You are on page 1of 123

KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN

URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN


RUMAH TANGGA SAKINAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)




Oleh :
Ahmad Mulyono
NIM. 104044101386

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H / 2009 M

KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN
URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN
RUMAH TANGGA SAKINAH

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Ahmad Mulyono
NIM. 104044101386

Di Bawah Bimbingan :


DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA Kamarusdiana, S.Ag., MH
NIP. 150 289 199 NIP. 150 285 972


K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H / 2009 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN
URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA SAKINAH telah
diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Januari 2009. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
(SHI) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 09 Januari 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum


Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (...)
NIP. 150 169 102
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...)
NIP. 150 285 972
3. Pembimbing I : DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA (..)
NIP. 150 289 199
4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...)
NIP. 150 285 972
5. Penguji I : Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH,MA,MM (.......)
NIP. 150 210 422
6. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (.......)
NIP. 150 169 102

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.


Jakarta, 09 Januari 2009

Ahmad Mulyono




MOTTO

Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
(QS.al-Insyirah, 94: 5-8)

Salam hormat buat pagi hari
Lihatlah siang hari mulai merekah
Itulah kehidupan, kehidupan yang sesungguhnya
Dalam waktu yang singkat engkau akan menjumpai
Berbagai macam hakekat keberadaanmu
Yaitu nikmat pertumbuhan, karya yang mulia dan kesuksesan yang cemerlang
Karena hari kemarin tiada lain hanyalah mimpi
Hari esok tiada lain hanyalah fantasi
Tapi hari yang kau jalani dengan seutuhnya akan mengubah
Hari kemarin menjadi mimpi yang indah
Dan tiap hari esok akan menjadi penuh dengan harapan
Maka lihatlah dengan baik hari ini
(Kalidasha)

Skripsi ini saya persembahkan untuk :
Kedua Orang Tua tercinta (Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati),
Kakek (alm) dan Nenek,
Ibunda Siti Fatimah sekeluarga serta
Kakak (almh) dan adikku tersayang.

KATA PENGANTAR


Ahamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT yang
telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi
dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah menunjukkan
jalan kebenaran kepada kita baik di dunia maupun di akhirat.
Skripsi ini dengan judul Konsep Kafaah dalam Hukum Islam dan
Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga Sakinah diajukan kepada Fakultas
Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seolah terasa ringan berkat
bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi rasa
hormat penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu dalam
pengantar yang singkat ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis
sampaikan kepada:
1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum, beserta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah,
dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah,
serta seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, yang telah
meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Iman
Jama yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.
5. Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati yang selalu memberikan dukungan baik
moril maupun materil, perhatian, kasih sayang dan doa yang tak pernah henti-
hentinya diberikan kepada Ananda. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa
kedua orang tuaku dan semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana mereka
mengasihiku sewaktu masih kecil.
6. Atase Agama, Atase Promosi Pendidikan, khususnya kepada Atase Pendidikan
Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Bapak Rosli bin Sakimin sekeluarga yang
telah membantu menyediakan fasilitas dalam penulisan skripsi ini.
7. Keluarga Besar Ikatan Alumni Madrasah Raudlatul Ulum (IKAMARU),
Komando Resimen Mahasiswa WIRA DHARMA, dan Perguruan Kungfu
Shaolin Lan She Lung, di mana penulis mendapatkan tambahan bekal ilmu dan
pengalaman yang sangat berharga dalam menghadapi tantangan masa depan.

8. Teman-teman senasib dan seperjuangan: Amien, Omen, Said, Nurul, Ragil,
Numa, Hanifah, Amiq (almh), dkk. Teman-teman PTIQ: Mahasin, RubaI,
Ashari, dkk. Teman-teman Malaysia: Norman, Izrul, Fahmi, Jamilah dan tidak
lupa Ummu Hajar. Serta teman-teman kelas PA baik reguler maupun ekstensi.
Semoga pertemuan dan persahabatan ini dirahmati oleh Allah serta tetap terjalin
indah selamanya.
9. The last but not least, untuk semua pihak yang telah berjasa dalam proses
penyusunan skripsi ini.
Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang
berlipat-ganda dari Allah SWT dan termasuk sebagai amal yang saleh.
Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam
ikut serta membantu kemajuan pendidikan, khususnya masalah pembinaan keluarga
sakinah dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi
orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT
memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya
kepada kita sekalian. Amin ya Robb al-Alamin.

Jakarta, 12 Muharram 1430 H
09 Januari 2009 M

Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................. 5
D. Kajian Pustaka .......................................................................... 6
E. Metode Penelitian ..................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan................................................................ 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH
A. Konsep Pernikahan dalam Islam................................................ 13
1. Pengertian Pernikahan ........................................................ 13
2. Hukum dan Prinsip Pernikahan ........................................... 17
3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan........................................... 19
B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup ...... 21
1. Kriteria Calon Suami........................................................... 21
2. Kriteria Calon Isteri............................................................. 28
C. Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah .................... 45

BAB III KAFAAH DALAM ISLAM
A. Pengertian Kafaah dan Dasar Hukumnya .................................. 55
B. Pendapat Ulama tentang Kafaah................................................ 57
C. Kafaah dalam Pernikahan.......................................................... 68

BAB IV URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA
A. Permasalahan dalam Pernikahan ............................................... 76
1. Halangan Pernikahan........................................................... 76
2. Krisis Rumah Tangga.......................................................... 82
B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga ............................... 85
C. Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga ............................ 94

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................103
B. Saran .......................................................................................105

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala
makhluk Allah, termasuk manusia. Dari makhluk yang diciptakan berpasang-
pasangan inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan
berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Islam mengatur manusia dalam
hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang pernikahan.
1

Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan
satu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi dapat juga dipandang sebagai satu jalan menuju pintu
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan
menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya,
melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara suami dengan
istrinya, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah

1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.ke-1, (Bogor: Kencana, 2003), h. 12.

pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong-menolong
sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.
2

Secara umum, pernikahan dianggap sebagai aktifitas penyatuan dua jiwa
ke dalam sebuah ikatan yang sakral, menciptakan rumah tangga sakinah dan
menurunkan generasi demi generasi. Oleh sebab itu, syariat Islam menetapkan
beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan ini. Begitu teliti Islam
mengatur sendi-sendi kehidupan manusia sehingga menyentuh bagian dasar yang
dianggap non-prinsipil tetapi sebenarnya adalah prinsipil, seperti menikah dengan
pasangan yang sekufu-sepadan, baik dari segi sosial, harkat dan martabat,
keturunan, pengetahuan, wawasan, suku, ras, agama, dan lain sebagainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara naluriah setiap manusia ingin
mendapatkan pasangan hidup yang sepadan, bahkan yang lebih baik dari dirinya.
Sewajarnya mereka membutuhkan adanya keserasian dalam pernikahan.
Kesepadanan dalam pernikahan berarti kecocokan yang diperlukan untuk
membentuk keluarga sakinah. Sebaliknya, ketidaksepadanan dalam pernikahan
dapat mengakibatkan ketimpangan yang menimbulkan kesenjangan sosial dalam
rumah tangga.
Memperhatikan terlebih dahulu kafaah adalah salah satu faktor penting
yang sebaiknya dipertimbangkan oleh calon suami/istri maupun orang tua wali
sebelum memasuki gerbang pernikahan. Karena mengetahui cocok atau tidaknya
calon pasangan hidup sebelum pernikahan itu jauh lebih baik daripada

2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet.ke-29, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 374.

mengetahuinya setelah berumah tangga. Selain itu, menerapkan kafaah bisa
mengurangi tingkat kesenjangan antara suami-isteri serta mencegah seringnya
pertengkaran dan keributan dalam rumah tangga.
Namun, sebagian para calon pasangan pengantin tidak terlalu
memusingkan masalah kafaah ini. Mereka berpikir bahwa keutuhan rumah tangga
bisa terwujud hanya dilandasi oleh cinta. Kemurnian cinta bisa mengalahkan
segala-galanya, Love is Blind, cinta itu buta. Kekuatannya begitu dahsyat
sehingga sanggup menerjang segala hambatan yang menghadang. Jika cinta sudah
bicara, apa yang tidak bisa dilakukan? Adat-istiadat akan didobrak, kafaah akan
dilabrak, bahkan tidak jarang ajaran agama dan hukum negara pun akan
dilanggar. Tidak peduli apakah itu halal atau haram, tidak peduli itu dosa dan
berujung dengan ganjaran menginap di penjara. Semua itu tidak berarti apa-apa
bagi insan yang sedang kerasukan cinta dan dilanda mabuk asmara. Namun ketika
cinta memasuki bahtera rumah tangga dan mengarungi samudera kehidupan,
ketika prahara mengguncang dan mengancam keutuhan bahtera itu, mereka baru
sadar bahwa cinta itu tidak menjamin segalanya menjadi lebih baik.
Kafaah dalam pernikahan merupakan salah satu faktor yang dapat
mendorong terciptanya kebahagiaan suami-isteri dan lebih menjamin keselamatan
perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah dianjurkan
oleh Islam dalam memilih calon suami/isteri, tetapi tidak menentukan sah atau
tidaknya pernikahan. Karena pernikahan yang tidak seimbang serta banyaknya
perbedaan antara suami-istri akan menimbulkan problema berkelanjutan yang

mengancam keutuhan rumah tangga dan besar kemungkinan menyebabkan
terjadinya perceraian.
Itulah beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulis untuk
mengadakan pembahasan dan penelitian masalah tersebut dengan
menuangkannya dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) berjudul: Konsep Kafaah
dalam Hukum Islam dan Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga
Sakinah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pada masalah yang telah diuraikan pada latar belakang di
atas, maka pembatasan pokok masalah yang hendak dibahas melalui skripsi
ini adalah bagaimana pandangan Islam, baik yang berupa pendapat ulama
dalam kitab-kitab fiqh maupun dalam hukum positif Indonesia tentang konsep
keluarga sakinah mawaddah warahmah dan kafaah dalam pernikahan. Juga
membahas tentang permasalahan yang muncul dalam bahtera rumah tangga
dan upaya untuk menjaga keutuhan keluarga serta urgensi kafaah dalam
membina rumah tangga yang sakinah.
2. Perumusan Masalah
Pada umumnya, setiap orang menginginkan kehidupan keluarga yang
bahagia, sakinah mawaddah warahmah. Rumah tangga sakinah memang
tidak hanya didasari oleh satu sebab saja tapi ada banyak hal yang bisa

menciptakan surga dalam rumah tangga, Baiti Jannati. Demikian juga,
banyak hal yang bisa menyebabkan kebahagiaan, sebanyak itu pula yang bisa
menjadikan kehancurannya. Perceraian merupakan salah satu akibat dari
berbagai hal yang menyebabkan kegoncangan dalam rumah tangga dan
mengancam keutuhan keluarga, diantaranya adalah ketidakcocokan antara
suami-isteri sehingga sering bertengkar. Dalam Islam, ketidakcocokan ini
sama artinya dengan tidak sekufu.
Agar lebih mudah dipahami, maka masalah ini dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana rumusan konsep tentang pembinaan keluarga sakinah mawaddah
warahmah dalam hukum Islam?
2. Bagaimana konsep kafaah dalam Islam yang dapat menciptakan kebahagiaan
dalam rumah tangga umat Islam dan masyarakat pada umumnya?
3. Bagaimana urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam menghadapi
berbagai permasalahan rumah tangga?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai melalui penelitian sesuai
dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan
skripsi ini adalah :
1. Memperoleh gambaran, pengetahuan dan pemahaman tentang konsep
pembinaan keluarga sakinah mawaddah warahmah dalam hukum Islam;

2. Dapat mengetahui konsep kafaah dalam Islam untuk menciptakan kebahagian
rumah tangga dalam mengarungi bahtera kehidupan;
3. Dapat mengetahui urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam
menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Bagi dunia keilmuan, menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah kritis dalam
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan mengisi perubahan kehidupan
bangsa dan negara;
2. Bagi masyarakat, menjadi bahan pertimbangan dalam memilih calon pasangan
hidup dalam membina rumah tangga sakinah;
3. Dapat mendorong kemajuan pola pikir umat Islam Indonesia dari stagnasi
pemahaman hukum.

D. Kajian Pustaka
Pertama, dalam tulisan Nurhayati tentang Konsep Keluarga Sakinah KH.
Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)
3
, dijelaskan bahwa ada tiga pola pembinaan
keluarga sakinah Aa Gym yaitu pembinaan ekonomi, pembinaan pendidikan dan
pembinaan keluarga dalam bermasyarakat.
Perekonomian keluarga Aa Gym didirikan atas dasar sikap pertengahan,
yaitu tidak berlebihan dan tidak pula terlalu hemat sehingga terkesan kikir, serta

3
Nurhayati, Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar; Study Tokoh Pimpinan
Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 37-40.

diupayakan adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dan
kebutuhan ukhrawi. Selain itu, dalam keluarganya diterapkan sifat sabar dan
qanaah (menerima apa adanya) atas rizki yang diperoleh dari hasil ikhtiar, dan
dalam mengelola keuangan keluarga memakai prinsip mengutamakan kebutuhan
primer, kemudian kebutuhan sekunder dan setelah itu baru pemenuhan kebutuhan
pelengkap (tersier). Pola pembinaan selanjutnya adalah melatih sikap zuhud
(menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan utama), dan wara (hati-hati
dalam menjalani hidup). Kemudian juga melatih jiwa wiraswasta agar mampu
menggunakan pikiran dan potensi secara tepat, kreatif, efektif, dan efisien.
Pembinaan terhadap keluarga, terutama istri sangat diperlukan untuk
menjadi sosok yang diteladani oleh anak-anak, karena istri (ibu) adalah seorang
pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dalam keluarga. Pada ibu-lah beban
digantungkan, sebagaimana digambarkan bahwa surga terletak di bawah telapak
kaki ibu. Adapun pola pembinaan yang dilakukan Aa Gym terhadap istri dan
anak-anaknya di antaranya yaitu: menyamakan visi dan misi, memberi teladan
dan pendidikan, membuat dan menetapkan peraturan yang adil serta istiqamah.
Sedangkan pembinaan keluarga dalam masyarakat, bahwa semua keluarga
muslim terikat dalam satu kesatuan kokoh yang mempunyai keserasian dalam
hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan amanat Allah SWT
yang diwujudkan dalam perilaku bermasyarakat berdasarkan prinsip tauhid,

ukhuwah, musawwah, musyawarah, taawun, tahafulul ijtima, fastabiqul khairat,
tasamuh, amal shalih, dan istiqamah.
4

Dalam tulisannya ini, Nurhayati menitikberatkan pembahasannya tentang
keluarga sakinah secara umum dan konsep Aa Gym dalam membina keluarganya
menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Kedua, Umar, dalam tulisannya tentang Eksistensi Ahlul Bait dan
Kafaahnya dalam Pandangan Islam
5
, menyatakan bahwa kafaah berlaku untuk
Ahlul Bait Nabi SAW dan keturunannya, Alawiyyin, baik itu laki-laki (syarif)
maupun perempuan (syarifah). Hal ini disebabkan agar hubungan tali kekerabatan
dengan Nabi SAW tidak terputus. Kafaah adalah bagian dari syariat pernikahan,
Rasulullah SAW sendiri yang mengatur prosesi pernikahan anak-cucunya.
Penerapan kafaah semestiya dipahami dan dihayati oleh semua pihak,
khususnya pihak yang bersangkutan, yaitu syarifah itu sendiri. Adapun walinya,
keluarga, kerabat atau teman-temannya harus mendukung penerapan kafaah.
Sementara, orang-orang selain Alawiyyin hendaknya ikut melestarikan populasi
keturunan Rasulullah SAW dengan cara menjaga substansi kafaah. Karena
terwujudnya silsilah mulia mereka bukan berdasarkan permintaan, melainkan
anugerah Ilahi. Maka, bagi Alawiyyin seyogyanya mensyukuri nikmat itu.
6


4
Ibid., h. 53.
5
Umar, Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam, (Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 49-51.
6
Ibid., h. 60.

Demikianlah, dalam tulisannya ini, penulis menggambarkan tentang Ahlul
Bait dan keutamaannya dibandingkan dengan umat Islam yang lain serta
kafaahnya dalam pernikahan.
Ketiga, Abdullah Zahir, dalam tulisannya tentang Menyingkap
Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Hukum Islam
7
, menyatakan
bahwa dalam hal perkawinan, kaum Alawiyyin yang ada di Indonesia memiliki
beberapa tahap dalam menyelenggarakan perkawinannya, di antaranya yaitu:
1. Meminta dengan mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak orang tua.
Istilah untuk tahap ini adalah baca fatihah.
2. Tunangan. Setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk
melanjutkan hubungan yang lebih serius. Istilahnya tukar cincin.
3. Lamaran. Sebelum menikah, pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak
perempuan. Hukum lamaran tidak wajib dan berbeda-beda menurut adat
masing-masing.
4. Akad Nikah.
Para ulama Alawiyyin mewajibkan pernikahan sekufu bertujuan agar
kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah SAW yang
ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadis tetap berada dalam diri mereka.
Penulis memperoleh hasil tentang perkawinan senasab di kalangan
Alawiyyin sebanyak 84% yang menjalani konsep kafaah nasab tersebut dengan

7
Abdullah Zahir, Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Islam;
Studi Yayasan Rabithah Alawiyyah, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 73-87.

baik, sedangkan sebanyak 16% tidak menjalankan konsep kafaah nasab dalam
pernikahannya disertai dengan alasan masing-masing.
8

Pelaksanaan kafaah yang dilakukan oleh golongan Alawiyyin didasari oleh
perbuatan Rasulullah SAW yang dicontohkannya dalam menikahkan putrinya,
Fatimah dengan Ali. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyyin
menjaga anak putrinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai
saat ini.
9

Berbeda dengan tulisan kedua tentang Ahlul Bait dan Kafaahnya yang
dijelaskan secara umum, Penulis kali ini menitikberatkan pada perkawinan Ahlul
Bait (Alawiyyin) di Indonesia dan kafaahnya serta dilampirkan juga prosentase
yang menikah dengan menerapkan kafaah nasab dan yang tidak
melaksanakannya.

E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan
dan mendeskripsikan isi dari kajian pustaka yang telah Penulis dapatkan dari
beberapa literatur kepustakaan, kemudian menghubungkan dengan masalah
yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten

8
Ibid., h. 77.
9
Ibid., h. 87.

dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam skripsi
ini.

2. Jenis Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan
(library research). Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian, penemuan dan
analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan
masalah penelitian.
3. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekuder, yaitu :
b. Data Primer
Data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.
Adapun dokumen yang dimaksud adalah :
Al-Quran, Hadis, Kitab-kitab Fiqh klasik, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974, dan Kompilasi Hukum Islam.
c. Data Sekunder
Meliputi : Majalah, Bulletin, Koran, Internet dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji.

Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkannya dengan masalah yang diteliti.


