You are on page 1of 6

Gerakan sosial berbasis petani

Abstrak
Gerakan sosial baru (new social movements) merupakan salah satu fenomena yang dominan
mewarnai kondisi politik dunia belakangan ini. Tidak diketahui pasti kapan munculnya gerakan
sosial semacam ini, tapi banyak pihak yang melihat kemunculannya pada dekade 1960-an,
seiring dengan makin meluasnya paham postmodernisme. Yang perlu dicatat di sini adalah isu-
isu sentral yang ditekankan gerakan ini bukan lagi isu-isu politik tingkat tinggi (high politics),
tapi lebih ke arah isu-isu sosial kemasyarakatan. Isu agama, rasial, hak asasi manusia adalah
beberapa contohnya.
Dalam paper singkat ini membahas salah satu artikulasi dari gerakan ini, yaitu gerakan petani
di kawasan Amerika Selatan, dan akan difokuskan di negara Bolivia dan Brasil. Pemilihan kedua
negara ini sebagai bahasan utama mengingat kebangkitan gerakan petani yang pada puncaknya
ikut andil dalam mengantar dua tokoh gerakan ini di pucuk tertinggi kepemimpinan negara
tersebut. Pembahasan akan dilakukan secara eksplanatif dengan memakai pendekatan historis
serta memakai level analisis bangsa dan masyarakat atau sistem internasional. Pada awal paper
ini diberikan sedikit tinjauan secara teoritis dari fenomena gerakan sosial ini. Kemudian
perspektif teori tersebut digunakan dalam menggambarkan perkembangan dan kelangsungan
gerakan petani ini secara umum. Di akhir paper ini penulis mencoba sedikit memberikan
prediksi dan kesimpulan mengenai masa depan gerakan ini secara umum.

Kata kunci : gerakan sosial , reformasi agraria, kedaulatan pangan
Gerakan Sosial Baru sebagai Metode Perlawanan Sosial
Muncul dan berkembangnya Gerakan Sosial Baru (New Social Movements) ini masih bisa
diperdebatkan, tapi secara umum merupakan suatu istilah baru dalam ilmu-ilmu sosial. Suatu
gerakan sosial identik dengan metode perlawanan sosial. Studi secara teoritis yang banyak
dikembangkan oleh ahli-ahli ilmu sosial mengenai masalah ini banyak memfokuskan studi
mereka pada masalah-masalah seperti basis sosial dari kepatuhan dan perlawanan sosial,
konflik kelas dan kesadaran kelas, dan yang terakhir bentuk-bentuk dari perlawanan sosial itu
sendiri.
Peter Burke, seorang sosiolog Amerika, menjelaskan dua tipe gerakan sosial. Pertama, gerakan
sosial untuk memulai perubahan. Dan yang kedua, gerakan sosial yang dilakukan sebagai reaksi
atas perubahan yang terjadi. Sedangkan secara garis besar ada dua perspektif utama dalam
menjelaskan fenomena gerakan sosial ini dengan dua elemen dasarnya, yaitu kepatuhan dan
perlawanan sosial. Perspektif yang pertama berusaha menjelaskan fenomena kepatuhan dan
perlawanan sosial ini dari pandangan mengenai otoritas moral sebagai basis dari hubungan dan
stabilitas sosial. Barrington Moore merepresentasikan perspektif ini dalam bukunya Injustice:
The Social Bases of Obedience and Revolt. Studinya mengenai revolusi-revolusi di Jerman dan
Rusia pada awal abad ke-20 merupakan upaya untuk memperlihatkan otoritas moral sebagai
determinan penting dalam mewujudkan suatu gerakan sosial.
Sedangkan perspektif kedua yang banyak dianut oleh strukturalisme (baik Marxis maupun non-
Marxis), mendasarkan penjelasannya pada adanya keharusan struktural yang menentukan
tindakan dan perilaku individual, termasuk kepatuhan atau perlawanannya terhadap
kekuasaan. Stanley Milgram dalam bukunya Obedience to Authority berusaha menjelaskan
bahwa kepatuhan dan perlawanan sosial dan kemudian diartikulasikan melalui suatu gerakan
sosial didasarkan pada rangsangan luar sebagai faktor utamanya. Perspektif inilah yang banyak
dipakai para analis dan akademisi untuk menjelaskan berbagai gerakan sosial, terutama
gerakan petani, di Amerika Selatan.
