You are on page 1of 12

Antonio Gramsci tentang Krisis dan Kebangkitan Kapitalisme Global

15 November 2013
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Left Book Review

Judul Buku : Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga
Penulis : Muhadi Sugiono
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun Terbit : 1999 (cet. 1), 2006 (cet. 2)
Tebal : 261 hlm. + xvi
Peresensi : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, alumnus Jurusan Hubungan
Internasional, FISIPOL UGM *)

ATONIO Gramsci, seorang Marxis Italia, memang tidak banyak menulis buku. Ia tercatat hanya
menulis satu buah buku. Itupun buku yang merupakan kumpulan dari catatan-catatannya di
penjara, yang sudah barang tentu terserak, tidak rapi. Namun, siapa sangka, catatan yang ia
tulis dari balik penjara Mussolini itu mampu memberikan wacana yang menjadi panduan, baik
bagi aktivis maupun intelektual kiri di seluruh dunia.
Gramsci dikenal sebagai seorang intelektual Marxis yang banyak memberi landasan pada
perkembangan studi-studi Marxisme di bidang sosial dan budaya. Catatan penjaranya
memberikan banyak ilham bagi para penulis untuk membaca fenomena-fenomena sosial, tak
terkecuali Hubungan Internasional. Meskipun tidak hidup sebagai seorang intelektual dalam
pengertian yang kita kenal sekarang (Gramsci adalah Sekretaris Jenderal Partai Komunis Italia
sebelum ditangkap Mussolini), karyanya mengilhami banyak intelektual, baik dari sisi sebelah
kanan, tengah maupun kiri, untuk menulis tentang berbagai tema dari kerangka berpikir yang ia
tulis. Tak terkecuali dalam studi Hubungan Internasional (HI).
Sebetulnya, tidak banyak karya dan studi dalam Hubungan Internasional yang menulis dalam
perspektif Gramscian ini, terlebih dalam khazanah akademik Indonesia. Terinspirasi dari karya-
karya Robert Cox, Stephen Gill, Joseph Femia, serta Robert Gilpin, Muhadi Sugiono, seorang
akademisi Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mencoba untuk
menggunakan perspektif Gramscian dalam mengulas perkembangan dan perubahan diskursus
pembangunan global. Buku yang diangkat dari tesis pascasarjana penulisnya ini melihat bahwa
perspektif Gramsci relevan untuk menjelaskan bagaimana sebuah ide bertransformasi menjadi
kekuatan produktif yang menggeret perubahan diskursus dalam pembangunan.
Sistematika buku ini dibagi menjadi tiga bagian berikut. Bab I menjelaskan mengapa perspektif
Gramscian penting untuk dijadikan pisau analisis dalam studi HI. Bab II mengupas munculnya
Keynesianisme sebagai diskursus hegemonik pasca-Perang Dunia II hingga tahun 1970an. Bab
III mengulas krisis yang dialami oleh Keynesianisme dan munculnya neoliberalisme yang
digawangi oleh intelektual-intelektual Kanan Baru.

Mengapa Gramsci Penting dalam Studi HI?
Sejak Robert Cox menulis buku Power, Production, and World Orders (1977), perspektif
Gramscian mulai diperkenalkan dalam studi Hubungan Internasional. Perspektif ini seperti
menjadi undangan untuk angkat kaki dari tatanan dunia yang berlaku saat ini dan
mempertanyakan apa jadinya tatanan itu (Cox, 1981 via Sugiono, 1999: 17). Karya Cox
meramaikan perdebatan dalam studi Hubungan Internasional (HI) yang kala itu masih
didominasi oleh pendekatan realisme, yang menerima begitu saja konsep kepentingan
nasional, negara sebagai aktor tunggal, dan sejenisnya, dalam Hubungan Internasional.
Walaupun Gramsci tidak menulis spesifik dalam tema Hubungan Internasional, teori Gramsci
tentang Hegemoni menjadi satu batu loncatan untuk memahami bagaimana sebuah kekuatan
dunia dikonsolidasikan. Inilah yang menjadi concern utama dari Muhadi Sugiono, ketika
mendiskusikan analisis Gramsci secara teoretik. Teori Gramsci berada di bawah satu tema
tunggal hegemoni (h. 19). Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai kepemimpinan moral
dan intelektual secara konsensual yang mengimplikasikan adanya kepatuhan secara sadar atas
kekuasaan seseorang (h. 31). Dalam perspektif ini, kekuasaan dibangun bukan melalui koersi,
kekerasan, dan paksaan, melainkan melalui konsensus atau kontrol (h. 35).
Bagaimana hegemoni tersebut diciptakan? Proses penciptaan hegemoni memerlukan apa yang
disebut sebagai blok historis, atau hubungan resiprokal antara wilayah aktivitas etik, politik,
maupun ideologis dengan wilayah ekonomi. Blok historis adalah aliansi dari berbagai kekuatan
sosial yang disatukan secara politis dalam satu perangkat ide-ide hegemonik (h. 42). Hegemoni
itu sendiri diciptakan melalui praktek penundukkan dan persetujuan. Sementara menundukkan
dan memenangkan persetujuan kelompok lain, sebuah kelompok harus mampu menciptakan
blok historis guna memperjuangkan ide-idenya menjadi sebuah pandangan dunia yang
universal.
