You are on page 1of 30

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya sumber daya alam dan wilayah yang
sangat luas yaitu 1.992.550 Km
2
yang mencakup 13.000 pulau (KKP 2012). Namun
kekayaan yang ada belum mampu menyentuh bahkan mensejahterakan rakyat. Dari
total 237,6 juta jiwa pendudukan Indonesia, hingga saat ini menurut pemerintah
masih terdapat 31 juta jiwa rakyat yang miskin. Mereka umumnya tersebar di
wilayah perdesaan dan pesisir pantai.

Selain potensi sumber daya alam, potensi bencana menghantui 124 juta rakyat
Indonesia (BNPB, 2012). Mereka tinggal di kawasan-kawasan rentan bencana
seperti berada digaris sesar gempa, dilereng lereng gunung berapi dan kawasan-
kawan dengan tingkat kecuraman tinggi. Dari total luas wilayah Indonesia, sebanyak
83% merupakan kawasan rentan bencana. Dan dari total penduduk yang ada, sebesar
98% warga Indonesia tidak siap menghadapi bencana (WALHI, 2007)

Besarnya kawasan rentan bencana terjadi dikarenakan secara alamiah letak Indonesia
diapit oleh tiga lempeng tektonik yaitu; Benua Asia, Benua Australia, lempeng
samudra Hindia dan samudra Pasifik dan jalur The Pasicif Ring of Fire (Cincin Api
Pasifik) yang membentang mulai dari Sumatera hingga Sulawesi. Dari total 500
gunung api, sebanyak 129 merupakan gunung api aktif. Kondisi ini bisa
menimbulkan terjadinya bencana alam.

Kondisi yang ada diperparah dengan masifnya alih fungsi kawasan hutan. Eksploitasi
yang dimulai sejak 1968 oleh pengusaha HPH masih berlangsung hingga sekarang.
Dan kini bertambah dengan hadirnya industeri pulp and paper serta hutan tanaman
industeri (HTI). Tidak luput pula eksploitasi dilakukan terhadap kawasan rawa
gambut dan pesisir pantai yang diperuntukan bagi industeri perkebunan,
pertambangan, dan pertambakan skala besar. Jika pada tahun 1950 kawasan hutan
yang ada tercatat seluas 160 juta Ha, pada tahun 2009 berkurang menjadi 120 juta Ha
dan tahun 2010 menjadi 136 juta Ha (Kemenhut 2010)

Angka deforestasi Indonesia pada tahun 2007/2008 mencapai 3,8 juta ha. Kini
menurut Kemenhut hanya 640 ribu ha. Meski cendrung menurun, tentunya bukan
khabar menggembirakan jika merujuk pada Inpres No.10/2011 yang hendak
menurunkan emisi sebesar 26%. Alih fungsi hutan dan lahan termasuk kebakaran
telah menyumbang 48% emisi yang dihasilkan oleh Indonesia. Hal ini merupakan
persoalan serius kerena telah berkontribusi besar dalam melahirkan bencana ekologis
atas risiko dampak perubahan iklim. Tentunya lagi-lagi rakyat berada pada posisi
yang terancam, dan inilah gambaran petaka bencana yang selalu menghantui.

Korban terbesar atas bencana ekologsi seperti banjir, longsor dan kekeringan adalah
kelompok anak-anak dan ibu rumah tangga dari kalangan masyarakat adat/lokal yang
tinggal didaerah sekitar kawasan hutan dan pesisir pantai. Fakta teranyar adalah
bagaimana anak-anak sekolah dasar tidak bisa mengikuti ujian nasional secara
serentak diseluruh tanah air yang salah satunya dikarenakan terhambatnya berkas
ujian nasional dan lokasi ujian tergenang banjir. Banjir telah menyebabkan ribuan
anak tidak bisa ikut sekolah karena buku dan pakaian basah dan hanyut terbawa arus
air. Demikian pula derita yang dialami kaum ibu rumah tangga, mereka harus
berjibaku memikirkan keluarga harus selamat dan bisa memperoleh makan dan
minum secara layak meski dalam situasi yang darurat.

Pemenuhan HAM dalam konteks sosial ekonomi masih jauh dari harapan. Apapun
jenis bencananya dan dimanapun lokasi kejadiannya, hingga kini masih terdegar
bahwa korban bencana masih sering terabaikan. Mulai dari tempat pengungsian,
makan dan minum hingga kesehatan. Apalagi jika pemerintah hendak memberikan
ganti kerugian atau sekedar tali asih akibat sarana produksi rusak diterjang banjir
atau tidak bisa bekerja sebagaimana situasi normal. Dan yang paling berbahaya
dalam konteks bencana adalah munculnya pendapat rasisme seperti saat banjir
melanda Jakarta pada Januari lalu. Warga keturunan Tionghoa merasa dinomor
duakan dalam pelayanan tanggap darurat. Hal ini jika dibiarkan bisa memunculkan
tindak anarkisme hingga mengarah kepada perpecahan bangsa.

Kurang dari satu tahun pasca bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan
Nias pada tahun 2004, wilayah Indonesia terus menerus dilanda banjir dan tanah
longsor. Frekwensi dan intensitas bencana ini terus membesar dan meluas dari waktu
ke waktu. Demikian pula korban jiwa, jika pada tahun 2012 terdapat 149 korban jiwa
dari 59 lokasi bencana, saat ini dalam catatan WALHI, terhitung sejak 1 Januari
31 Maret 2013 sebanyak 179 orang meningga akibat banjir dan longsor. Di Jakarta
banjir yang terjadi pada pertengahan Januari telah menyebabkan 18 orang
meninggal. Diakhir Januari, 20 orang meninggal akibat longsor di wilayah Agam
Sumatera Barat. Pada Bulan Februari, banjir dan longsor yang melanda wilayah
Minahasa dan Manado telah merenggut 17 korban jiwa. Di Tolikara Papua dan
Cililin Bandung pada pertengahan Maret telah merenggut nyawa masing-masing
tujuh (7) orang di Papua dan 17 orang di Bandung.

Saat ini bencana terbesar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia adalah bencana
ekologis berupa banjir dan tanah longsor yaitu sebesar 89% dari total seluruh
kejadian bencana sejak tahun 2002 2011 (BNPB 2011).

Jika melihat fakta bencana, sebahagian lokasi bencana seperti di Aceh Barat telah
memberikan gambaran gamblang bahwa kawasan hutan telah diubah menjadi areal
perkebunan sawit skala besar dan pertambangan. Di Manado selain Ruang Terbuka
Hijau jauh dari angka 30%, kawasan perbukitan yang semestinya dihijaukan malah
dialihfungsi untuk real astate. Persoalan ini tidak luput dari peran pemerintah yang
tidak mentaati Undang Undang Tata Ruang dan memikirkan keselamatan warga.
Padahal jika argumentasi pemerintah daerah melepas kawasan lindung untuk
kepentingan investasi agar bisa didapat income daerah, faktanya pendapatan jauh
lebih kecil dengan biaya yang dikeluarkan khusus untuk biaya pada masa tanggap
darurat yang hanya berlangsung selama 15 hari. Contohnya terjadi di Kota Padang,
Sumatera Barat. Galodo atau Banjir Bandang yang terjadi pada September tahun lalu
telah menelan biaya sebesar Rp.240 milyar. Sedangkan APBD tahun 2012 sebesar
Rp.1,2 triliyun. Jika rehabrekon dilakukan secara sempurna, bisa jadi anggaran yang
dibutuhkan bisa mencapai 400 milyar. Dengan demikian kita bisa membaca bahwa
lebih dari 30% APBD Kota Padang tersedot hanya untuk mengurus bencana. BNPB
sendiri merasa membutuhkan minimal 1% anggaran dari total APBN. Kita tahu
bahwa APBN tahun 2013 sebesar Rp.1600 triliyun, artinya BNPB membutuhkan
biaya sekurangnya 16 triliyun.

