You are on page 1of 33

MAKALAH

HISTORIS PENDIDIKAN
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Landasan Pedagogik





Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
Nurmuludin (1404576)
Suci Intan Sari (1404582)
Nuni Fitriarosah (1404586)





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA S-2
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2014


ii

KATA PENGANTAR


Makalah tentang Historis Pendidikan berisi tentang kajian historis terhadap tokoh
tokoh pendidikan, baik tokoh dunia maupun tokoh Indonesia.
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pedagogik, makalah ini pun
diharapkan bisa dijadikan salah satu referensi pembaca dalam mengkaji aspek ontologis,
epistemologis, aksiologis dan generalisasi pedagogik sebagai ilmu pengetahuan.
Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam
penyusunannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.





Bandung, Oktober 2014


Penyusun






iii

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 3
C. Tujuan ....................................................................................... 3
BAB II. PEMBAHASAN .............................................................................. 5
A. Kajian Historis Pendidikan ....................................................... 5
B. Tokoh-tokoh Pendidikan Dunia dan Pengaruhnya
terhadap Pendidikan Indonesia ................................................. 5
1. Al-Ghazali (Ihya Ulumudin) .............................................. 5
2. John Dewey (Teori Progresivisme) ................................... 6
3. William Stern (Teori Konvergensi) ................................... 9
4. Jean Piaget (Teori Konstruktivisme) ................................. 10
5. Lev Vygotsky (Teori Konstruktivisme) ............................. 11
6. Jean Jacques Rousseau (Teori Naturalisme) ...................... 13
7. John Lock (Teori Empirisme) ............................................ 17
8. Artur Schopenhauer (Teori Nativisme) ............................. 18
9. BF Skinner (Teori Behaviorisme) ...................................... 19
10. Dr. Howard Gardner (Teori Multiple Intelligences) .......... 21
11. Benjamin S Bloom (Teori Taksonomi Bloom) .................. 22
12. Abraham Maslow (Teori Humanisme) ............................. 23
C. Tokoh-tokoh Pendidikan Nasional dan Pengaruhnya
terhadap Pendidikan Indonesia ................................................. 25
1. Ki Hajar Dewantara ........................................................... 25
2. Mohammad Syafei ............................................................. 27
3. Haji Abdul Malik Karim Abdullah (Hamka) ..................... 27
BAB III. PENUTUP ........................................................................................ 29
Kesimpulan ............................................................................... 29
REFERENSI .................................................................................................. 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Istilah sejarah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata syajaratun (dibaca
syajarah), yang memiliki arti pohon kayu. Pengertian pohon kayu di sini adalah
adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam
suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada pula peneliti yang menganggap bahwa
arti katasyajarah tidak sama dengan kata sejarah, sebab sejarah bukan hanya
bermakna sebagai pohon keluarga atau asal-usul atau silsilah. Walaupun demikian
diakui bahwa ada hubungan antara kata syajarah dengan kata sejarah, seseorang yang
mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat dan asal-usul
tentang seseorang atau kejadian (Sjamsuddin, 1996: 2). Dengan demikian pengertian
sejarah yang dipahami sekarang ini dari alih bahasa Inggeris yakni history, yang
bersumber dari bahasa Yunani Kuno historia(dibaca istoria) yang berarti belajar
dengan cara bertanya-tanya.Kata historia ini diartikan sebagai pertelaan mengenai
gejala-gejala (terutama hal ikhwal manusia) dalam urutan kronologis (Sjamsuddin dan
Ismaun, 1996: 4).
Setelah menelusuri arti sejarah yang dikaitkan dengan arti kata syajarah dan
dihubungkan dengan pula dengan kata history, bersumber dari kata historia (bahasa
Yunani Kuno) dapat disimpulkan bahwa arti kata sejarah sendiri sekarang ini mempunyai
makna sebagai cerita, atau kejadian yang benarbenar telah terjadi pada masa lalu.Sunnal
dan Haas (1993: 278) menyebutnya; history is a chronological study that interprets and
gives meaning to events and applies systematic methods to discover the truth. Carr
(1982: 30). menyatakan, bahwa history is a continous process of interaction between the
historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past.
Kemudian disusul oleh Depdiknas memberikan pengertian sejarah sebagai mata pelajaran
yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan
perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini (Depdiknas,
2003: 1). Namun yang jelas kata kuncinya bahwa sejarah merupakan suatu penggambaran
ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah, mapun cerita, yang benar-benar telah terjadi pada
masa lalu.
Latar belakang sejarah merupakan acuan dalam penerapan segala teori. Dalam Islam
juga dikenal dengan istilah asbabun nuzul ketika kita hendak menerapkan suatu dalil. Oleh
2

karena itu dalam segala hal sedapat mungkin kita tidak boleh melupakan kajian sejarah
atau historis suatu teori ketika akan menerapkannya.
Kemudian jika ditilihat dari ruang lingkupnya terutama pembagian sejarah secara
tematik, sejarah yang memiliki cakupan yang luas, Sjamsuddin (1996: 203-221), Burke
(2000: 444), dapat dikelompokkan menjadi sebelas jenis: (1) sejarah sosial; (2) sejarah
ekonomi; (3) sejarah kebudayaan; (4) sejarah demografi; (5) sejarah politik; (6) sejarah
kebudayaan rakyat; (7) sejarah intelektual; (8) sejarah keluarga; (9) sejarah etnis; (10)
sejarah psikologi dan psikologi histori; (11) sejarah pendidikan ,dan (12) sejarah medis.
Berbicara tentang hakekat pendidikan sebenarnya kita tidak bisa lepas dari sejarah
peradaban manusia mulai mengenal pendidikan. Sejarah pendidikan adalah bagian yang
tidak kalah penting dalam membahas implementasi pendidikan. Hal ini akan membawa
pemikiran kita bagaimana menerapkan pendidikan yang baik bagi lingkungan sekitar kita
dilihat dari sejarah latar belakang pendidikan tersebut.
Di negara-negara Barat (Amerika dan Eropa) perhatian sejarah pendidikan telah begitu
nampak sejak abad ke-19, dan pentingnya sejarah pendidikan tersebut digunakan untuk
berbagai macam tujuan, terutama sekali untuk membangkitkan kesadaran bangsa dan
kesatuan budayaan, pengembangan profesi guru, atau kebanggaan terhadap lembaga-
lembaga dan tipe pendidikan tertentu (Siver, dalam Sjamsuddin, 1996: 219).
Pendidikan dalam sejarah Islam misalnya, bisa kita lihat pada masa awal kenabian
Rasulullah SAW. Ayat Al-Quran yang pertama diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yaitu Surat Al-Alaq ayat 1-5 mengandung
unsur-unsur pendidikan. Surat Al-Alaq ayat 1 adalah perintah Allah yang pertama kepada
Nabi Muhammad, yaitu perintah untuk membaca. Membaca adalah bagian penting dari
proses pendidikan yakni aktifitas belajar. Hal ini menandakan bahwa dalam sejarah Islam,
pendidikan menempati urutan yang paling penting pada masa itu, yakni masa Jahiliyah.
Q.S. Al-Alaq Ayat 1-5:


