You are on page 1of 35

a

TERAPI MODALITAS KEPERAWATAN JIWA


TERAPI LINGKUNGAN (MI LI EU THERAPY), TERAPI
PSIKORELIGIUS, ECT (ELECTROCONVULSI VE THERAPY)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Jiwa, dengan dosen
pengampu Imam Ansori, S. Kep., Ns.



Disusun oleh:
1. Umi Pujarwaning Sinta (2220111935)
2. Vera Endriana (2220111936)
3. Zuli Purnami (2220111937)
4. Agung Hermansah (2220111938)
KELAS : 2B

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO
YOGYAKARTA
APRIL, 2013
a
TERAPI LINGKUNGAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus mendapat
perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara kesehatan manusia.
Lingkungan dan situasi rumah sakit yang asing serta pengalaman perawatan yang tidak
menyenangkan akan memberi pengaruh yang besar terhadap kemampuan adaptasi pasien dengan
gangguan fisik dan gangguan mental. Ada kecenderungan lingkungan rumah sakit menjadi
stresor bagi pasien.
Menurut ICN, pada tahun 2020 nanti diseluruh dunia akan terjadi pergeseran penyakit.
Perubahan sosial ekonomi yang sangat cepat dan situasi sosial politik Indonesia yang tidak
menentu menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan,
situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan mental dalam kehidupan
manusia, pada saat ini terjadi peningkatan sekitar 20%.
Menurut Bloom, 60% faktor yang menentukan status kesehatan seseorang adalah kondisi
lingkungannya. Upaya terapi harus bersifat komprehensif, holistik, dan multidisipliner.
B. Konsep Terapi Lingkungan
Lingkungan telah didefinisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan merujuk pada
keadaan fisik, psikologis, dan social diluar batas system, atau masyarakat dimana system itu
berada ( Murray Z., 1985 ).
Manusia tidak dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus mendapat
perhatian khususnya untuk menjaga dan menjaga kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan
erat dengan stimulasi psikologi seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan, karena
lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kodisi
psikologis seseorang.
Lingkungan dan situasi rumah asing serta pengalaman perawatan yang tidak
menyenangkan akan memberi pengaruh yang besar terhadap kemampuan adaptasi pasien
dengan gangguan fisik dan mental. Lingkungan tersebut akan berpengaruh pula pada proses
a
perawatan di rumah sakit, hal ini pada akhirnya akan menentukan keberhasilan keperawatan
dan pengobatan.
Perubahan social ekonomi yang amat cepat dan situasi social politik Indonesia yang
tidak menentu menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan
kejahatan, situasi ini dapt meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan mental dalam
kehidupan manusia, pada saat terjadi peningkatan sekitar 20% ( Antai Otong, 1994 )
Konsep lingkungan dalam keperawatan mental
Lingkungan telah didefinisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan meruju pada
keadaan fisik, psikologis, dan di luar batas sistem, atau masyarakat dimana sistem itu berada (
Murray Z, 1985 )
Menurut teori keperawatan lingkungan yang ditemukan Florence Nightingale,
meyaniki bahwa udara yang bersih, sinar matahari yang cukup, serta lingkungan yang bersih
merupakan aspek penting untuk pemulihan kesembuhan seseorang.
Modifikasi lingkungan menurut Florence adalah sebagai berikut :
- Udara yang bersih ( pure air )
- Air yang bersih dan sehat ( pure water )
- Pembuangan yang aman dan memadai ( effiecient drainage )
- Keadaan lingkungan yang bersih ( cleanline )
- Sinar matahari / cahaya yang cukup ( light )
Pengertian terapi lingkungan ( Milieu Therapy )
Berasal dari bahasa Perancis yang berarti perencanaan ilmiah dari lingkungan untuk
tujuan yang bersifat terapeutik atau mendukung kesembuhan. Pengertian lainnya adalah
tindakan penyembuhan pasien melalui manipulasi dan modifikasi unsure-unsur yang ada pada
lingkungan dan berpengaruh positif terhadap fisik dan psikis individu serta mendukung proses
penyembuhan.
Terapi pengobatan merupakan cara proses suatu penyembuhan gangguan yang di
sebabkan oleh sumber sumber gangguan. Sumber sumber yang bersifat teraupetik ( dapat
a
memberikan penyembuhan ) dapat berupa orang orang lingkungan / benda benda dan
kegiatan kegiatan yang membawa ke arah penyembuhan.
Lingkungan merupakan kondisi dimana berpengaruh besar terhadap proses
penyembuhan terutama pasien dengan gangguan jiwa. Terapi lingkungan adalah suatu
tindakan penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa melalui manipulasi unsure yang ada di
lingkungan dan berpengaruh terhadap penyembuhan.
Lingkungan fisik dan psikologis merupakan suatu kondisi yang memiliki pengaruh
besar terhadap suatu penyembuhan terutama pasien dengan gangguan mental. Konsep
konsep tentang terapi lingkungan berasal dari konsep konsep The therapeutic community
yang diperkenalkan oleh Maxwell Jones yang digunakan dalam lingkungan rumah sakit
serta fasilitas kesehatan lain.
Tujuan Terapi Lingkungan
1. Membantu individu untuk mengembangkan rasa harga diri
2. Mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain
3. Membantu belajar untuk mempercayai orang lain
4. Mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat
Adapun Menurut Stuart dan Sundeen yaitu : Meningkatkan pengalaman positif pasien
khususnya yang mengalami gangguan mental. Dengan cara membantu individu dalam
mengembangkan harga diri, Meningkatkan kemampuan untuk berhubungan denagan orang
lain, menumbuhkan sikap percaya pada orang lain, mempersiapkan diri kembali ke
masyarakat, dan mencapai perubahan yang positif.
Karakteristi Terapi Lingkungan:
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka lingkungan harus bersifat
teraupetik yaitu mendorong terjadi proses penyembuhan, lingkungan tersebut memiliki
kriteria sebagai berikut :
1. Pasien merasa akrab dengan lingkungan yang diharapkannya.
2. Pasien merasa senang /nyaman.dan tidak merawsa takut dengan lingkungannya
3. Kebutuhan-kebutuhan fisik pasien mudah dipenuhi
a
4. Lingkungan rumah sakit/bangsal yang bersih
5. Lingkungan menciptakan rasa aman dari terjadinya luka akibat impuls-impuls pasien.
6. Personal dari lingkungan rumah sakit/bangsal menghargai pasien sebagai individu
yang memiliki hak, kebutuhan dan pendapat serta menerima perilaku pasien sebagai
respon adanya stress.
7. Lingkungan yang dapat mengurangi pembatasan-pembatasan atau larangan dan
memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan pilihannya dan
membentuk perilaku yang baru.

