You are on page 1of 109

KATA PENGANTAR

Dalam mengimplementasikan kebijakan air minum dan penyehatan


lingkungan berbasis masyarakat yang telah berhasil disusun oleh pemerin-
tah, para pelaku di sektor air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL)
seringkali bersinggungan dengan masalah hukum dan peraturan perundang-
an-undangan yang terkait dengan masalah pembangunan AMPL. Peraturan
perundangan tersebut seringkali berubah seiring dengan perubahan sosial-
politik kemasyarakatan dan perubahan standard pelayanan umum.
Kondisi tersebut mengharuskan para pelaku di bidang air minum dan
penyehatan lingkungan untuk selalu up to date terhadap peraturan perun-
dang-undangan. Ketersediaan media informasi yang praktis dan padat san-
gat dibutuhkan oleh para pelaku tersebut. Kebutuhan tersebut mendorong
Kami untuk menerbitkan buku "Kumpulan Regulasi Terkait AMPL." Buku
ini antara lain berisikan regulasi yang terkait langsung maupun tidak lang-
sung, mulai dari bentuk UU, Perpu, PP, Keppres, Perpres, Kepmen, Permen,
dan Perda.
Buku ini hanya menjelaskan secara garis besar dari masing-masing per-
aturan perundang-undangan yang dihimpun. Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan para pembaca dalam memahami isi peraturan perundang-
undangan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan AMPL.
Dengan hadirnya buku ini, diharapkan bahan referensi bagi para pelaku
bidang AMPL menjadi semakin lengkap.
Jakarta, 13 November 2007
Direktur Permukiman dan Perumahan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Sebagai Ketua Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Basah Hernowo
DAFTAR ISI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah ... 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Alam Hayati dan Ekosistemnya ...2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman . 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan ... 5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup . 6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan ........... 8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara ....... 10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara... 12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air . 14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 16
ii i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Pemerintah Daerah ....... 17
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005 - 2025 ... 19
PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan ....................................... 20
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air ....... 21
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1990
tentang Perusahaan Umum (Perum) "Otorita Jatiluhur" 23
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991
tentang Sungai ...... 24
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun ... 26
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ... 28
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara .... 29
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun .... 31
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan .. 33
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah 35
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001
tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan
dan/atau Lahan ......... 36
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun .......... 38
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air ............. 40
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2002
tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif .............. 41
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2002
tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Republik
Indonesia dalam Modal Perum Jasa Tirta I ................................. 43
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005
tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum ..... 44
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum . 46
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2005
tentang Pinjaman Daerah ................. 48
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan ..... 49
iv iii
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2005
tentang Hibah kepada Daerah .............. 50
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal ....... 51
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2006
tentang Desa ......... 53
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005
tentang Kelurahan ... 55
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
.............
..... 56
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang
Irigasi . 58
PERATURAN PRESIDEN
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004 - 2009
... 61
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
.61
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan
Pemeliharaan Kelestarian Daerah Sungai
...
64
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
. 65
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2001 tentang
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air
. 66
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2002 tentang
Perubahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun
2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air
. 67
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2003 tentang
Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Nasional ....... 69
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
... 70
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi
.. 71
PERATURAN MENTERI
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
45/PRT/1990 tentang Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air
................................................................... 73
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
48/PRT/1990 tentang Pengelolaan atas Air dan/atau Sumber Air pada
Wilayah Sungai ............................... 74
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
49/PRT/1990 tentang Tata Cara dan Persyaratan Izin Penggunaan Air
vi v
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Per-
usahaan Daerah adalah semua perusahaan yang didirikan ber-
dasarkan Undang-Undang ini yang seluruh atau sebagian modal-
nya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika
ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang.
Perusahaan Daerah adalah suatu kesatuan produksi yang
bersifat memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum
dan memupuk pendapatan. Perusahaan Daerah dipimpin oleh
suatu Direksi yang jumlah anggota dan susunannya ditetapkan
dalam peraturan pendiriannya. Direksi berada dibawah peng-
awasan Kepala Daerah/pemegang saham/saham prioritas atau
badan yang ditunjuknya.
Untuk tiap tahun buku oleh Direksi dikirimkan perhitungan ta-
hunannya terdiri dari neraca dan perhitungan laba-rugi kepada
Kepala Daerah/pemegang saham/saham prioritet menurut cara
dan waktu yang ditentukan dalam peraturan pendirian
Perusahaan Daerah.
Dalam hal likuiditas, Daerah bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita oleh pihak ketiga apabila kerugian itu disebabkan
oleh karena neraca dan perhitungan laba rugi yang telah disahkan
tidak menggambarkan keadaan perusahaan yang sebenarnya.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sifat, Tujuan dan Lapangan
Usaha; Bab III Modal; Bab IV Saham-saham; Bab V Penguasaan
dan Cara Mengurus; Bab VI Rapat Pemegang Saham; Bab VII
Pengawasan; Bab VIII Tanggung Jawab dan Tuntutan Ganti Rugi
Pegawai; Bab IX Tahun Buku; Bab X Anggaran Perusahaan; Bab
XI Laporan Perhitungan Hasil Usaha Berkala dan Kegiatan
Perusahaan; Bab XII Laporan Perhitungan Tahunan; Bab XIII
Penetapan dan Penggunaan Laba Serta Pemberian Jasa
Produksi; Bab XIV Kepegawaian; Bab XV Kontrol; Bab XVI
Penyerahan Kepada Daerah dan Pemindahan ke Tangan
Perkumpulan Koperasi; Bab XVII Pembubaran; Bab XVIII
Peralihan; Bab XIX Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertu-
juan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam
hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia. Hal ini merupakan tanggung jawab dan
kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam
dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk memper-
KUMPULAN REGULASI
2 1
tahankan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati
beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan
pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk selama
waktu tertentu.
Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna,
diantaranya melalui pendidikan dan penyuluhan. Dalam rangka
pelaksanaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang terse-
but kepada Pemerintah Daerah.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perlindungan Sistem Penyang-
ga Kehidupan; Bab III Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tum-
buhan dan Satwa Beserta Ekosistemnya; Bab IV Kawasan Suaka
Alam; Bab V Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; Bab VI Pe-
manfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Eko-
sistemnya; Bab VII Kawasan Pelestarian Alam; Bab VIII Pemanfa-
atan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar; Bab IX Peran Serta Rakyat;
Bab X Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan; Bab XI
Penyidikan; Bab XII Ketentuan Pidana; Bab XIII Ketentuan
Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Per-
aturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1962 tentang Pokok-pokok Perumahan menjadi Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1964 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan, sehingga perlu diatur kembali ketentuan menge-
nai perumahan dan permukiman dalam Undang-Undang yang ba-
ru.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar ma-
nusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pem-
bentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta
dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan
dan penghidupan masyarakat. Untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilikan, setiap
pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang
dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada
asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan,
kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian
lingkungan hidup. Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk
menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman.
Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pem-
bangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana
secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang berta-
hap. Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha
di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan
siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang
sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta, baik dilakukan
secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama dalam
pembangunan perumahan dan permukiman. Pemerintah dapat
menyerahkan sebagian urusan di bidang perumahan dan per-
mukiman kepada Pemerintah Daerah.
Setiap orang atau badan yang dengan sengaja melanggar
4 3
04
ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang dikenakan
sanksi pidana. Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan pidana tidak dipenuhi oleh suatu badan usaha di bidang
pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha
badan tersebut dicabut.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Tujuan; Bab III
Perumahan; Bab IV Permukiman; Bab V Peran Serta Masyarakat;
Bab VI Pembinaan; Bab VII Ketentuan Pidana; Bab VIII Ketentuan
Lain-lain; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan
Dalam undang-undang ini diatur tentang asas dan tujuan yang
menjadi landasan dan memberi arah pembangunan kesehatan
yang dilaksanakan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang
sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal
tanpa membedakan status sosialnya.
Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat
kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta di dalam
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.
Tugas dan tanggung jawab Pemerintah pada dasarnya adalah
mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan serta menggerakkan peran serta masyarakat.
Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kese-
hatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemu-
lihan kesehatan.
Sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraan
upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung
jawab sosialnya, dengan pengertian bahwa sarana pelayanan ke-
sehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat yang
kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan.
Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk berperan serta
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber daya-
nya. Peran serta masyarakat untuk memberikan pertimbangan da-
lam ikut menentukan kebijaksanaan pemerintah pada penyeleng-
garaan kesehatan dapat dilakukan melalui Badan Pertimbangan
Kesehatan Nasional, yang beranggotakan tokoh masyarakat dan
pakar lainnya.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Azas dan Tujuan; Bab III Hak
dan Kewajiban; Bab IV Tugas dan Tanggung Jawab; Bab V Upaya
Kesehatan; Bab VI Sumber Daya Kesehatan; Bab VII Peran Serta
Masyarakat; Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan; Bab IX
Penyidikan; Bab X Ketentuan Pidana; Bab XI Ketentuan
Peralihan; Bab XII Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup karena Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 dianggap sudah tidak sesuai lagi.
Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu
6 5
05
oleh instansi Pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tang-
gungjawab masing-masing, masyarakat serta pelaku pemba-
ngunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan
dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksa-
nakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoor-
dinasi oleh Menteri. Pemerintah berdasarkan peraturan perun-
dang-undangan dapat melimpahkan wewenang tertentu penge-
lolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah dan meng-
ikutsertakan peran Pemda untuk membantu Pemerintah Pusat
dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib me-
lakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan yang
dapat diserahkan pengelolaannya kepada pihak lain. Hal ini diatur
lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Am-
dal untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang diberikan oleh pejabat berwenang. Dalam menerbitkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib memperhatikan renca-
na tata ruang, pendapat masyarakat, pertimbangan dan rekomen-
dasi pejabat yang berwenang. Keputusan izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan wajib diumumkan.
Dalam hal pengawasan dilakukan oleh Menteri. Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang (Kepala Daerah menetap-
kan pejabat yang berwenang) untuk melakukan pengawasan. Pe-
ngendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan
dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh Pe-
merintah.
Jika terjadi pelanggaran dapat dijatuhi sanksi berupa pencabut-
an izin usaha dan/atau kegiatan. Kepala Daerah dapat menga-
jukan usul untuk mencabut izin tersebut kepada pejabat yang
berwenang.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh me-
lalui 2 cara, yaitu :
1. Melalui pengadilan
2. Di luar pengadilan : diselenggarakan untuk mencapai kesepa-
katan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan ter-
jadinya/terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas, Tujuan, dan Sasaran; Bab
III Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat; Bab IV Wewenang
Pengelolaan Lingkungan Hidup; Bab V Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup; Bab VI Persyaratan Penataan Lingkungan
Hidup; Bab VII Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup; Bab
VIII Penyidikan; Bab IX Ketentuan Pidana; Bab X Ketentuan
Peralihan; Bab XI Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
Karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan
dan pengurusan hutan dan tuntutan perkembangan keadaan
maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kehutanan perlu diganti.
Dalam undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pe-
nyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat lestari, kerak-
8 7
07
yatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk ke-
kayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran
rakyat. Pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan
perencanaan kehutanan; pengelolaan hutan; penelitian dan pe-
ngembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan ke-
hutanan, dan pengawasan.
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap
BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia yang memperoleh izin usa-
ha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan ko-
perasi masyarakat setempat.
Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan SDM ber-
kualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan tek-
nologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembang-
an, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang ber-
kesinambungan.
Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, me-
nelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga
tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupa-
kan umpan balik bagi perbaikan dan/atau penyempurnaan pengurus-
an hutan lebih lanjut. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan,
Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemda.
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke peng-
adilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap keru-
sakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Penyelesai-
an sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak
yang bersengketa.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Status dan Fungsi Hutan; Bab
III Pengurusan Hutan; Bab IV Perencanaan Kehutanan; Bab V Pe-
ngelolaan Hutan; Bab VI Penelitian dan Pengembangan, Pendi-
dikan dan Latihan Serta Penyuluhan Kehutanan; Bab VII Peng-
awasan; Bab VIII Penyerahan Kewenangan; Bab IX Masyarakat
Hukum Adat; Bab X Peran Serta Masyarakat; Bab XI Gugatan
Perwakilan; Bab XII Penyelesaian Sengketa Kehutanan; Bab XIII
Penyidikan; Bab XIV Ketentuan Pidana; Bab XV Ganti Rugi dan
Sanksi Administratif; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII
Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan
negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. APBN
terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembia-
yaan. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun
pendapatan negara. Sedangkan APBD merupakan wujud pe-
ngelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan
Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, ang-
garan belanja, dan pembiayaan.
Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal
10 9
09
dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada
DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
Mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Bank Sentral, Pemerintah Daerah, serta Pemerintah/Lembaga
Asing maka Pemerintah Pusat dan Bank Sentral berkoordinasi
dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.
Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada
Pemda berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Pemerintah Pusat dapat memberikan
hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari
pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.
Dalam hal pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan
APBD, Presiden menyampaikan rancangan undang-undang ten-
tang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR beru-
pa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan
daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK,
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kekuasaan Atas Pengelolaan
Keuangan Negara; Bab III Penyusunan dan Penetapan APBN;
Bab IV Penyusunan dan Penetapan APBD; Bab V Hubungan Ke-
uangan Antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah
Daerah, Serta Pemerintah/Lembaga Asing; Bab VI Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah dan Perusahaan Negara, Perusa-
haan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana
Masyarakat; Bab VII Pelaksanaan APBN dan APBD; Bab VIII Per-
tanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan APBD; Bab IX Keten-
tuan Pidana, Sanksi Administratif, dan Ganti Rugi; Bab X Keten-
tuan Peralihan; Bab XI Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara
Sehubungan Undang-Undang Perbendaharaan Indone-
sia/Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor
448) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah ter-
akhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968 tidak dapat
lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara, maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Perbendaharaan Negara meliputi pelaksanaan pendapatan
dan belanja negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja dae-
rah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pelak-
sanaan penerimaan dan pengeluaran daerah, pengelolaan kas,
pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan in-
vestasi dan barang milik negara/daerah, penyelenggaraan akun-
tansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah,
penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/-
APBD, penyelesaian kerugian negara/daerah, pengelolaan Badan
Layanan Umum, dan perumusan standar, kebijakan, serta sistem
dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan ne-
gara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Peng-
guna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpin-
nya. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga
12 11
11
yang dipimpinnya.
Tahun anggaran meliputi masa satu tahun mulai dari tanggal 1
Januari sampai dengan 31 Desember. Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara berwenang mengatur dan menye-
lenggarakan rekening pemerintah. Pemerintah Pusat dapat mem-
berikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan
yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN.
Pemerintah dapat melakukan invetasi jangka panjang untuk mem-
peroleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya.
Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara.
Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kebijakan pengelolaan ba-
rang milik daerah. Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Ke-
uangan Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah
menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset,
utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan per-
hitungannya.
Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akunta-
bilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pe-
merintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengenda-
lian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Setiap
kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melang-
gar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pejabat Perbendaharaan Nega-
ra; Bab III Pelaksanaan Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah;
Bab IV Pengelolaan Uang; Bab V Pengelolaan Piutang dan Utang;
Bab VI Pengelolaan Investasi; Bab VII Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah; Bab VIII Larangan Penyitaan Uang dan Barang
Milik Negara/Daerah dan/atau Yang Dikuasai Negara/Daerah;
Bab IX Penatausahaan dan Pertanggungjawaban APBN/APBD;
Bab X Pengendalian Intern Pemerintah; Bab XI Penyelesaian
Kerugian Negara/Daerah; Bab XII Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum; Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab XIV
Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air
Dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (se-
lanjutnya disingkat SDA) disebutkan bahwa penguasaan sumber
daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum
adat setempat. Hak guna air (berupa hak guna pakai air dan hak
guna usaha air) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan
sebagian atau seluruhnya.
Presiden berhak untuk menetapkan wilayah sungai dan ce-
kungan air tanah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
SDA Nasional. Dalam pengelolaan SDA, sebagian wewenang Pe-
merintah dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sesuai
dengan peraturan perundangan-undangan.
Dalam keadaan memaksa, Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah berhak mengatur dan menetapkan penggunaan SDA un-
tuk kepentingan konservasi, persiapan pelaksanaan konstruksi,
dan pemenuhan prioritas penggunaan SDA. Untuk pengembang-
an sistem penyediaan air minum adalah tanggung jawab Pemerin-
tah dan Pemerintah Daerah. Koperasi, badan usaha swasta, dan
masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pe-
ngembangan sistem penyediaan air minum.
Pengusahaan SDA permukaan yang meliputi satu wilayah su-
14 13
13
ngai hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN atau BUMD dibidang
pengelolaan SDA atau kerjasama antara BUMN dengan BUMD.
Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem
informasi SDA yang tersebar dan dikelola oleh berbagai institusi.
Dalam hal pembiayaan pengelolaan SDA ditetapkan berdasarkan
kebutuhan nyata pengelolaan SDA. Sumber dana untuk setiap je-
nis pembiayaan tersebut dapat berupa anggaran pemerintah,
anggaran swasta, dan/atau hasil penerimaan biaya jasa pengelo-
laan SDA.
Dalam hal terjadi sengketa, penyelesaian sengketa SDA tahap
pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk
sepakat. Jika tidak diperoleh kesepakatan, maka para pihak dapat
menempuh upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan (me-
lalui arbitrase) atau melalui pengadilan. Masyarakat yang
dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan SDA berhak
mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan. Begitu pula se-
tiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan kerugian terhadap orang lain maupun sumber air
dan prasarananya akan ditindak sesuai dengan ketentuan pidana
yang berlaku.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Wewenang dan Tanggung Ja-
wab; Bab III Konservasi Sumber Daya Air; Bab IV Pendaya-
gunaan Sumber Daya Air; Bab V Pengendalian Daya Rusak Air;
Bab VI Perencanaan; Bab VII Pelaksanaan Konstruksi, Operasi
dan Pemeliharaan; Bab VIII Sistem Informasi Sumber Daya Air;
Bab IX Pemberdayaan dan Pengawasan; Bab X Pembiayaan;
Bab XI Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat; Bab XII Koordina-
si; Bab XIII Penyelesaian Sengketa; Bab XIV Gugatan Masyarakat
dan Organisasi; Bab XV Penyidikan; Bab XVI Ketentuan Pidana;
Bab XVII Ketentuan Peralihan; Bab XVIII Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demok-
rasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanju-
tan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Perencanaan
Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perenca-
naan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bi-
dang kehidupan secara terpadu dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional meliputi pe-
nyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksa-
naan rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana. Penyusunan
RPJP dilakukan melalui urutan penyiapan rancangan awal renca-
na pembangunan, musyawarah perencanaan pembangunan dan
penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Menteri menyiapkan rancangan RPJP Nasional. Sedangkan
Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah. Pengen-
dalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan oleh ma-
sing-masing pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Pe-
rangkat Daerah. Perencanaan pembangunan didasarkan pada
data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawab-
kan.
Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas
Perencanaan Pembangunan Nasional. Sedangkan Kepala Dae-
15
16 15
rah menyelenggaran dan bertanggung jawab atas perencanaan
pembangunan daerah di daerahnya. Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan se-
telah diundangkannya Undang-Undang ini.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Tujuan; Bab III Ruang
Lingkup Perencanaan Pembangunan Nasional; Bab IV Tahapan
Perencanaan Pembangunan Nasional; Bab V Penyusunan dan
Penetapan Rencana; Bab VI Pengendalian dan Evaluasi Pe-
laksanaan Rencana; Bab VII Data dan Informasi; Bab VIII Kelem-
bagaan; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat
dan Pemerintah Daerah
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemda meru-
pakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pemba-
gian tugas antara Pemerintah dan Pemda. Penyelenggaraan uru-
san Pemda dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai
oleh APBD. Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksa-
nakan oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi
didanai oleh APBN. Sedangkan penyelenggaraan urusan Pe-
merintah yang dilaksanakan oleh Gubernur dalam rangka Tugas
Pembantuan didanai oleh APBN. Dana Perimbangan terdiri atas :
1. Dana Bagi Hasil :
a). Bersumber dari pajak: PBB (Pajak Bumi Bangunan),
BPHTB, PPh (Pajak Penghasilan).
b). Sumber Daya Alam: kehutanan, pertambangan umum,
perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan
gas bumi dan pertambangan panas bumi.
2. Dana Alokasi Umum (DAU): jumlah keseluruhan DAU ditetap-
kan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri
Netto yang ditetapkan dalam APBN.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK): besarnya DAK ditetapkan setiap
tahun dalam APBN.
Lain-lain Pendapatan terdiri atas Pendapatan Hibah dan Pen-
dapatan Dana Darurat. Untuk Hibah kepada Daerah yang bersum-
ber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah. Daerah tidak
dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.
Sedangkan Dana Darurat, Pemerintah mengalokasikannya yang
bersumber dari APBN untuk keperluan mendesak yang diaki-
batkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang
tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan
sumber APBD.
Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
Sejak berlakunya undang-undang ini maka Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848) dinyatakan tidak
berlaku.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Prinsip Kebijakan Perimbangan
Keuangan; Bab III Dasar Pendanaan Pemerintahan Daerah; Bab
IV Sumber Penerimaan Daerah; Bab V Pendapatan Asli Daerah;
Bab VI Dana Perimbangan; Bab VII Lain-lain Pendapatan; Bab
VIII Pinjaman Daerah; Bab IX Pengelolaan Keuangan dalam
17
18 17
Rangka Desentralisasi; Bab X Dana Dekonsentrasi; Bab XI Dana
Tugas Pembantuan; Bab XII Sistem Informasi Keuangan Daerah;
Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025
Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
mengamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasio-
nal yang ditetapkan dengan undang-undang.
RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya
Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehi-
dupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.
Program Pembangunan Nasional periode 2005 - 2025 dilaksa-
nakan sesuai dengan RPJP Nasional. Dalam rangka menjaga ke-
sinambungan pembangunan dan untuk menghindarkan ke-
kosongan rencana pembangunan nasional, Presiden yang se-
dang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajib-
kan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun
pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya.
Pemerintah melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksa-
naan RPJP Nasional. Sedangkan Pemerintah Daerah melakukan
pengendalian dan evalusi pelaksanaan RPJP Daerah.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Program Pembangunan Nasio-
nal; Bab III Pengendalian dan Evaluasi; Bab IV Ketentuan Per-
alihan; Bab V Ketentuan Penutup.
19
20 19
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
Dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di
bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan men-
dorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indo-
nesia, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Un-
dang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum da-
lam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama
bagi pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-
Undang tersebut. Ketidakpastian itu terjadi karena dalam ketentu-
an Undang-Undang tersebut tidak ada ketentuan yang menyata-
kan bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan
yang berada di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlaku-
nya Undang-Undang tersebut tetap berlaku.
Tidak adanya ketentuan tersebut mengakibatkan status dari
izin atau perjanjian yang ada sebelum berlakunya Undang-Un-
dang tersebut menjadi tidak jelas dan bahkan dapat diartikan men-
jadi tidak berlaku lagi. Hal ini diperkuat ketentuan Pasal 38 ayat (4)
yang menyatakan secara tegas bahwa pada kawasan hutan lin-
dung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertam-
bangan terbuka. Ketentuan tersebut semestinya hanya berlaku
sesudah berlakunya Undang-Undang tersebut dan tidak diber-
lakukan surut.
21
21
PE RAT URAN
PE ME RI NTAH
Ketidakpastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha per-
tambangan di kawasan hutan tersebut dapat mengakibatkan Pe-
merintah berada dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan
iklim investasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air
Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup
orang banyak, sehingga perlu dipelihara kualitasnya agar tetap
bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hi-
dup lainnya. Oleh karena itu Pemerintah dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pen-
cemaran Air.
Gubernur menunjuk instansi teknis di daerah untuk melakukan
inventarisasi kualitas dan kuantitas air untuk kepentingan pengen-
dalian pencemaran air. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, mene-
tapkan prioritas pelaksanaan inventarisasi kualitas dan kuantitas
air. Data kualitas dan kuantitas air disusun dan didokumentasikan
pada instansi teknis yang bertanggung jawab, di bidang
pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Kemudian Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I mengidentifikasi sumber-sumber pence-
maran air.
Ketetapan tentang baku mutu air untuk golongan air ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah
ini. Metode analisa untuk setiap parameter baku mutu air dan
baku mutu limbah cair ditetapkan oleh Menteri. Apabila kualitas air
lebih rendah dari kualitas air menurut golongan yang telah ditetap-
kan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menetapkan program
peningkatan kualitas air.
Untuk pengendalian pencemaran air di daerah dilakukan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Menteri setelah berkonsultasi
dengan Menteri lain dan atau Pimpinan lembaga pemerintah non-
departemen yang bersangkutan menetapkan baku mutu limbah
cair. Baku mutu air, daya tampung beban pencemaran dan baku
mutu limbah cair ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya se-
kali dalam lima tahun.
Setiap orang atau badan yang membuang limbah cair wajib
mentaati baku mutu limbah cair sebagaimana ditentukan dalam
izin pembuangan limbah cair yang ditetapkan baginya. Baku mutu
limbah cair yang diizinkan dibuang ke dalam air oleh suatu ke-
giatan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I ber-
dasarkan baku mutu limbah cair yang ditetapkan.
Setiap orang yang mengetahui atau menduga terjadinya pen-
cemaran air berhak melaporkan kepada Gubernur Kepada Dae-
rah Tingkat I atau aparat Pemerintah Daerah terdekat atau Kepala
Kepolisian Resort atau Aparat Kepolisian terdekat.
Dalam hal pembiayaan inventarisasi kualitas dan kuantitas air
dibebankan pada anggaran daerah yang bersangkutan. Se-
dangkan biaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan
pencemaran air akibat suatu kegiatan dibebankan kepada pe-
nanggungjawab kegiatan yang bersangkutan.
Apabila untuk suatu jenis kegiatan belum ditentukan baku mutu
limbah cairnya, maka baku mutu limbah cair yang boleh dibuang
ke dalam air oleh kegiatan tersebut ditetapkan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I setelah berkonsultasi dengan Menteri.
23
23 22
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Inventarisasi Kualitas dan Ku-
antitas Air; Bab III Penggolongan; Bab IV Upaya Pengendalian;
Bab V Perizinan; Bab VI Pengawasan dan Pemantauan; Bab VII
Pembiayaan; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X
Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum
(Perum) "Otorita Jatiluhur"
Peraturan ini merupakan penyesuaian dari Peraturan Pe-
merintah Nomor 20 Tahun 1970 tentang Pembentukan Peru-
sahaan Umum "Otorita Jatiluhur" sebagaimana telah diubah de-
ngan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1980.
Perusahaan ini adalah badan usaha yang menyelenggarakan
usaha-usaha eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan
serta mengusahakan air, sumber-sumber air, dan ketenagalistrik-
an. Perusahaan bertempat kedudukan dan berkantor pusat di Jati-
luhur. Modal Perusahaan adalah kekayaan negara yang dipisah-
kan dari APBN dan tidak terbagi atas saham-saham.
Pembelanjaan untuk investasi yang dilaksanakan perusahaan
dapat berasal dari dana intern perusahaan, penyertaan modal
negara melalui APBN, pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri,
serta sumber-sumber lainnya yang sah. Perusahaan dipimpin dan
dikelola oleh Direksi yang terdiri dari seorang Direktur Utama dan
sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang Direktur sesuai dengan bi-
dang usahanya. Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri setelah mendengar pertimbangan
Menteri Keuangan.
Pembinaan terhadap Perusahaan dilakukan oleh Menteri yang
dalam pelaksanaannya dibantu oleh Direktur Jenderal berda-
sarkan ketentuan yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. Se-
lambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku mulai ber-
laku, Direksi mengirimkan rencana kerja dan anggaran Per-
usahaan yang meliputi anggaran investasi dan anggaran eksplo-
itasi kepada Menteri untuk memperoleh pengesahannya berda-
sarkan penilaian bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.
Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana
pengairan dan hasil penjualan tenaga listrik dari pembangkit listrik
tenaga air didasarkan pada asas memperoleh penghasilan yang
cukup bagi Perusahaan untuk menutup biaya pengusahaan yang
ditetapkan dengan keputusan Menteri atas usul Direksi, setelah
mendapat pertimbangan Menteri Keuangan.
Menteri melakukan pengawasan umum atas jalannya Per-
usahaan. Pada Perusahaan dibentuk Dewan Pengawas yang ber-
tanggung jawab kepada Menteri. Dewan Pengawas mengadakan
rapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali dan sewaktu-wak-
tu apabila diperlukan. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan
tugas Dewan Pengawas, Menteri dapat mengangkat seorang Se-
kretaris atas beban Perusahaan.
Untuk tiap tahun buku oleh Direksi disusun perhitungan tahun-
an yang terdiri dari neraca dan perhitungan laba rugi. Pembu-
baran Perusahaan dan penunjukan likuidaturnya ditetapkan de-
ngan Peraturan Pemerintah. Semua kekayaan Perusahaan sete-
lah diadakan likuidasi menjadi milik Negara.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pendirian Perusahaan; Bab III
Anggaran Dasar Perusahaan; Bab IV Ketentuan Peralihan; Bab V
Penutup.
25
25 24
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 1991
tentang Sungai
Sungai sebagai sumber air sangat penting fungsinya dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan pemba-
ngunan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka dipan-
dang perlu melakukan pengaturan mengenai sungai yang meliputi
perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian.
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang direvisi ke
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Da-
ya Air.
Lingkup pengaturan sungai berdasarkan PP ini mencakup per-
lindungan, pengembangan, penggunaan, dan pengendalian su-
ngai termasuk danau dan waduk. Wewenang dan tanggung jawab
pembinaan sungai ada pada Pemerintah yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Menteri. Wewenang dan tanggung jawab pembina-
an sungai ini juga dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik
negara. Sepanjang belum dilimpahkan kepada badan usaha milik
negara, dapat dilimpahkan juga kepada Pemerintah Daerah da-
lam rangka tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku.
Untuk mencapai keterpaduan yang menyeluruh dalam per-
lindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian su-
ngai, bagi tiap kesatuan wilayah sungai disusun perencana pem-
binaan sungai yang ditetapkan oleh Menteri.