Jika kondisinya terus demikian, maka wajar saja jika rasa fisimisme muncul dan
beranggapan bahwa tidak mungkin 31 juta jiwa rakyat miskin bisa dientaskan.
Mengapa?, karena dana APBN yang seharusnya bisa secara bertahap dialokasikan
untuk pengurangan angka kemiskinan, terus terserap untuk mengurusi masalah baru
yaitu bencana. Tahun 2012 saja, anggaran untuk penanggulanagn bencana sebesar
Rp.30 triliyun yang dibagi kepada 17 institusi pemerintah.

Persoalan bencana menjadi tanggung jawab semua pihak, untuk itu diperlukan
kerjasama untuk menghentikan bencana, dan jika tidak mampu menghentikan,
sekurangnya bisa mereduksi ancaman dan risiko bencana. Negara memang telah
menjawab persoalan bencana ini dengan melahirkan UU No.24 tahun 2007,
membentuk Badan Penanggulangan Bencana dan meratifikasi Protokol Hyogo,
namun kehadirannya tidak berbanding lurus dengan intensitas dan frekwensi bencana
yang justeru semakin meluas dan membesar. Standar pelayanan minimum korban
bencana, pun tidak mampu terpenuhi secara merata.

Sejumlah upaya untuk mengurangi kehadiran dan dampak bencana ekologis terus
dibangun oleh kalangan masyarakat sipil seperti membentuk forum pengurangan
risiko bencana. Melakukan advokasi non litigasi dan penguatan kapasitas bagi
komunitas rencana bencana. Namun ada satuhal yang belum tersentuh yaitu salah
satu faktor pemicu bencana seperti prkatek industri ekstraktif yang melakukan alih
fungsi hutan dan lahan untuk pertambangan, perkebunan dan pertambakan skala
besar. WALHI dapat memahami perbedaan langkah dan gerak OMS pelaku PRB,
karenanya kita berharap kepada pemerintah dalam hal ini adalah BNPB. Namun lagi-
lagi BPNB pun tidak pernah menyebut bahwa salah satu faktor penyebab bencana
adalah akibat kerusakan lingkungan hidup. Banjir dan tanah longsor selalu didalilkan
akibat curah hujan tinggi yang dalam istilah mereka disebut sebagai faktor
hidrometereologi.

Padahal di dalam dokumen RAN PB disebutkan bahwa faktor curah hujan tinggi
tidak akan menyebabkan banjir apabila terjadi pada wilayah yang cukup tinggi
dan mampu menyalurkan air diwilayah itu. Dan disebutkan pula bahwa pada
prinsipnya banjir disebabkan karena tiga hal yaitu; (1) kegiatan manusia yang
menyebabkan perubahan tata ruang dan berdampak terjadinya perubahan
alam, (2) peristiwa alam seperti curah hujan tinggi dan (3) degradasi
lingkungan seperti hilangnya tumbuhan tutupan lahan pada catchment area,
sendimentasi dan penyempitan alur sungai. Dengan demikian permasalahan
terjadinya banjir saat ini dapat dikatakan lebih karena faktor manusia, dan
faktor curah hujan tinggi hanya sebagai pemicu.

Penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama seluruh rakyat
Indonesia. Untuk itu, sebagai bagian dari komponen masyarakat, WALHI
diharapkan hadir dalam penanganan bencana. Dan guna memastikan keterlibatan
tersebut, WALHI perlu menyusun kerangka advokasi Pengurngan Risiko Bencana
(PRB) sebagai pedoman bersama komponen WALHI dalam menjalankan aksi dan
misi pengurangan risiko bencana.








1.2. Rasionalisasi Program

Keterlibatan WALHI selaku organisasi pembela lingkungan dan hak asasi manusia
dalam kancah pengurangan risiko bencana (PRB) dipastikan akan mengusung
banyak manfaat baik bagi organisasi maupun publik jika dijalankan secara terencana
dan sungguh-sungguh. Manfaat-manfaat itu bisa diukur dan diraih sebagaimana
berikut;
Pertama, WALHI Jatim mampu mengatualisasi Visi, Misi dan Nilai Nilai serta
rencana kerja yang telah digariskannya sekurangnya untuk masa periode 2013
2015.
Kedua, anggota WALHI khususnya dari kalangan Pencinta Alam dan pelaku PRB
akan merasa diberdayakan dan diberi ruang untuk berinterkasi lebih dalam bersama
WALHI selaku induk organisasi. Keterlibatan tersebut merupakan bentuk
penjawantahan Statu WALHI yang mana telah menyebut bahwa anggota WALHI
harus terlibat dalam agenda pembelaan lingkungan dan hak asasi manusia. Tindakan
keterlibatann dalam pengurangan risiko bencana seraya bentuk tanggung jawab
seluruh rakyat Indonesia dalam penanggulangan bencana sebagaimana amanah UU
No. 24 tahun 2007.
Ketiga, public dan jaringan di dalam negeri kembali menaruh kepercayaannya
kepada WALHI sebagai organisasi yang layak untuk didukung dan diserahkan
kepercayaan dalam mengelola pendanaan dan program pengurangan risiko bencana
yang berorientasi pada keberlanjutan kehidupan
Keempat, komunitas rentan dan korban bencana akan sangat merasa terbantu dengan
hadirnya WALHI, karena mereka mampu meningkatkan kapasitasnya, mampu
mempertahankan sumber hidupnya, mampu menyelematkan jiwanya, mampu
meminimalisir risiko yang dihadapinya, mampu terpenuhi hak-haknya selaku warga
negara dan selaku korban bencana serta mampu mengaktualiasi diri dan beradaptasi
Kelima, publik akan menaruh empati, kepercayaan dan dukungann secara luas
karena WALHI mampu menjadi bagian dari gerakan rakyat, bagian yang
memperkuat komponen bangsa, dan mampu menjadi bagian dari orang-orang yang
sedang berhadapan dengan risiko bencana.
Keenam, pemikiran WALHI, ketauladan WALHI, kolektifitas WALHI, karya-karya
nyata WALHI, dan gerakan WALHI, akan menjadi referensi para pihak
berkepentingan atasnya.

1.3. Landasan Operasional

Dalam menjalankan program penanganan bencana, landasan operasional yang
dipakai meliputi Visi, Misi, Nilai, Statuta, dan mandat-mandat Pertemuan Nasional
Lingkungan Hidup selaku forum pengambilan keputusan tertinggi organisasi
WALHI

A. Visi WALHI, menjalaskan; terwujudnya suatu tatanan sosial, ekonomi, dan
politik yang adil dan demokratis yang dapat menjamin hak-hak rakyat atas
sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat.

B. Misi WALHI, menjelaskan; bahwa untuk mencapai cita citanya, WALHI
mengemban misi sebagai organisasi perjuangan penegakan kedaulatan rakyat
atas sumbersumber kehidupan

C. Nilai WALHI, menjelaskan; Untuk mewujudkan misi tersebut WALHI
memainkan peran yang berorientasi pada nilai-nilai:

Pertama, menggalang sinergi yang berorientasi pada nilainilai: Hak asasi
manusia; Demokrasi; Keadilan gender; Keadilan ekologis; Keadilan antar
generasi; Persaudaraan Sosial; Anti kekerasan; Keberagaman. Dengan
prinsipprinsip: Keterbukaan; Keswadayaan; Profesional; Ketauladanan; dan
Kesukarelawanan.

Kedua, mendorong proses transformasi sosial dengan cara: (1) mengembangkan
potensi kekuatan dan ketahanan rakyat; (2) mengembalikan mandat negara untuk
menegakkan dan melindungi kedaulatan rakyat; (3) mendekonstruksikan tatanan
ekonomi kapitalistik global yang menindas dan eksploitatif menuju ke arah
ekonomi kerakyatan; (4) membangun alternatif tata ekonomi dunia baru; serta (5)
mendesakkan kebijakan pengelolaan sumbersumber kehidupan rakyat yang adil
dan berkelanjutan.

D. Statuta WALHI, Pasal 2 ayat (3) menjelaskan, bahwa WALHI bertujuan
mendorong terwujudnya pengakuan hak atas lingkungan hidup dan dilindungi
serta dipenuhinya hak asasi manusia sebagai bentuk dari tanggung jawab negara
atas pemenuhan sumbersumber kehidupan rakyat. Di dalam Pasal 3, dijelaskan
pula, bahwa untuk mencapai tujuannya WALHI melaksanakan advokasi
lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang meliputi: penyelamatan
ekosistem, pengorganisasian rakyat, pendidikan kritis, kampanye dan riset,
litigasi, menggalang aliansi kekuatan masyarakat sipil, dan menggalang
dukungan publik.


