Martha Tiara Dugikawa Muhammad Cholis Hidayat Igsana Chyntia Murti Diana Veroshini Riris Linda Restantin
Pembimbing: dr. Irma Darinafitri, Sp.Rad
LABORATORIUM RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2014 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Cedera otot merupakan kejadian yang umum, khususnya pada ilmu kedokteran olahraga. Cedera otot meliputi trauma langsung dan tidak langsung. Trauma tidak langsung termasuk diantaranya delayed onset muscle soreness dan muscle strains. Trauma langsung seperti laserasi otot dan kontusio otot. 30% dari cedera olahraga merupakan bentuk dari cedera otot. Pemeriksaan pencitraan penting dilakukan bukan hanya untuk mendiagnosis kerusakan otot, namun juga diperlukan untuk memprediksi rehabilitasi dari otot yang terkena cedera. Cedera paling sering yang dialami ketika berolahraga adalah otot terkilir yang dalam istilah medis disebut dengan sprain dan strain. Sprain adalah teregangnya ligamen (jaringan ikat/penghubung yg kuat) sehingga menimbulkan robekan parsial/sebagian, hal ini terjadi karena stress berlebihan yang mendadak atau penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi. Strain adalah teregangnya otot dan tendon (jaringan ikat/penghubungan yg kuat yg menghubungkan otot dengan tulang) karena penggunaan yang berlebihan ataupun stress yang berlebihan. Diagnosis yang tepat untuk mengenali cedera pada otot sangatlah diperlukan. Diagnosis didapat dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan cermat, pemeriksaan laboratorium, serta pemeriksaan radiologi. Saat ini telah banyak modalitas radiografi yang dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis cedera pada otot, mulai dari Foto Polos (X-ray), CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI). Deteksi dini pada cedera otot sangatlah penting untuk staging dan untuk pemilihan terapi yang optimal. Tujuan imaging adalah mengidentifikasi lokasi cedera otot dan untuk mengevaluasi apakah ada atau potensi terjadinya komplikasi seperti fraktur patologis dan kompresi sumsum tulang belakang. Imajing juga digunakan untuk memandu biopsi dan menilai respon terhadap terapi. Untuk dapat mengetahui cedera pada otot dengan modalitas radiografi sangatlah penting untuk mengenali gambaran-gambaran radiografi yang khas yang dapat ditemui. Oleh karena itu, pada referat ini akan dibahas mengenai gambaran radiologi pada cedera otot dan berbagai modalitas radiologis yang dapat digunakan membantu menunjang diagnosis maupun terapi.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan histologi pada otot ? 2. Bagaimana patofiiologi dari metastase tulang ? 3. Bagaimana penegakan diagnosis dari metastase tulang ? 4. Pemeriksaan radiologi apa saja yang dapat digunakan untuk menunjang diagnosis maupu terapi pada cedera otot ? 5. Bagaimana gambaran radiologi yang dapat ditemui pada cedera otot?
1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui anatomi dan histologi terjadinya cedera otot 2. Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya cedera otot 3. Untuk mengetahui diagnosis dari cedera otot 4. Untuk mengetahui beberapa pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan untuk menunjang diagnosis maupu terapi cedera otot 5. Untuk mengetahui gambaran radiologi yang dapat ditemui pada cedera otot
1.4 Manfaat Dengan penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai cedera otot dalam hal patogenesis, diagnosis, modalitas radiologi, dan gambaran radiologis pada kasus cedera otot
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Histiologi Tulang Otot merupakan jaringan skeletal terbesar yang menyusun system organ di dalam tubuh, sekitar 40% dari total berat tubuh. Otot bekerja dengan cara kontraksi dan relaksasi sehingga menghasilkan gerakan pada tubuh. Supaya otot dapat bekerja, diperlukan inervasi secara otomatis yang berasal dari sistem saraf pusat. Pada ujung sistem saraf terdapat sambungan yang berhubungan dengan jaringan otot bernama neuromuscular junction.