Artinya: Bacalah! Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu lah yang Maha
Pemurah, yang mengajarkan (manusia) dengan Qolam. Dia mengajarkan manusia apa
yang (manusia) tidak ketahui.
3

Kajian sejarah singkat pendidikan dari Surat Al-Alaq tersebut menunjukkan bahwa
pendidikan memiliki tingkat urgensi yang sangat tinggi dengan diawali dari membaca. Hal
ini membawa kita untuk lebih dalam mengkaji sejarah pendidikan di dunia dengan
mengkaji pemikiran para tokoh dunia tentang pendidikan.
Perlu diketahui, bahwa esensi pendidikan itu sendiri sebenarnya sangat luas mengingat
ia berperan sebagai transmisi kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, dan nilai-
nilai spiritual dan estetika, dari generasi ke generasi. Oleh karena itu usia sejarah
pendidikan pada hakikatnya sama tuanya dengan sejarah pada umumnya. Dan, dalam
pendekatan sejarah pendidikan-pun sama halnya dengan pendekatan historiografi sejarah
secara umum, yakni lebih menekankan pendekatan diakronik (Sjamsuddin, 1996: 220).
Pendekatan diakronik yang lazim digunakan dalam sejarah dapat diibaratkan penampang
batang kayu yang vertikal, yang menunjukkan perkembangan dari titik awal bergerak dari
fase ke fase berikutnya, dengan perkataan lain mengungkapkan genesis suatu fenomenon.
Sedangkan pendekatan sinkronik yang lazim digunakan dalam ilmu-ilmu sosial lainnya,
dapat diibaratkan penampang lintang atau horisontal. Artinya dalam pendekatan ini
memandang fenomena sebagai suatu unit atau sistem. Fungsi dan strukturnya diterangkan
bagaimana bekerjanya bagian-bagian unit itu saling berkaitan dalam fungsinya secara
bersama-sama mendukung fungsi unit itu (Kartodirdjo, 1992: 211).

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana kajian ontologi, epistimologi, dan aksiologi tokoh-tokoh dunia tentang
pendidikan?
2. Bagaimana implikasi konsep pendidikan dari tokoh-tokoh dunia dan alirannya
terhadap sistem dan praktek pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana kajian ontologi, epistimologi, dan aksiologi tokoh-tokoh nasional
Indonesia tentang pendidikan?
4. Bagaimana implikasi konsep pendidikan dari tokoh-tokoh nasional Indonesia dan
alirannya terhadap sistem dan praktek pendidikan di Indonesia?

C. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Landasan Pedagogik
2. Memberi penjelasan tentang kajian ontologi, epistimologi, dan aksiologi tokoh-tokoh
dunia tentang pendidikan?
4

3. Memberi penjelasan tentang implikasi konsep pendidikan dari tokoh-tokoh dunia dan
alirannya terhadap sistem dan praktek pendidikan di Indonesia?
4. Memberi penjelasan tentang kajian ontologi, epistimologi, dan aksiologi tokoh-tokoh
nasional Indonesia tentang pendidikan?
5. Memberi penjelasan tentang implikasi konsep pendidikan dari tokoh-tokoh nasional
Indonesia dan alirannya terhadap sistem dan praktek pendidikan di Indonesia?





5

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Historis Pendidikan
Sejarah pendidikan itu memiliki substansi yang luas, baik yang menyangkut tradisi
dan pemikiran-pemikiran berharga dari para pemimpin besar pendidikan, sistem
pendidikan, pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen-elemen penting dan
problematis khususnya dalam perubahan sosial yang menyangkut aliran-aliran pendidikan
dan metode-metode belajar. Hal ini dipengaruhi oleh banyak pemikiran tokoh-tokoh
pendidikan di dunia, baik Eropa, Amerika dan Asia. Pengaruh pemikiran tokoh-tokoh
tersebut juga secara tidak langsung membentuk sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan
di Indonesia berkembang seiring dengan masuknya budaya asing pada masa penjajahan
dan masuknya budaya Islam. Hal ini melahirkan tokoh-tokoh pendidikan Indonesia yang
sedikitnya juga mengadopsi teori-teori pendidikan dunia. Pembahasan kajian histori
pendidikan dalam makalah ini akan menuju pada implikasi dari pengaruh pemikiran
tokoh-tokoh pendidikan dunia terhadap pendidikan di Indonesia.

B. Tokoh-tokoh Pendidikan Dunia dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan Indonesia

1. Al Ghazali (Ihya Ulumudin)
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
alGhazali, lahir 450 H/1059 M. dan wafat 505 H/1111 M. Tujuan pendidikan menurut
alGhazali adalah memperoleh keutamaan dalam agama dan akhlak untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Dengan kata lain, tujuan pendidikan
adalah untuk beribadah kepada Allah sebagaimana firman-Nya: Tidaklah Aku
jadikan jin dan manusia melainkan untk beribadah kepada-Ku (Q.S. 52:55).
Kurikulum pendidikan menurutnya berdasarkan pada pembagian ilmu, yaitu ilmu
agama (al-ilm al-Syari) dan ilmu dunia (al-ilm al-dunya).
Ilmu agama sebagai ilmu terpuji terdiri dari atas: ilmu ushul (ilmu pokok)
terdiri dari ilmu al -Quran, sunnah Nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma; ilmu
furu (cabang) terdiri dari: fiqih, ilmu tentang hati, dan akhlak; ilmu pengantar
(muqadditerdiri dari ilmu bahasa dan gramatika; ilmu pelengkap (mutammimah)
terdiri dari ilmu qiraat, makhraj huruf, tafsir, nasikh mansukh, lafaz umum dan
khusus, lafaz nash dan zahir serta riwayat para sahabat. Ilmu duniawi terdiri dari
ilmu yang terpuji seperti kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu perusahaan.
6

Berdasarkan objeknya ilmu juga dibagi menjadi: ilmu tercela, yakni tidak
bermanfaat seperti sihir, azimat, nujum dan ramalan nasib; ilmu terpuji terdiri dari
ilmu agama dan ilmu untuk mensucikan hati; ilmu yang dalam kadar tertentu terpuji
dan jika mendalaminya bisa tercela seperti filsafat naturalisme. Menurutnya, jika
ilmu itu dipelajari dapat menimbulkan kekacauan pemikiran dan keraguan. Ilmu
juga dibagi menjadi ilmu yang fardhu ain, yakni wajib dipelajari oleh setiap
orang seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya dan ilmu fardhu kifayah, yakni
yang wajib bagi suatu kelompok seperti kedokteran, matematika, pertanian,
pertenunan, politik, pengobatan dan jahit menjahit.
Menurut al-Ghazali dalam pendidikan, guru mutlak diperlukan. Sifat-sifat
guru antara lain: penuh kasih sayang, tidak mengaharap upah, senantiasa memberi
nasihat, memberikan teguran, tidak fanatik, memperhatikan perkembangan
berpikir anak, menyampaikan pelajaran secara mudah dan jelas, dan mengamalkan
ilmunya. Seorang murid hendaknya memuliakan guru, saling menyayangi,
menjauhi pemikiran yang menyesatkan dan mempelajari berbagai ilmu yang
bermanfaat. Al-Ghazali menekankan metode mujahadah dan riyadlah, kedisiplinan
dan pembiasaan, penyajian naqli dan aqli, pemberian hukuman dan pujian, serta
bimbingan dan nasihat.
Implikasi konsep pendidikan Al-Ghazali tercermin pada konsep pendidikan
pesantren di Indonesia. Pesantren adalah lembaga pendidikan berbasis Islam yang
membantu para santri mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini pun tercermin dalam
pendidikan agama Islam di sekolah. Dimana kurikulumnya mengadopsi kurikulum Al-
Ghazali tentunya dengan memperhatikan tingkat perkembangan siswa sesuai usianya.