Disamping hal tersebut terapi lingkungan harus memilki karakteristik :
- Memudahkan perhatian terhadap apa yang terjadi pada individu dan kelompok
selama 24 jam.
- Adanya proses pertukaran informasi.
- Pasien merasakan keakraban dengan lingkungan.
- Pasien merasa senang, nyaman, aman, dan tidak meraswa takut baik dari
ancaman.
- Psikologis maupun ancaman fisik.
- Penekanan pada sosialisasi dan interaksi kelompok dengan focus komunikasi
terapeutik.
- Staf membagi tanggung jawab bersama pasien.
- Personal dari lingkungan manghargai klien sebagai individu yang memiliki hak,
kebutuhan, dan tanggung jawab.
- Kebutuhan fisik klien mudah terpenuhi.

Lingkungan Fisik
Aspek terapi lingkungan meliputi semua gambaran yang konkrit yang merupakan bagian
eksternal kehidupan rumah sakit. Setting-nya meliputi :
1. Bentuk dan struktur bangunan.
2. Pola interaksi antara masyarakat dengan rumah sakit.

a
Tiga aspek yang mempengaruhi terwujudnya lingkungan fisik terapeutik:
a. Lingkungan fisik yang tetap.
b. Lingkungan fisik semi tetap.
c. Lingkungan fisik tidak tetap.

a. Lingkungan Fisik Tetap
Mencakup struktur dari bentuk bangunan baik eksternal maupun internal.
Bagian eksternal meliputi struktur luar rumah sakit, yaitu lokasi dan letak gedung
sesuai dengan program pelayanan kesehatan jiwa, salah satunya kesehatan jiwa
masyarakat. Berada di tengah-tengah pemukiman penduduk atau masyarakat
sekitarnya serta tidak diberi pagar tinggi. Hal ini secara psikologis diharapkan dapat
membantu memelihara hubungan terapeutik pasien dengan masyarakat. Memberikan
kesempatan pada keluarga untuk tetap mengakui keberadaan pasien serta
menghindari kesan terisolasi.
Bagian internal gedung meliputi penataan struktur sesuai keadaan rumah
tinggal yang dilengkapi ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi tertutup, WC, dan
ruang makan. Masing-masing ruangan tersebut diberi nama dengan tujuan untuk
memberikan stimulasi pada pasien khususnya yang mengalami gangguan.
Setiap ruangan harus dilengkapi dengan jadwal kegiatan harian, jadwal terapi
aktivitas kelompok, jadwal kunjungan keluarga, dan jadwal kegiatan khusus misalnya
rapat ruangan.

b. Lingkungan Fisik Semi Tetap
Fasilitas-fasilitas berupa alat kerumahtanggaan meliputi lemari, kursi, meja,
peralatan dapur, peralatan makan, mandi, dsb. Semua perlengkapan diatur sedemikian
rupa sehingga memungkinkan pasien bebas berhubungan satu dengan yang lainnya
serta menjaga privasi pasien.

c. Lingkungan Fisik Tidak Tetap
Lebih ditekankan pada jarak hubungan interpersonal individu serta sangat
dipengaruhi oleh social budaya.
a
Lingkungan Psikososial
Lingkungan yang kondusif yaitu fleksibel dan dinamis yang memungkinkan pasien
berhubungan dengan orang lain dan dapat mengambil keputusan serta toleransi terhadap
tekanan eksternal. Beberapa prinsip yang perlu diyakini petugas kesehatan dalam
berinteraksi dengan pasien:
a. Tingkah laku dikomunikasikan dengan jelas untuk mempertahankan, mengubah
tingkah laku pasien.
b. Penerimaan dan pemeliharaan tingkah laku pasien tergantung dari tingkah laku
partisipasi petugas kesehatan dan keterlibatan pasien dalam kegiatan belajar.
c. Perubahan tingkah laku pasien tergantung pada perasaan pasien sebagai anggota
kelompok dan pasien dapat mengikuti atau mengisi kegiatan.
d. Kegiatan sehari-hari mendorong interaksi antara pasien.
e. Mempertahankan kontak dengan lingkungan misalnya adanya kalender harian dan
adanya papan nama dan tanda pengenal bagi petugas kesehatan.

C. PERAN PERAWAT DALAM TERAPI LINGKUNGAN
Peran perawat dalam menyelenggarakan terapi lingkungan adalah :
1. Pencipta lingkungan yang aman dan nyaman :
a. Perawat menciptakan dan mempertahankan iklim/suasana yang akrab,
menyenangkan, saling menghargai di antara sesame perawat, petugas kesehatan,
dan pasien.
b. Perawat yang menciptakan suasana yang aman dari benda-benda atau keadaan-
keadaan yang menimbulkan terjadinya kecelakaan/luka terhadap pasien atau
perawat.
c. Menciptakan suasana yang nyaman
d. Pasien diminta berpartisipasi melakukan kegiatan bagi dirinya sendiri dan orang
lain seperti yang biasa dilakukan di rumahnya. Misalnya membereskan kamar.




a
2. Penyelenggaraan proses sosialisasi
a. Membantu pasien belajar berinteraksi dengan orang lain, mempercayai orang lain,
sehingga meningkatkan harga diri dan berguna bagi orang lain.
b. Mendorong pasien untuk berkomunikasi tentang ide-ide, perasaan dan
perilakunya secara terbuka sesuai dengan aturan di dalam kegiatan-kegiatan
tertentu.
c. Melalui sosialisasi pasien belajar tentang kegiatan-kegiatan atau kemampuan yang
baru, dan dapat dilakukannya sesuai dengan kemampuan dan minatnya pada
waktu yang luang.

3. Sebagai teknis perawatan
Fungsi perawat adalah memberikan/memenuhi kebutuhan dari pasien,
memberikan obat-obatan yang telah ditetapkan, mengamati efek obat dan perilaku-
perilaku yang menonjol/menyimpang serta mengidentifikasi masalah-masalah yang
timbul dalam terapi tersebut.

4. Sebagai leader atau pengelola.
Perawat harus mampu mengelola sehingga tercipta lingkungan terapeutik yang
mendukung penyembuhan dan memberikan dampak baik secara fisik maupun secara
psikologis kepada pasien.
Jenis-jenis Kegiatan Terapi Lingkungan :
1. Terapi rekreasi
Yaitu terapi yang menggunakan kegiatan pada waktu luang, dengan tujuan pasien
dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenangkan serta
mengembangkan kemampuan hubungan sosial.
2. Terapi kreasi seni
Perawat dalam terapi ini dapat sebagai leader atau bekerja sama denagn orang lain
yang ahli dalam bidangnya karena harus sesuai dengan bakat dan minat,
diantaranya adalah :


a
a. Dance therapy/menari
Suatu terapi yang digunakan bentuk ekspresi non verbal dengan
menggerakan tubuh dimana mengkomunikasikan tentang perasaan perasaan
dan kebutuhan kebutuhan.
b. Terapi music
Terapi dilakukan melalui music. Dengan music memberikan kesempatan
kepada pasien mengekspresikan perasaan perasaannya seperti marah, sedih,
kesepian. Terapi ini dapat dilakukan bersama ( berkelompok ) atau individu.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan wawasan diri dan bagaimana
mengekspresikan perasaan/pikiran dan perilaku yang sesuai dengan norma-
norma yang ada.
c. Terapi dengan menggambar/melukis
Dengan menggambar akan menurunkan ketegangan dan memusatkan
pikiran yang ada. Dengan menggabar atau melukis akan memberikan
kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan tentang apa yang sedang
terjadi tentang dirinya.
Terapi ini bertujuan untuk menstimulasi respon pasien yang tidak mampu
mengadakan hubungan interaksi dengan orang-orang dan pasien biasanya
merasa kesepian, menyendiri.
d. Literatur/biblio therapy
Terapi ini bertujuan untuk mengajarkan pasien untuk memelihara sesuatu
/ mahluk hidup, dan membantu hubungan akrab antar satu pribadi kepada
pribadi lainnya.

