Dalam mengimplementasikan kebijakan air minum dan penyehatan
lingkungan berbasis masyarakat yang telah berhasil disusun oleh pemerin- tah, para pelaku di sektor air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) seringkali bersinggungan dengan masalah hukum dan peraturan perundang- an-undangan yang terkait dengan masalah pembangunan AMPL. Peraturan perundangan tersebut seringkali berubah seiring dengan perubahan sosial- politik kemasyarakatan dan perubahan standard pelayanan umum. Kondisi tersebut mengharuskan para pelaku di bidang air minum dan penyehatan lingkungan untuk selalu up to date terhadap peraturan perun- dang-undangan. Ketersediaan media informasi yang praktis dan padat san- gat dibutuhkan oleh para pelaku tersebut. Kebutuhan tersebut mendorong Kami untuk menerbitkan buku "Kumpulan Regulasi Terkait AMPL." Buku ini antara lain berisikan regulasi yang terkait langsung maupun tidak lang- sung, mulai dari bentuk UU, Perpu, PP, Keppres, Perpres, Kepmen, Permen, dan Perda. Buku ini hanya menjelaskan secara garis besar dari masing-masing per- aturan perundang-undangan yang dihimpun. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan para pembaca dalam memahami isi peraturan perundang- undangan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan AMPL. Dengan hadirnya buku ini, diharapkan bahan referensi bagi para pelaku bidang AMPL menjadi semakin lengkap. Jakarta, 13 November 2007 Direktur Permukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sebagai Ketua Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Basah Hernowo DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah ... 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Alam Hayati dan Ekosistemnya ...2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman . 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ... 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup . 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ........... 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ....... 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara... 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air . 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 16 ii i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah ....... 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 ... 19 PERATURAN PEMERINTAH Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ....................................... 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air ....... 21 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) "Otorita Jatiluhur" 23 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai ...... 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ... 26 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ... 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara .... 29 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun .... 31 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan .. 33 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah 35 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan ......... 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun .......... 38 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air ............. 40 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif .............. 41 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2002 tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Republik Indonesia dalam Modal Perum Jasa Tirta I ................................. 43 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum ..... 44 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum . 46 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah ................. 48 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan ..... 49 iv iii Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah kepada Daerah .............. 50 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal ....... 51 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2006 tentang Desa ......... 53 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan ... 55 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri ............. ..... 56 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi . 58 PERATURAN PRESIDEN Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004 - 2009 ... 61 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur .61 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Sungai ... 64 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan . 65 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air . 66 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air . 67 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2003 tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional ....... 69 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) ... 70 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi .. 71 PERATURAN MENTERI Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 45/PRT/1990 tentang Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air ................................................................... 73 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 48/PRT/1990 tentang Pengelolaan atas Air dan/atau Sumber Air pada Wilayah Sungai ............................... 74 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 49/PRT/1990 tentang Tata Cara dan Persyaratan Izin Penggunaan Air vi v Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Per- usahaan Daerah adalah semua perusahaan yang didirikan ber- dasarkan Undang-Undang ini yang seluruh atau sebagian modal- nya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang. Perusahaan Daerah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dan memupuk pendapatan. Perusahaan Daerah dipimpin oleh suatu Direksi yang jumlah anggota dan susunannya ditetapkan dalam peraturan pendiriannya. Direksi berada dibawah peng- awasan Kepala Daerah/pemegang saham/saham prioritas atau badan yang ditunjuknya. Untuk tiap tahun buku oleh Direksi dikirimkan perhitungan ta- hunannya terdiri dari neraca dan perhitungan laba-rugi kepada Kepala Daerah/pemegang saham/saham prioritet menurut cara dan waktu yang ditentukan dalam peraturan pendirian Perusahaan Daerah. Dalam hal likuiditas, Daerah bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga apabila kerugian itu disebabkan oleh karena neraca dan perhitungan laba rugi yang telah disahkan tidak menggambarkan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sifat, Tujuan dan Lapangan Usaha; Bab III Modal; Bab IV Saham-saham; Bab V Penguasaan dan Cara Mengurus; Bab VI Rapat Pemegang Saham; Bab VII Pengawasan; Bab VIII Tanggung Jawab dan Tuntutan Ganti Rugi Pegawai; Bab IX Tahun Buku; Bab X Anggaran Perusahaan; Bab XI Laporan Perhitungan Hasil Usaha Berkala dan Kegiatan Perusahaan; Bab XII Laporan Perhitungan Tahunan; Bab XIII Penetapan dan Penggunaan Laba Serta Pemberian Jasa Produksi; Bab XIV Kepegawaian; Bab XV Kontrol; Bab XVI Penyerahan Kepada Daerah dan Pemindahan ke Tangan Perkumpulan Koperasi; Bab XVII Pembubaran; Bab XVIII Peralihan; Bab XIX Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Alam Hayati dan Ekosistemnya Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertu- juan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk memper- KUMPULAN REGULASI 2 1 tahankan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna, diantaranya melalui pendidikan dan penyuluhan. Dalam rangka pelaksanaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang terse- but kepada Pemerintah Daerah. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perlindungan Sistem Penyang- ga Kehidupan; Bab III Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tum- buhan dan Satwa Beserta Ekosistemnya; Bab IV Kawasan Suaka Alam; Bab V Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; Bab VI Pe- manfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Eko- sistemnya; Bab VII Kawasan Pelestarian Alam; Bab VIII Pemanfa- atan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar; Bab IX Peran Serta Rakyat; Bab X Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan; Bab XI Penyidikan; Bab XII Ketentuan Pidana; Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Per- aturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1964 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan, sehingga perlu diatur kembali ketentuan menge- nai perumahan dan permukiman dalam Undang-Undang yang ba- ru. Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar ma- nusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pem- bentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilikan, setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman. Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pem- bangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang berta- hap. Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri. Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta, baik dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang perumahan dan per- mukiman kepada Pemerintah Daerah. Setiap orang atau badan yang dengan sengaja melanggar 4 3 04 ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang dikenakan sanksi pidana. Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pidana tidak dipenuhi oleh suatu badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha badan tersebut dicabut. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Tujuan; Bab III Perumahan; Bab IV Permukiman; Bab V Peran Serta Masyarakat; Bab VI Pembinaan; Bab VII Ketentuan Pidana; Bab VIII Ketentuan Lain-lain; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Dalam undang-undang ini diatur tentang asas dan tujuan yang menjadi landasan dan memberi arah pembangunan kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosialnya. Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta di dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tugas dan tanggung jawab Pemerintah pada dasarnya adalah mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan serta menggerakkan peran serta masyarakat. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kese- hatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemu- lihan kesehatan. Sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya, dengan pengertian bahwa sarana pelayanan ke- sehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan. Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber daya- nya. Peran serta masyarakat untuk memberikan pertimbangan da- lam ikut menentukan kebijaksanaan pemerintah pada penyeleng- garaan kesehatan dapat dilakukan melalui Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional, yang beranggotakan tokoh masyarakat dan pakar lainnya. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Azas dan Tujuan; Bab III Hak dan Kewajiban; Bab IV Tugas dan Tanggung Jawab; Bab V Upaya Kesehatan; Bab VI Sumber Daya Kesehatan; Bab VII Peran Serta Masyarakat; Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan; Bab IX Penyidikan; Bab X Ketentuan Pidana; Bab XI Ketentuan Peralihan; Bab XII Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang- undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup karena Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dianggap sudah tidak sesuai lagi. Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu 6 5 05 oleh instansi Pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tang- gungjawab masing-masing, masyarakat serta pelaku pemba- ngunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksa- nakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoor- dinasi oleh Menteri. Pemerintah berdasarkan peraturan perun- dang-undangan dapat melimpahkan wewenang tertentu penge- lolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah dan meng- ikutsertakan peran Pemda untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib me- lakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan yang dapat diserahkan pengelolaannya kepada pihak lain. Hal ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Am- dal untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diberikan oleh pejabat berwenang. Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib memperhatikan renca- na tata ruang, pendapat masyarakat, pertimbangan dan rekomen- dasi pejabat yang berwenang. Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh Menteri. Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang (Kepala Daerah menetap- kan pejabat yang berwenang) untuk melakukan pengawasan. Pe- ngendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh Pe- merintah. Jika terjadi pelanggaran dapat dijatuhi sanksi berupa pencabut- an izin usaha dan/atau kegiatan. Kepala Daerah dapat menga- jukan usul untuk mencabut izin tersebut kepada pejabat yang berwenang. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh me- lalui 2 cara, yaitu : 1. Melalui pengadilan 2. Di luar pengadilan : diselenggarakan untuk mencapai kesepa- katan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan ter- jadinya/terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas, Tujuan, dan Sasaran; Bab III Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat; Bab IV Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Bab V Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup; Bab VI Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup; Bab VII Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup; Bab VIII Penyidikan; Bab IX Ketentuan Pidana; Bab X Ketentuan Peralihan; Bab XI Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan dan tuntutan perkembangan keadaan maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan perlu diganti. Dalam undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pe- nyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat lestari, kerak- 8 7 07 yatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk ke- kayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan perencanaan kehutanan; pengelolaan hutan; penelitian dan pe- ngembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan ke- hutanan, dan pengawasan. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia yang memperoleh izin usa- ha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan ko- perasi masyarakat setempat. Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan SDM ber- kualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan tek- nologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembang- an, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang ber- kesinambungan. Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, me- nelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupa- kan umpan balik bagi perbaikan dan/atau penyempurnaan pengurus- an hutan lebih lanjut. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemda. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke peng- adilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap keru- sakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Penyelesai- an sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Status dan Fungsi Hutan; Bab III Pengurusan Hutan; Bab IV Perencanaan Kehutanan; Bab V Pe- ngelolaan Hutan; Bab VI Penelitian dan Pengembangan, Pendi- dikan dan Latihan Serta Penyuluhan Kehutanan; Bab VII Peng- awasan; Bab VIII Penyerahan Kewenangan; Bab IX Masyarakat Hukum Adat; Bab X Peran Serta Masyarakat; Bab XI Gugatan Perwakilan; Bab XII Penyelesaian Sengketa Kehutanan; Bab XIII Penyidikan; Bab XIV Ketentuan Pidana; Bab XV Ganti Rugi dan Sanksi Administratif; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembia- yaan. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Sedangkan APBD merupakan wujud pe- ngelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, ang- garan belanja, dan pembiayaan. Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal 10 9 09 dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, serta Pemerintah/Lembaga Asing maka Pemerintah Pusat dan Bank Sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemda berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR. Dalam hal pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD, Presiden menyampaikan rancangan undang-undang ten- tang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR beru- pa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat- lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara; Bab III Penyusunan dan Penetapan APBN; Bab IV Penyusunan dan Penetapan APBD; Bab V Hubungan Ke- uangan Antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Serta Pemerintah/Lembaga Asing; Bab VI Hubungan Keuangan Antara Pemerintah dan Perusahaan Negara, Perusa- haan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat; Bab VII Pelaksanaan APBN dan APBD; Bab VIII Per- tanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan APBD; Bab IX Keten- tuan Pidana, Sanksi Administratif, dan Ganti Rugi; Bab X Keten- tuan Peralihan; Bab XI Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Sehubungan Undang-Undang Perbendaharaan Indone- sia/Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah ter- akhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968 tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perbendaharaan Negara meliputi pelaksanaan pendapatan dan belanja negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja dae- rah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pelak- sanaan penerimaan dan pengeluaran daerah, pengelolaan kas, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan in- vestasi dan barang milik negara/daerah, penyelenggaraan akun- tansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah, penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/- APBD, penyelesaian kerugian negara/daerah, pengelolaan Badan Layanan Umum, dan perumusan standar, kebijakan, serta sistem dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan ne- gara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD. Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Peng- guna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpin- nya. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga 12 11 11 yang dipimpinnya. Tahun anggaran meliputi masa satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang mengatur dan menye- lenggarakan rekening pemerintah. Pemerintah Pusat dapat mem- berikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN. Pemerintah dapat melakukan invetasi jangka panjang untuk mem- peroleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya. Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara. Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kebijakan pengelolaan ba- rang milik daerah. Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Ke- uangan Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan per- hitungannya. Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akunta- bilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pe- merintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengenda- lian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melang- gar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pejabat Perbendaharaan Nega- ra; Bab III Pelaksanaan Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah; Bab IV Pengelolaan Uang; Bab V Pengelolaan Piutang dan Utang; Bab VI Pengelolaan Investasi; Bab VII Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; Bab VIII Larangan Penyitaan Uang dan Barang Milik Negara/Daerah dan/atau Yang Dikuasai Negara/Daerah; Bab IX Penatausahaan dan Pertanggungjawaban APBN/APBD; Bab X Pengendalian Intern Pemerintah; Bab XI Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah; Bab XII Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (se- lanjutnya disingkat SDA) disebutkan bahwa penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat. Hak guna air (berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya. Presiden berhak untuk menetapkan wilayah sungai dan ce- kungan air tanah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan SDA Nasional. Dalam pengelolaan SDA, sebagian wewenang Pe- merintah dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Dalam keadaan memaksa, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berhak mengatur dan menetapkan penggunaan SDA un- tuk kepentingan konservasi, persiapan pelaksanaan konstruksi, dan pemenuhan prioritas penggunaan SDA. Untuk pengembang- an sistem penyediaan air minum adalah tanggung jawab Pemerin- tah dan Pemerintah Daerah. Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pe- ngembangan sistem penyediaan air minum. Pengusahaan SDA permukaan yang meliputi satu wilayah su- 14 13 13 ngai hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN atau BUMD dibidang pengelolaan SDA atau kerjasama antara BUMN dengan BUMD. Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi SDA yang tersebar dan dikelola oleh berbagai institusi. Dalam hal pembiayaan pengelolaan SDA ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan SDA. Sumber dana untuk setiap je- nis pembiayaan tersebut dapat berupa anggaran pemerintah, anggaran swasta, dan/atau hasil penerimaan biaya jasa pengelo- laan SDA. Dalam hal terjadi sengketa, penyelesaian sengketa SDA tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk sepakat. Jika tidak diperoleh kesepakatan, maka para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan (me- lalui arbitrase) atau melalui pengadilan. Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan SDA berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan. Begitu pula se- tiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap orang lain maupun sumber air dan prasarananya akan ditindak sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Wewenang dan Tanggung Ja- wab; Bab III Konservasi Sumber Daya Air; Bab IV Pendaya- gunaan Sumber Daya Air; Bab V Pengendalian Daya Rusak Air; Bab VI Perencanaan; Bab VII Pelaksanaan Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan; Bab VIII Sistem Informasi Sumber Daya Air; Bab IX Pemberdayaan dan Pengawasan; Bab X Pembiayaan; Bab XI Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat; Bab XII Koordina- si; Bab XIII Penyelesaian Sengketa; Bab XIV Gugatan Masyarakat dan Organisasi; Bab XV Penyidikan; Bab XVI Ketentuan Pidana; Bab XVII Ketentuan Peralihan; Bab XVIII Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demok- rasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanju- tan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perenca- naan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bi- dang kehidupan secara terpadu dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional meliputi pe- nyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksa- naan rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana. Penyusunan RPJP dilakukan melalui urutan penyiapan rancangan awal renca- na pembangunan, musyawarah perencanaan pembangunan dan penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Menteri menyiapkan rancangan RPJP Nasional. Sedangkan Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah. Pengen- dalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan oleh ma- sing-masing pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Pe- rangkat Daerah. Perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawab- kan. Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan Nasional. Sedangkan Kepala Dae- 15 16 15 rah menyelenggaran dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan daerah di daerahnya. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan se- telah diundangkannya Undang-Undang ini. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Tujuan; Bab III Ruang Lingkup Perencanaan Pembangunan Nasional; Bab IV Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional; Bab V Penyusunan dan Penetapan Rencana; Bab VI Pengendalian dan Evaluasi Pe- laksanaan Rencana; Bab VII Data dan Informasi; Bab VIII Kelem- bagaan; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemda meru- pakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pemba- gian tugas antara Pemerintah dan Pemda. Penyelenggaraan uru- san Pemda dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai oleh APBD. Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksa- nakan oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai oleh APBN. Sedangkan penyelenggaraan urusan Pe- merintah yang dilaksanakan oleh Gubernur dalam rangka Tugas Pembantuan didanai oleh APBN. Dana Perimbangan terdiri atas : 1. Dana Bagi Hasil : a). Bersumber dari pajak: PBB (Pajak Bumi Bangunan), BPHTB, PPh (Pajak Penghasilan). b). Sumber Daya Alam: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi. 2. Dana Alokasi Umum (DAU): jumlah keseluruhan DAU ditetap- kan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. 3. Dana Alokasi Khusus (DAK): besarnya DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Lain-lain Pendapatan terdiri atas Pendapatan Hibah dan Pen- dapatan Dana Darurat. Untuk Hibah kepada Daerah yang bersum- ber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Sedangkan Dana Darurat, Pemerintah mengalokasikannya yang bersumber dari APBN untuk keperluan mendesak yang diaki- batkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. Sejak berlakunya undang-undang ini maka Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848) dinyatakan tidak berlaku. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Prinsip Kebijakan Perimbangan Keuangan; Bab III Dasar Pendanaan Pemerintahan Daerah; Bab IV Sumber Penerimaan Daerah; Bab V Pendapatan Asli Daerah; Bab VI Dana Perimbangan; Bab VII Lain-lain Pendapatan; Bab VIII Pinjaman Daerah; Bab IX Pengelolaan Keuangan dalam 17 18 17 Rangka Desentralisasi; Bab X Dana Dekonsentrasi; Bab XI Dana Tugas Pembantuan; Bab XII Sistem Informasi Keuangan Daerah; Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasio- nal yang ditetapkan dengan undang-undang. RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehi- dupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional. Program Pembangunan Nasional periode 2005 - 2025 dilaksa- nakan sesuai dengan RPJP Nasional. Dalam rangka menjaga ke- sinambungan pembangunan dan untuk menghindarkan ke- kosongan rencana pembangunan nasional, Presiden yang se- dang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajib- kan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya. Pemerintah melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksa- naan RPJP Nasional. Sedangkan Pemerintah Daerah melakukan pengendalian dan evalusi pelaksanaan RPJP Daerah. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Program Pembangunan Nasio- nal; Bab III Pengendalian dan Evaluasi; Bab IV Ketentuan Per- alihan; Bab V Ketentuan Penutup. 19 20 19 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan men- dorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indo- nesia, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Un- dang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum da- lam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang- Undang tersebut. Ketidakpastian itu terjadi karena dalam ketentu- an Undang-Undang tersebut tidak ada ketentuan yang menyata- kan bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlaku- nya Undang-Undang tersebut tetap berlaku. Tidak adanya ketentuan tersebut mengakibatkan status dari izin atau perjanjian yang ada sebelum berlakunya Undang-Un- dang tersebut menjadi tidak jelas dan bahkan dapat diartikan men- jadi tidak berlaku lagi. Hal ini diperkuat ketentuan Pasal 38 ayat (4) yang menyatakan secara tegas bahwa pada kawasan hutan lin- dung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertam- bangan terbuka. Ketentuan tersebut semestinya hanya berlaku sesudah berlakunya Undang-Undang tersebut dan tidak diber- lakukan surut. 21 21 PE RAT URAN PE ME RI NTAH Ketidakpastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha per- tambangan di kawasan hutan tersebut dapat mengakibatkan Pe- merintah berada dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan iklim investasi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga perlu dipelihara kualitasnya agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hi- dup lainnya. Oleh karena itu Pemerintah dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pen- cemaran Air. Gubernur menunjuk instansi teknis di daerah untuk melakukan inventarisasi kualitas dan kuantitas air untuk kepentingan pengen- dalian pencemaran air. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, mene- tapkan prioritas pelaksanaan inventarisasi kualitas dan kuantitas air. Data kualitas dan kuantitas air disusun dan didokumentasikan pada instansi teknis yang bertanggung jawab, di bidang pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Kemudian Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengidentifikasi sumber-sumber pence- maran air. Ketetapan tentang baku mutu air untuk golongan air ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Metode analisa untuk setiap parameter baku mutu air dan baku mutu limbah cair ditetapkan oleh Menteri. Apabila kualitas air lebih rendah dari kualitas air menurut golongan yang telah ditetap- kan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menetapkan program peningkatan kualitas air. Untuk pengendalian pencemaran air di daerah dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan atau Pimpinan lembaga pemerintah non- departemen yang bersangkutan menetapkan baku mutu limbah cair. Baku mutu air, daya tampung beban pencemaran dan baku mutu limbah cair ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya se- kali dalam lima tahun. Setiap orang atau badan yang membuang limbah cair wajib mentaati baku mutu limbah cair sebagaimana ditentukan dalam izin pembuangan limbah cair yang ditetapkan baginya. Baku mutu limbah cair yang diizinkan dibuang ke dalam air oleh suatu ke- giatan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I ber- dasarkan baku mutu limbah cair yang ditetapkan. Setiap orang yang mengetahui atau menduga terjadinya pen- cemaran air berhak melaporkan kepada Gubernur Kepada Dae- rah Tingkat I atau aparat Pemerintah Daerah terdekat atau Kepala Kepolisian Resort atau Aparat Kepolisian terdekat. Dalam hal pembiayaan inventarisasi kualitas dan kuantitas air dibebankan pada anggaran daerah yang bersangkutan. Se- dangkan biaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran air akibat suatu kegiatan dibebankan kepada pe- nanggungjawab kegiatan yang bersangkutan. Apabila untuk suatu jenis kegiatan belum ditentukan baku mutu limbah cairnya, maka baku mutu limbah cair yang boleh dibuang ke dalam air oleh kegiatan tersebut ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setelah berkonsultasi dengan Menteri. 