Oleh sebab itu, ide memainkan peran penting (h. 39). Agar sebuah kelompok bisa
menundukkan dan memenangkan persetujuan dari kelompok lain, maka ia mesti melakukan
importasi ide. Karenanya, bagi Gramsci, sebuah ide hanya akan menemukan momentum
transformatifnya jika ia menjadi ideologi. Menurut Gramsci, sebuah ide tidak lahir secara
spontan, ia pasti memiliki pusat informasi, iradiasi, persebaran, persuasi yang
mengembangkan dan menghadirkan keduanya dalam realitas politik mutakhir (h. 40). Artinya,
untuk menciptakan dan memproduksi hegemoni, sebuah kelompok membutuhkan ideologi
dimana ideologi tersebut mesti memiliki basis material, didorong oleh seorang intelektual, dan
kemudian menjadi pandangan universal. Hanya dengan kondisi itulah maka penundukkan dan
persetujuan menjadi mungkin dilakukan.
Konsekuensi logisnya, untuk menciptakan hegemoni diperlukan seorang intelektual organik
yang mampu menggerakkan blok historis dengan ide-idenya. Menurut Gramsci, setiap orang
adalah intelektual, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual (di masyarakat). Setiap
kekuatan sosial yang hegemonik, ditopang oleh intelektual yang memproduksi pengetahuan dan
memberi legitimasi pada tatanan yang dibangun oleh kekuatan sosial tersebut (h. 44). Peran
sentral intelektual inilah yang kemudian membawa kekuatan tersebut menjadi kekuatan yang
hegemonik.
Namun, tentu saja, pada dasarnya, ada kekuatan-kekuatan lain yang saling berkontestasi dan
berupaya untuk menjadi hegemon. Oleh sebab itulah, Gramsci melihat bahwa status hegemonik
sebuah kekuatan sosial akan sangat ditentukan oleh kemampuannya memenangkan perang
posisi, yaitu proses transformasi kultural yang menghancurkan posisi hegemonik tertentu(h.
46). Untuk menghancurkan hegemoni, maka perlu diciptakan kondisi-kondisi yang
memungkinkan krisis hegemonik itu terjadi sehingga membuka jalan bagi adanya perubahan
sosial.
Pendekatan Gramscian sebagaimana dianalisis oleh Sugiono (dan juga, dalam beberapa hal,
Cox) sangat menekankan aspek suprastruktur (ide) dibanding produksi. Hal ini terlihat jelas
pada kerangka berpikir Sugiono yang melihat Gramsci melampaui pandangan determinisme
ekonomi Marx (h. 13). Akan tetapi, pandangan ini bukannya tanpa sanggahan. Lorenzo Fusaro,
misalnya, melihat bahwa Gramsci, secara fundamental, justru mengambil kerangka berpikir
yang sangat Marxian dalam arti sejarah ia pandang sebagai sesuatu yang objektif dan
independen dari hubungan sosial manusia karena ia memiliki pijakan pada relasi produksi
yang dilakukan oleh manusia (Fusaro, 2011).
Dalam analisis Fusaro, hegemoni pada dasarnya harus dilihat dalam kerangka hubungan
produksi yang material, bukan sekadar transformasi ide-ide. Bahwa ide-ide, dalam analisis
Gramscian, adalah penting, tetapi ia bersifat instrumental. Hal ini sebetulnya diakui sendiri oleh
Cox dalam karyanya yang terbaru, The Political Economy of Plural World (2004), bahwa realitas
manusia dilahirkan mula-mula dari produksi, walaupun ia sendiri malu-malu untuk mengakui
bahwa argumennya berasal dari Marx (Cox, 2004: 31. cf. p. 27). Femia (2008) cukup tepat
ketika mengritik pandangan Cox dan perspektif serupa yang terpengaruh oleh pandangan post-
Marxisme yang memiliki problem dalam melihat sisi objektif dari pemikiran Gramsci. Hal ini
bisa berakibat pada reduksi pandangan Gramsci menjadi anti-saintifik dan membuat kita gagal
menjadikan Gramsci sebagai pisau analisis yang memadai dan objektif untuk mengiris tabir
yang meliputi realitas sosial, wa bil khusus realitas kapitalisme global kontemporer.
Dengan demikian, untuk memahami Gramsci, dan lebih jauh, menjadikan Gramsci sebagai
pisau untuk mengupas perkembangan kapitalisme global kontemporer, kita tidak cukup
melihat hanya pada kerangka gagasan/ideologi, tetapi juga fondasi apa yang memungkinkan
gagasan itu terbentuk. Pada titik inilah kita meletakkan konsep hegemoni. Ada ungkapan
menarik dari Gramsci, bahwa a class is dominant in two ways, that is, it is leading and
dominant. one should not count solely on the power and material force which such a
position gives in order to exercise political leadership or hegemony (Gramsci, 1929: 41 via
Fusaro, 2011). Ungkapan ini memberikan clue untuk memahami hegemoni dalam cara yang
berbeda bukan tujuan; melainkan strategi untuk mengokohkan kekuasaan.