Gerakan para petani ini juga bisa diklasifikasikan sebagai gerakan kelas-kelas tertindas
(subaltern classes). Gerakan kelas tertindas ini , seperti yang diungkapkan oleh Gramsci (Sardar
& Van Loon 1999), tidak dapat diabaikan begitu saja karena semakin kuat dan perkembangan
terakhir justru memunculkan sinerji dengan gerakan-gerakan sosial lain seperti dengan gerakan
buruh, gerakan kaum terpelajar, gerakan kelas menengah, gerakan bangsa pribumi, dll. Sinerji
ini memunculkan potensi kekuatan yang besar ditandai dengan kemampuan memobilisasi
dukungan dan massa dalam jumlah besar.
Reformasi Agraria dan Konsep Kedaulatan Pangan
Tujuan utama dari gerakan petani di dunia adalah reformasi agraria, yang bukan hanya
diimplementasikan di tingkat lokal atau nasional, tapi juga level global. Konsep reformasi
agraria ini dilatarbelakangi kegagalan rezim ekonomi dunia seperti GATT dan WTO dalam
menangani masalah ini. ketimpangan distribusi pendapatan yang besar, semakin tercekiknya
petani-petani di negara-negara berkembang yang menciptakan kegagalan swasembada pangan
di berbagai belahan dunia membuat gerakan petani seluruh dunia merumuskan konsep baru
untuk mereka perjuangkan, yaitu kedaulatan pangan (food sovereignity). Konsep ini sudah
dirancang oleh petani dari sejak tahun 1996 oleh Gerakan Petani Dunia, La Via Campesina (di
Indonesia organisasi petani yang berafiliasi langsung dengan La Via Campessina adalah
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Hal ini berguna untuk melindungi dan mengatur
produksi pertanian domestik, dan juga masalah perdagangan dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan yang berkelanjutan.
Kedaulatan pangan juga menentukan sejauh mana rakyat ingin memenuhi sendiri kebutuhan
pangannya, dan untuk menolak dumping produk impor ke dalam pasar domestik. Kedaulatan
pangan tidak menegasikan perdagangan, namun lebih mempromosikan formulasi kebijakan
perdagangan dan praktek yang melayani hak rakyat untuk produksi pangan berkelanjutan yang
aman, sehat dan ramah lingkungan. Sistem pembangunan yang memajukan kaum tani bukan
berarti menegasikan kepentingan golongan masyararakat lainnya, melainkan bersinerji secara
positif. Memajukan pertanian bukan berarti memundurkan sektor lain, tetapi meletakkan
pertanian sebagai dasar menuju industrialisasi nasional yang tangguh di hadapan gelombang
global. Alternatif perdagangan pertanian dalam paradigma kedaulatan pangan saat ini sudah
diaplikasikan di negara-negara semacam Kuba, Mali, Mozambik. Menyusul selanjutnya
Venezuela dan Bolivia. Bahkan di negara maju, prinsip-prinsip kedaulatan pangan diadopsi
dalam pertanian kecil dan keluarga di Eropa dan AS.
Revolusi Kecil di Amerika Selatan
Kondisi perpolitikan di Amerika Selatan bisa dikatakan secara regional tergolong labil. Tidak
ada suatu rezim yang mampu bertahan lama. Pemerintahan dikator maupun demokratis pun
tidak menjadi jaminan suatu rezim melanggengkan kekuasaannya. Berbagai revolusi juga sering
terjadi yang disertai lahirnya pemimpin-pemimpin revolusioner kharismatik.