2. John Dewey (Teori Progresivisme)
Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus
diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Dewey
demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti
ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia
harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya,
pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan
menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan
kelanjutan penerang hidup. Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara
7

memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi
pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal.
Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa
dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa
harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu
pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan
pengetahuan. Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai
manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan
kelompok serta pengalaman bekerja sama. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan
dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan
kemerdekaan inteligent.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau
rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari
pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan
antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses
sosial.
Menurut John Dewey (1935), demokrasi bukan hanya sekedar kebebasan dalam
tindakan, namun terutama kebebasan kecerdasan (freedom of intelligence). Dewey
mengatakan bahwa : unless freedom of action (is guided) by intelligence, its
manifestation is almost sure to result in confusion and disorder (Dewey, 1935, dalam
Wraga, 1998). Oleh karena itu komitmen demokrasi untuk membebasan kecerdasan
lebih fundamental daripada kebebasan dalam bertindak.
Ciri dari suatu kelompok yang demokratis adalah adanya unsur-unsur popular
sovereignty, freedom, equality, individualism dan social responsibility. (Wraga, 1998).
Secara sederhana, popular sovereignty dapat diartikan memutuskan suatu
permasalahan berdasarkan kesepakatan bersama antara anggota kelompok.
Dalam terminasi Dewey, freedom diartikan sebagai kebebasan dalam melakukan
suatu tindakan, yang didasari oleh kebebasan dalam berpikir. Untuk dapat melakukan
suatu tindakan seseorang harus memiliki kemampuan untuk berpikir dan berbicara
secara bebas. Jadi kemampuan melakukan refleksi dan komunikasi merupakan
prasyarat (prerequisite) untuk melakukan tindakan demokratis yang cerdas
(Wraga,1998). Prinsip equality dalam sistem demokrasi menunjukkan bahwa setiap
anggota kelompok adalah setara. Tidak ada anggota kelompok yang dapat mengklaim
bahwa dirinya harus diperlakukan lebih istimewa dibandingkan anggota yang lain.
Integritas dari setiap anggota sebagai individu yang bebas sangat dihargai. Setiap
8

individu mempunyai hak untuk berpendapat dan bertindak tanpa intimidasi atau
tekanan dari anggota yang lain
John Dewey filosof pendidikan yang melihat hubungan yang begitu erat antara
pendidikan dan demokrasi. pendidikan tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan
negara yang demokratis. Pendidikan demokrasi sebagai upaya sadar untuk membentuk
kemampuan warga negara berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sangat penting.
Dengan tingginya partisipasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka dapat mendorong pada terwujudnya pemerintah yang transparans dan akuntabel.
Pemerintah yang demikian merupakan pemerintah yang demokratis, dekat dengan
rakyat sehingga menjadi perekat bangsa. Sedangkan pentingnya pendidikan demokrasi
antara lain dapat di lihat dari nilai nilai yang terkandung di dalam demokrasi. Nilai-
nilai demokrasi dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara yang
lebih baik dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi.
Menurut saya teori John Dewey telah diterapkan oleh sebagian besar sekolah,
namun sekolah tidak sepenuhnya menerapkan teori John Dewey ini yang
menggunakan konsep pendidikan demokrasi, kita lihat dari pandangan Dewey tentang
pengetahuan tidak hanya didapat dari buku-buku sains melainkan pengetahuan bias
didapatkan dari pengalaman hidup, menurut Dewey pengalaman adalah salah satu
kunci dalam filsafat instrumentalisme. Dan pengalaman merupakan keseluruhan
aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara
organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik.
Sedangkan dalam dalam sekolah ilmu pengetahuan banyak dicari dengan
buku-buku sains yang dibantu dengan tenaga pendidik untuk memberikan ilmu dari
buku tersebut sekaligus memberikan pengalaman hidup yang telah dialami sebagai
bahan ajaran tambahan diluar KBM. Karena di sekolah bukan hanya belajar tapi kita
juga mendapat pendidikan agar menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Dan mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Dewey bahwa
dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa
harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu
pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan
pengetahuan. Konsep ini sudah banyak di lakukan oleh sekolah-sekolah dan konsep
ini menyempurnakan konsep Bloom yang membagi pendidikan menjadi tiga domain(
kognitif, afektif, dan psikomotor). Dengan konsep ini pendidikan akan menjadi lebih
baik, khususnya di Indonesia, karena seorang siswa juga berhak mengeluarkan
9

pendapat apabila ia kurang sepaham dengan apa yang telah disampaikan oleh gurunya,
selama argument yang dia berikan logis

3. William Stern (Teori Konvergensi)
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli
pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia
disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak
kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang
sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang
cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka
kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar
peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan
keberhasilan dalam pembelajaran.
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik
pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar
(bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting.
Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu,
yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk
perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat
saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan
tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal
untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak
akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut tidak hidup dalam lingkungan
masyarakat manusia.
Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi,
dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah
disebutkan (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang
dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah.
Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima seara luas
sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang peserta
didik dalam kegiatan belajarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat
tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang
itu.
Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam
pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan
10

aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru
lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran
konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak
lahir saling memengaruhi.
Implikasi teori konvergensi di Indonesia tercermin pada pendidikan karakter
yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dimana setiap siswa diarahkan
untuk menuju sebuah kebersamaan sehingga terjadi koordinasi dan kerjasama sebagai
pengembangan softskill.

4. Jean Piaget (Teori Konstruktivisme)
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan
teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam
pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
denganskemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a) Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut
dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian
dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Semakin dewasa
anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan
sekema dilakukan melalui proses asimilasi danakomodasi.
b) Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
c) Akomodasi
Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang
baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

11

d) Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan
diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan
akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan
struktur dalamnya.
Belajar menurut konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan
mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pngertian yang sudah
dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik
antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia
membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini
merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Implikasi teori piaget di Indonesia adalah penyesuaian materi pembelajaran terhadap
perkembangan kognitif anak. Dimana materi di sekolah dasar akan berbeda dengan
sekolah menengah dan begitu seterusnya hingga perguruan tinggi.