Struktur Otot Lurik Hubungan jaringan ikat Masing-masing serat otot berikatan pada serat yang lain membentuk bundel otot. Tiap bunde otot akan berikatan dengan bundel lain. Substansi yang berikatan didalam otot dihubungkan dengan jaringan ikat lunak. Tiap serat dari otot lurik dilapisi oleh jaringan ikat yang disebut endomysium. Endomysium yang berdampingan akan berikatan yang mendukung pembuluh kapiler dan ujung saraf untuk yang memfasilitasi otot. Jaringan ikat lain, disebut dengan perimysium, merupakan ikatan beberapa serabut otot yang bersama-sama membentuk bundel disebut fascicule. Perimysium membantu pembuluh darah dan serabut saraf memfasilitasi berbagai fasciculi. Keseluruhan otot dilapisi oleh epimysium yang terhubung dengan tendon. Fasia adalah jaringan ikat fibrosa yang ketebalannya bervariasi. Fasia melapisi otot dan menempel ke kulit. fasia superficial diatas dinding abdomen sangat tebal dan diikuti dengan jaringan adipose. Sedangkan fasia superficial dibawah kulit dari tangan, siku, dan wajah tipis. Fasia bagian dalam menyatu dengan epimysium. Fasia bagian dalam melingkupi otot-otot yang berdampingan, terbagi menjadi beberapa bagian dan mengikat otot-otot menjadi bagian fungsional. Fasia subserous terletak diantara fasia dalam dan membrane serous. Serabut saraf dan pembuluh darah melintasi fasia subserous untuk memfasilitasi membran serous. .
Serat Otot Lurik Tiap serat otot dilapisi oleh sarcolemma. Struktur reticulum sarcoplasma memanjang melewati sitoplasma yang disebut sarcoplasme. T tubules melewati perpensicular menuju reticulum sarcoplasma dan terbuka melewati sarkolemma. T tubule juga melekat pada serabut otot yang disebut myofibril. Myofibril berdiameter 1 mikrimeter dan memanjang secara parallel dari akhir serabut otot menuju serabut lainnya. Struktur ini sangat rapat membungkus organel-organel (mitokondria dan membrane intraseluler) yang membatasi jarak sempit di sarkoplasma yang berada diantara myofibril-myofibril yang bersebelahan. Masing-masing myofibril terdiri dari filament protein kecil yang disebut myofilamen. Filament tipis terdiri dari protein aktin. Filament tebal terdiri dari protein myosin. Karakteristik gelap terang pada bagian myofibril otot lurik terjadi karena pengaturan myofilamen tersebut. Pita gelap disebut pita A dan pita terang disebut pita I. garis Z merupakan garis gelap tipis yang terlihat di tengah-tengah pita I. pengaturan filament tebal dan tipis diantara bagian garis Z membentuk pola structural yang berulang yang membentuk subunit dasar untuk kontraksi otot lurik. Subunit dari garis Z ke garis Z yang lain disebut sarkomer. Irisan longitudinal dari myofibril menampilkan gambaran sarkomer yang berurutan. Pita I didalam myofibril merupakan area yang lebih terang yang memanjang dari tepi salah satu tumpukan filament myosin tebal ke tepi tumpukan filament tebal selanjutnya. Tampilan terang tersebut terjadi karena lapisan ini hanya terdiri dari filament yang tipis. Filament tipis ini tidak berujung pada tepi pita I tetapi berapa bagian dari masing-masing filament tipis memanjang ke pita A pada sisi yang lain. Karena filament tebal dan filament tipis saling bertumpuk pada bagian ini maka terbentuk tepi pita A yang lebih gelap daripada area sentral. Bagian sentral dari pita A yang lebih terang ini disebut zona H. Zona H sentral hanya berisi filament tebal yang tidak bertumpuk dengan filament tipis.
Tulang adalah suatu jaringan yang terstruktur dengan baik serta mempunyai 5 fungsi utama yaitu membentuk rangka badan, sebagai tempat melekatnya otot, sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan organ dalam, sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, garam dan dapat berfungsi sebagai cadangan mineral tubuh, serta ikut membantu dalam regulasi komposisi mineral pada tubulus ginjal, khususnya konsentrasi ion kalsium plasma dan cairan ekstraseluler, serta mempunyai fungsi tambahan lainnya yaitu sebagai jaringan hemopoetik untuk memproduksi eritrosit, leukosit, dan trombosit (Umadevi dan Geethalakshmi, 2011). Tulang berasal dari jaringan embrionik kartilago hialin yang mengalami proses osteogenesis. Tulang tersusun atas sel, matriks protein, dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri dari osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida, dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang). Osteoklas adalah sel multinuklear (berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remodeling tulang (Raisz, 2005). Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang. Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang). Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (Tzelepi et al., 2009).