Hegemoni perlu dipahami sebagai cara/strategi untuk melegitimasi kekuasaan material (power
and material force) yang sudah dibangun. Sehingga, bukan hanya gagasan yang menentukan,
tetapi basis material apa yang menyebabkan gagasan tersebut bisa bertahan. Dalam perspektif
ini, kita dapat melihat bahwa hegemoni adalah cara peneguhan kekuasaan setelah menguasai
basis produksi. Maka, intelektual organik bisa kita pahami sebagai intelektual yang
merepresentasikan kelompok sosial tertentu dalam relasi produksi yang ada di masyarakat, dan
membawa gagasan-gagasan untuk membuat tatanan yang ia bentuk bisa bertahan secara
hegemonik. Keberadaan intelektual bersifat instrumental terhadap relasi produksi yang ada.

Dari Keynesianisme ke Kanan Baru
Buku ini, walaupun hanya pada sisi tertentu, membawa Gramsci pada perdebatan-perdebatan
yang ada dalam studi Hubungan Internasional. Fenomena Hubungan Internasional, jika
mengacu pada kerangka berpikir a la Gramscian yang sudah dibangun di atas, akan bertumpu
pada basis produksi dan bagaimana sebuah gagasan dibangun untuk mempertahankan produksi
kapitalis tersebut. Dengan demikian, kapitalisme global dibangun dengan logika hegemoni yang
melibatkan para intelektual-intelektual organik yang berjuang membangun tatanan tersebut.
Perspektif ini tidak melihat Hubungan Internasional sebagai hubungan antar-negara
(sebagaimana mainstream dalam studi Hubungan Internasional), melainkan sebagai hubungan
antara kelas-kelas sosial yang saling berkontestasi di level global. Negara masuk sebagai
kekuatan sosial yang relatif terhadap proses produksi dan hanya salah satu kelompok yang
saling mengartikulasikan kepentingannya pada skala global (Robinson, 2005).
Formasi kapitalisme di tingkat global, jika dibaca dalam perspektif ini, bukanlah sebuah formasi
yang tercipta dengan sendirinya. Formasi kapitalisme saat ini adalah formasi kapitalisme
hegemonik yang diciptakan dan diperjuangkan oleh para intelektual organik, baik Keynesian
maupun intelektual Kanan Baru. Hegemoni tersebut tentu saja diciptakan melalui pembuatan
ide-ide yang menjadi pandangan dunia universal. Guna menjadi pandangan dunia, maka ide
tersebut diekspor oleh para intelektual, baik Keynesian dan Kanan Baru, ke negara-negara
Dunia Ketiga, melalui pelbagai teori tentang pembangunan dan dipraktikkan menjadi kebijakan
sehari-hari oleh pemerintah yang bersangkutan.
Oleh sebab itulah buku ini melihat bahwa pada dasarnya, kebijakan pembangunan di suatu
negara bukanlah kebijakan yang netral dan dibuat berdasarkan pilihan rasional pemerintah,
melainkan oleh importasi gagasan. Inilah yang menjelaskan, mengapa transformasi diskursus
pembangunan di negara Dunia Ketiga sangat terkait dengan perubahan diskursus
pembangunan di tingkat global (cf. Robison, 1986; Escobar, 1995). Keberadaan kapitalisme di
Dunia Ketiga sangat dipengaruhi oleh ideologi yang membuat diskursus tersebut beroperasi,
serta intelektual-intelektual organik yang menerjemahkan ide dan mengoperasikannya
sehingga menjadi kekuatan hegemonik. Universalisasi ide itulah yang kemudian menentukan
bagaimana kapitalisme berubah wujud dan menjadi hegemonik di seluruh dunia.
Pertanyaannya, bagaimana kemudian hegemoni tersebut bekerja dalam perkembangan
ekonomi politik internasional kontemporer? Muhadi Sugiono memulai analisisnya terhadap
transformasi kapitalisme global pada tataran ekonomi-politik dunia pasca-perang. Perang
Dunia (PD) II melahirkan Amerika Serikat dan sekutunya sebagai pemenang, dan menyisakan
sebuah pertanyaan: seperti apa tatanan baru yang hendak dibangun? Jawaban atas pertanyaan
ini sangat tergantung kepada para pemenang PD II, dalam hal ini Amerika Serikat dan
sekutunya. Salah satu momentum kunci dari rekonstruksi hegemoni AS pasca-Perang ini adalah
terciptanya konsensus yang difasilitasi oleh ekonom John Maynard Keynes dan negara-negara
industrialis pemenang perang tersebut.
Setelah PD II, terjadi perdebatan tajam antara dua kelompok berpengaruh di Amerika Serikat
tentang masa depan ekonomi dunia. Kelompok pertama menginginkan tata perekonomian
dunia yang liberal dan terbuka tanpa ada intervensi yang terlalu kuat dari negara. Kelompok ini
diwakili oleh orang-orang berpengaruh di Wall Street dan Departemen Luar Negeri AS.
