Kata aflaha adalah bentuk fil madhi ( = kata kerja berbentuk lampau) dari kata falh (
). Kata falh sendiri terambil dari kata falaha yaflahu - falhan wa falhatan (
), yang berakar dari huruf-huruf fa (
), lam (
), dan ha ( ). Rangkaian huruf ini diartikan sbg hasil baik, sukses,
atau memperoleh apa yang dikehendaki. Dari sini, kata falah seringkali diterjemahkan dgn beruntung, berbahagia, memperoleh kemenangan, memperoleh keselamatan, dan sejenisnya.
Al-Asfahani di dalam Al-Mufradt fi Garb al-Qurn membagi falh dalam arti kebahagiaan menjadi dua bagian, yakni duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan duniawi mencakup usia panjang, kekayaan, dan kemuliaan, sedangkan kebahagiaan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan pengetahuan tanpa kebodohan. Akan tetapi, M. Quraish Shihab mengakui bahwa memahami kata falh seperti yang dirinci oleh al-Asfahani merupakan pembatasan makna yang tidak sejalan dengan penggunaan al-Quran. Di dalam al-Quran, kata aflaha yg berdiri sendiri di dalam suatu redaksi terulang sebanyak empat kali, yakni pada S. Thh (20): 64, S. Al-Muminn (23): 1, S. Al-Ala (87): 14, dan S. Asy-Syams (91): 9. Ke empatnya didahului oleh kata qad (
) yg berarti sesungguhnya, yakni menunjukkan makna kepastian.
Kata aflaha pada S. Thh (20): 64 digunakan dalam konteks pembicaraan tentang ucapan Firaun ketika akan terjadi pertandingan sihir antara Nabi Musa As. dan ahli-ahli sihir Firaun. Al-Maraghi menjelaskan bahwa Nabi Musa dan Firaun telah menyepakati waktu pertemuan mereka, yaitu Hari Raya mereka. Karena itu, Firaun mengadakan persiapan untuk menghadapi hari itu dengan mengumpulkan para tukang sihir dengan segala perlengkapan sihirnya. Para tukang sihir menjelaskan apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi bahaya dan bencana yang bakal datang. Mereka (Firaun dan para tukang sihir) berkata, Bawalah seluruh tipu daya kalian, jangan ada sedikitpun yang tertinggal.
Kemudian, datanglah dengan berbaris dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kalian secara serentak, agar mata orang-orang yang menyaksikan pemandangan ini menjadi terbelalak dan wibawa kalian menjadi agung di mata mereka. Sungguh, orang yang menang di antara kita akan beruntung mendapat apa yang diingininya. Adapun kita telah dijanjikan akan mendapat pemberian yang banyak dan dijadikan orang-orang yang dekat dengan raja. Jadi, perkataan mereka itu tidak lain hanya dimaksudkan untuk mengukuhkan tekad dan sebagai motivasi untuk mengerahkan segala kemampuan guna meraih aflaha, dalam arti memperoleh kemenangan atau keberuntungan yang dikehendaki.
Penggunaan kata aflaha pada S. Al-Muminn (23): 1 adalah dalam konteks pembicaraan tentang penegasan Allah Swt. bahwa orang-orang mukmin pasti memperoleh keberuntungan. Hal ini ditegaskan di dalam firman-Nya, Qad aflaha al-muminun (
= Sesungguhnya beruntunglah orang-
orang yang beriman). Oleh karena itu, pada ayat-ayat berikutnya (2-9) dikemukakan tujuh sifat orang- orang mukmin. Ketujuh sifat tersebut mencerminkan pula usaha-usaha mereka yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya penyucian diri.
Usaha-usaha dimaksud antara lain: (1) khusyuk dalam shalat; (2) menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna (sia-sia); (3) menunaikan zakat; (4) menjaga kemaluannya, yakni tidak menggunakan alat kelaminnya kecuali secara sah; (5) memelihara amanah; (6) menepati janji; dan (7) menjaga waktu-waktu shalat. Mereka itulah yang meraih aflaha, yakni keberuntungan atau kebahagiaan yang akan mewarisi Surga Firdaus.
Dalam pada itu, kata aflaha yang terdapat di dalam S. Al-Ala (87): 14, menunjukkan makna keberuntungan yang akan diperoleh bagi orang yang membersihkan atau menyucikan diri, yakni terkait dengan perintah untuk bertasbih dan menyucikan nama Tuhan Yang Mahatinggi, seperti firman- Nya, Qad aflaha man tazakka (
= Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan
diri *dengan beriman+). Menurut Muhammad Abduh, yang dimaksud dengan tazakka adalah membersihkan diri dari hal-hal yang hina, yang berpangkal pada keingkaran dan kekerasan hati. Adapun al-falah adalah keberuntungan atau kebahagiaan di dua alam kehidupan, yang hanya dapat diraih oleh orang yang bersih jiwanya dan jernih hatinya.
Pendapat senada ditegaskan oleh M. Quraish Shihab bahwa tazakka adalah menyucikan diri bukan mengeluarkan zakat, sebagaimana yang dipahami oleh sementara mufassir. Alasannya, karena ayat selanjutnya berbicara tentang shalat, Dan ia ingat nama Tuhannya, lalu ia shalat. Lebih lanjut, pakar Tafsir al-Quran ini menjelaskan bahwa penegasan al-Quran yang berbicara tentang orang yang memperoleh keberuntungan, ditemukan bahwa sifat (usaha) yang harus dilakukan adalah usaha yang tidak ringan. Jadi, sungguh tidak sebanding dengan sekedar mengeluarkan zakat, misalnya dengan membayar zakat fitri, seseorang telah dijanjikan meraih aflaha, keberuntungan atau kebahagiaan.
Demikian pula kata aflaha yang termuat pada S. Asy-Syams (91): 9, juga merupakan penegasan Allah Swt. dalam kaitannya dengan keberuntungan yang akan diperoleh bagi orang yang menyucikan jiwa. Firman-Nya, Qad aflaha man zakkaha (
= Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwanya). Ayat sebelumnya (8) menjelaskan bahwa Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Itu berarti jalan (perbuatan-perbuatan) yang mencelakakan jiwa telah diketahui umum, begitu juga halnya perbuatan-perbuatan yang membawa keberuntungan atau kebahagiaan.
Allah memberi bekal kepada jiwa itu suatu kemampuan untuk membedakan, sebagaimana Dia membekalinya kemampuan untuk menentukan pilihan, sehingga siapa yang menempuh jalan kebaikan (ketakwaan), maka ia akan beruntung, dan siapa yang menempuh jalan kejahatan (kefasikan), maka ia akan merugi. Oleh karena itu, setelah menyebutkan pemberian ilham, Allah menjelaskan bahwa sungguh beruntung dan bahagialah orang yang dapat membersihkan, meningkatkan, dan meninggikan jiwanya hingga titik kesempurnaan potensi akal dan amaliahnya, serta memberi hasil yang positif baginya dan bagi masyarakat sekelilingnya.
Dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa kata aflaha (
) yang disebutkan sebanyak empat kali di
dalam al-Quran, semuanya bermakna beruntung. Namun, kiranya tidak salah bila diterjemahkan dengan makna sejenisnya, seperti memperoleh kemenangan atau berbahagia. Penggunaan kata qad (
) sebelum kata aflaha (
) merupakan penguat, dalam pengertian bahwa keberuntungan atau