You are on page 1of 12

Pemogokan Buruh & Mahasiswa di Perancis 1968

14 Mei 2013 menandai 45 tahun peristiwa bersejarah dalam perjuangan kelas di


Perancis. 45 tahun lalu kelas Buruh di Perancis mulai mogok kerja dan menduduki pabrik,
mengikuti jejak kaum pemuda mahasiswa yang telah terlebih dahulu mogok kuliah dan
menduduki kampus-kampus. Peristiwa-peristiwa yang meletus pada Mei 1968 ini merupakan
pemogokan dan pendudukan terbesar dan paling meluas dalam sejarah Perancis. Puncak
peristiwa ini bahkan sanggup menyeret seluruh ekonomi kapitalis negara maju, yaitu Perancis
mendekati titik kolapsnya. Lebih dari jutaan mahasiswa dan belasan buruh Perancis bergabung
dalam gerakan ini. Meskipun gerakan ini gagal menumbangkan kapitalisme Perancis, baik
karena absennya partai kelas pekerja yang mampu memainkan peran kepeloporan maupun
faktor-faktor lainnya, terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa bersejarah ini.
Peristiwa ini dimulai dari rangkaian demonstrasi mahasiswa yang dilakukan sekaligus
dengan pendudukan kampus-kampus. Demonstrasi mahasiswa kemudian disusul pemogokan
buruh yang melibatkan hingga sebelas juta orang, yang berdemonstrasi selama dua minggu
berturut-turut[1]. Jumlah sebesar itu mewakili 22%, atau hampir seperempat dari total populasi
Perancis pada masa tersebut. Peristiwa ini membawa dampak begitu besar yang hampir
menjatuhkan rezim Presiden Charles De Gaulle. Gerakan ini memiliki beberapa ciri antara lain
penyebaran serta penempatan yang spontan terdesentralisir; hal ini menimbulkan perbedaan
yang kontras dan terkadang juga menimbulkan konflik antara kelompok-kelompok yang terlibat
di dalamnya dengan serikat buruh-serikat buruh dan partai-partai buruh yang telah berdiri
terlebih dahulu.
Pendudukan mahasiswa dan pemogokan massa yang menjalar ke seluruh penjuru
Perancis menemui konfrontasi kekerasan baik oleh pihak administrasi universitas maupun oleh
polisi. Administrasi De Gaulle berulang kali berupaya menumpas pemogokan-pemogokan
tersebut melalui represi polisi namun hal ini malah makin memperpanas situasi sehingga
memicu tawuran-tawuran di jalanan antara massa dengan polisi di Perempatan Latin, yang
diikuti dengan pemogokan massa dan pendudukan-pendudukan di seluruh kota di Perancis.
Kekuatan dari para demonstran tumbuh sedemikian besar hingga mengakibatkan para birokrat
pemerintahan takut akan bahaya perang saudara atau revolusi. Presiden De Gaulle bahkan
kabur dari Perancis menuju markas militernya di Jerman, dan setelah kembali untuk
membubarkan Majelis Nasional, serta merencakan pemilihan umum parlementer pada 23 Juni
1968. Kekerasan sirna seketika hampir secepat kemunculannya. Buruh-buruh kembali bekerja
dan ketika pemilu akhirnya digelar pada bulan Juni, partai Gaullis bahkan jadi lebih kuat
daripada sebelumnya.
Peristiwa-peristiwa Pra Mei 1968
Pada Bulan Februari 1968, Kaum Komunis dan Sosialis Perancis membentuk aliansi elektoral.
Sudah sejak lama kaum Komunis mendukung calon-calon Sosialis dalam Pemilu namun dalam
Deklarasi Februari kedua partai setuju untuk mencoba membentuk suatu pemerintahan
gabungan demi menggantikan Presiden Charles de Gaulle dan Partai Gaullisnya[2]. Pada 22
Maret, kelompok-kelompok kiri jauh, beberapa penyair dan musisi, serta 150 mahasiswa,
menduduki gedung administrasi Universitas di Nanterre serta menggelar pertemuan di ruang
dewan universitas membahas mengenai diskriminasi berdasarkan kelas sosial dalam
masyarakat Perancis dan Biro Politik yang mengendalikan pendanaan universitas. Pihak
administrasi kemudian memanggil polisi yang akhirnya datang dan mengepung universitas.