F. Sistematika Penulisan
Adapun laporan hasil penelitian ini dituangkan ini dalam bentuk karya
tulis skripsi dengan sistematika penulisan sebagaimana berikut :
Bab pertama, Pendahuluan. Pembahasan ini mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, Tinjauan Umum Rumah Tangga Sakinah. Pembahasan ini
mencakup konsep pernikahan dalam Islam, ajaran Islam untuk mencari dan
memilih pasangan hidup, dan konsep keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Bab ketiga, Kafaah dalam Islam. Pembahasan ini mencakup pengertian
kafaah, pendapat ulama tentang kafaah, dan hukum kafaah dalam pernikahan.
Bab keempat, Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga. Pembahasan
ini mencakup permasalahan dalam pernikahan, upaya untuk menjaga keutuhan
keluarga, dan urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga.
Bab kelima, Penutup. Pembahasan ini mencakup kesimpulan dan saran.







BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH

A. Konsep Pernikahan dalam Islam
4. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, pernikahan berasal dari kata nikah, yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan
untuk arti bersetubuh (wathi).
10
Sedangkan menurut istilah, nikah berarti suatu
akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan
yang bukan muhrim.
11
Akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya. Itu merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki
keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam. Kata nikah
sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus). Pernikahan
disebut juga perkawinan, berasal dari kata kawin yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh.
12


10
Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy al-Shananiy, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram
min Adillah al-Ahkam, jil.III, (Bandung: Dahlan, tth.), h. 109.
11
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 249.
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.II, cet.II,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.456.

Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya
adalah:
,- ~ , - ' ; - - - ~ ~- ' - - - - - - - 4 ~ - - - ' ,- = J - -' - , = J ~ - - - '
- - , - ,-' = J .
Artinya: Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan syara
untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan
perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan
dengan laki-laki.
13


Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani mendefinisikan:
-- - ' ~ , - ' ; - - - ;- - J= Q-=,- Q--
Artinya: Nikah menurut istilah syara ialah akad yang menghalalkan
hubungan seksual antara suami-istri.
14


Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian perkawinan dan
tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Pasal 2: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
15


Adapun yang dimaksud dengan perkawinan sebagaimana dijelaskan
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU No.1/1974) pasal 1 bahwa:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz-7, cet.III, (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), h. 29.
14
Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, juz-5, (Kairo: Maktabah al-
Iman, t.th.), h. 110.
15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2005), h. 114.

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam
mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 KHI menegaskan bahwa
perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk
menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menggunakan istilah yang bersifat umum, maka KHI menggunakan istilah
khusus yang tercantum dalam al-Quran. Misalnya, mitsaqan galidzan,
ibadah, sakinah, mawaddah, dan rahmah.
16

Kedua pengertian perkawinan tersebut dari sudut kebahasaan dan
istilah, dapatlah dipahami bahwa nikah merupakan suatu ikatan perjanjian
yang sakral dan kekal antara seorang laki-laki (calon suami) dengan seorang
perempuan (calon istri) untuk bersama-sama sepakat saling mengikat di antara
keduanya, hidup bersama dalam membentuk lembaga keluarga (rumah
tangga) agar memperoleh kedamaian hati, ketenteraman jiwa dan cinta kasih.
Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21
sebagai berikut:
;}g`4 gOg-4C-47 up 4-UE
7 ;}g)` 7O^
~}4^e W-EONL7O4g
E_^1) EE_4 :4LuO4

16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7-8.

LEE14OE` OE;O4O4 _ Ep) O)
ElgO e4CE Og
4pNO-4-4C ^g
Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berfikir. (QS. Ar-Rum, 30:21)

Dasar disyariatkannya nikah ialah firman Allah SWT dalam surat an-
Nisa ayat 3 :
... W-O^ 4` =C 7
=}g)` g7.=Og)4- _/E_u14`
E+U4 E74+O4 W up)
+^= W-O7gu>
EEg4O ...
Artinya: , maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku
adil, maka (nikahilah) seorang saja,... (QS. An-Nisa, 4:3)

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
'- -- = ~ ;~- Q- Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- : - ' ~ ,
~- - ' - Q ~ - = ' - - - ; - - ' - - - - , - ' - - - - ~ , = ~ Q - - - , - Q - ;
~ - = - - - - ~-' ; - ' - = ' . ) --- _--- (
17

Artinya: Dari Ibnu Masud r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu
(mempunyai biaya), maka hendaklah ia menikah, karena
sesungguhnya nikah dapat menundukkan mata dan dapat menjaga
kemaluan (kehormatan). Barangsiapa yang belum mampu menikah,
maka hendaklah berpuasa, karena puasa merupakan perisai
baginya. (HR. Bukhari dan Muslim)



17
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz-3, (Beirut: al-
Maktabah al-Ashriyyah, 1997), h. 1632.



5. Hukum dan Prinsip Pernikahan
Hukum pernikahan menurut para ulama bermacam-macam, yaitu
berdasarkan situasi dan kondisi. Akan tetapi, Islam sangat menganjurkan
umatnya yang sudah mampu untuk menikah karena banyak hikmah yang
terkandung di dalamnya. Hukum pernikahan berdasarkan situasi dan kondisi
ini terbagi menjadi lima, yaitu:
18

a. Sunah,
19
artinya nikah itu sunah bagi orang yang telah mampu dan
berkehendak untuk menikah.
b. Wajib,
20
artinya nikah itu wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah
mampu menikah dan jika tidak menikah ia akan terjatuh ke dalam
perzinaan.
c. Mubah,
21
artinya nikah itu mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh hal-
hal yang mengharuskan atau mengharamkan nikah.
d. Makruh,
22
artinya nikah itu makruh bagi orang yang tidak mampu untuk
nikah, yakni tidak mampu baik biaya maupun mental.

18
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jil.II, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1983), h. 12-14.
19
Pernikahan yang hukumnya sunnat berarti pernikahan itu lebih baik dilakukan daripada
ditinggalkan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
20
Pernikahan yang hukumnya wajib berarti pernikahan itu harus dilakukan, jika dilakukan
mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa.
21
Pernikahan yang hukumnya mubah (boleh) berarti pernikahan itu boleh dilaksanakan dan
boleh tidak dilaksanakan, jika dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala dan
tidak berdosa.
22
Pernikahan yang hukumnya makruh berarti pernikahan itu lebih baik ditinggalkan daripada
dilakukan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa.


e. Haram,
23
artinya nikah itu haram hukumnya bagi orang yang berkeinginan
nikah dengan niat menyakiti atau berbuat aniaya.
Prinsip-prinsip hukum pernikahan yang bersumber dari al-Quran dan
Hadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu
saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual
dan material.
b. Asas keabsahan pernikahan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan pernikahan, dan harus dicatat
oleh petugas yang berwenang.
c. Asas monogami
24
terbuka.
d. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa dan raganya dapat
melangsungkan pernikahan, agar mewujudkan tujuan pernikahan secara
baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir
kepada perceraian.

23
Pernikahan yang hukumnya haram berarti pernikahan itu dilarang keras dilakukan, jika
dilakukan berdosa dan jika tidak dilakukan mendapat pahala.
24
Perkawinan diartikan seorang perempuan hanya memiliki seorang suami dan seorang laki-
laki hanya memiliki seorang istri. (KUH Perdata ps. 27)

e. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
f. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh
karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan
diputuskan bersama oleh suami-istri.
g. Asas pencatatan pernikahan. Pencatatan pernikahan mempermudah
mengetahui orang-orang yang sudah menikah atau melakukan ikatan
perkawinan.
25

6. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan
keluarga untuk mencapai tujuan syariat yaitu kemaslahatan dalam kehidupan.
Adapun secara rinci, tujuan-tujuan dari pelaksanaan pernikahan dalam
rangka membentuk lembaga keluarga (rumah tangga), yakni sebagai berikut:
a. Menurut al-Quran
1) Dalam surat al-Araf ayat 189, menyatakan bahwa tujuan pernikahan
itu adalah untuk bersenang-senang.
2) Dalam surat ar-Rum ayat 21, menyatakan bahwa tujuan pernikahan
adalah: litaskunu ilaiha (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah
(kasih sayang).
26


25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarijan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 sampai KHI, ed.I, cet.III, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 54.


b. Menurut Hadis
1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan
2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat.
27

c. Menurut Akal
1) Meningkatkan jumlah manusia
2) Mewujudkan keteraturan nasab
3) Menertibkan masalah kewarisan.
28

Sedangkan hikmah yang terkandung dalam pernikahan itu antara lain:
a. Pernikahan sesuai dengan fitrah manusia untuk berkembang biak dan
melampiaskan syahwat.
b. Upaya Menghindarkan diri dari perbuatan maksiat (zina).
c. Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan jelas nasabnya..
d. Memperkokoh tali persaudaraan dalam masyarakat, terutama antar
keluarga.
e. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tenteram dengan adanya cinta
dan kasih saying antara sesama.
29



26
A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik Pemikiran
Aktual Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo Tahun 2006, ed.I,
(t.t.: Qalbun Salim, 2007), h. 86.

27
Ibid., h. 88.
28
Ibid., h. 89.

29
Asrorun Niam Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta:
eLSAS, 2008), h. 12.



B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup
Agama Islam memberikan kebebasan, baik kepada laki-laki maupun
perempuan untuk mencari pasangan hidupnya menurut selera dan perasaan
cintanya masing-masing. Meskipun demikian, bukan berarti Islam memberikan
kebebasan secara mutlak dalam hal mencari dan memilih pasangan hidup tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah hukum agama, nilai-nilai, dan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat. Islam dengan jelas dan tegas mengharamkan cara
mencari dan memilih pasangan hidup melalui hubungan bebas (free love),
melakukan hubungan seks di luar pernikahan (free sex), karena dalam hukum
Islam disebut zina.
Sebagaimana dijelaskan secara tegas dalam al-Quran surat al-Isra ayat 32:
4 W-O+4O^> -OE+@O- W
+O^^) 4p~ LO4= 47.Ec4
1O):Ec ^@g
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu
perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra, 17:32)


Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam sangat mengharamkan hubungan
bebas di luar pernikahan secara resmi antara laki-laki dengan perempuan atau
sebaliknya, karena perbuatan itu termasuk zina yang kotor dan keji. Islam sangat
menghargai kehormatan dan kemuliaan manusia.
1. Kriteria Calon Suami

Kriteria calon suami harus diketahui oleh pihak perempuan yang
bersangkutan yang hendak menjalankan rumah tangga dan juga harus
diketahui oleh orang tua perempuan sebagai penanggungjawabnya.
30
Hal ini
karena pihak perempuan sangat bergantung kepada suaminya dalam
membentuk dan membina rumah tangganya.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Quran berikut ini:
N~E}@O- ]ON`O~ O>4N
g7.=Og)4- E) _ +.-
__u4 _O>4N *u4
.E)4 W-O^ ;}g`
)_g4O^` _
Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya... (QS. An-Nisa, 4:34)

Sesuai dengan fungsinya sebagai suami yang mengendalikan biduk
rumah tangga secara fitrah, fisiologis dan psikologis, maka suami berhak
untuk memimpin, membimbing dan menjaga keluarganya secara lahir dan
batin. Adapun kriteria-kriteria yang harus dimiliki seorang laki-laki sebagai
calon suami adalah sebagai berikut:
a. Laki-laki yang seagama
Dalam hal memilih calon suami, pihak perempuan dan
keluarganya wajib untuk memilih laki-laki yang seagama.
31
Dalam ajaran
Islam, seorang perempuan muslimah diharamkan menikah dengan seorang

30
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz.
Penerjemah Maruf Abdul Jalil, cet.I, (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2006), h. 537.
31
Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, Aujar al-Masalik ila Muwatha Malik, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1974), h.391.

laki-laki non-muslim. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-
Quran berikut ini:
.. '' '-' _' ,=- '' '--,- ,---'= '
+' .= '' +' ,'=, .. .
Artinya: jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal
bagi mereka. .. (QS. Al-Mumtahanah, 60:10)

4 W-OL>
ge)O;^- _/4EO
O}g`uNC _ O4`V4 NOE4g`uG`
OOE= }g)` lO)O;G` O4
7u-4:E;N 4 W-OL>
4-g)O;^- _/4EO
W-ONLg`uNC _ /lE4
v}g`uG` OOE= }g)` l)O;G`
O4 74:E;N
Elj^q 4pONN;4C O)
jOEL- W +.-4
W-EONN;4C O) gOE4E^-
jE4Og^E^-4
gOg^^O)) W ))-4lNC4
gOg-4C-47 +EE4Ug
_^UE 4pNO-O4-4C
^gg
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum
mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang
beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki)
musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih
baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
(QS. Al-Baqarah / 2:221)

b. Laki-laki yang kuat agamanya
Kaum perempuan yang beragama Islam hendaklah memilih dan
menentukan calon suami yang kuat agamanya (keimanan dan

ketakwaannya) melebihi dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan suami itu
sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab membawa istri ke
jalan benar atau salah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
32
Kuat
beragama di sini adalah kuat dalam pengakuan dan kuat dalam
menjalankan agama Islam, bukan hanya kuat dalam pengakuan tetapi
lemah dalam menjalankannya.
Seorang suami wajib menjaga keluarganya dari api neraka, artinya
kebahagiaan dan keselamatan keluarganya di dunia dan di akhirat adalah
tanggung jawab seorang suami sebagai kepala rumah tangga.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Quran berikut ini:
Og^4C 4g~-.-
W-ONL4`-47 W-EO~
7=O^ 7O)Uu-4
-4O4^ ...
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim, 66:6)

Rasulullah SAW menjelaskan dalam sebuah hadis:
-- Q- = --- Q- ;-~ --- = _-~ --- '- '-)-- = _~ , : - - ;
- - ; - ~ ; - ; - ' - - , ; - ~ ; ,- = J - - _ - ; - ~ ;
- - , - - - - - _ - ~ = ) ' - ~ ; - - - - - - - _ ' ~ - - - - - - - ;
- - ; - ~ ; . ) --- _--- (
33

Artinya: Dari Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Kamu semua adalah pemimpin dan kamu akan
ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Para penguasa adalah
pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Orang
laki-laki adalah pemimpin di rumahnya (keluarganya), dia juga
akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin

32
Haya Binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah. Penerjemah Amir Hamzah
Fachrudin, cet.I, (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 101.
33
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1668

di dalam rumah suaminya, dia pun akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta tuannya,
dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Maka kamu semua
adalah pemimpin dan kamu semua akan ditanya tentang
kepemimpinanmu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun cara untuk memilih calon suami yang taat dalam
menjalankan semua ajaran Islam, dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-
harinya. Dalam hal ini adalah ketaatan terhadap perintah Allah SWT dan
Rasulullah SAW dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan orang tuanya,
saudara-saudaranya dan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya.
Biasanya, orang yang ahli ibadah itu disenangi, dihormati dan dikagumi
atau menjadi panutan masyarakat.
c. Laki-laki yang berpengetahuan luas
Perempuan yang beragama Islam, hendaklah memperhatikan dan
memprioritaskan calon suami beragama Islam yang memiliki pengetahuan
(intelektual) yang lebih luas atau lebih tinggi dibandingkan dirinya sendiri.
Yang dimaksud pengetahuan di sini adalah memiliki ilmu,
wawasan dan konsep secara menyeluruh, bukan saja mengenai
pengetahuan agama, tetapi juga tentang masalah umum, termasuk seputar
masalah rumah tangga.
Seorang suami memikul tanggung jawab yang sangat berat dalam
membentuk, membina, dan menjaga rumah tangganya. Suami dituntut
bukan saja untuk memberi nafkah lahir dan batin, sandang, pangan dan
papan, tetapi ia juga berkewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya.

Di sinilah letak peranan suami dalam mendidik istri untuk menjadi
pendidik yang baik dan handal, suami harus memiliki pengetahuan
(intelektual) yang lebih tinggi dan luas. Di samping itu, seorang suami
merupakan tempat berlabuh, bersandar dan mengadu seorang istri dalam
menghadapi masalahnya.
d. Laki-laki yang mampu membiayai hidup
Dalam kehidupan berumah tangga, pasti banyak sekali kebutuhan
yang harus dipenuhi. Suatu kebahagiaan yang tidak ternilai harganya jika
kebutuhan dalam suatu rumah tangga telah terpenuhi walaupun baru
kebutuhan pokok (primer-nya) saja, suasana kehidupan rumah tangga
akan terasa tenang, tenteram, dan nyaman. Sebaliknya, jika suatu rumah
tangga belum dapat memenuhi kebutuhan pokok, maka sulit diharapkan
akan tercipta suasana kehidupan rumah tangga yang tenang, tenteram dan
penuh kebahagiaan.
Itulah sebabnya, Islam melarang kaum laki-laki yang belum
mampu membiayai kebutuhan rumah tangga memaksakan diri untuk
menikah, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-Quran
berikut ini:
-gu4-O41^4 4g~-.-
4p_ ~~g^ _/4EO
Ng4OgL^NC +.- }g`
g)-;_

Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah
menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan
kepada mereka dengan karunia-Nya... (QS. An-Nur, 24:33)

Dengan demikian, bagi seorang suami, memenuhi kebutuhan
rumah tangga itu merupakan suatu kewajiban, karena istri dan anak
termasuk dirinya sendiri memerlukan kebutuhan pokok, seperti makan,
minum, sandang, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari
umat manusia. Orang yang hidup serba kekurangan atau belum mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya, terkadang kurang khusyu dalam
melaksanakan ibadah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang laki-laki sebagai kepala
rumah tangga memikul tanggung jawab yang berat, yakni harus memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya dalam berumah tangga. Sebagaimana
dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:
-- Q- '- Q- ;--= Q- : = - ~ ' ' -- - ~ - = _ - - - ~ - ; : - = ' _
- - , - - ,- _ - ' : = - ) ' = ; - ~ ; ' - ~ ,~ '- _
'- =;- ~--- _- '- ,=) '- _-- . ) ='- Q- - (
34

Artinya: Dari Hakim Ibnu Muawiyah dari bapaknya bahwa: Seseorang
bertanya kepada Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah! Apakah
hak seorang suami terhadap istrinya? Beliau bersabda:
Hendaklah memberinya makan seperti yang ia makan dan
memberinya pakaian seperti ia berpakaian. (HR. Ibnu Majah)


34
al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, , h. 593.

