You are on page 1of 16

UNDESENDED TESTIS

DEFINISI
Kriprokismus berarti skrotum dalam keadaan kosong arrtinya tidak ada
testis. Kriprorkismus dapat disebabka oleh :
1. Testis Tersembunyi
a. Undesended Testis
Arrested testis, testis berhenti pada suatu tempat di jalur penurunan testis
menuju skrotum. Testis dapat masih terletak di intrabdomen, dalam
kanalis inguinalis atau di pintu masuk skrotum.
Retractile testes, testis dapat berada di dalam skrotum, kadang kadang
tertarik ke atas akibat kontraksi mukulus kremaster yang terlalu kuat.
Pada pemeriksaan palpasi testis dapat ditempatkan di dalam skrotum.
b. Testis Ektopik, testis terletak abnormal yaitu di jalur penurunan testis
menuju skrotum. Testis sudah keluar melalui anulus inguinalis eksterna tetapi
tidak menuju skrotum, melainkan tetap di inguinal, di atas fasia atau berada di
perineal.
2. Testis tidak ada, karena tidak terbentuk (Absent testes), atau testis
disfenesis/atrofi.
Undescended Testis (UDT) atau didefinisikan sebagai testis yang tidak
dapat turun ke skrotum hingga bayi berusia 12 minggu. Hal ini berbeda dengan
acquired UDT atau disebut juga dengan Ascending Testis. Pada Acquired UDT,
testis dapat turun secara normal sampai ke skrotum saat bayi lahir hingga bayi
berusia sekitar 3 bulan, namun setelah itu, semakin bertambahnya usia bayi testus
semakin bergerak naik keluar dari skrotum.Ascending testis mungkin disebabkan
oleh gagalnya spermatic cord untuk memanjang sesuai dengan proporsi tubuh
anak tersebut.
Definisi lain menjelaskan kriptokismus sebagai gangguan penurunan
testis,dimana proses penurunan testis sidah benar pada jalannya tetapi tidak
sampai ke rongga skrotum dan biasanya pada keadaan ini testis tidak berfungsi.
Sedangkan istilah ektopik, digunakan pada keadaan gangguan penutunan testis,
dimama proses penurunantestis tidak pada jalannya. Testus dapat berada di paha,
perineum, inguinal, pangkal penis.
Gambar 1. Letak Undesended Testicle

EPIDEMIOLOGI
UDT merupakan kelainan kongenital tersering pada anak laki laki.
Insidennya 3 6 % pada bayi laki laki yang lahir cukup bulan dan meningkat
menjadi 30% pada bayi prematur. Faktor predisposisi terjadinya UDT
diantaranya premturitas, BBLR, KMK, gemelli, dan pemberian estrogen pada
trimester pertama kehamilan. UDT dapat dideteksi melalui palpasi 3 dari 4 kasus,
terutama pada daerah kanalis inguinalis. UDT juga berhubungan dengan kelainan
lain seperti Patent prosesu vaginalis, kelainan epididimis, hipospadia, dan
kelainan saluran kencing bagian atas.
UDT dapat turun spontan ke skrotum sekitar 70 77% pada usia 3 bulan.
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di
kemudian hari. UDT meningkatkan resiko infertilitas dan berhubungan dengan
risiko tumor sel germinal yang meninngkat 3 10 kali. Atrofi testis terjadi pada
usa 5 7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1- 2 tahun.
Risiko kerusakan hhistologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal
testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada
kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal,
penurunan sel ferminal mencapai 41% dan 20%.




ANATOMI DAN EMBRIOLOGI TESTIS
ANATOMI
Testis berjumlah 2 buah dengan bentuk ovoid, pipih dengan ketebalan 2,5
cm, warna putih, terletak didalam cavum skroti sisi kiri lebih rendah dari pada
sisi kanan. Ukuran testis rata rata 4x3x2,5 cm, dengn berat 32 gram.
Morfologi testis, terdapat 2 permukaan datar disebut fascies lateral dan medial, 2
buah puncak yaitu pole superior dan inferior. Testis dilapisi oleh siati kapsul yang
dibentuk oleh 3 lapisan, yaitu :
a. Tunika vaginalis (lapisan terluar)
b. Tunika Albuginea (Lapisan tengah)
c. Tunika vaskulosa (Lapisan dalam)
Gambar 2. Posisi anatomis testis