Setelah memublikasikan tuntutan-tuntutannya, para mahasiswa meninggalkan gedung tanpa
masalah sama sekali. Setelah kejadian ini, beberapa pimpinan yang kemudian dijuluki sebagai
Gerakan 22 Maret dipanggil oleh komite pendisiplinan universitas.
Peristiwa-Peristiwa Mei
Pemogokan Mahasiswa
Setelah peristiwa konflik antara mahasiswa dan pejabat universitas Paris di Nanterre,
kalangan administrasi menutup universitas pada 2 Mei 1968. Kaum mahasiswa Universitas
Sorbonne di Paris kemudian mengadakan pertemuan pada 3 Mei menentang penutupan
tersebut dan menentang ancaman DO terhadap beberapa mahasiswa aktivis di Nanterre.
Selanjutnya pada Senin, 6 Mei, serikat mahasiswa nasional, the Union Nationale des tudiants
de France (UNEF), atau berarti serikat nasional mahasiswa Perancis (UNEF), suatu serikat
mahasiswa terbesar pada masa itu dan masih serikat mahasiswa terbesar hingga kini-beserta
serikat pengajar universitas menyerukan aksi barisan menentang invasi polisi ke Sorbonne.
Lebih dari 20.000 mahasiswa, pengajar, dan para pendukung berbaris menuju Sorbonne, yang
masih disegel dan diamakan oleh polisi yang kemudian merespon dengan menyerbu
demonstran dengan pentungan besi. Meskipun sebagian demonstran tercerai berai melarikan
diri, sebagian demonstran lain yang masih bertahan kemudian mendirikan barikade dengan
barang apa saja yang bisa mereka temukan, sementara sebagian lainnya mulai membalas
serangan polisi dengan melempar batu jalanan sampai polisi terpaksa mundur sementara.
Beberapa saat kemudian polisi kemudian kembali serta menembakkan gas air mata sambil
menyerbu barisan demonstran. Ratusan mahasiswa ditangkap dalam peristiwa ini.
Kaum pelajar kemudian ikut berpartisipasi dalam peristiwa ini melalui serikat-serikat pelajar
yang menyerukan dukungan mereka pada peristiwa 6 Mei. Haari berikutnya, mereka bergabung
dengan para mahasiswa, pengajar, serta kaum buruh muda yang berkumpul di Arc de Triomphe
(Gerbang Kemenangan) untuk menuntut:
1. Cabut semua kriminalisasi terhadap mahasiswa yang ditangkap
2. Tarik semua polisi dari kampus
3. Buka kembali kampus Nanterre dan Sorbonne.
Negosiasi kemudian menemui jalan buntu dan para mahasiswa kembali ke kampus masing-
masing setelah adanya kabar burung bahwa pemerintah telah membuka kembali kampus-
kampus. Namun ketika para mahasiswa sampai di kampus masing-masing mereka dihadapkan
dengan keberadaan pasukan-pasukan polisi yang masih menduduki kampus dan sekolah-
sekolah. Hal inilah yang kemudian semakin membakar semangat revolusioner mereka.
Berikutnya pada Jumat, 10 Mei, kerumunan raksasa lainnya berkumpul di Rive Gauche. Saat
Compagnies Rpublicaines de Scurit menghalangi mereka lagi untuk menyeberangi sungai,
barisan demonstran kembali membentuk barikadernya, yang kemudian diserbu oleh pasukan
polisi pada 2.15 dini hari seta;ah negosiasi lagi-lagi menemui jalan buntu. Konfrontasi keduanya
yang mengakibatkan ratusan orang ditangkap dan luka-luka ini berlangsung hingga keesokan
harinya. Peristiwa-peristiwa ini disiarkan secara langsung melalui siaran radio dan televisi.
Banyak tuduhan diarahkan pada polisi dimana mereka dituding melakukan penyusupan dan
menggunakan agen-agen provokator untuk memicu kerusuhan dengan membakar mobil-mobil
dan melempar bom-bom molotov[3].