Gambar 1. Gambar Skematis Anatomi Tulang (Tzelepi et al., 2009) Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang dipengaruhi oleh rangsangan hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas. Osteoblas dijumpai di permukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang (Ferguson, 2006). Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat (Ferguson, 2006). Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon. Diantaranya adalah stres yang mengenai tulang, faktur tulang, hormon estrogen, testosteron, hormon paratiroid, hormon perturnbuhan, dan vitamin D (Ferguson, 2006). 2.2 Tumor Tulang Terdapat beberapa klasifikasi daru tumor tulang berdasarkan asal sel (Kindblom, 2007), yaitu : Tumor Tulang Primer 1. Tumor yang membentuk tulang (Osteogenik) Osteoid Osteoma Osteosarkoma Osteoblastoma 2. Tumor yang membentuk tulang rawan (Kondrogenik) Kondromiksoid Fibroma Enkondroma Osteokondroma Kondroblastoma Kondrosarkoma 3. Tumor jaringan ikat (Fibrogenik) Non Ossifying Fibroma Fibrosarkoma 4. Tumor sumsum tulang (Myelogenik) Multiple Myeloma Sarkoma Ewing Sarkoma Sel Retikulum 5. Tumor lain-lain Giant cell tumor Adamantinoma Kordoma
Tumor Tulang Sekunder/Metastatik Akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya
Neoplasma Simulating Lesions Simple bone cyst Fibrous dysplasia Eosinophilic granuloma Brown tumor/hyperparathyroidism
2.3 Cedera Otot 2.3.1 Definisi Cedera otot adalah cedera pada musculotendinous junction. The tendinous junction adalah di mana serat otot memenuhi tendon, dan bentuk bervariasi pada otot yang berbeda. Dalam kebanyakan otot, tendon meluas dalam ke otot menciptakan junction musculo-tendinous yang lama. Daerah ini sangat penting dalam trauma, karena sering terlibat. Epimysium adalah jaringan fibrosa yang terletak di tepi otot. Hal ini menjadikan empysium sebagai muscle sheath yang berkomunikasi dengan tendon. Ini juga merupakan daerah penting untuk dipertimbangkan karena ketika ada robekan pada otot, cairan cenderung untuk bocor dan mengumpulkan di epimysium tersebut. Ada dua jenis cedera yang sering dialami, yaitu trauma akut dan Overuse Syndrome (Sindrom Pemakaian Berlebih). Trauma akut adalah suatu cedera berat yang terjadi secara mendadak, seperti robekan pada ligamen, otot, tendon, bisa terkilir atau bahkan bisa sampai patah tulang. Untuk cedera akut biasanya memerlukan pertolongan profesional. Sindrom pemakaian berlebih atau Overuse Syndrome sering dialami oleh atlet, bermula dari adanya suatu kekuatan yang sedikit berlebihan, namun berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama. Cedera otot yang paling umum adalah strain otot. Terjadi pada musculotendinous junction. Ciri tipikal untuk strain otot adalah edema berpusat di sepanjang musculotendinous junction. Strain otot yang lebih parah mengandung koleksi cairan seperti hematoma dan mungkin mengandung serat otot terinterupsi dan dapat menunjukkan masslike pada gambar MR selain edema otot. Memar otot disebabkan oleh direct blow. Gambar MR menunjukan perdarahan interstitial serta edema di lokasi cedera. Memar yang lebih parah mungkin berisi hematoma dan menunjukan lesi masslike selain edema.
2.3.2 Patofisiologi Pada cedera otot terdapat 3 fase mekanisme terjadinya cedera otot. Pertama kali yang terjadi adalah fase kehancuran, terdiri dari kehancuran dan ditandai dengan robeknya miofibril, pembentukan hematoma dalam ruang robekan miofibril dan proliferasi sel-sel inflamasi. Selanjutnya terjadi fase perbaikan berupa fagositosis jaringan nekrotik, regenerasi miofibril diiringi produksi jaringan ikat pada bekas luka serta revaskularisasi ke daerah luka. Fase remodeling terjadi padaperiode di mana pematangan miofibril yang beregenerasi, retraksi dan reorganisasi jaringan luka dan pemulihan kapasitas fungsional otot terjadi. Cedera pada otot seringkali direspon oleh tubuh dengan tanda - tanda inflamasi yang terdiri atas rubor (merah), tumor (bengkak), kalor (panas), dolor (nyeri), dan functiolesa (penurunan fungsi). Pembuluh darah di lokasi cedera akan mengalami vasodilatasi sebagai kompensasi untuk mengirim lebih banyak nutrisi dan oksigen dalam rangka mendukung penyembuhan. Vasodilatasi inilah yang mengakibatkan lokasi cedera terlihat lebih merah (rubor). Cairan darah yang banyak dikirim ke lokasi cedera akan merembes keluar dari kapiler menuju ruang antar sel, dan menyebabkan bengkak (tumor). Dengan dukungan banyak nutrisi dan oksigen, metabolisme di lokasi cedera akan meningkat dengan sisa metabolisme berupa panas. Kondisi inilah yang menyebabkan lokasi cedera akan lebih panas (kalor) dibanding dengan lokasi lain. Tumpukan sisa metabolisme dan zat kimia lain akan merangsang ujung saraf di lokasi cedera dan menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri juga dipicu oleh tertekannya ujung saraf karena pembengkakan yang terjadi di lokasi cedera. Baik rubor, tumor, kalor, maupun dolor akan menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera yang dikenal dengan istilah functiolesa.
