You are on page 1of 193

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI

ORGANISASI PERANGKAT DAERAH


DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR
(Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
Tentang Organisasi Perangkat Daerah)




SKRIPSI


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Administrasi Negara



Oleh:
NIM. 090903041
BENNY SIANTURI
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

2013
ABSTRAK
Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di
Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)
Pelaksanaan PP No.41 ini bukan tanpa masalah. Pemerintah daerah banyak
yang tidak siap untuk melaksanakan peraturan pemerintah ini, sehingga dalam
implementasinya terdapat banyak masalah yang menjadi beban bagi pemerintah
daerah. Bagaimana efektivitas implementasi PP No.41 Tahun 2007? Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi implementasi PP No.41 tahun 2007 ini? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut kemudian menjadi tujuan atau fokus bagi peneliti dalam
penelitian ini untuk dicari tahu lebih lanjut.
Dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada
sesuai dengan tujuan penelitian akan dilakukan dengan pendekatan desktiptif
analitis. Tujuan penelitian akan dijawab dengan memberikan gambaran-gambaran
yang lebih detail sesuai dengan data atau informasi yang telah disajikan dan
dianalisis, yang dikumpulkan dari hasil wawancara, kuesioner, dan juga data
sekunder. Masalah dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 akan dijelaskan
dengan menggunakan variabel yang disintesa dari beberapa model implementasi
kebijakan publik. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain karakteristik isi kebijakan/peraturan pengoperasionalan, struktur birokrasi,
komunikasi dan koordinasi, serta sumber daya. Sisi restrukturisasi dalam
kebijakan kelembagaan dijelaskan secara terpisah dengan tiga poin yaitu
kepemimpinan, arah transformasi organisasi dan juga hambatan-hambatan dalam
perubahan organisasi.
Jawaban dari tujuan tersebut kemudian menjadi kesimpulan dalam
penelitian ini. Kinerja implementasi PP No.41 Tahun 2007 belum optimal. Tujuan
Nama : Benny Sianturi (090903041)
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Dosen Pembimbing : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

Undang-undang pemerintahan daerah berubah-ubah dan terwujud sesuai
keadaan sistem politik dan pemerintahan pada masanya. Pada era reformasi
sekarang undang-undang pemerintahan daerah ditetapkan dengan UU No.32
Tahun 2004, yang telah mengalami perubahan dari undang-undang sebelumnya
yaitu UU No.22 Tahun 1999. Melalui undang-undang pemerintahan daerah di era
reformasi ini titik tolak penyelenggaraan pemerintahan berubah ke sistem
desentralisasi. Pemerintah daerah terutama kabupaten/kota menjadi titik berat
pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah
daerah dituntut harus melaksanakan apa yang menjadi kewenangannya. Salah satu
substansi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah adalah mengenai
otonomi organisasi, yaitu keharusan untuk mengatur dan mengurus organisasi
perangkat daerah. Masalah kelembagaan atau organisasi perangkat daerah saat ini
ditetapkan dengan PP No.41 Tahun 2007.
dari peraturan pemerintah ini yang didefenisikan oleh informan dengan
membentuk organisasi yang kaya fungsi miskin struktur belum tercapai.
Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007. Peraturan penjelas di
tingkat daerah sampai sekarang belum ada. Pemahaman pegawai yang sangat
minim akan peraturan ini menunjukkan sosialisasi masih sangat terbatas. Begitu
juga dengan sumber daya (Manusia dan Sumber daya lain) kompetensi,
penempatan pegawai, anggaran, dan sarana-saranan masih banyak kekurangan.
Kata kunci: Implementasi Kebijakan Publik, Variabel Hasil Sintesa, PP No.41
Tahun 2007 (Organisasi Perangkat Daerah), Kabupaten Toba Samosir.



































ABSTRACT

Implementation of Organizational Restructuring Policy in Toba Samosir
Regency (Study Implementation of Government Regulation Number 41 of
2007 about Local Government Organizations)
Local government regulation are changeable and embodied according to
the condition of government and political system at the time. At this Reformation
era Local Government Regulation is set by UU No. 32 of 2004, which was change
from previous regulation UU No. 22 of 1999. Based on local government
regulation in this reformation era, the starting point of governance enforcement
changed to decentralized system. Local Government especially regency/city
becomes the focus of decentralization or regional autonomy. Therefore, local
government is prosecuted to do its authority mostly. One substance that must be
implemented by the local government is the organization autonomy, which is
requirement to organize and manage the local government organization.
Nowadays, Institutional or organizational is set by Government Regulation (PP)
No. 41 of 2007.
The implementation of PP No. 41 of 2007 is not without problems. Many
local government are not ready to implement this rule, so in this implementation,
there are many problems become expenses for the local government. How its
effectiveness of implementation of PP No. 41 of 2007? What are the factors that
affect the implementation in this PP No. 41 of 2007? Become the purpose or the
focus of the researcher in this study to be described more.
In this study, to answer the questions based on purpose of this research
will be conducted by descriptive analytical approach. The purpose of the study
will be answered by giving the describe more detailed based on the data or
information has been presented and analyzed, which were be collected from
interviews, questionnaires, and the secondary data (existing data). The problem in
the implementation of PP No. 41 of 2007 will be explained by using variables
which are synthesized from several models of public policy implementation. The
variables used in this research are content of policy/ operationalization of the
regulation (ability of statue to structure implementation), bureaucratic structure,
Communication and coordination, and resources. Restructuring side of institution
policies expanded separately in three points, namely: leadership, organizational
transformation direction and so the resistances of organization change.
The answer of the purpose then becomes the conclusion in this study.
Performance of the implementation of PP No. 41 of 2007 has not been optimal.
The goal of this government regulation is defined by the informant with forming
the organization is rich in function but it is poor in structure has not been reached.
Local government institution not been fully established in accordance with the

Name : Benny Sianturi (090903041)
Departement : Public Administration Sciences
Faculty : Social and Political Science
Advisor : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

provisions contained in PP No. 41 of 2007. Explanatory direction has not been
made at the local level until now. Bureaucrat comprehension which is very little in
regulation shows socialization is limited. Also with the resources (human and
another resources) competencies, staffing, budget, and facilities there are still
many deficiency.

Keywords: Implementation of Public Policy, variables of synthesis, PP Number
41 of 2007 (Local Government Organization), Toba Samosir Regency.













DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN...i
LEMBAR PENGESAHAN...ii
ABSTRAK.iii
KATA PENGANTARv
DAFTAR ISIviii
DAFTAR TABELxi
DAFTAR GAMBARxii
DAFTAR LAMPIRANxiii

BAB I PENDAHULUAN1
1.1 Latar Belakang.1
1.2 Fokus Penelitian...12
1.3 Perumusan Masalah.13
1.4 Tujuan Penelitian13
1.5 Manfaat Penelitian...14
1.6 Sistematika Penulisan..15

BAB II KERANGKA TEORI.17
2.1 Kebijakan Publik.17
2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik19
2.3 Implementasi Kebijakan Publik...22
2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik.22
2.3.2 Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik....26
2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik29
2.3.3.1 Model Donald Van Metern dan Carl Van Horn29
2.3.3.2 Model Grindle....36
2.3.3.3 Model Sabatier dan Mazmanian.37
2.3.3.4 Model George Edwards III38
2.3.4 Keterkaitan Antar Variabel dalam Implementasi Kebijakan Publik.43
2.3.5 Variabel-Variabel yang Dianggap Relevan Mempengaruhi
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007..45
2.4 Konsep dan Pengertian Restrukturisasi Organisasi54
2.4.1 Struktur Organisasi dalam Kebijakan Publik....54
2.4.2 Pengertian Restrukturisasi Organisasi...57
2.4.3 Macam-macam Restrukturisasi Organisasi...61
2.4.4 Unsur-unsur Pokok Restrukturisasi Organisasi62
2.4.5 Tujuan Restrukturisasi Organisasi63
2.5 Defenisi Konsep...64
BAB III METODE PENELITIAN68
3.1 Bentuk Penelitian.68
3.2 Lokasi Penelitian.69
3.3 Unit Analisis dan Teknik Pengumpulan Data..70
3.4 Teknik Analisa Data ....74
BAB IV GAMBARAN UMUM77
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Toba Samosir77
4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Toba Samosir77
4.1.2 Letak dan Keadaan Geografis79
4.1.3 Pemerintahan80
4.1.4 Penduduk dan Tenaga Kerja82
4.1.5 Sosial84
4.1.6 Pertanian87
4.1.7 Perekonomian Daerah90
4.1.8 Visi dan Misi Kabupaten Toba Samosir91
4.2 Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
Tentang Organisasi Perangkat Daerah92
4.2.1 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah93
4.2.2 Kedudukan, Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah94
4.2.3 Besaran Organisasi Perangkat Daerah.96
4.2.4 Perumpunan Bidang Pemerintahan100
4.2.5 Eselon Jabatan Perangkat Daerah102

BAB V PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS TEMUAN PENELITIAN...104
5.1 Penyajian Data105
5.1.1 Deskripsi Hasil Wawancara.105
5.1.2 Deskripsi Hasil Kuesioner110
5.1.3 Deskripsi Data Sekunder..113
5.2 Perjalanan Penataan Organisasi Perangkat Daerah.114
5.3 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir..120
5.3.1 Penetapan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat
Daerah di Kabupaten Toba Samosir..120
5.3.2 Pertimbangan-pertimbangan dalam Menata Organisasi
Perangkat Daerah124
5.3.3 Perkembangan Susunan Organisasi Perangkat Daerah
di Kabupaten Toba Samosir130
5.4 Analisis Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi
Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir135
5.4.1 Analisis Karakteristik Isi Kebijakan/ Peraturan
Pengoperasionalan..137
5.4.2 Analisis Variabel Struktur Birokrasi..150
5.4.3 Analisis Variabel Koordinasi dan Komunikasi.155
5.4.4 Analisis Variabel Sumber Daya.160
5.4 Restrukturisasi Organisasi170

BAB VI PENUTUP.175
6.1 Kesimpulan.175
6.2 Saran178

DAFTAR PUSTAKA180
LAMPIRAN184













DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah PNS per golongan dan per jabatan79
Tabel 4.2 Struktur perekonomian Kabupaten Toba Samosir
tahun 2005-2009 (Juta/Rupiah) 88
Tabel 4.3 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah
Provinsi94
Tabel 4.4 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten95
Tabel 4.5 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota..96

Tabel 5.1 Perkembangan susunan organisasi perangkat daerah di
Kabupaten Toba Samosir128
Tabel 5.2 Jumlah organisasi perangkat daerah berdasarkan
perhitungan variabel-variabel..136
Tabel 5.3 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba
Samosir berdasarkan golongan dan eselon tahun 2011-2013.142
Tabel 5.4 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba
Samosir berdasarkan SKPD yang menjadi unit analisis
penelitian pada tahun 2013.143
Tabel 5.5 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS/CPNS) dan
pegawai BUMN/BUMD Pemerintah Kabupaten Toba
Samosir berdasarkan tingkat pendidikan157
Tabel 5.6 Keadaan pegawai pada instansi yang menjadi unit
analisis penelitian pada tahun 2013.157
Tabel 5.7 Realisasi penerimaan daerah Kabupaten Toba Samosir
tahun 2012162
Tabel 5.8 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir
tahun 2012163
Tabel 5.9 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir
tahun 2012 menurut bidang163
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan...18
Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn...27
Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle.35
Gambar 2.4 Model Implementasi Menurut Sabatier dan Mazmanian...36
Gambar 2.5 Model Implementasi Menurut George Edward III41
Gambar 2.6 Hubungan antara variabel Dependen dan Independen dalam
implementasi kebijakan..42
Gambar 2.7 Peran variabel antara dan antiseden dalam model implementasi...43
Gambar 2.8 Proses terbentuknya struktur organisasi.54
Gambar 3.1 Komponen-kompponen analisi data..73
Gambar 5.1 Alur proses dalam implementasi PP No.41Tahun 2007..148
Gambar 5.2 Pola organisasi kabupaten/kota152











BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan otonomi di negara kita sampai sekarang,
secara legal formal, paling tidak sudah ada 7 (tujuh) Undang-undang
Pemerintahan Daerah (UU 1/45; UU 22/48; UU 1/57; UU 18/65; UU 5/74; UU
22/99; UU 32/2004). Setiap Undang-undang terwujud dari sistem politik dan
pemerintahan yang berubah-ubah sesuai dengan keadaan pada waktunya. Ketika
Indonesia baru merdeka, Undang-undang tentang otonomi daerah bisa dikatakan
sangat darurat, karena hanya terdiri dari 6 pasal, dan sama sekali tidak memiliki
penjelasan. Di era ke-dua, melalui UU No. 22 tahun 1948 otonomi yang ada
dikenal dengan otonomi material, yakni pemerintah pusat menentukan kewajiban
apa saja yang diserahkan kepada daerah (kewenangan dirinci dari pusat). Era Orde
Baru, dengan UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa otonomi merupakan
otonomi nyata dan bertanggung jawab dan kepala daerah merupakan wakil
pemerintah pusat di daerah. Wujud desentralisasi atau otonomi bertitik tekan pada
deconcentration overshadowing decentralization (sistem dekonsentrasi lebih
dominan dari sistem desentralisasi). Ketika politik pemerintahan berbentuk
demokrasi (misal di Era Reformasi maka wujud desentralisasi atau otonomi
bertitik tekan pada devolution yang menumbuhkan euphoria yang sering tidak
terkendali (Nugroho, 2001:224-232; Utomo, 2006: 187).
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pusat dengan Daerah lahir diawali reformasi politik, yakni dengan berakhirnya
rezim Orde Baru tahun 1998. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan
kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Dengan UU No.22
Tahun 1999 ini daerah terutama kabupaten dan kota lebih leluasa untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan daerahnya.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur pelaksanaan
otonomi daerah meletakkan titik berat pada tingkat pemerintah kabupaten dan
kota. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 7 dan pasal 11 Undang-undang
tersebut yang memberikan kewenangan sisa kepada kabupaten dan kota. Semua
kewenangan yang tidak disebutkan dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagai
kewenangan pusat dengan sendirinya menjadi kewenagan kabupaten dan kota.
Pemberian kewenangan sisa, penyelenggaraan asas desentralisasi,
pemilihan kepala daerah mencerminkan konteks otonomi daerah yang bersifat
politis. Untuk dapat melaksanakna kewenangan yang bersifat politis tersebut,
pemerintah kabupaten dan kota kemudian harus memiliki otonomi internal yang
meliputi: otonomi organisasi, otonomi kepegawaian, otonomi keuangan dan
otonomi perencanaan. Otonomi internal ini akan menjadi penentu dan menjadi
faktor penting untuk melaksanakan otonomi secara keseluruhan (Prasojo, 2003: 2)
Dalam Utomo (2006) disebutkan, Untuk melaksanakan UU No. 22 Tahun
1999 ini paling tidak dibutuhkan 48 peraturan-peraturan pelaksananya. Salah satu
aspek penting dan menjadi isu strategis dalam Undang-Undang ini adalah
mengenai kelembagaan ataupun susunan pemerintahan daerah. Pemerintah
kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 sebagai
pedoman bagi Daerah dalam menyusun organisasi perangkat daerahnya. PP No.
84 Tahun 2000 ini diubah dengan lahirnya PP Nomor 8 Tahun 2003 yang
bertujuan mewujudkan postur organisasi perangkat daerah yang lebih
proporsional, efisien, dan efektif yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip
organisasi secara rasional dan objektif.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 8 Tahun 2003
Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dalam pasal 2 ayat 1 (satu)
disebutkan bahwa besaran Organisasi Perangkat Daerah ditentukan berdasarkan
pertimbangan kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah; karakteristik,
potensi, dan kebutuhan Daerah; kemampuan keuangan Daerah; ketersediaan
sumber daya aparatur; serta pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau
dengan pihak ketiga. Penetapan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan
pasal 60 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
bahwa Perangkat Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan
Lembaga Teknis Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Pedoman-
pedoman inilah yang kemudian digunakan oleh Daerah untuk menyusun Peraturan
Daerah tentang susunan organisasi perangkat daerah.
Kekurangan-kekurangan akibat persiapan yang sangat terbatas dalam
implementasi dan iklim politik pemerintahan yang masih dalam masa transisi
kemudian menjadi faktor yang mengakibatkan harus dilakukannya perbaikan-
perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang No. 25
Tahun 1999 ini. Undang-Undang Otonomi daerah yang baru yakni, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah ditetapkan sebagai revisi atas Undang-Undang sebelumnya. Dengan
perubahan ini peraturan-peraturan pelaksana tentu juga perlu dilakukan perubahan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 5 disebutkan
bahwa: Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak
otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 ditetapkan untuk membatasi
kebebasan yang berhubungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah. Sedangkan dibidang kelembagaan pemerintah menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut
memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas,
nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing
daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber
pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan
dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan
pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 pasal 3, dimana pemerintah daerah
terdiri dari Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara daerah. Perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu
penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur
pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang
diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi
dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi
dalam dinas daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi
adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewengan daerah, yang terdiri
dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap
penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.
Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang bersifat
konkuren (kewenangan bersama) berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi-fungsi
pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi perangkat
Daerah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang
jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya
koordinasi, integrasi, singkronisasi, dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan
antara pusat dan daerah. Dalam peraturan pemeritah tersebut, besaran organisasi
perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan,
kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus
diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja kondisi geografis,
jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan
yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas.
PP Nomor 41 Tahun 2007 ini menetapkan kriteria untuk menentukan
jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah
dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD, yang
kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat
puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen)
untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel
jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval.
Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban
tugas masing-masing perangkat daerah.
Penetapan kelas interval untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
ditentukan dengan skala yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan kondisi dan
karakteristik daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kebutuhan akan besaran
Organisasi Perangkat Daerah juga senantiasa juga tidak sama dan tidak seragam.
Berdasarkan ketentuan dalam penetapan variabel besaran Organisasi Perangkat
Daerah tersebut, dalam Bagian Kedua dan Bagian Ketiga, BAB V PP Nomor 41
Tahun 2007 ditentukan besar jumlah total nilai yang menjadi ketentuan dalam
menetapkan besaran Organisasi Perangkat Daerah. Besaran organisasi yang dapat
dibentuk sebagai berikut:
Nilai Kurang dari 40 (empat puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 12
Dinas, 8 Lembaga Teknis Daerah)
Nilai antara 40 (empat puluah) sampai dengan 70 (tujuh puluh), OPD
yang diwadahi (3 Asisten, 15 Dinas, 10 Lembaga Teknis Daerah)
Nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) OPD yang diwadahi (4 Asisten, 18
Dinas, 12 Lembaga Teknis Daerah) (diolah dari PP 41 Tahun 2007).
Restrukturisasi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Peraturan
Pemerintah ini secara otomatis juga berlaku di Pemerintah Kabupaten Toba
Samosir. Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 di Kabupaten
Toba Samosir dilakukan dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Toba
Samosir Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Toba Samosir. Melalui peraturan ini struktur organisasi perangkat daerah di
Kabupaten Toba Samosir diubah mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam PP No. 41 Tahun 2007. Sesuai dengan tuntutan dari Peraturan Pemerintah
tersebut jelas akan banyak perubahan dari organisasi perangkat daerah di
Kabupaten Toba Samosir.
Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1998 Tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan
Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Toba Samosir ini
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Dengan metode
pelimpahan wewenang yang berlaku di Indonesia yang dikenal dengan sistem
general competence, maka Kabupaten Toba Samosir sebagai daerah otonom wajib
untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah wewenang
termasuk keharusan untuk menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2007. Metode general competence mengharuskan pemerintah daerah untuk
menjalankan kewenangan materil tanpa mempertimbangkan daerah tersebut
daerah otonom baru atau daerah otonom lama. Hal inilah yang kemudian menjadi
kendala bagi daerah-daerah otonom karena banyak daerah otonom tidak siap
untuk menerapkan peraturan-praturan seperti PP No.41 Tahun 2007 ini.
Kabupaten Toba Samosir sebagai salah satu daerah otonom menurut peneliti
kemudian perlu untuk dilihat sejauhmana daerah ini mampu untuk menerapkan PP.
No.41 Tahun 2007 ini.
Sebelum Perda Nomor 2 Tahun 2008, organisasi perangkat daerah di
Kabupaten Toba Samosir diatur dalam empat peraturan daerah yaitu, Perda
Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat
Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Toba
Samosir, Perda Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Dinas-Dinas Daerah Kabupaten Toba Samosir, Perda Nomor 14 Tahun
2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah
Kabupaten Toba Samosir, dan Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan. Berdasarkan keempat Perda tersebut,
jumlah perangkat daerah Kabupaten Toba Samosir terdiri dari:
1. Sekretariat Daerah terdiri dari 3 (tiga) Asisten dan 9 (sembilan) Bagian;
2. Dinas Daerah terdiri dari 12 (dua belas) Dinas;
3. Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) terdiri dari 5 (lima) Badan dan 3
(tiga) Kantor.
Perubahan yang kemudian terjadi setelah penerapan PP Nomor 41 Tahun 2007
melalui Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah di
Kabupaten Toba Samosir adalah sebagai berikut:
1. Sekretariat Daerah terdiri dari 3 (tiga) Asisten dan 8 (delapan) Bagian;
2. Dinas Daerah terdiri dari 14 (empat belas) Dinas;
3. Lembaga Teknis Daerah 10 Lembaga.
Desentralisasi dalam pengelolan aparatur (otonomi organisasi) dapat dilihat
dari seberapa besar daerah memiliki kewenangan untuk membentuk struktur
birokrasinya (SKPD) dan mengangkat aparatnya untuk menduduki jabatan pada
struktur birokrasi. Setelah diberlakukannya PP Nomor 41 Tahun 2007, persoalan
yang muncul adalah terbatasnya ruang gerak pemerintah daerah karena dalam PP
tersebut mengatur secara rinci tentang struktur birokrasi daerah, bukan hanya
terkait jumlahnya tetapi juga bentuk organisasi, perumpunan, eselon bahkan
nomenklaturnya. Semangat dari PP tersebut adalah untuk mengendalikan
penggemukan dari struktur birokrasi daerah. Namun pada kenyataannya
pemberlakuan PP tersebut justru mendorong sejumlah daerah yang sebelumnya
memiliki struktur ramping untuk mengembangkan struktur birokrasi yang lebih
gemuk mengikuti ketentuan dalam PP tersebut (Dwiyanto, 2010:190).
J ika dilihat secara sepintas dari data perubahan Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten Toba Samosir di atas yang terjadi adalah adanya perubahan jumlah
besaran perangkat daerah baik dinas maupun Lembaga Teknis Daerah. J ika dilihat
kembali PP No.41 Tahun 2007 ini adalah bertujuan untuk mengurangi jumlah
Dinas dan Lembaga Teknis Daerah. Peraturan Pemerintah ini pada prinsipnya
dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah
dalam menata organisasi yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Dalam penataan kelembagaan
perangkat daerah harus menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan
misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung
secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas
(Lampiran Permendagri Nomor 57 Tahun 2007). Perubahan yang terjadi pada
Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir ini menjadi pertanyaan
bagi peneliti apakah perubahan ini bisa dikatakan sebagai pembengkakan atau
memang ketentuan yang terdapat dalam PP No.41 Tahun 2007 inilah yang
mengakibatkan perubahan tersebut? Aspek implementasi kemudian menjadi
bagian yang menarik untuk diidentifikasi, karena aspek implementasi merupakan
sebuah proses yang kompleks yang perlu dijelaskan dengan melihat berbagai
faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Kebijakan restrukturisasi ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
pusat, namun program pengimplementasiannya di serahkan pada masing-masing
daerah. Kesulitan yang timbul dikarenakan interpretasi yang bisa jadi beragam
antar daerah dan juga kesiapan daerah yang masing-masing tidak sama, sehingga
pengimplementasian dan hasilnya pun bisa berbeda dari tujuan utama kebijakan
tersebut. Melalui implementasi kebijakan selanjutnya tujuan dan sasaran dari
sebuah kebijakan dapat dilihat ataupun diukur. Tercapainya tujuan dari sebuah
kebijakan dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu seluruh komponen-komponen yang
berhubungan dengan cara untuk mencapai sasaran dan tujuan dari sebuah
kebijakan.
Gambaran di atas menjadi gambaran persoalan yang akan lebih jauh dicari
tahu dalam penelitian ini. Aspek implementasi yang merupakan proses yang
kompleks dan menjadi aspek utama dan menurut peneliti perlu dideskripsikan
secara jelas dalam penelitian ini. Fokus perhatian bagi peneliti adalah untuk
melihat bagaimana Kabupaten Toba Samosir ini mengimplemetasikan prinsip-
prinsip organisasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan restrukturisasi yang tertuang
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 20017 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah melalui peraturan turunan yaitu Perda Kabupaten Toba Samosir
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba
Samosir.


1.2 Fokus Penelitian
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ada yang disebut
dengan batasan masalah. Batasan masalah ini kemudian disebut dengan fokus,
yaitu pokok masalah yang masih bersifat umum. Pada penelitian kualitatif,
penentuan fokus ini didasarkan atas hasil studi pendahuluan, pengalaman,
referensi dan saran-saran dari orang yang dipandang ahli. Fokus penelitian dalam
penelitian kualitatif sifatnya juga masih sementara dan akan berkembang di
lapangan (Sugiyono, 2006:290).
Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk
menjelaskan proses implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat
daerah di Kabupaten Toba Samosir melalui pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 yang diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Toba Samosir Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Penelitian ini menggunakan variabel-variabel pengaruh (variabel independen),
yaitu variabel yang diharapkan mampu untuk menjelaskan derajat kinerja
implementasi kebijakan terkait. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang ada
bukan untuk diuji hubungannya, karena variabel dalam penelitian kualitatif
merupakan sesuatu yang holistik (tidak terpisah-pisah), variabel saling terikat dan
berinteraksi dalam fakta-fakta sosial.
Variabel yang mempengaruhi implementasi dalam kebijakan ini juga hanya
akan difokuskan pada variabel-variabel yang dipilih oleh peneliti, yang dianggap
relevan mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan PP No.41 Tahun 2007.
Disamping batasan variabel, peneliti juga membuat batasan unit analisis atau
objek penelitian hanya pada beberapa perangkat daerah kabupaten, yaitu
Sekretariat Daerah, 1 Dinas, 1 Badan, 1 Kantor, serta 1 Kecamatan sebagai
perwakilan dari keseluruhan Organisasi Perangkat Daerah yang ada, yang diatur
di dalam Peraturan Pemerintah ini, sehingga unit analisis tidak terlalu luas dan
peneliti mampu untuk menyelesaikan penelitian ini.
1.3 Perumusan Masalah
Perumusan masalah (problem statement, statement of the problem) atau
kadang-kadang disebut sebagai defenisi masalah (problem definition) merupakan
tahap dimana peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian (research
question) yang berhubungan dengan topik atau isu penelitian. Permusan masalah
adalah konteks penelitian yang mengarahkan pelaksanaan dan pencapaian tujuan
penelitian. Peneliti ilmu sosial memusatkan perhatiaanya pada masalah atau
pertanyaan penelitian (Silalahi, 2009:54).
Masalah atau pertanyaan dalam penelitian yang saya pilih dan yang perlu
dipecahkan ialah Bagaimana Efektivitas Implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Di
Kabupaten Toba Samosir?
1.4 Tujuan Penelitian
Di dalam usulan/rancangan penelitian, apapun format penelitian yang
digunakan (deskriptif ataukah eksplanasi, studi kasus, survei ataukah eksperimen),
juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak
dihasilkan (Faisal, 2007: 100-101).
Tujuan Penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya, yaitu mengenai efektivitas implementasi. Pertanyaan
untuk efektivitas adalah untuk mengetahui apakah hasil atau tujuan yang
diinginkan sudah tercapai? Oleh karena itu, yang menjadi tujuan dalam penelitian
ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana gambaran atas kinerja implementasi
kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba
Samosir sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
b. Menjelaskan variabel-variabel yang mempengaruhi implementasi PP
No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah atau fenomena
sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, sebuah penelitian harus
benar-benar bermanfaat atau memiliki dampak bagi pihak-pihak yang
bersangkutan pada akhirnya.
Adapun Manfaat Penelitian ini ialah:
1. Manfaat secara ilmiah, penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam
mengembangkan kemampuan menulis karya ilmiah dan menambah
pengetahuan ilmiah pada studi administrasi negara dalam kaitannya dengan
implementasi kebijakan yakni Peraturan Pemerintah tentang Organisasi
Perangkat Daerah.
2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak
yang terkait dalam pengimplementasian PP Nomor 41 Tahun 207 tentang
Organisasi Perangkat Daerah khususnya bermanfaat bagi Pemerintah
Kabupaten Toba Samosir untuk melakukan perbaikan-perbaikan dimasa yang
akan datang.
3. Manfaat secara akademis, diharapkan mampu menambah khasanah dan
literatur atau kepustakaan baru dalam penelitian sosial.
1.6 Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang masalah, fokus penelitian, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Kerangka Teori
Bab ini memuat tentang teori-teori yang berhubungan dengan judul
penelitian dan definisi konsep yang diperlukan peneliti
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan
penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
Bab IV : Gambaran Umum
Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi
penelitian yang ditemukan di lapangan.
Bab V : Penyajian Data dan Analisis Temuan Penelitian
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan
dokumentasi serta analisa terhadap data atau informasi tersebut.
Bab VI: Penutup
Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang telah
dilakukan yang dianggap penting bagi pihak yang membutuhkan.

















BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Kebijakan Publik
Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris adalah
seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik (Wilson, 1887).
Sejak periode pasca Perang Dunia II. Kata Policy mengandung makna kebijakan
sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaiaan penuh pertimbangan.
Misalnya, bayangkan bagaimana jika para politisi mengakui bahwa mereka tidak
punya kebijakan tentang persoalan x? Sebuah kebijakan adalah usaha untuk
mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan (Parson, 2008: 14-17).
Sedangkan kata publik secara terminologi mengandung arti sekelompok
orang atau masyarakat dengan kepentingan tertentu. Menurut Wayne Parson
publik adalah aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau
diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan
bersama (Parson, 2008: 3). Hal ini berarti bahwa masyarakat atau publik datang
dengan latar belakang kepentingan yang diwujudkan dalam bentuk tuntutan
(demand) dan dukungan (support). Intervensi terhadap publik oleh pemerintah
ataupun oleh aturan sosialnya mendorong terjadinya perubahan-perubahan
terhadap publik melalui usaha-usaha yang telah direncanakan. Terlepas dari
perubahan tersebut membawa dampak yang bersifat baik maupun dampak yang
bersifat buruk.
Usaha pemerintah untuk merespon kepentingan publik ini adalah yang
disebut dengan kebijakan publik. R. Dye (1995) mendefenisikan kebijakan publik
sebagai what government do, why they do it, and what different it makes. Harold
Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mendefenisikan sebagai a project program
of goals, values, and practices. David Easton (1965) mendefenisikan sebagai the
impact of government activity (Nugroho: 2006, 23-24). Berdasarkan defenisi dari
para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. dikerjakan
atau tidak dikerjakan merupakan keputusan, karena dilakukan atau tidak
dilakukan tetap akan memberikan dampak. Menurut David Easton, dalam
menghadapi tuntutan-tuntutan yang berkembang di dalam masyarakat, system
politik dapat menempuhnya melalui dua cara. Pertama, membuat keputusan-
keputusan sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat. Kedua, melakukan
politisasi, yaitu membangun nilai-nilai yang ada di dalam pemerintahan (Marijan,
2010: 6).
Membuat keputusan atau kebijakan sesuai dengan keinginan masyarakat
bukanlah hal yag mudah. Kepentingan masyarakat tidak tunggal. Pemerintah
sebelum merumuskan kebijakan perlu untuk memetakan kepentingan publik yang
berbeda-beda (public mapping). Dengan pemetaan ini bentuk perhatian publik
seperti kepentingan, aspirasi, masalah-masalah masyarakat, issu yang berkembang
bisa dikenali. Pemetaan kepentingan ini akan sangat berguna karena pemerintah
akan mengetahui kepentingan yang mana yang paling mendesak dan paling
mewakili kepentingan dari masyarakat, sehingga kebijakan benar-benar
mengandung manfaat yang paling besar kepada masyarakat. Dengan mengenali
rakyatnya, pemerintah akan mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat.
2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Tahap-tahap atau proses pembuatan kebijakan dapat divisualisasikan
sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan
waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan penilaian kebijakan. Berikut gambar dari tahapan dalam proses
pembuatan kebijakan publik:












Sumber: (Dunn, 2003: 25)
1. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari defenisi masalah
dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda
setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
2. Peramalan
Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari
diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam
tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang plausible,
potensial dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang
ada atau yang diusulkan, mengendali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi
dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan
oposisi) dari berbagai pilihan.
3. Rekomendasi
Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa
mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil
kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi
tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda,
menentukan kriteria dalam membuat pilihan, dan menentukan
pertanggungjawaban administrative bagi implementasi kebijakan.
4. Pemantauan
Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu
pengambil kebijakan dalam tahap implementasi kebijakan. Banyak badan secara
teratur memantau hasil dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai
indikator kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, kesejahteraan,
kriminalitas, dan ilmu dan teknologi. Pemantauan membantu menilai tingkat
kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan
program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan
menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahapan
kebijakan.
5. Evaluasi
Evaluasi membuahkan penngetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan benar-
benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian
kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya
menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan;
tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-ninlai yang
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali
masalah (Dunn, 2003: 25-29).
2.3 Implementasi Kebijakan Publik
2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik
Studi kebijakan publik terdiri dari dua bagian besar yaitu analisis kebijakan
publik dan proses kebijakan publik. Salah satu bagian dari proses kebijakan publik
adalah implementasi kebijakan publik. Bagian analisis kebijakan publik biasanya
mengkaji hubungan antara suatu kebijakan dengan masalah, isi dari kebijakan,
mengkaji apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pembuat kebijakan, serta
konsekuensi yang akan tercipta (Output) dari suatu kebijakan. Analisis kebijakan
pada dasarnya merupakan bentuk perekayasaan dan perbaikan terhadap suatu
kebijakan (Parson, 2008: 19-31).
Pada bagian proses kebijakan publik, kebijakan publik dipandang sebagai
sebuah proses. Artinya, kebijakan publik akan dilihat berdasarkan tingkatan
praktisnya, yaitu bagaimana kebijakan dibuat, dimplementasikan dan pada
akhirnya kebijakan harus melakukan perubahan-perubahan tertentu. Banyak pakar
yang menawarkan bentuk dari proses kebijakan ini, tetapi dari sebagian banyak
tawaran itu Jones menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua bentuk proses itu
dapat dikelompokkan menjadi empat tahap, yaitu:
1. Tahap bagaimana masalah-masalah yang ada bisa masuk ke ruang publik
2. Tahap bagaimana pemerintah melakukan tindakan-tindakan konkret
menyikapi masalah tersebut.
3. Tahap dimana tindakan-tindakan pemerintah itu masuk ke masalah di
lapangan.
4. Dan kemudian tahap dimana kebijakan kembali ke pemerintah agar
ditinjau kembali dan diadakan perubahan-perubahan yang dianggap
mungkin (Putra, 2003:26-32).
Penggunaan istilah implementasi pertama sekali digunakan oleh Harold
Lawswell (1956). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali mengembangkan studi
tentang kebijakan publik, Laswell menggagas suatu pendekatan yang ia sebut
sebagai pendekatan proses (policy process approach). Menurutnya, agar ilmuwan
memperoleh pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik,
maka kebijakan publik harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai tahapan-
tahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi,
reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut terlihat secara jelas bahwa
implementasi hanyalah bagian atau salah satu tahap dari proses besar bagaimana
suatu kebijakan publik dirumuskan (Purwanto, 2012:17).
Istilah implementasi oleh Laswell digunakan hanya untuk menunjukkan
bahwa implementasi merupakan salah satu tahapan dalam proses besar kebijakan
publik, Laswell belum memberi penekanan secara khusus tentang arti pentingnya
implementasi. Tetapi dalam perkembangannya kemudian istilah implementasi
kemudian menjadi suatu konsep yang mulai dikenal dalam disipilin ilmu politik,
ilmu administrasi publik dan lebih khusus lagi dalam ilmu kebijakan publik yang
mulai dikembangkan. Dalam perkembangan studi implementasi kebijakan publik
selanjutnya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1973) merupakan dua
ilmuwan pertama yang secara eksplisit menggunakan konsep implemetasi untuk
menjelaskan fenomena kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya.
Hal inilah yang menjadikan kedua ahli ini layak diberikan kredit besar sebagai
pioneer dalam pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Menurut
mereka, imlementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai berikut: untuk
menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji sebagaimana
dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output
sebagaimana dinyatakan dalam tujuan kebijakan (to produce), untuk
menyelesaikan misi yang harus diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete)
(Purwanto, 2012:17-20).
Setelah dirintis oleh dua sarjana ini, konsep implementasi kemudian mulai
dikenal luas dan mulai di dalami oleh para ilmuwan kebijakan publik. Mazmanian
dan Sabatier (Nugroho, 2006:119) mengemukakan bahwa implementtasi adalah
upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Mazmanian dan Sabatier
mengemukakan:
implementation is the carrying out of basic policy decision, usually
incorporated in a statute but which can also take the form of important executives
oders or court decision. Ideally that decision identifies the problem(s) to be
addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways,
structures the implementation process.
Berdasarkan pengertian tersebut implementasi dapat diartikan sebagai
pelaksanaan keputusan dasar yang biasanya dituangkan dalam bentuk undang-
undang, keputusan pemerintah/eksekutif ataupun keputusan badan peradilan.
Biasanya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang dihadapi, tuntutan
dalam berbagai bentuk yang ingin dicapai serta struktur dari proses implementasi.
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), hal-hal yang
berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam
mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan-
keputusan yang bersifat khusus. Sementara itu, Van Meter dan Van Horn
membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh individu-idividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan
kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam
kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk
mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan (Winarno, 2004:102).
Agus Purwanto (2012) mengemukakan bahwa implementasi intinya adalah
kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output)
yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group)
sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan
akan muncul manakala policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan
baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil kebijakan
akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012:21). Oleh karena itu, sebuah program
kebijakan harus diimplementasikan magar mempunyai dampak atau tujuan yang
diinginkan.
Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian kegiatan setelah suatu
kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang
telah dirumuskan akan sia-sia belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal
yang paling berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai
dalam konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006:119).
2.3.2 Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya
terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya
melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut,
namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam
tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses
tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:
1. tahapan pengesahan peraturan perundangan
2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana
3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan
4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak
5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana
6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah
kebijakan:
1. Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah
kebijakan yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau
tindakan yang lebih bersifat manajerial dan operasional. Dalam Nugroho
(2006) disebutkan bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada
dua pilihan langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam
bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau
turunan dari kebijkan publik tersebut. Kebijakan abstrak biasanya tertuang
dalam bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan
legislatif, bisa berbentuk perda ataupun undang-undang. Kebijakan manajerial
biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa
peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan
operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa
keputusan/peraturan menteri ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan
dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran dari kebijakan abstrak
ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses komunikasi dan
sosialisasi kebijakan tersebut baik yang berbentuk abstrak maupun operasional
kepada para pemangku kepentingan.
2. Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan
pelaksana kebijakan (policy implementor) yang setidaknya dapat
diidentifikasikan sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat maupun
daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat. Setelah
pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap
kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi
pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para
pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas
prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal (SPM).
Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber
pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah
(APBN/APBD) maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga
diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan
tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya penetapan manajemen
pelaksana kebijakan diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan
koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan focal point pelaksana
kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan segera
disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat
penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan.
3. Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing-
masing tahapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.


2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik
2.3.3.1 Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn
Gambar 2.2
Model implementasi kebijakan Meter dan Horn
















Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu model dasar yang mempunyai
enam variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan
pencapaian (performance). Meter dan Horn (1975) dalam Wibawa (1994:19)
merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan berbagai faktor
yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Model ini seperti yang
diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn, tidak hanya menentukan hubungan
antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-
kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel
bebas. Selain itu dengan model ini indikator-indikator yang memuaskan dapat
dibentuk dan data yang tepat dapat dikumpulkan. Dengan menggunakan
pendekatan masalah seperti ini, dalam pendangan Van Meter dan Van Horn, kita
mempunyai harapan yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara
melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dilaksanakan dibandingkan
hanya sekedar menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat dalam suatu
cara yang semena-mena. Variabel-variabel tersebut dijelaskan Van Meter dan Van
Horn sebagai berikut:
1. Standar dan tujuan kebijakan
Suatu kebijakan tentu telah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang
harus dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada
dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran
tersebut. Karena dijadikan sebagai kriteria penilaian, maka standar dan sasaran
dirmuskan secara spesifik dan kongkret (Wibawa, 1994:20). Menurut Van Meter
dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang
krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini
menilai sejauhmana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah terealisasikan.
Ukuran-ukuran dasar (standar kebijakan) dan tujuan berguna di dalam
menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh.
Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran
suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentiikasi dan diukur karena
implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu
tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaran-
sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat
keputusan sebagaimana direfleksikan dalam banyak dokumen seperti regulasi-
regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan kriteria untuk
evaluasi pencapaian kebijakan. Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran
dasar dan sasaran-sasaran kebijakan harus dideduksikan oleh peneliti perorangan
dan pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang
didukung oleh penelitian (Winarno, 2004:110-112).
2. Sumber daya
Di samping standar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian
dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber daya yang tersedia.
Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik berupa dana maupun
perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi
yang efektif. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena sangat
menunjuang dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Dalam praktek
implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para pejabat maupun
pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai
program-program yang telah direncakan. Dengan demikian, besar kecilnya dana
akan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan implementasi
kebijakan (Winarno, 2004:112).
3. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
Kejalasan standar dan sasaran tidak menjamin implementasi yang efektif
apabila tidak dibarengi dengan adanya komunikasi antar organisasi dan aktivitas
pengukuhan. Semua pelaksana harus memahami apa yang diidealkan oleh
kebijakan yang implementasinya menjadi tanggungjawab mereka. Hanya saja
komunikasi adalah proses yang rumit, yang sangat potensial untuk terjadi
penyimpangan. Hal ini menyangkut persoalan kewenangan dan kepemimpinan.
Organisasi atasan (superior) mestinya mampu mengkondisikan organisasi
bawahan atau pelaksana untuk memiliki idealita sebagaimana yang dikehendaki
oleh kebijakan (Wibawa, 2004: 20).
Implementasi akan berjalan efektif bila standar dan tujuan dipahami oleh
individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian,
tujuan dan standar yang jelas, komunikasi yang tepat dengan pelaksana,
konsistensi dan keseragaman tujuan dan standar yang dikomunikasikan dengan
berbagai sumber informasi sangat perlu diperhatikan. Komunikasi di dalam dan
antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit.
Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu
organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau
menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika
sumber-sumber informasi ataupun sumber yang sama memberikan interpretasi
yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau bahkan
bertentangan, maka para pelaksana kebijakan akan mendapatkan kesulitan yang
lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud dari kebijakan. Oleh karena itu,
menurut Van Meter dan Van Horn prospek-prospek tentang implementasi yang
efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang
dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan
ukuran-ukuran dan tujuan tersebut.
Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil sering kali
membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini
akan membantu atasan mendorong bawahan (pelaksana) untuk bertindak dalam
suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan.
Para pejabat dalam organisasi mempunyai pengaruh dan kekuasaan personil
dikarenakan posisi hierarkhis mereka. Pengaruh dan kekuasaan itu antara lain
dalam hal, rekrutmen dan seleksi, jenjang karir bawahan, kontrol atas alokasi
anggaran, mempengaruhi perilaku bawahan serta mempunyai kewenangan dalam
menanggapi pencapaian kebijakan.
Hubungan-hubungan antar organisasi maupun antar pemerintah dalam
kegiatan pelaksanaan terlihat dalam dua tipe. Pertama, nasihat dan bantuan teknis
yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi dapat membantu para
bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman
pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan
memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam
melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi,
baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn, kita dapat
menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan antara
kekuasaan normatif, renumeratif, dan keuasaan koersif (Winarno, 2004:112-114).
4. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor
Menurut Ripley (1973) struktur dari agen pelaksana, yang meliputi
karakteristik, norma dan pola hubungan yang potensial maupun aktual sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Wibawa, 1994:20-21). Van
Meter dan Van Horn menyatakan bahwa karakteristik dari badan pelaksana dilihat
dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik, norma
dan pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang
memounyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka
miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-
ciri struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari
personil mereka. Disamping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada ikatan-
ikatan badan pelaksana dengan pemeran-pemeran serta dalam sistem
penyampaian kebijakan (Winarno, 2004: 116). Menurut Van Meter dan Van Horn
organisasi pelaksana memiliki enam variabel yang harus diperhatikan, yaitu: (1)
kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian, (3) dukungan
politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan
kebebasan komunikasi, dan (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan (Wibawa,
1994:21).
5. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik merupakan variabel
selanjutnya yang diidentifikasi oleh Van Meter dan Van Horn. Sebagaimana dapat
diambil inferensi logis dari bagan sistem kebijakan di depan, kondisi sosial,
ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap efektivitas implementasi
kebijakan. Ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik. Beberapa item
pertanyaan yang berkaitan dengan variabel ini diantaranya adalah:
1. Apakah sumber daya ekonomi yang dimiliki organisasi pelaksana cukup
memadai untuk mengejar efektivitas yang tinggi?
2. Bagaimana keadaan sosial-ekonomi dari masyarakat yang akan dipengaruhi
kebijakan?
3. Apa opini publik yang dominan, dan bagaimana pendapat publik terhadap
kebijakan?
4. Apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan?
5. Adakah kekuatan penentang?
6. Sejauh mana kelompok kepentingan dan swasta mendukung atau menentang
kebijakan (Wibawa, 1994: 21)?
6. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor
Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang
mereka implementasikan, untuk pada akhirnya menentukan seberapa tinggi
kinerja kebijakannya. Kognisi, netralitas dan obyektivitas para individu pelaksana
sangat berpengaruh bentuk respons mereka terhadap semua variabel tersebut.
Wujud respons individu pelaksana menjadi penyebab dari berhasil dan gagalnya
implementasi. J ika pelaksana tidak memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih
apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai
pembuat kebijakan maka implementasi tidak akan efektif. Hal yang sama juga
terjadi bila loyalitas pelaksana kepada organsasi rendah (Wibawa, 1994: 21-22).


2.3.3.2 Model Grindle
Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980), ditentukan oleh isi
kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah
kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual
biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak
berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat
dilihat pada isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1)
kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang
akan dihasilkan, (3) derajar perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat
kebijakan, (5) siapa pelaksana program?, dan (6) sumber daya yang dilibatkan.
Demikian dengan konteks kebijakan juga mempengaruhi proses implementasi.
Yang dimaksud oleh Grindle dengan konteks kebijakan adlaah: (1) kekuasaan
kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan
penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas keterlibatan
para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana
program akan bercampur-baur mempengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini
searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan
oleh Van Meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses
implementasi kebijakan (Wibawa, 1994: 22-25).



Gambar 2.3
Model implementasi kebijakan menurut Grindle

2.3.3.3 Model Sebatier dan Mazmanian
Menurut Mazmanian dan Sebatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah
(tractability of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability
of statute to structure implementation); (3) variabel lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation) (Subarsono, 2009:94). Variabel-variabel
tersebut terlihat pada Gambar 2.4. Kerangka berpikir yang mereka tawarkan juga
mengarah pada dua persoalan mendasar yaitu, kebijakan dan lingkungan
kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan
menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya
mematuhi peraturan yang ada (Wibawa, 1994: 25).
Gambar 2.4
Model implementasi menurut Sebatier dan Mazmanian


2.3.3.4 Model George Edwards III
Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public
administration dan public policy. Implemetasi kebijakan adalah tahap pembuatan
kebijakan antara pemebentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi
kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhuinya. J ika suatu kebijakan tidak tepat
atau tidak dapat mempengaruhi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan,
maka kabijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu
diimplemetasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang
cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijkan tersebut kurang
diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.
Dalam kajian implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mangajukan
dua buah pertanyaan, yaitu: prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu
implementasi kebijakan berhasil? Kedua, hambatan utama apa yang
mengakibatkan suatu implementasi gagal? Menurut Edwards, terdapat empat
faktos atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik. Factor-faktor
atau variable tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-
kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi (Winarno, 2004:125-126).
a. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehinggan
akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu
kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok
sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran
(Subarsono, 2009:90).
Aspek lain dari komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk pelaksanaan
adalah persoalan konsistensi. Keputusan-keputusan yang bertentangan akan
membingungkan dan manghalangi staf administrasi dan menghambat kemampuan
mereka untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif. Sementara itu,
ada banyak hal yang mendorong terjadinya komunikasi yang tidak konsisten dan
menimbulkan dampak-dampak buruk bagi implementasi kebijakan. Beberapa hal
yang dimaksud menyangkut transmisi, konsistensi, dan kejelasan.
Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah
transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementassikan suatu keputusan, ia
harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk
pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang
langsung sebagaimana tampkanya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan
tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman
terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Adapun hambatan yang timbul
dalam mentransmisikan perintha-perintah implementasi yakni, pertentangan
pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil
kebijakan; informassi melewati berlapis-lapis hierarkhi birokrasi sehingga
mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi kebijakan yang dijalankan; faktor
penghambat terakhir adalah prespektif selektif dan ketidakmauan para pelaksana
kebijakan untuk mengetahui prasyarat-prasyarat suatu kebijakan.
Faktor kedua yang dikemukakan oleh Edwards III adalah kejelasan. J ika
kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan , maka
petunjuk pelaksanaan tidak hanya diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi
juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-instruksi yang
diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan
bagaiaman suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang
disampaiakan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong
terjadinya interpretasi yang tidak salah bahkan mungkin bertentangan dengan
makna pesan awal. Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan
tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana
membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Sesuatu yang sering
dihambat oleh instruksi-instruksi yang sangat spesifik menyangkut implementasi
kebijakan.
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah
konsistensi. J ika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka
perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah
implementasi yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil
tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan
kebijakan. Tindakan yang sangat longgar kemungkinan tidak dapat digunakan
untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan (Winarno, 2004:126-129).
b. Sumber-sumber
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan
konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung
tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan factor yang
penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting
meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk menterjemhkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan
pelayanan publik.
c. Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan factor ketiga yang
mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika
para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti
adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula
sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat
keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit.

d. Strktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak
sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam
rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern.
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedur-
prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan
fragmentasi. Yang pertama, berkembang sebagai tanggapan internal terhadap
waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan
untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar.
Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi,
seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-
pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi
organisasi birokrasi pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas
implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara
lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan (Winarno, 2004:132-154).

Gambar 2.5
Model implementasi menurut George Edward III


2.3.4 Keterkaitan Antar Variabel dalam Implementasi Kebijakan Publik
Pemahaman tentang proses implementasi adalah untuk mengidentifikaasi
secara cermat apa sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan atau
keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Dalam upaya mempermudah
identifikasi variabel-variabel tersebut, para ahli biasanya membedakan berbagai
variabel dalam dua kelompok besar, yaitu variabel tergantung (dependent variable)
dengan variabel bebas (independent variabel). Variabel tergantung yaitu kinerja
implementasi kebijakan dan variabel bebas yaitu berbagai faktor yang
mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan. Kinerja implementasi kebijakan
merupakan variabel pokok yang ingin dijelaskan oleh variabel-variebel lain.
Kinerja kebijakan tersebut secara sederhana menggambarkan tingkat pencapaian
tujuan kebijakan.
Sementara itu variabel independen merupakan seluruh variabel yang
diharapkan mampu menjelaskan derajat kinerja kebijakan tersebut. Variabel
independen tersebut adalah keseluruhan faktor yang memiliki keterkaitan dengan
proses implementasi suatu kebijakan dilakukan. Secara sederhana hubungan antar
dua kelompok variabel dalam implementasi kebijakan digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.6
Hubungan antara variabel dependen dan independen dalam implementasi
kebijakan





Sumber: (Purwanto, 2012:67)

Variabel Independen:

X1
X2
X3
Variabel Dependen:

Kinerja
Implementasi
Kebijakan
Namun hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dalam
realitas implementasi kebijakan tidak sesederhana sebaimana dalam Gambar 2. 6
di atas. Kompleksitas implementasi menyebabkan variabel-variabel independen
sering kali tidak berpengaruh secara langsung, akan tetapi dapat melalui variabel
antara (variable intervening) atau di dahului variabel yang muncul sebelum
variabel bebas itu bekerja atau disebut sebagai antisendent variable. Gambaran
bagaimana kompleksitas hubungan antar variabel tersebut dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 2.7
Peran variabel antara dan antiseden dalam model implementasi





Keterangan:
X
a
=Variabel antiseden
X
i
=Variabel independen
X
3
=Variabel intervening
Y =Variabel dependen
Sumber: (Purwanto, 2012:68)


2.3.5 Variabel-Variabel yang Dianggap Relevan Mempengaruhi
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
Studi implementasi telah melahirkan banyak publikasi yang berusaha untuk
memahami fenomena implementasi, baik yang bersifat deskriptif maupun model-
model kausalitas hubungan sebab akibat antara kinerja implementasi dan variabel-
variabel yang mempengaruhinya (Purwanto, 2012:34). Dua perspektif awal dalam
studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauhmana implementasi terpisah
X
a
X
i
X
3
Y
dari formulasi kebijakan yakni, apakah suatu kebijakan dibuat oleh Pusat dan
diimplementasikan oleh Daerah (bersifat top-down) atau kebijakan tersebut dibuat
dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para
pelaksananya (bottom-up). Dalam perkembangan selanjutnyai para peneliti
kebijakan menyadari bahwa dalam studi implementasi terdapat persoalan yang
lebih luas yakni, bagaimana mengidentifikasi gambaran-gambaran dari suatu
proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang dan waktu, serta berbagai aktor
yang terlibat di dalamnya.
Para penulis studi implementasi pun memiliki keragaman tanggapan atas
kekompleksan variabel yang terlibat di dalamnya. Ada penulis yang cukup berani
menyederhanakannya dengan mengurangi variabel-variabel tersebut, namun ada
pula yang mencoba mengembangkan model studi implementasi dengan
memperhitungkan seluruh variabel yang teridentifikasi dalam studi mereka. Oleh
karenanya dalam Studi Implementasi pretensi untuk mengembangkan suatu teori
implementasi yang bersifat umum (Grand Theory) yang dapat berlaku untuk
semua kasus, di semua tempat dan waktu, hampir mustahil dicapai karena yang
dikembangkan tak lebih hanya akan menjadi teori tindakan atau teori
melaksanakan bukan teori Implementasi Kebijakan.
Secara umum yang membuat perbedaan pendekatan dalam teori
Implementasi ini berkaitan dengan; Pertama, keragaman isu-isu kebijakan atau
jebis kebijakan. Isu dan jenis kebijakan yang berbeda menghendaki perbedaan
pendekatan pula. da jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit
karena melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang
relatif mudah. Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki perubahan
yang relatif besar tentu cara implementasi dan tingkat kesulitannya akan berbeda
dengan kebijakan yang lebih sederhana; Kedua, keragaman konteks kelembagaan,
yang bisa meluas menyangkut pertanyaan sejauhmana generalisasi dapat
diterapkan pada sistem politik dan konteks negara yang berbeda. Kebijakan yang
sama dapat diimplementasikan dengan cara yang berbeda bergantung pada sistem
politik serta kemampuan sistem administrasi negara yang bersangkutan
(http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id).
Riant Nugroho juga mempunyai pendapat yang sama dalam hal model
implementasi kebijakan ini. Menurut Rian Nugroho, setiap jenis kebijakan publik
memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan yang
diimplementasikan secara top-down dan ada juga yang dijalankan dengan cara
bottom-up (Nugroho, 2006:135). Pendekatan top-down menggunakan logika
berfikir dari atas kemudian melakukan pemetaan ke bawah untuk melihat
keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan. Sedangkan,
pendekatan bottom-up menekankan pentingnya memperhatikan dua aspek penting
dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu birokrat pada level bawah (street level
bureaucrat) dan kelompok sasaran kebijakan (target group). Argument yang
menjadi dasar pentingnya memperhatikan peran street level bureaucrat sangat
terkait dengan posisinya dalam melakukan kegiatan merealisasikan keluaran
kebijakan (apabila keluaran kebijakan berupa pelayanan) atau menyampaikan
keluaran kebijakan tersebut kepada kelompok sasaran (apabila keluaran kebijakan
berupa hibah, bantuan, subsidi, dan lain-lain) (Purwanto, 2012:37-43).
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dikategorikan sebagai
decentralized polices, yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun
pengimplementasiannya diserahkan pada masing-masing daerah (bersifat top-
down). Dengan demikian model yang digunakan untuk melihat implementasi PP
Nomor 41 Tahun 2007 sebaiknya juga menggunakan model implementasi dengan
pendekatan top-down. Model-model yang diklasifikasikan sebagai model yang
menggunakan pendekatan top-down antara lain, Model Nakamura dan
Smallwood (1980), Edward III (1980), Grindle (1980), Van Meter dan Van Horn
(1975) dan Model Mazmanian dan Sabatier (1983) (Purwanto, 2012:39-40).
Model yang menggunakan pendekatan top-down ditandai dengan cara kerja model
ini yang dimulai dengan memahami kebijakan dan kemudian melihat efektivitas
pencapaian tujuan kebijakan tersebut di lapangan. Pendekatan top-down lebih
tepat digunakan untuk menilai efektivitas implementasi suatu kebijakan, yaitu
memastikan apakah tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan telah tercapai
dilapangan atau tidak. Sabatier (1986) mengatakan, pendekatan top-down
dilakukan oleh para peneliti dengan langkah sebagai berikut: they started with
policy decision (ussualy statue) and examined the extent to which its legally-
mandated objectives were achieved over time and why (Purwanto, 2012:37-39).
Pada umumnya tahapan kerja penelitian yang menggunakan pendekatan top-down
dimulai dengan memilih kebijakan yang akan dikaji yang biasanya dalam bentuk
regulasi/undang-undang.
Walaupun banyak model-model dalam implementasi kebijakan yang
menggunakan pendekatan top-down dan setiap model menawarkan variabel-
variabel yang mempunyai kesamaan juga perbedaan dengan model yang lain,
namun dalam penelitian ini tidak semua model tersebut efektif digunakan.
Variabel atau faktor-faktor yang mempengatuhhi kinerja implementasi yang
digunakan juga tidak terfokus pada satu model saja. Model implementasi
kebijakan yang ada tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat
disintesiskan sesuai dengan relevansi dan kebutuhan yang sesuai untuk melihat
kinerja implementasi suatu kebijakan tertentu. Dengan memahami model-model
tersebut, implementasi dapat dilihat lebih cermat, sehingga banyak persoalan
dapat dianalisis secara komprehensif. Oleh karena itu, dalam melihat kinerja
implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah ini, peneliti memilih beberapa variabel yang dianggap
mempengaruhi, antara lain:
1. Karakteristik Isi Kebijakan/ Peraturan Pengoperasionalan
Proses implementasi berangkat dari adanya suatu kebijakan atau program.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya, suatu kebijakan
atau program biasanya dituangkan dalam bentuk regulasi atau peraturan
perundang-undangan. Pada dasarnya suatu kebijakan atau program diformulasikan
dengan misi untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Setiap undang-undang,
keputusan peradilan atau perintah eksekutif ini kemudian akan menstrukturkan
proses implementasi dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang akan
dicapainya. Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan secara rinci dan disusun secara
jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting
sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman bagi pejabat-
pejabat pelaksana dan sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri (Wahab, 2004:87).
Kejelasan isi atau tujuan-tujuan kebijakan ini juga berarti bahwa isi kebijakan
akan semakin mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami
dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi
kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi atau penolakan dalam implementasi
kebijakan.
Karakteristik isi kebijakan atau peraturan pengoperasionalan tidak hanya
mencakup kejelasan isi atau tujuan-tujuan dari kebijakan. Menurut Grindle (1980)
salah satu dari dua variabel besar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan adalah isi kebijakan (content of policy). Variabel ini mencakup: (1)
Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran (target group) termuat dalam isi
kebijakan; (2) Jenis dan manfaat yang diterima kelompok sasaran; (3) Sejauh
mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) Apakah letak sebuah
program sudah tepat; (5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
implementornya dengan rinci; dan (6) Apakah sebuah program didukung oleh
sumber daya yang memadai (Subarsono, 2009: 93). Sabatier dan Mazmanian
(1986) juga mempunyai variabel terkait karakteristik isi kebijakan/peraturan
dalam salah satu dari variabel-variabel yang disebutkan mempengaruhi
implementasi kebijakan, yaitu variabel struktur manajemen program yang
tersermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan peraturan.
Variabel ini sering disebut sebagai variabel daya dukung peraturan yang terdiri
dari: (1) kejelasan/ konsistensi tujuan/ sasaran; (2) teori kausal yang memadai; (3)
sumber keuangan yang mencukupi; (4) integrasi organisasi pelaksana; (5) diskersi
pelaksana; (6) rekrutmen dari pejabat pelaksana; dan (7) akses formal lembaga
pelaksana ke organisasi lain (Wibawa, 1994:25-26).
2. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
dari aspek struktur yang penting dari organisasi adalah adanya prosedur operasi
yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman
bagi setiap implementor untuk bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang
akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan
aktivitas organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2009: 92). SOP seharusnya dapat
menanggulangi keadaan-keadaan umum yang dihadapi oleh organisasi pulik.
Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang
tersedia. Selain itu, SOP juga akan menyeragamkan tindakan-tindakan dari para
pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada
gilirannya akan menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan
dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam
penerapan peraturan-peraturan. Organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan
yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes mungkin
lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru dari pada birokrasi yang
tidak flekksibel. (Winarno, 2004: 151-152).
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan
kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang
kebijakan sering tersebar di antara beberapa organisasi. Akibatnya pelaksanaan
implementasi akan terhambat terutama akan berpengaruh terhadap koordinasi.
Badan-badan cenderung mempertahankan fungsi-fungsi mereka dengan alasan
perbedaan prioritas dan menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal,
penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Sehingga jika semakin besar
koordinasi akan semakin berkurang kemungkinan implementasi untuk berhasil.
3. Koordinasi dan Komunikasi
Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan yakni, transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Persyaratan
pertama bagi implementasi yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan
keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-
keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang
tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu
saja komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para
pelaksana. Akan tetapi, banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi
komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan hambatan ini akan menghalangi
pelaksanaan kebijakan (Winarno, 2004: 127).
Implementasi yang efektif juga membutuhkan mekanisme-mekanisme dan
prosedur-prosedur lembaga yang terkoordinasi. Hal ini sangat penting untuk
menjaga konsistensi dari semua pelaksana kebijakan. Organisasi implementasi
tidak tunggal, banyak aktor-aktor yang terlibat. Setiap aktor atau lembaga tersebut
perlu dikoordinasi karena sering kali mereka terlihat kaku dengan prosedur-
prosedur yang rumit yang mengedepankan prioritas lembaga masing-masing. Oleh
karena itu keterlibatan dari para aktor kebijakan perlu dijaga konsistensinya
dengan koordinasi yang tepat, untuk menjaga implementasi dapat dijalankan
dengan baik.
4. Sumber Daya
Sumber-sumber merupakan faktor yang penting dalam implementasi
kebijakan. Bagaimana implementasi akan berjalan jika sumber-sumber yang
diperlukan kurang atah bahkan tidak tersedia? Sumber-sumber yang penting
dalam proses implementasi meliputi: staf atau personil yang memadai serta
keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugasmmereka, wewenang
dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas
kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik, serta informasi mengenai
program atau kebijakan yang akan diimplementasikan.
Staf atau personil barangkali merupakan sumber yang paling penting dalam
melaksanakan kebijakan. Aspek yang paling utama yang harus dimiliki oleh staf
adalah kualitas yang menyangkut keterampilan-keterampilan yang diperlukann
untuk melaksanakan kebijakan. Sumber penting yang kedua adalah informasi.
Informasi dalam implementasi kebijakan dibagi menjadi dua bentuk yaitu,
informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan dan informasi
mengenai ketatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah.
Sumber-sumber lain yang harus diperhatikan adalah wewenang. Wewenang akan
berbeda-beda dari suatu program ke program lain serta mempunyai bentuk-bentuk
yang berbeda-beda. Lindblom mengemukakan pemahaman akan wewenang
sebagai penggunaan metode kontrol untuk membujuk orang-orang yang dikontrol
agar mentaati peraturan dan mereka harus tunduk terhadapnya. Sumber-sumber
penting dalam implementasi yang lain adalah fasilitas-fasilitas. Fasilitas fisik
dalam implementasi biasanya tergantung dari jenis dan tipe kebijakan yang akan
dilaksanakan. Pada intinya adalah bahwa sumber-sumber kebijakan akan sangat
penting dalam implementasi kebijakan yang efektif. Tanpa sumber-sumber,
kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan hanya akan menjadi rencana saja dan
tidak pernah ada realisasinya (Winarno, 2004: 132-137).
2.4 Konsep dan Pengertian Restrukturisasi Organisasi
2.4.1 Struktur Organisasi dalam Implementasi Kebijakan Publik
Menurut Jones (2004) struktur organisasi merupakan sistem hubungan
formal antara tugas dan wewenang yang mengendalikan serta mengkoordinasikan
sumberdaya untuk mencapai tujuan. Argumen senada juga dikemukakan oleh
Hodge, Anthony, dan Gales (1996): structure refers to sum total of the ways in
which an organization divides its labor into distinct tasks and then coordinates
among them. Sementara itu Robbins (2001) dalam bukunya Organizational
Behavior juga membuat defenisi mengenai struktur organisasi sebagai berikut:
an organizational structure defines how job tasks formally divided, grouped and
coordinated. Jadi intinya struktur organisasi merupakan instrument bagaimana
berbagai unsur organisasi tersebut dipedukan agar organisasi dapat berjalan secara
efektif dan efisien.
Dalam kegiatan implementasi kebijakan, struktur organisasi merupakan
wadah atau wahana interaksi di mana para petugas, aparat birokrasi, atau pejabat
yang berwenang mengeloala impementasi dengan berbagai kegiatannya. Dari
berbagai defenisi tersebut, maka proses terbentuknya struktur organisasi
merupakan serangkaian logika peyederhanaan kerja yang terdiri dari: adanya
kebutuhan untuk melakukan pembagian kerja di antara anggotanya karena
pekerjaan untuk mencapai misi organisasi tidak dapat dilakukan sendiri. Sebagai
konsekuensi dari pembagian kerja tersebut kemudian maka diperlukan koordinasi
di antara berbagai departemen, unit kerja, dan individu-individu yang memiliki
tugas berbeda-beda. Dan terakhir tentu dibutuhkan pengawasan (kontrol) untuk
menjamin bahwa departemen, unit kerja, dan individu-individu yang diberi tugas
tersebut menjalankan kewajibannya dengan baik sesuai dengan panduan yang
telah ditetapkan.
Agar struktur organisasi yang diberi mandat untuk mengimplementasikan
suatu kebijakan bisa bekerja secara efektif, maka struktur organisasi harus disusun
sesuai dengan tujuan dan kompleksitas kebijakan. Secara teoritis ada tiga
pendekatan untuk membentuk struktur organisasi yaitu, horizontal, vertikal dan
spasial. Ketiganya mencerminkan adanya deferensiasi pembagian tugas. Struktur
horizontal dibentuk dengan menggunakan dasar pembagian kerja menurut
spesialisasi masing-masing unit organisasi. Struktur vertikal adalah struktur yang
pembagian kerjanya didasarkan pada hirarki, otoritas, atau rantai komando.
Sementara itu, struktur spasial menggunakan pembagian pekerjaan berdasarkan
pada wilayah geografis atau wilayah administratif. Sejalan dengan pendekatan itu
Goggin et. al. (1990) mengemukakan bahwa penyusunan struktus organisasi
implementasi juga dipengaruhi pendekatan yang digunakan untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan. Kedua pendekatan tersebut adalah
pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Pendekatan top down
memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi yang bersifat multi-level dan
hirarkis. Sedangkan oendekatan bottom up menjadi dasar terhadap pemahaman
hubungan jaringan (yang bersifat horizontal) antar unit kerja dalam struktur
organisasi implementasi. Meskinpun seolah-olah bersifat dikhotomis,
kenyataannya antara pendekatan top down dan bottom up tidak bisa dipisahkan
dalam proses implementaasi karena realitas bahwa organisasi implementasi
melibatkan hubungan hirarkis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah daerah. Pada saat yang bersamaan implementasi kebijakan juga
melibatkan kerjasama antar dinas dalam suatu area pemerintah kabupaten/kota.








