You are on page 1of 10

Berhimpun Berkarya dan Berhuni Bersama Pengalaman Rakyat Brazil

5 June 2013
Prathiwi
LKIP

Sore itu sudah lewat pukul lima, tanggal tiga bulan lima, seminar The Urban Project: Design
with/by/for People Design and Participation in Urban Development masih berjalan dengan
seru di KU Leuven, Belgia. Padahal, besok hari Sabtu. Biasanya para kolega dan mahasiswa
sudah berangkat berakhir pekan, pulang ke kota dan desanya masing-masing, atau sekedar
menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat. Apalagi cuaca sedang bagus. Tapi ruangan
auditorium masih lumayan penuh.
Presentasi terakhir dibawakan oleh Pedro Arantes, seorang arsitek dan penggiat komunitas dari
So Paulo. Saya sudah terkantuk-kantuk, setelah sebelumnya menyimak banyak uraian soal
ideologi dan pembangunan ruang kota dengan banyak contoh urban renewal[1] dari Amerika
Serikat dan Eropa. Pedro membawakan studi kasus Brazil, negara yang sejak pertengahan abad
20 sudah terkenal dengan sistem perumahan rakyat yang relatif baik. Ketika presentasinya
dimulai, saya optimis akan tertidur, sebab cerita soal Brazil rasanya tidak terlalu baru bagi para
lulusan sekolah arsitektur di Indonesia. Bagi generasi saya yang lahir tahun 80-an, konsep
rumah rakyat hanya menjadi jargon. Di Indonesia, rusun untuk rakyat sering kali merupakan
cerita buruk.
Entah pada slide keberapa, Pedro bicara soal cara meyakinkan masyarakat untuk mengelola
sendiri proyek pembangunan rumah susun (rusun) pemerintah dan tidak mengandalkan
pengembang dan kontraktor swasta. Dia menjelaskan apa itu nilai guna (use value) dan nilai
tukar (exchange value). Sontak saya terbangun. Baru kali ini saya mendengar arsitek bicara
teori Marxis. Saya pun membayangkan, bagaimana dia bisa menjelaskannya kepada
masyarakat. Ia masih muda, tapi tampak sangat percaya diri dengan keyakinan ideologinya, dan
tentu saja profesinya.
***
The military regime in Brazil lasted twenty years, and was brought down by social forces that
had developed during that period. The acceleration of industrialization, albeit run for the most
part by foreign companies, ultimately led to an increasingly strong and well-organized working
class, as was the case in the automobile industry. ()
() At the end of the 1970s, new characters were coming onto the scene: the social movements
on the outskirts of So Paulo, many led by women, campaigning for crches, housing,
healthcare, transport and sanitation. The space of daily life became a political forum, and there
was increased debate between social classes, on matters ranging from demands for fairer
salaries and working conditions to campaigns for citizens rights. ()
(Rezim militer di Brazil berlangsung selama dua puluh lima tahun, dan dilengserkan oleh
kekutan-kekuatan sosial yang berkembang selama kurun waktu tersebut. Kendati sebagian
besar dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, percepatan proses industrialisasi berujung
pada kelas pekerja yang semakin kuat dan terorganisir dengan baik, demikian pula yang terjadi
dalam industri otomobil [...].
[...] Pada akhir tahun 1970-an, sosok-sosok baru bermunculan: gerakan sosial di pinggiran kota
So Paulobanyak diantaranya dipimpin oleh perempuanberkampanye menuntut
pembangunan tempat perawatan anak, perumahan, pelayanan kesehatan, transportasi, dan
sanitasi. Ruang-ruang keseharian menjadi forum politik, yang berurusan dengan tuntutan-
tuntutan untuk upah dan kondisi yang lebih layak, hingga kampanye hak-hak warganegara.)
(Pedro Arantes, 2013)
Selain berkarya sebagai arsitek dan mengajar di salah satu sekolah arsitektur, Pedro Arantes
adalah koordinator sebuah lembaga bernama Colectivo USINA, sebuah lembaga kolaborasi
berbagai profesi, mulai dari arsitek, insinyur sipil, ahli tata kota, pengacara, sosiolog, seniman
sampai analis sistem. Sebelum secara legal terbentuk pada tahun 1990, dalam 1980-an,
beberapa anggotanya secara terpisah (secara kolektif atau individual) bekerja sama dengan
gerakan sosial masyarakat Brazil untuk menyelesaikan permasalahan permukiman bagi
masyarakat miskin kota. Para pengajar sekolah arsitektur dan mahasiswanya sangat aktif
terlibat, tidak hanya meneliti, tapi juga mendorong pemahaman bahwa kebutuhan masyarakat
akan hunian tidak hanya berupa rumah, tetapi juga sarana umum seperti tempat bermain,
sarana olahraga dan pusat kebudayaan komunitas. Selama satu dekade, pengetahuan teknis
desain dan konstruksi bangunan alternatif yang lebih efektif dan efisien (dalam artian sesuai
kebutuhan masyarakat dan relatif lebih murah), serta pengalaman solidaritas kaum profesional
untuk berkolaborasi dengan masyarakat miskin dan kelas pekerja pun terakumulasi.
Keterlibatan para peneliti dan pengajar universitas bukanlah tanpa persoalan. Akibat krisis
anggaran, tenaga pendidikan juga saat itu harus menghadapi pemecatan dan pengurangan dana
penelitian. Untungnya, kematian satu inisiatif terus diikuti oleh kemunculan inisiatif baru
sehingga gerakan kolaborasi untuk habitat yang humanis tersebut terus bergulir. Perlu dicatat,
bahwa gerakan sosial (politik) perumahan di Brazil ini juga banyak dipengaruhi oleh gerakan
serupa di Uruguay (Pedro Arantes, 2013).