2.3.3 Diagnosis Diagnosis keganasan metastasis tulang dapat ditegakkan dengan anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berikut ini beberapa gejala dan tanda klinis serta temuan laboratorium yang menunjang kea rah diagnosis metastatic bone disease (Novartis, 2007). Nyeri Nyeri tulang adalah gejala yang paling sering didapati pada proses metastasis ke tulang dan biasanya merupakan gejala awal yang disadari oleh pasien. Nyeri timbul akibat peregangan periosteum dan stimulasi saraf pada endosteum oleh tumor. Nyeri dapat hilang-timbul dan lebih terasa pada malam hari atau waktu beristirahat. Gejala lain akibat kompresi medulla spinalis Metastasis pada vertebra dapat berkembang menyebabkan kompresi medulla spinalis. Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain parese atau gangguan sensoris pada ekstremitas dan gangguan miksi akibat pendesakan pada medulla spinalis. Seringkali gejala dari ini relatif asimptomatis selama beberapa minggu, tetapi ini adalah waktu untuk pengobatan dini yang paling efektif untuk mencegah hilangnya fungsi. Oleh karena itu, setiap pasien berisiko tinggi mengalami metastasis vertebrae yang memperlihatkan gejala awal kesulitan dalam berjalan atau gangguan fungsi kaki, bahkan jika ada tanda-tanda defisit neurologis, harus dipertimbangkan untuk pencitraan MRI. Gejala akibat peningkatan kadar kalsium dalam darah Hal ini disebabkan karena tingginya pelepasan cadangan kalsium dari tulang. Peninggian kalsium dapat menyebabkan gejala berkurangnya nafsu makan, mual, haus, konstipasi, kelelahan, dan bahkan gangguan kesadaran Gejala akibat gangguan hematologis Apabila metastasis sampai ke sumsum tulang, gejala yang timbul sesuai dengan tipe sel darah yang terkena. Anemia dapat terjadi apabila mengenai sel darah merah. Apabila sel darah putih yang terkena, maka pasien dapt dengan mudah terjangkit infeksi Sedangkan gangguan pada platelet, dapat menyebabkan perdarahan. Fraktur Adanya metastasis ke tulang dapat menyebabkan struktur tulang menjadi lebih rapuh dan beresiko untuk mengalami fraktur. Kadang-kadang fraktur timbul sebelum gejala-gejala lainnya. Daerah yang sering mengalami fraktur yaitu tulang-tulang panjang di ekstremitas atas dan bawah serta vertebra.
Pemeriksaan penunjang lain yang tidak kalah penting adalah imajing. Saat ini telah banyak modalitas radiografi yang dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis keganasan tulang metastase, mulai dari X-ray, CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), scintigraphy, tomography, hingga whole body MRI. Deteksi metastasis tulang sangat penting untuk staging dan untuk pemilihan terapi yang optimal. Tujuan imajing adalah mengidentifikasi lokasi metastase dan untuk mengevaluasi apakah ada atau potensi terjadinya komplikasi seperti fraktur patologis dan kompresi sumsum tulang belakang. Imajing juga digunakan untuk memandu biopsi dan menilai respon terhadap terapi (Choi dan Raghavan, 2012). Penjelasan mengenai beberapa modalitas pencitraan yang digunakan pada kasus keganasan tulang metastase akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.
