You are on page 1of 27

REFERAT RADIOLOGI

GAMBARAN RADIOLOGI PADA


CEDERA OTOT



Oleh:

Martha Tiara Dugikawa
Muhammad Cholis Hidayat
Igsana Chyntia Murti
Diana Veroshini
Riris Linda Restantin

Pembimbing:
dr. Irma Darinafitri, Sp.Rad

LABORATORIUM RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Cedera otot merupakan kejadian yang umum, khususnya pada ilmu
kedokteran olahraga. Cedera otot meliputi trauma langsung dan tidak langsung.
Trauma tidak langsung termasuk diantaranya delayed onset muscle soreness
dan muscle strains. Trauma langsung seperti laserasi otot dan kontusio otot.
30% dari cedera olahraga merupakan bentuk dari cedera otot.
Pemeriksaan pencitraan penting dilakukan bukan hanya untuk mendiagnosis
kerusakan otot, namun juga diperlukan untuk memprediksi rehabilitasi dari otot
yang terkena cedera.
Cedera paling sering yang dialami ketika berolahraga adalah otot terkilir
yang dalam istilah medis disebut dengan sprain dan strain. Sprain adalah
teregangnya ligamen (jaringan ikat/penghubung yg kuat) sehingga menimbulkan
robekan parsial/sebagian, hal ini terjadi karena stress berlebihan yang mendadak
atau penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi. Strain adalah
teregangnya otot dan tendon (jaringan ikat/penghubungan yg kuat yg
menghubungkan otot dengan tulang) karena penggunaan yang berlebihan
ataupun stress yang berlebihan.
Diagnosis yang tepat untuk mengenali cedera pada otot sangatlah
diperlukan. Diagnosis didapat dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dengan cermat, pemeriksaan laboratorium, serta pemeriksaan radiologi. Saat ini
telah banyak modalitas radiografi yang dapat digunakan untuk membantu
penegakan diagnosis cedera pada otot, mulai dari Foto Polos (X-ray), CT scan,
Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Deteksi dini pada cedera otot sangatlah penting untuk staging dan untuk
pemilihan terapi yang optimal. Tujuan imaging adalah mengidentifikasi lokasi
cedera otot dan untuk mengevaluasi apakah ada atau potensi terjadinya
komplikasi seperti fraktur patologis dan kompresi sumsum tulang belakang.
Imajing juga digunakan untuk memandu biopsi dan menilai respon terhadap
terapi. Untuk dapat mengetahui cedera pada otot dengan modalitas radiografi
sangatlah penting untuk mengenali gambaran-gambaran radiografi yang khas
yang dapat ditemui. Oleh karena itu, pada referat ini akan dibahas mengenai
gambaran radiologi pada cedera otot dan berbagai modalitas radiologis yang
dapat digunakan membantu menunjang diagnosis maupun terapi.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan histologi pada otot ?
2. Bagaimana patofiiologi dari metastase tulang ?
3. Bagaimana penegakan diagnosis dari metastase tulang ?
4. Pemeriksaan radiologi apa saja yang dapat digunakan untuk menunjang
diagnosis maupu terapi pada cedera otot ?
5. Bagaimana gambaran radiologi yang dapat ditemui pada cedera otot?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui anatomi dan histologi terjadinya cedera otot
2. Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya cedera otot
3. Untuk mengetahui diagnosis dari cedera otot
4. Untuk mengetahui beberapa pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan
untuk menunjang diagnosis maupu terapi cedera otot
5. Untuk mengetahui gambaran radiologi yang dapat ditemui pada cedera
otot

1.4 Manfaat
Dengan penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman dokter muda mengenai cedera otot dalam hal patogenesis,
diagnosis, modalitas radiologi, dan gambaran radiologis pada kasus cedera
otot


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histiologi Tulang
Otot merupakan jaringan skeletal terbesar yang menyusun system organ
di dalam tubuh, sekitar 40% dari total berat tubuh. Otot bekerja dengan cara
kontraksi dan relaksasi sehingga menghasilkan gerakan pada tubuh. Supaya otot
dapat bekerja, diperlukan inervasi secara otomatis yang berasal dari sistem saraf
pusat. Pada ujung sistem saraf terdapat sambungan yang berhubungan dengan
jaringan otot bernama neuromuscular junction.

