DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara
Oleh: NIM. 090903041 BENNY SIANTURI DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2013 ABSTRAK Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah) Pelaksanaan PP No.41 ini bukan tanpa masalah. Pemerintah daerah banyak yang tidak siap untuk melaksanakan peraturan pemerintah ini, sehingga dalam implementasinya terdapat banyak masalah yang menjadi beban bagi pemerintah daerah. Bagaimana efektivitas implementasi PP No.41 Tahun 2007? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi PP No.41 tahun 2007 ini? Pertanyaan- pertanyaan tersebut kemudian menjadi tujuan atau fokus bagi peneliti dalam penelitian ini untuk dicari tahu lebih lanjut. Dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada sesuai dengan tujuan penelitian akan dilakukan dengan pendekatan desktiptif analitis. Tujuan penelitian akan dijawab dengan memberikan gambaran-gambaran yang lebih detail sesuai dengan data atau informasi yang telah disajikan dan dianalisis, yang dikumpulkan dari hasil wawancara, kuesioner, dan juga data sekunder. Masalah dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 akan dijelaskan dengan menggunakan variabel yang disintesa dari beberapa model implementasi kebijakan publik. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain karakteristik isi kebijakan/peraturan pengoperasionalan, struktur birokrasi, komunikasi dan koordinasi, serta sumber daya. Sisi restrukturisasi dalam kebijakan kelembagaan dijelaskan secara terpisah dengan tiga poin yaitu kepemimpinan, arah transformasi organisasi dan juga hambatan-hambatan dalam perubahan organisasi. Jawaban dari tujuan tersebut kemudian menjadi kesimpulan dalam penelitian ini. Kinerja implementasi PP No.41 Tahun 2007 belum optimal. Tujuan Nama : Benny Sianturi (090903041) Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S
Undang-undang pemerintahan daerah berubah-ubah dan terwujud sesuai keadaan sistem politik dan pemerintahan pada masanya. Pada era reformasi sekarang undang-undang pemerintahan daerah ditetapkan dengan UU No.32 Tahun 2004, yang telah mengalami perubahan dari undang-undang sebelumnya yaitu UU No.22 Tahun 1999. Melalui undang-undang pemerintahan daerah di era reformasi ini titik tolak penyelenggaraan pemerintahan berubah ke sistem desentralisasi. Pemerintah daerah terutama kabupaten/kota menjadi titik berat pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut harus melaksanakan apa yang menjadi kewenangannya. Salah satu substansi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah adalah mengenai otonomi organisasi, yaitu keharusan untuk mengatur dan mengurus organisasi perangkat daerah. Masalah kelembagaan atau organisasi perangkat daerah saat ini ditetapkan dengan PP No.41 Tahun 2007. dari peraturan pemerintah ini yang didefenisikan oleh informan dengan membentuk organisasi yang kaya fungsi miskin struktur belum tercapai. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007. Peraturan penjelas di tingkat daerah sampai sekarang belum ada. Pemahaman pegawai yang sangat minim akan peraturan ini menunjukkan sosialisasi masih sangat terbatas. Begitu juga dengan sumber daya (Manusia dan Sumber daya lain) kompetensi, penempatan pegawai, anggaran, dan sarana-saranan masih banyak kekurangan. Kata kunci: Implementasi Kebijakan Publik, Variabel Hasil Sintesa, PP No.41 Tahun 2007 (Organisasi Perangkat Daerah), Kabupaten Toba Samosir.
ABSTRACT
Implementation of Organizational Restructuring Policy in Toba Samosir Regency (Study Implementation of Government Regulation Number 41 of 2007 about Local Government Organizations) Local government regulation are changeable and embodied according to the condition of government and political system at the time. At this Reformation era Local Government Regulation is set by UU No. 32 of 2004, which was change from previous regulation UU No. 22 of 1999. Based on local government regulation in this reformation era, the starting point of governance enforcement changed to decentralized system. Local Government especially regency/city becomes the focus of decentralization or regional autonomy. Therefore, local government is prosecuted to do its authority mostly. One substance that must be implemented by the local government is the organization autonomy, which is requirement to organize and manage the local government organization. Nowadays, Institutional or organizational is set by Government Regulation (PP) No. 41 of 2007. The implementation of PP No. 41 of 2007 is not without problems. Many local government are not ready to implement this rule, so in this implementation, there are many problems become expenses for the local government. How its effectiveness of implementation of PP No. 41 of 2007? What are the factors that affect the implementation in this PP No. 41 of 2007? Become the purpose or the focus of the researcher in this study to be described more. In this study, to answer the questions based on purpose of this research will be conducted by descriptive analytical approach. The purpose of the study will be answered by giving the describe more detailed based on the data or information has been presented and analyzed, which were be collected from interviews, questionnaires, and the secondary data (existing data). The problem in the implementation of PP No. 41 of 2007 will be explained by using variables which are synthesized from several models of public policy implementation. The variables used in this research are content of policy/ operationalization of the regulation (ability of statue to structure implementation), bureaucratic structure, Communication and coordination, and resources. Restructuring side of institution policies expanded separately in three points, namely: leadership, organizational transformation direction and so the resistances of organization change. The answer of the purpose then becomes the conclusion in this study. Performance of the implementation of PP No. 41 of 2007 has not been optimal. The goal of this government regulation is defined by the informant with forming the organization is rich in function but it is poor in structure has not been reached. Local government institution not been fully established in accordance with the
Name : Benny Sianturi (090903041) Departement : Public Administration Sciences Faculty : Social and Political Science Advisor : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S
provisions contained in PP No. 41 of 2007. Explanatory direction has not been made at the local level until now. Bureaucrat comprehension which is very little in regulation shows socialization is limited. Also with the resources (human and another resources) competencies, staffing, budget, and facilities there are still many deficiency.
Keywords: Implementation of Public Policy, variables of synthesis, PP Number 41 of 2007 (Local Government Organization), Toba Samosir Regency.
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN...i LEMBAR PENGESAHAN...ii ABSTRAK.iii KATA PENGANTARv DAFTAR ISIviii DAFTAR TABELxi DAFTAR GAMBARxii DAFTAR LAMPIRANxiii
BAB I PENDAHULUAN1 1.1 Latar Belakang.1 1.2 Fokus Penelitian...12 1.3 Perumusan Masalah.13 1.4 Tujuan Penelitian13 1.5 Manfaat Penelitian...14 1.6 Sistematika Penulisan..15
BAB II KERANGKA TEORI.17 2.1 Kebijakan Publik.17 2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik19 2.3 Implementasi Kebijakan Publik...22 2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik.22 2.3.2 Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik....26 2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik29 2.3.3.1 Model Donald Van Metern dan Carl Van Horn29 2.3.3.2 Model Grindle....36 2.3.3.3 Model Sabatier dan Mazmanian.37 2.3.3.4 Model George Edwards III38 2.3.4 Keterkaitan Antar Variabel dalam Implementasi Kebijakan Publik.43 2.3.5 Variabel-Variabel yang Dianggap Relevan Mempengaruhi Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007..45 2.4 Konsep dan Pengertian Restrukturisasi Organisasi54 2.4.1 Struktur Organisasi dalam Kebijakan Publik....54 2.4.2 Pengertian Restrukturisasi Organisasi...57 2.4.3 Macam-macam Restrukturisasi Organisasi...61 2.4.4 Unsur-unsur Pokok Restrukturisasi Organisasi62 2.4.5 Tujuan Restrukturisasi Organisasi63 2.5 Defenisi Konsep...64 BAB III METODE PENELITIAN68 3.1 Bentuk Penelitian.68 3.2 Lokasi Penelitian.69 3.3 Unit Analisis dan Teknik Pengumpulan Data..70 3.4 Teknik Analisa Data ....74 BAB IV GAMBARAN UMUM77 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Toba Samosir77 4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Toba Samosir77 4.1.2 Letak dan Keadaan Geografis79 4.1.3 Pemerintahan80 4.1.4 Penduduk dan Tenaga Kerja82 4.1.5 Sosial84 4.1.6 Pertanian87 4.1.7 Perekonomian Daerah90 4.1.8 Visi dan Misi Kabupaten Toba Samosir91 4.2 Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah92 4.2.1 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah93 4.2.2 Kedudukan, Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah94 4.2.3 Besaran Organisasi Perangkat Daerah.96 4.2.4 Perumpunan Bidang Pemerintahan100 4.2.5 Eselon Jabatan Perangkat Daerah102
BAB V PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS TEMUAN PENELITIAN...104 5.1 Penyajian Data105 5.1.1 Deskripsi Hasil Wawancara.105 5.1.2 Deskripsi Hasil Kuesioner110 5.1.3 Deskripsi Data Sekunder..113 5.2 Perjalanan Penataan Organisasi Perangkat Daerah.114 5.3 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir..120 5.3.1 Penetapan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir..120 5.3.2 Pertimbangan-pertimbangan dalam Menata Organisasi Perangkat Daerah124 5.3.3 Perkembangan Susunan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir130 5.4 Analisis Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir135 5.4.1 Analisis Karakteristik Isi Kebijakan/ Peraturan Pengoperasionalan..137 5.4.2 Analisis Variabel Struktur Birokrasi..150 5.4.3 Analisis Variabel Koordinasi dan Komunikasi.155 5.4.4 Analisis Variabel Sumber Daya.160 5.4 Restrukturisasi Organisasi170
BAB VI PENUTUP.175 6.1 Kesimpulan.175 6.2 Saran178
DAFTAR PUSTAKA180 LAMPIRAN184
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Jumlah PNS per golongan dan per jabatan79 Tabel 4.2 Struktur perekonomian Kabupaten Toba Samosir tahun 2005-2009 (Juta/Rupiah) 88 Tabel 4.3 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Provinsi94 Tabel 4.4 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten95 Tabel 4.5 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota..96
Tabel 5.1 Perkembangan susunan organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir128 Tabel 5.2 Jumlah organisasi perangkat daerah berdasarkan perhitungan variabel-variabel..136 Tabel 5.3 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan golongan dan eselon tahun 2011-2013.142 Tabel 5.4 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan SKPD yang menjadi unit analisis penelitian pada tahun 2013.143 Tabel 5.5 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS/CPNS) dan pegawai BUMN/BUMD Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan tingkat pendidikan157 Tabel 5.6 Keadaan pegawai pada instansi yang menjadi unit analisis penelitian pada tahun 2013.157 Tabel 5.7 Realisasi penerimaan daerah Kabupaten Toba Samosir tahun 2012162 Tabel 5.8 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir tahun 2012163 Tabel 5.9 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 menurut bidang163 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan...18 Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn...27 Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle.35 Gambar 2.4 Model Implementasi Menurut Sabatier dan Mazmanian...36 Gambar 2.5 Model Implementasi Menurut George Edward III41 Gambar 2.6 Hubungan antara variabel Dependen dan Independen dalam implementasi kebijakan..42 Gambar 2.7 Peran variabel antara dan antiseden dalam model implementasi...43 Gambar 2.8 Proses terbentuknya struktur organisasi.54 Gambar 3.1 Komponen-kompponen analisi data..73 Gambar 5.1 Alur proses dalam implementasi PP No.41Tahun 2007..148 Gambar 5.2 Pola organisasi kabupaten/kota152
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan otonomi di negara kita sampai sekarang, secara legal formal, paling tidak sudah ada 7 (tujuh) Undang-undang Pemerintahan Daerah (UU 1/45; UU 22/48; UU 1/57; UU 18/65; UU 5/74; UU 22/99; UU 32/2004). Setiap Undang-undang terwujud dari sistem politik dan pemerintahan yang berubah-ubah sesuai dengan keadaan pada waktunya. Ketika Indonesia baru merdeka, Undang-undang tentang otonomi daerah bisa dikatakan sangat darurat, karena hanya terdiri dari 6 pasal, dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Di era ke-dua, melalui UU No. 22 tahun 1948 otonomi yang ada dikenal dengan otonomi material, yakni pemerintah pusat menentukan kewajiban apa saja yang diserahkan kepada daerah (kewenangan dirinci dari pusat). Era Orde Baru, dengan UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa otonomi merupakan otonomi nyata dan bertanggung jawab dan kepala daerah merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Wujud desentralisasi atau otonomi bertitik tekan pada deconcentration overshadowing decentralization (sistem dekonsentrasi lebih dominan dari sistem desentralisasi). Ketika politik pemerintahan berbentuk demokrasi (misal di Era Reformasi maka wujud desentralisasi atau otonomi bertitik tekan pada devolution yang menumbuhkan euphoria yang sering tidak terkendali (Nugroho, 2001:224-232; Utomo, 2006: 187). Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dengan Daerah lahir diawali reformasi politik, yakni dengan berakhirnya rezim Orde Baru tahun 1998. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Dengan UU No.22 Tahun 1999 ini daerah terutama kabupaten dan kota lebih leluasa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan daerahnya. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur pelaksanaan otonomi daerah meletakkan titik berat pada tingkat pemerintah kabupaten dan kota. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 7 dan pasal 11 Undang-undang tersebut yang memberikan kewenangan sisa kepada kabupaten dan kota. Semua kewenangan yang tidak disebutkan dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagai kewenangan pusat dengan sendirinya menjadi kewenagan kabupaten dan kota. Pemberian kewenangan sisa, penyelenggaraan asas desentralisasi, pemilihan kepala daerah mencerminkan konteks otonomi daerah yang bersifat politis. Untuk dapat melaksanakna kewenangan yang bersifat politis tersebut, pemerintah kabupaten dan kota kemudian harus memiliki otonomi internal yang meliputi: otonomi organisasi, otonomi kepegawaian, otonomi keuangan dan otonomi perencanaan. Otonomi internal ini akan menjadi penentu dan menjadi faktor penting untuk melaksanakan otonomi secara keseluruhan (Prasojo, 2003: 2) Dalam Utomo (2006) disebutkan, Untuk melaksanakan UU No. 22 Tahun 1999 ini paling tidak dibutuhkan 48 peraturan-peraturan pelaksananya. Salah satu aspek penting dan menjadi isu strategis dalam Undang-Undang ini adalah mengenai kelembagaan ataupun susunan pemerintahan daerah. Pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 sebagai pedoman bagi Daerah dalam menyusun organisasi perangkat daerahnya. PP No. 84 Tahun 2000 ini diubah dengan lahirnya PP Nomor 8 Tahun 2003 yang bertujuan mewujudkan postur organisasi perangkat daerah yang lebih proporsional, efisien, dan efektif yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip organisasi secara rasional dan objektif. Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dalam pasal 2 ayat 1 (satu) disebutkan bahwa besaran Organisasi Perangkat Daerah ditentukan berdasarkan pertimbangan kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah; karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah; kemampuan keuangan Daerah; ketersediaan sumber daya aparatur; serta pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga. Penetapan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan pasal 60 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Perangkat Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Pedoman- pedoman inilah yang kemudian digunakan oleh Daerah untuk menyusun Peraturan Daerah tentang susunan organisasi perangkat daerah. Kekurangan-kekurangan akibat persiapan yang sangat terbatas dalam implementasi dan iklim politik pemerintahan yang masih dalam masa transisi kemudian menjadi faktor yang mengakibatkan harus dilakukannya perbaikan- perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang No. 25 Tahun 1999 ini. Undang-Undang Otonomi daerah yang baru yakni, Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah ditetapkan sebagai revisi atas Undang-Undang sebelumnya. Dengan perubahan ini peraturan-peraturan pelaksana tentu juga perlu dilakukan perubahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 5 disebutkan bahwa: Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 ditetapkan untuk membatasi kebebasan yang berhubungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Sedangkan dibidang kelembagaan pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing. Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 pasal 3, dimana pemerintah daerah terdiri dari Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara daerah. Perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewengan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang bersifat konkuren (kewenangan bersama) berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi-fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan pemerintahan. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi perangkat Daerah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, singkronisasi, dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Dalam peraturan pemeritah tersebut, besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas. PP Nomor 41 Tahun 2007 ini menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen) untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval. Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing perangkat daerah. Penetapan kelas interval untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditentukan dengan skala yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kebutuhan akan besaran Organisasi Perangkat Daerah juga senantiasa juga tidak sama dan tidak seragam. Berdasarkan ketentuan dalam penetapan variabel besaran Organisasi Perangkat Daerah tersebut, dalam Bagian Kedua dan Bagian Ketiga, BAB V PP Nomor 41 Tahun 2007 ditentukan besar jumlah total nilai yang menjadi ketentuan dalam menetapkan besaran Organisasi Perangkat Daerah. Besaran organisasi yang dapat dibentuk sebagai berikut: Nilai Kurang dari 40 (empat puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 12 Dinas, 8 Lembaga Teknis Daerah) Nilai antara 40 (empat puluah) sampai dengan 70 (tujuh puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 15 Dinas, 10 Lembaga Teknis Daerah) Nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) OPD yang diwadahi (4 Asisten, 18 Dinas, 12 Lembaga Teknis Daerah) (diolah dari PP 41 Tahun 2007). Restrukturisasi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah ini secara otomatis juga berlaku di Pemerintah Kabupaten Toba Samosir. Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir dilakukan dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir. Melalui peraturan ini struktur organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir diubah mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam PP No. 41 Tahun 2007. Sesuai dengan tuntutan dari Peraturan Pemerintah tersebut jelas akan banyak perubahan dari organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir. Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1998 Tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Toba Samosir ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Dengan metode pelimpahan wewenang yang berlaku di Indonesia yang dikenal dengan sistem general competence, maka Kabupaten Toba Samosir sebagai daerah otonom wajib untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah wewenang termasuk keharusan untuk menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Metode general competence mengharuskan pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan materil tanpa mempertimbangkan daerah tersebut daerah otonom baru atau daerah otonom lama. Hal inilah yang kemudian menjadi kendala bagi daerah-daerah otonom karena banyak daerah otonom tidak siap untuk menerapkan peraturan-praturan seperti PP No.41 Tahun 2007 ini. Kabupaten Toba Samosir sebagai salah satu daerah otonom menurut peneliti kemudian perlu untuk dilihat sejauhmana daerah ini mampu untuk menerapkan PP. No.41 Tahun 2007 ini. Sebelum Perda Nomor 2 Tahun 2008, organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir diatur dalam empat peraturan daerah yaitu, Perda Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Toba Samosir, Perda Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Kabupaten Toba Samosir, Perda Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Toba Samosir, dan Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan. Berdasarkan keempat Perda tersebut, jumlah perangkat daerah Kabupaten Toba Samosir terdiri dari: 1. Sekretariat Daerah terdiri dari 3 (tiga) Asisten dan 9 (sembilan) Bagian; 2. Dinas Daerah terdiri dari 12 (dua belas) Dinas; 3. Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) terdiri dari 5 (lima) Badan dan 3 (tiga) Kantor. Perubahan yang kemudian terjadi setelah penerapan PP Nomor 41 Tahun 2007 melalui Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir adalah sebagai berikut: 1. Sekretariat Daerah terdiri dari 3 (tiga) Asisten dan 8 (delapan) Bagian; 2. Dinas Daerah terdiri dari 14 (empat belas) Dinas; 3. Lembaga Teknis Daerah 10 Lembaga. Desentralisasi dalam pengelolan aparatur (otonomi organisasi) dapat dilihat dari seberapa besar daerah memiliki kewenangan untuk membentuk struktur birokrasinya (SKPD) dan mengangkat aparatnya untuk menduduki jabatan pada struktur birokrasi. Setelah diberlakukannya PP Nomor 41 Tahun 2007, persoalan yang muncul adalah terbatasnya ruang gerak pemerintah daerah karena dalam PP tersebut mengatur secara rinci tentang struktur birokrasi daerah, bukan hanya terkait jumlahnya tetapi juga bentuk organisasi, perumpunan, eselon bahkan nomenklaturnya. Semangat dari PP tersebut adalah untuk mengendalikan penggemukan dari struktur birokrasi daerah. Namun pada kenyataannya pemberlakuan PP tersebut justru mendorong sejumlah daerah yang sebelumnya memiliki struktur ramping untuk mengembangkan struktur birokrasi yang lebih gemuk mengikuti ketentuan dalam PP tersebut (Dwiyanto, 2010:190). J ika dilihat secara sepintas dari data perubahan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir di atas yang terjadi adalah adanya perubahan jumlah besaran perangkat daerah baik dinas maupun Lembaga Teknis Daerah. J ika dilihat kembali PP No.41 Tahun 2007 ini adalah bertujuan untuk mengurangi jumlah Dinas dan Lembaga Teknis Daerah. Peraturan Pemerintah ini pada prinsipnya dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Dalam penataan kelembagaan perangkat daerah harus menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas (Lampiran Permendagri Nomor 57 Tahun 2007). Perubahan yang terjadi pada Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir ini menjadi pertanyaan bagi peneliti apakah perubahan ini bisa dikatakan sebagai pembengkakan atau memang ketentuan yang terdapat dalam PP No.41 Tahun 2007 inilah yang mengakibatkan perubahan tersebut? Aspek implementasi kemudian menjadi bagian yang menarik untuk diidentifikasi, karena aspek implementasi merupakan sebuah proses yang kompleks yang perlu dijelaskan dengan melihat berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Kebijakan restrukturisasi ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun program pengimplementasiannya di serahkan pada masing-masing daerah. Kesulitan yang timbul dikarenakan interpretasi yang bisa jadi beragam antar daerah dan juga kesiapan daerah yang masing-masing tidak sama, sehingga pengimplementasian dan hasilnya pun bisa berbeda dari tujuan utama kebijakan tersebut. Melalui implementasi kebijakan selanjutnya tujuan dan sasaran dari sebuah kebijakan dapat dilihat ataupun diukur. Tercapainya tujuan dari sebuah kebijakan dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu seluruh komponen-komponen yang berhubungan dengan cara untuk mencapai sasaran dan tujuan dari sebuah kebijakan. Gambaran di atas menjadi gambaran persoalan yang akan lebih jauh dicari tahu dalam penelitian ini. Aspek implementasi yang merupakan proses yang kompleks dan menjadi aspek utama dan menurut peneliti perlu dideskripsikan secara jelas dalam penelitian ini. Fokus perhatian bagi peneliti adalah untuk melihat bagaimana Kabupaten Toba Samosir ini mengimplemetasikan prinsip- prinsip organisasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan restrukturisasi yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 20017 Tentang Organisasi Perangkat Daerah melalui peraturan turunan yaitu Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir.
1.2 Fokus Penelitian Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ada yang disebut dengan batasan masalah. Batasan masalah ini kemudian disebut dengan fokus, yaitu pokok masalah yang masih bersifat umum. Pada penelitian kualitatif, penentuan fokus ini didasarkan atas hasil studi pendahuluan, pengalaman, referensi dan saran-saran dari orang yang dipandang ahli. Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif sifatnya juga masih sementara dan akan berkembang di lapangan (Sugiyono, 2006:290). Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan proses implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir melalui pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 yang diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Penelitian ini menggunakan variabel-variabel pengaruh (variabel independen), yaitu variabel yang diharapkan mampu untuk menjelaskan derajat kinerja implementasi kebijakan terkait. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang ada bukan untuk diuji hubungannya, karena variabel dalam penelitian kualitatif merupakan sesuatu yang holistik (tidak terpisah-pisah), variabel saling terikat dan berinteraksi dalam fakta-fakta sosial. Variabel yang mempengaruhi implementasi dalam kebijakan ini juga hanya akan difokuskan pada variabel-variabel yang dipilih oleh peneliti, yang dianggap relevan mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan PP No.41 Tahun 2007. Disamping batasan variabel, peneliti juga membuat batasan unit analisis atau objek penelitian hanya pada beberapa perangkat daerah kabupaten, yaitu Sekretariat Daerah, 1 Dinas, 1 Badan, 1 Kantor, serta 1 Kecamatan sebagai perwakilan dari keseluruhan Organisasi Perangkat Daerah yang ada, yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini, sehingga unit analisis tidak terlalu luas dan peneliti mampu untuk menyelesaikan penelitian ini. 1.3 Perumusan Masalah Perumusan masalah (problem statement, statement of the problem) atau kadang-kadang disebut sebagai defenisi masalah (problem definition) merupakan tahap dimana peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian (research question) yang berhubungan dengan topik atau isu penelitian. Permusan masalah adalah konteks penelitian yang mengarahkan pelaksanaan dan pencapaian tujuan penelitian. Peneliti ilmu sosial memusatkan perhatiaanya pada masalah atau pertanyaan penelitian (Silalahi, 2009:54). Masalah atau pertanyaan dalam penelitian yang saya pilih dan yang perlu dipecahkan ialah Bagaimana Efektivitas Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir? 1.4 Tujuan Penelitian Di dalam usulan/rancangan penelitian, apapun format penelitian yang digunakan (deskriptif ataukah eksplanasi, studi kasus, survei ataukah eksperimen), juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan (Faisal, 2007: 100-101). Tujuan Penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu mengenai efektivitas implementasi. Pertanyaan untuk efektivitas adalah untuk mengetahui apakah hasil atau tujuan yang diinginkan sudah tercapai? Oleh karena itu, yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana gambaran atas kinerja implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. b. Menjelaskan variabel-variabel yang mempengaruhi implementasi PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah atau fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, sebuah penelitian harus benar-benar bermanfaat atau memiliki dampak bagi pihak-pihak yang bersangkutan pada akhirnya. Adapun Manfaat Penelitian ini ialah: 1. Manfaat secara ilmiah, penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam mengembangkan kemampuan menulis karya ilmiah dan menambah pengetahuan ilmiah pada studi administrasi negara dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan yakni Peraturan Pemerintah tentang Organisasi Perangkat Daerah. 2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam pengimplementasian PP Nomor 41 Tahun 207 tentang Organisasi Perangkat Daerah khususnya bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten Toba Samosir untuk melakukan perbaikan-perbaikan dimasa yang akan datang. 3. Manfaat secara akademis, diharapkan mampu menambah khasanah dan literatur atau kepustakaan baru dalam penelitian sosial. 1.6 Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan Bab ini memuat latar belakang masalah, fokus penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Kerangka Teori Bab ini memuat tentang teori-teori yang berhubungan dengan judul penelitian dan definisi konsep yang diperlukan peneliti Bab III : Metode Penelitian Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. Bab IV : Gambaran Umum Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian yang ditemukan di lapangan. Bab V : Penyajian Data dan Analisis Temuan Penelitian Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi serta analisa terhadap data atau informasi tersebut. Bab VI: Penutup Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang telah dilakukan yang dianggap penting bagi pihak yang membutuhkan.
BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Kebijakan Publik Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik (Wilson, 1887). Sejak periode pasca Perang Dunia II. Kata Policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaiaan penuh pertimbangan. Misalnya, bayangkan bagaimana jika para politisi mengakui bahwa mereka tidak punya kebijakan tentang persoalan x? Sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan (Parson, 2008: 14-17). Sedangkan kata publik secara terminologi mengandung arti sekelompok orang atau masyarakat dengan kepentingan tertentu. Menurut Wayne Parson publik adalah aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama (Parson, 2008: 3). Hal ini berarti bahwa masyarakat atau publik datang dengan latar belakang kepentingan yang diwujudkan dalam bentuk tuntutan (demand) dan dukungan (support). Intervensi terhadap publik oleh pemerintah ataupun oleh aturan sosialnya mendorong terjadinya perubahan-perubahan terhadap publik melalui usaha-usaha yang telah direncanakan. Terlepas dari perubahan tersebut membawa dampak yang bersifat baik maupun dampak yang bersifat buruk. Usaha pemerintah untuk merespon kepentingan publik ini adalah yang disebut dengan kebijakan publik. R. Dye (1995) mendefenisikan kebijakan publik sebagai what government do, why they do it, and what different it makes. Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mendefenisikan sebagai a project program of goals, values, and practices. David Easton (1965) mendefenisikan sebagai the impact of government activity (Nugroho: 2006, 23-24). Berdasarkan defenisi dari para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. dikerjakan atau tidak dikerjakan merupakan keputusan, karena dilakukan atau tidak dilakukan tetap akan memberikan dampak. Menurut David Easton, dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang berkembang di dalam masyarakat, system politik dapat menempuhnya melalui dua cara. Pertama, membuat keputusan- keputusan sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat. Kedua, melakukan politisasi, yaitu membangun nilai-nilai yang ada di dalam pemerintahan (Marijan, 2010: 6). Membuat keputusan atau kebijakan sesuai dengan keinginan masyarakat bukanlah hal yag mudah. Kepentingan masyarakat tidak tunggal. Pemerintah sebelum merumuskan kebijakan perlu untuk memetakan kepentingan publik yang berbeda-beda (public mapping). Dengan pemetaan ini bentuk perhatian publik seperti kepentingan, aspirasi, masalah-masalah masyarakat, issu yang berkembang bisa dikenali. Pemetaan kepentingan ini akan sangat berguna karena pemerintah akan mengetahui kepentingan yang mana yang paling mendesak dan paling mewakili kepentingan dari masyarakat, sehingga kebijakan benar-benar mengandung manfaat yang paling besar kepada masyarakat. Dengan mengenali rakyatnya, pemerintah akan mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat. 2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik Tahap-tahap atau proses pembuatan kebijakan dapat divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Berikut gambar dari tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik:
Sumber: (Dunn, 2003: 25) 1. Perumusan Masalah Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari defenisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. 2. Peramalan Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang plausible, potensial dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengendali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan. 3. Rekomendasi Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam membuat pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administrative bagi implementasi kebijakan. 4. Pemantauan Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan dalam tahap implementasi kebijakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, kesejahteraan, kriminalitas, dan ilmu dan teknologi. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahapan kebijakan. 5. Evaluasi Evaluasi membuahkan penngetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan benar- benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan; tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-ninlai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah (Dunn, 2003: 25-29). 2.3 Implementasi Kebijakan Publik 2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik Studi kebijakan publik terdiri dari dua bagian besar yaitu analisis kebijakan publik dan proses kebijakan publik. Salah satu bagian dari proses kebijakan publik adalah implementasi kebijakan publik. Bagian analisis kebijakan publik biasanya mengkaji hubungan antara suatu kebijakan dengan masalah, isi dari kebijakan, mengkaji apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pembuat kebijakan, serta konsekuensi yang akan tercipta (Output) dari suatu kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya merupakan bentuk perekayasaan dan perbaikan terhadap suatu kebijakan (Parson, 2008: 19-31). Pada bagian proses kebijakan publik, kebijakan publik dipandang sebagai sebuah proses. Artinya, kebijakan publik akan dilihat berdasarkan tingkatan praktisnya, yaitu bagaimana kebijakan dibuat, dimplementasikan dan pada akhirnya kebijakan harus melakukan perubahan-perubahan tertentu. Banyak pakar yang menawarkan bentuk dari proses kebijakan ini, tetapi dari sebagian banyak tawaran itu Jones menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua bentuk proses itu dapat dikelompokkan menjadi empat tahap, yaitu: 1. Tahap bagaimana masalah-masalah yang ada bisa masuk ke ruang publik 2. Tahap bagaimana pemerintah melakukan tindakan-tindakan konkret menyikapi masalah tersebut. 3. Tahap dimana tindakan-tindakan pemerintah itu masuk ke masalah di lapangan. 4. Dan kemudian tahap dimana kebijakan kembali ke pemerintah agar ditinjau kembali dan diadakan perubahan-perubahan yang dianggap mungkin (Putra, 2003:26-32). Penggunaan istilah implementasi pertama sekali digunakan oleh Harold Lawswell (1956). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Laswell menggagas suatu pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy process approach). Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik, maka kebijakan publik harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai tahapan- tahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik dirumuskan (Purwanto, 2012:17). Istilah implementasi oleh Laswell digunakan hanya untuk menunjukkan bahwa implementasi merupakan salah satu tahapan dalam proses besar kebijakan publik, Laswell belum memberi penekanan secara khusus tentang arti pentingnya implementasi. Tetapi dalam perkembangannya kemudian istilah implementasi kemudian menjadi suatu konsep yang mulai dikenal dalam disipilin ilmu politik, ilmu administrasi publik dan lebih khusus lagi dalam ilmu kebijakan publik yang mulai dikembangkan. Dalam perkembangan studi implementasi kebijakan publik selanjutnya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1973) merupakan dua ilmuwan pertama yang secara eksplisit menggunakan konsep implemetasi untuk menjelaskan fenomena kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya. Hal inilah yang menjadikan kedua ahli ini layak diberikan kredit besar sebagai pioneer dalam pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Menurut mereka, imlementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai berikut: untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana dinyatakan dalam tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto, 2012:17-20). Setelah dirintis oleh dua sarjana ini, konsep implementasi kemudian mulai dikenal luas dan mulai di dalami oleh para ilmuwan kebijakan publik. Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006:119) mengemukakan bahwa implementtasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Mazmanian dan Sabatier mengemukakan: implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives oders or court decision. Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways, structures the implementation process. Berdasarkan pengertian tersebut implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan keputusan dasar yang biasanya dituangkan dalam bentuk undang- undang, keputusan pemerintah/eksekutif ataupun keputusan badan peradilan. Biasanya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang dihadapi, tuntutan dalam berbagai bentuk yang ingin dicapai serta struktur dari proses implementasi. Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan- keputusan yang bersifat khusus. Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-idividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan- keputusan kebijakan (Winarno, 2004:102). Agus Purwanto (2012) mengemukakan bahwa implementasi intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil kebijakan akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012:21). Oleh karena itu, sebuah program kebijakan harus diimplementasikan magar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006:119). 2.3.2 Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni: 1. tahapan pengesahan peraturan perundangan 2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana 3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan 4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak 5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana 6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah kebijakan: 1. Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat manajerial dan operasional. Dalam Nugroho (2006) disebutkan bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijkan publik tersebut. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun undang-undang. Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut baik yang berbentuk abstrak maupun operasional kepada para pemangku kepentingan. 2. Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan (policy implementor) yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat. Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal (SPM). Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah (APBN/APBD) maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya penetapan manajemen pelaksana kebijakan diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan focal point pelaksana kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan segera disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan. 3. Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing- masing tahapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.