Selain sungai merupakan salah satu sumber daya air, juga me-
miliki potensi yang lain yaitu sebagai sumber bahan galian khu-
susnya bahan galian berupa pasir dan batu.
Dalam rangka menumbuhkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan nasional, maka masyarakat diikutsertakan dalam
kegiatan pembangunan, eksploitasi dan pemeliharaan sungai, pe-
nanggulangan bahaya banjir, maupun pengamanan sungai, se-
hingga dapat merasa ikut memiliki dan dengan demikian ikut me-
rasa bertanggung jawab.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penguasaan Sungai; Bab III
Fungsi Sungai; Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab Pembi-
naan; Bab V Perencanaan Sungai; Bab VI Pembangunan Ba-
ngunan Sungai; Bab VII Eksploitasi dan Pemeliharaan Sungai dan
Bangunan Sungai; Bab VIII Pengusahaan Sungai dan Bangunan
Sungai; Bab IX Pembangunan, Pengelolaan dan Pengamanan
Waduk; Bab X Penanggulangan Bahaya Banjir; Bab XI Penga-
manan Sungai dan Bangunan Sungai; Bab XII Kewajiban dan La-
rangan; Bab XIII Pembiayaan; Bab XIV Pengawasan; Bab XV Ke-
tentuan Pidana; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII Ketentu-
an Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
Dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khu-
susnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula
jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan be-
racun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehat-
an manusia. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu
dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 1994 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 ten-
27
27 26
tang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan me-
nanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan
kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fung-
sinya kembali.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau mengha-
silkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah
limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3. Untuk pengumpul,
pengangkut, pemanfaat, pengolah, dan penimbun limbah B3 dila-
kukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan ter-
sebut.
Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan
limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang
bertanggung jawab. Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilaku-
kan oleh Menteri dan pelaksanaannya diserahkan kepada instan-
si yang bertanggung jawab. Penghasil, pengumpul, pemanfaat,
pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 bertanggung ja-
wab atas penanggulangan kecelakaan dan pencemaran lingkun-
gan hidup akibat lepas atau tumpahnya limbah B3 yang menjadi
tanggung jawabnya.
Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan di
daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II untuk skala
yang bisa ditanggulangi oleh kegiatan penghasil dan/atau pe-
ngumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau
penimbun. Dalam hal pembiayaan, segala biaya untuk memper-
oleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan ke-
pada pemohon izin.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Identifikasi Limbah B3; Bab III
Pelaku Pengelolaan: Bagian Pertama : Penghasil, Bagian Kedua :
Pengumpul, Bagian Ketiga: Pengangkut, Bagian Keempat : Pe-
manfaat, Bagian Kelima : Pengolah, Bagian Keenam : Penimbun;
Bab IV Kegiatan Pengelolaan : Bagian Pertama : Reduksi Limbah
B3, Bagian Kedua : Pengemasan, Bagian Ketiga : Penyimpanan,
Bagian Keempat : Pengumpulan, Bagian Kelima : Pengangkutan,
Bagian Keenam : Pemanfaatan, Bagian Ketujuh : Pengolahan,
Bagian Kedelapan : Penimbunan; Bab V Tata Laksana : Bagian
Pertama : Perizinan, Bagian Kedua : Pengawasan, Bagian Ketiga:
Perpindahan Lintas Batas, Bagian Keempat : Informasi dan Pe-
laporan, Bagian Kelima : Penanggulangan dan Pemulihan, Bagian
Keenam : Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan, Bagian Ke-
tujuh : Pembiayaan; Bab VI Sanksi; Bab VII Ketentuan Peralihan;
Bab VIII Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu dilakukan
penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (selanjutnya di-
singkat AMDAL) merupakan bagian kegiatan studi kelayakan ren-
cana usaha dan/atau kegiatan. Jenis usaha dan/atau kegiatan
yang wajib memiliki AMDAL ditetapkan oleh Menteri setelah men-
dengar dan memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/
29 28
29
atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang ter-
kait.
Untuk menilai kerangka acuan, AMDAL, rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup ma-
ka dibentuk Komisi Penilai. Komisi Penilai dibentuk oleh Menteri
di tingkat pusat, sedangkan di tingkat daerah dibentuk oleh Gu-
bernur.
Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan AMDAL disusun
oleh pemrakarsa. Pemrakarsa menyusun AMDAL, rencana pe-
ngelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup berdasarkan kerangka acuan yang telah mendapatkan ke-
putusan dari instansi yang bertanggung jawab. Untuk penyusunan
AMDAL bagi usaha dan/atau kegiatan ekonomi lemah dibantu Pe-
merintah dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah memper-
hatikan saran dan pendapat instansi yang membidangi usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan terlebih da-
hulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun
AMDAL. Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan
dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka
acuan, AMDAL, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan ren-
cana pemantauan lingkungan hidup.
Dalam hal pembiayaan, untuk pelaksanaan kegiatan komisi pe-
nilai dan tim teknis AMDAL di tingkat pusat dibebankan pada ang-
garan instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan se-
dangkan di tingkat daerah dibebankan pada anggaran instansi yang
ditugasi mengendalikan dampak lingkungan daerah tingkat I.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Komisi Penilai Analisis Me-
ngenai Dampak Lingkungan Hidup; Bab III Tata Laksana; Bab IV
Pembinaan; Bab V Pengawasan; Bab VI Keterbukaan Informasi
dan Peran Masyarakat; Bab VII Pembiayaan; Bab VIII Ketentuan
Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Ketentuan ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari
usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spe-
sifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik
yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi
dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah tu-
runnya mutu udara ambien.
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu
udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, am-
bang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang ba-
tas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan pe-
nanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan
melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber
pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak ber-
gerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keada-
an darurat.
Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penang-
gung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran udara. Dalam hal wewenang pengawasan
diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Waliko-
31
31 30
tamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan
terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang membuang emisi dan/atau gangguan.
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengenda-
lian pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak ber-
gerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau ke-
giatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau ke-
giatan yang bersangkutan. Setiap orang atau penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pence-
maran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pence-
maran udara serta biaya pemulihannya.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perlindungan Mutu Udara; Bab
III Pengendalian Pencemaran Udara; Bab IV Pengawasan; Bab V
Pembiayaan; Bab VI Ganti Rugi; Bab VII Sanksi; Bab VIII
Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 85 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
Untuk mengenali limbah yang dihasilkan secara dini diperlukan
identifikasi berdasarkan uji toksikologi dengan penentuan nilai
akut dan/atau kronik untuk menentukan limbah yang dihasilkan
termasuk sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun. Se-
hubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu mengubah
dan menyempurnakan beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Ber-
bahaya dan Beracun.
Pasal I mengubah ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pasal 6 :
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan/atau uji
karakteristik dan/atau uji toksikologi.
Pasal 7 :
(1)Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi limbah B3 dari
sumber tidak spesifik, limbah B3 dari sumber spesifik, limbah B3
dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan
buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
(2)Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Peraturan
Pemerintah ini.
(3)Uji karakterisitik limbah B3 meliputi mudah meledak, mudah
terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan
bersifat korosif.
(4)Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan/atau
kronik.
Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan
D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah dilakukan uji karakteris-
tik dan/atau uji toksikologi.
Pasal 8 :
(1)Limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk da-
lam Lampiran I, Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini, apabila ter-
bukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) dan/atau ayat (4) maka lim-
bah tersebut merupakan limbah B3.
33 32
33
(2)Limbah B3 dari kegiatan yang tercantum dalam Lampiran I,
Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini dapat dikeluarkan dari daf-
tar tersebut oleh instansi yang bertanggung jawab, apabila da-
pat dibuktikan secara ilmiah bahwa limbah tersebut bukan lim-
bah B3 berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh instansi
yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan ins-
tansi teknis, lembaga penelitian terkait dan penghasil limbah.
(3)Pembuktian secara ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan berdasarkan uji karakteristik limbah B3, uji toksi-
kologi, dan/atau hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah
yang dihasilkan tidak menimbulkan pencemaran dan ganggu-
an kesehatan terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya.
(4)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) akan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung
jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis dan lem-
baga penelitian terkait.
Pasal II :
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Per-
aturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
di Luar Pengadilan
Peraturan Pemerintah ini ditetapkan sebagai pelaksana
ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Un-
dang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pe-
nyelesaian Sengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak
yang telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hi-
dup di luar pengadilan, maka gugatan yang disampaikan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinya-
takan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang berseng-
keta menarik diri dari perundingan.
Untuk lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh
Pemerintah Pusat ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di
instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan. Sedangkan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah
ditetapkan Gubernur/Bupati/Walikota dan berkedudukan di instan-
si yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak ling-
kungan di daerahnya. Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh
masyarakat dibuat dengan Akta Notaris.
Orang-orang yang menjalankan fungsi sebagai arbiter atau me-
diator atau pihak ketiga lainnya terikat pada kode etik profesi yang
penilaian dan pengembangannya dilakukan oleh asosiasi profesi
yang bersangkutan. Kesepakatan yang dicapai melalui proses pe-
nyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak
ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di
atas kertas bermaterai.
Mengenai biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup me-
lalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Biaya untuk media-
tor atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas kesediaan dari sa-
lah satu pihak atau para pihak yang bersengketa atau sumber-
sumber dana lainnya yang bersifat tidak mengikat. Segala biaya
35
35 34
kesekretariatan yang diperlukan dibebankan kepada Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah pada anggaran belanja instan-
si yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak ling-
kungan di pusat ataupun daerah yang bersangkutan.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kelembagaan; Bab III Per-
syaratan Penunjukan Pihak Ketiga Netral; Bab IV Tata Cara Pe-
nyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Lembaga Pe-
nyedia Jasa; Bab V Pembiayaan Lembaga Penyedia Jasa; Bab VI
Ketentuan Penutup.
22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pa-
da peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif,
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas
keadilan dan kepatutan. APBD merupakan dasar pengelolaan ke-
uangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Struktur APBD
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah,
belanja daerah dan pembiayaan.
Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus di-
dukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam
jumlah yang cukup. Semua transaksi keuangan daerah baik pe-
nerimaan daerah maupun pengeluaran daerah dilaksanakan me-
lalui kas daerah. Apabila diperkirakan pendapatan daerah lebih
kecil dari rencana belanja, daerah dapat melakukan pinjaman. Pe-
merintah daerah dapat juga mencari sumber-sumber pembiayaan
lain melalui kerjasama dengan pihak lain dengan prinsip saling
menguntungkan.
Tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD
tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Perda tentang
APBD dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah. Untuk setiap
pengeluaran atas beban APBD diterbitkan Surat Keputusan Oto-
risasi atau surat keputusan lainnya yang disamakan dengan itu
oleh pejabat yang berwenang.
Untuk setiap akhir tahun anggaran Pemerintah Daerah wajib
membuat perhitungan APBD yang memuat perbandingan antara
realisasi pelaksanaan APBD dibandingkan dengan APBD. Pe-
merintah Daerah juga menyampaikan laporan triwulan pelaksa-
naan APBD kepada DPRD. Pemeriksaan atas pelaksanaan, pe-
ngelolaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengelolaan Keuangan Daerah;
Bab III Penyusunan dan Penetapan APBD; Bab IV Pelaksanaan
APBD; Bab V Perhitungan APBD; Bab VI Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah; Bab VII Pengawasan Pengelolaan Keuangan
Daerah; Bab VIII Pemeriksaan Keuangan Daerah; Bab IX Ke-
rugian Keuangan Daerah; Bab X Ketentuan Penutup.
37
37 36
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2001
tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari keten-
tuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hi-
dup secara tegas dikemukakan dalam Tap MPR No.IV/MPR/1999
tentang GBHN, bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam
dan lingkungan hidup harus disertai dengan tindakan konservasi,
rehabilitasi, dan penghematan penggunaan dengan menerapkan
teknologi ramah lingkungan. Penerapan kebijakan ini diharapkan
dapat memperkecil dampak yang akan merugikan lingkungan
hidup dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi upaya pence-
gahan, penanggulangan, dan pemulihan serta pengawasan ter-
hadap pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup daerah. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
daerah ditetapkan dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada
ketentuan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan
dan/atau lahan juga berkewajiban mencegah terjadinya kerusak-
an dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan de-
ngan kebakaran hutan dan/atau lahan. Setiap orang yang meng-
akibatkan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan wajib mela-
kukan pemulihan dampak lingkungan hidup.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengko-
ordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan/atau lahan lintas
propinsi dan/atau lintas batas negara. Gubernur bertanggung ja-
wab terhadap pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan yang dampaknya lintas Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan dilakukan secara periodik untuk
mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup dan
secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan ling-
kungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau
lahan.
Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pe-
ngendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam hal pembiayaan untuk melakukan kegiatan tersebut
diatas dibebankan pada APBN, APBD dan sumber dana lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kriteria Baku Kerusakan Ling-
kungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau
Lahan; Bab III Baku Mutu Pencemaran Lingkungan Hidup; Bab IV
Tata Laksana Pengendalian; Bab V Wewenang Pengendalian Ke-
rusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; Bab VI Pengawasan;
Bab VII Pelaporan; Bab VIII Peningkatan Kesadaran Masyarakat;
Bab IX Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat; Bab X
39
39 38
Pembiayaan; Bab XI Sanksi Administrasi; Bab XII Ganti Kerugian;
Bab XIII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Peralihan; Bab XV
Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 74 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya
dan Beracun
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Ba-
han Berbahaya dan Beracun (B3).
Pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan/atau mengu-
rangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan
manusia dan makhluk hidup lainnya.
B3 dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu B3 yang dapat diper-
gunakan, B3 yang dilarang dipergunakan, dan B3 yang terbatas
dipergunakan.
Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan/atau
pengimpor. Tata cara registrasi dan sistem registrasi nasional B3
ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung
jawab. Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang
terbatas dipergunakan, wajib menyampaikan notifikasi ke otoritas
negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang
bertanggung jawab. Sedangkan yang melakukan kegiatan impor
B3 wajib mengikuti prosedur notifikasi.
Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar
Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet). Dan seti-
ap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan peng-
edaran B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan
(Material Safety Data Sheet).
Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempu-
nyai tugas untuk memberikan saran dan/atau pertimbangan kepada
Pemerintah. Komisi B3 terdiri dari wakil instansi yang berwenang,
wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait,
wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi.
Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3
dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang
berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Dalam hal tertentu wewenang tersebut dapat diserahkan menjadi
urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib
menyampaikan laporan tertulis tentang pengelolaan B3 secara
berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada ins-
tansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bi-
dang tugas masing-masing dengan tembusan kepada Guber-
nur/Bupati/Walikota.
Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi tentang upa-
ya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan penge-
lolaan B3.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Klasifikasi B3; Bab III Tata Lak-
sana dan Pengelolaan B3; Bab IV Komisi B3; Bab V Keselamatan
dan Kesehatan Kerja; Bab VI Penanggulangan Kecelakaan dan
Keadaan Darurat; Bab VII Pengawasan dan Pelaporan; Bab VIII
Peningkatan Kesadaran Masyarakat; Bab IX Keterbukaan In-
formasi dan Peran Masyarakat; Bab X Pembiayaan; Bab XI Sank-
si Administrasi; Bab XII Ganti Kerugian; Bab XIII Ketentuan Pi-
dana; Bab XIV Ketentuan Peralihan; Bab XV Ketentuan Penutup.
41
41 40
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan dari Pasal 14
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Penge-
lolaan Lingkungan Hidup.
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air di-
selenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem.
Hal tersebut dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Upaya pengelolaan kualitas air
dilakukan pada :
1. Sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;
2. Mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
3. Akuifer air tanah dalam.
Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi
dan/atau lintas batas negara. Pemerintah Propinsi mengkoordina-
sikan pengelolaan kualitas air lintas Kab/Kota. Sedangkan Peme-
rintah Kab/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kab/Kota.
Pemerintah dapat menentukan baku mutu air yang lebih ketat
dan/atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi
dan/atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaan-
nya di bawah kewenangan Pemerintah.
Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan tetap memperhatikan saran masukan dari instan-
si terkait. Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Per-
aturan Daerah Propinsi.
Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana
dan/atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pe-
merintah Kab/Kota dapat dikenakan retribusi yang ditetapkan de-
ngan Perda Kab/Kota. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib
membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada
keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengelolaan Kualitas Air; Bab III
Pengendalian Pencemaran Air; Bab IV Pelaporan; Bab V Hak dan
Kewajiban; Bab VI Persyaratan Pemanfaatan dan Pembuangan
Air Limbah; Bab VII Pembinaan dan Pengawasan; Bab VIII
Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.
26. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2002
tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif
Peraturan Pemerintah ini sebagai pelaksana dari ketentuan
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran. Peraturan ini mengatur klasifikasi limbah
radioaktif, manajemen perizinan, pengolahan, pengangkutan, dan
penyimpanan limbah radioaktif, program jaminan kualitas, pe-
ngelolaan dan pemantauan lingkungan, pengolahan limbah
radioaktif tambang bahan galian nuklir dan tambang lainnya, pro-
gram dekomisioning, serta penanggulangan kecelakaan nuklir
dan/atau radiasi.
Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk melindungi
keselamatan dan kesehatan pekerja, anggota masyarakat, dan
lingkungan hidup dari bahaya radiasi dan/atau kontaminasi.
Limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif
43
43 42
tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi.
Setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan
tenaga nuklir wajib menyatakan kepada Badan Pengawas bahwa
limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau dise-
rahkan kepada Badan Pelaksana untuk dikelola. Pengolahan lim-
bah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang dapat dilakukan
sendiri oleh penghasil limbah radioaktif.
Pengelola limbah radioaktif sebelum melaksanakan pengelo-
laan limbah radioaktif harus membuat program jaminan kualitas
untuk kegiatan desain, pembangunan, pengoperasian dan per-
awatan, dekomisioning instalasi, serta pengelolaan limbah
radioaktif. Pengelola limbah radioaktif harus melakukan pe-
mantauan tingkat radiasi dan radioaktivitas lingkungan di sekitar
instalasi.
Badan Pelaksana atau badan yang melakukan penambangan
bahan galian nuklir wajib melakukan pengumpulan, pengelom-
pokkan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah
radioaktif. Sebelum melaksanakan dekomisioning instalasi pengo-
lahan limbah radioaktif, setiap pengolah limbah radioaktif wajib
menyampaikan dokumen program dekomisioning kepada Badan
Pengawas. Penghasil, pengolah, dan pengelola limbah radioaktif
harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan nuklir
dan/atau radiasi.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup, Asas dan Tu-
juan; Bab III Klasifikasi Limbah Radioaktif; Bab IV Manajemen
Perizinan; Bab V Pengolahan, Pengangkutan dan Penyimpanan
Limbah Radioaktif; Bab VI Program Jaminan Kualitas; Bab VII
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan; Bab VIII Pengolahan
Limbah Radioaktif Tambang Bahan Galian Nuklir dan Tambang
Lainnya; Bab IX Program Dekomisioning; Bab X Penanggulangan
Kecelakaan Nuklir dan/atau Radiasi; Bab XI Sanksi Administratif;
Bab XII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Penutup.
27. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 2002
tentang Penambahan Penyertaan Modal
Pemerintah Republik Indonesia Dalam
Modal Perum Jasa Tirta I
Pemerintah melakukan penambahan penyertaan modal ke da-
lam modal Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta I, yang didi-
rikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 1999
tentang Perum Jasa Tirta I. Penambahan penyertaan modal terse-
but berasal dari kekayaan Negara.
Pelaksanaan penambahan penyertaan modal Negara ke dalam
Perum Jasa Tirta I dilakukan menurut ketentuan Peraturan Pe-
merintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum
(PERUM), Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2001 tentang
Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Ke-
uangan Pada Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan
Umum (PERUM) dan Perusahaan Jawatan (PERJAN) Kepada
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Daftar Isi
Bab I Penambahan Penyertaan Modal; Bab II Pelaksanaan
Penambahan Penyertaan Modal; Bab III Ketentuan Penutup.
45 44
45
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2005
tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 Undang-undang No-
mor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air maka ditetapkan Per-
aturan Pemerintah tentang Pengembangan Sistem Penyediaan
Air Minum. Pengaturan pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum (selanjutnya disingkat SPAM) diselenggarakan secara ter-
padu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi yang
berkaitan dengan air minum. Dalam penyelenggaraan pengem-
bangan SPAM dan/atau prasarana dan sarana sanitasi,
Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama antar daerah.
Kebijakan dan strategi nasional pengembangan SPAM disusun
dan ditetapkan oleh Pemerintah setiap 5 tahun sekali melalui kon-
sultasi publik. Rencana induk pengembangan SPAM yang cakup-
an wilayah layanannya bersifat lintas Kabupaten/Kota ditetapkan
oleh Pemerintah Provinsi setelah berkoordinasi dengan daerah
Kabupaten/Kota terkait. Jika bersifat lintas provinsi, maka ditetap-
kan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait,
pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan SPAM dilakukan oleh
BUMN atau BUMD yang dibentuk secara khusus untuk pe-
ngembangan SPAM. Apabila BUMN/BUMD tidak dapat mening-
katkan kuantitas dan kualitas pelayanan SPAM di wilayah pela-
yanannya, maka atas persetujuan dewan pengawas/komisaris da-
pat mengikutsertakan koperasi, badan usaha swasta, dan/atau
masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM di-
bentuklah suatu badan yang disebut Badan Pendukung Pengem-
bangan SPAM (BPP SPAM). BPP SPAM merupakan badan non-
struktural yang dibentuk oleh, berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Menteri. Keanggotaan BPP SPAM terdiri atas unsur
Pemerintah, unsur penyelenggara dan unsur masyarakat.
Dalam hal pembiayaan pengembangan SPAM meliputi pem-
biayaan untuk membangun, memperluas serta meningkatkan sis-
tem fisik (teknik) dan sistem non-fisik dapat berasal dari Peme-
rintah dan/atau Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, koperasi, ba-
dan usaha swasta, dana masyarakat dan/atau sumber dana lain
yang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Koperasi, badan usaha swasta dan/atau masyarakat dapat me-
nyelenggarakan SPAM untuk memenuhi kebutuhan sendiri berda-
sarkan izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Masyarakat yang dirugikan berhak mengajukan gugatan per-
wakilan ke pengadilan. Begitu pula dengan organisasi yang berge-
rak pada bidang sumber daya air berhak mengajukan gugatan ter-
hadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang
menyebabkan kerusakan pada prasarana dan sarana penyediaan
air minum.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sistem Penyediaan Air Minum;
Bab III Perlindungan Air Baku; Bab IV Penyelenggaraan; Bab V
Wewenang dan Tanggung Jawab; Bab VI Badan Pendukung Pe-
ngembangan SPAM; Bab VII Pembiayaan dan Tarif; Bab VIII Tu-
gas, Tanggung Jawab, Peran, Hak, dan Kewajiban; Bab IX Pem-
binaan dan Pengawasan; Bab X Gugatan Masyarakat dan Orga-
nisasi; Bab XI Sanksi Administratif; Bab XII Ketentuan Peralihan;
Bab XIII Ketentuan Penutup.
47 46
47
29. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (7) Undang-Un-
dang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ma-
ka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum.
Badan Layanan Umum (BLU) bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kese-
jahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasar-
kan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek
bisnis yang sehat.
BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara lemba-
ga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum
yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelega-
sikan oleh instansi yang bersangkutan.
Di lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak
satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif
melalui pola Badan Layanan Umum. Dengan pola pengelolaan
keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan
anggaran termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pen-
gelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa.
Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola
keuangan dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum (PPK-BLU) apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis,
dan administratif. Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU
menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat
sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.
BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan
mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lemba-
ga (Renstra KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD).
Pola BLU tersedia untuk diterapkan oleh setiap instansi peme-
rintah yang secara fungsional menyelenggarakan kegiatan yang
bersifat operasional. Dengan demikian, BLU diharapkan tidak
sekedar sebagai format baru dalam pengelolaan APBN/APBD,
tetapi BLU diharapkan untuk menyuburkan pewadahan baru bagi
pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi mening-
katkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tujuan dan Asas; Bab III Per-
syaratan, Penetapan, dan Pencabutan; Bab IV Standar dan Tarif
Layanan; Bab V Pengelolaan Keuangan BLU; Bab VI Tata Kelola;
Bab VII Ketentuan Lain; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ke-
tentuan Penutup.
30. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 54 Tahun 2005
tentang Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau untuk menu-
tup kekurangan kas yang digunakan untuk membiayai kegiatan
yang merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
49 48
49
Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke-
pada pihak luar negeri. Pemerintah Daerah dapat melakukan pin-
jaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Se-
lain itu dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah lainnya sepanjang tidak me-
lampaui batas kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
Semua penerimaan dan kewajiban dalam rangka Pinjaman
Daerah dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintah. Setiap perjanjian pinjaman yang
dilakukan oleh Daerah merupakan dokumen publik dan diumum-
kan dalam Lembaran Daerah.
Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pin-
jamannya kepada Pemerintah, maka akan diperhitungkan dengan
DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara yang
menjadi hak Daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, besaran
Pinjaman Daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan Daerah
karena dapat menimbulkan beban APBD tahun-tahun berikutnya,
sehingga perlu didukung dengan ketrampilan perangkat Daerah
dalam mengelola Pinjaman Daerah.
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut
hal-hal yang menyangkut Pinjaman Daerah, dengan meng-
antisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbang-
kan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinam-
bungan perekonomian nasional.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Prinsip Umum Pinjaman Daerah;
Bab III Batas Pinjaman Daerah; Bab IV Persyaratan Umum Pinjaman
Daerah; Bab V Prosedur Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari
Pemerintah; Bab VI Prosedur Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari
Selain Pemerintah; Bab VII Obligasi Daerah; Bab VIII Pembayaran
Kembali Pinjaman Daerah; Bab IX Pelaporan dan Sanksi Pinjaman
Daerah; Bab X Ketentuan Peralihan; Bab XI Ketentuan Peralihan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan
Ketentuan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kini telah
disempurnakan menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Un-
dang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Un-
dang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbang-
an keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara Pe-
merintah Daerah. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Se-
dangkan DAU dialokasikan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Untuk besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK
dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi priori-
tas nasional.
DAU suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang ter-
diri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Data yang digunakan da-
lam penghitungan DAU diperoleh dari lembaga statistik Peme-
rintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbit-
51 50
51
kan data yang dapat dipertanggungjawabkan. DAU suatu daerah
otonom baru dialokasikan setelah undang-undang pembentukan
disahkan.
Pengawasan atas pelaksanaan Dana Perimbangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sejak berlakunya per-
aturan pemerintah ini sampai dengan Tahun Anggaran 2007 jum-
lah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 % dari
Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Dana Bagi Hasil; Bab III Dana
Alokasi Umum; Bab IV Dana Alokasi Khusus; Bab V Pengawasan;
Bab VI Ketentuan Peralihan; Bab VII Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 57 Tahun 2005
tentang Hibah Kepada Daerah
Prinsip kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah
dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menye-
luruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desen-
tralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.Sumber penda-
naan penyelenggaraan asas Desentralisasi di daerah terdiri atas
Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah
dan Lain-lain Pendapatan. Salah satu komponen Lain-lain Pen-
dapatan yang dinyatakan dalam Pasal 43 Undang-undang Nomor
33 Tahun 2004 sebagai bentuk hubungan keuangan antara Peme-
rintah dan Pemerintahan Daerah adalah hibah.
Hibah bersumber dari Dalam Negeri dan/atau Luar Negeri. Pe-
nerimaan hibah bersifat sebagai bantuan yang tidak mengikat,
dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan didalam NPHD
(Naskah Perjanjian Hibah Daerah) dan/atau NPPH (Naskah Per-
janjian Penerusan Hibah).
Hibah digunakan untuk menunjang peningkatan fungsi peme-
rintahan dan layanan dasar umum, serta pemberdayaan aparatur
Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran hi-
bah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pemberian Hibah; Bab III Pene-
rimaan Hibah; Bab IV Penggunaan Hibah : Bagian Kesatu Tujuan
Hibah, Bagian Kedua Pengelolaan Hibah, Bagian Ketiga Pertang-
gungjawaban Dan Pelaporan Hibah; Bab V Ketentuan Peralihan;
Bab VI Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal
Peraturan ini adalah sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal
11 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang.
53 52
53
Standar Pelayanan Minimal (selanjutnya disingkat SPM) disu-
sun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabu-
paten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai de-
ngan peraturan perundang-undangan.
SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintah Daerah un-
tuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat
secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Dalam
penyusunan SPM ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM
dan batas waktu pencapaian SPM. Penyusunan SPM oleh masing-
masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen di-
lakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam
Negeri. Tim Konsultasi terdiri dari unsur-unsur Depdagri, Bappenas,
Departemen Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dengan melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non-Departemen terkait sesuai kebutuhan.
Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan
informasi penerapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen me-
lakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah dalam penerapan
SPM. Pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintah Daerah
Provinsi dilakukan oleh Pemerintah dan pembinaan penerapan
SPM terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan
oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.
Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas pene-
rapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin
akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemerin-
tah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintah Daerah yang
tidak berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu
yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil
monitoring dan evaluasi dengan mempertimbangkan kondisi
khusus daerah yang bersangkutan.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup; Bab III Prinsip-prin-
sip Standar Pelayanan Minimal; Bab IV Penyusunan Standar
Pelayanan Minimal; Bab V Penerapan Standar Pelayanan Minimal;
Bab VI Pembinaan dan Pengawasan; Bab VII Ketentuan Peralihan;
Bab VIII Ketentuan Penutup.
34. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 216 ayat (1) Un-
dang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dae-
rah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka perlu ditetapkan Peraturan
Pemerintah mengenai Desa.
Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperha-
tikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setem-
pat. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi Ke-
lurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dengan memperhatikan saran dan
pendapat masyarakat setempat.
Pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa
yang terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya. Ke-
pala Desa juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota,
55 54
55
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada
BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerin-
tahan desa kepada masyarakat.
Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD.
Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pe-
merintahan Desa. Masyarakat berhak memberikan masukan se-
cara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan
Rancangan Peraturan Desa.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun
perencanaan pembangunan desa sebagai satu kesatuan dalam
sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi
kewenangan desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja
desa, bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah.