Sementara itu, kelompok kedua yang diwakili oleh Departemen Keuangan AS dan Partai Buruh
Inggris menginginkan peran negara dalam mengatur perekonomian (h. 64). Masuknya Keynes
menengahi perdebatan di antara kedua kubu ini. Keynes memperkenalkan model pembangunan
ekonomi yang teregulasi meletakkan negara sebagai sentral kehidupan ekonomi tapi juga
menjaga produktivitas industri melalui model ekonomi berbasis demand(permintaan)
Menurut Keynes, ekonomi pasar yang tak terkendali (bebas) hanya akan melahirkan kontradiksi
karena ia menyebabkan penyimpangan dari full employment (h. 97). Oleh sebab itu, kapitalisme
perlu diorganisasikan dan direncanakan melalui campur tangan negara. Ekonom Keynesian
percaya bahwa ekonomi harus diatur melalui intervensi pada sisi demand, yaitu dengan
menyuntikkan dana pembangunan sehingga industri tumbuh. Logika ekonomi semacam ini
sangat bertumpu pada moda produksi massal khas Fordisme yang membangun produksi
dengan skala besar. Negara menginvestasikan dana yang cukup besar untuk membangun
produksi nasional, namun konsekuensinya, negara juga harus mempertahankan demand yang
ia dapatkan dari konsumsi. Oleh sebab itulah negara harus menjamin daya beli masyarakat agar
tetap tinggi. Dengan model seperti ini, buruh mendapatkan upah yang tinggi karena
produktivitas harus dipertahankan. Ide semacam inilah yang ditanamkan pada relasi produksi
di tingkat global, dan membuat negara pada saat itu menjadi instrumen kelas kapitalis yang
sangat efektif untuk melakukan akumulasi.
Menurut Sugiono, kemenangan ide Keynesianisme itu dilakukan oleh Amerika Serikat melalui
dua cara. Pertama, memenangkan ide tersebut pada negara-negara sekutunya. Kemenangan ide
ini menemui momentumnya pada Marshall Plan, ketika Amerika Serikat menggunakan
kekuatan ekonominya untuk membantu ekonomi negara-negara sekutunya tersebut. Hal
penting yang patut diperhatikan adalah bahwa Marshall Plan menciptakan semacam blok
historis yang bertujuan untuk menciptakan perimbangan antara kekuatan-kekuatan sosial di
dunia (h. 68). Kekuatan Marshall Plan juga ditopang oleh sistem Bretton Woods yang
memberikan konstruksi hegemonik bagi kekuatan finansial AS (Strange, 1971 via Sugiono, 1999:
66). Bretton Woods ini selanjutnya memberikan peluang bagi Dollar untuk menjadi alat tukar
perdagangan internasional yang hegemonik. Marshall Plan, dengan demikian, menjadi cara AS
untuk memenangkan pertarungan di lapangan ekonomi global.
Kedua, setelah ide tersebut beroperasi melalui Marshall Plan dan Bretton Woods System, AS
memperluas hegemoninya ke negara-negara Dunia Ketiga melalui gagasan tentang
pembangunanisme. Era setelah Perang Dunia II adalah era dekolonisasi, yang
mengimplikasikan munculnya negara-negara baru merdeka, dimana Amerika Serikat, menurut
Muhadi, sangat getol mendukung proses dekolonisasi tersebut. Tentu saja hal ini tidaklah netral
dari kepentingan AS, sebab pada dasarnya, motif utama dari dukungan tersebut adalah
perluasan hegemoni (h. 76). Dengan munculnya Keynesianisme, negara-negara industri maju
mengalihkan perhatiannya dari penyerapan surplus ekonomi dari negara-negara koloni menjadi
produksi berbasis domestik. Akan tetapi, tentu saja, mereka memerlukan bahan baku yang
hanya bisa didapatkan dari negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka itu.
Dengan demikian, dekolonisasi sebetulnya menjadi strategi yang lain dari bentuk eksploitasi
ekonomi. Negara-negara yang baru merdeka tersebut, tentu sangat berkepentingan dengan
dana pembangunan yang berasal dari luar negeri. Oleh sebab itulah, sebagaimana dikutip oleh
Escobar (1995), Amerika Serikat menawarkan berbagai strategi pembangunan kepada negara-
negara Dunia Ketiga, menanamkannya di negara-negara tersebut, dan dengan demikian
menempatkan negara-negara tersebut di bawah hegemoninya. Pembangunan, dengan begitu,
menjadi pintu masuk AS untuk menanamkan ide-ide Keynesian di negara Dunia Ketiga dan
menjadikan ide tersebut sebagai pandangan dunia yang universal, terutama bagi negara-
negara baru merdeka tersebut.
Salah satu modus operandi dari penanaman diskursus tentang pembangunan itu dilacak oleh
Sugiono dari teori-teori modernisasi, yang hingga tahun 1980an menjadi diskursus utama
pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi menempatkan pembangunan
sebagai cara untuk mengubah sesuatu yang tradisional menjadi modern. Sebagaimana diulas
oleh Escobar (1995), negara-negara Dunia Ketiga diposisikan sebagai terbelakang, kurang gizi,
tradisional, dan sebagainya. yang implikasi pentingnya adalah menjadikan mereka sebagai
entitas yang modern dan maju. Dan untuk mencapai kemajuan tersebut maka mereka harus
melihat model tertentu yang dianggap maju.