5. Lev Vygotsky (Teori Konstruktivisme)
Menurut Vygotsky (Elliot,2003,52), belajar merupakan proses yang melibatkan
dua elemen penting . pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses
dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya
berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga, munculnya perilaku seseorang
karena intervening kedua elemen tersebut. Keterlibatan alat indera dalam menyerap
stimulus dan saraf otak dalam mengelola informasi yang diperoleh merupakan proses
secara fisik psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar.
Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial bagi
perkembangan belajar seseorang. Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang
anak dalam perkembangan zone proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang
anak ketika ia melakukan perilaku sosial. Dalam belajar, zone proximal ini dapat
dipahami pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan
kelompoknya atau dengan bantuan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan zone
12

proximal ini tergantung pada intensifnya interaksi antara seseorang dengan lingkungan
sosial.
Menurut Vygotsky (Slavin,1994), fungsi mental tingkat tinggi biasanya ada dalam
percakapan atau komunikasi kerjasama di antara individu-individu (proses sosialisasi)
sebelum akhirnya itu berada di dalam diri individu (internalisasi). Vygotsky ingin
menjelaskan bahwa adanya kesadaran sebagai akhir dari sosialisasi tersebut.
Dalam belajar bahasa, ucapan pertama dengan orang lain bertujuan untuk
komunikasi, akan tetapi jika sekali menguasainya, ucapan atau bahasa akan
terinternalisasi dalam diri orang itu dan menjadi inner speech atau private speech.
Private speech dapat diamati ketika seorang anak berbicara pada dirinya sendiri ketika
menghadapi suatu masalah yang sulit.
Perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan perkembangan bahasanya. Vygotsky
membagi perkembangan kognitif yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi
empat tahap (Ellio,2003):
Prientelectual Speech, yaitu tahap awal dalam perkembangan kognitif ketika
manusia baru lahir, yang ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara biologis
(menangis, mengoceh, dan gerakan-gerakan tubuh seperti menghentakkan kaki,
menggoyang-goyangkan tangan) yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi bentuk
yang lebih sempurna seperti berbicara dan berperilaku. Manusia dilahirkan dengan
kemampuan bahasa untuk digunakan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga
perkembangan bahasa menjadi lebih maksimal.
Naive psycology, yaitu tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang anak
mengeksplore atau menggali objek-objek konkret dalam dunia mereka. Pada tahap ini,
anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-objek tersebut dan telah dapat
mengucapkan beberapa kata dalam berbicara. Ia dapat mencapai pemahaman verbal dan
dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga hal ini
dapat lebih mengembangkan kemampuan bahasanya yang akan mempengaruhi cara
berfikir dan lebih meningkatkan hubungannya dengan orang lain.
Egocentric spech, tahap ini ketika anak berusia 3 tahun. Pada tahap ini, anak selalu
melakukan percakapan tanpa memedulikan orang lain atau apakah orang lain
mendengarkan mereka atau tidak.
Inner speech, tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam menggerakkan
perilaku seseorang.
Ide dasar lain dari teori belajar Vygotsky adalah scaffolding. Scaffolding adalah
memberikan dukungan atau bantuan kepada seorang anak yang sedang pada awal
13

belajar,kemudian sedikit demi sedikit mengurangi dukungan atau bantuan itu setelah anak
mampu memecahkan problem dari tugas yang dihadapinya.
Implikasi Teori Vygotski dalam pendidikan Indonesia mempengaruhi bagaimana
pemberian tugas pada siswa, dimana siswa tidak mampu mengkonstruksi sendiri
pengalamannya maka diperlukan scafolding atau bimbingan, sehingga akan terbentuk
konsep yang diinginkan

6. Jean Jacques Rousseau (Teori Naturalisme)
Jean Jacque Rousseau adalah salah satu seorang penganut aliran naturalism. Dia
berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik.
Namun, pembawaan baik itu bisa rusak karena pengaruh oleh lingkungan. Dimensi utama
dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah
pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam, dimensi kedua dari filsafat
pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa
belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra. Belajar melalui indra merupakan inti dari
metode belajar Naturalistik, dan sedangkan dimensi ketiga dari filsafat pendidikan
Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau
fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara
langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas.
Dari buku Emile pada kata pendahuluannya, tampak pandangan J.J Rousseau
terhadap pendidikan, Everything is good as it comes from the hand of author of nature;
Everything degenerates in the hands of man ( Wild dalam Suparlan, 1984: 52). Anak
harus di didik kearah kemungkinan-kemungkinan yang ada pada anak, yaitu sesuai
dengan alamnya, jangan dipandang dari sudut orang dewasa. Jadi pendidik harus
mengenal keadaan anak sebagai anak. Semboyannya dalam dunia pendidikan sesuai
dengan gagasan dasarnya yaitu Kembali pada alam, sehingga nampak jelas bahwa ia
seorang naturalis.
Prinsip dasar pendidikan yang dikemukakan J. J. Rousseau adalah bahwa suatu
pendidikan harus diresmikan dengan sifat dan kebutuhan individu setiap anak. Dorongan
hati dari setiap anak tidak boleh dibatasi. Dikatakan oleh Rousseau bahwa seorang anak
lahir dengan sifat-sifatnya yang baik, ia hanya akan memiliki sifat jahat bila ada pengaruh
dari orang dewasa yang biasanya salah dalam membimbingnya yaitu dengan disiplin keras
dan contoh-contoh yang buruk. Rousseau sependapat dengan pandangn pendidikan john
locke, tetapi ia menolak anjuran john locke untuk mengendalikan secara ketat kegiatan
dan keinginan setiap anak. Ia juga menolak pernyataan hobbes yang mengatakan bahwa
14