Adapun sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli
desa; bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10%
untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diper-
untukkan bagi desa; bagian dari dana perimbangan keuangan
pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa
paling sedikit 10%; bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerin-
tah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pe-
laksanaan urusan pemerintahan; hibah dan sumbangan dari pihak
ketiga yang tidak mengikat.
Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum
Pengaturan Mengenai Desa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pembentukan dan Perubahan
Status Desa; Bab III Kewenangan Desa; Bab IV Penyelenggaran
Pemerintahan Desa; Bab V Peraturan Desa; Bab VI Perencanaan
Pembangunan Desa; Bab VII Keuangan Desa; Bab VIII Kerja-
sama Desa; Bab IX Lembaga Kemasyarakatan; Bab X Pembinaan
dan Pengawasan; Bab XI Ketentuan Peralihan; Bab XII Ketentuan
Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2005
tentang Kelurahan
Peraturan ini dibuat sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 127
ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pe-
merintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 ten-
tang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ten-
tang Pemerintahan Daerah yang telah ditetapkan dengan Un-
dang-Undang Nomor 8 Tahun 2005.
Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan. Pembentukan kelu-
rahan dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan atau
bagian kelurahan yang bersandingan, atau pemekaran dari satu
kelurahan menjadi dua kelurahan atau lebih. Lurah mempunyai
tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan. Selain itu Lurah melaksanakan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Lurah melakukan
koordinasi dengan Camat dan instansi vertikal yang berada di
wilayah kerjanya. Dalam hal keuangan kelurahan bersumber dari
APBD Kabupaten/Kota yang dialokasikan sebagaimana perang-
kat daerah lainnya; bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, dan bantuan pihak ketiga; serta
sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
57 56
57
Mengenai pembinaan umum penyelenggaraan pemerintahan ke-
lurahan dan lembaga kemasyarakatan dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Provinsi. Sedangkan pembinaan teknis dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan kelurahan dan lembaga kema-
syarakatan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Camat.
Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya se-
bagai Ibukota Negara Republik Indonesia, pembentukan dan
struktur organisasi kelurahan dan lembaga kemasyarakatan diatur
dengan peraturan daerah provinsi.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pembentukan; Bab III Ke-
dudukan dan Tugas; Bab IV Susunan Organisasi; Bab V Tata
Kerja; Bab VI Keuangan; Bab VII Lembaga Kemasyarakatan; Bab
VIII Pembinaan dan Pengawasan; Bab IX Ketentuan Lain-lain;
Bab X Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau
Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (4) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Peng-
adaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaha-
raan Negara menetapkan bahwa dalam rangka membiayai dan
mendukung kegiatan prioritas dalam rangka mencapai sasaran
pembangunan, Pemerintah dapat mengadakan pinjaman
dan/atau menerima hibah baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri. Pinjaman dan/atau hibah dimaksud dapat
diterus-pinjamkan kepada Daerah atau BUMN.
Pemerintah berwenang melakukan pinjaman luar negeri.
Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Menteri. Pemerintah dapat
menerima Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber
dari: Negara asing, Lembaga Multilateral, Lembaga Keuangan dan
non keuangan, serta Lembaga Keuangan non asing.
Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur tentang pengadaan
pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri dan pe-
nerusannya kepada Daerah/BUMN dalam bentuk pinjaman
dan/atau hibah. Sedangkan pengadaan pinjaman yang berasal
dari dalam negeri diatur dalam peratura perundang-undangan
tersendiri.
Pengelolaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (PHLN)
menganut prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan juga
mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan per-
aturan perundang-undangan yang berlaku. PHLN dilakukan
melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, monitoring, evaluasi, dan pengawasan. Selain itu, agar
PHLN dapat dikelola secara baik perlu dilakukan peningkatan
transparansi dan akuntablitas PHLN melalui penyelenggaraan
publikasi informasi.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kewenangan; Bab III Sumber,
Jenis dan Persyaratan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab
IV Perencanaan dan Pengadaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar
59 58
59
Negeri; Bab V Pelaksanaan dan Penatausahaan Pinjaman dan/-
atau Hibah Luar Negeri; Bab VI Tata Cara Penerusan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab VII Pelaporan, Monitoring,
Evaluasi, dan Pengawasan; Bab VIII Pembayaran Pinjaman; Bab
IX Transparansi dan Akuntabilitas; Bab X Ketentuan Peralihan.
37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2006
tentang Irigasi
Peraturan ini adalah pelaksanaan dari ketentuan Pasal 41
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi
dinyatakan tidak berlaku.
Irigasi berfungsi mendukung produktivitas usaha tani guna
meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pa-
ngan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani,
yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi.
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan me-
wujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian. Pengem-
bangan dan pengelolaan sistem irigasi yang dilaksanakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabu-
paten/Kota melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan
mengutamakan kepentingan dan peran serta masyarakat petani.
Untuk mewujudkan tertib pengelolaan jaringan irigasi yang
dibangun Pemerintah dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi
yakni meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi,
perkumpulan petani pemakai air, dan komisi irigasi.
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabu-
paten/Kota dapat saling bekerja sama dalam pengembangan dan
pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder atas dasar ke-
sepakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pemberdayaan per-
kumpulan petani pemakai air. Hak guna pakai air untuk irigasi di-
berikan kepada masyarakat petani melalui perkumpulan petani
pemakai air dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sis-
tem irigasi yang sudah ada diperoleh tanpa izin.
Untuk pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan
rencana induk pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai de-
ngan memperhatikan rencana pembangunan pertanian, dan se-
suai dengan norma, standar, pedoman, dan manual yang ditetap-
kan oleh Menteri. Perkumpulan petani pemakai air dapat berper-
an serta dalam rehabilitasi jaringan primer dan sekunder sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan persetujuan
dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Ka-
bupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan
sumber daya air.
Dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada
setiap daerah irigasi dilaksanakan pengawasan yang dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabu-
paten/Kota sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan
peran masyarakat.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengembangan dan Penge-
lolaan Sistem Irigasi; Bab III Kelembagaan Pengelolaan Irigasi;
Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab; Bab V Partisipasi Ma-
syarakat Petani dalam Pengembangan dan Pengelolaan Sistem
Irigasi; Bab VI Pemberdayaan; Bab VII Pengelolaan Air Irigasi;
61 60
61
Bab VIII Pengembangan Jaringan Irigasi; Bab IX Pengelolaan Ja-
ringan Irigasi; Bab X Pengelolaan Aset Irigasi; Bab XI Pem-
biayaan; Bab XII Alih Fungsi Lahan Beririgasi; Bab XIII Koordinasi
Pengelolaan Sistem Irigasi; Bab XIV Pengawasan; Bab XV
Ketentuan Peralihan; Bab XVI Ketentuan Penutup.
62
63
PE RAT URAN
PRE SI DE N
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional
(RPJM) 2004-2009
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Un-
dang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pem-
bangunan Nasional, maka perlu ditetapkan Peraturan Presiden
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2004-2009.
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan pro-
gram Presiden hasil Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara
langsung pada tahun 2004. RPJM Nasional menjadi pedoman ba-
gi Kementerian/Lembaga dalam menyusun Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dalam menyusun
RPJM Daerah, dan Pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja
Pemerintah.
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah melaksanakan
program dalam RPJM Nasional yang dituangkan dalam Rencana
Strategis Kementerian/Lembaga dan RPJM Daerah. Kemen-
terian/Lembaga dan Pemerintah Daerah juga dapat melakukan
konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dalam menyusun
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga dan RPJM Daerah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
Dalam Peraturan Presiden ini disebutkan bahwa Men-
teri/Kepala Lembaga/Kepada Daerah selaku penanggung jawab
Proyek Kerjasama dapat bekerjasama dengan badan usaha da-
lam penyediaan infrastruktur yang dapat dilaksanakan melalui
Perjanjian Kerjasama atau Izin Pengusahaan.
Bentuk kerjasama ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha sepa-
njang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang ber-
laku.
Didasarkan pada evaluasi proyek, apabila proyek atas prakarsa
Badan Usaha telah memenuhi persyaratan kelayakan maka pro-
yek tersebut diproses melalui pelelangan umum. Badan Usaha
yang prakarsa kerjasamanya diterima oleh Menteri/Kepala Lem-
baga/Kepala Daerah akan diberikan kompensasi berupa pemberi-
an tambahan nilai atau pembelian prakarsa proyek kerjasama ter-
masuk Hak Kekayaan Intelektual yang menyertainya.
Dukungan Pemerintah kepada Badan Usaha dilakukan dengan
memperhatikan prinsip pengelolaan dan pengendalian resiko ke-
uangan dalam APBN atau APBD.
Pengadaan Badan Usaha dalam rangka perjanjian kerjasama
dilakukan melalui pelelangan umum. Menteri/Kepala Lem-
baga/Kepala Daerah membentuk Panitia Pengadaan. Dalam hal
penyediaan infrastruktur dilaksanakan dengan melakukan pembe-
basan lahan oleh Badan Usaha. Perjanjian Kerjasama harus men-
cantumkan dengan jelas status kepemilikan aset yang diadakan
selama jangka waktu perjanjian.
64 63
65
Paling lama dalam jangka waktu 12 bulan setelah menandata-
ngani perjanjian kerjasama, Badan Usaha harus telah memper-
oleh pembiayaan untuk Proyek Kerjasama. Jika tidak dapat di-
penuhi oleh Badan Usaha, maka perjanjian kerjasama berakhir
dan jaminan pelelangan dapat dicairkan.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tujuan, Jenis, Bentuk, dan
Prinsip Kerjasama; Bab III Identifikasi dan Penetapan Proyek
yang Dilakukan Berdasarkan Perjanjian Kerjasama; Bab IV
Proyek Kerjasama atas Prakarsa Badan Usaha; Bab V Tarif Awal
dan Penyesuaian Tarif; Bab VI Pengelolaan Resiko dan Dukungan
Pemerintah; Bab VII Tata Cara Pengadaan Badan Usaha dalam
Rangka Perjanjian Kerjasama; Bab VIII Perjanjian Kerjasama;
Bab IX Penyediaan Infrastruktur Berdasarkan Izin Pengusahaan;
Bab X Ketentuan Peralihan; Bab XI Penutup.
65
67
KE PUT USAN
PRE SI DE N
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1999
tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan
Pemeliharaan Kelestarian Daerah Sungai
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Koordinasi mendapat
pengarahan dari Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan
dan Industri, Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan, serta Menteri Negara Pe-
rencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. Tim Koordinasi bertanggung jawab ke-
pada Presiden.
Kegiatan pendayagunaan sungai diusahakan sejauh mungkin
secara korporasi dengan memanfaatkan potensi BUMN, BUMD,
Koperasi dan Badan Usaha Swasta. Untuk kegiatan pemeliharaan
kelestarian Daerah Aliran Sungai (DAS) diusahakan dengan
meningkatkan peran serta penduduk dan masyarakat sekitarnya
serta Lembaga Swadaya Masyarakat terkait.
Tim Koordinasi juga dapat membentuk Sekretariat dan
Kelompok Kerja Teknis maupun menunjuk Tenaga Ahli. Biaya
untuk pelaksanaan tugas Tim Koordinasi dibebankan kepada
Anggaran Departemen Pekerjaan Umum, sedangkan pelak-
sanaan teknis pendayagunaan sungai dan pemeliharaan kelesta-
rian DAS dilakukan secara fungsional dan dibiayai dengan beban
anggaran dari lembaga yang bersangkutan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2000
tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan
Presiden Nomor 196 Tahun 1998 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (Bapedal) dinyatakan tidak berlaku.
Bapedal adalah Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang
berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Bapedal mempunyai tugas menyelenggarakan tugas umum dan
pembangunan dibidang pengendalian dampak lingkungan hidup
yang meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan kualitas lingkungan
hidup dalam penyusunan kebijakan teknis dan program pengen-
dalian dampak lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dalam hal pembiayaan yang diperlukan untuk menyeleng-
garakan tugas dan fungsi Bapedal dibebankan kepada APBN.
Bapedal dikoordinasikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Bapedal terdiri dari Kepala, Sekretariat Utama, Deputi Bidang
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Sumber Daya Manusia dan
Mitra Lingkungan, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran
Lingkungan, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan,
dan Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan. Setiap unsur di
lingkungan Bapedal dalam melaksanakan tugas masing-masing
wajib menerapkan secara intensif prinsip-prinsip koordinasi, inte-
grasi, dan sinkronisasi baik di lingkungan Bapedal maupun dalam
kalangan antar instansi pemerintah dan/atau instansi lain.
67 66
69
Daftar Isi
Bab I Kedudukan, Tugas dan Fungsi; Bab II Organisasi : Ba-
gian Pertama : Susunan Organisasi, Bagian Kedua : Kepala, Ba-
gian Ketiga : Sekretariat Utama, Bagian Keempat : Deputi Bidang
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Sumber daya Manusia,
dan Mitra Lingkungan, Bagian Kelima : Deputi Bidang Pengen-
dalian Pencemaran Lingkungan, Bagian Keenam : Deputi Bidang
Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Bagian Ketujuh : Deputi
Bidang Penataan Hukum Lingkungan; Bab III Kepangkatan,
Pengangkatan dan Pemberhentian; Bab IV Pembiayaan; Bab V
Tata Kerja; Bab VI Ketentuan Lain-lain; Bab VII Ketentuan
Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup.
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 123 Tahun 2001
tentang Tim Koordinasi Pengelolaan
Sumber Daya Air
Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pe-
meliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai dinyatakan tidak ber-
laku. Kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden Nomor 123
Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air.
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air bertugas mem-
bantu Presiden dalam merumuskan kebijakan nasional sumber
daya air dan berbagai perangkat kebijakan lain yang diperlukan
dalam bidang sumber daya air.
Penyelenggaraan tugas Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber
Daya Air sehari-hari dilaksanakan oleh Ketua Harian (Menteri Per-
mukiman dan Prasarana Wilayah) dibantu oleh Sekretaris I (De-
puti Bidang Produksi, Perdagangan dan Prasarana, Bappenas).
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air bersidang seku-
rang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
sumber daya air di Propinsi dan Kabupaten/Kota maka
Gubernur/Bupati/Walikota dapat membentuk wadah koordinasi
pengelolaan sumber daya air di daerahnya masing-masing.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah menetapkan pedo-
man untuk pembentukan wadah koordinasi pengelolaan sumber
daya air tingkat daerah.
Segala pembiayaan untuk pelaksanaan Tim Koordinasi
Pengelolaan Sumber Daya Air dan Sekretariat dibebankan pada
Anggaran Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Sedangkan untuk pelaksanaan wadah koordinasi pengelolaan
sumber daya air tingkat daerah dibebankan pada APBD.
Peraturan ini telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor
83 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden
Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan
Sumber Daya Air.
Daftar Isi
Bab I Kedudukan, Tugas dan Fungsi; Bab II Organisasi dan
Tata Kerja; Bab III Wadah Koordinasi Sumber Daya Air Tingkat
Daerah; Bab IV Pembiayaan; Bab V Ketentuan Penutup.
69 68
43. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 83 Tahun 2002
tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden
Republik Indonesia
Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi
Pengelolaan Sumber Daya Air
Untuk meningkatkan tugas dan fungsi Tim Koordinasi Sumber
Daya Air maka diperlukan penyesuaian terhadap susunan keang-
gotaan Tim Koordinasi Sumber Daya Air. Peraturan ini merupakan
perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001 ten-
tang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air.
Di dalam Keputusan Presiden ini mengubah ketentuan Pasal 5
Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001, sehingga Pasal 5
berbunyi : "Susunan keanggotaan Tim Koordinasi Pengelolaan
Sumber Daya Air terdiri atas :
Ketua : Menteri Negara Koordinator Bidang (merangkap ang-
gota) Perekonomian.
Wakil Ketua : Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
(merangkap anggota) Nasional/Kepala Perencanaan Pemba-
ngunan Nasional.
Ketua Harian : Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
(merangkap anggota).
Anggota :
1. Menteri Dalam Negeri
2. Menteri Pertanian
3. Menteri Perhutanan
4. Menteri Perhubungan
5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
6. Menteri Kelautan dan Perikanan
7. Menteri Kesehatan
8. Menteri Perindustrian dan Perdagangan
9. Menteri Keuangan
10. Menteri Negara Lingkungan Hidup
Sekretaris I : Deputi Menteri Negara Perencanaan Pemba-
ngunan Nasional/Kepala BAPPENAS Bidang Sarana dan Pra-
sarana
Sekretaris II : Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah
44. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 63 Tahun 2003
tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian
Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Nasional
Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Peru-
mahan dan Permukiman Nasional (selanjutnya disebut Badan)
adalah badan non-struktural yang dipimpin oleh Menteri Per-
mukiman dan Pengembangan Wilayah. Keanggotaan Badan ter-
diri atas Ketua, Anggota, dan dibantu oleh Pelaksana Harian serta
Sekretaris Badan merangkap Sekretaris Pelaksana Harian.
Badan mempunyai tugas pokok, diantaranya menyiapkan ru-
musan kebijakan nasional dan strategis di bidang pembangunan
perumahan dan permukiman, memberikan penyelesaian atas
berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan antar
dan/atau oleh Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabu-
paten/Kota, serta melaksanakan pengawasan dan pengendalian
penerapan kebijakan nasional terhadap penyelenggaraan dan pe-
ngelolaan di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.
71 70
Badan bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali setiap 6
(enam) bulan, atau sewaktu-waktu diperlukan. Ketua Badan me-
nyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara berkala kepada
Presiden. Pelaksana Harian bersidang sekurang-kurangnya 4
(empat) kali setiap tahun, atau sewaktu-waktu diperlukan.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, apabila dipandang
perlu, Ketua Pelaksana Harian dapat membentuk Tim Teknis yang
anggota-anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari instansi Pe-
merintah terkait.
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan
dibebankan kepada anggaran Departemen Permukiman dan Pe-
ngembangan Wilayah. Sedangkan segala biaya yang diperlukan
untuk pelaksanaan tugas Badan Pengendalian Pembangunan
Perumahan dan Permukiman Daerah Propinsi, Daerah Kabupa-
ten/Kota dibebankan kepada anggaran Pemerintah Daerah Pro-
pinsi, Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Daftar Isi
Bab I Kedudukan, Tugas dan Fungsi; Bab II Organisasi dan
Tata Kerja; Bab III Pembiayaan; Bab IV Ketentuan Penutup.
72
I NST RUKSI
PRE SI DE N
Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 1984
tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
Perkumpulan Petani Pemakai Air (selanjutnya disingkat P3A)
bertujuan mendayagunakan potensi air irigasi yang tersedia di da-
lam petak tersier atau daerah irigasi pedesaan untuk kesejahtera-
an masyarakat tani. P3A juga mempunyai batas-batas daerah
kerja, yaitu petak tersier, daerah irigasi pompa yang areal pela-
yanannya dipersamakan dengan petak tersier, dan daerah irigasi
pedesaan.
P3A merupakan perkumpulan yang bersifat sosial dengan
maksud menuju ke arah hasil guna pengelolaan air dan jaringan
irigasi di tingkat usaha tani untuk meningkatkan kesejahteraan
para anggotanya. P3A dilengkapi dengan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga yang disahkan oleh Bupati/Walikota-
madya Kepala Daerah Tingkat II setelah mendapat persetujuan
dari Kepala Desa dan Camat setempat.
Susunan organisasi P3A terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus,
dan Anggota. Segala pekerjaan yang dilakukan oleh P3A baik
untuk keperluan pendayagunaan air, pemeliharaan, dan per-
baikan jaringan irigasi maupun untuk kegiatan lainnya dibiayai
oleh P3A yang bersangkutan. Sumber biaya P3A terdiri dari iuran
anggota, sumbangan atau bantuan dan usaha-usaha lain yang
menurut hukum.
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I memberi petunjuk pelaksa-
naan dalam rangka pembinaan dan pengembangan P3A. Bu-
pati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II bertanggung jawab
atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan P3A. Camat
melaksanakan koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan dan
pengembangan P3A. Sedangkan Kepala Desa melaksanakan
pembinaan dan pengembangan P3A sesuai dengan tanggung
jawab dan wewenangnya.
Daftar Isi
Bab I Pengertian Umum; Bab II Azas, Tujuan dan Tugas; Bab
III Batas Daerah Kerja; Bab IV Sifat dan Bentuk; Bab V Susunan
Organisasi; Bab VI Tugas dan Wewenang; Bab VII Hak dan
Kewajiban; Bab VIII Pembiayaan; Bab IX Ketentuan Penutup.
Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pembaharuan Kebijaksanaan
Pengelolaan Irigasi
Bahwa pengelolaan irigasi adalah salah satu faktor pendukung
utama bagi keberhasilan pembangunan pertanian terutama dalam
rangka peningkatan serta perluasan tujuan pembangunan pertanian
dari program swasembada beras menjadi swasembada pangan.
Agar pokok-pokok pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan
irigasi tersebut dapat mencapai sasaran tepat guna, dipandang
perlu menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum sebagai
Ketua Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan
Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai untuk mengambil
langkah-langkah pelaksanaannya.
Menteri Pekerjaan Umum sebagai Ketua Tim Koordinasi
Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan
Daerah Aliran Sungai diinstruksikan untuk mengkoordinasikan
penyiapan peraturan perundang-undangan serta langkah-langkah
74 73
yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pembaharuan kebi-
jaksanaan pengelolaan irigasi.
Pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi sebagaimana
dimaksud dalam diktum pertama meliputi :
1. Pengaturan kembali tugas dan tanggung jawab lembaga pe-
ngelola irigasi.
2. Pemberdayaan masyarakat petani pengelola air melalui pe-
ngembangan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air
yang otonom, mandiri dan mengakar dimasyarakat.
3. Pengaturan penyerahan pengelolaan irigasi secara bertahap,
selektif, dan demokratis kepada Perkumpulan Petani Pemakai
Air dengan prinsip satu jaringan irigasi satu kesatuan pen-
gelolaan.
4. Penggalian sumber pendapatan untuk membiayai operasi dan
pemeliharaan, rehabilitasi dan pembangunan prasarana iri-
gasi yang dikumpulka, dikelola dan ditetapkan penggunaan-
nya oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air.
5. Penetapan kebijaksanaan umum tentang kelestarian sumber
daya air dan pencegahan alih fungsi lahan beririgasi, sehing-
ga berkelanjutan jaringan irigasi dapat terjaga.
75
PE RAT URAN
ME NT E RI
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia
Nomor 45/PRT/1990
tentang Pengendalian Mutu Air pada
Sumber-sumber Air
Pengendalian mutu air pada sumber-sumber air dimaksudkan
sebagai upaya untuk menetapkan peruntukkan air dan baku mutu
air pada sumber-sumber air. Pengendalian mutu air juga bertujuan
untuk menjaga air yang ada di sumber-sumber air dapat dimanfa-
atkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia, untuk melin-
dungi kelestarian hidup fauna, flora dan mikroorganisme yang
bermanfaat yang terdapat pada sumber-sumber air dimaksud.
Wewenang dan tanggung jawab pengendalian mutu air pada
sumber-sumber air dalam rangka penetapan peruntukan air dan
baku mutu air yang berada pada Menteri, pelaksanaannya
dilakukan oleh Dirjen Pengairan dibantu oleh Badan Hukum atau
unit kerja yang ditunjuk oleh Dirjen Pengairan. Sedangkan yang
berada di dalam satu daerah, dilimpahkan dalam rangka tugas
pembantuan kepada Gubernur, kecuali apabila ditentukan lain
oleh Menteri.
Guna menyelenggarakan pengendalian mutu air pada sumber-
sumber air perlu dilakukan pengumpulan, pengelolaan data mutu
air dan jumlah air, penelitian dan pemantauan, pengaturan pem-
buangan limbah, pelaksanaan pekerjaan penanggulangan, serta
pelaksanaan pekerjaan pemulihan pada sumber-sumber air yang
bersangkutan.
Pembiayaan bagi pelaksana kegiatan pengendalian mutual air
pada sumber air ditanggung oleh Menteri atau Badan Hukum ter-
tentu. Sedangkan pembiayaan penanggulangan penurunan mutu
air pada sumber air yang disebabkan oleh pembuangan limbah di-
bebankan kepada pihak yang menyebabkan penurunan mutu air.
Pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Menteri ini dapat
dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang dihubungkan den-
gan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 ten-
tang Tata Pengaturan Air.
Daftar Isi
Bab I Pengertian; Bab II Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup;
Bab III Upaya Pelaksanaan; Bab IV Pengawasan; Bab V
Koordinasi Pengendalian; Bab VI Pembiayaan; Bab VII Lain-lain;
Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan
Penutup.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia
Nomor 48/PRT/1990
tentang Pengelolaan Atas Air dan/atau
Sumber Air pada Wilayah Sungai
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum ini merupakan pelak-
sanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata
Pengaturan Air khususnya Pasal 4 dan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 39/PRT/1989 tentang Pembagian
Wilayah Sungai.
Wewenang pengelolaan atas air dan/atau sumber air yang berada
pada wilayah sungai dilimpahkan dalam rangka tugas pembantuan
kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan, mencakup beberapa
kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1974 tentang Pengairan dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air.
77 76
Untuk pengelolaan atas air dan/atau sumber air yang berada
pada wilayah sungai yang dilimpahkan kepada Pemerintah Dae-
rah dilaksanakan dalam ruang lingkup tugas Dinas yang akan dia-
tur lebih lanjut oleh Kepala Dinas yang bersangkutan dengan per-
setujuan Gubernur Kepala Daerah. Sedangkan untuk pengelolaan
yang wewenangnya berada pada Menteri dilaksanakan oleh Ba-
dan Pelaksana Proyek yang wilayah kerjanya berada pada wi-
layah sungai dimaksud atau Direktorat Sungai Dirjen Pengairan
dalam hal tidak ada Badan Pelaksana Proyek.
Daftar Isi
Bab I Pengertian; Bab II Wewenang Pengelolaan; Bab III
Organisasi Pelaksana; Bab IV Ketentuan Penutup.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia
Nomor 49/PRT/1990
tentang Tata Cara dan Persyaratan
Izin Penggunaan Air dan/atau Sumber Air
Ditetapkannya Peraturan Menteri ini adalah sebagai tindak lan-
jut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata
Pengaturan Air, khususnya yang tercantum pada Pasal 23.
Setiap penggunaan air dan/atau sumber air untuk keperluan-
keperluan tertentu wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari
pihak yang berwenang. Terutama bagi penggunaan air dan/atau
sumber air yang dapat mempengaruhi keseimbangan tata air,
harus didasarkan pada rencana perlindungan, pengembangan
dan penggunaan air dan/atau sumber air pada tiap wilayah sungai
yang bersangkutan.
Dirjen Pengairan menetapkan pedoman umum mengenai per-
syaratan teknis yang minimal harus diberikan pada setiap pener-
bitan surat izin penggunaan air dan/atau sumber air. Penggunaan
air dan/atau sumber air dengan izin dapat dilakukan oleh Instansi
Pemerintah, Badan Hukum, Badan Sosial atau perorangan.
Wewenang Gubernur dalam pemberian izin penggunaan air
dan/atau sumber air diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah.
Surat Izin penggunaan air dan/atau sumber air diberikan untuk
jangka waktu sesuai dengan pertimbangan keperluannya, dan
dapat dimintakan perpanjangannya oleh pemegang izin. Segala
biaya yang ditimbulkan sebagai akibat proses pemberian izin
tersebut diatas dibebankan kepada pemohon izin yang pengatur-
annya ditetapkan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang.
Pemegang Izin berhak menggunakan air dan/atau sumber air
sesuai dengan izin yang diberikan. Pemegang Izin berkewajiban
membayar iuran untuk penggunaan air dan/atau sumber air yang
bersifat komersil. Pemegang Izin juga dilarang memindahtan-
gankan izin kepada pihak lain tanpa persetujuan pemberi izin.
Serta dilarang menjual izin kepada pihak lain kecuali ditentukan
dalam surat izin.
Pelaksanaan pengawasan terhadap peraturan ini dilakukan oleh
Kepala Kanwil Departemen PU sepanjang menyangkut penggunaan
air dan/atau sumber air yang menjadi wewenang Menteri dan Kepala
Dinas PU Daerah Tingkat I Bidang Pengairan/Kepala Sub Dinas
Pengairan Daerah Tingkat I sepanjang menyangkut izin penggunaan
air dan/atau sumber air yang menjadi wewenang Gubernur.
Daftar Isi
Bab I Pengertian; Bab II Izin Penggunaan Air Dan/Atau Sumber
Air; Bab III Penggunaan Air Dan/Atau Sumber Air yang Dikenakan
79 78
Izin; Bab IV Tata Cara dan Persyaratan Permohonan dan
Pemberian Izin; Bab V Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi
Pemegang Izin; Bab VI Perubahan, Pembekuan Sementara,
Pencabutan dan Batalnya Izin; Bab VII Pengawasan; Bab VIII
Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia
Nomor 63/PRT/1993
tentang Garis Sempadan dan Sungai,
Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan
Sungai dan Bekas Sungai
Berdasarkan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Peme-
rintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, dalam rangka pe-
nguasaan sungai Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pengairan diberi wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal
yang menyangkut penetapan garis sempadan sungai, pengelo-
laan dan pemanfaatan lahan pada daerah manfaat sungai, daerah
penguasaan sungai dan bekas sungai.
Lingkup pengaturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri
ini terdiri dari penetapan garis sempadan sungai termasuk danau
dan waduk, pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada daerah
manfaat sungai, pemanfaaatan lahan pada daerah penguasaan
sungai, serta pemanfaatan lahan pada bekas sungai.
Penetapan garis sempadan sungai dimaksudkan sebagai upa-
ya agar kegiatan perlindungan, pengembangan, penggunaan dan
pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai termasuk
danau dan waduk dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.
Pengelolaan dan pembinaan pemanfaatan sungai dilak-
sanakan oleh Direktur Jenderal, Pemerintah Daerah, dan Badan
Hukum tertentu, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab
masing-masing terhadap wilayah sungai yang bersangkutan.
Penetapan daerah penguasaan sungai dimaksud agar pejabat
yang berwenang dapat melaksanakan upaya pembinaan sungai
seoptimal mungkin bagi keselamatan umum.