2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik 2.3.3.1 Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn Gambar 2.2 Model implementasi kebijakan Meter dan Horn
Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu model dasar yang mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Meter dan Horn (1975) dalam Wibawa (1994:19) merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Model ini seperti yang diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn, tidak hanya menentukan hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan- kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas. Selain itu dengan model ini indikator-indikator yang memuaskan dapat dibentuk dan data yang tepat dapat dikumpulkan. Dengan menggunakan pendekatan masalah seperti ini, dalam pendangan Van Meter dan Van Horn, kita mempunyai harapan yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dilaksanakan dibandingkan hanya sekedar menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat dalam suatu cara yang semena-mena. Variabel-variabel tersebut dijelaskan Van Meter dan Van Horn sebagai berikut: 1. Standar dan tujuan kebijakan Suatu kebijakan tentu telah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut. Karena dijadikan sebagai kriteria penilaian, maka standar dan sasaran dirmuskan secara spesifik dan kongkret (Wibawa, 1994:20). Menurut Van Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauhmana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah terealisasikan. Ukuran-ukuran dasar (standar kebijakan) dan tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentiikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaran- sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat keputusan sebagaimana direfleksikan dalam banyak dokumen seperti regulasi- regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan kriteria untuk evaluasi pencapaian kebijakan. Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran dasar dan sasaran-sasaran kebijakan harus dideduksikan oleh peneliti perorangan dan pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang didukung oleh penelitian (Winarno, 2004:110-112). 2. Sumber daya Di samping standar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber daya yang tersedia. Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik berupa dana maupun perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena sangat menunjuang dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Dalam praktek implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para pejabat maupun pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai program-program yang telah direncakan. Dengan demikian, besar kecilnya dana akan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan (Winarno, 2004:112). 3. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi Kejalasan standar dan sasaran tidak menjamin implementasi yang efektif apabila tidak dibarengi dengan adanya komunikasi antar organisasi dan aktivitas pengukuhan. Semua pelaksana harus memahami apa yang diidealkan oleh kebijakan yang implementasinya menjadi tanggungjawab mereka. Hanya saja komunikasi adalah proses yang rumit, yang sangat potensial untuk terjadi penyimpangan. Hal ini menyangkut persoalan kewenangan dan kepemimpinan. Organisasi atasan (superior) mestinya mampu mengkondisikan organisasi bawahan atau pelaksana untuk memiliki idealita sebagaimana yang dikehendaki oleh kebijakan (Wibawa, 2004: 20). Implementasi akan berjalan efektif bila standar dan tujuan dipahami oleh individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian, tujuan dan standar yang jelas, komunikasi yang tepat dengan pelaksana, konsistensi dan keseragaman tujuan dan standar yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi sangat perlu diperhatikan. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi ataupun sumber yang sama memberikan interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau bahkan bertentangan, maka para pelaksana kebijakan akan mendapatkan kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud dari kebijakan. Oleh karena itu, menurut Van Meter dan Van Horn prospek-prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan tersebut. Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil sering kali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini akan membantu atasan mendorong bawahan (pelaksana) untuk bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan. Para pejabat dalam organisasi mempunyai pengaruh dan kekuasaan personil dikarenakan posisi hierarkhis mereka. Pengaruh dan kekuasaan itu antara lain dalam hal, rekrutmen dan seleksi, jenjang karir bawahan, kontrol atas alokasi anggaran, mempengaruhi perilaku bawahan serta mempunyai kewenangan dalam menanggapi pencapaian kebijakan. Hubungan-hubungan antar organisasi maupun antar pemerintah dalam kegiatan pelaksanaan terlihat dalam dua tipe. Pertama, nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi dapat membantu para bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn, kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan antara kekuasaan normatif, renumeratif, dan keuasaan koersif (Winarno, 2004:112-114). 4. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor Menurut Ripley (1973) struktur dari agen pelaksana, yang meliputi karakteristik, norma dan pola hubungan yang potensial maupun aktual sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Wibawa, 1994:20-21). Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa karakteristik dari badan pelaksana dilihat dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik, norma dan pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang memounyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri- ciri struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka. Disamping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada ikatan- ikatan badan pelaksana dengan pemeran-pemeran serta dalam sistem penyampaian kebijakan (Winarno, 2004: 116). Menurut Van Meter dan Van Horn organisasi pelaksana memiliki enam variabel yang harus diperhatikan, yaitu: (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, dan (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan (Wibawa, 1994:21). 5. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik merupakan variabel selanjutnya yang diidentifikasi oleh Van Meter dan Van Horn. Sebagaimana dapat diambil inferensi logis dari bagan sistem kebijakan di depan, kondisi sosial, ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik. Beberapa item pertanyaan yang berkaitan dengan variabel ini diantaranya adalah: 1. Apakah sumber daya ekonomi yang dimiliki organisasi pelaksana cukup memadai untuk mengejar efektivitas yang tinggi? 2. Bagaimana keadaan sosial-ekonomi dari masyarakat yang akan dipengaruhi kebijakan? 3. Apa opini publik yang dominan, dan bagaimana pendapat publik terhadap kebijakan? 4. Apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan? 5. Adakah kekuatan penentang? 6. Sejauh mana kelompok kepentingan dan swasta mendukung atau menentang kebijakan (Wibawa, 1994: 21)? 6. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk pada akhirnya menentukan seberapa tinggi kinerja kebijakannya. Kognisi, netralitas dan obyektivitas para individu pelaksana sangat berpengaruh bentuk respons mereka terhadap semua variabel tersebut. Wujud respons individu pelaksana menjadi penyebab dari berhasil dan gagalnya implementasi. J ika pelaksana tidak memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai pembuat kebijakan maka implementasi tidak akan efektif. Hal yang sama juga terjadi bila loyalitas pelaksana kepada organsasi rendah (Wibawa, 1994: 21-22).
2.3.3.2 Model Grindle Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980), ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajar perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa pelaksana program?, dan (6) sumber daya yang dilibatkan. Demikian dengan konteks kebijakan juga mempengaruhi proses implementasi. Yang dimaksud oleh Grindle dengan konteks kebijakan adlaah: (1) kekuasaan kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana program akan bercampur-baur mempengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan (Wibawa, 1994: 22-25).
Gambar 2.3 Model implementasi kebijakan menurut Grindle
2.3.3.3 Model Sebatier dan Mazmanian Menurut Mazmanian dan Sebatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah (tractability of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation); (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) (Subarsono, 2009:94). Variabel-variabel tersebut terlihat pada Gambar 2.4. Kerangka berpikir yang mereka tawarkan juga mengarah pada dua persoalan mendasar yaitu, kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya mematuhi peraturan yang ada (Wibawa, 1994: 25). Gambar 2.4 Model implementasi menurut Sebatier dan Mazmanian
2.3.3.4 Model George Edwards III Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implemetasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pemebentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhuinya. J ika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kabijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplemetasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijkan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Dalam kajian implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mangajukan dua buah pertanyaan, yaitu: prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Kedua, hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Menurut Edwards, terdapat empat faktos atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik. Factor-faktor atau variable tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi (Winarno, 2004:125-126). a. Komunikasi Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehinggan akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono, 2009:90). Aspek lain dari komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi. Keputusan-keputusan yang bertentangan akan membingungkan dan manghalangi staf administrasi dan menghambat kemampuan mereka untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif. Sementara itu, ada banyak hal yang mendorong terjadinya komunikasi yang tidak konsisten dan menimbulkan dampak-dampak buruk bagi implementasi kebijakan. Beberapa hal yang dimaksud menyangkut transmisi, konsistensi, dan kejelasan. Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementassikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampkanya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Adapun hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintha-perintah implementasi yakni, pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan; informassi melewati berlapis-lapis hierarkhi birokrasi sehingga mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi kebijakan yang dijalankan; faktor penghambat terakhir adalah prespektif selektif dan ketidakmauan para pelaksana kebijakan untuk mengetahui prasyarat-prasyarat suatu kebijakan. Faktor kedua yang dikemukakan oleh Edwards III adalah kejelasan. J ika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan , maka petunjuk pelaksanaan tidak hanya diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaiaman suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaiakan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang tidak salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Sesuatu yang sering dihambat oleh instruksi-instruksi yang sangat spesifik menyangkut implementasi kebijakan. Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. J ika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah implementasi yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Tindakan yang sangat longgar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan (Winarno, 2004:126-129). b. Sumber-sumber Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan factor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemhkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik. c. Kecenderungan-kecenderungan Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan factor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit.
d. Strktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah satu yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern. Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedur- prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama, berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat- pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan (Winarno, 2004:132-154).
Gambar 2.5 Model implementasi menurut George Edward III
2.3.4 Keterkaitan Antar Variabel dalam Implementasi Kebijakan Publik Pemahaman tentang proses implementasi adalah untuk mengidentifikaasi secara cermat apa sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan atau keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Dalam upaya mempermudah identifikasi variabel-variabel tersebut, para ahli biasanya membedakan berbagai variabel dalam dua kelompok besar, yaitu variabel tergantung (dependent variable) dengan variabel bebas (independent variabel). Variabel tergantung yaitu kinerja implementasi kebijakan dan variabel bebas yaitu berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan. Kinerja implementasi kebijakan merupakan variabel pokok yang ingin dijelaskan oleh variabel-variebel lain. Kinerja kebijakan tersebut secara sederhana menggambarkan tingkat pencapaian tujuan kebijakan. Sementara itu variabel independen merupakan seluruh variabel yang diharapkan mampu menjelaskan derajat kinerja kebijakan tersebut. Variabel independen tersebut adalah keseluruhan faktor yang memiliki keterkaitan dengan proses implementasi suatu kebijakan dilakukan. Secara sederhana hubungan antar dua kelompok variabel dalam implementasi kebijakan digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.6 Hubungan antara variabel dependen dan independen dalam implementasi kebijakan
Sumber: (Purwanto, 2012:67)
Variabel Independen:
X1 X2 X3 Variabel Dependen:
Kinerja Implementasi Kebijakan Namun hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dalam realitas implementasi kebijakan tidak sesederhana sebaimana dalam Gambar 2. 6 di atas. Kompleksitas implementasi menyebabkan variabel-variabel independen sering kali tidak berpengaruh secara langsung, akan tetapi dapat melalui variabel antara (variable intervening) atau di dahului variabel yang muncul sebelum variabel bebas itu bekerja atau disebut sebagai antisendent variable. Gambaran bagaimana kompleksitas hubungan antar variabel tersebut dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.7 Peran variabel antara dan antiseden dalam model implementasi
Keterangan: X a =Variabel antiseden X i =Variabel independen X 3 =Variabel intervening Y =Variabel dependen Sumber: (Purwanto, 2012:68)
2.3.5 Variabel-Variabel yang Dianggap Relevan Mempengaruhi Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Studi implementasi telah melahirkan banyak publikasi yang berusaha untuk memahami fenomena implementasi, baik yang bersifat deskriptif maupun model- model kausalitas hubungan sebab akibat antara kinerja implementasi dan variabel- variabel yang mempengaruhinya (Purwanto, 2012:34). Dua perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauhmana implementasi terpisah X a X i X 3 Y dari formulasi kebijakan yakni, apakah suatu kebijakan dibuat oleh Pusat dan diimplementasikan oleh Daerah (bersifat top-down) atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksananya (bottom-up). Dalam perkembangan selanjutnyai para peneliti kebijakan menyadari bahwa dalam studi implementasi terdapat persoalan yang lebih luas yakni, bagaimana mengidentifikasi gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang dan waktu, serta berbagai aktor yang terlibat di dalamnya. Para penulis studi implementasi pun memiliki keragaman tanggapan atas kekompleksan variabel yang terlibat di dalamnya. Ada penulis yang cukup berani menyederhanakannya dengan mengurangi variabel-variabel tersebut, namun ada pula yang mencoba mengembangkan model studi implementasi dengan memperhitungkan seluruh variabel yang teridentifikasi dalam studi mereka. Oleh karenanya dalam Studi Implementasi pretensi untuk mengembangkan suatu teori implementasi yang bersifat umum (Grand Theory) yang dapat berlaku untuk semua kasus, di semua tempat dan waktu, hampir mustahil dicapai karena yang dikembangkan tak lebih hanya akan menjadi teori tindakan atau teori melaksanakan bukan teori Implementasi Kebijakan. Secara umum yang membuat perbedaan pendekatan dalam teori Implementasi ini berkaitan dengan; Pertama, keragaman isu-isu kebijakan atau jebis kebijakan. Isu dan jenis kebijakan yang berbeda menghendaki perbedaan pendekatan pula. da jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit karena melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang relatif mudah. Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki perubahan yang relatif besar tentu cara implementasi dan tingkat kesulitannya akan berbeda dengan kebijakan yang lebih sederhana; Kedua, keragaman konteks kelembagaan, yang bisa meluas menyangkut pertanyaan sejauhmana generalisasi dapat diterapkan pada sistem politik dan konteks negara yang berbeda. Kebijakan yang sama dapat diimplementasikan dengan cara yang berbeda bergantung pada sistem politik serta kemampuan sistem administrasi negara yang bersangkutan (http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id). Riant Nugroho juga mempunyai pendapat yang sama dalam hal model implementasi kebijakan ini. Menurut Rian Nugroho, setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan yang diimplementasikan secara top-down dan ada juga yang dijalankan dengan cara bottom-up (Nugroho, 2006:135). Pendekatan top-down menggunakan logika berfikir dari atas kemudian melakukan pemetaan ke bawah untuk melihat keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan. Sedangkan, pendekatan bottom-up menekankan pentingnya memperhatikan dua aspek penting dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran kebijakan (target group). Argument yang menjadi dasar pentingnya memperhatikan peran street level bureaucrat sangat terkait dengan posisinya dalam melakukan kegiatan merealisasikan keluaran kebijakan (apabila keluaran kebijakan berupa pelayanan) atau menyampaikan keluaran kebijakan tersebut kepada kelompok sasaran (apabila keluaran kebijakan berupa hibah, bantuan, subsidi, dan lain-lain) (Purwanto, 2012:37-43). Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dikategorikan sebagai decentralized polices, yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun pengimplementasiannya diserahkan pada masing-masing daerah (bersifat top- down). Dengan demikian model yang digunakan untuk melihat implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007 sebaiknya juga menggunakan model implementasi dengan pendekatan top-down. Model-model yang diklasifikasikan sebagai model yang menggunakan pendekatan top-down antara lain, Model Nakamura dan Smallwood (1980), Edward III (1980), Grindle (1980), Van Meter dan Van Horn (1975) dan Model Mazmanian dan Sabatier (1983) (Purwanto, 2012:39-40). Model yang menggunakan pendekatan top-down ditandai dengan cara kerja model ini yang dimulai dengan memahami kebijakan dan kemudian melihat efektivitas pencapaian tujuan kebijakan tersebut di lapangan. Pendekatan top-down lebih tepat digunakan untuk menilai efektivitas implementasi suatu kebijakan, yaitu memastikan apakah tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan telah tercapai dilapangan atau tidak. Sabatier (1986) mengatakan, pendekatan top-down dilakukan oleh para peneliti dengan langkah sebagai berikut: they started with policy decision (ussualy statue) and examined the extent to which its legally- mandated objectives were achieved over time and why (Purwanto, 2012:37-39). Pada umumnya tahapan kerja penelitian yang menggunakan pendekatan top-down dimulai dengan memilih kebijakan yang akan dikaji yang biasanya dalam bentuk regulasi/undang-undang. Walaupun banyak model-model dalam implementasi kebijakan yang menggunakan pendekatan top-down dan setiap model menawarkan variabel- variabel yang mempunyai kesamaan juga perbedaan dengan model yang lain, namun dalam penelitian ini tidak semua model tersebut efektif digunakan. Variabel atau faktor-faktor yang mempengatuhhi kinerja implementasi yang digunakan juga tidak terfokus pada satu model saja. Model implementasi kebijakan yang ada tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai dengan relevansi dan kebutuhan yang sesuai untuk melihat kinerja implementasi suatu kebijakan tertentu. Dengan memahami model-model tersebut, implementasi dapat dilihat lebih cermat, sehingga banyak persoalan dapat dianalisis secara komprehensif. Oleh karena itu, dalam melihat kinerja implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah ini, peneliti memilih beberapa variabel yang dianggap mempengaruhi, antara lain: 1. Karakteristik Isi Kebijakan/ Peraturan Pengoperasionalan Proses implementasi berangkat dari adanya suatu kebijakan atau program. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya, suatu kebijakan atau program biasanya dituangkan dalam bentuk regulasi atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya suatu kebijakan atau program diformulasikan dengan misi untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Setiap undang-undang, keputusan peradilan atau perintah eksekutif ini kemudian akan menstrukturkan proses implementasi dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang akan dicapainya. Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan secara rinci dan disusun secara jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman bagi pejabat- pejabat pelaksana dan sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri (Wahab, 2004:87). Kejelasan isi atau tujuan-tujuan kebijakan ini juga berarti bahwa isi kebijakan akan semakin mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi atau penolakan dalam implementasi kebijakan. Karakteristik isi kebijakan atau peraturan pengoperasionalan tidak hanya mencakup kejelasan isi atau tujuan-tujuan dari kebijakan. Menurut Grindle (1980) salah satu dari dua variabel besar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah isi kebijakan (content of policy). Variabel ini mencakup: (1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran (target group) termuat dalam isi kebijakan; (2) Jenis dan manfaat yang diterima kelompok sasaran; (3) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) Apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai (Subarsono, 2009: 93). Sabatier dan Mazmanian (1986) juga mempunyai variabel terkait karakteristik isi kebijakan/peraturan dalam salah satu dari variabel-variabel yang disebutkan mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu variabel struktur manajemen program yang tersermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan peraturan. Variabel ini sering disebut sebagai variabel daya dukung peraturan yang terdiri dari: (1) kejelasan/ konsistensi tujuan/ sasaran; (2) teori kausal yang memadai; (3) sumber keuangan yang mencukupi; (4) integrasi organisasi pelaksana; (5) diskersi pelaksana; (6) rekrutmen dari pejabat pelaksana; dan (7) akses formal lembaga pelaksana ke organisasi lain (Wibawa, 1994:25-26). 2. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor untuk bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2009: 92). SOP seharusnya dapat menanggulangi keadaan-keadaan umum yang dihadapi oleh organisasi pulik. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga akan menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya akan menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru dari pada birokrasi yang tidak flekksibel. (Winarno, 2004: 151-152). Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar di antara beberapa organisasi. Akibatnya pelaksanaan implementasi akan terhambat terutama akan berpengaruh terhadap koordinasi. Badan-badan cenderung mempertahankan fungsi-fungsi mereka dengan alasan perbedaan prioritas dan menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal, penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan- kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Sehingga jika semakin besar koordinasi akan semakin berkurang kemungkinan implementasi untuk berhasil. 3. Koordinasi dan Komunikasi Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yakni, transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Persyaratan pertama bagi implementasi yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan- keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Akan tetapi, banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan hambatan ini akan menghalangi pelaksanaan kebijakan (Winarno, 2004: 127). Implementasi yang efektif juga membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga yang terkoordinasi. Hal ini sangat penting untuk menjaga konsistensi dari semua pelaksana kebijakan. Organisasi implementasi tidak tunggal, banyak aktor-aktor yang terlibat. Setiap aktor atau lembaga tersebut perlu dikoordinasi karena sering kali mereka terlihat kaku dengan prosedur- prosedur yang rumit yang mengedepankan prioritas lembaga masing-masing. Oleh karena itu keterlibatan dari para aktor kebijakan perlu dijaga konsistensinya dengan koordinasi yang tepat, untuk menjaga implementasi dapat dijalankan dengan baik. 4. Sumber Daya Sumber-sumber merupakan faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Bagaimana implementasi akan berjalan jika sumber-sumber yang diperlukan kurang atah bahkan tidak tersedia? Sumber-sumber yang penting dalam proses implementasi meliputi: staf atau personil yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugasmmereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik, serta informasi mengenai program atau kebijakan yang akan diimplementasikan. Staf atau personil barangkali merupakan sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan. Aspek yang paling utama yang harus dimiliki oleh staf adalah kualitas yang menyangkut keterampilan-keterampilan yang diperlukann untuk melaksanakan kebijakan. Sumber penting yang kedua adalah informasi. Informasi dalam implementasi kebijakan dibagi menjadi dua bentuk yaitu, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan dan informasi mengenai ketatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Sumber-sumber lain yang harus diperhatikan adalah wewenang. Wewenang akan berbeda-beda dari suatu program ke program lain serta mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda-beda. Lindblom mengemukakan pemahaman akan wewenang sebagai penggunaan metode kontrol untuk membujuk orang-orang yang dikontrol agar mentaati peraturan dan mereka harus tunduk terhadapnya. Sumber-sumber penting dalam implementasi yang lain adalah fasilitas-fasilitas. Fasilitas fisik dalam implementasi biasanya tergantung dari jenis dan tipe kebijakan yang akan dilaksanakan. Pada intinya adalah bahwa sumber-sumber kebijakan akan sangat penting dalam implementasi kebijakan yang efektif. Tanpa sumber-sumber, kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan hanya akan menjadi rencana saja dan tidak pernah ada realisasinya (Winarno, 2004: 132-137). 2.4 Konsep dan Pengertian Restrukturisasi Organisasi 2.4.1 Struktur Organisasi dalam Implementasi Kebijakan Publik Menurut Jones (2004) struktur organisasi merupakan sistem hubungan formal antara tugas dan wewenang yang mengendalikan serta mengkoordinasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Argumen senada juga dikemukakan oleh Hodge, Anthony, dan Gales (1996): structure refers to sum total of the ways in which an organization divides its labor into distinct tasks and then coordinates among them. Sementara itu Robbins (2001) dalam bukunya Organizational Behavior juga membuat defenisi mengenai struktur organisasi sebagai berikut: an organizational structure defines how job tasks formally divided, grouped and coordinated. Jadi intinya struktur organisasi merupakan instrument bagaimana berbagai unsur organisasi tersebut dipedukan agar organisasi dapat berjalan secara efektif dan efisien. Dalam kegiatan implementasi kebijakan, struktur organisasi merupakan wadah atau wahana interaksi di mana para petugas, aparat birokrasi, atau pejabat yang berwenang mengeloala impementasi dengan berbagai kegiatannya. Dari berbagai defenisi tersebut, maka proses terbentuknya struktur organisasi merupakan serangkaian logika peyederhanaan kerja yang terdiri dari: adanya kebutuhan untuk melakukan pembagian kerja di antara anggotanya karena pekerjaan untuk mencapai misi organisasi tidak dapat dilakukan sendiri. Sebagai konsekuensi dari pembagian kerja tersebut kemudian maka diperlukan koordinasi di antara berbagai departemen, unit kerja, dan individu-individu yang memiliki tugas berbeda-beda. Dan terakhir tentu dibutuhkan pengawasan (kontrol) untuk menjamin bahwa departemen, unit kerja, dan individu-individu yang diberi tugas tersebut menjalankan kewajibannya dengan baik sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan. Agar struktur organisasi yang diberi mandat untuk mengimplementasikan suatu kebijakan bisa bekerja secara efektif, maka struktur organisasi harus disusun sesuai dengan tujuan dan kompleksitas kebijakan. Secara teoritis ada tiga pendekatan untuk membentuk struktur organisasi yaitu, horizontal, vertikal dan spasial. Ketiganya mencerminkan adanya deferensiasi pembagian tugas. Struktur horizontal dibentuk dengan menggunakan dasar pembagian kerja menurut spesialisasi masing-masing unit organisasi. Struktur vertikal adalah struktur yang pembagian kerjanya didasarkan pada hirarki, otoritas, atau rantai komando. Sementara itu, struktur spasial menggunakan pembagian pekerjaan berdasarkan pada wilayah geografis atau wilayah administratif. Sejalan dengan pendekatan itu Goggin et. al. (1990) mengemukakan bahwa penyusunan struktus organisasi implementasi juga dipengaruhi pendekatan yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Pendekatan top down memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi yang bersifat multi-level dan hirarkis. Sedangkan oendekatan bottom up menjadi dasar terhadap pemahaman hubungan jaringan (yang bersifat horizontal) antar unit kerja dalam struktur organisasi implementasi. Meskinpun seolah-olah bersifat dikhotomis, kenyataannya antara pendekatan top down dan bottom up tidak bisa dipisahkan dalam proses implementaasi karena realitas bahwa organisasi implementasi melibatkan hubungan hirarkis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Pada saat yang bersamaan implementasi kebijakan juga melibatkan kerjasama antar dinas dalam suatu area pemerintah kabupaten/kota.
Gambar 2.8 Proses terbentuknya struktur organisasi
Sumber: (Purwanto, 2012:132)
Proses pembentukan struktur organisasi pada gambar di atas di dasarkan pada dua aspek penting, yaitu: seberapa jauh kebutuhan untuk melakukan diferensiasi dan seberapa mendesak perlu melakukan integrasi. Pertimbangan yang berkaitan dengan aspek diferensiasi akan menentukan apakah struktur yang dibangun lebih bersifat horizontal, vertikal, atau spasial. Sedangkan pertimbangan pada aspek integrasi atau koordinasi akan menentukan seberapa jauh derajat formalisasi, sentralisasi, rentang kendali dan standarisasi dalam membangun struktur (Purwanto, 2012:129-132). 2.4.2 Pengertian Restrukturisasi Organisasi Restrukturisasi berarti penataan ulang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), Restrukturisasi didefinisikan penataan kembali (supaya struktur
Struktur Organisasi Pembagian Kerja 1 Pembagian Kerja 2 Pembagian Kerja 3 Koordinasi dan Integrasi atau penataannya baik). Menurut Sarundajang (2001), restrukturisasi organisasi adalah tindakan untuk merubah struktur yang dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan dianggap sudah tidak efektif lagi dalam memajukan organisasi. Sedangkan restrukturisasi dalam penelitian ini adalah tindakan untuk merubah struktur organisasi pemerintahan karena dianggap sudah tidak efektif, tidak efisien, dan tidak akuntabel lagi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Penataan ulang organisasi pemerintah (publik) dalam istilah teknis lebih dikenal dengan restrukturisasi organisasi merupakan hal yang paling mendesak untuk segera dilaksanakan. Hampir seluruh organisasi di dunia ini menjalankan restrukturisasi besar-besaran agar bisa hidup. Restrukturisasi pada hakekatnya akan membentuk struktur yang lebih ramping mulai dari pusat sampai daerah tingkat II (Nugroho, 2001:19). Menurut Sarundajang (2001) ada beberapa poin penting dalam restrukturisasi organisasi yang dapat dilakukan, yaitu : a. Merubah Struktur Organisasi Pemerintah Daerah Hal ini dilakukan agar struktur organisasi yang semula terlalu tambun atau terlalu ramping berubah menjadi struktur organisasi yang efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemerintah daerah.
b. Merumuskan Visi dan Misi Pemerintah Daerah dengan Jelas Visi merupakan dasar pencapaian dari tujuan organisasi. Visi pemerintah daerah merupakan gambaran masa depan organisasi yang bersifat realistis, menarik dan dapat dipertanggung jawabkan, serta dihayati oleh seluruh komponen yang bersangkutan. Visi selalu dikaitkan dengan gambaran yang lebih baik di masa kini dibandingkan dengan di masa yang akan datang sehingga visi selalu bersifat dinamis. Dalam menetapkan misi ada beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya; pemahaman dari pembelajaran yang terperinci dari organisasi dan lingkungan strategisnya melibatkan pihak-pihak terkait melalui pendekatan yang tepat secara formal maupun informal, terbuka terhadap masukan saran-saran kolega ataupun anak buah, memperlihatkan visi yang telah ada dan mencari formula baru untuk meningkatkan kualitas visi yang akan disusun. Dengan demikian diharapkan dapat memperoleh rumusan dalam melaksanakan tugasnya yang membawa pemerintah daerah pada kinerja yang lebih baik. c. Perlunya Kepemimpinan yang Revolusioner dalam Organisasi Pemerintah Daerah. Pemimpin pemerintahan yang efektif adalah pemimpin yang memiliki visi- misi, agenda dan berorientasi pada hasil. Pemimpin yang revolusioner selalu memperbaharui dan menyesuaikan visinya agar dapat diwujudkan sesuai dengan yang diinginkan. Pemimpin haruslah mempunyai beberapa kemampuan dan berperan sebagai juru bicara (pokes person) dalam organisasi, pengarah (direction setter) sebagai agen pembaharu dan sebagai trainer bagi seluruh organisasi pemerintah daerah. d. Perampingan Oraganisasi Pemerintah Daerah Perampingan ini akan membawa implikasi pada terspesialisasinya tugas- tugas pemerintah, pembangunan dan pembinaan masyarakat. Perampingan organisasi pemerintah daerah harus diikuti dengan kebijakan pengkondisian aparatur yang profesional melalui lembaga pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan ketrampilan, sehingga diharapkan upaya tersebut akan membentuk kesiapan aparatur dalam menghadapi tantangan yang semakin besar. e. Membentuk Organisasi Pemerintah Daerah Sebagai Organisasi Jejaring Urgensinya adalah untuk tukar menukar pengalaman atau ide maupun untuk membangun kerjasama bilateral (sisterhood) atau multilateral (triangle atau polygon growth) di antara masing-masing daerah. f. Membentuk Organisasi Pemerintah Daerah sebagai Organisasi Pembelajar
Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus belajar secara sungguh- sungguh, seksama dan secara bersama-bersama serta terus mentransformasikan dirinya supaya dapat mengoleksi, mengolah dan menggunakan pengetahuan lebih baik lagi bagi keberhasilan organisasi tersebut. g. Adanya Sistem Informasi Manajemen dalam Pemerintahan Daerah Menurut Osborne dan Plastrik (2000:45-49) ada lima strategi untuk merestrukturisasi organisasi pemerintah, yaitu : 1. Strategi inti untuk memperjelas maksud organisasi 2. Strategi konsekuensi untuk menerapkan konsekuensi atas kinerja organisasi 3. Strategi pelanggan untuk menciptakan pertanggung jawaban organisasi pemerintah terhadap masyarakat 4. Strategi kontrol untuk memberdayakan organisasi dan pegawai negeri agar bisa berinovasi 5. Strategi budaya untuk mengubah perilaku, perasaan dan cara berpikir pegawai negeri. 2.4.3 Macam-macam Restrukturisasi Organisasi Macam-macam restrukturisasi (Hasibuan, 2003) dibagi menjadi dua yaitu: a. Restrukturisasi Vertikal Diartikan dengan memperpanjang tingkatan-tingkatan suatu organisasi, misalnya direksi, kepala bagian dan karyawan operasional dirubah menjadi direksi, kepala urusan, kepala bagian, kepala seksi dan workers dan sebaliknya. Kebaikan dari restrukturisasi vertikal ini adalah rentang kendali relatif sedikit, pengendalian karyawan akan lebih mudah, koordinasi relatif akan lebih baik. Sedangkan keburukannya adalah tingkatan-tingkatan jabatan banyak, akibatnya tunjangan jabatan semakin banyak, jalur perintah dan tanggung jawab terlalu panjang, jalur informasi dan komunikasi cukup panjang. b. Restrukturisasi Horizontal Diartikan perubahan struktur organisasi dengan cara menambah jumlah bagian atau departemennya. Dengan cara ini, maka rentang kendali semakin banyak dan struktur organisasi semakin melebar. Kebaikan dari restrukturisasi horizontal ini adalah jalur perintah dan tanggung jawab pendek, tingkatan- tingkatan jabatan sedikit, jalur komunikasi dan informasi relatif pendek. Sedangkan kelemahannya adalah rentang kendali semakin banyak, koordinasi akan lebih sulit, pengarahan dan pengendalian karyawan kurang baik. Restrukturisasi yang terbaik adalah tergantung pada kebutuhan dan penekanan yang diinginkan dan harus berdasarkan prinsip bahwa organisasi dan strukturnya harus lebih efektif dalam membantu tercapainya tujuan. 2.4.4 Unsur-unsur Pokok Restrukturisasi Organisasi Dalam malakukan restrukturisasi harus memenuhi unsur-unsur pokok, dimana suatu kegiatan tidak dapat dikatakan sebagai restrukturisasi jika tidak memenuhi salah satu unsur-unsur pokok restrukturisasi. Manurut Bennis dan Mische dalam Sedarmayanti (2003:89) unsur pokok restrukturisasi organisasi adalah: a. Visi yang berani, artinya titik awal yang sesungguhnya untuk restrukturisasi yang berhasil adalah adanya pandangan yang berani atas masa depan organisasi dan keinginan kuat untuk mewujudkan menjadi kenyataan b. Ancangan yang sistematis, yakni bahwa restrukturisasi mempunyai jangkauan atau spektrum yang jauh dan implikasinya yang luas bagi organisasi dan tidak dibatasi hanya pada satu isu oraganisasi, prosedur, tugas aktivitas, fungsi atau unit. c. Maksud yang jelas, dimaksudkan bahwa organisasi harus memulai restrukturisasi dengan menyadari bahawa hasil akhirnya berupa organisasi atau perusahaan yang sama sekali beda. d. Metodologi yang spesifik, artinya bahwa untuk suatu proses restrukturisasi yang mencakup berbagai aspek, suatu metodologi yang spesifik merupakan hal yang kritis. e. Kepemimpinan yang efektif dan tampak, yaitu bahwa pemimpin yang melaksanakan restrukturisasi harus memilki sejumlah keterampilan dan kemampuan seperti kreativitas, visi yang berpengaruh dan pertimbangan yang matang. 2.4.5 Tujuan Restrukturisasi Organisasi Restrukturisasi organisasi dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: a. Agar terciptanya struktur organisasi yang efektif dan efisien dengan terspesialisasinya tugas-tugas pemerintah daerah serta meningkatnya kinerja oraganisasi b. Agar terciptanya suatu organisasi pemerintah daerah yang dapat dipertanggung jawabkan kinerjanya terutama akuntabilitas publiknya terhadap masyarakat (sebagai pelanggan) dengan memberikan pelayanan yang lebih baik, cepat dan lebih murah c. Agar terciptanya suatu organisasi yang terbuka dan fleksibel, dimana organisasi tersebut dapat menerima dan menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi begitu cepat d. Agar terciptanya aparatur pemerintah yang profesional sehingga organisasi pemerintah (publik) dapat bersaing dengan organisasi swasta terutama dalam hal pemberian pelayanan kepada masyarakat e. Agar terciptanya suatu organisasi publik yang sebangun dengan tuntutan publik global, dimana secara khusus organisasi pemerintah tersebut harus adaptif dengan terdapatnya arus modal yang melintas bukan saja antar negara tapi antara bagian negara dengan bagian negara lain. 2.5 Defenisi Konsep Menurut Masri Singarimbun (1995) menyebutkan konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu social. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variable yang diteliti. Berdasarkan penjelasan tersebut, berikut merupakan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, defenisi konsep tersebut antaralain: 1. Kebijakan Publik adalah peraturan pemerintah yang merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan penyelenggaran pemerintahan negara yang biasanya didasarkan pada sebuah regulasi atau undang-undang dan bersifat mengikat dan otoritatif. 2. Implementasi kebijakan publik merupakan tahapan penting dalam proses kebijakan publik dalam rangka untuk melaksanakan keluaran kebijakan (peraturan perundang-undangan) oleh organisasi pelaksana kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan kebijakan. 3. Implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini yaitu proses pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir terkait. Model implementasi yang digunakan untuk melihat implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini merupakan sintesa dari model-model implementasi kebijakan publik yang telah dijelaskan di dalam kerangka teori. Variabel-variabel yang merupakan hasil sintesa tersebut yaitu: a. Karakteristik isi kebijakan/peraturan pengoperasionalan Karakteristik isi kebijakan/peraturan pengoperasionalan akan dilihat dari kejelasan tujuan dan sasaran, perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, Indikator-indikator dari variabel karakteristik isi kebijakan/ peraturan pengoperasionalan antaralain: 1. Tujuan dan Sasaran Kebijakan sesuai dengan dokumen kebijakan. 2. Perubahan yang diinginkan kebijakan (substansi dari PP No.41 Tahun 2007), antaralain: Besaran organisasi perangkat daerah berdasarkan kriteria variabel yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007 Perumpunan bidang pemerintahan Nomenklatur atau penamaan organisai perangkat daerah Eselon perangkat daerah b. Struktur Birokrasi dilihat dari pelaksanaan SOP yang ada terkait pelaksanan kebijakan ini, kejelasan peran dan tugas masing-masing aktor yang menjadi pelaksana kebijakan, serta fragmentasi yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kebijakan, Indikator-indikator dari variabel struktur birokrasi antaralain: 1. Struktur organisasi dan aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007. 2. Standart Operating Procedure (SOP), yaitu keberadaan petunjuk teknis pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007. c. Komunikasi dan koordinasi Dilihat dari adanya kejelasan petunujuk pelaksanaan, pemahaman implementor atas kebijakan, kesamaan persepsi, hubungan komunikasi, serta koordinasi di antara organisasi-organisai pelaksana. Indikator-indikator dari variabel komunikasi dan koordinasi akan dilihat dari: 1. Aspek komunikasi dilihat dari sosialisasi peraturan yang ada serta pemahaman pegawai atas PP No.41 Tahun 2007. 2. Aspek koordinasi dilihat dari pola hubungan kerja di antara aktor-aktor dalam organisasi implementasi PP No.41 Tahun 2007. d. Sumber Daya Sumber daya yang dimaksud diukur dari kualitas dan kesiapan staf atau personil, informasi-informasi terkait yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan, serta ketersediaan fasilitas-fasilitas atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Indikator-indikator dari variabel sumber daya antaralain: 1. Personil Jumlah personil atau staf yang ada Kompetensi yang dimiliki personil Motivasi dan komitmen dalam memberikan pelayanan 2. Informasi dan fasilitas (sarana dan prasarana) 3. Pembiayaan (anggaran/dana, sumber dana, kondisi pembiayaan) 4. Restrukturisasi Organisasi merupakan konsep perubahan struktur dan fungsi atau penataan dan pembenahan organisasi pada sebuah organisasi dalam rangka efisiensi dan efektivitas melalui pengurangan ukuran ataupun besaran organisasi agar lebih sehat serta selaras dengan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi serta responsif terhadap lingkungan strategis dan dinamika masyarakat. Aspek restrukturisasi organisasi atau perubahan organisasi dalam penelitian ini akan dilihat dari beberapa indikator berikut: 1. Visi dan tujuan pemerintahan daerah serta kepemimpinan Visi dan tujuan pemerintah daerah sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJ MD) Kabupaten Toba Samosir. Sisi kepemimpinan merupakan aspek yang sangat penting dalam restrukturisasi organisasi karena pemimpin merupakan pemandu dan pembaharu dalam mewujudkan visi melalui perubahan organisasi. 2. Transformasi organisasi Indikator ini akan fokus untuk melihat arah proses restrukturisasi organisasi yang akan ditempuh dalam organisasi perangkat daerah. 3. Kendala-kendala dan hambatan dalam perubahan organisasi
5. Restrukturisasi organisasi perangkat daerah adalah penataan ulang organisasi publik atau organisasi perangkat daerah melalui ketentuan-ketentuan dalam PP No.41 Tahun 2007 dengan perampingan besaran organisasi, perampingan fungsi-fungsi, perubahan susunan organisasi, serta perubahan eselonisasi organisasi perangkat daeerah, serta kesesuaian organisasi perangkat daerah dengan tuntutan publik. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan- temuannya tidak diperoleh melalui prosedur satistik atau bentuk hitungan lainnya. Contoh penelitian dengan bentuk kualitatif dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, disamping juga tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal-balik (Strauss, 2003:4). Menurut Bogdan dan Taylor (1975), penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati (Moleong, 2004:3). Sementara untuk tipe penelitian akan menggunakan tipe deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai sebuah fenomena atau gejala. Nawawi mengatakan bahwa metode desktiptif memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan atau bersifat aktual, kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional yang akurat (Nawawi, 1990:64). Studi implementasi memiliki tujuan pokok untuk menjelaskan berbagai fenomena implementasi kebijakan. Ada banyak kasus implementasi yang gagal, namun ada juga beberapa yang berhasil. Sebagai sebuah fenomena, kegagalan dan keberhasilan tersebut mengundang peneliti untuk mencari akar persoalan dan kemudian menjelaskan mengapa persoalan tersebut terjadi. Pada akhirnya hasil penelitian tentang kinerja implementasi suatu kebijakan akan menghasilkan penilaiaan yang mengarah pada berhasil atau tidaknya sebuah implementasi. Oleh karena itu, peneliti perlu memperhatikan ketepatan metode yang digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut dalam melihat implementasi kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir sesuai dengan PP No.41 Tahun 2007, peneliti akan menjelaskan fenomena yang terjadi dengan membuat gambaran atau deskripsi kompleks yang menyeluruh sebagai hasil interpretasi data yang nanti akan diperoleh oleh peneliti melalui wawancara, kuesioner, studi pustaka ataupun data sekunder. Deskripsi ini diharapkan dapat untuk membangun gambaran atas fenomena yang saling terkait dan tersembunyi sesuai dengan isu yang menjadi masalah dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kabupaten Toba Samosir, yang beralamat di J l. Tarutung Km 2 Soposurung, Balige. Peneliti memilih Pemerintah Kabupaten Toba Samosir karena Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu kabupaten yang terbentuk karena pemekaran. Sebagai sebuah kabupaten pemekaran peneliti merasa perlu untuk melihat kesiapan daerah ini dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah, dalam penelitian ini akan difokuskan untuk melihat kesiapan pemerintahan daerah melaksanakan kebijakan kelembagaan yang mengarah ke otonomi organisasi melalui PP No. 41 Tahun 2007. Selain itu alasan pemilihan lokasi penelitian menurut peneliti berhubungan dengan akses, persoalan waktu, dan biaya, adalah kewajaran bagi mahasiswa sebagai peneliti untuk memilih lokasi yang memberikan kemudahan dalam berbagai aspek tersebut. Karena Kabupaten Toba Samosir merupakan kabupaten tempat asal peneliti, peneliti merasa lebih mengenal lokasi dan diharapkan dapat lebih mudah untuk melakukan interaksi dengan lokasi penelitian. 3.3 Unit Analisis dan Teknik Pengumpulan Data Unit analisis dalam penelitian ini adalah beberapa perangkat daerah kabupaten, pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Toba Samosir yaitu, Sekretariat Daerah, 1 Dinas, 1 Badan, 1 Kantor, serta 1 Kecamatan sebagai perwakilan dari keseluruhan Organisasi Perangkat Daerah yang ada, yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007. Kemudian dari unit analisis yang ada akan dibagi lagi menjadi dua bagian sampel yaitu sampel orang untuk mendapatkan informan dan sampel organisasi yang ditujukan untuk menjaring persepsi atas masalah yang menjadi perhatian pokok dalam proses implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Adapun SKPD yang dipilih oleh peneliti sebagai unit analisis adalah sebagai berikut: 1. Sekretariat Daerah Kabupaten Toba Samosir 2. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 3. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa 4. Kantor Ketahanan Pangan 5. Kecamatan Sigumpar Informan penelitian kualitatif adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memamahami penelitian. Untuk sampel orang, yaitu untuk mencari informan penelitian tipe penarikan sampel yang digunakan adalah tipe sampling nonprobalitas (nonprobality). Tipe sampling nonprobabilitas berpandangan bahwa dalam penelitian kualitatif penentuan sampel sangat tepat jika didasarkan pada tujuan dan masalah penelitian yang menggunakan pertimbangan-pertimbangan dari peneliti sendiri, dalam rangka memperoleh ketepatan dan kecukupan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan atau masalah yang dikaji (Patton, 1990:169). Kemudian teknik penarikan sampel atau teknik penentuan informan yang merupakan bagian dari sampling non probabilitas yang akan digunakan adalah teknik judgement sampling (dikenal juga dengan purvosive sampling) atau teknik key person. Key person adalah tokoh formal ataupun tokoh informal yang memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu menjelaskan keadaan sebenarnya tentang objek penelitian. Sementara itu untuk sampel organisasi tipe sampling yang akan digunakan penelitian adalah tipe sampling acak berstrata. Pada penarikan sampel acak berstrata, populasi penelitian diskat-skat menjadi beberapa group yang disebut dengan strata. Setiap strata kemudian akan memiliki elemen yang relatif homogen. Setelah strata ditentukan, selanjutnya adalah penentuan besaran sampel yang diambil dari setiap strata. Peneliti kualitatif melihat proses sampling sebagai parameter populasi yang dinamis, khusus, phasic dibandingkan statis dan apriori. Ketika ada aturan statistik tentang probabilitas ukuran sampel, hanya ada petunjuk untuk ukuran sampel berdasarkan tujuan. Sampel berdasarkan konsep ini dapat berkisar antara n=1 sampai n=40 (McMillan dan Schumacher, 2001:404). Penentuan sampel seperti ini akan peneliti gunakan pada penentuan besaran sampel informan. 1. Teknik pengumpulan data primer Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti. Teknik ini dilakukan melalui: a. Wawancara Metode wawancara yang akan dilakukan adalah dengan cara wawancara mendalam untuk memperoleh data yang lengkap dan mendalam dari informan. Metode ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian. Wawancara akan dilakukan kepada informan yang telah ditentukan, yang dianggap terkait dan memiliki pengetahuan yang memadai tentang implementasi kebijakan PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir. Adapun informan yang akan diwawancarai adalah sebagai berikut: a. Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Daerah Kabupaten Toba Samosir b. Asisten III Administrasi Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Toba Samosir c. Staff pegawai di lingkungan Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Daerah Kab. Tobasa d. Pejabat Eselon IIb (kepala dinas dan kepala badan), Eselon IIIa (kepala kantor, kepala bagian, sekretaris dinas), serta pejabat atau staf pegawai lain yang ada pada SKPD yang menjadi bagian dari populasi/ unit analisis dalam penelitian ini. b. Kuesioner Kuesioner dalam penelitian ini berbeda dengan kuesioner yang ada pada penelitian kuantitatif. Kuesioner dimaksudkan untuk menjaring persepsi atau pengetahuan umum yang akan lebih jauh lagi kemudian digali pada saat wawancara dengan mendalam. Kuesioner akan ditujukan kepada responden yang ditarik dari sampel organisasi. 2. Teknik pengumpulan data sekunder Teknik pengumpulan data sekunder adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengumpulan bahan kepustakaan yang dapat mendukung data primer. Teknik pengumpulan data ini dapat dilakukan dengan mengambil instrument sebagai berikut: 1. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan-catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber- sumber lain yang relevan dengan objek penelitian. 2. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah serta pendapat para ahli yang berkompetensi dan memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti. 3.4 Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data kulitatif dengan menggunakan wawancara secara mendalam, yaitu mengajukan pertanyaan demi pertanyaan secara terus-menerus hingga jawaban itu mencapai titik jenuh. Data yang diperoleh akan segera dianalisis melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian akan mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. Jadi teknik analisis kualitatif yaitu dengan menyajikan data dengan melakukan analisis terhadap masalah yang ditemukan di lapangan sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti kemudian menarik kesimpulan. Miles dan Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus meneru sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas yang akan dilakukan oleh peneliti dalam tahapan ini adalah sebagai berikut: 1. Reduksi Data (Data Reduction) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti komputer mini, dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan, keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi. 2. Penyajian Data (Data Display) Dalam penelitian ini, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian ini adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami. 3. Mengambil Kesimpulan/ Verifikasi (Conclusion/ Verification) Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Gambar 3.1 Komponen-komponen analisis data
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Toba Samosir 4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Toba Samosir Kabupaten Toba Samosir dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1998 Tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Toba Samosir merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara yang diresmikan pada tanggal 9 Maret 199 oleh Menteri Dalam Negeri, sekaligus melantik Pejabat Bupati Kabupaten Toba Samosir. Pada saat dibentuk Kabupaten Toba Samosir terdiri dari 13 Kecamatan dan 4 perwakilan kecamatan, 281 desa serta 19 kelurahan. Pada tahun 2002 berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Toba Samosir, Nomor 7 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kecamatan Ajibata, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kecamatan Uluan, dan Kecamatan Ronggur Nihuta Kabupaten Toba Samosir, dan 4 perwakilan kecamatan ditetapkan menjadi kecamatan defenitif, yaitu kecamatan Ajibata, Pintu Pohan Meranti, Uluan dan Ronggur Nihuta. Kemudian kecamatan Borbor dibentuk dengan Perda Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kecamatan Borbor. Sehingga pada awalnya Kabupaten Toba Samosir mempunyai 18 Kecamatan. Seiring dengan perkembangan dan munculnya aspirasi dari masyarakat untuk mempercepat pembangunan guna mengejar ketertinggalan dari daerah lain, Kabupaten Toba Samosir dimekarkan menjadi Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Samosir berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003. Setalah dimekarkan Kabupaten Toba Samosir terdiri dari 10 Kecamatan. Berdasarkan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir, Kecamatan Silaen dimekarkan menjadi Kecamatan Silaen dan Kecamatan Sigumpar. Berdasarkan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 5 Tahun 2006, terbentuklah 3 kecamatan baru yaitu Kecamatan Tampahan sebagai pemekaran dari Kecamatan Balige, Kecamatan Nassau pemekaran dari Kecamatan Habinsaran, dan Kecamatan Siantar Narumonda pemekaran dari Kecamatan Porsea. Tahun 2008 Pemerintah Kabupaten Toba Samosir kembali mengeluarkan Perda No.5 Tahun 2008 tentang Pembentukan dua kecamatan baru, yaitu Kecamatan Parmaksian dan Kecamatan Bonatua Lunasi. Dengan demikian jumlah wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Toba Samosir mulai tahun 2008 terdiri dari 16 kecamatan dengan 203 desa dan 13 kelurahan. Kabupaten Toba Samosir terletak di bagian tengah Provinsi Sumatera Utara di jajaran Bukit Barisan dengan topografi berbukit dan bergelombang. Dengan posisi tersebut Kabupaten Toba Samosir merupakan daerah pengaman bagi kabupaten lainnya karena wilayah ini merupakan hulu dari beberapa sungi besar dan kecil yang mengalir ke wilayah timur Sumatera Utara. Karena topografi tersebut struktu dan komposisi Tanah didominasi jenis tanah Tufa Toba, pasir bercampur tanah liat, kapur dan sebagian lainnya berupa lapisan tanah buatan yang relative kurang subur untuk pertanian. Kabupaten Toba Samosir merupakan daerah yang cukup terkenal di kawasan nusantara, terutama karena potensi keindahan alam dan sumber daya manusianya. Keindahan alam dan panorama kawasan Danau Toba, kekayaan seni budaya asli merupakan potensi keindahan alam dan dikembangkan dalam upaya pengembangan kepariwisataan di tanah air. Potensi alam tersebut diantaranya adalah luasnya lahan kosong yang dapat diolah menjadi areal pertanian, peternakan, perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Perairan Danau Toba yang cukup luas dan sungai dapat dimanfaatkan untuk irigasi dan pembangkit tenaga listrik. Potensi tambang yang telah diinventarisasi dan disertifikasi oleh Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral Bandung diantaranya adalah batu gamping, teras, andesit, lempung dan diatomea. Sesuai dengan potensi yang dimiliki, maka sektor andalan pembangunan di Kabupaten Toba Samosir periode 2000-2025 adalah pembangunan pendidikan, kesehatan, pertanian, pariwisata, industry dan teknologi informasi. 4.1.2 Letak dan Keadaan Geografis Kabupaten Toba Samosir berada pada 203 - 240 Lintang Utara dan 9856 - 9940 Bujur Timur. Kabupaten Toba Samosir memiliki luas 2.2021,80 Km 2 . Kabupaten Toba Samosir berada di antara lima kabupaten yaitu sebelah utara dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur berbatasan dengan Labuhan Batu dan Asahan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir. Kabupaten Toba Samosir terletak pada wilayah dataran tinggi, dengan ketinggian antara 900-2.200 meter di atas permukaan laut. Topografi dan kontur tanah yang dimiliki oleh Kabupaten Toba Samosir sangat beraneka ragam, yaitu ada yang datar, landai, miring dan terjal. Struktur tanahnya labil berada pada wilayah gempa tektonik vulkanik. 4.1.3 Pemerintahan Wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 terdiri dari 16 kecamatan dengan 244 desa/kelurahan, yaitu 231 desa dan 13 kelurahan. Kecamatan Balige merupakan kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan terbanyak yaitu 35 desa/kelurahan. Sedangkan Kecamatan Tampahan merupakan kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan yang paling sedikit, yaitu hanya 6 desa. 1. DPRD Jumlah anggota DPRD Kabupaten Toba Samosir hasil pemili tahun 2009 berjumlah 25 orang. Rinciannya adalah sebagai berikut, 8 orang Fraksi Toba Bersatu, 7 orang Fraksi Persatuan Tobasa, 4 orang anggota dari Fraksi PPRN, 3 orang Fraksi PDI-P, dan 3 orang Fraksi Demokrat. Jumlah keputusan DPRD Kabupaten Toba Samosir yang ditetapkan tahun 2011 sebanyak 27 keputusan, jumlah ini sedikit dibandingkan tahun 2010, yaitu 35 keputusan. Dari 27 keuputusan yang ditetapkan, 12 diantaranya merupakan keputusan DPRD, 10 keputusan panitia musyawarah, 3 pendapat panitia anggaran dan 2 keputusan Pimpinan DPRD. Berdasarkan kegiatan DPRD berupa siding-sidang yang dilakukan baik sidang istimewa, paripurna, paripurna khusus, rapat komisi, rapat rutin dengar komisi dan lain-lain, tahun 2011 sebanyak 52 kegiatan siding. Kegiatan rapat kerja dengar pendapat merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh DPRD yaitu 18 kegiatan. 2. Pegawai Negeri Sipil (PNS/CPNS) dan Pegawai BUMN/BUMD Berdasarkan data yang masuk dari dinas, kantor, badan dan instansi jumlah PNS/CPNS di Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 berjumlah 4.935 orang. Dari jumlah tersebut 38,56 persen merupakan pegawai laki-laki dan 61,44 persen pegawai perempuan. Distribusi PNS/CPNS jika dirinci berdasarkan golongan, sebagian besar merupakan golongan III sebesar 44,96 persen, golongan II 27,40 persen, golongan IV 26,73 persen dan golongan I sebesar 0,91 persen. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, 15,97 persen merupakan PNS/CPNS tamatan SLTA, tamatan Diploma (DI, DII, DIII) sebanyak 19,78 persen, tamatan sarjana sebanyak 61,54 persen. Presentase PNS/CPNS yang menamatkan S2 dan S3 smasih sangat minim sekali di Kabupaten Toba Samosir, yaitu hanya 1,62 persen dan S3 hanya 0.04 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam menjalankan pemerintahan daerah. Sementara pegawai yang tamat SD dan SLTP masing-masing sebesar 0,28 persen dan 0,77 persen.