Tunika albuginea terdiri dari sejumlah besar otot polos yang terletak
diantara jaringan ikat kolagen, otot polos ini diduga berperan untuk kontraksi
capsule testis manusia.
Arteri spermatika interna berasal dari aorta, dicabangkan dibawah a.
Renalis. Berjalan di dalam funikulus spermatikus menuju testis, a. Spermatika
interna akan beranastomose dengan cabang cabang pembuluh darah dari a.
Hipogastrika, yaitu a. Vasdeferens dan a. Cremasterica, bersama sama
mensuplai darah bagi testis.
Gambar 2. Penampang lateral testis

Darah dari testis akan melalui plexux pampiniformis pada fnikulus
spermatikus. Pada anulus inguinalis interna, plexua pampinidormis membentuk
vena spermatika. Vena spermatika kanan akan menuju vena cava inferior,
dibawah vena renalis kanan. Vena spermatika kiri akan menuju vena renalis kiri
dengan suduh 90
0
C.
Pembuluh limfe testis berjalan melalui funikulus spermatikus menuju
nondulus lumbal dan berakhir pada nodulus paraaortal dan vena cava inferior
dibawah vena renalis.
Persarafan testis menyertai pembuluh darah arteri dan berasal plexus
aortikus dan renalis, dari medulaspinalis thorakal X. Dan berhubungan dengan
serabut saraf dari plexus hipogastrikus.
EMBRIOLOGI
Sebelum minggu ke 7 atau ke -8 usia kehamilan, posisi gonad adalah
sama pada kedua jenis kelamin. Adanya gen penentu sex (SRY), mengawali
perkembangan genitalia interna dan eksterna, dan penurunan testis. Pada awal
embrio, testis memproduksi 3 hormon, yaitu testosterin yang diproduksi sel
leydig, insulin like hormon 3 (Insl3), dan Mullerian Inhibiting Substance (MIS)
atau anti mullerian hormon (AMH) yang diproduksi oleh sel sertoli. Segera
setelah terjadinya diferensiasi gonad menjadi testis, sel sertoli mulai
memperoduksi MIS yang mengakibatkan regresi duktus Muller. Pada minggu ke
9, sel Leydig memproduksi testosterone dan merangsang perkembangan
struktur wolff, termasuk epididimis dan vas deferens. Dengan regresi mesonefros
pada daerah urogenital dan regresi duktus paramesonefros (duktus muller) oleh
MIS, testis dan duktus mesonefros (duktus Wolff) dilekatkan pada dinding perut
bagian posterois ke arah kranial oleh ligamentum genitalis kranial, dan ke arah
kaudal oleh ligamentum genitoinguinalis atau gubernakulum. Dengan regresi dari
mesonefros ini, testis juga memperoleh mesnterium yang memungkinkan testus
untuk berada di rongga perut.
Pada Awalnya testis terletak di dinding belakang abdomen setinggi lumbal
I II. Fase pertama dari penurunan testis, ligamentum suspensorius kranial
beregresi di bawah pengaruh androgen. Ujung kaudal dari gubernakulum yang
melekat pada dinding perut anterior mengalami penebalan, yang diketahui
debagai reaksi pembengkakan yang dimediasi terutama oleh Insl 3. Proses ini
mengakibatkan dilatasi kanalis inguinalis dan membuat jalan untuk penurunan
testis. Fase pertama ini berlangsung hingga minggu ke 15.
Pada sekitar minggue ke 25 usia kehamilan, prosesu vaginalis memanjang
di dalam gubernakulum dan membuat divertikulum peritoneal yang
memungkinkan testis untuk turun. Ujung distal dari gubernakulum lalu menonjol
keluar dari muskulatur perut dan mulai memanjang menuju skrotum. Antara
minggu ke 30 sampai minggu ke 35, ujung distal dari gubernakulum ini
sampai di skrotum. Testis bergerak turun di dalam prosesus vaginalis, yang tetap
terbuka hingga penurunan testis selesai, dan lalu mengalami obliterasi proximal.
Fase ke 2 dari penurunan testis ini diatur oleh testosterone yang melepas suatu
neurotransmitter, yaitu calcitonin gene related peptide (CGRP), yang
menyebabkan perpindahan gubernakulum ke skrotum. Penurunan testis di dalam
prosesus vaginalis dibantu oleh adanya tekanan intra abdomen.
Sampai saat ini terdapat 2 pendapat mengenai proses penuruna testis ke
rongga skrotum, yaitu :
3. Teori Guberkulum
Teori ini menyatakan bahwa penurunan testis disebabkan oleh karena terjadinya
atropi dari guberkulum testis. Pada saat atropi gubernkulum testis akan tertarik
kedalam rongga skrotum.
b. Teori hormonal
teori ini menyatakan bahwa penurunan testis disebabkan oleh karena
perangsangan hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar hipofise anterior dan
testis.
Gambar 3. Skema Penurunan Testis