Terapi Lingkungan pada Kondisi Khusus
1. Pasien rendah diri (low self esteem) , depresi (depression) bunuh diri
(suicide).
Syarat lingkungan secara psikologis harus memenuhi hal-hal sbb:
Ruangan aman dan nyaman.
Terhindar dari alat-alat yang dapat digunakan untuk mencederai diri
sendiri atau orang lain.
a
Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam
keadaan terkunci.
Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keseluruhan ruangan
mudah dipantau oleh petugas kesehatan.
Tata ruangan menarik dengan cara menempelkan poster yang cerah
dan meningkatkan gairah hidup pasien.
Warna dinding cerah.
Adanya bacaan ringan, lucu, dan memotivasi hidup.
Hadirkan musik ceria, tv, dan film komedi.
Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang-barang pribadi
pasien.

Lingkungan sosial:
Komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas menyapa pasien
sesering mungkin.
Memberikan penjelasan setiap akan melakukan kegiatan
keperawatan atau kegiatan medis lainnya.
Menerima pasien apa adanya jangan mengejek serta merendahkan.
Meningkatkan harga diri pasien.
Membantu menilai dan meningkatkan hubungan social secara
bertahap.
Membantu pasien dalam berinteraksi dengan keluarganya.
Sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan
membiarkan pasien sendiri terlalu lama di ruangannya.
2. Pasien dengan amuk.
Lingkungan fisik:
Ruangan aman, nyaman, dan mendapat pencahayaan yang cukup.
Pasien satu kamar, satu orang, bila sekamar lebih dari satu jangan
dicampur antara yang kuat dengan yang lemah.
Ada jendela berjeruji dengan pintu dari besi terkunci.
a
Tersedia kebijakan dan prosedur tertulis tentang protocol pengikatan
dan pengasingan secara aman, serta protocol pelepasan pengikatan.
Lingkungan Psikososial :
Komunikasi terapeutik, sikap bersahabat dan perasaan empati.
Observasi pasien tiap 15 menit.
Jelaskan tujuan pengikatan/pengekangan secara berulang-ulang.
Penuhi kebutuhan fisik pasien.
Libatkan keluarga.


Macam-Macam Terapi Lingkungan
Model terapi rehabilitasi yang dapat digunakan untuk membantu seseorang
melepaskan diri dari kecanduan dan merubah perilakunya menjadi lebih baik:
1. Model Terapi Moral
Model ini sangat umum dikenal oleh masyarakat serta biasanya dilakukan
dengan pendekatan agama/moral yang menekankan tentang dosa dan kelemahan
individu. Model terapi seperti ini sangat tepat diterapkan pada lingkungan
masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan dan moralitas di
tempat asalnya, karena model ini berjalan bersamaan dengan konsep baik dan
buruk yang diajarkan oleh agama. Maka tidak mengherankan apabila model terapi
moral inilah yang menjadi landasan utama pembenaran kekuatan hukum untuk
berperang melawan penyalahgunaan narkoba.
2. Model Terapi Sosial
Model ini memakai konsep dari program terapi komunitas, dimana adiksi
terhadap obat-obatan dipandang sebagai fenomena penyimpangan sosial (social
disorder).
Tujuan dari model terapi ini adalah mengarahkan perilaku yang menyimpang
tersebut ke arah perilaku sosial yang lebih layak. Hal ini didasarkan atas kesadaran
bahwa kebanyakan pecandu narkoba hampir selalu terlibat dalam tindakan a-sosial
termasuk tindakan kriminal. Kelebihan dari model ini adalah perhatiannya kepada
perilaku adiksi pecandu narkoba yang bersangkutan, bukan pada obat-obatan yang
a
disalahgunakan. Prakreknya dapat dilakukan melalui ceramah, seminar, dan
terutama terapi berkelompok (encounter group).
Tujuannya tidak lain adalah melatih pertanggung-jawaban sosial setiap
individu, sehingga kesalahan yang diperbuat satu orang menjadi tanggung-jawab
bersama-sama. Inilah yang menjadi keunikan dari model terapi sosial, yaitu
memfungsikan komunitas sedemikian rupa sebagai agen perubahan (agent of
change.)
3. Model Terapi Psikologis
Model ini diadaptasi dari teori psikologis Mc Lellin, dkk yang menyebutkan
bahwa perilaku adiksi obat adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi
selayaknya karena terjadi konflik, sehingga pecandu memakai obat pilihannya
untuk meringankan atau melepaskan beban psikologis itu. Model terapi ini
mementingkan penyembuhan emosional dari pecandu narkoba yang bersangkutan,
dimana jika emosinya dapat dikendalikan maka mereka tidak akan mempunyai
masalah lagi dengan obat-obatan.
Jenis dari terapi model psikologis ini biasanya banyak dilakukan pada
konseling pribadi, baik dalam pusat rehabilitasi maupun dalam terapi pribadi.
4. Model Terapi Budaya
Model ini menyatakan bahwa perilaku adiksi obat adalah hasil sosialiasi
seumur hidup dalam lingkungan sosial atau kebudayaan tertentu. Dalam hal ini,
keluarga seperti juga lingkungan dapat dikategorikan sebagai lingkungan sosial
dan kebudayaan tertentu.
Dasar pemikirannya adalah, bahwa praktek penyalahgunaan narkoba oleh
anggota keluarga tertentu adalah hasil akumulasi dari semua permasalahan yang
terjadi dalam keluarga yang bersangkutan. Sehingga model ini banyak
menekankan pada proses terapi untuk kalangan anggota keluarga dari para pecandu
narkoba tersebut.