Tabel 4.1 Jumlah PNS per golongan dan per jabatan Gol/Ruang
Eselon Non Eselon Jumlah I II III IV V Tenaga Fungsional Staf Gol. IV/e - - - - - - - - Gol. IV/d - - - - - - - - Gol. IV/c - 7 - - - - 1 8 Gol. IV/b - 19 24 - - 5 6 54 Gol. IV/a - 2 57 5 - 915 8 987 Jumlah - 28 81 5 - 920 15 1.049 Gol. III/d - - 55 83 - 437 12 587 Gol. III/c - - 7 107 - 236 4 354 Gol. III/b - - - 131 - 362 36 529 Gol. III/a - - - 14 - 625 267 906 Jumlah - - 62 335 - 1.660 319 2.376 Gol. II/d - - - - - 145 40 185 Gol. II/c - - - - - 382 118 500 Gol. II/b - - - - - 330 39 369 Gol. II/a - - - - - 285 338 623 Jumlah - - - - - 1.142 535 1.677 Gol. I/d - - - - - - 7 7 Gol. I/c - - - - - - 37 37 Gol. I/b - - - - - - 2 2 Gol. I/a - - - - - - 12 12 Jumlah - - - - - 3.720 58 58 Total - 28 143 340 0 3.720 927 5.160 Sumber: RPJMD Kabupaten Toba Samosir 2011-2015 4.1.4 Penduduk dan Tenaga Kerja 1. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2012 adalah 174.865 jiwa, dengan jumlah Rumah Tangga (RT) sebesar 43.479 RT. Dengan luas wilayah daratan 2.021,8 Km 2 , tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 sebesar 86,49 jiwa/km 2 . Kecamatan Balige yang merupakan ibu kota Kabupaten Toba Samosir, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan adalah kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dengan tingkat kepadatan sebesar 406,61 jiwa/km 2 . Kemudian diikuti oleh Kecamatan Porsea sebesar 356,73 jiwa/km 2 . Sedangkan Kecamatan Nassau menjadi kecamatan dengan kepadatan terkecil, yaitu hanya 21,72 jiwa/km 2 . Jumlah penduduk laki-laki di kabupaten Toba Samosir lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan tahun 2011. Jumlah penduduk Kabupaten Toba Samosir yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 86.932 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 87.933 jiwa. Dengan demikian rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Toba Samosir sebesar 98,86 persen. Angka ini menunjukkan bahwa dari setiap 100 perempuan juga terdapat 98,86 orang laki- laki. Dari 16 jumlah kecamatan tahun 2012 di Kabupaten Toba Samosir, ada 4 kecamatan yang memiliki jumlah penduduk laki-laki lebih banyaak dbandingkan dengan penduduk perempuan, yaitu Kecamatan Tampahan dengan Rasio J enis Kelamin sebesar 101,44 persen, Kecamatan Borbor dengan angka Rasio Jenis Kelamin sebesar 101,62 persen, Kecamatan Nassau dengan angka Rasio Jenis Kelamin sebesar 103,98 persen, dan Kecamatan Parmaksian dengan angka Rasio Jenis Kelamin sebesar 100,10 persen. Sementara kecamatan dengan angka Rasio Jenis Kelamin terkecil terdapat di Kecamatan Laguboti sebesar 94,92 persen. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa kebanyakan laki-laki merantau ke luar daerah baik untuk mencari pekerjaan maupun tujuan melanjutkan pendidikan.
3. Tenaga kerja Berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 jumlah lowongan kerja yang terdaftar di dinas tersebut sebesar 634 lowongan. Kesemua lowongan tersebut belum terpenuhi. berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 terdapat sebanyak 472 orang jumlah pencari kerja, dengan rincian 150 laki-laki dan 322 perempuan. Dari jumlah tersebut 45,13 persen merupakan pencari kerja tamatan SLTA, tamatan Diploma 33,26 persen dan tamatan sarjana 21,61 persen. Dari 472 orang pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Toba Samosir tahun 2012, yang diterima berjumlah 129 orang dari berbagai latar belakang pendidikan. 4.1.5 Sosial 1. Pendidikan pendidikan merupakan sektor yang sangat menentukan dalam meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM). Dengan SDM yang ada baik dari segi kualitas dan kuantitas yang tinggi diharapkan menjadi motor penggerak dan pelaksana pembangunan di Kabupaten Toba Samosir. Indikator keberhasilan pendidikan salah satunya dapat dilihat dari peningkatan angka partisipasi sekolah dari tahun ke tahun. Penigkatan ini harus didukung oleh tersedianya sarana dan prasaran yang baik dan memadai. Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) jumlah sekolah pada tahun ajaran 2012/2013 berjumlah 226 unit, dengan jumlah guru dan murid masing-masing sebanyak 1.888 guru dan 26.893 siswa. Rasio murid SD terhadap guru tahun ajaran 2012/2013 sebesar 14 orang, artinya rata-rata tiap guru mengajar sekitar 14 orang siswa. Sementara rasio murid terhadap sekolah sebesar 119. Ini berarti bahwa rata-rata murid tiap sekolah sekitar 119 murid. Pada tahun ajaran yang sama jumlah unit Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kabupaten Toba Samosir sebanyak 45 unit, dengan jumlah guru dan siswa masing-masing 1.071 guru dan 12.830 siswa. Rasio murid terhadap guru dan sekolah masing-masing 11 dan 275. Sementara rasio guru terhadap sekolah rata-rata 24 guru. Pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) jumlah sekolah yang ada sebanyak 16 unit dengan jumlah guru yang tersedia sebanyak 482 guru dan murid sebanyak 6.776. Sedangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), jumlah sekolah, guru dan murid masing-masing 19 sekolah, 517 guru dan 5.752 murid. Rasio murid SMA terhadap guru dan sekolah masing-masing sebesar 14 dan 424. Sedangkan rasio murid SMK terhadap guru dan sekolah masing-masing 11 dan 303. Rasio guru SMA dan SMK terhadap sekolah masing-masing 30 dan 27. Pada tahun 2012 Kabupaten Toba Samosir memiliki enam perguruan tinggi setingkat Akademi yang tersebar di Kecamatan Balige dan Kecamatan Laguboti. Jumlah mahasiswa tercatat 811 orang dengan jumlah dosen 110 orang.
2. Kesehatan Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang ditunjang oleh kemudahan dan terjangkaunya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat luas merupakan salah satu pilar pembangunan dibidang kesehatan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir. Dengan tersedianya sarana dan prasarana kesehatan berupa rumah sakit, puskesmas, pondok bersalin desa, posyandu, apotek, toko obat dan lain-lain merupakan sarana dalam meningkatkan dan menunjang kualitas hidup masyarakat. Jumlah rumah sakit di Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 sebanyak 3 (tiga) unit termasuk satu diantaranya rumah sakit khusus kusta, yang berlokasi di 3 kecamatan. Sementara sarana kesehatan yang lain seperti pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) berjumlah 19 unit dan puskesmas pembantu sebanyak 31 unit, pos kesehatan desa (poskesdes) sebanyak 179 unit, pondok bersalin desa (polindes) sebanyak 77 unit, serta pos pelayanan terpadu (posyandu) berjumlah 303 unit. Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 sebanyak 762 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 63 orang dokter (baik dokter umum, gigi dan spesialis), paramedis perawatan sebanyak 560 orang, paramedis non perawatan 108 orang dan non medis sebanyak 31 orang yang tersebar di seluruh kecamatan. 3. Agama dan Sosial Lainnya Jumlah rumah ibadah menurut jenis rumah ibadah tahun 2012 di Kabupaten Toba Samosir sebagai berikut, Gereja Protestan sebanyak 351 gereja, Gereja Katolik sebanyak 68 gereja, dan 35 Mesjid. Untuk keadaan sosial lainnya telihat dari angka kalahiran. Jumlah kelahiran yang terdaftar pada Kantor Catatan Sipil tahun 2012 sebanyak 10.964 kelahiran, terdiri dari 5.511 laki-laki dan 5.453 perempuan. Sementara jumlah perkawinan yang terdaftar pada Kantor Catatan Sipil tahun 2012 sebanyak 4.352 perkawinan. 4. Sosial Politik Aktivitas masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi berdasarkan jenis organisasi yang terdaftar pada Kantor Kesatuan Bangsa Kabupaten Toba Samosir dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Jumlah partai politik yang terdaftar sebagai partai peserta pemilu 2009 di Kabupaten Toba Samosir sebanyak 32 partai. Jumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) tahun 2012 sebanyak 30 organisasi organisasi kepemudaan (OKP) 21 organisasi, dan 45 organisasi LSM. 4.1.6 Pertanian Sebagian besar penduduk Kabupaten Toba Samosir menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari luasnya hamparan pertanian, khususnya lahan persawahan. Salah satu pilar pembangunan Kabupaten Toba Samosir, yaitu terciptanya pertanian yang maju. Hal ini menunjukkan kemauan yang kuat dari pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Pertanian menjadi sektor andalan bagi Kabupaten Toba Samosir dalam menggerakan perekonomian daerah. Tahun 2012 sektor ini memberi kontribusi yang cukup besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Toba Samosir, yaitu sekitar 24,47 persen terhadap total PDRB. 1. Tanaman Bahan Makanan Perkembangan luas panen dan produksi padi dari tahun 2011 ke tahun 2012 mengalami peningkatan. Tahun 2012 luas panen padi seluas 22.237 Ha dengan jumlah produksi sebesar 119.101 ton (naik 3,00 persen dari tahun 2011). Luas panen dan produksi tanaman jagung tahun 2012 seluas 3.395 Ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 17.810 ton, dengan tingkat produktivitas sebesar 52,46 Kw/Ha. Sementara luas panen kacang tanah tahun 2012 seluas 204 Ha dengan produksi yang dihasilkan 328 ton. 2. Perkebunan Tanaman perkebunan umumnya merupakan usaha yang dikelola secara swadaya oleh rakyat. Tanaman perkebunan yang dikelola oleh perusahaan perkebunan masih relatif kecil. Kopi merupakan komoditi andalan tanaman perkebunan rakyat yang mempunyai prospek yang baik. Dilihat dari luas tanam, tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan rakyat dengan luas tanam terluas dibanding dengan tanaman perkebunan lainnya. Luas tanaman kopi tahun 2012 sebesar 3.043,95 Ha. Tidak seperti tanaman perkebunan rakyat lainnya, tanaman kopi tersebar di seluruh kecamatan. Kecamatan Habinsaran merupakan daerah yang mempunyai areal tanaman kopi terluas, yakni 1.000,36 Ha dengan produksi 1.288,74 ton tahun 2012.
3. Perikanan Usaha perikanan pada umumnya juga dikelola sebagai usaha rumah tangga, baik sebagai kegiatan budidaya maupun kegiatan penangkapan ikan. Budidaya perikanan dilakukan di kolam, sawah, jaring apung, kolam air deras dan pembenihan, sedangkan usaha penangkapan dilakukan di danau, sungai dan rawa. Pada tahun 2012 jumlah rumah tangga yang melakukan budidaya perikanan sebanyak 2.875 rumah tangga, sedangkan yang melakukan kegiatan penangkapan sebanyak 2.630 rumah tangga. Produksi ikan Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2012 sebesar 16.208,5 ton terdiri dari 1.192,5 ton hasil penangkapan dan 15.016,0 ton hasil budidaya. 4. Peternakan Usaha peternakan umumnya juga dikelola dan diusahakan oleh masyarakat sebagai usaha rumah tangga. Ternak dapat dikelompokkan menjadi ternak besar dan ternak kecil dan unggas. Ternak besar terdiri dari sapi, kerbau dan kuda. Ternak kecil meliputi kambing, domba dan babi. Sedangkan ternak unggas meliputi ayam dan itik. Pada tahun 2012 jumlah populasi ternak besar seperti sapi berjumlah 1.488 ekor, kerbau 10.943 ekor dan kuda 76 ekor. Populasi ternak kecil seperti kambing, dan domba mengalami penurunan. Jumlah kambing tahun 2012 sebanyak 3.689 ekor, domba 1.817 ekor dan sementara jumlah babi meningkat menjadi 22.248 ekor.