FISIOLOGI TESTIS
Testis merupakan organ yang memiliki2 fungsi utama, yaitu memproduksi
hormon steroid pria dan tempat pembentukan sperma.Testis memproduksi
beberapa hormon sex pria, secara umum dikenal sebagai androgen (testosteron,
dihidrotestosteron, dan androstenedion). Dibandingkan hormon androgen lainnya,
testosteron memegang peranan penting pada spermatogenesis. Testosteron
dibentuk di sel interstitial Leydig di jaringan ikat testis. Sel intertitial Leydig
banyak ditemukan pada testis bayi dan dewasa, tetapi hanya sedikit ditemukan
pada anak anak. Testosteron mulai dibentuk pada minggu ke 7 kehidupan janin.
Pada masa ini testosteron akan merangsang pertumbuhan tanda/ciri sex pria,
diantaranya pertumbuhan penis dan skrotum. Testosteron juga menyebabkan
pertumbuhan prostat, vesicula seminalis, dan duktus ejakulatorius, disaat yang
sama testosteron akan menekan pertumbuhan organ genital wanita. Selain itu
testosteron sangat berperan penting pada proses penurunan testis dan
perkembangan tanda seks sekunder pria.
Selama kehidupan aktif seksual, terjadi spermatogenesis di tubulus
seminiferus. Rata rata spermatogenesis terjadi mulai umur 13 tahun, sebagai
hasil dari rangsangan hormon hipofise anterior dan testosteron, proses ini akan
berlangsung sepanjang hidup.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
UDT dapat disebabkan oleh kelainan dari kontrol hormon atau proses
anatomi yang diperlukan dalam proses penurunan testis secara normal. Kelainan
hormon androgen, MIS, atau INSl 3 jarang terjadi, tetapi telah diketahui dapat
menyebabkan UDT. Kelainan fase pertama dari penurunan testis juga jarang
terjadi. Sebaliknya, migrasi testis pada fase ke 2 dari penurunan testis adalah
proses yang kompleks, diatur oleh hormon, dan sering mengalami kelainan. Hal
ini ditunjukkan dengan gagalnya gubernakulum bermigrasi ke skrotum, dan testis
teraba di daerah inguinal. Penyebab dari kelainan ini masih tidak diketahui secara
pasti, namun kemungkinan disebabkan oleh tidak baiknya fungsi plasenta
sehingga menghasilkan androgen dan stimulai gonadotropin yang tidak cukup.
Beberapa gangguan jaringan ikat dan sistem saraf berhubungan dengan
UDT, seperti arthrigryposis multiplex congenital, spina bifida, dan gangguan
hipothalamus. Kerusakan dinding abdomen yang menyebabkan gangguan
tekanan abdomen juga meningkatkan frekuensi UDT, seperti exomphalos,
gastroschisis, dan bladder extrophy. Prune Belly Syndrome adalah kasus yang
spesial dimana terjadi pembesaran kandung kemih yang menghalangi
pembentukan gubernakulum di daerah inguinal secara normal, atau menghalangi
penurunan gubernakulum dari dinding abdomen karena kandung kemih menjadi
sangat besar. Hal ini lalu menghalangi prosesus vaginalis membentuk kanalis
inguinalis secara normal dan oleh sebab itu testis tetap berada pada daerah intra
abdomen di belakang kandung kemih yang membesar tersebut.
Firdaossaleh (2007) menyatakan bahwa mekanisme terjadinya UDT
berhubungan dengan banyak faktor, yaitu :
a. Perbedaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau
gubernakulum
b. Peningkatan tekanan abdomen.
c. Faktor hormonal (testosteron, MIS, dan estrogen ekstrinsik)
d. Perkembangan epididimis
e. Perlekatan gubernakular
f. Genito-femoral nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP)
g. Sekunde rpasca operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat.