Reaksi represif dari aparat pemerintahan dan aparat kepolisian pada khususnya akhirnya
menimbulkan gelombang simpati sangat besar bagi para aktivis yang terlibat. Banyak penyanyi
dan penyair biasa di Perancis akhirnya bergabung setelah brutalitas dan kekejaman aparat
terungkap. Seniman-seniman dari Amerika juga mulai angkat suara mendukung para pemogok.
Sedangkan kaum komunis dengan setengah hati mendukung kaum mahasiswa karena mereka
menganggap aktivis mahasiswa dalam peristiwa tersebut terdiri dari elemen-elemen avonturir
dan anarkis. Di sisi lain federasi serikat buruh kiri yaitu the Confdration Gnrale du Travail
(CGT) serta Force Ouvrire (CGT-FO) menyerukan dilaksanakannya pemogokan massa dan
demonstrasi pada Senin 13 Mei.
Lebih dari satu juta orang kemudian ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi pada hari itu;
sementara pasukan polisi kalah telak dari segi jumlah personel. Perdana Menteri Georges
Pompidou secara pribadi mengumumkan pembebasan para tahanan dan pembukaan kembali
universitas Sorbonne. Bagaimanapun juga gelombang pemogokan tidak surut sedikitpun.
Sebaliknya kaum demonstran malah makin aktif.

Ketika Universitas Sorbonne kembali dibuka, para mahasiswa kemudian melakukan aksi
pendudukan dan menyatakan bahwa universitas sorbonne diubah menjadi universitas rakyat
yang independen. Opini publik pada awalnya mendukung kaum mahasiswa namun dengan
cepat berbalik menentang mereka setelah para pimpinan mahasiswa yang diundang tampi
dalam televisi nasional, bertingkah laku bagaikan kaum utopis tak bertanggung jawab yang
ingin menghancurkan masyarakat konsumtif[4] Meskipun demikian pada minggu-minggu
berikutnya, kira-kira sebanyak 401 komite aksi kerakyatan didirikan di Paris dan dimana-mana
untuk menampung keluh kesah terhadap pemerintah dan masyarakat Perancis, termasuk
Komite Pendudukan Sorbonne. Daneil Cohn Bendit atau Alain Krivine, seorang aktivis
mahasiswa, mencuat sebagai salah satu tokoh besar pada saat itu.
Kelas Buruh Bergabung dengan Mahasiswa
Berhari-hari berikutnya, kaum buruh kemudian mulai menduduki pabrik-pabrik,
diawali dengan aksi duduk di Sud Aviation dekat kota Nantes pada 14 Mei, disusul dengan
pemogokan lain di Pabrik onderdil Renault dekat Rouen, kemudian menyebar ke kompleks
manufaktur Renault di Flins di lembah Seine serta di pinggiran kota Paris di Boulogne-
Billancourt. Jumlah pabrik yang diduduki buruh mencapai 50 pabrik pada 16 Mei dengan
200.000 buruh menyusul aksi keesokan harinya pada 17 Mei. Angka itu kemudian membengkak
hingga mencapai dua juta buruh mogok kerja pada hari berikutnya dan selanjutnya mencapai
sepuluh juta, atau dua pertiga dari jumlah tenaga kerja di Perancis yang melibatkan diri dalam
pemogokan massa.
Pemogokan-pemogokan ini tidak dipimpin oleh gerakan serikat buruh; sebaliknya, CGT
berusaha sebisa mungkin agar meletusnya militansi spontan ini disalurkan ke dalam
perjuangan untuk menuntut kenaikan upah dan tuntutan ekonomis lainnya. Padahal buruh
merumuskan tuntutan lebih luas, lebih politis, dan lebih radikal, menuntut pembubaran
pemerintah dan pengunduran diri Presiden de Gaulle, serta dalam beberapa kesempatan
lainnya, menuntut untuk menjalankan sendiri pabrik-pabrik yang mereka duduki. Ketika para
pimpinan serikat buruh berunding dengan asosiasi pengusaha besar untuk menegosiasikan
kenaikan upah sebesar 35% dari upah minimum sebelumnya, serta 7% kenaikan untuk pekerja
lainnya, dan setengah gaji normal selama mogok kerja, kaum buruh tetap menduduki pabrik-
pabrik mereka dan menolak kembali bekerja serta mengolok-olok pimpinan serikat mereka[5].