Lahan bekas sungai merupakan inventaris kekayaan milik ne-
gara yang berada di bawah pembinaan Direktur Jenderal atas na-
ma Menteri. Pemanfaatan lahan bekas sungai diprioritaskan untuk
mengganti lahan bekas yang terkena alur sungai baru, keperluan
pembangunan prasarana pengairan, keperluan pembangunan
lainnya dengan cara tukar bangun, serta keperluan budidaya de-
ngan syarat tertentu.
Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan di dalam
Peraturan ini dilakukan oleh satuan kerja atau Badan Hukum ter-
tentu yang menangani sungai yang bersangkutan sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Garis Sempadan Sungai; Bab III
Daerah Manfaat Sungai; Bab IV Daerah Penguasaan Sungai; Bab
V Bekas Sungai; Bab VI Pengawasan; Bab VII Sanksi; Bab VIII
Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
81 80
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia
Nomor 67 Tahun 1993
tentang Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi
Daerah Tingkat I
Pada setiap Propinsi Daerah Tingkat I dibentuk Panitia Tata
Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I yang ditetapkan oleh
Gubernur. Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I
merupakan forum musyawarah dalam rangka melaksanakan
koordinasi tata aturan air di Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Susunan keanggotaan Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi
Daerah Tingkat I terdiri dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk
olehnya sebagai Ketua merangkap anggota, Kepala Dinas PU
Propinsi/Kepala Dinas PU Pengairan Propinsi sebagai Sekretaris
merangkap anggota dan Kepala Kantor Instansi Vertikal Propinsi
dan Dinas Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Tata Pengaturan Air
Propinsi Daerah Tingkat I dapat mengundang pihak pemanfaat air
dan/atau pihak lain yang berkepentingan maupun perorangan
untuk hadir rapat/sidang panitia.
Dalam hal pembiayaan, sumber biaya untuk melaksanakan
tugas Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I dapat
berasal dari dana bantuan dari Pemerintah Pusat, dalam hal
tersedia dan dana yang tersisihkan dari penerimaan iuran peng-
gunaan air dan/atau sumber air yang akan ditetapkan oleh
Gubernur.
Hubungan kerja Panitia Irigasi dengan Panitia Pengaturan Air
Propinsi Daerah Tingkat I bersifat koordinatif dengan ketentuan
masalah penyediaan air untuk irigasi didasarkan pada penetapan
kebijaksanaan. Dalam hal terdapat masalah koordinatif tata peng-
aturan air pada satuan wilayah sungai yang berada pada lebih dan
satu Propinsi Daerah Tingkat I dapat dilakukan rapat gabungan
Panitia-panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I yang
bersangkutan dengan dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum
atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pembentukan, Kedudukan,
Fungsi dan Tugas; Bab III Susunan Organisasi; Bab IV Tata Cara
Kerja; Bab V Pembiayaan; Bab VI Lain-lain; Bab VII Ketentuan
Penutup.
Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
Nomor 472 Tahun 1996
tentang Pengamanan Bahan Berbahaya
bagi Kesehatan
Salah satu upaya untuk menghindarkan atau mengurangi re-
siko bahan berbahaya dilakukan melalui pemberian informasi
yang benar tentang penanganan bahan berbahaya kepada pe-
ngelola bahan berbahaya dan masyarakat umum. Oleh karena itu
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 453/Menkes/Per/XI/1993
tentang Bahan Berbahaya tidak sesuai lagi dengan perkem-
bangan situasi perdagangan dunia saat ini sehingga perlu diubah
dan ditetapkan kembali Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan.
Setiap jenis bahan berbahaya yang akan didistribusikan atau
diedarkan harus didaftar pada Dirjen Pengawasan Obat dan Ma-
83 82
kanan Departemen Kesehatan. Setiap badan usaha atau per-
orangan yang mengelola bahan berbahaya harus membuat, me-
nyusun dan memiliki lembaran data pengaman bahan berbahaya.
Setiap bahan berbahaya yang diedarkan harus diberi wadah dan
kemasan dengan baik serta aman. Badan usaha dan perorangan
yang mengelola bahan berbahaya harus membuat laporan berkala
setiap 3 (tiga) bulan yang memuat tentang penerimaan, penyaluran
dan penggunaan serta yang berkaitan dengan kasus yang terjadi.
Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan dan/atau Kantor Wila-
yah Departemen Kesehatan Propinsi setempat secara sendiri
atau bersama-sama dengan instansi terkait dapat melaksanakan
pemantauan atau pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan
ini. Badan usaha atau perorangan yang mengelola bahan berba-
haya yang melakukan perbuatan yang bertentangan atau melang-
gar ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1)
dan Pasal 7, baik disengaja maupun karena kelalaiannya sehing-
ga mengakibatkan terjadinya bahaya bagi kesehatan dan kesela-
matan manusia serta lingkungan dikenakan sanksi berupa tin-
dakan administratif atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Hal-hal yang bersifat teknis yang
belum cukup diatur dalam peraturan ini, ditetapkan oleh Dirjen.
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 1998
tentang Pedoman Penetapan Tarif Air Minum
pada Perusahaan Daerah Air Minum
Penetapan tarif PDAM didasarkan pada pemulihan biaya, ke-
terjangkauan, efesiensi pemakaian, kesederhanaan dan transpa-
ransi. Pendapatan PDAM terdiri dari hasil penjualan air dan beban
tetap. Tarif yang ditetapkan oleh PDAM atas kebutuhan dasar
harus terjangkau oleh pelanggan rumah tangga.
PDAM dapat melakukan penyesuaian terhadap jenis persaing-
an yang dimaksudkan ke dalam kelompok-kelompok pelanggan
(terdapat 5 kelompok) dan menentukan kriterianya.
Tarif ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul Direksi. Semua
perhitungan tarif didasarkan atas volume air yang terjual.
Selambat-lambatnya satu tahun Direksi melakukan penyesuaian
tarif yang disampaikan kepada Kepala Daerah sesuai dengan
tingkat inflasi dan beban bunga pinjaman. Apabila terjadi perubah-
an komponen biaya, selambat-lambatnya 4 tahun sekali Direksi
melakukan peninjauan terhadap tarif.
Sejak diterimanya usul penyesuaian atau penentuan tarif, Ke-
pala Daerah sudah menetapkan atau menolak usul tarif selambat-
lambatnya 3 bulan. PDAM menentukan beban tetap bulanan ke-
pada pelanggan untuk setiap sambungan yang terdiri dari biaya
administrasi rekening pelanggan dan pengendalian atas pelak-
sanaan pedoman penetapan tarif.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan; Bab II Dasar Penetapan Tarif; Bab III Ke-
lompok Pelanggan Dan Blok Konsumsi; Bab IV Tarif; Bab V Keten-
tuan Lain-lain; Bab VI Ketentuan Penutup.
85 84
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1998
tentang Kepengurusan Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM)
Mengingat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 690-157
Tahun 1985 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Badan Peng-
awas, Direksi dan Kepegawaian PDAM dianggap sudah tidak se-
suai lagi, maka ditetapkan Peraturan mengenai Kepengurusan
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air minum dan
dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat perlu
diatur kepengurusan PDAM. Pengurus PDAM terdiri dari Direksi
dan Badan Pengawas. Anggota Direksi diangkat oleh Kepala
Daerah diutamakan bukan dari PNS atas usul Badan Pengawas.
Selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhir tahun buku,
Direksi menyampaikan laporan Keuangan kepada Ketua Badan
Pengawas yang terdiri dari Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi.
Penghasilan Direksi terdiri dari gaji, tunjangan, dan jasa produksi.
Anggota Direksi berhak untuk memperoleh cuti. Anggota Direk-
si juga dapat diberhentikan dengan alasan atas permintaan sen-
diri, tidak dapat melaksanakan tugasnya karena kesehatan, tidak
melaksanakan tugasnya sesuai dengan program kerja yang telah
disetujui, terlibat dalam tindakan yang merugikan PDAM, terlibat
dalam tindak pidana, serta merugikan PDAM.
Anggota Badan Pengawas diangkat oleh Kepala Daerah.
Badan Pengawas mempunyai wewenang memberi peringatan
kepada Direksi yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan
program kerja yang telah disetujui dan memeriksa Anggota Direksi
yang diduga merugikan PDAM. Penghasilan Badan Pengawas
terdiri dari uang jasa dan jasa produksi.
PDAM yang cakupan pelayanannya kurang dari 10.000 (sepu-
luh ribu) pelanggan, persyaratan untuk diangkat menjadi Anggota
Direksi minimum berijazah Sarjana Muda atau D3 dengan tetap
mengutamakan yang berpendidikan Sarjana (S1). Apabila dalam
2 (dua) tahun berturut-turut Direksi tidak mampu meningkatkan
kinerja dan pelayanan air minum kepada masyarakat, Kepala
Daerah dapat mengganti Direksi.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengurus; Bab III Direksi; Bab
IV Badan Pengawas; Bab V Ketentuan Lain-lain; Ketentuan
Peralihan; Bab VI Ketentuan Penutup.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 107/PMK.06/2005
tentang Penyelesaian Piutang Negara yang
Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri ,
Rekening Dana Investasi dan Rekening
Pembangunan Daerah
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Per-
aturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Peng-
hapusan Piutang Negara/Daerah maka dibuat peraturan menge-
nai Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Pene-
rusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi dan Reke-
ning Pembangunan Daerah.
Penyelesaian Piutang Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini, meliputi Piutang Negara yang bersumber dari
Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan
Rekening Pembangunan Daerah yang disalurkan pada PDAM.
87 86
Piutang Negara yang bersumber dari Pinjaman Subsidiary Lo-
an Agreement (SLA)/Pinjaman Rekening Dana Investasi
(RDI)/Pinjaman Rekening Pinjaman Daerah (RPD) dapat dilaku-
kan penghapusan secara bersyarat atau mutlak dari pembukuan
Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Penetapan penghapusan secara bersyarat/secara mutlak atas
Piutang Negara pada PDAM dilakukan oleh Menteri untuk jumlah
sampai dengan 10 miliar rupiah, Presiden untuk jumlah lebih dari 10
miliar rupiah sampai dengan 100 miliar rupiah, dan Presiden dengan
persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari 100 miliar rupiah.
Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara merupakan upaya
penyelesaian Piutang Negara pada PDAM melalui restrukturisasi
Piutang Negara yang didasarkan pada hasil evaluasi kinerja
PDAM dan hasil evaluasi Rencana Perbaikan Kinerja Perusahaan
(RPKP) PDAM dalam rangka penyehatan PDAM dengan memini-
malisasi berkurangnya penerimaan Negara.
PDAM menyampaikan permohonan restrukturisasi Piutang
Negara kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan tembus-
an kepada Kepala Daerah dan DPRD. PDAM wajib menyampai-
kan laporan pelaksanaan RPKP disertai laporan rekonsiliasi saldo
kas dan laporan keuangan kepada Direktur Jenderal paling lam-
bat tanggal 1 bulan Februari dan Agustus selama jangka waktu
restrukturisasi Piutang Negara.
Direktur Jenderal melakukan evaluasi dan pemantauan atas
pelaksanaan restrukturisasi Piutang Negara pada PDAM secara
periodik selama jangka waktu restrukturisasi dari berbagai aspek
untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka meminimalisasi
penyimpangan pelaksanaan RPKP-PDAM. Terhadap PDAM yang
tidak melakukan pembayaran sekurang-kurangnya 2 (dua) kali
jatuh tempo secara berturut-turut, penyelesaian pembayaran
Piutang Negara tunduk pada persyaratan sebagaimana ditetap-
kan dalam perjanjian pinjaman/penerusan pinjaman sebelum
dilakukan restrukturisasi.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kewenangan Penetapan Peng-
hapusan; Bab III Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara Pada
PDAM; Bab IV Tahapan Restrukturisasi; Bab V Tata Cara Restruk-
turisasi Piutang Negara; Bab VI Pelaporan; Bab VII Evaluasi dan
Pemantauan; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Lain; Bab X Penutup.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.294/PRT/M/2005
tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (BPPSPAM)
Peraturan Menteri ini ditetapkan untuk melaksanakan ketentu-
an Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 54 ayat (5) Peraturan Pe-
merintah No.16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Pe-
nyediaan Air Minum.
BPP SPAM merupakan badan non struktural yang berada di
bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri serta dibentuk de-
ngan maksud untuk membantu Pemerintah dalam mencapai tu-
juan pengembangan SPAM. BPP SPAM bertugas mendukung dan
memberikan bantuan dalam rangka mencapai tujuan pengaturan
pengembangan SPAM guna memberikan manfaat yang maksimal
bagi negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi BPP SPAM di-
bentuk Sekretariat BPP SPAM yang berada di lingkungan Menteri.
89 88
Sekretariat BPP SPAM mempunyai tugas memberikan pelayanan
teknis dan administratif kepada BPP SPAM.
Anggaran untuk pembiayaan pelaksanaan tugas BPP SPAM
dibebankan pada APBN Departemen Pekerjaan Umum. Untuk
perubahan organisasi dan tata kerja Sekretariat BPP SPAM, dite-
tapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum setelah mendapat persetu-
juan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendayagunaan aparatur negara.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pembentukan dan Status; Bab
III Tugas dan Fungsi BPP SPAM; Bab IV Organisasi dan Tata
Kerja Sekretariat BPP SPAM; Bab V Tata Kerja; Bab VI
Pembiayaan dan Anggaran; Bab VII Pembinaan dan
Pengawasan; Bab VIII Ketentuan Penutup.
57. Peraturan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Republik Indonesia
Nomor Per.005/M.PPN/06/200
tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan
Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta
Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri maka ditetap-
kan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Nomor 005/M.PPN/06/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan
Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
Pemerintah dapat menerima Pinjaman dan/atau Hibah Luar
Negeri yang bersumber dari negara asing, lembaga multilateral,
lembaga keuangan dan lembaga non-keuangan asing serta lem-
baga keuangan non asing yang berdomisili dan melakukan
kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Dalam rangka perencanaan kegiatan yang dibiayai dari
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas menyusun perenca-
naan kegiatan pembangunan. Menteri menyampaikan rencana
penyusunan DRPHLN-JM kepada Menteri pada Kementerian
Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN. Per-
syaratan umum usulan kegiatan yang dibiayai melalui Pinjaman
Proyek dan Hibah mencakup Daftar Isian Pengusulan Kegiatan,
Kerangka Acuan Kerja dan Dokumen Studi Kelayakan Kegiatan.
Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga dapat
mengajukan usulan kegiatan yang dibiayai dari Hibah Luar Negeri
yang bersifat khusus kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas.
Berdasarkan DRPHLN, Menteri PPN/Kepala Bappenas
melakukan koordinasi dengan calon PPLN/PHLN untuk menda-
patkan indikasi komitmen pendanaan.
Dalam rangka perencanaan usulan kegiatan yang dibiayai dari
Pinjaman/Hibah Luar Negeri untuk Departemen Pertahanan dan
Kepolisian RI yang bersifat khusus, Menteri PPN/Kepala
Bappenas dapat mencantumkan usulan kegiatan dalam dokumen
perencanaan kegiatan yang terpisah.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sumber, Bentuk dan Jenis
Pinjaman/Hibah Luar Negeri; Bab III Penyusunan Dokumen
91 90
Perencanaan; Bab IV Pengajuan Usulan Pinjaman Program,
Pinjaman Proyek, dan Hibah; Bab V Persyaratan Pengusulan
Kegiatan; Bab VI Penilaian Usulan Kegiatan; Bab VII Peningkatan
Kesiapan Rencana Pelaksanaan Kegiatan; Bab VIII Penilaian
Kesiapan Kegiatan; Bab IX Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) dan/atau
Pinjaman Komersial; Bab X Hibah Luar Negeri yang Bersifat
Khusus; Bab XI Penyusunan Daftar Kegiatan; Bab XII Rencana
Pelaksanaan Kegiatan; Bab XIII Pemantauan Perencanaan serta
Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan; Bab XIV
Evaluasi Hasil Pelaksanaan Kegiatan; Bab XV Ketentuan
Tambahan; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII Ketentuan
Penutup.
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara
Pengaturan Tarif Air Minum Pada Perusahaan
Daerah Air Minum
Peraturan ini dibuat untuk menggantikan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan
Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006
tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air
Minum Pada PDAM, Tarif ditetapkan dengan mempertimbangkan
keseimbangan dengan tingkat mutu pelayanan yang diterima oleh
pelanggan. Untuk pengembangan pelayanan air minum Tarif
Rata-rata direncanakan harus menutup biaya dasar ditambah
keuntungan yang wajar. Penetapan tarif didasarkan pada prinsip :
keterjangkauan dan keadilan, mutu pelayanan, pemulihan biaya,
efisiensi pemakaian air, transparansi dan akuntabilitas serta per-
lindungan air baku.
PDAM dapat menentukan kebijakan jenis-jenis pelanggan pada
masing-masing kelompok berdasarkan kondisi obyektif dan karak-
teristik pelanggan di daerah masing-masing sepanjang tidak
mengubah jumlah kelompok pelanggan. PDAM menetapkan
struktur tarif berdasarkan ketentuan blok konsumsi, kelompok
pelanggan, dan jenis tarif.
Untuk mekanisme penetapan tarif didasarkan asas propor-
sionalitas kepentingan masyarakat pelanggan, PDAM selaku
badan usaha dan penyelenggara serta Pemerintah Daerah selaku
pemilik PDAM. Sedangkan tarif ditetapkan oleh Kepala Daerah
berdasarkan usulan Direksi setelah disetujui oleh Dewan
Pengawas.
Dalam hal pembinaan atas penetapan tarif dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri dengan dibantu oleh Gubernur untuk
melakukan pengawasan atas pelaksanaan pedoman penetapan
tarif.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Dasar Kebijakan Penetapan
Tarif; Bab III Blok Konsumsi dan Kelompok Pelanggan; Bab IV
Perhitungan dan Proyeksi Biaya Usaha dan Biaya Dasar; Bab V
Pendapatan dan Tarif; Bab VI Mekanisme dan Prosedur
Penetapan Tarif; Bab VII Pembinaan dan Pengawasan.
93 92
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 39/PRT/M/2006
tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana
Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 39/PRT/M/2006
tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus
Bidang Infrastruktur Tahun 2007 adalah sebagai wujud pelak-
sanaan ketentuan Pasal 59 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Depar-
temen, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam pemanfaatan, pelaksanaan, pemantauan, dan pembinaan
dari segi teknis terhadap kegiatan yang dibiayai melalui DAK
Bidang Infrastruktur Tahun 2007.
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi
perencanaan dan pemrograman, koordinasi penyelenggaraan,
pelaksanaan dan cakupan kegiatan, tugas dan tanggung jawab
pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, pelaporan
kegiatan/fisik dan keuangan, mekanisme pelaporan keuangan
DAK dengan aplikasi Sistem Akuntansi Keuangan (SAK), serta
penilaian kinerja.
Departemen melalui unit Eselon I dan/atau unit Eselon 2 terkait
untuk masing-masing subbidang membantu proses perencanaan
kegiatan yang dibiayai DAK dalam hal merumuskan kriteria teknis
pemanfaatan DAK bidang infrastruktur; memberikan rekomendasi
alokasi dana masing-masing subbidang dan pada masing-masing
Kabupaten/Kota; pembinaan teknis dalam proses penyusunan
Rencana Definitif dalam bentuk pendampingan dan pelatihan;
serta melakukan evaluasi dan sinkronisasi atas usulan Rencana
Definitif dan perubahannya, terkait kesesuaiannya dengan priori-
tas nasional.
Ruang lingkup penggunaan DAK Bidang Infrastruktur Tahun
2007 meliputi subbidang jalan, subbidang irigasi, dan subbidang
air bersih dan sanitasi. Sedangkan kriteria teknis kegiatan bidang
infrastruktur meliputi kriteria teknis untuk prasarana jalan, kriteria
teknis untuk prasarana irigasi, dan kriteria teknis untuk prasarana
air bersih dan sanitasi.
Dalam hal koordinasi penyelenggaraan, Menteri membentuk
Tim Koordinasi Penyelenggaraan DAK Bidang Infrastruktur tingkat
Departemen, yang terdiri dari unsur Sekretaris Jenderal,
Inspektorat Jenderal, dan unit kerja Eselon 1 terkait. Untuk biaya
operasional Tim Koordinasi dibebankan pada Satuan Kerja
Pembinaan Manajemen Perencanaan dan Pemrograman Bidang
Pekerjaan Umum, Biro Perencanaan dan KLN, dan unit kerja
terkait.
Bupati/Walikota membentuk Tim Koordinasi Penyelenggaraan
DAK Bidang Infrastruktur tingkat Kabupaten/Kota dan dinas teknis
terkait. Satuan Kerja Perangkat Daerah Dana Alokasi Khusus
(selanjutnya disingkat SKPD DAK) masing-masing subbidang
infrastruktur bertugas melaksanakan kegiatan yang dananya
bersumber dari DAK bidang infrastruktur sebagaimana telah dite-
tapkan oleh Menteri Keuangan. Sedangkan Kepala SKPD DAK
bertanggung jawab secara fisik dan keuangan terhadap pelak-
sanaan kegiatan yang dibiayai dari DAK bidang infrastruktur.
Untuk mekanisme pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
kegiatan SKPD DAK dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri
ini. Pelaporan pelaksanaan DAK bidang infrastruktur dilakukan
secara berjenjang, mulai dari Kepala SKPD DAK, Kepala Daerah
dan Menteri.
Ketentuan lain dari peraturan ini adalah dalam hal terjadi ben-
cana alam, daerah dapat mengubah penggunaan DAK untuk
kegiatan diluar yang telah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan dan Petunjuk Teknis ini, setelah sebelumnya menga-
95 94
jukan usulan perubahan dan mendapat persetujuan tertulis dari
Menteri Keuangan dan Menteri.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perencanaan dan
Pemrograman; Bab III Kriteria Teknis; Bab IV Koordinasi
Penyelenggaraan; Bab V Pelaksanaan dan Cakupan Kegiatan;
Bab VI Tugas dan Tanggung Jawab Pelaksanaan Kegiatan; Bab
VII Pemantauan dan Evaluasi; Bab VIII Pelaporan; Bab IX
Penilaian Kinerja; Bab X Ketentuan Lain-lain; Bab XI Ketentuan
Penutup.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 52/PMK.010/2006
tentang Tata Cara Pemberian Hibah Kepada Daerah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2006 ini
merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6
PP Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah dan
Pasal 22 ayat (4) PP No.2 Tahun 2006 tentang Tatacara
Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta
Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
Hibah kepada Daerah bersifat bantuan untuk menunjang pro-
gram pembangunan sesuai dengan prioritas dan kebijakan
Pemerintah serta merupakan urusan daerah. Hibah kepada
Daerah bersumber dari pendapatan dalam negeri, pinjaman luar
negeri dan/atau hibah luar negeri.
Menteri Keuangan menetapkan persetujuan atau penolakan
atas usulan Hibah serta kelayakan suatu Daerah untuk menerima
Hibah didasarkan hasil penelitian dan penilaian.
Dalam hal Daerah menerima Hibah yang sumbernya selain dari
Pemerintah, maka pemberi Hibah dan Daerah menuangkan
penerimaan Hibah dalam perjanjian yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak. Penerimaan Hibah oleh Daerah dikelola dan
dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Jika Hibah tidak
termasuk dalam perencanaan Hibah pada tahun anggaran ber-
jalan, maka Hibah harus dilaporkan dalam Laporan Pertanggung-
jawaban Keuangan.
Dalam rangka monitoring dan evaluasi, daerah penerima Hibah
wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan
kegiatan yang didanai dari Hibah setiap triwulan kepada Dirjen
Anggaran dan Perimbangan Keuangan, Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kemente-
rian Lembaga Terkait.
Dalam hal Daerah melakukan pengelolaan Hibah menyimpang
dari ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam NPHD (Naskah
Perjanjian Hibah Daerah) atau NPPH (Naskah Perjanjian Pe-
nerusan Hibah), maka seluruh kegiatan penyaluran Hibah dapat
dihentikan.
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku, maka
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003 tentang
Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan
Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 357/KMK.07/2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sumber dan Bentuk Hibah; Bab
III Prinsip Pemberian Hibah; Bab IV Kriteria Pemberian Hibah; Bab
V Pengusulan dan Penilaian Pemberian Hibah Yang Bersumber
Dari Pendapatan Dalam Negeri; Bab VI Pengusulan dan Penilaian
Pemberian Hibah Yang Bersumber Dari Pinjaman Luar Negeri;
97 96
Bab VII Pengusulan dan Penilaian Pemberian Hibah Yang
Bersumber dari Hibah Luar Negeri; Bab VIII Persetujuan dan
Perjanjian Hibah; Bab IX Hibah yang Bersumber Selain Dari
Pemerintah; Bab X Penarikan dan Penyaluran Hibah; Bab XI
Pengelolaan Hibah oleh Daerah; Bab XII Pemantauan; Bab XIII
Ketentuan Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 53/PMK.010/2006
tentang Tata Cara Pemberian Pinjaman Daerah
dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari
Pinjaman Luar Negeri
Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Pe-
nerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri maka Peraturan
Menteri ini dibuat. Keputusan Menteri Keuangan Nomor
35/KMK.03/2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/Pe-
natausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri
Pemerintah Kepada Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 357/KMK.07/2003 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pemda mengajukan usulan kegiatan yang akan dibiayai de-
ngan Pinjaman kepada Menteri Bappenas untuk dimasukkan
dalam Daftar Rencana Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
Jangka Menengah (DRPHLN JM). Menteri Keuangan c.q. Dirjen
Perbendaharaan menyampaikan informasi mengenai indikasi
kemampuan keuangan daerah kepada Kepala Bappenas sebagai
bahan penyusunan DRPPHLN yang dilakukan oleh Kepala
Bappenas. Kemudian Kepala Bappenas menyusun Daftar
Kegiatan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri.
Dirjen Perbendaharaan menetapkan waktu pelaksanaan
perundingan dengan calon Pemberi Pinjaman Luar Negeri (PPLN)
setelah diterbitkannya Daftar Rencana Pinjaman Daerah (DRPD)
dan Pemda memenuhi kriteria kesiapan kegiatan. Persyaratan
pinjaman dalam Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri
(NPPLN) menjadi acuan dalam menetapkan persyaratan pinjam-
an dalam Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP).
Selanjutnya Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa
oleh Menteri Keuangan menandatangani NPPP dengan Pemda
penerima pinjaman. Berdasarkan NPPP, Pemda penerima pinjam-
an mengajukan permintaan persetujuan penetapan Satuan
Anggaran Per Satuan Kerja (SA-PSK) pinjaman kepada Dirjen
Anggaran dan Perimbangan Keuangan. Atas dasar penetapan
SA-PSK, Pemda menerbitkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA). Setelah disahkan Dirjen Perbendaharaan maka DIPA di-
gunakan sebagai dasar pencairan dan/atau penyaluran pinjaman.
Berdasarkan NPPP, Dirjen Perbendaharaan atau Bank
Penatausaha menyampaikan surat tagihan pembayaran kembali
pinjaman kepada Pemda. Dalam hal Pemda tidak melaksanakan
kewajiban pembayaran kembali pinjaman, Dirjen Perbendaharaan
setelah berkoordinasi dengan Mendagri dan Dirjen Anggaran dan
Perimbangan Keuangan akan melakukan pemotongan terhadap
DAU dan/atau DBH dari penerimaan negara yang menjadi hak
daerah bersangkutan.
Departemen Keuangan, Kementerian Bappenas dan Ke-
menterian Negara/Lembaga teknis terkait melakukan pemantauan
99 98
atas kinerja pelaksanaan kegiatan dan pinjaman dalam penca-
paian target dan sasaran yang telah ditetapkan dalam NPPP.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengajuan dan Penilaian
Rencana Pinjaman; Bab III Perundingan dan Penandatanganan
NPPLN; Bab IV Naskah Perjanjian Pinjaman Kepada Daerah; Bab
V Penarikan dan Penyaluran Pinjaman; Bab VI Pembayaran
Kembali Pinjaman; Bab VII Pemantauan dan Pelaporan Pinjaman;
Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
100
KE PUT USAN
ME NT E RI
Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor 04 Tahun 1991 dan Nomor 76 Tahun 1991
tentang Penggunaan Air dan/atau Sumber Air
Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan Termasuk
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan
Pengusahaan Sumberdaya Panas Bumi
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut Pasal 22 Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air,
maka dianggap perlu menetapkan landasan kebijaksanaan peng-
aturan mengenai segi teknis dan segi administratif penggunaan
air dan/atau sumber air untuk kegiatan usaha pertambangan
minyak dan gas bumi dan pengusaha sumber daya panas bumi
dalam Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri
Pertambangan dan Energi.
Pelaksanaan penggunaan air dan/atau sumber air untuk
kegiatan usaha pertambangan harus tetap memperhatikan urutan
prioritas penggunaan air dan/atau sumber air sesuai keperluan
masyarakat pada setiap tempat dan keadaan.
Izin penggunaan air permukaan dan/atau sumber air diatas
permukaan tanah untuk kegiatan usaha pertambangan diberikan
oleh Menteri Pekerjaan Umum. Sedangkan izin penggunaan air
permukaan dan/atau sumber air bawah tanah untuk kegiatan
usaha pertambangan diberikan oleh Menteri Pertambangan dan
Energi.
Penggunaan air permukaan dan/atau sumber air diatas per-
mukaan tanah untuk kegiatan usaha pertambangan dikenakan
iuran jasa pemanfaatan air yang besarannya dihitung atas dasar
pembebanan 4 (empat) unsur pokok yaitu biaya pemanfaatan air,
biaya pengembalian investasi, biaya eksploitasi dan pemeliharaan
prasarana pengairan, serta biaya pemeliharaan dan pelestarian
sumber air. Terhadap penggunaan air permukaan dan/atau sum-
ber air di atas permukaan tanah, termasuk air laut yang digunakan
di darat untuk kegiatan usaha pertambangan maka Menteri
Pekerjaan Umum dapat membebaskan pembayaran iuran jasa
pemanfaatan air.