a
TERAPI PSIKORELIGIUS

A. Pendahuluan
Pada orang yang gelisah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menjalani terapi
keagamaan. Orang ini harus diterapi jiwa dan komitmen keagamaannya sehingga siap untuk
meghadapi kenyataan. Ini adalah suatu contoh tentang pentingnya peranan agama.
Pada konfrensi yang diadakan di Canberra pada tahun 1980, dengan tema The Role of
Religion in The Prevention Of Drug Addiction. Pada kelompok-kelompok yang terkena
narkotik, alcohol, dan zat adiktif (NAZA) itu sejak dini komitmen agamanya lemah. Hal ini
dibandingkan dalam penelitian dengan orang yang kuat komitmen agamanya. Kesimpulannya
remaja-remaja yang sejak dini komitmen agamanya lemah memiliki resiko terkena NAPZA 4
kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak remaja yang sejak dini komitmen agamanya
kuat. Inilah salah satu contoh peranan agama karena agama itu membawa ketenanangan. Agama
mencegah remaja yang mencari ketenangan pada alcohol, narkotik dll.
Contoh tentang peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa. Ada uji
perbandingan terapi yang diterapkan kepada para pendertia penyakit jiwa skizofrenia, yakni
antara cara konvensional ( dengan obat dan senbagainnya) dan dengan cara penndekatan
keagamaan, hasilnya kelompok skizofrenia yang terapinya ditambah dengan keagamaan waktu
perawatannya lebih pendek dan gejala-gejalanya cepat hilang.
Terapi terhadap orang sakit seharusnya dilaksanakan secara holistik (menyeluruh) yang
meliputi biologi, psikologis, sosial dan spiritualnya. Menurut Dadang Hawari, pendekatan
spiritual dikalangan rumah sakir memang perlu dimasayarakatkan dimana harus ada rohaniawan
yang datang ke rumah sakit dan mendoakan penyembuhan.
a


B. Religius Sebagai Kebuthan Dasar Dan Got Spot Pada Otak Manusia
V.S. Ramachandran, Direktur Center For Brain America, telah mengadakan
serangkaian riset terhadap pasien-pasien pasca epilepsi, yang menyimpulkan bawha pada
klien epilepsi terjadi ledakan aktivitas listrik di luar batas normal yang ditandai dengan
peningkatan lobus temporal. Klien pasca epilepsi tersebut sebagian besar mengungkapkan
pengalaman spiritual berupa keterpesonaan yang mendalam sehingga semua yang lain
menjadi sirna, menemukan kebenaran tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa,
kecemerlangan dan merasakan persentuhan dengn cahaya illahi (Ian Marshal, Spiritual
Inteligenci, 2000 : 10).
Penelitian peenting selanjutnya membuktikan bahwa elektroda EEG dihubungkan
dengan peelipis orang normal dan klien epilepsi ketika diberi nasihat yang bersifat spiritual /
religius, maka terjadi peningkatan aktivitas listrik pada lobus temporal seperti yang terjadi
pada klien epilepsi. Pengalaman spiritual di bagian lobus temporal yang berlangsung beberapa
detik saja dapat mempengaruhi emosional yang lama dan kuat sepanjang hidup dan dapat
mengubah arah hidup (life transforming). Sebagian besar pakar neurobiologi berpendapat
Titik Tuhan / God Spot atau Modul Tuhan God Module berkaitan denga pengalaman
religius.
Menurut kajian Howard Clinell, yang dikutip Dadang Hawari, menyatakan bahwa
pada dasarnya manusia memiliki 10 kebuutuhan religius :
1. Kepercayaan dasar (Basic Trust).
2. Makna hidup secara vertikel dan horizontal.
a
3. Komitmen peribadatan ritual dan hubungannya dengan keseharian.
4. Kebutuhan pengisian keimanan (Charge) dan kontinuitas hubungan dengan Tuhan.
5. Bebas dari rasa salah dan dosa.
6. Self acceptance and self esteem.
7. Rasa aman, terjamin, dan keselamatan masa depan.
8. Tercapainnya derajat dan martabat yang semakin tinggi serta integritas pribadi.
9. Terpeliharanya interaksi dengan alam.
10. Hidup dalam masayarakat yang religius.

C. Riset Epidemologi, Korelasi antara Kesehatan dan Religiusitas
Serangkaian riset yang dilakukan Sherill dan Larson 1988, yang didukung riset
Dadang Hawari, dilakukan pada klien sebagai berikut :
Ca. Rahim dan serviks
Collitis dan enteritis
Kardiovasce disesase
Hipertensi, stroke
AIDS
NAPZA
Gerontik disease
Status kesehatan umum
Kematian umum
Kesakitan dan kematian
a
Kesimpulan akhir bahwa makin kuat komitmen agama klien tersebut di atas, maka
proses penyembuhan makin cepat, lebih mampu mengatasi nyeri, depresi, dan penderitaan
(Presman, et all. 1990, Sherill Larson, 1998).

D. Riset Religiusitas pada Klien Jiwa
Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit fisik, tetapi juga di bidang
kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk
mengetahui sejauh mana penduduk menderita psychological distress. Dari studi tersebut di
peroleh kesimpulan bahwa makin religius maka makin terhindar seseorang dari stress (Linaen
1970, Strak 1971). Kemudian dikemukakan lebih mendalam komitmen agama seseorang
telah menunjukan peningkatan taraf kesehatan jiwanya.
Terapi keagamaan (Intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga
membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti
kegiatan keagamaan lebih rendah bila di bandingkan dengan mereka yang tidak
mengikutinya. (Chu dan Klien, 1985). Studi Stark menunjukan bahwa angka frekuensi
kunjungan ke tempat ibadah lebih merupakan indicator dan factor yang efektif dalam
hubungannya dengan penurunan angka bunuh diri. Sedangkan klien yang tidak diberikan
psiko religius terapi pada swicide memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk melakukan bunuh
diri (Comstock dan Partridge, 1972).
Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan keagamaan/ibadah/shalat, menurunkan
gejala psikiatrik (Mahoney 1985, Young 1986, Martin 1989). Riset yang lain menyebutkan
bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri di USA
(Stack, Rusky, 1983).
a
Kesimpulan dari berbagai riset menunjukkan bahwa religiusitas mampu mencegah dan
melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi
dan penyembuhan.