2.4 Pemeriksaan Radiologi pada Cedera Otot Cedera pada otot dapat dievaluasi dengan beberapa modalitas pencitraan, diantaranya sebagai berikut :
2.4.1 Foto Polos Tulang Foto polos tulang atau pemeriksaan skeletal, memberikan informasi tentang penyebaran tumor pada tulang seperti ukuran dan bentuknya secara umum (pada umumnya jika sudah metastase ditemukan lebih dari satu lesi). Pada foto tulang biasanya muncul gambaran berupa bintik hitam. Tetapi pada foto tulang biasanya tidak muncul kecuali jika telah terjadi kerusakan pada separuh jaringan pada tulang tersebut (Hutagalung, 2004). Karena sensitivitas yang buruk yaitu, 44% sampai 50% kurang sensitif dibandingkan skintigrafi dalam mendeteksi metastases, umumnya foto polos tulang tidak digunakan sebagai metode skrining. Kerusakan tulang yang cukup parah akibat metastasis baru dapat terlihat jelas pada foto polos tulang (Choi dan Raghavan, 2012). Pengurangan kepadatan tulang sekitar 30% sampai 75% diperlukan untuk lesi agar tervisualisasi pada foto polos. Namun, survei dengan foto polos pada tulang alveolar tetap berguna dalam kasus kegawatan, seperti impending fraktur patologis, khususnya pada tulang weight-bearing. Foto polos tulang juga sangat penting untuk menilai sejauh mana kerusakan kortikal dan risiko fraktur patologis pada tulang tubular. Misalnya, lesi litik yang merusak 50% atau lebih dari korteks bagian diafisis dapat mengakibatkan berkurangnya 60% sampai 90% kekuatan tulang, yang signifikan meningkatkan risiko terjadinya patah tulang (Rybak dan Rosenthal, 2001). Pola dari kerusakan tulang sendiri dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu lesi geographic, moth-eaten, dan permeative. Pola lesi geographic ditandai oleh lesi destruktif dengan batas tegas, kurang agresif, pertumbuhan lambat, proses benign, dan zona transisi yang dekat. Pola lesi ini jarang ditemukan pada kasus metastase tulang, namun seringkali ditemukan pada tumor primer non-ossifying fibroma, chondromyxoid fibroma, dan eosinophilic granuloma. Lesi moth-eaten ditandai dengan area destruksi dengan batas irregular dengan pertumbuhan yang cepat. Contoh gambaran moth-eaten dapat ditemukan pada metastase tulang, limfoma, myeloma, dan Ewings sarcoma. Lesi permeative digambarkan sebagai lesi dengan batas tidak tegas dengan multipel worm hooles , menyebar melalui area sumsum tulang, zona ransisi yang luas, dan tumbuh agresif. Ditemukan pada limfoma, leukemia, myeloma, Ewings sarcoma, neuroblastoma (Herring, 2002). Lesi tulang dapat muncul sebagai daerah samar atau tidak ada densitas (osteolitik) akibat terganggu nya atau tidak adanya trabekulasi, atau sebagai lesi sklerotik atau rims (osteoblastik), atau gabungan antara keduanya. a. Osteolitik Dimana terjadi penghancuran struktur tulang yang tak terkendali dan osteoblast tidak lagi mampu mengimbangi dengan pembentukan jaringan baru, sehingga menyebabkan tulang tidak padat dan rapuh. Destruksi tulang disebabkan oleh peningkatan aktivitas osteoklas akibat faktor-faktor osteoklastogenik yang dihasilkan oleh sel tumor (IL-1, IL-6, macrophage inflammatory protein-1, dan RANKL) (Roodman, 2004). Metastase litik memberikan gambaran destruksi tulang dengan radiolusensi yang berbatas tegas tanpa pinggir yang sklerotik, bentuk bervariasi, ukuran beberapa mm sampai beberapa cm, jumlah bervariasi. Pada tulang panjang, metastase biasanya timbul pada medula dan bila semakin membesar akan menghancurkan korteks (Choi dan Ragavhan, 2012). Gambaran lesi litik ditemukan pada metastase dari karsinoma paru, ginjal, dan tiroid (Herring, 2002). Berikut ini contoh gambaran lesi litik pada kasus metastase tulang :
Gambar 2. Foto polos femur anteroposterior dextra pada pasien dengan karsinoma paru. Sebuah lesi litik terlihat pada proksimal femur (panah) yang sesuai dengan lesi metastasis. Tidak tampak fraktur.
Gambar 3. Foto polos humerus anteroposterior dextra pada pasien dengan karsinoma mammae, tampak fraktur patologis pada the midhumeral shaft akibat metastase litik.
Gambar 4. Gambaran khas lesi litik metastase tulang. Foto pelvis AP pasien 75 tahun dengan kanker payudara yang menunjukkan beberapa lesi tulang osteolitik
Gambar 5. kompresi medula spinalis pada seorang pria 70 tahun dengan keluhan parese tungkai bawah. Foto lumbal lateral + myelografi memperlihatkan adanya lesi osteolitik yang destruktif pada L3
b. Osteoblastik (Sklerosis) Terjadi akibat pembentukan sel-sel tulang tak terkendali dan tidak diimbangi dengan proses penghancuran oleh osteoklast. Tumor menginduksi aktivitas osteoblas dengan memproduksi osteoblasts growth factors, seperti endothelin-1, platelet-derived growth factor, urokinase-type plasminogen activator (u-PA), prostate-specific antigen (PSA) (Roodman, 2004). Sehingga terjadi peningkatan aktifitas osteoblas. Metastase sklerotik memberikan gambaran radioopak berbatas tidak tegas (irreguler) yang mengalami peningkatan densitas dengan ukuran yang berbeda, jumlahnya multipel. Biasanya ditemukan pada metastase dari tumor primer prostat pada laki-laki dan tumor payudara pada perempuan (Choi dan Ragavhan, 2012). Berikut ini beberapa contoh gambaran foto polos yang menunjukkan lesi blastik pada kasus metastase tulang :
Gambar 6. (A) Foto polos pelvis anteroposterior pada pasien dengan karsinoma prostat. Lesi sklerotik multipel (panah) terlihat pada panggul, sesuai dengankeganasan metastase tipe blastik. (B) Foto polos vertebra lumbar anteroposterior pada pasien yang sama dengan karsinoma prostat. Seperti yang terlihat pada gambar A, terdapat beberapa lesi sklerotik pada panggul dan proksimal femur, serta pada korpus vertebra (panah).