KLASIFIKASI
UDT dapat dibedakan menjadi palpable dan nopalpable. UDT dapat
ditemukan sepanjang jalur penurunan testis yang normal atau di daerah lain
seperti di daerah ingunal, perineum, kanalis femoralis, penopubic, dan
hermiskrotum kontralateral. Testis mungkin tidak teraba karena lokasinya pada
intraabdomen. Nonpalpabel UDT dapat dibedakan lagi menjadi unilateral dan
bilateral.

MANIFESTASI KLINIS
Pada sebagian besar kasus UDT, testis berada pada leher skrotum atau
diluar anulus inguinalis eksternal. Testis sering berada sedikit ke lateral dari
anulus inguinalis eksternal di ruang subkutan di bawah fascia Scarpa. Posisi ini
biasanya bukan disebabkan oleh karena migrasi ektopik dari gubernakulum,
melainkan oleh karena lapisan fascia dari dinding abdomen. Bahkan testis masih
berada pada sebuah mesentry di dalam tunika vaginalis. Adanya mesentry ini
berarti tetis dapat berpindah di dalam tunika baginalis saat dilakukan palpasi.
Panjang spermatic cord pada bayi adalah sekitar 4 5 cm dari anulus
inguinalis eksternal sampai ke punvak testis. Sebaliknya, panjang spermatic cord
pada anak usia 10 tahun adalah sekita 8 10 cm. Hal ini dikarenakan oleh
perubahan bentuk pelvis sehingga jarak antara anulus inguinalis eskternal dengan
skrotum semakin bertambah. Perlunya spermatic cord untuk memanjang ini kini
diketahui sebagai kemungkinan penyebab dari acquired UDT. Sebagian besar
acquired UDT ini disebabkan oleh karena kegagalan obliterasi dari prosesus
vaginalis yang menyisakan fibrosa yang tidak dapat memanjang sesuai dengan
bertambahnya usia.
ANAMNESIS
a. Tentukan apakah testis pernah teraba di dalam skrotum
b. Riwayat operasi daerah inguinal
c. Riwayat prenatal : terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, kehamilan
kembar, prematuritas.
e. Riwayat keluarga : UDT, hipospadia, infertilitas, intersex, pubertas prekoks