E. Pendapat Para Ahli Ilmu Jiwa.
1. Daniel Freedman:Di dunia ini ada 2 lembaga besar yang berkepentingan dalam
Kesehatan Manusia, yaitu kedokteran dan agama.
2. Larson (1990): In navigating the complexities of human health and relation ship
religious commitmen is a force to consider.
3. Kaplan Sadock (1991): Dalam klien jiwa latar belakang kehidupan agama klien,
keluarga dan pendidikan agama merupakan factor yang sangat penting.
4. Gery R. (1992): Komitmen agama mencegah Aids dan homoseksual.
5. Woodhouse (direktur UNICEF,1997): Pegang teguh ciri khas indonesia, yaitu religius,
keutuhan keluarga, gotong royong, agar tidak mengidap penyakit psikososial seperti
barat.
6. Dadang Hawari (1999): Al-Quran adalah teks book kedokteran dan jiwa.
7. C.C. Jung : semua penyakit kejiwaan berhubungan dengan agama .
8. Emile Bruto : kaum sufi ( orang yang merenungi kehidupan batin manusia dan selalu
mendekatkan diri pada Tuhannya ), mereka adalah para psikolog-psikolog besar. Mereka
memliki kekuatan jiwa yang luar biasa hebatnya. ( Nazar, 2001 : 313 ).
a
9. Ford H. : kaum sufi dapat masuk dan deteksi penyebab penyakit kejiwaan seseorang
dimana bila dilakukan oleh pakar psikoanalisa akan memakan waktu bertahun-tahun
untuk menganalisanya. ( Nazar, 2001 : 355 ) .
10. Subhi : metode terapi psikoanalisa bertemu dengan metode terapi sufistik .
11. Zakiah Darajat : saya temukan bahwa penyakit jiwa yang disertai dengan terapi
agama yang dianutnya, berhasil disembuhkan lebih cepat dan lebih baik dari pada
penyakit jiwa yang dilakuka dengan metode modern saja . (Zindani, dkk, 1997 : 215).
F. Pandangan Beberapa Ahli Ilmu Jiwa
Seorang dokter ahli pengobatan kejiwaan yang berkaliber internasional, yaitu C.C.
Jung, menyatakan dalam bukunya Modern Man in Search Of Soul menjelaskan bahwa betapa
pentingnya kedudukan agama dalam bidang kedokteran dan keperawatan jiwa. Selanjutnya
beliau mengungkapkan :
Di antara pasien saya yang usianya lebih dari setengah baya ( > 35 Tahun ) tidak
seorangpun yang menglami penyakit kejiwaan tanpa berhubungan dengan aspek agama.
Menurut H. Aulia dalam bukunya Agama dan Kesehatan Jiwa, seorang dokter yang
beragama islam yang dianutnya dengan penuh keyakinan dan mempunyai pengetahuan
tentang ajaran dan hikmah islam yang lebih banyak dari pada yang biasa dimiliki kebanyakan
kaum muslimin. Biasanya terapi dengan pendekatan keagamaan tersebut dapat berhasil
dengan baik. Pengobatan kejiwaan dengan pendekatan agama tersebut juga akan berhasil
dengan baik meskipun penderita beragama lain atau orang yang tidak beragama sekalipun,
asal saja didahului dengan pembicaraan sekedarnya mengenai agama .
Menurut J. G. Mackenzie yang dikutip Leslie D. Weatherhead :
a
Hasil-hasil baik ahli pengobatan kejiwaan tidak diperolehnya karena pengetahuan
yang sempurna tentang ilmu kedokteran umum, malahan juga tidak disebabkan karena ia ahli
ilmu penyakit saraf, melainkan karena kecakapannya dalam lapangan agama .
Pernyataan lain yang juga menegaskan tentang besarnya faedah agama di lapangan
ilmu kedokteran dan keperawatan jiwa adalah apa yang dikemukakan oleh Hafield yang
sudah bertahun-tahun melakukan pengibatan kejiwaan, di mana ia sampai pada kesimpulan :
Saya telah mencoba menyembuhkan penderita kerusakan keseimbangan saraf dengan
jalan memberikan sugesti ( mengisyaratkan ) ketenangan dan kepercayaan tetapi usaha ini
baru berhasil baik sesudah dihubungkan dengan keyakinan akan kekuasaan Tuhan .
Semakin lama lapangan ilmu pengetahuan bertambah sadar bahwa keberadaan agama
untuk ilmu kedokteran dan keperawatan semakin penting. Hal ini sesuai engan apa-apa yang
dikemukakan oleh Elmer Hess ketika pada tahun 1954 terpilih menjadi ketua perhimpunan
dokter Amerika ( American Medical Association ) beliau mengemukakan seorang dokter
yang masuk ruangan pasiennya tidaklah ia seorang diri. Ia hanya dapat menolong seorang
penderita dengan alat kebendaan kedokteran, keyakinannya akan kekuasaan yang lebih tinggi
mengerjakan hal penting lainnya. Kemukakanlah seorang dokter yang meyangkal adanya zat
yang maha tinggi itu maka saya akan katakan bahwa ia tidak berhak mempraktikkan ilmu
kedokterannya .
Di kota New York ada 1 klinik yaitu Religion Psychiatric Clinic (Klinik Kejiwaan
Keagamaan) di mana agama memainkan peranan penting. Salah seorang pengarang buku
yang terkenal berjudul agama dan kesehatan jiwa yaitu Prof. Dr. H. Aulia pernah
berkunjung ke tempat tersebut dan mengatakan bahwa pengobatan dan perawatan pasien yang
mengalami masalah kejiwaan ditangani secara kolaboratif oleh ahli-ahli kedokteran dan ahli-
a
ahli penyakit jiwa, yaitu Dr. Smiley Belanton dan Dr. Norman V. Pelae. Kedua anggota
pimpinan ini mengutip dalam buku karangan mereka berjudul Faith is the answer yang
menyatakan bahwa agama besar sekali faedahnya untuk ilmu-ilmu kedokteran khusunya
kedokteran kejiwaan. Selanjutnya Dr. Robert C. Pelae, seorang dokter ahli bedah
menyatakan sebagai berikut Berkat kepercayaan dan keyakinan penderita yang mengalami
luka atau pasien , saya sebagai dokter ahli bedah selalu me;ihat penyembuhan-penyembuhan
yang disangka tidak mungkin. Saya melihat pula hasil-hasil yang tidak menyenangkan karena
percobaan dengan penyembuhan dengan agama saja atau hanya dengan ilmu pengetahuan
saja. Oleh sebab itu saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang pasti dan tetap antar agama
dan ilmu pengetahuan, dan Tuhan telah memberikan kepada kita kedua-duanya sebagai
senjata untuk melawan penyakit dan kesedihan. Bila kedua-duanya dipakai bersama-sama
untuk kepentingan manusia maka kemungkinan-kemungkinan kita akan mendapatkan hasil
yang baik dengan tidak ada batasnya.
Dalam konfrensi-konfrensi internasional dibahas peranan agama terhadap penyakit-
penyakit terminal, seperti AIDS dan kanker, ternyata masalah utamanya bukan masalah medis
lagi. Peranan psikiater dan perawat jiwa menjadi lebih penting karena pasien sering merasa
cemas, depresi, takut, gelisah, menunggu saat-saat terakhir hidupnya. Untuk itu dibentuklah
tim/kelompok-kelompok religius yang disebut psycho-spiritual atau psycho-religius for AIDS
patient, for cancer patient, and for terminal ill patient.
Kekosongan spiriyual, kerohanian, dan rasa keagamaan inilah yang sering
menimbulkan peramasalahan psikososial di bidang kesehatan jiwa. Para pakar berpendapat
bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan sehat maupun dalam
a
keadaan sakit, pendekatannya tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk
biopsikososial, tetapi sebagai makhluk biopsikososiospiritual.
Para ahli sekarang sedang meneliti aspek-aspek agama itu secara alamiah dari segi
kesehatan jiwa. Baik pada ikatan dokter ahli jiwa Amerika maupun pada ikatan ahli jiwa
sedunia, di dalam lingkup ilmunya ada bagian yang disebut Religion and Psychiatry ( agama
dan ilmu kedikteran jiwa ). Pertalian antara agama dengan kesehatan jiwa ini diriset, ternyata
pengetahuan agama sangat diperlukan bagi dokter ahli ilmu jiwa dan secara ilmiah kejiwaan
itu dibicarakan dalam forum-forum ilmu pengetahuan.
Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa
yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang
merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut kemudian menghukum
dirinya. Bentuk psikosomatik dapat berupa matanya tidak dapat melihat, lidahnya menjadi
bisu, atau menjadi lumpuh.