4.1.7 Perekonomian Daerah Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional harus dilaksanakan secara terpadu dan serasi serta diarahkan untuk mengembangkan daerah sesuai dengan prioritas dan potensi wilayah/kawasan. Upaya untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat pada periode 2011-2015 masih akan dibayangi oleh kondisi krisis ekonomi global. Tantangan pokok yang akan dihadapi pada periode 2011-2015 masih terkait dengan masalah-masalah sosial mendasar terutama penganguran dan kemiskinan. Guna menekan jumlah pengangguran, kualitas pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan agar kegiatan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Fakta yang ada menunjukkan bahwa hampir separuh jumlah propinsi memiliki tingkat kemiskinan di atas rata- rata nasional dan pada umumnya penduduk miskin masih terkonsentrasi di daerah perdesaan. Pada Tahun 2008 jumlah Keluarga Prasejahtra/Keluarga Sejahtra (KS I) sebesar 14.777 keluarga dimana kecamatan balige merupakan kecamatan yang memiliki jumlah keluarga prasejahtra/KS I, yaitu sebanyak 2.005 keluarga dan kecamatan tampahan merupakan kecamatan dengan jumlah keluarga prasejahtra/KS I terkecil yaitu hanya 444 keluarga. Secara umum struktur ekonomi Kabupaten Toba Samosir masih didominasi sektor industri diikuti sektor pertanian dan perdagangan. Pada tahun 2005 kontribusi sektor industri terhadap PDRB atas dasar harga berlaku adalah 37,71%, pada tahun 2005, tahun 2006 naik menjadi 39,54%, tahun 2007 naik menjadi 41,20%, tahun 2008 naik menjadi 42,58%, tahun 2009 turun menjadi 42.48%. Distribusi setiap lapangan usaha terhadap PDRB Kab Toba Samosir dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.2 Struktur perekonomian Kabupaten Toba Samosir tahun 2005-2009 (Juta/Rupiah) Sumber: RPJMD Kabupaten Toba Samosir 2011-2015 4.1.8 Visi dan Misi Kabupaten Toba Samosir 1. Visi Visi Pemerintah Kabupaten Toba Samosir 2011-2015 adalah Terwujudnya Kabupaten Toba Samosir Yang Memiliki Rasa Kasih, Peduli, Dan Bermartabat. Dengan penjabaran sebagai berikut, Kasih adalah kehidupan yang berkeadilan, saling membantu memenuhi kebutuhan hidup, baik lahir maupun batin seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Toba Samosir. Kasih juga meliputi
Lapangan Usaha
2005
2006
2007
2008
2009 Pertanian 608.038,43 641.201,75 689.531,89 745.373,57 805.655,21 Pertambangan dan Penggalian 6.102,54 7.179,64 8.564,64 10.407,65 12.396,23 Industri 714.913,13 838.721,27 994.941,50 1.168.585,30 1.298.111,61 Listrik, Gas dan Air Minum 20.669,61 22.909,85 25.604,18 28.658,63 32.377,59 Bangunan 97.885,95 114.483,04 132.085,73 154.670,03 188.436,97 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 174.198,88 203.180,00 235.980,69 275.462,33 303.166,31 Pengangkutan dan Komunikasi 63.181,83 70.124,57 77.539,09 86.821,59 97.610,55 Keuangan, Asuransi, Persewaan dan Jasa Perusahaan 59.619,02 64.629,48 72.748,80 82.704,70 91.876,76 Jasa Kemasyara- katan, Sosial dan Perorangan 151.161,14 158.679,88 177.623,36 197.104,95 226.788,76
Total
1.895.770,53
2.121.109,48
2.414.619,87
2.746.136,65
3.056.049,03 supremasi hukum, untuk menciptakan rasa aman, tentram, damai sejahtera dan senantiasa dalam lindungan Tuhan, termasuk masyarakat yang berbudaya dan beradat. Peduli maksudnya peduli terhadap segenap lapisan masyarakat terutama masyarakat miskin, karena kita menyadari sebahagian masyarakat masih tergolong miskin dan juga perduli terhadap lingkungan hidup. Bermartabat adalah pemerintahan harus didasarkan pada peraturan/ketentuan yang berlaku, sehingga tercipta suatu pemerintahan yang stabil, efisien, efektif, transparan dan demokratis. 2. Misi Untuk terwujudnya visi tersebut di atas, Pemerintah Kabupaten Toba Samosir merumuskan misi sebagai berikut: 1. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa; 2. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan; 3. Meningkatkan mutu pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia; 4. Meningkatkan pembangunan infrastruktur; 5. Mewujudkan pengembangan ekonomi rakyat; 6. Mengoptimalkan serta memanfaatkan sumber daya alam; 7. Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan dinamis. 4.2 Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Reformasi birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokrasi pada tataran pemerintah daerah antara lain bidang organisasi perangkat daerah yang diarahkan untuk terciptanya organisasi yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan implikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang diformulasikan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen orang terdiri dari atas unsur pimpinan, unsur staf, unsur pengawas, unsur perencana, unsur pelaksana, unsur pendukung dan unsur pelayanan. Pembinaan dan pengendalian organisasi dimaksudkan dalam rangka koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi antar daerah dan antar sektor, sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan perangkat daerah yang dilaksanakan melalui fasilitasi, asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan serta kerjasama. Dalam penataan kelambagaan perangkat daerah harus menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas. 4.2.1 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Pembentukan organisai perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dengan memperhatikan dan berpedoman pada PP No.41 Tahun 2007. Pembentukan perangkat daerah yang ditetapkan di dalam peraturan daerah, memuat nama atau nomenklatur, tugas pokok dan susunan organisasi masing- masing satuan kerja perangkat daerah. Hal ini berlaku untuk penataan kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi maupun kabupaten/kota. Peraturan Daerah (Perda) tentang perangkat daerah secara prinsip dituangkan dalam1 (satu) Perda. Namun apabila lebih dari 1 (satu) Perda, dapat dikelompokkan dalam beberapa peraturan daerah yang terdiri dari: 1. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Sekretariat Daerah dan Skretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah termasuk Staf Ahli. 2. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Dinas Daerah. 3. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah termasuk Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Rumah Sakit Daerah. 4. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga lain yang telah mendapat persetujuan pemerintah. Kemudian, penjabaran tugas pokok dan fungsi masing-masing perangkat daerah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur pada provinsi dan Peraturan Bupati/Walikota pada kabupaten/kota. Demikian juga dengan pengaturan tentang UPT Dinas dan Badan mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsi juga ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota. 4.2.2 Kedudukan, Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah Tugas dan fungsi masing-masing perangkat daerah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dengan ruang lingkup dan kewenangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta potensi dan karakteristik daerah masing-masing SKPD secara lebih teknis sebagai berikut: a. Sekretariat Daerah sebagai unsur staf pada hakekatnya menyelenggarakan fungsi koordinasi perumusan kebijakan, koordinasi pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pelaporan serta pelayanan administratif. Selain itu Sekretariat Daerah juga dapat melaksanakan fungsi hukum dan perundang- undangan, organisasi dan tatalaksana, hubungan masyarakat, protocol, serta fungsi pemerintahan umum lainnya yang tidak tercakup dalam tugas dinas dan lembaga teknis, misalnya penanganan urusan kerjasama, perbatasan dan lain- lain. b. Sekretariat DPRD sebagai unsur pelayanan pada hakekatnya memberikan pelayanan administratif kepada dewan yang meliputi kesekretariatan, pengelolaan keuangan, fasilitasi penyelenggaraan rapat-rapat dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan sesuai kemampuan keuangan daereah masing-masing. c. Inspektorat sebagai unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan, baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota. Dalam rangka akuntabilitas dan objektifitas hasil pengawasan, maka Inspektur dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Gubernur ataupun pada Bupati/Walikota, sedangkan kepada sekretaris daerah merupakan pertanggungjawaban administratif dalam hal keuangan dan kepegawaian. d. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan melaksanakan tugas perumusan kebijakan perencanaan daerah, koordinasi penyusunan rencana yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan masing- maing Satuan Kerja Perangkat Daerah. e. Dinas Daerah, sebagai unsur pelaksana otonomi daerah pada hakekatnya menyelenggarakan urusan otonomi daerah baik yang bersifat wajib maupun pilihan, sesuai dengan pembagian urusan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. f. Lembaga Teknis Daerah, sebagai unsur pendukung yang sifatnya lebih teknis. Lembaga teknis daerah dapat berbentuk badan, kantor dan rumah sakit, penentuan Badan atau Kantor sesuai dengan analisis beban kerja. 4.2.3 Besaran Organisasi Perangkat Daerah Besaran organisasi ditentukan berdasarkan perhitungan kriteria dari variabel sebagaimana yang telah ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pembobotan masing- masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen) untuk variable luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval. Ketentuan pembobotan terhadap masing-masing variabel dapat dilihat dalam tabel berikut: a. PROVINSI Tabel 4.3 Penetapan variabel besaran organisasi perangkat daerah provinsi No VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI 1 2 3 4 1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Provinsi di Pulau Jawa <7.500.000 7.500.001 - 15.000.000 15.000.001 - 22.500.000 22.500.001 - 30.000.000 >30.000.000 8 16 24 32 40 1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Provinsi di luar Pulau Jawa <1.500.000 1.500.001 - 3.000.000 3.000.001 - 4.500.000 4.500.001 - 6.000.000 >6.000.000 8 16 24 32 40 2. Luas Wilayah (KM2) Untuk Provinsi di Pulau Jawa <10.000 10.001 - 20.000 20.001 - 30.000 30.001 - 40.000 <40.001 7 14 21 28 35 3. Luas Wilayah (KM2) Untuk Provinsi di luar Pulau Jawa <20.000 20.001 - 40.000 40.001 - 60.000 60.001 - 80.000 >80.000 7 14 21 28 35 4. JUMLAH APBD <Rp 500.000.000.000,00 Rp 500. 000.000.001,00 - Rp 1.000. 000.000.000,00 Rp 1.000. 000.000.001,00 - Rp 1.500. 000.000.000,00 Rp 1.500. 000.000.001,00 - Rp 2.000. 000.000.000,00 >Rp 2.000. 000.000.000,00 5 10 15 20 25 Sumber: Lampiran PP 41 Tahun 2007
b. KABUPATEN Tabel 4.4 Penetapan variabel besaran organisasi perangkat daerah kabupaten No VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI 1 2 3 4 1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura <250.000 250.001 - 500.000 500.001 - 750.000 750.001 - 1.000.000 >1.000.000 8 16 24 32 40 2. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura <150.000 150.001 - 300.000 300.001 - 450.000 450.001 - 600.000 >600.000 8 16 24 32 40 3. Luas Wilayah (KM2) Untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura <500 501 - 1.000 1.001 - 1.500 1.501 - 2.000 <2.000 7 14 21 28 35 4. Luas Wilayah (KM2) Untuk Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura <20.000 20.001 - 40.000 40.001 - 60.000 60.001 - 80.000 >80.000 7 14 21 28 35 5. JUMLAH APBD <Rp 200.000.000.000,00 Rp 200. 000.000.001,00 - Rp 400. 000.000.000,00 Rp 400. 000.000.001,00 - Rp 600. 000.000.000,00 Rp 600. 000.000.001,00 - Rp 800. 000.000.000,00 >Rp 800. 000.000.000,00 5 10 15 20 25 Sumber: Lampiran PP 41 Tahun 2007
c. KOTA Tabel 4.5 Penetapan variabel besaran organisasi perangkat daerah kota No VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI 1 2 3 4 1. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura <100.000 100.001 - 200.000 200.001 - 300.000 300.001 - 400.000 >400.000 8 16 24 32 40 2. JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan Madura <50.000 50.001 - 100.000 100.001 - 150.000 150.001 - 200.000 >200.000 8 16 24 32 40 3. Luas Wilayah (KM2) Untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura <50 51 - 100 101 - 150 151 - 200 <200 7 14 21 28 35 4. Luas Wilayah (KM2) Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan Madura <20.000 20.001 - 40.000 40.001 - 60.000 60.001 - 80.000 >80.000 7 14 21 28 35 5. JUMLAH APBD <Rp 200.000.000.000,00 Rp 200. 000.000.001,00 - Rp 400. 000.000.000,00 Rp 400. 000.000.001,00 - Rp 600. 000.000.000,00 Rp 600. 000.000.001,00 - Rp 800. 000.000.000,00 >Rp 800. 000.000.000,00 5 10 15 20 25 Sumber: Lampiran PP 41 Tahun 2007 Penetapan kelas interval untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditentukan dengan skala yang berbeda-beda. Berdasarkan ketentuan dalam penetapan variabel besaran Organisasi Perangkat Daerah tersebut, besar jumlah total nilai yang menjadi ketentuan dalam menetapkan besaran Organisasi Perangkat Daerah. Besaran organisasi yang dapat dibentuk sebagai berikut: Nilai Kurang dari 40 (empat puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 12 Dinas, 8 Lembaga Teknis Daerah) Nilai antara 40 (empat puluah) sampai dengan 70 (tujuh puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 15 Dinas, 10 Lembaga Teknis Daerah) Nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) OPD yang diwadahi (4 Asisten, 18 Dinas, 12 Lembaga Teknis Daerah) (diolah dari PP 41 Tahun 2007). Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tersebut tidak menentukan jenis perangkat daerah masing-masing daerah, namun ditentukan oleh potensi dan karakteristik daerah masing-masing, dengan memperhatikan pembagian urusan, baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Oleh karena itu, kebutuhan akan besaran Organisasi Perangkat Daerah juga senantiasa juga tidak sama dan tidak seragam. Jenis dan nomenkaltur serta jumlah perangkat daerah dapat disesuaikan dengan kharakteristik, kebutuhan, kemampuan, potensi daerah dan beban kerja perangkat daerah. Untuk menentukan besaran susunan organisasi dilakukan melalui analisis jabatan dan analisis beban kerja. 4.2.4 Perumpunan Bidang Pemerintahan Penyusunan organisasi perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adannya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Penanganan urusan tersebut tidak harus dibentuk dalam suatu organisasi yang tersendiri, dalam beberapa urusan yang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah. Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari: a. bidang pendidikan, pemuda dan olahraga; b. bidang kesehatan; c. bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi; d. bidang perhubungan, komunikasi dan informatika; e. bidang kependudukan dan catatan sipil; f. bidang kebudayaan dan pariwisata; g. bidang pekerjaan umum yang meliputi bina marga, pengairan, cipta karya dan tata ruang; h. bidang perekonomian yang meliputi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, industry dan perdagangan; i. bidang pelayanan pertahanan; j. bidang pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan, perikanan darat, kelautan dan perikanan, perkebunan dan kehutanan; k. bidang pertambangan dan energi; l. bidang pendapatan, pengelolan keuangan dan asset. Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, dan rumah sakit terdiri dari: a. bidang perencanaan pembangunan dan statistic; b. bidang penelitian dan pengembangan; c. bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat; d. bidang lingkungan hidup; e. bidang ketahanan pangan; f. bidang penanaman modal; g. bidang perpustakaan, arsip, dan dokumentasi; h. bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa; i. bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana; j. bidang kepegawaian, pendidikan dan pelatihan; k. bidang pengawasan; dan l. bidang pelayanan kesehatan. Sementara perangkat daerah untuk melaksanakan urusan pilihan, berdasarkan pertimbangan adanya urusan secara nyata ada sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. 4.2.5 Eselon Jabatan Perangkat Daerah Berikut merupakan rincian eselonisasi jabatan perangkat daerah untuk kabupaten/kota: 1. Sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon IIa. 2. Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, direktur rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan direktur rumah sakit umum daerah kelas A merupakan jabatan structural eselon IIb. 3. Kepala kantor, camat, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan inspektorat, inspektur pembantu, direktur rumah sakit umum kelas C, direktur rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan wakil direktur rumah sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan structural eselon IIIa. 4. Kepala bidang pada dinas dan badan, kepala bagian dan kepala bidang pada rumah sakit umum daerah, direktur rumah sakit umum daerah kelas D, dan sekretaris camat merupakan jabatan structural eselon IIIb. 5. Lurah, kepala seksi, kepala subbagian, kepala subbidang, dan kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan merupakan jabatan structural eselon IVa. 6. Sekretaris kelurahan, kepala seksi pada kelurahan, kepala subbagian pada unit pelaksana teknis, kepala tata usaha sekolah kejuruan dan kepala subbagian pada secretariat kecamatan merupakan jabatan structural eselon IVb. 7. Kepala tata usaha sekolah lanjutan tingkat pertama dan kepala tata usaha sekolah menengah merupakan jabatan structural eselon Va.
BAB V PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS TEMUAN PENELITIAN Data yang dikumpulkan peneliti dalam bab ini kemudian akan dideskripsikan, diolah dan di analisis. Data dan informasi yang dibutuhkan dikumpulkan dengan cara wawancara, kuesioner dan data sekunder (existing data). Analisis data dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dinyatakan sebelumnya. Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan mengelompokkannya dalam suatu bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasi. Kegunaan analisis ialah mereduksikan data menjadi perwujudan yang dapat dipahami dan ditafsir dengan cara tertentu sehingga relasi masalah penelitian dapat ditelaah serta diuji. Bab ini akan khusus menyajikan pembahasan atau analisis atas data yang telah dikumpulkan oleh peneliti tentang implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir. Bagian penyajian data akan mendeskripsikan data-data yang diperoleh oleh peneliti melalui wawancara, kuesioner ataupun data sekunder sehingga data yang disajikan nantinya dapat menggambarkan atau memberi pemahaman sehingga nantinya akan lebih mudah dalam penerikan kesimpulan. Untuk bagian analisis dalam bab ini akan dibagi kedalam dua bagian besar yaitu, bagian yang membahas bagaimana PP No.41 Tahun 2007 ini dilaksanakan serta bagian yang akan membahas tentang efektivitas yaitu analisis implementasi kebijakan dimaksud. Bagian pertama akan melihat teknis atau mekanisme pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir. Bagian yang kedua akan fokus melihat implementasi PP No.41 ini melalui faktor-faktor atau variabel-variabel implementasi yang peneliti telah tentukan dalam kerangka teori, sebagai faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir. Bagian terakhir akan membahas tentang arah restrukturisasi organisasi dari beberapa sisi, mulai dari visi dan tujuan pemerintah daerah, kepemimpinan, transformasi organisasi, serta hambatan-hambatan dalam melaksanakan restrukturisasi organisasi. 5.1 Penyajian Data 5.1.1 Deskripsi Hasil Wawancara Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang paling banyak digunakan dalam mengumpulkan data atau informasi yang dibutuhkan peneliti dalam penelitian ini. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu melihat bagaimana efektivitas implementasi PP No.41 Tahun 2007. Efektivitas berarti melihat capaian dari implementasi, apakah tujuan atau hasil yang diinginkan oleh kebijakan telah tercapai? Dalam bagian ini hasil wawancara yang telah dikumpulkan oleh peneliti akan dideskripsikan berdasarkan variabel-variabel implementasi kebijakan yang mempengaruhi implementasi PP No.41 Tahun 2007.
