You are on page 1of 4

EVOLUSI, RASISME DAN KOLONIALISME

MANIK CINDERANO

Evolusi: Mitos Penyembah Berhala

Sekitar lima ribu tahun yang lalu, di dataran subur di Timur Tengah, agama paganisme
berkembang di Mesopotamia. Agama ini memunculkan sejumlah mitos dan takhayyul tentang
asal-usul kehidupan dan alam semesta. Salah satunya adalah kepercayaan pada “evolusi”.
Menurut legenda Sumeria, Enuma-Elish, kehidupan pertama muncul secara kebetulan di air dan
kemudian berevolusi dari satu spesies ke spesies yang lain.

Bertahun-tahun kemudian, mitos evolusi tumbuh subur di peradaban pagan yang lain, yakni
Yunani Kuno. Para filsuf Yunani, yang menyebut diri mereka sebagai “materialis”, hanya
mengakui keberadaan materi dan menganggap materi sebagai sumber kehidupan. Karenanya,
mereka menggunakan mitos evolusi, yang diwariskan bangsa Sumeria, untuk menjelaskan
bagaimana makhluk hidup muncul menjadi ada. Demikianlah, Yunani Kuno menjadi jembatan
penghubung bagi filsafat materialis dan mitos evolusi. Bangsa Romawi pagan kemudian
mewarisi pemikiran ini.

Dua konsep dari kebudayaan penyembah berhala ini diperkenalkan ke dunia modern di abad
kedelapan belas. Kaum intelektual Eropa yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani kuno
mempercayai paham ‘materialisme’ dengan keyakinan yang sama, yakni mereka sangat anti
terhadap agama monoteisme. Buku karya tokoh materialis terkemuka, Baron d’Holbach, The
System of Nature dianggap sebagai “rujukan utama ateisme”.

Dalam hal ini, ahli biologi Perancis, Jean Baptist Lamarck, adalah yang pertama memberikan
penjelasan rinci tentang teori evolusi. Teori Lamarck, yang kemudian terbantahkan, menyatakan
bahwa makhluk hidup berevolusi dari satu spesies ke spesies yang lain melalui perubahan sedikit
demi sedikit dalam jangka waktu lama. Adalah Charles Darwin yang mengulangi dan
menyebarluaskan pandangan Lamarck, meskipun agak berbeda.

Darwin mengemukakan pandangannya di Inggris tahun 1859, melalui penerbitan bukunya The
Origin of Species. Buku Darwin pada hakikatnya adalah penjelasan rinci tentang mitos evolusi,
yang awalnya diperkenalkan oleh bangsa Sumeria kuno. Teorinya menyatakan bahwa semua
spesies yang berbeda berasal dari satu moyang yang sama, yang terbentuk dalam air secara
kebetulan, yang darinya beragam spesies makhluk hidup muncul dalam rentang waktu yang
lama.

Pernyataan Darwin ini tidaklah didasarkan atas bukti ilmiah, sehingga tak begitu dipercayai oleh
para ilmuwan di zamannya. Para ahli paleontologi khususnya, menyadari bahwa keseluruhan
teori tersebut sebagian besarnya adalah khayalan Darwin belaka. Catatan fosil menunjukkan
bahwa makhluk hidup tidak mengalami proses evolusi dari bentuk sederhana ke bentuk lebih
sempurna. Bahkan makhluk yang hidup ratusan juta tahun lalu memiliki tubuh yang sama
lengkapnya dengan yang masih hidup sekarang. Tak ada jejak “bentuk transisi” yang menurut
Darwin pernah ada dan yang dianggap menghubungkan satu spesies dengan yang lain. Di tahun-
tahun berikutnya, pernyataan lain dari teori ini terbantahkan satu demi satu. Biokimia
mengungkapkan bahwa kehidupan terlalu kompleks untuk dapat muncul secara kebetulan
sebagaimana klaim Darwin. Bahkan diketahui bahwa pembentukan secara acak molekul paling
sederhana tidaklah mungkin, apalagi sebuah sel hidup. Di sisi lain, anatomi menunjukkan bahwa
makhluk hidup memiliki disain khas dan masing-masing diciptakan secara terpisah.

Singkatnya, teori Darwin tidak memiliki landasan ilmiah. Tapi, teori ini dengan cepat
memperoleh dukungan politis dikarenakan “pembenaran ilmiah” yang diberikannya pada
kekuatan yang berpengaruh di abad kesembilan belas.

Teori Darwin Tentang Ras Manusia

Pada tahun 1871, Darwin menerbitkan bukunya yang lain, The Descent of Man. Dalam buku ini
ia menyatakan bahwa manusia berevolusi dari makhluk mirip kera. Darwin tak dapat
memberikan bukti apapun yang mendukung klaimnya selain membuat sejumlah skenario
khayalan.

Darwin juga memiliki pemikiran yang menarik. Ia berpendapat bahwa sejumlah ras berevolusi
lebih cepat dan, karenanya, lebih maju dari yang lain; sedangkan ras-ras lain dianggapnya masih
setingkat dengan kera.