Gambar 7. Lesi sklerotik pada pelvis skibat metastase tulang dari tumor mammae
Gambar 8. Gambaran radiologi lesi blastik. (A) Foto pelvis AP yang menunjukkan gambaran lesi blastik difus pada ala os sacral kanan dan kiri. (B) Foto proksimal humerus AP yang menunjukkan lesi densitas sklerotik pada daerah metafisis tanpa disertai destruksi korteks
c. Osteolitik Osteoblastik Pada tipe ini tampak gambaran kedua duanya
Gambar 9. Foto Skull posisi lateral memperlihat gambaran multiplel lesi osteolitik - osteosklerotik akibat metastase
2.4.2 Computed Tomography (CT) CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak Berat badan pasien merupakan suatu hal yang harus dipertimbangkan. Berat badan klien yang dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan adalah klien dengan berat badan dibawah 145 kg. Hal ini dipertimbangkan dengan tingkat kekuatan scanner. Sebelum dilakukan pemeriksaan CT scan pada klien, harus dilakukan test apakah klien mempunyai kesanggupan untuk diam tanpa mengadakan perubahan selama 20-25 menit, karena hal ini berhubungan dengan lamanya pemeriksaan yang dibutuhkan. Harus dilakukan pengkajian terhadap klien sebelum dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah klien bebas dari alergi iodine, sebab pada klien yang akan dilakukan pemeriksaan CT Scan disuntik dengan zat kontras berupa iodine based kontras material sebanyak 30 ml. Bila klien ada riwayat alergi atau dalam pemeriksaan ditemukan adanya alergi maka pemberian zat kontras iodine harus distop pemberiannya. Karena eliminasi zat kontras sudah harus terjadi dalam 24 jam. Maka ginjal klien harus dalam keadaan normal. Berikut ini beberapa contoh gambaran lesi metastasis tulang yang dapat diidentifikasi dengan CT scan :
Gambar 10. CT scan potongan axial menunjukkan 2 lesi campuran osteolitik- sklerotik bundar pada corpus vertebra thorakalis pada wanita berusia 44 tahun yang terkena karsinoma paru.
Gambar 11. Biopsi yang dipandu CT dilakukan pada ilium kiri perempuan berusia 50 tahun. CT scan axial, dengan posisi pasien berbaring pronasi, menunjukkan ujung dari jarum biopsi 17-gauge pada lesi osteolitik. Analisis histologiknya menunjukkan adanya adenokarsinoma pada paru-paru.
2.4.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI) Cedera otot biasanya self limited dan tidak memerlukan pencitraan. Namun, ada kondisi tertentu di mana pencitraan MR dapat memberikan informasi diagnostik dan prognostik penting dan dapat membantu pilihan pengobatan. MR dapat digunakan: pada high performance atlete untuk menentukan perawatan bedah dibandingkan konservatif; pada pasien dengan massa di jaringan lunak yang tidak memiliki riwayat trauma; untuk memberikan diagnosis yang tepat tentang situs dan tingkat keparahan cedera sebelum memulai terapi; untuk mengevaluasi nyeri otot yang tidak jelas; untuk mengevaluasi nyeri pada otot yang sulit-untuk-mendeteksi, luka mendalam; untuk membantu rehabilitasi; dan untuk mengevaluasi kasus-kasus di mana ada komplikasi dari cedera (misalnya, hematoma, seroma, herniasi, dan ossifikasi) .Definisi yang tepat dari cedera otot penting bagi pengelolaan yang optimal dalam kinerja seorang atlet atau buruh karena kelemahan otot dan di mana cedera dapat menyebabkan cedera berulang. Hal ini juga penting untuk melokalisasi lesi dan memperkirakan beratnya keterlibatan otot, serta untuk menentukan ada atau tidaknya kelainan yang berhubungan. Selain itu, MR pencitraan sering berguna dalam mengevaluasi pasien yang telah cedera remote dengan nyeri persisten atau massa jaringan lunak. Tujuan utama dalam pencitraan sebuah otot yang terluka adalah untuk menentukan lokasi dan tingkat keterlibatan. Karena