Banyak para akademisi dan pengamat politik yang masih berdebat mengenai dasar dan basis
utama gerakan sosial politik di Amerika Selatan ini. Faktor orientasi ideologis dan fenomena
sosial politik lokal masih menjadi pertimbangan utama. Berbeda dengan gerakan sosial yang
melibatkan gerakan buruh perkotaan sebagai motor utama, gerakan petani menjadi basis
utama gerakan sosial di Amerika Selatan belakangan ini. Kenapa buruh perkotaan yang selama
ini dielu-elukan oleh kaum kiri sebagai ujung tombak revolusi sosial gagal menjalankan
peranannya ini ? Fakta di lapangan membuktikan gerakan buruh urban semakin lemah akibat
gempuran kebijakan neoliberal: sistem kerja kontrak, fleksibilitas kerja yang tinggi, dan
organisasi yang semakin terbirokratisasi secara sistematis melemahkan potensi gerakan buruh
sebagai satu kekuatan yang mapan.
Munculnya gerakan petani yang terutama bersinerji dengan gerakan-gerakan anti globalisasi
dan anti neo liberalisme memperlihatkan kekecewaan sebagian besar masyarakat Amerika
Selatan terhadap kegagalan sistem neoliberalisme dalam memenuhi janji-janjinya. Ditambah
keadaan ekonomi domestik maupun regional yang tak kunjung memperlihatkan tanda tanda
membaik. Indikator lainnya adalah dilihat dari munculnya baik para kandidat presiden maupun
presiden yang memegang tampuk kekuasaan utama di negara-negara Amerika Selatan yang
arahnya semakin ke kiri, seperti Luiz Inacio da Silva di Brasil, Tabare Vazquez di Uruguay,
Nestor Kirchner di Argentina, Juan Morales di Bolivia, dan yang paling fenomenal adalah Hugo
Chavez Frias di Venezuela.
Gerakan petani di Amerika Selatan juga terpengaruh faktor historis gerakan sosial lainnya.
Keberadaan suatu pemimpin kharismatik merupakan suatu kebutuhan utama dalam
melaksanakan gerakan sosial revolusioner. Dalam dua contoh kasus yang kita ambil, kita lihat
bagaimana pentingnya figur Evo Morales di Bolivia maupun Lula da Silva di Brasil bagi
keberlangsungan gerakan sosial mereka.
James Petras (2005) membuat dua klasifikasi model pembangunan pertanian di Amerika Latin
berdasarkan perkembangan historis kontemporer, yaitu model Brasil dan Venezuela. Model
Venezuela secara intensif dijalankan oleh Presiden Hugo Chavez. Disebut juga sebagai program
landreform yang ekstensif. Program-program utamanya diantaranya pengambilalihan lahan-
lahan perkebunan dan tanah kosong dan pemindahan mereka yang tak bertanah dan petani-
petani subsisten dan terakhir mereka yang pindah ke kota-kota. Sedangkan model Brasil di
bawah pemerintahan Lula da Silva sangat berkebalikan dengan yang dijalankan di Venezuela.
Lula da Silva malah mempromosikan perluasan perusahaan-perusahaan agro-eksport skala
besar, mengonsentrasikan tanah, dan membiayai perusahaan-perusahaan agrobisnis yang
mengongkosi petani kecil dan buruh tak bertanah. Jika dalam model Venezuela kita
menemukan hubungan yang saling menguntungkan antara aktivis tani dengan pemerintah yang
didasarkan pada kepemimpinan yang populis. Dalam kasus Brazil di bawah Lula, kita temukan
rejim neoliberal yang dipimpin oleh dan untuk kepentingan ekonomi atau kapitalisme.

Gerakan Petani di Bolivia
Tanggal 22 Januari 2005, Juan Evo Morales Ayma pemimpin Movimiento al Socialismo (MAS/
Gerakan Menuju Sosialisme) dilantik menjadi Presiden Bolivia. Dan sampai sekarang, Evo
Morales merupakan salah satu pemimpin kharismatik di Amerika Selatan yang dengan terang-
terangan menentang neo liberalisme dan ,berkonfrontasi terutama dalam masalah ekonomi,
dengan Amerika Serikat. Kendaraan politik Evo Morales bukan hanya MAS yang didirikan
Morales tahun 1995, tapi juga gerakan petani yang menjadi tulang punggung MAS sebagai salah
satu kekuatan politik besar di Bolivia. Gerakan petani koka (cocaleros) menjadi kekuatan utama
MAS. Evo Morales sendiri adalah seorang petani koka yang berasal dari satu di antara empat
kelompok etno-linguistik 4 pribumi, yakni Quechua, Aymara, Guarani dan Chiquitano, yang
meliputi 65% penduduk Bolivia. Dengan dilantiknya Morales menjadi Presiden, maka ia juga
telah mematahkan dominasi kulit putih selama lebih dari 500 tahun.