G. Pengaruh Doa terhadap penyakit kejiwaan
Menurut mantan Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dan Psikosomatik pada Pakultas
kedokteran Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. H. Aulia yang dikutip dari kitab Zaduul
Maad oleh Majelis Pertimbangan dan Kesehatan RI dalam buku fatwanya no. 9 bernama:
sumpah dokter dan susila kedokteran ditinjau dari segi hukum islam. Kutipan itu antara lain,
Hendaklah dokter itu mempunyai pengetahuan tentang penyakit pikiran dan jiwa serta
obatnya. Itu adalah menjadi pokok utama dalam mengobati manusia. Di antara obat-obat
yang paling baik untuk penyakit adalah berbuat amal kebajikan, berdzikir, berdoa serta
memohon dan mendekatkan diri kepada Allah dan bertaubat. Semua ini mempunyai pengaruh
a
yang lebih besar dari pada obat-obat biasa untuk menolak penyakit dan mendatangkan
kesembuhan tetapi semua menurut kadar kesediaan penerimaan bathin serta
keperacayaannya akan obat kebatinan itu dan manfaatnya.
Salah satu tindakan keagamaan yang penting adalah berdoa, yakni memanjatkan
permohonan kepada Allah supaya memeproleh seauatu kehendak yang diridhoi. Dari masa ke
masa pengaruh do;a tersebut ters-menerus mendapat perhatian penting. Di antaranya oleh A.
Carrel pemenang hadaih Nobel tahun 1912 untuk ilmu kedokteran, karena penemuannya di
lapangan ilmu bedah. Bila da itu dibiasakan dan betul-betul bersunggug-sungguh, maka
pengaruhnya menjadi sangat jelas, ia merupakan perubahan kejiawaan dan perubahan
somatik. Ketentraman yang ditimbulkan oleh doa iti merupakan pertolongan yang besar pada
pengobatan.
Pada akhir tahun 1957 di Amerika Serikat menurut pengumuman James C. Coleman
dalam bukunya Abnormal Psychology and Modern Life, sudah mencapai dua puluh juta. Dari
semua cabang ilmu kedokteran, maka cabang ilmu kedokteran jiwa (psikitri) dan kesehatan
jiwa (mental health) adalah paling dekat dengan agama ; bahkan dalam mencapai derajat
keseahatan yang mengandung arti keadaan kesejahteraan (well being) pada diri manusia,
terdapat titik temu anatara kedokteran jiwa / kesehatan jiwa di satu pihak dan agama di pihak
lain (Dadang, 1997 : 19).
WHO telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu spiritual
(agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam
arti fisik, psikoloik, dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual sehingga dimensi sehat
menjadi biopsikososiospiritual. Perhatian ilmuan di bidang kedokteran dan keperawatan
terhadap agama semakin besar. Tindakan kedokteran tidak selamnya berhasil, seorang ilmuan
a
kedokteran sering berkata dokter yang mengobati tetapi Tuhanlah yang menyembuhkan
pendapat ilmuan tersebut sesuai dengan hasis Nabi : setiap penyakit ada obatnya, jika obat
itu tapat mengenai sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit tersebut akan sembuh.
Sebagai dampak modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan takhnologi,
agama, dan tradisi lama ditinggalkan karena dianggap usang. Kemakmuran materi yang
diperoleh ternyata tidak selamanya membawa kesejahteraan (well being). Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat negara maju tekah kehilangan aspek spiritual yang merupakan
kebutuhan dasar bagi setiap manusia, apakah dia termasuk orang yang beragama atau yang
sekuler sekalipun. Kekosongan spiritual, kerohanian dan rasa keagmaan inilah yang
menimbulkan permasalahan pdikososial di bidang kesehatan jiwa.
Kehausan spiritual, kerohanian dan keagamaan ini nampak jelas pada awal tahun 1970
sehingga saat sejak itu mulai muncul berbagai aliran spiritual atau psuodoagama yang cukup
laris merasuk Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah New Religion Movment (NRM).
NRM ternyata banyak menimbulkan msalah psikososial sehingga APA (Amaerican
Psychiatric Association) membentuk task force untuk melakukan penelitian.
Dalam hubungan antara agama da kesehatan jiwa, Cancellaro, Larson, dan Wilson
(1982) telah melakukan penelitian terhadap 3 kelompok :
1. Kronik alkoholik
2. Kronik drug addict
3. Skizofrenia
Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol dari ketiga kelompok
gangguan jiwa dan kelompok kontrol ini yang hendak diteliti adalah riwayat keagamaan
mereka. Hasil penelitiannya sungguh mengejutkan, bahwa ternyata pada kelompok kontrol
a
lebih konsisten keyakinan agamanya dan pengalamannya,bila dibandingkan dengan ketiga
kelompok di atas. Temuan ini menunjukkan bahwa agama dapat berperan sebagai pelindung
daripada sebagai penyebab masalah (religion may have actually been protective rather than
problem producing).
Dalam penelitian juga ditemukan bahwa penyalahguna narkotik minatnya terhadapa
agama terhadap agama sangat rendah bahkan boleh dikatakan tidak ada minat sama sekali,
bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Minat agama khusunya di usia remaja,
disebutkan bahwa jika religius di masa remaja tidak ada atau sangat rendah, maka remmaja ini
memiliki resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam penyalahgunaan obat/narkotika dan alkohol.
Temuan ini sesuai dengan temuan di Indonesia (Hawari, 1997 : 14).
Hasil serupa diperoleh dari hasil penelitian Daun dan lavenhar (1980), yang
menunjukkan bahwa mereka yang tidak menganut agama dan dalam riwayat tidak pernah
mennjalankan ibadah keagamaan di usia remaja, mempunyai risiko tinggi dan tendensi ke
arah penyalahgunaan obat/narkotika/alkohol.
Selanjutnya dalam studi tersebut dikemukakan bahwa 89% dari alkoholik telah
kehilangan minat agama pada usia remaja (during tenage years), sementara di pihak kontrol
48% minat terhadap agama naik. Sedangkan 32% tidak mengalami perubahan. Hilangnya
minat agama pada penderita skizofrenia lebih rendah bila dibandingkan dengan kedua
kelompok lainnya. Dibandingakn dengan kelompok kontrol, kelompok skizofrenia tidak
menjalankan agamanya dan tidak serajin kelompok kontrol. Hasil temuan ini adalah sebagai
akibat dari ketidakharmonisan keluarga. Sebagai contoh misalnya pengajaran agama pada
keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tuhan dogambarkan sebagai sosok yang suka
menghukum dan bertindak kasar (73%). Sedangkan pada keluarga dari kelompok kontrol
a
Tuhan digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan baik hati (70%) (Wilson,
Larson, dan Meier). Temuan di atas merupakan tantangan bagi sebagian psikiater yang
beranggapan bahwa komitmen agama bagi kesehatan jiwa. Kelompok kontrol yang
merupakan kelompok yang tidak mengalami gangguan jiwa ternyata lebih konsisten
religiusitasnya daripada kelompok yang menderita gangguan jiwa.
H. Penerapan Psikoreligius Terapi di Rumah Sakit Jiwa
1. Psikiater, psikolog, perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang
agamanya/kolaborasi dengan agamawan atau rahaniawan.
2. Psikoreligius tidak diarahkan untuk merubah agama kliennya tetapi menggali sumber
koping.
3. Memadukukan milleu therapy yang religius ; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas ibadah, buku-
buku, musik, misalnya lagu pujian/rohani untuk nasrani.
4. Dalam terapi aktivitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk pasien
rehabilitasi.
5. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat kehidupan dunia dan
sebagainnya.
6. Sebelum teori Psikoanalisa, para sufi telah mempelopori metoda pengkajian yang
mendalam dalam komunikasi yang menyentuh perasaan, menguak konflik-konflik alam
bawah sadar pasiennya, mendeteksi was-was, kemarahan, takabbur, kesombongan, ria,
dengki, menjadi sabar, wara, zuhud, tawakkal, ridha, syukur, cinta illahi.
a