23 23 22 Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Inventarisasi Kualitas dan Ku- antitas Air; Bab III Penggolongan; Bab IV Upaya Pengendalian; Bab V Perizinan; Bab VI Pengawasan dan Pemantauan; Bab VII Pembiayaan; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) "Otorita Jatiluhur" Peraturan ini merupakan penyesuaian dari Peraturan Pe- merintah Nomor 20 Tahun 1970 tentang Pembentukan Peru- sahaan Umum "Otorita Jatiluhur" sebagaimana telah diubah de- ngan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1980. Perusahaan ini adalah badan usaha yang menyelenggarakan usaha-usaha eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan serta mengusahakan air, sumber-sumber air, dan ketenagalistrik- an. Perusahaan bertempat kedudukan dan berkantor pusat di Jati- luhur. Modal Perusahaan adalah kekayaan negara yang dipisah- kan dari APBN dan tidak terbagi atas saham-saham. Pembelanjaan untuk investasi yang dilaksanakan perusahaan dapat berasal dari dana intern perusahaan, penyertaan modal negara melalui APBN, pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri, serta sumber-sumber lainnya yang sah. Perusahaan dipimpin dan dikelola oleh Direksi yang terdiri dari seorang Direktur Utama dan sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang Direktur sesuai dengan bi- dang usahanya. Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan. Pembinaan terhadap Perusahaan dilakukan oleh Menteri yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Direktur Jenderal berda- sarkan ketentuan yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. Se- lambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku mulai ber- laku, Direksi mengirimkan rencana kerja dan anggaran Per- usahaan yang meliputi anggaran investasi dan anggaran eksplo- itasi kepada Menteri untuk memperoleh pengesahannya berda- sarkan penilaian bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan. Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan dan hasil penjualan tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga air didasarkan pada asas memperoleh penghasilan yang cukup bagi Perusahaan untuk menutup biaya pengusahaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri atas usul Direksi, setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan. Menteri melakukan pengawasan umum atas jalannya Per- usahaan. Pada Perusahaan dibentuk Dewan Pengawas yang ber- tanggung jawab kepada Menteri. Dewan Pengawas mengadakan rapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali dan sewaktu-wak- tu apabila diperlukan. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Pengawas, Menteri dapat mengangkat seorang Se- kretaris atas beban Perusahaan. Untuk tiap tahun buku oleh Direksi disusun perhitungan tahun- an yang terdiri dari neraca dan perhitungan laba rugi. Pembu- baran Perusahaan dan penunjukan likuidaturnya ditetapkan de- ngan Peraturan Pemerintah. Semua kekayaan Perusahaan sete- lah diadakan likuidasi menjadi milik Negara. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pendirian Perusahaan; Bab III Anggaran Dasar Perusahaan; Bab IV Ketentuan Peralihan; Bab V Penutup. 25 25 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai Sungai sebagai sumber air sangat penting fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan pemba- ngunan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka dipan- dang perlu melakukan pengaturan mengenai sungai yang meliputi perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang direvisi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Da- ya Air. Lingkup pengaturan sungai berdasarkan PP ini mencakup per- lindungan, pengembangan, penggunaan, dan pengendalian su- ngai termasuk danau dan waduk. Wewenang dan tanggung jawab pembinaan sungai ada pada Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri. Wewenang dan tanggung jawab pembina- an sungai ini juga dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara. Sepanjang belum dilimpahkan kepada badan usaha milik negara, dapat dilimpahkan juga kepada Pemerintah Daerah da- lam rangka tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perun- dang-undangan yang berlaku. Untuk mencapai keterpaduan yang menyeluruh dalam per- lindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian su- ngai, bagi tiap kesatuan wilayah sungai disusun perencana pem- binaan sungai yang ditetapkan oleh Menteri. Selain sungai merupakan salah satu sumber daya air, juga me- miliki potensi yang lain yaitu sebagai sumber bahan galian khu- susnya bahan galian berupa pasir dan batu. Dalam rangka menumbuhkan peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional, maka masyarakat diikutsertakan dalam kegiatan pembangunan, eksploitasi dan pemeliharaan sungai, pe- nanggulangan bahaya banjir, maupun pengamanan sungai, se- hingga dapat merasa ikut memiliki dan dengan demikian ikut me- rasa bertanggung jawab. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penguasaan Sungai; Bab III Fungsi Sungai; Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab Pembi- naan; Bab V Perencanaan Sungai; Bab VI Pembangunan Ba- ngunan Sungai; Bab VII Eksploitasi dan Pemeliharaan Sungai dan Bangunan Sungai; Bab VIII Pengusahaan Sungai dan Bangunan Sungai; Bab IX Pembangunan, Pengelolaan dan Pengamanan Waduk; Bab X Penanggulangan Bahaya Banjir; Bab XI Penga- manan Sungai dan Bangunan Sungai; Bab XII Kewajiban dan La- rangan; Bab XIII Pembiayaan; Bab XIV Pengawasan; Bab XV Ke- tentuan Pidana; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII Ketentu- an Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khu- susnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan be- racun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehat- an manusia. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 ten- 27 27 26 tang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan me- nanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fung- sinya kembali. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau mengha- silkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3. Untuk pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah, dan penimbun limbah B3 dila- kukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan ter- sebut. Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab. Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilaku- kan oleh Menteri dan pelaksanaannya diserahkan kepada instan- si yang bertanggung jawab. Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 bertanggung ja- wab atas penanggulangan kecelakaan dan pencemaran lingkun- gan hidup akibat lepas atau tumpahnya limbah B3 yang menjadi tanggung jawabnya. Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan di daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II untuk skala yang bisa ditanggulangi oleh kegiatan penghasil dan/atau pe- ngumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau penimbun. Dalam hal pembiayaan, segala biaya untuk memper- oleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan ke- pada pemohon izin. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Identifikasi Limbah B3; Bab III Pelaku Pengelolaan: Bagian Pertama : Penghasil, Bagian Kedua : Pengumpul, Bagian Ketiga: Pengangkut, Bagian Keempat : Pe- manfaat, Bagian Kelima : Pengolah, Bagian Keenam : Penimbun; Bab IV Kegiatan Pengelolaan : Bagian Pertama : Reduksi Limbah B3, Bagian Kedua : Pengemasan, Bagian Ketiga : Penyimpanan, Bagian Keempat : Pengumpulan, Bagian Kelima : Pengangkutan, Bagian Keenam : Pemanfaatan, Bagian Ketujuh : Pengolahan, Bagian Kedelapan : Penimbunan; Bab V Tata Laksana : Bagian Pertama : Perizinan, Bagian Kedua : Pengawasan, Bagian Ketiga: Perpindahan Lintas Batas, Bagian Keempat : Informasi dan Pe- laporan, Bagian Kelima : Penanggulangan dan Pemulihan, Bagian Keenam : Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan, Bagian Ke- tujuh : Pembiayaan; Bab VI Sanksi; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (selanjutnya di- singkat AMDAL) merupakan bagian kegiatan studi kelayakan ren- cana usaha dan/atau kegiatan. Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL ditetapkan oleh Menteri setelah men- dengar dan memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/ 29 28 29 atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang ter- kait. Untuk menilai kerangka acuan, AMDAL, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup ma- ka dibentuk Komisi Penilai. Komisi Penilai dibentuk oleh Menteri di tingkat pusat, sedangkan di tingkat daerah dibentuk oleh Gu- bernur. Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan AMDAL disusun oleh pemrakarsa. Pemrakarsa menyusun AMDAL, rencana pe- ngelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup berdasarkan kerangka acuan yang telah mendapatkan ke- putusan dari instansi yang bertanggung jawab. Untuk penyusunan AMDAL bagi usaha dan/atau kegiatan ekonomi lemah dibantu Pe- merintah dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah memper- hatikan saran dan pendapat instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan terlebih da- hulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun AMDAL. Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, AMDAL, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan ren- cana pemantauan lingkungan hidup. Dalam hal pembiayaan, untuk pelaksanaan kegiatan komisi pe- nilai dan tim teknis AMDAL di tingkat pusat dibebankan pada ang- garan instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan se- dangkan di tingkat daerah dibebankan pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan daerah tingkat I. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Komisi Penilai Analisis Me- ngenai Dampak Lingkungan Hidup; Bab III Tata Laksana; Bab IV Pembinaan; Bab V Pengawasan; Bab VI Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat; Bab VII Pembiayaan; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Ketentuan ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spe- sifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah tu- runnya mutu udara ambien. Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, am- bang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang ba- tas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara. Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan pe- nanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak ber- gerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keada- an darurat. Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penang- gung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Waliko- 31 31 30 tamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan. Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengenda- lian pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak ber- gerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau ke- giatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau ke- giatan yang bersangkutan. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pence- maran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pence- maran udara serta biaya pemulihannya. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perlindungan Mutu Udara; Bab III Pengendalian Pencemaran Udara; Bab IV Pengawasan; Bab V Pembiayaan; Bab VI Ganti Rugi; Bab VII Sanksi; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup. 20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Untuk mengenali limbah yang dihasilkan secara dini diperlukan identifikasi berdasarkan uji toksikologi dengan penentuan nilai akut dan/atau kronik untuk menentukan limbah yang dihasilkan termasuk sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun. Se- hubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Ber- bahaya dan Beracun. Pasal I mengubah ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pasal 6 : Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan/atau uji karakteristik dan/atau uji toksikologi. Pasal 7 : (1)Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi limbah B3 dari sumber tidak spesifik, limbah B3 dari sumber spesifik, limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi. (2)Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini. (3)Uji karakterisitik limbah B3 meliputi mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif. (4)Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan/atau kronik. Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah dilakukan uji karakteris- tik dan/atau uji toksikologi. Pasal 8 : (1)Limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk da- lam Lampiran I, Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini, apabila ter- bukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) dan/atau ayat (4) maka lim- bah tersebut merupakan limbah B3. 33 32 33 (2)Limbah B3 dari kegiatan yang tercantum dalam Lampiran I, Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini dapat dikeluarkan dari daf- tar tersebut oleh instansi yang bertanggung jawab, apabila da- pat dibuktikan secara ilmiah bahwa limbah tersebut bukan lim- bah B3 berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan ins- tansi teknis, lembaga penelitian terkait dan penghasil limbah. (3)Pembuktian secara ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan uji karakteristik limbah B3, uji toksi- kologi, dan/atau hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan tidak menimbulkan pencemaran dan ganggu- an kesehatan terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya. (4)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) akan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis dan lem- baga penelitian terkait. Pasal II : Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Per- aturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan sebagai pelaksana ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Un- dang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pe- nyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak yang telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hi- dup di luar pengadilan, maka gugatan yang disampaikan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinya- takan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang berseng- keta menarik diri dari perundingan. Untuk lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sedangkan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah ditetapkan Gubernur/Bupati/Walikota dan berkedudukan di instan- si yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak ling- kungan di daerahnya. Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat dibuat dengan Akta Notaris. Orang-orang yang menjalankan fungsi sebagai arbiter atau me- diator atau pihak ketiga lainnya terikat pada kode etik profesi yang penilaian dan pengembangannya dilakukan oleh asosiasi profesi yang bersangkutan. Kesepakatan yang dicapai melalui proses pe- nyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai. Mengenai biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup me- lalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Biaya untuk media- tor atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas kesediaan dari sa- lah satu pihak atau para pihak yang bersengketa atau sumber- sumber dana lainnya yang bersifat tidak mengikat. Segala biaya 35 35 34 kesekretariatan yang diperlukan dibebankan kepada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah pada anggaran belanja instan- si yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak ling- kungan di pusat ataupun daerah yang bersangkutan. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kelembagaan; Bab III Per- syaratan Penunjukan Pihak Ketiga Netral; Bab IV Tata Cara Pe- nyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Lembaga Pe- nyedia Jasa; Bab V Pembiayaan Lembaga Penyedia Jasa; Bab VI Ketentuan Penutup. 22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pa- da peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. APBD merupakan dasar pengelolaan ke- uangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus di- dukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Semua transaksi keuangan daerah baik pe- nerimaan daerah maupun pengeluaran daerah dilaksanakan me- lalui kas daerah. Apabila diperkirakan pendapatan daerah lebih kecil dari rencana belanja, daerah dapat melakukan pinjaman. Pe- merintah daerah dapat juga mencari sumber-sumber pembiayaan lain melalui kerjasama dengan pihak lain dengan prinsip saling menguntungkan. Tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Perda tentang APBD dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah. Untuk setiap pengeluaran atas beban APBD diterbitkan Surat Keputusan Oto- risasi atau surat keputusan lainnya yang disamakan dengan itu oleh pejabat yang berwenang. Untuk setiap akhir tahun anggaran Pemerintah Daerah wajib membuat perhitungan APBD yang memuat perbandingan antara realisasi pelaksanaan APBD dibandingkan dengan APBD. Pe- merintah Daerah juga menyampaikan laporan triwulan pelaksa- naan APBD kepada DPRD. Pemeriksaan atas pelaksanaan, pe- ngelolaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengelolaan Keuangan Daerah; Bab III Penyusunan dan Penetapan APBD; Bab IV Pelaksanaan APBD; Bab V Perhitungan APBD; Bab VI Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; Bab VII Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah; Bab VIII Pemeriksaan Keuangan Daerah; Bab IX Ke- rugian Keuangan Daerah; Bab X Ketentuan Penutup. 37 37 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari keten- tuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hi- dup secara tegas dikemukakan dalam Tap MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN, bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup harus disertai dengan tindakan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan. Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memperkecil dampak yang akan merugikan lingkungan hidup dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi upaya pence- gahan, penanggulangan, dan pemulihan serta pengawasan ter- hadap pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah ditetapkan dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada ketentuan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan/atau lahan juga berkewajiban mencegah terjadinya kerusak- an dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan de- ngan kebakaran hutan dan/atau lahan. Setiap orang yang meng- akibatkan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan wajib mela- kukan pemulihan dampak lingkungan hidup. Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengko- ordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan/atau lahan lintas propinsi dan/atau lintas batas negara. Gubernur bertanggung ja- wab terhadap pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya lintas Kabupaten/Kota. Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan dilakukan secara periodik untuk mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup dan secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan ling- kungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pe- ngendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal pembiayaan untuk melakukan kegiatan tersebut diatas dibebankan pada APBN, APBD dan sumber dana lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kriteria Baku Kerusakan Ling- kungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; Bab III Baku Mutu Pencemaran Lingkungan Hidup; Bab IV Tata Laksana Pengendalian; Bab V Wewenang Pengendalian Ke- rusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; Bab VI Pengawasan; Bab VII Pelaporan; Bab VIII Peningkatan Kesadaran Masyarakat; Bab IX Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat; Bab X 39 39 38 Pembiayaan; Bab XI Sanksi Administrasi; Bab XII Ganti Kerugian; Bab XIII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Peralihan; Bab XV Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai tindak lanjut dari Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Ba- han Berbahaya dan Beracun (B3). Pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan/atau mengu- rangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. B3 dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu B3 yang dapat diper- gunakan, B3 yang dilarang dipergunakan, dan B3 yang terbatas dipergunakan. Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan/atau pengimpor. Tata cara registrasi dan sistem registrasi nasional B3 ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan yang melakukan kegiatan impor B3 wajib mengikuti prosedur notifikasi. Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet). Dan seti- ap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan peng- edaran B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet). Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempu- nyai tugas untuk memberikan saran dan/atau pertimbangan kepada Pemerintah. Komisi B3 terdiri dari wakil instansi yang berwenang, wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait, wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi. Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Dalam hal tertentu wewenang tersebut dapat diserahkan menjadi urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota. Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menyampaikan laporan tertulis tentang pengelolaan B3 secara berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada ins- tansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bi- dang tugas masing-masing dengan tembusan kepada Guber- nur/Bupati/Walikota. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi tentang upa- ya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan penge- lolaan B3. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Klasifikasi B3; Bab III Tata Lak- sana dan Pengelolaan B3; Bab IV Komisi B3; Bab V Keselamatan dan Kesehatan Kerja; Bab VI Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat; Bab VII Pengawasan dan Pelaporan; Bab VIII Peningkatan Kesadaran Masyarakat; Bab IX Keterbukaan In- formasi dan Peran Masyarakat; Bab X Pembiayaan; Bab XI Sank- si Administrasi; Bab XII Ganti Kerugian; Bab XIII Ketentuan Pi- dana; Bab XIV Ketentuan Peralihan; Bab XV Ketentuan Penutup. 41 41 40 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan dari Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Penge- lolaan Lingkungan Hidup. Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air di- selenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem. Hal tersebut dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan. Upaya pengelolaan kualitas air dilakukan pada : 1. Sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung; 2. Mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan 3. Akuifer air tanah dalam. Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan/atau lintas batas negara. Pemerintah Propinsi mengkoordina- sikan pengelolaan kualitas air lintas Kab/Kota. Sedangkan Peme- rintah Kab/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kab/Kota. Pemerintah dapat menentukan baku mutu air yang lebih ketat dan/atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi dan/atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaan- nya di bawah kewenangan Pemerintah. Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan tetap memperhatikan saran masukan dari instan- si terkait. Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Per- aturan Daerah Propinsi. Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan/atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pe- merintah Kab/Kota dapat dikenakan retribusi yang ditetapkan de- ngan Perda Kab/Kota. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengelolaan Kualitas Air; Bab III Pengendalian Pencemaran Air; Bab IV Pelaporan; Bab V Hak dan Kewajiban; Bab VI Persyaratan Pemanfaatan dan Pembuangan Air Limbah; Bab VII Pembinaan dan Pengawasan; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup. 26. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif Peraturan Pemerintah ini sebagai pelaksana dari ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Peraturan ini mengatur klasifikasi limbah radioaktif, manajemen perizinan, pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan limbah radioaktif, program jaminan kualitas, pe- ngelolaan dan pemantauan lingkungan, pengolahan limbah radioaktif tambang bahan galian nuklir dan tambang lainnya, pro- gram dekomisioning, serta penanggulangan kecelakaan nuklir dan/atau radiasi. Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dan/atau kontaminasi. Limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif 43 43 42 tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi. Setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan tenaga nuklir wajib menyatakan kepada Badan Pengawas bahwa limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau dise- rahkan kepada Badan Pelaksana untuk dikelola. Pengolahan lim- bah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang dapat dilakukan sendiri oleh penghasil limbah radioaktif. Pengelola limbah radioaktif sebelum melaksanakan pengelo- laan limbah radioaktif harus membuat program jaminan kualitas untuk kegiatan desain, pembangunan, pengoperasian dan per- awatan, dekomisioning instalasi, serta pengelolaan limbah radioaktif. Pengelola limbah radioaktif harus melakukan pe- mantauan tingkat radiasi dan radioaktivitas lingkungan di sekitar instalasi. Badan Pelaksana atau badan yang melakukan penambangan bahan galian nuklir wajib melakukan pengumpulan, pengelom- pokkan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah radioaktif. Sebelum melaksanakan dekomisioning instalasi pengo- lahan limbah radioaktif, setiap pengolah limbah radioaktif wajib menyampaikan dokumen program dekomisioning kepada Badan Pengawas. Penghasil, pengolah, dan pengelola limbah radioaktif harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan nuklir dan/atau radiasi. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup, Asas dan Tu- juan; Bab III Klasifikasi Limbah Radioaktif; Bab IV Manajemen Perizinan; Bab V Pengolahan, Pengangkutan dan Penyimpanan Limbah Radioaktif; Bab VI Program Jaminan Kualitas; Bab VII Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan; Bab VIII Pengolahan Limbah Radioaktif Tambang Bahan Galian Nuklir dan Tambang Lainnya; Bab IX Program Dekomisioning; Bab X Penanggulangan Kecelakaan Nuklir dan/atau Radiasi; Bab XI Sanksi Administratif; Bab XII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Penutup. 27. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2002 tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Republik Indonesia Dalam Modal Perum Jasa Tirta I Pemerintah melakukan penambahan penyertaan modal ke da- lam modal Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta I, yang didi- rikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 1999 tentang Perum Jasa Tirta I. Penambahan penyertaan modal terse- but berasal dari kekayaan Negara. Pelaksanaan penambahan penyertaan modal Negara ke dalam Perum Jasa Tirta I dilakukan menurut ketentuan Peraturan Pe- merintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM), Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Ke- uangan Pada Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Jawatan (PERJAN) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Daftar Isi Bab I Penambahan Penyertaan Modal; Bab II Pelaksanaan Penambahan Penyertaan Modal; Bab III Ketentuan Penutup. 45 44 45 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 Undang-undang No- mor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air maka ditetapkan Per- aturan Pemerintah tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Pengaturan pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (selanjutnya disingkat SPAM) diselenggarakan secara ter- padu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi yang berkaitan dengan air minum. Dalam penyelenggaraan pengem- bangan SPAM dan/atau prasarana dan sarana sanitasi, Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama antar daerah. Kebijakan dan strategi nasional pengembangan SPAM disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah setiap 5 tahun sekali melalui kon- sultasi publik. Rencana induk pengembangan SPAM yang cakup- an wilayah layanannya bersifat lintas Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi setelah berkoordinasi dengan daerah Kabupaten/Kota terkait. Jika bersifat lintas provinsi, maka ditetap- kan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait, pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota. Penyelenggaraan pengembangan SPAM dilakukan oleh BUMN atau BUMD yang dibentuk secara khusus untuk pe- ngembangan SPAM. Apabila BUMN/BUMD tidak dapat mening- katkan kuantitas dan kualitas pelayanan SPAM di wilayah pela- yanannya, maka atas persetujuan dewan pengawas/komisaris da- pat mengikutsertakan koperasi, badan usaha swasta, dan/atau masyarakat. Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM di- bentuklah suatu badan yang disebut Badan Pendukung Pengem- bangan SPAM (BPP SPAM). BPP SPAM merupakan badan non- struktural yang dibentuk oleh, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Keanggotaan BPP SPAM terdiri atas unsur Pemerintah, unsur penyelenggara dan unsur masyarakat. Dalam hal pembiayaan pengembangan SPAM meliputi pem- biayaan untuk membangun, memperluas serta meningkatkan sis- tem fisik (teknik) dan sistem non-fisik dapat berasal dari Peme- rintah dan/atau Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, koperasi, ba- dan usaha swasta, dana masyarakat dan/atau sumber dana lain yang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Koperasi, badan usaha swasta dan/atau masyarakat dapat me- nyelenggarakan SPAM untuk memenuhi kebutuhan sendiri berda- sarkan izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Masyarakat yang dirugikan berhak mengajukan gugatan per- wakilan ke pengadilan. Begitu pula dengan organisasi yang berge- rak pada bidang sumber daya air berhak mengajukan gugatan ter- hadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang menyebabkan kerusakan pada prasarana dan sarana penyediaan air minum. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sistem Penyediaan Air Minum; Bab III Perlindungan Air Baku; Bab IV Penyelenggaraan; Bab V Wewenang dan Tanggung Jawab; Bab VI Badan Pendukung Pe- ngembangan SPAM; Bab VII Pembiayaan dan Tarif; Bab VIII Tu- gas, Tanggung Jawab, Peran, Hak, dan Kewajiban; Bab IX Pem- binaan dan Pengawasan; Bab X Gugatan Masyarakat dan Orga- nisasi; Bab XI Sanksi Administratif; Bab XII Ketentuan Peralihan; Bab XIII Ketentuan Penutup. 