Hal yang tak kalah penting yang perlu diperhatikan oleh seorang
perempuan muslimah dan orang tua atau walinya adalah hendaknya
mengetahui sifat dan sikap calon suami tersebut.
Adapun sifat dan sikap seorang laki-laki yang baik untuk menjadi
suami yang baik sesuai dengan pandangan Islam, yakni sebagai berikut:
1) Bertanggung jawab
2) Rajin bekerja
3) Berwibawa
4) Penyabar
5) Memiliki sikap humor
6) Adil dan Bijaksana
7) Jujur dan dapat dipercaya
8) Tidak cemburu berlebihan
9) Dapat membimbing dan mendidik istri
10) Tidak pemarah
11) Tidak kikir namun tidak boros dalam memberikan uang belanja
12) Tidak ringan tangan.
35

Apabila telah menemukan kriteria seorang laki-laki yang mempunyai
sifat dan sikap yang demikian, insyaAllah harapan dan tujuan dalam berumah
tangga yang didambakan sesuai selera hati akan tercapai, yakni rumah tangga
yang sakinah mawaddah warahmah.
2. Kriteria Calon Istri

35
Asrorun Niam Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 27.

Dalam hal memilih calon istri, bagi kaum laki-laki harus memiliki
kriteria tertentu. Membina suatu rumah tangga bukanlah sekadar untuk
pelampiasan nafsu syahwat belaka, bukan untuk sekadar permainan belaka
(kawin-cerai) dan juga bukan untuk sementara waktu (seumur jagung), tetapi
berumah tangga adalah suatu kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah
yang sakral yang telah diatur tata caranya sedemikian rupa baik oleh agama
dan maupun oleh negara.
Untuk itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan perlu
memperhatikan kriteria-kriteria calon istri sehingga pemilihan calon istri
tersebut merupakan hasil penyeleksian pemikiran yang matang, bukan sekadar
asal-asalan. Hal itu ditujukan untuk memperoleh kebahagian dalam berumah
tangga.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh kaum laki-laki dalam
memilih calon istri, yaitu:
a. Motivasi pernikahan
Pada hakikatnya, dalam hal memilih calon istri itu terdorong oleh
empat faktor, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW:
- Q - _ , , ~ = - - -- - ~ - = _ - - - ~ - ; - ' : - - _ - - ,
- ' - : - - -' ) ' - = ~ - ) ' - = - -' ) ' - - - ) - ' =' - , - - -- Q , - ~ - .
) --- _--- (
36

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya,

36
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., h. 1639.

kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka
hendaklah engkau memilih yang beragama, karena akan
membawamu pada kebahagiaan. (HR. Bukhari dan Muslim)

1) Faktor harta kekayaan
Rasulullah SAW berpesan kepada kaum laki-laki dalam hal
memilih calon istri agar bukan karena dorongan faktor kekayaan
sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis:
'- ,-- Q- = --- Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- - ' , = ;
-- ~ ' - = ~ - ) Q - ~ = _ ~ - ) Q , ) Q - ' , = ; Q - ' - ; - ) Q - ~ _
- ; - ) Q = - ) Q - - Q , = ; Q - - -- _ Q ... ) ='- Q- - (
37

Artinya: Dari Abdullah Ibnu Amr berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Janganlah menikahi seorang wanita semata-mata
karena kecantikannya, jangan-jangan kecantikannya itu
justru menyesatkan. Jangan pula karena hartanya itu karena
dapat membuatnya menjadi sombong dan sewenang-wenang.
Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya...
(HR. Ibnu Majah)

Oleh karena itu, untuk memperoleh harta kekayaan bukanlah
dengan cara menikahi perempuan kaya, tetapi harus berusaha dengan
sendiri. Karena perkawinan bukanlah jalan untuk memperoleh harta
kekayaan, melainkan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga
bahagia sejahtera.
2) Faktor kedudukan
Rasulullah SAW pun berpesan dalam sebuah hadis,

37
al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, h. 584.

'- -- = ~ 4-'- Q- Q Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- - Q
, - , ',- - ; , - = - ' - ' . .. ) --= - (
38

Artinya: Dari anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Barangsiapa menikahi seorang perempuan
karena kebangsawanannya (kedudukan), niscaya Allah
tidak akan menambah kecuali kehinaannya. (HR. Ahmad)

Dengan demikian, untuk memperoleh status sosial atau
kedudukan yang terhormat, baik dalam lingkungan kerja atau
lingkungan masyarakat, adalah dengan berusaha sendiri, bukan dengan
cara menumpang orang lain, termasuk istri sendiri.
3) Faktor kecantikan
Rasulullah SAW bersabda, Janganlah menikahi seorang
wanita semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan
kecantikannya itu justru menyesatkan. ... (HR. Ibnu Majah)
Namun, bila kecantikan istri itu ditunjang oleh kecantikan
rohaninya yakni agamanya, kecantikannya itu bukan saja
menimbulkan rasa cinta bagi suami, tetapi juga akan membawa
ketenteraman dan ketenangan batin suami. Karena suami percaya pada
istrinya yang memiliki agama yang kuat, sehingga tidak mencurigai
istrinya berselingkuh. Hal semacam ini telah dijanjikan Allah SWT
dalam ayat al-Quran berikut ini:
4O- Og~-.- 7U }g)`
^^^ EEg4 EE_4

38
Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, (t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.), h. 395.

Ogu+g` E_E_uEe
=}7O41g OgO) W
Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam)
dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia
merasa senang kepadanya. .. (QS. Al-Araf, 7:189)

4) Faktor agama
Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan karena
faktor agama maka ia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam
hadisnya,
'- -- = ~ 4-'- Q- Q Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- - Q
- = - , ~ -' = - - - - ' - - ~ _ = , - - - - - _ = - ~- _ = , - - -' _ .
) - --= (
39

Artinya: Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Barangsiapa dikaruniai istri yang shalihah oleh
Allah, berarti ia telah menyelamatkan separuh agamanya.
Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam
separuhnya lagi. (HR. Ahmad)

Untuk itu, hendaknya mengutamakan faktor agama dalam
menikahi seorang perempuan, yakni taat (konsisten) dalam melakukan
ajaran-ajaran agama, taat kepada suaminya, menyenangkan hati suami,
dan dapat menjaga dirinya dan harta suami manakala suami bepergian.
b. Status atau keberadaan perempuan untuk dinikahi

39
Ibid., h. 389.

Yang dimaksud dengan status atau kedudukan perempuan di sini
adalah boleh tidaknya seorang perempuan dinikahi berdasarkan hukum
agama Islam, Undang-undang dan Adat/Tradisi setempat.
Dalam ajaran Islam dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku
di Indonesia, tidak semua orang boleh dinikahi. Ada orang-orang yang
haram dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad), yaitu orang yang
memiliki hubungan darah (nasab), hubungan kerabat semenda
(mushaharah), atau hubungan sepersusuan (radhaah). Ada pula yang
haram dinikahi untuk sementara waktu (mahram muaqqat).
40

Allah SWT berfirman:
4 W-OL> 4` E4^
74.4-47 ;g)`
g7.=Og)4- ) 4` ;~
E-UEc _ +O^^) 4p LO4=
6^4`4 47.Ec4 O):Ec
^gg ;e4`@ONO :^OU4N
7+-E_E`q 7>E444
:>4OE=4 7+-O4N4
7+-UE=4 E444
g- E444 geu=1-
N:+E_E`q4 /--
7E4u=O :>4OE=4
;g)` gOE=O-
eE_E`q4 7j*.=O)e
N:+:j^44O4 /-- O)
jOONO }g)` N7j*.=O)Oe
/-- +UE=E1 O})_)
p) - W-O+^O7> +UE=E1

40
Ketentuan ini dimuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 8-9, yang dirinci lagi oleh
Kompilasi Hukum Islam pasal 39-44 dan pasal 54.

;)_) EEE4N_ :^OU4
Nj^UEO4 N:j*.E4
4O-- ;}g` :)lU;
p4 W-ONE;> -u-4
u-4-u=1- ) 4` ;~
E-UEc ]) -.- 4p~
-4OON V1gOO ^g@
eE4=^-4 =}g`
g7.=Og)4- ) 4` ;eU4`
:N4EuC W
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. (QS. An-Nisa, 4:22-24)

Dalam hukum adat pun terdapat larangan menikahi orang-orang
tertentu. Dalam adat masyarakat Minang, misalnya, berlaku eksogami
suku yaitu orang yang sesuku di dalam satu desa tidak boleh nikah. Begitu

juga dalam adat masyarakat Batak, berlaku larangan pernikahan
semarga.
41

c. Sifat dan sikap calon istri
Ada beberapa sifat pada diri seorang perempuan yang dapat
dijadikan modal atau syarat untuk terciptanya suatu keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Shalihah (taat) dalam beragama
Perempuan shalihah adalah perempuan yang benar-benar baik
akidahnya, baik akhlaknya dan baik pula ibadahnya; niscaya akan
menjadi istri yang benar-benar berbakti kepada suami, pandai menjaga
kehormatan diri dan pandai pula menjaga kehormatan saat suami tiada
di sampingnya.
42
Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:
eE)UO 7e4-gL~
egEO U^O4Ug
E) ^gEO +.- _
Artinya: Maka perempuan-perempuan yang shalihah, adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika
(suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka) (QS. An-Nisa, 4:34)

Istri yang shalihah itu merupakan perhiasan yang paling indah
di dunia serta memiliki nilai yang tinggi dan agung. Shalihahnya

41
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 101.
42
M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, cet.II, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2000), h. 43.

seorang perempuan bukanlah sebatas pengakuannya saja, tetapi
tercermin dari segala perilaku kehidupan sehari-hari, baik sebelum
berumah tangga maupun sesudah hidup berumah tangga.
Rasulullah SAW bersabda:
= _-~ = ;~ ,-- Q- = --- Q- '- ;-~ --- : -- - - ' - '
= - , - - -' ) - ' - , ~- -' = . ) - ;-~- (
43

Artinya: Dari Abdullah Ibnu Amr, Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: Dunia adalah hiasan dan sebaik-baik
perhiasannya adalah wanita shalihah. (HR. Muslim)

Dengan demikian, maka perempuan shalihah itu kelak akan
menjadi istri terbaik di hadapan suaminya. Ia menyenangkan setiap
kali dipandang oleh sang suami, taat apabila diperintah, rela dengan
apa yang diterima dan senantiasa menjaga kehormatan keluarganya.
Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
= - , -- ~ ' - Q = , - - ) ~ ' , 4 - , ) ' = -' - 4 - ~ - ~ ')---
- , 4 - - ~ - - ) = ' - = - 4 - _ - ~ ) ' - -' 4 . ) '~-- - (
Artinya: Sebaik-baik istri ialah dia yang jika kau pandangi, ia
menyenangkanmu; jika kau perintah, ia menaatimu; jika kau
beri bagian, ia senang menerimanya dan jika kau tinggalkan,
ia senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu.
(HR. An-Nasai)

Kemanfaatan hidup seorang mukmin yang paling tinggi ialah
bertakwa kepada Allah SWT. Karena dengan bertakwa kepada-Nya,

43
Abu al-Husain Muhammad Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, juz-5,
(Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby, t.th.), h. 1090.

niscaya ia akan meraih kebahagiaan hidup yang sejati, baik di dunia
maupun di akhirat. Namun ada kemanfaatan lain yang juga akan
melengkapi kebahagiaan dunia dan akhirat, yakni kemanfaatan
beristrikan perempuan shalihah. Sebagaimana dijelaskan oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya:
'- -- = ~ -'- _- Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- - '
~ - - ' - - ; - Q - - -- - ; = - , = J = - , - - Q = ~ -' = ...
) - --= (
44

Artinya: Dari Abu Umamah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Tiada kemanfaatan yang lebih baik bagi insan
beriman setelah bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla,
selain istri yang shalihah... (HR. Ahmad)

Itulah kemanfaatan beristrikan perempuan shalihah. Dia
senantiasa menjadi pendukung dan motivator bagi segenap
keluarganya menuju kebahagiaan dunia hingga akhirat. Ia akan
mengingatkan dengan penuh kasih kepada suami dan anak-anaknya
saat mereka melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan. Ia
akan senantiasa memberikan dorongan yang dapat membangkitkan
semangat bagi suami dan anak-anak agar menghambakan diri secara
total kepada Allah SWT. Ia akan selalu memberikan semangat kepada
suami agar tekun bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga dan demi terpenuhinya totalitas penghambaan diri kepada

44
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 389.

Allah SWT. Sehingga kebahagiaan dunia-akhirat pun akan lebih
dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan.
45

2) Berasal dari keturunan (nasab) yang baik
Istri ibarat ladang tempat bercocok tanam bagi suami. Maka
ladang yang subur tentunya akan menumbuhkan tanaman yang subur
pula, ladang yang gersang akan menggersangkan tanamannya juga,
dan seterusnya. Allah SWT mengibaratkan hal ini dalam firman-Nya:
774.=O)e /[OEO 7-
Artinya: Istri-istrimu adalah ladang bagimu
(QS. Al-Baqarah, 2:223)

Jika para ahli genetika mengatakan bahwa gen-gen akan
memberikan pembawaan tersendiri kepada keturunan generasi
berikutnya secara langsung atau berselang, maka jauh sebelumnya
Rasulullah SAW telah menegaskan hal ini dalam sabdanya:
'- -- = ~ 4-'- Q- Q Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '-
, = ; - - _ = = , ~- -' _ - ' - , ~ ' . .. ) --= - (
46

Artinya: Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Kawinlah dengan golongan yang shalih sebab
pengaruh keturunan itu sangat kuat. (HR. Ahmad)

Sehubungan dengan itu, maka calon istri yang ideal tentulah
perempuan yang bernasab baik-baik, perempuan yang diturunkan dari
alur keluarga yang baik-baik. Dan para remaja muslim seharusnya

45
M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 46.
46
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394.

memilih perempuan yang bernasab baik-baik tatkala hendak
menentukan pilihannya. Sehingga diharapkan kelak akan melahirkan
anak-anak yang baik pula.
47

Baiknya seorang istri dalam suatu rumah tangga itu merupakan
hasil bimbingan dan didikan kedua orang tuanya. Peran kedua orang
tua dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya sangatlah penting
dalam lingkungan keluarga. Keluarga adalah sarana dan wahana yang
pertama dan pokok dalam membimbing dan mendidik anak untuk
membentuk suatu kepribadian, mengenal nilai-nilai dan norma-norma
serta hukum-hukum yang berlaku di masyarakat kelak.
Kaum laki-laki yang menginginkan calon istri yang shalihah,
carilah dari keluarga yang baik. Biasanya dari keturunan yang baik
(agamis), terlahir anak-anaknya yang baik pula. Sebaliknya, suatu
keluarga yang jauh dari agama, terlahir pula anak-anaknya yang jauh
dari agama.
3) Bukan kerabat yang dekat
Kerabat dekat itu adalah kerabat yang memiliki garis keturunan
(kerabat atau saudara) antara calon istri dengan calon suami. Bila
terjadi pernikahan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki
yang masih ada hubungan kekerabatan atau tali persaudaraan
berdasarkan garis keturunan antara keduanya, maka pernikahan itu

47
M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 54.

dapat mengakibatkan lemahnya nafsu syahwat, baik terhadap suami
dan atau istri. Apabila tetap dilangsungkan pernikahan, maka
dikhawatirkan akan lahir anak-anak yang lemah.
48

Anak yang lemah di sini ada dua kemungkinan, yakni:
pertama, lemah dalam hal fisik (jasmani), yaitu anak yang lahir cacat
tubuhnya. Kedua, lemah dalam hal rohani (jiwa), yaitu si anak akan
lahir dengan kecerdasan yang kurang bahkan tergolong idiot.
Sehubungan dengan itu, maka sebaiknya para remaja muslim
menghindari pilihan dari perempuan yang masih keluarga dekatnya,
sekalipun ia tidak termasuk perempuan yang haram dinikah. Dengan
demikian, insyaAllah keluarga yang bakal dibentuk akan lebih
mendatangkan kebahagiaan. Anak-anak yang lahir akan lebih sehat
baik fisik maupun mentalnya dan jumlah saudaranya pun akan lebih
besar.
4) Perawan (gadis)
Setiap laki-laki muslim hendaklah memilih calon istri yang
masih gadis (perawan). Hal ini selain erat hubungannya dengan
kesuburan perempuan yang bersangkutan sehingga lebih
memungkinkan akan melahirkan banyak anak, juga banyak

48
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malyabary, Fath al-Muin bi Syarh Qurrat al-Ain,
(Surabaya: Maktabah Muhammad Ibnu Nabhan wa Auladah, t.th.), h. 99.

keistimewaan yang bakal diperoleh oleh suami. Keistimewaan-
keistimewaan ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
'- -- = ~ ,-'= Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- - - - - ;
- -' ' - - ' - ' ) Q - - - ; ' - _ = -' ' - J = - ' ~ - _ -' - ~ - , .
) - --= (
49

Artinya: Dari Jabir r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Hendaklah kalian menikahi wanita yang masih gadis, karena
ia lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya,
lebih kecil kemungkinan berkhianatnya dan lebih bisa
menerima pemberian yang sedikit. (HR. Ahmad)

Dengan demikian, pernikahan antara laki-laki bujangan dengan
perempuan yang berstatus gadis merupakan pernikahan yang ideal.
Karena kedua belah pihak sama-sama memasuki gerbang kehidupan
yang baru dan keduanya pun sama-sama belum memiliki pengalaman.
Rasulullah SAW pernah memberikan anjuran untuk menikahi
perempuan yang masih gadis, sebagaimana yang dijelaskan dalam
hadits:
- Q = -' , -- - ~ - = _ - - - ~ - ; - ' - : = ' -' , , = ~ - - , - - - '
- ' : - - - - ' - ' : - ' , = ~ - - , - -' - ) ' - -' - 4 . ) --- _--- (
50

Artinya: Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda
kepadanya, Hai Jabir, dengan siapakah engkau menikah,
perawankah atau janda? Jawab Jabir, Saya menikah
dengan janda. Beliau bersabda, Alangkah baiknya jika
engkau menikah dengan perawan (gadis). Engkau dapat
menjadi hiburannya dan dia pun menjadi hiburan bagimu.
(HR. Bukhari dan Muslim)

49
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394.
50
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1639


Dalam pandangan Islam, keperawanan seorang perempuan
adalah masalah sakral. Keperawanan merupakan barometer baik dan
buruknya perempuan tersebut, baik dari segi agama, akhlak,
kepribadian, dan sebagainya. Bahkan pernikahan antara laki-laki
muslim dan perempuan yang telah hilang keperawanannya akibat
hubungan zina itu haram hukumnya. Sebagaimana ditegaskan Allah
SWT dalam ayat al-Quran berikut ini:
O)+-EO- L4C )
O41g^-Ee u LO)O;N`
O4Og^-EO-4
.E_L4C ) p-Ee u
[)O;N` _ 4@ONO4 ElgO
O>4N 4-gLg`u^- ^@
Artinya: Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina
perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-
laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang-orang mukmin. (QS. An-Nur, 24:3)

5) Subur
Suatu rumah tangga akan terasa hambar dan sepi apabila tidak
ada anak. Apabila telah menjalani kehidupan berumah tangga selama
bertahun-tahun, tetapi belum dikaruniai seorang anak pun, tentunya
hal ini selain menimbulkan kesepian juga sangat menggelisahkan
kedua pasangan suami dan istri tersebut. Dengan demikian kesuburan

rahim seorang perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam
membentuk suatu rumah tangga.
Islam mengajarkan kepada para jejaka agar memilih
perempuan-perempuan yang subur. Sehingga kelak akan berbahagia
hidup bersama istri dan anak-anak yang bakal dilahirkannya. Bahkan
lebih baik lagi apabila memilih perempuan dari keturunan yang
banyak anak, agar kelak dari rahimnya akan lahir banyak anak pula.
Hal ini secara tegas diperintahkan oleh Rasulullah SAW dalam
sabdanya:
'- -- = ~ '~ Q- J-- Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '-
, = - ; ; - ; - ; - ' - - -' , - - ; - ' - ; ; - - - -' . ) --= - (
51

Artinya: Dari Maqal Ibnu Yasar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Nikahilah calon istri yang subur (banyak anak)
lagi penyayang, karena kelak pada hari kiamat aku akan
membanggakan jumlah kalian yang besar di hadapan umat-
umat yang lain. (HR. Ahmad)

Untuk mengetahui subur atau tidaknya calon istri, bisa
dilakukan dengan mengamati alur keturunannya dari atas. Jika ternyata
mereka itu rata-rata beranak banyak atau berjumlah cukup dan tidak
ada jalur yang mandul, niscaya lebih bisa diharapkan bahwa
perempuan calon istri tersebut pun memiliki gen (benih keturunan)
yang sama-sama subur.
52


51
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394
52
M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 49.