Memang pada kenyataannya dalam gerakan Mei 1968 terdapat banyak euforia anti serikat
buruh menentang serikat buruh-serikat buruh umum, yaitu CGT, FO, dan CFDT, yang lebih
berkehendak untuk berkompromi dengan kekuasaan daripada tunduk pada kehendak basis
buruh mereka[6].
Selanjutnya pada 25 dan 26 Mei kesepakatan Grenelle kemudian ditandatangani di kantor
Kementerian Urusan Sosial. Mereka memberikan kenaikan upah minimum sebesar 25% serta
upah rata-rata sebesar 10%. Tawaran-tawaran ini kemudian ditolak dan pemogokan terus
berlangsung. Kelas buruh dan kaum intelektual terkemuka bergabung dalam solidaritas untuk
perubahan besar dalam hak-hak pekerja.
Berikutnya pada 27 Mei, pertemuan UNEF, yang merupakan peristiwa paling terkemuka dari
rangkaian peristiwa Mei 1968, berlangsung dan berhasil mengumpulkan sebanyak 30.000
hingga 50.000 orang di Stade Sebastien Charlety. Atmosfer pertemuan sangat militan dimana
para pembicara menuntut penggulingan pemerintah dan mengadakan pemilu.

Kaum Sosialis melihat adanya kesempatan untuk berlaku sebagai kompromi antara de Gaulle
dan kaum Komunis. Pada 28 Mei, Franois Mitterrand dari Federasi Demokratik dan Kiri
Sosialis menyatakan bahwa tidak ada lagi negara serta ia siap untuk mendirikan
pemerintahan baru. Sebelumnya secara mengejutkan, ia menerima sebesar 45% suara
dukungan pada pemilihan presiden di tahun 1965. Selanjutnya pada 29 Mei, Pierre Mends
France juga menyatakan ia siap membentuk pemerintahan yang baru; namun berbeda dengan
Mitterand, ia bersedia mengikutsertakan kaum Komunis. Meskipun kaum Sosialis tidak
memiliki kemampuan seperti Kaum Komunis untuk mengorganisir demo jalanan secara
meluas, mereka didukung oleh 20% populasi rakyat Perancis[7][8].
De Gaulle Kabur Keluar Negeri
Pagi hari pada 29 Mei, de Gaulle menunda pertemuan Dewan Menteri yang dijadwalkan pada
hari itu, serta secara diam-diam memindahkan dokumen-dokumen pribadinya dari Istana
Negara. Dia mengatakan pada anak menantunya Alain de Boissieu Saya tidak ingin memberi
mereka kesempatan menyerang Istana Negara. Akan sangat disayangkan bila terjadi
pertumpahan darah saat saya membela diri. Karena itu saya memutuskan untuk pergi; sehinga
tidak ada yang akan menyerang istana kosong. De Gaulle menolak permintaan Pompidou
untuk membubarkan Majelis Nasional karena ia yakin bahwa partai mereka, Gaullis, akan kalah
pada pemilu. Selanjutnya pada 11.00 dia berkata pada Pompidou, Saya adalah masa lalu; kau
adalah masa depan; saya menerimamu[9]. Pemerintah kemudian mengumumkan bahwa De
Gaulle akan menuju kampung halamannya di Colombey-les-Deux-glises sebelum kembali
keesokan harinya, dan kabar burung kemudian beredar bahwa dia akan menyiapkan pidato
pengunduran dirinya disana. Bagaimanapun juga helikopter kepresidenan mendarat di
Colombey untuk menjemput De Gaulle namun ia sendiri tidak memberi tahu siapapun kemana
dia pergi. Selama lebih dari enam jam tidak ada yang tahu dimana Presiden Perancis
berada[10]. Pembatalan pertemuan kementerian, keberadaan presiden yang tidak jelas
diketahui entah dimana, telah mengguncangkan negara, termasuk Pompidou, yang sampai
berteriak Dia (De Gaulle) kabur keluar negeri![11]