setiap manusia yag lebih ditakdirkan untuk jahat, perusak, bersaing, agresif, dan tamak,
oleh karena itulah mereka harus diatur dan diawasi melalui huukum dan kekuasaaan
pemerintah. Sebaliknya dikatakan oleh Rousseau, bahwa setiap manusia yang lahir tidak
saja hanya memiliki naluri untuk menjaga diri, tetapi juga rasa simpati dan perasaan baik
terhadap sesamanya serta sifat-sifat dermawan lainnya, yang kesemuanya itu akan di
rusak oleh peradaban sehingga mengakibatkan kepalsuan-kepalsuan dalam diri individu,
ketidakbermoralan dan kebiasaan-kebiasaan tidak baik lainnya.
Untuk menolong seorang anak memahami dirinya sendiri, seorang harus mengerti
dan mengetahui keadaan fisik, sosial, intelektual, kemampuan serta kebutuhannya.
Rousseau menekankan perlunya pengertian terhadap anak-anak dan ia menyamai John
Locke sebagai perintis dasar-dasar psikologi modern anak-anak.
Menurutnya, tujuan dari pendidikan adalah membentuk manusia bebas, merdeka
tanpa tekanan ataupun ikatan, tidak untuk tujuan tertentu, misalnya untuk menjadi
manusia bagi kalangan tinggi, atau untuk suatu jabatan, atau untuk pemeluk suatu agama
maupun untuk anggota masyarakat atau warga suatu Negara.
Jenis pendidikan menurut Rousseau, yaitu pendidikan harmonis meliputi jasmani
dan rohani termasuk pendidikan intelektual, akhlak kesusilaan, dan keagamaan.
Usaha pendidikan secara individualistik, hal ini dimaksudkan agar anak didik tidak
mendapat pengaruh dari orang lain, diluar masyarakat, bahkan terlepas dari orangtua.
Alat pendidikan yaitu kebebasan, kemerdekaannya sebagai konsekuensi
gagasannya, bahwa alam/kodrat anak adalah baik, tanpa kekangan suatu apapun. Hal ini
sesuai dengan riwayat hidupnya. Pendidik bukan orangtua tetapi pengasuh yang baik
sekali dalam segala hal.
Sedangkan tugas dari pendidikan, menurut Rousseau adalah membiarkan anak
berkembang menurut alamnya dan menjauhkan pengaruh yang jelek, karena kodrat anak
adalah baik. Tidak boleh pendidik memerintah, melarang, memberi hukuman atau hadiah,
menuntut ketaatan, ketekunan, menanamkan kebiasaan dan sebagainya pada anak didik.
Alamiah yang memimpin dan memerintah anak didik. Karena itu J. J. Rousseau hanya
mengenal hukuman alam. Jadi tidak ada pendidikan sengaja, yang ada ialah pendidikan
tidak sengaja, karena ia membiarkan anak berkembang sendiri tanpa pengaruh. Pendidik
juga tidak boleh mengganggunya dengan ajaran moral karena belum siap. Pendidikan tak
punya kuasa, alamlah yang berkuasa.
Menurut Rousseau, cara mencapai ini pertama-tama ialah memelihara kesehatan
(pendidikan jasmani). Pengajaran dimulai dari latihan-latihan indra ditujukan kepada
pengamatan anak, bukan ingatan. Sebab apabila terlalu banyak latihan mengingat, akan
15

menghambat berpikir. Bukan budi atau akal yang menetapkan sesuatu itu baik atau buruk,
tetapi perasaan, keinginan spontan dari kepribadian.
Pendidikan menurutnya wajib menyajikan kesempatan sebagai usaha supaya anak
mempunyai anggapan akan kegunaan sesuatu. Ajarannya adalah sintetis karena anak didik
untuk dapat mengamati diri sendiri dan untuk dapat mendapatkan pengalaman. Hal ini
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pendidikan modern. Dengan sifat didaktif itu ia
mengajarkan tentang ilmu bumi yang diberikan lewat peragaan secara langsung. Anak
dididik untuk tidak boleh menghafal yang penting adalah penggunaan pikiran. Untuk
mengetahui kebutuhan anak guru harus belajar ilmu tentang anak-anak. Tujuan
pendidikannya adalah membentuk anak menjadi manusia bebas. Karena itu anak didik
perlu mengamati menyelidiki sendiri guna untuk memperoleh pengalaman. Dalam
pendidikan sejarah ia lebih mengutamakan tokohnya untuk mempelajari motif-motif
perbuatan, hal ini berguna dalam pembentukan akhlak. Dalam ilmu Fisika ia
mengutamakan gejalanya bukan hukumnya. Percobaan dilakukan dengan alat yang dibuat
sendiri. Dalam menggambar menggunakan bahan gambar asli dari alam bukan
mencontoh. Dalam menyanyi ia menggunakan not angka yang nantinya terkenal dengan
metode Cheve setelah disempurnakan oleh Gallen-Paris-Cheve.
Pendidikan moral bagi Rousseau lebih merupakan soal pengalaman daripada
masalah pengajaran. Pendidikan intelek tidak ada sampai anak berumur 12 tahun, motif
belajar karena kebutuhannya sendiri sehingga ia mempunyai kebutuhan untuk dapat
membaca dan menulis. Setelah berumur 12 tahun motif belajar anak adalah untuk
menambah pengetahuan dan bukan merupakan suatu kebutuhan lagi tetapi merupakan
kegunaan bagi hidup anak tersebut.
Pendidikan akhlak diajarkan sesudah anak berumur 15 tahun. Pendidikan akhlak
tidak diajarkan dengan motif keagamaan karena motif dalam perbuatan adalah kata hati
yang dianamakan naluri Tuhan. Saat anak berumur 15 tahun saat anak dalam masa
pubertas dianjurkan supaya anak aktif sehingga hal-hal buruk dapat dihindari.
Pendidikan agama hanya diajarkan berdasarkan pemikiran, dengan pemikiran anak
diperkenalkan dengan Tuhannya. Yang nantinya atas kemauan sendiri anak dapat memilih
agama yang cocok
Pendidikan Wanita ini dibicarakan dalam bukunya jilid V, buku ini juga berisi pula
gagasan pokok yang tercantum dalam La Nouvelle Heloise sebagai wanita baru agar
nantinya wanita dapat menjadi ibu yang baik, pendidik yang cakap, isteri yang berbakati.
Wanita tidak diberi pelajaran yang sederajat dengan lelaki tetapi ia harus diberi pelajaran
membaca, menulis berhitung, menggambar dan pekerjaan tangan. Ia juga wajib mengikuti
16

agama suaminya. Dalam pendidikan kesusilaan wanita diutamakan kerendahan hatinya,
ketaatan, berbakti pada suami dan sopan dalam setiap tata cara.
Tentang hukuman ia berpendapat bahwa hukuman itu tidak perlu ada, sebab
hukuman sudah diberikan oleh alam, yaitu sebagai akibat yang wajar dari perbuatan si
anak.
Fenomena menarik di bidang pendidikan saat ini adalah lahirnya berbagai model
pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya.
Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu,
tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di
dan dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta
didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana mengekplorasi
sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi pembelajaran yang sangat berguna.
Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di
alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih
akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan
emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini,
subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di
mana telah tercipta suasana belajar yang kondusif.
Menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan
keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan
dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada
pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi
merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air,
mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman
nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalam
suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para
siswa. Melalui proses eksploratoris seperti di atas, para siswa telah melakukan apa yang
dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah cara belajar yang begitu
efektif dan alamiah bagi manusia. Karena belajar akan lebih efektif manakala para siswa
melihat, mendengar, merasa, mengalami, dan memperaktekkan secara langsung apa yang
mereka pelajari.
Di dunia ini tidak ada yang sempurna, begitu juga dengan aliran filsafat yang
diusung oleh Jean Jacques Roussau yaitu aliran filsafat naturalisme. Disamping memiliki
kelebihan, namun aliran ini juga memiliki kekurangan. Karena tidak ada suatu aliran
pendidikan yang sempurna. Dan ketika ingin menerapkan suatu aliran pendidikan,
17