E. Surat Keputusan PNLH XI WALHI No. 8/SK/PNLH XI/IV/ 2012 tentang
program kerja WALHI No.9 periode 2012 2016 adalah; Penangangan
Bencana. Serta tentang aspirasi anggota WALHI dari unsur Pencinta Alam
untuk lebih diberdayakan dan diperankan dalam gerakan WALHI.

F. Surat Keputusan PNLH IX tahun 2005 telah memandatkan pembentukan desk
Aceh dan Sumatra Utara dan Divisi Pengelolaan Bencana

1.4. Kebijakan Terkait
a. Pasal 28H UUD 1945, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
b. Pasal 24 dan 26 UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
c. PP No.21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
d. Perpres No.19 tahun 2006 tentang mitigasi dan penanggulangan bencana
e. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.63 tahun 1999 tentang penyusunan
dan pelaksanaan rencana aksi pengurangan risiko bencana
f. Hyogo Framework for Action dan Beijing Action 2005 2015































II. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP

2.1. Hutan

Hutan Indonesia, dalam setiap tahun mengalami penurunan baik secara kuantitas
maupun kualitas. Luas kawasan hutan Indonesia pada tahun 1950 masih mencapai
160 juta hektar. Saat ini berdasarkan data Kemenhut (6/2010) total luas kawasan
hutan berjumlah 136.559.885,28 hektar. Penyusutan ini terjadi, karena adanya
pelapasan kawasan hutan untuk dialihfungsikan menjadi areal peruntukan lain
(APL). Dalam kurun waktu 62 tahun, Indonesia telah kehilangan luas kawasan hutan
sebesar 23.440.000 hektar.
Berkurangnya luas tutupan hutan alam (deforestasi), terjadi karena proses eksploitasi
hutan telah dimulai sejak tahun 1957, dengan diundangkannya PP No.64/ 1957
tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat kepada daerah. Dalam PP ini
bidang yang diatur diantaranya ialah pemangkuan dan eksploitasi hutan. Urusan
eksploitasi hutan yang termuat dalam pasal-pasal tersebut dicabut dan diatur
tersendiri melalui PP No.21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Jika mengacu kepada PP No.21 maka proses
eksploitasi hutan telah berlangsung selama 42 tahun. Laju deforestasi semakin
menggila karena terjadinya tindak illegal logging, kebakaran hutan dan semakin
massif sejak industry pertambangan mulai merambah kawasan hutan.
Mutu dan kualitas hutan, pun, semakin terdegradasi karena pemerintah mulai
memberlakukan kawasan hutan alam untuk dialih fungsikan menjadi areal hutan
tanaman industry dan ditebang bagi kegunaan bahan baku bubur kertas dan kayu
olahan.
Jika mengacu kepada total luas kawasan hutan dan peruntukan hutan yang bisa
dikonversi yaitu seluas 81.810.449 juta ha, maka luas kawasan hutan alam yang
tersisa berjumlah 54.669.182 juta hektar. Dengan melihat penuturan ini, maka bisa
dipastikan bahwa tutupan hutan alam tidak mencapai angka 50 juta hektar. Apa
alasannya, diantaranya adalah (1) terdapat 8513 desa yang keberadaannya diklaim
pemerintah masuk kedalam kawasan hutan konservasi dan lindung, (2) Perpu
No.1/2004 yang diperkuat menjadi UU No.18/2004 yang didalamnya memuat
diperbolehkannya penambangan dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Dari 13
perusahaan tambang yang otomatis bisa mamanfaatkan kawasan lindung untuk
ditambang, setidaknya bisa diambil cotoh dua perusahaan yaitu; PT. Freeport dan
PT. Natarang Mining.
Jika melihat realitas yang ada baik dalam kontek praktek lapangan maupun kebijakan
pemerintah saat ini, sangat pesismis bahwa luas tutupan hutan akan bertambah walau
berbagai proyek seperti tanam 1milyar pohon didengungkan pemerintah. Untuk
memastikan bahwa hutan alam yang tersisa mampu terselamankan, itupun masih
diragukan.

2.2. Daerah Aliran Sungai

Indonesia memiliki 5950 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan 65.017 anak sungai. Dari
total 5950 DAS, luas daerah DAS mencapai 1.512.466 Km
2
. Saat ini sungai-sungai
besar telah mengalami kerusakan dan tercemar, termasuk sungai yang melintasi antar
propinsi.

Pemerintah, saat ini setidaknya sedang memberi perhatian penuh terhadap 10 Sungai
besar dan 3 sungai lintas propinsi. Kesepuluh sungai tersebut yaitu; di Jawa Barat
meliputi Sungai Citarum, Ciliwung, Citanduy, di Jawa Tengah dan Jawa Timur yaitu
Sungai Bengawan Solo, di Jawa Tengah dan Jogjakarta yaitu Sungai Progo, di Riau
Sungai Kampar, di Sumatera Selatan, Sungai Musi, di Lampung, Sungai Semangka,
di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Sungai Barito, di Sumatera Barat dan
Jambi, Sungai Batang Hari, dan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Sungai
Mammasa.

Dari sungai-sungai yang telah rusak dan tercemar yang paling memperihatikan
terdapat 13 sungai yang melintasi DKI Jakarta sudah tidak bisa difungsikan lagi. Hal
ini dikarenakan air sungai telah tercemar berat, khusunya oleh kandungan logam
berat. Demikian pula sungai-sungai yang terdapat di Kota Medan, Surabaya,
Makasar dan Bandar Lampung, sebagian besar sudah tidak bisa difungsikan kembali
sekurangnya untuk keperluan mandi dan cuci. Air sungai yang masih bisa
difungsikan di kota besar hanya sedikit sekali, itupun dibagian hulu. Secara khusus,
Sungai Citarum, saat ini merupakan salah satu sungai paling tercemar di dunia.

Tingginya tingkat pencemaran sungai, diakibatkan oleh adanya buangan limbah cair
secara langsung kebadan sungai oleh industri, pertambangan, perkebunan kelapa
sawit (Outlook 2010), tekstil termasuk limbah ditergen yang berasal dari rumah
tangga. Selain akibat buangan limbah cair, kerusakan kualitas dan mutu air semakin
rendah akibat adanya buangan sampah keperairan sungai. Tidak kalah pentingnya,
saat ini seperti terjadi di Sungai Ciliwung, perairan sungai acapkali dipenuhi oleh
sampah stereofom.

Kerusakan DAS tidak hanya terjadi pada kualitas air, akan tetapi sampai ketingkat
biofisik disekitar bantaran, bahkan hulu sungai. Hal ini terjadi akibat adanya alih
fungsi lahan dari berhutan menjadi area bisnis seperti perumahan mewah dan hotel
sebagaimana terjadi di Kota Bandung. Demikian pula terhadap kondisi Sungai
Barito, dibagian hulu telah terdegradasi akibat alih fingsi lahan untuk dijadikan
perkebunan sawit dan tambang batubara.

Kondisi yang demikian menjadi ancaman bagi masyarakat sekitar, setidaknya dalam
tiga hal. Pertama saat musim hujan, karena dibagian hulu telah rusak dan bagian hilir
telah tersendimentasi, maka akan dengan mudah menimbulkan bencana banjir
karena diwilayah hulu tidak mampu menangkap air hujan dan dibagian hilir kesulitan
untuk mengalirkan air. Kedua, saat musim kemarau, pengikisan bantaran dan hulu
sungai akan mempersempit media sungai, sehingga air air yang tertampung akan
sangat sedikit, demikian juga debit air akan sangat kecil, bahkan hilang sama sekali.
Dengan demikian kebutuhan air untuk pertanian atau mandi sekalipun tidak akan
terpenuhi. Ketiga, air yang telah tercemar, praktis tidak bisa untuk dikonsumsi. Pada
sungai-sungai yang telah tercemar logam berat, maka air, selain tidak bisa digunakan
oleh manusia, biota air seperti ikan dan plangton akan mengalami kepunahan.