Struktur Otot Lurik
Hubungan jaringan ikat
Masing-masing serat otot berikatan pada serat yang lain membentuk
bundel otot. Tiap bunde otot akan berikatan dengan bundel lain. Substansi yang
berikatan didalam otot dihubungkan dengan jaringan ikat lunak. Tiap serat dari
otot lurik dilapisi oleh jaringan ikat yang disebut endomysium. Endomysium yang
berdampingan akan berikatan yang mendukung pembuluh kapiler dan ujung
saraf untuk yang memfasilitasi otot. Jaringan ikat lain, disebut dengan
perimysium, merupakan ikatan beberapa serabut otot yang bersama-sama
membentuk bundel disebut fascicule. Perimysium membantu pembuluh darah
dan serabut saraf memfasilitasi berbagai fasciculi. Keseluruhan otot dilapisi oleh
epimysium yang terhubung dengan tendon.
Fasia adalah jaringan ikat fibrosa yang ketebalannya bervariasi. Fasia
melapisi otot dan menempel ke kulit. fasia superficial diatas dinding abdomen
sangat tebal dan diikuti dengan jaringan adipose. Sedangkan fasia superficial
dibawah kulit dari tangan, siku, dan wajah tipis. Fasia bagian dalam menyatu
dengan epimysium. Fasia bagian dalam melingkupi otot-otot yang berdampingan,
terbagi menjadi beberapa bagian dan mengikat otot-otot menjadi bagian
fungsional. Fasia subserous terletak diantara fasia dalam dan membrane serous.
Serabut saraf dan pembuluh darah melintasi fasia subserous untuk memfasilitasi
membran serous.
.



























Serat Otot Lurik
Tiap serat otot dilapisi oleh sarcolemma. Struktur reticulum sarcoplasma
memanjang melewati sitoplasma yang disebut sarcoplasme. T tubules melewati
perpensicular menuju reticulum sarcoplasma dan terbuka melewati sarkolemma.
T tubule juga melekat pada serabut otot yang disebut myofibril. Myofibril
berdiameter 1 mikrimeter dan memanjang secara parallel dari akhir serabut otot
menuju serabut lainnya. Struktur ini sangat rapat membungkus organel-organel
(mitokondria dan membrane intraseluler) yang membatasi jarak sempit di
sarkoplasma yang berada diantara myofibril-myofibril yang bersebelahan.
Masing-masing myofibril terdiri dari filament protein kecil yang disebut
myofilamen. Filament tipis terdiri dari protein aktin. Filament tebal terdiri dari
protein myosin. Karakteristik gelap terang pada bagian myofibril otot lurik terjadi
karena pengaturan myofilamen tersebut. Pita gelap disebut pita A dan pita terang
disebut pita I. garis Z merupakan garis gelap tipis yang terlihat di tengah-tengah
pita I. pengaturan filament tebal dan tipis diantara bagian garis Z membentuk
pola structural yang berulang yang membentuk subunit dasar untuk kontraksi otot
lurik. Subunit dari garis Z ke garis Z yang lain disebut sarkomer. Irisan
longitudinal dari myofibril menampilkan gambaran sarkomer yang berurutan.
Pita I didalam myofibril merupakan area yang lebih terang yang memanjang dari
tepi salah satu tumpukan filament myosin tebal ke tepi tumpukan filament tebal
selanjutnya. Tampilan terang tersebut terjadi karena lapisan ini hanya terdiri dari
filament yang tipis. Filament tipis ini tidak berujung pada tepi pita I tetapi berapa
bagian dari masing-masing filament tipis memanjang ke pita A pada sisi yang
lain. Karena filament tebal dan filament tipis saling bertumpuk pada bagian ini
maka terbentuk tepi pita A yang lebih gelap daripada area sentral. Bagian sentral
dari pita A yang lebih terang ini disebut zona H. Zona H sentral hanya berisi
filament tebal yang tidak bertumpuk dengan filament tipis.














































Tulang adalah suatu jaringan yang terstruktur dengan baik serta
mempunyai 5 fungsi utama yaitu membentuk rangka badan, sebagai tempat
melekatnya otot, sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan
mempertahankan organ dalam, sebagai tempat deposit kalsium, fosfor,
magnesium, garam dan dapat berfungsi sebagai cadangan mineral tubuh, serta
ikut membantu dalam regulasi komposisi mineral pada tubulus ginjal, khususnya
konsentrasi ion kalsium plasma dan cairan ekstraseluler, serta mempunyai fungsi
tambahan lainnya yaitu sebagai jaringan hemopoetik untuk memproduksi
eritrosit, leukosit, dan trombosit (Umadevi dan Geethalakshmi, 2011).
Tulang berasal dari jaringan embrionik kartilago hialin yang mengalami
proses osteogenesis. Tulang tersusun atas sel, matriks protein, dan deposit
mineral. Sel-selnya terdiri dari osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas
berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang.
Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan,
asam polisakarida, dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana
garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang
terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks
tulang). Osteoklas adalah sel multinuklear (berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remodeling tulang (Raisz, 2005).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan
periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya
tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum
mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat
dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum
tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang
melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum
dan dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang). Struktur tulang
dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan
organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang
dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah
kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium.
Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui
proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan
tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (Tzelepi et al., 2009).