Pemerintah nasional praktis tak lagi berfungsi. douard Balladur kemudian menulis
bahwa sebagai Perdana Menteri, Pompidou dia sendiri merupakan pemerintahan itu sendiri
sama halnya sebagaimana para pejabat yang merupakan sekelompok confabulator yang
yang percaya bahwa revolusi segera akan meletus. Seorang kawan perdana menteri bahkan
menawarinya senjata dan mengatakan kau akan membutuhkannya; Pompidou
menyarankannya untuk pulang. Terdapat pula laporan yang menyatakan salah satu pejabat
bahkan mulai membakari dokumen, sementara pejabat lainnya mencari tahu seberapa jauh
mereka bisa kabur dengan menggunakan mobil bila mana kaum revolusioner berhasil
mengambil alih suplai bahan bakar. Sementara itu di sisi lain penarikan uang dari rekening
bank menjadi sulit, bensin untuk mobil-mobil pribadi sudah tak tersedia lagi, dan beberapa
orang mencoba mendapatkan pesawat-pesawat pribadi atau memalsukan KTP.[12]
Pompidou bahkan sempat meminta agar radar militer digunakan untuk melacak dua
helikopter de Gaulle, namun segera menyadari bahwa de Gaulle kabur menuju markas militer
Perancis di Jerman, di Baden-Baden, untuk menemui Jenderal Jacques Massu. Massu
kemudian membujuk De Gaulle untuk kembali ke Perancis; dengan dukungan militernya, de
Gaulle menjadwalkan kembali pertemuan Dewan Menteri-Menteri untuk keesokan harinya
pada 30 Mei[13], dan kembali ke Colombey pada pukul enam petang[14]. Istri De Gaulle,
Yvonne memberikan perhiasan keluarga pada putra dan menantunya yang tinggal di Baden,
suatu sikap yang menandakan keluarga De Gaulle menganggap Jerman sebagai pilihan pelarian.
Massu yang mengetahui mengenai runtuhnya kepercayaan diri De Gaulle, terus
merahasiakannya hingga tahun 1982, sementara banyak pengamat yang meyakini bahwa
hilangnya De Gaulle disengaja untuk mengingatkan warga Perancis akan resiko kehilangan
terhadap dirinya. Meskipun hilangnya De Gaulle memang nyata terjadi dan bukan rekayasa,
dampak yang diakibatkannya begitu besar pada Perancis[15].
Berikutnya pada 30 Mei, sebanyak 400.000 hingga 500.000 demonstran yang dipimpin oleh
CGT berbaris di jalanan Paris sambil meneriakkan yel-yel Adieu, De Gaulle! (Selamat Tinggal,
De Gaulle!). Maurice Grimaud, kepala kepolisian Paris, memainkan peran vital dalam
mengelakkan revolusi baik dengan berbicara maupun dengan memata-matai kaum revolusioner
serta meminimalisir penggunaan kekerasan. Meskipun para pimpinan Komunis membantah
bahwa mereka telah merencanakan insurgensi bersenjata, terutama karena militan ekstrim
hanya merupakan minoritas sebanyak 2% dari populasi Perancis, kaum Komunis Perancis tidak
menyangka kekuatan rezim De Gaulle sedemikian rapuh terbukti dengan kaburnya De Gaulle ke
Perancis[16]. (Beberapa pengamat berpandangan skeptis terhadap kemauan Kaum Komunis
Perancis untuk mempertahankan demokrasi setelah mereka membentuk pemerintahan. Mereka
berpandangan bahwa kaum Komunis Perancis yang moderat, anti kekerasan, dan pada
pokoknya sama sekali anti-revolusioner menentang revolusi karena selama ini meyakini bahwa
partai harus memenangkan kekuasaan melalui jalan pemilu legal, bukan konflik bersenjata yang
berpotensi memicu represi balik dari para lawan politik)[17].