Fakta kerusakan DAS, selain rentan menimbulkan ancaman bencana, juga akan
menimbulan biaya sosial yang sangat tinggi. Air bersih dan sehat seharusnya dengan
mudah didapat, kini tidak bisa lagi, kecuali dengan cara membeli air, baik dalam
bentuk kemasan ataupun galon. Kondisi demikian, tentu akan menambah beban
ekonomi bagi kelompok pendapatan menengah, terlebih lagi bagi kelompok miskin.


2.3. Pemanasan Global
Salah satu penyebab pemanasan global adalah bersumber dari peningkatan volume
gas rumah kaca. Dalam kurun waktu lima tahun yaitu (2003 2008), Kementerian
Lingkungan Hidup menerangkan bahwa total emisi karbondioksida (CO2) di
Indonesia, setara dengan 638,975 gigaton CO2. Sumber emisi berasal dari konversi
hutan dan lahan sebesar 36%, industry 4%, pertanian 8%, dan limbah 16%.
Sementara Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan, bahwa
kenaikan suhu bumi periode 1990 2005 sebesar 0,13 0,15 derajat celcius. Jika
tidak ada upaya serius untuk penanggulangan masalah ini,maka diperkirakan pada
2050 2070 suhu bumi akan naik menjadi 4,2 derajat celcius. Bila demikian, maka
bencana sangat dahsyat atau dengan kata yang lebih ekstrim, akan terjadi kiamat.
Presiden, sebagaimana dalam pidatonya yang disampaikan pada tahun 2010,
menyebutkan bahwa Indonesia selaku negara penghasil emisi terbesar, akan
menurunkan kadar emisinya sebesar 26% pada tahun 2020. Sebagai langkah awal
telah diterbitkannya Inpres No.10 tahun 2011 tentang penundaan Pemberian Izin
Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, patut
dihargai. Namun persoalan dan kenyataannya, pemerintah tidak pernah mencabut
izin dan menutup investasi baik di sektor pertambangan maupun perkebunan yang
masih beroperasi dan merusak kawasan hutan. Posisi yang demikian tentu sangat
ambigu dan patut dipertanyakan tingkat keseriusan pemerintah dalam upaya
penurunan emisi karbon.
Sejumlah proyek yang berlabel REDD+ yang konon katanya bertujuan untuk
menurunkan kadar emisi dengan asumsi jika hutan terjaga kondisi dan kelestariannya
maka mampu menyerap karbon, ternyata disejumlah tempat seperti terjadi di
Kalimantan Tengah, malah menimbulkan masalah baru, bukan sebagai sebuah
solusi. Masyarakat adat yang berada disekitar tapak proyek REDD+ justeru merasa
terancam, karena wiayah kelola yang menjadi tumpuan sebagai sumber kehidupan
telah terampas eksistensinya demi kepentingan sebuah bisnis proyek karbon.

2.4. Pesisir Pantai

Sebagai negara maritim, Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang memiliki
panjang garis pantai yaitu mencapai 81.000 Km dan jumlah pulau mencapai 13.000.
Luasnya pantai dan banyaknya pulau merupakan berkah dan potensi yang maha
besar untuk dikelola guna peningkatan tarap hidup rakyat disekitar pesisir pantai,
khususnya yang berfropesi sebagai nelayan. Tapi kenyataan berkata lain. Selain
masyarakat yang tinggal di pesisir Barat Sumatera, Pesisir Selatan Jawa dan Pesisir
Barat Sulawesi rentan akan dampak gempa dan tsunami karena dikelilingi
lempengan gampa, saat ini kondisi garis pentai telah mengalami kerusakan.

Laju kerusakan garis pantai telah mencapai 20% dari total panjang garis pantai
Indonesia (MENPU, 2010). Kerusakan garis pantai dimaksud adalah bahwa,
disejumlah tempat pesisir pantai telah mengalami abrasi sebagaimana terjadi di
Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Muko Muko, Lampung Barat, Aceh Tamiang,
Aceh Barat dan Aceh Jaya, Bali dan Mamuju Sulawesi Barat. Di Propinsi Bali, dari
total panjang garis pantai 437 kilomenter, saat ini sepanjang 181 kilomenter tanah
dipesisir pantai telah hilang. Kerusakan tersebut terjadi pada 48 pantai yang berlokasi
di Gianyar, Denpasar, Karang Asem dan Jembrana. Sementara di Aceh, khususnya di
wilayah Barat, garis pantai telah mundur kearah darat antara 20 70 meter.

Tingkat kerentanan bencana masyarakat yang tinggal dipesisir dan pulau-pulau kecil,
jauh lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk yang tinggal didaratan. Karena
selain posisi pantai dilalui patahan gempa, teracam karena abrasi, pulau-pulau
kecilpun terancam tenggelam. Sampai dengan tahun 2010, terdapat 20 pulau kecil
yang telah tenggelam (KLH, 2010). Sejumlah pulau kecil lainnya yang terancam
tenggelam adalah; (1). Pulau Keryaan Kecil di Kalimantan Selatan, (2). Pulau
Pasaran di Bandar Lampung, dan (3).Pulau Panaitan Banten.

Selain adanya pulau yang teracam tenggelam, sejumlah desa pesisir terancam
tenggelam pula seperti; (1) Desa Kuala Penaga, Aceh Tamiang, (2) Desa Tapalang
dan Balak Balakang, Mamuju Sulawesi Barat, (3) Desa Cemara, Karawang Jawa
Barat, (4) Desa Way Sindi dan Way Nungkak, Lampung Barat. Persoalan
masyarakat pesisir bertambah berat, karena tekanan air laut yang masuk kedaratan
(intrusi) semakin jauh. Seperti di Pantai Timur Lampung, saat ini tingkat intrusi telah
mencapai 7km kearah daratan. Pengaruh intrusi ini telah menyebab banyaknya
sawah-sawah yang gagal panen, dan para petani akhirnya memilih untuk
mengalihkan fungi sawah menjadi pertambakan guna menghindari kerugian.

Hadirnya abrasi pantai, tidak semata terjadi karena adanya peningkatan permukaan
air laut sebagai dampak perubahan iklim, numun juga sebagai akibat alih fungsi
ruang yang seharusnya diperuntukan sebagai hutan bakau, dialihkan menjadi
pertambakan dan perhotelan sebagaimana terjadi di Bali, Lampung dan Aceh Utara.

Beban risiko bencana masyarakat dikawasan pesisir pantai khususnya yang
berpropesi sebagai nelayan, saat ini semakin membesar dan meluas. Meningkatnya
gelombang laut hingga 50 cm dan hadirnya cuaca ekstrim, terbukti pada tahun 2012
telah merenggut 31 nyawa nelayan tradisional. Orang-orang yang sedang berusaha
bangkit mengatasi kemiskinan secara mandiri hilang ditelan gelombang lautan.
Ceritra buruk soal kemiskinan yang dihadapi nelayan semakin disempurnakan oleh
pemerintah karena tidak memastikan ketersedian BBM baik nelayan yang hendak
melaut, yang terjadi malah mengijinkannya kapal-kapal asing yang berbobot 1000
groston beroprasi di perairan laut Indonesia. Kapal-kapal asing yang berbobot berat
itu tidak saja menguras ikan-ikan di perairan, melaikan juga telah merusak ekositem
terumbu karang sebagai habitat spesies perairan laut terutama ikan.
III. KONDISI BENCANA

3.1. Definisi Bencana

a) Menurut WHO definisi bencana adalah:
Setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan
kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat
atau wilayah yang terkena.


b) Menurut UU No.24/2007, bencana adalah:

Peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan atau penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis


c) Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia definisi bencana
adalah: peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa
dari pihak luar.


d) Bencana ekologis menurut WALHI adalah;
Akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya
sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata
kehidupan masyarakat.

e) Konsep Dasar Bencana:
Bencana adalah; terjadinya suatu gangguan serius terhadap suatu
keberfungsian masyarakat