Gambar 1. Gambar Skematis Anatomi Tulang (Tzelepi et al., 2009)
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat
berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang
berubah selama hidup. Pembentukan tulang dipengaruhi oleh rangsangan
hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang,
dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai di permukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas
berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang.
Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa
hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama
beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi
bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan
terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang
menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem
saluran mikroskopik di tulang (Ferguson, 2006).
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara
bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena
aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik
multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di
tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang
mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat
pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit
demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul
osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang
baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan
tulang baru yang lebih kuat (Ferguson, 2006).
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan
tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan
remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka
menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas
osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas
osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang
konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas
dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada
tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau
kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi
rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh
beberapa faktor fisik dan hormon. Diantaranya adalah stres yang mengenai
tulang, faktur tulang, hormon estrogen, testosteron, hormon paratiroid, hormon
perturnbuhan, dan vitamin D (Ferguson, 2006).
2.2 Tumor Tulang
Terdapat beberapa klasifikasi daru tumor tulang berdasarkan asal sel (Kindblom,
2007), yaitu :
Tumor Tulang Primer
1. Tumor yang membentuk tulang (Osteogenik)
Osteoid
Osteoma
Osteosarkoma
Osteoblastoma
2. Tumor yang membentuk tulang rawan (Kondrogenik)
Kondromiksoid Fibroma
Enkondroma
Osteokondroma
Kondroblastoma
Kondrosarkoma
3. Tumor jaringan ikat (Fibrogenik)
Non Ossifying Fibroma
Fibrosarkoma
4. Tumor sumsum tulang (Myelogenik)
Multiple Myeloma
Sarkoma Ewing
Sarkoma Sel Retikulum
5. Tumor lain-lain
Giant cell tumor
Adamantinoma
Kordoma

Tumor Tulang Sekunder/Metastatik
Akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya

Neoplasma Simulating Lesions
Simple bone cyst
Fibrous dysplasia
Eosinophilic granuloma
Brown tumor/hyperparathyroidism

2.3 Cedera Otot
2.3.1 Definisi
Cedera otot adalah cedera pada musculotendinous junction. The
tendinous junction adalah di mana serat otot memenuhi tendon, dan bentuk
bervariasi pada otot yang berbeda. Dalam kebanyakan otot, tendon meluas
dalam ke otot menciptakan junction musculo-tendinous yang lama. Daerah ini
sangat penting dalam trauma, karena sering terlibat. Epimysium adalah jaringan
fibrosa yang terletak di tepi otot. Hal ini menjadikan empysium sebagai muscle
sheath yang berkomunikasi dengan tendon. Ini juga merupakan daerah penting
untuk dipertimbangkan karena ketika ada robekan pada otot, cairan cenderung
untuk bocor dan mengumpulkan di epimysium tersebut.
Ada dua jenis cedera yang sering dialami, yaitu trauma akut dan Overuse
Syndrome (Sindrom Pemakaian Berlebih). Trauma akut adalah suatu cedera
berat yang terjadi secara mendadak, seperti robekan pada ligamen, otot, tendon,
bisa terkilir atau bahkan bisa sampai patah tulang. Untuk cedera akut biasanya
memerlukan pertolongan profesional. Sindrom pemakaian berlebih atau Overuse
Syndrome sering dialami oleh atlet, bermula dari adanya suatu kekuatan yang
sedikit berlebihan, namun berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama.
Cedera otot yang paling umum adalah strain otot. Terjadi pada
musculotendinous junction. Ciri tipikal untuk strain otot adalah edema berpusat di
sepanjang musculotendinous junction. Strain otot yang lebih parah mengandung
koleksi cairan seperti hematoma dan mungkin mengandung serat otot
terinterupsi dan dapat menunjukkan masslike pada gambar MR selain edema
otot. Memar otot disebabkan oleh direct blow. Gambar MR menunjukan
perdarahan interstitial serta edema di lokasi cedera. Memar yang lebih parah
mungkin berisi hematoma dan menunjukan lesi masslike selain edema.

2.3.2 Patofisiologi
Pada cedera otot terdapat 3 fase mekanisme terjadinya cedera otot.
Pertama kali yang terjadi adalah fase kehancuran, terdiri dari kehancuran dan
ditandai dengan robeknya miofibril, pembentukan hematoma dalam ruang
robekan miofibril dan proliferasi sel-sel inflamasi. Selanjutnya terjadi fase
perbaikan berupa fagositosis jaringan nekrotik, regenerasi miofibril diiringi
produksi jaringan ikat pada bekas luka serta revaskularisasi ke daerah luka. Fase
remodeling terjadi padaperiode di mana pematangan miofibril yang beregenerasi,
retraksi dan reorganisasi jaringan luka dan pemulihan kapasitas fungsional otot
terjadi.
Cedera pada otot seringkali direspon oleh tubuh dengan tanda - tanda
inflamasi yang terdiri atas rubor (merah), tumor (bengkak), kalor (panas), dolor
(nyeri), dan functiolesa (penurunan fungsi). Pembuluh darah di lokasi cedera
akan mengalami vasodilatasi sebagai kompensasi untuk mengirim lebih banyak
nutrisi dan oksigen dalam rangka mendukung penyembuhan. Vasodilatasi inilah
yang mengakibatkan lokasi cedera terlihat lebih merah (rubor). Cairan darah
yang banyak dikirim ke lokasi cedera akan merembes keluar dari kapiler menuju
ruang antar sel, dan menyebabkan bengkak (tumor). Dengan dukungan banyak
nutrisi dan oksigen, metabolisme di lokasi cedera akan meningkat dengan sisa
metabolisme berupa panas. Kondisi inilah yang menyebabkan lokasi cedera
akan lebih panas (kalor) dibanding dengan lokasi lain. Tumpukan sisa
metabolisme dan zat kimia lain akan merangsang ujung saraf di lokasi cedera
dan menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri juga dipicu oleh tertekannya ujung
saraf karena pembengkakan yang terjadi di lokasi cedera. Baik rubor, tumor,
kalor, maupun dolor akan menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera
yang dikenal dengan istilah functiolesa.