Pada titik inilah hegemoni AS beroperasi. AS memberikan dana pembangunan yang disalurkan
melalui lembaga-lembaga keuangan multilateral (IMF, World Bank/IBRD), dan
memberikannya kepada negara-negara Dunia Ketiga melalui kondisionalitas tertentu.
Kondisionalitas ini penting untuk dilihat sebagai sebuah cara untuk memberikan parameter
kemajuan tertentu yang harus dicapai suatu negara agar dikategorikan maju. Salah satu ide
yang bisa dijadikan contoh adalah teori Rostow tentang pembangunan yang linier sebagai arah
utama pembangunan. Teori Rostow memberikan gambaran yang jelas mengenai pembangunan
khas Keynesian yang dipandu oleh negara dan bertumpu pada industrialisasi (h. 107-108). Teori
Rostow ini dapat kita lihat pada konteks Indonesia di awal Orde Baru, yang secara mentah-
mentah menelan teori ini dan menjadikannya panduan pembangunan nasional (Robison, 1986).
Ringkasnya, kita lihat: logika pembangunan Keynesian yang menjadi proyek hegemoni AS,
masuk melalui logika pembangunan dan ditanamkan di negara-negara Dunia Ketiga melalui
instrumen utang luar negeri.
Akan tetapi, pada tahun 1970an, terjadi krisis ekonomi dunia yang ditandai oleh penurunan
produktivitas ekonomi negara-negara industri maju, terutama AS (h. 117). Krisis menyebabkan
hegemoni Keynesian yang dipandu dan dikawal oleh Amerika Serikat mendapatkan tantangan
yang serius dari berbagai kalangan baik dari sebelah kiri maupun kanan. Bisa dikatakan,
Keynesianisme sebagai hegemoni mengalami krisis organik yang disebabkan kegagalannya
dalam menghadapi berbagai goncangan. Logika ekonomi Keynesian yang sangat percaya pada
produksi dan peran negara dalam perencanaan serta intervensi demand, mengalami kontradiksi
manakala terjadi penurunan produktivitas dan keterbatasan pasar dalam melakukan ekspansi
akumulasi (h. 123). Kegagalan negara dalam menjaga stabilitas konsumsi dan menciptakan
kondisi-kondisi yang memungkinkan adanya ekspansi akumulasi membuat kondisi ekonomi
dunia kemudian melemah. Ditambah dengan surutnya harga minyak minyak dunia yang
menjadi mata pencaharian utama negara-negara Dunia Ketiga. Dalam perspektif Gramscian,
hal ini dipandang sebagai krisis organik ketika hegemoni kemudian menghadapi goncangan di
sana-sini.
Dari sini, Sugiono melihat bahwa ada satu gagasan baru yang muncul dan dengan cepat
menggantikan Keynesianisme sebagai hegemoni, yakni gagasan neoliberalisme yang
dikampanyekan oleh intelektual-intelektual Kanan Baru. Gagasan ini dibawa oleh kalangan
Libertarian Kanan yang memiliki perspektif cenderung anarkis. Kalangan yang tidak percaya
terhadap bentuk-bentuk teknokratisme negara ini segera menyerang fondasi ekonomi
Keynesian yang mereka anggap otoritarian dan tidak efisien. Secara ideologis, mereka
mengampanyekan kembalinya pasar dan memuja kebajikan pasar sebagai solusi atas
perekonomian dunia yang carut-marut (h. 129).
Mengapa gagasan kelompok Libertarian Kanan Baru ini dengan cepat menggantikan
Keynesianisme sebagai Hegemon? Salah satu faktor yang paling penting untuk menjelaskan ini,
selain krisis yang menerpa dunia, adalah keberhasilan mereka memenangkan gagasan tentang
kebajikan pasar dari manajemen ekonomi Keynesian. Para intelektual mereka yang
berpengaruh, seperti Milton Friedman, Robert Nozick, atau Deepak Lal, dengan sengit
menuduh logika Keynesian sebagai penyebab krisis ekonomi global. Friedman, misalnya,
menganggap kebijakan-kebijakan sosial dan intervensi negara Keynesian sebagai sesuatu yang
tidak adil, memicu kemalasan, serta mengancam kehidupan pribadi (h. 136-137). Dengan
mengagungkan kebajikan pasar, para pemikir Kanan Baru ini menganggap bahwa negara tidak
boleh banyak mengganggu cara kerja pasar dan membiarkan pasar mengatur dirinya sendiri.
Manusia, menurut mereka, harus diberi kebebasan menentukan nasibnya sendiri dan negara-
negara harus dipaksa untuk bersaing satu sama lain dalam menawarkan iklim investasi yang
kompetitif, sehingga pasar bisa bergerak secara sempurna (h. 144). Serangan-serangan ini
menandai krisis dan transformasi dalam kapitalisme global.
Namun, yang paling penting dari transformasi itu adalah basis material yang menyebabkan
gagasan mereka bisa menjadi hegemonik. Muhadi melihat bahwa di samping krisis ekonomi
yang mendera dunia pada saat itu, naiknya beberapa figur konservatif yang sehaluan dengan
para intelektual Kanan Baru di beberapa negara (terutama Inggris dan Amerika Serikat),
menjadi momentum penting bagi kemenangan logika Kanan Baru dalam ekonomi politik global.