3.2. Status Bencana
Tingkat kejadian bencana di Indonesia, khususnya bencana ekologis dari tahun
ketahun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan ini terjadi baik
pada level frekuensi dan intensitas bencana serta jumlah korban jiwa.
Terhadap bencana ekologis ini, sejak tahun 2000, WALHI telah menyatakan dan
mengingatkan kepada Negara bahwa praktek salah urus alam harus dihentikan,
karena akan mengakibatkan bencana ekologis. Peringatan ini tidak didengar juga
oleh pemerintah. Padahal angka-angka bencana ekologis semakin menunjukan
peningkatan. Tidak digubrisnya saran-saran tersebut, WALHI dalam Environmental
Outlook yang diterbitkan tahun 2003, telah menyebut dengan lantang, bahwa Negeri
Indonesia merupakan Negeri Sejuta Bencana. Indonesia tidak lagi bisa bangga
disebut sebagai negeri jambrut katulistiwa.
Kerasnya sikap WALHI terhadap pemerintah, pantas untuk dilontarkan. Hal ini
berdasarkan fakta bencana yang terjadi setiap tahun terus mengalami peningkatan.
Korban jiwa berjatuhan, harta benda hilang, namun pemerintah tetap abay dan terus
saja mengobral murah kekayaan alam kepada korporasi transnasional maupun
nasional.
Peningkatan laju bencana bisa kita lihat berdasarkan risalah laporan yang telah dirilis
WALHI. Sejak tahun 2000 hingga 2006, telah terjadi 410 kali kejadian banjir dan
tanah longsor yang melanda tanah air. Bencana ini meyebabkan sebanyak 2303
orang meninggal. Dan dalam empat tahun terahir yaitu 2007 2011 angka bencana
ekologis telah mencapai 1724 kali kejadian dan memakan korban jiwa berjumlah
1477 jiwa (WALHI 2012).
Ada hal berbeda dalam bencana ekologis yang terjadi di Indonesia dengan negara
lain. Perbendaannya ialah, jika dinegara lain hanya terjadi banjir saja, di Indonesia
bisa terjadi banjir dan longsor, longsor, dan banjir itu sendiri. Inilah yang
menyebabkan angka korban jiwa di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding negara
lain. Karena perbendaan ini, tentunya dalam mitigasi dan adaptasi bencana
seharusnya juga berbeda, dan satu hal yang menarik ialah bahwa banyak komunitas
rakyat yang memiliki pengetahuan dan kearifan lokal seperti dimiliki warga
kepulauan Simelue Aceh tentang semong (tsunami), namun pemerintah belum
merefitalisasi dan mereflikasikannya kewilayah lain yang juga rentan bencana.


3.3. Faktor Penyebab Bencana
Secara sederhana, bencana umumnya terjadi karena disebabkan dua factor utama.
Pertama adalah factor alam, dan kedua adalah karena faktor tindakan manusia.
Faktor ini bisa berdiri sendiri-sendiri bisa menyebabkan bencana, demikian pula bila
faktor alamd dan manusia digabungkan bisa pula menyebabkan bencana.

A. Faktor Alam
Bencana karena factor alam meliputi; (1) gempa bumi, (2) letusan gunung api, (3)
tsunami. Bencana alam seperti gempa, hanya memiliki dua tife, yaitu tektonik dan
vulkanik. Gempa terjadi secara alamiah akibat adanya proses pergeseran atau
pergerakan lempeng pada bagian dalam bumi secara tiba- tiba. Terjadinnya gempa
bumi, bisa menimbulkan tsunami, tergantung pada tingkat kekuatan (skala rister) dan
jarak serta kedalam pada pusat gempa (evisentrum). Gempa, dapat pula terjadi akibat
adanya letusan gunung api. Meletusnya gunung api sebagai bagian dari aktivitas
vulkanik yang dikenal dengan istilah erupsi. Letusan gunung api dapat menimbulkan
awan panas, lahar diging, pijaran api dan hujan abu. Faktor alam yang lainnya yang
bisa menyebabkan terjadinya bencana ialah; (1) tekstur tanah yang labil, dan (2)
tingkat kemiringan lahan yang sangat curam.

B. Faktor Manusia
Bencana karena faktor manusia bisa berupa bentuk (1) banjir, (2) longsor, (3)
kekeringan, (4) kebakaran hutan dan abrasi pantai . Tindakan langsung manusia
dilakukan dengan cara pembabatan hutan, penambangan dan pembukaan lahan
dengan cara membakar, bisa menyebabkan lima jenis bencana terjadi. Dan tindakan
secara tidak langsung berupa pemberian ijin-ijin kepada pemilik modal untuk
menjadikan suatu kawasan lindung menjadi peruntukan lain seperti pertambangan
dan perkebunan skala besar dan perhotelan.
Saat ini bila melihat trend bencana yang terjadi khususnya bencana ekologis, dipicu
karena sejumlah kebijakan. Kebijakan itu diantaranya adalah pemberian konsensi
kepada perusahaan pertambangan seluas 42,96 juta ha dari total luas daratan
Indonesia, pemberian ijin koversi hutan seluas 81.810.449 juta ha. Belum lagi
pemberian ijin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit yang saat ini telah
mencapai 9,1juta ha, termasuk ijin konversi sawah.

IV. KONDISI WALHI


4.1. Sumber Daya WALHI

WALHI merupakan organisasi gerakan lingkungan hidup tertua dan terbesar di
tanah air yang telah ada sejak 32 tahun lalu. WALHI memiliki pengalaman panjang
dalam dunia gerakan lingkungan yang bisa dijadikan acuan belajar bersama bagi
semua komponen WALHI. Organisasi ini besar hanya karena tua, melainkan pula
karena memiliki anggota berjumlah 502 organisasi dari berbagai latar belakang. Ada
kelompok hukum, kontrasepsi, perempuan dan anak, lingkungan, HAM, ekonomi,
pesantren dan kelompok Pencinta Alam yang berjumlah 102 organisasi baik kampus
maupun umum.

WALHI memiliki kelompok pakar yang dikenal dengan sebutan WALHI Institute
(WI). Pakar itu, saat ini berjumlah 62 Orang dan tersebar 15 Propinsi. WALHI
memiliki pula kelompok pendukung yang disebut WALHI Sociaty yang didalamnya
terdapat Organisasi Rakyat, Sahabat WALHI dan Green Studen Movement. Jumlah
OR yang telah dibangun WALHI sejak tahun 1999 sampai ini sebanyak 300an.
jumlah mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam GSM telah mencapai lebih dari
3000. Jumlah Sahabat WALHI sebanyak 800 orang.

WALHI memiliki para alumni pengurus baik ditingkat daerah maupun pusat yang
telah mengisi pos lembaga lembaga Negara. Lembaga yang paling dominan diisi
oleh alumni adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komnas HAM, Komosi
Informasi Publik (KIP), Panitia Pengawas Pemilu, staf ahli Presiden, anggota
DPR/DPRD. Bahkan alumni WALHI pernah menjabat sebagai Menteri di era
Presiden Gusdur .

Besar, beragam, berpengalaman dan berdaya juangtinggi merupakan kekuatan yang
dimiliki WALHI, bukan karena uang dan kekayaan yang dimilikinya. WALHI bisa
disebut organisasi termiskin bila dibandingkan dengan organisasi dalam bidang yang
sama. Anggota-anggota dari kelompok hukum terlatih dalam beracara tanpa dibayar.
Anggota dari Kelompok Pencinta Alam terdidik dalam menjalankan tugas tanpa
pamrih. Anggota dari kelompok pembela perempuan terbiasa berhimpun bersama
kelompok miskin. Anggota dari kelompok pembela HAM terampil dalam
menghadapi teror dan intimidasi. Demikian pula anggota-anggota dari profesi
berbada.

