You are on page 1of 17

A.

Sindroma Koroner Akut


Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan kumpulan
gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain yang disebabkan oleh
penurunan aliran darah ke jantung, sindrom ini meliputi unstable angina pectoris sampai
perkembangan menjadi miokard infark akut. Lebih dari 90% ACS disebabkan oleh
gangguan plak aterosklerosis dengan diikuti agregasi trombosit dan pembentukan
thrombus intrakoroner.
5
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner
(PJK), salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok iskemik serta peripheral
arterial disease(PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses
yang sangat kompleks dan multifaktor serta saling terkait.
6
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton, 2009).
Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan
trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi
dan aliran darah kolateral.
7
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3
kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) dan
peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada
hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya
gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan inversi gelombang T (Irmalita, 1996).
Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan
masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik.
8



B. ST Elevation Myocardial I nfarction (STEMI)
1. Definisi
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan sebagian dari
spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA
tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.
9
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat
cepat.
10
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
11

Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada
akhirnya akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard yang terjadi
bergantung pada letak dan lamanya sumbatan aliran darah, ada atau tidaknya kolateral
dan luaswilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yangtersumbat.
12
2. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien yang dating dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung.Jika
dicurigai nyeri dadanya berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya
berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark
mokard sebelumnya serta factor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes
mellitus, dislipidemia, merokok stres serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga.
9

Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah.
Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
9

b. Nyeri dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA.Nyeri
dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien
dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal
dalam pengelolaan pasien SKA.
9

Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :
1) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
2) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3) Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/ interskapula, dan
dapat juga ke lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan
lemas.
10

c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi
karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien
yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen
ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
13

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard
gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q.
jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan
banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut
biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.
13

d. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic
dehidrogenase (LDH), reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah
leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.
10

3. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan
nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi IMA.
14

Penanganan kegawat daruratan.
a. Tatalaksana awal:
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen 4L/ menit(saturasi
dipertahankan > 90%), Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila
masih nyeri, Aspirin 160mg (dikunyah), Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan
nitrat.
13

b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda reperfusi).
1) Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
2) Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
3) Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
4) Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB maksimum 4000u,
dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 48 jam dengan maksimum 1000
u/ jam dengan target aPTT 50 70s. Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah
terapi dimulai. LMWH dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-
pasien berusia < 75 tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada
laki-laki atau < 2 mg/ dl pada wanita).
13
4. Komplikasi
1. Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk,
ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodeling ventrikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah
infark ventrikel kiri mengalami dilatasi.Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi
infark al; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan
dalam zona nekrotik.Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark,
mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark.Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan
penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat
dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan
fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus
diberikan.
9

2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
dirumah sakit pada STEMI.Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang
baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan
bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering jumpai kongersi
paru.
9

5. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas Definisi Mortalitas (%)
I
II
III
IV
Tak ada gagal jantung kongestif
+ S3 dan/atau ronki basah
Edema paru
Syok kardiogenik
6
17
30-40
60-80
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana; S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik.
9

Tabel 2. Klasifikasi forrester untuk Infark Miokard Akut
Klas Indeks Kardiak
(L/min/m2)
PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
I
II
III
IV
>2,2
>2,2
<2,2
<2,2
<18
>18
<18
>18
3
9
23
51
Klasifikasi forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan
pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).
9


Tabel 3. Risk score untuk Infark Miokard dengan Elevasi STEMI
Factor resiko (Bobot) Skor
resiko/mortalitas
30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
Usia >75 tahun (3 poin)
Diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1
poin)
Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin)
Frekuensi jantung >100 mmHg (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat <67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor resiko = total poin (0-14)
0(0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)
TI MI Risk score adalah system prosnostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi trombolitik.
9

C. Ustable Angina Pektoris(UAP) /Non ST Elevation Myocardial I nfarction (NSTEMI)
1. Definisi
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST
(NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi
dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP
menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.
15
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih
disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB.
Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam
dan dapat menetap sampai 2 minggu.
15
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American
Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen
ST ( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan
miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai
keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun
tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi
sebentar atau adannya gelombang T yang negatif.
12

2. Etiologi
Ustable Angina Pektoris(UAP) /Non ST Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme arteri koroner, anemia
berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.
16
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris tidak
stabil :


a. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab angina pektoris
tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak
aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung
jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti banyak
mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada
tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan
lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh
darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus
tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
angin tak stabil.
b. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan
dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan
darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi
dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam
perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai
trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.

c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan
spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga dapat
menyebabkan angina tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
d. Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya poliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.
e. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi sistemik.
16


Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan
Complication) Pada Plak Aterosklerosis.
16

3. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan suplay
oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan
penyempitan lumen arteri koroner (arteriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara
pasti apa penyebab arteriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktoer tunggal yang
bertanggung jawab atas perkembangan arteriosklerosis.Pada saat beban kerja suatu
jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga meningkat. Apabila kebutuhan oksigen
meningkat pada jantung yang sehat, arteri-arteri koroner akan berdilatasi dan akan
mengalirkan banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Akan tetapi apabila arteri
koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat
berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian akan
terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium.Adanya endotel yang cedera
mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat oksid) yang berfungsi untuk
menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat
menyebabkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat
penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau
blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75%.
Bila penyempitan lebih dari 75% serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai
darah ke koroner akan berkurang. Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai
menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan eneginya. Proses
pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam
laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang
berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang,
suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif
untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan
menghilangnya penimbunan asam laktat, nyeri angina pektoris mereda. Dengan
demikian, angina pektoris adalah suatu keadaan yang berlangsung singkat.
17



4. Klasifikasi
Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada
keseragaman.Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
18

a. Berdasarkan angina :
1) Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya
nyeri dada
2) Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I bulan, tapi
tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir
3) Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
18

b. Keadaan klinis:
1) Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau
febris
2) Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak
3) Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
18

c. Intensitas pengobatan:
1) tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal
2) timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar
3) masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang
maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.
18


5. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina
yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan
lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang
minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah,
kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak
ada yang khas.
19

b. Pemeriksaan Fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat terdengar
derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut
jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada waktu serangan angina.
20

c. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat
normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer.
Tujuan dari stress test adalah:
a) menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b) menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah
utama akan
c) memberi hasil positif kuat.
20

Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi
segmen STdisertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan His dan tanpaperubahan segmen ST dan gelombang T. perubahan EKG
pada ATS berdifat sementaradan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri
ataupun bersamaan. Perubahan tersebutimbul di saat serangan angina dan kembali
ke gambaran normal atau awal setelah keluhanangina hilang dalam waktu 24 jam.
Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atauterjadi elevasi gelombang Q,
maka disebut sebagai IMA.
20

2) Enzim LDH, CPK, dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat tetapi
tidak melebihi50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim yang paling
sensitive untuk nekrosis ototmiokard, tetapi kadar dapat terjadi positif palsu. Hal
ini menunjukkan pentingnyapemeriksaan kadar enzim secara serial untung
menyingkirkan adanya IMA.
20

6. Skor Risiko TIMI

Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan angka faktor
resiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat
rekuren) pada 14 hari sekitar antara 5% dengan skor resiko 0-1, sampai 41% dengan
skor resiko 6-7.skor resiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI
11B dan telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan
meningkatnya skor resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif
pada terapi dengan LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor blocker
tirofiban versus placebo, dan strategi invasif versus konservatif.
16

Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan clopidogrel
menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor resiko juga efektif
dalam memprediksi outcome yang buruk pada pasien setelah pulang.
16

Tabel 4. Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI
- Usia > 65 tahun
- >3 faktor risiko PJK
- Stenosis sebelumnya > 50%
- Deviasi ST
- >2 kejadian angina < 24 jam
- Aspirin dalam 7 hari terakhir
- Peningkatan petanda jantung
Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI.
16
7. Penatalaksanaan
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian
morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun
sudah mendapat nitrogliserin.
21

b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi
wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah
oksigen suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran
darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena :
1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per oral.
Preparat :
Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual
Isodil 5-10 mg tablet sublingual
Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) -blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam
beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi
pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan
tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi
ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload
memberikan keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom
koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan
diltiazem).
21

2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina
tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti
platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP
Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan
dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan
obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan
aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping
granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75
mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan
terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki
reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan
agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini
yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun
untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina
tak stabil.
21

3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang
berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja
menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein
plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada
penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi
adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di
Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena
bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh
plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka
kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak
stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).
21
4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan
penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai
faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) mengurangi
masuknya kembali ke rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih
baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah
atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan
utama.
17

Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary
angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan
angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter
yang dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan di
dorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit, balon yang ada di
kateter digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri.
Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri
atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran
darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering
ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan
selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang
dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner
menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas
jangka-panjang.
17
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan
volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut
jantung). Hal ini menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga
berkurang. Posisi duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat.
Sebaliknya berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga
terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
8. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
21

b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi,
penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
22

c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
17

d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk
meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.
21

9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat
kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir
terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati
setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini,
kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak
memenuhi kebutuhan energinya.
22

b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan
dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah
turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan
angina, gagal jantung.
21

c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal
jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat
terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat
hipertensi yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung
akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.
21

10. Prognosis
Pada angina tidak stabil bila dapat didiagnosis dengan tepat dan cepat serta memberikan
pengobatan yang tepat dan agresif maka dapat menghasilkan prognosis yang baik.Namun bila
tidak dapat menimbulkan kematian

You might also like