Sebagaimana tesis Gramsci, status hegemonik sebuah gagasan akan sangat ditentukan oleh
kolaborasinya dengan kekuatan ekonomi dan politik yang material.
Keberadaan Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, membawa perubahan
fundamental dalam politik Inggris, dimana Thatcher membawa agenda politik Kanan Baru
dalam kebijakan-kebijakan publiknya, antara lain dengan kebijakan privatisasi besar-besaran,
liberalisasi, dan kebijakan-kebijakan pro-pasar. Menariknya, agenda politik Thatcher dilakukan
dengan tangan besi, antara lain dengan mendisiplinkan serikat-serikat buruh yang resisten
terhadap kebijakan liberalisasinya. Hal ini, sebagaimana diulas oleh Muhadi, adalah satu paket
dengan doktrin Kanan Baru yang melegitimasi adanya represi dan koersi terhadap aktivitas
apapun yang dianggap mengganggu mekanisme pasar (h. 148). Thatcher menjadi contoh
penting bagaimana negara berfungsi sebagai polisi yang mengamankan pasar dari gangguan
orang-orang yang ingin menentangnya.
Di bagian dunia lainnya, Ronald Reagan yang baru saja terpilih sebagai Presiden Amerika
Serikat, tampak dengan jelas mengampanyekan kebajikan pasar dalam forum-forum
internasional dan perundingan yang diikuti oleh Amerika Serikat. Ia membawa Amerika Serikat
tampil sebagai juru kampanye utama perdagangan bebas dan integrasi ekonomi dunia. Tak
hanya itu, dengan menggunakan kekuatan diplomatik AS, Reagan memanfaatkan jaringan
transfer finansial untuk memperkokoh hegemoni ide-idenya (h. 160). AS yang tadinya cukup
baik hati kepada negara-negara berkembang dalam memberikan bantuan, kini mulai terlihat
pelit dan mulai jual mahal. Reagan memperkenalkan model-model policy dialogue untuk
memberikan bantuan, yang dengan jelas dicatat oleh Muhadi sebagai cara untuk mengimpor
gagasannya kepada negara-negara Dunia Ketiga (h. 161).
Seperti halnya bangunan hegemoni AS pasca-Perang Dunia II, peran serta lembaga-lembaga
keuangan internasional kemudian menjadi penting sekali. Beriringan dengan munculnya
Pembagian Kerja Internasional Baru yang, menurut para pendukung globalisasi neoliberal,
adalah bentuk peleburan batas-batas negara dalam industri manufaktur yang memungkinkan
adanya ekspansi kapital ke negara-negara Dunia Ketiga (Robison, 2000), dimana IMF dan Bank
Dunia segera menjadi pilar utama ekspansi gagasan-gagasan pasar ke seluruh dunia. Dua
lembaga ini, sejak didirikan, telah terbukti menjadi alat untuk meneguhkan hegemoni dari
Amerika Serikat sebagai kekuatan politik utama dunia.
Kebijakan paling nyata yang merefleksikan peran dua lembaga ini dalam proyek hegemoni
Kanan Baru adalah Structural Adjustment Programmes (SAP), yang dikampanyekan di negara-
negara Dunia Ketiga. Penjadwalan kembali utang dan berubahnya kondisionalitas bantuan
menjadi instrumen paling penting untuk menanamkan hegemoni mereka. Dengan menawarkan
paket kebijakan yang sangat liberal dan mengagungkan kebajikan pasar, IMF dan Bank Dunia
mampu menanamkan hegemoni Kanan Baru ke negara-negara ini. Sebagai contoh, demikian
Sugiono, ketika berhadapan dengan krisis ekonomi, solusi yang ditawarkan adalah memangkas
peran negara secara penuh dan menganggap krisis tersebut terjadi karena intervensi
pemerintah dalam perekonomian (h. 163). Hal ini memberikan jalan yang sangat terbuka bagi
kapitalisme untuk menguniversalisasi gagasannya ke negara-negara Dunia Ketiga, dan dengan
demikian, menjadikan gagasan Kanan Baru sebagai gagasan hegemonik baru.
Analisis Sugiono ini bisa memberikan gambaran yang cukup baik mengenai bagaimana fondasi
kapitalisme global dibangun. Namun, ada yang terlupakan. Buku ini tidak banyak menyinggung
kekuatan-kekuatan internasional lain yang memiliki kepentingan sangat besar untuk
meminimalisasi peran negara. Kelompok ini satu paket dengan kekuatan yang disebut oleh
Willam Robinson sebagai hegemoni transnasional mereka yang beroperasi secara lintas
negara (Robinson, 2005: 3). Salah satu yang cukup dominan adalah kelompok kapitalis
finansial yang memang beroperasi secara lintas negara dan sangat berkepentingan terhadap
reduksi peran negara, terutama setelah tahun 1980an.