Pengawasan terhadap penggunaan air dan/atau sumber air
yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan dilakukan
oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertambangan dan
Energi sesuai bidang tugas dan wewenangnya masing-masing.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup Penggunaan Air
dan/atau Sumber Air; Bab III Izin Penggunaan Air Permukaan
dan/atau Sumber Air di Atas Permukaan Tanah; Bab IV Izin
Penggunaan Air dan/atau Sumber Air Bawah Tanah; Bab V
Persyaratan Teknis Penggunaan Air dan/atau Sumber Air Untuk
Kegiatan Usaha Pertambangan; Bab VI Iuran Jasa Pemanfaatan
Air; Bab VII Pengawasan; Bab VIII Ketentuan Penutup.
Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 690.31 - 285
tentang Pengesahan Peraturan Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 13 Tahun 1992
tentang Perusahaan Daerah Air Minum Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (PAM JAYA)
Mengesahkan Perda DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 1992 ten-
tang PDAM DKI Jakarta (PAM JAYA) dengan perubahan :
102 101
Nomor urut 1 diubah menjadi 8 baru dan nomor 2 lama diubah
menjadi nomor 1 baru.
Ditambahkan nomor 7, 8 dan 13 baru.
Nomor urut 7, 8, 9, dan 10 diubah menjadi nomor 9, 10, 11,
dan 12 baru.
Pasal 6 diubah menjadi :
"Tugas pokok PAM JAYA adalah melakukan segala usaha
yang berhubungan langsung dengan penyediaan dan pendis-
tribusian air minum yang memenuhi syarat-syarat kesehatan
serta pelayanan yang baik bagi masyarakat dengan berpedo-
man pada prinsip-prinsip ekonomi perusahaan."
Setelah Pasal 33 ditambahkan BAB X dan Pasal 34 baru
sebagai berikut :
Bab X Jenis dan Tarif : Pasal 34 Penetapan jenis, tarif dan
perhitungan tarif air minum PAM JAYA ditetapkan dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Setelah Pasal 40 ditambahkan BAB XIV dan Pasal 41 baru
sebagai berikut :
Bab XIV Pengelolaan Barang : Pasal 41 Pelaksanaan penge-
lolaan barang PAM JAYA berpedoman pada peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku.
Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 690 - 229
tentang Pengesahan Peraturan Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 1993
tentang Pelayanan Air Minum di Wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
Mengesahkan Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1993 ten-
tang Pelayanan Air Minum di Wilayah DKI Jakarta, dengan
perubahan sebagai berikut :
1. Pasal 16 diubah menjadi :
Pasal 16
(1)Besarnya tarip air minum ditetapkan dengan Keputusan Gu-
bernur Kepala DKI Jakarta.
(2)Tarip air minum diberlakukan kepada pelanggan setelah Ke-
putusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendapat pengesahan dari Mendagri.
(3)Tarip air minum diberlakukan melalui pengumuman Direksi
PAM Jaya.
2. Pasal 18 ditambahkan ayat (3) sebagai berikut :
(3)Meter air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) di atas
secara berkala sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dilakukan peneraan.
3. Pasal 22 diubah menjadi :
Pasal 22
(1) Pengendalian atas pemakaian air dilakukan oleh PAM Jaya
dengan memasang meter air untuk mendeteksi kubikasi air
yang didistribusikan.
(2) Meter air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
dipasang pada awal jaringan distribusi dan sektor distribusi.
104 103
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor : Kep-12/MENLH/3/1994
tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan ini merupakan peraturan pelaksana dari
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan disebutkan bahwa dalam menun-
jang pembangunan yang berwawasan lingkungan, bagi rencana
usaha atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi dengan AMDAL
tetap diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan
(UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
Dalam Keputusan Menteri ini ada beberapa hal yang ditetap-
kan, yaitu :
1. Rencana usaha atau kegiatan yang tidak ada dampak pen-
tingnya, dan/atau secara teknologi sudah dapat dikelola
dampak pentingnya diharuskan melakukan UKL dan UPL
sesuai dengan yang ditetapkan didalam syarat-syarat per-
izinannya menurut peraturan yang berlaku.
2. UKL dan UPL sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama
perlu diatur melalui suatu pedoman umum.
3. (a) Pedoman Umum UKL dan UPL adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan Menteri ini.
(b) Pedoman Teknis UKL dan UPL ditetapkan oleh Menteri
atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
dengan menggunakan Pedoman Umum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sebagai rujukan.
(c) Apabila belum ditemukan pedoman teknis, maka UKL dan
UPL dibuat dengan berpedoman pada Pedoman Umum seba-
gaimana dimaksud dalam ayat (1).
4. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 35 Tahun 1995
tentang Program Kali Bersih
Pelaksanaan Prokasih berasaskan pelestarian fungsi ling-
kungan perairan sungai untuk menunjang pembangunan yang
berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Pelaksanaan Prokasih bertujuan untuk tercapainya kualitas air
sungai yang baik, terciptanya sistem kelembagaan yang mampu
melaksanakan pengendalian pencemaran air secara efektif dan
efisien serta terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat dalam pengendalian pencemaran air.
Sungai dan ruas sungai Prokasih ditetapkan oleh Gubernur
berdasarkan pedoman pemilihan sungai dan ruas sungai Prokasih
yang ditetapkan Bapedal dengan mempertimbangkan fungsi su-
ngai bagi masyarakat dan pembangunan serta memperhitungkan
tingkat kemampuan lembaga pelaksana di daerah yang
bersangkutan.
Menteri bertanggung jawab dalam koordinasi kebijaksanaan
Prokasih secara nasional. Sedangkan Kepala Bapedal bertang-
gung jawab dalam koordinasi pelaksanaan pengendalian kegiatan
Prokasih secara nasional.
Gubernur menyampaikan laporan Prokasih secara berkala
kepada Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.
106 105
Menteri juga memberikan penghargaan kepada Pemerintah
Daerah yang melaksanakan Prokasih dan perusahaan/kegiatan
usaha yang melaksanakan pengendalian pencemaran dengan
kinerja yang sangat baik.
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Prokasih di
tingkat Pusat dibebankan kepada APBN dan/atau sumber dana
lainnya. Sedangkan di tingkat Daerah dibebankan kepada APBD
dan/atau sumber dana lainnya.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Azas, Tujuan dan Sasaran
Prokasih; Bab III Pelaksanaan Prokasih; Bab IV Organisasi
Pelaksanaan Prokasih; Bab V Pelaporan; Bab VI Pemberian
Penghargaan; Bab VII Pembiayaan; Bab VIII Penutup.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 41 Tahun 2000
tentang Pedoman Pembentukan Komisi Penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota
Sebagai pelaksanaan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka ditetapkan Pedoman
Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Ling-
kungan Hidup Kabupaten/Kota. Di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup juga belum diatur mengenai Komisi Penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Amdal) Kabupaten/Kota berkedudukan di Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau di instansi lain
yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat
Kabupaten/Kota.
Susunan keanggotaan terdiri dari Ketua merangkap sebagai
anggota, Sekretaris merangkap sebagai anggota, dan anggota-
anggota lainnya. Tim Teknis terdiri atas para ahli dari instansi tek-
nis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkut-
an dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
Kabupaten/Kota atau instansi lain yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota, serta ahli
lain dengan bidang ilmu yang terkait.
Komisi Penilai Amdal Kabupaten/Kota bertugas menilai kerang-
ka acuan, Amdal, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan ren-
cana pemantauan lingkungan hidup. Dalam melaksanakan tugas-
nya, Komisi Penilai dibantu oleh Tim teknis Komisi Penilai dan
Sekretariat Komisi Penilai.
Biaya atas pelaksanaan kegiatan Komisi Penilai, Tim Teknis,
dan Sekretariat Komisi Amdal dibebankan pada anggaran Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau
pada anggaran instansi yang ditugasi menangani pengendalian
dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota yang
bersumber dari APBD Kabupaten/Kota.
Daftar Isi
Bab I Pembentukan Komisi Penilai; Bab II Susunan
Keanggotaan; Bab III Tugas dan Fungsi; Bab IV Pembiayaan; Bab
V Penutup.
108 107
Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 50 Tahun 2001
tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan
Petani Pemakai Air (P3A)
Yang mendasari ditetapkannya Keputusan ini adalah Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi, serta
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri.
Wadah Perkumpulan Petani Pemakai Air merupakan himpunan
bagi petani pemakai air yang bersifat sosial-ekonomi, budaya, dan
berwawasan lingkungan. P3A dibentuk dari, oleh, dan untuk
petani pemakai air secara demokratis, yang pengurus dan
anggotanya terdiri dari unsur petani pemakai air. P3A dalam satu
daerah pelayanan sekunder tertentu dapat bergabung sampai ter-
bentuk Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A).
GP3A dalam satu daerah irigasi tertentu dapat bergabung sampai
terbentuk Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A).
Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A dilaksanakan melalui
kegiatan motivasi, pelatihan, penyerahan kewenangan, fasilitasi,
bimbingan teknis, pendampingan, kerjasama pengelolaan dan
audit pengelolaan irigasi. Hubungan kerja antara P3A, GP3A, dan
IP3A bersifat kerjasama, koordinatif, dan konsultatif yang selanjut-
nya diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
masing-masing menurut wilayah kerjanya.
Dana P3A, GP3A, dan IP3A dapat bersumber dari iuran pen-
gelolaan irigasi, sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat,
usaha-usaha lain yang sah menurut hukum, bantuan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah serta bantuan dari yayasan/lembaga luar
negeri. Biaya pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A dapat
bersumber dari APBN, APBD, dan sumber dana lain yang sah.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh P3A, GP3A, dan IP3A
pada prinsipnya dibiayai sendiri oleh P3A, GP3A, dan IP3A.
Mengenai lembaga tradisional kepengurusan air yang sudah
ada dan P3A yang sudah dibentuk pada saat berlakunya
Keputusan Menteri ini tetap diakui keberadaannya dan diarahkan
untuk senantiasa mendapat dukungan anggota secara
demokratis.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Sifat; Bab III
Pembentukan; Bab IV Tata Cara Pembentukan; Bab V Susunan
Organisasi; Bab VI Wewenang, Hak, dan Kewajiban; Bab VII
Pemberdayaan; Bab VIII Wilayah Kerja; Bab IX Hubungan Kerja;
Bab X Sumber dana; Bab XI Ketentuan Peralihan; Bab XII
Ketentuan Penutup.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas
Air Minum
Peraturan ini merupakan revisi dari Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat Dan
Pengawasan Kualitas Air. Dengan ditetapkannya Keputusan ini,
maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/Men-
kes/Per/IX/1990 dinyatakan tidak berlaku lagi.
110 109
Persyaratan kualitas air minum meliputi persyaratan bakterio-
logis, kimiawi, radioaktif dan fisik. Menteri Kesehatan melakukan
pembinaan teknis terhadap segala kegiatan yang berhubungan
dengan penyelenggaraan persyaratan kualitas air minum.
Dalam pelaksanaan pengawasan kualitas air minum, Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menentukan parameter kualitas
air yang akan diperiksa sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
daerah tangkapan air, instalasi pengolahan air dan jaringan perpi-
paan. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan peng-
awasan dapat mengikutsertakan instansi terkait, asosiasi pen-
gelolaan air minum, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi
profesi yang terkait.
Pembiayaan pemeriksanaan sampel air minum dibebankan
kepada pihak pengelola air minum, pemerintah maupun swasta
dan masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Setiap pengelola penyediaan air minum yang melakukan per-
buatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang
dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat dan
merugikan kepentingan umum dapat dikenakan sanksi adminis-
tratif dan/atau sanksi pidana berdasarkan peraturan yang berlaku.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup Dan
Persyaratan; Bab III Pembinaan Dan Pengawasan; Bab IV
Pembiayaan; Bab V Sanksi; Bab VI Ketentuan Peralihan; Bab VII
Ketentuan Penutup.
Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah
Nomor 409/KPTS/2002
tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah dan
Badan Usaha Swasta dalam Penyelenggaraan
dan/atau Pengelolaan Air Minum dan Sanitasi
Merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 ten-
tang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam
Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur dan Pasal 13
Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas Nomor KEP.319/PET/10/1998 tentang
Pelaksanaan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur, maka dipandang
perlu untuk menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyelenggaraan
dan/atau Pengelolaan Air Minum dan/atau Sanitasi.
Pedoman Kerjasama Pemerintah dan Swasta (selanjutnya di-
singkat KPS) dalam penyelenggaraan dan/atau pengelolaan air
minum dan/atau sanitasi dimaksudkan sebagai acuan dalam
mewujudkan penyelenggaraan fasilitas air minum atau sanitasi
melalui KPS. Penanggung jawab kegiatan investasi KPS adalah
Bupati/Walikota/Gubernur untuk kerjasama yang berada atau
merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi
dan Pimpinan BUMN/BUMD atau badan lain yang telah menda-
patkan pelimpahan wewenang dari Menteri/Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Walikota/Bupati.
Kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan dan/-
atau pengelolaan air minum dan/atau sanitasi meliputi tahapan persiap-
an, pengadaan, pengikatan, monitoring dan pengakhiran investasi.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah bertanggungjawab atas
pembinaan teknis dalam rangka pelaksanaan pedoman KPS dalam
penyelenggaraan dan/atau pengelolaan air minum dan/atau sanitasi.
112 111
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penyelenggaraan KPS; Bab III
Pembinaan Teknis; Bab IV Ketentuan Lain; Bab V Ketentuan
Penutup.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri
Keputusan ini dibuat berdasarkan pada beberapa peraturan
perundangan lainnya, diantaranya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom,
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan
dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air, Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Kesehatan, serta Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat
dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan
industri meliputi : persyaratan air, udara, limbah, pencahayaan,
kebisingan, getaran, radiasi, vektor penyakit, persyaratan kese-
hatan lokasi, ruang dan bangunan, toilet dan instalasi. Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Keputusan ini.
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 261/Menkes/SK/II/1998 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja dinyatakan tidak berlaku.
Didalam lampiran Keputusan ini juga disebutkan bahwa pim-
pinan satuan kerja/unit perkantoran bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan penyehatan lingkungan kerja perkantoran.
Untuk melaksanakan tugas tersebut Pimpinan perkantoran dapat
menunjuk seorang petugas atau membentuk satuan kerja/unit
organisasi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang
kesehatan lingkungan kerja.
Pimpinan satuan kerja/unit perkantoran dapat memanfaatkan
pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan kesehatan lingkungan
kerja. Pihak ketiga harus berbentuk Badan Hukum Usaha penye-
hatan lingkungan kerja perkantoran yang diakui. Adapun untuk
biaya penyelenggaraan penyehatan lingkungan kerja perkantoran
menjadi tanggung jawab perkantoran.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 29 Tahun 2003
tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit
pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit
Keputusan ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari keten-
tuan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pence-
maran Air.
114 113
Bupati/Walikota menetapkan syarat dan tata cara perizinan
pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perke-
bunan kelapa sawit di Kabupaten/Kota. Pengajuan permohonan
izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit diajukan berdasarkan hasil kajian
pemanfaatan air limbah industri minyak sawit yang dilakukan
sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No-
mor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengajuan
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di
Perkebunan Kelapa Sawit.
Bupati/Walikota menerbitkan surat keputusan izin pemanfaatan
air limbah industri minyak sawit selambat-lambatnya 90 (sembilan
puluh) hari kerja sejak permohonan ijin diajukan oleh pemrakarsa.
Izin pemanfaatan limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila ditemukan adanya
pelanggaran terhadap persyaratan perizinan pemanfaatan selam-
bat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi
dilakukan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 110 Tahun 2003
tentang Buku Pedoman Penetapan Daya Tampung
Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 23
ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pence-
maran air pada sumber air. Daya tampung beban pencemaran air
pada sumber air ditetapkan berdasarkan debit minimal pada tahun
yang bersangkutan atau tahun sebelumnya. Dalam menetapkan
daya tampung beban pencemaran air pada sumber air digunakan
metode perhitungan yang telah teruji secara ilmiah, yaitu Metoda
Neraca Massa dan Metoda Streeter-Phelps.
Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain
yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas
daerah, maka dapat digunakan metode diluar metoda tersebut
diatas.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 111 Tahun 2003
tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara
Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan
Air Limbah ke Air atau Sumber Air
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 41
ayat (7) dan ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air.
Setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang membuang air limbah
yang mengandung radioaktif ke air atau sumber air. Bupa-
ti/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air
atau sumber air yang melanggar baku mutu air dan menimbulkan
pencemaran air.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang akan membuang air lim-
bah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari
Bupati/Walikota. Permohonan izin membuang air limbah ke air
atau sumber air wajib dilengkapi data dan informasi dengan meng-
gunakan formulir.
116 115
Bupati/Walikota wajib mencantumkan dalam izin pembuangan
air limbah ke air atau sumber air seluruh kewajiban dan larangan
bagi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam Per-
aturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 112 Tahun 2003
tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 21
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan/atau
kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran),
perkantoran, perniagaan dan apartemen. Baku mutu air limbah
domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
Pengolahan air limbah domestik dapat dilakukan secara kolektif
melalui pengolahan limbah domestik terpadu.
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan dalam hal
izin pembuangan air limbah domestik bagi usaha dan/atau
kegiatan permukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan,
apartemen dan asrama. Sedangkan Menteri meninjau kembali
baku mutu air limbah domestik secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 113 Tahun 2003
tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha
dan/atau Kesiapan Pertambangan Batu Bara
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 21
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertam-
bangan batu bara ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi
dengan ketentuan sama atau lebih dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam lampiran Keputusan ini. Apabila hasil kajian
AMDAL atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan/atau
kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu air
limbah lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air limbah seba-
gaimana yang dipersyaratkan oleh AMDL atau UKL dan UPL.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertam-
bangan wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari
kegiatan penambangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan
pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke
lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah dite-
tapkan.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertam-
bangan batu bara wajib mengelola air yang terkena dampak dari
kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (pond).
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan batu
bara wajib melakukan kajian lokasi titik penataan (point of compli-
ance) air limbah dari kegiatan pertambangan.
Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan/atau kegiatan
pertambangan dan/atau karena pertimbangan kondisi lingkungan
tertentu, maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
118 117
melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kem-
bali kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi
titik penataan (point of compliance) yang baru.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertam-
bangan wajib mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air.
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan dalam izin
pembuangan air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertam-
bangan yang diterbitkan. Dalam jangka waktu selambat-lambat-
nya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini, baku mutu air
limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan yang telah
ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan de-
ngan ketentuan dalam Keputusan ini.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 114 Tahun 2003
tentang Pedoman Pengkajian untuk
Menetapkan Kelas Air
Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 9 ayat
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabu-
paten/Kota melakukan pengkajian mutu air saat ini untuk menen-
tukan status air sebagai masukan bagi penyusunan program pen-
gelolaan air atau program pemulihan pencemaran air.
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam melakukan pengkajian mutu air, perlu
mendapatkan informasi tentang kebutuhan air untuk 15 (lima
belas) tahun mendatang dan menyusun saran pendayagunaan air
dan penentuan kelas air, yakni melalui saran masukan yang dim-
intakan dari masyarakat melalui dengar pendapat.
Apabila mutu air lebih baik atau sama jika dibandingkan den-
gan kelas air, maka Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyusun program pengelo-
laan air. Sedangkan jika mutu air lebih buruk atau dalam kondisi
cemar, maka Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota mengumumkan sumber air tersebut tercemar dan
menyusun program pemulihan pencemaran air.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air
Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metode
STORET (metoda ini merupakan salah satu metoda untuk menen-
tukan status mutu air yang umum digunakan) atau Metoda Indeks
Pencemaran. Dengan metoda STORET dapat diketahui parame-
ter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu
air. Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan
antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan
dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.
Sedangkan Metode Indeks Pencemaran digunakan untuk menen-
tukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air
yang diizinkan.
Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain
120 119
yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas
daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda tersebut
diatas.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 128 Tahun 2003
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah
Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis
Peraturan ini mengacu kepada Keputusan Kepala Bapedal
Nomor Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, serta
Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan
Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Menteri Negara.
Setiap usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi serta ke-
giatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi wajib mela-
kukan pengolahan limbahnya. Ketentuan perizinan pengelolaan
limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi
secara biologis mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun dan format permohonan izin untuk pengolahan secara
biologi.
Hasil analisis terhadap proses pengolahan biologis dan
pemantauan terhadap bahan hasil pengolahan dilaporkan kepada
Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan tembusan kepada
instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup
Propinsi, Kabupaten/Kota atau instansi lain yang terkait minimum
6 (enam) bulan sekali.
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003
tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
Peraturan ini dibuat sehubungan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 1747/Menkes
Kesos/SK/12/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar
Pelayanan Minimal Dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
tidak sesuai lagi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) butir
b Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Pemerintah mem-
punyai kewenangan untuk menetapkan pedoman standar
pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
Kabupaten/Kota menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sesuai Standar Pelayanan Minimal yang berkaitan dengan
pelayanan kesehatan yang meliputi jenis pelayanan beserta
indikator kinerja dan target tahun 2010 Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan Kab/Kota..
Bupati/Walikota bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal yang
dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kab/Kota dan masyarakat.
Penyelenggaraan tersebut secara operasional dikoordinasikan
oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota. Sumber pembiayaan pelak-
sanaan pelayanan kesehatan seluruhnya dibebankan pada APBD.
122 121
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi memfasilitasi penyeleng-
garaan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Pelayanan
Minimal dan mekanisme kerjasama antar Daerah Kab/Kota.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Standar Pelayanan Minimal Bi-
dang Kesehatan; Bab III Pengorganisasian; Bab IV Pelaksanaan;
Bab V Pembinaan; Bab VI Pengawasan; Bab VII Ketentuan Pe-
nutup.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 19 Tahun 2004
tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus
Pencemaran dan/atau Perusakan
Lingkungan Hidup
Setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita
kerugian akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara
tertulis atau lisan yang disampaikan kepada Kepala Desa, Lurah
atau Camat setempat, Bupati/Walikota atau Kepala Instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup Kabupaten/Kota, Gubernur atau Kepala Instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup Provinsi, serta Menteri Lingkungan Hidup bagi
pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang lokasi dan/atau dampaknya lintas batas Provinsi
dan/atau lintas batas Negara.
Dalam melakukan verifikasi, Tim Verifikasi dapat meminta
keterangan atau keterlibatan di lapangan dari pihak pengadu
dan/atau pihak yang diadukan terhadap kasus pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Pejabat yang memberikan
tugas verifikasi dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
setelah diterimanya, wajib segera mengambil keputusan diterima
atau ditolaknya usulan rekomendasi.
Hasil verifikasi pengaduan kasus pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dapat bersifat terbuka sepanjang
menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui oleh
masyarakat.
Biaya untuk melakukan kegiatan pengelolaan pengaduan
kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dalam
Keputusan ini yang dilakukan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur
dibebankan pada APBD, sedangkan Menteri Negara Lingkungan
Hidup dibebankan pada APBN dan/atau sumber dana lain yang
tidak mengikat.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 75 Tahun 2004
tentang Organisasi dan Tata Laksana Pusat
Produksi Bersih Nasional
Produksi Bersih adalah suatu strategi pengelolaan lingkungan
yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara
terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk de-
ngan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap kesehatan dan
keselamatan manusia dan lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup berperan sebagai fasilitator
bagi terbentuknya PPBN (Pusat Produksi Bersih Nasional) yang
mandiri. Susunan organisasi PPBN terdiri dari Komite Pengarah,
Direktur Eksekutif, Sekretaris, Manajer Hubungan Masyarakat,
124 123
dan Manajer Teknik.
Jenis jasa pelayanan yang diberikan oleh PPBN meliputi: me-
nyediakan data dan informasi tentang teknologi, tenaga ahli dan
informasi lain yang berkaitan dengan kegiatan Produksi Bersih;
menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih; memfasilitasi pelatih-
an; mengembangkan dan menyediakan materi pelatihan; mem-
fasilitasi konsultasi dan bantuan teknis; menyusun dan/atau mem-
fasilitasi penyusunan Panduan Teknis Produksi Bersih untuk sek-
tor spesifik; menyediakan fasilitas perpustakaan, mini plant model
teknologi bersih, website dan mailing list; memberikan masukan
bagi kebijakan pengembangan dan penerapan Produksi Bersih;
dan memberikan jasa penghubung bagi pihak-pihak yang memer-
lukan bantuan dalam menerapkan Produksi Bersih dengan instan-
si pemerintah, swasta, LSM dan Perguruan Tinggi.
Biaya pelaksanaan kegiatan PPBN untuk kurun waktu 4
(empat) tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini bersumber dari
Pemerintah Republik Indonesia melalui alokasi APBN dan ProLH
- GTZ berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Atas rekomendasi Ketua Komite Pengarah dan setelah menda-
patkan persetujuan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Direktur Eksekutif PPBN dapat memberikan usulan untuk meng-
ubah dan/atau mengembangkan susunan organisasi PPBN yang
berada dalam kewenangan pengelolaannya atas dasar musya-
warah untuk mufakat.
Daftar Isi
Bagian Pertama : Ketentuan Umum; Bagian Kedua : Susunan
Organisasi dan Pengurus; Bagian Ketiga : Tugas Komite
Pengarah, Direktur Eksekutif dan Manajer PPBN; Bagian
Keempat : Jenis Pelayanan PPBN; Bagian Kelima : Pembiayaan;
Bagian Keenam : Ketentuan Penutup.
125
PE RAT URAN
DAE RAH
Peraturan Daerah Kota Bogor
Nomor 5 Tahun 2006
tentang Pelayanan Air Minum
PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor
Perda ini merupakan penyesuaian dari Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor Nomor 10 Tahun 1996 ten-
tang Pelayanan Air Minum Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat
II Bogor.
PDAM merupakan BUMD yang diberi wewenang untuk menye-
lenggarakan pelayanan air minum yang dimanfaatkan untuk
masyarakat umum. Dalam melaksanakan penyelenggaraan
pelayanan air minum dan pelaksanaan tugasnya PDAM dapat
mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga berdasarkan per-
aturan perundang-undangan.
Setiap orang atau badan yang menggunakan jasa pelayanan
air minum dikenakan tarif air minum yang dihitung berdasarkan
formulasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PDAM
dapat melaksanakan penyesuaian tarif air minum secara berkala
yang tata cara dan penghitungannya ditetapkan dengan
Peraturan Walikota.
Pengawasan terhadap pelayanan air minum dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah bersama-sama dengan pelanggan dan
masyarakat umum. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan Perda
ini, baik yang dilakukan oleh orang atau badan dikenakan sanksi
administrasi yang terdiri atas sanksi denda dan sanksi polisional.
Penyidikan terhadap pelanggaran Perda ini dilaksanakan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah
Daerah. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Penyidik, PPNS
berada di bawah koordinasi Penyidik POLRI sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas, Tujuan dan Ruang
Lingkup; Bab III Penyelenggaraan Pelayanan Air Minum; Bab IV
Rekening Air Minum; Bab V Hak dan Kewajiban Pelanggan; Bab
VI Pengendalian; Bab VII Peran Serta Masyarakat; Bab VIII
Sanksi Administrasi; Bab IX Ketentuan Pidana; Bab X Penyidikan;
Bab XI Ketentuan Penutup.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor 6 Tahun 2005
tentang Perlindungan Air
Provinsi Sulawesi Tenggara
Ruang lingkup pengaturan perlindungan air di dalam Perda ini
meliputi upaya inventarisasi dan identifikasi sumber air, serta sum-
ber pencemaran. Masyarakat berhak berperan serta dalam mela-
kukan perlindungan air. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas sumber air. Masyarakat maupun kelemba-
gaan dapat juga terlibat aktif melakukan pengaduan, advokasi dan
tuntutan hukum apabila terjadi penyalahgunaan wewenang dalam
perlindungan air atau yang menimbulkan dampak negatif.
Pemerintah Provinsi mempunyai hak mengatur perlindungan
air sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah Provinsi
(Gubernur) dapat melimpahkan kewenangannya kepada pejabat
yang membidangi tugas pengendalian dampak lingkungan.
Setiap orang atau korporasi dilarang membuang benda/bahan
padat atau cair ke dalam atau sekitar sumber air yang dapat me-
nimbulkan pencemaran air. Kegiatan tersebut hanya dapat dila-
kukan atas izin Gubernur atau Pejabat yang bertanggungjawab di-
127 126
bidang lingkungan hidup setelah melalukan penelitian/pengujian.
Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pengawasan
terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas per-
syaratan perizinan yang harus dipenuhi sebagaimana ditetapkan
dalam Perda ini. Gubernur dapat mengenakan sanksi administrasi
atas pelanggaran terhadap ketentuan perizinan yang ditetapkan.
Dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan pidana yang
berlaku.
Dalam hal pembiayaan kegiatan seperti uji laboratorium ling-
kungan hidup dan menentukan baku mutu limbah cair
dibebankan pada APBD dan sumber pendapatan lainnya yang
tidak mengikat. Untuk pembiayaan pengendalian kerusakan atau
pencemaran air yang diakibatkan usaha dan/atau kegiatan
dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
tersebut.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Maksud, Tujuan Dan Ruang
Lingkup; Bab III Hak Dan Kewajiban; Bab IV Peran Serta
Masyarakat; Bab V Hak Dan Wewenang Perlindungan; Bab VI
Perlindungan Air; Bab VII Perizinan; Bab VIII Pengawasan; Bab IX
Sanksi Administrasi; Bab X Pembiayaan; Bab XI Ketentuan
Pidana; Bab XII Ketentuan Penyidikan; Bab XIII Ketentuan
Peralihan; Bab IV Ketentuan Penutup.
129 128
Peraturan Daerah Kota Bandung
Nomor 8 Tahun 2002
tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah
Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Peme-
rintahan daerah yang kemudian direvisi menjadi Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 ten-
tang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ten-
tang Pemerintahan Daerah dan telah ditetapkan dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Perpu Nomor 3
Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, maka tugas-tu-
gas pengelolaan air bawah tanah menjadi Kewenangan Bu-
pati/Walikota.
Tujuan pengelolaan air bawah tanah adalah untuk mewujudkan
pemanfataan sumber daya air yang berkelanjutan dengan
berwawasan lingkungan. Pemanfaatan air bawah tanah meru-
pakan alternatif apabila sumber air lainnya tidak memungkinkan
untuk diambil.