47 46 47 29. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (7) Undang-Un- dang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ma- ka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Badan Layanan Umum (BLU) bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kese- jahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasar- kan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara lemba- ga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelega- sikan oleh instansi yang bersangkutan. Di lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif melalui pola Badan Layanan Umum. Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pen- gelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lemba- ga (Renstra KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pola BLU tersedia untuk diterapkan oleh setiap instansi peme- rintah yang secara fungsional menyelenggarakan kegiatan yang bersifat operasional. Dengan demikian, BLU diharapkan tidak sekedar sebagai format baru dalam pengelolaan APBN/APBD, tetapi BLU diharapkan untuk menyuburkan pewadahan baru bagi pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi mening- katkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tujuan dan Asas; Bab III Per- syaratan, Penetapan, dan Pencabutan; Bab IV Standar dan Tarif Layanan; Bab V Pengelolaan Keuangan BLU; Bab VI Tata Kelola; Bab VII Ketentuan Lain; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ke- tentuan Penutup. 30. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau untuk menu- tup kekurangan kas yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. 49 48 49 Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke- pada pihak luar negeri. Pemerintah Daerah dapat melakukan pin- jaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Se- lain itu dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah lainnya sepanjang tidak me- lampaui batas kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Semua penerimaan dan kewajiban dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah merupakan dokumen publik dan diumum- kan dalam Lembaran Daerah. Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pin- jamannya kepada Pemerintah, maka akan diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara yang menjadi hak Daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, besaran Pinjaman Daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan Daerah karena dapat menimbulkan beban APBD tahun-tahun berikutnya, sehingga perlu didukung dengan ketrampilan perangkat Daerah dalam mengelola Pinjaman Daerah. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang menyangkut Pinjaman Daerah, dengan meng- antisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbang- kan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinam- bungan perekonomian nasional. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Prinsip Umum Pinjaman Daerah; Bab III Batas Pinjaman Daerah; Bab IV Persyaratan Umum Pinjaman Daerah; Bab V Prosedur Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari Pemerintah; Bab VI Prosedur Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari Selain Pemerintah; Bab VII Obligasi Daerah; Bab VIII Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah; Bab IX Pelaporan dan Sanksi Pinjaman Daerah; Bab X Ketentuan Peralihan; Bab XI Ketentuan Peralihan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan Ketentuan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kini telah disempurnakan menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Un- dang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Un- dang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbang- an keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara Pe- merintah Daerah. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Se- dangkan DAU dialokasikan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi priori- tas nasional. DAU suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang ter- diri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Data yang digunakan da- lam penghitungan DAU diperoleh dari lembaga statistik Peme- rintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbit- 51 50 51 kan data yang dapat dipertanggungjawabkan. DAU suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undang-undang pembentukan disahkan. Pengawasan atas pelaksanaan Dana Perimbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejak berlakunya per- aturan pemerintah ini sampai dengan Tahun Anggaran 2007 jum- lah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 % dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Dana Bagi Hasil; Bab III Dana Alokasi Umum; Bab IV Dana Alokasi Khusus; Bab V Pengawasan; Bab VI Ketentuan Peralihan; Bab VII Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah Prinsip kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menye- luruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desen- tralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.Sumber penda- naan penyelenggaraan asas Desentralisasi di daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Lain-lain Pendapatan. Salah satu komponen Lain-lain Pen- dapatan yang dinyatakan dalam Pasal 43 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai bentuk hubungan keuangan antara Peme- rintah dan Pemerintahan Daerah adalah hibah. Hibah bersumber dari Dalam Negeri dan/atau Luar Negeri. Pe- nerimaan hibah bersifat sebagai bantuan yang tidak mengikat, dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan didalam NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) dan/atau NPPH (Naskah Per- janjian Penerusan Hibah). Hibah digunakan untuk menunjang peningkatan fungsi peme- rintahan dan layanan dasar umum, serta pemberdayaan aparatur Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran hi- bah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pemberian Hibah; Bab III Pene- rimaan Hibah; Bab IV Penggunaan Hibah : Bagian Kesatu Tujuan Hibah, Bagian Kedua Pengelolaan Hibah, Bagian Ketiga Pertang- gungjawaban Dan Pelaporan Hibah; Bab V Ketentuan Peralihan; Bab VI Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Peraturan ini adalah sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang- Undang. 53 52 53 Standar Pelayanan Minimal (selanjutnya disingkat SPM) disu- sun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabu- paten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai de- ngan peraturan perundang-undangan. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintah Daerah un- tuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Dalam penyusunan SPM ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM. Penyusunan SPM oleh masing- masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen di- lakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Tim Konsultasi terdiri dari unsur-unsur Depdagri, Bappenas, Departemen Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dengan melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen terkait sesuai kebutuhan. Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penerapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen me- lakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah dalam penerapan SPM. Pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintah Daerah Provinsi dilakukan oleh Pemerintah dan pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah. Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas pene- rapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemerin- tah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintah Daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup; Bab III Prinsip-prin- sip Standar Pelayanan Minimal; Bab IV Penyusunan Standar Pelayanan Minimal; Bab V Penerapan Standar Pelayanan Minimal; Bab VI Pembinaan dan Pengawasan; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup. 34. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 216 ayat (1) Un- dang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dae- rah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah mengenai Desa. Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperha- tikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setem- pat. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi Ke- lurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya. Ke- pala Desa juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, 55 54 55 memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerin- tahan desa kepada masyarakat. Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD. Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pe- merintahan Desa. Masyarakat berhak memberikan masukan se- cara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan Desa. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangunan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja desa, bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Adapun sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli desa; bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diper- untukkan bagi desa; bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%; bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerin- tah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pe- laksanaan urusan pemerintahan; hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pembentukan dan Perubahan Status Desa; Bab III Kewenangan Desa; Bab IV Penyelenggaran Pemerintahan Desa; Bab V Peraturan Desa; Bab VI Perencanaan Pembangunan Desa; Bab VII Keuangan Desa; Bab VIII Kerja- sama Desa; Bab IX Lembaga Kemasyarakatan; Bab X Pembinaan dan Pengawasan; Bab XI Ketentuan Peralihan; Bab XII Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan Peraturan ini dibuat sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pe- merintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 ten- tang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ten- tang Pemerintahan Daerah yang telah ditetapkan dengan Un- dang-Undang Nomor 8 Tahun 2005. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan. Pembentukan kelu- rahan dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan atau bagian kelurahan yang bersandingan, atau pemekaran dari satu kelurahan menjadi dua kelurahan atau lebih. Lurah mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Selain itu Lurah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Lurah melakukan koordinasi dengan Camat dan instansi vertikal yang berada di wilayah kerjanya. Dalam hal keuangan kelurahan bersumber dari APBD Kabupaten/Kota yang dialokasikan sebagaimana perang- kat daerah lainnya; bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan bantuan pihak ketiga; serta sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat. 57 56 57 Mengenai pembinaan umum penyelenggaraan pemerintahan ke- lurahan dan lembaga kemasyarakatan dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Provinsi. Sedangkan pembinaan teknis dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kelurahan dan lembaga kema- syarakatan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Camat. Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya se- bagai Ibukota Negara Republik Indonesia, pembentukan dan struktur organisasi kelurahan dan lembaga kemasyarakatan diatur dengan peraturan daerah provinsi. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pembentukan; Bab III Ke- dudukan dan Tugas; Bab IV Susunan Organisasi; Bab V Tata Kerja; Bab VI Keuangan; Bab VII Lembaga Kemasyarakatan; Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan; Bab IX Ketentuan Lain-lain; Bab X Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (4) Undang- undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Peng- adaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaha- raan Negara menetapkan bahwa dalam rangka membiayai dan mendukung kegiatan prioritas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, Pemerintah dapat mengadakan pinjaman dan/atau menerima hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman dan/atau hibah dimaksud dapat diterus-pinjamkan kepada Daerah atau BUMN. Pemerintah berwenang melakukan pinjaman luar negeri. Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Menteri. Pemerintah dapat menerima Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber dari: Negara asing, Lembaga Multilateral, Lembaga Keuangan dan non keuangan, serta Lembaga Keuangan non asing. Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur tentang pengadaan pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri dan pe- nerusannya kepada Daerah/BUMN dalam bentuk pinjaman dan/atau hibah. Sedangkan pengadaan pinjaman yang berasal dari dalam negeri diatur dalam peratura perundang-undangan tersendiri. Pengelolaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (PHLN) menganut prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan juga mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan per- aturan perundang-undangan yang berlaku. PHLN dilakukan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, monitoring, evaluasi, dan pengawasan. Selain itu, agar PHLN dapat dikelola secara baik perlu dilakukan peningkatan transparansi dan akuntablitas PHLN melalui penyelenggaraan publikasi informasi. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kewenangan; Bab III Sumber, Jenis dan Persyaratan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab IV Perencanaan dan Pengadaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar 59 58 59 Negeri; Bab V Pelaksanaan dan Penatausahaan Pinjaman dan/- atau Hibah Luar Negeri; Bab VI Tata Cara Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab VII Pelaporan, Monitoring, Evaluasi, dan Pengawasan; Bab VIII Pembayaran Pinjaman; Bab IX Transparansi dan Akuntabilitas; Bab X Ketentuan Peralihan. 37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi Peraturan ini adalah pelaksanaan dari ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi dinyatakan tidak berlaku. Irigasi berfungsi mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pa- ngan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan me- wujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian. Pengem- bangan dan pengelolaan sistem irigasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabu- paten/Kota melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan mengutamakan kepentingan dan peran serta masyarakat petani. Untuk mewujudkan tertib pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun Pemerintah dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi yakni meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air, dan komisi irigasi. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabu- paten/Kota dapat saling bekerja sama dalam pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder atas dasar ke- sepakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pemberdayaan per- kumpulan petani pemakai air. Hak guna pakai air untuk irigasi di- berikan kepada masyarakat petani melalui perkumpulan petani pemakai air dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sis- tem irigasi yang sudah ada diperoleh tanpa izin. Untuk pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai de- ngan memperhatikan rencana pembangunan pertanian, dan se- suai dengan norma, standar, pedoman, dan manual yang ditetap- kan oleh Menteri. Perkumpulan petani pemakai air dapat berper- an serta dalam rehabilitasi jaringan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan persetujuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Ka- bupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air. Dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada setiap daerah irigasi dilaksanakan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabu- paten/Kota sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran masyarakat. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengembangan dan Penge- lolaan Sistem Irigasi; Bab III Kelembagaan Pengelolaan Irigasi; Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab; Bab V Partisipasi Ma- syarakat Petani dalam Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi; Bab VI Pemberdayaan; Bab VII Pengelolaan Air Irigasi; 61 60 61 Bab VIII Pengembangan Jaringan Irigasi; Bab IX Pengelolaan Ja- ringan Irigasi; Bab X Pengelolaan Aset Irigasi; Bab XI Pem- biayaan; Bab XII Alih Fungsi Lahan Beririgasi; Bab XIII Koordinasi Pengelolaan Sistem Irigasi; Bab XIV Pengawasan; Bab XV Ketentuan Peralihan; Bab XVI Ketentuan Penutup. 62 63 PE RAT URAN PRE SI DE N Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004-2009 Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Un- dang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pem- bangunan Nasional, maka perlu ditetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan pro- gram Presiden hasil Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung pada tahun 2004. RPJM Nasional menjadi pedoman ba- gi Kementerian/Lembaga dalam menyusun Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM Daerah, dan Pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah. Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah melaksanakan program dalam RPJM Nasional yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian/Lembaga dan RPJM Daerah. Kemen- terian/Lembaga dan Pemerintah Daerah juga dapat melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dalam menyusun Rencana Strategis Kementerian/Lembaga dan RPJM Daerah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur Dalam Peraturan Presiden ini disebutkan bahwa Men- teri/Kepala Lembaga/Kepada Daerah selaku penanggung jawab Proyek Kerjasama dapat bekerjasama dengan badan usaha da- lam penyediaan infrastruktur yang dapat dilaksanakan melalui Perjanjian Kerjasama atau Izin Pengusahaan. Bentuk kerjasama ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha sepa- njang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang ber- laku. Didasarkan pada evaluasi proyek, apabila proyek atas prakarsa Badan Usaha telah memenuhi persyaratan kelayakan maka pro- yek tersebut diproses melalui pelelangan umum. Badan Usaha yang prakarsa kerjasamanya diterima oleh Menteri/Kepala Lem- baga/Kepala Daerah akan diberikan kompensasi berupa pemberi- an tambahan nilai atau pembelian prakarsa proyek kerjasama ter- masuk Hak Kekayaan Intelektual yang menyertainya. Dukungan Pemerintah kepada Badan Usaha dilakukan dengan memperhatikan prinsip pengelolaan dan pengendalian resiko ke- uangan dalam APBN atau APBD. Pengadaan Badan Usaha dalam rangka perjanjian kerjasama dilakukan melalui pelelangan umum. Menteri/Kepala Lem- baga/Kepala Daerah membentuk Panitia Pengadaan. Dalam hal penyediaan infrastruktur dilaksanakan dengan melakukan pembe- basan lahan oleh Badan Usaha. Perjanjian Kerjasama harus men- cantumkan dengan jelas status kepemilikan aset yang diadakan selama jangka waktu perjanjian. 64 63 65 Paling lama dalam jangka waktu 12 bulan setelah menandata- ngani perjanjian kerjasama, Badan Usaha harus telah memper- oleh pembiayaan untuk Proyek Kerjasama. Jika tidak dapat di- penuhi oleh Badan Usaha, maka perjanjian kerjasama berakhir dan jaminan pelelangan dapat dicairkan. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tujuan, Jenis, Bentuk, dan Prinsip Kerjasama; Bab III Identifikasi dan Penetapan Proyek yang Dilakukan Berdasarkan Perjanjian Kerjasama; Bab IV Proyek Kerjasama atas Prakarsa Badan Usaha; Bab V Tarif Awal dan Penyesuaian Tarif; Bab VI Pengelolaan Resiko dan Dukungan Pemerintah; Bab VII Tata Cara Pengadaan Badan Usaha dalam Rangka Perjanjian Kerjasama; Bab VIII Perjanjian Kerjasama; Bab IX Penyediaan Infrastruktur Berdasarkan Izin Pengusahaan; Bab X Ketentuan Peralihan; Bab XI Penutup. 65 67 KE PUT USAN PRE SI DE N Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Sungai Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Koordinasi mendapat pengarahan dari Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan, serta Menteri Negara Pe- rencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tim Koordinasi bertanggung jawab ke- pada Presiden. Kegiatan pendayagunaan sungai diusahakan sejauh mungkin secara korporasi dengan memanfaatkan potensi BUMN, BUMD, Koperasi dan Badan Usaha Swasta. Untuk kegiatan pemeliharaan kelestarian Daerah Aliran Sungai (DAS) diusahakan dengan meningkatkan peran serta penduduk dan masyarakat sekitarnya serta Lembaga Swadaya Masyarakat terkait. Tim Koordinasi juga dapat membentuk Sekretariat dan Kelompok Kerja Teknis maupun menunjuk Tenaga Ahli. Biaya untuk pelaksanaan tugas Tim Koordinasi dibebankan kepada Anggaran Departemen Pekerjaan Umum, sedangkan pelak- sanaan teknis pendayagunaan sungai dan pemeliharaan kelesta- rian DAS dilakukan secara fungsional dan dibiayai dengan beban anggaran dari lembaga yang bersangkutan. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 196 Tahun 1998 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) dinyatakan tidak berlaku. Bapedal adalah Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Bapedal mempunyai tugas menyelenggarakan tugas umum dan pembangunan dibidang pengendalian dampak lingkungan hidup yang meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan kualitas lingkungan hidup dalam penyusunan kebijakan teknis dan program pengen- dalian dampak lingkungan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam hal pembiayaan yang diperlukan untuk menyeleng- garakan tugas dan fungsi Bapedal dibebankan kepada APBN. Bapedal dikoordinasikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Bapedal terdiri dari Kepala, Sekretariat Utama, Deputi Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Sumber Daya Manusia dan Mitra Lingkungan, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan, dan Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan. Setiap unsur di lingkungan Bapedal dalam melaksanakan tugas masing-masing wajib menerapkan secara intensif prinsip-prinsip koordinasi, inte- grasi, dan sinkronisasi baik di lingkungan Bapedal maupun dalam kalangan antar instansi pemerintah dan/atau instansi lain. 67 66 69 Daftar Isi Bab I Kedudukan, Tugas dan Fungsi; Bab II Organisasi : Ba- gian Pertama : Susunan Organisasi, Bagian Kedua : Kepala, Ba- gian Ketiga : Sekretariat Utama, Bagian Keempat : Deputi Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Sumber daya Manusia, dan Mitra Lingkungan, Bagian Kelima : Deputi Bidang Pengen- dalian Pencemaran Lingkungan, Bagian Keenam : Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Bagian Ketujuh : Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan; Bab III Kepangkatan, Pengangkatan dan Pemberhentian; Bab IV Pembiayaan; Bab V Tata Kerja; Bab VI Ketentuan Lain-lain; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pe- meliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai dinyatakan tidak ber- laku. Kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air. Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air bertugas mem- bantu Presiden dalam merumuskan kebijakan nasional sumber daya air dan berbagai perangkat kebijakan lain yang diperlukan dalam bidang sumber daya air. Penyelenggaraan tugas Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air sehari-hari dilaksanakan oleh Ketua Harian (Menteri Per- mukiman dan Prasarana Wilayah) dibantu oleh Sekretaris I (De- puti Bidang Produksi, Perdagangan dan Prasarana, Bappenas). Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air bersidang seku- rang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya air di Propinsi dan Kabupaten/Kota maka Gubernur/Bupati/Walikota dapat membentuk wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air di daerahnya masing-masing. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah menetapkan pedo- man untuk pembentukan wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air tingkat daerah. Segala pembiayaan untuk pelaksanaan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air dan Sekretariat dibebankan pada Anggaran Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Sedangkan untuk pelaksanaan wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air tingkat daerah dibebankan pada APBD. Peraturan ini telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air. Daftar Isi Bab I Kedudukan, Tugas dan Fungsi; Bab II Organisasi dan Tata Kerja; Bab III Wadah Koordinasi Sumber Daya Air Tingkat Daerah; Bab IV Pembiayaan; Bab V Ketentuan Penutup. 69 68 43. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Untuk meningkatkan tugas dan fungsi Tim Koordinasi Sumber Daya Air maka diperlukan penyesuaian terhadap susunan keang- gotaan Tim Koordinasi Sumber Daya Air. Peraturan ini merupakan perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001 ten- tang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air. Di dalam Keputusan Presiden ini mengubah ketentuan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001, sehingga Pasal 5 berbunyi : "Susunan keanggotaan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air terdiri atas : Ketua : Menteri Negara Koordinator Bidang (merangkap ang- gota) Perekonomian. Wakil Ketua : Menteri Negara Perencanaan Pembangunan (merangkap anggota) Nasional/Kepala Perencanaan Pemba- ngunan Nasional. Ketua Harian : Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (merangkap anggota). Anggota : 1. Menteri Dalam Negeri 2. Menteri Pertanian 3. Menteri Perhutanan 4. Menteri Perhubungan 5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 6. Menteri Kelautan dan Perikanan 7. Menteri Kesehatan 8. Menteri Perindustrian dan Perdagangan 9. Menteri Keuangan 10. Menteri Negara Lingkungan Hidup Sekretaris I : Deputi Menteri Negara Perencanaan Pemba- ngunan Nasional/Kepala BAPPENAS Bidang Sarana dan Pra- sarana Sekretaris II : Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 44. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2003 tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Peru- mahan dan Permukiman Nasional (selanjutnya disebut Badan) adalah badan non-struktural yang dipimpin oleh Menteri Per- mukiman dan Pengembangan Wilayah. Keanggotaan Badan ter- diri atas Ketua, Anggota, dan dibantu oleh Pelaksana Harian serta Sekretaris Badan merangkap Sekretaris Pelaksana Harian. Badan mempunyai tugas pokok, diantaranya menyiapkan ru- musan kebijakan nasional dan strategis di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, memberikan penyelesaian atas berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan antar dan/atau oleh Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabu- paten/Kota, serta melaksanakan pengawasan dan pengendalian penerapan kebijakan nasional terhadap penyelenggaraan dan pe- ngelolaan di bidang pembangunan perumahan dan permukiman. 71 70 Badan bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan, atau sewaktu-waktu diperlukan. Ketua Badan me- nyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara berkala kepada Presiden. Pelaksana Harian bersidang sekurang-kurangnya 4 (empat) kali setiap tahun, atau sewaktu-waktu diperlukan. Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, apabila dipandang perlu, Ketua Pelaksana Harian dapat membentuk Tim Teknis yang anggota-anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari instansi Pe- merintah terkait. Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan dibebankan kepada anggaran Departemen Permukiman dan Pe- ngembangan Wilayah. Sedangkan segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah Propinsi, Daerah Kabupa- ten/Kota dibebankan kepada anggaran Pemerintah Daerah Pro- pinsi, Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Daftar Isi Bab I Kedudukan, Tugas dan Fungsi; Bab II Organisasi dan Tata Kerja; Bab III Pembiayaan; Bab IV Ketentuan Penutup. 72 I NST RUKSI PRE SI DE N Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Perkumpulan Petani Pemakai Air (selanjutnya disingkat P3A) bertujuan mendayagunakan potensi air irigasi yang tersedia di da- lam petak tersier atau daerah irigasi pedesaan untuk kesejahtera- an masyarakat tani. P3A juga mempunyai batas-batas daerah kerja, yaitu petak tersier, daerah irigasi pompa yang areal pela- yanannya dipersamakan dengan petak tersier, dan daerah irigasi pedesaan. P3A merupakan perkumpulan yang bersifat sosial dengan maksud menuju ke arah hasil guna pengelolaan air dan jaringan irigasi di tingkat usaha tani untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. P3A dilengkapi dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang disahkan oleh Bupati/Walikota- madya Kepala Daerah Tingkat II setelah mendapat persetujuan dari Kepala Desa dan Camat setempat. Susunan organisasi P3A terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus, dan Anggota. Segala pekerjaan yang dilakukan oleh P3A baik untuk keperluan pendayagunaan air, pemeliharaan, dan per- baikan jaringan irigasi maupun untuk kegiatan lainnya dibiayai oleh P3A yang bersangkutan. Sumber biaya P3A terdiri dari iuran anggota, sumbangan atau bantuan dan usaha-usaha lain yang menurut hukum. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I memberi petunjuk pelaksa- naan dalam rangka pembinaan dan pengembangan P3A. Bu- pati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II bertanggung jawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan P3A. Camat melaksanakan koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan dan pengembangan P3A. Sedangkan Kepala Desa melaksanakan pembinaan dan pengembangan P3A sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya. Daftar Isi Bab I Pengertian Umum; Bab II Azas, Tujuan dan Tugas; Bab III Batas Daerah Kerja; Bab IV Sifat dan Bentuk; Bab V Susunan Organisasi; Bab VI Tugas dan Wewenang; Bab VII Hak dan Kewajiban; Bab VIII Pembiayaan; Bab IX Ketentuan Penutup. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi Bahwa pengelolaan irigasi adalah salah satu faktor pendukung utama bagi keberhasilan pembangunan pertanian terutama dalam rangka peningkatan serta perluasan tujuan pembangunan pertanian dari program swasembada beras menjadi swasembada pangan. Agar pokok-pokok pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi tersebut dapat mencapai sasaran tepat guna, dipandang perlu menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum sebagai Ketua Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai untuk mengambil langkah-langkah pelaksanaannya. Menteri Pekerjaan Umum sebagai Ketua Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Daerah Aliran Sungai diinstruksikan untuk mengkoordinasikan penyiapan peraturan perundang-undangan serta langkah-langkah 74 73 yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pembaharuan kebi- jaksanaan pengelolaan irigasi. Pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama meliputi : 1. Pengaturan kembali tugas dan tanggung jawab lembaga pe- ngelola irigasi. 