Gambar 2.8
Proses terbentuknya struktur organisasi










Sumber: (Purwanto, 2012:132)

Proses pembentukan struktur organisasi pada gambar di atas di dasarkan
pada dua aspek penting, yaitu: seberapa jauh kebutuhan untuk melakukan
diferensiasi dan seberapa mendesak perlu melakukan integrasi. Pertimbangan
yang berkaitan dengan aspek diferensiasi akan menentukan apakah struktur yang
dibangun lebih bersifat horizontal, vertikal, atau spasial. Sedangkan pertimbangan
pada aspek integrasi atau koordinasi akan menentukan seberapa jauh derajat
formalisasi, sentralisasi, rentang kendali dan standarisasi dalam membangun
struktur (Purwanto, 2012:129-132).
2.4.2 Pengertian Restrukturisasi Organisasi
Restrukturisasi berarti penataan ulang. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1997), Restrukturisasi didefinisikan penataan kembali (supaya struktur



Struktur
Organisasi
Pembagian
Kerja 1
Pembagian
Kerja 2
Pembagian
Kerja 3
Koordinasi dan Integrasi
atau penataannya baik). Menurut Sarundajang (2001), restrukturisasi organisasi
adalah tindakan untuk merubah struktur yang dipandang sudah tidak sesuai
dengan tuntutan zaman dan dianggap sudah tidak efektif lagi dalam memajukan
organisasi. Sedangkan restrukturisasi dalam penelitian ini adalah tindakan untuk
merubah struktur organisasi pemerintahan karena dianggap sudah tidak efektif,
tidak efisien, dan tidak akuntabel lagi dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat.
Penataan ulang organisasi pemerintah (publik) dalam istilah teknis lebih
dikenal dengan restrukturisasi organisasi merupakan hal yang paling mendesak
untuk segera dilaksanakan. Hampir seluruh organisasi di dunia ini menjalankan
restrukturisasi besar-besaran agar bisa hidup. Restrukturisasi pada hakekatnya
akan membentuk struktur yang lebih ramping mulai dari pusat sampai daerah
tingkat II (Nugroho, 2001:19).
Menurut Sarundajang (2001) ada beberapa poin penting dalam
restrukturisasi organisasi yang dapat dilakukan, yaitu :
a. Merubah Struktur Organisasi Pemerintah Daerah
Hal ini dilakukan agar struktur organisasi yang semula terlalu tambun atau
terlalu ramping berubah menjadi struktur organisasi yang efektif dan efisien serta
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemerintah daerah.



b. Merumuskan Visi dan Misi Pemerintah Daerah dengan Jelas
Visi merupakan dasar pencapaian dari tujuan organisasi. Visi pemerintah
daerah merupakan gambaran masa depan organisasi yang bersifat realistis,
menarik dan dapat dipertanggung jawabkan, serta dihayati oleh seluruh komponen
yang bersangkutan. Visi selalu dikaitkan dengan gambaran yang lebih baik di
masa kini dibandingkan dengan di masa yang akan datang sehingga visi selalu
bersifat dinamis. Dalam menetapkan misi ada beberapa hal yang harus dilakukan,
diantaranya; pemahaman dari pembelajaran yang terperinci dari organisasi dan
lingkungan strategisnya melibatkan pihak-pihak terkait melalui pendekatan yang
tepat secara formal maupun informal, terbuka terhadap masukan saran-saran
kolega ataupun anak buah, memperlihatkan visi yang telah ada dan mencari
formula baru untuk meningkatkan kualitas visi yang akan disusun. Dengan
demikian diharapkan dapat memperoleh rumusan dalam melaksanakan tugasnya
yang membawa pemerintah daerah pada kinerja yang lebih baik.
c. Perlunya Kepemimpinan yang Revolusioner dalam Organisasi
Pemerintah Daerah.
Pemimpin pemerintahan yang efektif adalah pemimpin yang memiliki visi-
misi, agenda dan berorientasi pada hasil. Pemimpin yang revolusioner selalu
memperbaharui dan menyesuaikan visinya agar dapat diwujudkan sesuai dengan
yang diinginkan. Pemimpin haruslah mempunyai beberapa kemampuan dan
berperan sebagai juru bicara (pokes person) dalam organisasi, pengarah (direction
setter) sebagai agen pembaharu dan sebagai trainer bagi seluruh organisasi
pemerintah daerah.
d. Perampingan Oraganisasi Pemerintah Daerah
Perampingan ini akan membawa implikasi pada terspesialisasinya tugas-
tugas pemerintah, pembangunan dan pembinaan masyarakat. Perampingan
organisasi pemerintah daerah harus diikuti dengan kebijakan pengkondisian
aparatur yang profesional melalui lembaga pendidikan, baik pendidikan formal
maupun pendidikan ketrampilan, sehingga diharapkan upaya tersebut akan
membentuk kesiapan aparatur dalam menghadapi tantangan yang semakin besar.
e. Membentuk Organisasi Pemerintah Daerah Sebagai Organisasi Jejaring
Urgensinya adalah untuk tukar menukar pengalaman atau ide maupun untuk
membangun kerjasama bilateral (sisterhood) atau multilateral (triangle atau
polygon growth) di antara masing-masing daerah.
f. Membentuk Organisasi Pemerintah Daerah sebagai Organisasi
Pembelajar

Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus belajar secara sungguh-
sungguh, seksama dan secara bersama-bersama serta terus mentransformasikan
dirinya supaya dapat mengoleksi, mengolah dan menggunakan pengetahuan lebih
baik lagi bagi keberhasilan organisasi tersebut.
g. Adanya Sistem Informasi Manajemen dalam Pemerintahan Daerah
Menurut Osborne dan Plastrik (2000:45-49) ada lima strategi untuk
merestrukturisasi organisasi pemerintah, yaitu :
1. Strategi inti untuk memperjelas maksud organisasi
2. Strategi konsekuensi untuk menerapkan konsekuensi atas kinerja organisasi
3. Strategi pelanggan untuk menciptakan pertanggung jawaban organisasi
pemerintah terhadap masyarakat
4. Strategi kontrol untuk memberdayakan organisasi dan pegawai negeri agar
bisa berinovasi
5. Strategi budaya untuk mengubah perilaku, perasaan dan cara berpikir pegawai
negeri.
2.4.3 Macam-macam Restrukturisasi Organisasi
Macam-macam restrukturisasi (Hasibuan, 2003) dibagi menjadi dua yaitu:
a. Restrukturisasi Vertikal
Diartikan dengan memperpanjang tingkatan-tingkatan suatu organisasi,
misalnya direksi, kepala bagian dan karyawan operasional dirubah menjadi direksi,
kepala urusan, kepala bagian, kepala seksi dan workers dan sebaliknya. Kebaikan
dari restrukturisasi vertikal ini adalah rentang kendali relatif sedikit, pengendalian
karyawan akan lebih mudah, koordinasi relatif akan lebih baik. Sedangkan
keburukannya adalah tingkatan-tingkatan jabatan banyak, akibatnya tunjangan
jabatan semakin banyak, jalur perintah dan tanggung jawab terlalu panjang, jalur
informasi dan komunikasi cukup panjang.
b. Restrukturisasi Horizontal
Diartikan perubahan struktur organisasi dengan cara menambah jumlah
bagian atau departemennya. Dengan cara ini, maka rentang kendali semakin
banyak dan struktur organisasi semakin melebar. Kebaikan dari restrukturisasi
horizontal ini adalah jalur perintah dan tanggung jawab pendek, tingkatan-
tingkatan jabatan sedikit, jalur komunikasi dan informasi relatif pendek.
Sedangkan kelemahannya adalah rentang kendali semakin banyak, koordinasi
akan lebih sulit, pengarahan dan pengendalian karyawan kurang baik.
Restrukturisasi yang terbaik adalah tergantung pada kebutuhan dan penekanan
yang diinginkan dan harus berdasarkan prinsip bahwa organisasi dan strukturnya
harus lebih efektif dalam membantu tercapainya tujuan.
2.4.4 Unsur-unsur Pokok Restrukturisasi Organisasi
Dalam malakukan restrukturisasi harus memenuhi unsur-unsur pokok,
dimana suatu kegiatan tidak dapat dikatakan sebagai restrukturisasi jika tidak
memenuhi salah satu unsur-unsur pokok restrukturisasi. Manurut Bennis dan
Mische dalam Sedarmayanti (2003:89) unsur pokok restrukturisasi organisasi
adalah:
a. Visi yang berani, artinya titik awal yang sesungguhnya untuk restrukturisasi
yang berhasil adalah adanya pandangan yang berani atas masa depan
organisasi dan keinginan kuat untuk mewujudkan menjadi kenyataan
b. Ancangan yang sistematis, yakni bahwa restrukturisasi mempunyai jangkauan
atau spektrum yang jauh dan implikasinya yang luas bagi organisasi dan tidak
dibatasi hanya pada satu isu oraganisasi, prosedur, tugas aktivitas, fungsi atau
unit.
c. Maksud yang jelas, dimaksudkan bahwa organisasi harus memulai
restrukturisasi dengan menyadari bahawa hasil akhirnya berupa organisasi
atau perusahaan yang sama sekali beda.
d. Metodologi yang spesifik, artinya bahwa untuk suatu proses restrukturisasi
yang mencakup berbagai aspek, suatu metodologi yang spesifik merupakan
hal yang kritis.
e. Kepemimpinan yang efektif dan tampak, yaitu bahwa pemimpin yang
melaksanakan restrukturisasi harus memilki sejumlah keterampilan dan
kemampuan seperti kreativitas, visi yang berpengaruh dan pertimbangan yang
matang.
2.4.5 Tujuan Restrukturisasi Organisasi
Restrukturisasi organisasi dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai
berikut:
a. Agar terciptanya struktur organisasi yang efektif dan efisien dengan
terspesialisasinya tugas-tugas pemerintah daerah serta meningkatnya kinerja
oraganisasi
b. Agar terciptanya suatu organisasi pemerintah daerah yang dapat
dipertanggung jawabkan kinerjanya terutama akuntabilitas publiknya terhadap
masyarakat (sebagai pelanggan) dengan memberikan pelayanan yang lebih
baik, cepat dan lebih murah
c. Agar terciptanya suatu organisasi yang terbuka dan fleksibel, dimana
organisasi tersebut dapat menerima dan menyesuaikan dengan perubahan yang
terjadi begitu cepat
d. Agar terciptanya aparatur pemerintah yang profesional sehingga organisasi
pemerintah (publik) dapat bersaing dengan organisasi swasta terutama dalam
hal pemberian pelayanan kepada masyarakat
e. Agar terciptanya suatu organisasi publik yang sebangun dengan tuntutan
publik global, dimana secara khusus organisasi pemerintah tersebut harus
adaptif dengan terdapatnya arus modal yang melintas bukan saja antar negara
tapi antara bagian negara dengan bagian negara lain.
2.5 Defenisi Konsep
Menurut Masri Singarimbun (1995) menyebutkan konsep adalah istilah
dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian,
keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu social.
Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya
interpretasi ganda dari variable yang diteliti.
Berdasarkan penjelasan tersebut, berikut merupakan batasan yang jelas
dari masing-masing konsep yang akan diteliti, defenisi konsep tersebut antaralain:
1. Kebijakan Publik adalah peraturan pemerintah yang merupakan alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan penyelenggaran pemerintahan negara yang
biasanya didasarkan pada sebuah regulasi atau undang-undang dan bersifat
mengikat dan otoritatif.
2. Implementasi kebijakan publik merupakan tahapan penting dalam proses
kebijakan publik dalam rangka untuk melaksanakan keluaran kebijakan
(peraturan perundang-undangan) oleh organisasi pelaksana kebijakan dalam
rangka pencapaian tujuan kebijakan.
3. Implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini yaitu proses pelaksanaan
kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba
Samosir melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah yang diturunkan ke dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Toba Samosir terkait. Model implementasi yang digunakan untuk
melihat implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini merupakan sintesa
dari model-model implementasi kebijakan publik yang telah dijelaskan di
dalam kerangka teori. Variabel-variabel yang merupakan hasil sintesa tersebut
yaitu:
a. Karakteristik isi kebijakan/peraturan pengoperasionalan
Karakteristik isi kebijakan/peraturan pengoperasionalan akan
dilihat dari kejelasan tujuan dan sasaran, perubahan yang
diinginkan dari sebuah kebijakan, Indikator-indikator dari variabel
karakteristik isi kebijakan/ peraturan pengoperasionalan antaralain:
1. Tujuan dan Sasaran Kebijakan sesuai dengan dokumen
kebijakan.
2. Perubahan yang diinginkan kebijakan (substansi dari PP No.41
Tahun 2007), antaralain:
Besaran organisasi perangkat daerah berdasarkan
kriteria variabel yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007
Perumpunan bidang pemerintahan
Nomenklatur atau penamaan organisai perangkat daerah
Eselon perangkat daerah
b. Struktur Birokrasi
dilihat dari pelaksanaan SOP yang ada terkait pelaksanan kebijakan
ini, kejelasan peran dan tugas masing-masing aktor yang menjadi
pelaksana kebijakan, serta fragmentasi yang mungkin terjadi dalam
pelaksanaan kebijakan, Indikator-indikator dari variabel struktur
birokrasi antaralain:
1. Struktur organisasi dan aktor-aktor yang terlibat dalam
implementasi PP No.41 Tahun 2007.
2. Standart Operating Procedure (SOP), yaitu keberadaan
petunjuk teknis pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007.
c. Komunikasi dan koordinasi
Dilihat dari adanya kejelasan petunujuk pelaksanaan, pemahaman
implementor atas kebijakan, kesamaan persepsi, hubungan
komunikasi, serta koordinasi di antara organisasi-organisai
pelaksana. Indikator-indikator dari variabel komunikasi dan
koordinasi akan dilihat dari:
1. Aspek komunikasi dilihat dari sosialisasi peraturan yang ada
serta pemahaman pegawai atas PP No.41 Tahun 2007.
2. Aspek koordinasi dilihat dari pola hubungan kerja di antara
aktor-aktor dalam organisasi implementasi PP No.41 Tahun
2007.
d. Sumber Daya
Sumber daya yang dimaksud diukur dari kualitas dan kesiapan staf
atau personil, informasi-informasi terkait yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan kebijakan, serta ketersediaan fasilitas-fasilitas atau
sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Indikator-indikator dari
variabel sumber daya antaralain:
1. Personil
Jumlah personil atau staf yang ada
Kompetensi yang dimiliki personil
Motivasi dan komitmen dalam memberikan pelayanan
2. Informasi dan fasilitas (sarana dan prasarana)
3. Pembiayaan (anggaran/dana, sumber dana, kondisi pembiayaan)
4. Restrukturisasi Organisasi merupakan konsep perubahan struktur dan fungsi
atau penataan dan pembenahan organisasi pada sebuah organisasi dalam
rangka efisiensi dan efektivitas melalui pengurangan ukuran ataupun besaran
organisasi agar lebih sehat serta selaras dengan visi, misi, tujuan dan sasaran
organisasi serta responsif terhadap lingkungan strategis dan dinamika
masyarakat. Aspek restrukturisasi organisasi atau perubahan organisasi dalam
penelitian ini akan dilihat dari beberapa indikator berikut:
1. Visi dan tujuan pemerintahan daerah serta kepemimpinan
Visi dan tujuan pemerintah daerah sesuai dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJ MD) Kabupaten Toba Samosir. Sisi
kepemimpinan merupakan aspek yang sangat penting dalam restrukturisasi
organisasi karena pemimpin merupakan pemandu dan pembaharu dalam
mewujudkan visi melalui perubahan organisasi.
2. Transformasi organisasi
Indikator ini akan fokus untuk melihat arah proses restrukturisasi
organisasi yang akan ditempuh dalam organisasi perangkat daerah.
3. Kendala-kendala dan hambatan dalam perubahan organisasi

5. Restrukturisasi organisasi perangkat daerah adalah penataan ulang organisasi
publik atau organisasi perangkat daerah melalui ketentuan-ketentuan dalam PP
No.41 Tahun 2007 dengan perampingan besaran organisasi, perampingan
fungsi-fungsi, perubahan susunan organisasi, serta perubahan eselonisasi
organisasi perangkat daeerah, serta kesesuaian organisasi perangkat daerah
dengan tuntutan publik.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur satistik atau bentuk hitungan lainnya.
Contoh penelitian dengan bentuk kualitatif dapat berupa penelitian tentang
kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, disamping juga tentang peranan
organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal-balik (Strauss, 2003:4).
Menurut Bogdan dan Taylor (1975), penelitian kualitatif menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang
diamati (Moleong, 2004:3).
Sementara untuk tipe penelitian akan menggunakan tipe deskriptif analitis,
yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih detail
mengenai sebuah fenomena atau gejala. Nawawi mengatakan bahwa metode
desktiptif memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena yang
ada pada saat penelitian dilakukan atau bersifat aktual, kemudian menggambarkan
fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan
interpretasi rasional yang akurat (Nawawi, 1990:64).
Studi implementasi memiliki tujuan pokok untuk menjelaskan berbagai
fenomena implementasi kebijakan. Ada banyak kasus implementasi yang gagal,
namun ada juga beberapa yang berhasil. Sebagai sebuah fenomena, kegagalan dan
keberhasilan tersebut mengundang peneliti untuk mencari akar persoalan dan
kemudian menjelaskan mengapa persoalan tersebut terjadi. Pada akhirnya hasil
penelitian tentang kinerja implementasi suatu kebijakan akan menghasilkan
penilaiaan yang mengarah pada berhasil atau tidaknya sebuah implementasi. Oleh
karena itu, peneliti perlu memperhatikan ketepatan metode yang digunakan.
Sehubungan dengan hal tersebut dalam melihat implementasi kebijakan
Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir sesuai
dengan PP No.41 Tahun 2007, peneliti akan menjelaskan fenomena yang terjadi
dengan membuat gambaran atau deskripsi kompleks yang menyeluruh sebagai
hasil interpretasi data yang nanti akan diperoleh oleh peneliti melalui wawancara,
kuesioner, studi pustaka ataupun data sekunder. Deskripsi ini diharapkan dapat
untuk membangun gambaran atas fenomena yang saling terkait dan tersembunyi
sesuai dengan isu yang menjadi masalah dalam implementasi PP No.41 Tahun
2007.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kabupaten Toba Samosir,
yang beralamat di J l. Tarutung Km 2 Soposurung, Balige. Peneliti memilih
Pemerintah Kabupaten Toba Samosir karena Kabupaten Toba Samosir merupakan
salah satu kabupaten yang terbentuk karena pemekaran. Sebagai sebuah
kabupaten pemekaran peneliti merasa perlu untuk melihat kesiapan daerah ini
dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah, dalam penelitian ini akan
difokuskan untuk melihat kesiapan pemerintahan daerah melaksanakan kebijakan
kelembagaan yang mengarah ke otonomi organisasi melalui PP No. 41 Tahun
2007. Selain itu alasan pemilihan lokasi penelitian menurut peneliti berhubungan
dengan akses, persoalan waktu, dan biaya, adalah kewajaran bagi mahasiswa
sebagai peneliti untuk memilih lokasi yang memberikan kemudahan dalam
berbagai aspek tersebut. Karena Kabupaten Toba Samosir merupakan kabupaten
tempat asal peneliti, peneliti merasa lebih mengenal lokasi dan diharapkan dapat
lebih mudah untuk melakukan interaksi dengan lokasi penelitian.
3.3 Unit Analisis dan Teknik Pengumpulan Data
Unit analisis dalam penelitian ini adalah beberapa perangkat daerah
kabupaten, pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Toba
Samosir yaitu, Sekretariat Daerah, 1 Dinas, 1 Badan, 1 Kantor, serta 1 Kecamatan
sebagai perwakilan dari keseluruhan Organisasi Perangkat Daerah yang ada, yang
diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007. Kemudian dari unit
analisis yang ada akan dibagi lagi menjadi dua bagian sampel yaitu sampel orang
untuk mendapatkan informan dan sampel organisasi yang ditujukan untuk
menjaring persepsi atas masalah yang menjadi perhatian pokok dalam proses
implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 Tentang
Organisasi Perangkat Daerah. Adapun SKPD yang dipilih oleh peneliti sebagai
unit analisis adalah sebagai berikut:
1. Sekretariat Daerah Kabupaten Toba Samosir
2. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
3. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
4. Kantor Ketahanan Pangan
5. Kecamatan Sigumpar
Informan penelitian kualitatif adalah subjek yang memahami informasi
objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memamahami penelitian.
Untuk sampel orang, yaitu untuk mencari informan penelitian tipe penarikan
sampel yang digunakan adalah tipe sampling nonprobalitas (nonprobality). Tipe
sampling nonprobabilitas berpandangan bahwa dalam penelitian kualitatif
penentuan sampel sangat tepat jika didasarkan pada tujuan dan masalah penelitian
yang menggunakan pertimbangan-pertimbangan dari peneliti sendiri, dalam
rangka memperoleh ketepatan dan kecukupan informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan tujuan atau masalah yang dikaji (Patton, 1990:169). Kemudian teknik
penarikan sampel atau teknik penentuan informan yang merupakan bagian dari
sampling non probabilitas yang akan digunakan adalah teknik judgement
sampling (dikenal juga dengan purvosive sampling) atau teknik key person. Key
person adalah tokoh formal ataupun tokoh informal yang memiliki pengetahuan
yang cukup serta mampu menjelaskan keadaan sebenarnya tentang objek
penelitian.
Sementara itu untuk sampel organisasi tipe sampling yang akan digunakan
penelitian adalah tipe sampling acak berstrata. Pada penarikan sampel acak
berstrata, populasi penelitian diskat-skat menjadi beberapa group yang disebut
dengan strata. Setiap strata kemudian akan memiliki elemen yang relatif
homogen. Setelah strata ditentukan, selanjutnya adalah penentuan besaran sampel
yang diambil dari setiap strata.
Peneliti kualitatif melihat proses sampling sebagai parameter populasi yang
dinamis, khusus, phasic dibandingkan statis dan apriori. Ketika ada aturan
statistik tentang probabilitas ukuran sampel, hanya ada petunjuk untuk ukuran
sampel berdasarkan tujuan. Sampel berdasarkan konsep ini dapat berkisar antara
n=1 sampai n=40 (McMillan dan Schumacher, 2001:404). Penentuan sampel
seperti ini akan peneliti gunakan pada penentuan besaran sampel informan.
1. Teknik pengumpulan data primer
Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang diperoleh
melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data
yang lengkap dan berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti. Teknik ini
dilakukan melalui:
a. Wawancara
Metode wawancara yang akan dilakukan adalah dengan cara wawancara
mendalam untuk memperoleh data yang lengkap dan mendalam dari informan.
Metode ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung
dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.
Wawancara akan dilakukan kepada informan yang telah ditentukan, yang
dianggap terkait dan memiliki pengetahuan yang memadai tentang implementasi
kebijakan PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir. Adapun informan
yang akan diwawancarai adalah sebagai berikut:
a. Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Daerah Kabupaten
Toba Samosir
b. Asisten III Administrasi Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Toba
Samosir
c. Staff pegawai di lingkungan Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat
Daerah Kab. Tobasa
d. Pejabat Eselon IIb (kepala dinas dan kepala badan), Eselon IIIa (kepala
kantor, kepala bagian, sekretaris dinas), serta pejabat atau staf pegawai lain
yang ada pada SKPD yang menjadi bagian dari populasi/ unit analisis
dalam penelitian ini.
b. Kuesioner
Kuesioner dalam penelitian ini berbeda dengan kuesioner yang ada pada
penelitian kuantitatif. Kuesioner dimaksudkan untuk menjaring persepsi atau
pengetahuan umum yang akan lebih jauh lagi kemudian digali pada saat
wawancara dengan mendalam. Kuesioner akan ditujukan kepada responden yang
ditarik dari sampel organisasi.
2. Teknik pengumpulan data sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan melalui pengumpulan bahan kepustakaan yang dapat mendukung data
primer. Teknik pengumpulan data ini dapat dilakukan dengan mengambil
instrument sebagai berikut:
1. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan
catatan-catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber-
sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.
2. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku,
karya ilmiah serta pendapat para ahli yang berkompetensi dan memiliki
relevansi dengan masalah yang diteliti.
3.4 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisa data kulitatif dengan menggunakan wawancara secara mendalam, yaitu
mengajukan pertanyaan demi pertanyaan secara terus-menerus hingga jawaban itu
mencapai titik jenuh. Data yang diperoleh akan segera dianalisis melalui reduksi
data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian akan mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya
dan mencarinya bila diperlukan. Jadi teknik analisis kualitatif yaitu dengan
menyajikan data dengan melakukan analisis terhadap masalah yang ditemukan di
lapangan sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti
kemudian menarik kesimpulan.
Miles dan Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus meneru
sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas yang akan dilakukan oleh
peneliti dalam tahapan ini adalah sebagai berikut:
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan
elektronik seperti komputer mini, dengan memberikan kode pada aspek-aspek
tertentu. Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan
kecerdasan, keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi.
2. Penyajian Data (Data Display)
Dalam penelitian ini, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Yang paling
sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian ini adalah dengan teks
yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah dipahami.
3. Mengambil Kesimpulan/ Verifikasi (Conclusion/ Verification)
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan
berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada
tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif
merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat
berupa deskripsi suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang sehingga
setelah diteliti menjadi jelas.
Gambar 3.1
Komponen-komponen analisis data


















BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Toba Samosir
4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Toba Samosir
Kabupaten Toba Samosir dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1998 Tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir
dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Toba Samosir
merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara yang diresmikan pada
tanggal 9 Maret 199 oleh Menteri Dalam Negeri, sekaligus melantik Pejabat
Bupati Kabupaten Toba Samosir. Pada saat dibentuk Kabupaten Toba Samosir
terdiri dari 13 Kecamatan dan 4 perwakilan kecamatan, 281 desa serta 19
kelurahan.
Pada tahun 2002 berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Toba
Samosir, Nomor 7 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kecamatan Ajibata,
Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kecamatan Uluan, dan Kecamatan Ronggur
Nihuta Kabupaten Toba Samosir, dan 4 perwakilan kecamatan ditetapkan menjadi
kecamatan defenitif, yaitu kecamatan Ajibata, Pintu Pohan Meranti, Uluan dan
Ronggur Nihuta. Kemudian kecamatan Borbor dibentuk dengan Perda Nomor 8
Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kecamatan Borbor. Sehingga pada awalnya
Kabupaten Toba Samosir mempunyai 18 Kecamatan.
Seiring dengan perkembangan dan munculnya aspirasi dari masyarakat
untuk mempercepat pembangunan guna mengejar ketertinggalan dari daerah lain,
Kabupaten Toba Samosir dimekarkan menjadi Kabupaten Toba Samosir dan
Kabupaten Samosir berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003. Setalah
dimekarkan Kabupaten Toba Samosir terdiri dari 10 Kecamatan. Berdasarkan
Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pembentukan
Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir, Kecamatan Silaen dimekarkan
menjadi Kecamatan Silaen dan Kecamatan Sigumpar. Berdasarkan Perda
Kabupaten Toba Samosir Nomor 5 Tahun 2006, terbentuklah 3 kecamatan baru
yaitu Kecamatan Tampahan sebagai pemekaran dari Kecamatan Balige,
Kecamatan Nassau pemekaran dari Kecamatan Habinsaran, dan Kecamatan
Siantar Narumonda pemekaran dari Kecamatan Porsea. Tahun 2008 Pemerintah
Kabupaten Toba Samosir kembali mengeluarkan Perda No.5 Tahun 2008 tentang
Pembentukan dua kecamatan baru, yaitu Kecamatan Parmaksian dan Kecamatan
Bonatua Lunasi. Dengan demikian jumlah wilayah administrasi pemerintah
Kabupaten Toba Samosir mulai tahun 2008 terdiri dari 16 kecamatan dengan 203
desa dan 13 kelurahan.
Kabupaten Toba Samosir terletak di bagian tengah Provinsi Sumatera Utara
di jajaran Bukit Barisan dengan topografi berbukit dan bergelombang. Dengan
posisi tersebut Kabupaten Toba Samosir merupakan daerah pengaman bagi
kabupaten lainnya karena wilayah ini merupakan hulu dari beberapa sungi besar
dan kecil yang mengalir ke wilayah timur Sumatera Utara. Karena topografi
tersebut struktu dan komposisi Tanah didominasi jenis tanah Tufa Toba, pasir
bercampur tanah liat, kapur dan sebagian lainnya berupa lapisan tanah buatan
yang relative kurang subur untuk pertanian.
Kabupaten Toba Samosir merupakan daerah yang cukup terkenal di
kawasan nusantara, terutama karena potensi keindahan alam dan sumber daya
manusianya. Keindahan alam dan panorama kawasan Danau Toba, kekayaan seni
budaya asli merupakan potensi keindahan alam dan dikembangkan dalam upaya
pengembangan kepariwisataan di tanah air. Potensi alam tersebut diantaranya
adalah luasnya lahan kosong yang dapat diolah menjadi areal pertanian,
peternakan, perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Perairan Danau Toba
yang cukup luas dan sungai dapat dimanfaatkan untuk irigasi dan pembangkit
tenaga listrik. Potensi tambang yang telah diinventarisasi dan disertifikasi oleh
Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral Bandung diantaranya adalah batu
gamping, teras, andesit, lempung dan diatomea. Sesuai dengan potensi yang
dimiliki, maka sektor andalan pembangunan di Kabupaten Toba Samosir periode
2000-2025 adalah pembangunan pendidikan, kesehatan, pertanian, pariwisata,
industry dan teknologi informasi.
4.1.2 Letak dan Keadaan Geografis
Kabupaten Toba Samosir berada pada 203 - 240 Lintang Utara dan
9856 - 9940 Bujur Timur. Kabupaten Toba Samosir memiliki luas 2.2021,80
Km
2
. Kabupaten Toba Samosir berada di antara lima kabupaten yaitu sebelah
utara dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur berbatasan dengan Labuhan
Batu dan Asahan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara,
serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir.
Kabupaten Toba Samosir terletak pada wilayah dataran tinggi, dengan
ketinggian antara 900-2.200 meter di atas permukaan laut. Topografi dan kontur
tanah yang dimiliki oleh Kabupaten Toba Samosir sangat beraneka ragam, yaitu
ada yang datar, landai, miring dan terjal. Struktur tanahnya labil berada pada
wilayah gempa tektonik vulkanik.
4.1.3 Pemerintahan
Wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Toba Samosir tahun 2012
terdiri dari 16 kecamatan dengan 244 desa/kelurahan, yaitu 231 desa dan 13
kelurahan. Kecamatan Balige merupakan kecamatan dengan jumlah
desa/kelurahan terbanyak yaitu 35 desa/kelurahan. Sedangkan Kecamatan
Tampahan merupakan kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan yang paling
sedikit, yaitu hanya 6 desa.
1. DPRD
Jumlah anggota DPRD Kabupaten Toba Samosir hasil pemili tahun 2009
berjumlah 25 orang. Rinciannya adalah sebagai berikut, 8 orang Fraksi Toba
Bersatu, 7 orang Fraksi Persatuan Tobasa, 4 orang anggota dari Fraksi PPRN, 3
orang Fraksi PDI-P, dan 3 orang Fraksi Demokrat. Jumlah keputusan DPRD
Kabupaten Toba Samosir yang ditetapkan tahun 2011 sebanyak 27 keputusan,
jumlah ini sedikit dibandingkan tahun 2010, yaitu 35 keputusan. Dari 27
keuputusan yang ditetapkan, 12 diantaranya merupakan keputusan DPRD, 10
keputusan panitia musyawarah, 3 pendapat panitia anggaran dan 2 keputusan
Pimpinan DPRD.
Berdasarkan kegiatan DPRD berupa siding-sidang yang dilakukan baik
sidang istimewa, paripurna, paripurna khusus, rapat komisi, rapat rutin dengar
komisi dan lain-lain, tahun 2011 sebanyak 52 kegiatan siding. Kegiatan rapat
kerja dengar pendapat merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh
DPRD yaitu 18 kegiatan.
2. Pegawai Negeri Sipil (PNS/CPNS) dan Pegawai BUMN/BUMD
Berdasarkan data yang masuk dari dinas, kantor, badan dan instansi jumlah
PNS/CPNS di Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 berjumlah 4.935 orang. Dari
jumlah tersebut 38,56 persen merupakan pegawai laki-laki dan 61,44 persen
pegawai perempuan. Distribusi PNS/CPNS jika dirinci berdasarkan golongan,
sebagian besar merupakan golongan III sebesar 44,96 persen, golongan II 27,40
persen, golongan IV 26,73 persen dan golongan I sebesar 0,91 persen.
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, 15,97 persen merupakan
PNS/CPNS tamatan SLTA, tamatan Diploma (DI, DII, DIII) sebanyak 19,78
persen, tamatan sarjana sebanyak 61,54 persen. Presentase PNS/CPNS yang
menamatkan S2 dan S3 smasih sangat minim sekali di Kabupaten Toba Samosir,
yaitu hanya 1,62 persen dan S3 hanya 0.04 persen. Hal ini perlu mendapat
perhatian Pemerintah Kabupaten untuk meningkatkan sumber daya manusia
dalam menjalankan pemerintahan daerah. Sementara pegawai yang tamat SD dan
SLTP masing-masing sebesar 0,28 persen dan 0,77 persen.