Gerakan sebagian besar berpusat di sekitar area perkotaan Paris dan bukan di tempa
lainnya. Seandainya pemberontakan menduduki bangunan-bangunan publik vital di Paris, tidak
bisa dipungkiri pemerintah Perancis pasti telah menggunakan kekerasan untuk merebutnya.
Jumlah jatuhnya korban jiwa saja bisa memicu revolusi, yang mana juga memicu mobilisasi
militer dari provinsi-provinsi untuk merebut kembali Paris sebagaimana yang terjadi pada 1871.
Menteri Pertahanan Pierre Messme dan Deputi Staf Pertahanan Michel Fourqet telah
mempersiapkan tindakan demikian sementara Pompidou sendiri telah mengeluarkan perintah
untuk mengirim tank-tank ke Issy-Les-Moulineaux. Kalangan militer sendiri memang bebas
dari pengaruh sentimen-sentimen revolusioner sama sekali namun karena angkatan darat
terdiri dari tentara wajib militer yang umurnya sama dengan kaum revolusioner, terdapat
bahaya yang sangat besar bagi pemerintah bila mana terjadi bentrokan antara kedua belah
pihak. Suatu jajak pendapat yang diambil setelah peristiwa mereda mengungkapkan bahwa
sebanyak 20% rakyat Perancis mendukung revolusi, 23% menentang, dan 57% memilih
menghindari konflik apapun yang mungkin muncul. 33% pasti akan menentang dan melawan
intervensi militer, hanya 5% mendukung, dan mayoritas memilih menghindari tindakan
tersebut.
Pada pukul 2.30, tanggal 30 Mei, Pompidou membujuk de Gaulle agar membubarkan
Majelis Nasional dan menyelenggarakan pemilu baru, kalau tidak dia mengancam akan
mengundurkan diri. Dia kemudian mengumumkan pemilu yang dijadwalkan dilaksanakan pada
23 Juni dan memerintahkan agar para buruh kembali bekerja, kalau tidak dia akan menerapkan
darurat bahaya negara bila mereka tetap membangkang. Pemerintah kemudian membocorkan
pada media massa bahwa pasukan angkatan darat sudah mengepung di luar kota Paris. Seketika
setelah pidato tersebut, sebanyak 800.000 pendukung pemerintah berbaris di sekeliling Istana
Negara sembari mengibarkan bendera-bendera nasional; kaum Gaullist sendiri memang telah
merencanakan aksi tersebut selama beberapa hari, yang berhasil menarik berbagai partisipan
dari berbagai usia, pekerjaan, dan pandangan politik yang beraneka ragam. Kaum Komunis
kemudian menyetujui rencana pemilu tersebut dan seketika potensi revolusi akhirnya
habis[18][19][20].
Peristiwa Juni dan Juli Peristiwa-
Sejak saat itu, semangat revolusioner di antara kaum mahasiswa dan kelas buruh mulai
pudar. Buruh secara berangsur-angsur mulai kembali bekerja atau sebagian lainnya diusir dari
pendudukannya oleh polisi. Serikat mahasiswa nasional membatalkan demonstrasi jalanan.
Pemerintah pun kemudian melarang berbagai organisasi kiri. Sementara itu polisi berhasil
mengambil alih universitas Sorbonne pada 16 Juni. Berkebalikan dengan ketakutan De Gaulle,
partainya malah berhasil memenangkan pemilu parlementer Perancis di tataran legislatif yang
digelar di bulan Juni, dengan hasil sebesar 353 kursi dari total 486 kursi. Sementara kaum
Komunis hanya memenangkan 34 kursi dan kaum Sosialis hanya meraih 57 kursi[21]. Deklarasi
Februari yang menjanjikan publik untuk menyertakan Kaum Komunis bilamana Kaum Sosialis
memenangkan pemilu malah berdampak balik. Lawan-lawan politik mereka mengambil contoh
pemerintahan Front Nasional Ceko pada tahun 1945 yang menghasilkan pengambilalihan
kekuasaan oleh Komunis pada 1948. Pemilih sosialis terpecah belah; pada Februari 1968
mayoritas pemilih Sosialis menghendaki beraliansi dengan kaum Komunis namun 44% percaya
bahwa kaum Komunis akan berusaha merebut kekuasaan begitu mereka duduk di
pemerintahan. (Sebanyak 30% pemilih Komunis setuju dengan hal tersebut)[22].