Setiap orang atau Badan Hukum yang melakukan kegiatan
eksplorasi dan pengeboran termasuk penggalian, penurapan dan
pengambilan air bawah tanah untuk berbagai keperluan hanya
dapat dilaksanakan setelah mendapat ijin dari Walikota. Jenis Ijin
Pengelolaan Air Bawah Tanah terdiri dari Ijin Usaha Perusahaan
Pengeboran Air Bawah Tanah, Ijin Juru Bor, Ijin Pengeboran Air
Bawah Tanah, Ijin Pengambilan Air Bawah Tanah, dan Ijin Eksplo-
rasi Air Bawah Tanah.
131 130
Walikota melakukan pembinaan, pengawasan dan pengen-
dalian pengambilan air bawah tanah. Dalam melakukan hal terse-
but Walikota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pemeriksaan
dan pengumpulan keterangan yang diperlukan.
Setiap pemegang ijin yang melakukan pelanggaran terhadap
Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi administrasi berupa
pencabutan ijin usaha perusahaan pengeboran air bawah tanah,
penyegelan alat dan titik pengambilan air, pencabutan ijin
pengambilan air bawah tanah, dan penutupan sumur bor atau
bangunan penurapan mata air. Dan barangsiapa melanggar salah
satu ketentuan yang dimaksud dalam Perda ini dapat diancam
dengan pidana. Pejabat PNS tertentu di lingkungan Pemda diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana dibidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Azas, Maksud dan Tujuan; Bab
III Peruntukan Pemanfaatan Air; Bab IV Perijinan; Bab V
Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian; Bab VI Larangan
Pemegang Ijin; Bab VII Ketentuan Sanksi; Bab VIII Penyidikan;
Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.
Peraturan Daerah Kota Bandung
Nomor 27 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kebersihan Kota Bandung
Di daerah diselenggarakan pengelolaan kebersihan yang
berwawasan kelestarian lingkungan dan berkelanjutan. Pe-
ngelolaan kebersihan menjadi tanggung jawab Pemerintah
Daerah dan masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah Daerah
dalam menyelenggarakan pengelolaan kebersihan atas sampah
kota melalui kebijakan pengurangan sampah sejak dari sum-
bernya, pemanfaatan atau penggunaan kembali, daur ulang dan
pengomposan sampah secara maksimal.
Setiap pemilik atau pemakai persil dengan tidak terbatas fungsi
persil, bertanggungjawab atas kebersihan bangunan, halaman, salu-
ran, trotoar dan jalan di lingkungan persilnya dan tempat sekitarnya.
Penyelenggaraan pengelolaan kebersihan dibiayai oleh pengguna
jasa pelayanan atau yang menikmati manfaat pengelolaan kebersi-
han. Pemerintah Daerah membiayai penyelenggaraan pengelolaan
kebersihan pelayanan umum. Pemerintah Daerah melakukan pengat-
uran dan penetapan besaran tarif jasa pelayanan kebersihan melalui
Keputusan Walikota dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan
DPRD. Besarnya tarif jasa pelayanan kebersihan yang dikenakan
kepada setiap wajib bayar dihitung berdasarkan kebutuhan biaya
penyediaan jasa pelayanan yang diberikan menurut kaidah manaje-
men usaha dan mempertimbangkan kemampuan secara ekonomi
dan aspek keadilan.
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 33/PD/1977 tentang
tarif Retribusi, Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan
Kesehatan Umum berikut perubahannya tidak berlaku lagi.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Obyek dan Subyek Pajak; Bab
III Pengelolaan; Bab IV Pembiayaan; Bab V Ketentuan Pidana;
Bab VI Ketentuan Penyidikan; Bab VII Ketentuan Penutup.
133 132
Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 10 Tahun 2001
tentang Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
di Kota Malang
Di wilayah Kota Malang masalah pembuangan air kotor atau
tinja dirasa cukup kompleks dalam pengelolaannya maupun
dalam pembiayaannya. Pemeliharaan pembuangan air kotor atau
tinja yang dibangun sejak beberapa tahun yang lalu, penambahan
jaringan serta penanganan masalah lingkungan hidup pada
umumnya cukup rumit dan memerlukan dana tidak sedikit.
Dalam Perda ini dijelaskan bahwa Wajib Retribusi yang akan
memanfaatkan IPLT wajib terlebih dahulu membayar retribusi.
Besarnya retribusi ditetapkan sebesar Rp.6.000,- m (enam ribu
rupiah per meter kubik). Selanjutnya tata cara penggunaan IPLT
adalah air kotor dan lumpur tinja yang akan diproses di IPLT
diangkut dari tempat penampungan dengan menggunakan truk
tangki khusus yang memenuhi persyaratan, baik dikelola oleh
Pemerintah Kota Malang maupun oleh pihak swasta.
Setiap orang atau Badan Hukum yang melakukan usaha yang
berhubungan dengan air kotor dan lumpur tinja dilarang membuang
air kotor lumpur tinja selain pada IPLT yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah. Pengawasan mengenai pelaksanaan Perda ini
ditugaskan kepada Kantor Polisi Pamong Praja, Dinas Kebersihan
dan Bapedalda sesuai dengan bidang dan tugas masing-masing.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tata Cara Penggunaan Instalasi Pe-
ngolahan Lumpur Tinja (IPLT); Bab III Retribusi; Bab IV Ketentuan
Pidana; Bab V Sanksi; Bab VI Pengawasan; Bab VII Penutup.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur
Nomor 5 Tahun 2000
tentang Pengendalian Pencemaran Air
di Propinsi Jawa Timur
Bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitan
dengan pengendalian pencemaran air telah berkembang
sedemikian rupa, sehingga materi muatan dalam Peraturan
Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 8 Tahun
1989 tentang Pengendalian Pencemaran Air perlu disempurnakan
untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Pengendalian pencemaran air bertujuan untuk mewujudkan
kelestarian fungsi air, agar air yang ada pada sumber-sumber air
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan perun-
tukannya. Penanganan pengendalian pencemaran air dilak-
sanakan dengan melibatkan Dinas Teknis, Dinas/Instansi terkait.
Setiap kegiatan usaha yang melakukan pembuangan limbah
cair ke sumber-sumber air harus mendapatkan izin dari Gubernur
sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Gubernur
melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas persyaratan perizinan yang telah
ditentukan. Untuk melakukan pengawasan tersebut, Gubernur
dapat menunjuk Kepala Bapedalda.
Untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran serta
menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran,
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau
pemulihan atas beban biaya dari penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan, Gubernur berwenang melakukan paksaan
pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku.
135 134
Pembiayaan semua kegiatan yang dilakukan dibebankan pada
APBD. Dalam hal Pemerintah Propinsi menyediakan tempat
dan/atau sarana pembuangan dan pengolahan limbah cair
Pemerintah Propinsi dapat memungut retribusi yang ditetapkan
dengan Perda.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Maksud dan Tujuan; Bab III
Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat; Bab IV Wewenang;
Bab V Perlindungan; Bab VI Perizinan; Bab VII Pengawasan; Bab
VIII Sanksi Administrasi; Bab IX Pembiayaan; Bab X Ketentuan
Pidana; Bab XI Ketentuan Penyidikan; Bab XII Ketentuan
Peralihan; Bab XIII Ketentuan Penutup.
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara
Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Air Permukaan
Sehubungan dengan telah diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, maka Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan merupakan Jenis Pajak Daerah Tingkat II.
Dengan nama Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan di pungut pajak atas setiap pemanfaatan air bawah
tanah dan air permukaan. Dasar pengenaan pajak adalah nilai
perolehan air. Tarif pajak ditetapkan sebesar 10% (sepuluh
persen). Setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan
Pajak Daerah (SPTPD). Pembayaran pajak harus dilakukan di
Kas Daerah atau tempat lain yang telah ditunjuk oleh Kepala
Daerah sesuai waktu yang telah ditentukan dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak
Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
(SKPDKB), dan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD).
Surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang seje-
nis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak, dikelu-
arkan 7 (tujuh) hari setelah saat jatuh tempo pembayaran. Kepala
Daerah berdasarkan permohonan wajib pajak dapat memberikan
pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak. Hak untuk
melakukan penagihan pajak, kadaluwarsa setelah melampau
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya
pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak pidana
dibidang perpajakan daerah.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Nama, Obyek dan Subyek
Pajak; Bab III Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak; Bab IV Wilayah
Pemungutan dan Cara Penghitungan Pajak; Bab V Masa Pajak,
Saat Pajak Terutang dan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah; Bab
VI Tata Cara Penghitungan dan Penetapan Pajak; Bab VII Tata
Cara Pembayaran; Bab VIII Tata Cara Penagihan Pajak; Bab IX
Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan Pajak; Bab X Tata
Cara Pembetulan, Pembatalan Pengurangan Ketetapan dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi; Bab XI
Ketetapan dan Banding; Bab XII Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak; Bab XIII Kadaluwarsa; Bab XIV Pengawasan;
Bab XV Ketentuan Pidana; Bab XVI Penyidikan; Bab XVII
Ketentuan Penutup.
137 136
Peraturan Daerah Kabupaten
Daerah Tingkat II Maluku Tenggara
Nomor 1 Tahun 1999
tentang Retribusi Pelayanan
Persampahan/Kebersihan
Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dipungut atas
setiap pelayanan persampahan/kebersihan yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah. Prinsip dan sasaran dalam penetapan struk-
tur dan besarnya tarif retribusi dimaksudkan untuk menutup biaya
penyelenggaraan pelayanan antara lain biaya pengumpulan,
pengangkutan dan pengelolaan sampah dan/atau pemusnahan
sampah termasuk sewa lokasi TPA.
Struktur tarif digolongkan berdasarkan pelayanan yang
diberikan, jenis/volume sampah yang dihasilkan dan kemampuan
masyarakat. Retribusi yang terutang dipungut diwilayah daerah
tempat pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Masa
retribusi adalah jangka waktu 1 (satu) bulan.
Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan. Dalam hal
Wajib Retribusi tidak dapat membayar tepat pada waktunya atau
kurang membayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan. Kepala Daerah dapat mem-
berikan pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi de-
ngan memperhatikan kemampuan Wajib Retribusi. Wajib
Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga
menyebabkan kerugian Keuangan Daerah diancam pidana sesuai
dengan ketentuan pidana yang berlaku.
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan
Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Tenggara Nomor 6
Tahun 1983 tentang pungutan Retribusi Sampah Dalam Daerah
Tingkat II jo.Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II
Maluku Tenggara Nomor 20 Tahun 1992 tentang Perubahan
Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku
Tenggara Nomor 6 Tahun 1983 tentang pungutan Retribusi
Sampah Dalam Daerah Tingkat II Maluku Tenggara dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Daftar Isi
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Nama, Objek, Dan Subjek
Retribusi; Bab III Golongan Retribusi; Bab IV Cara Mengukur
Tingkat Penggunaan Jasa; Bab V Prinsip Dan Sasaran Dalam
Penetapan Struktur Dan Besarnya Tarif; Bab VI Struktur Dan
Besarnya Tarif; Bab VII Wilayah Pemungutan; Bab VIII Masa
Retribusi Dan Saat Retribusi Terutang; Bab IX Tata Cara
Pemungutan; Bab X Sanksi Administrasi; Bab XI Tata Cara
Pembayaran; Bab XII Tata Cara Penagihan; Bab XIII
Pengurangan, Keringanan Dan Pembebasan Retribusi; Bab XIV
Kadaluarsa Penagihan; Bab XV Ketentuan Pidana; Bab XVI
Penyidikan; Bab XVII Ketentuan Penutup.
139 138
91. Milestones 1972 - 2003.
Stockholm to Kyoto
First international gather-
ing to have major impact
on both global thinking
and UN programming.
Water is defined as a
common good.
Basic principle: Whatever
the development stage
and the socio-economic
situation, people have
the right to have access
to drinking water whose
quantity and quality are
equal to their basic
needs.
Action Plan, recommen-
dation A: A systemic
assessment of water
resources should be
implemented.
UN Conference
on Water, Mar
del Plata.
Assessment of
water resources
water use and
efficiency
1972
1977 '...relatively little
importance has
been attached to
water resources
systematic meas-
urement. The pro-
cessing and compi-
lation of data have
also been seriously
neglected.' A :
Assessment of
water resources,
Mar del Plata
Action Plan)
Declaration of the UN
Conference on the
Human Environment
Mar del Plata Action
Plan (MPAP)
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
UN
Conference
on the
Human
Environment,
Stockholm.
Preservation
and
enhancement
' A point has been reached in history when
we must shape our actions throughout the
world with a more prudent care for their
environmental consequences.' (6.
Declaration of the UN Conference on the
Human Environment).
Goal: "Provide every per-
son with access to water
of safe quality and ade-
quate quantity, along with
basic sanitary facilities,
by 1990."
The quantitative goals
were not achieved.
Realization:
- Comprehensive and
balance country-specific
approaches are needed
- Achievement of these
goals will take far more
time and cost than origi-
nally thought.
1981-
1990
"Despite the failure
to meet the quantita-
tive goals, much was
learnt from the expe-
rience of the water
and sanitation
decade... There was
further realisation of
the importance of
comprehensive and
balance country-spe-
cific approaches to
the water and sani-
tation problem. Most
importantly, perhaps,
was the realisation
that the achievement
of this goal that was
set at the beginning
of the decade would
take far more time
and cost far more
money than was
originally thought."
(CHOGUILL C.,
FRANCEYS R.,
COTTON A.,
Planning for water
and sanitation,
1993)
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
International Drinking Water and
Sanitation Decade
141 140
The New Delhi
Statement is an appeal to
all nations for concerted
action to enable people
to obtain two of the most
basic human needs -
safe drinking water and
environmental sanitation.
1990
1992
'Safe water and
proper means of
waste disposal ...
must be at the cen-
ter of integrated
water resources
management'
(Environment and
health, New Delhi
Statement)
New Delhi Statement :
"Some for all rather
than more for some"
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
Global
Consultation
on Safe
Water and
Sanitation for
the 1990's,
New Delhi
Safe drinking
water, envi-
ronmental
sanitation
Declaration on the
Survival, Protection
and Development of
Children
World
Summit for
Children,
New York
Health, food
supply
'We will promote the provision of clean water
in all communities for all their children, as well
as universal access to sanitation.'
(20. World Declaration on the Survival,
Protection and Development of Children)
Beginning of the International Decade for Natural Disaster Reduction (1990 - 2000)
International
Conference on Wa-
ter and the
Environment, Dublin
Economic value of
water, women,
poverty, resolving
conflicts, natural dis-
asters, awareness
Dublin Statement on Water
and Sustainable Development
Principle 1 : 'Fresh water is a finite and vulnerable resource,
essential to sustain life, development and the environment'
Principle 2 : 'Water development and management should be
based on a participatory approach, involving users, planners
and policy-makers at all levels'
Principle 3 : 'Women play a central part in the provision, man-
agement and safeguarding of water'
Principle 4 : 'Water has an economic value in all its competing
uses and should be recognized as an economic good'
(Guiding principles. The Dublin Statement on Water and sus-
tainable Development)
-
Rio Declaration on
Environment and
Development
Agenda 21
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
UN
Conference
on environ-
ment and
Development
(UNCED
Earth
Summit), Rio
de Janeiro
Cooperation
issue, water
economics,
participation,
drinking
water and
sanitation,
human settle-
ments, sus-
tainable
development,
food produc-
tion, climate
change
'establishing a new
and equitable global
partnership through
the creation of new
levels of coopera-
tion among States,
key sector societies
and people.'
(Rio Declaration)
'The holistic man-
agement of freshwa-
ter ... and the inte-
gration of sectoral
water plans and pro-
grammes within the
framework of nation-
al economic and
social policy, are of
paramount impor-
tance for action in
the 1990s and
beyond.'
(Agenda 21, Section
2, Chapter 18)
Action plan : Agenda
21 Chapter 18 is ded-
icated to water.
Are encouraged:
- the global manage-
ment of freshwater
- the integration of
sectoral water plans
and programmes
within the framework
of national economic
and social policy
For the first time,
development and
environment are seen
as strongly associat-
ed. However, water is
not yet a great priori-
ty.
Creation of the
Commission on
Sustainable
Development, to
assess the followings
of the Conference.
1992
143 142
1994
Action Programme
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
Ministerial
Conference
on Drinking
Water
Supply and
Environment
al
Sanitation,
Noordwijk
Drinking
water supply
and sanita-
tion
'To assign high prior-
ity to programmes
designed to provide
basic sanitation and
excreta disposal sys-
tems to urban and
rural areas.'
(Action Programme)
Action programme :
"To assign high prior-
ity to programmes
designed to provide
basic sanitation and
excreta disposal sys-
tems to urban and
rural areas."
Programme of Action UN
International
Conference
on
Population
and
Developmen
t
'To ensure that popu-
lation, environmental
and poverty eradica-
tion factors are inte-
grated in sustainable
development policies,
plans and pro-
grammes.'
(Chapter III - Interrela-
tionships between
population, sustained
economic growth and
sustainable develop-
ment, C- Population
and Environment,
Programme of Action)
Population, environ-
mental and poverty
eradication factors
should be integrated
in sustainable devel-
opment policies.
1995 Copenhagen
Declaration on the
Social Development
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
World
Summit for
Social
Development
,
Copenhagen
Poverty,
water supply
and sanita-
tion
'To focus our efforts and policies to address
the root causes of poverty and to provide
for the basic needs of all. These efforts
should include the provision of ... safe
drinking water and sanitation.'
(Chapter I - Resolutions adopted by the
Summit, Commitment 2, b. Copenhagen
Declaration)
1996 The Habitat Agenda UN Conference
on Human Set-
tlements (Ha-
bitat II), Istan-
bul Sustainable
human settle-
ments develop-
ment in an ur-
banizing world
'We shall also promote healthy living envi-
ronments, especially through the provision
of adequate quantities of safe water and
effective management of waste.'
(10. The Habitat Agenda, Istanbul
Declaration on Human Settlements)
Beijing Declaration
and Platform for Action
UN Fourth
World
Conference
on Women,
Beijing
Gender
issues, water
supply and
sanitation
'Ensure the availability of and universal
access to safe drinking water and sanitation
and put in place effective public distribution
systems as soon as possible.'
(106 x ,Beijing Declaration)
145 144
1996
1997
Rome Declaration on
World Food Security
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
World Food
Summit,
Rome
Food, health,
water and
sanitation
'To combat environmental threats to food
security, in particular, drought and desertifi-
cation restore and rehabilitate the natu-
ral resource base, including water and
watersheds, in depleted and overexploited
areas to achieve greater production.'
(Plan of Action, Objective 3.2, Rome
Declaration)
Marrakech Declaration 1st World
Water Forum,
Marrakech
Water and
sanitation,
management
of shared
waters, pre-
serving
'... to recognize the
basic human needs
to have access to
clean water and san-
itation, to establish
an effective mecha-
nism for manage-
ment of shared
waters, to support
and preserve
ecosystems, to
encourage the effi-
cient use of water...'
(Marrakech
Declaration)
Water run the risk of
being considered as a
marketable and expen-
sive good. We should
then pay attention that
water would not be the
object of a war, like
petrol.
Priorities :
- water and sanitation
- shared water man-
agement
- ecosystem conserva-
tion
- gender equality
- efficient use of water
2000 World Water Vision :
Making Water
Everybody's Business
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
2nd World
Water Forum,
the Hague
Water for
people, water
for food,
water and
nature, water
in rivers, sov-
ereignty,
interbasin
water educa-
tion
'- Involve all stake-
holders in integrated
management;
- Move to full-cost
pricing of water serv-
ices;
- Increase public
funding for research
and innovation;
- Increase coopera-
tion in international
water basins;
- Massively increase
investments in water'
(Vision Statement
and Key Messages,
World Water Vision)
For the first time, it is
recognized that a better
governance and an inte-
grated water resources
management is needed.
Water should become
everybody's business.
Water security becomes
as crucial as hunger and
environment protection in
the world. Water is
defined as an absolutely
necessary element to the
life and health of both
humans and ecosystems,
and a fondamental condi-
tion to countries' devel-
opment.
Presentation of the World
Water Vision, coordinat-
ed by the WWC.
Key-messages :
- Involve all stakeholders
in integrated water
resources management
- Move towards full-cost
pricing of water services
for all human uses
- Increase public funding
for research and innova-
tion in the public interest
- Recognise the need for
co-operation to improve
integrated water
resources management
in international basins
- Massively increase the
investments in water
147 146
2000 Ministerial Conference
on Water Security in
the 21st Century
United Nations
Millenium Declaration
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
7 challenges:
Meeting
basic needs,
Securing the
food supply,
Protecting
ecosystems,
Sharing
water
resources,
Managing
risks, Valuing
water,
Governing
water wisely
'We will continue to
support the UN sys-
tem to re-assess
periodically the state
of freshwater
resources and relat-
ed ecosystems, to
assist countries,
where appropriate, to
develop systems to
measure progress
towards the realisa-
tion of targets and to
report in the biennial
World Water
Development Report
as part of the overall
monitoring of Agenda
21.'
(Ministerial
Declaration, 7.B)
The Ministerial
Declaration identified
meeting basic water
needs, securing food
supply, protecting
ecosystems, sharing
water resources, man-
aging risks, valuing
water and governing
water wisely as the
key challenges for our
direct future. Full-cost
pricing of water is con-
tested, hence not
present in the declara-
tion.
'We resolve ... to halve,
by the year 2015 ... the
proportion of people
who are unable to reach
or to afford safe drinking
water.'
(UN Millenium
Declaration, 19.)
Definition of the
Millennium Development
Goals :
"Halve, by 2015, the pro-
portion of people who are
unable to reach or to
afford safe drinking water."
2001 Ministerial Declaration
Recommendations for
action
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
International
Conference
on Fresh-
water, Bonn
Water - key
to sustain-
able develop-
mentGoverna
nce, mobilis-
ing financial
resources,
capacity
building,
sharing
knowledge
'Combating poverty
is the main challenge
for achieving equi-
table and sustainable
development, and
water plays a vital
role in relation to
human health, liveli-
hood, economic
growth as well as
sustaining ecosys-
tems.'
(Ministerial
Declaration)
Water is recognised
as a key to sustainable
development.
Bonn keys:
- The first key is to
meet the water securi-
ty needs of the poor.
- Decentralisation is a
key. The local level is
where national policy
meets community
needs.
- The key to better
water outreach is new
partnerships.
- The key to long-term
harmony with nature
and neighbour is coop-
erative arrangements
at the water basin
level, including across
waters that touch
many shores.
- The essential key is
stronger, better per-
forming governance
arrangements.
'The conference recom-
mends priority actions
under the following
three headings:
- Governance
- Mobilising financial
resources
- Capacity building and
sharing knowledge'
(Bonn
Recommendations for
Action)
End of the International Decade for Natural Disaster Reduction (1990 - 2000)
149
2002 Plan of
Implementation
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
World
Summit on
Sustainable
development,
Rio+10,
Johannesbur
g
Poverty erad-
ication, sani-
tation, ener-
gy, financing,
integrated
water
resources
management,
Africa
'We agree to halve, by
the year 2015 (...) the
proportion of people
who do not have
access to basic sanita-
tion, which would
include actions at all
levels to:
- Develop and imple-
ment efficient house-
hold sanitation sys-
tems;
- Improve sanitation in
public institutions,
especially schools;
- Promote safe hygiene
practices;
- Promote education
and outreach focused
on children, as agents
of behavioural change;
- Promote affordable
and socially and cultur-
ally acceptable tech-
nologies and practices;
- Develop innovative
financing and partner-
ship mechanisms;
- Integrate sanitation
into water resources
management strate-
gies.'(Plan of
Implementation)
New affirmation of the
Millennium Development
Goals. Sanitation issue is
added.
Goal 7 : Ensure environmen-
tal sustainability
Target 10 : " Halve, by 2015,
the proportion of people with-
out sustainable access to
safe drinking water and sani-
tation."
Plan of implementation:
- Develop and implement effi-
cient household sanitation
systems
- Improve sanitation in public
institutions, especially schools
- Promote safe hygiene prac-
tices
- Promote education and out-
reach focused on children, as
agents of behavioural
change;
- Promote affordable and
socially and culturally accept-
able technologies and prac-
tices;
- Develop innovative financ-
ing and partnership mecha-
nisms;
- Integrate sanitation into
water resources management
strategies.'
2003 Ministerial Declaration
Governance, integrat-
ed water resources
management, gender,
pro-poor policies,
financing, cooperation,
capacity-building,
water use efficiency,
water pollution preven-
tion, disaster mitiga-
tion
1st edition of the
World Water
Development Report
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
International
Year of
Freshwater
3rd World
Water Forum,
Kyoto -
Japan
Extracts from the
general policy:
'We recognize that
good governance,
capacity building and
financing are of the
utmost importance to
succeed in our
efforts.'
(Ministerial
Declaration)
Publication of the report World
Water Actions, coordinated by
the WWC. The 3000 actions
studied prove that significant
progress has been made since
the 2nd World Water Forum,
showing that it is both possible
to meet the water challenges
and that the effort should con-
tinue.
Priorities :
Governance, integrated water
resources, gender, pro-poor
policies, financing, cooperation,
capacity-building, water use
efficiency, water pollution pre-
vention, disaster mitigation.
A Panel of financial experts,
formed in 2002 and chaired by
Michel Camdessus, presented
its solutions to the global finan-
cial needs of the water sector,
estimated at $US180 billion.
These conclusions were con-
tested, but still integrated into
the Water Plan of the G8 Evian
Summit in 2003.
During the Ministerial
Declaration, a Portfolio of
Water Actions was presented,
gathering all political commit-
ments already engaged.
148
150
2006 "Local Actions for a Global Challenge"
A novel local focus has been developed as a means to confront global
water problems. An important space will be designed for the participation
of local actors, so they may contribute with experiences and knowledge.
Dat es Event s Out comes Quot at i ons
4th World
Water Forum,
Mexico
2005-
2015
Goals:
- Focus more on water-related issues at all levels and on the implemen-
tation of water-related programmes and projects
- Ensure the participation and involvement of women in water-related
development efforts
- Deepen the cooperation at all levels
Priorities: scarcity, sanitation access, disaster prevention, pollution,
trans-boundary water issues, water, sanitation and gender, capacity-
building, financing, valuation, integrated water resources management,
Africa as a region for priority action.
International
Decade for
Action "Water
for Life"
(launched by
the UN)
PE DOMAN
TE KNI S
Pedoman Teknis
Penyehatan Perumahan
Masalah perumahan merupakan multidimensi baik fisik, sosial,
ekonomi maupun budaya. Oleh karena itu pendekatan untuk
pemecahan masalah perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi
tersebut.
Terhadap perumahan yang belum terencana seperti peruma-
han kumuh di perkotaan maupun di perdesaan termasuk perkam-
pungan nelayan, pendekatan yang ditempuh adalah dengan
melalui penyuluhan, pemberian contoh dan stimulan, serta bantu-
an pembangunan sarana dan prasarana kesehatan lingkungan.
Pedoman ini merupakan pedoman yang diperuntukkan bagi
petugas kesehatan lingkungan pada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota atau petugas lain yang bertanggung jawab dalam
penyehatan perumahan khususnya pada "perumahan komersial".
Buku Pedoman Teknis ini bertujuan agar para petugas terkait
dapat memahami secara jelas Keputusan Menteri Kesehatan R.I
No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan
Perumahan tanpa ragu-ragu sehingga dapat melakukan tugas
pembinaan, penyuluhan, pengawasan, pengendalian dan penila-
ian pembangunan perumahan secara efektif dan efisien.
Daftar Isi
I. Pendahuluan, II. Tujuan, III. Sasaran, IV. Kebijaksanaan, V.
Kegiatan, VI. Pengorganisasian, VII. Ketenagaan, VIII. Sarana,
IX. Pendanaan.
Pedoman Teknis
Penyuluhan Sanitasi Perdesaan
Keadaan sanitasi perdesaan saat ini masih jauh dari yang
diharapkan. Hal ini antara lain karena perilaku masyarakat yang
belum baik, atau belum membudayanya pola hidup bersih dan
sehat di masyarakat. Faktor resiko utama kejadian penyakit diare
adalah masih rendahnya cakupan air bersih, cakupan jamban
keluarga, rendahnya praktek perilaku hidup bersih dan sehat dari
sebagian besar masyarakat serta sanitasi makanan yang belum
memadai.
Selain pembuangan kotoran, air bersih juga merupakan sum-
ber atau media perkembangbiakan dan penularan penyakit seper-
ti tifus, hepatitis dan diare, sehingga dengan sanitasi air bersih
yang baik diharapkan akan dapat mencegah atau memutuskan
mata rantai penularan penyakit menular.
Buku Pedoman Teknis Penyuluhan Sanitasi Perdesaan bertu-
juan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat untuk dapat hidup bersih dan sehat serta dapat
memenuhi kebutuhan akan sanitasi dasar, agar terhindar dari
penyakit yang diakibatkan karena faktor lingkungan seperti diare
dan cacingan.
Daftar Isi
I. Pendahuluan, II. Tujuan dan Sasaran, III. Metode Teknik dan
Media, IV. Pesan dan Perilaku Yang Diharapkan, V. Langkah-
langkah, VI. Penutup.
152 151
Petunjuk Teknis
Spesifikasi Kompos Rumah Tangga, Tata Cara
Pengelolaan Sampah dengan Sistem Daur Ulang
pada Lingkungan, Spesifikasi Area Penimbunan
Sampah dengan Sistem Lahan Urug Terkendali
di TPA Sampah
Sejalan dengan konsep pengelolaan persampahan saat ini dimana
proses daur ulang sampah perlu dilakukan dan semaksimal mungkin
dilaksanakan sejak dari sumbernya, dan masyarakat memegang per-
anan dalam pengelolaan persampahan di lingkungannya. Dengan
dikembangkannya pemberdayaan masyarakat dalam pengomposan
sampah skala lingkungan dapat pula meminimasi jumlah sampah
yang harus diangkut dan dikelola di TPASampah.
Buku petunjuk teknis ini memberikan gambaran tentang
bagaimana cara yang tepat dalam pengelolaan sampah serta tata
cara daur ulang sampah, dan menentukan tempat penimbunan
sampah, terutama sampah yang dihasilkan pada setiap rumah.