Tabel 4.1
Jumlah PNS per golongan dan per jabatan
Gol/Ruang

Eselon Non Eselon
Jumlah
I II III IV V
Tenaga
Fungsional
Staf
Gol. IV/e - - - - - - - -
Gol. IV/d - - - - - - - -
Gol. IV/c - 7 - - - - 1 8
Gol. IV/b - 19 24 - - 5 6 54
Gol. IV/a - 2 57 5 - 915 8 987
Jumlah - 28 81 5 - 920 15 1.049
Gol. III/d - - 55 83 - 437 12 587
Gol. III/c - - 7 107 - 236 4 354
Gol. III/b - - - 131 - 362 36 529
Gol. III/a - - - 14 - 625 267 906
Jumlah - - 62 335 - 1.660 319 2.376
Gol. II/d - - - - - 145 40 185
Gol. II/c - - - - - 382 118 500
Gol. II/b - - - - - 330 39 369
Gol. II/a - - - - - 285 338 623
Jumlah - - - - - 1.142 535 1.677
Gol. I/d - - - - - - 7 7
Gol. I/c - - - - - - 37 37
Gol. I/b - - - - - - 2 2
Gol. I/a - - - - - - 12 12
Jumlah - - - - - 3.720 58 58
Total - 28 143 340 0 3.720 927 5.160
Sumber: RPJMD Kabupaten Toba Samosir 2011-2015
4.1.4 Penduduk dan Tenaga Kerja
1. Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2012 adalah
174.865 jiwa, dengan jumlah Rumah Tangga (RT) sebesar 43.479 RT. Dengan
luas wilayah daratan 2.021,8 Km
2
, tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Toba
Samosir tahun 2012 sebesar 86,49 jiwa/km
2
. Kecamatan Balige yang merupakan
ibu kota Kabupaten Toba Samosir, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan
adalah kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dengan tingkat kepadatan
sebesar 406,61 jiwa/km
2
. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Porsea sebesar
356,73 jiwa/km
2
. Sedangkan Kecamatan Nassau menjadi kecamatan dengan
kepadatan terkecil, yaitu hanya 21,72 jiwa/km
2
.
Jumlah penduduk laki-laki di kabupaten Toba Samosir lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan tahun 2011. Jumlah penduduk
Kabupaten Toba Samosir yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 86.932 jiwa
dan penduduk perempuan berjumlah 87.933 jiwa. Dengan demikian rasio jenis
kelamin penduduk Kabupaten Toba Samosir sebesar 98,86 persen. Angka ini
menunjukkan bahwa dari setiap 100 perempuan juga terdapat 98,86 orang laki-
laki. Dari 16 jumlah kecamatan tahun 2012 di Kabupaten Toba Samosir, ada 4
kecamatan yang memiliki jumlah penduduk laki-laki lebih banyaak dbandingkan
dengan penduduk perempuan, yaitu Kecamatan Tampahan dengan Rasio J enis
Kelamin sebesar 101,44 persen, Kecamatan Borbor dengan angka Rasio Jenis
Kelamin sebesar 101,62 persen, Kecamatan Nassau dengan angka Rasio Jenis
Kelamin sebesar 103,98 persen, dan Kecamatan Parmaksian dengan angka Rasio
Jenis Kelamin sebesar 100,10 persen. Sementara kecamatan dengan angka Rasio
Jenis Kelamin terkecil terdapat di Kecamatan Laguboti sebesar 94,92 persen.
Kecenderungan ini menunjukkan bahwa kebanyakan laki-laki merantau ke luar
daerah baik untuk mencari pekerjaan maupun tujuan melanjutkan pendidikan.


3. Tenaga kerja
Berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 jumlah lowongan kerja yang
terdaftar di dinas tersebut sebesar 634 lowongan. Kesemua lowongan tersebut
belum terpenuhi. berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 terdapat sebanyak 472 orang
jumlah pencari kerja, dengan rincian 150 laki-laki dan 322 perempuan. Dari
jumlah tersebut 45,13 persen merupakan pencari kerja tamatan SLTA, tamatan
Diploma 33,26 persen dan tamatan sarjana 21,61 persen. Dari 472 orang pencari
kerja yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Toba
Samosir tahun 2012, yang diterima berjumlah 129 orang dari berbagai latar
belakang pendidikan.
4.1.5 Sosial
1. Pendidikan
pendidikan merupakan sektor yang sangat menentukan dalam meningkatkan
potensi sumber daya manusia (SDM). Dengan SDM yang ada baik dari segi
kualitas dan kuantitas yang tinggi diharapkan menjadi motor penggerak dan
pelaksana pembangunan di Kabupaten Toba Samosir. Indikator keberhasilan
pendidikan salah satunya dapat dilihat dari peningkatan angka partisipasi sekolah
dari tahun ke tahun. Penigkatan ini harus didukung oleh tersedianya sarana dan
prasaran yang baik dan memadai.
Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) jumlah sekolah pada tahun ajaran
2012/2013 berjumlah 226 unit, dengan jumlah guru dan murid masing-masing
sebanyak 1.888 guru dan 26.893 siswa. Rasio murid SD terhadap guru tahun
ajaran 2012/2013 sebesar 14 orang, artinya rata-rata tiap guru mengajar sekitar 14
orang siswa. Sementara rasio murid terhadap sekolah sebesar 119. Ini berarti
bahwa rata-rata murid tiap sekolah sekitar 119 murid. Pada tahun ajaran yang
sama jumlah unit Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kabupaten Toba
Samosir sebanyak 45 unit, dengan jumlah guru dan siswa masing-masing 1.071
guru dan 12.830 siswa. Rasio murid terhadap guru dan sekolah masing-masing 11
dan 275. Sementara rasio guru terhadap sekolah rata-rata 24 guru.
Pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) jumlah sekolah yang ada
sebanyak 16 unit dengan jumlah guru yang tersedia sebanyak 482 guru dan murid
sebanyak 6.776. Sedangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), jumlah
sekolah, guru dan murid masing-masing 19 sekolah, 517 guru dan 5.752 murid.
Rasio murid SMA terhadap guru dan sekolah masing-masing sebesar 14 dan 424.
Sedangkan rasio murid SMK terhadap guru dan sekolah masing-masing 11 dan
303. Rasio guru SMA dan SMK terhadap sekolah masing-masing 30 dan 27.
Pada tahun 2012 Kabupaten Toba Samosir memiliki enam perguruan tinggi
setingkat Akademi yang tersebar di Kecamatan Balige dan Kecamatan Laguboti.
Jumlah mahasiswa tercatat 811 orang dengan jumlah dosen 110 orang.


2. Kesehatan
Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang ditunjang oleh kemudahan
dan terjangkaunya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat luas merupakan
salah satu pilar pembangunan dibidang kesehatan Pemerintah Kabupaten Toba
Samosir. Dengan tersedianya sarana dan prasarana kesehatan berupa rumah sakit,
puskesmas, pondok bersalin desa, posyandu, apotek, toko obat dan lain-lain
merupakan sarana dalam meningkatkan dan menunjang kualitas hidup masyarakat.
Jumlah rumah sakit di Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 sebanyak 3 (tiga) unit
termasuk satu diantaranya rumah sakit khusus kusta, yang berlokasi di 3
kecamatan. Sementara sarana kesehatan yang lain seperti pusat kesehatan
masyarakat (Puskesmas) berjumlah 19 unit dan puskesmas pembantu sebanyak 31
unit, pos kesehatan desa (poskesdes) sebanyak 179 unit, pondok bersalin desa
(polindes) sebanyak 77 unit, serta pos pelayanan terpadu (posyandu) berjumlah
303 unit.
Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 sebanyak
762 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 63 orang dokter (baik dokter umum,
gigi dan spesialis), paramedis perawatan sebanyak 560 orang, paramedis non
perawatan 108 orang dan non medis sebanyak 31 orang yang tersebar di seluruh
kecamatan.
3. Agama dan Sosial Lainnya
Jumlah rumah ibadah menurut jenis rumah ibadah tahun 2012 di Kabupaten
Toba Samosir sebagai berikut, Gereja Protestan sebanyak 351 gereja, Gereja
Katolik sebanyak 68 gereja, dan 35 Mesjid. Untuk keadaan sosial lainnya telihat
dari angka kalahiran. Jumlah kelahiran yang terdaftar pada Kantor Catatan Sipil
tahun 2012 sebanyak 10.964 kelahiran, terdiri dari 5.511 laki-laki dan 5.453
perempuan. Sementara jumlah perkawinan yang terdaftar pada Kantor Catatan
Sipil tahun 2012 sebanyak 4.352 perkawinan.
4. Sosial Politik
Aktivitas masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi berdasarkan jenis
organisasi yang terdaftar pada Kantor Kesatuan Bangsa Kabupaten Toba Samosir
dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Jumlah partai politik yang
terdaftar sebagai partai peserta pemilu 2009 di Kabupaten Toba Samosir sebanyak
32 partai. Jumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) tahun 2012 sebanyak 30
organisasi organisasi kepemudaan (OKP) 21 organisasi, dan 45 organisasi LSM.
4.1.6 Pertanian
Sebagian besar penduduk Kabupaten Toba Samosir menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari luasnya hamparan
pertanian, khususnya lahan persawahan. Salah satu pilar pembangunan Kabupaten
Toba Samosir, yaitu terciptanya pertanian yang maju. Hal ini menunjukkan
kemauan yang kuat dari pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan
petani. Pertanian menjadi sektor andalan bagi Kabupaten Toba Samosir dalam
menggerakan perekonomian daerah. Tahun 2012 sektor ini memberi kontribusi
yang cukup besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Toba Samosir, yaitu
sekitar 24,47 persen terhadap total PDRB.
1. Tanaman Bahan Makanan
Perkembangan luas panen dan produksi padi dari tahun 2011 ke tahun 2012
mengalami peningkatan. Tahun 2012 luas panen padi seluas 22.237 Ha dengan
jumlah produksi sebesar 119.101 ton (naik 3,00 persen dari tahun 2011). Luas
panen dan produksi tanaman jagung tahun 2012 seluas 3.395 Ha dengan produksi
yang dihasilkan sebesar 17.810 ton, dengan tingkat produktivitas sebesar 52,46
Kw/Ha. Sementara luas panen kacang tanah tahun 2012 seluas 204 Ha dengan
produksi yang dihasilkan 328 ton.
2. Perkebunan
Tanaman perkebunan umumnya merupakan usaha yang dikelola secara
swadaya oleh rakyat. Tanaman perkebunan yang dikelola oleh perusahaan
perkebunan masih relatif kecil. Kopi merupakan komoditi andalan tanaman
perkebunan rakyat yang mempunyai prospek yang baik. Dilihat dari luas tanam,
tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan rakyat dengan luas tanam terluas
dibanding dengan tanaman perkebunan lainnya. Luas tanaman kopi tahun 2012
sebesar 3.043,95 Ha. Tidak seperti tanaman perkebunan rakyat lainnya, tanaman
kopi tersebar di seluruh kecamatan. Kecamatan Habinsaran merupakan daerah
yang mempunyai areal tanaman kopi terluas, yakni 1.000,36 Ha dengan produksi
1.288,74 ton tahun 2012.


3. Perikanan
Usaha perikanan pada umumnya juga dikelola sebagai usaha rumah tangga,
baik sebagai kegiatan budidaya maupun kegiatan penangkapan ikan. Budidaya
perikanan dilakukan di kolam, sawah, jaring apung, kolam air deras dan
pembenihan, sedangkan usaha penangkapan dilakukan di danau, sungai dan rawa.
Pada tahun 2012 jumlah rumah tangga yang melakukan budidaya perikanan
sebanyak 2.875 rumah tangga, sedangkan yang melakukan kegiatan penangkapan
sebanyak 2.630 rumah tangga. Produksi ikan Kabupaten Toba Samosir pada tahun
2012 sebesar 16.208,5 ton terdiri dari 1.192,5 ton hasil penangkapan dan 15.016,0
ton hasil budidaya.
4. Peternakan
Usaha peternakan umumnya juga dikelola dan diusahakan oleh masyarakat
sebagai usaha rumah tangga. Ternak dapat dikelompokkan menjadi ternak besar
dan ternak kecil dan unggas. Ternak besar terdiri dari sapi, kerbau dan kuda.
Ternak kecil meliputi kambing, domba dan babi. Sedangkan ternak unggas
meliputi ayam dan itik. Pada tahun 2012 jumlah populasi ternak besar seperti sapi
berjumlah 1.488 ekor, kerbau 10.943 ekor dan kuda 76 ekor. Populasi ternak kecil
seperti kambing, dan domba mengalami penurunan. Jumlah kambing tahun 2012
sebanyak 3.689 ekor, domba 1.817 ekor dan sementara jumlah babi meningkat
menjadi 22.248 ekor.

4.1.7 Perekonomian Daerah
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
harus dilaksanakan secara terpadu dan serasi serta diarahkan untuk
mengembangkan daerah sesuai dengan prioritas dan potensi wilayah/kawasan.
Upaya untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat pada periode 2011-2015 masih
akan dibayangi oleh kondisi krisis ekonomi global. Tantangan pokok yang akan
dihadapi pada periode 2011-2015 masih terkait dengan masalah-masalah sosial
mendasar terutama penganguran dan kemiskinan.
Guna menekan jumlah pengangguran, kualitas pertumbuhan ekonomi perlu
ditingkatkan agar kegiatan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih
besar dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Fakta yang ada menunjukkan
bahwa hampir separuh jumlah propinsi memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-
rata nasional dan pada umumnya penduduk miskin masih terkonsentrasi di daerah
perdesaan. Pada Tahun 2008 jumlah Keluarga Prasejahtra/Keluarga Sejahtra (KS I)
sebesar 14.777 keluarga dimana kecamatan balige merupakan kecamatan yang
memiliki jumlah keluarga prasejahtra/KS I, yaitu sebanyak 2.005 keluarga dan
kecamatan tampahan merupakan kecamatan dengan jumlah keluarga
prasejahtra/KS I terkecil yaitu hanya 444 keluarga.
Secara umum struktur ekonomi Kabupaten Toba Samosir masih didominasi
sektor industri diikuti sektor pertanian dan perdagangan. Pada tahun 2005
kontribusi sektor industri terhadap PDRB atas dasar harga berlaku adalah 37,71%,
pada tahun 2005, tahun 2006 naik menjadi 39,54%, tahun 2007 naik menjadi
41,20%, tahun 2008 naik menjadi 42,58%, tahun 2009 turun menjadi 42.48%.
Distribusi setiap lapangan usaha terhadap PDRB Kab Toba Samosir dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 4.2
Struktur perekonomian Kabupaten Toba Samosir tahun 2005-2009 (Juta/Rupiah)
Sumber: RPJMD Kabupaten Toba Samosir 2011-2015
4.1.8 Visi dan Misi Kabupaten Toba Samosir
1. Visi
Visi Pemerintah Kabupaten Toba Samosir 2011-2015 adalah Terwujudnya
Kabupaten Toba Samosir Yang Memiliki Rasa Kasih, Peduli, Dan
Bermartabat. Dengan penjabaran sebagai berikut, Kasih adalah kehidupan yang
berkeadilan, saling membantu memenuhi kebutuhan hidup, baik lahir maupun
batin seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Toba Samosir. Kasih juga meliputi

Lapangan Usaha

2005

2006

2007

2008

2009
Pertanian 608.038,43 641.201,75 689.531,89 745.373,57 805.655,21
Pertambangan
dan Penggalian
6.102,54 7.179,64 8.564,64 10.407,65 12.396,23
Industri 714.913,13 838.721,27 994.941,50 1.168.585,30 1.298.111,61
Listrik, Gas dan
Air Minum
20.669,61 22.909,85 25.604,18 28.658,63 32.377,59
Bangunan 97.885,95 114.483,04 132.085,73 154.670,03 188.436,97
Perdagangan,
Hotel, dan
Restoran
174.198,88 203.180,00 235.980,69 275.462,33 303.166,31
Pengangkutan dan
Komunikasi
63.181,83 70.124,57 77.539,09 86.821,59 97.610,55
Keuangan,
Asuransi,
Persewaan dan
Jasa Perusahaan
59.619,02 64.629,48 72.748,80 82.704,70 91.876,76
Jasa Kemasyara-
katan, Sosial dan
Perorangan
151.161,14 158.679,88 177.623,36 197.104,95 226.788,76

Total

1.895.770,53

2.121.109,48

2.414.619,87

2.746.136,65

3.056.049,03
supremasi hukum, untuk menciptakan rasa aman, tentram, damai sejahtera dan
senantiasa dalam lindungan Tuhan, termasuk masyarakat yang berbudaya dan
beradat. Peduli maksudnya peduli terhadap segenap lapisan masyarakat terutama
masyarakat miskin, karena kita menyadari sebahagian masyarakat masih
tergolong miskin dan juga perduli terhadap lingkungan hidup. Bermartabat adalah
pemerintahan harus didasarkan pada peraturan/ketentuan yang berlaku, sehingga
tercipta suatu pemerintahan yang stabil, efisien, efektif, transparan dan demokratis.
2. Misi
Untuk terwujudnya visi tersebut di atas, Pemerintah Kabupaten Toba
Samosir merumuskan misi sebagai berikut:
1. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa;
2. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan;
3. Meningkatkan mutu pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia;
4. Meningkatkan pembangunan infrastruktur;
5. Mewujudkan pengembangan ekonomi rakyat;
6. Mengoptimalkan serta memanfaatkan sumber daya alam;
7. Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan dinamis.
4.2 Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang
Organisasi Perangkat Daerah
Reformasi birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance). Reformasi birokrasi pada tataran pemerintah daerah antara lain
bidang organisasi perangkat daerah yang diarahkan untuk terciptanya organisasi
yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan implikasi
serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang
diformulasikan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen orang terdiri dari atas
unsur pimpinan, unsur staf, unsur pengawas, unsur perencana, unsur pelaksana,
unsur pendukung dan unsur pelayanan.
Pembinaan dan pengendalian organisasi dimaksudkan dalam rangka
koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi antar daerah dan antar sektor,
sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam
penataan kelembagaan perangkat daerah yang dilaksanakan melalui fasilitasi,
asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan serta
kerjasama. Dalam penataan kelambagaan perangkat daerah harus menerapkan
prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi
staf dan fungsi lini serta pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang
kendali serta tata kerja yang jelas.
4.2.1 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah
Pembentukan organisai perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan
daerah dengan memperhatikan dan berpedoman pada PP No.41 Tahun 2007.
Pembentukan perangkat daerah yang ditetapkan di dalam peraturan daerah,
memuat nama atau nomenklatur, tugas pokok dan susunan organisasi masing-
masing satuan kerja perangkat daerah. Hal ini berlaku untuk penataan
kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi maupun
kabupaten/kota. Peraturan Daerah (Perda) tentang perangkat daerah secara prinsip
dituangkan dalam1 (satu) Perda. Namun apabila lebih dari 1 (satu) Perda, dapat
dikelompokkan dalam beberapa peraturan daerah yang terdiri dari:
1. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Sekretariat Daerah dan
Skretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah termasuk Staf Ahli.
2. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Dinas Daerah.
3. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah
termasuk Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Rumah
Sakit Daerah.
4. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga lain yang telah
mendapat persetujuan pemerintah.
Kemudian, penjabaran tugas pokok dan fungsi masing-masing perangkat daerah
ditetapkan dengan Peraturan Gubernur pada provinsi dan Peraturan
Bupati/Walikota pada kabupaten/kota. Demikian juga dengan pengaturan tentang
UPT Dinas dan Badan mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan
organisasi, tugas dan fungsi juga ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan
Peraturan Bupati/Walikota.
4.2.2 Kedudukan, Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah
Tugas dan fungsi masing-masing perangkat daerah ditetapkan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah dengan ruang lingkup dan kewenangan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi, Dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta potensi dan karakteristik daerah
masing-masing SKPD secara lebih teknis sebagai berikut:
a. Sekretariat Daerah sebagai unsur staf pada hakekatnya menyelenggarakan
fungsi koordinasi perumusan kebijakan, koordinasi pelaksanaan tugas dinas
daerah dan lembaga teknis daerah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, pelaporan serta pelayanan administratif. Selain itu
Sekretariat Daerah juga dapat melaksanakan fungsi hukum dan perundang-
undangan, organisasi dan tatalaksana, hubungan masyarakat, protocol, serta
fungsi pemerintahan umum lainnya yang tidak tercakup dalam tugas dinas dan
lembaga teknis, misalnya penanganan urusan kerjasama, perbatasan dan lain-
lain.
b. Sekretariat DPRD sebagai unsur pelayanan pada hakekatnya memberikan
pelayanan administratif kepada dewan yang meliputi kesekretariatan,
pengelolaan keuangan, fasilitasi penyelenggaraan rapat-rapat dan
mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan sesuai kemampuan keuangan
daereah masing-masing.
c. Inspektorat sebagai unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan, baik di
provinsi maupun di kabupaten dan kota. Dalam rangka akuntabilitas dan
objektifitas hasil pengawasan, maka Inspektur dalam pelaksanaan tugasnya
bertanggung jawab langsung kepada Gubernur ataupun pada Bupati/Walikota,
sedangkan kepada sekretaris daerah merupakan pertanggungjawaban
administratif dalam hal keuangan dan kepegawaian.
d. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai unsur perencana
penyelenggaraan pemerintahan melaksanakan tugas perumusan kebijakan
perencanaan daerah, koordinasi penyusunan rencana yang memuat visi, misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan masing-
maing Satuan Kerja Perangkat Daerah.
e. Dinas Daerah, sebagai unsur pelaksana otonomi daerah pada hakekatnya
menyelenggarakan urusan otonomi daerah baik yang bersifat wajib maupun
pilihan, sesuai dengan pembagian urusan yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
f. Lembaga Teknis Daerah, sebagai unsur pendukung yang sifatnya lebih teknis.
Lembaga teknis daerah dapat berbentuk badan, kantor dan rumah sakit,
penentuan Badan atau Kantor sesuai dengan analisis beban kerja.
4.2.3 Besaran Organisasi Perangkat Daerah
Besaran organisasi ditentukan berdasarkan perhitungan kriteria dari variabel
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pembobotan masing-
masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk,
35% (tiga puluh lima persen) untuk variable luas wilayah dan 25% (dua puluh
lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut
dalam beberapa kelas interval. Ketentuan pembobotan terhadap masing-masing
variabel dapat dilihat dalam tabel berikut:
a. PROVINSI
Tabel 4.3
Penetapan variabel besaran organisasi perangkat daerah provinsi
No VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI
1 2 3 4
1. JUMLAH
PENDUDUK
(jiwa) Untuk
Provinsi di Pulau
Jawa
<7.500.000
7.500.001 - 15.000.000
15.000.001 - 22.500.000
22.500.001 - 30.000.000
>30.000.000
8
16
24
32
40
1.
JUMLAH
PENDUDUK
(jiwa) Untuk
Provinsi di luar
Pulau Jawa
<1.500.000
1.500.001 - 3.000.000
3.000.001 - 4.500.000
4.500.001 - 6.000.000
>6.000.000
8
16
24
32
40
2.
Luas Wilayah
(KM2) Untuk
Provinsi di Pulau
Jawa
<10.000
10.001 - 20.000
20.001 - 30.000
30.001 - 40.000
<40.001
7
14
21
28
35
3.
Luas Wilayah
(KM2) Untuk
Provinsi di luar
Pulau Jawa
<20.000
20.001 - 40.000
40.001 - 60.000
60.001 - 80.000
>80.000
7
14
21
28
35
4.
JUMLAH APBD
<Rp 500.000.000.000,00
Rp 500. 000.000.001,00 - Rp 1.000. 000.000.000,00
Rp 1.000. 000.000.001,00 - Rp 1.500. 000.000.000,00
Rp 1.500. 000.000.001,00 - Rp 2.000. 000.000.000,00
>Rp 2.000. 000.000.000,00
5
10
15
20
25
Sumber: Lampiran PP 41 Tahun 2007


b. KABUPATEN
Tabel 4.4
Penetapan variabel besaran organisasi perangkat daerah kabupaten
No VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI
1 2 3 4
1. JUMLAH
PENDUDUK
(jiwa) Untuk
Kabupaten di
Pulau Jawa dan
Madura
<250.000
250.001 - 500.000
500.001 - 750.000
750.001 - 1.000.000
>1.000.000
8
16
24
32
40
2. JUMLAH
PENDUDUK
(jiwa) Untuk
Kabupaten di luar
Pulau Jawa dan
Madura
<150.000
150.001 - 300.000
300.001 - 450.000
450.001 - 600.000
>600.000
8
16
24
32
40
3.
Luas Wilayah
(KM2) Untuk
Kabupaten di
Pulau Jawa dan
Madura
<500
501 - 1.000
1.001 - 1.500
1.501 - 2.000
<2.000
7
14
21
28
35
4.
Luas Wilayah
(KM2) Untuk
Kabupaten di luar
Pulau Jawa dan
Madura
<20.000
20.001 - 40.000
40.001 - 60.000
60.001 - 80.000
>80.000
7
14
21
28
35
5. JUMLAH APBD
<Rp 200.000.000.000,00
Rp 200. 000.000.001,00 - Rp 400. 000.000.000,00
Rp 400. 000.000.001,00 - Rp 600. 000.000.000,00
Rp 600. 000.000.001,00 - Rp 800. 000.000.000,00
>Rp 800. 000.000.000,00
5
10
15
20
25
Sumber: Lampiran PP 41 Tahun 2007



c. KOTA
Tabel 4.5
Penetapan variabel besaran organisasi perangkat daerah kota
No VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI
1 2 3 4
1. JUMLAH
PENDUDUK
(jiwa) Untuk
Kota di Pulau
Jawa dan Madura
<100.000
100.001 - 200.000
200.001 - 300.000
300.001 - 400.000
>400.000
8
16
24
32
40
2.
JUMLAH
PENDUDUK
(jiwa) Untuk
Kota di luar
Pulau Jawa dan
Madura
<50.000
50.001 - 100.000
100.001 - 150.000
150.001 - 200.000
>200.000
8
16
24
32
40
3.
Luas Wilayah
(KM2) Untuk
Kota di Pulau
Jawa dan Madura
<50
51 - 100
101 - 150
151 - 200
<200
7
14
21
28
35
4.
Luas Wilayah
(KM2) Untuk
Kota di luar
Pulau Jawa dan
Madura
<20.000
20.001 - 40.000
40.001 - 60.000
60.001 - 80.000
>80.000
7
14
21
28
35
5. JUMLAH APBD
<Rp 200.000.000.000,00
Rp 200. 000.000.001,00 - Rp 400. 000.000.000,00
Rp 400. 000.000.001,00 - Rp 600. 000.000.000,00
Rp 600. 000.000.001,00 - Rp 800. 000.000.000,00
>Rp 800. 000.000.000,00
5
10
15
20
25
Sumber: Lampiran PP 41 Tahun 2007
Penetapan kelas interval untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
ditentukan dengan skala yang berbeda-beda. Berdasarkan ketentuan dalam
penetapan variabel besaran Organisasi Perangkat Daerah tersebut, besar jumlah
total nilai yang menjadi ketentuan dalam menetapkan besaran Organisasi
Perangkat Daerah. Besaran organisasi yang dapat dibentuk sebagai berikut:
Nilai Kurang dari 40 (empat puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 12
Dinas, 8 Lembaga Teknis Daerah)
Nilai antara 40 (empat puluah) sampai dengan 70 (tujuh puluh), OPD
yang diwadahi (3 Asisten, 15 Dinas, 10 Lembaga Teknis Daerah)
Nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) OPD yang diwadahi (4 Asisten, 18
Dinas, 12 Lembaga Teknis Daerah) (diolah dari PP 41 Tahun 2007).
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tersebut tidak menentukan jenis
perangkat daerah masing-masing daerah, namun ditentukan oleh potensi dan
karakteristik daerah masing-masing, dengan memperhatikan pembagian urusan,
baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Oleh karena itu, kebutuhan akan
besaran Organisasi Perangkat Daerah juga senantiasa juga tidak sama dan tidak
seragam. Jenis dan nomenkaltur serta jumlah perangkat daerah dapat disesuaikan
dengan kharakteristik, kebutuhan, kemampuan, potensi daerah dan beban kerja
perangkat daerah. Untuk menentukan besaran susunan organisasi dilakukan
melalui analisis jabatan dan analisis beban kerja.
4.2.4 Perumpunan Bidang Pemerintahan
Penyusunan organisasi perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adannya
urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Penanganan urusan tersebut tidak
harus dibentuk dalam suatu organisasi yang tersendiri, dalam beberapa urusan
yang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan
perumpunan urusan pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan
lembaga teknis daerah. Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas
terdiri dari:
a. bidang pendidikan, pemuda dan olahraga;
b. bidang kesehatan;
c. bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi;
d. bidang perhubungan, komunikasi dan informatika;
e. bidang kependudukan dan catatan sipil;
f. bidang kebudayaan dan pariwisata;
g. bidang pekerjaan umum yang meliputi bina marga, pengairan, cipta karya dan
tata ruang;
h. bidang perekonomian yang meliputi koperasi dan usaha mikro, kecil dan
menengah, industry dan perdagangan;
i. bidang pelayanan pertahanan;
j. bidang pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan, perikanan darat,
kelautan dan perikanan, perkebunan dan kehutanan;
k. bidang pertambangan dan energi;
l. bidang pendapatan, pengelolan keuangan dan asset.
Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, dan
rumah sakit terdiri dari:
a. bidang perencanaan pembangunan dan statistic;
b. bidang penelitian dan pengembangan;
c. bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat;
d. bidang lingkungan hidup;
e. bidang ketahanan pangan;
f. bidang penanaman modal;
g. bidang perpustakaan, arsip, dan dokumentasi;
h. bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa;
i. bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana;
j. bidang kepegawaian, pendidikan dan pelatihan;
k. bidang pengawasan; dan
l. bidang pelayanan kesehatan.
Sementara perangkat daerah untuk melaksanakan urusan pilihan, berdasarkan
pertimbangan adanya urusan secara nyata ada sesuai dengan kondisi, kekhasan
dan potensi unggulan daerah.
4.2.5 Eselon Jabatan Perangkat Daerah
Berikut merupakan rincian eselonisasi jabatan perangkat daerah untuk
kabupaten/kota:
1. Sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon IIa.
2. Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, direktur
rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan direktur rumah sakit
umum daerah kelas A merupakan jabatan structural eselon IIb.
3. Kepala kantor, camat, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan
inspektorat, inspektur pembantu, direktur rumah sakit umum kelas C, direktur
rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum daerah
kelas A dan kelas B, dan wakil direktur rumah sakit khusus daerah kelas A
merupakan jabatan structural eselon IIIa.
4. Kepala bidang pada dinas dan badan, kepala bagian dan kepala bidang pada
rumah sakit umum daerah, direktur rumah sakit umum daerah kelas D, dan
sekretaris camat merupakan jabatan structural eselon IIIb.
5. Lurah, kepala seksi, kepala subbagian, kepala subbidang, dan kepala unit
pelaksana teknis dinas dan badan merupakan jabatan structural eselon IVa.
6. Sekretaris kelurahan, kepala seksi pada kelurahan, kepala subbagian pada unit
pelaksana teknis, kepala tata usaha sekolah kejuruan dan kepala subbagian
pada secretariat kecamatan merupakan jabatan structural eselon IVb.
7. Kepala tata usaha sekolah lanjutan tingkat pertama dan kepala tata usaha
sekolah menengah merupakan jabatan structural eselon Va.