Gerakan Petani di Brasil
Setahun sebelum kebangkitan gerakan petani di Bolivia, di Brasil, negara terbesar di Amerika
Selatan, mobilisasi kekuatan marjinal ini mengantarkan Luiz Inacio Lula da Silva menjadi
Presiden Brasil. Walaupun tidak mempunyai latar belakang petani, tapi Lula da Silva
merupakan aktivis buruh industri logam di Sao Paulo dan sempat memimpin serikat buruhnya.
Tahun 1969, bersama dengan aktivis lainnya ia mendirikan Partido Trabalhadores (PT / Partai
Buruh Brasil) dan menjadi kendaraan politik utamanya. PT ini juga yang nantinya menjadi
kendaraan politik utama bagi gerakan petani Brasil.
Partido Trabalhadores ini banyak didukung oleh serikat atau perkumpulan petani untuk
menjadi sarana artikulasi gerakannya untuk memperjuangkan reformasi agraria. Salah satu
gerakan tani pendukung terbesarnya adalah Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra
atau MST (Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah). MST dikenal sebagai salah satu organisasi
kiri yang paling keras memperjuangkan reformasi agraria di Brasil. MST ini secara hadir sebagai
representasi petani yang tertindas. Salah satu tragedi yang tak akan dilupakan dan
menyebabkan lahirnya MST ini adalah tragedi 17 April 1996. Di mana saat itu di kota Eldorado
dos Carajos, Brasil, terjadi bentrok massal antara aparat keamanan dan warga setempat. Dalam
bentrok berdarah itu diberitakan 19 petani tewas dan 60 orang luka berat.
Sayangnya pemerintahan Lula da Silva yang dimotori gerakan petani ini tidak kuasa melawan
kekuatan pasar dan kepentingan-kepentingan perusahaan perusahaan multinasional. Agenda
reformasi agraria yang sudah matang dirancang berhenti di tengah jalan.
Masa Depan Gerakan Petani
Pertanyaan besar yang segera muncul adalah bagaimana keberlangsungan gerakan petani di
Amerika Selatan ini ? Bagaimana mereka mempertahankan keberlangsungan kekuasaan yang
telah mereka menangkan ? Keberadaan gerakan petani yang semakin kuat di Amerika Selatan
beberapa dekade belakangan ini telah mementahkan ramalan banyak analis yang
memperkirakan jumlah dan sektor pertanian akan semakin berkurang seiring berkembanganya
industrialisasi dan kapitalisme. Tapi prospek ke depannya bagi kelangsungan gerakan ini juga
masih menjadi tanda tanya besar bagi semua pihak.
Kekhawatiran mulai muncul setelah gerakan petani ini terartikulasi secara politik dalam
pemerintahan. Agenda-agenda dan misi yang mereka bawa timbul tenggelam di antara
banyaknya kepentingan politik dan ekonomi yang punya kekuatan kuat. Bahkan Presiden Brasil
, Lula da Silva pun tak berdaya melawan kekuatan neo liberal, yang membuka seluas-luasnya
sumber daya untuk dieksploitasi untuk kepentingan ekspor, merusak tatanan ekologis,
mengabaikan hak asasi manusia, dan menempatkan petani kecil dan buruh tani tak bertanah
pada prioritas terendah. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa strategi elektoral yang
dijalankan oleh para pemimpin gerakan petani melalui aliansi dengan kekuatan politik lain
hanya berakibat kontra produktif terhadap gerakan mereka ( strategi elektoral di sini bisa
diartikulasikan melalui aktivitas penciptaan organisasi politik baru, atau menjadi pendukung
keberadaan gerakan kiri perkotaan atau mendukung partai populis). Seperti yang diungkapkan
oleh James Petras, ketika gerakan petani beraliansi dalam strategi elektoral, justru kemunduran
yang terjadi baik dalam tuntutan, strategi, organisasi, dan basis dukungan. Strategi elektoral
terbukti hanya memberi peluang pada borjuasi untuk merekonsolidasikan kekuatannya untuk
kemudian menghantam balik gerakan petani hingga hancur.
