You are on page 1of 9

AGAMA DAN ILMU

( Tulisan ini diambil dari tiga tulisan yang membahas tema "agama
dan Ilmu" yang pertama ditulis New York Times Magazine 9
November 19!" yang kedua disampaikan pada prin#eton
Theologi#al $eminary% 19 Mei 199" dan yang ketiga dimuat pada
$#ien#e% &hilosophi% and 'eligion( $ympisium yang diterbitkan
pada 19)1 oleh *om+eren#e on $#in#e% &hilosophi% and 'eligion in
Their 'elation to The ,emo#rati# -ay o+ .i+e ,isini $enga/a
diambil satu tulisan lengkap dan sebagian dari dua tulisan lainnya
agar gagsan 0instain terungkap se#ara utuh% tetapi tidak
ditumpang tindih diter/emahkan oleh 1ainal 2bidin dari $on/a
3argman (ed4% Ideas and 5pinions by 2lbert 0instein% 3onanza4
Selama abad yang lalu, dan sebagian abad sebelumnya, tersebar
luas pendangan bahwa ada pertentangan yang tidak dapat
didamaikan antara ilmu dan agama. Pandangan yang dianut oleh
tokoh zaman itu adalah bahwa sudah saatnya iman digantikan
oleh pengetahuan. Iman yang tidak bersandar pada pengetahuan
adalah takhayul, dan karenanya harus ditolak. Menurut konsepsi
ini, fungsi saru-satunya pendidikan adalah untuk membuka jalan
kepada pemikiran dan manusia, haruslah memenuhi hanya tujuan
itu saja.
Memang amat sulit kita temukan kalaupun ada sudut pandang
rasionalistik yang diungkapkan dalam bentuk sekonyol itu karena
setiap orang yang dapat dengna mudah melihat betapa
sepihaknya pernyataan itu. !etapi kita perlu menyatakan suatu
tesis se"ara tajam dan telanjang sama sekali, jika ingin
mengetahui hakikat sejatinya.
#dalah benar bahwa keyakinan hanya dapar didukung dengan baik
oleh pangalaman dan pikiran jernih. Pada titik ini, kita mesti
bersepakat sepenuhnya dengan kaum rasionalis ekstrim.
$agaimanapun, titik lemah ini adalah bahwa keyakinan tersebut
yang amat penting dan menentukan perilakku dan penilaian kita
tak dapat ditemukan hanya pada wilayah ilmu yang ketat ini.
Ini disebabkan metode ilmiah tidak dapat mengajarkan apa pun
tentang bagaimana fakta-fakra berhubungan, dan saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pengahargaan
kepada pengetahuan objektif harus diberikan kepada orang-orang
dengan kemampuan tertinggi yang mengembangkannya, dan saya
harap #nda tidak menuduh saya ingin menge"ilkan pen"apaian-
pen"apaian dan usaha-usaha heroik dari orang-orang yang bergiat
di bidang ini. %amun, sama jelasnua adalah bahwa pengetahuan
tentang apa yang sebenarnya tidaklah langsung membukakan
pintu bagi apa yang seharusnya. Seseorang dapat memperoleh
pengetahuan yang paling lengkap dasn paling jelas tentang apa
sebenarnya, tetapi tidak mampu meyimpulkan darinya suatu
tujuan dari aspirasi kemanusiaan kita. Pengetahuan objektif
melengkapi kita dengan alat ampuh untuk men"apai tujuan-tujuan
tertentu, tetapi tujuan pun"ak itu sendiri dan rasa rintu untuk
men"apainya harus datang dari sumber lain. &an hampir tidak
perlu memperdebatkan pandangan bahwa kemaujudan dan
akti'itas kita memperoleh makna hanya dengan penetapan tujuan
seperti itu dan nilai-nilai yang berhubungan dengannya.
Pengetahuan tentang kebenaran seperti apa adanya adalah
menakjubkan, tetapi hanya sedikit perannya sebagai pembimbing,
karena bahkan pengetahuan itu sendiri tak dapat mebuktikan
konsepsi yang murni rasional dari kemajuan kita.