Daftar Isi
Spesifikasi Kompos Rumah Tangga :
Spesifikasi ini mencakup pengertian teknis mengenai bentuk,
ukuran, bahan, fungsi dan kinerja dari komposter rumah tangga
untuk melayani maksimum 5 orang.
Bab I. Deskripsi, Bab II. Persyaratan Teknis.
Tata Cara Pengelolaan Sampah dengan Sistem Daur
Ulang pada Lingkungan :
Ruang lingkup petunjuk teknis pengomposan sampah organik
skala lingkungan meliputi aspek pemberdayaan masyarakat,
ketentuan-ketentuan teknis pengomposan, pemasaran kompos,
kelembagaan, dan pendanaan usaha pengomposan.
1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4.
Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat, 5. Ketentuan-ketentuan,
6. Manajemen Daur Ulang Sampah dan Pengomposan, 7.
Pemasaran Kompos, 8. Pendanaan Usaha Pengomposan.
Spesifikasi Area Penimbunan Sampah dengan Sistem
Lahan Urug Terkendali di TPA Sampah :
Spesifikasi ini mencakup persyaratan teknis mengenai bentuk,
ukuran, bahan/elemen/komponen, fungsi dan kekuatan dari area
penimbunan sampah dengan sistem lahan urug terkendali, mini-
mal pelayanan 5 tahun.
Bab I Deskripsi, Bab II Persyaratan Teknis.
Petunjuk Teknis
Pembuatan Sumur Resapan
Sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknis konservasi
air berupa bangunan yang dibuat sedemikian menyerupai bentuk
sumur gali dengan kedalaman tertentu, diisi dengan bahan -
bahan resapan (pasir, batu, dan ijuk) secara berlapis sampai rata
dengan permukaan tanah yang berfungsi sebagai tempat penam-
pungan dan sekaligus peresapan air ke dalam tanah.
Pembuatan sumur resapan merupakan upaya memberikan
imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksi air hujan
sebagai media infiltrasi ke dalam tanah yang dapat diterapkan di
kawasan permukiman, pertokoan, industri, sarana dan prasarana
olah raga serta fasilitas umum lainnya.
Adapun tujuan pembangunan sumur resapan untuk menguran-
gi erosi, menyimpan dan menaikan permukaan air tanah dalam
rangka penyelamatan sumberdaya air.
154 153
Daftar Isi
I. Pendahuluan, II. Sasaran Lokasi Pembuatan Sumur Resapan, III.
Bentuk, Jenis dan Cara Pembuatan Sumur Resapan, IV. Pelaksanaan
Pembuatan Sumur Resapan Di Sekitar Rumah.
Petunjuk Teknis
Tata Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan
Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga
Non Kakus
Petunjuk Teknis Tata Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan
Instalasi Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga Non Kakus ini
disusun sebagai acuan/pedoman dalam pengoperasian dan
pemeliharaan instalasi pengolahan air limbah rumah tangga non
kakus.
Petunjuk Teknis ini dimaksudkan sebagai pedoman pelak-
sanaan operasional dan pemeliharaan instalasi. Tata cara ini
bertujuan untuk memberikan persyaratan dan ketentuan teknis
dalam pengoperasian dan pemeliharaan instalasi pengolahan air
limbah rumah tangga non kakus sehingga effluen yang dihasilkan
sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
Tata cara ini memuat persyaratan umum dan persyaratan tek-
nis mengenai tata cara pengoperasian dan pemeliharaan instalasi
pengolahan air limbah non kakus model hybrid yang berkapasitas
2 m/hari atau cakupan pelayanan 4 Kepala Keluarga (16-20 jiwa).
Daftar Isi
1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Persyaratan-
persyaratan.
Petunjuk Teknis
Tata Cara Perencanaan Tempat Pembuangan Akhir
Sampah (TPA) di Daerah Pasang Surut
Petunjuk Teknis Tata Cara Perencanaan Tempat Pembuangan
Akhir Sampah (TPA) di Daerah Pasang Surut, dimaksudkan seba-
gai pegangan atau acuan bagi perencana dan pelaksana dalam
upaya pembangunan TPA sampah yang dikhususkan untuk daer-
ah pasang surut. Tata cara ini bertujuan untuk memberikan
masukan dalam prosedur pelaksanaan pembangunan, sehingga
dapat membantu upaya pelestarian lingkungan.
Tata cara ini memuat istilah dan definisi, persyaratan umum
dan teknis mengenai tata cara pengerjaan dalam merencanakan
dan menentukan lokasi TPA sampah di daerah pasang surut.
Daftar Isi
1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4.
Persyaratan-persyaratan, 5. Perencanaan TPA Sampah.
Pedoman Teknis
Tata Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan Mobil
Unit Untuk Air Minum
Teknis Tata Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan Mobil Unit
Untuk Air Minum ini dimaksudkan untuk dijadikan acuan dan
pegangan dalam pengoperasian dan pemeliharaan mobil tangki di
lapangan. Tujuan dari tata cara ini adalah untuk memperoleh cara
pengoperasian dan pemeliharaan mobil tangki air sesuai dengan
perencanaan, bagi pengelola.
171 172
156 155
Tata cara ini memuat ketentuan-ketentuan teknisi, peralatan,
bahan dan suku cadang serta cara pengoperasian dan pemeli-
haraan.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi : 1.1. Maksud dan Tujuan, 1.2. Ruang Lingkup,
1.3. Pengertian; Bab II Ketentuan-ketentuan : 2.1. Umum, 2.2.
Teknis; Bab III Cara Pengerjaan : 3.1. Pengoperasian dan
Penyadapan, 3.2. Pengoperasian dengan Pemompaan,
3.3. Pemeliharaan.
Pedoman Teknis
Tata Cara Sistem Penyediaan Air Bersih Komersil
Untuk Permukiman
Petunjuk Teknis ini dimaksudkan sebagai pegangan atau
acuan dalam penerapan penyediaan air bersih komunal di
lingkungan permukiman. Buku ini bertujuan untuk pemerataan
pelayanan air bersih di suatu kawasan permukiman dan dengan
maksud untuk menghindari pencemaran sumber air di lingkungan
permukiman sehingga kesehatan masyarakat meningkat.
Ruang lingkup petunjuk teknis ini mencakup ketentuan-keten-
tuan umum dan teknis dalam penerapan sistem penyediaan air
bersih komunal di lingkungan permukiman dengan maksimal
3.000 orang ( 600 KK).
Daftar Isi
1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4.
Ketentuan-ketentuan, 5. Operasi dan Pemeliharaan.
Petunjuk Teknis
Penerapan Pompa Hidran
dalam Penyediaan Air Bersih
Pompa hidran merupakan alat yang digunakan untuk
menaikkan air dari tempat rendah ke tempat yang lebih tinggi
secara automatik dengan energi yang berasal dari air itu sendiri.
Petunjuk teknis ini disusun dalam rangka mengembangkan
teknologi sederhana bidang permukiman. Petunjuk teknis pene-
rapan pompa hidran penyediaan air bersih ini, dapat digunakan
sebagai acuan bagi perencana, pelaksana dan masyarakat dalam
mengatasi masalah penyediaan air di daerah-daerah yang
lokasinya lebih tinggi dari lokasi sumber air yang ada.
Diharapkan petunjuk teknis penerapan pompa hidran dalam
penyediaan air bersih ini, dapat memberikan kemudahan dan per-
hatian masyarakat khususnya di pedesaan, sehingga suatu ben-
tuk teknologi hidran dapat bermanfaat secara optimal.
Petunjuk teknis ini meliputi istilah dan definisi, pemilihan lokasi
dan pemasangan, pengoperasian dan pemeliharaan dengan sis-
tem tunggal.
Daftar Isi
1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Pemilihan
Lokasi, 5. Perencanaan Pompa Hidran, 6. Pemasangan Pompa
Hidran, 7. Pengoperasian dan Pemeliharaan Pompa Hidran.
173 174
158 157
Petunjuk Teknis
Pengomposan Sampah Organik
Skala Lingkungan
Petunjuk Teknis ini disusun dalam rangka membantu dalam
perencanaan pengelola persampahan.
Sejalan dengan konsep pengelolaan persampahan sampah
rumah tangga dimana proses daur ulang sampah perlu dilakukan
dan semaksimal mungkin dilaksanakan sejak dari sumbernya,
dan masyarakat memegang peranan dalam pengelolaan persam-
pahan di lingkungannya.
Pemberdayaan masyarakat dalam usaha daur ulang sampah
dengan proses pengomposan merupakan upaya untuk meli-
batkan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan sampah dan
sekaligus membuka peluang usaha. Dengan dikembangkannya
pemberdayaan masyarakat dalam pengomposan sampah skala
lingkungan dapat pula meminimasi jumlah sampah yang harus
diangkut dan dikelola di TPA Sampah.
Ruang lingkup petunjuk teknis pengomposan sampah organik
skala lingkungan meliputi : aspek pemberdayaan masyarakat,
ketentuan-ketentuan teknis pengomposan, pemasaran kompos,
kelembagaan, dan pendanaan usaha pengomposan.
Daftar Isi
1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4.
Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat, 5. Ketentuan-ketentuan,
6. Manajemen Daur Ulang Sampah dan Pengomposan, 7.
Pemasaran Kompos, 8. Pendanaan Usaha Pengomposan.
Petunjuk Teknis
Spesifikasi Instalasi Pengolahan Air Sistem
Berpindah-pindah (Mobile) Kapasitas 0,5 Liter/Detik
Spesifikasi teknis ini dimaksudkan sebagai acuan bagi peren-
cana dan pelaksana untuk pembuatan instalasi pengolahan air
sistem berpindah-pindah (IPA Sistem Berpindah-pindah), yang
bertujuan untuk memberikan kemudahan-kemudahan dalam
pelaksanaannya.
IPA Sistem Berpindah-pindah dibuat untuk melayani penyedi-
aan air minum pada daerah terpencil/pelosok yang tidak ter-
jangkau oleh PDAM/BPAM, untuk kebutuhan darurat maupun
pada daerah kritis air atau bencana alam, yang dapat diop-
erasikan berpindah-pindah.
Spesifikasi ini mencakup istilah dan definisi, persyaratan teknis
tentang bentuk, ukuran, bahan, dan fungsi.
Daftar Isi
1. Ruang Lingkup, 2. Acuan, 3. Istilah dan Definisi, 4. Bentuk
Instalasi Pengolahan Air, 5. Persyaratan Teknis IPA Sistem
Berpindah.
Panduan dan Petunjuk Praktis
Pengelolaan Drainase Perkotaan
Buku Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan Drainase
Perkotaan ini disusun sebagai panduan bagi para pengelola
prasarana drainase perkotaan agar dapat memahami, menangani
atau melaksanakan masalah drainase perkotaan dengan ketentu-
an - ketentuan yang berlaku.
Buku panduan ini diharapkan mampu untuk menunjang priori-
175 176
160 159
tas tujuan program drainase kota yaitu mengurangi kerusakan dan
kerugian akibat genangan atau banjir yang terjadi di dalam kota
atau daerah urban. Sehingga untuk pembangunan sistem
drainase, yang diutamakan adalah mengoptimalkan saluran yang
telah ada, melalui program rehabilitasi. Buku ini dapat mem-
berikan konstribusi positip bagi pengelolaan drainase perkotaan.
Daftar Isi
Bagian I Sistem Drainase, Bagian II Rencana Induk, Bagian III
Studi Kelayakan, Bagian IV Konstruksi dan Kelengkapannya,
Bagian V Pompa dan Waduk, Bagian VI Bangunan Resapan Air,
Bagian VII Pemeliharaan Prasarana Drainase, Bagian VIII
Kelembagaan, Bagian IX Peran Serta Masyarakat, Bagian X
Contoh Disain.
177 178
161
PE DOMAN
UMUM
Pedoman Pendidikan Kesehatan Lingkungan
Dengan Metoda Partisipatori
Bagi Guru SD Kelas 4, 5 dan 6
Kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan keturunan, yang sal-
ing terkait. Lingkungan dan perilaku mempunyai pengaruh yang
paling besar terhadap kesehatan masyarakat lingkungan dan per-
ilaku yang buruk dapat menimbulkan terjadinya penyakit.
Masyarakat sekolah (guru, siswa, orang tua siswa, dan
pegawai sekolah) dapat berperan untuk memperbaiki lingkungan
dan perilaku masyarakat dengan menggunakan metode partisi-
pasi. Metoda partisipatori sudah banyak dipergunakan dalam
pemberdayaan masyarakat karena hasilnya sangat baik dan pros-
esnya menyenangkan. Metoda ini cocok untuk diterapkan di
Sekolah Dasar karena metode ini identik dengan metode cara
belajar siswa aktif (CBSA) yang sekarang dikenal dengan kuriku-
lum berbasis kompetensi (KBK).
Metode partisipatori mendorong meningkatkan peran serta
individu di dalam proses kelompok. Metode partisipatori
meningkatkan rasa percaya diri dan rasa tanggungjawab. Metode
ini membuat proses pengambilan keputusan menjadi mudah dan
menyenangkan. Peserta belajar dari yang lain dan menghargai
pengetahuan dan ketrampilan orang lain.
Daftar Isi
I. Pendahuluan, II. Bagaimana Menggunakan Pedoman Ini, III.
Hal-hal Yang Penting Dipahami Oleh Guru, IV. Alur Penularan
Penyakit, V. Penyajian Pokok Bahasan Dengan Langkah-langkah
Partisipatori, VI. Contoh Gambar Opsi Teknis Berbagai Jenis
Sarana.
Pedoman Umum
Pembuatan Kompos Untuk Skala Kecil, Menengah,
dan Besar
Pengkomposan adalah salah satu alternatif upaya pengelolaan
sampah perkotaan yang dapat diandalkan karena manfaatnya
yang besar, teknologinya mudah diaplikasikan dan sesuai dengan
kondisi Indonesia.
Dengan upaya pengkomposan maka sebagian besar bahkan
seluruh sampah organik dapat diproses menjadi barang yang
aman dan bermanfaat bagi lingkungan hidup dan manusia.
Secara lebih khusus, kegiatan pengkomposan menjadi alternatif
paling realistis untuk mengurangi permasalahan sampah terutama
di daerah perkotaan yang pada umumnya didominasi oleh sam-
pah organik. Pada gilirannya pengkomposan akan dapat memper-
panjang umur TPA Sampah, pengendalian lindi (leacheat) serta
pengurangan produksi gas rumah kaca (GRK).
Dengan Pedoman ini diharapkan seluruh persyaratan proses
produksi dan prasarana-sarana pendukung dapat dipenuhi den-
gan baik sehingga menghasilkan kompos yang memenuhi standar
kualitas yang dipersyaratkan.
Daftar Isi
Bab I Program Subsidi Kompos, Bab II Pengetahuan Dasar
Proses Pengkomposan, Bab III Pemilihan Lokasi dan
Perencanaan Pengkomposan, Bab IV Tata Cara Pengkomposan,
Bab V Model Pengkomposan Skala Kecil dan Menengah, Bab VI
Model Pengkomposan Skala Besar, Bab VII Pengendalian Mutu
dan Standar Kompos.
179 180
163 162
Pedoman Pengelolaan
Air Limbah Perkotaan
Pengelolaan air limbah domestik tidak hanya berkaitan dengan
derajat kesehatan masyarakat tetapi juga dengan kelestarian
lingkungan air kita, untuk melindungi sumber air baku air minum.
Penelitian terhadap sungai - sungai utama di Indonesia telah
banyak dilakukan dengan hasil yang cukup mengejutkan karena
sejumlah besar sungai-sungai tersebut tercemar air limbah
domestik.
Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, berisi pedoman-
pedoman bagaimana merencanakan sistem pengelolaan air lim-
bah domestik perkotaan dari membuat rancangan induk,
melakukan studi kelayakan, memilih, membangun, mengop-
erasikan dan memelihara prasarana dan sarana yang dilengkapi
dengan gambar-gambar ilustrasi serta contoh perhitungan.
Pedoman ini dilengkapi petunjuk-petunjuk praktis yang diharap-
kan dapat membantu pelaksana di lapangan.
Daftar Isi
Bab 1. Apa Yang Dimaksud Dengan Air Limbah Domestik, Bab
2. Mengapa Air Limbah Domestik Harus Diolah, Bab 3. Air Limbah
Domestik, Tanggung Jawab Siapa, Bab 4. Siapa Pengelola
Sistem Pengolahan Air Limbah, Bab 5. Bagaimana Merencanakan
Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik.
Pedoman Pengelolaan
Persampahan Perkotaan Bagi Eksekutif atau
Legislatif Pemerintah Kota atau Kabupaten
Pengambilan keputusan oleh Bupati/Walikota, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah untuk selanjutnya disebut
Eksekutif/Legislatif pemerintah kabupaten/kota sebagai stakehold-
ers utama dalam sektor sistem pengelolaan sampah kota akan
sangat menentukan keberhasilan dalam peningkatan dan per-
baikan sistem. Oleh karena itu buku pedoman ini disusun dan
berisi tentang kriteria penetapan kebijakan untuk menjadi referen-
si bagi para eksekutif/legeslatif pemerintah kabupaten/kota.
Buku pedoman sistem pengelolaan sampah kota ini secara
khusus diperuntukan bagi para eksekutif dan legeslatif, sehingga
sajiannya meliputi informasi dan kriteria utnuk menetapkan kepu-
tusan yang bersifat strategis.
Daftar Isi
Pendahuluan, Pedoman Sub Sistem Teknik Operasional,
Pedoman Sub Sistem Kelembagaan, Pedoman Sub Sistem
Pembiayaan, Pedoman Sub Sistem Peraturan Hukum, Aspek
Peran Serta Masyarakat, Acuan SNI
Daftar Standar
Bidang Konstruksi dan Bangunan Sipil
Daftar Standar Bidang Pekerjaan Umum (PU) atau
Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) ini merupakan
akumulasi kegiatan standarisasi yang berkaitan dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI) oleh Badan Litbang Pekerjaan Umum,
181 182
165 164
Badan Pembinaan Jasa Konstruksi dan Investasi (Bapekin),
Direktorat Jenderal di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum
dan pihak-pihak terkait, yang isinya meliputi nomor dan ruang
lingkup standar - standar, pedoman/petunjuk teknis yang sudah
disahkan oleh yang berwenang, yaitu Badan Standardisasi
Nasional (BSN) dan/atau Menteri Pekerjaan Umum..
Buku ini memberikan kemudahan bagi para pengguna dalam
mengakses informasi standar, daftar standar ini disiapkan dalam
tiga kelompok, yaitu SNI, Pedoman teknis, dan Petunjuk teknis.
Kumpulan ruang lingkup ini terdiri atas 764 SNI, 515
Pedoman/Petunjuk Teknis/Manual, dan 93 rancangan standar dan
pedoman teknis yang masih dalam proses kodifikasi. Dalam daf-
tar ini telah dikoreksi beberapa posisi SNI yang tidak tepat pen-
gelompokkannya, termasuk pula sekitar 10 SNI baru dan satu
revisi SNI yang disahkan serta satu SNI yang ditarik oleh BSN.
Daftar Isi
1. Standar Nasional Indonesia (SNI); 2. Pedoman Teknis; 3.
Petunjuk Teknis
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 1 Perencanaan Air Bersih Perdesaan)
Pedoman ini dimaksudkan untuk mendapatkan perencanaan
yang baik, dalam arti secara teknis dan ekonomis dapat dipertang-
gungjawabkan dari seluruh proyek.
Tujuannya untuk mendapatkan gambaran secara lengkap
mengenai kondisi lokasi proyek dalam pengukuran jarak sumber,
pengukuran ketinggian, pengukuran kapasitas sumber air serta
peta lokasi dan pengambilan sample air, membuat gambaran
sketsa dan gambar teknis sarana yang akan dibagun dan men-
gukur profil melintang dan memanjang lokasi bangunan.
Ruang lingkup buku pedoman ini memuat tentang pengertian,
persyaratan dan perencanaan sistem penyediaan air minum di
perdesaan.
Daftar Isi
Bab I Uraian I; Bab II Persyaratan; Bab III Tahapan
Perencanaan; Bab IV Referensi.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi
Proyek WSLIC-2 (Buku 2 Survey)
Pedoman Teknis Pembangunan Sarana Air Bersih Dan Sanitasi
Proyek WSLIC-2, buku 2: Survey, diharapkan mendapatkan peren-
canaan yang baik, dalam arti secara teknis dan ekonomis dapat diper-
tanggungjawabkan dari seluruh siklus proyek.
Adapun buku pedoman ini bertujuan untuk mendapatkan gam-
baran secara lengkap mengenai kondisi lokasi proyek antara lain:
pengukuran jarak sumber air ke daerah pelayanan; mengukur ket-
inggian; mengukur kapasitas sumber air serta peta lokasi proyek
serta pengambilan sampel air; membuat sketsa dan gambar tek-
nis sarana yang akan dibangun; mengukur profil melintang dan
memanjang lokasi bangunan.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi ; Bab II Umum
183 184
167 166
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi
Proyek WSLIC-2
(Buku 3 Perhitungan Perpipaan dan Pompa)
Pengetahuan mengenai dimensi perpipaan dimaksud agar
dalam pelaksanaannya air yang akan ditransmisikan dan didis-
tribusikan dapat sesuai dengan yang diharapkan, artinya sistem
berjalan dan berfungsi mentransmisikan dan mendistribusikan air
sehingga konsumen di titik terjauhpun mendapatkan suplai air.
Sebelum ditentukan diameter pipa yang dibutuhkan dan bera-
pa panjangnya terlebih dahulu harus diketahui hal-hal sehubung-
an dengan kehilangan tenaga, friction loss, hydraulic gradient dan
sebagian lainnya yang merupakan bagian pengetahuan dari salu-
ran tertutup (closed conduit).
Pengetahuan mengenai hidrolika, khususnya hidrolika yang
berhubungan dengan aliran air didalam pipa. Dengan memahami
hidrolika ini, diharapkan akan lebih mudah untuk menyelesaikan dan
memahami persoalan yang mungkin timbul pada aliran dalam pipa.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan; Bab II Hidrolika; Bab III Penentuan
Dimensi Pipa; Bab IV Pengadaan; Bab V Standar Pipa; Bab VI
Perhitungan Pompa.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi
Proyek WSLIC-2
(Buku 4 Persyaratan Konstruksi Air Minum)
Buku pedoman ini menjelaskan uraian dan syarat mengenai pen-
gadaan bahan dan pemasangan/pelaksanaan pekerjaan secara
lengkap dan sempurna mengenai perpipaan dan perlengkapannya.
Pekerjaan perpipaan transmisi air yang berfungsi untuk membawa air
baku/air bersih dari bangunan reservoir sampai ke titik awal jaringan
distribusi. Pekerjaan perpipaan distribusi adalah suatu jaringan perpi-
paan yang berfungsi mengalirkan air bersih dari unit akhir transmisi
(pengolah/reservoir) menuju daerah pelayanan. Sistim jaringan dis-
tribusi untuk daerah perdesaan mempergunakan sistim cabang untuk
memudahkan didalam perhitungan dan pengoperasian.
Daftar Isi
Bab I Spesifikasi Teknis Bagian Pekerjaan Pipa Transmisi dan
Distribusi; Bab II Spesifikasi Bagian Pekerjaan Sipil dan
Bangunan; Bab III Bagian Pekerjaan Penyelesaian (Finishing).
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi
Proyek WSLIC-2 (Buku 5 Spesifikasi Sumur Gali)
Maksud dari buku pedoman ini untuk dijadikan pegangan bagi
penyelenggara pembangunan sumur gali dalam rangka
memenuhi kebutuhan air baku untuk air bersih rumah tangga. Dan
tujuan spesifikasi dari pedoman ini untuk memberikan persyaratan
teknis sumur gali sebagai sumber air baku untuk air yang terlin-
dung dari pencemaran.
185 186
169 168
Spesifikasi ini mencakup pengertian dan ketentuan-ketentuan
mengenai bentuk, ukuran, persyaratan kualitas, tipe konstruksi
dan kekuatan, penempatan sumur gali.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi ; Bab II Spesifikasi.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi
Proyek WSLIC-2
(Buku 6 Spesifikasi Teknik Sumur Pompa Tangan)
Buku pedoman ini diharapkan dapat dijadikan buku pegangan
bagi perencana pembuatan sumur pompa tangan dalam rangka
memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga. Tujuan spesifikasi
teknik buku ini adalah untuk memberikan persyaratan teknis
sumur pompa tangan sebagai sumber baku untuk kebutuhan air
bersih rumah tangga yang terlindung dari pencemaran.
Adapun ruang lingkup spesifikasi teknis ini mencakup pengert-
ian, ketentuan-ketentuan mengenai bentuk dan ukuran, per-
syaratan kualitas, tipe konstruksi, kekuatan, penempatan.
Pengertian sumur pompa tangan adalah sarana penyedia air
bersih berupa sumur yang dibuat dengan membor tanah pada
kedalaman tertentu sehingga diperoleh air sesuai dengan yang
diinginkan. Pengambilan air baku dilakukan dengan menghisap
atau menekan air ke permukaan tanah dengan menggunakan
pompa tangan.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi ; Bab II Spesifikasi.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi
Proyek WSLIC-2
(Buku 7 Pembuatan Sumur Dangkal)
Sumur merupakan sarana untuk memanfaatkan air dibawah
permukaan tanah, sumber air tanah ini berasal dari air permukaan
misalnya air hujan, air sungai dan lain sebagainya yang meresap
ke dalam tanah. Lapisan tanah yang mengandung air disebut
lapisan aquifer, untuk mendapatkan debit air yang stabil pembu-
atan sumur harus mencapai lapisan ini.
Jika lapisan aquifer ini terletak dekat permukaan tanah, pada
lokasi rencana pembuatan sumur, maka sumur yang dibuat akan
dangkal. Sebaliknya apabila letak aquifer jauh/dalam dari per-
mukaan tanah pada lokasi rencana pembuatan sumur, maka
sumur yang dibuat akan menjadi dalam.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan ; Bab II Tujuan; Bab III Langkah Pembuatan
Sumur Dangkal.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 8 Sumur Dalam)
Sumur dalam termasuk ke dalam tipe IV, yaitu sarana yang
sumbernya berasal dari air bawah tanah dan hasilnya bisa diman-
faatkan tidak hanya oleh satu dua rumah tangga namun bisa juga
dimanfaatkan secara komunal.
187 188
171 170
Dalam manual ini dipaparkan pengetahuan dan ketrampilan
yang berhubungan dengan pembuatan sumur dalam, seperti
bagaimana caranya untuk melakukan pengeboran dan apa saja
macam-macam caranya.
Pedoman ini bertujuan agar personel yang terlibat tahu per-
syaratan pembuatan sumur dalam; tata cara pengeboran; metode
teknologi pengeboran; mampu melakukan pengeboran dengan
berbagai metode; membuat konstruksi sumur dalam; mampu
melakukan instalasi sumur dalam dan tercapainya proses pen-
ingkatan kapasitas.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan; Bab II Tujuan; Bab III Langkah Kerja.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 9 Konstruksi Bangunan Air Minum)
Buku pedoman ini mempunyai tujuan agar para pelaksana
mengetahui konstruksi bangunan penyediaan air minum, mampu
membangun konstruksi sistim perpipaan terutama untuk sarana
air minum dan tersedianya sarana air minum perdesaan.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan; Bab II Tujuan; Bab III Langkah Kerja.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 10 Penampung Air Hujan)
Penyediaan sarana air bersih dibutuhkan sumber air yang
memenuhi syarat. Air hujan merupakan sumber air bersih yang
sangat penting disuatu daerah jika sumber-sumber air yang lain
seperti air tanah, air permukan, atau pelayanan PDAM didaerah
tersebut tidak ada. Untuk memanfaatkan air hujan sebagai sum-
ber air bersih dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai
berikut: memanfaatkan atap sebagai bidang tangkapan kemudian
mengumpulkannya pada tangki/bak penampungan, membuat
bidang penangkapan secara khusus pada permukaan tanah
kemudian mengumpulkannya pada sumur pengumpul.
Buku pedoman ini bertujuan agar pada daerah yang sulit men-
dapatkan sumber air permukaan maupun air tanah maka air hujan
satu-satunya sumber air yang dapat dimanfaatkan. Kondisi daer-
ah yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih san-
gat bervariasi. Kondisi tersebut menyebabkan pilihan kontruksi
penampungan air hujan yang berbeda antara satu tempat dengan
tempat lain. Faktor penyebab kondisi yang beragam antara lain
karena: topografi, penyebaran penduduk, curah hujan dan
ketersediaan material lokal yang dapat dimanfaatkan pada waktu
pembuatan.
Manual ini bertujuan agar pelaksana dapat memilih konstruksi
penampungan air hujan yang sesuai dengan keadaan lokasi,
ketersediaan material lokal, dan kebutuhan penduduk.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan; Bab II Tujuan; Bab III Langkah Pemilihan
Penampungan Air Hujan.
189 190
173 172
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 11 Instalasi Pengolahan Air Sederhana)
Pedoman teknis ini membantu para pelaksana mengetahui
instalasi pembangunan pengolahan air sederhana, mampu mem-
bangun instalasi untuk sarana air minum dan tersedianya sarana
air minum perdesaan yang sederhana.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Pengerjaan;
Bab IV Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan SKNT-SPL; Bab V
Referensi.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 12 Saringan Rumah Tangga/SARUT)
Petunjuk praktis ini mencakup pengertian, ketentuan umum
dan ketentuan teknis mengenai bahan, peralatan serta cara pem-
buatan saringan rumah tangga dengan kapasitas 200 liter. Yang
dimaksud dengan saringan rumah tangga (SARUT) adalah
sebuah sarana pengolahan air baku menjadi air bersih dengan
menggunakan teknologi sederhana.
Teknologi sederhana adalah teknologi yang mudah dalam
pembuatan, murah dalam pembangunan, serta mudah dan murah
dalam pengoperasian serta pemeliharaannya.