PEMERIKSAAN FISIK
Pasien sebaiknya diperiksa dalam 2 posisi, yaitu supinasi dan duduk. Pada
posisi duduk, pasien bersandar pada kedua tangan, menekuk lutut, dan telapak
kaki saling menyentuh satu sama lain. Observasi dimulai dengan melihat ada atau
tidaknya testis dan hipoplasia skrotum. Manuver yang dilakukan untuk
menentukan posisi testis adalah meraba daerah sepanjang kanalis inguinalis dari
anulus internal menuju skrotum. Selain kedua posisi tersebut, posisi jongkok juga
dapat memantu untuk menentukan posisi testis.
Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien harus dalam keadaan relaksasi dan
posisi seperti frog-leg atau cross-legged. Pada pasien yang terlalu gemuk, dapat
dilakukan dalam posisi sitting cross-legged atau baseball catchers. Tangan
pemeriksa harus dalam keadaan hangat untuk menghindari tertariknya testis ke
atas. UDT dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya menjadi : skrotum atas,
kantong inguinal superfisial, kanalis inguinalis, dan abdomen.
Pemeriksaan fisik dimulai dari antero-superiori iliac spine, meraba daerah
inguinal dari lateral ke medial dengan tangan yang tidak dominan. Jika teraba
testis, testis dipegang dengan tangan dominan dan ditarik ke arah skrotum.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang jarang dilakukan kecuali testis tidak teraba. Salah
satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hormonal,
yaitu tes stimulai hCG (humen chrorionic gonadotropin). Pengukuran kadar
testosterone, follicle stimulating hormone (FSH), dan Luteinizing hormone (LH)
perlu dilakukan sebelum pemberian hCG sebanyak 2000 IU satu kali perhari
selama 3 hari. Kemudian kadar hormon hormon tersebut kembali diukur pada
hari ke 6. Jika kadar FSH meningkat pada anak laki laki dibawah umur 9
tahun, maka kemungkinan anak tersebut mengalami anorchia. Jika kadar LH dan
FSH dalam batas normal dan stimulasi hCG menghasilkan peningkatan kadar
testosterone yang pantas, maka kemungkinan ada jaringan testis dan pasien
memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Pemeriksaan hormonal lain yang dapat
dilakukan adalah pengukuran kadar androgen, MIS/AMH, ataupun analisis
kromosom. Tujuan dari pemeriksaan hormonal tersebut adalah untuk memastikan
testis ada dan memproduksi hormon yang sesuai. Jika adanya testis telah dapat
dipastikan, maka lokasi testis dapat ditentukan melalui laparoskopi.
Pemeriksaan radiografi seperti ultrasonography, computed tomography,
magnetic resonance imaging, dan magnetic resonance angiography juga jarang
dilakukan. Hingga saat ini, laparoskopi masih menjadi gold standard dalam
menentukan posisi testis yang tidak teraba, dengan sesnitivitas sebesar 95% atau
lebih.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding undescended testicle antara lain adalah :
1. Testis retraktil : Testis yang tertarik keatas akibat spermatic cord yang gagal
memanjang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan individu.
2. Atrofi testis : Merupakan kondisi dimana testis mengecil dan kehilangan
fungsi reproduksinya.
3. Testis Ektopik : Testis berada di luar jalur penurunan testis.

1. TATALAKSANA
TERAPI HORMONAL
Alasan utama dilakukan terapi adalah kemungkinan meningkatnya resiko
infertilitas, keganasan testis, torsiotestis, trauma testis terhadap tulang pubih, dan
faktor psikologis terhadap kantong skrotum yang kosong. Terapi hormonal untuk
mengatasi UDT masih dalam kontroversi. Hormon hormon seperti buserelin,
LH releasing hormon agonis, dan gonadotrophin releasing hormon (GnRH)
agonis, sering digunakan untuk menangani UDT di Eropa dengan tingkat
kesuksesan antara 10 50%. Tingkat kesuksesan yang lebih tinggi mungkin
terjadi pada anak yang mengalami acquired UDT. Pada anak yang mengalami
kegagalan migrasi gubernakulum manuju skrotum secara kongenital, terapi
hormonal kelihatannya memiliki tingkat kesuksesan yang sangat rendah. Namun
penggunaan hormon hormon tersebut belum disetujui ole United States Food
and Drug Administration.
Gambar 4. Algoritna Tatalaksana Undesended Testis

Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG, gonadotropin releasing hormone (GnRH) atau LH-
releasing hormone. Terapi hormon meningkatkan produksi testosteron dengan
menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi ini
bedasarkan observasi bawa proses turunnya testis berhubungan dengan androgen.
Tingkat testosteron lebih tinggi bilsa diberikan hCG dibandingkan GnRH.
Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan terapi.
Terapi hormonal dengn hCG 2.500 unit per hari dibagi dalam 4 dosis
intramuskular dilakukan ila usia anak belum mencapai 2 tahun.
Gambar 5. Protokol terapi hormonal