!etapi kita juga tidak dapat mengasumsikan bahwa pemikiran akal
tidak dapat berperan sama sekali dalam pembentukan tujuan dan
penilaian etis . (etika seseorang menyadari bahwa untuk
men"apai suatu tujuan diperlukan suatu "ara, di situ "ara itu
sendiri sudah menjadi tujuan. Meskipun demikian, berpikir semata
tidak dapat suatu kepekaan atau rasa akan tujuan akhir. $agi saya,
inilah tampaknya peranan terpentung yang harus dimainkan oleh
agama dalam kehidupan sosial manusia. )aitu, untuk memperjelas
tujuan dan penilaian fundamental ini, dan untuk menan"apkannya
dalam kehidupan emosional manusia. &an jika ada yang bertanya,
dari otoritas mena kita mesti mendapatkan tujuan fundamental ini
karena tujuan itu tidak dapat dinyatakan dan dijasti*kasi hanya
oleh nalarmaka jawabannya adalah+ tujuan tesebutmajud dalam
masyarakat yang seharusnya sebagai tradisi yang kuat, yang
mempengaruhi perilaku, harapan-harapan, dan penilaian
anggotanya tujuan iru ada disana, yaitu, sesuatu yang hidup,
tanpa merasa perlu menemukan jasti*kasi bagi keberadaannya.
!ujuan-tujuan itu meujud tanpa melalui pembuktian atau
demonstrasi, tetapi melalui sema"am pewahyuan, dengan
perantaraan pribadi-pribadi tangguh. !ak perlu menjasti*kasinya,
tetapi yang penting adalah merasakan hakikatnya, se"ara
sederhana dan jernih.
(ini, meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah
saling membatasi dengan jelas, bagaimanapun ada hubungan dan
ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya.
Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah
belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang "ara-"ara
apa yang akan menyumbang pen"apaian tujuan-tujuan yang telah
ditetapkannya. &an ilmuhanya dapat di"iptakan oleh mereka yang
telah teri-lhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan
pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama.
!ermasuk juga disisni adalah keper"ayaan akan kemungkinan
bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat
rasional, yaitu dapat dipahami nalar. Saya tak dapat per"aya ada
ilmuwan yang tidak memiliki keper"ayaan tersebut. (eadaan ini
dapat diungkapkan dengan suatu "itra ilmu tanpa agama adalah
lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta.
Meskipun saya sudah menyatakan di atas bahwa sesungguhnya
tak boleh ada pertentangan antara ilmu dan agama, saya mesti
menekankan sekali lagi peryataan itu pada titik yang esensial,
dengan menga"u kepada kandunagn aktual agama-agama dalam
sejarah. Pembahasan ini berhubungan dengan konsep !uhan.
Perasaaan ,eligius-(osmik.
Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang
amat dirasakannyadan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini
harus tetap diingat jika kita akan memahami gerakan-gerakan
spritual dan perkembangannya.Perasaan dan keinginan adalah
kekuatan pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun
tersamarnya ia menampakkan diri kepadakita. (ini, perasaan-
perasaan dan kebutuhan-kebutuhan apakah yang telah membawa
manusia kepada pemikiran dan keyakinan religius dalam artinya
yang paling luas- Pengamatan sepintas saja sudah "ukup
menunjukkan kepada kita bahwa pemikiran dan pengalaman
religius dilahirkan oleh perasaan-perasaan yang amat beragam.
$agi orang primitif, rasa takutlah, diatas segalanya, yang
menimbulkan gagasan religius-takut lapar, binatang buas, sakit,
dan mati. (arena pada tingkat kemaujudan ini pemahaman akan
berhubungan sebab-akibat biasanya tak "ukup berkembang, maka
akal manusia men"iptakan wujud-wujud khayali yang sedikit
banyak berfungsi sebagai bagian bagian dari hubungan sebab-
akibat + peristiwa-peristiwa menakutkan terjadi sebagai akibat
kehendak dan perbuatan wujud-wujud khayali tersebut. &engan
demikian, seseorang berusaha memenuhi keinginan wujud-wujud
itu denagan menyajikan kuraban-kurban dan mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang- menurut tradisi yang diteruskan
se"ara turun temurun ke tiap generasi-bertujuan mendamaikan
wujud-wujud itu atau membuat mereka bersikap baik kepada
manusia. &i sini saya sedang berbi"ara tentang agama-takut.
#gama ini adalah suatu tahap penting yang, meskipun tak
di"iptakan, diteguhkan oleh pembentukan suatu kelompok
kependetaan istimewa yang meletakkan dirinya sebagai perantara
antara manusia denag wujud-wujud yang mereka takuti itu, dan
kasta ini membangun kekuasaan diatas dasar ini. Seringkali
seorang pemimpin, penguasa, atau suatu golongan pri'ilese, yang
mendapatkan posisisnya karena faktor-faktor lain,
mengkombinasikannya dengan fungsi kependetaan agar otoritas
sekularnya itu dapat lebih aman terjamin. #tau, para penguasa
politik dan kelompok kependetaan bekerja sama demi
kepengtingan masing-masing.