In the 1980s, architects and organized masses came together, thereby accomplishing what had
been talked of in the years before the military coup. Although this did nothing to alter the
traditional connection between architects and dominant classes, it did open up the possibility
that some architects by acting alongside the housing movements and the people of the hidden
city might question the professions elitism.
(Pada tahun 1980-an, arsitek dan massa yang terorganisir bergerak bersama sehingga menuai
kesuksesan atas apa yang telah dibicarakan pada tahun-tahun sebelum kudeta militer.
Meskipun tidak berhasil mengubah hubungan tradisional antara arsitek dan kelas-kelas
dominan, hal ini membuka suatu kemungkinan dimana para arsitekdengan bertindak
bersama-samagerakan perumahan dan penduduk pelosok kotabisa mempertanyakan elitisme
profesinya.)
(Pedro Arantes, 2013)

Pendekatan pembangunan seperti yang diperkenalkan oleh embrio-embrio USINA kemudian
diadopsi untuk pertama kali sebagai kebijakan publik oleh pemerintah kota So Paulo periode
1989-1992, yang saat itu dikuasai oleh Partido dos Trabalhadores (Partai Pekerja). Setelah resmi
berdiri, USINA terlibat banyak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah metropolitan So
Paulo. Mereka menyebarkan gerakan membangun secara kolektif, dengan kemampuan swadaya
dan solidaritas dari komunitas. Mereka mengupayakan transfer teknologi konstruksi bangunan
bertingkat sedang (4-8 lantai), seperti kursus untuk tukang bangunan dan keahlian mengelola
konstruksi berskala relatif besar, sambil terus melakukan inovasi desain dan konstruksi. Tidak
lupa, mereka juga meneliti masalah-masalah sosial dalam membangun dan berhuni secara
kolektif. Sampai sekitar tahun 2007, USINA telah bekerja bersama sekitar 15 organisasi gerakan
sosial masyarakat (termasuk koperasi-koperasi perumahan rakyat) yang secara langsung telah
membawa keuntungan bagi sekitar 5000 keluarga. Salah satu keterlibatan mereka di lapangan
adalah memfasilitasi komunitas dalam pembangunan rusun rakyat yang didanai oleh
pemerintah Brazil.