2.3.3 Diagnosis
Diagnosis keganasan metastasis tulang dapat ditegakkan dengan
anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berikut
ini beberapa gejala dan tanda klinis serta temuan laboratorium yang menunjang
kea rah diagnosis metastatic bone disease (Novartis, 2007).
Nyeri
Nyeri tulang adalah gejala yang paling sering didapati pada proses metastasis
ke tulang dan biasanya merupakan gejala awal yang disadari oleh pasien.
Nyeri timbul akibat peregangan periosteum dan stimulasi saraf pada
endosteum oleh tumor. Nyeri dapat hilang-timbul dan lebih terasa pada malam
hari atau waktu beristirahat.
Gejala lain akibat kompresi medulla spinalis
Metastasis pada vertebra dapat berkembang menyebabkan kompresi medulla
spinalis. Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain parese atau gangguan
sensoris pada ekstremitas dan gangguan miksi akibat pendesakan pada
medulla spinalis. Seringkali gejala dari ini relatif asimptomatis selama
beberapa minggu, tetapi ini adalah waktu untuk pengobatan dini yang paling
efektif untuk mencegah hilangnya fungsi. Oleh karena itu, setiap pasien
berisiko tinggi mengalami metastasis vertebrae yang memperlihatkan gejala
awal kesulitan dalam berjalan atau gangguan fungsi kaki, bahkan jika ada
tanda-tanda defisit neurologis, harus dipertimbangkan untuk pencitraan MRI.
Gejala akibat peningkatan kadar kalsium dalam darah
Hal ini disebabkan karena tingginya pelepasan cadangan kalsium dari tulang.
Peninggian kalsium dapat menyebabkan gejala berkurangnya nafsu makan,
mual, haus, konstipasi, kelelahan, dan bahkan gangguan kesadaran
Gejala akibat gangguan hematologis
Apabila metastasis sampai ke sumsum tulang, gejala yang timbul sesuai
dengan tipe sel darah yang terkena. Anemia dapat terjadi apabila mengenai
sel darah merah. Apabila sel darah putih yang terkena, maka pasien dapt
dengan mudah terjangkit infeksi Sedangkan gangguan pada platelet, dapat
menyebabkan perdarahan.
Fraktur
Adanya metastasis ke tulang dapat menyebabkan struktur tulang menjadi
lebih rapuh dan beresiko untuk mengalami fraktur. Kadang-kadang fraktur
timbul sebelum gejala-gejala lainnya. Daerah yang sering mengalami fraktur
yaitu tulang-tulang panjang di ekstremitas atas dan bawah serta vertebra.

Pemeriksaan penunjang lain yang tidak kalah penting adalah imajing.
Saat ini telah banyak modalitas radiografi yang dapat digunakan untuk
membantu penegakan diagnosis keganasan tulang metastase, mulai dari X-ray,
CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), scintigraphy, tomography, hingga
whole body MRI. Deteksi metastasis tulang sangat penting untuk staging dan
untuk pemilihan terapi yang optimal. Tujuan imajing adalah mengidentifikasi
lokasi metastase dan untuk mengevaluasi apakah ada atau potensi terjadinya
komplikasi seperti fraktur patologis dan kompresi sumsum tulang belakang.
Imajing juga digunakan untuk memandu biopsi dan menilai respon terhadap
terapi (Choi dan Raghavan, 2012). Penjelasan mengenai beberapa modalitas
pencitraan yang digunakan pada kasus keganasan tulang metastase akan
dijelaskan pada sub bab berikutnya.