Dengan mempunyai istri yang memiliki kesuburan atau tidak
mandul, pasangan suami-istri tinggal menunggu waktu saja akan
kedatangan anak buah hati penguat suatu rumah tangga.
6) Sekufu (sepadan)
Yang dimaksud dengan kafaah di sini adalah kesamaan,
kesepadanan antara calon suami dan calon istri atau antara keluarga
dari calon istri dengan keluarga dari calon suami.
53

Untuk keterangan lebih lanjut tentang kafaah ini, akan dibahas
tersendiri.
7) Keringanan mas kawin (mahar)
Rasulullah SAW menegaskan bahwa nilai maskawin yang baik
adalah yang ringan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis,
- Q - Q - - ' ~ _ = - - - ' : - ' ~ ; = ~ - = _ - - - ~ - ; = - ,
-- ~ ' ~ , Q ~ - - ' . ) --= - (
54

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan
mas kawinnya (mahar). (HR. Ahmad)

Dari hadis tersebut, jelaslah bahwa maskawin (mahar) di
dalam suatu pernikahan tidak harus bernilai tinggi sehingga
memberatkan pihak pelamar (calon suami). Karena mahar bukanlah
merupakan tanda kemuliaan seseorang dan bukan pula jalan untuk

53
Al-Malyabury, Fathul Muin, h. 106.
54
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 494.

menaikkan derajat seseorang, tetapi untuk menyatakan kesungguhan
seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Mahar bukan
merupakan rukun pernikahan, bukan pula sebagai perjanjian jual-beli
atau untuk memperoleh seorang perempuan.
Adapun sikap yang ideal pada diri seorang perempuan untuk
membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah itu
adalah sebagai berikut:
1) Taat kepada Allah SWT
2) Taat kepada suami dalam hal tidak mendurhakai Allah
3) Pandai mengatur rumah tangga
4) Menerima pemberian suami, baik sedikit maupun banyak
5) Menjaga rahasia suami
6) Menyenangkan suami
7) Selalu meminta izin suami
8) Menjaga kehormatan diri
9) Menjaga harta suami
10) Lemah lembut dalam berbicara
11) Tidak berbicara dengan orang lain (bukan muhrimnya)
12) Tidak boros terhadap nafkah suami
13) Tidak cemburu yang tidak beralasan
14) Tidak berburuk sangka terhadap suami
15) Tidak bersentuhan bukan dengan suami

16) Tidak berwajah muram terhadap suami
17) Tidak mengubah ciptaan Allah.
55


C. Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah
Berangkat dari kesadaran yang utuh bahwa rumah tangga Islami baru akan
terbentuk dari pribadi-pribadi yang Islami, maka sesungguhnya elemen dasar
pembentuk keluarga sakinah harus diwujudkan terlebih dahulu. Adanya proses
perbaikan, pembinaan dan peningkatan kapasitas dan berbagai potensi kaum
muslimin merupakan langkah awal dan paling mendasar dari keseluruhan kerja
panjang ini.
56

Rumah tangga Islami senantiasa dilingkupi suasana sakinah, mawaddah
dan rahmah (perasaan tenang, cinta, dan kasih sayang) setiap harinya. Seluruh
anggota keluarga merasakan suasana surga di dalamnya. Baiti jannati!
Hal itu terjadi karena Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia, baik yang berkaitan dengan individu maupun kelompok, hubungan antar
kelompok masyarakat, bahkan antar negara. Demikian pula, dalam keluarga
terdapat peraturan-peraturan baik yang rinci maupun global, yang mengatur
individu maupun keseluruhannya sebagai satu kesatuan.
57


55
M. Fauzil Adhim, Saatnya untuk Menikah, cet.III, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 45
56
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya
dalam Masyarakat, cet.I, (Solo: Intermedia, 1997), h. 20.
57
Ibid., h. 21.

Adapun yang menjadi konsekuensi bagi tegaknya rumah tangga Islam, di
antaranya yaitu:
1. Didirikan atas landasan ibadah
Rumah tangga Islami harus didirikan dalam rangka beribadah kepada
Allah semata. Artinya, sejak proses memilih jodoh, landasannya haruslah
benar. Memilih pasangan hidup haruslah karena kebaikan agamanya, bukan
sekedar karena kecantikan, harta, maupun karena keturunannya.
Proses pernikahannya pun -sejak akad nikah hingga walimah- tetap
dalam rangka ibadah, dan jauh dari kemaksiatan. Sampai akhirnya, mereka
menempuh bahtera kehidupan dalam suasana taabudiyah (peribadahan) yang
jauh dari dominasi hawa nafsu.
4`4 e^UE= O}_^-
"^e"-4 ) p+lu4Og
^)g
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Az-Zariyat, 51:56)

Ketundukan sejak langkah-langkah awal mendirikan rumah tangga
setidaknya menjadi pemicu untuk tetap tunduk dalam langkah-langkah
selanjutnya. Kelak, jika terjadi permasalahan dalam rumah tangga, mereka
akan mudah menyelesaikannya, karena semua telah tunduk kepada peraturan
Allah dan Rasul-Nya.
58

2. Terjadi internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah

58
Ibid., h. 22.

Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah (menyeluruh) harus terjadi
dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka senantiasa komit
terhadap adab-adab Islam. Di sinilah peran keluarga sebagai benteng terkuat
dan filter terbaik di era glabalisasi yang mau tak mau harus dihadapi kaum
muslimin.
E_GC^4C -g~-.-
W-ONL4`-47 W-OU7=u1- O)
UpO- LO-.
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam
secara keseluruhan,.. (QS. Al-Baqarah, 2:208)

Untuk itu, rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan sarana-
sarana tarbiyah Islamiyah yang memadai, agar proses belajar, menyerap nilai
dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa
diwujudkan. Nilai-nilai internalisasi Islam ini harus berjalan secara terus-
menerus, bertahap, dan berkesinambungan.
59

3. Terdapat qudwah yang nyata
Diperlukan qudwah (keteladanan) yang nyata dari sekumpulan adab
Islam yang hendak diterapkan. Dalam hal ini, orang tua memiliki posisi dan
peran yang sangat penting. Sebelum memerintahkan kebaikan atau melarang
kemungkaran kepada anggota keluarga yang lain, pertama kali orang tua harus
memberikan keteladanan.

59
Ibid., h. 23.

4ON ^4` E4gN *.- p
W-O7O> 4` ]OUE^>
^@
Artinya : Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-
apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As-Shaff, 61:3)

Keteladanan semacam ini sangat diperlukan, sebab proses interaksi
anak-anak dengan orang tuanya dalam keluarga sangat dekat. Anak-anak akan
langsung mengetahui kondisi ideal yang diharapkan. Di sisi lain, pada saat
anak-anak masih belum dewasa, proses penyerapan nilai lebih tertekankan
pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-hari.
60

4. Penempatan posisi masing-masing anggota keluarga
Islam telah memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing
anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila hal itu ditepati, akan
mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan akhirat.
4 W-OE4E4-> 4` _ +.-
gO) 7_u4 _O>4N *u4 _
~E}@OUg _U14^ Og)`
W-O+:=OE-- W
g7.=Og)4Ug4 _U14^ 4]
4u=O4-^- _ W-OU4*c4
-.- }g` g)-;_ Ep) -.-
]~ ]7) 7_* V1)U4N
^@g
Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari
apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian

60
Ibid., h. 23.

dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (QS. An-Nisa, 4:32)

Masih banyak keluarga muslim yang belum bisa berbuat sesuai
dengan tuntutan Islam. Sumber bencana banyak yang berawal dari
ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Fungsi-fungsi tidak bisa berjalan
dengan normal, karena adanya katub-katub curahan perasaan yang tersumbat,
dan akhirnya meledak dalam bentuk penyimpangan-penyimpangan.
61

5. Terbiasa tolong-menolong dalam menegakkan Islam
Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah mudah, sangat banyak gangguan
dan godaannya. Jika semua anggota keluarga telah bisa menempatkan diri
secara tepat, maka taawun (tolong-menolong) dalam kebaikan ini akan lebih
mungkin terjadi.
W-O+^4E>4 O>4N
)O^- O4O^+--4 W 4
W-O+^4E> O>4N ^e"-
p4;N^-4 _
W-OE>-4 -.- W Ep) -.-
Cg- g^- ^g
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah, 5:2)







61
Ibid., h. 24.

6. Rumah harus kondusif bagi terlaksananya peraturan Islam
Rumah tangga Islami adalah rumah yang secara fisik kondusif bagi
terlaksananya hukum Islam. Adab-adab Islam dalam kehidupan rumah tangga
akan sulit diaplikasikan jika struktur bangunan rumah yang dimiliki tidak
mendukung. Adanya sekat antara ruang tidur, ruang tamu, dan dapur bahkan
adanya ruang khusus bagi anak perempuan yang terpisah dengan anak laki-
laki, dapat menghindarkan dari berbagai penyakit rohani dan penyakit sosial
yang merupakan ancaman yang serius.
62

7. Tercukupinya kebutuhan materi secara wajar
Demi mewujudkan kebaikan dalam rumah tangga Islami itu, tidak
lepas dari faktor biaya. Memang, materi bukanlah segala-galanya, bukan pula
merupakan tujuan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Akan tetapi, tanpa
materi, banyak hal yang tidak bisa didapatkan.
;u4--4 .EOg C4>-47
+.- 4O-O.- E4O=E- W
4 4> El4l14^ ;g`
4Ou^O- W

Artinya: Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS. Al-Qashash, 28:77)
Tindak lanjut dari landasan keenam di atas, dengan amat jelas
menggambarkan betapa keluarga muslim dituntut memiliki materi yang
cukup. Rumah yang luas dan kondusif pun juga dibutuhkan bagi upaya

62
Ibid., h. 25.

terbentuknya suasana Islami. Bahkan untuk sarana berlangsungnya proses
Tarbiyah Islamiyah dalam keluarga pun membutuhkan sejumlah materi.
Membuat perpustakaan kecil di rumah atau menghadirkan sarana-sarana
bermain Islami yang mencerdaskan anak juga memerlukan biaya. Belum lagi
untuk pendidikan yang bermutu. Semua tak bisa dilepaskan dari faktor
materi.
63

8. Menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam
Menyingkirkan dan menjauhkan berbagai hal di dalam rumah tangga
yang tidak sesuai dengan semangat ke-Islam-an harus dilakukan. Pada kasus-
kasus tertentu yang dapat ditolerir, benda-benda, hiasan, dan peralatan harus
dibuang atau dibatasi pemanfaatannya.
Berbagai macam benda keramat yang dipercaya bisa memberikan
kemanfaatan dan menolak kemudharatan, akan menjauhkan mereka dari
keridhaan Allah dan bertentangan dengan semangat Islam. Oleh karena itu,
hal itu perlu dihindari dan dibuang jauh-jauh.
Berbagai peralatan elektronik seperti radio, televisi, computer dengan
jaringan internet memiliki manfaat bagi pemiliknya, namun di sisi lain ada
bahaya yang siap mengancam. Maka keluarga harus memiliki pembatasan
yang jelas dan tegas dalam pemanfaatannya.
64

Og^4C 4g~-.-
W-ONL4`-47 W-EO~ 7=O^
7O)Uu-4 -4O4^

63
Ibid., h. 25.
64
Ibid., h. 26.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim, 66:6)

9. Berperan aktif dalam pembinaan masyarakat
Diperlukan sebuah upaya ishlahul mujtama (pembinaan masyarakat)
di sekitarnya menuju pemahaman yang benar tentang nilai-nilai Islam yang
shahih, untuk kemudian berusaha bersama-sama membina diri dan keluarga
sesuai dengan arahan Islam.
7vu1- _O) O):Ec El)4O
gOE'g4^)
gOgNOE^-4 gO4L=OO4^-
W _^gE_4 /-) "Og-
}=O;O _
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845]
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. (Qs. An-Nahl, 16:125)

Dalam era globalisasi informasi saat ini, kita tidak bisa hidup sendirian
terpisah dari masyarakat. Betatapun taatnya keluarga kita terhadap norma-
norma ilahiyah, apabila lingkungan tidak mendukung, pelarutan-pelarutan
nilai akan mudah terjadi, lebih-lebih pada anak-anak.
65

10. Terbentengi dari pengaruh lingkungan yang buruk
Dalam kondisi keluarga Islami yang tidak mampu memberikan nilai
kebaikan bagi masyarakat sekitar yang terlampau parah kerusakannya, maka
harus dilakukan upaya-upaya serius untuk membentengi anggota keluarga.

65
Ibid., h. 26.

Harus ada penyelamatan internal, agar tidak terlarut dan hanyut dalam suasana
jahili masyarakat di sekitarnya.
66

4-c .E =Og`q
}4`4 => ElE4` 4
W-O4;C> _ +O^^) E)
]OUEu> OO4 ^g 4
W-EONLO> O) 4g~-.-
W-OU N7OOE4- +OE4-
4`4 : }g)` p1 *.- ;}g`
47.41gu O ]+O=^L>
^@
Artinya: Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang Telah Taubat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu
cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang
penolongpun selain daripada Allah, Kemudian kamu tidak akan
diberi pertolongan. (QS. Hud, 11:112-113)

Demikianlah beberapa konsekuensi dasar dari sebuah rumah tangga yang
Islami. Apabila sepuluh hal tersebut terdapat dalam suatu rumah tangga, tentu dari
sana akan senantiasa memancar cahaya Islam ke lingkungan sekitarnya.
Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu
kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera, penuh dengan keamanan dan
ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat
dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa

66
Ibid., h. 27.

menenteramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai
cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.
67

Sebuah kehidupan yang sakinah, yang dibangun atas rasa cinta dan kasih
sayang, tentu sangat berarti dan bernilai dalam sebuah rumah tangga. Betapa
tidak, bagi seorang pria atau seorang wanita yang akan membangun sebuah rumah
tangga melalui tali pernikahan, pasti berharap dan bercita-cita bisa membentuk
sebuah rumah tangga yang sakinah, ataupun bagi yang telah menjalani kehidupan
berumah tangga senantiasa berupaya untuk meraih kehidupan yang sakinah
tersebut.
Hakikat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi
mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah SWT. Yakni sebuah
kehidupan yang diridhai Allah SWT dengan cara melakukan setiap apa yang
diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-
Nya. Hakikat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada
realisasi penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang
bertujuan mencari ridha Allah SWT. Karena memang hakikat ketenangan jiwa
(sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari
sisi Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Fath:
4O- -Og~-.- 44O^
OE4OOO- O) OU~
4-gLg`u^-

67
Ummu Ishaq Zulfa Husein al-Atsariyyah, Mahabbah Mawaddah dan Rahmah yang
diimpikan, artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari
http://hikmatun.wordpress.com/2007/10/22/mahabbah-mawaddah-dan-rahmah.html

W-1-E1uO=Og 4LEC) E7E`
jg+EC) *.4 1ONLN_
g4OEOO- ^O-4 _
4p~4 +.- O)U4N VOEO
^j
Artinya: Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-
orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping
keimanan mereka (yang Telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi[1394] dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana, (QS. Al-Fath, )
































BAB III
KAFAAH DALAM ISLAM

A. Pengertian Kafaah
Kafaah atau sekufu, menurut bahasa artinya setaraf, seimbang, atau
keserasian, serupa, sederajat, atau sebanding.
68
Kata kafaah diambil dari surat al-
Ikhlas ayat 4:
4 }74C N-. -O lEO
^j
Artinya: Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas, 112:4)

Yang dimaksud kafaah atau sekufu dalam pernikahan, menurut hukum
Islam yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.
69

Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.
70
Jadi
tekanan dalam kafaah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian,
terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, menurut pendapat
sebagian ulama, kalau kafaah diartikan persamaan dalam hal harta, atau
kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam
tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah SWT adalah sama.

68
M. Abdul Mujieb (et.al), Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 147.
69
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993), h. 76.
70
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7. Penerjemah M. Thalib, (Bandung: al-Maarif, 1981), h. 36.

Hanya ketakwaannya-lah yang membedakannya.
71
Persamaan kedudukan suami
dan istri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari
ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Demikian gambaran yang
diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafaah.
72

Mengenai kafaah, Allah SWT tidak menjelaskan secara gamblang
hukumnya. Namun, Dia menyinggung permasalahan ini dalam surat al-Ahzab
ayat 35:
Ep) --g)UO^-
geE)UO^-4
--gLg`u^-4
geE4g`u^-4
4-g-gL^-4
ge4gL^-4 ...
Artinya: Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
(QS. Al-Ahzab, 33:35)

Ayat di atas menyebut laki-laki dan perempuan dalam sifat-sifat yang
sama. Tanda athaf (huruf wau) di sini menunjukkan satu jenis yang berbeda yang
seolah-olah berarti keseluruhan.
73
Sebenarnya ayat ini bermaksud menekankan
peranan perempuan. Tetapi jika perempuan yang disebut, maka bisa jadi ada
kesan bahwa mereka tidak sama dengan laki-laki dalam hal keberagamaan. Untuk
menekankan persamaan itu, Allah menyebut juga laki-laki dalam rangkaian ayat

71
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, cet.I, jil.I, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999), h. 50.
72
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam. Penerjemah Agus Salim,
(Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 15.
73
Abul Qasim Mahmud Ibnu Umar al-Zamakhsyary al-Khawarizmy, al-Kasyaf an Haqaiq al-
Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Tawil, (Kairo: Musthafa al-Baby al-Halby wa Auladah, 1972),
h. 261.

di atas dan mempersamakannya dengan perempuan dalam segala amal
kebajikan.
74

Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada riwayat dari
Aisyah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
~-'- Q- ~-'- ')-- = _~ : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- = - , - - = - - ;
- = - ; ' - ' - = ; - - ) ; . ) - --= (
75

Artinya: Dari Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pilih-
pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan
nikahkanlah orang-orang yang sekufu. (HR. Ahmad)

Perihal kafaah (sebanding atau sepadan) ini ditujukan untuk menjaga
keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk ke-sah-annya.
Artinya sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kafaah ini.
Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun tidak sekufu antara suami-istri.
Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari
jodoh yang sepadan. Dengan arti lain, keduanya boleh membatalkan akad nikah
pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh menggugurkan haknya.
76


B. Pendapat Ulama tentang Kafaah
Islam adalah agama fitrah yang condong kepada kebenaran, Islam tidak
membuat aturan tentang kafaah tetapi manusialah yang menetapkannya. Karena
itulah terdapat perbedaan pendapat tentang hukum kafaah dan pelaksanaannya.