4.2. Pengalaman Dalam Mengelola Bencana
Untuk pertamakalinya dalam sejarah dan dalam situasi yang tidak dimiliki
pengetahuan soal kebencanaan, WALHI mulai terlibat mengurus bencana pada tahun
1997 saat terjadi kebakaran hutan yang dahsyat. Tindakan yang dilakukan memang
terbilang kecil, yaitu hanya berupa pembagian masker ditiap tiap propinsi yang
mengalami kebakaran hutan.
Gempa berkekuatan 5,9 SR yang melanda Bengkulu pada 21 Desember 1998 seolah
menggiring WALHI untuk terus berkiprah dalam urusan bencana. Bertindak mulai
dari evakuasi korban hingga menyiapkan panci, ember, baskom untuk para korban,
itulah yang dilakukan WALHI. Tindak ini tidak pernah sama sekali dilakukan
sebelumnya, bahkan terpikirpun tidak. Tindakan tanggap darurat saat gempa
Bengkulu bisa disebut sebagai titik tolak sesungguhnya bagi WALHI dalam
menangani bencana.
Banjir besar dan longsor yang melanda sebagian wilayah Indonesia pada tahun 1999
seolah meneguhkan WALHI untuk selalu hadir dalam setiap bencana. Tidak punya
pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana, tapi beruntung memiliki anggota
dari kalangan Pencinta Alam yang punya pengetahuan tentang SAR, itulah modal
awalnya. Pada tahun itu telah terjadi 77 kali banjir dan longsor yang melanda tanah
air dan memakan korban jiwa lebih dari 300 orang. Diwilayah pesisir Jawa sejak
1996 1999 terdapat 1288 desa yang tergenang oleh banjir. Bencana ini hadir
sebagai buah dari adanya kebakaran hutan pada 1997 dan diperparah dengan
maraknya praktik tindak illegal logging.
Mengingat situasi bencana yang semakin memburuk, WALHI telah mengingatkan
pemerintah agar tidak salah urus alam yang berujung bencana. Peringatan tentang
ancaman bencana disampaikan WALHI yang tertuang dalam dokumen
environmental outlook tahun 2000.
Banjir bandang yang sangat dahsyat telah melanda kawasan Bahorok Sumatera Utara
pada tahun 2003. Beruntung walau dengan pengetahuan yang sedikit, WALHI
bertindak cepat tanggap atas bencana tersebut. WALHI menilai bahwa poenyebab
banjir bandang di Bahorok, terjadi karena adanya praktik pembalakan liar. Karena itu
pada peluncuran Environmental Outlook 2003 WALHI menyebutkan bahwa
Indonesia saat ini merupakan negeri sejuta bencana. Dasarnya adalah intensitas dan
frekwensi bencana terus meningkat khususnya bencana ekologis karena faktor
manusia.

Pada hari Minggu 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 8,9 SR telah melahirkan
badai tsunami yang meluluhlantakan Kota Banda Aceh, Meulaboh dan kota-kota
dilingkungan pesisir pantai Propinsi Aceh termasuk kepulauan Nias. Bencana ini
merupakan yang terbesar melanda dunia di awal abad 21. Jumlah korban jiwa
mencapai 230 ribu orang, belum lagi negara-negara luar yang juga ikut terdapak
gempa dan tsunami. Bencana ini tidak saja membuat rasa sedih yang mendalam bagi
warga Indonesia dan Aceh pada khususnya, pun WALHI sangat merasa terpukul
karena pimpinan dan keluarga WALHI menjadi bagian korban gempa dan tsunami.
Dalam merespon bencana ini, WALHI telah memberikan perhatian khusus selama
enam bulan untuk terlibat dalam penanganan bencana. Segala sumber daya yang
dimiliki dicurahkan untuk pemulihan Aceh termasuk mengerahkan lebih dari 300
relawan. Ini belum termasuk WALHI dan anggota diseluruh tanah air yang turut
turun tangan secara mandiri.
Bencana gempa dan tsunami Aceh telah mengkontruksikan pikiran-pikiran WALHI
yang dituangkan dalam sebuah surat keputusan PNLH IX tahun 2005. Surat
Keputusan tersebut memandatkan pembentukan Desk Aceh dan Nias. Kehadiran
Desk Disaster diperkuat dalam struktur dengan membentuk Divisi Manajemen
Pengelolaan Bencana

Sejak 1997 2009, WALHI dengan seluruh komponennya terus aktif terlibat dalam
pengurangan risiko bencana. WALHI hadir dalam gempa dan tsunami yang melanda
Jawa Barat tahun 2006 dan Jogjakarta tahun 2007 dan Sumatera Barat 2009.
WALHI juga hadir dalam bencana eurupsi merapi yang melanda Jogja dan Jawa
Tengah, banjir bandang di Aceh, banjir dan longsor di Pangalengan Bandung Jawa
Barat dan bencana-bencana diberbagai tempat dimana WALHI berada.

Pada penghujung 2009 2012 WALHI Nasional seolah tidak tampak hadir dalam
urusan bencana. Hal ini dikarenakan pilihan WALHI untuk bermain hanya pada
ranah advokasi dilevel kebijakan. Gagasan dan pendapat ini lahir sejak WALHI
turut aktif dalam penyusunan draf UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Pendapat ini diperkuat dengan melihat fakta bahwa produk-produk
legislasi dan regulasi seperti UU Perkebunan, UU Mineral dan Bautbara, UU
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Presiden tentang penambangan
dikawasan lindung dan seterusnya yang cendrung ekstraktif dan bahkan berkibat
rusak dan musnahnya ekositem alami, termasuk mengacam keselamatan hidup warga
negara Indonesia. Meski ditingkat nasional terkesan abstain dilapangan bencana,
namun ditingkat daerah kerja-kerja tanggap darurat masih terus berjalan
sebagaimana dilakukan oleh komponen WALHI Maluku Utara saat merespon erupsi
Gunung Merapai Gamala tahun 2010.


Pada PNLH XI, 17 21 April 2012 di Balikpapan, lahir pendapat dan semangat agar
WALHI memasukan isu kebencanaan sebagai salah satu agenda kerjanya. Anggota
dari unsur Kelompok Pencinta Alam merupakan salah satu komponen yang
mendorong gagasan itu. Mereka ingin diberi ruang dan terlibat menjalankan agenda-
agenda bersama WALHI karena selama ini KPA merasa tidak dilibatkan. Atas
pendapat dan pikiran yang berkembang, sidang telah melahirkan surat keputusan (SK
No.8/PNLH XI/IV/WALHI/2012) tentang program kerja WALHI yang salah satunya
memuat program penanganan bencana.
PNLH XI telah berproses, dimana sejak Juni-Agustus 2012 telah digagas inisiatif
untuk mengembangkan Desk Disaster yang semula hanya terdapat di Aceh dan Nias,
kini diharapkan bisa hadir di 28 propinsi. Proses ini terus berjalan, pada 21
Desember 2012 bertempat di Bandar Lampung dan dihadiri oleh 60 orang
perwakilan anggota dari unsur Pencinta Alam dari 12 propinsi yang dikemas dalam
bentuk sarasehan bertema; Peran Pencinta Alam Dalam Mereduksi Dampak Bencana
Akibat Konflik dan Kerusakan Lingkungan, WALHI telah mendeklarasikan tanggap
darurat bencana. Proses untuk membentuk Desk Disaster diseluruh Indonesia, telah
diperkuat dengan diterbikannya SK Direktur Eksekutif Nasional WALHI
No.201/WALHI/IV/2012 tanggal 21 April tentang pembentukan Struktur, Pengurus
dan Anggota Tim Disaster WALHI
Kehadiran Desk Disaster WALHI diharapkan mampu terlibat dalam pengurangan
risiko bencana yang dimulai dari proses mitigasi dan adaptasi bencana, tanggap
darurat hingga advokasi. Kini WALHI tidak lagi memperdebatkan pada ranah dan
level apa harus bermain. Namun pada prinsipnya WALHI akan bertindak sesuai
dengan sumber daya yang dimiliki dan kebutuhan yang diperlukan oleh komunitas
dan korban bencana.