Daftar Isi
Bab I Uraian I; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Pengerjaan;
Bab IV Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan; Bab V Referensi.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 13 Pompa Hidran)
Petunjuk praktis ini mencakup pengertian, ketentuan umum
dan ketentuan teknis mengenai bahan, peralatan serta cara pem-
buatan pompa hidraulic ram (pompa hidran). Pengertian pompa
hidraulic ram adalah pompa air yang menggunakan tenaga aliran
balik air dalam pipa, bila ada penutupan yang mendesak.
Daftar Isi
Bab I Uraian I; Bab II Persyaratan Umum; Bab III Pemasangan
Pompa Hidran.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 14 Jamban Sekolah)
Pedoman teknis ini dimaksudkan untuk dijadikan pegangan
bagi penyelenggara pembangunan Jamban Sekolah dalam rang-
ka memenuhi kebutuhan sarana sanitasi perdesaan, dengan
191 192
175 174
tujuan untuk memberikan persyaratan teknis jamban sekolah
yang memenuhi unsur kelayakan dan kesehatan.
Tata cara ini mencakup pengertian dan ketentuan-ketentuan
mengenai bentuk, ukuran persyaratan kualitas, tipe konstruksi
dan kekuatan serta penempatan bangunan Jamban Sekolah.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan Teknis; Bab III Cara
Pengerjaan.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 15 Pembuatan Cubluk)
Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegan-
gan dalam merencanakan struktur bangunan cubluk, dalam
menunjang perlindungan kesehatan masyarakat, serta mem-
berikan ukuran dan batasan dalam rangka memudahkan peren-
canaan bangunan cubluk guna mensukseskan program penye-
hatan lingkungan permukiman.
Tata cara ini meliputi pengertian, persyaratan yang harus
dipenuhi dan ketentuan-ketentuan membuat bagian cubluk yang
meliputi tutup, galian, dinding, saluran penghubung dan bak kon-
trol cubluk.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan Teknis; Bab III Cara
Pengerjaan; Bab IV Volume Pekerjaan.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi
Proyek WSLIC-2
(Buku 16 Pembuatan Tangki Septik)
Petunjuk praktis pembangunan tangki septik ini sebagai acuan
dan pegangan bagi pelaksana dan masyarakat dalam meren-
canakan struktur bangunan tangki septik. Serta memberikan uku-
ran batasan perencanaan untuk menentukan kebutuhan minimum
fasilitas tangki septik di kawasan permukiman.
Petunjuk praktis pembangunan septik ini meliputi pengertian,
persyaratan teknis tangki septik yang berlaku bagi pembuangan
air limbah rumah tangga untuk daerah air tanah rendah dan
pemakai tidak lebih dari 25 orang.
Daftar Isi
Bab I Uraian; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Pengerjaan; Bab
IV Cara Pengoperasian dan Pemeliharaan.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 17 Jamban Keluarga)
Pedoman teknis ini dimaksudkan untuk dijadikan pegangan
bagi penyelenggara pembangunan Jamban Keluarga dalam rang-
ka memenuhi kebutuhan sarana sanitasi perdesaan serta mem-
berikan persyaratan teknis Jamban Keluarga yang memenuhi
unsur kelayakan dan kesehatan.
Tata cara ini mencakup pengertian dan ketentuan-ketentuan
193 194
177 176
mengenai bentuk, ukuran persyaratan kualitas, tipe konstruksi
dan kekuatan serta penempatan bangunan Jamban Keluarga.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan Teknis; Bab III Cara
Pengerjaan.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 18 Bangunan Atas Jamban)
Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi
penyelenggara pembangunan jamban dalam rangka memenuhi
kebutuhan sarana sanitasi perdesaan, serta untuk memperoleh
hasil pembangunan Bangunan Atas dan Bangunan Tengah
Jamban yang maksimal dan dapat dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan teknik perencanaan dengan mempertim-
bangkan faktor-faktor yang berpengaruh.
Tata cara ini mencakup Bangunan Atas Jamban : tidak terma-
suk Bangunan Bawah Jamban.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi; Bab II Persyaratan Teknis; Bab III Tata Cara
Pembuatan Bangunan Atas Jamban.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 19 Pembuatan Sarana Pembuangan
Air Limbah)
Pedoman teknis ini dimaksudkan untuk dijadikan pegangan
bagi perencanaan dan penyelenggara pembangunan Sarana
Pembuangan Air Limbah (SPAL) untuk perlindungan kesehatan
masyarakat, serta untuk memberikan persyaratan teknis SPAL
sebagai sarana pengumpulan air buangan agar tidak mengotori
lingkungan permukiman.
Tata cara ini mencakup pengertian dan ketentuan mengenai
bentuk, ukuran, persyaratan kualitas, tipe konstruksi, kekuatan,
penempatan SPAL, cara pembuatan dan gambar-gambar.
Daftar Isi
Bab I Deskripsi; Bab II Cara Pembuatan.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 20 Pengelolaan Sampah Perdesaan)
Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegangan
bagi masyarakat dan aparat desa dalam menentukan pengelolaan
sampah di perdesaan.
Tata cara ini memuat pengertian, persyaratan-persyaratan dan
cara penanganan sampah di perdesaan.
195 196
179 178
Daftar Isi
Bab I Uraian; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Penanganan
Sampah.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 21 Kompos Skala Kelompok)
Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegan-
gan bagi masyarakat dan aparat desa dalam proses pembuatan
sampah organik menjadi kompos. Serta untuk memperoleh/men-
dapatkan kompos yang memenuhi persyaratan.
Ruang lingkup pengaturan dalam petunjuk teknis pembuatan
kompos ini mencakup ketentuan umum dan ketentuan teknis
pembuatan kompos termasuk cara pengerjaannya, antara lain
meliputi : persyaratan bahan baku sampah, bangunan termasuk
peralatan, kapasitas pengomposan, tahapan proses pengom-
posan, dan kualitas kompos.
Daftar Isi
Bab I Uraian; Bab II Persyaratan; Bab III Cara Pembuatan; Bab
IV Pemeliharaan.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 22 Kompos Skala Rumah Tangga)
Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegangan
bagi masyarakat perdesaan dalam perencanaan struktur bangu-
nan komposter. Serta memberikan ukuran dan batasan pada ban-
gunan komposter sehingga mengoperasikan/membuat sampah
organik menjadi kompos. Spesifikasi ini mencakup pengertian tek-
nis mengenai bentuk, ukuran, bahan, fungsi dan kinerja dari kom-
poster rumah tangga untuk melayani mekanisme 5 (lima) orang.
Daftar Isi
Bab I Uraian; Bab II Persyaratan; Bab III Pembuatan Kompos.
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 23 Gambar Skema Sistem Air Bersih)
Pedoman teknis ini hanya berisikan gambar-gambar skema
dari sistem air bersih, diantaranya :
- Sistem Perpipaan Gravitasi (Mata Air - Kran Umum);
- Sistem Perpipaan Gravitasi (Air Permukaan);
- Sistem Perpipaan Gravitasi Dengan Pemompaan Ke Atas
(Mata Air - Kran Umum);
- Sistem Perpipaan Gravitasi (Sumur Bor - Tanah Dalam);
- Sumur Gali Dengan Pompa Listrik;
- Sistem Penampungan Air Hujan (SPAH).
197 198
181 180
Pedoman Teknis
Pembangunan Sarana Air Bersih dan
Sanitasi Proyek WSLIC-2
(Buku 24 Operasi dan Pemeliharaan)
Pedoman teknis ini bertujuan untuk memberikan acuan dan
pegangan dalam pengoperasian dan pemeliharaan sistim penye-
diaan air bersih dan sanitasi di lapangan sehingga sarana yang
terbangun dapat terpelihara.
Tata cara yang dipilih sedapat mungkin dapat diterapkan oleh
masyarakat setempat namun memenuhi persyaratan teknis, kese-
hatan dan dampak lingkungan, layak ditinjau dari aspek sosial,
ekonomi, budaya, serta mempertimbangkan kemudahan dalam
pengembangan teknologi pelaksanaannya.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan; Bab II Tujuan; Bab III Rencana
Pengoperasian dan Pemeliharaan; Bab IV Operasi dan
Pemeliharaan Sistim Sarana Air Bersih; Bab V Pemeriksaan Atas
Mesin-mesin; Bab VI Operasi dan Pemeliharaan Sistim Sarana
Sanitasi.
Konsep Pedoman Penyusunan
Standard Pelayanan
Bidang Air Minum
Di Indonesia, dengan berlakunya UU No. 22 dan 25 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah, maka penyelenggaraan
pelayanan prasarana dan sarana permukiman, termasuk
diantaranya sarana dan prasarana penyediaan air minum telah
menjadi tanggung jawab pemerintah di daerah tingkat II (Kota
maupun Kabupaten). Untuk menjamin penyelenggaraan penyedi-
aan air minum yang memenuhi syarat kwalitas, kuantitas dan kon-
tinuitas, maka diperlukan suatu standard pelayanan yang dapat
digunakan sebagai patokan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah pada pelaksanaan tugasnya dibidang air
minum.
Komponen materi standard pelayanan bidang air minum men-
cakup 3 bagian utama, yaitu yang berhubungan dengan bidang
pemrograman, pelaksanaan oleh operator, dan pemanfaatan oleh
masyarakat. Ketiga bidang tersebut pada dasarnya mempunyai
kaitan yang erat satu sama lain. Dalam pembahasan ketiga materi
standard ini dibagi dalam empat klasifikasi tipikal perkotaan, yaitu
kota kecil, sedang, besar dan kota metropolitan.
Daftar Isi
- Standard Pelayanan Bidang Air Minum;
- Asumsi-asumsi Yang Dipergunakan;
- Penjelasan Materi Standard.
Pedoman Penyusunan
Rencana Induk Bidang Drainase (Buku-1)
Sasaran dari adanya pedoman ini yaitu agar setiap
Kabupaten/Kota memiliki Rencana Induk Sarana dan Prasarana
bidang Drainase yang Sistematis, Terarah, Terpadu dan Tanggap
terhadap kebutuhan sesuai karakteristik lingkungan dan sosial
ekonomi daerah, serta tanggap terhadap kebutuhan stakeholder
proyek (Pemerintah, Investor dan masyarakat).
Sedangkan tujuannya adalah tersedianya materi yang dapat
199 200
183 182
dijadikan "Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Drainase
yang akan memudahkan perencana baik di Pusat maupun Daerah".
Sehingga setiap Kabupaten memiliki Rencana Induk Drainase yang
memiliki kualitas perencanaan yang memenuhi standard nasional.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan, Bab II. Maksud, Tujuan, dan Sasaran, Bab
III. Acuan Normatif, Bab IV. Ketentuan Rencana Induk.
Pedoman Penyusunan Rencana Induk
Bidang Persampahan (Buku-1)
Maksud dari buku pedoman ini adalah memberi pedoman bagi
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun Rencana Induk
Sarana dan Prasarana Bidang Persampahan, agar proses dan
produk perencanaan yang dihasilkan menjadi: efektif, efisien, ter-
padu dan berwawasan lingkungan.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab
III. Acuan Normatif; Bab IV. Ketentuan Rencana Induk.
Pedoman Penyusunan Rencana Induk
Bidang Persampahan (Buku-2)
Dokumen studi kelayakan bidang Persampahan, merupakan
suatu dokumen kelayakan ekonomi, keuangan dan lingkungan
dan program-program pengembangan sarana dan prasarana
Persampahan yang terdapat dalam suatu rencana induk.
Sasaran dari adanya pedoman ini adalah agar sarana dan
prasarana Persampahan yang direncanakan layak secara ekono-
mi, keuangan, lingkungan dan kelembagaan sehingga dapat
berfungsi secara berkelanjutan dan bermanfaat optimal.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab
III. Acuan Normatif; Bab IV. Ketentuan Perencanaan Studi
Kelayakan Ekonomi dan Finansial.
Pedoman Penyusunan Rencana Induk
Bidang Air Limbah (Buku-1)
Rencana Induk atau Master Plan Bidang Air Limbah meru-
pakan suatu dokumen perencanaan dasar yang menyeluruh
mengenai pengembangan sarana dan prasarana Air Limbah untuk
periode 20 (dua puluh) tahun. Dengan demikian gambaran arah
pengembangan, strategi pengembangan dan prioritas-prioritas
pengembangan sarana dan prasarana air limbah 20 tahun ke
depan masing-masing Kabupaten/Kota terformulasikan melalui
perencanaan tersebut. Buku ini dimaksudkan untuk memberi
pedoman bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun
Rencana Induk Sarana dan Prasarana Bidang Air Limbah, agar
proses dan produk perencanaan yang dihasilkan menjadi: efektif,
efisien, terpadu dan berwawasan lingkungan.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab
III. Acuan Normatif; Bab IV. Ketentuan Rencana Induk.
201 202
185 184
Pedoman Penyusunan Rencana Induk Bidang Air
Limbah (Buku-2)
Buku pedoman ini dimaksudkan untuk memberi pedoman
bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun studi
kelayakan bidang pengembangan sarana dan prasarana Air
Llimbah, agar keputusan investasi dan operasi didasari pada
dokumen kelayakan yang akurat.
Tujuan pedoman penyusunan studi kelayakan Air Limbah
adalah agar setiap Kabupaten/Kota memiliki dokumen studi
kelayakan proyek yang lengkap dan memadai sebagai acuan
standar dalam pengambilan keputusan investasi dan operasi
pengembangan sarana dan prasarana Air Limbah.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab
III. Acuan Normatif; Bab IV. Ketentuan Perencanaan Studi
Kelayakan Ekonomi dan Finansial; Bab V. Ketentuan
Perencanaan Studi Kelayakan Lingkungan.
Pedoman Umum
Program Penanggulangan Dampak
Pengurangan Subsidi Energi
untuk Penyediaan Prasarana Air Bersih
Tahun Anggaran 2002
Dalam rangka mengurangi beban masyarakat berpenghasilan
rendah akibat kenaikan harga BBM, Pemerintah telah menga-
lokasikan sejumlah dana kompensasi dalam bentuk Program
Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi untuk
Penyediaan Prasaran Air Bersih (Program SE-AB)
Program ini ditujukan bagi masyarakat miskin di daerah kumuh
perkotaan yang belum terlayani oleh PDAM dan menempati dae-
rah yang rawan air bersih.
Daftar Isi
Bab I. Umum; Bab II. Pendekatan, Prinsip dan Pola
Pengelolaan; Bab III. Mekanisme Pengelolaan Program; Bab IV.
Pendanaan; Bab V. Sistem Informasi, Pelaporan dan Pengaduan;
Bab VI. Penutup.
SNI-Tata Cara Teknik Operasional
Pengelolaan Sampah Perkotaan
Tata cara ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi perencana
dan pelaksana yang bergerak di dalam pengelolaan sampah
perkotaan.
Standar ini merupakan kaji ulang serta revisi dari SNI 19-2454-
1991 mengenai tata cara pengelolaan teknik sampah perkotaan
mulai dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangku-
tan, pengolahan persampahan disertai dengan kegiatan pemila-
han pendekatan konsep 3M sejak dari sumbernya, di peminda-
han, sampai di buangan akhir sampah.
Tata cara ini bertujuan untuk memberikan dasar-dasar dalam
perencanaan pengelolaan teknik operasional sampah perkotaan.
Daftar Isi
I. Ruang Lingkup; II. Acuan; III. Istilah dan Definisi; IV.
Persyaratan Teknis Pengelolaan Sampah Kota; V. Teknik
Operasional.
203 204
187 186
SNI-Tata Cara Pemilihan Lokasi
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Sampah ini dimaksudkan untuk dijadikan pegangan dan acuan
bagi perencana dalam memilih lokasi tempat pembuangan akhir
sampah di suatu wilayah.
Tujuan tata cara ini adalah untuk menentukan lokasi tempat
pembuangan akhir sampah.
Tata cara ini memuat persyaratan, ketentuan teknis dan cara
pengerjaan di dalam memilih dan menentukan lokasi tempat pem-
buangan akhir sampah.
Daftar Isi
I. Deskripsi; II. Persyaratan; III. Ketentuan-ketentuan; IV. Cara
Pengerjaan.
Petunjuk Teknis
Pedoman Pelaksanaan Survei Rumah Tangga
Penyediaan Air Minum
Ketersediaan air minum merupakan dambaan utama di setiap
rumah tangga. Harapan dan keinginan utama tersebut belum
tentu dapat dinikmati oleh semua rumah tangga, hal in bisa dise-
babkan karena masalah geografis yang tidak mendukung sehing-
ga kemudahan memperoleh air minum menjadi sulit. Hal lain dise-
babkan karena tidak tersedianya fasilitas untuk memperoleh air
minum atau sumber daya buatan yang belum dieksplorasi karena
minimnya SDM yang ada. Selain itu, pada golongan masyarakat
ekonomi lemah memang kurang perhatian terhadap konsumsi air
minum, karena rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan
masyarakat.
Oleh karena itu pedoman ini bertujuan untuk menyatukan
persepsi yang sama terhadap peran dan tanggung jawab para
petugas pelaksana kegiatan yang terkait dalam pelaksanaan
survei air minum di rumah tangga, memperoleh informasi dan
memetakan daerah-daerah rawan air minum, serta menghasilkan
indikator MDG's pada tingkat Kabupaten/Kota terpilih.
Daftar Isi
I. Pendahuluan; II. Metodologi; III. Organisasi Pengumpulan
Data Survei Rumah Tangga
Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Proyek
(CWSH Project NAD-NIAS/SUMUT)
Buku petunjuk Pelaksanaan Manajemen Proyek ini diharapkan
dapat menjadi acuan yang memberi arahan bagi seluruh pelak-
sana proyek di semua tingkatan dan berbagai pihak terkait agar
bertindak secara sistematis dalam mencapai tujuan dan sasaran
proyek dengan tepat, efektif dan efisien.
Proyek CWSH-NAD-Nias bertujuan untuk meningkatkan de-
rajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan
rendah di perdesaan dan pinggiran perkotaan dengan pendekatan
berbasis masyarakat, melalui: penyediaan air minum yang lebih
berkualitas, penyediaan sarana sanitasi yang lebih memadai, per-
baikan perilaku hidup bersih dan sehat, serta pencegahan
penyakit yang menular melalui air dan berkaitan dengan air.
205 206
189 188
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Tujuan, Komponen Proyek dan
Lokasi Proyek; Bab III. Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi;
Bab IV. Perencanaan Proyek; Bab V. Pendanaan; Bab VI.
Pelaksanaan; Bab VII. Monitoring dan Evaluasi; Bab VIII.
Pengendalian.
Petunjuk Teknis Operasional Tingkat Desa
(CWSH Project NAD-NIAS/SUMUT)
Proyek CWSH NAD-Nias/Sumut bertujuan untuk mening-
katkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat berpeng-
hasilan rendah di perdesaan dan pinggiran perkotaan dengan
pendekatan berbasis masyarakat melalui penyediaan air minum
yang lebih berkualitas, penyediaan sarana sanitasi yang lebih
memadai dan perbaikan hidup bersih dan sehat.
Sebagai bagian dari prasyarat pelaksanaan proyek, maka disusun-
lah Buku Petunjuk Operasional Tingkat Desa Proyek CWSH NAD-
Nias. Buku petunjuk ini diharapkan dapat menjadi acuan yang mem-
beri arahan bagi seluruh pelaksana proyek di tingkat desa dan berba-
gai pihak terkait agar bertindak secara sistematis dalam mencapai
tujuan dan sasaran proyek dengan tepat, efektif dan efisien.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Proses Pemilihan Desa; Bab III.
Struktur Organisasi dan Tim Kerja Masyarakat; Bab IV. Pilihan
Komponen Kegiatan; Bab V. Rencana Kerja Masyarakat; Bab VI.
Pelaksanaan Tingkat Desa; Bab VII. Operasional dan
Pemeliharaan; Bab VIII. Monitoring dan Evaluasi.
Pedoman Penyusunan Rencana Induk
Bidang Drainase (Buku-2)
Dokumen studi kelayakan bidang Drainase, merupakan suatu
dokumen kelayakan ekonomi dan lingkungan dari program-pro-
gram pengembangan sarana dan prasarana Drainase yang terda-
pat dalam suatu rencana induk.
Tujuan pedoman penyusunan studi kelayakan Drainase adalah
agar setiap Kabupaten/Kota memiliki dokumen studi kelayakan
proyek yang lengkap dan memadai sebagai acuan standar dalam
pengambilan keputusan investasi dan operasi pengembangan
sarana dan prasarana Drainase.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Maksud, Tujuan dan Sasaran; Bab
III. Acuan Normatis; Bab IV. Ketentuan Perencanaan Studi
Kelayakan Lingkungan.
Pedoman Tugas dan Tanggung Jawab
Tim Teknis Propinsi dan Kabupaten
Proyek WSLIC-2
Pedoman teknis ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu:
Pedoman Tugas dan Tanggung Jawab Tim Teknis
Propinsi dan Kabupaten Proyek WSLIC-2 bagi Petugas
Puskesmas:
Pedoman ini menjelaskan susunan Tim Teknis Propinsi dan
Tim Teknis Kabupaten berikut Tugas/Tanggung Jawabnya.
191 190
Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Program Kesehatan
Masyarakat pada Daerah Pasca Konstruksi Proyek
WSLIC-2:
Maksud dari pedoman ini adalah untuk pegangan dan acuan
bagi petugas Puskesmas dalam meningkatkan derajat kese-
hatan masyarakat di daerah pasca konstruksi Proyek WSLIC-
2 melalui pendekatan KLINIK SANITASI yang merupakan
upaya keterpaduan kegiatan lintas program dan sektor dalam
program pemberantasan penyakit menular dan penyehatan
lingkungan.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Kegiatan; Bab III. Unit Pelak-
sanaan; Bab IV. Pendanaan; Bab V. Jadwal Kegiatan; Bab VI.
Penutup.
Pedoman Indeks Lingkungan dan Perilaku Sehat
Pedoman ini sebagai panduan penerapan Indeks LPS di desa
pasca konstruksi Proyek Penyediaan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan untuk Masyarakat Berpenghasilan
Rendah 2/PAMPL-MPR 2 (Water and Sanitation for Low
Income Communities 2/WSLIC 2). Indeks LPS merupakan
angka yang menggambarkan tingkat perilaku dan tingkat
keadaan lingkungan keluarga.
Petunjuk Teknis
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Proyek Air Bersih (Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum No. 41/KPTS/1997)
Petunjuk Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) Proyek Air Bersih ini merupakan penjabaran
dari Pedoman Umum Penyusunan AMDAL yang ditetapkan oleh
Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan merupakan bagian dari
Pedoman Teknis AMDAL Proyek Bidang Pekerjaan Umum.
Maksud dan tujuan Petunjuk Teknis Penyusunan AMDAL
Proyek Air Bersih ini adalah untuk memberikan petunjuk yang
lebih rinci dalam penyusunan dokumen AMDAL serta untuk mem-
berikan arahan kepada pemrakarsa, konsultan dan penilai AMDAL
dalam menyusun dan menilai dokumen AMDAL Proyek Air Bersih
agar lebih efektif sesuai dengan sasaran.
Daftar Isi
I. Pendahuluan; II. Pemerian Rencana Kegiatan Proyek dan
Rona Lingkungan; III. Dampak Kegiatan Proyek Terhadap
Lingkungan dan Upaya Penanganannya; IV. Penyusunan
Dokumen AMDAL; V. Penutup.
Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus
Bidang Infrastruktur Tahun 2007
(Petunjuk Teknis Sub Bidang Irigasi)
Petunjuk Teknis Sub Bidang Irigasi Bantuan Dana Alokasi
Khusu sebagai lampiran Peraturan Menteri PU tentang Petunjuk
193 192
Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur
Tahun 2007, dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan PP No. 55
Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, pada Pasal 59 ayat (1)
menyatakan bahwa Menteri Teknis Menyusun Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus, serta Permenkeu No.
128/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman
Umum Pengelolaan DAK Tahun Anggaran 2007.
Peraturan Menteri PU beserta lampirannya tersebut dapat
digunakan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan monitoring
dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan DAK.
Agar pelaksanaan penangan infrastruktur bidang irigasi dapat
menghasilkan kualitas sesuai umur rencana yang diharapkan
perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan petunjuk teknis sesuai
bidang masing-masing, untuk itu maka petunjuk teknis bidang
Irigasi ini disusun.
Daftar Isi
I. Pendahuluan; II. Petunjuk Teknis Pemeliharaan Jaringan
Irigasi; III. Petunjuk Teknis Rehabilitasi Jaringan Irigasi.
Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus
Bidang Infrastruktur Tahun 2007
(Petunjuk Teknis Sub Bidang Jalan)
Petunjuk Teknis Sub Bidang Jalan Bantuan Dana Alokasi
Khusus sebagai lampiran Peraturan Menteri PU tentang Petunjuk
Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur
Tahun 2007, dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan PP No. 55
Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, pada Pasal 59 ayat (1)
menyatakan bahwa Menteri Teknis Menyusun Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus, serta Permenkeu No.
128/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman
Umum Pengelolaan DAK Tahun Anggaran 2007.
Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan serta PP
No. 34 Tahun 2006 tentan Jalan, digunakan sebagai acuan dari
aspek hukum dalam kaitan pembagian wewenang antara
Pemerintah (Pusat) dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
hal Penyelenggaraan Jalan.
Daftar Isi
I. Pendahuluan; II. Perencanaan dan Pemrograman; III.
Perencanaan Teknik dan Pelaksanaan Konstruksi; IV. Pelaporan,
Evaluasi dan Penilaian Kinerja.
Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang
Infrastruktur Tahun 2007
(Petunjuk Teknis Sub Bidang Air Bersih)
Petunjuk teknis ini dimaksudkan untuk memberikan acuan kepada
para pelaksana dan pihak terkait lainnya dalam penyelenggaraan
perencanaan prasarana air bersih sederhana. Petunjuk teknis ini juga
bertujuan untuk menjamin kesesuaian, ketertiban dan ketetapan
dalam pembangunan prasarana air minum sederhana sehingga
prasarana yang dibangun dapat dimanfaatkan secara andal dan
berkelanjutan. Dalam melakukan pemilihan kegiatan DAK sub bidang
air minum, terlebih dahulu melakukan review atau kajian terhadap sis-
tem eksisting atau sistem yang sudah ada. Petunjuk teknis ini menje-
laskan kriteria, perhitungan, data dan tahapan yang diperlukan dalam
perencanaan prasarana air minum sederhana, meliputi pembangunan
baru, rehabilitasi dan optimalisasi. Pembangunan infrastruktur baru
195 194
meliputi perencanaan bangunan pengambilan air baku, unit pengola-
han, perpipaan, perpompaan dan unit pemanfaatan sesuai lingkup
program.
Daftar Isi
I. Pendahuluan; II. Perencanaan dan Pemrograman; III.
Perencanaan Teknik dan Pelaksanaan Konstruksi; IV. Pelaporan,
Evaluasi dan Penilaian Kinerja.
Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang
Infrastruktur Tahun 2007
(Petunjuk Teknis Sub Bidang Sanitasi)
Petunjuk Teknis Sub Bidang Sanitasi sebagai lampiran
Peraturan Menteri PU tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana
Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007, dikeluarkan
dalam rangka pelaksanaan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan, pada Pasal 59 ayat (1) menyatakan bahwa Menteri
Teknis Menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi
Khusus, serta Permenkeu No. 128/PMK.07/2006 tentang
Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan DAK Tahun
Anggaran 2007.
Maksud dari penyusunan Petunjuk Teknis ini adalah sebagai
acuan dan pegangan bagi masyarakat dalam menyelenggarakan
prasarana-prasarana sanitasi sederhana yang dialokasikan
melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) mulai dari tahap peren-
canaan, pelaksanaan konstruksi, hingga tahap pengelolaan
(operasi dan pemeliharaan), dalam rangka meningkatkan kondisi
sanitasi lingkungan permukiman kumuh perkotaan dan permuki-
man nelayan yang dapat dikelola oleh masyarakat itu sendiri.
Daftar Isi
I. Pendahuluan; II. Perencanaan dan Pemrograman; III.
Perencanaan Teknik dan Pelaksanaan Konstruksi; IV. Pelaporan
dan Evaluasi.
Petujuk Teknis
Pembangunan Perumahan Di Atas Air
Buku ini merupakan bagian dari ketentuan mengenai peren-
canaan perumahan di atas air yang akan dibakukan oleh
Departemen Pekerjaan Umum. Buku ini disusun dengan maksud
terciptanya lingkungan perumahan dan permukiman di atas air
yang memenuhi kesehatan, kenyamanan, ketertiban dan
berwawasan lingkungan.
Buku ini disusun dengan ruang lingkup sebagai berikut:
Maksud, tujuan, manfaat dan sasaran baik untuk pemakai
maupun untuk wilayah dimana standar-standar dalam buku ini
akan atau harus diterapkan.
Penjelasan beberapa istilah dan pengertian baik yang lang-
sung maupun tidak langsung digunakan dalam buku ini tetapi
berkaitan dengan perencanaan perumahan di atas air.
Dalam buku ini juga tercantum besaran-besaran standar
perencanaan prasarana permukiman, yaitu jalan, air bersih,
air limbah, persampahan dan listrik.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Ketentuan Umum; Bab III.
Persyaratan Teknis.
197 196
Standar Minimal
Penanggulangan Masalah Kesehatan
Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi
Pedoman ini merupakan salah satu upaya Pemerintah dalam
bidang kesehatan untuk menstandarisasi pelayanan kesehatan
dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan
penanganan pengungsi yang meliputi pelayanan kesehatan,
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, gizi dan pa-
ngan, lingkungan serta hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan
dasar kesehatan.
Dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana
dan penanganan pengungsi diperlukan standar-standar yang
dapat dipakai sebagai pegangan atau patokan ukuran untuk
merencanakan, memberi bantuan dan untuk mengevaluasi.
Dibuatnya standar minimal ini untuk pegangan dalam setiap
kegiatan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi
baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh LSM serta
swasta lainnya.
Ruang lingkup buku ini yaitu membahas tentang standar mini-
mal yang meliputi pelayanan kesehatan, pencegahan dan pem-
berantasan penyakit menular, gizi dan pangan, lingkungan serta
papan dan sandang.
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan; Bab II. Tujuan dan Sasaran; Bab III.
Kebijakan; Bab IV. Standar Minimal; Bab V. Pemantauan dan
Evaluasi; Bab VI. Penutup.
Catatan
199 198

You might also like