74
M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian dalam al-Quran,
vol.11, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 270.
75
Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, (t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.), h. 394.
76
Ibnu Masud dan Zainal Abidin S., Fiqh Mazhab SyafiI, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
h. 261.

Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, ulama berbeda
pendapat yang secara lengkap diuraikan oleh al-Jaziriy sebagai berikut:

Menurut ulama mazhab Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah adalah:
1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
2. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam.
3. Hirfah, yaitu status sosial dan profesi dalam kehidupan.
4. Huriyah atau kemerdekaan diri.
5. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam.
6. Kekayaan.
77

Menurut ulama Malikiyah kriteria kafaah hanyalah dua hal, yaitu:
1. Diyanah atau kualitas keberagamaan.
2. Tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik.
78

Menurut ulama Syafiiyyah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:
1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
2. Din atau kualitas keberagamaan.
3. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan
4. Hirfah atau status sosial dan profesi dalam kehidupan.
79

Menurut ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:

77
Abdur Rahman Ibn Muhammad Audh al-Jaziriy, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah,
Jil.I, Juz 1-5, (Kairo: Dar Ibn al-Haitsimiy, t.th.), h. 842.
78
Ibid., h. 844.
79
Ibid., h. 845.

1. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam;
2. Shanaah, yaitu usaha atau profesi;
3. Kekayaan;
4. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan
5. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
80

Adapun mengenai hukum kafaah dalam pernikahan, maka para ulama
berbeda pendapat, diantaranya:
Ibnu Hazm berpendapat
81
bahwa kafaah tidak harus dipertimbangkan
dalam pernikahan. Beliau mengatakan, Setiap muslim -sepanjang bukan seorang
pezina- berhak untuk menikahi perempuan muslimah yang manapun juga -
sepanjang perempuan itu bukan seorang pezina-. Beliau melanjutkan, Setiap
pemeluk Islam merupakan saudara satu sama lain. Seorang laki-laki yang
nasabnya tidak terpandang tidaklah dilarang menikahi puteri seorang khalifah dari
Bani Hasyim. Dan seorang muslim yang fasiq -sepanjang bukan pezina- adalah
sekufu dengan perempuan muslimah yang juga fasiq -sepanjang perempuan itu
bukan pezina-. Argumentasinya berdasarkan firman Allah SWT;
... W-O^ 4` =C 7
=}g)` g7.=Og)4- ...
Artinya: maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi
(QS. An-Nisaa, 4:3)


80
Ibid., h. 846.
81
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jil.II, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, t.th.), h. 143.

Rasulullah SAW pernah mengawinkan Zainab -Ummul Mukminin- dengan Zaid
bin Haritsah, bekas pelayan Rasul. Beliau juga pernah mengawinkan al-Miqdad
dengan Dhibaah binti Zubair bin Abdul Muthalib.
82

Ulama yang lain mengatakan bahwa kafaah harus dipertimbangkan, tetapi
hanya dalam hal keistiqamahan tadayyun dan akhlaq. Jadi bukanlah kafaah itu
dalam hal nasab, kekayaan, dan sebagainya. Sehingga boleh-boleh saja seorang
laki-laki shalih yang nasabnya tidak terpandang menikahi perempuan yang
nasabnya terpandang, atau seorang laki-laki miskin tetapi shalih dan bertaqwa
menikahi seorang perempuan yang kaya. Dalam hal ini, wali tidak boleh menolak
pernikahan tersebut kalau memang perempuan itu sudah rela dengan pernikahan
tersebut. Adapun seorang laki-laki yang tidak istiqamah dalam beragama, maka
dia tidaklah sekufu dengan seorang perempuan yang shalihah.
83

Allah SWT berfirman,
Og^4C +EEL- ^^)
7E4^UE= }g)` OO
_/6^q4 7E4UEE_4
6ON7- j*.4l~4
W-EO4OE4-g _ Ep)
74`4O- E4gN *.-
7^> _
Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. .. (QS. Al-Hujurat, 49:13)


82
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 17.
83
Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 144.

Rasulullah SAW bersabda,
'- _,-- ;'= _- Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- ' ; - Q , ~ ; -
= - - - ' - = ; - - ' - - ; - Q - - - - _ '- - ~ ' - - , - -' ; ' ~ ; = : ' - -
- ' : = ' ; - Q , ~ ; - = - - - ' - = ; - - - ' - , . ) - --,-- (
84

Artinya: Dari Abu Hatim al-Muznny berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Apabila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan budi
pekertinya maka kawinkanlah dia, kalau tidak nanti akan menimbulkan
fitnah dan kerusakan di dunia. Mereka menyela, Ya Rasulullah, apakah
meskipun(cacat)? Rasulullah SAW menjawab, Apabila datang
kepadamu orang yang engkau ridhai agama dan budi pekertinya, maka
nikahkanlah dia. Beliau mengucapkan demikian sampai tiga kali. (HR.
at-Tirmizi)

Rasulullah SAW pernah melamar Zainab binti Jahsy untuk beliau
nikahkan dengan Zaid ibn Haritsah. Tetapi, Zainab dan juga saudara laki-lakinya,
Abdullah, menolak lamaran itu, karena merasa nasabnya jauh lebih tinggi
sementara Zaid adalah seorang budak. Maka turunlah firman Allah SWT :
4`4 4p~ }g`ug 4
O4Lg`uN` -O) /=/~ +.-
N.Oc4O4 -O^` p
4pO74C N_ 7E4O=OgC^- ;}g`
g-@O^` }4`4 +u4C -.-
N.Oc4O4 ; E= 1U=
4LO)lG` ^@g
Artinya: Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan
Rasul-Nya menetapkan suatu perkara, memiliki pilihan dalam urusan
mereka itu. Barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka
dia telah sesat sesesat-sesatnya. (QS. Al-Ahzab, 33:36)

Sehingga, Abdullah menyerahkan semuanya kepada Nabi. Maka Nabi pun
menikahkan Zainab dengan Zaid.

84
Abu Isa Muhammad Ibn Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmizi, juz-2, (Beirut: Dar al-Fikr,
1994), h. 345

Imam Ali karramallahu wajhah- pernah ditanya tentang hukum kafaah
dalam pernikahan
85
, maka beliau pun berkata,
-- ' - ~ ) ; - ' - - , - - ) ; - = - - ) ; - , ~ - ) ; ' ~ - - ) ; ~ - - ; - - ; .
Artinya: Manusia itu sebagian kufu bagi lainnya, Arab-nya, Ajam-nya,
Quraisy-nya, dan Hasyimi-nya, apabila mereka telah masuk Islam dan
beriman.

Di antara golongan ini ialah para ulama Malikiyah. Menurut Malikiyah,
unsur yang sebaiknya sekufu antara suami dan istri adalah al-din atau al-hal saja.
Yang dimaksud dengan al-din adalah ketaatan menjalankan ajaran agama.
Artinya, sekalipun kedua suami-istri sama-sama beragama Islam, tetapi jika salah
satu di antara mereka orang yang taat menjalankan ajaran agama dan yang
satunya lagi orang yang fasiq, maka mereka tidak sekufu. Orang yang shalih
hanya sekufu dengan orang yang shalih pula, dan orang yang fasiq hanya sekufu
dengan orang yang fasiq pula. Sedangkan yang dimaksud dengan al-hal oleh
Malikiyah adalah tidak mempunyai cacat yang menyebabkan masing-masing
suami-istri memiliki hak khiyar dalam pernikahan, seperti: gila, lepra, dan
penyakit kelamin. Orang yang sehat tidak sekufu dengan orang yang cacat
kelamin, orang yang gila maupun orang yang lepra.
86

Imam Al-Syaukani berkata, Yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW
dengan mempertimbangkan kafaah adalah dalam hal din, sehingga seorang
muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, demikian pula seorang
perempuan yang menjaga diri tidak boleh menikah dengan seorang pendosa. Al-

85
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 144.
86
Ibid., h. 145.

Quran dan Hadis sama sekali tidak memaksudkan kafaah dengan makna selain
itu. Seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki pezina dan pendosa,
meskipun laki-laki itu nasabnya terpandang, kaya raya, dan sebagainya. Seorang
bekas budak boleh saja menikahi seorang perempuan yang bernasab terpandang
dan kaya raya, jika laki-laki itu muslim dan bertaqwa. Seorang laki-laki yang
bukan Quraisy boleh saja menikahi perempuan Quraisy. Seorang laki-laki yang
bukan Hasyimi boleh saja menikahi perempuan Hasyimi. Seorang laki-laki yang
miskin juga boleh menikahi perempuan yang kaya raya.
87

Sedangkan sebagian besar fuqaha juga berpendapat sama dengan para
ulama Malikiyah dan lain-lainnya sehingga seorang laki-laki fasiq tidaklah sekufu
dengan perempuan yang menjaga diri. Hanya saja, mereka tidak mencukupkan
kafaah sampai di situ saja, tetapi meluaskan arti dan cakupannya pada hal-hal
yang lain, antara lain :
Pertama, nasab atau keturunan. Maksudnya, orang Arab sekufu dengan
orang Arab yang lainnya. Orang Quraisy sekufu dengan orang Quraisy yang
lainnya. Orang Ajam tidak sekufu dengan orang Arab. Orang Arab umum tidak
sekufu dengan orang Arab Quraisy.
88

Rasulullah SAW bersabda,

87
Abu Abdillah Muhammad Ibn Abu Bakar Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Zaad al-Maad fi
Hadi Khair al-Ibad, juz-4, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1970), h. 28.
88
Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 146.

_~ ,-- Q- Q- '- '-)-- = : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- - , - '
- ~ ) ; - - - - - - - - - - - - '- ;)~- _-;-- '== 4-'= '- J=,- J= .
) --= - (
89

Artinya: Dari Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Orang
arab satu dengan lainnya sekufu, kabilah satu kufu dengan lainnya,
Mawali (campuran Arab dengan Ajam) sekufu dengan sesama Mawali,
laki-laki yang satu sekufu dengan lainnya, kecuali tukang bekam.
(HR. Ahmad)
Atsar yang diriwayatkan oleh Daruquthni, dari Umar ibn Al-Khaththab
r.a., beliau berkata,
'-'- Q- '- '~='- , Q--'- .
Artinya: Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang
terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu.

Para ulama Syafiiyah dan juga Hanafiyah mengakui sahnya
mempertimbangkan nasab dalam masalah kafaah dalam pengertian sebagaimana
tersebut diatas. Hanya saja di antara mereka terdapat perbedaan pendapat tentang
apakah setiap Quraisy sekufu dengan Hasyimi dan Muthallibi. Adapun ulama
Syafiiyah, mereka berpendapat bahwa tidak setiap laki-laki Quraisy sekufu
dengan perempuan Hasyimi dan Muthallibi.
90

Tetapi keutamaan ilmu mengalahkan keutamaan nasab dan segenap
keutamaan yang selainnya. Sehingga, seorang alim adalah sekufu dengan
perempuan yang manapun juga, apapun nasab perempuan itu, meskipun laki-laki
alim itu nasabnya tidak terpandang. Dan juga seorang alim sekufu dengan
perempuan manapun, meskipun perempuan itu kaya sementara laki-lakinya

89
Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 399.
90
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 146.

miskin, karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan kekayaan.
Sesungguhnya Nabi SAW telah menikahkan kedua puterinya dengan Utsman ibn
Affan. Beliau SAW juga telah menikahkan Abu al-Ash ibn al-Rabi dengan
Zainab, puteri beliau. Padahal Utsman dan Abu al-Ash adalah keturunan Abdul
Syams. Beliau SAW juga telah menikahkan Umar dengan puterinya, Ummu
Kaltsum, padahal Umar adalah seorang Adawi.
91

Firman Allah SWT,
;7O4C +.- 4g~-.-
W-ONL4`-47 7Lg`
4g~-.-4 W-O>q
=Ug^- eE_4OE1 _ ...
Artinya: Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan
orang-orang yang dikaruniai ilmu beberapa derajat.
(QS Al-Mujadalah, 58:11)
Demikian pula Allah SWT berfirman,
... ~ E- OO4-OEC 4g~-.-
4pO+;4C 4g~-.-4
4pOU;4C ...
Artinya: Katakan : Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dan orang-
orang yang tidak berilmu? (QS. Az-Zumar, 39:9)

Demikianlah pendapat para ulama Syafiiyah tentang nasab bagi orang-
orang Arab. Adapun bagi orang-orang Ajam, di antara mereka ada yang berkata,
Kafaah di antara mereka tidaklah diukur dengan nasab. Tetapi diriwayatkan
dari Imam Syafii dan kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa orang-orang Ajam
juga bertingkat-tingkat nasabnya (dan hal itu dipertimbangkan dalam masalah
kafaah), dikiaskan dengan hal yang serupa di kalangan orang-orang Arab.
92


91
Ibid., h. 147.
92
Ibid., h. 147.

Kedua, kemerdekaan. Maksudnya, laki-laki budak tidak sekufu dengan
perempuan merdeka. Laki-laki yang pernah menjadi budak tidak sekufu dengan
perempuan yang sama sekali tidak pernah menjadi budak. Demikian seterusnya.
93

Ketiga, beragama Islam. Ini hanya berlaku untuk selain orang Arab.
Yakni, apakah seseorang memiliki bapak, kakek, dan seterusnya yang beragama
Islam atau tidak. Adapun orang Arab maka tidak perlu memperhatikan masalah
ini, karena mereka sudah cukup dengan hanya mempertimbangkan masalah
nasab. Yang demikian ini karena mereka hanya berbangga-bangga dengan nasab,
bukan dengan kenyataan bahwa nenek moyangnya muslim atau bukan.
Keempat, profesi atau pekerjaan. Seorang perempuan dari suatu keluarga
yang pekerjaannya terhormat, tidak sekufu dengan laki-laki yang pekerjaannya
kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir sama tingkatnya antara satu dengan
yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan.
94

Kelima, kekayaan. Seorang laki-laki yang fakir tidak sekufu dengan
perempuan yang kaya. Argumentasi yang dipakai ialah hadits riwayat Samrah,
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
'- --= Q- ,-~ Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- - = ~ ~ - - ' - - ,
-- - ; . ) ='- Q- - (
95

Artinya: Dari Samrah Ibnu Jundub berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Kedudukan seseorang itu menurut hartanya dan kemuliaan itu
tergantung ketaqwaannya. (HR. Ibn Majah)

93
Ibid., h. 148.
94
Ibid., h. 149.
95
Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, juz-1, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1995), h. 1410.


Tetapi sebagian ulama menentang dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah
kafaah, dengan alasan bahwa kekayaan itu semu dan sementara, serta bukan
sesuatu yang dijadikan standar muruah.
96

Adapun sahabat-sahabat Abu Hanifah, mereka mempertimbangkan kekayaan
tetapi hanya sebatas kemampuan memberikan mahar yang diminta dan nafkah
yang cukup dan pantas. Jika seorang laki-laki tidak bisa memberikan salah satu
dari dua hal itu atau bahkan kedua-duanya, maka ia tidak sekufu dengan
perempuan yang ingin dinikahinya.
97

Adapun Abu Yusuf mengartikan kafaah dalam hal kekayaan hanya sebatas
kemampuan memberikan nafkah yang cukup dan pantas, tidak termasuk mahar.
Sebuah riwayat dari Imam Ahmad menyetujui dipertimbangkannya kekayaan
dalam masalah kafaah, karena seorang perempuan dari keluarga kaya akan
menderita hidup bersama laki-laki yang miskin, dan karena manusia menganggap
kemiskinan sebagai kekurangan (artinya orang yang kaya dimuliakan
sebagaimana dimuliakannya orang yang nasabnya terpandang)
98
.
Keenam, tidak cacat. Terbebasnya seorang laki-laki dari kekurangan atau
cacat fisik tidaklah termasuk dalam pengertian kafaah, karena para ulama sudah
sepakat akan sahnya pernikahan laki-laki yang memiliki kekurangan atau cacat
fisik. Hanya saja kekurangan atau cacat fisik pada laki-laki menyebabkan adanya

96
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 149.
97
Ibid., h. 150.
98
Ibid., h. 150.

hak pilih bagi perempuan (untuk menerima pernikahan atau menolaknya), tidak
bagi wali, karena perempuan sajalah yang akan menanggung masalah ini. Tetapi
wali memiliki hak untuk menolak pernikahan dengan laki-laki yang lumpuh,
berpenyakit lepra, atau gila.
Demikianlah pendapat-pendapat sekitar kafaah dari para ulama mazhab
dalam Islam. Ringkasnya ada tiga pendapat; pendapat yang ekstrim, longgar dan
moderat.
Pendapat pertama, dikemukakan oleh Ibnu Hazm. Beliau mengatakan
bahwa kafaah itu tidak ada.
Pendapat yang kedua, dikemukakan oleh Imam Syafii dan pengikutnya,
Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka mengatakan bahwa kafaah itu tidak hanya soal
agama tetapi juga menyangkut hal-hal lain seperti yang dijelaskan dimuka. Di
antara mereka bahkan ada yang berlebih-lebihan sampai ada yang menuntut
fasakh meskipun perempuan ridha.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang moderat, lebih adil dan sesuai
dengan Islam sebagai agama fitrah, yaitu bahwa kafaah itu hanya pada soal agama
dan akhlak bukan pada soal lainnya.
99


C. Kafaah dalam Pernikahan
Kafaah dalam pernikahan hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun
seorang perempuan tidaklah dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya.
Rasulullah SAW bersabda,

99
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 109.