&esakan-desakan sosial adalah sumber lain dari terbentuknya
suatu agama. $apak, ibu, danpara pemimpin masyarakat makhluk-
makhluk yang fana dan dapat berbuat salah. (ebutuhan mereka
akan perlindungan, kasih sayang dan dukungan mendorong
manusia untuk membuat konsepsi sosial, atau moral tentang
!uhan. Inilah !uhan sang Pemelihara yang melindungi, memberi
kepastian, memberi ganjaran, dan menghukum !uhan yang-
sesuai denag batas pandangan orang yang per"aya- men"intai dan
memuliakan kehidupan suatu suku atau kehidupan umat manusia,
atau bahkan kehidupan itu sendiri !uhan yang menjadi penghibur
dalam penderitaan dan dalam keinginan yang tak terpuasi dialah
yang memelihara jiwa-jiwa orang yang telah mati. Inilah konsepsi
sosial atau moral tentang !uhan. (itab su"i agama )ahudi dengan
menarik meggambarkan perkembangan dari agama-takut ke
agama-moral ini sebuah perkembangan yang berlanjut dalam
Perjanjian $aru. #gama bangsa-bangsa beradab, khususnya
bangsa-bangsa !imur, pada pokoknya adalah agama moral.
Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah satu
langkah besar dalam kehidupan umat manusia. %amun, kita tetap
harus mewaspadai prasangka bahwa agama primitif didasarkan
sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa beradab
sepenuhnya pada moralitas. )ang benar adalah bahwa semua
agama merupakan "ampuran yang beragam dari kedua tipe
tersebut, dengan satu perbedaan+ pada tingkat kehidupan sosial
yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol.
Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomor*s
dalam konsepsi tentang !uhan. Pada umumnya, hanyalah orang-
orang yang mempunyai bakat istimewa dan yang "erdas, yang
merupakan perke"ualian, yang dapat naik sampai ke suatu tingkat
jauh di atas tingkat ini. !etapi, ada tingkat ketiga dari pengalaman
religius yang ada pada semua tipe tersebut, meskipun jarang
ditemukan dalam bentuknya yang murni+ saya menyebutnya
dengan .perasaan religius-kosmik.. Sangatlah sulit menjelaskan
perasaan ini kepada orang yang sama sekali tak memilikinya,
khususnya karena tidak ada konsepsi antropomor*s tentang !uhan
yang berhubungan dengan perasaan itu.
/rang itu merasakan betapa sia-sianya keinginan dan tujuan
manusia, dan merasakan kelembutan dan ketertiban yang
menakjubkan yang mengungkapkan dirinya dalam alam dan dunia
pemikiran. (emaujudan Indi'idual hanya terkesan sebagai
sema"am penjara dan ia mengalami alam semesta sebagai suatu
keseluruhan tunggal yang bermakna. #wal perasaan religius-
kosmik sudah mun"ul pada tingkat awal perkembangan, sebagai
"ontoh, dalam banyak (itab 0abur %abi &awud dan pada beberapa
%abi. #gama $udha seperti yang kita pelajari, terutama dari
tulisan-tulisan S"hopenhauer, berisi unsur yang lebih kuat dari
perasaan tersebut.
Para jenius religius dari segala zaman dibedakan oleh perasaan
religius sema"am ini, yang tidak mengenal dogma dan konsepsi
!uhan dalam bentukan "itra manusia maka tak akan ada gereja
yang ajaran-ajaran utamanya didasarkan pada hal tersebut.
(arenanya, kita menemukan orang-orang yang penuh dengan
perasaan religius tertinggi ini hanya diantara para heretik 1yang
dianggap melakukan bid2ah-bid2ah3 di setiap zaman dan dalam
banyak hal mereka dipandang oleh orang-orang sezamannya
sebagai orang ateis, kadang-kadang juga sebagai santo 1wali3. &ari
sudut pandang ini, orang-orang seperti &emokritos, 4ran"is #ssisi,
dan Spinoza, sangat mirip satu dengan lainnya.
$agaimana mungkin perasaan religius-kosmik dikomunikasikan
kepada orang lain, kalau perasaan itu memun"ulkan tak satupun
gagasan yang mutlak tentang !uhan, dan memun"ulkan tak satu
pun teologi- &alam pandangan saya, inilah fungsi terpenting seni
dan ilmu, yaitu, untuk membangkitkan perasaan ini dan
memeliharanya agar tetap hidup pada orang-orang yang dapat
menerimanya.