Namun, tentu saja, hegemoni logika Kanan Baru tersebut memiliki keterbatasan yang pada
gilirannya berujung pada krisis status hegemonik mereka. Hal ini terjadi pasca-Krisis Asia 1997
yang tidak sempat diungkap dalam buku ini (terbit 1999, tesis 1994). Untuk menyempurnakan
analisis tersebut, ada baiknya uraian Carroll (2010) disimak. Pasca-krisis ekonomi yang
melanda Asia pada tahun 1997, dan kritik-kritik hebat yang dilancarkan oleh para kritikus
neoliberalisne terkemuka seperti James Ferguson (1994) atau Arturo Escobar (1995) yang
mengkritik cara kerja Bank Dunia di negara-negara Dunia Ketiga, ada semacam perubahan
kerangka berpikir Bank Dunia tentang pembangunan.
Pada tahun 1999, Bank Dunia merilis beberapa proyek pembangunan yang menggunakan
modal sosial sebagai cara untuk menginternalisasi mekanisme pasar. Toby Carroll
menyebutnya sebagai socio-institutional neoliberalism (SIN). Model ini, sebagaimana kata
Carroll, mulai muncul sejak gagasan pembangunan neoliberal yang dipropagandakan kelompok
Kanan Baru mengalami kontradiksi, terutama di Afrika (h. 45). Gagasan ini mengandaikan
efektifnya mekanisme pasar jika disandingkan dengan penataan pelayanan publik yang efisien,
kepastian hukum, serta tata pemerintahan yang akuntabel gagasan yang kemudian dikenal
secara luas sebagai Good Governance (Conable, 1989 via Carroll, 2010: 45; Hakim, 2011). Di
samping itu, Conable mantan Presiden Bank Dunia 1986-1991 juga meng-address perlunya
membangun kapasitas Afrika yang manifestasinya adalah membangun masyarakat yang sehat,
punya kapasitas individual yang baik, serta mampu membangun kerangka kelembagaan yang
mendorong prakondisi bagi pasar yang efektif dan efisien.
Gagasan ini kemudian diterjemahkan secara lebih luas pasca-Krisis Asia 1997. Indonesia
menjadi laboratorium bagi penerapan kerangka berpikir baru tentang kapitalisme. Pada tahun
1999, Bank Dunia menginisiasi proyek pembangunan sosial yang mencoba memasukkan nalar
SIN ke dalam pembangunan masyarakat melalui Proyek Pembangunan Kecamatan (Li, 2012).
Proyek ini, sebagaimana dicetuskan oleh para teknokrat Bank Dunia seperti Scott Guggenheim,
memberikan komitmen pendanaan untuk mengembangkan modal sosial dan kapasitas ekonomi
individual. Naiknya para ekonom dan teknokrat liberal, seperti Boediono (Wakil Presiden tahun
2009), menyebabkan gagasan ini bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada tahun
2007, proyek ini berubah menjadi Program Nasional Pembangunan Masyarakat (PNPM) yang
berada di bawah Tim Nasional Pengentasan Kemiskinan (TNPK). Proyek ini segera menjadi
best practice, menyebar ke negara lain melalui tangan Bank Dunia, dan segera menjadi
hegemon baru.
Apa yang menarik dari logika SIN ini, menurut perspektif Gramscian, adalah kemampuannya
untuk meng-address kegagalan pendekatan neoliberal yang sangat anti-Negara dan, secara lebih
jauh, memasukkan negara di bawah hegemoni pasar. Krisis ekonomi di akhir abad ke-20
menyebabkan gagasan neoliberal mengalami krisis organik. Para pendukung SIN, yang pada
hakikatnya sebenarnya juga kaum liberal dengan wajah berbeda, mengampanyekan mekanisme
baru melalui struktur teknokrasi Bank Dunia di bawah John Wolfensohn. Para teknokrat Bank
Dunia ini adalah intelektual organik dari gagasan SIN. Secara politis, kemenangan gagasan ini
sangat ditentukan oleh siapa yang memegang peran penting dalam pengambil keputusan di
Amerika Serikat. Dengan demikian, posisi SIN sebagai hegemoni baru juga tak terlepas dari
kekuatan ekonomi-politik yang berada di belakangnya: Amerika Serikat.

Beberapa Catatan dan Implikasi bagi Gerakan Sosial
Dari buku ini, kita bisa melihat bagaimana kapitalisme global bisa menghadapi krisis dan di saat
bersamaan, memperbarui dirinya sendiri. Kemampuan kapitalisme dalam berkuasa, jika
menilik analisis Gramscian yang dipakai sebagai kerangka berpikir oleh Muhadi Sugiono, akan
sangat ditentukan dari: (1) adanya intelektual organik yang menelurkan ide-ide dan strategi
praktis; (2) adanya kekuatan ekonomi dan politik yang menopang ide tersebut; serta (3) adanya
transfer dan universalisasi ide tersebut di seluruh dunia. Dengan demikian, buku ini
memberikan sumbangsih yang sangat berharga untuk memahami cara kerja kapitalisme di level
global.
Akan tetapi, tentu saja buku ini tak lepas dari beberapa keterbatasan. Apa yang kurang dari
buku ini adalah penjelasan mengenai mengapa kapitalisme pasca-1945 bisa bertahan.