Jika respon tidak ada maka pemberian hormon dapat diulang 6 bulan
kemudian. Jika masih belum ada respon maka sebaiknya dilakukan terapi
pembedahan. Evaluasi pengobatan hormon dilakukan selama pengobatan, pada
akhir pengobatan, 1 bulan kemudian, 3 bulan kemudian, 6 bulan kemudian, dan
12 bulan kemudian. Efek samping HCG diantaranya :
a. Pembesaran volume testis
b. pembesaran penis
c. ereksi
d. kadang kadang pertumbuhan rambut pubis
e. Gangguan emosi
Keuntungan terapi hormon :
a. Keberhasila 10 80%, sehingga mengurangi tindakan operasi
b. tidak ada/ minimalnya efek samping
c. lebih mnguntungkan pada kriptorkismus bilateral
Keberhasilan pengobatan tergantung dari posisi testis dimana testis
intrainguinal memiliki hasil yang lebih baik, umur pasien dimana pasien dengan
usia lebih besar memiliki hasil yang lebih baik, dan kriptorkismus bilateral
memiliki hasil yang lebih baik.

TERAPI PEMBEDAHAN
Prinsip dari pembedahan untuk menangani UDT adalah untuk
memindahkan testis dan meletakkannya di dalam skrotum. Pembedahan ini
disebut dengan Orchidopexy. Biasanya orchdopexy langsung dilakukan jika testis
telah pasti diketahui terletak pada leher skrotum atau pada daerah inguinal. Jika
testis terletak pada daerah intraabdomen, laparoskopi dapat dilakukan terlebih
dahulu untuk menentukan letak testis. Kemudian, akan diputuskan apakah
orchidopexy akan dilakukan dalam satu atau dua tahap. Waktu yang optimal
untuk melakukan orchidopexy adalah saat anak berusia 3 12 bulan, dimana usia
6 12 buan adalah waktu yang paling baik. Pembedahan dalam menangani UDT
dibedakan berdasarkan apakah testis dapat teraba atau tidak. Kesembuhan post
operasi dari prosedur orchidopexy sangat cepat, dimana setelah beberapa hari,
pasien dapat kembali melakukan aktivitas penuh. Olahraga mungkin perlu
dihindari dalam 1 2 minggu.pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan setelah 6
12 bulan untuk meyakinkan bahwa atrophy tidak terjadi. Saat anak telah
berumur 14 tahun, pemeriksaan terhadap pubertas dan kemumngkinan terjadinya
infertilitas dan keganasan perlu dilakukan.
A. PALPABLE UDT
Penanganan utama pada palpable UDT adalah orchidopexy dan membuat
kantong subdartos. Tingkat kesuksesan dari tindakan tersebut mencapai 95%
dengan testis tetap berada di dalam skrotum dan tidak mengalami atrophy.
Pembedahan biasanya dilakukan dengan anestesi umum, dan pasien dalam
posisi supinasi. Insisi dilakukan sepanjang garis Langer, diatas anulus internal.
Aponeurosis oblique eksternal diinsisi ke arah lateral dan dari anulus eksternal
sesuai dengan arah serat seratnya, dan dilakukan dengan hati hati agar tidak
melukai saraf ilioinguinalis. Testis dan spermatic cord lalu dibebaskan. Vas
deferens dan pembuluh pembuluh darahnya dipisahkan dari Tunica Vaginalis.
Prosesus vaginalis dipisahkan dari struktur cord dan diligasi di anulus internal.
Pemotongan secara retroperitoneal pada anulus internal dapat memperpanjang
cord sehingga testis dapat mencapai skrotum.
Sebuah tembusan daribuat dari kanalis inguinalis ke dalam skrotum dengan
menggunakan satu jari atau sebuah clam besar. Kantong subdartos dibuat dengan
meletakkan satu jari melalui tembusan dan meregangkan kulit skrotum . Insisi
sepanjang 1 2 cm dilakukan pada kulit skrotum yang diregangkan dengan jari
tersebut. Sebuah clamp lalu diletakkan di jari operator, dan ujungnya dipandu ke
dalam kanalis inguinalis dengan menarik jari. Clam kemudian digunakan untuk
menjepit jaringan diantara testis. Clamp lalu ditarik untuk membawa testis ke
dalam kantong. Menjepit testis atau vas deferens secara langsung harus dihindari
agar tidak menimbulkan luka.
Jika testis berada di dalam kantong, leher kantong dijahit sehingga menjadi
lebih sempt untuk mencegah testis tertarik naik kembali. Saat ini pengukuran dan
biopsi testis bisa dilakukan. Kulit skrotum lalu ditutup. Aponeurosis oblique
eksternal disatukan kembali dengan penjahitan absorbable. Kulit dan jaringan
subkutis ditutup dengan penjahitan subkutis. Setelah beberapa minggu, luka
bekas operasi perlu diperiksa, dan 6 12 bulan kemudian pemeriksaan testis
perlu dilakukan. Posisi dan kondisi akhir dari testis perlu diperhatikan. Walaupun
jarang terjadi, atrophy dan retraksi dapat muncul sebagai komplikasi.
B. NONPALPABLE UDT
Penangan nonpalpable UDT dapat dimulai dengan eksplorasi inguinal
ataupun laparoskopi diagnostik. Laparoskopi dapat dilakukan melalui umbilikus.
Apabila pembuluh pembuluh darah testis terlihat keluar dari annulus internal,
insisi pada daerah inguinal dilakukan untuk menentukan lokasi testis.
Orchidopexy dilakukan jika testis dapat ditemukan. Jika pembuluh pembuluh
darah berakhir di dalam kanalis inguinalis, ujungg dari pembuluh darah tersebut
dapat diambul untuk dilakukan pemerikaan patologis. Adanya sisa jaringan testis
atau hemosiderin dan kalsigikasi merupakan indikasi dari kemungkinan
terjadinya perinatal torsion dan resorption testis.
Jika melalui laparoskop diagnostik testis diketahui berada pada daerah intra
abdomen, terdapat beberapa pilihan tindakan. Pada Fowler-Stephens
orchidopexy, dilakukan ligasi pembuluh darah testis secara laparoskopik atau
laparotomy, yang membuat kelangsungan hidup testis bergantung pada arteri
cremaster. Untuk alasan ini,