&engan demikian, kini kita sampai kepada suatu konsepsi yang
sangat berbeda dari biasanya tentang hubungan antara ilmu dan
agama. 5ika seseorang melihat masalah ini se"ara historis, ia akan
"enderung untuk melihat ilmu dan agama sebagai dua hal yang
saling berlawanan yang tak dapat didamaikan dan ada alasan
yang jelas untuk ini.
Manusia ,eligius
Selama periode awal e'olusi spritual umat manusia, khayalan
manusia telah men"iptakan !uhan-!uhan dalam "itra manusia
sendiri, yang dengan berlangsungnya kehendak mereka ingin
menentukan, atau paling tidak mempengaruhi sampai tingkat
tertentu, dunia fenomenal. Manusia berusaha mengubah
ketentuan !uhan-!uhan ini untuk kebaikan mereka sendiri dengan
"ara magis dan penyembahan. 6agasan !uhan pada saat ini
adalah penghalusan dari konsep lama tentang !uhan-!uhan. Sifat
antropomor*snya tampak, misalnya, pada kenyataan bahwa
manusia memuja 7ujud Ilahiah dalam sembahyang-
sembahyangnya, dan memohon dipenuhinya keinginan-keinginan
mereka.
Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu
!uhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah dapat
menjadi pelipur lara, pemberi bantuan dan pembimbing manusia
juga, disebabkan sederhananya gagasan itu, ia dapat dipahami
oleh orang yang pikirannya paling lemah sekalipun. !api, di pihak
lain, ada kelemahan yang amat penting dalam gagasan
antropomor*s ini sendiri, yang terasa amat menyakitkan sejak
permulaan sejarah. )aitu bahwa jika 7ujud ini mahakuasa, maka
setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap
pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalah
juga karya-%ya bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa
manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan
pemikirannya di depan 7ujud mahakuasa seperti itu- &alam
memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian
terhadap &iri-%ya sendiri. $agamana ini dapat dikombinasikan
dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-%ya- Sumber
utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak
pada konsep !uhan yang personal ini.
/rang yang yakin sepenuhnya pada berlakunya hukum sebab
akibat se"ara unu'ersal, tak akan bisa menganut suatu gagasan
tentang satu wujud yang ikut "ampur dalam terjadinya peristiwa-
peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis
sebab-akibat itu se"ara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut,
begitu juga agama-moral. Suatu !uhan yang memberi ganjaran
dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan
sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan
harus dilakukan, sehingga di mata !uhan ia tak dapat bertanggung
jawab persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak
bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya.
&emikianlah, maka ilmu telah dituduh menghan"urkan moralitas,
tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia harus
didasarkan se"ara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan
sosial, dan kebutuhan-kebutuhan tak diperlukan dasar agama.
Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang oleh
perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran setelah
mati.
Maka, mudah (ita pahami mengapa gereja selalu memerangi ilmu
dan mendukung para pendukungnya, di pihak lain perasaan
religius kosmik merupakan motif paling kuat dan mulia bagi
penelitian keilmuan. 8anya mereka yang mengerti usaha yang luar
biasa dan pengabdian yang telah mewujudkan semua karya pionir
dalam ilmu teoritis, yang dapat menangkap kekuatan emosi yang
karenanya karya-karya tersebut - yang begitu jauh dari kenyataan
hidup sehari-hari dapat ter"ipta. $etapa dalamnya keyakinan
tentang rasionalitas alam semesta, dan betapa kuatnya dorongan
untuk memahami yang pasti dimiliki (opler dan %ewton sehingga
mereka dapat bertahan dalam kerja sunyinya yan bertahun tahun
untuk menguraukan prinsip-prinsip mekanik alam semesta. Mereka
yang pengalamannya dalam penelitian keilmuan didapat dari
terutama hasil-hasil praktisnya dengan mudah mengembangkan
gagasan yang sama sekali salah tentang mentalitas manusia yang
dalam lingkungan alam skeptis telah menunjukkan dalam
sesamanya suatu semangat yang terserak keseluruh dunia dan
sepanjang masa. 8anya sesoran yang mengabdikan hidupnya
yang gambkang dengan apa yang telah mengilhami orang-orang
itu dan yang memberi mereka kekuatan untuk tetap setia kepada
tujuan-tujuan mereka, meski mengalami kegagalan-kagagalan
yang tak terhitung adalah perasaan religius-kosmik yang memberi
seseorang kekuatan sema"am itu. Seorang dari zaman kita telah
mengatakan bahwa yang materialistik ini hanyalah pekerja ilmu
yang serius yang benar behnar merupakan orang religius.

You might also like