kemampuan multiplanar dan sensitivitas tinggi terhadap perdarahan dan edema yang dihasilkan dari cedera jaringan lunak, MRI adalah teknik pilihan untuk pencitraan otot, tendon, dan ligamen. Otot rangka normal ditandai dengan intensitas sinyal menengah-ke- rendah pada T1-tertimbang (waktu pengulangan singkat [TR] / waktu singkat gema [TE]) gambar dan dengan rendah T2-tertimbang (TR panjang / lama TE) intensitas sinyal relatif terhadap jaringan lunak lainnya. [20,21] air mata otot dan cedera jaringan lunak lain yang terbaik digambarkan pada T2-tertimbang gambar, yang mengoptimalkan kontras antara edema dan perdarahan dan otot normal yang berdekatan. Protokol yang dilkukan dalam pelaksanaan adalah untuk mendapatkan T1-tertimbang spin-echo dan gambar di aksial T2-tertimbang cepat spin-echo lemak ditekan dan setidaknya satu pesawat longitudinal, sagital atau coronal. Sebuah kapsul ditempatkan di atas titik pasien kelembutan maksimal, atau di atas dan di bawah bidang perhatian, untuk membantu melokalisasi kelainan. Untuk bagian tubuh yang besar, seperti paha, kami menggunakan bidang-of-view besar untuk gambar aksial dan citra sisi yang berlawanan untuk perbandingan. Hal ini memungkinkan evaluasi perubahan halus dalam jumlah besar otot serta menentukan area yang abnormal di lokasi cedera. Untuk lebih kecil, bagian tubuh yang lebih distal, ekstremitas kumparan khusus digunakan dengan bidang-of- view kecil untuk memberikan detail halus yang diperlukan. Pesawat aksial sangat membantu untuk mengidentifikasi kontur otot tertentu dan menentukan lokasi yang tepat dari lesi. [4] pandangan Coronal dan / atau sagital kemudian diperoleh sepanjang sumbu otot robek untuk mengevaluasi lebih lanjut sejauh mana cedera. Misalnya, gambar koronal yang terbaik untuk menggambarkan luka pada adductors, sedangkan gambar sagital yang terbaik untuk mengevaluasi otot hamstring. Gambar T1-tertimbang cocok untuk detail anatomi dan kurang sensitif dalam menggambarkan kelainan jaringan lunak, karena sebagian besar proses patologis sudah lama kali T1 relaksasi mirip dengan otot. [20] gambar T1- tertimbang, bagaimanapun, adalah berguna dalam mengevaluasi subakut hematoma , infiltrasi lemak, dan atrofi. Ada pemisahan yang baik pada tendon dan otot dari lemak yang berdekatan. Gambar T2-tertimbang yang terbaik untuk mengidentifikasi cedera otot yang paling, sebagai T2 waktu relaksasi perpanjangan terjadi dengan edema dan perdarahan. Ketika penekanan lemak seragam tidak mungkin pada gambar T2- tertimbang, tau pendek pemulihan inversi (Sospol) urutan merupakan alternatif yang sangat baik untuk menilai edema otot dan perdarahan. Meskipun diskriminasi ini bisa sulit pada gambar T1-tertimbang, seri edema-sensitif membantu membedakan otot robek dari darah dan edema. Dengan cedera kronis, gambar T1-tertimbang mungkin normal menangis kecil, tapi gambar T2- tertimbang dapat memiliki peningkatan sinyal di lokasi air mata tua gejala.
Berikut ini beberapa contoh gambaran lesi metastasis tulang yang dapat diidentifikasi dengan MRI :
Gambar 12. Pencitraan MRI sagital spin-echo-T2 menunjukkan lesi hipointens pada vertebra T10 dan L3 pada pasien laki-laki 66 tahun yang menderita karsinoma paru- paru. Tumor juga menginvasi pedikel T10.
Gambar 13. MRI axial spin-echo T1 pada laki-laki 68 tahun dengan karsinoma tiroid. MRI ini menunjukkan ekstensi tumor dari corpus vertebra L1 dan pedikel kiri ke dalam otot psoas, dengan kompresi pada medulla spinalis.
Gambar 14. MRI axial spin-echo T1 dengan gadolinium pada laki-laki 68 tahun dengan karsinoma tiroid. Gambar ini menunjukkan peningkatan heterogen pada komponen jaringan lunak tumor metastasis vertebra L1.