4.3. Penggalangan Sumber Daya
Sejak terlibat dalam penanganan bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004,
WALHI mulai memiliki pengalaman dalam menggalang sumber daya baik orang
maupun dana. Banyak orang yang mampu direkrut oleh WALHI untuk menjadi
sukarelawan. Demikian pula dalam hal penggalangan dana, WALHI tidak
mengalami banyak kesulitan. Ratusan orang dan jutaan uang mampu dikumpulkan
oleh WALHI untuk digunakan bagi kepentingan penanganan bencana.
Pembelajaran yang didapat pasca itu adalah, pada akhirya, sedikit banyak,
masyarakat baik secara perseorangan maupun kelompok hadir sendiri ke WALHI
untuk menyerahkan bantuan bagi masyarakat korban. Lembaga keuangan seperti
Bank PBD Sumatera Selatan, bahkan telah memastikan bahwa seluruh dana yang
akan diserahkan kepada masyarakat korban, disampaikan melalui WALHI. Bahkan
perusahaan sekalipun hendak menyampaikan bantuannya melalui WALHI. Dan yang
unik dari perusahaan ini adalah, terdapat perusahaan yang sesungguhnya menjadi
lawan WALHI. Ambil contoh ketika terjadi tsunami di Aceh, PT. Semen Cibinong
menginginkan agar WALHI bisa menerima bantuan dari perusahaan tersebut.
Demikian pula dengan PT. RAPP yang menjadi lawan WALHI karena merusak
hutan alam di Riau, pada bencana gempa di Sumatera Barat, mereka sangat berharap
agar WALHI bisa menerima pendanaannya. Meski dalam situasi bencana sekalipun,
karena berpedoman pada sikap dan prinsip perjuangan organisasi, maka WALHI
tidak pernah mau menerima bantuan dalam bentuk apapun dari para pihak perusak
lingkungan.

4.4. Pembangunan Desk Disaster
Sebagi wujud konsistensi WALHI terhadap isu-isu Penanggulangan Bencana yang
telah dimulai secara nyata pada 2004, dalam PNLH IX di Mataram tahun 2005,
WALHI telah membentuk divisi pengelolaan bencana dan Desk Bencana untuk
wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Pembangunan ini sebagai bentuk kesungguhan
WALHI dalam menjalankan agenda advokasi lingkungan yang berbasis bencana.
Keberadaan Divisi dan Desk Disaster WALHI telah berfungsi sangat baik, karena
mampu mengkonsolidasi WALHI ditingkat daerah yang sedang berhadapan dengan
bencana. Desk Disaster, telah pula menarasikan pengalaman di Aceh dalam bentuk
buku yang berjudul berkawan dengan ancaman, dan bersahabat dengan bencana.
WALHI telah mampu memetakan bahwa 83 persen dari wilayah Indonesia
merupakan rawan bencana dan 98 persen warga Indonesia tidak siap menghadapi
bencana. Dan WALHI telah terlibat aktif dalam perumusan-pembahasan draf UU
Penanggulangan Bencana yang kini telah diundangkan menjadi UU.24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana.

4.5. Kelemahan WALHI
Dari total 502 organisasi anggota WALHI yang tersebar diseluruh Indonesia, hanya
10 persen yang mampu terjangkau oleh Eksekutif Nasional WALHI. Angka ini
merujuk pada hasil riset yang dilakukan oleh oleh Erik Wolker dan Dani Munggoro
(2003). Ketika itu jumlah anggota WALHI hanya sekitar 400-an.
WALHI memiliki 102 anggota dari unsur kelompok pecinta alam (KPA) dan
puluhan anggota yang bermain diisu PRB. Kelompok ini memiliki keterampilan dan
orientasi medan yang sangat baik. WALHI memiliki pula belasan alumni pengurus
yang berkiprah dan berpengalaman dalam penanganan bencana. Kelemahannya,
WALHI belum mendayagunakan potensi tersebut untuk ditempatkan sebagai bagian
dari gerakan advokasi WALHI yang berbasis bencana.
WALHI memiliki kemampuan dan pengalaman dalam penanganan bencana ditanah
air. Antara lain, gempa dan tsunami di Aceh, gempa dan tsunami di Jogja, gempa
dan tsunami di Pangandaran, gempa dan tsunami di Sumatera Barat, erupsi Gunung
Merapi di Jogja dan Jawa Tengah, banjir di Jakarta, banjir dan longsor di
Pangalengan dan wilayah lainnya. Kelemahannya, pengalaman yang luas dan luar
biasa itu masih terpilah-pilah, belum terkompilasi sehingga mampu dirujuk sebagai
sumber pengetahuan baru dan pembelajaran bersama dalam menjalankan aksi-aksi
penanganan bencana dikemudian hari.
WALHI memiliki kemampuan dan pengalaman puluhan tahun dalam mengorganisir
komunitas desa hutan, perkotaan maupun pesisir pantai. Dan khususnya
pengorganisasian komunitas korban bencana sejak tahun 2004. Kelemahannya,
pengorganisasian yang dilakukan belum mengintegrasikan isu bencana dalam proses
pengorganisasian yang berkelanjutan
WALHI memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup, baik dalam
mengkonsolidasi gerakan dan sumber daya sosial yang diarahkan untuk penanganan
bencana. Persoalannya, WALHI belum konsisten mengawal proses tersebut.
WALHI memiliki kelompok pendukung seperti WALHI Institute, Sahabat WALHI
dan Green Studen Movement sebagai sumber daya sosial yang tersebar di berbagai
daerah. Persoalannya, WALHI belum oftimal memanfaatkan sumber daya tersebut
menjadi bagian kolektifitas WALHI dalam penanganan bencana yang dituangkan
dalam sebuah kebijakan organisasi.
WALHI dipercaya sebagai organisasi tempat untuk memberikan bantuan baik
berupa dana, logistik, dan sarana lainnya oleh publik baik dari dalam maupun luar
negeri, termasuk lembaga keuangan daerah. Persoalannya, WALHI belum merawat
dengan apik para relasi yang telah menaruh kepercayaan.




V. VISI, MISI DAN TUJUAN DESK DISASTER

5.1. VISI :
Terciptanya kemandirian dan kemampuan rakyat untuk lebih siap, sigap dan mampu
mengelola ancaman bencana ekologis


5.2. MISI
1. Memperkuat peran korban dan komunitas rentan bencana untuk memperoleh
pemenuhan HAM dan rasa aman dari ancaman risiko bencana
2. Mendorong isu bencana menjadi salah satu intrumen penting dalam
perencanaan pembangunan baik ditingkat nasional maupun daerah, serta dalam
penerbitan legislasi dan regulasi kebijakan
3. Mempromosikan pengurangan risiko bencana menjadi agenda bersama
parapihak
4. Mengkonsolidasi dan menggerakan sumber daya sosial masyarakat sipil untuk
diarahkan bagi pengurangan risiko bencana



5.3. TUJUAN
1. Menjadikan komunitas mampu menjaga nilai-nilai lokal dan sumber-sumber
kehidupannya
2. Mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang berkeadilan dan lebih berpihak
pada keselamatan warga dan kelestarian lingkungan hidup
3. Memperluas isu pengurangan risiko bencana menjadi gerakan bersama
masyarakat sipil
4. Menghimpun dan memberikan layanan informasi terkait bencana kepada
publik









VI. RENCANA AKSI


6.1. Tahap Persiapan

6.1.1. Konsultasi Gagasan

Untuk memastikan gagasan pembangunan Desk Disaster WALHI mendapat
dukungan dari komponen WALHI, dan Desk Disaster mampu mengaktualisasi
visi, misi dan tujuan organisasi, maka diperlukan konsultasi antar komponen
WALHI termasuk para alumni baik ditingkat nasional maupun daerah dan
nasional dengan daerah. Proses konsultasi ini bisa dilakukan baik secara formal
maupun informal dengan harapan bisa mendapatkan masukan terkait langkah
dan peran strategis yang akan dimainkan WALHI dalam pengurangan risiko
bencana.


6.1.2. Pembangunan Tim Disaster WALHI

Keberadaan sebuah tim disaster mutlak diperlukan. Hal ini mengingat
diperlukannya sumber daya untuk mengaktualisasi perencanaan dan
memberikan layanan. Sebagaimana pembahasan dalam PNLH XI, maka sumber
daya yang perlu diberdayakan adalah anggota dari Kelompok Pencinta Alam
selain anggota yang telah menangani isu pengurangan risiko bencana. Proses
yang dilakukan adalah; (1) rekruitmen tim, (2) pemetaan sumber daya tim, dan
(3) konsolidasi tim. Ketiga tahapan dilakukan baik ditingkat daerah maupun
nasional.