BAB V
PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS TEMUAN PENELITIAN
Data yang dikumpulkan peneliti dalam bab ini kemudian akan
dideskripsikan, diolah dan di analisis. Data dan informasi yang dibutuhkan
dikumpulkan dengan cara wawancara, kuesioner dan data sekunder (existing
data). Analisis data dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian
atau menguji hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dinyatakan sebelumnya.
Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan
mengelompokkannya dalam suatu bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasi.
Kegunaan analisis ialah mereduksikan data menjadi perwujudan yang dapat
dipahami dan ditafsir dengan cara tertentu sehingga relasi masalah penelitian
dapat ditelaah serta diuji.
Bab ini akan khusus menyajikan pembahasan atau analisis atas data yang
telah dikumpulkan oleh peneliti tentang implementasi kebijakan restrukturisasi
organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir. Bagian penyajian data
akan mendeskripsikan data-data yang diperoleh oleh peneliti melalui wawancara,
kuesioner ataupun data sekunder sehingga data yang disajikan nantinya dapat
menggambarkan atau memberi pemahaman sehingga nantinya akan lebih mudah
dalam penerikan kesimpulan. Untuk bagian analisis dalam bab ini akan dibagi
kedalam dua bagian besar yaitu, bagian yang membahas bagaimana PP No.41
Tahun 2007 ini dilaksanakan serta bagian yang akan membahas tentang
efektivitas yaitu analisis implementasi kebijakan dimaksud. Bagian pertama akan
melihat teknis atau mekanisme pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten
Toba Samosir. Bagian yang kedua akan fokus melihat implementasi PP No.41 ini
melalui faktor-faktor atau variabel-variabel implementasi yang peneliti telah
tentukan dalam kerangka teori, sebagai faktor yang mempengaruhi efektivitas
implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten
Toba Samosir. Bagian terakhir akan membahas tentang arah restrukturisasi
organisasi dari beberapa sisi, mulai dari visi dan tujuan pemerintah daerah,
kepemimpinan, transformasi organisasi, serta hambatan-hambatan dalam
melaksanakan restrukturisasi organisasi.
5.1 Penyajian Data
5.1.1 Deskripsi Hasil Wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang paling banyak
digunakan dalam mengumpulkan data atau informasi yang dibutuhkan peneliti
dalam penelitian ini. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk menjawab
pertanyaan penelitian yaitu melihat bagaimana efektivitas implementasi PP No.41
Tahun 2007. Efektivitas berarti melihat capaian dari implementasi, apakah tujuan
atau hasil yang diinginkan oleh kebijakan telah tercapai? Dalam bagian ini hasil
wawancara yang telah dikumpulkan oleh peneliti akan dideskripsikan berdasarkan
variabel-variabel implementasi kebijakan yang mempengaruhi implementasi PP
No.41 Tahun 2007.

A. Deskripsi Variabel Karakteristik Isi Kebijakan/Peraturan
Pengoperasionalan
Dari variabel ini indikator yang akan dilihat yaitu: 1) tujuan dan sasaran
kebijakan, serta 2) perubahan yang diinginkan oleh kebijakan sesuai dengan
substansi yang terdapat dalam isi kebijakan. Tujuan dan sasaran kebijakan
berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan informan
adalah sebagai berikut:
arahnya adalah penyusunan organisasi yang, OPD yang miskin struktur
kaya fungsi awalnya, walaupun implementasinya masih belum maksimal,
seperti yang saya katakan tadi bukan tidak maksimal tapi belum maksimal.
Substansi kebijakan PP No.41 Tahun 2007 paling tidak terdiri dari besaran
organisasi yang ditentukan berdasarkan keadaan tiga variabel (APBD, jumlah
penduduk, dan luas wilayah), perumpunan, nomenklatur serta eselon perangkat
daerah. Berdasarkan hasil wawancara besaran organisasi memperhatikan beberapa
pertimbangan-pertimbangan, termasuk ketiga variabel di atas. Variabel jumlah
APBD, jumlah penduduk, dan luas wilayah digunakan untuk menentukan pola
maksimal organisasi perangkat daerah yang bisa dibentuk oleh sebuah
kabupaten/kota. Perumpunan merupakan pertimbangan untuk menetapkan
organisasi yang bisa digabung dan yang tidak bisa digabung. Selain itu
perumpunan ini juga menetapkan urusan pemerintahan yang diwadahi dalam
bentuk dinas ataupun dalam bentul LTD (badan dan kantor). Nomenklatur atau
penamaan menetapkan nama sebuah lembaga ataupun SKPD serta perubahan-
perubahannya. Pada akhirnya implikasi dari jenis SKPD yang dibentuk akan
menentukan struktur eselon yang terdapat dalam SKPD yang dibentuk tersebut.
Secara umum substansi ini dijadikan pedoman dalam menyusun organisasi
perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir tetapi masih terdapat kekurangan-
kekurangan seperti yang ada dalam kutipan wawancara berikut:
disinikan masih badan pertambangan, padahal di PP 41 dia harus dalam bentuk
dinas, ini kurang dipelajari,semestinya ini harus dalam bentuk Dinas
Pertambangan dan Energi, disini yang bentuk badan adalah lingkungan hidup.

B. Deskripsi Variabel Struktur Birokrasi
Fokus wawancara dari variabel ini adalah 1) Struktur organisasi atau
fragmentasi dan aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi PP No.41 Tahun
2007 dan 2) Standart Operating Procedure (SOP), yaitu keberadaan petunjuk
teknis pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007. PP No.41 dalam implementasinya
melibatkan banyak lembaga yang terlibat mulai dari pemerintah pusat sampai ke
lembaga-lembaga di daerah. Unit-unit yang terlibat terfragmentasi sesuai dengan
fungsi masing-masing dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 ini. Banyaknya
aktor yang terlibat mempengaruhi kompleksnya komunikasi dan koordinasi di
antara aktor dalam organisasi implementasi. SOP dari kebijakan ini untuk tingkat
daerah belum ada. Petunjuk yang ada adalah petunjuk teknis yang dikeluarkan
oleh Kementerian Dalam Negeri. Petunjuk teknis di tingkat daerah sampai saat ini
belum ada. Pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan ini hanya
berdasarkan petunjuk teknis dari pemerintah pusat, diluar itu semuanya dilakukan
dengan petunjuk-petunjuk tersirat. Hal-hal ini mengakibatkan banyak masalah
yang kemudian mempengaruhi kinerja implementasi PP No.41 Tahun 2007 ini.
C. Deskripsi Variabel Koordinasi dan Komunikasi
Indikator-indikator yang menjadi fokus wawancara dalam variabel ini yaitu:
1) aspek komunikasi yang dilihat dari sosialisasi peraturan yang ada serta
pemahaman pegawai atas PP No.41 Tahun 2007, dan 2) aspek koordinasi dilihat
dari pola hubungan kerja di antara aktor-aktor dalam organisasi implementasi PP
No.41 Tahun 2007. Sosialisasi kebijakan ini akan mempengaruhi pemahaman
pegawai atas kebijakan. Pemahaman pegawai masih sangt minim, hal ini
diakibatkan karena sosialisasi yang dilakukan sangat terbatas. Sementara pola
organisasi yang membentuk arah koordinasi dalam organisasi perangkat daerah di
Kabupaten Toba Samosir adalah dengan koordinasi berjenjang. Yang menjadi
lead agency dari semua organisasi perangkat daerah yang ada adalah sekretariat
daerah dengan tingkatan eselon yang paling tinggi di kabupaten/kota. Berikut
pernyataan informan mengenai hal ini:
Sekda itu adalah koordinasi keseluruhan, jadi semua jabatan itu
dipimpin oleh bupati melalui sekretaris daerah. Jadi semua SKPD akan
berkoordinasi dengan Sekda melalui 3 asisten. 3 asisten ini membawahi,
ada itu pola koordinasi asisten, Asisten I membawahi dinas mana aja?
Asisten II membawahi dinasi mana aja, asisten III juga.

D. Deskripsi Variabel Sumber Daya
Beberapa indikator yang dilihat dalam variabel ini yaitu: 1) personil, 2)
informasi dan fasilitas, serta 3) keadaan pembiayaan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan keadaan personil dari sisi jumlah sebenarnya sudah
memadai tetapi banyak permasalahan dalam masalah penempatan posisi pegawai
sehingga informan wajar kalau merasa pegawai di instansi tempatnya bekerja
masih kurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan informan di Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil yang mengatakan bahwa pegawai di sana jelas kurang karena
saat ini hanya ada 29 pegawai, sedangkan masyarakat yang dilayani setiap hari
bisa mencapai ratusan orang, pegawai yang kurang itu terletak pada posisi staf,
seharusnya setiap Kasubbag setidaknya mempunyai dua orang staf. Demikian
juga dengan pernyataan informan di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa yang merasa pegawai di instansi ini masih kurang. Sementara
itu di pegawai di Kantor Ketahanan Pangan dirasa sudah cukup dengan jumlah
pegawai 9 orang untuk ukuran kantor. Menanggapi masalah pegawai ini berikut
pernyataan informan dari Bagian Organisasi Setdakab Toba Samoisr:
saya bingung entah dimana pegawainya? Kita selalu bilang berlebih-
lebih, tapi kamu lihat sendiri staf di sini berapa orang? Di sana berapa
orang?...di Bagian Hukum stafnya cuma satu orangjadi kita katakan
berlebih tapi tidak tau kita dimana berlebih?....Jadi kalau saya katakan,
pembagian staf itu kurang optimal karena disatu sisi ada SKPD yang
berjibun atau berlebih dan ada juga yang kekurangan.Coba kamu
bayangkan ketika belanja pegawai sudah di atas 60% sampai 70%,
berarti pegawai itu banyak, tapi banyak itu dimana? Berarti tidak optimal
penempatan posisi.
Dari sisi kompetensi pegawai juga masih terdapat banyak masalah di
antaranya banyaknya pegawai yang ditempatkan tidak sesuai dengan latar
belakang pandidikan yang dimiliki. Selain itu untuk peningkatan kompetensi
pegawai masih sangat minim dengan belum memadainya anggaran untuk diklat
dari APBD. Sisi motivasi juga demikian, dimana terdapat banyak faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap motivasi pegawai dalam memberikan pelayanan.
Pembiayaan dan sarana prasarana juga masih sangat terbatas sehingga juga sangat
mempengaruhi implementasi kebijan PP No.41 Tahun 2007 ini.
5.1.2 Deskripsi Hasil Kuesioner
Kuesioner dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjaring persepsi,
pemahaman atau pengetahuan umum yang selanjutnya lebih jauh lagi digali dalam
wawancara. Bentuk kuesioner yang ada adalah kuesioner dengan pernyataan
terbuka sehingga jawaban dari responden tidak dibatasi. Oleh karena itu, untuk
penyajian peneliti data tidak akan membuat tabel frekuensi seperti penyajian data
kuesioner dengan pernyataan tertutup. Data akan dideskripsikan berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Berikut ini adalah penyajian
data hasil kuesioner:
1) Apakah Bapak/Ibu tahu tentang Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
tentang organisasi perangkat daerah? Jawaban responden rata-rata menyatakan
tahu.
2) Apakah Bapak/Ibu tahu tentang Perda Kabupaten Toba Samosir No.2 Tahun
2008? Jawaban responden menyatakan tahu.
3) Apakah peraturan-peraturan di atas pernah disosialisasikan? Jawaban
responden ada yang menyatakan pernah dan ada yang menyatakan tidak.
4) Apa tujuan dari kebijakan, siapa yang melaksanakan sosialisasi, bagaimana
bentuk sosilisasi dilakukan? Responden menjawab bahwa tujuan kebijakan
adalah mengatur atau menjelasakan struktur organisasi perangkat daerah dan
ada juga yang menyebutkan sebagai acuan (pedoman) dasar untuk
menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Untuk sosialisasi, pihak yang
melakukan sosialisasi disebutkan adalah Bagian Organisasi dan Bagian
Hukum Setdakab Toba Samosir dengan bentuk sosialisasi yang dilakukan
adalah dengan berjumpa langsung.
5) Apa pedoman bapak/ibu dalam melaksanakan tugas atau melaksanakan
sebuah program? Jawaban dari responden untuk melaksanakan tugas
berpatokan pada tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan melalui Peraturan
Bupati Kab. Toba Samosir, sementara untuk program mengacu pada program
yang telah diusulkan dan sudah disahkan atau disetujui pimpinan.
6) Apakah Bapak/Ibu tahun tentang SOP? Jawaban responden menyatakan tahu
dan tidak. Menurut responden SOP adalah suatu prosedur kerja yang
bermanfaat untuk mempercepat suatu pekerjaan dan jelasnya suatu tahapan-
tahapan pekerjaan dan ada juga yang menyebutkan SOP adalah pedoman
dalam menjalankan tugas berdasarkan Tupoksi.
7) Untuk hubungan dengan unit instansi lain dalam beberapa program ada yang
harus saling koordinasi dan ada yang tidak, tergantung program apakah
melibatkan banyak unsur atau tidak.
8) Bagaimana kepemimpinan pemerintahan sekarang ini, termasuk
kepemimpinan kepala instansi tempat bapak/Ibu bekerja? Kebanyakan
responden menyatakan bahwa kepemimpinan pemerintahan dan
kepemimpinan kepala instansi saat ini baik. Tetapi ada juga yang mengatakan
bahwa otonomi daerah berdampak pada kepemimpinan yang kurang
professional.
9) Bagaimana hubungan di antara pegawai? Pegawai melakukan rapat dalam
rangka pelaksanaan program, kegiatan dan pemcahan masalah. Rapat
dilakukan dengan periode yang berbeda-beda ada yang rutin dan ada juga
yang tidak, rapat dilaksanakan jika ada sesuatu hal yang perlu ditindaklanjuti.
Rapat ada juga dalam bentuk coffee morning ataupun rapat koordinasi untuk
membahas isu-isu yang sedang berkembang.
10) Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban tugas Bapak/Ibu?
Pertanggungjawaban dilakukan satu tingkat ke atas, misalnya seorang
Kasubbag mempertanggungjawabkan tugasnya kepada kepala bagian.
11) Ketersediaan informasi-informasi yang dibutuhkan pegawai dalam
melaksanakan tugasnya? Jawaban responden cukup memadai sesuai dengan
yang dibutuhkan.
12) Ketersediaan sarana-prasarana atau fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan dalam
melaksanakan tugas? Kebanyakan sarana-prasarana yang kurang tersedia
adalah ATK, alat-alat percetakan seperti laptop dan printer, dan lain-lain.
13) Apa visi dan misi pemerintah Kabupaten Toba Samosir? Semua pegawai tahu
visi pemerintahan daerah saat ini yaitu kasih, peduli dan bermartabat
14) Masalah perpindahan pegawai? Terjadi pergantian pimpinan SKPD setelah
pegantian kepala daerah. Pergantian pejabat adalah sesuatu hal yang wajar
bagi PNS, dan tidak ada protes yang dilakukan oleh pegawai.
15) Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti diklat? Pegawai rata-rata pernah
mengikuti diklat seperti diklat pelatihan pengadaan barang dan jasa dan
bimtek penatausahaan asset. Diklat dilakukan untuk peningkatan kapasitas
aparatur.
5.1.3 Deskripsi Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau
dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan.
Sumber sekunder meliputi komentar, interpretasi atau pembahasan tentang materi
original. Bahan-bahan sumber sekunder dapat berupa artikel-artikel dalam surat
kabar atau majalah popular, buku atau telaah gambar hidup, atau artikel-artikel
yang ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah yang mengevaluasi atau mengkritisi
sesuatu penelitian original yang lain. Bulletin statistic, laporan-laporan atau arsip
organisasi, publikasi pemerintah, informasi yang dipublikasikan atau tidak
dipublikasikan, data bases yang ada dari penelitian terdahulu, catatan-catatan
publik mengenai peristiwa-peristiwa resmi, dan catatan-catatan perpustakaan juga
merupakan sumber data sekunder (Silalahi, 2009:291). Data sekunder ini akan
sangat mendukung data primer dalam sebuah penelitian.
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian tentang implementasi PP
No.41 tahun 2007 ini diantaranya adalah sebagai berikut:
Makalah tentang kaji kritis PP No.8 Tahun 2003 yaitu PP tentang organisasi
perangkat daerah sebelum PP No.41 Tahun 2007.
Data-data dari buku-buku yang menjadi referrensi peneliti dalam
menyelesaiakan skripsi ini.
Data-data kepegawaian seperti data pertumbuhan jumlah pegawai, data
tentang struktur eselon pegawai, serta data tentang keadaan pendidikan
pegawai yang di dapat dari BKD Kabupaten Toba Samosir.
Data-data pemerintahan yang di dapat dari Tobasa Dalam Angka.
Dokumen kebijakan diantaranya PP No.41 Tahun 2007 dan Perda-perda
tentang organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir.
Beberapa dari data-data yang memungkinkan nantinya akan dilampirkan pada
bagian akhir skripsi ini.
5.2 Perjalanan Penataan Organisasi Perangkat Daerah
Pada masa reformasi sekarang, Undang-Undang Pemerintahan Daerah
sudah dua kali berubah. Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang lahir di awal
reformasi telah direvisi dengan lahirnya Undang-Undang No.32 Tahun 2004. Era
reformasi disebut-sebut sebagai titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di
Indonesia ke arah yang labih nyata. Dalam Undang-Undang No. 22/1999 dapat
dilihat bahwa titik berat pelaksanaan otonomi daerah berada pada tingkat
Kabupaten dan Kota.
Fokus otonomi daerah yang berada di Kabupaten dan Kota menunjukkan
bahwa organisasi pemerintah yang semula menganut sentralisasi telah berubah
menjadi desentralisasi. Di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah,
pengertian dari desentralisasi disebutkan adalah penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berdasarkan pengertian tersebut ada
beberapa implikasi tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan otonomi daerah
tersebut. Dalam prespektif politik tujuan utama desentralisasi adalah
demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal dan
kepekaan lokal. Dari sisi lain tujuan dari desentralisasi adalah untuk mendekatkan
pemerintah ke masyarakat sehingga pelayanan oleh pemerintah untuk masyarakat
akan semakin dekat, selain itu masyarakat akan lebih dapat diberdayakan dengan
dekatnya hubungan antara pemerintah dan masyarakat, termasuk dalam hal
pengambilan keputusan. Sementara dari prespektif administrasi, tujuan dari
desentralisasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di daerah (Romli, 2007:4-7).
Efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan salah satu
tujuan dari otonomi daerah yang sekarang ini kita kenal dengan istilah reformasi
birokrasi daerah. Reformasi birokrasi pada tingkat daerah dilakukan dengan
berbagai strategi diantarannya penataan kelambagaan, penataan sumber daya
manusia, penataan tata laksana dan peningkatan akuntabilitas organisional atau
akuntabilitas administratif. Reformasi birokrasi ini tidak lain adalah jalan untuk
meningkatkan kapasitas kelembagaan (capacity building) organisasi perangkat
daerah. Tindakan-tindakan efisiensi yang dilakukan sesuai dengan strategi-strategi
reformasi yang ada yaitu, dengan penghematan struktur organisasi (sekaligus
penghematan biaya), peningkatan prefesionalisme aparatur dan peningkatan
kualitas pelayanan publik. Peningkatan kapasitas kelembagaan ini pada akhirnya
diharapkan dapat mengarah ke good local governance, yaitu terciptanya
kepemerintahan di daerah yang baik, diprakarsai birokrasi yang handal serta di
dukung oleh partisipasi masyarakat dan swasta.
Dari sisi regulasi atau undang-undang pemerintahan daerah isu kelembagaan
dan kewenangan juga merupakan isu strategik yang sering dibahas dan sudah
mengalami beberapa kali revisi. Kelembagaan dan kewenangan merupakan dua
komponen dalam otonomi daerah yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Kelembagaan atau organisasi perangkat daerah yang akan dibentuk oleh
pemerintah daerah ditentukan oleh pembagian urusan atau kewenangan yang
menjadi urusan pemerintahan daerah.
Dalam UU No.22 Tahun 1999, kelembagaan pertama sekali diatur dengan
PP No.84 Tahun 2000. Sementara untuk kewenangan dalam pasal 7 dan pasal 11
UU No. 22 Tahun 1999 disebut bahwa urusan untuk pemerintah daerah adalah
kewenangan sisa. Semua kewenangan yang tidak disebutkan dalam UU No.22
Tahun 1999 sebagai kewenangan pusat dengan sendirinya menjadi kewenangan
kabupaten dan kota (Prasojo, 2003:2). Disinilah otonomi kabupaten dan kota
mengalami pembesaran. Ketentuan PP No.84 Tahun 2000 menyebabkan masalah
inefisiensi dan pembengkakan jumlah dinas dan Lembaga Pelaksana Teknis
Daerah (LPTD). Hal ini diakibatkan belum adanya standar kriteria yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagai pedoman bagi pemerintah daerah
untuk membentuk organisasi perangkat daerah.
Didasari oleh masalah tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan PP No.8
Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Meskipun demikian,
PP No. Tahun 2003 juga tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan. Pertama,
kelemahan PP No.84 Tahun 2000 berkaitan dengan struktur eselonisasi jabatan
tidak direvisi dalam PP No.8 Tahun 2003. Secara horizontal, tidak tergantung
dengan luas wilayah, jumlah penduduk dan kompleksitas permasalahan, semua
pemerintah daerah pada level yang sama memiliki struktur eselon yang sama.
Tidak terdapat pertimbangan yang mengaitkan antara struktur eselon dengan
fungsi dan beban kerja dinas. Untuk menunjukkan tingkat hierarki antara provinsi
dan kabupaten/kota, struktur jabatan di tingkat provinsi memiliki eselon yang
lebih tinggi.
PP No.8 Tahun 2003 sangat bernuansa efisiensi. Jumlah dinas di tingkat
Provinsi dibatasi maksimal 10, sedangkan di tingkat kabupaten dan kota maksimal
14. Demikian juga dengan LPTD yang dibatasi maksimal 8 baik di provinsi
maupun kabupaten/kota. Secara internal, jumlah maksimal organisasi perangkat
daerah dalam dinas dan LPTD juga ditentukan. Sebuah dinas baik provinsi
maupun kabupaten/kota misalnya, memiliki jumlah bidang maksimal 4. Demikian
juga jumlah maksimal sub bagian atau seksi yang boleh ada dalam sebuah dinas.
Di sisi lain PP No.8 Tahun 2003 ini juga tidak memuat dengan jelas tentang
perbedaan antara Dinas dan LPTD (Badan dan Kantor). Pasal 6 dan pasal 10
hanya menetapkan bahwa Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pelaksana
tugas tertentu, dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan
bertanggun jawab kepada gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk
kabupaten/kota.
Banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam Undang-Undang Otonomi
Daerah yang sangat mempengaruhi implementasinya oleh pemerintah daerah serta
iklim politik pemerintahan yang masih dalam masa transisi mendorong
pemerintah untuk segera mengeluarkan revisi atas undang-undang tersebut.
Undang-Undang Otonomi Daerah kemudian digantikan dengan undang-undang
baru pada tahun 2004 melalui UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004.
Demikian juga dengan kelembagaan dan kewenangan harus diubah dengan
Peraturan Pemerintah yang baru.
Pemerintah daerah dalam menyusun organisasi perangkat daerah untuk
tahun 2004 sampai sekarang ini berpedoman pada dasar hukum yang baru. Dasar
hukum dalam pembentukan organisasi perangkat daerah setidaknya harus
berpatokan pada:
a. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam pasal 3 juga disebutkan bahwa pemerintah
daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah. Undang-undang No.32
Tahun 2004 juga menyebutkan tentang pemmbagian urusan pemerintahan
(kewenangan). Urusan pemerintahan dibagi kedalam dua kelompok, yaitu
urusan ekslusif pemerintah pusat dan urusan bersama (konkuren).
b. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam Peraturan Pemerintah ini lebih lanjut diatur mengenai pembagian
urusan pemerintahan (kewenangan). Urusan bersama (konkuren) seperti yang
disebutkan dalam UU No.32 Tahun 2004 dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu urusan wajib dan urusan pilihan kemudian lebih dijeaskan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
c. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat
Daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi
adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang
terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang
terdiri dari:
unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi,
diwadahi dalam sekretariat.
unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat.
unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan.
unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam
lembaga teknis daerah, serta
unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.
Dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini, urusan yang
didesentralisasikan kebanyakan adalah urusan wajib dan masih sangat minim
untuk urusan pilihan. Akibatnya pengembangan kelembagaan dan kompetensi
aparatur hanya terfokus pada urusa wajib. Hal inilah yang menyebabkan bahwa
pelaksanaan otonomi daerah masih setengah hati. Selain itu prinsip yang
digunakan dalam pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 ini adalah prinsip general
competence. Dimana dalam penerapannya tidak memandang suatu daerah
merupakan daerah otonom lama atau otonom baru, semua daerah dianggap
mampu untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah ini.
5.3 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir
Kabupaten Toba Samosir dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1998 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Toba Samosir dan
Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Sebagai sebuah daerah otonom
Kabupaten Toba Samosir sejak berdiri telah membentuk perangkat daerah sebagai
unsur pembantu kepala daerah dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan.
Keadaan organisasi perangkat daerah yang ada telah mengalami beberapa kali
perubahan sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah serta peraturan
pemerintah yang menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk menyusun
organisasi perangkat deareah yang berlaku sesuai dengan periode waktu.
5.3.1 Penetapan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah di
Kabupaten Toba Samosir
Pada tahun 2004, sebagai tuntutan dari PP No.8 Tahun 2003 organisasi
perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir ditetapkan dengan lima Peraturan
Daerah yaitu:
1. Perda No.12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Daerah Kabupaten dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Toba Samosir sebagaimana telah diubah dengan Perda
No.3 Tahun 2007;
2. Perda No.13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-
Dinas Daerah di Kabupaten Toba Samosir sebagaimana telah diubah dengan
Perda No.2 Tahun 2007;
3. Perda No.14 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Toba Samosir sebagaimana telah diubah
dengan Perda No.1 Tahun 2007;
4. Perda No.3 Tahun 2005 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit
Umum Daerah;
5. Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan
Kelurahan.
Kelima Peraturan Daerah ini tidak berlaku lagi setelah keluarnya Peraturan
Pemerintah No.41 Tahun 2007 Tentang Organisai Perangkat Daerah.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa PP No.41 Tahun
2007 ini dikategorikan sebagai decentralized policies, yaitu kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah pusat namun pengimplemensatiannya diserahkan pada masing-
masing daerah. PP No.41 Tahun 2007 menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah
daerah untuk melakukan perubahan organisasi perangkat daerah. Organisasi
perangkat daerah yang sudah ada sebelumnya ditata kembali baik struktur maupun
personelnya.
Pelaksanaan PP No. 41 Tentang Organisasi Perangkat Daerah ini diikuti
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007
yang merupakan petunjuk teknis bagi pemerintah daerah untuk menata organisasi
perangkat daerahnya masing-masing. Pembentukan organisasi perangkat daerah
kemudian ditetapkan oleh daerah dengan Perda berdasarkan urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Peraturan daerah tersebut mengatur mengenai
susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah. Selanjutnya
rincian tugas, fungsi, dan tata kerja diatur lebih lanjut dengan peraturan
gubernur/bupati/walikota.
Untuk proses penetapan peraturan daerah ini pola yang dilakukan masih
mengikuti prosedural yang sudah sekian lama manjadi prosedur baku yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Langkah-langkah yang dapat peneliti simpulkan
berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan dan sesuai dengan
prosedur umum yang telah ada dari peraturan sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Menyerahkan kebijakan pusat kepada instansi yang tanggung jawabnya sesuai
dengan substansi kebijakan tersebut. Untuk masalah organisasi perangkat
daerah pemerintah daerah menyerahkan kepada Bagian Organisasi dan Tata
Laksana Sekretariat Daerah Kabupaten.
2. Mendiskusikan dengan tim otonomi daerah. Umumnya setiap daerah dibentuk
tim otonomi daerah yang bertugas mendiskusikan semua rancangan yang
terkait dengan implementasi kebijakan otomi daerah, termasuk dalamhal
menata organisasi. Ketuanya adalah asisten I sekretaris daerah yang
membidangi tata pemerintahan, dengan anggota asisten sekretaris daerah yang
lain, kepala Bappeda, kepala Badan Keuangan Daerah, Kepala BKD, Kabag
dan Kasubag Tata Pemerintahan, Kabag Organisasi dan Hukum. Tim ini lebih
berfungsi sebagai lembaga tukar pikiran di antara instansi-instansi terhadap
apa saja yang telah mereka lakukan. Hal ini sesuai dengan petikan wawancara
dengan Asisten III Administrasi Umum berikut:
Kan kita bahas dulu, rapat dipimpin oleh Kepala Bagian Organisasi dan
Tata Laksana, diskusi dengan Bagian Hukum. Baru diskusi dengan SKPD
yang bersangkutan kita diskusikan dipimpin oleh Pak Sekda.
3. Menyerahkan hasil diskusi berupa rancangan kepada sekretaris daerah.
Sekretaris daerah mempunyai fungsi kontrol dan koordinasi terhadap semua
SKPD yang menjadi bawahannya.
4. Menyerahkan desain awal kepada kepala daerah untuk memperoleh
persetujuan. Sebelum diserahkan ke DPRD, rancangan diserahkan kepada
kepala daerah. Besarnya kewenangan kepala daerah menyebabkan semua
rancangan yang telah dibuat bisa berubah sama sekali. Lobby yang dilakukan
pejabat biasanya sangat efektif untuk mempengaruhi rancangan keputusan
tersebut manakal yang bersangkutan memiliki kedekatan dengan kepala
daerah (Dwiyanto, 2010:159).
5. Sebelum menjadi Perda, Rancangan dari Eksekutif diserahkan kepada DPRD
untuk didiskusikan. Mengenai hal ini berikut petikan wawancara dengan
Asisten III Administrasi Umum:
Perda, Perda itukan ada dua, satu usulnya eksekutif dan satu lagi
usulnya inisiatif. Kalau alurnya, kita ajukanlah ini ke DPRD, baru di
DPRD nanti sebelum masuk ke paripurna, pertama akan masuk ke Badan
Legislasi untuk dimusywarahkan, nanti ada naskah akademisnya, itulah
yang dibahas di Badan Legislasi. Setelah itu masuklah ke paripurna untuk
diparipurnakan.DPRD akan mengagendakan untuk dibicarakan di
Badan Legislasi, ada badan di sana, disitulah yang namanya diskusi,
walaupun nanti pas paripurna juga ada tanggapan perorangan dan ada
juga tanggapan Fraksi, habis diparipurnakan, pengesahanlah.
Setelah proses yang panjang ini Perda yang telah disahkan siap untuk
diimplementasikan.
Setelah PP No.41 Tahun 2007 ini berlaku sampai sekarang Perda yang ada
di Kabupaten Toba Samosir yang mengatur tentang Organisasi Perangkat Daerah
adalah sebagai berikut:
1. Perda No.2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Toba Samosir.
2. Perda No.4 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pemuda
Dan Olahraga Kabupaten Toba Samosir.
3. Perda No.5 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Toba Samosir.
4. Perda No.4 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Kabupaten Toba Samosir.
5. Perda No.5 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelayanan
Perijinan Terpadu Dan Penanaman Modal Kabupaten Toba Samosir.
5.3.2 Pertimbangan-pertimbangan dalam Menata Organisasi Perangkat
Daerah
Proses yang ada dalam pembentukan organisasi perangkat daerah bukanlah
sebuah proses sederhana dan mudah. Ada terdapat banyak hal-hal yang perlu
dipertimbangkan karena akan sangat berpengaruh terhadap organisasi atau SKPD
yang akan dibentuk. Pertimbangan-pertimbangan tersebut sudah tertuang dalam
PP No.41 Tahun 2007 dan Permendagri No.57 Tahun 2007. Namun,
pertimbangan-pertimbangan tersebut belum dijelaskan dengan rinci.
Pertimbangan-pertimbangan yang ada di PP No.41 Tahun 2007 ini sesuai dengan
hasil wawancara dengan staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana, disebutkan
bahwa dalam menentukan besaran organisasi perangkat daerah sekurang-
kurangnya harus mempertimbangkan:
Besaran OPD sekurang-kurangnya harus mempertimbangkan:
Faktor keuangan
Kebutuhan daerah. Butuh tidak kita kelautan? Kita tidak butuh.
Cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan
Jenis dan banyaknya tugas
Luas wilayah kerja harus jelas
Kondisi geografis. Makanya kita lihat jadi BPBD kitakan, karena ini
bukan daerah rawan bencana.
Jumlah dan kepadatan penduduk
Potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani,
kita punya dong? Potensi apa yang kita bisa dari sana, hanya
pariwisatanyakah?
Sarana dan prasarana penunjang tugas
Harus ada sasarannya.
Beberapa pertimbangan yang ada dalam peraturan dimaksud seperti variabel
APBD, jumlah penduduk, luas wilayah menjadi variabel utama untuk menentukan
skor ataupun pola maksimal besaran organisasi perangkat daerah yang bisa
dibentuk oleh pemerintah daerah. Beberapa dari pertimbangan-pertimbangan yang
ada akan peneliti bahas dalam bagian berikut ini:
a. Potensi dan Kebutuhan Daerah
Potensi daerah merupakan sumber daya penting yang dimiliki oleh daerah
yang perlu digali dan dikembangkan dalam rangka untuk meningkatkan daya
saing pembangunan ekonomi suatu daerah. Potensi daerah akan menjadi
keunggulan sebuah daerah jika dikembangkan dengan baik sehingga manfaat dari
potensi tersebut akan maksimal. Untuk itu pemerintah daerah harus mampu
mengenali potensi daerah yang dimiliki agar bisa diwadahi dalam sebuah lembaga
atau SKPD. Pendayagunaan potensi oleh organisasi yang berkompeten dengan
baik nantinya akan menghasilkan penerimaan yang akan sangat mendukung bagi
keuangan daerah, seperti disampaikan oleh Bapak Asisten III Administrasi Umum
berikut ini:
Untuk apa kita bentuk sebuah organisasi kalau kita tidak memiliki
potensi daerah. Hal-hal yang bersifat produktiflah contohnya. Karena
kita potensi pertanianlah makanya kita bentuk Dinas Pertanian, coba di
kota dibentuk Dinas Pertanian, kan agak lucu! Tetapi banyak sekarang ini
seolah-olah itu menjadi sebuah kewajiban, seolah-olah menjadi pekerjaan
padahal dari segi manfaat belum tentu. Nah kita coba lucu tidak kalau
kita tidak memiliki Dinas Pertanian? Lucukan! Lucu tidak kalau penyuluh
tidak ada sama kita? nah itu makanya! Tapi kita tetap bisa fungsikan
sebagaimana mestinya.