2.5 Algoritma Evaluasi Pasien dengan Kecurigaan Metastase Tulang .
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan Metastase tulang merupakan penyebaran sel - sel tumor dari tumor primer ke tulang. Keganasan tulang sekunder akibat metastases merupakan keganasan tulang yang paling sering ditemukan, diperkirakan 70% dari keganasan tulang merupakan keganasan tulang sekunder (Hutagalung, 2004). Keganasan tulang sekunder sebagian besar berasal dari karsinoma mammae, prostat, paru, ginjal, dan tiroid (Jacofsky et al., 2004). Deteksi pada cedera otot sangat penting untuk staging dan untuk pemilihan terapi yang optimal. Diagnosis didapat dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan cermat. Metastase tulang seringkali asimptomatis dalam waktu yang lama. Umumnya gejala yang muncul mulai dari nyeri, fraktur patologis, defisit neurologis, anemia, dan hiperkalsemia (Oliver et al., 2011). Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Untuk dapat mengetahui cedera pada otot dengan modalitas radiografi sangatlah penting untuk mengenali gambaran-gambaran radiografi yang khas yang dapat ditemui. Lokasi umunya adalah pada vertebrae torakolumbalis, panggul, costae, cranium, dan proksimal femur dan humerus (Jacofsky et al., 2004). Gambaran radiografi lesi metastatik dapat bervariasi, dapat berupa lesi litik, lesi blastik (sklerotik), atau mixed. Hal ini tergantung pada keseimbangan antara proses pembentuk tulang dan proses resorptif yang tergantung oleh jenis tumor itu sendiri. Metastasis agresif cenderung menjadi litik, sedangkan sklerosis menunjukkan reaksi yang lebih lambat (Choi dan Rhagavan, 2012). 3.2 Saran Penting untuk memahami anatomi, patofisiologi, penegakkan diagnosis, dan pemilihan modalitas radiografi, serta mengetahui gambaran radiologis foto konvensional dan nonkonvesional yang khas dari metastase tulang, sehingga dapat dilakukan diagnosis dan penataksanaan yang tepat bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Choi, J. dan Meera Raghavan. 2012. Diagnostic Imaging and Image-Guided Therapy of Skeletal Metastases. Cancer Control, vol, 19, no. 2, hal. 102- 112 Even, Einat Sapir. 2005. Imaging of Malignant Bone Involvement by Morphologic, Scintigraphic, and Hybrid Modalities. The Journal Nuclear Medicine, vol. 46, hal. 1356-1367 Ferguson, M. 2009. Bone Biology Primer An Overview Bone Anatomy and Remodeling. http:www.biometmicrofixation.com. Diakses tanggal 12 Agustus 2013 Gonzlez, ngel Sistal, AB Snchez, MH Carnero, R Morell. 2011. Advances in Medical Imaging Applied to Bone Metastases. Medical Imaging, vol. 16, hal. 339-354 Hutagalung, Errol Untung. 2004. Metastatic bone disease. Med J Indones, vol.2, no. 13, hal. 127-131 Jacofsky, D., Deborah, A. F., Frank, J. F. 2004. Metastatic Disease to Bone. Hospital Physician, vol. 39, hal, 21-28 Kindblom, L. G. 2004. Bone Tumors: Epidemiology, Classification, Pathology. http://www.springer.com/978-3-540-77982-7. Diakses tanggal 10 Agustus 2013 Novartis. 2007. What is Bone Metastasis; http://www.zometa.com/page.jsp?requst=monographs.html. Diakses tanggal 9 Agustus 2013 Oliver, TB, R Bhat, CF Kellett, DJ Adamson. 2011. Diagnosis and management of bone metastases. J R Coll Physicians Edinb, vol. 41, hal. 330338 Roodman, G. D. 2004. Mechanisms of Bone Metastasis. The New England Jounal of Medicine, vol. 350, no. 16, hal. 1655-1665 Roodman, G. David. 2008. Skeletal Imaging and Management of Bone Disease. Hematology, hal. 313-319 Rybak, LD dan Rosenthal. 2001. Radiological imaging for the diagnosis of bone metastases. The Quarterly Journal of Nuclear Medicine, vol. 45, hal. 53- 64 Sariningsih. 2013. Peranan Bone Scan dan MRI pada Metastasis Tulang; http://www.scribd.com/doc/43607522/Peranan-Bone-Scan-dan-MRI-pada- Metastasis-Tulang. Diakses tanggal 9 Agustus 2013. Schmidt, Gerwin P, Maximilian FR, Andrea Baur-Melnyk. 2007. Whole-body imaging of the musculoskeletal system: the value of MR imaging. Skeletal Radiol, vol. 36, hal. 1109-1119 Thabry, R. dan Daniel, S. 2008. The Indonesian Journal of Medical Science, vol.1, no. 2, hal. 119-128 Tzelepi, V., Athanssios, C. T., Zolota, V., Chrisoula D. 2009. Bone Anatomy, Physiology, and Function. Bone Metastases, Cancer Metastases Biology and Treatment, vol. 12, hal. 3-30