2.4 Pemeriksaan Radiologi pada Cedera Otot
Cedera pada otot dapat dievaluasi dengan beberapa modalitas
pencitraan, diantaranya sebagai berikut :

2.4.1 Foto Polos Tulang
Foto polos tulang atau pemeriksaan skeletal, memberikan informasi
tentang penyebaran tumor pada tulang seperti ukuran dan bentuknya secara
umum (pada umumnya jika sudah metastase ditemukan lebih dari satu lesi).
Pada foto tulang biasanya muncul gambaran berupa bintik hitam. Tetapi pada
foto tulang biasanya tidak muncul kecuali jika telah terjadi kerusakan pada
separuh jaringan pada tulang tersebut (Hutagalung, 2004).
Karena sensitivitas yang buruk yaitu, 44% sampai 50% kurang sensitif
dibandingkan skintigrafi dalam mendeteksi metastases, umumnya foto polos
tulang tidak digunakan sebagai metode skrining. Kerusakan tulang yang cukup
parah akibat metastasis baru dapat terlihat jelas pada foto polos tulang (Choi dan
Raghavan, 2012).
Pengurangan kepadatan tulang sekitar 30% sampai 75% diperlukan
untuk lesi agar tervisualisasi pada foto polos. Namun, survei dengan foto polos
pada tulang alveolar tetap berguna dalam kasus kegawatan, seperti impending
fraktur patologis, khususnya pada tulang weight-bearing. Foto polos tulang juga
sangat penting untuk menilai sejauh mana kerusakan kortikal dan risiko fraktur
patologis pada tulang tubular. Misalnya, lesi litik yang merusak 50% atau lebih
dari korteks bagian diafisis dapat mengakibatkan berkurangnya 60% sampai 90%
kekuatan tulang, yang signifikan meningkatkan risiko terjadinya patah tulang
(Rybak dan Rosenthal, 2001).
Pola dari kerusakan tulang sendiri dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu lesi
geographic, moth-eaten, dan permeative. Pola lesi geographic ditandai oleh lesi
destruktif dengan batas tegas, kurang agresif, pertumbuhan lambat, proses
benign, dan zona transisi yang dekat. Pola lesi ini jarang ditemukan pada kasus
metastase tulang, namun seringkali ditemukan pada tumor primer non-ossifying
fibroma, chondromyxoid fibroma, dan eosinophilic granuloma. Lesi moth-eaten
ditandai dengan area destruksi dengan batas irregular dengan pertumbuhan
yang cepat. Contoh gambaran moth-eaten dapat ditemukan pada metastase
tulang, limfoma, myeloma, dan Ewings sarcoma. Lesi permeative digambarkan
sebagai lesi dengan batas tidak tegas dengan multipel worm hooles , menyebar
melalui area sumsum tulang, zona ransisi yang luas, dan tumbuh agresif.
Ditemukan pada limfoma, leukemia, myeloma, Ewings sarcoma, neuroblastoma
(Herring, 2002).
Lesi tulang dapat muncul sebagai daerah samar atau tidak ada densitas
(osteolitik) akibat terganggu nya atau tidak adanya trabekulasi, atau sebagai lesi
sklerotik atau rims (osteoblastik), atau gabungan antara keduanya.
a. Osteolitik
Dimana terjadi penghancuran struktur tulang yang tak terkendali dan
osteoblast tidak lagi mampu mengimbangi dengan pembentukan jaringan baru,
sehingga menyebabkan tulang tidak padat dan rapuh. Destruksi tulang
disebabkan oleh peningkatan aktivitas osteoklas akibat faktor-faktor
osteoklastogenik yang dihasilkan oleh sel tumor (IL-1, IL-6, macrophage
inflammatory protein-1, dan RANKL) (Roodman, 2004). Metastase litik
memberikan gambaran destruksi tulang dengan radiolusensi yang berbatas
tegas tanpa pinggir yang sklerotik, bentuk bervariasi, ukuran beberapa mm
sampai beberapa cm, jumlah bervariasi. Pada tulang panjang, metastase
biasanya timbul pada medula dan bila semakin membesar akan menghancurkan
korteks (Choi dan Ragavhan, 2012). Gambaran lesi litik ditemukan pada
metastase dari karsinoma paru, ginjal, dan tiroid (Herring, 2002).
Berikut ini contoh gambaran lesi litik pada kasus metastase tulang :

Gambar 2. Foto polos femur anteroposterior dextra pada pasien dengan karsinoma
paru. Sebuah lesi litik terlihat pada proksimal femur (panah) yang sesuai dengan
lesi metastasis. Tidak tampak fraktur.

Gambar 3. Foto polos humerus anteroposterior dextra pada pasien dengan
karsinoma mammae, tampak fraktur patologis pada the midhumeral shaft akibat
metastase litik.

Gambar 4. Gambaran khas lesi litik metastase tulang. Foto pelvis AP pasien 75
tahun dengan kanker payudara yang menunjukkan beberapa lesi tulang osteolitik


Gambar 5. kompresi medula spinalis pada seorang pria 70 tahun dengan
keluhan parese tungkai bawah. Foto lumbal lateral + myelografi memperlihatkan
adanya lesi osteolitik yang destruktif pada L3

b. Osteoblastik (Sklerosis)
Terjadi akibat pembentukan sel-sel tulang tak terkendali dan tidak
diimbangi dengan proses penghancuran oleh osteoklast. Tumor menginduksi
aktivitas osteoblas dengan memproduksi osteoblasts growth factors, seperti
endothelin-1, platelet-derived growth factor, urokinase-type plasminogen activator
(u-PA), prostate-specific antigen (PSA) (Roodman, 2004). Sehingga terjadi
peningkatan aktifitas osteoblas. Metastase sklerotik memberikan gambaran
radioopak berbatas tidak tegas (irreguler) yang mengalami peningkatan densitas
dengan ukuran yang berbeda, jumlahnya multipel. Biasanya ditemukan pada
metastase dari tumor primer prostat pada laki-laki dan tumor payudara pada
perempuan (Choi dan Ragavhan, 2012).
Berikut ini beberapa contoh gambaran foto polos yang menunjukkan lesi
blastik pada kasus metastase tulang :