2. Pemberdayaan masyarakat petani pengelola air melalui pe- ngembangan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air yang otonom, mandiri dan mengakar dimasyarakat. 3. Pengaturan penyerahan pengelolaan irigasi secara bertahap, selektif, dan demokratis kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air dengan prinsip satu jaringan irigasi satu kesatuan pen- gelolaan. 4. Penggalian sumber pendapatan untuk membiayai operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi dan pembangunan prasarana iri- gasi yang dikumpulka, dikelola dan ditetapkan penggunaan- nya oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air. 5. Penetapan kebijaksanaan umum tentang kelestarian sumber daya air dan pencegahan alih fungsi lahan beririgasi, sehing- ga berkelanjutan jaringan irigasi dapat terjaga. 75 PE RAT URAN ME NT E RI Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 45/PRT/1990 tentang Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air Pengendalian mutu air pada sumber-sumber air dimaksudkan sebagai upaya untuk menetapkan peruntukkan air dan baku mutu air pada sumber-sumber air. Pengendalian mutu air juga bertujuan untuk menjaga air yang ada di sumber-sumber air dapat dimanfa- atkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia, untuk melin- dungi kelestarian hidup fauna, flora dan mikroorganisme yang bermanfaat yang terdapat pada sumber-sumber air dimaksud. Wewenang dan tanggung jawab pengendalian mutu air pada sumber-sumber air dalam rangka penetapan peruntukan air dan baku mutu air yang berada pada Menteri, pelaksanaannya dilakukan oleh Dirjen Pengairan dibantu oleh Badan Hukum atau unit kerja yang ditunjuk oleh Dirjen Pengairan. Sedangkan yang berada di dalam satu daerah, dilimpahkan dalam rangka tugas pembantuan kepada Gubernur, kecuali apabila ditentukan lain oleh Menteri. Guna menyelenggarakan pengendalian mutu air pada sumber- sumber air perlu dilakukan pengumpulan, pengelolaan data mutu air dan jumlah air, penelitian dan pemantauan, pengaturan pem- buangan limbah, pelaksanaan pekerjaan penanggulangan, serta pelaksanaan pekerjaan pemulihan pada sumber-sumber air yang bersangkutan. Pembiayaan bagi pelaksana kegiatan pengendalian mutual air pada sumber air ditanggung oleh Menteri atau Badan Hukum ter- tentu. Sedangkan pembiayaan penanggulangan penurunan mutu air pada sumber air yang disebabkan oleh pembuangan limbah di- bebankan kepada pihak yang menyebabkan penurunan mutu air. Pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Menteri ini dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang dihubungkan den- gan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 ten- tang Tata Pengaturan Air. Daftar Isi Bab I Pengertian; Bab II Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup; Bab III Upaya Pelaksanaan; Bab IV Pengawasan; Bab V Koordinasi Pengendalian; Bab VI Pembiayaan; Bab VII Lain-lain; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 48/PRT/1990 tentang Pengelolaan Atas Air dan/atau Sumber Air pada Wilayah Sungai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum ini merupakan pelak- sanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air khususnya Pasal 4 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 39/PRT/1989 tentang Pembagian Wilayah Sungai. Wewenang pengelolaan atas air dan/atau sumber air yang berada pada wilayah sungai dilimpahkan dalam rangka tugas pembantuan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan, mencakup beberapa kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air. 77 76 Untuk pengelolaan atas air dan/atau sumber air yang berada pada wilayah sungai yang dilimpahkan kepada Pemerintah Dae- rah dilaksanakan dalam ruang lingkup tugas Dinas yang akan dia- tur lebih lanjut oleh Kepala Dinas yang bersangkutan dengan per- setujuan Gubernur Kepala Daerah. Sedangkan untuk pengelolaan yang wewenangnya berada pada Menteri dilaksanakan oleh Ba- dan Pelaksana Proyek yang wilayah kerjanya berada pada wi- layah sungai dimaksud atau Direktorat Sungai Dirjen Pengairan dalam hal tidak ada Badan Pelaksana Proyek. Daftar Isi Bab I Pengertian; Bab II Wewenang Pengelolaan; Bab III Organisasi Pelaksana; Bab IV Ketentuan Penutup. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 49/PRT/1990 tentang Tata Cara dan Persyaratan Izin Penggunaan Air dan/atau Sumber Air Ditetapkannya Peraturan Menteri ini adalah sebagai tindak lan- jut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, khususnya yang tercantum pada Pasal 23. Setiap penggunaan air dan/atau sumber air untuk keperluan- keperluan tertentu wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari pihak yang berwenang. Terutama bagi penggunaan air dan/atau sumber air yang dapat mempengaruhi keseimbangan tata air, harus didasarkan pada rencana perlindungan, pengembangan dan penggunaan air dan/atau sumber air pada tiap wilayah sungai yang bersangkutan. Dirjen Pengairan menetapkan pedoman umum mengenai per- syaratan teknis yang minimal harus diberikan pada setiap pener- bitan surat izin penggunaan air dan/atau sumber air. Penggunaan air dan/atau sumber air dengan izin dapat dilakukan oleh Instansi Pemerintah, Badan Hukum, Badan Sosial atau perorangan. Wewenang Gubernur dalam pemberian izin penggunaan air dan/atau sumber air diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah. Surat Izin penggunaan air dan/atau sumber air diberikan untuk jangka waktu sesuai dengan pertimbangan keperluannya, dan dapat dimintakan perpanjangannya oleh pemegang izin. Segala biaya yang ditimbulkan sebagai akibat proses pemberian izin tersebut diatas dibebankan kepada pemohon izin yang pengatur- annya ditetapkan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang. Pemegang Izin berhak menggunakan air dan/atau sumber air sesuai dengan izin yang diberikan. Pemegang Izin berkewajiban membayar iuran untuk penggunaan air dan/atau sumber air yang bersifat komersil. Pemegang Izin juga dilarang memindahtan- gankan izin kepada pihak lain tanpa persetujuan pemberi izin. Serta dilarang menjual izin kepada pihak lain kecuali ditentukan dalam surat izin. Pelaksanaan pengawasan terhadap peraturan ini dilakukan oleh Kepala Kanwil Departemen PU sepanjang menyangkut penggunaan air dan/atau sumber air yang menjadi wewenang Menteri dan Kepala Dinas PU Daerah Tingkat I Bidang Pengairan/Kepala Sub Dinas Pengairan Daerah Tingkat I sepanjang menyangkut izin penggunaan air dan/atau sumber air yang menjadi wewenang Gubernur. Daftar Isi Bab I Pengertian; Bab II Izin Penggunaan Air Dan/Atau Sumber Air; Bab III Penggunaan Air Dan/Atau Sumber Air yang Dikenakan 79 78 Izin; Bab IV Tata Cara dan Persyaratan Permohonan dan Pemberian Izin; Bab V Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Pemegang Izin; Bab VI Perubahan, Pembekuan Sementara, Pencabutan dan Batalnya Izin; Bab VII Pengawasan; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan dan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai Berdasarkan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Peme- rintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, dalam rangka pe- nguasaan sungai Menteri yang bertanggung jawab di bidang pengairan diberi wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang menyangkut penetapan garis sempadan sungai, pengelo- laan dan pemanfaatan lahan pada daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai. Lingkup pengaturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri ini terdiri dari penetapan garis sempadan sungai termasuk danau dan waduk, pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada daerah manfaat sungai, pemanfaaatan lahan pada daerah penguasaan sungai, serta pemanfaatan lahan pada bekas sungai. Penetapan garis sempadan sungai dimaksudkan sebagai upa- ya agar kegiatan perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai termasuk danau dan waduk dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. Pengelolaan dan pembinaan pemanfaatan sungai dilak- sanakan oleh Direktur Jenderal, Pemerintah Daerah, dan Badan Hukum tertentu, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing terhadap wilayah sungai yang bersangkutan. Penetapan daerah penguasaan sungai dimaksud agar pejabat yang berwenang dapat melaksanakan upaya pembinaan sungai seoptimal mungkin bagi keselamatan umum. Lahan bekas sungai merupakan inventaris kekayaan milik ne- gara yang berada di bawah pembinaan Direktur Jenderal atas na- ma Menteri. Pemanfaatan lahan bekas sungai diprioritaskan untuk mengganti lahan bekas yang terkena alur sungai baru, keperluan pembangunan prasarana pengairan, keperluan pembangunan lainnya dengan cara tukar bangun, serta keperluan budidaya de- ngan syarat tertentu. Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan ini dilakukan oleh satuan kerja atau Badan Hukum ter- tentu yang menangani sungai yang bersangkutan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Garis Sempadan Sungai; Bab III Daerah Manfaat Sungai; Bab IV Daerah Penguasaan Sungai; Bab V Bekas Sungai; Bab VI Pengawasan; Bab VII Sanksi; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup. 81 80 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1993 tentang Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I Pada setiap Propinsi Daerah Tingkat I dibentuk Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I yang ditetapkan oleh Gubernur. Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I merupakan forum musyawarah dalam rangka melaksanakan koordinasi tata aturan air di Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Susunan keanggotaan Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I terdiri dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk olehnya sebagai Ketua merangkap anggota, Kepala Dinas PU Propinsi/Kepala Dinas PU Pengairan Propinsi sebagai Sekretaris merangkap anggota dan Kepala Kantor Instansi Vertikal Propinsi dan Dinas Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I dapat mengundang pihak pemanfaat air dan/atau pihak lain yang berkepentingan maupun perorangan untuk hadir rapat/sidang panitia. Dalam hal pembiayaan, sumber biaya untuk melaksanakan tugas Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I dapat berasal dari dana bantuan dari Pemerintah Pusat, dalam hal tersedia dan dana yang tersisihkan dari penerimaan iuran peng- gunaan air dan/atau sumber air yang akan ditetapkan oleh Gubernur. Hubungan kerja Panitia Irigasi dengan Panitia Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I bersifat koordinatif dengan ketentuan masalah penyediaan air untuk irigasi didasarkan pada penetapan kebijaksanaan. Dalam hal terdapat masalah koordinatif tata peng- aturan air pada satuan wilayah sungai yang berada pada lebih dan satu Propinsi Daerah Tingkat I dapat dilakukan rapat gabungan Panitia-panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan dengan dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pembentukan, Kedudukan, Fungsi dan Tugas; Bab III Susunan Organisasi; Bab IV Tata Cara Kerja; Bab V Pembiayaan; Bab VI Lain-lain; Bab VII Ketentuan Penutup. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472 Tahun 1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya bagi Kesehatan Salah satu upaya untuk menghindarkan atau mengurangi re- siko bahan berbahaya dilakukan melalui pemberian informasi yang benar tentang penanganan bahan berbahaya kepada pe- ngelola bahan berbahaya dan masyarakat umum. Oleh karena itu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 453/Menkes/Per/XI/1993 tentang Bahan Berbahaya tidak sesuai lagi dengan perkem- bangan situasi perdagangan dunia saat ini sehingga perlu diubah dan ditetapkan kembali Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan. Setiap jenis bahan berbahaya yang akan didistribusikan atau diedarkan harus didaftar pada Dirjen Pengawasan Obat dan Ma- 83 82 kanan Departemen Kesehatan. Setiap badan usaha atau per- orangan yang mengelola bahan berbahaya harus membuat, me- nyusun dan memiliki lembaran data pengaman bahan berbahaya. Setiap bahan berbahaya yang diedarkan harus diberi wadah dan kemasan dengan baik serta aman. Badan usaha dan perorangan yang mengelola bahan berbahaya harus membuat laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan yang memuat tentang penerimaan, penyaluran dan penggunaan serta yang berkaitan dengan kasus yang terjadi. Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan dan/atau Kantor Wila- yah Departemen Kesehatan Propinsi setempat secara sendiri atau bersama-sama dengan instansi terkait dapat melaksanakan pemantauan atau pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan ini. Badan usaha atau perorangan yang mengelola bahan berba- haya yang melakukan perbuatan yang bertentangan atau melang- gar ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7, baik disengaja maupun karena kelalaiannya sehing- ga mengakibatkan terjadinya bahaya bagi kesehatan dan kesela- matan manusia serta lingkungan dikenakan sanksi berupa tin- dakan administratif atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hal-hal yang bersifat teknis yang belum cukup diatur dalam peraturan ini, ditetapkan oleh Dirjen. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum Penetapan tarif PDAM didasarkan pada pemulihan biaya, ke- terjangkauan, efesiensi pemakaian, kesederhanaan dan transpa- ransi. Pendapatan PDAM terdiri dari hasil penjualan air dan beban tetap. Tarif yang ditetapkan oleh PDAM atas kebutuhan dasar harus terjangkau oleh pelanggan rumah tangga. PDAM dapat melakukan penyesuaian terhadap jenis persaing- an yang dimaksudkan ke dalam kelompok-kelompok pelanggan (terdapat 5 kelompok) dan menentukan kriterianya. Tarif ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul Direksi. Semua perhitungan tarif didasarkan atas volume air yang terjual. Selambat-lambatnya satu tahun Direksi melakukan penyesuaian tarif yang disampaikan kepada Kepala Daerah sesuai dengan tingkat inflasi dan beban bunga pinjaman. Apabila terjadi perubah- an komponen biaya, selambat-lambatnya 4 tahun sekali Direksi melakukan peninjauan terhadap tarif. Sejak diterimanya usul penyesuaian atau penentuan tarif, Ke- pala Daerah sudah menetapkan atau menolak usul tarif selambat- lambatnya 3 bulan. PDAM menentukan beban tetap bulanan ke- pada pelanggan untuk setiap sambungan yang terdiri dari biaya administrasi rekening pelanggan dan pengendalian atas pelak- sanaan pedoman penetapan tarif. Daftar Isi Bab I Ketentuan; Bab II Dasar Penetapan Tarif; Bab III Ke- lompok Pelanggan Dan Blok Konsumsi; Bab IV Tarif; Bab V Keten- tuan Lain-lain; Bab VI Ketentuan Penutup. 85 84 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kepengurusan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Mengingat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 690-157 Tahun 1985 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Badan Peng- awas, Direksi dan Kepegawaian PDAM dianggap sudah tidak se- suai lagi, maka ditetapkan Peraturan mengenai Kepengurusan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air minum dan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat perlu diatur kepengurusan PDAM. Pengurus PDAM terdiri dari Direksi dan Badan Pengawas. Anggota Direksi diangkat oleh Kepala Daerah diutamakan bukan dari PNS atas usul Badan Pengawas. Selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhir tahun buku, Direksi menyampaikan laporan Keuangan kepada Ketua Badan Pengawas yang terdiri dari Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi. Penghasilan Direksi terdiri dari gaji, tunjangan, dan jasa produksi. Anggota Direksi berhak untuk memperoleh cuti. Anggota Direk- si juga dapat diberhentikan dengan alasan atas permintaan sen- diri, tidak dapat melaksanakan tugasnya karena kesehatan, tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan program kerja yang telah disetujui, terlibat dalam tindakan yang merugikan PDAM, terlibat dalam tindak pidana, serta merugikan PDAM. Anggota Badan Pengawas diangkat oleh Kepala Daerah. Badan Pengawas mempunyai wewenang memberi peringatan kepada Direksi yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan program kerja yang telah disetujui dan memeriksa Anggota Direksi yang diduga merugikan PDAM. Penghasilan Badan Pengawas terdiri dari uang jasa dan jasa produksi. PDAM yang cakupan pelayanannya kurang dari 10.000 (sepu- luh ribu) pelanggan, persyaratan untuk diangkat menjadi Anggota Direksi minimum berijazah Sarjana Muda atau D3 dengan tetap mengutamakan yang berpendidikan Sarjana (S1). Apabila dalam 2 (dua) tahun berturut-turut Direksi tidak mampu meningkatkan kinerja dan pelayanan air minum kepada masyarakat, Kepala Daerah dapat mengganti Direksi. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengurus; Bab III Direksi; Bab IV Badan Pengawas; Bab V Ketentuan Lain-lain; Ketentuan Peralihan; Bab VI Ketentuan Penutup. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.06/2005 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri , Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Per- aturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Peng- hapusan Piutang Negara/Daerah maka dibuat peraturan menge- nai Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Pene- rusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi dan Reke- ning Pembangunan Daerah. Penyelesaian Piutang Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, meliputi Piutang Negara yang bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah yang disalurkan pada PDAM. 87 86 Piutang Negara yang bersumber dari Pinjaman Subsidiary Lo- an Agreement (SLA)/Pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI)/Pinjaman Rekening Pinjaman Daerah (RPD) dapat dilaku- kan penghapusan secara bersyarat atau mutlak dari pembukuan Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penetapan penghapusan secara bersyarat/secara mutlak atas Piutang Negara pada PDAM dilakukan oleh Menteri untuk jumlah sampai dengan 10 miliar rupiah, Presiden untuk jumlah lebih dari 10 miliar rupiah sampai dengan 100 miliar rupiah, dan Presiden dengan persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari 100 miliar rupiah. Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara merupakan upaya penyelesaian Piutang Negara pada PDAM melalui restrukturisasi Piutang Negara yang didasarkan pada hasil evaluasi kinerja PDAM dan hasil evaluasi Rencana Perbaikan Kinerja Perusahaan (RPKP) PDAM dalam rangka penyehatan PDAM dengan memini- malisasi berkurangnya penerimaan Negara. PDAM menyampaikan permohonan restrukturisasi Piutang Negara kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan tembus- an kepada Kepala Daerah dan DPRD. PDAM wajib menyampai- kan laporan pelaksanaan RPKP disertai laporan rekonsiliasi saldo kas dan laporan keuangan kepada Direktur Jenderal paling lam- bat tanggal 1 bulan Februari dan Agustus selama jangka waktu restrukturisasi Piutang Negara. Direktur Jenderal melakukan evaluasi dan pemantauan atas pelaksanaan restrukturisasi Piutang Negara pada PDAM secara periodik selama jangka waktu restrukturisasi dari berbagai aspek untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka meminimalisasi penyimpangan pelaksanaan RPKP-PDAM. Terhadap PDAM yang tidak melakukan pembayaran sekurang-kurangnya 2 (dua) kali jatuh tempo secara berturut-turut, penyelesaian pembayaran Piutang Negara tunduk pada persyaratan sebagaimana ditetap- kan dalam perjanjian pinjaman/penerusan pinjaman sebelum dilakukan restrukturisasi. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kewenangan Penetapan Peng- hapusan; Bab III Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara Pada PDAM; Bab IV Tahapan Restrukturisasi; Bab V Tata Cara Restruk- turisasi Piutang Negara; Bab VI Pelaporan; Bab VII Evaluasi dan Pemantauan; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Lain; Bab X Penutup. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.294/PRT/M/2005 tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Peraturan Menteri ini ditetapkan untuk melaksanakan ketentu- an Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 54 ayat (5) Peraturan Pe- merintah No.16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Pe- nyediaan Air Minum. BPP SPAM merupakan badan non struktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri serta dibentuk de- ngan maksud untuk membantu Pemerintah dalam mencapai tu- juan pengembangan SPAM. BPP SPAM bertugas mendukung dan memberikan bantuan dalam rangka mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM guna memberikan manfaat yang maksimal bagi negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi BPP SPAM di- bentuk Sekretariat BPP SPAM yang berada di lingkungan Menteri. 89 88 Sekretariat BPP SPAM mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis dan administratif kepada BPP SPAM. Anggaran untuk pembiayaan pelaksanaan tugas BPP SPAM dibebankan pada APBN Departemen Pekerjaan Umum. Untuk perubahan organisasi dan tata kerja Sekretariat BPP SPAM, dite- tapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum setelah mendapat persetu- juan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pembentukan dan Status; Bab III Tugas dan Fungsi BPP SPAM; Bab IV Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat BPP SPAM; Bab V Tata Kerja; Bab VI Pembiayaan dan Anggaran; Bab VII Pembinaan dan Pengawasan; Bab VIII Ketentuan Penutup. 57. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor Per.005/M.PPN/06/200 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri maka ditetap- kan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 005/M.PPN/06/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Pemerintah dapat menerima Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber dari negara asing, lembaga multilateral, lembaga keuangan dan lembaga non-keuangan asing serta lem- baga keuangan non asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka perencanaan kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas menyusun perenca- naan kegiatan pembangunan. Menteri menyampaikan rencana penyusunan DRPHLN-JM kepada Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN. Per- syaratan umum usulan kegiatan yang dibiayai melalui Pinjaman Proyek dan Hibah mencakup Daftar Isian Pengusulan Kegiatan, Kerangka Acuan Kerja dan Dokumen Studi Kelayakan Kegiatan. Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga dapat mengajukan usulan kegiatan yang dibiayai dari Hibah Luar Negeri yang bersifat khusus kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas. Berdasarkan DRPHLN, Menteri PPN/Kepala Bappenas melakukan koordinasi dengan calon PPLN/PHLN untuk menda- patkan indikasi komitmen pendanaan. Dalam rangka perencanaan usulan kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri untuk Departemen Pertahanan dan Kepolisian RI yang bersifat khusus, Menteri PPN/Kepala Bappenas dapat mencantumkan usulan kegiatan dalam dokumen perencanaan kegiatan yang terpisah. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sumber, Bentuk dan Jenis Pinjaman/Hibah Luar Negeri; Bab III Penyusunan Dokumen 91 90 Perencanaan; Bab IV Pengajuan Usulan Pinjaman Program, Pinjaman Proyek, dan Hibah; Bab V Persyaratan Pengusulan Kegiatan; Bab VI Penilaian Usulan Kegiatan; Bab VII Peningkatan Kesiapan Rencana Pelaksanaan Kegiatan; Bab VIII Penilaian Kesiapan Kegiatan; Bab IX Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) dan/atau Pinjaman Komersial; Bab X Hibah Luar Negeri yang Bersifat Khusus; Bab XI Penyusunan Daftar Kegiatan; Bab XII Rencana Pelaksanaan Kegiatan; Bab XIII Pemantauan Perencanaan serta Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan; Bab XIV Evaluasi Hasil Pelaksanaan Kegiatan; Bab XV Ketentuan Tambahan; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII Ketentuan Penutup. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum Peraturan ini dibuat untuk menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Pada PDAM, Tarif ditetapkan dengan mempertimbangkan keseimbangan dengan tingkat mutu pelayanan yang diterima oleh pelanggan. Untuk pengembangan pelayanan air minum Tarif Rata-rata direncanakan harus menutup biaya dasar ditambah keuntungan yang wajar. Penetapan tarif didasarkan pada prinsip : keterjangkauan dan keadilan, mutu pelayanan, pemulihan biaya, efisiensi pemakaian air, transparansi dan akuntabilitas serta per- lindungan air baku. PDAM dapat menentukan kebijakan jenis-jenis pelanggan pada masing-masing kelompok berdasarkan kondisi obyektif dan karak- teristik pelanggan di daerah masing-masing sepanjang tidak mengubah jumlah kelompok pelanggan. PDAM menetapkan struktur tarif berdasarkan ketentuan blok konsumsi, kelompok pelanggan, dan jenis tarif. Untuk mekanisme penetapan tarif didasarkan asas propor- sionalitas kepentingan masyarakat pelanggan, PDAM selaku badan usaha dan penyelenggara serta Pemerintah Daerah selaku pemilik PDAM. Sedangkan tarif ditetapkan oleh Kepala Daerah berdasarkan usulan Direksi setelah disetujui oleh Dewan Pengawas. Dalam hal pembinaan atas penetapan tarif dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dengan dibantu oleh Gubernur untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan pedoman penetapan tarif. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Dasar Kebijakan Penetapan Tarif; Bab III Blok Konsumsi dan Kelompok Pelanggan; Bab IV Perhitungan dan Proyeksi Biaya Usaha dan Biaya Dasar; Bab V Pendapatan dan Tarif; Bab VI Mekanisme dan Prosedur Penetapan Tarif; Bab VII Pembinaan dan Pengawasan. 93 92 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 39/PRT/M/2006 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 39/PRT/M/2006 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007 adalah sebagai wujud pelak- sanaan ketentuan Pasal 59 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Depar- temen, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pemanfaatan, pelaksanaan, pemantauan, dan pembinaan dari segi teknis terhadap kegiatan yang dibiayai melalui DAK Bidang Infrastruktur Tahun 2007. Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi perencanaan dan pemrograman, koordinasi penyelenggaraan, pelaksanaan dan cakupan kegiatan, tugas dan tanggung jawab pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, pelaporan kegiatan/fisik dan keuangan, mekanisme pelaporan keuangan DAK dengan aplikasi Sistem Akuntansi Keuangan (SAK), serta penilaian kinerja. Departemen melalui unit Eselon I dan/atau unit Eselon 2 terkait untuk masing-masing subbidang membantu proses perencanaan kegiatan yang dibiayai DAK dalam hal merumuskan kriteria teknis pemanfaatan DAK bidang infrastruktur; memberikan rekomendasi alokasi dana masing-masing subbidang dan pada masing-masing Kabupaten/Kota; pembinaan teknis dalam proses penyusunan Rencana Definitif dalam bentuk pendampingan dan pelatihan; serta melakukan evaluasi dan sinkronisasi atas usulan Rencana Definitif dan perubahannya, terkait kesesuaiannya dengan priori- tas nasional. Ruang lingkup penggunaan DAK Bidang Infrastruktur Tahun 2007 meliputi subbidang jalan, subbidang irigasi, dan subbidang air bersih dan sanitasi. Sedangkan kriteria teknis kegiatan bidang infrastruktur meliputi kriteria teknis untuk prasarana jalan, kriteria teknis untuk prasarana irigasi, dan kriteria teknis untuk prasarana air bersih dan sanitasi. Dalam hal koordinasi penyelenggaraan, Menteri membentuk Tim Koordinasi Penyelenggaraan DAK Bidang Infrastruktur tingkat Departemen, yang terdiri dari unsur Sekretaris Jenderal, Inspektorat Jenderal, dan unit kerja Eselon 1 terkait. Untuk biaya operasional Tim Koordinasi dibebankan pada Satuan Kerja Pembinaan Manajemen Perencanaan dan Pemrograman Bidang Pekerjaan Umum, Biro Perencanaan dan KLN, dan unit kerja terkait. Bupati/Walikota membentuk Tim Koordinasi Penyelenggaraan DAK Bidang Infrastruktur tingkat Kabupaten/Kota dan dinas teknis terkait. Satuan Kerja Perangkat Daerah Dana Alokasi Khusus (selanjutnya disingkat SKPD DAK) masing-masing subbidang infrastruktur bertugas melaksanakan kegiatan yang dananya bersumber dari DAK bidang infrastruktur sebagaimana telah dite- tapkan oleh Menteri Keuangan. Sedangkan Kepala SKPD DAK bertanggung jawab secara fisik dan keuangan terhadap pelak- sanaan kegiatan yang dibiayai dari DAK bidang infrastruktur. Untuk mekanisme pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan SKPD DAK dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri ini. Pelaporan pelaksanaan DAK bidang infrastruktur dilakukan secara berjenjang, mulai dari Kepala SKPD DAK, Kepala Daerah dan Menteri. Ketentuan lain dari peraturan ini adalah dalam hal terjadi ben- cana alam, daerah dapat mengubah penggunaan DAK untuk kegiatan diluar yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Petunjuk Teknis ini, setelah sebelumnya menga- 95 94 jukan usulan perubahan dan mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Keuangan dan Menteri. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perencanaan dan Pemrograman; Bab III Kriteria Teknis; Bab IV Koordinasi Penyelenggaraan; Bab V Pelaksanaan dan Cakupan Kegiatan; Bab VI Tugas dan Tanggung Jawab Pelaksanaan Kegiatan; Bab VII Pemantauan dan Evaluasi; Bab VIII Pelaporan; Bab IX Penilaian Kinerja; Bab X Ketentuan Lain-lain; Bab XI Ketentuan Penutup. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 52/PMK.010/2006 tentang Tata Cara Pemberian Hibah Kepada Daerah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2006 ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6 PP Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah dan Pasal 22 ayat (4) PP No.2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Hibah kepada Daerah bersifat bantuan untuk menunjang pro- gram pembangunan sesuai dengan prioritas dan kebijakan Pemerintah serta merupakan urusan daerah. Hibah kepada Daerah bersumber dari pendapatan dalam negeri, pinjaman luar negeri dan/atau hibah luar negeri. Menteri Keuangan menetapkan persetujuan atau penolakan atas usulan Hibah serta kelayakan suatu Daerah untuk menerima Hibah didasarkan hasil penelitian dan penilaian. Dalam hal Daerah menerima Hibah yang sumbernya selain dari Pemerintah, maka pemberi Hibah dan Daerah menuangkan penerimaan Hibah dalam perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Penerimaan Hibah oleh Daerah dikelola dan dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Jika Hibah tidak termasuk dalam perencanaan Hibah pada tahun anggaran ber- jalan, maka Hibah harus dilaporkan dalam Laporan Pertanggung- jawaban Keuangan. Dalam rangka monitoring dan evaluasi, daerah penerima Hibah wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan yang didanai dari Hibah setiap triwulan kepada Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kemente- rian Lembaga Terkait. Dalam hal Daerah melakukan pengelolaan Hibah menyimpang dari ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) atau NPPH (Naskah Perjanjian Pe- nerusan Hibah), maka seluruh kegiatan penyaluran Hibah dapat dihentikan. Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 357/KMK.07/2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sumber dan Bentuk Hibah; Bab III Prinsip Pemberian Hibah; Bab IV Kriteria Pemberian Hibah; Bab V Pengusulan dan Penilaian Pemberian Hibah Yang Bersumber Dari Pendapatan Dalam Negeri; Bab VI Pengusulan dan Penilaian Pemberian Hibah Yang Bersumber Dari Pinjaman Luar Negeri; 97 96 Bab VII Pengusulan dan Penilaian Pemberian Hibah Yang Bersumber dari Hibah Luar Negeri; Bab VIII Persetujuan dan Perjanjian Hibah; Bab IX Hibah yang Bersumber Selain Dari Pemerintah; Bab X Penarikan dan Penyaluran Hibah; Bab XI Pengelolaan Hibah oleh Daerah; Bab XII Pemantauan; Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.010/2006 tentang Tata Cara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Pe- nerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri maka Peraturan Menteri ini dibuat. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.03/2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/Pe- natausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 357/KMK.07/2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pemda mengajukan usulan kegiatan yang akan dibiayai de- ngan Pinjaman kepada Menteri Bappenas untuk dimasukkan dalam Daftar Rencana Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Jangka Menengah (DRPHLN JM). Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perbendaharaan menyampaikan informasi mengenai indikasi kemampuan keuangan daerah kepada Kepala Bappenas sebagai bahan penyusunan DRPPHLN yang dilakukan oleh Kepala Bappenas. Kemudian Kepala Bappenas menyusun Daftar Kegiatan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Dirjen Perbendaharaan menetapkan waktu pelaksanaan perundingan dengan calon Pemberi Pinjaman Luar Negeri (PPLN) setelah diterbitkannya Daftar Rencana Pinjaman Daerah (DRPD) dan Pemda memenuhi kriteria kesiapan kegiatan. Persyaratan pinjaman dalam Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri (NPPLN) menjadi acuan dalam menetapkan persyaratan pinjam- an dalam Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP). Selanjutnya Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri Keuangan menandatangani NPPP dengan Pemda penerima pinjaman. Berdasarkan NPPP, Pemda penerima pinjam- an mengajukan permintaan persetujuan penetapan Satuan Anggaran Per Satuan Kerja (SA-PSK) pinjaman kepada Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan. Atas dasar penetapan SA-PSK, Pemda menerbitkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Setelah disahkan Dirjen Perbendaharaan maka DIPA di- gunakan sebagai dasar pencairan dan/atau penyaluran pinjaman. Berdasarkan NPPP, Dirjen Perbendaharaan atau Bank Penatausaha menyampaikan surat tagihan pembayaran kembali pinjaman kepada Pemda. Dalam hal Pemda tidak melaksanakan kewajiban pembayaran kembali pinjaman, Dirjen Perbendaharaan setelah berkoordinasi dengan Mendagri dan Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan akan melakukan pemotongan terhadap DAU dan/atau DBH dari penerimaan negara yang menjadi hak daerah bersangkutan. Departemen Keuangan, Kementerian Bappenas dan Ke- menterian Negara/Lembaga teknis terkait melakukan pemantauan 99 98 atas kinerja pelaksanaan kegiatan dan pinjaman dalam penca- paian target dan sasaran yang telah ditetapkan dalam NPPP. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengajuan dan Penilaian Rencana Pinjaman; Bab III Perundingan dan Penandatanganan NPPLN; Bab IV Naskah Perjanjian Pinjaman Kepada Daerah; Bab V Penarikan dan Penyaluran Pinjaman; Bab VI Pembayaran Kembali Pinjaman; Bab VII Pemantauan dan Pelaporan Pinjaman; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup. 100 KE PUT USAN ME NT E RI Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 04 Tahun 1991 dan Nomor 76 Tahun 1991 tentang Penggunaan Air dan/atau Sumber Air Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan Termasuk Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Pengusahaan Sumberdaya Panas Bumi Sebagai pelaksanaan lebih lanjut Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, maka dianggap perlu menetapkan landasan kebijaksanaan peng- aturan mengenai segi teknis dan segi administratif penggunaan air dan/atau sumber air untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusaha sumber daya panas bumi dalam Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertambangan dan Energi. Pelaksanaan penggunaan air dan/atau sumber air untuk kegiatan usaha pertambangan harus tetap memperhatikan urutan prioritas penggunaan air dan/atau sumber air sesuai keperluan masyarakat pada setiap tempat dan keadaan. Izin penggunaan air permukaan dan/atau sumber air diatas permukaan tanah untuk kegiatan usaha pertambangan diberikan oleh Menteri Pekerjaan Umum. Sedangkan izin penggunaan air permukaan dan/atau sumber air bawah tanah untuk kegiatan usaha pertambangan diberikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi. Penggunaan air permukaan dan/atau sumber air diatas per- mukaan tanah untuk kegiatan usaha pertambangan dikenakan iuran jasa pemanfaatan air yang besarannya dihitung atas dasar pembebanan 4 (empat) unsur pokok yaitu biaya pemanfaatan air, biaya pengembalian investasi, biaya eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan, serta biaya pemeliharaan dan pelestarian sumber air. Terhadap penggunaan air permukaan dan/atau sum- ber air di atas permukaan tanah, termasuk air laut yang digunakan di darat untuk kegiatan usaha pertambangan maka Menteri Pekerjaan Umum dapat membebaskan pembayaran iuran jasa pemanfaatan air. Pengawasan terhadap penggunaan air dan/atau sumber air yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertambangan dan Energi sesuai bidang tugas dan wewenangnya masing-masing. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup Penggunaan Air dan/atau Sumber Air; Bab III Izin Penggunaan Air Permukaan dan/atau Sumber Air di Atas Permukaan Tanah; Bab IV Izin Penggunaan Air dan/atau Sumber Air Bawah Tanah; Bab V Persyaratan Teknis Penggunaan Air dan/atau Sumber Air Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan; Bab VI Iuran Jasa Pemanfaatan Air; Bab VII Pengawasan; Bab VIII Ketentuan Penutup. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 690.31 - 285 tentang Pengesahan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta (PAM JAYA) Mengesahkan Perda DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 1992 ten- tang PDAM DKI Jakarta (PAM JAYA) dengan perubahan : 102 101 Nomor urut 1 diubah menjadi 8 baru dan nomor 2 lama diubah menjadi nomor 1 baru. Ditambahkan nomor 7, 8 dan 13 baru. Nomor urut 7, 8, 9, dan 10 diubah menjadi nomor 9, 10, 11, dan 12 baru. Pasal 6 diubah menjadi : "Tugas pokok PAM JAYA adalah melakukan segala usaha yang berhubungan langsung dengan penyediaan dan pendis- tribusian air minum yang memenuhi syarat-syarat kesehatan serta pelayanan yang baik bagi masyarakat dengan berpedo- man pada prinsip-prinsip ekonomi perusahaan." Setelah Pasal 33 ditambahkan BAB X dan Pasal 34 baru sebagai berikut : Bab X Jenis dan Tarif : Pasal 34 Penetapan jenis, tarif dan perhitungan tarif air minum PAM JAYA ditetapkan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah Pasal 40 ditambahkan BAB XIV dan Pasal 41 baru sebagai berikut : Bab XIV Pengelolaan Barang : Pasal 41 Pelaksanaan penge- lolaan barang PAM JAYA berpedoman pada peraturan perun- dang-undangan yang berlaku. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 690 - 229 tentang Pengesahan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Mengesahkan Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1993 ten- tang Pelayanan Air Minum di Wilayah DKI Jakarta, dengan perubahan sebagai berikut : 1. Pasal 16 diubah menjadi : Pasal 16 (1)Besarnya tarip air minum ditetapkan dengan Keputusan Gu- bernur Kepala DKI Jakarta. (2)Tarip air minum diberlakukan kepada pelanggan setelah Ke- putusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat pengesahan dari Mendagri. (3)Tarip air minum diberlakukan melalui pengumuman Direksi PAM Jaya. 2. Pasal 18 ditambahkan ayat (3) sebagai berikut : (3)Meter air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) di atas secara berkala sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku dilakukan peneraan. 3. Pasal 22 diubah menjadi : Pasal 22 (1) Pengendalian atas pemakaian air dilakukan oleh PAM Jaya dengan memasang meter air untuk mendeteksi kubikasi air yang didistribusikan. (2) Meter air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dipasang pada awal jaringan distribusi dan sektor distribusi. 104 103 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor : Kep-12/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan ini merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan disebutkan bahwa dalam menun- jang pembangunan yang berwawasan lingkungan, bagi rencana usaha atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi dengan AMDAL tetap diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Dalam Keputusan Menteri ini ada beberapa hal yang ditetap- kan, yaitu : 1. Rencana usaha atau kegiatan yang tidak ada dampak pen- tingnya, dan/atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak pentingnya diharuskan melakukan UKL dan UPL sesuai dengan yang ditetapkan didalam syarat-syarat per- izinannya menurut peraturan yang berlaku. 2. UKL dan UPL sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama perlu diatur melalui suatu pedoman umum. 3. (a) Pedoman Umum UKL dan UPL adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan Menteri ini. (b) Pedoman Teknis UKL dan UPL ditetapkan oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan menggunakan Pedoman Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai rujukan. (c) Apabila belum ditemukan pedoman teknis, maka UKL dan UPL dibuat dengan berpedoman pada Pedoman Umum seba- gaimana dimaksud dalam ayat (1). 4. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 1995 tentang Program Kali Bersih Pelaksanaan Prokasih berasaskan pelestarian fungsi ling- kungan perairan sungai untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Pelaksanaan Prokasih bertujuan untuk tercapainya kualitas air sungai yang baik, terciptanya sistem kelembagaan yang mampu melaksanakan pengendalian pencemaran air secara efektif dan efisien serta terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengendalian pencemaran air. Sungai dan ruas sungai Prokasih ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan pedoman pemilihan sungai dan ruas sungai Prokasih yang ditetapkan Bapedal dengan mempertimbangkan fungsi su- ngai bagi masyarakat dan pembangunan serta memperhitungkan tingkat kemampuan lembaga pelaksana di daerah yang bersangkutan. Menteri bertanggung jawab dalam koordinasi kebijaksanaan Prokasih secara nasional. Sedangkan Kepala Bapedal bertang- gung jawab dalam koordinasi pelaksanaan pengendalian kegiatan Prokasih secara nasional. Gubernur menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal. 106 105 Menteri juga memberikan penghargaan kepada Pemerintah Daerah yang melaksanakan Prokasih dan perusahaan/kegiatan usaha yang melaksanakan pengendalian pencemaran dengan kinerja yang sangat baik. Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Prokasih di tingkat Pusat dibebankan kepada APBN dan/atau sumber dana lainnya. Sedangkan di tingkat Daerah dibebankan kepada APBD dan/atau sumber dana lainnya. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Azas, Tujuan dan Sasaran Prokasih; Bab III Pelaksanaan Prokasih; Bab IV Organisasi Pelaksanaan Prokasih; Bab V Pelaporan; Bab VI Pemberian Penghargaan; Bab VII Pembiayaan; Bab VIII Penutup. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota Sebagai pelaksanaan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka ditetapkan Pedoman Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Ling- kungan Hidup Kabupaten/Kota. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup juga belum diatur mengenai Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota. Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) Kabupaten/Kota berkedudukan di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau di instansi lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota. Susunan keanggotaan terdiri dari Ketua merangkap sebagai anggota, Sekretaris merangkap sebagai anggota, dan anggota- anggota lainnya. Tim Teknis terdiri atas para ahli dari instansi tek- nis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkut- an dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau instansi lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait. Komisi Penilai Amdal Kabupaten/Kota bertugas menilai kerang- ka acuan, Amdal, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan ren- cana pemantauan lingkungan hidup. Dalam melaksanakan tugas- nya, Komisi Penilai dibantu oleh Tim teknis Komisi Penilai dan Sekretariat Komisi Penilai. Biaya atas pelaksanaan kegiatan Komisi Penilai, Tim Teknis, dan Sekretariat Komisi Amdal dibebankan pada anggaran Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pada anggaran instansi yang ditugasi menangani pengendalian dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota. Daftar Isi Bab I Pembentukan Komisi Penilai; Bab II Susunan Keanggotaan; Bab III Tugas dan Fungsi; Bab IV Pembiayaan; Bab V Penutup. 108 107 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Yang mendasari ditetapkannya Keputusan ini adalah Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi, serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri. Wadah Perkumpulan Petani Pemakai Air merupakan himpunan bagi petani pemakai air yang bersifat sosial-ekonomi, budaya, dan berwawasan lingkungan. P3A dibentuk dari, oleh, dan untuk petani pemakai air secara demokratis, yang pengurus dan anggotanya terdiri dari unsur petani pemakai air. P3A dalam satu daerah pelayanan sekunder tertentu dapat bergabung sampai ter- bentuk Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A). GP3A dalam satu daerah irigasi tertentu dapat bergabung sampai terbentuk Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A). Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A dilaksanakan melalui kegiatan motivasi, pelatihan, penyerahan kewenangan, fasilitasi, bimbingan teknis, pendampingan, kerjasama pengelolaan dan audit pengelolaan irigasi. Hubungan kerja antara P3A, GP3A, dan IP3A bersifat kerjasama, koordinatif, dan konsultatif yang selanjut- nya diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga masing-masing menurut wilayah kerjanya. Dana P3A, GP3A, dan IP3A dapat bersumber dari iuran pen- gelolaan irigasi, sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, usaha-usaha lain yang sah menurut hukum, bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta bantuan dari yayasan/lembaga luar negeri. Biaya pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A dapat bersumber dari APBN, APBD, dan sumber dana lain yang sah. Sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh P3A, GP3A, dan IP3A pada prinsipnya dibiayai sendiri oleh P3A, GP3A, dan IP3A. Mengenai lembaga tradisional kepengurusan air yang sudah ada dan P3A yang sudah dibentuk pada saat berlakunya Keputusan Menteri ini tetap diakui keberadaannya dan diarahkan untuk senantiasa mendapat dukungan anggota secara demokratis. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Sifat; Bab III Pembentukan; Bab IV Tata Cara Pembentukan; Bab V Susunan Organisasi; Bab VI Wewenang, Hak, dan Kewajiban; Bab VII Pemberdayaan; Bab VIII Wilayah Kerja; Bab IX Hubungan Kerja; Bab X Sumber dana; Bab XI Ketentuan Peralihan; Bab XII Ketentuan Penutup. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum Peraturan ini merupakan revisi dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air. Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/Men- kes/Per/IX/1990 dinyatakan tidak berlaku lagi. 110 109 Persyaratan kualitas air minum meliputi persyaratan bakterio- logis, kimiawi, radioaktif dan fisik. Menteri Kesehatan melakukan pembinaan teknis terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan persyaratan kualitas air minum. Dalam pelaksanaan pengawasan kualitas air minum, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menentukan parameter kualitas air yang akan diperiksa sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah tangkapan air, instalasi pengolahan air dan jaringan perpi- paan. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan peng- awasan dapat mengikutsertakan instansi terkait, asosiasi pen- gelolaan air minum, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi yang terkait. Pembiayaan pemeriksanaan sampel air minum dibebankan kepada pihak pengelola air minum, pemerintah maupun swasta dan masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap pengelola penyediaan air minum yang melakukan per- buatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat dan merugikan kepentingan umum dapat dikenakan sanksi adminis- tratif dan/atau sanksi pidana berdasarkan peraturan yang berlaku. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup Dan Persyaratan; Bab III Pembinaan Dan Pengawasan; Bab IV Pembiayaan; Bab V Sanksi; Bab VI Ketentuan Peralihan; Bab VII Ketentuan Penutup. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 409/KPTS/2002 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyelenggaraan dan/atau Pengelolaan Air Minum dan Sanitasi Merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 ten- tang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur dan Pasal 13 Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor KEP.319/PET/10/1998 tentang Pelaksanaan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur, maka dipandang perlu untuk menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyelenggaraan dan/atau Pengelolaan Air Minum dan/atau Sanitasi. Pedoman Kerjasama Pemerintah dan Swasta (selanjutnya di- singkat KPS) dalam penyelenggaraan dan/atau pengelolaan air minum dan/atau sanitasi dimaksudkan sebagai acuan dalam mewujudkan penyelenggaraan fasilitas air minum atau sanitasi melalui KPS. Penanggung jawab kegiatan investasi KPS adalah Bupati/Walikota/Gubernur untuk kerjasama yang berada atau merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi dan Pimpinan BUMN/BUMD atau badan lain yang telah menda- patkan pelimpahan wewenang dari Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Walikota/Bupati. Kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan dan/- atau pengelolaan air minum dan/atau sanitasi meliputi tahapan persiap- an, pengadaan, pengikatan, monitoring dan pengakhiran investasi. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah bertanggungjawab atas pembinaan teknis dalam rangka pelaksanaan pedoman KPS dalam penyelenggaraan dan/atau pengelolaan air minum dan/atau sanitasi. 112 111 Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penyelenggaraan KPS; Bab III Pembinaan Teknis; Bab IV Ketentuan Lain; Bab V Ketentuan Penutup. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri Keputusan ini dibuat berdasarkan pada beberapa peraturan perundangan lainnya, diantaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan, serta Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri meliputi : persyaratan air, udara, limbah, pencahayaan, kebisingan, getaran, radiasi, vektor penyakit, persyaratan kese- hatan lokasi, ruang dan bangunan, toilet dan instalasi. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Keputusan ini. Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 261/Menkes/SK/II/1998 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja dinyatakan tidak berlaku. Didalam lampiran Keputusan ini juga disebutkan bahwa pim- pinan satuan kerja/unit perkantoran bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan penyehatan lingkungan kerja perkantoran. Untuk melaksanakan tugas tersebut Pimpinan perkantoran dapat menunjuk seorang petugas atau membentuk satuan kerja/unit organisasi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang kesehatan lingkungan kerja. Pimpinan satuan kerja/unit perkantoran dapat memanfaatkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan kesehatan lingkungan kerja. Pihak ketiga harus berbentuk Badan Hukum Usaha penye- hatan lingkungan kerja perkantoran yang diakui. Adapun untuk biaya penyelenggaraan penyehatan lingkungan kerja perkantoran menjadi tanggung jawab perkantoran. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2003 tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit Keputusan ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari keten- tuan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pence- maran Air. 114 113 Bupati/Walikota menetapkan syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perke- bunan kelapa sawit di Kabupaten/Kota. Pengajuan permohonan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit diajukan berdasarkan hasil kajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit yang dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No- mor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit. Bupati/Walikota menerbitkan surat keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan ijin diajukan oleh pemrakarsa. Izin pemanfaatan limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan perizinan pemanfaatan selam- bat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Buku Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 23 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pence- maran air pada sumber air. Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air ditetapkan berdasarkan debit minimal pada tahun yang bersangkutan atau tahun sebelumnya. Dalam menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air digunakan metode perhitungan yang telah teruji secara ilmiah, yaitu Metoda Neraca Massa dan Metoda Streeter-Phelps. Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metode diluar metoda tersebut diatas. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang membuang air limbah yang mengandung radioaktif ke air atau sumber air. Bupa- ti/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air yang melanggar baku mutu air dan menimbulkan pencemaran air. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang akan membuang air lim- bah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota. Permohonan izin membuang air limbah ke air atau sumber air wajib dilengkapi data dan informasi dengan meng- gunakan formulir. 116 115 Bupati/Walikota wajib mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air seluruh kewajiban dan larangan bagi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam Per- aturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan/atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen. Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Pengolahan air limbah domestik dapat dilakukan secara kolektif melalui pengolahan limbah domestik terpadu. Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan dalam hal izin pembuangan air limbah domestik bagi usaha dan/atau kegiatan permukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. Sedangkan Menteri meninjau kembali baku mutu air limbah domestik secara berkala sekurang- kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kesiapan Pertambangan Batu Bara Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertam- bangan batu bara ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini. Apabila hasil kajian AMDAL atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan/atau kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air limbah seba- gaimana yang dipersyaratkan oleh AMDL atau UKL dan UPL. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertam- bangan wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah dite- tapkan. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertam- bangan batu bara wajib mengelola air yang terkena dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (pond). Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan batu bara wajib melakukan kajian lokasi titik penataan (point of compli- ance) air limbah dari kegiatan pertambangan. Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan/atau kegiatan pertambangan dan/atau karena pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib 118 117 melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kem- bali kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penataan (point of compliance) yang baru. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertam- bangan wajib mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertam- bangan yang diterbitkan. Dalam jangka waktu selambat-lambat- nya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan de- ngan ketentuan dalam Keputusan ini. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 114 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengkajian untuk Menetapkan Kelas Air Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabu- paten/Kota melakukan pengkajian mutu air saat ini untuk menen- tukan status air sebagai masukan bagi penyusunan program pen- gelolaan air atau program pemulihan pencemaran air. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pengkajian mutu air, perlu mendapatkan informasi tentang kebutuhan air untuk 15 (lima belas) tahun mendatang dan menyusun saran pendayagunaan air dan penentuan kelas air, yakni melalui saran masukan yang dim- intakan dari masyarakat melalui dengar pendapat. Apabila mutu air lebih baik atau sama jika dibandingkan den- gan kelas air, maka Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyusun program pengelo- laan air. Sedangkan jika mutu air lebih buruk atau dalam kondisi cemar, maka Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengumumkan sumber air tersebut tercemar dan menyusun program pemulihan pencemaran air. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metode STORET (metoda ini merupakan salah satu metoda untuk menen- tukan status mutu air yang umum digunakan) atau Metoda Indeks Pencemaran. Dengan metoda STORET dapat diketahui parame- ter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Sedangkan Metode Indeks Pencemaran digunakan untuk menen- tukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan. Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain 120 119 yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda tersebut diatas. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis Peraturan ini mengacu kepada Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, serta Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara. Setiap usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi serta ke- giatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi wajib mela- kukan pengolahan limbahnya. Ketentuan perizinan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan format permohonan izin untuk pengolahan secara biologi. Hasil analisis terhadap proses pengolahan biologis dan pemantauan terhadap bahan hasil pengolahan dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup Propinsi, Kabupaten/Kota atau instansi lain yang terkait minimum 6 (enam) bulan sekali. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota Peraturan ini dibuat sehubungan dengan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 1747/Menkes Kesos/SK/12/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal Dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota tidak sesuai lagi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) butir b Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Pemerintah mem- punyai kewenangan untuk menetapkan pedoman standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang meliputi jenis pelayanan beserta indikator kinerja dan target tahun 2010 Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kab/Kota.. Bupati/Walikota bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kab/Kota dan masyarakat. Penyelenggaraan tersebut secara operasional dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota. Sumber pembiayaan pelak- sanaan pelayanan kesehatan seluruhnya dibebankan pada APBD. 122 121 Pemerintah dan Pemerintah Propinsi memfasilitasi penyeleng- garaan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal dan mekanisme kerjasama antar Daerah Kab/Kota. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Standar Pelayanan Minimal Bi- dang Kesehatan; Bab III Pengorganisasian; Bab IV Pelaksanaan; Bab V Pembinaan; Bab VI Pengawasan; Bab VII Ketentuan Pe- nutup. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup Setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan yang disampaikan kepada Kepala Desa, Lurah atau Camat setempat, Bupati/Walikota atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota, Gubernur atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Provinsi, serta Menteri Lingkungan Hidup bagi pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan/atau dampaknya lintas batas Provinsi dan/atau lintas batas Negara. Dalam melakukan verifikasi, Tim Verifikasi dapat meminta keterangan atau keterlibatan di lapangan dari pihak pengadu dan/atau pihak yang diadukan terhadap kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Pejabat yang memberikan tugas verifikasi dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterimanya, wajib segera mengambil keputusan diterima atau ditolaknya usulan rekomendasi. Hasil verifikasi pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat bersifat terbuka sepanjang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui oleh masyarakat. Biaya untuk melakukan kegiatan pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dalam Keputusan ini yang dilakukan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur dibebankan pada APBD, sedangkan Menteri Negara Lingkungan Hidup dibebankan pada APBN dan/atau sumber dana lain yang tidak mengikat. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Laksana Pusat Produksi Bersih Nasional Produksi Bersih adalah suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk de- ngan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia dan lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup berperan sebagai fasilitator bagi terbentuknya PPBN (Pusat Produksi Bersih Nasional) yang mandiri. Susunan organisasi PPBN terdiri dari Komite Pengarah, Direktur Eksekutif, Sekretaris, Manajer Hubungan Masyarakat, 124 123 dan Manajer Teknik. Jenis jasa pelayanan yang diberikan oleh PPBN meliputi: me- nyediakan data dan informasi tentang teknologi, tenaga ahli dan informasi lain yang berkaitan dengan kegiatan Produksi Bersih; menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih; memfasilitasi pelatih- an; mengembangkan dan menyediakan materi pelatihan; mem- fasilitasi konsultasi dan bantuan teknis; menyusun dan/atau mem- fasilitasi penyusunan Panduan Teknis Produksi Bersih untuk sek- tor spesifik; menyediakan fasilitas perpustakaan, mini plant model teknologi bersih, website dan mailing list; memberikan masukan bagi kebijakan pengembangan dan penerapan Produksi Bersih; dan memberikan jasa penghubung bagi pihak-pihak yang memer- lukan bantuan dalam menerapkan Produksi Bersih dengan instan- si pemerintah, swasta, LSM dan Perguruan Tinggi. Biaya pelaksanaan kegiatan PPBN untuk kurun waktu 4 (empat) tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini bersumber dari Pemerintah Republik Indonesia melalui alokasi APBN dan ProLH - GTZ berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Atas rekomendasi Ketua Komite Pengarah dan setelah menda- patkan persetujuan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup, Direktur Eksekutif PPBN dapat memberikan usulan untuk meng- ubah dan/atau mengembangkan susunan organisasi PPBN yang berada dalam kewenangan pengelolaannya atas dasar musya- warah untuk mufakat. Daftar Isi Bagian Pertama : Ketentuan Umum; Bagian Kedua : Susunan Organisasi dan Pengurus; Bagian Ketiga : Tugas Komite Pengarah, Direktur Eksekutif dan Manajer PPBN; Bagian Keempat : Jenis Pelayanan PPBN; Bagian Kelima : Pembiayaan; Bagian Keenam : Ketentuan Penutup. 125 PE RAT URAN DAE RAH Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pelayanan Air Minum PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor Perda ini merupakan penyesuaian dari Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor Nomor 10 Tahun 1996 ten- tang Pelayanan Air Minum Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor. PDAM merupakan BUMD yang diberi wewenang untuk menye- lenggarakan pelayanan air minum yang dimanfaatkan untuk masyarakat umum. Dalam melaksanakan penyelenggaraan pelayanan air minum dan pelaksanaan tugasnya PDAM dapat mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga berdasarkan per- aturan perundang-undangan. Setiap orang atau badan yang menggunakan jasa pelayanan air minum dikenakan tarif air minum yang dihitung berdasarkan formulasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PDAM dapat melaksanakan penyesuaian tarif air minum secara berkala yang tata cara dan penghitungannya ditetapkan dengan Peraturan Walikota. Pengawasan terhadap pelayanan air minum dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah bersama-sama dengan pelanggan dan masyarakat umum. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan Perda ini, baik yang dilakukan oleh orang atau badan dikenakan sanksi administrasi yang terdiri atas sanksi denda dan sanksi polisional. Penyidikan terhadap pelanggaran Perda ini dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Penyidik, PPNS berada di bawah koordinasi Penyidik POLRI sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup; Bab III Penyelenggaraan Pelayanan Air Minum; Bab IV Rekening Air Minum; Bab V Hak dan Kewajiban Pelanggan; Bab VI Pengendalian; Bab VII Peran Serta Masyarakat; Bab VIII Sanksi Administrasi; Bab IX Ketentuan Pidana; Bab X Penyidikan; Bab XI Ketentuan Penutup. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 6 Tahun 2005 tentang Perlindungan Air Provinsi Sulawesi Tenggara Ruang lingkup pengaturan perlindungan air di dalam Perda ini meliputi upaya inventarisasi dan identifikasi sumber air, serta sum- ber pencemaran. Masyarakat berhak berperan serta dalam mela- kukan perlindungan air. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber air. Masyarakat maupun kelemba- gaan dapat juga terlibat aktif melakukan pengaduan, advokasi dan tuntutan hukum apabila terjadi penyalahgunaan wewenang dalam perlindungan air atau yang menimbulkan dampak negatif. Pemerintah Provinsi mempunyai hak mengatur perlindungan air sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah Provinsi (Gubernur) dapat melimpahkan kewenangannya kepada pejabat yang membidangi tugas pengendalian dampak lingkungan. Setiap orang atau korporasi dilarang membuang benda/bahan padat atau cair ke dalam atau sekitar sumber air yang dapat me- nimbulkan pencemaran air. Kegiatan tersebut hanya dapat dila- kukan atas izin Gubernur atau Pejabat yang bertanggungjawab di- 127 126 bidang lingkungan hidup setelah melalukan penelitian/pengujian. Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pengawasan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas per- syaratan perizinan yang harus dipenuhi sebagaimana ditetapkan dalam Perda ini. Gubernur dapat mengenakan sanksi administrasi atas pelanggaran terhadap ketentuan perizinan yang ditetapkan. Dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan pidana yang berlaku. Dalam hal pembiayaan kegiatan seperti uji laboratorium ling- kungan hidup dan menentukan baku mutu limbah cair dibebankan pada APBD dan sumber pendapatan lainnya yang tidak mengikat. Untuk pembiayaan pengendalian kerusakan atau pencemaran air yang diakibatkan usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tersebut. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Maksud, Tujuan Dan Ruang Lingkup; Bab III Hak Dan Kewajiban; Bab IV Peran Serta Masyarakat; Bab V Hak Dan Wewenang Perlindungan; Bab VI Perlindungan Air; Bab VII Perizinan; Bab VIII Pengawasan; Bab IX Sanksi Administrasi; Bab X Pembiayaan; Bab XI Ketentuan Pidana; Bab XII Ketentuan Penyidikan; Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab IV Ketentuan Penutup. 129 128 Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Peme- rintahan daerah yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 ten- tang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ten- tang Pemerintahan Daerah dan telah ditetapkan dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang- Undang dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, maka tugas-tu- gas pengelolaan air bawah tanah menjadi Kewenangan Bu- pati/Walikota. Tujuan pengelolaan air bawah tanah adalah untuk mewujudkan pemanfataan sumber daya air yang berkelanjutan dengan berwawasan lingkungan. Pemanfaatan air bawah tanah meru- pakan alternatif apabila sumber air lainnya tidak memungkinkan untuk diambil. Setiap orang atau Badan Hukum yang melakukan kegiatan eksplorasi dan pengeboran termasuk penggalian, penurapan dan pengambilan air bawah tanah untuk berbagai keperluan hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat ijin dari Walikota. Jenis Ijin Pengelolaan Air Bawah Tanah terdiri dari Ijin Usaha Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah, Ijin Juru Bor, Ijin Pengeboran Air Bawah Tanah, Ijin Pengambilan Air Bawah Tanah, dan Ijin Eksplo- rasi Air Bawah Tanah. 131 130 Walikota melakukan pembinaan, pengawasan dan pengen- dalian pengambilan air bawah tanah. Dalam melakukan hal terse- but Walikota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pemeriksaan dan pengumpulan keterangan yang diperlukan. Setiap pemegang ijin yang melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha perusahaan pengeboran air bawah tanah, penyegelan alat dan titik pengambilan air, pencabutan ijin pengambilan air bawah tanah, dan penutupan sumur bor atau bangunan penurapan mata air. Dan barangsiapa melanggar salah satu ketentuan yang dimaksud dalam Perda ini dapat diancam dengan pidana. Pejabat PNS tertentu di lingkungan Pemda diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Azas, Maksud dan Tujuan; Bab III Peruntukan Pemanfaatan Air; Bab IV Perijinan; Bab V Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian; Bab VI Larangan Pemegang Ijin; Bab VII Ketentuan Sanksi; Bab VIII Penyidikan; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan Kota Bandung Di daerah diselenggarakan pengelolaan kebersihan yang berwawasan kelestarian lingkungan dan berkelanjutan. Pe- ngelolaan kebersihan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dan masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pengelolaan kebersihan atas sampah kota melalui kebijakan pengurangan sampah sejak dari sum- bernya, pemanfaatan atau penggunaan kembali, daur ulang dan pengomposan sampah secara maksimal. Setiap pemilik atau pemakai persil dengan tidak terbatas fungsi persil, bertanggungjawab atas kebersihan bangunan, halaman, salu- ran, trotoar dan jalan di lingkungan persilnya dan tempat sekitarnya. Penyelenggaraan pengelolaan kebersihan dibiayai oleh pengguna jasa pelayanan atau yang menikmati manfaat pengelolaan kebersi- han. Pemerintah Daerah membiayai penyelenggaraan pengelolaan kebersihan pelayanan umum. Pemerintah Daerah melakukan pengat- uran dan penetapan besaran tarif jasa pelayanan kebersihan melalui Keputusan Walikota dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPRD. Besarnya tarif jasa pelayanan kebersihan yang dikenakan kepada setiap wajib bayar dihitung berdasarkan kebutuhan biaya penyediaan jasa pelayanan yang diberikan menurut kaidah manaje- men usaha dan mempertimbangkan kemampuan secara ekonomi dan aspek keadilan. Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 33/PD/1977 tentang tarif Retribusi, Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Kesehatan Umum berikut perubahannya tidak berlaku lagi. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Obyek dan Subyek Pajak; Bab III Pengelolaan; Bab IV Pembiayaan; Bab V Ketentuan Pidana; Bab VI Ketentuan Penyidikan; Bab VII Ketentuan Penutup. 133 132 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Kota Malang Di wilayah Kota Malang masalah pembuangan air kotor atau tinja dirasa cukup kompleks dalam pengelolaannya maupun dalam pembiayaannya. Pemeliharaan pembuangan air kotor atau tinja yang dibangun sejak beberapa tahun yang lalu, penambahan jaringan serta penanganan masalah lingkungan hidup pada umumnya cukup rumit dan memerlukan dana tidak sedikit. Dalam Perda ini dijelaskan bahwa Wajib Retribusi yang akan memanfaatkan IPLT wajib terlebih dahulu membayar retribusi. Besarnya retribusi ditetapkan sebesar Rp.6.000,- m (enam ribu rupiah per meter kubik). Selanjutnya tata cara penggunaan IPLT adalah air kotor dan lumpur tinja yang akan diproses di IPLT diangkut dari tempat penampungan dengan menggunakan truk tangki khusus yang memenuhi persyaratan, baik dikelola oleh Pemerintah Kota Malang maupun oleh pihak swasta. Setiap orang atau Badan Hukum yang melakukan usaha yang berhubungan dengan air kotor dan lumpur tinja dilarang membuang air kotor lumpur tinja selain pada IPLT yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Pengawasan mengenai pelaksanaan Perda ini ditugaskan kepada Kantor Polisi Pamong Praja, Dinas Kebersihan dan Bapedalda sesuai dengan bidang dan tugas masing-masing. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tata Cara Penggunaan Instalasi Pe- ngolahan Lumpur Tinja (IPLT); Bab III Retribusi; Bab IV Ketentuan Pidana; Bab V Sanksi; Bab VI Pengawasan; Bab VII Penutup. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pengendalian Pencemaran Air di Propinsi Jawa Timur Bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitan dengan pengendalian pencemaran air telah berkembang sedemikian rupa, sehingga materi muatan dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 8 Tahun 1989 tentang Pengendalian Pencemaran Air perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pengendalian pencemaran air bertujuan untuk mewujudkan kelestarian fungsi air, agar air yang ada pada sumber-sumber air dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan perun- tukannya. Penanganan pengendalian pencemaran air dilak- sanakan dengan melibatkan Dinas Teknis, Dinas/Instansi terkait. Setiap kegiatan usaha yang melakukan pembuangan limbah cair ke sumber-sumber air harus mendapatkan izin dari Gubernur sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Gubernur melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas persyaratan perizinan yang telah ditentukan. Untuk melakukan pengawasan tersebut, Gubernur dapat menunjuk Kepala Bapedalda. Untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan atas beban biaya dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, Gubernur berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perun- dang-undangan yang berlaku. 135 134 Pembiayaan semua kegiatan yang dilakukan dibebankan pada APBD. Dalam hal Pemerintah Propinsi menyediakan tempat dan/atau sarana pembuangan dan pengolahan limbah cair Pemerintah Propinsi dapat memungut retribusi yang ditetapkan dengan Perda. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Maksud dan Tujuan; Bab III Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat; Bab IV Wewenang; Bab V Perlindungan; Bab VI Perizinan; Bab VII Pengawasan; Bab VIII Sanksi Administrasi; Bab IX Pembiayaan; Bab X Ketentuan Pidana; Bab XI Ketentuan Penyidikan; Bab XII Ketentuan Peralihan; Bab XIII Ketentuan Penutup. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Sehubungan dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan merupakan Jenis Pajak Daerah Tingkat II. Dengan nama Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di pungut pajak atas setiap pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Dasar pengenaan pajak adalah nilai perolehan air. Tarif pajak ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Pembayaran pajak harus dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang telah ditunjuk oleh Kepala Daerah sesuai waktu yang telah ditentukan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD). Surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang seje- nis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak, dikelu- arkan 7 (tujuh) hari setelah saat jatuh tempo pembayaran. Kepala Daerah berdasarkan permohonan wajib pajak dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak. Hak untuk melakukan penagihan pajak, kadaluwarsa setelah melampau jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan daerah. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Nama, Obyek dan Subyek Pajak; Bab III Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak; Bab IV Wilayah Pemungutan dan Cara Penghitungan Pajak; Bab V Masa Pajak, Saat Pajak Terutang dan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah; Bab VI Tata Cara Penghitungan dan Penetapan Pajak; Bab VII Tata Cara Pembayaran; Bab VIII Tata Cara Penagihan Pajak; Bab IX Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan Pajak; Bab X Tata Cara Pembetulan, Pembatalan Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi; Bab XI Ketetapan dan Banding; Bab XII Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak; Bab XIII Kadaluwarsa; Bab XIV Pengawasan; Bab XV Ketentuan Pidana; Bab XVI Penyidikan; Bab XVII Ketentuan Penutup. 137 136 Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Tenggara Nomor 1 Tahun 1999 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dipungut atas setiap pelayanan persampahan/kebersihan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Prinsip dan sasaran dalam penetapan struk- tur dan besarnya tarif retribusi dimaksudkan untuk menutup biaya penyelenggaraan pelayanan antara lain biaya pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan sampah dan/atau pemusnahan sampah termasuk sewa lokasi TPA. Struktur tarif digolongkan berdasarkan pelayanan yang diberikan, jenis/volume sampah yang dihasilkan dan kemampuan masyarakat. Retribusi yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Masa retribusi adalah jangka waktu 1 (satu) bulan. Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan. Dalam hal Wajib Retribusi tidak dapat membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan. Kepala Daerah dapat mem- berikan pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi de- ngan memperhatikan kemampuan Wajib Retribusi. Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga menyebabkan kerugian Keuangan Daerah diancam pidana sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku. Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Tenggara Nomor 6 Tahun 1983 tentang pungutan Retribusi Sampah Dalam Daerah Tingkat II jo.Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Tenggara Nomor 20 Tahun 1992 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Tenggara Nomor 6 Tahun 1983 tentang pungutan Retribusi Sampah Dalam Daerah Tingkat II Maluku Tenggara dinyatakan tidak berlaku lagi. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Nama, Objek, Dan Subjek Retribusi; Bab III Golongan Retribusi; Bab IV Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa; Bab V Prinsip Dan Sasaran Dalam Penetapan Struktur Dan Besarnya Tarif; Bab VI Struktur Dan Besarnya Tarif; Bab VII Wilayah Pemungutan; Bab VIII Masa Retribusi Dan Saat Retribusi Terutang; Bab IX Tata Cara Pemungutan; Bab X Sanksi Administrasi; Bab XI Tata Cara Pembayaran; Bab XII Tata Cara Penagihan; Bab XIII Pengurangan, Keringanan Dan Pembebasan Retribusi; Bab XIV Kadaluarsa Penagihan; Bab XV Ketentuan Pidana; Bab XVI Penyidikan; Bab XVII Ketentuan Penutup. 139 138 91. Milestones 1972 - 2003. Stockholm to Kyoto First international gather- ing to have major impact on both global thinking and UN programming. Water is defined as a common good. Basic principle: Whatever the development stage and the socio-economic situation, people have the right to have access to drinking water whose quantity and quality are equal to their basic needs. Action Plan, recommen- dation A: A systemic assessment of water resources should be implemented. UN Conference on Water, Mar del Plata. Assessment of water resources water use and efficiency 1972 1977 '...relatively little importance has been attached to water resources systematic meas- urement. The pro- cessing and compi- lation of data have also been seriously neglected.' A : Assessment of water resources, Mar del Plata Action Plan) Declaration of the UN Conference on the Human Environment Mar del Plata Action Plan (MPAP) Dat es Event s Out comes Quot at i ons UN Conference on the Human Environment, Stockholm. Preservation and enhancement ' A point has been reached in history when we must shape our actions throughout the world with a more prudent care for their environmental consequences.' (6. Declaration of the UN Conference on the Human Environment). Goal: "Provide every per- son with access to water of safe quality and ade- quate quantity, along with basic sanitary facilities, by 1990." The quantitative goals were not achieved. Realization: - Comprehensive and balance country-specific approaches are needed - Achievement of these goals will take far more time and cost than origi- nally thought. 1981- 1990 "Despite the failure to meet the quantita- tive goals, much was learnt from the expe- rience of the water and sanitation decade... There was further realisation of the importance of comprehensive and balance country-spe- cific approaches to the water and sani- tation problem. Most importantly, perhaps, was the realisation that the achievement of this goal that was set at the beginning of the decade would take far more time and cost far more money than was originally thought." (CHOGUILL C., FRANCEYS R., COTTON A., Planning for water and sanitation, 1993) Dat es Event s Out comes Quot at i ons International Drinking Water and Sanitation Decade 141 140 The New Delhi Statement is an appeal to all nations for concerted action to enable people to obtain two of the most basic human needs - safe drinking water and environmental sanitation. 1990 1992 'Safe water and proper means of waste disposal ... must be at the cen- ter of integrated water resources management' (Environment and health, New Delhi Statement) New Delhi Statement : "Some for all rather than more for some" Dat es Event s Out comes Quot at i ons Global Consultation on Safe Water and Sanitation for the 1990's, New Delhi Safe drinking water, envi- ronmental sanitation Declaration on the Survival, Protection and Development of Children World Summit for Children, New York Health, food supply 'We will promote the provision of clean water in all communities for all their children, as well as universal access to sanitation.' (20. World Declaration on the Survival, Protection and Development of Children) Beginning of the International Decade for Natural Disaster Reduction (1990 - 2000) International Conference on Wa- ter and the Environment, Dublin Economic value of water, women, poverty, resolving conflicts, natural dis- asters, awareness Dublin Statement on Water and Sustainable Development Principle 1 : 'Fresh water is a finite and vulnerable resource, essential to sustain life, development and the environment' Principle 2 : 'Water development and management should be based on a participatory approach, involving users, planners and policy-makers at all levels' Principle 3 : 'Women play a central part in the provision, man- agement and safeguarding of water' Principle 4 : 'Water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good' (Guiding principles. The Dublin Statement on Water and sus- tainable Development) - Rio Declaration on Environment and Development Agenda 21 Dat es Event s Out comes Quot at i ons UN Conference on environ- ment and Development (UNCED Earth Summit), Rio de Janeiro Cooperation issue, water economics, participation, drinking water and sanitation, human settle- ments, sus- tainable development, food produc- tion, climate change 'establishing a new and equitable global partnership through the creation of new levels of coopera- tion among States, key sector societies and people.' (Rio Declaration) 'The holistic man- agement of freshwa- ter ... and the inte- gration of sectoral water plans and pro- grammes within the framework of nation- al economic and social policy, are of paramount impor- tance for action in the 1990s and beyond.' (Agenda 21, Section 2, Chapter 18) Action plan : Agenda 21 Chapter 18 is ded- icated to water. Are encouraged: - the global manage- ment of freshwater - the integration of sectoral water plans and programmes within the framework of national economic and social policy For the first time, development and environment are seen as strongly associat- ed. However, water is not yet a great priori- ty. Creation of the Commission on Sustainable Development, to assess the followings of the Conference. 1992 143 142 1994 Action Programme Dat es Event s Out comes Quot at i ons Ministerial Conference on Drinking Water Supply and Environment al Sanitation, Noordwijk Drinking water supply and sanita- tion 'To assign high prior- ity to programmes designed to provide basic sanitation and excreta disposal sys- tems to urban and rural areas.' (Action Programme) Action programme : "To assign high prior- ity to programmes designed to provide basic sanitation and excreta disposal sys- tems to urban and rural areas." Programme of Action UN International Conference on Population and Developmen t 'To ensure that popu- lation, environmental and poverty eradica- tion factors are inte- grated in sustainable development policies, plans and pro- grammes.' (Chapter III - Interrela- tionships between population, sustained economic growth and sustainable develop- ment, C- Population and Environment, Programme of Action) Population, environ- mental and poverty eradication factors should be integrated in sustainable devel- opment policies. 1995 Copenhagen Declaration on the Social Development Dat es Event s Out comes Quot at i ons World Summit for Social Development , Copenhagen Poverty, water supply and sanita- tion 'To focus our efforts and policies to address the root causes of poverty and to provide for the basic needs of all. These efforts should include the provision of ... safe drinking water and sanitation.' (Chapter I - Resolutions adopted by the Summit, Commitment 2, b. Copenhagen Declaration) 1996 The Habitat Agenda UN Conference on Human Set- tlements (Ha- bitat II), Istan- bul Sustainable human settle- ments develop- ment in an ur- banizing world 'We shall also promote healthy living envi- ronments, especially through the provision of adequate quantities of safe water and effective management of waste.' (10. The Habitat Agenda, Istanbul Declaration on Human Settlements) Beijing Declaration and Platform for Action UN Fourth World Conference on Women, Beijing Gender issues, water supply and sanitation 'Ensure the availability of and universal access to safe drinking water and sanitation and put in place effective public distribution systems as soon as possible.' (106 x ,Beijing Declaration) 145 144 1996 1997 Rome Declaration on World Food Security Dat es Event s Out comes Quot at i ons World Food Summit, Rome Food, health, water and sanitation 'To combat environmental threats to food security, in particular, drought and desertifi- cation restore and rehabilitate the natu- ral resource base, including water and watersheds, in depleted and overexploited areas to achieve greater production.' (Plan of Action, Objective 3.2, Rome Declaration) Marrakech Declaration 1st World Water Forum, Marrakech Water and sanitation, management of shared waters, pre- serving '... to recognize the basic human needs to have access to clean water and san- itation, to establish an effective mecha- nism for manage- ment of shared waters, to support and preserve ecosystems, to encourage the effi- cient use of water...' (Marrakech Declaration) Water run the risk of being considered as a marketable and expen- sive good. We should then pay attention that water would not be the object of a war, like petrol. Priorities : - water and sanitation - shared water man- agement - ecosystem conserva- tion - gender equality - efficient use of water 2000 World Water Vision : Making Water Everybody's Business Dat es Event s Out comes Quot at i ons 2nd World Water Forum, the Hague Water for people, water for food, water and nature, water in rivers, sov- ereignty, interbasin water educa- tion '- Involve all stake- holders in integrated management; - Move to full-cost pricing of water serv- ices; - Increase public funding for research and innovation; - Increase coopera- tion in international water basins; - Massively increase investments in water' (Vision Statement and Key Messages, World Water Vision) For the first time, it is recognized that a better governance and an inte- grated water resources management is needed. Water should become everybody's business. Water security becomes as crucial as hunger and environment protection in the world. Water is defined as an absolutely necessary element to the life and health of both humans and ecosystems, and a fondamental condi- tion to countries' devel- opment. Presentation of the World Water Vision, coordinat- ed by the WWC. Key-messages : - Involve all stakeholders in integrated water resources management - Move towards full-cost pricing of water services for all human uses - Increase public funding for research and innova- tion in the public interest - Recognise the need for co-operation to improve integrated water resources management in international basins - Massively increase the investments in water 147 146 2000 Ministerial Conference on Water Security in the 21st Century United Nations Millenium Declaration Dat es Event s Out comes Quot at i ons 7 challenges: Meeting basic needs, Securing the food supply, Protecting ecosystems, Sharing water resources, Managing risks, Valuing water, Governing water wisely 'We will continue to support the UN sys- tem to re-assess periodically the state of freshwater resources and relat- ed ecosystems, to assist countries, where appropriate, to develop systems to measure progress towards the realisa- tion of targets and to report in the biennial World Water Development Report as part of the overall monitoring of Agenda 21.' (Ministerial Declaration, 7.B) The Ministerial Declaration identified meeting basic water needs, securing food supply, protecting ecosystems, sharing water resources, man- aging risks, valuing water and governing water wisely as the key challenges for our direct future. Full-cost pricing of water is con- tested, hence not present in the declara- tion. 'We resolve ... to halve, by the year 2015 ... the proportion of people who are unable to reach or to afford safe drinking water.' (UN Millenium Declaration, 19.) Definition of the Millennium Development Goals : "Halve, by 2015, the pro- portion of people who are unable to reach or to afford safe drinking water." 2001 Ministerial Declaration Recommendations for action Dat es Event s Out comes Quot at i ons International Conference on Fresh- water, Bonn Water - key to sustain- able develop- mentGoverna nce, mobilis- ing financial resources, capacity building, sharing knowledge 'Combating poverty is the main challenge for achieving equi- table and sustainable development, and water plays a vital role in relation to human health, liveli- hood, economic growth as well as sustaining ecosys- tems.' (Ministerial Declaration) Water is recognised as a key to sustainable development. Bonn keys: - The first key is to meet the water securi- ty needs of the poor. - Decentralisation is a key. The local level is where national policy meets community needs. - The key to better water outreach is new partnerships. - The key to long-term harmony with nature and neighbour is coop- erative arrangements at the water basin level, including across waters that touch many shores. - The essential key is stronger, better per- forming governance arrangements. 