6.1.3. Pembangunan Sistem

Agar dalam proses perjalannya Desk Disaster bisa bekerja sesuai rencana,
terarah dan jelas serta terhidar dari tindakan kelalaian yang berakibat fatal
maka diperlukan adanya sistem. Didalamnya, sistem ini memuat (1) kerangka
advokasi, (2) SOP pemberian layanan atau penanganan bencana, (3) protokol
komunikasi, (4) struktur, dan (5) rencana kerja


6.1.4. Pengadaan Sarana Pendukung

Sebagai bentuk persiapan, kebaradaan sarana (pearalatan) mutlak diperlukan.
Sarana yang dimaksud adalah sarana minimal yang jumlah dan jenisnya akan
disesuaikan dengan kemampuan keuangan organisasi dan tingkat urgensi
keperluannya, sekurangnya mampu diadakan untuk merespon proses resceuw.
Pada tahap awal ini, peralatan yang diperlukan sebagai berikut;

1. Satu set PC untul keperluan GIS dan database
2. Sitem Operational GIS
3. Satu unit kendaraan operasional lapangan
4. Satu set perahu karet
5. Satu unit GPS
6. Dua unit HP Satelit
7. Empat unit handy talk
8. Dua unit tenda dome
9. Satu unit kamera digital

6.1.5. Penguatan Kapasitas

Kehadiran anggota tim dengan memiliki keahlian-keahlian khusus sangat
diperlukan. Hal ini agar dalam proses pelaksanaan pengurangan risiko bencana
mulai dari tahap pra bencana, bencana dan pasca bencana, mampu
menghadirkan tim yang sesuai dengan bidang keahlian yang dimilikinya dan
tidak menjadi sumber masalah saat proses pelaksanaan. Penguatan kapasitas
dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1) untuk kepentingan mitigasi dan adaptasi
bencana, (2) untuk tanggap darurat, dan (3) untuk advokasi.

Untuk proses persiapan mitigasi dan adaptasi bencana, pelatihan yang
diperlukan yaitu (1) training konservasi alam, (2) riset dan ekspedisi, (3)
community organizer, dan (4) pemetaan partisipastif

Untuk proses layanan tanggap darurat, pelatihan yang diperlukan adalah; (1)
SAR dan Rescuwe, (2) manajemen bencana (assesment, posko, logistik,
komunikasi dan dokumentasi), (3) navigasi darat dan laut dan (4) gladian

Untuk proses advokasi, pelatihan yang diperlukan adalah; (1) investigasi, (2)
kampanye, (3) penulisan dan (4) legal drafting.
6.2. Pengurangan Risiko Bencana

6.2.1. Pra Bencana
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan sebelum terjadi bencana yaitu; (1)
kolekting informasi bencana, (2) pemetaan kawasan rawan bencana ekologis,
(3) riset model adaptasi riko bencana masyarakat adat/lokal, (4)
pengorganisasian dan penguatan komunitas, (5) pemulihan lingkungan

6.2.2. Saat Bencana
Tindakan dan layanan yang akan dilakukan pada saat terjadi bencana adalah
sebagai berikut; (1) assesment, (2) SAR and Rescuwe, (3) pembukaan posko
logistik dan kesehatan.
Tindakan tersebut akan diarahkan pada kejadian bencana ekologis meliputi;
banjir, longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan. Sedangkan tindakan terhadap
bencana alam meliputi; erupsi merapi, gempa dan tsunami.
Tindakan terhadap kecelakaan besar yang disebabkan karena pengaruh cuaca,
gagal sistem dan human eror serta karena konflik sosial, tetap akan diberikan
tergantung pada tingkat kedaruratan, kesiapan dan kemampuan.

6.2.3. Pasca Bencana
Sementara tindakan yang akan dilakukan pasca bencana, lebih diarahkan pada
tindakan advokasi. Proses ini bisa pula dilakukan dan tidak harus menunggu
hadirnya bencana. Dalam kontek advokasi tindakan yang ditempuh yaitu; (1)
analisis RTRW berbasis geo spasial, (2) Porsi Angaran Belanja baik APBN
maupun APBD untuk bencana, (3) mendorong analisis risiko bencana dalam
rencana pembangunan, (4) mendorong analisis risiko bencana masuk dalam
instrumen pencegahan kerusakan lingkungan seperti AMDAL dan (5)
Mendorong pemenuhan HAM korban dan komunitas rentan bencana dalam
aspek ekonomi, sosial dan budaya.





6.3. Konsolidasi

Agar terbangun tim desk disaster yang solid tumbuh kembang rasa ke WALHI-
an yang kuat, maka diperlukan adanya konsolidasi antar sesama komponen
WALHI dan tim disaster. Proses konsolidasi ini, juga merupakan media yang
bisa dipakai untuk refleksi dan evaluasi atas tindakan-tindakan yang telah
dilakukan sehingga kekurangan yang didapati bisa direduksi dan dihilangkan
dikemudian hari. Demikian pula capaian-capaian yang baik bisa dipertahankan
dan dikembangan agar lebih berdampak luas.

Adapun bentuk-bentuk konsolidasi yang bisa dipilih dan dilakukan yaitu;
a. Pertemuan rutin bulanan atau per tiga bulanan, dilakukan secara bergilir
dari satu organisasi ke organisasi lainnya
b. Penyelenggaraan sarasehan dengan mengusung tema-tema tertentu dengan
tentatif waktu dan tempat
c. Penyelenggaraan ekspedisi dengan objek bisa gunung, pantai dan sungai
d. Latihan gabungan untuk kesiap siagaan
e. Pertemuan Anggota Kelompok Pencinta Alam ditingkat regional yang
dilaksanakan setiap satu tahun sekali dan ditingkat nasional yang
dipadukan dalam agenda PKA yang akan dilaksanakan empat tahun sekali

















LAMPIRAN LAMPIRAN









253
118
447 428
478
1724
356
53
324
635
109
1477
2007 2008 2009 2010 2011 TOTAL
KEJADIAN BENCANA EKOLOGIS
DI INDONESIA
BANJIR DAN LONGSOR KORBAN
6
3 3
1 1 2
12
4
2 1 1 2 3
1 1
5
2 1 1 1
5
1
59
11
6 7
1
1 3
32
4
2
6
2
5 8 1 15 10
3 1 1
8 20
2
149
A
C
E
H
S
U
M
U
T
S
U
M
B
A
R
B
E
N
G
K
U
L
U
L
A
M
P
U
N
G
B
A
N
T
E
N
J
A
B
A
R
J
A
T
E
N
G
J
A
T
I
M
B
A
L
I
N
T
B
K
A
L
S
E
L
K
A
L
T
I
M
S
U
L
S
E
L
S
U
L
B
A
R
S
U
L
T
E
N
G
S
U
L
U
T
S
U
L
T
R
A
G
O
R
O
N
T
A
L
O
M
A
L
U
K
U

U
T
A
R
A
M
A
L
U
K
U
P
A
P
U
A
T
O
T
A
L
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
DATA KORBAN BANJIR DAN LONGSOR
DI INDONESIA, THN 2012
JML LOKASI JML KORBAN TEWAS



19,845
9,898
29,463 30,616
37,909
127,731
161,378
8931
29191
17221
6,974
223,695
2011 2010 2009 2008 2007 TOTAL
GRAFIK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI
INDONESIA
TITIK API LUAS (Ha)
H
U
T
A
N
H
U
T
A
N

T
A
N
A
M
A
N
G
A
M
B
U
T
P
E
R
K
E
B
U
N
A
N

S
A
W
I
T
K
E
B
U
N

R
A
K
Y
A
T
T
O
T
A
L
1
2
3
4
5
4284
1940
1625
3104
432
11385
DATA LUAS KEBARAN HUTAN DAN LAHAN
TAHUN 2012
LUAS (Ha)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 4 5 2 4 4 3 0 0 4 0 6 10 0 12 2 1 2 65
2176 Aceh
310
1010 Riau
300
2092 Jambi
273
46
0 0
751 Lpg
0
129
1742 Jateng
0
1753 Jatim
250
500 NTB
50
11,382
DATA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
DI SUMATERA, JAWA, BALI, NTB DAN NTT
TAHUN 2012
PROPINSI LOKASI (KAB) LUAS TERBAKAR (Ha)

You might also like