rt 36 43 7
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


243
Berdasarkan tabel di atas terlihat adanya peningkatan prestasi
belajar siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar dari siklus I ke siklus II.
Pada siklus I nilai rata-rata hasil belajar siswa sebesar 36 (skor mentah)
dalam skor standarnya 72, sedangkan pada siklus II meningkat menjadi
43 (skor mentah) skor standarnya 86. Ini berarti prestasi belajar siswa
mengalami peningkatan sebesar 7 (14%) setelah dilaksanakannya
metode kontekstual sehingga hipotesis yang diajukan pada Bab. II yaitu
penerapan metode kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013 dapat
diterima.

V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitan pada Bab. IV
yang penelitiannya dilaksanakan di kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
dalam pembelajaran bahasa Bali, yaitu kruna tiron dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Penerapan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013, terbukti dengan meningkatnya prestasi belajar
siswa pada penelitian siklus I yang mencapai nilai rata-rata 36 (skor
mentah) dengan skor standar 72 menjadi 43 (skor mentah) dengan
skor standar 86 pada pelaksanaan penelitian siklus II.
2. Penerapan metode kontekstual dapat memberikan motivasi kepada
siswa untuk mengeluarkan pendapat melalui diskusi kelompok.




Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


244
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A. A. Gede, 1997. Pengantar Evaluasi Pengajaran. Singaraja :
STKIP Singaraja.
Arikunto, Suharsini, dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT
Bumi Aksara.
Depdikbud, 1994. Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Daerah
Depdiknas. Ditdik (2002). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah; Pembelajaran dan Pengejaran Kontekstual. Jakarta.
Depdiknas, 2002. Konsep Pendidikan Berorietasi Kecakapan Hidup
melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas. Bahan Workshop
Sosialisasi Program Pendidikan Menengah Umum.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2003.
Pendekatan Kontekstual (Contekstual teaching and learning).
Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-undang Republik
Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Erman, 2002. Pembelajaran Berbasis CTL (Contextual Teaching and
Learning). Malang.
Ibrahim, M., dkk. 2002. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Penerbit
Universitas Negeri Surabaya.
Nasution, 1995, Dikdatik Azas-Azas Mengajar, Jakarta : Bumi Aksara.
Netra, Ida Bagus, 1974. Metode Penelitian, Biro Penelitian dan Penelitian
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Singaraja : Universitas
Udayana.
Nurhadi, Burhan Yasin dan A.G. Senduk. 2004. Pembelajaran
Kontekstual dan Penerapan dalam KBK. Malang : UM Press.
Nurkancana, I Wayan dan PPN Sunartana, 1981, Evaluasi Pendidikan,
Surabaya: Usaha Pendidikan.
Kristiani, Ninik, 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Malang : P4TK dan IPS.
Mulyasa, E, (2003). Kurikulum berbasis kompetensi, konsep,
karakteristik, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tim Abdi guru. Jakarta: Erlangga
Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar kepada Membantu Guru dalam
Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran.
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


245
Syah Muhibbin, 2003, Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sudjana, Nana, 2002. Evaluasi Hasil Belajar dan Konstruksi Analisis,
Bandung : Pustaka Martiana.
Tarigan, Henry Guntur, 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.
Teeuw, 1991. Membaca dan Menilai Sastra Cet. Ke-2. Jakarta: Gramedia
Wiraatmadja R. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung :
Remaja Rosdakarya.




















Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


246
Pengantar Redaksi

IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi akademik yang
berkonsentrasi pada ilmu pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah
pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah untuk menghimpun dan
mensosialisasikan perkembangan ilmu pendidikan itu. Berdasarkan kesadaran
dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil mewujudkan
idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit dua kali
setahun, yakni pada bulan April dan Oktober. Apa yang ada di tangan
pembaca budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor
14 Tahun VIII April 2013.
Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan
edisi ini disebarkan secara internal dalam kampus IKIP PGRI Bali, seperti
terbitan edisi sebelumnya, juga didistribusikan pada komunitas akademik yang
lebih luas. Jurnal pendidikan Widyadari kali ini memuat sepuluh artikel ilmiah
yang dihasilkan oleh para dosen IKIP PGRI Bali dan beberapa artikel ilmiah
dari dosen luar IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan tulisan dari luar kampus
IKIP PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal pendidikan Widyadari ini menjadi wahana
yang baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan
pemikiran, kritik, dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki
terbitan edisi selanjutnya.