[] In just one decade, the PT [Partido dos Trabalhadores] became the biggest left-wing party in
the Western world (in terms of numbers of votes and membership), winning local council
elections in several state capitals and losing the presidential election of 1989 by less than 5 per
cent of the total vote. As we shall see, it was only under those councils that were run by the PT,
that pioneering experiments by militant architects in alliance with social movements had any
chance of becoming public policy, and this was particularly so in So Paulo, where the PT won
the local elections in 1988. []
(Hanya dalam satu dekade, PT (Partido dos Trabalhadores) menjadi partai sayap-kiri terbesar
di dunia Barat (dalam hal jumlah suara dan keanggotaan), partai itu memenangkan pemilihan
dewan dalam sejumlah ibu kota dan kalah tipis dalam pemilihan presiden pada tahun 1989,
yakni sebesar 5% dari total suara. Seperti yang akan kita lihat, hanya melalui dewan-dewan yang
dipimpin oleh PT-lah eksperimen dari para pelopor arsitek militan yang bergabung dalam
gerakan sosial punya peluang untuk menjadi kebijakan publik. Hal ini terutama terjadi di So
Paulo, dimana PT memenangkan pemilihan daerah pada tahun 1988.)
(Pedro Arantes, 2013)

Dalam konteks Amerika Latin, komunitas yang membangun rumahnya sendiri bukanlah hal
baru. Kampung-kampung di perkotaan Brazil selalu dibangun melalui upaya masyarakat,
namun umumnya inisiatif ini dikategorikan sebagai pemukiman kumuh (slum), karena rumah-
rumah individual tersebut tidak dilengkapi dengan sarana ruang publik dan infrastruktur yang
memadai. Hal baru yang dicapai oleh masyarakat bersama USINA adalah hasil akhir berupa
apartemen kolektif yang kualitasnya sangat baik, jauh lebih baik daripada rusun rakyat lain
yang dibangun pemerintah Brazil melalui pengembang dan kontraktor swasta (Pedro menyebut
mereka the capitalists). Dalam presentasinya, Pedro memberikan satu contoh secara detil,
sebuah pembangunan pemukiman Projeto Habitacional Vila Monte Sion di Suzano,
aglomerasi urban di pinggiran So Paulo.
Lihat http://www.usinactah.org.br/index.php?/s/vlmontesimon/untuk beberapa ilustrasi.

Kota swadaya: tumbuh tanpa peran serta pemerintah. Masyarakat membangun sendiri secara
individual. Lokasi: Brazil. Sumber: Pedro Arantes, 2013

Dalam pertemuan-pertemuan antara USINA dan komunitas, para arsitek melakukan simulasi
pembuatan denah rumah, dengan menempatkan miniatur perabot rumah tangga seperti meja,
kursi, dan perlengkapan dapur di atas denah. Denah ini memiliki ukuran standar rusun
pemerintah yang berskala sama dengan miniatur-miniatur perabot tersebut. Komunitas pun
dapat membayangkan bahwa rusun pemerintah yang didesain pihak swasta mempunyai luasan
yang terlampau kecil untuk kebutuhan keluarga mereka. Luas satu unit rusun rakyat yang
dibangun pemerintah melalui pengembang dan kontraktor swasta hanyalah 35m2. Setelah itu,
masyarakat pun diajak membayangkan kualitas gedung dan lingkungan apartemen mereka.
Bangunan rusun yang didesain oleh pihak swasta umumnya bertingkat tinggi, seragam dan
monoton, tanpa taman dan fasilitas olahraga (coba bandingkan dengan rusun Kalibata City).
USINA menawarkan desain alternatif, dengan ketinggian beragam (namun relatif lebih rendah
sehingga dapat dicapai dengan tangga dan bukan elevator), namun tetap berkepadatan tinggi
dan menyisakan lahan untuk taman dan fasilitas umum seperti sarana olahraga, fasilitas
penitipan anak, kios komunitas dan ruang serbaguna. Bahkan, dalam desain yang ditawarkan
USINA, ukuran setiap unit dapat mencapai 65m2. Bukan sulap dan bukan sihir!
Desain standar pemerintah Brazil dalam My Life, My Home Program seluas 35m2. USINA
membuat simulasi bersama komunitas, dengan membuat model perabot rumah tangga yang
disusun di atas gambar denah ruangan, untuk menunjukkan betapa kecil ukuran apartemen
yang direncanakan pemerintah. Lokasi: Brazil. Sumber: Pedro Arantes, 2013

Perempuan terlibat, dalam perancangan dan konstruksi. Project di Suzana, bersama USINA.
koleksi pedro arantes dan USINA.