hendaknya disesuaikan juga perkembangan zaman. Apakah aliran tersebut masih relevan
atau sudah tidak relevan lagi.
Pandangan yang dibawa oleh Jean Jacques Rousseau ini cukup bagus untuk
diterapkan dalam dunia pendidikan. Karena teori yang diusung adalah kembali pada alam,
yang mana peserta didik dituntut untuk belajar melalui alam. Selain itu, kebebasan yang
menjadi tujuan dari pandangan Rousseau amat sangat bagus karena peserta didik memiliki
kebebasan untuk mengeksplor segala bakat dan minat yang miliki tanpa ada kekangan
atau tekanan dari pihak lain. Banyak hal positif yang bisa diambil dan diterapkan dari
pandangan Rousseau ini. Namun, ada juga beberapa kekurangan dari pandangan Rousseau
ini. Yaitu sifat pendidikan yang ia usung adalah pendidikan yang bersifat individualistik
hal tersebut ia maksudkan agar si peserta didik tidak terpengaruh oleh masyarakat. Tujuan
tersebut memang baik, namun dengan pendidikan yang bersifat individualistik secara
tidak langsung berlawanan dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang mana
membutuhkan orang lain dalam kehidupannya.
Namun pandangan yang diusung oleh Rousseau yaitu untuk kembali ke alam,
mengingatkan kepada para pendidik akan pentingnya untuk belajar melalui alam. Dan
sekarang juga sudah banyak kita jumpai sekolah-sekolah alam yang menerapkan system
belajar mengajar di luar ruangan atau outdoor. Dengan adanya sekolah alam saat ini bisa
meningkatkan kecintaan siswa pada alam dan juga siswa bisa belajar secara menyeluruh
melalui alam.

7. John Lock (Teori Empirisme)
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke
(1704-1932) yang mengembangkan teori Tabula Rasa, yakni anak lahir di dunia
bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan
akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian,
dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting
terhadap keberhasilan peserta didiknya.
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme
(empiri = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa
lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak
membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik
besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean
Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik.
18

Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia
sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun
diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral,
karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya,
dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran
empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya
kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.

8. Artur Schopenhauer (Teori Nativisme)
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-
1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis.
Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia.
Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara
fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan
itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih
banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam
menuju kedewasaan.
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang
ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu
kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian
tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan,
termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam
proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala
sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan
individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ;
kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan
pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan
ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini,
maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa
yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik. Pendidikan yang tidak
sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan
anak sendiri dalam proses belajarnya.
19

Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan
berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan
bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya
apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan
buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.

9. B. F. Skinner (Teori Behaviorisme)
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana,
namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang
terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya.
Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-
stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-
konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya
perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan
menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi,
demikian seterusnya.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang
pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik
biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-
bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian
tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun
dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran
seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
20

mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan
dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya.
Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati.
Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target
tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar
pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah
dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk
daripada kesalahan yang diperbuatnya.
21

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah
ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama
menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan
kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus
ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan
kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar
untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan
dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah,
sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

10. Dr. Howard Gardner (Teori Multiple Inteligences)
Teori kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence atau MI) merupakan istilah yang
relatif baru yang dikenalkan oleh Howard Gardner. Jasmine (2007: 5) menjelaskan bahwa
Teori tentang Kecerdasan Majemuk (KM) adalah salah satu perkembangan paling
penting dan paling menjanjikan dalam pendidikan dewasa ini. Teori KM didasarkan atas
karya Howard Gardner, pakar psikologi perkembangan, yang berupaya menciptakan teori
baru tentang pengetahuan sebagai bagian dari karyanya di Universitas Harvard. Gardner
berkenaan dengan teori tersebut, yaitu Frame of Mind (1983) menjelaskan ada delapan
macam [sekarang sembilan] kecerdasan manusia yang meliputi bahasa (linguistic), musik
(musical), logika-matematika (logical-mathematical), spasial (spatial), kinestetis-tubuh
(bodily-kinesthetic), intrapersonal (intrapersonal), interpersonal (interpersonal), dan
naturalis (naturalits). Berikut ini dijelaskan secara ringkas satu persatu dari bentuk-bentuk
kecerdasan yang dimaksud oleh Gardner.
Dengan ke delapan kecerdasan yang ada pada diri anak tersebut, maka guru harus
mampu mengoptimalkan kecerdasan majemuk yang dimiliki setiap anak untuk
mencapai kompetensi tertentu yang dituntut oleh sebuah kurikulum dengan cara
penerapkannya pada situasi pendidikan yang berkaitan erat dengan kondisi sosialnya
sehingga individu-individu tersebut menjadi individu-individu yang baik secara
pengetahuan dan secara moral.
Strategi pembelajaran MI pada hakikatnya adalah upaya mengoptimalkan
kecerdasan majemuk yang dimiliki setiap siswa untuk mencapai kompetensi tertentu
yang dituntut oleh sebuah kurikulum. Armstrong (2002) mengatakan bahwa dengan teori
22

kecerdasan majemuk, memungkinkan guru mengembangkan strategi pembelajaran
inovatif yang relatif baru dalam dunia pendidikan. Meskipun demikian, Armstrong
menambahkan bahwa tidak ada rangkaian pembelajaran yang bekerja secara efektif
untuk semua siswa. Setiap siswa memiliki kecenderungan tertentu pada kedelapan
kecerdasan yang ada. Oleh karena itu, suatu strategi mungkin akan efektif pada
sekelompok siswa, tetapi akan gagal bila diterapkan pada kelompok lain. Dengan
dasar ini, sudah seharusnya guru memperhatikan jenis kecerdasan yang menonjol
pada masing-masing siswa agar dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat dan
dapat mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri siswa. Meskipun demikian, tidak
tertutup kemungkinan bahwa setiap strategi yang ada pada masing-masing
kecerdasan dapat diimplementasikan untuk semua mata pelajaran yang ada dalam
kurikulum. Misalnya, strategi pembelajaran matematis-logis dapat diimplementasikan
bukan saja dalam mata pelajaran matematika saja, tetapi dapat diimplementasikan
dalam mata pelajaran lain seperti bahasa, fisika atau mata pelajaran lain yang
menuntut unsur logika didalamnya. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa teori
MI bukan saja merupakan konsep kecerdasan yang ada pada diri masing-masing
individu, tetapi juga merupakan strategi pembelajaran yang ampuh untuk menjadikan
siswa keluar sebagai juara pada jenis kecerdasan tertentu. Gardner (2003) mengatakan
bahwa pada dasarnya setiap individu memiliki satu atau lebih kecerdasan yang
menonjol dari delapan kecerdasan yang ada. Contoh : Einstein, yang sangat cerdas
pada dua jenis kecerdasan yaitu matematis-logis dan spasial, sementara untuk
kecerdasan yang lain, ia tidak terlalu menonjol.
Strategi pembelajaran MI pada praktiknya adalah memacu kecerdasan yang
menonjol pada diri siswa seoptimal mungkin dan berupaya mempertahankan
kecerdasan lainnya pada standar minimal yang ditentukan oleh lembaga atau
sekolah. Dengan demikian, penggunaan strategi pembelajaran MI tetap berada pada
posisi yang selalu menguntungkan bagi siswa yang menggunakannya.Satu hal yang
pasti, siswa akan keluar sebagai individu yang memiliki jati diri, yang potensial
pada salah satu atau lebih dari delapan jenis kecerdasan yang dimilikinya.