'The conference recom- mends priority actions under the following three headings: - Governance - Mobilising financial resources - Capacity building and sharing knowledge' (Bonn Recommendations for Action) End of the International Decade for Natural Disaster Reduction (1990 - 2000) 149 2002 Plan of Implementation Dat es Event s Out comes Quot at i ons World Summit on Sustainable development, Rio+10, Johannesbur g Poverty erad- ication, sani- tation, ener- gy, financing, integrated water resources management, Africa 'We agree to halve, by the year 2015 (...) the proportion of people who do not have access to basic sanita- tion, which would include actions at all levels to: - Develop and imple- ment efficient house- hold sanitation sys- tems; - Improve sanitation in public institutions, especially schools; - Promote safe hygiene practices; - Promote education and outreach focused on children, as agents of behavioural change; - Promote affordable and socially and cultur- ally acceptable tech- nologies and practices; - Develop innovative financing and partner- ship mechanisms; - Integrate sanitation into water resources management strate- gies.'(Plan of Implementation) New affirmation of the Millennium Development Goals. Sanitation issue is added. Goal 7 : Ensure environmen- tal sustainability Target 10 : " Halve, by 2015, the proportion of people with- out sustainable access to safe drinking water and sani- tation." Plan of implementation: - Develop and implement effi- cient household sanitation systems - Improve sanitation in public institutions, especially schools - Promote safe hygiene prac- tices - Promote education and out- reach focused on children, as agents of behavioural change; - Promote affordable and socially and culturally accept- able technologies and prac- tices; - Develop innovative financ- ing and partnership mecha- nisms; - Integrate sanitation into water resources management strategies.' 2003 Ministerial Declaration Governance, integrat- ed water resources management, gender, pro-poor policies, financing, cooperation, capacity-building, water use efficiency, water pollution preven- tion, disaster mitiga- tion 1st edition of the World Water Development Report Dat es Event s Out comes Quot at i ons International Year of Freshwater 3rd World Water Forum, Kyoto - Japan Extracts from the general policy: 'We recognize that good governance, capacity building and financing are of the utmost importance to succeed in our efforts.' (Ministerial Declaration) Publication of the report World Water Actions, coordinated by the WWC. The 3000 actions studied prove that significant progress has been made since the 2nd World Water Forum, showing that it is both possible to meet the water challenges and that the effort should con- tinue. Priorities : Governance, integrated water resources, gender, pro-poor policies, financing, cooperation, capacity-building, water use efficiency, water pollution pre- vention, disaster mitigation. A Panel of financial experts, formed in 2002 and chaired by Michel Camdessus, presented its solutions to the global finan- cial needs of the water sector, estimated at $US180 billion. These conclusions were con- tested, but still integrated into the Water Plan of the G8 Evian Summit in 2003. During the Ministerial Declaration, a Portfolio of Water Actions was presented, gathering all political commit- ments already engaged. 148 150 2006 "Local Actions for a Global Challenge" A novel local focus has been developed as a means to confront global water problems. An important space will be designed for the participation of local actors, so they may contribute with experiences and knowledge. Dat es Event s Out comes Quot at i ons 4th World Water Forum, Mexico 2005- 2015 Goals: - Focus more on water-related issues at all levels and on the implemen- tation of water-related programmes and projects - Ensure the participation and involvement of women in water-related development efforts - Deepen the cooperation at all levels Priorities: scarcity, sanitation access, disaster prevention, pollution, trans-boundary water issues, water, sanitation and gender, capacity- building, financing, valuation, integrated water resources management, Africa as a region for priority action. International Decade for Action "Water for Life" (launched by the UN) PE DOMAN TE KNI S Pedoman Teknis Penyehatan Perumahan Masalah perumahan merupakan multidimensi baik fisik, sosial, ekonomi maupun budaya. Oleh karena itu pendekatan untuk pemecahan masalah perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi tersebut. Terhadap perumahan yang belum terencana seperti peruma- han kumuh di perkotaan maupun di perdesaan termasuk perkam- pungan nelayan, pendekatan yang ditempuh adalah dengan melalui penyuluhan, pemberian contoh dan stimulan, serta bantu- an pembangunan sarana dan prasarana kesehatan lingkungan. Pedoman ini merupakan pedoman yang diperuntukkan bagi petugas kesehatan lingkungan pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau petugas lain yang bertanggung jawab dalam penyehatan perumahan khususnya pada "perumahan komersial". Buku Pedoman Teknis ini bertujuan agar para petugas terkait dapat memahami secara jelas Keputusan Menteri Kesehatan R.I No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan tanpa ragu-ragu sehingga dapat melakukan tugas pembinaan, penyuluhan, pengawasan, pengendalian dan penila- ian pembangunan perumahan secara efektif dan efisien. Daftar Isi I. Pendahuluan, II. Tujuan, III. Sasaran, IV. Kebijaksanaan, V. Kegiatan, VI. Pengorganisasian, VII. Ketenagaan, VIII. Sarana, IX. Pendanaan. Pedoman Teknis Penyuluhan Sanitasi Perdesaan Keadaan sanitasi perdesaan saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini antara lain karena perilaku masyarakat yang belum baik, atau belum membudayanya pola hidup bersih dan sehat di masyarakat. Faktor resiko utama kejadian penyakit diare adalah masih rendahnya cakupan air bersih, cakupan jamban keluarga, rendahnya praktek perilaku hidup bersih dan sehat dari sebagian besar masyarakat serta sanitasi makanan yang belum memadai. Selain pembuangan kotoran, air bersih juga merupakan sum- ber atau media perkembangbiakan dan penularan penyakit seper- ti tifus, hepatitis dan diare, sehingga dengan sanitasi air bersih yang baik diharapkan akan dapat mencegah atau memutuskan mata rantai penularan penyakit menular. Buku Pedoman Teknis Penyuluhan Sanitasi Perdesaan bertu- juan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat untuk dapat hidup bersih dan sehat serta dapat memenuhi kebutuhan akan sanitasi dasar, agar terhindar dari penyakit yang diakibatkan karena faktor lingkungan seperti diare dan cacingan. Daftar Isi I. Pendahuluan, II. Tujuan dan Sasaran, III. Metode Teknik dan Media, IV. Pesan dan Perilaku Yang Diharapkan, V. Langkah- langkah, VI. Penutup. 152 151 Petunjuk Teknis Spesifikasi Kompos Rumah Tangga, Tata Cara Pengelolaan Sampah dengan Sistem Daur Ulang pada Lingkungan, Spesifikasi Area Penimbunan Sampah dengan Sistem Lahan Urug Terkendali di TPA Sampah Sejalan dengan konsep pengelolaan persampahan saat ini dimana proses daur ulang sampah perlu dilakukan dan semaksimal mungkin dilaksanakan sejak dari sumbernya, dan masyarakat memegang per- anan dalam pengelolaan persampahan di lingkungannya. Dengan dikembangkannya pemberdayaan masyarakat dalam pengomposan sampah skala lingkungan dapat pula meminimasi jumlah sampah yang harus diangkut dan dikelola di TPASampah. Buku petunjuk teknis ini memberikan gambaran tentang bagaimana cara yang tepat dalam pengelolaan sampah serta tata cara daur ulang sampah, dan menentukan tempat penimbunan sampah, terutama sampah yang dihasilkan pada setiap rumah. Daftar Isi Spesifikasi Kompos Rumah Tangga : Spesifikasi ini mencakup pengertian teknis mengenai bentuk, ukuran, bahan, fungsi dan kinerja dari komposter rumah tangga untuk melayani maksimum 5 orang. Bab I. Deskripsi, Bab II. Persyaratan Teknis. Tata Cara Pengelolaan Sampah dengan Sistem Daur Ulang pada Lingkungan : Ruang lingkup petunjuk teknis pengomposan sampah organik skala lingkungan meliputi aspek pemberdayaan masyarakat, ketentuan-ketentuan teknis pengomposan, pemasaran kompos, kelembagaan, dan pendanaan usaha pengomposan. 1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat, 5. Ketentuan-ketentuan, 6. Manajemen Daur Ulang Sampah dan Pengomposan, 7. Pemasaran Kompos, 8. Pendanaan Usaha Pengomposan. Spesifikasi Area Penimbunan Sampah dengan Sistem Lahan Urug Terkendali di TPA Sampah : Spesifikasi ini mencakup persyaratan teknis mengenai bentuk, ukuran, bahan/elemen/komponen, fungsi dan kekuatan dari area penimbunan sampah dengan sistem lahan urug terkendali, mini- mal pelayanan 5 tahun. Bab I Deskripsi, Bab II Persyaratan Teknis. Petunjuk Teknis Pembuatan Sumur Resapan Sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknis konservasi air berupa bangunan yang dibuat sedemikian menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu, diisi dengan bahan - bahan resapan (pasir, batu, dan ijuk) secara berlapis sampai rata dengan permukaan tanah yang berfungsi sebagai tempat penam- pungan dan sekaligus peresapan air ke dalam tanah. Pembuatan sumur resapan merupakan upaya memberikan imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksi air hujan sebagai media infiltrasi ke dalam tanah yang dapat diterapkan di kawasan permukiman, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas umum lainnya. Adapun tujuan pembangunan sumur resapan untuk menguran- gi erosi, menyimpan dan menaikan permukaan air tanah dalam rangka penyelamatan sumberdaya air. 154 153 Daftar Isi I. Pendahuluan, II. Sasaran Lokasi Pembuatan Sumur Resapan, III. Bentuk, Jenis dan Cara Pembuatan Sumur Resapan, IV. Pelaksanaan Pembuatan Sumur Resapan Di Sekitar Rumah. Petunjuk Teknis Tata Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga Non Kakus Petunjuk Teknis Tata Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan Instalasi Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga Non Kakus ini disusun sebagai acuan/pedoman dalam pengoperasian dan pemeliharaan instalasi pengolahan air limbah rumah tangga non kakus. Petunjuk Teknis ini dimaksudkan sebagai pedoman pelak- sanaan operasional dan pemeliharaan instalasi. Tata cara ini bertujuan untuk memberikan persyaratan dan ketentuan teknis dalam pengoperasian dan pemeliharaan instalasi pengolahan air limbah rumah tangga non kakus sehingga effluen yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Tata cara ini memuat persyaratan umum dan persyaratan tek- nis mengenai tata cara pengoperasian dan pemeliharaan instalasi pengolahan air limbah non kakus model hybrid yang berkapasitas 2 m/hari atau cakupan pelayanan 4 Kepala Keluarga (16-20 jiwa). Daftar Isi 1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Persyaratan- persyaratan. Petunjuk Teknis Tata Cara Perencanaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) di Daerah Pasang Surut Petunjuk Teknis Tata Cara Perencanaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) di Daerah Pasang Surut, dimaksudkan seba- gai pegangan atau acuan bagi perencana dan pelaksana dalam upaya pembangunan TPA sampah yang dikhususkan untuk daer- ah pasang surut. Tata cara ini bertujuan untuk memberikan masukan dalam prosedur pelaksanaan pembangunan, sehingga dapat membantu upaya pelestarian lingkungan. Tata cara ini memuat istilah dan definisi, persyaratan umum dan teknis mengenai tata cara pengerjaan dalam merencanakan dan menentukan lokasi TPA sampah di daerah pasang surut. Daftar Isi 1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Persyaratan-persyaratan, 5. Perencanaan TPA Sampah. Pedoman Teknis Tata Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan Mobil Unit Untuk Air Minum Teknis Tata Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan Mobil Unit Untuk Air Minum ini dimaksudkan untuk dijadikan acuan dan pegangan dalam pengoperasian dan pemeliharaan mobil tangki di lapangan. Tujuan dari tata cara ini adalah untuk memperoleh cara pengoperasian dan pemeliharaan mobil tangki air sesuai dengan perencanaan, bagi pengelola. 171 172 156 155 Tata cara ini memuat ketentuan-ketentuan teknisi, peralatan, bahan dan suku cadang serta cara pengoperasian dan pemeli- haraan. Daftar Isi Bab I Deskripsi : 1.1. Maksud dan Tujuan, 1.2. Ruang Lingkup, 1.3. Pengertian; Bab II Ketentuan-ketentuan : 2.1. Umum, 2.2. Teknis; Bab III Cara Pengerjaan : 3.1. Pengoperasian dan Penyadapan, 3.2. Pengoperasian dengan Pemompaan, 3.3. Pemeliharaan. Pedoman Teknis Tata Cara Sistem Penyediaan Air Bersih Komersil Untuk Permukiman Petunjuk Teknis ini dimaksudkan sebagai pegangan atau acuan dalam penerapan penyediaan air bersih komunal di lingkungan permukiman. Buku ini bertujuan untuk pemerataan pelayanan air bersih di suatu kawasan permukiman dan dengan maksud untuk menghindari pencemaran sumber air di lingkungan permukiman sehingga kesehatan masyarakat meningkat. Ruang lingkup petunjuk teknis ini mencakup ketentuan-keten- tuan umum dan teknis dalam penerapan sistem penyediaan air bersih komunal di lingkungan permukiman dengan maksimal 3.000 orang ( 600 KK). Daftar Isi 1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Ketentuan-ketentuan, 5. Operasi dan Pemeliharaan. Petunjuk Teknis Penerapan Pompa Hidran dalam Penyediaan Air Bersih Pompa hidran merupakan alat yang digunakan untuk menaikkan air dari tempat rendah ke tempat yang lebih tinggi secara automatik dengan energi yang berasal dari air itu sendiri. Petunjuk teknis ini disusun dalam rangka mengembangkan teknologi sederhana bidang permukiman. Petunjuk teknis pene- rapan pompa hidran penyediaan air bersih ini, dapat digunakan sebagai acuan bagi perencana, pelaksana dan masyarakat dalam mengatasi masalah penyediaan air di daerah-daerah yang lokasinya lebih tinggi dari lokasi sumber air yang ada. Diharapkan petunjuk teknis penerapan pompa hidran dalam penyediaan air bersih ini, dapat memberikan kemudahan dan per- hatian masyarakat khususnya di pedesaan, sehingga suatu ben- tuk teknologi hidran dapat bermanfaat secara optimal. Petunjuk teknis ini meliputi istilah dan definisi, pemilihan lokasi dan pemasangan, pengoperasian dan pemeliharaan dengan sis- tem tunggal. Daftar Isi 1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Pemilihan Lokasi, 5. Perencanaan Pompa Hidran, 6. Pemasangan Pompa Hidran, 7. Pengoperasian dan Pemeliharaan Pompa Hidran. 173 174 158 157 Petunjuk Teknis Pengomposan Sampah Organik Skala Lingkungan Petunjuk Teknis ini disusun dalam rangka membantu dalam perencanaan pengelola persampahan. Sejalan dengan konsep pengelolaan persampahan sampah rumah tangga dimana proses daur ulang sampah perlu dilakukan dan semaksimal mungkin dilaksanakan sejak dari sumbernya, dan masyarakat memegang peranan dalam pengelolaan persam- pahan di lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat dalam usaha daur ulang sampah dengan proses pengomposan merupakan upaya untuk meli- batkan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan sampah dan sekaligus membuka peluang usaha. Dengan dikembangkannya pemberdayaan masyarakat dalam pengomposan sampah skala lingkungan dapat pula meminimasi jumlah sampah yang harus diangkut dan dikelola di TPA Sampah. Ruang lingkup petunjuk teknis pengomposan sampah organik skala lingkungan meliputi : aspek pemberdayaan masyarakat, ketentuan-ketentuan teknis pengomposan, pemasaran kompos, kelembagaan, dan pendanaan usaha pengomposan. Daftar Isi 1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat, 5. Ketentuan-ketentuan, 6. Manajemen Daur Ulang Sampah dan Pengomposan, 7. Pemasaran Kompos, 8. Pendanaan Usaha Pengomposan. Petunjuk Teknis Spesifikasi Instalasi Pengolahan Air Sistem Berpindah-pindah (Mobile) Kapasitas 0,5 Liter/Detik Spesifikasi teknis ini dimaksudkan sebagai acuan bagi peren- cana dan pelaksana untuk pembuatan instalasi pengolahan air sistem berpindah-pindah (IPA Sistem Berpindah-pindah), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaannya. IPA Sistem Berpindah-pindah dibuat untuk melayani penyedi- aan air minum pada daerah terpencil/pelosok yang tidak ter- jangkau oleh PDAM/BPAM, untuk kebutuhan darurat maupun pada daerah kritis air atau bencana alam, yang dapat diop- erasikan berpindah-pindah. Spesifikasi ini mencakup istilah dan definisi, persyaratan teknis tentang bentuk, ukuran, bahan, dan fungsi. Daftar Isi 1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Bentuk Instalasi Pengolahan Air, 5. Persyaratan Teknis IPA Sistem Berpindah. Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan Drainase Perkotaan Buku Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan Drainase Perkotaan ini disusun sebagai panduan bagi para pengelola prasarana drainase perkotaan agar dapat memahami, menangani atau melaksanakan masalah drainase perkotaan dengan ketentu- an - ketentuan yang berlaku. Buku panduan ini diharapkan mampu untuk menunjang priori- 175 176 160 159 tas tujuan program drainase kota yaitu mengurangi kerusakan dan kerugian akibat genangan atau banjir yang terjadi di dalam kota atau daerah urban. Sehingga untuk pembangunan sistem drainase, yang diutamakan adalah mengoptimalkan saluran yang telah ada, melalui program rehabilitasi. Buku ini dapat mem- berikan konstribusi positip bagi pengelolaan drainase perkotaan. Daftar Isi Bagian I Sistem Drainase, Bagian II Rencana Induk, Bagian III Studi Kelayakan, Bagian IV Konstruksi dan Kelengkapannya, Bagian V Pompa dan Waduk, Bagian VI Bangunan Resapan Air, Bagian VII Pemeliharaan Prasarana Drainase, Bagian VIII Kelembagaan, Bagian IX Peran Serta Masyarakat, Bagian X Contoh Disain. 177 178 161 PE DOMAN UMUM Pedoman Pendidikan Kesehatan Lingkungan Dengan Metoda Partisipatori Bagi Guru SD Kelas 4, 5 dan 6 Kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan keturunan, yang sal- ing terkait. Lingkungan dan perilaku mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kesehatan masyarakat lingkungan dan per- ilaku yang buruk dapat menimbulkan terjadinya penyakit. Masyarakat sekolah (guru, siswa, orang tua siswa, dan pegawai sekolah) dapat berperan untuk memperbaiki lingkungan dan perilaku masyarakat dengan menggunakan metode partisi- pasi. Metoda partisipatori sudah banyak dipergunakan dalam pemberdayaan masyarakat karena hasilnya sangat baik dan pros- esnya menyenangkan. Metoda ini cocok untuk diterapkan di Sekolah Dasar karena metode ini identik dengan metode cara belajar siswa aktif (CBSA) yang sekarang dikenal dengan kuriku- lum berbasis kompetensi (KBK). Metode partisipatori mendorong meningkatkan peran serta individu di dalam proses kelompok. Metode partisipatori meningkatkan rasa percaya diri dan rasa tanggungjawab. Metode ini membuat proses pengambilan keputusan menjadi mudah dan menyenangkan. Peserta belajar dari yang lain dan menghargai pengetahuan dan ketrampilan orang lain. Daftar Isi I. Pendahuluan, II. Bagaimana Menggunakan Pedoman Ini, III. Hal-hal Yang Penting Dipahami Oleh Guru, IV. Alur Penularan Penyakit, V. Penyajian Pokok Bahasan Dengan Langkah-langkah Partisipatori, VI. Contoh Gambar Opsi Teknis Berbagai Jenis Sarana. Pedoman Umum Pembuatan Kompos Untuk Skala Kecil, Menengah, dan Besar Pengkomposan adalah salah satu alternatif upaya pengelolaan sampah perkotaan yang dapat diandalkan karena manfaatnya yang besar, teknologinya mudah diaplikasikan dan sesuai dengan kondisi Indonesia. Dengan upaya pengkomposan maka sebagian besar bahkan seluruh sampah organik dapat diproses menjadi barang yang aman dan bermanfaat bagi lingkungan hidup dan manusia. Secara lebih khusus, kegiatan pengkomposan menjadi alternatif paling realistis untuk mengurangi permasalahan sampah terutama di daerah perkotaan yang pada umumnya didominasi oleh sam- pah organik. Pada gilirannya pengkomposan akan dapat memper- panjang umur TPA Sampah, pengendalian lindi (leacheat) serta pengurangan produksi gas rumah kaca (GRK). Dengan Pedoman ini diharapkan seluruh persyaratan proses produksi dan prasarana-sarana pendukung dapat dipenuhi den- gan baik sehingga menghasilkan kompos yang memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan. Daftar Isi Bab I Program Subsidi Kompos, Bab II Pengetahuan Dasar Proses Pengkomposan, Bab III Pemilihan Lokasi dan Perencanaan Pengkomposan, Bab IV Tata Cara Pengkomposan, Bab V Model Pengkomposan Skala Kecil dan Menengah, Bab VI Model Pengkomposan Skala Besar, Bab VII Pengendalian Mutu dan Standar Kompos. 179 180 163 162 Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan Pengelolaan air limbah domestik tidak hanya berkaitan dengan derajat kesehatan masyarakat tetapi juga dengan kelestarian lingkungan air kita, untuk melindungi sumber air baku air minum. Penelitian terhadap sungai - sungai utama di Indonesia telah banyak dilakukan dengan hasil yang cukup mengejutkan karena sejumlah besar sungai-sungai tersebut tercemar air limbah domestik. Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, berisi pedoman- pedoman bagaimana merencanakan sistem pengelolaan air lim- bah domestik perkotaan dari membuat rancangan induk, melakukan studi kelayakan, memilih, membangun, mengop- erasikan dan memelihara prasarana dan sarana yang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi serta contoh perhitungan. Pedoman ini dilengkapi petunjuk-petunjuk praktis yang diharap- kan dapat membantu pelaksana di lapangan. Daftar Isi Bab 1. Apa Yang Dimaksud Dengan Air Limbah Domestik, Bab 2. Mengapa Air Limbah Domestik Harus Diolah, Bab 3. Air Limbah Domestik, Tanggung Jawab Siapa, Bab 4. Siapa Pengelola Sistem Pengolahan Air Limbah, Bab 5. Bagaimana Merencanakan Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik. Pedoman Pengelolaan Persampahan Perkotaan Bagi Eksekutif atau Legislatif Pemerintah Kota atau Kabupaten Pengambilan keputusan oleh Bupati/Walikota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk selanjutnya disebut Eksekutif/Legislatif pemerintah kabupaten/kota sebagai stakehold- ers utama dalam sektor sistem pengelolaan sampah kota akan sangat menentukan keberhasilan dalam peningkatan dan per- baikan sistem. Oleh karena itu buku pedoman ini disusun dan berisi tentang kriteria penetapan kebijakan untuk menjadi referen- si bagi para eksekutif/legeslatif pemerintah kabupaten/kota. Buku pedoman sistem pengelolaan sampah kota ini secara khusus diperuntukan bagi para eksekutif dan legeslatif, sehingga sajiannya meliputi informasi dan kriteria utnuk menetapkan kepu- tusan yang bersifat strategis. Daftar Isi Pendahuluan, Pedoman Sub Sistem Teknik Operasional, Pedoman Sub Sistem Kelembagaan, Pedoman Sub Sistem Pembiayaan, Pedoman Sub Sistem Peraturan Hukum, Aspek Peran Serta Masyarakat, Acuan SNI Daftar Standar Bidang Konstruksi dan Bangunan Sipil Daftar Standar Bidang Pekerjaan Umum (PU) atau Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) ini merupakan akumulasi kegiatan standarisasi yang berkaitan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) oleh Badan Litbang Pekerjaan Umum, 181 182 165 164 Badan Pembinaan Jasa Konstruksi dan Investasi (Bapekin), Direktorat Jenderal di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum dan pihak-pihak terkait, yang isinya meliputi nomor dan ruang lingkup standar - standar, pedoman/petunjuk teknis yang sudah disahkan oleh yang berwenang, yaitu Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan/atau Menteri Pekerjaan Umum.. Buku ini memberikan kemudahan bagi para pengguna dalam mengakses informasi standar, daftar standar ini disiapkan dalam tiga kelompok, yaitu SNI, Pedoman teknis, dan Petunjuk teknis. Kumpulan ruang lingkup ini terdiri atas 764 SNI, 515 Pedoman/Petunjuk Teknis/Manual, dan 93 rancangan standar dan pedoman teknis yang masih dalam proses kodifikasi. Dalam daf- tar ini telah dikoreksi beberapa posisi SNI yang tidak tepat pen- gelompokkannya, termasuk pula sekitar 10 SNI baru dan satu revisi SNI yang disahkan serta satu SNI yang ditarik oleh BSN. Daftar Isi 1. Standar Nasional Indonesia (SNI); 2. Pedoman Teknis; 3. Petunjuk Teknis Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 1 Perencanaan Air Bersih Perdesaan) Pedoman ini dimaksudkan untuk mendapatkan perencanaan yang baik, dalam arti secara teknis dan ekonomis dapat dipertang- gungjawabkan dari seluruh proyek. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran secara lengkap mengenai kondisi lokasi proyek dalam pengukuran jarak sumber, pengukuran ketinggian, pengukuran kapasitas sumber air serta peta lokasi dan pengambilan sample air, membuat gambaran sketsa dan gambar teknis sarana yang akan dibagun dan men- gukur profil melintang dan memanjang lokasi bangunan. Ruang lingkup buku pedoman ini memuat tentang pengertian, persyaratan dan perencanaan sistem penyediaan air minum di perdesaan. Daftar Isi Bab I Uraian I; Bab II Persyaratan; Bab III Tahapan Perencanaan; Bab IV Referensi. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 2 Survey) Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih Dan Sanitasi Proyek WSLIC-2, buku 2: Survey, diharapkan mendapatkan peren- canaan yang baik, dalam arti secara teknis dan ekonomis dapat diper- tanggungjawabkan dari seluruh siklus proyek. Adapun buku pedoman ini bertujuan untuk mendapatkan gam- baran secara lengkap mengenai kondisi lokasi proyek antara lain: pengukuran jarak sumber air ke daerah pelayanan; mengukur ket- inggian; mengukur kapasitas sumber air serta peta lokasi proyek serta pengambilan sampel air; membuat sketsa dan gambar tek- nis sarana yang akan dibangun; mengukur profil melintang dan memanjang lokasi bangunan. Daftar Isi Bab I Deskripsi ; Bab II Umum 183 184 167 166 Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 3 Perhitungan Perpipaan dan Pompa) Pengetahuan mengenai dimensi perpipaan dimaksud agar dalam pelaksanaannya air yang akan ditransmisikan dan didis- tribusikan dapat sesuai dengan yang diharapkan, artinya sistem berjalan dan berfungsi mentransmisikan dan mendistribusikan air sehingga konsumen di titik terjauhpun mendapatkan suplai air. Sebelum ditentukan diameter pipa yang dibutuhkan dan bera- pa panjangnya terlebih dahulu harus diketahui hal-hal sehubung- an dengan kehilangan tenaga, friction loss, hydraulic gradient dan sebagian lainnya yang merupakan bagian pengetahuan dari salu- ran tertutup (closed conduit). Pengetahuan mengenai hidrolika, khususnya hidrolika yang berhubungan dengan aliran air didalam pipa. Dengan memahami hidrolika ini, diharapkan akan lebih mudah untuk menyelesaikan dan memahami persoalan yang mungkin timbul pada aliran dalam pipa. Daftar Isi Bab I Pendahuluan; Bab II Hidrolika; Bab III Penentuan Dimensi Pipa; Bab IV Pengadaan; Bab V Standar Pipa; Bab VI Perhitungan Pompa. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 4 Persyaratan Konstruksi Air Minum) Buku pedoman ini menjelaskan uraian dan syarat mengenai pen- gadaan bahan dan pemasangan/pelaksanaan pekerjaan secara lengkap dan sempurna mengenai perpipaan dan perlengkapannya. Pekerjaan perpipaan transmisi air yang berfungsi untuk membawa air baku/air bersih dari bangunan reservoir sampai ke titik awal jaringan distribusi. Pekerjaan perpipaan distribusi adalah suatu jaringan perpi- paan yang berfungsi mengalirkan air bersih dari unit akhir transmisi (pengolah/reservoir) menuju daerah pelayanan. Sistim jaringan dis- tribusi untuk daerah perdesaan mempergunakan sistim cabang untuk memudahkan didalam perhitungan dan pengoperasian. Daftar Isi Bab I Spesifikasi Teknis Bagian Pekerjaan Pipa Transmisi dan Distribusi; Bab II Spesifikasi Bagian Pekerjaan Sipil dan Bangunan; Bab III Bagian Pekerjaan Penyelesaian (Finishing). Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 5 Spesifikasi Sumur Gali) Maksud dari buku pedoman ini untuk dijadikan pegangan bagi penyelenggara pembangunan sumur gali dalam rangka memenuhi kebutuhan air baku untuk air bersih rumah tangga. Dan tujuan spesifikasi dari pedoman ini untuk memberikan persyaratan teknis sumur gali sebagai sumber air baku untuk air yang terlin- dung dari pencemaran. 185 186 169 168 Spesifikasi ini mencakup pengertian dan ketentuan-ketentuan mengenai bentuk, ukuran, persyaratan kualitas, tipe konstruksi dan kekuatan, penempatan sumur gali. Daftar Isi Bab I Deskripsi ; Bab II Spesifikasi. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 6 Spesifikasi Teknik Sumur Pompa Tangan) Buku pedoman ini diharapkan dapat dijadikan buku pegangan bagi perencana pembuatan sumur pompa tangan dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga. Tujuan spesifikasi teknik buku ini adalah untuk memberikan persyaratan teknis sumur pompa tangan sebagai sumber baku untuk kebutuhan air bersih rumah tangga yang terlindung dari pencemaran. Adapun ruang lingkup spesifikasi teknis ini mencakup pengert- ian, ketentuan-ketentuan mengenai bentuk dan ukuran, per- syaratan kualitas, tipe konstruksi, kekuatan, penempatan. Pengertian sumur pompa tangan adalah sarana penyedia air bersih berupa sumur yang dibuat dengan membor tanah pada kedalaman tertentu sehingga diperoleh air sesuai dengan yang diinginkan. Pengambilan air baku dilakukan dengan menghisap atau menekan air ke permukaan tanah dengan menggunakan pompa tangan. Daftar Isi Bab I Deskripsi ; Bab II Spesifikasi. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 7 Pembuatan Sumur Dangkal) Sumur merupakan sarana untuk memanfaatkan air dibawah permukaan tanah, sumber air tanah ini berasal dari air permukaan misalnya air hujan, air sungai dan lain sebagainya yang meresap ke dalam tanah. Lapisan tanah yang mengandung air disebut lapisan aquifer, untuk mendapatkan debit air yang stabil pembu- atan sumur harus mencapai lapisan ini. Jika lapisan aquifer ini terletak dekat permukaan tanah, pada lokasi rencana pembuatan sumur, maka sumur yang dibuat akan dangkal. Sebaliknya apabila letak aquifer jauh/dalam dari per- mukaan tanah pada lokasi rencana pembuatan sumur, maka sumur yang dibuat akan menjadi dalam. Daftar Isi Bab I Pendahuluan ; Bab II Tujuan; Bab III Langkah Pembuatan Sumur Dangkal. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 8 Sumur Dalam) Sumur dalam termasuk ke dalam tipe IV, yaitu sarana yang sumbernya berasal dari air bawah tanah dan hasilnya bisa diman- faatkan tidak hanya oleh satu dua rumah tangga namun bisa juga dimanfaatkan secara komunal. 187 188 171 170 Dalam manual ini dipaparkan pengetahuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan pembuatan sumur dalam, seperti bagaimana caranya untuk melakukan pengeboran dan apa saja macam-macam caranya. Pedoman ini bertujuan agar personel yang terlibat tahu per- syaratan pembuatan sumur dalam; tata cara pengeboran; metode teknologi pengeboran; mampu melakukan pengeboran dengan berbagai metode; membuat konstruksi sumur dalam; mampu melakukan instalasi sumur dalam dan tercapainya proses pen- ingkatan kapasitas. Daftar Isi Bab I Pendahuluan; Bab II Tujuan; Bab III Langkah Kerja. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 9 Konstruksi Bangunan Air Minum) Buku pedoman ini mempunyai tujuan agar para pelaksana mengetahui konstruksi bangunan penyediaan air minum, mampu membangun konstruksi sistim perpipaan terutama untuk sarana air minum dan tersedianya sarana air minum perdesaan. Daftar Isi Bab I Pendahuluan; Bab II Tujuan; Bab III Langkah Kerja. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 10 Penampung Air Hujan) Penyediaan sarana air bersih dibutuhkan sumber air yang memenuhi syarat. Air hujan merupakan sumber air bersih yang sangat penting disuatu daerah jika sumber-sumber air yang lain seperti air tanah, air permukan, atau pelayanan PDAM didaerah tersebut tidak ada. Untuk memanfaatkan air hujan sebagai sum- ber air bersih dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: memanfaatkan atap sebagai bidang tangkapan kemudian mengumpulkannya pada tangki/bak penampungan, membuat bidang penangkapan secara khusus pada permukaan tanah kemudian mengumpulkannya pada sumur pengumpul. Buku pedoman ini bertujuan agar pada daerah yang sulit men- dapatkan sumber air permukaan maupun air tanah maka air hujan satu-satunya sumber air yang dapat dimanfaatkan. Kondisi daer- ah yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih san- gat bervariasi. Kondisi tersebut menyebabkan pilihan kontruksi penampungan air hujan yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lain. Faktor penyebab kondisi yang beragam antara lain karena: topografi, penyebaran penduduk, curah hujan dan ketersediaan material lokal yang dapat dimanfaatkan pada waktu pembuatan. Manual ini bertujuan agar pelaksana dapat memilih konstruksi penampungan air hujan yang sesuai dengan keadaan lokasi, ketersediaan material lokal, dan kebutuhan penduduk. Daftar Isi Bab I Pendahuluan; Bab II Tujuan; Bab III Langkah Pemilihan Penampungan Air Hujan. 189 190 173 172 Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 11 Instalasi Pengolahan Air Sederhana) Pedoman teknis ini membantu para pelaksana mengetahui instalasi pembangunan pengolahan air sederhana, mampu mem- bangun instalasi untuk sarana air minum dan tersedianya sarana air minum perdesaan yang sederhana. Daftar Isi Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Pengerjaan; Bab IV Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan SKNT-SPL; Bab V Referensi. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 12 Saringan Rumah Tangga/SARUT) Petunjuk praktis ini mencakup pengertian, ketentuan umum dan ketentuan teknis mengenai bahan, peralatan serta cara pem- buatan saringan rumah tangga dengan kapasitas 200 liter. Yang dimaksud dengan saringan rumah tangga (SARUT) adalah sebuah sarana pengolahan air baku menjadi air bersih dengan menggunakan teknologi sederhana. Teknologi sederhana adalah teknologi yang mudah dalam pembuatan, murah dalam pembangunan, serta mudah dan murah dalam pengoperasian serta pemeliharaannya. Daftar Isi Bab I Uraian I; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Pengerjaan; Bab IV Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan; Bab V Referensi. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 13 Pompa Hidran) Petunjuk praktis ini mencakup pengertian, ketentuan umum dan ketentuan teknis mengenai bahan, peralatan serta cara pem- buatan pompa hidraulic ram (pompa hidran). Pengertian pompa hidraulic ram adalah pompa air yang menggunakan tenaga aliran balik air dalam pipa, bila ada penutupan yang mendesak. Daftar Isi Bab I Uraian I; Bab II Persyaratan Umum; Bab III Pemasangan Pompa Hidran. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 14 Jamban Sekolah) Pedoman teknis ini dimaksudkan untuk dijadikan pegangan bagi penyelenggara pembangunan Jamban Sekolah dalam rang- ka memenuhi kebutuhan sarana sanitasi perdesaan, dengan 191 192 175 174 tujuan untuk memberikan persyaratan teknis jamban sekolah yang memenuhi unsur kelayakan dan kesehatan. Tata cara ini mencakup pengertian dan ketentuan-ketentuan mengenai bentuk, ukuran persyaratan kualitas, tipe konstruksi dan kekuatan serta penempatan bangunan Jamban Sekolah. Daftar Isi Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan Teknis; Bab III Cara Pengerjaan. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 15 Pembuatan Cubluk) Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegan- gan dalam merencanakan struktur bangunan cubluk, dalam menunjang perlindungan kesehatan masyarakat, serta mem- berikan ukuran dan batasan dalam rangka memudahkan peren- canaan bangunan cubluk guna mensukseskan program penye- hatan lingkungan permukiman. Tata cara ini meliputi pengertian, persyaratan yang harus dipenuhi dan ketentuan-ketentuan membuat bagian cubluk yang meliputi tutup, galian, dinding, saluran penghubung dan bak kon- trol cubluk. Daftar Isi Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan Teknis; Bab III Cara Pengerjaan; Bab IV Volume Pekerjaan. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 16 Pembuatan Tangki Septik) Petunjuk praktis pembangunan tangki septik ini sebagai acuan dan pegangan bagi pelaksana dan masyarakat dalam meren- canakan struktur bangunan tangki septik. Serta memberikan uku- ran batasan perencanaan untuk menentukan kebutuhan minimum fasilitas tangki septik di kawasan permukiman. Petunjuk praktis pembangunan septik ini meliputi pengertian, persyaratan teknis tangki septik yang berlaku bagi pembuangan air limbah rumah tangga untuk daerah air tanah rendah dan pemakai tidak lebih dari 25 orang. Daftar Isi Bab I Uraian; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Pengerjaan; Bab IV Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 17 Jamban Keluarga) Pedoman teknis ini dimaksudkan untuk dijadikan pegangan bagi penyelenggara pembangunan Jamban Keluarga dalam rang- ka memenuhi kebutuhan sarana sanitasi perdesaan serta mem- berikan persyaratan teknis Jamban Keluarga yang memenuhi unsur kelayakan dan kesehatan. Tata cara ini mencakup pengertian dan ketentuan-ketentuan 193 194 177 176 mengenai bentuk, ukuran persyaratan kualitas, tipe konstruksi dan kekuatan serta penempatan bangunan Jamban Keluarga. Daftar Isi Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan Teknis; Bab III Cara Pengerjaan. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 18 Bangunan Atas Jamban) Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi penyelenggara pembangunan jamban dalam rangka memenuhi kebutuhan sarana sanitasi perdesaan, serta untuk memperoleh hasil pembangunan Bangunan Atas dan Bangunan Tengah Jamban yang maksimal dan dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan teknik perencanaan dengan mempertim- bangkan faktor-faktor yang berpengaruh. Tata cara ini mencakup Bangunan Atas Jamban : tidak terma- suk Bangunan Bawah Jamban. Daftar Isi Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan Teknis; Bab III Tata Cara Pembuatan Bangunan Atas Jamban. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 19 Pembuatan Sarana Pembuangan Air Limbah) Pedoman teknis ini dimaksudkan untuk dijadikan pegangan bagi perencanaan dan penyelenggara pembangunan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) untuk perlindungan kesehatan masyarakat, serta untuk memberikan persyaratan teknis SPAL sebagai sarana pengumpulan air buangan agar tidak mengotori lingkungan permukiman. Tata cara ini mencakup pengertian dan ketentuan mengenai bentuk, ukuran, persyaratan kualitas, tipe konstruksi, kekuatan, penempatan SPAL, cara pembuatan dan gambar-gambar. Daftar Isi Bab I Deskripsi; Bab II Cara Pembuatan. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 20 Pengelolaan Sampah Perdesaan) Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegangan bagi masyarakat dan aparat desa dalam menentukan pengelolaan sampah di perdesaan. Tata cara ini memuat pengertian, persyaratan-persyaratan dan cara penanganan sampah di perdesaan. 195 196 179 178 Daftar Isi Bab I Uraian; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Penanganan Sampah. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 21 Kompos Skala Kelompok) Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegan- gan bagi masyarakat dan aparat desa dalam proses pembuatan sampah organik menjadi kompos. Serta untuk memperoleh/men- dapatkan kompos yang memenuhi persyaratan. Ruang lingkup pengaturan dalam petunjuk teknis pembuatan kompos ini mencakup ketentuan umum dan ketentuan teknis pembuatan kompos termasuk cara pengerjaannya, antara lain meliputi : persyaratan bahan baku sampah, bangunan termasuk peralatan, kapasitas pengomposan, tahapan proses pengom- posan, dan kualitas kompos. Daftar Isi Bab I Uraian; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Pembuatan; Bab IV Pemeliharaan. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 22 Kompos Skala Rumah Tangga) Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegangan bagi masyarakat perdesaan dalam perencanaan struktur bangu- nan komposter. Serta memberikan ukuran dan batasan pada ban- gunan komposter sehingga mengoperasikan/membuat sampah organik menjadi kompos. Spesifikasi ini mencakup pengertian tek- nis mengenai bentuk, ukuran, bahan, fungsi dan kinerja dari kom- poster rumah tangga untuk melayani mekanisme 5 (lima) orang. Daftar Isi Bab I Uraian; Bab II Persyaratan; Bab III Pembuatan Kompos. Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 23 Gambar Skema Sistem Air Bersih) Pedoman teknis ini hanya berisikan gambar-gambar skema dari sistem air bersih, diantaranya : - Sistem Perpipaan Gravitasi (Mata Air - Kran Umum); - Sistem Perpipaan Gravitasi (Air Permukaan); - Sistem Perpipaan Gravitasi Dengan Pemompaan Ke Atas (Mata Air - Kran Umum); - Sistem Perpipaan Gravitasi (Sumur Bor - Tanah Dalam); - Sumur Gali Dengan Pompa Listrik; - Sistem Penampungan Air Hujan (SPAH). 197 198 181 180 Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Proyek WSLIC-2 (Buku 24 Operasi dan Pemeliharaan) Pedoman teknis ini bertujuan untuk memberikan acuan dan pegangan dalam pengoperasian dan pemeliharaan sistim penye- diaan air bersih dan sanitasi di lapangan sehingga sarana yang terbangun dapat terpelihara. Tata cara yang dipilih sedapat mungkin dapat diterapkan oleh masyarakat setempat namun memenuhi persyaratan teknis, kese- hatan dan dampak lingkungan, layak ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, budaya, serta mempertimbangkan kemudahan dalam pengembangan teknologi pelaksanaannya. Daftar Isi Bab I Pendahuluan; Bab II Tujuan; Bab III Rencana Pengoperasian dan Pemeliharaan; Bab IV Operasi dan Pemeliharaan Sistim Sarana Air Bersih; Bab V Pemeriksaan Atas Mesin-mesin; Bab VI Operasi dan Pemeliharaan Sistim Sarana Sanitasi. Konsep Pedoman Penyusunan Standard Pelayanan Bidang Air Minum Di Indonesia, dengan berlakunya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka penyelenggaraan pelayanan prasarana dan sarana permukiman, termasuk diantaranya sarana dan prasarana penyediaan air minum telah menjadi tanggung jawab pemerintah di daerah tingkat II (Kota maupun Kabupaten). Untuk menjamin penyelenggaraan penyedi- aan air minum yang memenuhi syarat kwalitas, kuantitas dan kon- tinuitas, maka diperlukan suatu standard pelayanan yang dapat digunakan sebagai patokan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada pelaksanaan tugasnya dibidang air minum. Komponen materi standard pelayanan bidang air minum men- cakup 3 bagian utama, yaitu yang berhubungan dengan bidang pemrograman, pelaksanaan oleh operator, dan pemanfaatan oleh masyarakat. Ketiga bidang tersebut pada dasarnya mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Dalam pembahasan ketiga materi standard ini dibagi dalam empat klasifikasi tipikal perkotaan, yaitu kota kecil, sedang, besar dan kota metropolitan. Daftar Isi - Standard Pelayanan Bidang Air Minum; - Asumsi-asumsi Yang Dipergunakan; - Penjelasan Materi Standard. Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Drainase (Buku-1) Sasaran dari adanya pedoman ini yaitu agar setiap Kabupaten/Kota memiliki Rencana Induk Sarana dan Prasarana bidang Drainase yang Sistematis, Terarah, Terpadu dan Tanggap terhadap kebutuhan sesuai karakteristik lingkungan dan sosial ekonomi daerah, serta tanggap terhadap kebutuhan stakeholder proyek (Pemerintah, Investor dan masyarakat). Sedangkan tujuannya adalah tersedianya materi yang dapat 199 200 183 182 dijadikan "Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Drainase yang akan memudahkan perencana baik di Pusat maupun Daerah". Sehingga setiap Kabupaten memiliki Rencana Induk Drainase yang memiliki kualitas perencanaan yang memenuhi standard nasional. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan, Bab II. Maksud, Tujuan, dan Sasaran, Bab III. Acuan Normatif, Bab IV. Ketentuan Rencana Induk. Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Persampahan (Buku-1) Maksud dari buku pedoman ini adalah memberi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun Rencana Induk Sarana dan Prasarana Bidang Persampahan, agar proses dan produk perencanaan yang dihasilkan menjadi: efektif, efisien, ter- padu dan berwawasan lingkungan. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab III. Acuan Normatif; Bab IV. Ketentuan Rencana Induk. Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Persampahan (Buku-2) Dokumen studi kelayakan bidang Persampahan, merupakan suatu dokumen kelayakan ekonomi, keuangan dan lingkungan dan program-program pengembangan sarana dan prasarana Persampahan yang terdapat dalam suatu rencana induk. Sasaran dari adanya pedoman ini adalah agar sarana dan prasarana Persampahan yang direncanakan layak secara ekono- mi, keuangan, lingkungan dan kelembagaan sehingga dapat berfungsi secara berkelanjutan dan bermanfaat optimal. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab III. Acuan Normatif; Bab IV. Ketentuan Perencanaan Studi Kelayakan Ekonomi dan Finansial. Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Air Limbah (Buku-1) Rencana Induk atau Master Plan Bidang Air Limbah meru- pakan suatu dokumen perencanaan dasar yang menyeluruh mengenai pengembangan sarana dan prasarana Air Limbah untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Dengan demikian gambaran arah pengembangan, strategi pengembangan dan prioritas-prioritas pengembangan sarana dan prasarana air limbah 20 tahun ke depan masing-masing Kabupaten/Kota terformulasikan melalui perencanaan tersebut. Buku ini dimaksudkan untuk memberi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun Rencana Induk Sarana dan Prasarana Bidang Air Limbah, agar proses dan produk perencanaan yang dihasilkan menjadi: efektif, efisien, terpadu dan berwawasan lingkungan. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab III. Acuan Normatif; Bab IV. Ketentuan Rencana Induk. 201 202 185 184 Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Air Limbah (Buku-2) Buku pedoman ini dimaksudkan untuk memberi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun studi kelayakan bidang pengembangan sarana dan prasarana Air Llimbah, agar keputusan investasi dan operasi didasari pada dokumen kelayakan yang akurat. Tujuan pedoman penyusunan studi kelayakan Air Limbah adalah agar setiap Kabupaten/Kota memiliki dokumen studi kelayakan proyek yang lengkap dan memadai sebagai acuan standar dalam pengambilan keputusan investasi dan operasi pengembangan sarana dan prasarana Air Limbah. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab III. Acuan Normatif; Bab IV. Ketentuan Perencanaan Studi Kelayakan Ekonomi dan Finansial; Bab V. Ketentuan Perencanaan Studi Kelayakan Lingkungan. Pedoman Umum Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi untuk Penyediaan Prasarana Air Bersih Tahun Anggaran 2002 Dalam rangka mengurangi beban masyarakat berpenghasilan rendah akibat kenaikan harga BBM, Pemerintah telah menga- lokasikan sejumlah dana kompensasi dalam bentuk Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi untuk Penyediaan Prasaran Air Bersih (Program SE-AB) Program ini ditujukan bagi masyarakat miskin di daerah kumuh perkotaan yang belum terlayani oleh PDAM dan menempati dae- rah yang rawan air bersih. Daftar Isi Bab I. Umum; Bab II. Pendekatan, Prinsip dan Pola Pengelolaan; Bab III. Mekanisme Pengelolaan Program; Bab IV. Pendanaan; Bab V. Sistem Informasi, Pelaporan dan Pengaduan; Bab VI. Penutup. SNI-Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan Tata cara ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi perencana dan pelaksana yang bergerak di dalam pengelolaan sampah perkotaan. Standar ini merupakan kaji ulang serta revisi dari SNI 19-2454- 1991 mengenai tata cara pengelolaan teknik sampah perkotaan mulai dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangku- tan, pengolahan persampahan disertai dengan kegiatan pemila- han pendekatan konsep 3M sejak dari sumbernya, di peminda- han, sampai di buangan akhir sampah. Tata cara ini bertujuan untuk memberikan dasar-dasar dalam perencanaan pengelolaan teknik operasional sampah perkotaan. Daftar Isi I. Ruang Lingkup; II. Acuan; III. Istilah dan Definisi; IV. Persyaratan Teknis Pengelolaan Sampah Kota; V. Teknik Operasional. 203 204 187 186 SNI-Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah ini dimaksudkan untuk dijadikan pegangan dan acuan bagi perencana dalam memilih lokasi tempat pembuangan akhir sampah di suatu wilayah. Tujuan tata cara ini adalah untuk menentukan lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Tata cara ini memuat persyaratan, ketentuan teknis dan cara pengerjaan di dalam memilih dan menentukan lokasi tempat pem- buangan akhir sampah. Daftar Isi I. Deskripsi; II. Persyaratan; III. Ketentuan-ketentuan; IV. Cara Pengerjaan. Petunjuk Teknis Pedoman Pelaksanaan Survei Rumah Tangga Penyediaan Air Minum Ketersediaan air minum merupakan dambaan utama di setiap rumah tangga. Harapan dan keinginan utama tersebut belum tentu dapat dinikmati oleh semua rumah tangga, hal in bisa dise- babkan karena masalah geografis yang tidak mendukung sehing- ga kemudahan memperoleh air minum menjadi sulit. Hal lain dise- babkan karena tidak tersedianya fasilitas untuk memperoleh air minum atau sumber daya buatan yang belum dieksplorasi karena minimnya SDM yang ada. Selain itu, pada golongan masyarakat ekonomi lemah memang kurang perhatian terhadap konsumsi air minum, karena rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu pedoman ini bertujuan untuk menyatukan persepsi yang sama terhadap peran dan tanggung jawab para petugas pelaksana kegiatan yang terkait dalam pelaksanaan survei air minum di rumah tangga, memperoleh informasi dan memetakan daerah-daerah rawan air minum, serta menghasilkan indikator MDG's pada tingkat Kabupaten/Kota terpilih. Daftar Isi I. Pendahuluan; II. Metodologi; III. Organisasi Pengumpulan Data Survei Rumah Tangga Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Proyek (CWSH Project NAD-NIAS/SUMUT) Buku petunjuk Pelaksanaan Manajemen Proyek ini diharapkan dapat menjadi acuan yang memberi arahan bagi seluruh pelak- sana proyek di semua tingkatan dan berbagai pihak terkait agar bertindak secara sistematis dalam mencapai tujuan dan sasaran proyek dengan tepat, efektif dan efisien. Proyek CWSH-NAD-Nias bertujuan untuk meningkatkan de- rajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah di perdesaan dan pinggiran perkotaan dengan pendekatan berbasis masyarakat, melalui: penyediaan air minum yang lebih berkualitas, penyediaan sarana sanitasi yang lebih memadai, per- baikan perilaku hidup bersih dan sehat, serta pencegahan penyakit yang menular melalui air dan berkaitan dengan air. 205 206 189 188 Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Tujuan, Komponen Proyek dan Lokasi Proyek; Bab III. Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi; Bab IV. Perencanaan Proyek; Bab V. Pendanaan; Bab VI. Pelaksanaan; Bab VII. Monitoring dan Evaluasi; Bab VIII. Pengendalian. Petunjuk Teknis Operasional Tingkat Desa (CWSH Project NAD-NIAS/SUMUT) Proyek CWSH NAD-Nias/Sumut bertujuan untuk mening- katkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat berpeng- hasilan rendah di perdesaan dan pinggiran perkotaan dengan pendekatan berbasis masyarakat melalui penyediaan air minum yang lebih berkualitas, penyediaan sarana sanitasi yang lebih memadai dan perbaikan hidup bersih dan sehat. Sebagai bagian dari prasyarat pelaksanaan proyek, maka disusun- lah Buku Petunjuk Operasional Tingkat Desa Proyek CWSH NAD- Nias. Buku petunjuk ini diharapkan dapat menjadi acuan yang mem- beri arahan bagi seluruh pelaksana proyek di tingkat desa dan berba- gai pihak terkait agar bertindak secara sistematis dalam mencapai tujuan dan sasaran proyek dengan tepat, efektif dan efisien. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Proses Pemilihan Desa; Bab III. Struktur Organisasi dan Tim Kerja Masyarakat; Bab IV. Pilihan Komponen Kegiatan; Bab V. Rencana Kerja Masyarakat; Bab VI. Pelaksanaan Tingkat Desa; Bab VII. Operasional dan Pemeliharaan; Bab VIII. Monitoring dan Evaluasi. Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Drainase (Buku-2) Dokumen studi kelayakan bidang Drainase, merupakan suatu dokumen kelayakan ekonomi dan lingkungan dari program-pro- gram pengembangan sarana dan prasarana Drainase yang terda- pat dalam suatu rencana induk. Tujuan pedoman penyusunan studi kelayakan Drainase adalah agar setiap Kabupaten/Kota memiliki dokumen studi kelayakan proyek yang lengkap dan memadai sebagai acuan standar dalam pengambilan keputusan investasi dan operasi pengembangan sarana dan prasarana Drainase. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab III. Acuan Normatis; Bab IV. Ketentuan Perencanaan Studi Kelayakan Lingkungan. Pedoman Tugas dan Tanggung Jawab Tim Teknis Propinsi dan Kabupaten Proyek WSLIC-2 Pedoman teknis ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu: Pedoman Tugas dan Tanggung Jawab Tim Teknis Propinsi dan Kabupaten Proyek WSLIC-2 bagi Petugas Puskesmas: Pedoman ini menjelaskan susunan Tim Teknis Propinsi dan Tim Teknis Kabupaten berikut Tugas/Tanggung Jawabnya. 191 190 Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Program Kesehatan Masyarakat pada Daerah Pasca Konstruksi Proyek WSLIC-2: Maksud dari pedoman ini adalah untuk pegangan dan acuan bagi petugas Puskesmas dalam meningkatkan derajat kese- hatan masyarakat di daerah pasca konstruksi Proyek WSLIC- 2 melalui pendekatan KLINIK SANITASI yang merupakan upaya keterpaduan kegiatan lintas program dan sektor dalam program pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Kegiatan; Bab III. Unit Pelak- sanaan; Bab IV. Pendanaan; Bab V. Jadwal Kegiatan; Bab VI. Penutup. Pedoman Indeks Lingkungan dan Perilaku Sehat Pedoman ini sebagai panduan penerapan Indeks LPS di desa pasca konstruksi Proyek Penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah 2/PAMPL-MPR 2 (Water and Sanitation for Low Income Communities 2/WSLIC 2). Indeks LPS merupakan angka yang menggambarkan tingkat perilaku dan tingkat keadaan lingkungan keluarga. Petunjuk Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Proyek Air Bersih (Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/KPTS/1997) Petunjuk Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Proyek Air Bersih ini merupakan penjabaran dari Pedoman Umum Penyusunan AMDAL yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan merupakan bagian dari Pedoman Teknis AMDAL Proyek Bidang Pekerjaan Umum. Maksud dan tujuan Petunjuk Teknis Penyusunan AMDAL Proyek Air Bersih ini adalah untuk memberikan petunjuk yang lebih rinci dalam penyusunan dokumen AMDAL serta untuk mem- berikan arahan kepada pemrakarsa, konsultan dan penilai AMDAL dalam menyusun dan menilai dokumen AMDAL Proyek Air Bersih agar lebih efektif sesuai dengan sasaran. Daftar Isi I. Pendahuluan; II. Pemerian Rencana Kegiatan Proyek dan Rona Lingkungan; III. Dampak Kegiatan Proyek Terhadap Lingkungan dan Upaya Penanganannya; IV. Penyusunan Dokumen AMDAL; V. Penutup. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007 (Petunjuk Teknis Sub Bidang Irigasi) Petunjuk Teknis Sub Bidang Irigasi Bantuan Dana Alokasi Khusu sebagai lampiran Peraturan Menteri PU tentang Petunjuk 193 192 Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007, dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, pada Pasal 59 ayat (1) menyatakan bahwa Menteri Teknis Menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus, serta Permenkeu No. 128/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan DAK Tahun Anggaran 2007. Peraturan Menteri PU beserta lampirannya tersebut dapat digunakan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan DAK. Agar pelaksanaan penangan infrastruktur bidang irigasi dapat menghasilkan kualitas sesuai umur rencana yang diharapkan perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan petunjuk teknis sesuai bidang masing-masing, untuk itu maka petunjuk teknis bidang Irigasi ini disusun. Daftar Isi I. Pendahuluan; II. Petunjuk Teknis Pemeliharaan Jaringan Irigasi; III. Petunjuk Teknis Rehabilitasi Jaringan Irigasi. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007 (Petunjuk Teknis Sub Bidang Jalan) Petunjuk Teknis Sub Bidang Jalan Bantuan Dana Alokasi Khusus sebagai lampiran Peraturan Menteri PU tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007, dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, pada Pasal 59 ayat (1) menyatakan bahwa Menteri Teknis Menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus, serta Permenkeu No. 128/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan DAK Tahun Anggaran 2007. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan serta PP No. 34 Tahun 2006 tentan Jalan, digunakan sebagai acuan dari aspek hukum dalam kaitan pembagian wewenang antara Pemerintah (Pusat) dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal Penyelenggaraan Jalan. Daftar Isi I. Pendahuluan; II. Perencanaan dan Pemrograman; III. Perencanaan Teknik dan Pelaksanaan Konstruksi; IV. Pelaporan, Evaluasi dan Penilaian Kinerja. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007 (Petunjuk Teknis Sub Bidang Air Bersih) Petunjuk teknis ini dimaksudkan untuk memberikan acuan kepada para pelaksana dan pihak terkait lainnya dalam penyelenggaraan perencanaan prasarana air bersih sederhana. Petunjuk teknis ini juga bertujuan untuk menjamin kesesuaian, ketertiban dan ketetapan dalam pembangunan prasarana air minum sederhana sehingga prasarana yang dibangun dapat dimanfaatkan secara andal dan berkelanjutan. Dalam melakukan pemilihan kegiatan DAK sub bidang air minum, terlebih dahulu melakukan review atau kajian terhadap sis- tem eksisting atau sistem yang sudah ada. Petunjuk teknis ini menje- laskan kriteria, perhitungan, data dan tahapan yang diperlukan dalam perencanaan prasarana air minum sederhana, meliputi pembangunan baru, rehabilitasi dan optimalisasi. Pembangunan infrastruktur baru 195 194 meliputi perencanaan bangunan pengambilan air baku, unit pengola- han, perpipaan, perpompaan dan unit pemanfaatan sesuai lingkup program. Daftar Isi I. Pendahuluan; II. Perencanaan dan Pemrograman; III. Perencanaan Teknik dan Pelaksanaan Konstruksi; IV. Pelaporan, Evaluasi dan Penilaian Kinerja. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007 (Petunjuk Teknis Sub Bidang Sanitasi) Petunjuk Teknis Sub Bidang Sanitasi sebagai lampiran Peraturan Menteri PU tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007, dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, pada Pasal 59 ayat (1) menyatakan bahwa Menteri Teknis Menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus, serta Permenkeu No. 128/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan DAK Tahun Anggaran 2007. Maksud dari penyusunan Petunjuk Teknis ini adalah sebagai acuan dan pegangan bagi masyarakat dalam menyelenggarakan prasarana-prasarana sanitasi sederhana yang dialokasikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) mulai dari tahap peren- canaan, pelaksanaan konstruksi, hingga tahap pengelolaan (operasi dan pemeliharaan), dalam rangka meningkatkan kondisi sanitasi lingkungan permukiman kumuh perkotaan dan permuki- man nelayan yang dapat dikelola oleh masyarakat itu sendiri. Daftar Isi I. Pendahuluan; II. Perencanaan dan Pemrograman; III. Perencanaan Teknik dan Pelaksanaan Konstruksi; IV. Pelaporan dan Evaluasi. Petujuk Teknis Pembangunan Perumahan Di Atas Air Buku ini merupakan bagian dari ketentuan mengenai peren- canaan perumahan di atas air yang akan dibakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Buku ini disusun dengan maksud terciptanya lingkungan perumahan dan permukiman di atas air yang memenuhi kesehatan, kenyamanan, ketertiban dan berwawasan lingkungan. Buku ini disusun dengan ruang lingkup sebagai berikut: Maksud, tujuan, manfaat dan sasaran baik untuk pemakai maupun untuk wilayah dimana standar-standar dalam buku ini akan atau harus diterapkan. Penjelasan beberapa istilah dan pengertian baik yang lang- sung maupun tidak langsung digunakan dalam buku ini tetapi berkaitan dengan perencanaan perumahan di atas air. Dalam buku ini juga tercantum besaran-besaran standar perencanaan prasarana permukiman, yaitu jalan, air bersih, air limbah, persampahan dan listrik. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Ketentuan Umum; Bab III. Persyaratan Teknis. 197 196 Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi Pedoman ini merupakan salah satu upaya Pemerintah dalam bidang kesehatan untuk menstandarisasi pelayanan kesehatan dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi yang meliputi pelayanan kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, gizi dan pa- ngan, lingkungan serta hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar kesehatan. Dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi diperlukan standar-standar yang dapat dipakai sebagai pegangan atau patokan ukuran untuk merencanakan, memberi bantuan dan untuk mengevaluasi. Dibuatnya standar minimal ini untuk pegangan dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh LSM serta swasta lainnya. Ruang lingkup buku ini yaitu membahas tentang standar mini- mal yang meliputi pelayanan kesehatan, pencegahan dan pem- berantasan penyakit menular, gizi dan pangan, lingkungan serta papan dan sandang. Daftar Isi Bab I. Pendahuluan; Bab II. Tujuan dan Sasaran; Bab III. Kebijakan; Bab IV. Standar Minimal; Bab V. Pemantauan dan Evaluasi; Bab VI. Penutup. Catatan 199 198