Mengapa ukuran setiap unit dapat lebih besar? Yang pertama, dana yang dialokasikan oleh
pemerintah untuk perumahan rakyat seluruhnya diterima oleh masyarakat. Tidak ada porsi
yang diambil sebagai keuntungan pengembang dan kontraktor swasta. Kemudian, dengan
inovasi desain, penghematan struktural dapat dicapai (struktur bangunan ketinggian sedang,
sekitar 4-8 lantai, lebih murah daripada bangunan tinggi), sementara lahan yang tersedia dapat
dihemat untuk area hijau (dibandingkan dengan jarak antara bangunan tinggi, jarak antara
bangunan ketinggian sedang dapat lebih kecil atau bahkan ditiadakan). Dalam beberapa proyek,
mereka juga menawarkan model desain bangunan dengan atap datar yang dapat difungsikan
sebagai teras dan taman bersama di atas atap. Keuntungan lain, muncullah entitas-entitas
bisnis kecilyang dimiliki oleh masyarakat yang mampu menyediakan jasa konstruksi bangunan
ketinggian sedang yang berkualitas baik. Sebagai catatan, tenaga kerja untuk proyek apartemen
yang didampingi USINA kebanyakan tidak dibayar karena dilakukan oleh dan untuk para
penghuni; masing-masing keluarga harus menyediakan 16 jam kerja setiap minggu. Berikut
adalah beberapa lembar kutipan presentasi Pedro Arantes di KU Leuven.
Desain USINA untuk komunitas di Suzano. Rata-rata luas bersih setiap unit adalah 60m2.
Selain lebih luas, bentuk 3D setiap unit berbeda-beda, tidak seragam seperti unit standar
rancangan pemerintah. Dengan demikian, bentuk bangunan secara keseluruhan lebih dinamis
dan menarik, bukan sekedar bangunan berbentuk kotak yang monoton. Lokasi: Suzano, So
Paulo. Sumber: Pedro Arantes, 2013

Lihat juga proyek-proyek USINA yang lain, seperti Comuna Urbana D. Helder Cmara
Jandira[hyperlink: http://www.usinactah.org.br/index.php?/s/--comuna-urbana-d-helder-
camara/], sebuah kompleks hunian dengan taman dan teater terbuka (amphitheatre). Lihat
juga di sini[hyperlink: http://www.visibleproject.org/preview/projects/Graziela_Kunsch.php#]
mengenai cerita seniman yang ikut berkolaborasi dengan USINA.
USINA berprinsip bahwa dana untuk aktivitas dan model pembangunan mereka akan selalu
didanai hanya oleh dana publik, dan tidak tergantung kepada lembaga donor asing. Secara
umum, untuk setiap proyek pembangunan rusun rakyat yang didampingi USINA, sekitar 4%
dari dana total adalah untuk menghasilkan dokumen gambar kerja teknis, dan sekitar 6% untuk
bantuan teknis dan sosial dari USINA (saya menduga bahwa di luar aktivitas bersama USINA,
para anggotanya juga bekerja secara profesional di sektor profit, sehingga 6% ini bukan berupa
honor melainkan hanyalah biaya operasional selama proyek berjalan). Menurut situs USINA,
total nilai satu unit rumah (di luar harga tanah yang umumnya disediakan pemerintah dengan
subsidi 100%) sekitar $12,000 15,000 Dolar Amerika atau sekitar Rp 130 juta. Sebagian dari
harga bangunan ini harus dibayarkan kembali kepada pemerintah dengan bunga yang sangat
rendah. Sebagai catatan, tanah tetap dimiliki oleh pemerintah. Menurut the Economist, dalam
skema pinjaman lunak pemerintah Brazil untuk perumahan rakyat, rata-rata rumah tangga
harus membayar cicilan yang lebih rendah daripada harga sewa jika mereka harus mengontrak.
Tentu membangun hunian kolektif oleh dan untuk masyarakat memakan waktu yang lebih
lama, karena melibatkan banyak sekali pertemuan, pengambilan konsensus yang tidak bebas
dari konflik, dan harus didahului oleh serangkaian pelatihan teknis. Namun, banyak sekali
keuntungan yang kemudian diterima masyarakat. Secara tidak langsung, melalui replikasi oleh
lembagai lain, pendekatan pembangunan seperti ini telah menguntungkan sekitar 25,000
keluarga. Tentu dapat dibayangkan bahwa konsep pembangunan ini tidak dapat berhasil tanpa
dukungan banyak sekali tenaga profesional seperti arsitek, ahli teknik sipil dan perencana kota;
tidak kalah pentingnya pula tukang batu, tukang kayu, tukang pipa air dan tenaga gali.
Tentunya, yang paling mendasar, konsep seperti ini membutuhkan masyarakat yang
terorganisasi baik dan solid yang disertai oleh mediasi dan negosiasi politik dengan dan di
dalam pemerintahan.
***
Cerita sukses ini adalah buah dari perjuangan banyak kelompok selama beberapa dekade. kerja
bersama. Solidaritas dalam berkota, bukanlah hasil kerja semalam. Dalam presentasinya, Pedro
bercerita bahwa masyarakat yang bekerja bersama USINA umumnya sudah meninggalkan
budaya individualistis. Komunitas Suzano yang mereka bantu, misalnya, sudah terbiasa hidup
berkelompok dengan penuh solidaritas, dengan binaan gereja berhaluan teologi pembebasan di
Brazil.
Model pembangunan seperti ini banyak menerima tantangan. Secara internal, organisasi-
organisasi masyarakat yang merupakan tonggak dalam model ini dapat melemah. Secara
eksternal, banyak pihak tidak menyukai kemandirian masyarakat. Pedro bercerita bahwa
kemenangan Partai Pekerja memang melahirkan banyak kebijakan publik yang berpihak pada
rakyat kecil, seperti anggaran perumahan rakyat yang cukup besar[2]. Misalnya, dalam Program
My House My Life tahap kedua saja, pemerintah federal menganggarkan 44.2 milyar Dolar
Amerika[3]. Ironisnya, dari total pembangunan perumahan yang didanai anggaran pemerintah,
hanya 1% saja yang dilakukan sendiri oleh masyarakat; sebanyak 99% tetap menggunakan jasa
kontraktor dan pengembang swasta yang banyak melakukan praktik suap kepada para petinggi
Partai Pekerja!
Perjalanan rakyat Brazil untuk menciptakan kota yang humanis masih panjang. Apalagi untuk
Rakyat Indonesia. Jika mereka tidak pernah lelah, kita harus memulai. Tulisan ini sekadar
menjadi penggelitik bahwa ada banyak model pembangunan alternatif menuju kota yang
humanis, asalkan masyarakat mau dan mampu mengorganisir dirinya dan berkarya bersama.