11. Benjamin S. Bloom (Teori Taksonomi Bloom)
Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan.
Taksonomi ini pertama kali disoleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini,
tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain
tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.usun
23

Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan
mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga
domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu:
cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan
pengamalan.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan
subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang
sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat
diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti
misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai pemahaman yang berada di tingkatan
kedua juga diperlukan pengetahuan yang ada pada tingkatan pertama.

12. Abraham Maslow (Teori Humanisme)
Abraham Maslow mengembangkan teori kepribadian yang telah mempengaruhi
sejumlah bidang yang berbeda, termasuk pendidikan. Ini pengaruh luas karena sebagian
tingginya tingkat kepraktisans teori Maslow. Teori ini akurat menggambarkan realitas
banyak dari pengalaman pribadi. Banyak orang menemukan bahwa mereka bisa
memahami apa kata Maslow. Mereka dapat mengenali beberapa fitur dari pengalaman
mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi tetapi mereka tidak pernah
dimasukkan ke dalam kata-kata.
Maslow adalah seorang psikolog humanistik. Humanis tidak percaya bahwa
manusia yang mendorong dan ditarik oleh kekuatan mekanik, salah satu dari rangsangan
dan bala bantuan (behaviorisme) atau impuls naluriah sadar (psikoanalisis). Humanis
berfokus pada potensi. Mereka percaya bahwa manusia berusaha untuk tingkat atas
kemampuan. Manusia mencari batas-batas kreativitas, tertinggi mencapai kesadaran dan
kebijaksanaan. Ini telah diberi label berfungsi penuh orang, kepribadian sehat, atau
sebagai Maslow menyebut tingkat ini, orang-aktualisasi diri.
24

Maslow telah membuat teori hierarkhi kebutuhan. Semua kebutuhan dasar itu
adalah instinctoid, setara dengan naluri pada hewan. Manusia mulai dengan disposisi yang
sangat lemah yang kemudian kuno sepenuhnya sebagai orang tumbuh. Bila lingkungan
yang benar, orang akan tumbuh lurus dan indah, aktualisasi potensi yang mereka telah
mewarisi. Jika lingkungan tidak benar (dan kebanyakan tidak ada) mereka tidak akan
tumbuh tinggi dan lurus dan indah.
Maslow telah membentuk sebuah hirarki dari lima tingkat kebutuhan dasar. Di luar
kebutuhan tersebut, kebutuhan tingkat yang lebih tinggi ada. Ini termasuk kebutuhan
untuk memahami, apresiasi estetik dan spiritual kebutuhan murni. Dalam tingkat dari lima
kebutuhan dasar, orang tidak merasa perlu kedua hingga tuntutan pertama telah puas,
maupun ketiga sampai kedua telah puas, dan sebagainya. Kebutuhan dasar Maslow adalah
sebagai berikut:slow
1. Kebutuhan Fisiologis
Ini adalah kebutuhan biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air,
dan suhu tubuh relatif konstan. Mereka adalah kebutuhan kuat karena jika seseorang
tidak diberi semua kebutuhan, fisiologis yang akan datang pertama dalam pencarian
seseorang untuk kepuasan.
2. Kebutuhan Keamanan
Ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak mengendalikan pikiran lagi dan
perilaku, kebutuhan keamanan dapat menjadi aktif. Orang dewasa memiliki sedikit
kesadaran keamanan mereka kebutuhan kecuali pada saat darurat atau periode
disorganisasi dalam struktur sosial (seperti kerusuhan luas). Anak-anak sering
menampilkan tanda-tanda rasa tidak aman dan perlu aman.
3. Kebutuhan Cinta, sayang dan kepemilikan
Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis puas, kelas
berikutnya kebutuhan untuk cinta, sayang dan kepemilikan dapat muncul. Maslow
menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan
keterasingan. Ini melibatkan kedua dan menerima cinta, kasih sayang dan memberikan
rasa memiliki.
4. Kebutuhan Esteem
Ketika tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa menjadi
dominan. Ini melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang mendapat
penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas, berdasarkan,
tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari orang lain. Ketika kebutuhan ini
25

terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di dunia. Ketika
kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan tidak berharga.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah kebutuhan
untuk aktualisasi diri diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai
orang perlu untuk menjadi dan melakukan apa yang orang itu lahir untuk dilakukan.
Seorang musisi harus bermusik, seniman harus melukis, dan penyair harus menulis.
Kebutuhan ini membuat diri mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu
merasa di tepi, tegang, kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak
aman, tidak dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah untuk
mengetahui apa orang itu gelisah tentang. Hal ini tidak selalu jelas apa yang seseorang
ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Teori hierarkhi kebutuhan sering digambarkan sebagai piramida, lebih besar
tingkat bawah mewakili kebutuhan yang lebih rendah, dan titik atas mewakili kebutuhan
aktualisasi diri. Maslow percaya bahwa satu-satunya alasan bahwa orang tidak akan
bergerak dengan baik di arah aktualisasi diri adalah karena kendala ditempatkan di jalan
mereka oleh masyarakat negara. Dia bahwa pendidikan merupakan salah satu kendala. Dia
merekomendasikan cara pendidikan dapat beralih dari orang biasa-pengerdilan taktik
untuk tumbuh pendekatan orang. Maslow menyatakan bahwa pendidik harus menanggapi
potensi individu telah untuk tumbuh menjadi orang-aktualisasi diri / jenis-nya sendiri.
Implikasi teori humanistik tercermin pada penerapan pendidikan kepramukaan di
Indonesia. Dimana dalam pramuka, peserta didik diberikan pendidikan menuju manusia
yang seutuhnya dengan segala aspek humanismenya. Teori ini juga menjadi acuan dari
perguruan taman siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro.

C. Tokoh-tokoh Pendidikan Nasional dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan Indonesia

1. Ki Hajar Dewantara (1889)
Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah
proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani.
Di dalam mendidik, ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi
yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi
sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar
dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia
(humanis).
26

Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah penguasaan diri sebab di
sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan
langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia.
Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga
menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada 2 hal yang harus dibedakan
yaitu sistem Pengajaran dan Pendidikan yang harus bersinergis satu sama lain.
Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan
kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin
(otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan
membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu
memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti : (a) tidak
hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur
hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi
tidak dapat disetir. Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan
pandangan Ki Hadjar Dewantara yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan
dan tujuan ia belajar. Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai berdaya upaya dengan
sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi pekerti dan badan anak dengan
jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan
Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra
siswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa
membangun sendiri pengetahuannya. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam
membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan
memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini
adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan
membiarkan mereka berpikir sendiri. Sejalan dengan itu, Ki Hadjar Dewantara
memakai semboyan Tut Wuri Hanadayani (dari belakang seorang guru harus bisa
memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara
murid, pendidik harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di
depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik).
Semboyan ini masih tetap dipakai hingga kini dalam dunia pendidikan dan terutama
di sekolah-sekolah Taman Siswa.