'- -- = ~ _~;- _- Q- : ;-~ -- - = _-~ = ;~ '- - Q ' - - - -
= ' - - - ) ' = ~ Q - - - ) ' = ~ Q - - ) - ' ; ')--- , = ) - ' - = , .
) ;-~- '=-- - (
100

Artinya: Dari Abu Musa r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang memiliki jariyah, kemudian mengajarinya dengan
pengajaran yang baik, dan bersikap baik kepadanya, kemudian
memerdekakannya lalu menikahinya, maka dia mendapatkan dua
pahala. (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW merupakan sosok yang tidak ada seorang pun yang setara
dengannya, tetapi beliau menikahi perempuan bukan Arab, diantaranya Shafiyah
binti Huyay yang awalnya beragama Yahudi tetapi kemudian masuk Islam.
Pada umumnya, seorang perempuan yang tinggi derajatnya akan dijadikan
bahan pembicaraan jika dinikahi oleh laki-laki yang derajatnya lebih rendah.
Tetapi tidak sebaliknya. Jika ada seorang laki-laki yang tinggi derajatnya
kemudian menikahi perempuan yang lebih rendah derajatnya, maka tidak akan
ada yang membicarakannya.
101

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafaah merupakan hak bagi perempuan
dan para wali. Seorang wali tidak boleh menikahkan seorang perempuan dengan
laki-laki yang tidak sekufu, kecuali dengan kerelaan perempuan itu sendiri dan
juga para wali yang lainnya.
102
Jika seorang perempuan dinikahkan dengan laki-
laki yang tidak sekufu, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama

100
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami as-Shahih al-Mukhtashar, juz-
6, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), h. 899
101
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 151.
102
Abu Abdullah Muhammad Ibnu Idris as-SyafiI, al-Umm, juz-5, (Beirut: Dar al-Fikr,
1983), h.16.

mengatakan bahwa pernikahan itu bathil (tidak sah). Pendapat kedua mengatakan
bahwa pernikahan itu tetap sah tetapi perempuan itu kemudian boleh memilih
antara melanjutkan pernikahan atau menuntut cerai.
Yang paling tepat ialah pendapat yang mengatakan bahwa kafaah tidak
termasuk syarat sahnya akad nikah. Sebab, kafaah merupakan hak bagi seorang
wanita dan juga walinya, sehingga keduanya bisa saja menggugurkannya (tidak
mengambilnya).
Kafaah dinilai pada waktu terjadinya akad nikah. Jika pada saat akad
nikah, seorang laki-laki sudah sekufu tetapi sesudah itu kehilangan sifat-sifat
kafaah nya maka akad nikah tetap sah sebagaimana awalnya, istri ataupun
walinya tidak boleh menuntut cerai suaminya dengan alasan tidak sekufu. Karena
sesungguhnya masa itu berputar, dan manusia itu tidak bisa dijamin selalu dalam
keadaan yang sama. Dalam hal ini hendaknya sang isteri menerima kenyataan,
bersabar, dan bertaqwa, karena yang demikian itu termasuk keutamaan.
103

Masalah kafaah dalam hukum positif Indonesia tidak dibahas secara
eksplisit. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
menyinggung masalah kafaah ini, sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebut kafaah hanya dalam masalah agama saja. Sebagaimana pasal 61 KHI:
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali
tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.

103
Ibid., h. 152.

Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam tidak membahas masalah kafaah secara tegas, namun
secara umum ada 2 hal yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu: perbedaan
agama dan usia pernikahan.
1. Perbedaan Agama
Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian juga di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar
pemeluk agama Islam dengan selain Islam- ke dalam bab larangan
perkawinan.
Pasal 40 point (c) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita
karena keadaan tertentu: c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam
Juga pasal 44:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.
Di dalam kitab-kitab fiqh umumnya, perkawinan antar pemeluk agama
ini masih dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki muslim dengan wanita
kitabiyah, yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama
Yahudi dan Nasrani.
Apabila diperhatikan ketentuan hukum dalam pasal 40 (c) dan 44
Kompilasi Hukum Islam, bahwa realitasnya perkawinan antar pemeluk agama

yang berbeda, lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa
hal prinsipil yang berbeda. Memang ada, pasangan perkawinan yang berbeda
agama dapat rukun dan dapat mempertahankan ikatan perkawinannya. Yang
sedikit terakhir ini tentu saja dalam pembinaan hukum belum cukup dijadikan
acuan, kecuali hanya merupakan eksepsi atau pengecualian.
104

Para ulama di Indonesia, termasuk di dalamnya Majelis Ulama
Indonesia, tidak memperbolehkan perkawinan antar pemeluk agama. Firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 21 menyatakan:
4 W-OL>
ge)O;^- _/4EO
O}g`uNC _ O4`V4 NOE4g`uG`
OOE= }g)` lO)O;G` O4
7u-4:E;N 4 W-OL>
4-g)O;^- _/4EO
W-ONLg`uNC _ /lE4
v}g`uG` OOE= }g)` l)O;G`
O4 74:E;N
Elj^q 4pONN;4C O)
jOEL- W +.-4 W-EONN;4C
O) gOE4E^-
jE4Og^E^-4 gOg^^O))
W ))-4lNC4 gOg-4C-47
+EE4Ug _^UE
4pNO-O4-4C ^gg
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke

104
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), h. 345.

surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah, 2:221)

Dalam melihat pasal 40 (c) dan 44 Kompilasi Hukum Islam yang perlu
diperhatikan adalah bunyi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 2 ayat (1) bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi
kalau Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi
hukum dalam menafsirkan ketentuan al-Quran, yang bersifat kolektif, ia
merupakan hukum yang harus dipedomi bagi umat Islam Indonesia. Walhasil,
perkawinan antar pemeluk agama tidak diperbolehkan secara hukum, karena
termasuk suatu bentuk halangan perkawinan.
105

2. Usia Pernikahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7
ayat (1) menyatakan bahwa Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang
diletakkan Undang-Undang Perkawinan, bahwa calon suami-istri harus telah
matang jiwa-raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik
tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

105
Ibid., h. 348.

Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang
masih di bawah umur.
Masalah penentuan umur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun
dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha
pembaharuan pemikiran fiqh masa lalu. Namun demikian, apabila dilacak
referensi syarinya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam
surat al-Nisa ayat 9:
=uC4O^4 -g~-.- O
W-O74O> ;}g` )_gUE=
LO+CjOO E W-O~
)_^1U4 W-O+-4OU -.-
W-O7O4O^4 LO~ -CgEc
^_
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. (QS. Al-Nisa, 4:9)

Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung
menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda di
bawah ketentuan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan- akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan
kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan berbagai pihak,
rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan
dengan misi dan tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya ketenteraman dalam
rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit

terwujud, apabila masing-masing mempelai belum matang jiwa dan raganya.
Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di
dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi liku-
liku dan badai rumah tangga.
Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada
metode maslahah mursalah. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihady,
yang kebenarannya yang relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku.
Artinya, apabila karena sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang
usianya di bawah 21 tahun atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan
16 tahun untuk wanita- Undang-undang tetap memberi jalan keluar.
106
Pasal 7
ayat (2) menegaskan: Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubungan dengan
itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi
pria maupun wanita.
107
(Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan
nomor 4 huruf d)
Pertimbangan problem kependudukan, seperti diungkapkan dalam
penjelasan Undang-undang Perkawinan, turut mempengaruhi perumusan

106
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal untuk Kawin; Sebuah Ikhtiar mewujudkan Keluarga
Sakinah, cet.II, (Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2006), h. 66
107
Ibid., h. 74.

batas umur calon mempelai tersebut. Ini dimaksudkan untuk menjawab
tantangan dan kebutuhan masyarakat sejalan dengan tujuan hukum Islam itu
sendiri.
Pada prinsipnya, perkawinan di bawah umur itu juga tidak dibenarkan
oleh ajaran agama Islam karena sangat dikhawatirkan akan menyia-nyiakan
tanggung jawab yang cukup besar yaitu masalah rumah tangga, di mana
seorang suami atau istri akan ditanya kelak di hari akhir.
108

Sedangkan hubungan usia pernikahan ini dengan masalah kafaah
adalah bahwa kafaah disyaratkan bagi laki-laki, artinya seorang laki-laki harus
sama umurnya atau lebih daripada calon istrinya. Sedangkan dalam hukum
positif diatur batasan minimal usia pernikahan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki
dan 16 tahun untuk perempuan, sehingga bisa bisa dikiaskan sebagai unsur
kafaah.
















108
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah, cet.I, (Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 15.



BAB IV
URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA

A. Permasalahan dalam Pernikahan
1. Halangan Pernikahan
Tidak sedikit dari para pemuda dan pemudi yang telah siap berumah
tangga tertunda pernikahannya disebabkan adanya halangan dan rintangan.
Rintangan-rintangan itulah yang mengakibatkan timbulnya masalah
banyaknya laki-laki membujang dan menjadikan perempuan sebagai perawan
tua.
Di antara halangan dan rintangan itu adalah:
a. Mahar yang terlalu tinggi
Hendaklah dipahami bahwa perkawinan itu adalah sunnah Allah
dan Rasul-Nya bukan arena dan medan perniagaan, yang menuntut syarat
dan harga yang terlalu tinggi. Bukan pula mengikuti adat-istiadat yang
berlaku yang menetapkan berbagai bentuk aturan yang tidak diajarkan
oleh syariat Islam. Allah SWT berfirman:
W-O^4 _OE4C-
7Lg` 4-)UO-4 ;}g`
7g14:gN :j*.4`)4 _
p) W-O+^O74C 47.-4O
N)_g4^NC +.- }g` g)-;_
+.-4 77c4 _1)U4 ^@g

Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di
antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui. (QS. An-Nur, 24:32)

Rasulullah SAW bersabda:
'- -- = ~ ,, _- Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- = ' ;
- Q , ~ ; - = - - - , = ; - - ' - - ; - Q - - - - - _ ' - ~ ' - , .
) --,-- - (
109

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., bersabda Rasulullah SAW : Apabila
datang kepadamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya
(untuk meminang), maka terimalah pinangannya. Jika tidak,
maka akan berlakulah fitnah dan kerusakan di muka bumi.
(HR. Tirmizi)

- Q - Q - - ' ~ _ = - - - ' : - ' ~ ; = ~ - = _ - - - ~ - ; = - ,
-- ~ ' ~ , Q ~ - - ' . ) --= - (
110

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan mas
kawinnya (mahar). (HR. Ahmad)

Berdasarkan keterangan di atas, maka seorang muslim hendaknya
mengikuti sunnah Allah dan Rasul-Nya dalam memudahkan dan
meringankan mahar pernikahan serta memilih orang yang beriman serta
shalih dan berakhlak mulia sebagai pasangan hidup.
111



109
Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan al-Tirmizi, juz-2, (Beirut: Dar al-Fikr,
1994), h. 345.
110
Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, (t.t.: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th.), h. 494.
111
Abu Muhammad Jibril Abdurrahman, Karakteristik Lelaki Shalih, cet.I, (Yogyakarta:
Wihdah Press, 1999), h. 371.


b. Biaya pernikahan terlalu berat
Penghalang pernikahan yang selanjutnya ialah beban pernikahan
itu sendiri yang terlalu besar dan tinggi, berupa biaya-biaya pembelanjaan
majelis akad nikah, kenduri pernikahan, hadiah-hadiah pertunangan,
perlengkapan pengantin, dan lain-lain. Inilah di antara keberatan yang
harus ditanggung pihak laki-laki, sehingga tidak ada calon yang mampu
melaksanakannya melainkan mereka yang memiliki kemampuan saja.
Tidak sedikit dari kalangan pemuda dan pemudi yang berhasrat
menyelamatkan diri dari tergelincir ke lembah kerusakan dan
kemaksiatan, yaitu dengan melaksanakan pernikahan yang sah, sesuai
dengan syariat Allah SWT. Tetapi melihat biaya yang sangat tinggi
menjadikan dinding dan tembok penghalang keinginan mereka untuk
melakukan perbuatan yang mulia, yang diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Maka hendaklah disadari bahwa Islam tidak mensyariatkan
pembelanjaan pada waktu melakukan akad dan majelis pernikahan kecuali
memberi mahar (mas kawin) bagi wanita yang dinikahi dan mengadakan
walimah yang sederhana untuk menyambut tamu dan sahabat, tetangga
dan keluarga. Adanya hadiah dan pembelanjaan lain, yang memberatkan

itu bukanlah kewajiban, itu terpulang kepada pihak laki-laki, menurut
kemampuannya.
112

c. Halangan studi dan pendidikan
Sebagian besar para pemuda dan pemudi telah menjadikan ini
sebagai alasan untuk tidak melaksanakan pernikahan dahulu. Alasannya
antara lain adalah:
1) Masalah ekonomi dan keuangan
Persoalan rezeki, umur dan jodoh adalah termasuk perkara yang ghaib.
Meskipun demikian, usaha dan ikhtiar mencari rizki adalah
merupakan suatu kewajiban bagi setiap individu, dan takdir itu tidak
meniadakan usaha dan ikhtiar. Sementara itu adalah termasuk ibadah,
apabila sesorang pemuda dan pemudi telah berhasrat melakukan
pernikahan atas dasar iman dan ingin menyelamatkan diri dari tercebur
ke dalam jurang kemaksiatan dan atas dasar takwa, maka segala
persoalan akan dapat teratasi.
113

Firman Allah SWT:
}4`4 -+-4C -.- E^_
N-. ~}4O^C` ^g
+O^~NeO4C4 ;}g` +^OEO
CUO4^4 _
Artinya: Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya
rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya...

112
Ibid., h. 371.
113
Ibid., h. 379.


(QS. At-Thalak, 65:2-3)

2) Masalah status sosial (titel)
Tidak sedikit pemuda-pemudi yang jiwanya telah terbius oleh penyakit
gila titel, kedudukan, dan kehormatan, demikian juga sebagian orang
tua. Mereka menganggap titel adalah segala-galanya yang dapat
memudahkan segala urusan seperti mencari pekerjaan, mengangkat
derajat, dan dihormati orang.
Sesungguhnya nilai seseorang itu bukan terletak pada status dan
titelnya. Bukan pula pada pangkat dan pekerjaannya. Juga bukan pada
kekayaan, kehebatan, dan kepopulerannya. Karena prestasi keduniaan
itu akan sirna dan lenyap suatu saat nanti.
114

3) Masalah pernikahan yang akan mengganggu pendidikan
Alasan ini telah menjadi fenomena yang umum di tengah masyarakat
pada saat ini, bahwa pernikahan itu akan mengganggu studi karena
pendidikan tidak akan sukses bagi mereka yang terpaksa memikirkan
persoalan rumah tangga sekaligus sewaktu belajar. Namun alasan ini
tidak berdasar sekali melainkan pada mereka yang tidak meyakini
akan kemampuan di dalam menyeimbangkan dua tugas ini dalam satu
waktu yang sama. Bahkan pernikahan merupakan faktor yang

114
Ibid., h. 379.

terpenting yang melahirkan suasana yang sesuai bagi seorang pelajar.
Dan juga dapat menyelamatkan dari pemikiran yang sia-sia.
115

d. Bujukan hawa nafsu yang bebas
Para pemuda sekarang ini banyak yang tidak berkeinginan untuk
melaksanakan pernikahan, seakan-akan ia tidak pernah memerlukannya
karena dipengaruhi oleh corak kehidupan yang penuh kebebasan.
Bagaimana mungkin para pemuda ini ingin menikah sedangkan mereka
akan mendapatkan dengan mudah sekali tempat untuk menghilangkan
kehausan seks mereka. Bagaimana mungkin para pemuda ini memikirkan
pernikahan sedangkan jalan untuk melakukan perbuatan yang keji
terbentang luas di hadapan mereka.
e. Lemahnya semangat keagamaan
Terbuka lebarnya tempat-tempat kemaksiatan, meluasnya
pergaulan antara pemuda-pemuda dan gadis-gadis, dan merajalelanya
perzinaan yang mana telah memberi peluang bagi kebanyakan pemuda
mendapatkan keinginan nafsunya dan menyalurkan nafsu seksnya.
Keadaan ini menyebabkan mereka memandang tidak perlunya
melaksanakan pernikahan itu. Tetapi mereka tidak akan terjerumus ke
dalam kekejian itu dan tidak menukarkan kesucian dengan kehinaan
melainkan karena pemuda itu telah jauh dari agamanya. Inilah yang

115
Departemen Agama RI, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Dirjen Bimmas
dan Haji, 2001), h. 142.

merupakan faktor terpenting yang mendorong sebagian besar dari mereka
memilih cara hidup yang penuh noda dan dosa, terbenam di dalam
kekejian dan kehinaan.
116

Sebaliknya, bagi para pemuda yang mempunyai perasaan dan
semangat beragama (keimanan yang mendalam), maka tentulah mereka
tidak akan mendekati perbuatan-perbuatan maksiat itu. Dan mereka akan
senantiasa muraqabah yang berhubungan dengan Allah SWT, dan karena
itulah mereka terdinding dari perbuatan-perbuatan yang merusak dan
menghancurkan.
Inilah faktor yang menyekat para pemuda untuk memiliki
perempuan yang halal di dalam hidup mereka, sebagai penenang jiwanya,
menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan yang akan menyelamatkan
akhlaknya. Tetapi bagi para pemuda yang beriman, maka faktor yang
paling berpengaruh dan penghalang baginya untuk melaksanakan
pernikahan adalah karena tingginya mahar, dan biaya pernikahan,
disamping kurang siapnya jiwa mereka yang tidak meyakini akan
kemampuan membimbing sebuah keluarga di dalam rumah tangga.

2. Krisis Rumah Tangga

116
Abu Muhammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 386.

Banyak rumah tangga yang dibangun kaum muslimin tidak mampu
mempertahankan keharmonisannya. Rumah tangga tak ubahnya seperti
neraka, tempat yang paling tidak menyenangkan bagi penghuninya.
Di antara krisis yang terjadi dalam rumah tangga adalah ketegangan
hubungan atau konflik suami-istri, konflik orang tua dengan anak, atau
konflik dengan mertua, dan bahkan konflik sesama anak. Ketegangan suami-
istri merupakan krisis yang sangat mendasar dan harus segera mendapat
penyelesaian, dan mengupayakan pencegahan sebelum terjadinya konflik.
Adakalanya, suami terlalu sibuk dengan berbagai urusannya di luar
rumah dan tidak mau memberikan empati (perhatian) terhadap kesibukan istri.
Ia hanya ingin memberikan hak-hak istri berupa pemenuhan materi dan
kebutuhan seksual. Ia lupa bahwa yang diperlukan istri lebih dari itu. Bukan
hanya sekedar terpenuhinya materi dan tersalurkannya kebutuhan biologis,
namun lebih dari itu, istri memerlukan perhatian, kasih sayang, dan kemesraan
hubungan.
Adakalanya istri terlalu banyak menuntut. Berbagai pemenuhan
material dimintanya pada suami, sampai di luar batas kemampuan suami
untuk menanggungnya. Istri menjadi uring-uringan dan bersikap tidak hormat
lagi kepada suami. Tak sedikit yang kemudian memiliki sikap permusuhan
secara diam-diam atau terang-terangan.
117


117
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya
dalam Masyarakat, cet.I, (Solo: Intermedia, 1997), h. 184.