Psychoreligious Therpy Bagi Klien Ketergantungan NAPZA
NAPZA adalah suatu momok menakutkan yang membayang-bayangi dan menghantui
serta siap menghancurkan masa depan terutama generasi muda. Bagi pecandu, akibat akhir
setelah terlibat NAPZA mudah ditebak.pilihannya adalah kantor polisi, rumah sakit jiwa,
kuburan, atau selamat kembali jika ia mau bertobat dan insyaf.
Masalah NAPZA sebetulnya masalah mental. Jadi focus yang terberat dalam
penangannya sebenarnya pada tahap rehabilitasi mental bukan pada terapi medik, itu yang
dituturkan oleh Prof. Dr. Dadang Hawari. Dalam hal ini pendekatan agamalah yang lebih tepat.

Psikoreligius I slami untuk Klien Ketergantungan NAPZA
Dalam islami, penanganan masalah NAPZA sudah cukup lengkap baik segi preventif,
kuratif, dan rehabilitatif. Secara preventif, islami telah melarang dengan tegas yang tertera dalam
Al-Quran Surat Al-Baqarah (2); 219 dan Surat al-Imron (3); 90-91 bahwa khamar (arak dan
sejenisnya yang merusak fisik dan mental manusia) adalah haram. Dalam khamar terdapat dosa
besar dan manfaat bagi manusia, tapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya dan implikasinya
selain merusak langsung pada dirinya juga akan menjerumuskan ke dalam permusuhan dan
membenci antar sesama. Hah ini sudah terbukti secara nyata dalam masyarakat, akibat NAPZA
berupa tindak kriminal, pemerkosaan, anarkis sampai si pemakainya mengalami
psikosis/skizofrenia.
Secara kuratif, dalam islam ada berbagai macam cara, di antaranya;
a. Niat dan Mempunyai Motivasi Bertaubat
a
Langkah awal yang merupakan kunci untuk keberhasilan terapi, klien harus
mempunyai motivasi dan niat yang ikhlas untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi,
artinya klien melakukan taubatan nasuha (tobat yang sebenar-benarnya) untuk tidak
mengulangi perbuatan dhalim-nya. Sesuai dengan teori motivasi bahwa terjadinya
tingkahlaku disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh individu.
Dorongan/kebutuhan motif rangsangan perbuatan tujuan
Kuatnya motivasi sangat menentukan keberhasilan tujuannya, hal ini dapat dilihat dari:
Kuatnya kemauan untuk berbuat.
Jumlah waktu yang disediakan.
Kerelaan meninggalkan pekerjaan yang lain.
Kerelaan mengeluarkan biaya.
Ketekunan dalam mengerjakan tugas.
Untuk mencapai tujuan melepaskan diri dari NAPZA, klien harus mempunyai motivasi
terlebih dahulu dan diikuti dengan perbuatan diantara diantaranya mandi, shalat, djikir, shaum,
dan menjalankan syariat islam yang lainnya.






a
ELECTROCONVULSI VE THERAPY (KEJUT LISTRIK)

Electroconvulsive therapy (ECT) adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan
aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini
adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang
ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall.

Sejarah
ECT telah digunakan selama lebih dari 70 tahun, namun tetap salah satu perawatan paling
kontroversial yang digunakan dalam psikiatri Meskipun psikiater paling mendukung
penggunaannya, tetapi masih banyak orang yang tidak setuju dengan terapi ini.