Pada peringatan Hari Bastille, banyak bermunculan demonstrasi jalanan untuk mengambil alih
dan menduduki ruang-ruang publik. Demonstrasi ini dipimpin oleh kaum mahasiswa, baik
mahasiswa sosialis yang mengenakan ban lengan warna merah maupun mahasiswa anarkis
yang mengenakan ban lengan warna hitam. Kepolisian Paris serta Compagnies Rpublicaines de
Scurit memberikan serangan balik yang berakibat banyak aktivis ditangkap, dipenjarakan,
maupun dilarikan ke rumah sakit. Pertumpahan darah tidak hanya menyeret polisi dan
mahasiswa namun juga para wisatawan. Namun tak ada satupun tuntutan yang dilayangkan
baik ke polisi maupun ke aktivis mahasiswa sementara pemerintah Inggris dan Jerman Barat
dipenuhi protes termasuk karena pelecehan dua pelajar Inggris oleh aparat di kantor polisi.
Terlepas dari besarnya kemenangan De Gaulle, kemenangan tersebut bukanlah kemenangan
pribadi. Suatu jajak pendapat yang diambil setelah peristiwa-peristiwa tersebut mereda
mengungkapkan bahwa mayoritas warga Perancis memandang De Gaulle sudah terlalu tua,
terlalu egois, terlalu otoriter, terlalu konservatif, dan terlalu anti Amerika. Berikutnya
referendum April 1969 menunjukkan bahwa Perancis telah siap untuk Gaullisme tanpa De
Gaulle[23].
Slogan dan Grafiti
Sangat sulit untuk mengidentifikasi dengan tepat politik mahasiswa yang memicu Peristiwa Mei
1968 karena begitu banyaknya partisipan yang mencapai hingga ratusan ribu. Bagaimanapun
juga terdapat pengaruh kuat anarkisme, khususnya di kalangan mahasiswa di Nanterre.
Meskipun tidak secara komprehensif, grafiti-grafiti mencerminkan semangat pemberontakan
yang dikombinasikan dengan kecerdasan verbal. Sedangkan grafiti yang dibuat buruh
dipengaruhi kuat oleh sentimen-sentimen anti kerja yang didominasi pengaruh gerakan
Situasionis.
Semua kekuasaan korup. Kekuasaan absolut korup sepenuhnya.
Kami ingin struktur yang melayani rakyat bukan rakyat yang melayani struktur.
Revolusi bukan milik komite-komite, revolusi adalah milik kalian.
Je suis Marxiste tendance Groucho. (Im a Marxist of the Groucho variety.)[24] Aku adalah
Marxis dari jenis Groucho.
Kamerad, mari kita gantung Sguy! Georges Sguy adalah kepala birokrat serikat buruh yang
didominasi oleh Partai Komunis Perancis
Manusia bukanlah biadab budiman seperti yang dikatakan Rousseau atau pendosa bejat seperti
menurut pihak Gereja atau La Rochefoucauld. Manusia keras ketika ditindas dan lembut ketika
bebas.
Suatu akhir pekan non-revolusioner jelas lebih berdarah-darah daripada sebulan revolusi total.
Mereka yang kekurangan imajinasi tidak bisa mengimajinasikan apa yang kurang
Polisi tidur di dalam diri kita. Kita harus membunuhnya dan mengusir polisi keluar dari kepala
kita,
Kami tidak mau jadi anjing penjaga maupun pelayan kapitalisme
Penyebab semua perang, kerusuhan, dan ketidakadilan adalah keberadaan kepemilikan (St.
Augustine)
Berangkat, kerja, pulang, tidur
Sejak tahun 1936 aku sudah berjuang untuk kenaikan upah. Bapakku juga berjuang untuk
kenaikan upah. Sekarang aku punya TV, kulkas, dan mobil volkswagen. Namun hidupku tetap
tidak karuan. Jangan berunding dengan para bos. Gulingkan mereka!
Masa depan hanya akan mengandung apa yang kita letakkan hari ini.