Gambar 6. (A) Foto polos pelvis anteroposterior pada pasien dengan karsinoma
prostat. Lesi sklerotik multipel (panah) terlihat pada panggul, sesuai
dengankeganasan metastase tipe blastik. (B) Foto polos vertebra lumbar
anteroposterior pada pasien yang sama dengan karsinoma prostat. Seperti yang
terlihat pada gambar A, terdapat beberapa lesi sklerotik pada panggul dan
proksimal femur, serta pada korpus vertebra (panah).


Gambar 7. Lesi sklerotik pada pelvis skibat metastase tulang dari tumor mammae

Gambar 8. Gambaran radiologi lesi blastik. (A) Foto pelvis AP yang menunjukkan
gambaran lesi blastik difus pada ala os sacral kanan dan kiri. (B) Foto proksimal
humerus AP yang menunjukkan lesi densitas sklerotik pada daerah metafisis tanpa
disertai destruksi korteks

c. Osteolitik Osteoblastik
Pada tipe ini tampak gambaran kedua duanya

Gambar 9. Foto Skull posisi lateral memperlihat gambaran multiplel lesi osteolitik -
osteosklerotik akibat metastase

2.4.2 Computed Tomography (CT)
CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan
gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak
Berat badan pasien merupakan suatu hal yang harus dipertimbangkan.
Berat badan klien yang dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan adalah klien
dengan berat badan dibawah 145 kg. Hal ini dipertimbangkan dengan tingkat
kekuatan scanner. Sebelum dilakukan pemeriksaan CT scan pada klien, harus
dilakukan test apakah klien mempunyai kesanggupan untuk diam tanpa
mengadakan perubahan selama 20-25 menit, karena hal ini berhubungan
dengan lamanya pemeriksaan yang dibutuhkan.
Harus dilakukan pengkajian terhadap klien sebelum dilakukan pemeriksaan
untuk menentukan apakah klien bebas dari alergi iodine, sebab pada klien yang
akan dilakukan pemeriksaan CT
Scan disuntik dengan zat kontras berupa iodine based kontras material
sebanyak 30 ml. Bila klien ada riwayat alergi atau dalam pemeriksaan ditemukan
adanya alergi maka pemberian zat kontras iodine harus distop pemberiannya.
Karena eliminasi zat kontras sudah harus terjadi dalam 24 jam. Maka ginjal klien
harus dalam keadaan normal.
Berikut ini beberapa contoh gambaran lesi metastasis tulang yang dapat
diidentifikasi dengan CT scan :

Gambar 10. CT scan potongan axial menunjukkan 2 lesi campuran osteolitik-
sklerotik bundar pada corpus vertebra thorakalis pada wanita berusia 44 tahun
yang terkena karsinoma paru.

Gambar 11. Biopsi yang dipandu CT dilakukan pada ilium kiri perempuan berusia
50 tahun. CT scan axial, dengan posisi pasien berbaring pronasi, menunjukkan
ujung dari jarum biopsi 17-gauge pada lesi osteolitik. Analisis histologiknya
menunjukkan adanya adenokarsinoma pada paru-paru.