Ada satu hal penting lagi tentang teori Darwin, ia membangun keseluruhan teorinya pada konsep
“perjuangan untuk mempertahankan hidup”. Menurutnya, konflik sengit, perjuangan berdarah
melingkupi alam kehidupan ini. Yang kuat selalu menang melawan yang lemah, dan ini
mendorong yang kuat untuk berkembang.

Darwin menegaskan bahwa konflik serupa juga berlaku pada ras-ras manusia. Bahkan sub-judul
dari bukunya "The Origin of Species: by way of Natural Selection or the Preservation of
Favoured Races in the Struggle for Life" (Asal Usul Spesies: Melalui Seleksi Alam atau
Pelestarian Ras-Ras Pilihan dalam Perjuangan Mempertahankan Hidup), dengan jelas
mengungkap pandangan rasialnya.

Menurut Darwin, ras pilihan adalah ‘bangsa kulit putih Eropa’, sedangkan Ras Asia atau Afrika
gagal dalam perjuangan mempertahankan hidup. Darwin melangkah lebih jauh, bahkan
mengatakan bahwa ras-ras ini akhirnya akan dihapuskan sama sekali:

Di masa mendatang, tidak sampai berabad-abad lagi, ras-ras manusia beradab hampir dipastikan
akan memusnahkan dan menggantikan ras-ras biadab di seluruh dunia. Pada saat yang sama,
kera-kera mirip manusia...tak pelak lagi akan dimusnahkan.

Seperti terungkap jelas dalam pernyataan ini, Darwin adalah seorang rasis tulen yang meyakini
keunggulan bangsa kulit putih. Ia meyakini bangsa kulit putih pertama-tama akan memperbudak,
dan kemudian memusnahkan ras-ras kelas rendah.

Gagasan Darwin sungguh mendapat sambutan baik. Di zamannya, bangsa kulit putih sedang
mencari teori untuk membenarkan tindakan biadab mereka.

Landasan Berpikir Kolonialisme

Sejak abad keenam belas, Eropa mulai menjajah berbagai belahan dunia. Penjajah pertama
adalah bangsa Spanyol di bawah pimpinan Christopher Columbus. Dalam waktu singkat,
penjajah Spanyol menyerbu Amerika Selatan. Mereka memperbudak penduduk asli, ras
masyarakat yang sebelumnya hidup damai. Wilayah Amerika Selatan, yang kaya emas dan
perak, dirampok oleh para penjarah ini. Penduduk asli yang berusaha melawan dibantai.

Menyusul Spanyol; Portugis, Belanda dan Inggris turut ambil bagian dalam memperebutkan
daerah jajahan. Di abad kesembilan belas, Inggris menjadi imperium kolonial terbesar di dunia.
Dari India hingga Amerika Latin, imperium Inggris mengeruk habis sumber-sumber kekayaan
alam. Bangsa kulit putih menjarah dunia demi kepentingannya sendiri.

Tentu saja kaum penjajah ini tak ingin dikenang sepanjang sejarah sebagai “penjarah”.
Karenanya, mereka berusaha mendapatkan pembenaran bagi tindakannya ini. Mereka berdalih
dengan menganggap bangsa terjajah sebagai “kaum primitif atau terbelakang”, bahkan “makhluk
mirip binatang”. Pandangan ini pertama kali dikemukakan di masa awal penjajahan, masa ketika
Christopher Columbus berlayar menuju Amerika. Dengan menganggap penduduk asli Amerika
bukan manusia murni, tapi spesies binatang yang telah berkembang, penjajah Spanyol
membenarkan perbudakan yang mereka lakukan.

Saat peristiwa ini terjadi, dalih tersebut tidak mendapat dukungan luas. Sebab, waktu itu
masyarakat Eropa secara luas masih percaya bahwa semua manusia diciptakan sama oleh Tuhan
dan semuanya berasal dari moyang yang sama, yakni Nabi Adam.

Namun, segalanya berubah di abad kesembilan belas. Tumbuh suburnya paham materialime
menyebabkan masyarakat mulai mengabaikan kenyataan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan.
Ini juga berarti kelahiran paham rasisme.

Landasan ilmiah rasisme adalah teori evolusi Darwin. Ahli antropologi India, Lalita Vidyarthi
menyatakan:

Teori Darwin tentang “kelangsungan hidup bagi yang terkuat“ disambut hangat oleh ilmuwan
sosial masa itu, dan mereka percaya bahwa manusia meraih tangga evolusi yang berbeda, yang
berpuncak pada peradaban bangsa kulit putih. Hingga paruh kedua abad ke-19, rasisme diterima
sebagai fakta oleh mayoritas ilmuwan barat.

Dengan pandangan rasial seperti ini, Darwin memberikan dukungan penuh bagi penjajahan oleh
bangsa Eropa. Imperialisme Inggris zaman Victoria mengambil teori Darwin sebagai dasar dan
pembenaran ilmiahnya.

You might also like