Semakin banyak kau mengonsumsi, semakin sedikit kau hidup. Komiditas adalah candu rakyat.
Hapuskan hak cipta: struktur suara adalah milik semua orang
Ini adalah kepentingan semua orang [25].
Lennui est contre-rvolutionnaire. Kebosanan adalah kontra-revolusioner
Limagination prend le pouvoir! Imajinasi berkuasa
Soyez ralistes, demandez limpossible[26]. Realistislah, tuntutlah yang tidak mungkin.
Prenez vos dsirs pour la ralit. Wujudkan hasratmu menjadi nyata
On achte ton bonheur. Vole-le. Mereka membeli kebahagiaanmu. Rebutlah kembali.
Presse: ne pas avaler. (Poster bergambar botol racun bertuliskan: Pers: Jangan ditelan)
Le patron a besoin de toi, tu nas pas besoin de lui. Bos butuh kamu, kamu tidak butuh bos.
Lt sera chaud! (Summer will be hot!) Musim panas akan panas
On ne revendiquera rien, on ne demandera rien. On prendra, on occupera. Kami tidak akan
memohon apapun, kami tidak akan meminta apapun, kami akan merebut, kami akan
menduduki.
Travailleur : tu as 25 ans mais ton syndicat est de lautre sicle. Buruh, umurmu 25 tahun tapi
serikatmu dari abad lainnya
Nous ne voulons pas dun monde o la certitude de ne pas mourir de faim schange contre le
risque de mourir dennui. (Kami tidak ingin dunia dimana jaminan tidak mati kelaparan adalah
jaminan mati bosan
Dalam masyarakat yang telah menghapuskan semua jenis petualangan maka petualangan yang
tersisa adalah menghapuskan masyarakat
Ceux qui font les rvolutions moiti ne font que se creuser un tombeau. Mereka yang membuat
revolusi setengah jalan hanya akan menggali kuburnya sendiri
Run, comrade, the old world is behind you! Larilah, kawan, dunia yang lama di belakangmu!
Sous les pavs, la plage. Di bawah batu jalanan ada pantai
Vivre sans temps mort et jouir sans entrave. Hidup tanpa sia-sia dan menikmati tanpa halangan
La barricade ferme la rue mais ouvre la voie. Barikade menutup gang tapi membuka jalan
Ketika Majelis Nasional menjadi teater borjuis maka semua teater borjuis harus dijadikan
majelis nasional (ditulis di atas pintu masuk Teater Odon yang diduki dan diambil alih)
Peringatan: Kariris ambisius kini bisa menyamar menjadi progresif
Stalinis, anak-anakmu bersama kami!
Kejamlah
Aku cinta padamu!!! Oh, katakan dengan batu jalanan!!![27]
Di bawah 21 tahun? (gambar batu bata) ini hak pilihmu!
*diterjemahkan dari May 1968 events in France

[1] The Beginning of an Era, Situationist International No. 12 (September 1969). diterjemahkan
oleh Ken Knabb.
[2] Mendel, Arthur P. (Januari 1969). Why the French Communists Stopped the Revolution,
atau Mengapa Kaum Komunis Perancis Menghentikan Revolusi. The Review of Politics 31 (1):
327.
[3] Ils voulaient un patron, pas une cooprative ouvrire, Le Monde, interview with Michel
Rocard, 20 March 2007 (French)
[4] Dogan, Mattei (1984). How Civil War Was Avoided in France. International Political
Science Review / Revue internationale de science politique 5 (3): 245277.
[5] Derrida, Jacques (1991) A Madness Must Watch Over Thinking, interview with Francois
Ewald for Le Magazine Litteraire, March 1991, republished in Points: Interviews, 1974-1994
(1995).pp.347-9
[6] Ibid 1
[7] Ibid 4
[8] Ibid 2
[9] Ibid 4
[10] Singer, Daniel (2002). Prelude to Revolution: France in May 1968. South End Press. ISBN
978-0-89608-682-1.
[11] Dogan, Matti (2005). Political Mistrust and the Discrediting of Politicians. Brill. p. 218.
ISBN 9004145303.

You might also like