2.4.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Cedera otot biasanya self limited dan tidak memerlukan pencitraan.
Namun, ada kondisi tertentu di mana pencitraan MR dapat memberikan informasi
diagnostik dan prognostik penting dan dapat membantu pilihan pengobatan. MR
dapat digunakan: pada high performance atlete untuk menentukan perawatan
bedah dibandingkan konservatif; pada pasien dengan massa di jaringan lunak
yang tidak memiliki riwayat trauma; untuk memberikan diagnosis yang tepat
tentang situs dan tingkat keparahan cedera sebelum memulai terapi; untuk
mengevaluasi nyeri otot yang tidak jelas; untuk mengevaluasi nyeri pada otot
yang sulit-untuk-mendeteksi, luka mendalam; untuk membantu rehabilitasi; dan
untuk mengevaluasi kasus-kasus di mana ada komplikasi dari cedera (misalnya,
hematoma, seroma, herniasi, dan ossifikasi) .Definisi yang tepat dari cedera otot
penting bagi pengelolaan yang optimal dalam kinerja seorang atlet atau buruh
karena kelemahan otot dan di mana cedera dapat menyebabkan cedera
berulang. Hal ini juga penting untuk melokalisasi lesi dan memperkirakan
beratnya keterlibatan otot, serta untuk menentukan ada atau tidaknya kelainan
yang berhubungan. Selain itu, MR pencitraan sering berguna dalam
mengevaluasi pasien yang telah cedera remote dengan nyeri persisten atau
massa jaringan lunak.
Tujuan utama dalam pencitraan sebuah otot yang terluka adalah untuk
menentukan lokasi dan tingkat keterlibatan. Karena kemampuan multiplanar dan
sensitivitas tinggi terhadap perdarahan dan edema yang dihasilkan dari cedera
jaringan lunak, MRI adalah teknik pilihan untuk pencitraan otot, tendon, dan
ligamen.
Otot rangka normal ditandai dengan intensitas sinyal menengah-ke-
rendah pada T1-tertimbang (waktu pengulangan singkat [TR] / waktu singkat
gema [TE]) gambar dan dengan rendah T2-tertimbang (TR panjang / lama TE)
intensitas sinyal relatif terhadap jaringan lunak lainnya. [20,21] air mata otot dan
cedera jaringan lunak lain yang terbaik digambarkan pada T2-tertimbang
gambar, yang mengoptimalkan kontras antara edema dan perdarahan dan otot
normal yang berdekatan.
Protokol yang dilkukan dalam pelaksanaan adalah untuk mendapatkan
T1-tertimbang spin-echo dan gambar di aksial T2-tertimbang cepat spin-echo
lemak ditekan dan setidaknya satu pesawat longitudinal, sagital atau coronal.
Sebuah kapsul ditempatkan di atas titik pasien kelembutan maksimal, atau di
atas dan di bawah bidang perhatian, untuk membantu melokalisasi kelainan.
Untuk bagian tubuh yang besar, seperti paha, kami menggunakan bidang-of-view
besar untuk gambar aksial dan citra sisi yang berlawanan untuk perbandingan.
Hal ini memungkinkan evaluasi perubahan halus dalam jumlah besar otot serta
menentukan area yang abnormal di lokasi cedera. Untuk lebih kecil, bagian tubuh
yang lebih distal, ekstremitas kumparan khusus digunakan dengan bidang-of-
view kecil untuk memberikan detail halus yang diperlukan.
Pesawat aksial sangat membantu untuk mengidentifikasi kontur otot
tertentu dan menentukan lokasi yang tepat dari lesi. [4] pandangan Coronal dan /
atau sagital kemudian diperoleh sepanjang sumbu otot robek untuk
mengevaluasi lebih lanjut sejauh mana cedera. Misalnya, gambar koronal yang
terbaik untuk menggambarkan luka pada adductors, sedangkan gambar sagital
yang terbaik untuk mengevaluasi otot hamstring.
Gambar T1-tertimbang cocok untuk detail anatomi dan kurang sensitif
dalam menggambarkan kelainan jaringan lunak, karena sebagian besar proses
patologis sudah lama kali T1 relaksasi mirip dengan otot. [20] gambar T1-
tertimbang, bagaimanapun, adalah berguna dalam mengevaluasi subakut
hematoma , infiltrasi lemak, dan atrofi. Ada pemisahan yang baik pada tendon
dan otot dari lemak yang berdekatan.
Gambar T2-tertimbang yang terbaik untuk mengidentifikasi cedera otot
yang paling, sebagai T2 waktu relaksasi perpanjangan terjadi dengan edema dan
perdarahan. Ketika penekanan lemak seragam tidak mungkin pada gambar T2-
tertimbang, tau pendek pemulihan inversi (Sospol) urutan merupakan alternatif
yang sangat baik untuk menilai edema otot dan perdarahan. Meskipun
diskriminasi ini bisa sulit pada gambar T1-tertimbang, seri edema-sensitif
membantu membedakan otot robek dari darah dan edema. Dengan cedera
kronis, gambar T1-tertimbang mungkin normal menangis kecil, tapi gambar T2-
tertimbang dapat memiliki peningkatan sinyal di lokasi air mata tua gejala.

Berikut ini beberapa contoh gambaran lesi metastasis tulang yang dapat
diidentifikasi dengan MRI :

Gambar 12. Pencitraan MRI sagital spin-echo-T2 menunjukkan lesi hipointens pada
vertebra T10 dan L3 pada pasien laki-laki 66 tahun yang menderita karsinoma paru-
paru. Tumor juga menginvasi pedikel T10.

Gambar 13. MRI axial spin-echo T1 pada laki-laki 68 tahun dengan karsinoma tiroid.
MRI ini menunjukkan ekstensi tumor dari corpus vertebra L1 dan pedikel kiri ke
dalam otot psoas, dengan kompresi pada medulla spinalis.

Gambar 14. MRI axial spin-echo T1 dengan gadolinium pada laki-laki 68 tahun
dengan karsinoma tiroid. Gambar ini menunjukkan peningkatan heterogen pada
komponen jaringan lunak tumor metastasis vertebra L1.