Permasalahan lain yang bisa terjadi dalam sebuah keluarga adalah
konflik antara suami-istri di satu pihak dengan mertua di pihak yang lain.
Kejadian ini lazim terjadi pada keluarga yang tinggal di rumah mertua. Hal ini
memberi peluang munculnya ketidakcocokan dalam berbagai bidang
kehidupan, dari masalah kecil hingga masalah prinsip.
118

Sebuah kapal memang tidak bisa dipimpin oleh dua orang nahkoda.
Sebuah rumah tangga seharusnya dikepalai oleh seorang suami. Dalam
kondisi seperti di atas, tentulah mau tidak mau terdapat lebih dari satu kepala
keluarga. Hal ini mengakibatkan tidak jelasnya mekanisme kerja rumah
tangga. Ayah mertua merasa mempunyai hak mengatur seluruh anggota
rumah tangga, demikian pun sang menantu merasa mempunyai kebebasan dan
otoritas.
Konflik yang sering terjadi adalah masalah ekonomi keluarga,
pendidikan anak-anak, pemanfaatan fasilitas, dan bahkan masalah urusan
dapur. Jika tidak segera diselesaikan dengan bijak, ketegangan akan bisa
memuncak menjadi perasaan saling membenci dan memusuhi. Untuk itu,
pilihan tinggal di rumah mertua harus dipertimbangkan dengan masak dan
memperhatikan banyak aspek.
119

Modal saling pengertian pada awalnya memang bisa menjauhkan
konflik. Akan tetapi, ini tidak akan bisa diandalkan untuk jangka panjang.
Suami-istri pada sebuah rumah tangga Islami perlu mengenalkan diri secara

118
Ibid., h. 185.
119
Ibid., h. 187.

arif pada mertua, meliputi standar hidup, tolok ukur keberhasilan, pola hidup
dan sebagainya. Selain itu, kesepakatan dalam hal-hal yang prinsip perlu
dilakukan sejak awal. Perlu juga adanya pembatasan wilayah kewenangan
yang jelas dan tegas antara dua keluarga tersebut.
120

Apabila benih-benih konflik mulai kelihatan, rumah tangga Islami
harus segera mengambil jalan keluar dan langkah antisipatif. Permasalahan
tidak akan selesai dengan dibiarkan bergulir. Lebih baik mengantisipasi dari
awal daripada membiarkan permasalahannya menjadi besar baru diupayakan
penyelesaian. Pengambil inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan bisa
datang dari pihak mana pun, baik dari keluarga mertua maupun dari anak dan
menantu. Lebih cepat permasalahan diselesaikan, akan lebih baik hasilnya.
121

Oleh karena itu, semua permasalahan yang ada dalam rumah tangga
harus ditanggapi dengan bijaksana sambil terus berusaha mencari jalan keluar
yang terbaik untuk menyelesaikannya.

B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga
Hampir tidak didapati sebuah keluarga yang terbebas dari segala macam
permasalahan dan perselisihan. Namun, setiap keluarga berbeda-beda persoalan
dan permasalahan yang dihadapi. Islam sangat menganjurkan suami-istri untuk
mengatasi berbagai macam persoalan yang mendera mereka berdua dan

120
Ibid., h. 190.
121
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga. Penerjemah M. Abdul Ghoffar, cet.V, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 177.

memecahkan segala aral melintang yang menghadang bahtera mereka, dan Islam
juga membimbing masing-masing dari suami-istri agar menempuh solusi terbaik,
sebagaimana juga menganjurkan agar sesegera mungkin menempuh solusi terbaik
bila muncul benih-benih perpecahan dan perbedaan persepsi.
122

Berbagai ketegangan dalam kehidupan suami-istri, bisa jadi memang
termasuk bagian dari bumbu kehidupan keluarga. Akan tetapi, bila bumbu itu
berlebihan maka masakan pun tak enak dan bisa jadi malah mengancam keutuhan
keluarga. Oleh karena itu, sekalipun pada beberapa kondisi tertentu ketegangan
masih bisa dinilai sebagai sesuatu yang wajar, tetap harus diwaspadai.
Pengabaian atas sikap memperhatikan masalah-masalah ketegangan
suami-istri semacam itu pada hakekatnya hanyalah menunda klimaks dari konflik
yang terus terbangun. Klimaks dari konflik yang berkepanjangan seringkali tidak
mengenakkan. Ia akan membawa rasa sakit dan trauma pada seluruh pihak:
suami, istri serta anak-anak.
Untuk mencegah munculnya konflik yang berkepanjangan dan mengatasi
berbagai ketegangan dalam kehidupan suami-istri, beberapa hal berikut layak
diperhatikan:
1. Mengembalikan seluruh masalah pada aturan Allah dan Rasul-Nya
Di sinilah letak pentingnya memulai kehidupan keluarga dengan niat
ibadah, berangkat karena perintah serta tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika
ada masalah, maka kembalinya kepada pihak yang memberi perintah dan
tuntunan. Berbeda dengan mereka yang tidak meniatkan pernikahan sebagai

122
Abdul Azhim, al-Wajiz, h. 607.

ibadah, tetapi sekedar pemuasan nafsu atau sekedar tuntutan kewajaran hidup
belaka. Mereka ini sulit kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, karena
berangkatnya tidak dari keduanya.
Allah SWT telah berfirman:
Og^4C 4g~-.-
W-EON44`-47 W-ONOgC -.-
W-ONOgC4 4OcO-
Ojq4 jO- 7Lg` W
p) u7+;N4O4L> O) 7/*
+1NO O) *.-
OcO-4 p) u7+47
4pONLg`u> *.)
gO4O^-4 @O=E- ...
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah pada Allah (Al-quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu beriman pada Allah dan hari kemudian...
(QS. An-Nisa, 4:59)
Hendaknya keluarga muslim menyadari bahwa permasalahan tidak
bisa selesai hanya dengan pertengkaran dan kekerasan. Cara-cara semacam itu
hanya akan memperuncing dan memanaskan situasi saja. Hanya dengan cara
mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, segala permasalahan bisa
diselesaikan secara proporsional.
123

2. Mendahulukan menunaikan kewajiban daripada menuntut hak
Salah satu penyebab ketegangan adalah apabila suami dan istri
berlomba menuntut hak masing-masing dengan melalaikan kewajibannya.

123
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami, h. 185.

Padahal, saling menuntut hak itu sesungguhnya perbuatan yang tidak
bertanggung jawab.
Sikap menuntut hak semacam itu kadang justru semakin
memperuncing permasalahan suami-istri. Apalagi ketika diberi bumbu-bumbu
egoistis (sikap ingin menang sendiri) dan tak mau bersikap empati pada pihak
lain, maka yang terjadi hanyalah menambah sakit hati dan rasa dendam.
Islam telah menetapkan batas-batas hak serta kewajiban dengan adil
dan bijaksana. Jika semua pihak menetapi kewajiban-kewajibannya, tentu
akan tertunaikan pula hak dengan sendirinya. Apabila suami telah
menunaikan kewajiban terhadap istri dengan sebaik-baiknya, maka hak istri
telah tertunaikan. Demikian juga apabila istri telah menunaikan kewajiban
terhadap suami, maka hak suami pun telah tertunaikan. Suasana harmonis
akan lebih mudah dibangun dalam kondisi seperti ini.
124

3. Memperhatikan masalah-masalah yang dianggap kecil
Salah satu bagian kemesraan dalam keluarga, ia dibangun di atas
verbalitas (kata-kata). Istri memerlukan ungkapan verbal atas kasih sayang
dan perhatian suami terhadapnya. Hal semacam ini sering terbaikan oleh para
suami. Suami merasa menunaikan kewajiban dengan baik apabila telah
memberikan kecukupan materi.
Ungkapan kecil, seperti terima kasih, jazakallah, atau thank you
memang sebuah verbalitas dari keinginan menyampaikan penghargaan.

124
Ibid., h. 186.

Tetapi, walaupun verbal kalimat itu penting diucapkan oleh suami maupun
istri. Demikian juga ucapan maaf, afwan, atau sorry dan sejenisnya,
telah dianggap remeh oleh suami-istri. Sebaiknya, suami maupun istri
meringankan lisan untuk mengungkapkan penghargaan terhadap penunaian
kewajiban masing-masing pihak. Hal ini, insyaAllah akan menambah kadar
keinginan untuk berbuat baik lagi.
125

Hal kecil lainnya adalah saling memberi hadiah secara berkala, pada
moment-moment tertentu, atau membawakan istri oleh-oleh saat suami datang
dari bepergian jauh. Peristiwa semacam itu sangat menyenangkan istri yang
merasa mendapat perhatian istimewa dari suami.
126

4. Berduaan, mengasingkan diri dari rutinitas
Rutinitas pekerjaan sering membuat jenuh. Istri yang banyak berada di
rumah merasa jenuh oleh dunia sempit yang mengurungnya, dari satu ruang
ke ruang yang lain. Demikian juga suami, ia jenuh oleh rutinitas bekerja
mencari kehidupan, sehingga kurang memperhatikan urusan rumah tangga.
Sesekali, suami-istri perlu pergi dari rumah berdua saja, meninggalkan
anak-anak bersama pembantu rumah tangga atau anggota keluarga yang lain
di rumah. Suami-istri bisa saling melakukan evaluasi berduaan terhadap
perjalanan rumah tangga selama ini, tanpa diganggu keributan anak-anak.
Perlu suasana-suasana baru yang sejuk dan nyaman, terbebas dari suasana

125
Ibid., h. 187.
126
Depag RI, Pedoman Konselor, h. 246.

rutinitas yang membosankan. Semua perasaan bisa diungkapkan. Dengan cara
itu diharapkan pula akan terbentuk ingatan masa lalu waktu pengantin baru.
Indahnya malam pertama, masa-masa perkenalan di hari-hari pertama
pernikahan yang mengesankan, ataupun bersama mengingat peristiwa-
peristiwa masa lalu yang membangkitkan kecintaan dan kesenangan.
127

Dalam suasana seperti itu, suami-istri akan lebih dingin dalam
menyelesaikan masalah, sehingga jika ada konflik tak akan berkepanjangan.
5. Jangan senantiasa berpikir hitam-putih
Setiap masalah bisa didudukkan secara proporsional. Ada pihak yang
salah dan ada pula pihak yang benar. Akan tetapi, untuk menyelesaikan
perselisihan suami-istri, tidak mesti dilihat dalam konteks benar-salah
semacam itu.
Saling mendahului minta maaf merupakan langkah yang terbaik untuk
meredakan ketegangan, daripada memulai dengan berpikir siapa yang
bersalah. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan akibat tudingan kesalahan
tersebut maka akan memperparah sakit hati yang bersangkutan.
Memang, dalam masalah tertentu yang berkaitan dengan hukum perlu
kejelasan yang benar dan yang salah, untuk mendapatkan penyelesaikan
secara tegas. Namun, dalam berbagai masalah keseharian (dalam hidup rumah
tangga), tidak terlalu penting mencari siapa benar dan siapa salah. Saling

127
Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami, h. 188.

mendahului meminta maaf jauh lebih utama, untuk menjaga keharmonisan
hubungan suami-istri.
128

6. Berbohong, jika memang diperlukan untuk ishlah
Pada dasarnya, berbohong adalah perbuatan dosa dan terlarang. Sikap
dasar setiap muslim adalah jujur, terpercaya, dan tidak berdusta. Akan tetapi,
Islam memberikan peluang untuk menyimpang dari aturan dasar itu,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
~-'- -, ~-- '-~ Q- : ;-~ --- = _-~ = ;~ '- : _- V --- J=V
>- : ')-~ ,-- ,- J=,- -= , ,=- _- --- , - Q-- _-~-- --- '- .
) --,-- - (
129

Artinya : Dari Asma binti Yazid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Tidak halal berdusta kecuali dalam tiga perkara yaitu seorang
bercerita kepada istrinya untuk menyenangkannya, berdusta dalam
peperangan dan berdusta untuk mendamaikan antara orang yang
bertikai. (HR. at-Tirmizi)

Sekalipun berbohong antara suami dan istri diperbolehkan, tentu saja
itu adalah sikap pengecualian. Nilai kejujuran dan saling percaya harus tetap
dipegang teguh. Bohong hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, untuk
melakukan ishlah (perbaikan) dan membuat suasana harmonis dalam rumah
tangga, tetapi tidak untuk saling menipu, mendustai, dan mengkhianati.
130

7. Mendatangkan pihak ketiga yang dipercaya keduanya

128
Ibid., h. 189.
129
Imam al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Termizi, Sunan al-Termizi,
Penerjemah Moh. Zuhri, Jil.III, (Semarang : CV Asy Syifa, 1992), h. 464.
130
Ibid., h. 189.

Apabila ketegangan tak terselesaikan dengan cara-cara persuasif,
bahkan semakin meningkat, maka bisa ditempuh cara menghadirkan
seseorang yang dipercaya. Bahkan jika perlu, suami-istri datang kepada
seseorang yang dipercaya keduanya. Bisa jadi seorang ustadz yang dikenal
kearifannya, atau seorang shalih yang lebih tua dari mereka berdua, yang
dipercaya bisa menyimpan rahasia.
Suami istri mengadukan masalah dan perasaan hatinya masing-
masing, untuk didengarkan dan diselesaikan oleh pihak ketiga tersebut.
Dengan izin Allah, pihak ketiga akan memberikan saran, pandangan, atau
alternatif pemecahan masalah. Sekalipun pihak ketiga ini tidak mampu
menyelesiakan masalah dengan tuntas, tetapi aspek pengaduan amat
diperlukan untuk menumpahkan perasaan hati.
131

Demikianlah, beberapa upaya preventif dan sekaligus solusi ringan
dari konflik suami-istri. Namun, dalam kasus nusyuz, di mana pihak istri tidak
berfungsi sebagai istri, tidak patuh atau melawan kebenaran, suami berhak
bertindak dalam tiga tahapan, sebagaimana penjelasan Allah SWT:
/--4 4pOC`
;-EeO=e ;-OOg
O}-NOu--4 O)
;7__E^-
O}-O+)O;g-4 W up)
:4LuC W-O7l>
O}jgOU4N O):Ec Ep) -.-
]~ 1)U4N -LOO): ^@j

131
Ibid., h. 191.

Artinya: Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,
hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka
di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.
Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi,
Mahabesar. (QS. An-Nisa, 4:34)

Ketika istri sudah mulai membandel dan tidak taat, maka suami harus
menempuh kiat-kiat penyelesaian yang telah ditawarkan oleh Islam
132
, yaitu:
a. Menasehati istri dengan cara yang baik
b. Berpisah ranjang dengannya
c. Memukulnya dengan tangan atau benda ringan sebagai pelajaran baginya
d. Jika semua ini tidak memberi hasil, maka solusi terakhir adalah
melakukan tahkim, yaitu mengangkat juru damai.
Sebagaimana firman Allah SWT :
up)4 +^= -g-
4jg+uO4 W-O1E
VEO ;}g)` g)-u-
VEO4 ;}g)` .E_)Uu-
p) .-EC@ONC U;)
-g4ONC +.- .Eg+^14
Ep) -.- 4p~ 1)U4N
-LOO)lE= ^@)
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisa, 4: 35)


132
Muhammad Ali al-Shabuni, Kawinlah selagi Muda; Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri.
Penerjemah: Muhammad Nurdin, cet.I, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 153-154.

Ayat di atas telah mengingatkan suami agar menasehatinya dengan
baik-baik. Kalau istrinya tidak bisa dinasehati, suami disuruh berpisah
ranjang dengan istrinya- maksudnya, tidak berhubungan intim. Kalau cara
kedua ini tidak membawa hasil, maka suami boleh memukul istrinya
dengan pukulan ringan supaya istri sadar akan kekhilafannya lalu
mengusir godaan dan rayuan setan yang sedang mempermainkannya.
Apabila cara ketiga ini juga tidak berhasil, maka hakim harus meminta
dari masing-masing pihak untuk mengirimkan juru damai atau penengah
yang adil untuk menyelesaikan konflik dan mencari solusi terbaik bagi
pasangan suami-istri itu.
133




C. Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga
Dalam memilih jodoh, memang tidak mungkin mencari orang yang
seratus persen sama. Akan tetapi, menjatuhkan pilihan kepada orang yang lebih
banyak kesamaannya dalam berbagai hal akan jauh lebih baik hasilnya dibanding
menjatuhkan pilihan kepada orang yang terlalu banyak perbedaannya. Semakin

133
Ibid., h. 156.

banyak kesamaan antara suami dan istri, tentu semakin menjamin keharmonisan
pergaulan mereka dalam membina keluarga dan rumah tangga yang bahagia.
134

Menurut ilmu psikologi bahwa salah satu alasan bahwa kemiripan dapat
menimbulkan rasa suka adalah bahwa orang yang menghargai pendapat dan
pilihannya sendiri dan senang bergaul dengan mereka yang cocok dengan
pilihannya, mungkin dapat menaikkan harga dirinya.
Baik norma sosial maupun peristiwa situasional dapat menyebabkan kita
bergaul dengan orang-orang seperti kita. Norma kultural mengatur apa yang
dianggap dapat diterima (acceptable) dalam hal kecocokan ras dan usia.
Peristiwa situasional juga memainkan peranan yang penting. Banyak pasangan
bertemu di perguruan tinggi atau sekolah sehingga menguatkan keyakinan bahwa
mereka akan sama dalam hal tingkatan pendidikan, inteligensi, aspirasi profesi
dan mungkin juga dalam hal usia dan status sosio-ekonomi.
135
Kesesuaian sosial
dan ekonomi sangat dianjurkan. Namun apabila kedua calon berbeda dalam
kedudukan sosial dan ekonomi tetapi mampu menerima dan mendamaikan
perbedaan mereka maka tidak ada masalah.
136

Beberapa peranan, seperti pekerjaan, merupakan pilihan kita sendiri.
Tetapi peranan semacam itu juga dipola berdasarkan ketentuan budaya. Sebagian
besar budaya mengharapkan perilaku yang berbeda antara pria dan wanita.

134
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
FSH UIN Jakarta, 2006), h. 101.
135
Rita L. Atkinson, dkk., Pengantar Psikologi. Penerjemah Nurdjannah Taufiq, ed.VIII, juz-
2, (Jakarta: Erlangga, t.th.), h.385.
136
Abdur Rahim Umran, Islam dan KB. Penerjemah Muhammad Hasyim, cet.I, (Jakarta:
Lentera, 1997), h.27.

Peranan seksual bisa berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lain, tetapi
dalam setiap budaya dianggap hal yang wajar bila anak laki-laki dan anak
perempuan memiliki kepribadian yang berlainan.
137

Pada umumnya, laki-laki ingin agar lebih dominan dari pasangannya. Kita
lihat umumnya laki-laki menginginkan istri yang lebih kecil postur tubuhnya,
yang lebih muda umurnya, yang pendidikan, kedudukan atau prestasinya tidak
melebihinya. Sedangkan sebagian perempuan ingin merasa "terlindung", hingga
mencari sesuatu yang "lebih" pada pasangannya. Lebih umurnya, lebih beraninya,
lebih pengetahuannya, dapat pula lebih tinggi badannya, dan seterusnya.
Misalnya, masalah yang dihadapi seorang perempuan yang berusia 40 tahun yang
mempunyai kedudukan dan pendidikan cukup tinggi (S2) kesulitan mencari
pasangan yang sesuai. Kedudukan dan pendidikan yang cukup tinggi itu
memperkecil populasi laki-laki ideal pilihannya.
138

Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi
selama dalam satu masyarakat ada sesuatu yang dihargai maka dapat
menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sistem lapisan
masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan istilah social stratification yang
merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat. Misalnya, sistem kasta pada masyarakat India, dan perbedaan rasial
pada masyarakat Amerika. Ada pula yang menggunakan sistem kelas berdasarkan

137
Ibid., h.152
138
Leila Ch Budiman, Konsultasi Psikologi, artikel diakses pada Senin, 17 November 2008
dari http://kompascybermedia.com/kesehatan

atas ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan ilmu pengetahuan.
139

Sehubungan dengan kriteria tersebut, kelas memberikan fasilitas-fasilitas tertentu
(life-chances) bagi anggotanya. Misalnya, keselamatan atas hidup dan harta
benda, kebebasan, standar hidup yang tinggi dan sebagainya, yang dalam arti-arti
tertentu tidak dimiliki oleh warga kelas-kelas lainnya. Selain daripada itu, kelas
juga mempengaruhi gaya hidup (life-style) dan tingkah laku masing-masing
warganya.
Meskipun demikian, pada umumnya setiap kelompok sosial mengalami
perubahan sebagai akibat proses formasi ataupun reformasi dari pola-pola dalam
masyarakat. Perubahan itu dapat melalui lembaga pendidikan, organisasi politik,
ekonomi, keahlian dan agama. Oleh karena itu, keserasian atau harmonisasi
merupakan keadaan yang menjadi idaman masyarakat.
140

Dalam bahasa fiqh munakahat, keserasian atau persamaan ini diistilahkan
dengan kafaah atau sekufu. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan
ukuran sekufu antara suami dan istri.
Menurut Malikiyah, unsur yang sebaiknya sekufu antara suami dan istri
adalah al-din atau al-hal saja.
Haafiyah berpendapat bahwa suami dan istri sebaiknya sekufu dalam hal-
hal berikut: al-din (ketaatan menjalankan agama), al-Islam, kemerdekaan,
keturunan, kekayaan, dan pekerjaan.