27

2. Mohammad Syafei (1893)
Filsafat pendidikan Moh.Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada
nasionalisme dalam arti konsep dan praktek penyelenggara pendidikan INS
kayutanam didasarkan pada cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan
cara mempersenjatai dirinya denan alat daya upaya yang dinamakan akktif kreatif
untuk menguasai alam.Pandangan pendidikan Moh.Syafei sangat dipegaruhi oleh
aliran Devolepmentalisme,terutama oleh gagasan sekolah kerja yang dikembangkan oleh
John Dewey dan George Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekira yang
dikembangkan oleh Jan Ligthart. Fungsi pendidikan menurut Moh.Syafei adalah
membantu manusia keluar sebagai pemenang dalam perkembangan kehidupan dan
persaingan dalam penyempurnaan hidup lahir dan batin antar bangsa ( Thalib
Ibrahim,1978:25).Manusia dan bangsa yang dapat bertahan ialah manusia dan bangsa
yang dapat mengikuti perkembangan masyarakat atau zamannya. Tujuan pendidikan dan
pengajaran adalah membentuk secara terus menerus kesempurnaan lahir dan batin anak
dapat mengikuti perkemangan masyarakat yang selalu mengalami perubahan dan
kemajuan.
Kurikulum yang dikembaangkan adalah kurikulum pendidikan dasar dan beberapa
mata pelajran yang khusus.Sedangkan metode pendidikannya adalah sekolah kerja,
pekerjaan tangan dan produksi kreasi. Dasar pendidikan yang dikembangkannya adalah
kemasyarakatan ,keaktifan,kepraktisan serta berpikir logis dan rasional.Mendidik anak
agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh,menjadi anak yang
berwatak baik dan mandiri.Dalam pelajaran anak diperlakukan sebagai subyek bukan
obyek.Guru berperan sebagai manajer belajar menciptakan situasi agar siswa aktif
berbuat.

3. Haji Abdul Malik Karim Abdullah-Hamka (1902)
Hakekat pendidikan menurut Hamka terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan
jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan
untuk kesempurnaan fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
didasarkan kepada agama. Kedua unsur jasmani dan ruhani tersebut memiliki
kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuh kembangkan keduanya
adalah melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam
menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.
28

Hamka membedakan makna antara pendidikan dan pengajaran. Menurutnya
pendidikan adalah serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu mendidik
watak, budi, akhlak dan kepribadian peserta didik. Sementara pengajaran adalah upaya
untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Perbedaan
kedua pengertian tersebut sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara
esensi ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral
dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap
proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi
pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya,
proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses
pendidikan.
Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di
dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus menjalankan
tugasnya dengan baik yaitu beribadah. Oleh karena itu segala proses pendidikan pada
akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang
baik.
Materi pendidikan dalam pandangan Hamka pada dasarnya berkisar antara
ilmu,amal dan akhlak, serta keadilan. Ketiga ilmu tersebut sangat mendasari dalam
proses pendidikan. Pendidikan menurut Hamka harus memiliki prinsip tauhid.
Pendidikan dengan tauhid sebagai prinsip utama akan memberi nilai tambah bagi
manusia dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup
yang benar. Dalam muatan kurikulum pendidikan, menurut Hamka, harus mencakup
seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan menjadi dasar bagi kemajuan dan
kejayaan hidup manusia.



29

BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
1. Tokoh-tokoh pendidikan di dunia yang mempengaruhi pendidikan di Indonesia antara
lain:
a. Al-Ghazali (Ihya Ulumudin)
b. John Dewey (Teori Progresivisme)
c. William Stern (Teori Konvergensi)
d. Jean Piaget (Teori Konstruktivisme)
e. Lev Vygotsky (Teori Konstruktivisme)
f. Jean Jacques Rousseau (Teori Naturalisme)
g. John Lock (Teori Empirisme)
h. Artur Schopenhauer (Teori Nativisme)
i. BF Skinner (Teori Behaviorisme)
j. Dr. Howard Gardner (Teori Multiple Intelligences)
k. Benjamin S Bloom (Teori Taksonomi Bloom)
l. Abraham Maslow (Teori Humanisme)

2. Implikasi konsep pendidikan dari tokoh-tokoh dunia telah memberi warna tersendiri
bagi perjalanan pendidikan di Indonesia. Masing-masing memiliki pengaruh dan bisa
digunakan secara bersamaan untuk mewujudkan pendidikan yang mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagaimana tujuan nasional bangsa Indonesia
3. Tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia yang mempengaruhi pendidikan di Indonesia
antara lain :
a. Ki Hajar Dewantara
b. Mohammad Syafei
c. Haji Abdul Malik Karim Abdullah (Hamka)
4. Implikasi konsep pendidikan dari tokoh-tokoh nasional secara keseluruhan merupakan
turunan dari konsep yang berkembang di dunia. Konsep yang dikembangkan tokoh
nasional telah mengalami pemebaharuan dengan menggabungkan beberapa konsep
pendidikan untuk disesuaikan dengan falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila



30

REFERENSI


Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP Bandung.
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: P.T.
Remaja Rosdakarya. W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasind
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
Djumhur. Dan Danasuparta.1974. Buku Pengantar Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu
Saifullah, A. 1991. Antara Filsafat Dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan.
Surabaya: Usaha Nasional
Smith, S. 1986. Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara
Soejono. 1978. Aliran Baru Dalam Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu
Suparlan. 1984. Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset
Mudyahardjo, Redja. 2002. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press
Tirharahardja, Umar dan La Sula. 1996. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta
Isnaini, Muhammad. Konsep Pendidikan Anak dalam Perspektif Para Ahli Pendidikan Islam
dan Barat
Suyitno. Tokoh-tokoh Pendidikan Dunia,Sekolah Pasca sarjana UPI Bandung
Agus Supriyanto, Studi Deskriptif tentang Tokoh-tokoh filsafat pendidikan Barat. Turats
Vol.6 No.1 Januari 2010
http://wulanalfitiana.blogspot.com/2012/04/pemikiran-john-dewey-tentang-pendidikan.html
http://www.tuanguru.com/2012/01/teori-nativisme-empirisme-konvergensi.html
http://chezz-coco.blogspot.com/2011/03/teori-belajar-konstruktivisme.html
http://riantinas.blogspot.com/2012/06/teori-belajar-konstruktivisme.html
http://hermawan.wordpress.com./2006/12/4/pandangan-Jean-Jacques-Rousseau-tentang-
pendidikan,
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom
http://belajarpsikologi.com/teori-hierarki-kebutuhan-maslow/
http://yayasansoebono.org/ki-hajar-dewantara-pengabdian-dan-buah-pemikirannya-untuk-
pendidikan-bangsa

You might also like