2.5 Algoritma Evaluasi Pasien dengan Kecurigaan Metastase Tulang
.



BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Metastase tulang merupakan penyebaran sel - sel tumor dari tumor
primer ke tulang. Keganasan tulang sekunder akibat metastases merupakan
keganasan tulang yang paling sering ditemukan, diperkirakan 70% dari
keganasan tulang merupakan keganasan tulang sekunder (Hutagalung, 2004).
Keganasan tulang sekunder sebagian besar berasal dari karsinoma mammae,
prostat, paru, ginjal, dan tiroid (Jacofsky et al., 2004).
Deteksi pada cedera otot sangat penting untuk staging dan untuk
pemilihan terapi yang optimal. Diagnosis didapat dengan melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik dengan cermat. Metastase tulang seringkali asimptomatis
dalam waktu yang lama. Umumnya gejala yang muncul mulai dari nyeri, fraktur
patologis, defisit neurologis, anemia, dan hiperkalsemia (Oliver et al., 2011).
Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium
dan radiologi.
Untuk dapat mengetahui cedera pada otot dengan modalitas radiografi
sangatlah penting untuk mengenali gambaran-gambaran radiografi yang khas
yang dapat ditemui. Lokasi umunya adalah pada vertebrae torakolumbalis,
panggul, costae, cranium, dan proksimal femur dan humerus (Jacofsky et al.,
2004). Gambaran radiografi lesi metastatik dapat bervariasi, dapat berupa lesi
litik, lesi blastik (sklerotik), atau mixed. Hal ini tergantung pada keseimbangan
antara proses pembentuk tulang dan proses resorptif yang tergantung oleh jenis
tumor itu sendiri. Metastasis agresif cenderung menjadi litik, sedangkan sklerosis
menunjukkan reaksi yang lebih lambat (Choi dan Rhagavan, 2012).
3.2 Saran
Penting untuk memahami anatomi, patofisiologi, penegakkan diagnosis,
dan pemilihan modalitas radiografi, serta mengetahui gambaran radiologis foto
konvensional dan nonkonvesional yang khas dari metastase tulang, sehingga
dapat dilakukan diagnosis dan penataksanaan yang tepat bagi pasien.


DAFTAR PUSTAKA

Choi, J. dan Meera Raghavan. 2012. Diagnostic Imaging and Image-Guided
Therapy of Skeletal Metastases. Cancer Control, vol, 19, no. 2, hal. 102-
112
Even, Einat Sapir. 2005. Imaging of Malignant Bone Involvement by Morphologic,
Scintigraphic, and Hybrid Modalities. The Journal Nuclear Medicine, vol.
46, hal. 1356-1367
Ferguson, M. 2009. Bone Biology Primer An Overview Bone Anatomy and
Remodeling. http:www.biometmicrofixation.com. Diakses tanggal 12
Agustus 2013
Gonzlez, ngel Sistal, AB Snchez, MH Carnero, R Morell. 2011. Advances in
Medical Imaging Applied to Bone Metastases. Medical Imaging, vol. 16,
hal. 339-354
Hutagalung, Errol Untung. 2004. Metastatic bone disease. Med J Indones, vol.2,
no. 13, hal. 127-131
Jacofsky, D., Deborah, A. F., Frank, J. F. 2004. Metastatic Disease to Bone.
Hospital Physician, vol. 39, hal, 21-28
Kindblom, L. G. 2004. Bone Tumors: Epidemiology, Classification, Pathology.
http://www.springer.com/978-3-540-77982-7. Diakses tanggal 10 Agustus
2013
Novartis. 2007. What is Bone Metastasis;
http://www.zometa.com/page.jsp?requst=monographs.html. Diakses
tanggal 9 Agustus 2013
Oliver, TB, R Bhat, CF Kellett, DJ Adamson. 2011. Diagnosis and management
of bone metastases. J R Coll Physicians Edinb, vol. 41, hal. 330338
Roodman, G. D. 2004. Mechanisms of Bone Metastasis. The New England
Jounal of Medicine, vol. 350, no. 16, hal. 1655-1665
Roodman, G. David. 2008. Skeletal Imaging and Management of Bone Disease.
Hematology, hal. 313-319
Rybak, LD dan Rosenthal. 2001. Radiological imaging for the diagnosis of bone
metastases. The Quarterly Journal of Nuclear Medicine, vol. 45, hal. 53-
64
Sariningsih. 2013. Peranan Bone Scan dan MRI pada Metastasis Tulang;
http://www.scribd.com/doc/43607522/Peranan-Bone-Scan-dan-MRI-pada-
Metastasis-Tulang. Diakses tanggal 9 Agustus 2013.
Schmidt, Gerwin P, Maximilian FR, Andrea Baur-Melnyk. 2007. Whole-body
imaging of the musculoskeletal system: the value of MR imaging. Skeletal
Radiol, vol. 36, hal. 1109-1119
Thabry, R. dan Daniel, S. 2008. The Indonesian Journal of Medical Science,
vol.1, no. 2, hal. 119-128
Tzelepi, V., Athanssios, C. T., Zolota, V., Chrisoula D. 2009. Bone Anatomy,
Physiology, and Function. Bone Metastases, Cancer Metastases
Biology and Treatment, vol. 12, hal. 3-30

You might also like