Tetapi kemudian yang menjadi permasalahan adalah sedikitnya urusan pilihan
yang didesentralisasikan, kebanyakan adalah urusan wajib. Untuk masalah ini
Asisten III Administrasi Umum menyampaikan:
iya, tapikan urusan itu bisa digabung, jadi ada itu yang kita gabungkan
dan ada yang tidak kita gabungkan. Sepertiininya itu, kan ada pelimpahan
wewenang (urusan wajib dan urusan pilihan), diurusan wajib itupun kita
bisa iya, bisa tidak.
Pertimbangan lain disamping potensi adalah kebutuhan daerah. Kebutuhan
organisasi perangkat daerah menyangkut organisasi yang benar-benar perlu untuk
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Orientasi kebutuhan ini
tertuang dalam prinsip miskin struktur kaya fungsi. Tetapi kenyataan yang terlihat
dari organisasi perangkat daerah yang ada sangat berbanding terbalik dan
bertentangan dengan kebijakan reformasi birokrasi yang sedang digalakkan
belakangan ini. Penyusunan organisasi perangkat daerah dengan kondisi seperti
ini akan semakin sulit dengan penetapan arah pertumbuhan pegawai sekarang ini
menekankan pada keseimbangan, yaitu terwujudnya organisasi yang rightsizing.
Rightsizing menurut Staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana yaitu adanya
kesesuaian antara ukuran organisasi dengan fungsi yang dimilikinya.
b. Urusan yang menjadi kewenangan daerah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dasar utama penyusunan
perangkat daerah dalam bentuk organisasi adalah adanya urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan
pilihan. Namun dalam pelaksanaannya tidak berarti bahwa setiap penanganan
urusan pemerintahan harus dibentuk dalam organisasi tersendiri. Adanya
kewengan bersama tersebut sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 sehingga
fungsi-fungsi pemerintahan perlu diwadahi dalam bentuk kelembagaan.
PP No.38 Tahun 2007 yang mengatur tentang kewenangan hadir lebih awal
sebelum PP No.41 Tahun 2007 yang mengatur tentang perangkat daerah. Hal ini
berarti bahwa yang mandasari kelembagaan adalah kewenangan. Berdasarkan PP
No.38 Tahun 2007 dapat kita lihat bahwa jumlah urusan wajib ada 26 urusan,
sementara untuk urusan pilihan ada 8 urusan. Untuk pelaksanaan kedua peraturan
ini pemerintah harus daerah menetapkan dalam bentuk peraturan daerah.
PP No.41 Tahun 2007 diatur lebih lanjut dengan Perda No.2 Tahun 2008 di
Kabupaten Toba Samosir. Namun untuk Perda kewenangannya sampai sekarang
belum ada. Hal ini disampaikan oleh staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana
dalam petikan wawancaran berikut:
pelaksanaan PP 41 ini agak janggal karena tidak ada Perda kewenangan
sebelumnya, PP 38 belum ada Perdanya. Tetapi kita sudah mengusahakan
kewenangan-kewenangan itu untuk diambil.
Keadaan ini menunjukkan bahwa dalam penyusunan organisasi perangkat daerah
pemerintah Kabupaten Toba Samosir hanya berpedoman pada PP No.38 Tahun
2007 saja tanpa ada peraturan daerah. Ketiadaan Perda yang mengatur tentang
kewenangan secara langsung akan menimbulkan berbagai masalah. Masalah
tersebut terlihat dari masih adanya organiasi pemerintah daerah yang tugas dan
wewenanganya tumpang tindih dengan organisasi pemerintah lainnya. Di
lingkungan SKPD Kabupaten Toba Samosir terlihat dari sudah adanya Dinas
Sosial tetapi di lingkungan Sekretariat Daerah masih terdapat Bagian
Kesejahteraan Sosial, hal ini berdasarkan wawancara dengan Asisten III
Administrasi Umum. Seharusnya kewenangan yang ada untuk pemerintah
kabupaten/kota harus dikelompokkan dalam bidang-bidang. Bidang-bidang ini
kemudian dirinci lebih lanjut sehingga kewenangan yang ada menjadi lebih
spesifik. kewenangan yang jelas dan spesifik dalam bidang-bidang akan
berimplikasi pada tidak adanya lagi masalah tumpang tindih kewenangan di antara
SKPD yang ada.


c. Visi dan Misi Pemerintah Daerah
Suatu visi adalah artikulasi dari citra, nilai, arah dan tujuan yang akan
memandu masa depan organisasi. Sebuah visi haruslah realistis dan dapat dicapai,
dipergunakan sebagai pedoman bagi semua aktivitas organisasi. Visi kemudian
akan diartikulasikan dalam misi-misi organisasi. Misi ini kemudian lebih
dioperasionalkan lagi dalam suatu strategi organisasi. Strategi organisasi adalah
hasil integrasi visi dengan pemikiran strategis. Strategi berhubungan dengan
rencana tindak atau rencana operasi, metode, taktik dan langkah-langkah yang
digunakan untuk mencapai visi dan tujuan organisasi.
Dalam penyusunan sebuah organisasi perangkat daerah visi menjadi arah,
tujuan dan alasan untuk membangun sebuah organisasi. Visi sekaligus
menggambarkan apa yang menjadi kebutuhan dari sebuah organisasi. Oleh karena
itu posisi visi dan misi dalam penataan organisasi perangkat daerah merupakan
dasar utama yang perlu diperhatikan agar organisasi yang dibentuk sesuai dengan
kebutuhan. Visi Pemerintah Kabupaten Toba Samosir 2011-2015 adalah
Terwujudnya Kabupaten Toba Samosir Yang Memiliki Rasa Kasih, Peduli,
Dan Bermartabat. Untuk mewujudkan visi ini, Pemerintah Kabupaten Toba
Samosir merumuskan misi sebagai berikut:
1. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa;
2. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan;
3. Meningkatkan mutu pendidikan dan pengembangan sumber daya
manusia;
4. Meningkatkan pembangunan infrastruktur;
5. Mewujudkan pengembangan ekonomi rakyat;
6. Mengoptimalkan serta memanfaatkan sumber daya alam;
7. Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan
dinamis.
Untuk pengembangan kelembagaan ataupun penataan organisasi Pemerintah
Kabupaten Toba Samosir tidak memiliki starategi khusus. Hal ini disampaikan
dalam kutipan wawancara dengan Asisten III Administrasi Umum berikut:
Kalau secara khusus itu tidak ada, cuma dari apa itukan tersirat dia,
kalau tersurat dia tidak ada. Contohnya, kasih, peduli, martabat,
manusia bermartabat karena apa? Kalau kasih-kan tentang perbuatan,
kala martabat apa coba? Hasangapon, hamoraon, hagabeon
(kehormatan, kekayaan, Kebahagiaan) untuk mewujudkan yang tiga ini
bagaimana? Sekolah, sekolah dengan cara apa? Bisa tidak kita sekolah
kalau orang tua kita tidak sanggup. Darimana orang tua kita mencara
nafkah? Kan yang bertani dan melakukan berbagai pekerjaannya semua,
ada yang berdagang. Nah itulah jalannya, jadi dia tersirat di dalam visi
dan misi. Visi dan misilah sebenarnya dasar untuk menciptakan
kelembagaan, tetapi tetap berpatokan terhadap PP 41.
Tetapi di dalam matriks indikasi rencana program prioritas dan pagu indikatif
RPJMD Kabupaten Toba Samosir Tahun 2011-2015 untuk misi mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa terdapat satu program prioritas yaitu
program pembinaan dan pengembangan aparatur yang menjadi tugas dari Bagian
Organisasi dan BKD.
5.3.3 Perkembangan Susunan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten
Toba Samosir
Berdasarkan PP No.8 Tahun 2003 diatur bahwa pola maksimal untuk dinas
yang diperbolehkan untuk dibentuk adalah sebanyak 14 dinas, sementara untuk
Lembaga Teknis Daerah yang diperbolehkan hanya 8 LTD. Pertimbangan dalam
menyusun organisasi perangkat daerah di dalam PP No.8 Tahun 2003 yaitu:
1. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh derah;
2. Karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah;
3. Kemampuan keuangan daerah;
4. Ketersediaan sumber daya aparatur;
5. Pengembangan pola kerja sama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga.
Dari ketentuan yang ada dalam PP No.8 Tahun 2003 ini organisasi perangkat
daerah yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Toba Samosir terdiri dari
Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan, 12 (dua belas) dinas, 5 (lima) badan dan 3
(tiga) kantor.
Berbeda dengan peraturan pemerintah sebelumnya, PP No.41 semakin
memperjelas ketentuan-ketentuan dalam penyusunan organisasi perangkat daerah.
Hal ini terlihat dari penentuan besaran organisasi yang berbeda antara provinsi
dan kabupaten/kota Pulau J awa dan Madura dengan yang di luar Pulau Jawa dan
Madura. Perbedaan ini mungkin dikarenakan kompleksitas urusan pemerintahan
yang berbeda dengan padatnya pennduduk di Pulau Jawa dan Madura. Selain itu
dalam penetapan besaran organisasi juga tergantung pada tiga variabel yang
ketentuannya telah ditetapkan dalam peraturan tersbut. PP No.41 juga telah
mengatur tentang perumpunan-perumpunan yang diwadahi untuk dibentuk dalam
dinas maupun LTD. Berdasarkan PP No.41 Tahun 2007 organisasi perangkat
daerah yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Toba Samosir yang ditetapkan
melalui Perda No.2 Tahun 2008 terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan,
14 (empat belas) dinas, dan 10 (sepuluh) Lembaga Teknis Daerah.
Pada tahun 2010 dan 2011 kembali membentuk organisasi perangkat daerah
yang baru yaitu Dinas Pemuda dan Olahraga, Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, dan
Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal. Pembentukan SKPD
yang baru ini merupakan amanah dari undang-undang ataupun peraturan
pemerintah tersendiri selain UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pembentukan lembaga-lembaga tersebut adalah dalam rangka melaksanakan tugas
dan fungsi sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan, meningkatkan
dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas
sektor serta tugas pemerintahan umum lainnya. Pedoman organisasi, tata kerja dan
eselonisasi untuk lembaga-lembaga seperti ini ditetapkan dengan peraturan
menteri terkait setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang
menyelenggarakan urusan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
Berikut ini adalah tabel perkembangan keadaan kondisi organisasi perangkat
daerah di Kabupaten Toba Samosir berdasarkan PP No.8 Tahun 2003 dan
perubahan-perubahan yang terjadi sampai sekarang.



Tabel 5.1
Perkembangan susunan organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir

SKPD (PP 8/2003) SKPD (PP41/2007) Keterangan
(1) (2) (3)
1. Sekretariat Daerah

1. Sekretariat Daerah

Perda No.2 Tahun 2008
2. Sekretariat Dewan

2. Sekretariat Dewan

Perda No.2 Tahun 2008
3. Dinas Pendidikan
Nasional
3. Dinas Pendidikan Perda No.2 Tahun 2008
4. Dinas Kesehatan 4. Dinas Kesehatan Perda No.2 Tahun 2008
5. Dinas Pekerjaan
Umum,
Permukiman dan
Prasarana Wilayah
5. Dinas Pekerjaan
Umum
Pemisahan fungsi bidang dengan
1 Dinas baru serta penambahan
fungsi bidang yang baru yaitu
Tata Ruang (Perda No.2 Tahun
2008)
6. Dinas Tata Ruang
dan Permukiman
6. Dinas Pertanian,
Peternakan dan
Perikanan
7. Dinas Pertanian,
Peternakan dan
Perikanan
Perda No.2 Tahun 2008
7. Dinas
Perhubungan
8. Dinas Perhubungan,
Komunikasi dan
Informatika
Perubahan nomenklatur dengan
penambahan fungsi bidang yang
baru yaitu Komunikasi dan
Informatika (Perda No.2 Tahun
2008)
8. Dinas Kehutanan
dan Perkebunan
9. Dinas Kehutanan
dan Perkebunan
(Perda No.2 Tahun 2008)
9. Dinas Pendapatan
10. Dinas Pendapata,
Pengelola Keuangan
dan Kekayaan
Daerah
Penambahan fungsi Pengelola
Keuangan dan Kekayaan Daerah
(Perda No.2 Tahun 2008)
10. Dinas Pariwisata,
Seni dan Budaya
11. Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata
Perubahan nomenklatur (Perda
No.2 Tahun 2008)
11. Dinas Pasar,
Kebersihan dan
Pertamanan
12. Dinas Pasar,
Kebersihan dan
Pertamanan
Perda No.2 Tahun 2008
12. Dinas Tenaga
Kerja dan
Transmigrasi
13. Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi
Perda No.2 Tahun 2008
13. Dinas Kesatuan
Bangsa dan
Ketertiban
14. Badan Kesatuan
Bangsa, Politik dan
Perlindungan
Masyarakat
Pemecahan fungsi dan perubahan
fungsi dari Dinas menjadi Badan
dan Satuan/Kantor (Perda No.2
Tahun 2008)
15. Satuan Polisi
Pamong Praja
14. Dinas Koperasi
dan Perindustrian,
Perdagangan
16. Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan
Koperasi
Perubahan Nomenklatur (Perda
No.2 Tahun 2008)
15. Dinas Lingkungan
Hidup dan
Pertambangan
17. Badan Lingkungan
Hidup dan
Pertambangan

Perubahan dari Dinas menjadi
Badan (Perda No.2 Tahun 2008)
16. Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah
18. Badan Perencanaan
Pembangunan
Daerah
Perda No.2 Tahun 2008
17. Badan Pengawas
Kabupaten
19. Inspektorat
Perubahan nomenklatur (Perda
No.2 Tahun 2008)
18. Badan
Kepegawaian
Daerah
20. Badan Kepegawaian
Daerah
Perda No.2 Tahun 2008
19. Badan
Pemberdayaan
Masyarakat Desa
dan Pemberdayaan
Perempuan
21. Badan
Pemberdayaan
Masyarakat dan
Pemerintahan Desa
Penambahan fungsi Pemerintahan
Desa. Fungsi Pemberdayaan
Perempuan disatukan dengan
Keluarga Berencana (Perda No.2
Tahun 2008)
20. Badan Keluarga
Berencana dan
Pembangunan
Keluarga Sejahtera
22. Badan
Pemberdayaan
Perempuan, Anak
dan Keluarga
Berencana
Integrasi fungsi sesuai dengan
rumpun yang diwadahi dalamPP
41 (Perda No.2 Tahun 2008)
21. Kantor
Kependudukan dan
Catatan Sipil
23. Dinas
Kependudukan dan
Catatan Sipil
Perubahan dari dinas menjadi
kantor (Perda No.2 Tahun 2008)
22. Kantor Pengolahan
Data Elektronik

Hapus

23. Kantor Ketahanan
Pangan

24. Kantor Ketahanan
Pangan
Perda No.2 Tahun 2008
24. Rumah Sakit
UmumDaerah
25. Rumah Sakit Umum
Daerah
Perda No.2 Tahun 2008
26. Dinas Sosial SKPD baru
27. Dinas Pemuda dan
Olahraga
Perda
No.4/2010


Pembentukan-
pembentukan
SKPD yang
merupakan amanah
Undang-Undang
atau ada UU/PP
tersenidiri yang
mengharuskan
SKPD terkait
dibentuk
(Wawancara
dengan Staf Ortala
Setdakab Tobasa)
28. Badan
Penanggulangan
Bencana Daerah
Kabupaten
Perda
No.5/2010
29. Badan Pelaksana
Penyuluhan
Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan
Perda
No.4/2011
30. Badan Pelayanan
Perijinan Terpadu
dan Penanaman
Modal
Perda
No.5/2011
Sumber: Diolah dari data primer dan data sekunder
5.4 Analisis Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat
Daerah di Kabupaten Toba Samosir
Implementasi kebijakan publik merupakan tahapan penting dalam proses
kebijakan publik dalam rangka untuk melaksanakan keluaran kebijakan (peraturan
perundang-undangan) oleh organisasi pelaksana kebijakan dalam rangka
pencapaian tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan tidak akan tercapai tanpa adanya
tindakan implementasi. Implementasi kebijakan juga merupakan sebuah proses
yang kompleks dan panjang. Proses implementasi akan bermula ketika sebuah
kebijakan telah memiliki dasar legitimasi atau telah memiliki kekuatan yang
mengikat. Pada akhirnya melalui implementasi kebijakan perubahan kondisi akan
terjadi terlepas dari berhasil atau tidaknya sebuah kebijakan.
Pemahaman yang paling penting bagi peneliti kebijakan dari proses
implementasi adalah untuk dapat mengidentifikasi variabel-variabel apa saja yang
sebenarnya mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah implementasi
kebijakan. Melalui identifikasi variabel ini, fenomena-fenomena yang
berhubungan dengan implementasi akan dapat dijawab. pada gilirannya akan
sangat membantu dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan proses
implementasi kebijakan kedepannya.
Ripley menyebutkan bahwa terdapat dua prespektif untuk melihat
implementasi, sebagaimana ia jelaskan: implementation studies have two major
foci: complience and whats happening?. Prespektif pertama (compliance
perspective) memahami keberhasilan implementasi dalam arti sempit yaitu
sebagai kepatuhan para implementer dalam melaksanakan kebijakan yang
tertuang dalam dokumen kebijakan. Prespektif ini hanya melihat kepatuhan para
implementer dalam menjalankan kebijakan. Keberhasilan kebijakan berdasarkan
prespektif ini dilihat dari prosedur, jadwal, kriteria kebijakan, keluaran kebijakan
yang dilihat dari standar yang ada dalam kebijakan, dan seterusnya yang
berkenaan dengan dokumen kebijakan. Sedangkan prespektif yang kedua
berusaha untuk memahami implementasi secara luas. Pertanyaan untuk mengukur
keberhasilan implementasi di dalam prespektif ini adalah: What is it achieving?
And Why or Whats happening? And why?. Berdasarkan hal tersebut maka
ukuran keberhasilan kebijakan tidak hanya ditentukan oleh kepatuhan
implementer dalam melaksanakan kebijakan tetapi juga diukur dari keberhasilan
dalam merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan yang terlihat dari dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan (Purwanto, 2012:64-70).
PP No.41 Tahun 2007 merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
pusat, namun pengimplementasiaanya dilakukan oleh pemerintah daerah (top-
down). Dengan prinsip desentralisasi yang ada, kesiapan pemerintah daerah untuk
implementasi kebijakan ini perlu dikaji. Dalam hal ini adalah kesiapan yang
dimaksud peneliti adalah kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir
melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah yang diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten Toba
Samosir terkait. Model implementasi yang digunakan untuk melihat implementasi
kebijakan publik dalam penelitian ini merupakan sintesa dari model-model
implementasi kebijakan publik yang telah dijelaskan di dalam kerangka teori.
Efektitas implementasi kebijakan tersebut akan dilihat dari variabel karekteristik
isi kebijakan/ peraturan pengoperasionalan, variabel struktur birokrasi, variabel
koordinasi dan komunikasi serta variabel sumber daya.
5.4.1 Analisis Karakteristik Isi Kebijakan/ Peraturan Pengoperasionalan
Berdasarkan model implementasi kebijakan yang dibuat oleh Grindle salah
satu dari dua bagian besar variabel yang mempengeruhi kebijakan adalah isi
kebijakan (content of policy). Beberapa cakupan dari variabel ini akan menjadi
fokus pembahasan peneliti dalam bagian ini. Cakupan tersebut diantarannya
tujuan dan sasaran kebijakan, perubahan yang diinginkan kebijakan (substansi
dari PP No.41 Tahun 2007), serta manfaat dari kebijakan. Seperti yang sudah
disampaikan di atas, bagian ini akan melihat kinerja kebijakan dari prespektif
peraturan. Keberhasilan kebijakan dilihat dari prosedur, jadwal, kriteria kebijakan,
keluaran kebijakan yang dilihat dari standar yang ada dalam kebijakan, dan
seterusnya yang berkenaan dengan dokumen kebijakan.
Tujuan PP No.41 Tahun 2007 seperti yang disebutkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomorr 89 Tentang Penjelasan Atas PP
No.41 Tahun 2007 adalah sebagai berikut, Peraturan Pemerintah ini pada
prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah
dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi,
integrasi, singkronisasi dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat
dan daerah. Dari uraian tujuan tersebut bahwa maksud dari PP No.41 ini adalah
memberikan pedoman bagi daerah dalam menata organisasi perangkat daerah.
Penekanan tujuan ini adalah pada penataan organisasi yang efisien, efektif dan
rasional. Hal ini sesuai dengan pendefenisian tujuan yang disampaikan oleh Staf
Bagian Organisasi dan Tata Laksana yaitu, arahnya adalah penyusunan
organisasi yang miskin struktur kaya fungsi. Tetapi jika dilihat dari jumlah dinas
dan LTD sebelum dan sesudah PP No.41 Tahun 2007 ini yang ada jumlahnya
semakin besar. Untuk masalah ini berikut hasil wawancara dengan Staf Bagian
Organisasi dan Tata Laksana:
kalau PP 41 saya katakan mungkin 95%, perampingan saya katakan
tidak, pembengkakan juga saya katakan tidak.PP 41 mengatur demikian.
PP 41 mengatakan ini harus ada jadi kita tambahi kemaren, soalnya dia
masih muat sesuai dengan variabel.
Sementara itu, sebagai kelompok sasaran disebutkan dalam penjelasan atas PP
No.41 Tahun 2007 ini bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang teridiri dari unsur staf, unsur
pengawas, unsur perencana, unsur pendukung tugas kepala daerah, serta unsur
pelaksana urusan daerah. Oleh karena itu yang menjadi sasaran dari kebijakan ini
adalah organisasi perangkat daerah secara keseluruhan.
Dalam penyusunan organisasi perangkat daerah juga terdapat prinsip-
prinsip dasar tata organisasi yang harus diikuti oleh pemerintah daerah. Berikut ini
adalah prinsip-prinsip tata organisasi tersebut yang disampaikan oeh Staf Bagian
Organisasi dan Tata Laksana dalam kutipan wawancaran berikut:
prinsip-prinsip dasar tata organisasi yang juga merupakan prinsip
dalam peyusunan organisasi perangkat daereah:
1. Organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi yang jelas.
2. Fungsi-fungsi Organisasi (staf, lini, suport)
3. Kewenangan yang jelas. Jadi setiap SKPD itu harus tau sampai dimana
dia punya kewenangan
4. Pembagian habis tugas.
5. Organisasi flat atau datar.
6. Organisasi ramping dan rentang kendali.
7. Organisasi yang kontuinitas, berkesinambungan, dinamis, kalau ada
perubahan dia bisa ditampung, yang ini artinya akan selalu ada
perubahan nanti tiap tahun, jadi kita buat organisasi ini yang
kontinuitas tidak monoton hanya itu-itu saja
8. Organisasi bersifat jejaring ( networking ) dan koordinasi. Harus ada
koordinasinya, jadi asisten ini membawahi ini, jadi harus ada dong
hubungannya, jangan nanti ini kok gak nyambung iya...
9. Organisasi bersifat fleksibel dan adaptif. Beradaptasi dengan keadaan
ini sama dengan yang tadi, harus fleksibel dia.
10. Organisasi yang berorientasi hasil. Harus jelas hasilnya jangan nanti
satu organisasi tidak didapatkan hasilnya, organisasi itu tidak ada
hasilnya.
11. Organisasi banyak diisi jabatan jabatan fungsional. Karena jabatan
funsionallah yang bekerja dengan orientasi fungsi dan hasil. Kenapa
dibilang fungsional? Jabatan itu mempunyai sifat fungsi, tidak hanya
struktural, tidak ada hasil, artinya ketika ada atau dengan adanya
fungsional berarti dia berfungsi semua jabatan itu, dia harus diisi oleh
jabatan-jabatan fungsional.
12. Organisasi Proporsioalitas. Proporsional taukan? Artinya sizenya
sama dengan fungsinya, kalau sekarang sudah mereka katakan...,
kitakan dulu kita katakan itu dengan istilah miskin struktur tapi kaya
fungsi sekarang sudah rightsizing, artinya itulah tepat fungsi dan tepat
ukuran, nah itukan proporsional, ukurannya pas dengan fungsinya
jangan ukurannya luas kali fungsinya hanya sedikit.
13. Organisasi menerapkan strategi Learning Organization. Organisasi
pembelajaran, kamu uda tau itu iyakan ? jadi harus mengapakan ini.