139
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ed.IV, cet.XXV, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1998), h. 263.
140
Ibid., h. 367.

Menurut Syafiiyah, selain al-din dan al-hal seperti pendapat Malikiyah-
suami dan istri juga sebaiknya sekufu dalam hal kemerdekaan, keturunan, dan
pekerjaan.
Hanabilah berpendapat bahwa suami dan istri sebaiknya sekufu dalam
lima hal berikut, yaitu: al-din, kemerdekaan, keturunan, kekayaan, dan
pekerjaan.
141

Tentu saja ukuran di atas bukanlah harga mati. Semuanya masih bisa
ditawar tergantung selera dan kerelaan masing-masing calon suami-istri. Namun
demikian, dalam memilih jodoh, kesungguhan masing-masing suami-istri dalam
menjalankan ajaran agama haruslah dijadikan patokan utama, karena hanya itulah
yang akan langgeng. Berbagai unsur yang dapat mendorong seseorang untuk
berumah tangga, ada yang tertarik karena kecantikan, kebangsawanan, kekayaan
dan sebagainya. Hal itu adalah suatu yang wajar, namun perlu diingat bahwa
salah satu unsur yang sangat positif untuk mewujudkan kedamaian dan
kebahagiaan adalah faktor agama. Karena agamalah yang mampu membimbing
jiwa, sehingga ia menjadi kuat dan tabah menghadapi segala persoalan dan
percobaan dalam kehidupan ini.
142

Kekayaan seketika dapat lenyap. Kecantikan dan kegagahan seketika
dapat pudar. Keturunan juga tidak menjamin baik-buruknya seseorang. Justru

141
Untuk lebih lengkap tentang perbedaan pendapat fuqaha mengenai ukuran kafaah, baca
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 6747-6755.
142
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah, cet.I, (Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 7

agamalah yang berperanan penting dalam membentuk sikap seseorang. Semakin
taat seseorang beragama, semakin beradab pulalah akhlak dan perikunya. Suami
atau istri yang sungguh-sungguh taat menjalankan agama pasti akan berusaha
secara maksimal menunaikan semua kewajibannya dalam berkeluarga, dan tentu
mereka akan terpelihara dari perilaku kasar dan aniaya. Dengan demikian,
keluarga sakinah mawaddah warahmah hanya dapat diwujudkan oleh pasangan
suami-istri yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik.
Orang yang semata-mata tertarik karena soal-soal material saja, biasanya
kesetiaan dan kebahagiaan yang diperolehnya tidak tahan lama, antara lain karena
dalam kehidupan ini ada pasang naik dan pasang surut, ada masa jaya dan ada
pula masa bangkrut, semuanya itu berbentuk material belaka. Apabila materialnya
hilang, maka kasih sayang yang berdasarkan materi tadi pun akan sirna pula,
begitu juga karena kecantikan belaka suatu saat ia pun akan berubah menjadi
tidak cantik lagi. Kebahagiaan rumah tangga seseorang itu akan bertahan
kendatipun berbagai cobaan dan gangguan datang menimpa, jika dijiwai dengan
faktor agama.
Suatu rumah tangga dapat berantakan karena salah satu pihak suka
membangga-banggakan kekayaannya, dan satu merasa tertekan dan kehilangan
harga diri. Kekayaan semata belum merupakan jaminan mutlak untuk terciptanya

rumah tangga yang baik, sejahtera dan bahagia kecuali jika dijiwai dengan ajaran
agama maka semuanya akan menjadi lebih baik.
143

Masalah keturunan tidak terlepas dari karunia Allah karenanya harus
disyukuri setiap saat dan tidak boleh menjadi kebanggaan dalam pergaulan sehari-
hari. Seorang bangsawan jika tidak beragama, ada kemungkinan menimbulkan
hal-hal yang tidak disenangi orang lain, terutama jika sering membanggakan
keturunannya. Apalagi jika suami atau istri tidak sederajat maka dapat terjadi
saling menghina antara satu dengan yang lainnya. Orang yang beragama tidaklah
mau membanggakan keturunannya tetapi akan menghormati sesamanya, ia
menyadari bahwa orang yang sombong itu tidaklah baik dan bertentangan dengan
ajaran agama serta dibenci oleh sesama manusia, khususnya dalam pergaulan
suami-istri. Masalah keturunan, dan kebangsawanan tidak boleh ditonjolkan
dalam kehidupan sehari-hari karena merusak pergaulan.
Islam melarang adanya perbedaan dan klasifikasi manusia berdasarkan
hal-hal yang bersifat materi, seperti kebangsawanan, keturunan, harta kekayaan,
dan sebagainya. Karena semuanya adalah karunia Allah yang harus disyukuri
setiap saat. Ajaran Islam melarang adanya jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin, begitu juga antara bangsawan dan lain-lain. Firman Allah SWT dalam
QS. Al-Hujurat ayat 13.
Og^4C +EEL- ^^)
7E4^UE= }g)` OO

143
Ibid., h. 12

_/6^q4 7E4UEE_4
6ON7- j*.4l~4
W-EO4OE4-g _ Ep)
74`4O- E4gN *.-
7^> _ Ep) -.- N7)U4N
OO)lE= ^@
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat, 49:13)

Masalah moral agama adalah suatu alat pengendali dalam segala hal.
Dengan mempelajari dan memahami ajaran-ajaran agama, seseorang akan
mengenal hukum agama, seperti: perintah dan larangan serta hal-hal lain
menyangkut aturan rumah tangga yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
suami-istri dan sebagainya. Ada sebagian rumah tangga yang kehidupan
ekonominya sangat sederhana namun mereka cukup merasakan kebahagiaan
dalam hidup berumah tangga di mana suami-istri hidup rukun dan damai, saling
mencintai, saling menghargai satu sama lainnya, saling percaya, masing-masing
pihak mengenal dan memahami ajaran-ajaran agama. Pengaruh ajaran agama
dalam kehidupan akan membentuk kepribadian yang mulia baik pada sisi Allah
maupun dalam pandangan manusia.
144

Untuk masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45,
kehidupan agama sangat diperlukan dan harus dimulai penanaman dan

144
Ibid., h. 13.

pengamalannya dari rumah tangga masing-masing. Secara yuridis (hukum) bahwa
agama itu mutlak diperlukan dan dikembangkan dalam kehidupan baik secara
pribadi maupun di tengah-tengah masyarakat.
145
Secara bertahap agama itu telah
menjadi dasar bagi setiap perkawinan seperti disebut dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 bahwa: Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Masalah umur dan pendidikan juga ikut mempengaruhi kehidupan rumah
tangga seseorang, karenanya pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak membenarkan adanya pernikahan yang
berlangsung di bawah umur, karena dianggap belum dewasa dan belum mampu
memikul beban/resiko dari perkawinan kelak, apalagi untuk menghadapi masalah-
masalah yang cukup berat.
146

Membangun sebuah keharmonisan dalam rumah tangga bukanlah hal yang
mudah, karena pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang berasal dari
latar belakang yang berbeda, baik itu kultur sosial, budaya, ekonomi serta
lingkungan keluarga. Ada kultur keluarga Jawa, Betawi, Sunda, Padang, dan lain-
lainnya. Karenanya, seringkali terdengar meskipun pernikahan sudah dijalani
selama bertahun-tahun, masih saja terkendala dengan hambatan dalam

145
M. Atho Muzdhar (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan
dan Keberanjakan Undang-undang Modern dari Kitab-Kitab Fiqh, cet.I, (Jakarta: Ciputat Press,
2003), h. 23.
146
Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, h. 15.

membangun keharmonisan rumah tangga. Memang, banyak penyebab yang
menjadi pemicu pertengkaran dengan pasangan (suami-istri), mulai dari masalah
keuangan, kebiasaan hidup, serta masalah komunikasi suami-istri yang sering
menemui jalan buntu. Kebuntuan komunikasi dari suami-istri memang sering
menjadi penyebab sulitnya pasangan untuk dapat saling mengenali dan
memahami satu sama lainnya. Meskipun setiap individu memiliki perbedaan,
namun sebenarnya tetap bisa diselaraskan dengan baik sepanjang ada kemauan
untuk melakukan keterbukaan antara suami-istri.
147


























147
Cecep Yusuf Permana, Bangun Keharmonisan Rumah Tangga Karena Landasan Hati,
artikel diakses pada Senin, 22 Oktober 2007 dari www.almanhaj.or.id/22/10/2007


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu
kehidupan yang bahagia, sejahtera, tenteram, penuh dengan keamanan dan
ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat
dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa
menenteramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga
berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah
tersebut. Sesungguhnya hakikat kehidupan yang sakinah adalah suatu
kehidupan yang dilandasi mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) dari
Allah SWT. Yakni sebuah kehidupan yang diridhai Allah SWT dengan cara
melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Hakikat sebuah kehidupan rumah tangga
yang sakinah adalah terletak pada realisasi penerapan nilai-nilai agama dalam
kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridha Allah SWT. Karena
memang hakikat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang
terbimbing dengan agama dan datang dari Allah SWT.
2. Setiap muslim dan muslimah harus berusaha membina rumah tangga yang
Islami. Ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon

pasangan yang ideal, agar terbentuk rumah tangga yang Islami. Di antara
kriteria itu adalah harus kafaah. Sewajarnya, setiap orang membutuhkan
adanya keserasian dalam pernikahan. Kesepadanan dalam pernikahan berarti
kecocokan yang diperlukan untuk membentuk keluarga sakinah. Pada
umumnya, laki-laki ingin agar lebih dominan dari pasangannya. Sedangkan
sebagian perempuan ingin merasa "terlindung", hingga mencari sesuatu yang
"lebih" pada pasangannya. Oleh karena itu, kafaah dalam pernikahan hanya
dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun seorang perempuan tidaklah
dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya.
3. Rumah tangga sakinah memang tidak hanya didasari oleh satu sebab saja tapi
ada banyak hal yang bisa menciptakan surga dalam rumah tangga, Baiti
Jannati. Demikian juga, banyak hal yang bisa menyebabkan kebahagiaan,
sebanyak itu pula yang bisa menjadikan kehancurannya, diantaranya adalah
ketidakcocokan antara suami-isteri sehingga sering bertengkar. Dalam Islam,
ketidakcocokan ini sama artinya dengan tidak sekufu. Menjatuhkan pilihan
kepada orang yang lebih banyak kesamaannya dalam berbagai hal akan jauh
lebih baik hasilnya dibanding menjatuhkan pilihan kepada orang yang terlalu
banyak perbedaannya. Semakin banyak kesamaan antara suami dan istri, tentu
semakin menjamin keharmonisan pergaulan mereka dalam membina keluarga
dan rumah tangga yang bahagia. Namun demikian, dalam memilih jodoh,
kesungguhan masing-masing suami-istri dalam menjalankan ajaran agama
haruslah dijadikan patokan utama, karena hanya itulah yang akan langgeng.


B. Saran
1. Dalam rumah tangga yang Islami, suami-istri harus saling memahami
kekurangan dan kelebihannya, hak dan kewajibannya serta melaksanakan
tugas dan fungsinya masing-masing dengan penuh tanggung jawab.
Bermusyawarah dalam memutuskan apapun dalam keluarga, karena suami-
isteri adalah satu-kesatuan yang utuh. Jadikan pasangan kita sebagai partner
sekaligus sahabat yang hubungannya berlandaskan rasa cinta dan kasih
sayang.
2. Memperhatikan kafaah adalah salah satu aspek penting sebelum memasuki
gerbang pernikahan. Karena mengetahui cocok atau tidaknya calon pasangan
hidup sebelum pernikahan itu jauh lebih baik daripada mengetahuinya setelah
berumah tangga.
3. Dalam memilih jodoh, dianjurkan untuk memilih laki-laki/perempuan yang
sehat jasmani dan rohaninya di samping hal-hal yang lainnya, seperti masalah
keturunannya, ekonominya, dan yang paling penting sekali adalah masalah
agamanya.
4. Masalah kafaah ini hendaknya disosialisakan melalui pelajaran agama di
sekolah-sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah juga di
perguruan tinggi.




DAFTAR PUSTAKA

____________________. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: PT. Syaamil Cipta
Media, 2005
Abdurrahman, Abu Muhammad Jibril. Karakteristik Lelaki Shalih, cet.ke-1
Yogyakarta: Wihdah Press, 1999.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.ke-2. Jakarta: CV
Akademika Pressindo, 2005.
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat, cet.ke-1, jil.I dan II. Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1999.
Adhim, M. Fauzil. Saatnya untuk Menikah, cet.III. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.6. t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.
Alam, Andi Syamsu. Usia Ideal untuk Kawin; Sebuah Ikhtiar mewujudkan Keluarga
Sakinah, cet.II. Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2006.
Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam, alih bahasa oleh Agus
Salim. Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Atkinson, Rita L., dkk. Pengantar Psikologi, ed.ke-8, juz II, Penerjemah Nurdjannah
Taufiq. Jakarta: Erlangga, t.th.
Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah, cet.ke-1.
Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Barik, Haya Binti Mubarak. Ensiklopedi Wanita Muslimah, Penerjemah Amir
Hamzah Fachrudin, cet.1. Jakarta: Darul Falah, 1998.
Budiman, Leila Ch. Konsultasi Psikologi. Artikel diakses pada hari Senin, 17
November 2008 dari http://kompascybermedia.com/kesehatan.
Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail. al-Jami as-Shahih al-Mukhtashar,
juz-6. Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987.
____________________. Shahih al-Bukhari, juz-3. Beirut: al-Maktabah al-
Ashriyyah, 1997.

Departemen Agama RI. Pedoman Konselor Keluarga Sakinah. Jakarta: Dirjen
Bimmas dan Haji, 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.ke-
3, ed.ke-2. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Djalil, A. Basiq. Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik
Pemikiran Aktual Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Shubuh
di Tanah Gayo Tahun 2006, ed.I. t.t.: Qalbun Salim, 2007.
Ghazaly, Abdur Rahman. Fiqh Munakahat. Bogor: Kencana, 2003
Halim, M. Nipan Abdul. Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, cet.ke-2.
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.
Ibn Saurah, Abu Isa Muhammad Ibn Isa. Sunan at-Tirmizi, juz 2. Beirut: Dar al-Fikr,
1994.
Jauziyah, Abu Abdillah Muhammad Ibn Abu Bakar Ibnu al-Qayyim. Zaad al-Maad
fi Hadi Khair al-Ibad, juz-4. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1970.
Jaziriy, Abdur Rahman Ibn Muhammad Audh. al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah,
Jil.I, Juz 1-5. Kairo: Dar Ibn al-Haitsimiy, t.th.
Kandahlawi, Muhammad Zakariyya. Aujar al-Masalik ila Muwatha Malik. Beirut:
Dar al-Fikr, 1974.
Khalafi, Abdul Azhim bin Badawi. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz,
Penerjemah Maruf Abdul Jalil, cet.1. Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2006.
Khawarizmiy, Abul Qasim Mahmud Ibnu Umar al-Zamakhsyary. al-Kasyaf an
Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Tawil. Kairo: Musthafa al-
Baby al-Halby wa Auladah, 1972.
Malyabary, Zainuddin Ibnu Abdul Aziz. Fath al-Muin bi Syarh Qurrat al-Ain.
Surabaya: Maktabah Muhammad Ibnu Nabhan wa Auladah, t.th.
Masud, Ibnu dan Abidin, Zainal S. Fiqh Mazhab SyafiI. Bandung: Pustaka Setia,
2000.
Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Muzdhar, M. Atho (ed.). Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi
Perbandingan dan Keberanjakan Undang-undang Modern dari Kitab-Kitab
Fiqh, cet.I. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Naisabury, Abu al-Husain Muhammad Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy. Shahih Muslim, juz-
5. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby, tth.
Nur, Djamaan. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993.
Nurhayati. Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar; Study Tokoh
Pimpinan Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Nuruddin, Amiur dan Tarijan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia;
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 sampai
KHI, ed.1, cet.ke-3. Jakarta: Kencana, 2006.
Permana, Cecep Yusuf, Bangun Keharmonisan Rumah Tangga Karena Landasan
Hati. Artikel diakses pada hari Senin, 19 Maret 2007 dari www.almanhaj.or.id
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet.ke-6. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003.
Sabiq, As-Sayyid. Fiqh as-Sunnah, Jil.II. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1983.
____________________. Fiqh Sunnah 7, alih bahasa oleh Drs. M. Thalib. Bandung:
PT. al-Maarif, 1981.
Shabuni, Muhammad Ali. Kawinlah selagi Muda; Cara Sehat Menjaga Kesucian
Diri, cet.ke-1, Pent. Muhammad Nurdin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000.
Shananiy, Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy. Subul as-Salam Syarh Bulugh al-
Maram min Adillah al-Ahkam, jil.III. Bandung: Dahlan, tth.
Sholeh, Asrorun Niam. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.ke-2.
Jakarta: eLSAS, 2008.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, ed.ke-4, cet.ke-25. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1998.
Sutarmadi, A. dan Mesraini. Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga.
Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

SyafiI, Abu Abdullah Muhammad Ibnu Idris. al-Umm, juz.5. Beirut: Dar al-Fikr,
1983.
Syaukani, Muhammad Ali Ibn Muhammad. Nail al-Authar, juz-5. Kairo: Maktabah
al-Iman, tth.
Syihab, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian dalam al-
Quran, vol.11. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Takariawan, Cahyadi. Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan
Peranannya dalam Masyarakat, cet.1. Solo: Intermedia, 1997.
Umar. Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam. Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Umran, Abdur Rahim. Islam dan KB, cet.ke-1, Pent. Muhammad Hasyim. Jakarta:
Lentera, 1997.
Zahir, Abdullah. Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif
Islam; Studi Yayasan Rabithah Alawiyyah. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz-VII, cet.ke-3. Beirut: Dar al-
Fikr, 1989.

You might also like