Walaupun ada gagasan-gagasan hegemonik yang menyebabkan kapitalisme bisa kokoh, seperti
gagasan Keynesianisme dan Libertarianisme yang men-sustain-kan tatanan dunia yang
dibangun oleh kapitalisme, tetapi buku ini kurang menyoroti sisi produktif/basis material di
mana gagasan itu bisa tumbuh. Kita mungkin bisa memahami keterbatasan hal ini karena
kurang tersedianyaspace untuk melakukan analisis pada bagian itu. Maka, perlu untuk
memperkaya dengan beberapa karya lain yang secara cukup komprehensif menggambarkan
bagaimana basis material dari kapitalisme global.
Selain itu, buku ini tidak memberikan implikasi, baik secara teoretis maupun praktis, terhadap
gerakan-gerakan sosial yang melawan kapitalisme. Atas dasar itulah, saya merasa perlu
memberikan gambaran bagaimana agar buku ini bisa memberikan relevansi bagi gerakan-
gerakan sosial yang tengah berlawan tersebut. Melalui perspektif Gramscian, kita dapat
memahami bahwa untuk membangun perlawanan terhadap kapitalisme global, tidak cukup
hanya mengandalkan massa di lapangan. Massa dan pengorganisasian memang penting, tapi
tanpa intelektual organik yang memandu dan mengarahkan massa dalam gerakan, hegemoni
akan sangat susah dilawan. Pengalaman kapitalisme dalam membangun hegemoninya tidak
terlepas dari peran para intelektual organik, baik Keynesian, Kanan Baru, maupun SIN.
Oleh sebab itu, pembangunan pengetahuan yang integral dengan gerakan massa menjadi sangat
penting. Seperti kata Lenin (1905), tanpa teori yang revolusioner tidak akan praktik yang
revolusioner. Gerakan tidak hanya membutuhkan para agitator lapangan sebagai juru pukul,
tetapi juga koran sebagai juru bicara dan intelektual sebagai juru pikir. Mengefektifkan para
intelektual dalam aktivitas pergerakan inilah yang merupakan pekerjaan rumah dari gerakan-
gerakan sosial di Indonesia saat ini. Tanpa para intelektual organik yang secara konsisten
melakukan perlawanan terhadap hegemoni teknokrat dan intelektual liberal dalam ruang
pengambilan keputusan politik di Indonesia, gerakan sosial hanya akan menemukan jalan
buntu.
Dengan kata lain, dalam perspektif Gramscian, hal penting yang perlu dilakukan adalah
menciptakan para intelektual dan menghubungkan mereka dengan gerakan-gerakan
perlawanan. Intelektual-lah yang memandu, mengarahkan, serta mengonstruksi bangunan yang
menjadi alternatif dari tatanan sistem yang ada saat ini. Intelektual tersebut adalah intelektual
yang ideologis dan memiliki keberpihakan pada kekuatan massa yang berlawan terhadap
eksploitasi kapitalisme.
Demikianlah, dengan memahami cara kerja kapitalisme, hegemoninya, dan bagaimana
menemukan kelemahan dari sistem tersebut, buku ini cukup recommended untuk dibaca.
Terlebih bagi para penstudi HI yang ingin belajar lebih banyak tentang ekonomi politik
internasional dari perspektif yang berbeda. Beberapa kekurangan yang ada di buku ini
ditujukan sebagai sebuah ikhtiar dan dorongan agar studi HI di Indonesia lebih berkembang
dan lebih bervariasi dalam perspektif tidak didominasi oleh karya-karya kaum realis atau
liberal semata.Ala kulli hal, semoga buku ini mampu memberikan kesadaran kritis bagi kita
tentang apa yang terjadi di dunia saat ini dan, yang terpenting, bagaimana cara keluar dan
mengubahnya!.***

Bacaan tambahan:
Carroll, Toby. 2010. Delusion of Development: The World Bank and the Post-Washington
Consensus in Southeast Asia. London and New York: Palgrave.
Escobar, Arturo. 1995. Encountering Development: The Making and Unmaking of The Third
World.Princeton: Princeton University Press.
Ferguson, James. 1994. The Anti-Politics Machine: Development, Depoliticization, and
Bureaucratic Power in Lesotho. Minneapolis: Minnesota University Press.
Fusaro, Lorenzo. 2011. Gramscis concept of hegemony at the national and international level.
Fermia, Joseph. 2008. Gramsci, Epistemology, and International Relations Theory. Paper
presented at the Political Studies Association conference, Swansea, April 2008
Hakim, Luqman-nul. 2011. Governance and New Mode of Governing: Indonesia as
Metaphor.Jurnal Sosial Politik 15 (2): 111-123.
Lenin, Vladimir J. (1905). What is To Be Done? Retrieved from http://www.marxists.org/
Li, Tania Murray. 2012. The Will to Improve: Pembangunan dan Kekuasaan di Indonesia (pent:
Heri Santoso dan Pujo Semedi). Jakarta: Marjin Kiri.
Robinson, William. 2005. Gramsci and Globalisation: From Nation-State to Transnational
Hegemony Critical Review of International Social and Political Philosophy, Vol. 8 (4): 1-16.

You might also like