Prinsip-prinsip yang ada menunjukkan organisasi perangkat daerah seperti
apa yang sebenarnya diinginkan oleh PP No.41 Tahun 2007 ini. Namun dalam
implementasi hal-hal ini akan sangat sulit untuk diwujudkan dengan berbagai
hambatan-hambatan yang ada di dalam pemerintahan. Hal ini seakan menjadi
beban bagi pemerintah daerah dengan keadaan birokrasi dan sistem politik yang
masih belum stabil dengan banyaknya praktek-praktek yang tidak seharusnya.
PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Tobaa Samosir pertama sekali
ditetapkan dengan Perda No.2 Tahun 2008. Penetapan Perda No.2 Tahun 2008
mengikuti kondisi variabel-variabel tersebut pada tahun 2007. Kriteria penetapan
jumlah besaran organisasi berdasarkan PP No.41 Tahun 2007 yaitu, variabel
jumlah penduduk, variabel luas wilayah, dan variabel jumlah APBD. Pada tahun
2007 jumlah penduduk Kabupaten Toba Samosir 171.375 jiwa, luas wilayah
Kabupaten Toba Samosir adalah 2.021,8 Km
2
, dan jumlah APBD pada tahun
2007 sebesar Rp 335.539.934.000,-. Berdasarkan perhitungan variabel yang ada
nilai atau skor yang didapat Kabupaten Toba Samosir adalah 61. Ketentuan
tentang nilai/skor dapat dilihat pada tabel berikut:




Tabel 5.2
Jumlah organisasi perangkat daerah berdasarkan perhitungan variabel-variabel
Skor Setda (Ass) Dinas LTD
< 40 3 12 8
40 - 70 3 15 10
>70 4 18 12
Sumber: Diolah dari PP No.41 Tahun 2007
Berdasarkan pola perhitungan di atas maka Kabupaten Toba Samosir dapat
membentuk organisasi perangkat daerah yang terdiri dari:
- Sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga asisten);
- Sekretariat DPRD;
- Dinas paling banyak 15 (lima belas); dan
- Lembaga Teknis Daerah paling banyak 10 (sepuluh).
Pola di atas disebut sebagai pola maksimal, dimana ketentuan ini memuat jumlah
besararan organisasi yang paling banyak yang bisa dimiliki oleh suatu daeerah.
Besar jumlah organisasi yang dibentuk pada tahun 2007 telah disebutkan peneliti
pada bagian sebelumnya, begitu juga susunan organisasi perangkat daereah yang
di bentuk sesuai dengan Perda No.2 Tahun 2008 bisa dilihat pada Tabel 5.1. dari
jumlah ataupun besaran organisasi, Kabupaten Toba Samosir masih mengikuti
pedoman di atas dengan organisasi perangkat daerah yang terdiri dari terdiri dari
Sekretariat Daerah (3 Asisten), 14 (empat belas) dinas, dan 10 (sepuluh) Lembaga
Teknis Daerah.
Sampai sekarang keadaan organisasi perangkat daerah Kabupaten Toba
Samosir sudah mengalami dua kali perubahan dari segi jumlah. Perubahan jumlah
besaran organisasi berdasarkan Pemendagri No.57 Tahun 2007 dapat dilakukan
sesuai dengan perubahan data ketiga variabel yang ada. Perubahan baru bisa
dilakukan setelah organisasi perangkat daerah ditetapkan dan dilaksanakan
sekurang-kurangnya 1 tahun berdasarkan PP No.41 Tahun 2007, perubahan juga
dapat dilakukan berdasarkan analisis beban kerja sesuai dengan analisis jabatan.
Pada tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Toba Samosir menambah dua SKPD baru
yaitu Dinas Pemuda dan Olahraga dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Keadaan ketiga variabel yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007 pada tahun 2009
yang merupakan pertimbangan dalam penetapan pola maksimal organisasi
perangkat daerah yaitu, jumlah penduduk sebesar 175.325 jiwa, luas wilayah
2.021 Km
2
, dan jumlah APBD sebesar Rp 463.273.200.000,-. Dari data tiga
variabel ini pola maksimal keadaannya masih tetap sama dengan perhitungan
sebelumnya yaitu, maksimal 3 asisten, 15 dinas dan 10 LTD. Dengan penambahan
dua SKPD pada tahun 2010 ini jika dilihat secara langsung sepertinya jumlah
LTD sudah melebihi batas pola maksimal yang diperbolehkan berdasarkan
ketentuan nilai yang ada. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan dari
Bagian Organisasi dan Tata Laksana ternyata terdapat pengecualian dalam
pembentukan SKPD kabupaten/kota. Dengan pengecualian ini beberapa SKPD
tidak diikutkan dalam perhitungan besaran organisasi yang diijinkan. SKPD
tersebut yaitu DPKAD (Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah), BKD, RSD,
Satpol PP, dan Inspektorat Daerah.
Pada tahun 2011 kembali dilakukan penambahan SKPD. Penambahan
SKPD yang dilakukan seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya
beberapa merupakan amanah dari Undang-Undang ataupun peraturan pemerintah
tersendiri yang mengharuskan pemerintah daerah untuk melakukan pembentukan.
SKPD yang ditambah tersebut yaitu Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan serta Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan
Penanaman Modal. Dengan penambahan dua LTD ini maka Kabupaten Toba
Samosir telah mengikuti pola maksimal ketentuan yang ada. Artinya Kabupaten
Toba Samosir tidak memungkin lagi untuk membentuk organisasi perangkat
daerah yang baru. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Kepala Asisten III
Administrasi Umum berikut:
contoh pola atau skronya seperti ini, kita sudah maksimal jadi tidak bisa
lagi menambah organisasi baru di Tobasa ini. Kalaupun ada berarti
harus ada peleburan atau penggabungan, itu baru bisa nambah. Itu sudah
ada limitnya, parameter untuk menentukan itukan sudah ada, di PP 41 itu
ada. Tapi kalau kita sudah dibatasi, apa yang ada sekarang sudah
maksimal, gak bisa lagi bertambah.
Substansi lain dari PP No.41 Tahun 2007 adalah mengenai perumpunan
urusan. Perumpunan urusan merupakan implikasi dari ketentuan bahwa
penanganan urusan pemerintahan daerah yang ada tidak harus dibentuk ke dalam
organisasi tersendiri. Dalam beberapa urusan pemerintah daerah dapat melakukan
penggabungan urusan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari:
1. bidang pendidikan, pemuda dan olahraga;
2. bidang kesehatan;
3. bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi;
4. bidang perhubungan, komunikasi dan informatika;
5. bidang kependudukan dan catatan sipil;
6. bidang kebudayaan dan pariwisata
7. bidang pekerjaan umum yang meliputi bina marga, pengairan, cipta
karya dan tata ruang;
8. bidang perekonomian meliputi koperasi, usaha mikro, kecil dan
menengah, industri dan perdagangan;
9. bidang pelayanan Pertanahan
10. bidang pertanian meliputi tanaman pangan, peternakan, perikan darat,
kelautan dan perikanan, perkebunan, dan kehutanan;
11. bidang pertambangan dan energi;
12. bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan asset.
Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, dan
rumah sakit terdiri dari:
1. bidang perencanaan pembangunan dan statistik;
2. bidang penelitian dan pengembangan;
3. bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat;
4. bidang lingkungan hidup;
5. bidang ketahanan pangan;
6. bidang penanaman modal;
7. bidang perpustakaan, arsip, dan dokumentasi;
8. bidang pemberdayaan masyarakat, pemerintahan desa
9. bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana;
10. bidang kepegawaian, pendidikan dan pelatihan;
11. bidang pengawasan
12. bidang pelayanan kesehatan.
Dengan adanya perumpunan urusan pemerintahan ini pemerintah daerah
akan lebih mudah untuk menentukan susunan dan jumlah organisasi yang harus
dibentuk. Dalam pelaksanaannya pemerintah daerah tetap harus memperhatikan
bahwa urusan-urusan yang dikembangkan atau dibentuk harus memperhatikan
prinsip-prinsip organisasi, kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki daerah.
Jumlah susunan organisasi perangkat daerah yang dibentuk juga harus
berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Dari seluruh perumpunan
organisasi perangkat daerah yang ada di Kabupaten Toba Samosir, SKPD yang
tidak sesuai dengan ketentuan perumpunan yang ada tersebut hanya satu SKPD
yaitu Badan Pertambangan dan Lingkungan Hidup. Dalam ketentuan ditetapkan
bahwa urusan pertambangan seharusnya diwadahi dalam bentuk dinas, sementara
bidang lingkungan hidup diwadahi dalam bentuk badan. Pertambangan dan
lingkungan hidup juga bukan merupakan bidang urusan yang sebidang. Terkait
masalah ini berikut hasil wawancara dengan Staf Bagian Ortala:
inikan bertentangan kali dengan lingkungan hidup.ini yang harus
dalam bentuk badan, ini yang harus dinas, inilah salah kita. Disinikan
masih Badan Pertambangan padahal di PP 41 dia harus dalam bentuk
dinas. Ini kurang dipelajari,semestinya ini harus dalam bentuk DInas
Pertambangan dan Energ. Padahal di sini yang bentuk badan adalah
lingkungan hidup, seolah-olah lingkungan hidup ini yang urusan apanya
(utamanya).
Bidang-bidang yang ada ini kemudian dikembangkan dalam bentuk instansi
atau SKPD yang berdiri sendiri dengan nama-nama tertentu. Proses penamaan
suatu instansi inilah yang kemudian disebut dengan nomenklatur. Nomenkaltur
dan pengembangan dinas serta LTD ini disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing. Pengaturan tentang nomenklatur ini dalam Permendagri No.57
Tahun 2007 oleh pemerintah daerah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Demikian juga dengan tugas pokok dan fungsi intansi yang sudah dibentuk diatur
dengan Peraturan Bupati. Dari hasil wawancara dengan Kasubbag Keuangan dan
Kepegawaian Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil telah mengalami tiga kali
pergantian nama. Tahun 1999 namanya adalah Kantor Catatan Sipil/Pegawai Luar
Biasa. Dikatakan sebagai pegawai luar biasa karena pada saat itu Kantor Catatan
Sipil berada di bawah Bagian Tata Pemerintahan Umum Setdakab Toba Samosir,
dengan Kata lain kepala kantor ini adalah Kepala Bagian Tata Pemerintahan
Umum (eselon III). Pada Tahun 2004 menjadi Kantor Catatan Sipil tanpa status
pegawai luar biasa, artinya instansi ini sudah memiliki kepala kantor sendiri.
Kemudian pada tahun 2008 melalui Perda No.2 Tahun 2008 berganti nama lagi
menjadi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Berdasarkan wawancaran
dengan Staf Bagian Ortala bahwa Dinas Kependudukan ini akan berganti nama
lagi, berikut kutipan wawancaranya:
jadi kemarin itu harus diubah dari pusat, kependudukan dan pencatatan
sipil, sedikit sekali memang. Karena catatan-kan itu hasilnya, pencatatan
itu proses, jadi kependudukan dan pencatatan sipil, persisnya di situ.
Pokoknnya sekarang sudah pencatatan sipil, tapi kita belum apakan
(sampaikan) itu kesana.
Nomenkaltur atau penamaan SKPD ini merupakan suatu hal yang sangat penting.
Perubahan nama harus diikuti dengan perubahan jumlah dan jenis, susunan
organisasi, serta tugas dan fungsi sebuah organisasi perangkat daerah.
Secara internal juga telah ditentukan pembatasan jumlah susunan organisasi
perngkat daerah seperti yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007. Untuk Sekretariat
Daerah maksimal 4 (empat) asisten dan untuk kabupaten/kota dengan klasifikasi
minimal dan sedang maksimal asisten 3 (tiga). Dinas dan LTD terdiri dari paling
banyak 4 bidang. Susunan pada dinas dan LTD sedikit mengalami perbedaan
dengan ketentuan dalam peraturan sebelumnya, PP No.8 Tahun 2003 dimana
dinas maksimal terdiri dari 4 bidang sedangkan LPTD terdiri dari paling banyak 3
bidang.
Eselonisasi atau penetapan struktur eselon di Kabupaten Toba Samosir
sudah sesuai dengan ketentuan PP No.41 Tahun 2007. Eselon menurut Staf
Bagian Ortala Setda Kabupaten Toba Samosir merupakan system pemangkatan
atau peringkat jabatan. Penetapan struktur eselon pada PP No.41 Tahun 2007
sedikit mengalami perubahan dari peraturan sebelumnya, dimana eselon kepala
bidang pada dinas dan badan perangkat daereah kabupaten/kota diturunkan dari
yang semula eselon IIIa menjadi IIIb. Penurunan ini dimaksudkan dalam rangka:
pola pembinaan karir
efisiensi
penerapan koordinasi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian.
Berikut ini adalah perkembangan jumlah struktur eselon di Kabupaten Toba
Samosir.
Tabel 5.3
Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan
golongan dan eselon tahun 2011-2013
Golongan/Ruang
Eselon
(2011) (2012) (2013)
II III IV II III IV II III IV
Golongan IV/e
Golongan IV/d
Golongan IV/c 8 8 12
Golongan IV/b 17 27 21 29 15 27
Golongan IV/a 7 50 6 5 67 8 7 69 9
JUMLAH Gol. IV 32 77 6 34 96 8 34 96 9
Golongan III/d 51 89 51 89 48 86
Golongan III/c 23 141 10 175 12 194
Golongan III/b 101 81 109
Golongan III/a 55 43 32
JUMLAH Gol. III 74 386 61 388 60 421
TOTAL 32 151 392 34 157 396 34 156 430
Sumber: Diolah dari Data BKD Toba Samosir















Tabel 5.4
Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan
SKPD yang menjadi unit analisis penelitian pada tahun 2013
Sekretariat Daerah Kabupaten Toba Samosir
Eselon
Jabatan Struktural
Yang Ada
Jabatan Struktural
Yang Telah Diisi
Jabatan Struktural
Yang Lowong
Eselon IIa 1 1 -
Eselon IIb 8 8 -
Eselon IIIa 8 6 2
Eselon IIIb - - -
Eselon IVa 24 19 5
Eselon IVb - - -
Jumlah 41 34 7
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Eselon IIa - - -
Eselon IIb 1 1 -
Eselon IIIa 1 1 -
Eselon IIIb 3 3 -
Eselon IVa 9 9 -
Eselon IVb - - -
Jumlah 14 14 -
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
Eselon IIa - - -
Eselon IIb 1 1 -
Eselon IIIa 1 1 -
Eselon IIIb 4 4 -
Eselon IVa 11 10 1
Eselon IVb - - -
Jumlah 41 34 1
Kantor Ketahanan Pangan
Eselon IIa - - -
Eselon IIb - - -
Eselon IIIa 1 1 -
Eselon IIIb - - -
Eselon IVa 4 4 -
Eselon IVb - - -
Jumlah 5 5 -
Kecamatan Sigumpar
Eselon IIa - - -
Eselon IIb - - -
Eselon IIIa 1 1 -
Eselon IIIb 1 1 -
Eselon IVa 4 3 1
Eselon IVb 6 6 -
Jumlah 12 11 1
Sumber: Diolah dari Data BKD Toba Samosir

J ika dilihat dari tabel 5.4 masih terdapat jabatan-jabatan struktural
pemerintahan yang masih kosong. Keadaan ini sangat ditentukan oleh kebijakan
kepala daerah. Masalah jabatan dan kepangkatan lebih lanjut diatur dalam PP
No.100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
Dalam Jabatan Struktural. Keadaan ini diakibatkan oleh tidak maksimalnya fungsi
dari Baperjakat dan seperti yang disampaikan oleh informan bahwa masalah
jabatan sangat berkaitan dengan kepentingan politik sehingga sampai saat ini
belum ada pelantikan untuk jabatan-jabatan yang kosong tersebut.
Penetapan struktur eselon untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah
berbeda dengan Badan lain yang ada di organisasi perangkat daerah. Menurut UU
No.24 Tahun 2007 jenjang eselon kepala BPBD provinsi maupun kabupaten
dibuat lebih tinggi disbanding dengan kepala dinas ataupun SKPD lain. Pada
level provinsi, jenjang eselon seorang kepala BPBD adalah setingkat dengan
jenang seorang sekda provinsi, yaitu Ib. Sedangkan pada level kabupaten jenjang
eselon kepala BPBD adalah setingkat dengan sekda kabupaten, yaitu IIa.
Pemberian jenjang eselon ini dimaksudkan agar kepala BPBD dapat
mengkoordinasi kepala dinas yang lain yang memiliki jenjang eselon setingkat
lebih rendah. Dalam praktiknya pemberian eselon seorang kepala BPBD provinsi
dan kabupaten setingkat dengan sekda (provinsi dan kabupaten) tersebut
menimbulkan masalah karena dalam peraturan kepegawaian dan organisasi di
daerah jenjang tertinggi hanya dimiliki oleh seorang sekda (sebagai pemegang
jabatan karier tertinggi di daerah). Oleh karena itu ketika ada dua orang yang
memiliki jenjang eselon tertinggi di daerah hal ini kemudian dapat menimbulkan
masalah. Untuk mengatasi hal ini akhirnya posisi kepala BPBD dijabat secara ex-
officio oleh sekda (Purwanto, 2012:145). Dalam Perda Kabupaten Toba Samosir
No.5 Tahun 2010 pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa Kepala BPBD Kabupaten
adalah Pegawai Negeri Sipil yang secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah
Kabupaten dan yang diangkat dan diberhentikan oleh sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
5.4.2 Analisis Variabel Struktur Birokrasi
Tujuan suatu kebijakan seringkali kompleks, luas dan implementasinya
melibatkan lintas sektoral. Dengan karakter yang demikian maka proses
implementasi kebijakan pasti melibatkan banyak aktor, organisasi dan bahkan
level pemerintahan yang berbeda-beda. Hal tersebut membawa implikasi adanya
fungsi yang beragam, rentang kendali yang luas, serta aliran kerja yang kompleks.
Agar semua unsur dapat berjalan dengan baik, yang pada gilirannya mendorong
keberhasilan organisasi maka diperlukan wadah kerjasama. Wadah kerjasama dari
berbagai unsur organisasi dalam rangka mencapai tujuan implementasi kebijakan
adalah struktur organisasi ataupun struktur birokrasi.
Menurut Ripley dan Frangklin, berdasarkan pengamatan yang dilakukan
terhadap birokrasi di Amerika Serikat mengidentifikasi enam karakteristik
birokrasi, yakni: Pertama, birokrasi di manapun berada, dipilih sebagai instrument
social yang ditujukan untuk masalah-malasalah yang didefenisikan sebagai urusan
publik. Kedua, birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam pelaksanaan
program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing-
masing tahap. Ketiga, birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.
Keempat, fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks.
Kelima, birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu
dipertanyakan lagi. Keenam, birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral
dalam pilihan-pilihan mereka, tidak secara penuh dikontrol oleh kekuatan-
kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Sementara menurut Edwards, ada dua
karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran
dasar atau sering disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP) dan
fragmentasi. SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang
terbatas dan sumber-sumber dari pelaksana serta keinginan untuk keseragaman
dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Yang
kedua berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti
komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat
eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi-
organisasi birokrasi pemerintah. Dengan merujuk pada peran yang dijalankan
birokrasi dalam proses implementasi, maka struktur birokrasi merupakan faktor
fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan (Winarno, 2004:150).
Bentuk struktur organisasi dipengaruhi oleh adanya tujuan sebuah kebijakan
atau program yang diimplementasikan. Selain tujuan, kompleksitas kebijakan juga
akan mempengaruhi struktur organisasi implementer. Berdasarkan kompleksitas
tersebut dikenal ada dua jenis struktur organisasi. Struktur yang pertama disebut
sebagai complex structure sementara yang kedua disebut sebagai simple structure.
Dalam implementasi yang menggunakan simple structure biasanya implementasi
dilakukan oleh organisasi tunggal (single agency), dimana hanya ada satu
organisasi yang terlibat dalam implementasi. Untuk kebijakan yang menggunakan
complex structure, implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan single agency
tetapi multiple agencies, dimana banyak organisasi, misalnya departemen dinas,
atau lembaga yang terlibat dalam implementasi. Implikasi dari kedua bentuk
struktur ini akan mempengaruhi komunikasi, koordinasi, komando dan
pengawasan. Semakin kompleks struktur, maka akan lebih sulit dilakukan
komunikasi, koordinasi, komando dan pengawasan dalam implementasi kebijakan
publik.
PP No.41 Tahun 2007 termasuk kebijakan yang dalam implementasinya
melibatkan banyak lembaga. Lembaga banyak terlibat karena memang substansi
dari PP No.41 Tahun 2007 ini adalah tentang susunan dan tata kerja organisasi
perangkat daerah. Dari sekian banyak aktor yang terlibat organisasi utama yang
bertanggung jawab dan dominan dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 ini
adalah Sekretariat Daerah Kabupaten melalui Bagian Organisasi dan Tata Laksana.
Bagian Organisasi mempunyai tugas pokok membantu Asisten Administrasi
Umum untuk melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan pemerintah daerah di
bidang organisasi dan tata laksana dan fasilitasi pelaksanaan penyusunan
kelembagaan, tata naskah dinas dan analisa jabatan.
Proses dalam reformasi di daerah, dalam penelitian ini menyangkut
implementasi PP No.41 Tahun 2007 sangatlah panjang dan melibatkan banyak
aktor. Pemerintah pusat membuat Peraturan Pemerintah tentang pedoman dalam
penataan organisasi perangkat daerah, kemudian daerah diinstruksikan untuk
melaksanakan dengan menetapkan Perda tentang organisasi perangkat daerah, dari
Perda tersebut diteruskan dalam Peraturan Bupati untuk mengatur tugas pokok
dan fungsi serta tata kerja organisasi perangkat daerah. Berikut ini adalah
gambaran dari proses panjang dan kompleks dalam reformasi di daerah termasuk
dalam pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007.
Gambar 5.1
Alur proses dalam implementasi PP No.41Tahun 2007







Sumber: (Dwiyanto, 2010:160)
Struktur organisasi untuk implementasi PP No.41 Tahun 2007 seperti yang
terlihat dalam Gambar 5.1 di atas merupakan struktur organisasi yang
menggunakan multi organisasi. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian
seelumnya yaitu proses penetapan Perda tentang organisasi perangkat derah,
dimana pemerintah pusat menginstruksikan pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan PP No.41 ini, kemudian daerah menyikapi instruksi
tersebut dengan melakukan koordinasi di antarastakeholders terkait, sampai pada
akhirnya Perda kembali disampaiakan ke pemerintah pusat untuk mendapat
persetujuan. Dengan kondisi seperti ini harus ada satu organisasi yang diberi
kewenangan yang lebih besar untuk menjadi koordinator (lead agency). Tugasnya
adalah melakukan koordinasi (integrasi) atas output yang dihasilkan oleh berbagai
organisasi yang terlibat. Keberadaan lead agency ini akan mengatasi masalah
yang timbul akibat fragmentasi atau pemecahan unit-unit yang terlibat dalam
impelemtasi kebijakan. Untuk PP No.41 Tahun 2007 ini organisasi yang menjadi
lead agency adalah Sekretariat Daerah dengan tingkat eselon tertinggi di
organisasi perangkat daerah sehingga dapat mengkoordinasi untuk kepentingan
pelaksanaan penataan kelembagaan. Tetapi hasil akhir dari susunan organisasi
perangkat daerah tetap berada di tangan kepala daerah, dalam penelitian ini yaitu
bupati sebagai pemegang otoritas dan penentu kebijakan di daerah.
Standart Operating Procedure (SOP) atau prosedur-prosedur operasi
standar yang wujud nyatanya dalam bentuk peraturan pelaksanaan (petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis) masih sangat minim. SOP yang biasanya
minimal mengatur tentang input kebijakan (dana, material, tenaga kerja dan
lainnya), penentuan kelompok sasaran (kriteria, mekanisme pendataan, verifikasi,
dan lain-lain), distribusi keluaran (menyangkut ketepatan waktu, jumlah dan
kualitas), serta tata kelola hubungan antar pihak-pihak yang terlibat dalam
implementasi kebanyakan masih tersirat. Peraturan yang ada hanya petunjuk
teknis yang berasal dari pemerintah pusat yang tertuang dalam Pemendagri No.57
Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Panataan Organisasi Perangkat Daerah.
SOP dalam pelaksanaan tugas unit-unit organisasi dalam memberikan pelayanan
publik juga demikian, masih sangat terbatas. Kondisi ini menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan implementasi PP No.41 Tahun 2007 masih belum optimal.
5.4.3 Analisis Variabel Koordinasi dan Komunikasi
Variabel-varaibel yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan tidak
serta-merta berpengaruh secara langsung. Variabel yang satu mempengaruhi
variabel yang lain lalu kemudian berdampak pada kinerja implementasi kebijakan.
Oleh karena itu variabel-variabel tersebut merupakan kesatuan yang saling
berpengaruh. Misalnya, struktur birokrasi yang kompleks akan berpengaruh pada
komunikasi dan koordinasi, baik-buruknya komunikasi dan koordinasi secara
langsung akan berpengaruh pada kinerja implementasi kebijakan.
Dalam bagian ini variabel implementasi yang mempengaruhi kinerja
implementasi PP No.41 Tahun 2007, yang akan dibahas adalah mengenai
komunikasi dan koordinasi. Komunikasi dalam sebuah kebijakan terkait dengan
penyampaian informasi ataupun peraturan-peraturan kepada semua stakeholders
agar kebijakan bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik. Secara umum
menurut Edwards terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam
komunikasi yakni, transmisi, konsistensi dan kejelasan. Tiga aspek komunikasi ini
selanjutnya akan dilihat dari sosialisasi peraturan yang ada serta pemahaman
pegawai atas PP No.41 Tahun 2007. Sementara sisi koordinasi sebagai implikasi
dari organisasi implementasi yang tidak tunggal akan ditinjau dari pola hubungan
kerja yang ada di antara aktor-aktor yang terlibat. Implementasi yang efektif
sangat membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur prosedur lembaga
yang terkoordinasi. Konsistensi dan ketepatan koordinasi menjadi sisi selanjutnya
yang akan dibahas dalam bagian ini setelah aspek komunikasi.
Pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir sejak
diperdakan pada tahun 2008 sampai dengan sekarang sudah kurang lebih enam
tahun. Secara umum pegawai di lingkungan Kabupaten Toba Samosir mengetahui
tentang peraturan ini, tetapi pemahaman tersebut hanya sebatas tujuan umum dari
kebijakan ini yaitu, untuk penataan organisasi perangkat daerah. Secara garis
besar dapat disimpulkan bahwa pemahaman pegawai akan kebijakan ini sangat
minim.
Petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan peraturan ini untuk tingkat
kebupaten sampai saat ini belum disusun. Peraturan lain yang perlu untuk
implementasi PP No.41 Tahun 2007 yaitu, perda kewenangan berdasarkan PP
No.38 Tahun 2007 belum ada. Akibatnya adalah ketidakjelasan atas prosedur
yang seharusnya dan timbulnya masalah disharmonis seperti tumpang tindih
kewenangan di antara SKPD yang ada.
Masalah kekurangpahaman atas kebijakan ini juga merupakan dampak dari
masalah sosialisasi. Beberapa pegawai mengatakan bahwa peraturan ini pernah
disosilisasikan dan sebagian pegawai mengatakan peraturan ini tidak pernah
disosialisasikan. Perbedaan jawaban ini menurut peneliti diakibatkan oleh masalah
waktu, perpindahan pegawai, juga minimnya ketersedian peraturan terkait.
Berdasarkan pendapat dari beberapa pegawai mengatakan bahwa sosialisasi
peraturan ini dilakukan pada unit tertentu saja dalam sebuah SKPD, bentuk
sosialisasi dilakukan hanya dengan memberikan salinan Perda tentang organisasi
perangkat daerah serta Peraturan Bupati tentang tugas pokok dan fungsi organisasi
perangkat daerah.
Pola organisasi yang ada dalam sebuah organisasi perangkat daerah
kemudian menentukan arah garis komando, garis koordinasi (hubungan
mekanisme kerja) serta garis tanggung jawab dalam hubungan antar instansi.
Koordinasi dalam penjelasan PP No.41 Tahun 2007 adalah peran serta para
pemangku kepentingan dalam menata organisasi perangkat daerah sesuai dengan
lingkup kewenangannya, baik lintas sektor maupun antar strata pemerintahan.
Berikut ini adalah gambar dari pola organisasi yang terdaat dalam tingkat
kabupaten/kota.














Gambar 5.2
Pola organisasi kabupaten/kota

Sumber: Bagian Ortala Setdakab Toba Samosir
Fokus utama mengenai penataan kelambagaan dari pola organisasi tersebut
terletak pada Sekretariat Daerah. Sekretariat Daerah sebagai unsur staf pada
hakekatnya menyelenggarakan fungsi koordinasi perumusan kebijakan, koordinasi
pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pelaporan serta pelayanan
administratif. Selain itu Sekretariat Daerah juga melaksanakan fungsi hukum dan
perundang-undangan, organisasi dan tata laksana, hubungan masyarakat, protokol
serta fungsi pemerintahan umum lainnya yang tidak tercakup dalam tugas dinas
dan lembaga teknis, misalnya penanganan urusan kerjasama, perbatasan dan lain-
lain. Dalam melaksanakan tugas kesekretariatan yang sangat luas seperti
dijelaskan seorang Sekda dalam melakukan tugasnya dibantu oleh tiga asisten,
dengan pola koordinasi yang disebut dengan pola koordinasi asisten. Hal ini
seperti disampaiakan oleh staf Bagian Ortala berikut ini:
Sekda itu adalah koordinasi keseluruhan, jadi semua jabatan itu
dipimpin oleh bupati melalui sekretaris daerah. Jadi semua SKPD akan
berkoordinasi dengan Sekda melalui 3 asisten. 3 asisten ini membawahi,
ada itu pola koordinasi asisten, Asisten I membawahi dinas mana aja?
Asisten II membawahi dinasi mana aja, asisten III juga.
Bentuk koordinasi ini akan terlihat ketika beberapa instansi memiliki bidang
yang tugas yang sama dan ketika beberapa instansi bekerja sama dalam
pelaksanaan sebuah program. Bidang tugas yang memiliki kesamaan misalnya
adalah Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan, Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan serta Kantor Ketahanan Pangan, sama-sama
mengurusi masalah pertanian. Berdasarkan wawancara dengan Kasubbag Tata
Usaha Kantor Ketahanan Pangan ketiga lembaga ini merupakan instansi yang
mempunyai bidang urusan yang sama dan selalu terlibat bersama dalam
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tetapi tidak ada tumpang tindih wewenang
yang terjadi. Hal ini bisa terjadi karena di antara ketiganya terdapat pembagian
tugas yang jelas yakni, Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan mengurus
masalah produksi, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan mmelakukan fungsi penyuluhan dan Kantor Ketahanan Pangan
mengurusi tugas yang disebut dengan pemenuhan menu B2SA (menu Beragam,
Bergizi, Seimbang dan Aman). Hal senada juga disampaikan oleh informan dari
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa bahwa dalam
pelaksanaan program PNPM Mandiri Pedesaan dalam hal pembangunan
infrastruktur mereka melakukan koordinasi pada saat Musrenbang dengan PU dan
Tarukim agar tugas yang menjadi bagian masing-masing jelas.
Dalam hubungan dengan pertanggungjawaban dan pengawasan Sekretariat
Daerah mengembangkan sistem waskat (pengawasan melekat). Pelaksanaan
waskat ini juga merupakan tuntutan dari penerapan prinsip good governance
untuk menciptakakan tata kepemerintahan yang baik dan bersih. Pelaksanaan
waskat berdasarkan penjelasan dari Asisten III Administrasi Umum adalah
sebagai berikut:
kita mengawasi satu tingkat di bawah kita. Nah kalau kita mengadakan
satu tingkat ke bawah secara struktural yaitu, Sekda ke asisten-kabag-
kasubbag-staf. Seperti itulah teorinya, tapi prakteknya belum tentu bisa
dilaksanakan. Sebenarnya semua pemerintahan itu mencoba
melaksanakan good governance, tapi memang susah.