Tapi kebanyakan gerakan petani tradisional masih percaya pada strategi gerakan langsung
dengan menghimpun jumlah massa yang besar untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Pendudukan lahan-lahan besar milik perusahaan multinasional, penutupan jalan raya,
demosntrasi besar-besaran, pengambilalihan kantor-kantor perusahaan maupun pemerintah
merupakan beberapa contoh strategi langsung ini. Strategi ini memang relatif efektif dalam
mencapai tujuan, tapi juga sangat riskan karena akan cenderung menonjol sifat anarkhisnya
dan berpotensi mengurangi simpati dari berbagai pihak. Seperti yang terjadi di Brazil, pada
awal 1985 dan berlanjut pada 2002, gerakan buruh pedesaan tak bertanah (the the Rural
Landless Workers Movement), menduduki ribuan perkebunan besar dan memindahkan lebih
dari 350 ribu keluarga pedesaan dalam pertanian keluarga dan koperasi.
Salah satu konsep penting yang menjadi kunci keberlangsungan hidup dari gerakan sosial ini
seperti yang juga diusulkan oleh banyak kalangan adalah go global. Dengan kata lain adalah
internasionalisasi gerakan. Bukan hanya ideologi, tapi juga bentuk, semangat, dan rasa
kebersamaan gerakan yang diyakini mampu menghimpun kekuatan petani di seluruh dunia.
Kepentingan-kepentingan sempit yang bersifat lokal harus segera dilanjutkan dengan misi-misi
yang lebih bersifat universal tanpa melupakan identitas lokalnya.
Kesimpulan
Gerakan sosial pada hakikatnya merupakan respon , baik spontan maupun terorganisir, dari
masyarakat terhadap institusi negara yang telah mengabaikan hak-hak rakyat, yang ditandai
dengan artikulasi secara inkonstitusional dan tak jarang bertentangan dengan prosedur hukum
maupun birokrasi yang berlaku. Dalam pandangan yang lebih positif, gerakan sosial bisa dilihat
sebagai upaya bersama dari rakyat yang hendak melakukan pembaruan atas situasi dan kondisi
sosial politik yang dipandang tidak berubah dari waktu ke waktu dan yang dianggap tidak
memberi andil terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Gerakan petani merupakan salah satu dari berbagai macam gerakan sosial baru di Amerika
Selatan. Tidak semua gerakan sosial ini berujung pada kesuksesan. Di Kolombia, dan beberapa
negara Amerika Tengah serta yang sekarang, Brasil, gerakan petani menderita penindasan oleh
rezim yang berkuasa. Tapi perkembangan kontemporer memperlihatkan potensi mereka
menjadi kekuatan besar yang mempunyai basis dukungan global.
Daftar Referensi:
Mazrui, A.A. (1983). Post-Liberation Movements in Search of Racial, Sexual and Class
Utopias, dalam The Future of Politics oleh William Page (editor), London, Frances Pinter,
Moore, B. (1978) Injustice : The Social Bases of Obedience and Revolt , New York, ME
Sharpe
Milgram, S. (1969) Obedience to Authority : An Experimental View, New York, Harper &
Row
McLean, P. & DeShazo, P. (2005) Bolivias Crisis of Governance. CSIS Policy Papers on the
Americas Volume XVI, 3 December
Petras, J. (2005). Strategies of Struggle The Centrality of Peasant Movements in Latin
America [Internet]. Available from :
<http://www.globalresistancenetwork.com/JP_RevoutionLA.html> [Accessed 17 Septembre,
2006].
Pontoh, C.H. (2005). Kata Pengantar Strategi-Strategi Perjuangan Sentralisasi Gerakan Tani
di Amerika Latin [Internet]. Available from:
<http://coenpontoh.wordpress.com/2005/06/26/strategi-strategi-perjuangan-sentralisasi-
gerakan-tani-di-amerika-latin/ > [Accessed 17 September, 2006].
Setiawan, U. (2005). Pertanian di Era Globalisasi. Kompas, 18 April

You might also like