Redaksi
ii

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


247
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii
Aprisiasi Cerpen SUAP Karya Putu Wijaya Berdasarkan Pendekatan Resepsi
oleh Siswa Kelas X SMA N 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013
Ketut Yarsama ............................................................................................... 1
Bimbingan Konseling HIV & AIDS
A.A. Ngurah Adhiputra ................................................................................ 26
Geguritan Sebuah Media Pendidikan Karakter
Ni Nym. Karmini .......................................................................................... 57
Jawa Kuna: The Key of The Antion Culture Heritage
A.A. Gde Alit Geria. ....................................................................................... 85
Efektivitas Psychological First Aid Dalam Mengurangi Gejala Kecemasan Pada
Penyintas Kecelakaan Kendaraan Bermotor
I Made Mahaardika ..................................................................................... 97
Pengaruh Penerapan Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis Peserta Didik Kelas VII SMP PGRI 8 Denpasar
I Wayan Suana .............................................................................................. 121
Matematika Sebagai Modal dan Model Berpikir Ilmiah
I Made Surat .................................................................................................. 130
Perbandingan Metode PLC dan PCA Dalam Regresi COX Untuk Mengatasi
Tidak Terpenuhinya Asumsi Multikolinearitas
I Wayan Sudiarsa dan Adji Achmad Renaldo Fenandes .......................... 151
Correlation Between Achievement Motivation of Parents With Learning IPA
Seventh Grade Students Semester Junior Sila Candra Batubulan Academic Year
2011/2012
Ni Nyoman Parmithi ..................................................................................... 177
Bahasa Bali Dalam Akulturasi Multikultural dan Posmoderen
Ni Ketut Ratna Erawati ................................................................................ 192
Penerapan Pendekatan Kontekstual Dengan Metode Observasi Untuk
Meningkatkan Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi Oleh Siswa Kelas X.3
SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013
Dewa Ayu Widiasri. ...................................................................................... 206
Penggunaan Metode Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami
Kruna Tiron oleh Siswa Kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar Tahun Pelajaran
2012/2013
Ni Nyoman Sutarpini .................................................................................... 224

Pelindung :
iii


Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


248

Drs. I Dewa Putu Tengah (Pembina YPLP PT IKIP PGRI Bali)
Drs. IGB. Arthanegara, S.H., M.Pd. (Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali)
I Gusti Ngurah Oka, S.H. (Sekretaris YPLP PT IKIP PGRI Bali)

Penanggung Jawab
Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.
(Rektor IKIP PGRI Bali)

Ketua Redaksi
Drs. I Wayan Citrawan, M.Pd.

Sekretaris Redaksi
Dr. Ketut Yarsama, M.Hum.

Anggota Dewan Redaksi :

Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, M.Si. (Unhi)
Prof. Dr. I Nyoman Wedakusuma, M.S. (Unud)
Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si.
Drs. I Dewa Putu Juwana, M.Pd.
Drs. IGB. Ardana Adnya, M.Si.
Dr. Nengah Arnawa, M.Hum.
Dr. A.A. Ngr. Adi Putra, M.Pd.
Drs. I Ketut Sumerta, M.For.
Drs. I Dewa Made Alit, M.Pd.
Drs. I Wayan Suanda, S.Pd., M.Si.

Bendahara
Ni Putu Siti Firmani, SE.

Distribusi
I Ketut Sudana
Ni Luh Putu Ayu Suati

Alamat Redaksi
Kampus IKIP PGRI Bali
Jalan Seroja-Tonja Denpasar Utara
Telp. (0361) 431434
Website : www.ikippgribali.ac.id
Email : ikippgribali@yahoo.com

Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232


249



Website : www.ikippgribali.ac.id
Email : ikippgribali@yahoo.com

You might also like