5.4.4 Analisis Variabel Sumber Daya
Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, bagaimana implementasi bisa
dilakukan jika sumber daya yang diperlukan kurang atau tidak tersedia? Oleh
karena itu kinerja sebuah kebijakan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan
varibel sumber daya. Van Meter daan Van Horn menyebutkan bahwa sumber
daya yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang
mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Sementara George
Edward III menyebutkan sumber daya yang penting dalam implementasi meliputi:
staf yang memadai keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas
mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan untuk implementasi
kebijakan publik.
Untuk implementasi PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir ini
peneliti akan mengelompokkan variabel sumber daya ini ke dalam tiga bagian
yaitu, personil atau staf, informasi dan fasilitas (sarana dan prasarana) dan yang
terakhir adalah keadaan pembiayaan. Keadaan personil atau staf mencakup jumlah,
kompetensi yang dimiliki oleh aparatur serta motivasi ataupun komitmen yang
dimiliki oleh aparatur. Informasi akan dilihat dari ketersediaan peraturan-
peraturan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kebijakan dan ketersedian
fasilitas fisik. Kondisi pembiayaan merupakan kemampuan pendanaan yang
dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dalam menjalankan kebijakan
ini.
Sumber daya manusia dari segi jumlah dalam implementasi kebijakan
ditentukan oleh kompleksitas dari sebuah kebijakan. Dalam PP No.41 Tahun 2007
aspek sumber daya manusia mencakup seluruh aparatur yang ada dalam SKPD
yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Tobasa. Jumlah Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan data dari BKD pada
tahun 2013 berjumlah 4721 pegawai. Asisten III Administrasi Umum
menyebutkan bahwa komposisi belanja pegawai dalam APBD paling sedikit 60%.
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris BKD bahwa biaya belanja pegawai
dalam APBD sekitar 67%. Dari besarnya komposisi belanja pegawai ini terlihat
bahwa kondisi pegawai dari segi jumlah sudah sangat besar. Dari sisi rekrutmen
PNS, dengan tidak adanya penerimaan PNS untuk umum pada tahun ini di
Kabupaten Toba Samosir juga menunjukkan bahwa memang jumlah pegawai
cukup memadai. Jumlah yang besar ini disikapi berbeda oleh staf Organisasi dan
Tata Laksana yang menyebutkan:
saya bingung entah dimana pegawainya? Kita selalu bilang berlebih-
lebih, tapi kamu lihat sendiri staf di sini berapa orang? Di sana berapa
orang?...di Bagian Hukum stafnya cuma satu orangjadi kita katakan
berlebih tapi tidak tau kita dimana berlebih?....Jadi kalau saya katakan,
pembagian staf itu kurang optimal karena disatu sisi ada SKPD yang
berjibun atau berlebih dan ada juga yang kekurangan.Coba kamu
bayangkan ketika belanja pegawai sudah di atas 60% sampai 70%,
berarti pegawai itu banyak, tapi banyak itu dimana? Berarti tidak optimal
penempatan posisi.
Pernyataan mengenai ketidakoptimalan penempatan pegawai ini juga dapat
dilihat dari pernyataan yang berbeda yang disampaikan oleh Kasubbag Tata
Usaha Kantor Ketahanan Pangan yang menyampaikan bahwa:
untuk kuantitas dan kualitas dengan jumlah 13 pegawai yang terdiri dari
9 S1, 1 D3, dan 3 SMA sederajat sudah memadai untuk ukuran kantor.
Sementara di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
berdasarkan kutipan wawancara dengan Kasubbag Keuangan dan Kepegawaian di
Badan Pemmas dan PMD masih terdapat jabatan kosong yaitu, Kasubbag Umum
dan Perlengkapan (eselon IV) dan tingginya intensitas pertemuan dengan
masyarakat dalam melakukan pelayanan publik, jumlah pegawai yang ada masih
dirasa kurang.
Permasalahan mengenai keadaan aparatur tidak hanya pada penempatan
ataupun pembagian staf tetapi juga dari sisi kompetensi ataupun kualitas yang
dimiliki oleh pegawai. Keadaan pegawai dari segi kualitas di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Toba Samosir juga masih belum cukup memadai. ini bisa
dilihat dari keadaan pendidikan formal dan diklat-diklat dalam rangka
peningkatan profesionalitas dan keterampilan pegawai dalam melaksanakan tugas.
Perkembangan keadaan pendidikan formal yang dimiliki oleh pegawai di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 5.5
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS/CPNS) dan pegawai BUMN/BUMD
Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan tingkat pendidikan
Tahun
Tingkat Pendidikan
Total
SD SLTP SLTA Dip S1 S2 S3
2013 22 45 1307 1253 2012 82 0 4721
2012 23 48 1316 1283 2025 83 0 4778
2011 26 61 1585 1409 2021 80 0 5182
2010 13 35 1646 1600 1638 79 3 5014
2009 8 29 1507 1482 1509 41 1 4579
Sumber: Diolah dari Tobasa DalamAngka 2012 dan data BKD

Tabel 5.6
Keadaan pegawai pada instansi yang menjadi unit analisis penelitian pada tahun
2013
Instansi
Tingkat Pendidikan Formal
Jumlah
SD SMP SLTA Dip. S1 S2 S3
Sekretariat Daerah - - 34 9 35 4 - 82
Dis. Kependudukan dan Capil - - 7 9 13 - - 29
Badan Pemmas dan PMD - - 5 2 13 2 - 22
Kantor Ketahanan Pangan - - 3 1 9 - - 13
Kecamatan Sigumpar - 1 11 3 8 - - 23
Sumber: Diolah dari data primer dan data sekunder
Dari data tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan pegawai di Kabupate
Toba Samosir masih didominasi oleh pegawai dengan tingkat pendidikan S1 dan
SMA sederajat. Pegawai dengan tingkat pendidikan S2 dan S3 masih sangat
minim. Untuk itu pemerintah harus lebih memperhatikan tingkat pendidikan
pegawai karena tingkat pendidikan merupakan gambaran secara langsung akan
tingkat kompetensi yang dimiliki oleh pegawai dalam memberikan pelayanan
publik.
Banyak masalah yang mempengaruhi belum maksimalnya kualitas pegawai
di Kabupaten Toba Samosir. Salah satunya adalah banyak pegawai yang
pendidikan formal terakhirnya tidak sesuai dengan tugas mereka. Berdasarkan
kutipan wawancara dengan Staf Bagian Organisasi dan Tatalaksana disampaikan:
bisa saya katakan seperti ini, terkadang ada pegawai keuangan masuk
dari Sarjana Hukum atau SS, kaan tidak optimal! Untuk pegawai
kebanyakan adalah tamatan dari Universitas Tapanuli Utara, yang
notabene di sana, saya tidak ingin komentari mereka masalah kualitas,
tapi jurusan yang ada di sana Cuma SH dan SE.
Masalah lain yang mempengaruhi kualitas pegawai berhubungan dengan
diklat dan pemberian izin belajar ataupun tugas belajar. Berdasarkan wawancara
dengan Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, untuk tugas belajar
persyaratan utama yang harus dipenuhi pegawai di samping persyaratan-
persyaratan umum yang lain adalah adanya dana pihak ketiga, rekomendasi dari
bupati, serta izin dari Bidang Diklat BKD. Dana pihak ketiga dalam Peraturan
Presiden No.12 Tahun 1961 adalah dana yang membiayai tugas belajar yang
berasal dari APBN, APBD, ataupun dana swasta dan tidak bisa biaya sendiri.
Tentu ini menjadi masalah jika anggaran yang ada sangat minim. Hal ini
disampaikan oleh Kepala Bidang Diklat BKD dalam wawancara berikut:
kompetensi masih sangat minim karena untuk mendapatkan diklat sangat
tergantung APBD. Diklat di APBD masih sangat minim/ jadi sekarang
hannya tergantung pendidikan formal. Padahal perkembangan diklat
sangat pesat (Diklat Teknis, Diklat Fungsional, Diklat Kepemimpinan),
semuanya harus biaya APBD.
Rekomendasi bupati untuk mengikuti izin belajar dan tugas belajar menjadi
suatu yang sulit untuk didapatkan oleh pegawai dikarenakan berbagai hal seperti
pertimbangan bupati dalam hal tidak adanya pengganti untuk mengerjakan beban
tugas pegawai yang mengikuti izin belajar ataupun tugas belajar. Letak perbedaan
antara izin belajar dan tugas belajar yaitu, untuk izin belajar pegawai yang akan
melakukan tugas belajar tetap aktif dalam tugas sehari-hari dengan penyesuaian
hari kerja, sementara untuk tugas belajar pegawai benar-benar meninggalkan
tugasnya sebagai pegawai selama mengikuti tugas belajar
Untuk syarat izin belajar ataupun tugas belajar dari Diklat BKD, pegawai
harus melengkapi berbagai berkas/persyaratan yang telah diatur dalam Peraturan
Bupati Toba Samosir No. 23 Tahun 2010. Menurut Kepala Bidang Diklat BKD
telah disepakati dalam Rakor BKN bahwa jarak tempat untuk mengikuti izin
belajar adalah 60 km dari kabupaten tempat pegawai bekerja. Tetapi dalam
pelaksanaanya tetap ada yang lebih dikarenakan ketersediaan tempat untuk
menempuh pendidikan masih kurang di daerah.
Sisi motivasi atau komitmen dari personil dalam memberikan pelayanan
juga perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi ini,
menurut Sekretaris BKD adalah sebagai berikut:
apabila seorang pegawai tidak lagi menerima gaji dikarenakan kredit
ataupun pinjaman di bank, sebenarnya orangnya berkompeten tetapi
karena faktor ini sering pegawai tidak lagi memiliki motivasi yang tinggi
untuk memberikan pelayanan.
Motivasi juga berhubungan dengan isu non job yang sekarang ini banyak
berkembang di lingkungan pemerintahan. Non job menurut Staf Bagian
Organisasi dan Tata Laksana dapat dartikan sebagai keadaan kehilangan jabatan,
dari pejabat yang memiliki jabatan struktural menjadi staf biasa. Berikut ini
adalah hasil wawancara dengan pegawai di BKD:
meskipun sudah pulang diklat seorang pegawai bisa tetap non job.
Eselon II apabila ingin dilantik harus ada persetujuan gubernur,
seharusnya jika ingin di non jobkan harus lewat persetujuan gubernur.
Masalah ini sangat berkaitan dengan posisi kepala daerah, kebijakan kepala
daerah sangat menentukan. Pegawai yang non job jelas dari segi motivasi akan
kehilangan semangat untuk memberikan yang terbaik dalam pelayanan.
Permasalahan lain yang berhubungan dengan personil adalah cepatnya
pergantian pejabat dalam sebuah instansi. Banyak pegawai yang mengalami
mutasi tanpa alasan yang jelas. Perpindahan pegawai berhubungan dengan
keberadaan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan yang merupakan
sebuah tim yang diketuai oleh Sekretaris Daerah, sekretaris dipegang oleh Kepala
BKD dan anggotanya adalah inspektur, Asisten I dan Asisten III. Baperjakat
berfungsi untuk merekomendasikan orang yang akan menduduki jabatan,
perpanjangan, kemudian diajukan kepada pegawai. Mekanismenya dimulai
dengan usulan dari SKPD, Bagian Organisasi melalui Sub Bagian Analisis
Jabatan dan Kepegawaian melakukan analisa terhadap posisi atau jabatan tersebut,
kemudian Baperjakat membahas dan menetapkan criteria dan hasilnya
disampaikan kepada bupati. Keputusan tetap berada di tangan bupati sebagai
pemilik otoritas. Beberapa pertimbangan dalam perpindahan pegawai menurut
Kepala Bidang Promosi dan Pengembangan Karir diantaranya adanya SKPD yang
membutuhkan pegawai, dilakukan untuk tujuan menambah pengalaman kerja
ataupun penyegaran, dilakukan minimal 2 tahun sesuai dengan peraturan
pemerintah. Perpindahan atau mutasi bagi pegawai meurpakan hal yang biasa dan
bermanfaat jika jika dilakukan sesuai dengan analisa jabatan dan beban kerja yang
objektif. Tetapi akan sangat berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai jika
dilakukan dengan tiba-tiba tanpa alas an yang tepat dan cenderung merugikan
pegawai terkait. Berikut hasil wawancara peneliti terkait hal ini:
itu adalah fenomena yang luar biasa, kenapa bisa terjadi begitu? Kita
tidak bisakatakan itu masalah dengan orangnya, tapi itu ada pada yang
memimpin. Artinya ini adalah masalah analisa jabatab dan beban kerja
yang tidak pasti. Jadi seandainya dianalisa dengan baik, kita sudah tahu
siapa yang cocok diposisi ini. Yang dianalisa adalah jabatannya, jadi
yang cocok untuk posisi ini adalah yang cocok dan berkompeten, dia
lulusan dari ini, pengetahuannya begini, dia sudah punya sejarah atau
pengalaman karir seperti ini, ini yang cocok untuk poisisi ini, kita lihat
siapa yang tersedia.
Fenomena like or dislike yang sudah menjadi rahasia umum dalam
birokrasi di Indonesia masih terjadi dalam perjalanan pemerintahan sekarang ini.
Pola hubungan yang terjadi lebih bersifat personal, dimana faktor kedekatan dan
loyalitas pribadi lebih mengedepan daripada aturan legal-formal. Oleh karena
yang terjadi lalu muncul hubungan yang bersifat personal, berdasrkan pertemanan,
dan like or dislike dalam promosi jabatan (Romli, 2007:81). Pernyataan yang
dikutip oleh peneliti tersebut terlihat dari kutipan wawancara berikut:
yang terjadi adalah like or dislike, apalagi dengan adanya tim pemenang
pemilu, atau adanya hubungan keluarga apalagi di daerah kita yang
Batak, hubungan marga itu masih sangat kuat kaitannya.
Anggaran dan pembiayaan dalam pemnentukan organisasi sepenuhnya
ditampung dari APBD. Berikut hasil wawancara dengan Asisten III Administrasi
Umum mengenai hal ini:
jadi barang tentu jika suatu organisasi itu dibentuk dana besar pasti
diserap. Contohnya paling simpel, untuk tunjangan jabatannya pasti ada,
untuk personil yang duduk disitu. Kalau kantor misalnya, kepala kantor,
sekretarisnya, kepala seksinya, berapa biaya operasionalnya dan itu biaya
yang sangat besar.
Total APBD Kabupaten Tobasa pada tahun 2012 adalah sebesar 658,50
milyar rupiah. Komposisi dari APBD tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.7
Realisasi penerimaan daerah Kabupaten Toba Samosir tahun 2012
J enis Penerimaan 2012
SILPA 2 416 802 823,36
Pajak Daerah 3 540 439 597,86
Retribusi Daerah 7 006 386 300
Hasil Perusahaan Milik daerah
dan Hasil
Pengelolaan Kekayaan
2 640 029 243
Lain-lain PAD yang sah 3 355 827 034
Bagi hasil pajak/bukan pajak 23 524 948 569
DAU 387 623 169 000
DAK 52 119 770 000
Lain-lain pendapatan daerah
yang sah
176 271 243 704
J umlah 658 498 616 271,22 (2012)
486 701 286 000 (2011)
462 914 653 000 (2010)
463 273 200 000 (2009)
380 919 696 000 (2008)
335 539 934 000 (2007)
Sumber: Diolah dari Tobasa DalamAngka 2007-2013



Tabel 5.8
Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir
tahun 2012
Jenis Pengeluaran 2012
1. Belanja Tidak Langsung 350 987 744 222
1.1 Belanja Pegawai 329 314 043 004
1.2 Belanja Hibah 4 871 884 000
1.3 Belanja Bantuan Sosial 1 744 500 000
1.4 Belanja Bantuan Keuangan 13 857 972 130
1.5 Belanja Tidak terduga 1 199 344 800
2. Belanja Langsung 268 909 259 931
2.1 Belanja Pegawai 16 215 656 979
2.2 Belanja Barang dan Jasa 98 712 735 836
2.3 Belanja Modal 153 980 867 116
Jumlah : 619 897 003 865
Sumber: Tobasa DalamAngka 2013


Tabel 5.9
Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir
tahun 2012 menurut bidang
Jenis Pengeluaran Realisasi
1. Bidang Administrasi Umum Pemerintahan 105 200 336 091
2. Bidang Pertanian, Perikanan dan Peternakan 39 850 818 257
3. Bidang Kehutanan dan Perkebunan 2 685 910 088
4. Bidang Perkoperasian, Perindustrian & Perdagangan 3 327 068 167
5. Bidang Ketenagakerjaan dan Transmigrasi 765 538 781
6. Bidang Kesehatan 67 051 682 661
7. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan 261 543 437 762
8. Bidang Sosial 1 320 562 794
9. Bidang Pekerjaan Umum, Pemukiman dan Penataan 76 849 614 633
10. Bidang Perhubungan 12 062 103 448
11. Bidang Lingkungan Hidup dan Pertambangan 1 485 141 840
12. Bidang Kependudukan 3 696 663 063
13. Bidang Kepariwisataan 6 840 134 953
Jumlah : 582 679 012 536
Sumber: Tobasa DalamAngka 2013

Dari komposisi tersebut dilihat bahwa keseimbangan masih didominasi
belanja pegawai. Dari sisi penerimaan kontribusi PAD masih sangat minim jika
dibandingkan dengan penerimaan yang berasal dari dana perimbangan. Dari segi
pembiayaan dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 tidak terdapat masalah
yang signifikan berpengaruh. Letak masalah dalam pembiayaan adalah besarnya
alokasi untuk belanja aparatur mengakibatkan belum optimalnya pembangunan
dan pelayanan masyarakat yang harus dibiaya dari belanja pembangunan. Dair
segi ketersediaan informasi tentang PP No.41 Tahun 2007 ini masih sangat minim.
Hal ini terlihat dari pemahaman yang minim akan peraturan ini.
5.5 Restrukturisasi Organisasi
Restrukturisasi Organisasi seperti yang sudah dijelaskan dalam defenisi
konsep merupakan konsep perubahan struktur dan fungsi atau penataan dan
pembenahan organisasi pada sebuah organisasi dalam rangka efisiensi dan
efektivitas melalui pengurangan ukuran ataupun besaran organisasi agar lebih
sehat serta selaras dengan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi serta responsif
terhadap lingkungan strategis dan dinamika masyarakat. Aspek restrukturisasi
organisasi atau perubahan organisasi dalam penelitian ini akan dilihat dari
beberapa indikator. Pertama, Visi dan tujuan pemerintahan daerah. Visi dan
tujuan pemerintah daerah yang dimaksud sesuai dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJ MD) Kabupaten Toba Samosir. Kedua,
Kepemimpinan, dimana sisi kepemimpinan merupakan aspek yang sangat penting
dalam restrukturisasi organisasi karena pemimpin merupakan pemandu dan
pembaharu dalam mewujudkan visi melalui perubahan organisasi. Ketiga,
Transformasi organisasi, indikator ini akan fokus untuk melihat arah proses
restrukturisasi organisasi yang akan ditempuh dalam organisasi perangkat daerah.
Keempat, indikator yang terakhir ini akan melihat kendala-kendala dan hambatan
dalam melakukan perubahan organisasi.
Visi dan misi merupakan kesatuan tujuan yang dirumuskan oleh seorang
pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab atas
pencapaian tujuan ataupun visi dan misi sebuah organisasi. Oleh karena itu
seorang pemimpin harus mampu untuk mengarahkan bawahan atau pegawai untuk
memahami dengan jelas visi dan tujuan sebuah organisasi. Setelah pegawai paham
akan visi dan tujuan organisasi, langkah selanjutnya yang harus dilakukan
pemimpin adalah merancang struktur organisasi yang selaras dengan visi dan
tujuan.
Struktur organisasi sebagai sarana pencapaian tujuan dalam sebuah
organisasi perangkat daerah sesuai dengan PP No.41 Tahun 2007 harus dinamis
sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang telah di bahas sebelumnya. Oleh
karena itu struktur organisasi harus tanggap dengan perubahan dengan melakukan
penyempurnaan-penyempurnaan dalam tubuh organisasi/birokrasi. Tetapi hal ini
menjadi kendala dalam struktur birokrasi organisasi perangkat daerah Kabupaten
Toba Samosir karena visi pemerintahan yang ada sangat umum dan tidak spesifik.
Kasih, Peduli, dan Bermartabat, visi ini jika dilihat sangat samar dan umum,
pemerintah daerah manapun menginginkan keadaan seperti ini. Suatu visi
haruslah spesifik dan dinyatakan dengan keyakinan. Dalam hal pengembangan
organisasi yang selalu tanggap dengan perubahan lingkungan internal maupun
eksternal, penjabaran dari visi ini tidak ada memuat tentang strategi kelembagaan.
Penataan kelembagaan hanya berpedoman pada program reformasi birokrasi yang
dirancang oleh pemerintah pusat dan PP No.41 Tahun 2007. Tidak heran pegawai
hanya tahu dan sama sekali tidak paham dengan artikulasi citra, nilai, arah dan
tujuan yang terkandung dalam visi pemerintahan tersebut.
Perubahan organisasi dalam masa berjalan kepemimpinan pemerintahan
yang sudah berjalan 3 (tiga) tahun sangat minim. Sangat berbeda dengan
pemerintahan yang ada di ibu kota negara kita yang telah banyak melakukan
terobosan-terobosan demi meningkatkan kinerja birokrasi. Organisasi perangkat
daerah yang ada sekarang tidak jauh berbeda dengan organisasi yang ada
sebelumnya, hanya terdapat penambahan dinas dan LTD sebagai akibat dari
adanya tuntutan undang-undang atau peraturan pemerintah. Seharusnya dengan
otonomi yang dimiliki pemerintah daerah harus melakukan terobosan demi
kemajuan pembangunan. Berikut ini adalah hasil kutipan wawancara dengan
seorang informan mengenai kepemimpinan sekarang ini:
kalau aku memandang, inilah yang dipilih masyarakat. Pemimpin
sekarang adalah hasil dari tingkat pendidikan politik masyarakat Tobasa.
Karena ketika masyarakat menginginkan yang ini, yang didapatkan akan
begini. Tapi saya katakan masih perlu diperbaiki.
Dari wawancara ini kepemimpinan yang ada masih mempunyai banyak
kekurangan, termasuk dalam hubungan antara pimpinan instansi dengan pegawai
di instansi. Berdasarkan pengamatan peneliti hubungan di antara pimpinan dengan
staf masih terdapat konflik-konflik yang tidak terkelola sehingga akan
berpengaruh pada kinerja dan motivasi pegawai.
Arah perubahan atau transformasi organisasi di Kabupaten Toba Samosir
masih banyak kekurangannya. Untuk implementai PP No.41 Tahun 2007 seperti
yang disampaikan oleh informan-informan masih belum maksimal. Oleh karena
itu masih banyak perbaikan dan penyempurnaan yang perlu dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir. Organisasi yang ada sekarang
masih kaya struktur tetapi minim dalam fungsi. Pemerintah Daerah melalui
Bagian Ortala berdasarkan wawancaran dengan Asisten III menyatakan saat
sedang merancang perbaikan-perbaikan yang mengarah ke organisasi miskin
struktur kaya fungsi atau yang sekarang ini lebih dikenal dengan istilah rightsizing.
Perubahan yang akan dilakukan berdasarkan hasil wawancara contohnya adalah
berikut, mengubah Badan Pertambangan dan Lingkungan Hidup dengan
mengintegrasikan Lingkungan Hidup dengan fungsi lain yang lebih cocok,
menggabungkan Badan Kesbang Polinmas dengan Satpol-PP atau menurunkan
tingkat eselon Badan Kesbang Polinmas ke Kantor karena urusan yang ditangani
oleh Badan Kesbang Polinmas saat ini tinggal hanya mengatur masalah Ormas
saja dengan sudah adanya Dinas Sosial dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, menggabungkan Badan Penyuluh dengan Kantor Ketahanan Pangan
tetapi membentuk lagi satu dinas yaitu Dinas Peternakan dan Perikanan dan lain-
lain.
Melakukan perubahan organisasi bukanlah perkara mudah, karena
perubahan akan selalu menimbulkan resistensi atau penolakan. Resistensi dan
penolakan ini merupakan sesuatu yang wajar misalnya jika sebuah SKPD dihapus
otomatis akan ada pegawai yang akan kehilangan jabatan. Berikut hasil
wawancara peneliti dengan Asisten III Administrasi Umum mengenai hal ini:
sebenarnya itulah hambatan individu kadang-kadang, norma-norma
kurang dipahami dari prosedur dan teknisnya. Terkadang pegawai tidak
siap untuk melaksanakan perubahan organisasi untuk tujuan tadi.
Penyempurnaan organisasi itukan tujuannya membuat organisasi kaya
fungsi miskin struktur, tentu jabatan akan berkurang. Contohnya, seorang
kepala kantor eselon III mempunyai 1 sekretaris, minimal 3 kepala seksi,
maksimal 5, jika berubah menjadi bidang dia hanya akan mempunyai 3
seksi, secara otomatis akan berkurang 3 jabatan, itulah contoh
hambatannya, terkadang mereka tidak terima. Atau untuk tujuan lebih
besar itu tidak kita pedulikan, karena PNS itu bukan untuk jabatan tapi
melayani.
Berdasarkan wawancara dengan seorang informan mengenai hal ini, peneliti
memperoleh informasi bahwa belum pernah ada penolakan yang dilakukan oleh
pegawai terkait yang mengalami kerugian atas perpindahan jabatan dalam
organisasi perangkat daerah. Berikut kutipan wawancara dengan informan
tersebut:
tidak, karena saya tidak tahu apakah PNS-nya yang cuek atau sudah
mengerti etika berpolitik. Artinya, repot kita mengapai itu, yang kita
kerjakan yang jadi bagian kita saja.
Seperti itulah sikap yang ditunjukkan oleh pegawai terkait masalah
perpindahan pegawai. Pergantian kepala daerah selalu diikuti oleh pergantian
kepala SKPD. Pergantian pejabat menjadi sesuatu hal yang wajar bagi PNS, dan
tidak ada protes yang berarti yang dilakukan.



BAB VI
PENUTUP
Pada bagian penutup ini peneliti akan menyampaikan apa yang menjadi
kesimpulan penelitian serta rekomendasi atau saran-saran atas implementasi
kebijakan, sehingga rekomendasi tersebut dapat menjadi solusi atas tindakan-
tindakan implementasi di masa yang akan datang. Kesimpulan merupakan inti
pokok yang ditarik oleh peneliti dari hasil interpretasi dan analisis yang telah
disajikan dalam bab sebelumnya. Bagian kesimpulan dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terdapat dalam perumusan
masalah. bagian kesimpulan juga harus selaras dan sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah disebutkan peneliti pada bagian sebelumnya.
6.1 Kesimpulan
1. Kinerja implementasi PP No.41 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir belum optimal. Tujuan PP
No.41 Tahun 2007 ini adalah memberi pedoman yang jelas dalam menata
organisasi yang efisien, efektif dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah. Berdasarkan temuan penelitian tujuan tersebut
didefenisikan oleh informan sebagai penataan organisasi agar tercipta sebuah
organisasi yang kaya fungsi miskin struktur. Untuk mencapai tujuan ini
Pemerintah Kabupaten Toba Samosir menetapkan Perda No.2 Tahun 2008
yang disusul kemudian dengan empat Perda yang lain, yang semuanya
mengatur tentang organisasi dan tata kerja SKPD yang ada di lingkungan
Pemda Toba Samosir. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No.41
Tahun 2007, seperti yang terjadi pada Badan Lingkungan Hidup dan
Pertambangan. Pada akhirnya organisasi perangkat daerah yang ada semakin
banyak jumlahnya, walaupun pertambahan jumlah tersebut tidak bisa
dikatakan sebagai pembengkakan karena dari ketentuan penetapan jumlah
besaran organisasi yang ada di PP No.41 Tahun 2007, organisasi perangkat
daerah di Kabupaten Toba Samosir masih sesuai dengan batas pola maksimal
organisasi perangkat daerah yang bisa dibentuk. Tetapi jika dilihat dari tujuan
kebijakan, maka pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 tidak mencapai tujuan
tersebut.
2. Variabel-variabel atau faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi
PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir dapat dilihat dari
penjelasan per-variabel berikut ini:
a. Variabel pertama adalah variabel isi kebijakan/ pengaturan
pengoperasionalan. Tujuan kebijakan dan perubahan yang diinginkan
oleh kebijakan ini belum bisa tercapai karena tujuan atau tuntutan yang
diinginkan dari kebijakan ini tidak sesuai dengan substansi-substansi
yang ada dalam kebijakan, yang harus dilaksanakan oleh pemerintah
daerah. Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan ketentuan-
ketentuan yang ada dalam PP No.41 dengan kesiapan pemerintah
daerah yang masih kurang.
b. Variabel kedua adalah struktur birokrasi. SOP yang tertuang dalam
juklak dan juknis di tingkat daerah belum disusun sampai sekarang.
Sementara PP No.41 dalam implementasinya melibatkan banyak aktor
atau lembaga. Ketiadaan prosedur tetap ini membuat struktur organisasi
implementasi tidak jelas, termasuk koordinasi, mekanisme kerja, dan
fungsi masing-masing unit yang terlibat dalam implementasi PP No.41
Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir.
c. Variabel ketiga adalah variabel koordinasi dan komunikasi. Sosialisasi
akan mempengaruhi pemahaman atas kebijakan, dan kedua hal ini
masih terbatas. Agar implementasi dapat berjalan efektif, sosialisasi
harus mendapat perhatian lebih sehingga pemahaman yang jelas akan
menghasilkan komunikasi yang baik dalam implementasi kebijakan.
Sementara itu pola koordinasi yang juga tergantung pada kondisi
komunikasi masih dilakukan dengan pola koordinasi tradisional
berjenjang.
d. Variabel keempat adalah variabel sumber daya. Personil sebagai
sumber daya utama dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 di
Kabupaten Toba Samosir belum ditempatkan dengan benar, sisi
kompetensi bermasalah dalam tingkat pendidikan formal, penempatan
posisi sesuai dengan latar belakang pendidikan, dan diklat. Demikian
juga dengan motivasi yang dimiliki oleh personil yang sering terkendala
karena berbagai faktor. Pembiayaan yang dilihat dari anggaran masih
terbatas dilihat dari komposisi APBD serta sumber APBD yang masih
sangat mengandalkan dana perimbangan. Demikian juga masalahnya
dengan sarana-prasarana dan informasi, masi banyak kekurangan.
6.2 Saran
1. Pemerintah pusat harus merevisi PP No.41 Tahun 2007 ini dengan lebih
menyesuaikan peraturan yang akan dibuat dengan karakteristik daerah.
Pemerintah pusat harus membagi daerah-daerah dengan tipologi-tipologi
sehingga peraturan yang tepat untuk daerah yang tepat bisa terwujud dan tidak
membebani daerah dalam implementasinya. PP No.41 Tahun 2007 ini juga
perlu direvisi agar tidak berbenturan dengan cita-cita dari kebijakan reformasi
birokrasi yang sampai saat ini masih berlangsung yaitu untuk mewujudkan
organisasi yang rightsizing disemua level pemerintahan.
2. Untuk efektivitas implementasi kebijakan penataan kelembagaan Pemerintah
Daerah Kabupaten Toba Samosir sebaiknya menyusun strategi kelembagaan,
agar restrukturisasi organisasi dapat dilakukan dengan terarah dan
berkesinambungan.
3. Pemerintahan Daerah Kabupaten Toba Samosir harus melengkapi peraturan-
peraturan pelaksana untuk kebijakan penataan kelembagaan. Perda
Kewenangan perlu disusun untuk memudahkan pembagian bidang-bidang
yang menjadi urusan sebuah SKPD sehingga masalah tumpang-tindih
kewenangan bisa diatasi. Juklak dan juknis PP No.41 Tahun 2007 juga harus
disusun dan dilakukan sosialisasi karena akan sangat berpengaruh pada
kejelasan tujuan dan pemahaman kebijakan, kejelasan struktur organisasi
implementasi, kejelasan komunikasi, serta kejelasan mekanisme kerja dan
koordinasi. Dan pada akhirnya akan memperbaiki efektivitas implementasi PP
No.41 Tahun 2007 ini.
4. Pemerintah Kabupaten Toba Samosir harus melakukan revisi dan
penyempurnaan terhadap Perda No.2 Tahun 2008 untuk memperbaiki
ketidaksesuaian dengan PP No.41 Tahun 2007 yang ada dalam perda tersebut
dan membentuk organisasi perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan dan
potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Toba Samosir.
5. Pemerintah daerah harus memperbaiki keadaan personil dari semua sisi,
kuantitas, penempatan posisi, kompetensi, dan motivasi pegawai dalam
memberikan pelayanan publik.
6. Pemerintah daerah harus mengembangkan inovasi-inovasi untuk perbaikan
tubuh birokrasi seperti merit system. Dalam pengisian jabatan pemerintah
daerah juga harus mengedepankan fungsi dari birokrasi sebagai pelayan publik
bukan fungsi politik. Pemerintah daerah harus mulai mempertimbangkan
untuk melakukan seperti yang disebutkan oleh Wakil Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Bapak Prof. Eko Prasojo dalam
sebuah diskusi di sebuah stasiun TV swasta berikut ini:
apa yang kami dorong kepada pemerintah daerah juga kepada instansi pusat
pada tahun 2012 agar proses pengisian jabatan di dalam birokrasi dilakukan
secara terbuka dengan mempergunakan assessment center, ini misalnya untuk
menghindari like or dislike, kepentingan politik dan juga untuk meningkatkan
kompetitivenes di dalam birokrasi, supaya orang yang berkompeten,
berkinerja tinggi, bisa diangkat dalam posisi jabatan-jabatan penting.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif (Pemahaman Filosofis
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi). Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University press.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali.
Yogyakarta: Gava Media.
Faisal, Sanapiah. 2007. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Hasibuan, Malayu. 2005. Organisasi dan Menejemen. Jakarta. Bumi Aksara.
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokrasi Pasca
Orde Baru. Jakarta: Pranada Media.
McMillan, J. H., & Schumacher, S. (2001). Research in education: A conceptual
introduction (5th ed.). New York: Longman.
Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Nawawi, Handari. 1990. Metode Penelitian di Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Nugroho, Riant. 2001. Reinventing Indonesia: Menata Ulang Manajemen
Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan
Global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang:
Model-Model Permusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
Osborne, David dan Peter Plastrik. 2000. Memangkas Birokrasi. Jakarta: PPM.
Patton, M. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods. California : Sage
Publishing.
Parsons, Wayne. 2008. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan. Jakarta: Pranada Media.
Purwanto , Agus Erwan dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi
Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya Di Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Gava Media.
Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedarmayanti. 2003. Good Governance (kepemerintahan yang baik) dalam
rangka otonomi daerah: upaya membangun organisasi efektif efisien
melalui restrukturisasi dan pemberdayaan. Bandung: Mandar Maju.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Surundajang. 2003. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Sudamayanti. 2003. Good Gavernance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam
Rangka Otonomi Daerah. Bandung. Mandar Maju.
Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan
Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan negara. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wibawa, Samodra, dkk .1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa.
Winarno, Budi. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo.

Sumber Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat
Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis
Penataan Organisasi Perangkat Daerah.
Perda Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja
Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Toba Samosir.
Perda Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-
Dinas Daerah Kabupaten Toba Samosir.
Perda Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Toba Samosir.
Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan
Kelurahan.
Perda No.2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba
Samosir.
Perda No.4 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pemuda Dan
Olahraga Kabupaten Toba Samosir.
Perda No.5 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Toba Samosir.
Perda No.4 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Kabupaten Toba Samosir.
Perda No.5 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelayanan
Perijinan Terpadu Dan Penanaman Modal Kabupaten Toba Samosir.

Makalah dan Artikel:
Eko Prasojo, Restrukturisasi Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah: Sebuah
Refleksi Teoritis Dan Praktis Terhadap PP 8 Tahun 2003, Makalah, Yayasan
Inovasi Pemerintah Daerah/ Center for Local Government Innovation (YIPD/
CLGI) Roundtable Discussion, 11 Juni 2003.
Sumber Lain:

Triana, Rochyati Wahyuni. 2012. Pendekatan dan Teori-Teori Implementasi
Kebijakan Publik. http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id. (Diakses pada tanggal
30 April 2013).

Tobasa Dalam Angka Series (2007-2013)

You might also like