Pada awal abad ke 16 alat kejut ini telah dipergunakan oleh orang-orang yang mengalami
gangguan jiwa. Pada 1785, penggunaan terapi induksi kejang didokumentasikan di London
Medical Journal. Terapi kejang diperkenalkan pada tahun 1934 oleh ahli saraf Hungaria Ladislas
J. Meduna yang, keliru percaya bahwa skizofrenia dan epilepsi adalah gangguan antagonistic.
Dalam waktu tiga tahun terapi kejang Metrazol telah digunakan di seluruh dunia. Pada tahun
1937, pertemuan internasional pertama pada terapi kejang diselenggarakan di Swiss oleh
psikiater Muller Swiss. Proses diterbitkan di American Journal of Psychiatry dan, dalam waktu
a
tiga tahun, terapi kejang cardiazol telah digunakan di seluruh dunia. Italia Profesor
Neuropsychiatry Ugo Cerletti, yang telah menggunakan kejutan listrik untuk menghasilkan
kejang pada hewan percobaan, dan rekannya Lucio Bini mengembangkan ide menggunakan
listrik sebagai pengganti Metrazol dalam terapi kejang dan, pada tahun 1937, bereksperimen
untuk pertama kali pada seseorang. Sherwin B. Nuland, yang membicarakan masalah dengan
seorang pengamat tangan pertama pada 1970-an, memberikan deskripsi berikut hasil penggunaan
pertama dari ECT pada seseorang.
Pada awal 1940-an, dalam upaya untuk mengurangi gangguan memori dan kebingungan
yang berhubungan dengan pengobatan, dua modifikasi yang diperkenalkan yaitu penggunaan
penempatan elektroda sepihak dan penggantian arus sinusoidal dengan pulsa singkat. Butuh
waktu bertahun-tahun untuk singkat-pulsa peralatan untuk diadopsi secara luas. Beberapa waktu
ECT tidak di gunakan psikiater.
Pada 1940-an dan awal 1950-an ECT biasanya diberikan dalam bentuk "dimodifikasi",
tanpa relaksan otot, dan penyitaan yang menghasilkan kejang skala penuh. Sebuah komplikasi
yang jarang tetapi serius dari ECT tidak dimodifikasi adalah fraktur atau dislokasi tulang
panjang. Pada tahun 1940-an psikiater mulai bereksperimen dengan curare, racun Selatan
melumpuhkan otot-Amerika, dalam rangka memodifikasi kejang. Pengenalan suxamethonium
(succinylcholine), sintetis alternatif yang lebih aman untuk curare, pada tahun 1951
menyebabkan penggunaan lebih luas dari ECT "dimodifikasi". Bius short-acting biasanya
diberikan di samping relaksan otot dalam rangka luang pasien rasa sesak napas mengerikan yang
dapat dialami dengan relaksan otot.
Pertumbuhan stabil penggunaan anti depresan bersama dengan penggambaran negatif
ECT di media massa menyebabkan penurunan ditandai dalam penggunaan ECT selama tahun
1950 hingga 1970-an. The Surgeon General menyatakan ada masalah dengan terapi kejut listrik
di tahun-tahun awal sebelum anestesi secara rutin diberikan dan, sekarang praktek-praktek kuno
berkontribusi penggambaran negatif ECT di media populer. The New York Times
menggambarkan persepsi negatif publik terhadap ECT sebagai terutama disebabkan oleh satu
film,For Big Nurse in One Flew Over the Cuckoo's Nest
Pada tahun 1976, Dr Blatchley menunjukkan efektivitas arus konstan ECT nya, perangkat
pulsa singkat. Perangkat ini akhirnya digantikan perangkat sebelumnya karena pengurangan efek
a
samping kognitif, meskipun beberapa klinik ECT di AS masih menggunakan perangkat sinus-
gelombang
Tahun 1970-an melihat publikasi dari Psikiatri pertama tugas laporan Asosiasi Amerika
berlaku pada terapi electroconvulsive (yang harus diikuti oleh laporan lebih lanjut pada tahun
1990 dan 2001). Laporan ini mendukung penggunaan ECT dalam pengobatan depresi. dekade
juga melihat kritik dari ECT. Khusus kritikus menunjuk kekurangan seperti dicatat efek samping,
prosedur yang digunakan sebagai bentuk pelecehan, dan aplikasi tidak merata ECT. Penggunaan
ECT menurun sampai tahun 1980-an, "ketika digunakan mulai meningkat di tengah
meningkatnya kesadaran akan manfaat dan efektivitas biaya untuk mengobati depresi berat".
Pada tahun 1985 Institut Kesehatan Mental Nasional dan National Institutes of Health
mengadakan konferensi pengembangan konsensus tentang ECT dan menyimpulkan bahwa, ECT
sementara adalah pengobatan yang paling kontroversial di psikiatri dan memiliki efek samping
yang signifikan, itu telah terbukti efektif untuk berbagai sempit gangguan kejiwaan parah.
Karena reaksi yang telah dijelaskan sebelumnya, lembaga-lembaga nasional ditinjau praktek-
praktek masa lalu dan standar baru ditetapkan.
Pada tahun 1978, The American Psychiatric Association merilis laporan tugas pertama
berlaku di mana standar baru untuk persetujuan diperkenalkan dan penggunaan penempatan
elektroda sepihak direkomendasikan. Tahun 1985 NIMH Konsensus Konferensi menegaskan
peran terapi ECT dalam keadaan tertentu. Asosiasi Psikiater Amerika merilis laporan tugas
kedua berlaku pada tahun 1990 di mana rincian khusus mengenai pengiriman, pendidikan, dan
pelatihan ECT didokumentasikan. Akhirnya pada tahun 2001 Asosiasi Psikiater Amerika merilis
laporan tugas terbaru gaya. Laporan ini menekankan pentingnya informed consent, dan peran
diperluas bahwa prosedur telah dalam kedokteran modern.




a
Indikasi
Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien
schizofrenia stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari antidepresan
untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid, dan gejala vegetatif), berikan
antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan
perlu dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan
ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan waktu 6-12x
terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan katatonik membutuhkan waktu
lebih lama yaitu 10-20x terapi secara rutin. Terapi ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali.
Jika efektif, perubahan perilaku mulai kelihatan setelah 2-6 terapi.
Kontraindikasi dan komplikasi
ECT merupakan prosedur yang hanya digunakan pada keadaan yang direkomendasikan.
Sedangkan kontraindikasi dan komplikasi dari tindakan ECT, adalah sebagai berikut:
a. Kontraindikasi
1. Peningkatan tekanan intra kranial (karena tumor otak, infeksi SSP).
2. Keguguran pada kehamilan, gangguan sistem muskuloskeletal (osteoartritis berat,
osteoporosis, fraktur karena kejang grandmal).
3. Gangguan kardiovaskuler: infark miokardium, angina, hipertensi, aritmia dan aneurisma.
4. Gangguan sistem pernafasan, asma bronkial.
5. Keadaan lemah.
b. Komplikasi
1. Luksasio dan dislokasi sendi
2. Fraktur vetebra
3. Robekan otot rahang
4. Apnoe
5. Sakit kepala, mual dan nyeri otot
a
6. Amnesia
7. Bingung, agresif, distruktif
8. Demensia
Peran Perawat
Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan mengantisipasi
kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan.
Persiapan Alat
Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut:
1. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
2. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain
3. Kain kasa
4. Cairan Nacl secukupnya
5. Spuit disposibel
6. Obat SA injeksi 1 ampul
7. Tensimeter
8. Stetoskop
9. Slim suiger
10. Set konvulsator
Persiapan klien
1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan
yang merupakan kontraindikasi ECT
3. Siapkan surat persetujuan
4. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
a
5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin dipakai
klien
6. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi
7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT
8. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan
antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa
hari sebelumnya karena berisiko organik.
9. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT.
Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi
gastrointestinal.
Pelaksanaan.
1. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup
keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan, seluruh badan
di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.
2. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai untuk
menghasilkan koma ringan.
3. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari
kemungkinan kejang umum.
4. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat elektrode
menempel.
5. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi caira Nacl.
6. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus kain
dimasukkan dan klien diminta menggigit
7. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan dilapisi
kain
8. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti gerak
kejang
9. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai timer berhenti
dan dilepas
a
10. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang
(menahan tidak boleh dengan kuat).
11. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma
12. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger
13. Kepala dimiringkan
14. Observasi sampai klien sadar
15. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan

Setelah ECT
a) Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil
b) Jaga keamanan
c) Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya
timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.










a
DAFTAR PUSTAKA
Akisay. 2011. Electroconvulsive Therapy Kejut Listrik. (online)
(http://akisay.blogspot.com/2011/03/electroconvulsive-therapy-kejut-listrik.html) diunduh
tanggal 16 Maret 2013
Hamid, S Achiryani.1999. Aspek Spiritual dalam Keperawatan.Jakarta: Widya Medika
Hawari, Dadang. 2006. Aborsi Dimensi Psikoreligi. Jakarta: FKUI
Purwaningsih, Wahyu, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta : Nuha Medika press,
Rianta salim. 2010. Trend Keperawatan Dengan Terapi. (online)
(http://riantasalim.blogspot.com/2010/04/trend-keperawatan-dengan-terapi.html) diunduh
tanggal 16 Maret 2013
Riri. 2012.keperawatan jiwa terapi lingkungan. (online)
(http://ryrilumoet.blogspot.com/2012/06/keperawatan-jiwa-terapi-lingkungan.html)
diunduh tanggal 16 Maret 2013
Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto.2009.Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Graha ilmu
Stuart, G. W, and Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC, 1998.

You might also like