Gambar 5. Orchidopexy
Fowler-Stephens orchidopexy adalah pilihan yang kurang tepat jika sebelumnya
telah dilakukan eksplorai inguinal yang membahayakan suplai vaskuler ke testis.
Setelah ligasi dilakukan, orchidopexy dilakukan setelah sekitar 6 bulan untuk
memberikan waktu pertumbuhan sirkulasi kolateral. Tingkat kesuksesan dari
prosedur ini mencapai lebih dari 90%, dengan testis tetap erada di dalam skrotum
dan tidak mengalami atrophy. Tindakan lain yang dapat dilakukan jika testis
berada pada daerah intra abdomen adalah orchidopexy mikrovaskuler
(autotransplantasi) dan orchidectomy.

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi dari orchidopexy meliputi infeksi dan haematoma, tetapi
komplikasi yang paling serius adalah atrophy testis. Hal ini terjadi pada
persentase yang kecil, yaitu sekitar 5 10%. Resiko terjadinya atrophy testis
pada testis yang tidak teraba lebih tinggi daripada pada testis yang teraba pada
daerah pangkal paha. Selain itu, resiko terjadinya atrophy testis juga lebih tinggi
pada anak dengan perkembangan testis yang abnormal di mana ukuran testis
lebih kecil daripada ukuran normal. Komplikasi yang lain yaitu :
a. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit
b. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus
c. trauma pada vas deferens
d. pasca-operasi torsio
e. epididimioorkhitis
f. pembengkakan skrotum
Prediksi mengenai fertilitas dan keganasan masih dalam kontroversi,
dikarenakan oleh perkembangan yang pesat dalam permahaman dan penangana
UDT dalam 25 tahun terakhir. Infertilitas mungkin terjadi pada 1 dari 4 laki laki
dewasa dengan riwayat unilateral UDT. Tidak diketahui apakah prognosis akan
membaik jika orchidopexy dilakukan saat anak berusia jaug lebih muda daripada
saat anak berusia lebih lanjut. Namun, suatu meta analisis menunjukkan bahwa
orchidopexy yang dilakukan saat anak berusia lebih dari 10 tahun memiliki resiko
6 kali lebih tinggi untuk mengalami keganasan, daripada orchidopexy yang
dilakukan saat anak berusia kurang dari 10 tahun.

You might also like