Leuven, Mei 2013, dari berbagai sumber.
*Prathiwi sedang mempelajari model kebijakan pengelolaan air limbah domestik dan
penyediaan infrastruktur sanitasi dasar. Ia memobilisasi teori kritis untuk menganalisis kota
informal, sektor informal, dan kampung kota Jakarta. Dapat dihubungi
melalui prathiwi.putri@gmail.com atau http://berkota.wordpress.com/.


[1] Secara singkat, konsep pembaharuan kota (urban renewal) dibuat oleh negara-negara maju
untuk memperbaiki area-area kumuh yang kebanyakan diisi oleh apartemen kelas pekerja
dan/atau kaum imigran. Bentuknya dapat berupa pembangunan hunian baru yang lebih
moderen disertai jaringan infrastruktur canggih, transportasi cepat dan taman-taman kota.
Dalam banyak kasus, perbaikan lingkungan ini ternyata membuat para pekerja dan komunitas
lama terusir keluar dari area tersebut. Kawasan lama tapi baru itu menjadi sangat menarik bagi
kelas menengah yang mampu membayar lebih. Lihat tulisan-tulisan Jane Jacobs (ada referensi
spesifik?). Lihat juga pengalaman Kampung Improvement Programme (KIP) di Indonesia yang
berujung serupa.
[2] Lihat juga http://www.global-labour-
university.org/fileadmin/GLU_Working_Papers/GLU_WP_No.9.pdf. Lihat
jugahttp://www.eadi.org/fileadmin/Documents/Events/General_Conference/2008/paper_Mal
ard.pdfuntuk sejarah kebijakan publik Brazil terkait perumahan rakyat dan contoh model
program kredit perumahan rakyat.
[3] Bandingkan dengan dana publik Indonesia untuk perumahan tahun anggaran 2007-2013
yang hanya sekitar 150 trilyun Rupiah atau sekitar 15 milyar Dolar Amerika. Angka ini adalah
nilai total, yang berarti terbagi-bagi lagi menjadi banyak komponen anggaran.

You might also like