A. Deskripsi Variabel Karakteristik Isi Kebijakan/Peraturan Pengoperasionalan Dari variabel ini indikator yang akan dilihat yaitu: 1) tujuan dan sasaran kebijakan, serta 2) perubahan yang diinginkan oleh kebijakan sesuai dengan substansi yang terdapat dalam isi kebijakan. Tujuan dan sasaran kebijakan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan informan adalah sebagai berikut: arahnya adalah penyusunan organisasi yang, OPD yang miskin struktur kaya fungsi awalnya, walaupun implementasinya masih belum maksimal, seperti yang saya katakan tadi bukan tidak maksimal tapi belum maksimal. Substansi kebijakan PP No.41 Tahun 2007 paling tidak terdiri dari besaran organisasi yang ditentukan berdasarkan keadaan tiga variabel (APBD, jumlah penduduk, dan luas wilayah), perumpunan, nomenklatur serta eselon perangkat daerah. Berdasarkan hasil wawancara besaran organisasi memperhatikan beberapa pertimbangan-pertimbangan, termasuk ketiga variabel di atas. Variabel jumlah APBD, jumlah penduduk, dan luas wilayah digunakan untuk menentukan pola maksimal organisasi perangkat daerah yang bisa dibentuk oleh sebuah kabupaten/kota. Perumpunan merupakan pertimbangan untuk menetapkan organisasi yang bisa digabung dan yang tidak bisa digabung. Selain itu perumpunan ini juga menetapkan urusan pemerintahan yang diwadahi dalam bentuk dinas ataupun dalam bentul LTD (badan dan kantor). Nomenklatur atau penamaan menetapkan nama sebuah lembaga ataupun SKPD serta perubahan- perubahannya. Pada akhirnya implikasi dari jenis SKPD yang dibentuk akan menentukan struktur eselon yang terdapat dalam SKPD yang dibentuk tersebut. Secara umum substansi ini dijadikan pedoman dalam menyusun organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir tetapi masih terdapat kekurangan- kekurangan seperti yang ada dalam kutipan wawancara berikut: disinikan masih badan pertambangan, padahal di PP 41 dia harus dalam bentuk dinas, ini kurang dipelajari,semestinya ini harus dalam bentuk Dinas Pertambangan dan Energi, disini yang bentuk badan adalah lingkungan hidup.
B. Deskripsi Variabel Struktur Birokrasi Fokus wawancara dari variabel ini adalah 1) Struktur organisasi atau fragmentasi dan aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 dan 2) Standart Operating Procedure (SOP), yaitu keberadaan petunjuk teknis pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007. PP No.41 dalam implementasinya melibatkan banyak lembaga yang terlibat mulai dari pemerintah pusat sampai ke lembaga-lembaga di daerah. Unit-unit yang terlibat terfragmentasi sesuai dengan fungsi masing-masing dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 ini. Banyaknya aktor yang terlibat mempengaruhi kompleksnya komunikasi dan koordinasi di antara aktor dalam organisasi implementasi. SOP dari kebijakan ini untuk tingkat daerah belum ada. Petunjuk yang ada adalah petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Petunjuk teknis di tingkat daerah sampai saat ini belum ada. Pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan ini hanya berdasarkan petunjuk teknis dari pemerintah pusat, diluar itu semuanya dilakukan dengan petunjuk-petunjuk tersirat. Hal-hal ini mengakibatkan banyak masalah yang kemudian mempengaruhi kinerja implementasi PP No.41 Tahun 2007 ini. C. Deskripsi Variabel Koordinasi dan Komunikasi Indikator-indikator yang menjadi fokus wawancara dalam variabel ini yaitu: 1) aspek komunikasi yang dilihat dari sosialisasi peraturan yang ada serta pemahaman pegawai atas PP No.41 Tahun 2007, dan 2) aspek koordinasi dilihat dari pola hubungan kerja di antara aktor-aktor dalam organisasi implementasi PP No.41 Tahun 2007. Sosialisasi kebijakan ini akan mempengaruhi pemahaman pegawai atas kebijakan. Pemahaman pegawai masih sangt minim, hal ini diakibatkan karena sosialisasi yang dilakukan sangat terbatas. Sementara pola organisasi yang membentuk arah koordinasi dalam organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir adalah dengan koordinasi berjenjang. Yang menjadi lead agency dari semua organisasi perangkat daerah yang ada adalah sekretariat daerah dengan tingkatan eselon yang paling tinggi di kabupaten/kota. Berikut pernyataan informan mengenai hal ini: Sekda itu adalah koordinasi keseluruhan, jadi semua jabatan itu dipimpin oleh bupati melalui sekretaris daerah. Jadi semua SKPD akan berkoordinasi dengan Sekda melalui 3 asisten. 3 asisten ini membawahi, ada itu pola koordinasi asisten, Asisten I membawahi dinas mana aja? Asisten II membawahi dinasi mana aja, asisten III juga.
D. Deskripsi Variabel Sumber Daya Beberapa indikator yang dilihat dalam variabel ini yaitu: 1) personil, 2) informasi dan fasilitas, serta 3) keadaan pembiayaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan keadaan personil dari sisi jumlah sebenarnya sudah memadai tetapi banyak permasalahan dalam masalah penempatan posisi pegawai sehingga informan wajar kalau merasa pegawai di instansi tempatnya bekerja masih kurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan informan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang mengatakan bahwa pegawai di sana jelas kurang karena saat ini hanya ada 29 pegawai, sedangkan masyarakat yang dilayani setiap hari bisa mencapai ratusan orang, pegawai yang kurang itu terletak pada posisi staf, seharusnya setiap Kasubbag setidaknya mempunyai dua orang staf. Demikian juga dengan pernyataan informan di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa yang merasa pegawai di instansi ini masih kurang. Sementara itu di pegawai di Kantor Ketahanan Pangan dirasa sudah cukup dengan jumlah pegawai 9 orang untuk ukuran kantor. Menanggapi masalah pegawai ini berikut pernyataan informan dari Bagian Organisasi Setdakab Toba Samoisr: saya bingung entah dimana pegawainya? Kita selalu bilang berlebih- lebih, tapi kamu lihat sendiri staf di sini berapa orang? Di sana berapa orang?...di Bagian Hukum stafnya cuma satu orangjadi kita katakan berlebih tapi tidak tau kita dimana berlebih?....Jadi kalau saya katakan, pembagian staf itu kurang optimal karena disatu sisi ada SKPD yang berjibun atau berlebih dan ada juga yang kekurangan.Coba kamu bayangkan ketika belanja pegawai sudah di atas 60% sampai 70%, berarti pegawai itu banyak, tapi banyak itu dimana? Berarti tidak optimal penempatan posisi. Dari sisi kompetensi pegawai juga masih terdapat banyak masalah di antaranya banyaknya pegawai yang ditempatkan tidak sesuai dengan latar belakang pandidikan yang dimiliki. Selain itu untuk peningkatan kompetensi pegawai masih sangat minim dengan belum memadainya anggaran untuk diklat dari APBD. Sisi motivasi juga demikian, dimana terdapat banyak faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi pegawai dalam memberikan pelayanan. Pembiayaan dan sarana prasarana juga masih sangat terbatas sehingga juga sangat mempengaruhi implementasi kebijan PP No.41 Tahun 2007 ini. 5.1.2 Deskripsi Hasil Kuesioner Kuesioner dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjaring persepsi, pemahaman atau pengetahuan umum yang selanjutnya lebih jauh lagi digali dalam wawancara. Bentuk kuesioner yang ada adalah kuesioner dengan pernyataan terbuka sehingga jawaban dari responden tidak dibatasi. Oleh karena itu, untuk penyajian peneliti data tidak akan membuat tabel frekuensi seperti penyajian data kuesioner dengan pernyataan tertutup. Data akan dideskripsikan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Berikut ini adalah penyajian data hasil kuesioner: 1) Apakah Bapak/Ibu tahu tentang Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah? Jawaban responden rata-rata menyatakan tahu. 2) Apakah Bapak/Ibu tahu tentang Perda Kabupaten Toba Samosir No.2 Tahun 2008? Jawaban responden menyatakan tahu. 3) Apakah peraturan-peraturan di atas pernah disosialisasikan? Jawaban responden ada yang menyatakan pernah dan ada yang menyatakan tidak. 4) Apa tujuan dari kebijakan, siapa yang melaksanakan sosialisasi, bagaimana bentuk sosilisasi dilakukan? Responden menjawab bahwa tujuan kebijakan adalah mengatur atau menjelasakan struktur organisasi perangkat daerah dan ada juga yang menyebutkan sebagai acuan (pedoman) dasar untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Untuk sosialisasi, pihak yang melakukan sosialisasi disebutkan adalah Bagian Organisasi dan Bagian Hukum Setdakab Toba Samosir dengan bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah dengan berjumpa langsung. 5) Apa pedoman bapak/ibu dalam melaksanakan tugas atau melaksanakan sebuah program? Jawaban dari responden untuk melaksanakan tugas berpatokan pada tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan melalui Peraturan Bupati Kab. Toba Samosir, sementara untuk program mengacu pada program yang telah diusulkan dan sudah disahkan atau disetujui pimpinan. 6) Apakah Bapak/Ibu tahun tentang SOP? Jawaban responden menyatakan tahu dan tidak. Menurut responden SOP adalah suatu prosedur kerja yang bermanfaat untuk mempercepat suatu pekerjaan dan jelasnya suatu tahapan- tahapan pekerjaan dan ada juga yang menyebutkan SOP adalah pedoman dalam menjalankan tugas berdasarkan Tupoksi. 7) Untuk hubungan dengan unit instansi lain dalam beberapa program ada yang harus saling koordinasi dan ada yang tidak, tergantung program apakah melibatkan banyak unsur atau tidak. 8) Bagaimana kepemimpinan pemerintahan sekarang ini, termasuk kepemimpinan kepala instansi tempat bapak/Ibu bekerja? Kebanyakan responden menyatakan bahwa kepemimpinan pemerintahan dan kepemimpinan kepala instansi saat ini baik. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa otonomi daerah berdampak pada kepemimpinan yang kurang professional. 9) Bagaimana hubungan di antara pegawai? Pegawai melakukan rapat dalam rangka pelaksanaan program, kegiatan dan pemcahan masalah. Rapat dilakukan dengan periode yang berbeda-beda ada yang rutin dan ada juga yang tidak, rapat dilaksanakan jika ada sesuatu hal yang perlu ditindaklanjuti. Rapat ada juga dalam bentuk coffee morning ataupun rapat koordinasi untuk membahas isu-isu yang sedang berkembang. 10) Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban tugas Bapak/Ibu? Pertanggungjawaban dilakukan satu tingkat ke atas, misalnya seorang Kasubbag mempertanggungjawabkan tugasnya kepada kepala bagian. 11) Ketersediaan informasi-informasi yang dibutuhkan pegawai dalam melaksanakan tugasnya? Jawaban responden cukup memadai sesuai dengan yang dibutuhkan. 12) Ketersediaan sarana-prasarana atau fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas? Kebanyakan sarana-prasarana yang kurang tersedia adalah ATK, alat-alat percetakan seperti laptop dan printer, dan lain-lain. 13) Apa visi dan misi pemerintah Kabupaten Toba Samosir? Semua pegawai tahu visi pemerintahan daerah saat ini yaitu kasih, peduli dan bermartabat 14) Masalah perpindahan pegawai? Terjadi pergantian pimpinan SKPD setelah pegantian kepala daerah. Pergantian pejabat adalah sesuatu hal yang wajar bagi PNS, dan tidak ada protes yang dilakukan oleh pegawai. 15) Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti diklat? Pegawai rata-rata pernah mengikuti diklat seperti diklat pelatihan pengadaan barang dan jasa dan bimtek penatausahaan asset. Diklat dilakukan untuk peningkatan kapasitas aparatur. 5.1.3 Deskripsi Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Sumber sekunder meliputi komentar, interpretasi atau pembahasan tentang materi original. Bahan-bahan sumber sekunder dapat berupa artikel-artikel dalam surat kabar atau majalah popular, buku atau telaah gambar hidup, atau artikel-artikel yang ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah yang mengevaluasi atau mengkritisi sesuatu penelitian original yang lain. Bulletin statistic, laporan-laporan atau arsip organisasi, publikasi pemerintah, informasi yang dipublikasikan atau tidak dipublikasikan, data bases yang ada dari penelitian terdahulu, catatan-catatan publik mengenai peristiwa-peristiwa resmi, dan catatan-catatan perpustakaan juga merupakan sumber data sekunder (Silalahi, 2009:291). Data sekunder ini akan sangat mendukung data primer dalam sebuah penelitian. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian tentang implementasi PP No.41 tahun 2007 ini diantaranya adalah sebagai berikut: Makalah tentang kaji kritis PP No.8 Tahun 2003 yaitu PP tentang organisasi perangkat daerah sebelum PP No.41 Tahun 2007. Data-data dari buku-buku yang menjadi referrensi peneliti dalam menyelesaiakan skripsi ini. Data-data kepegawaian seperti data pertumbuhan jumlah pegawai, data tentang struktur eselon pegawai, serta data tentang keadaan pendidikan pegawai yang di dapat dari BKD Kabupaten Toba Samosir. Data-data pemerintahan yang di dapat dari Tobasa Dalam Angka. Dokumen kebijakan diantaranya PP No.41 Tahun 2007 dan Perda-perda tentang organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir. Beberapa dari data-data yang memungkinkan nantinya akan dilampirkan pada bagian akhir skripsi ini. 5.2 Perjalanan Penataan Organisasi Perangkat Daerah Pada masa reformasi sekarang, Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah dua kali berubah. Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang lahir di awal reformasi telah direvisi dengan lahirnya Undang-Undang No.32 Tahun 2004. Era reformasi disebut-sebut sebagai titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang labih nyata. Dalam Undang-Undang No. 22/1999 dapat dilihat bahwa titik berat pelaksanaan otonomi daerah berada pada tingkat Kabupaten dan Kota. Fokus otonomi daerah yang berada di Kabupaten dan Kota menunjukkan bahwa organisasi pemerintah yang semula menganut sentralisasi telah berubah menjadi desentralisasi. Di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, pengertian dari desentralisasi disebutkan adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berdasarkan pengertian tersebut ada beberapa implikasi tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan otonomi daerah tersebut. Dalam prespektif politik tujuan utama desentralisasi adalah demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal dan kepekaan lokal. Dari sisi lain tujuan dari desentralisasi adalah untuk mendekatkan pemerintah ke masyarakat sehingga pelayanan oleh pemerintah untuk masyarakat akan semakin dekat, selain itu masyarakat akan lebih dapat diberdayakan dengan dekatnya hubungan antara pemerintah dan masyarakat, termasuk dalam hal pengambilan keputusan. Sementara dari prespektif administrasi, tujuan dari desentralisasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di daerah (Romli, 2007:4-7). Efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan salah satu tujuan dari otonomi daerah yang sekarang ini kita kenal dengan istilah reformasi birokrasi daerah. Reformasi birokrasi pada tingkat daerah dilakukan dengan berbagai strategi diantarannya penataan kelambagaan, penataan sumber daya manusia, penataan tata laksana dan peningkatan akuntabilitas organisional atau akuntabilitas administratif. Reformasi birokrasi ini tidak lain adalah jalan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan (capacity building) organisasi perangkat daerah. Tindakan-tindakan efisiensi yang dilakukan sesuai dengan strategi-strategi reformasi yang ada yaitu, dengan penghematan struktur organisasi (sekaligus penghematan biaya), peningkatan prefesionalisme aparatur dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Peningkatan kapasitas kelembagaan ini pada akhirnya diharapkan dapat mengarah ke good local governance, yaitu terciptanya kepemerintahan di daerah yang baik, diprakarsai birokrasi yang handal serta di dukung oleh partisipasi masyarakat dan swasta. Dari sisi regulasi atau undang-undang pemerintahan daerah isu kelembagaan dan kewenangan juga merupakan isu strategik yang sering dibahas dan sudah mengalami beberapa kali revisi. Kelembagaan dan kewenangan merupakan dua komponen dalam otonomi daerah yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kelembagaan atau organisasi perangkat daerah yang akan dibentuk oleh pemerintah daerah ditentukan oleh pembagian urusan atau kewenangan yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Dalam UU No.22 Tahun 1999, kelembagaan pertama sekali diatur dengan PP No.84 Tahun 2000. Sementara untuk kewenangan dalam pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 disebut bahwa urusan untuk pemerintah daerah adalah kewenangan sisa. Semua kewenangan yang tidak disebutkan dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagai kewenangan pusat dengan sendirinya menjadi kewenangan kabupaten dan kota (Prasojo, 2003:2). Disinilah otonomi kabupaten dan kota mengalami pembesaran. Ketentuan PP No.84 Tahun 2000 menyebabkan masalah inefisiensi dan pembengkakan jumlah dinas dan Lembaga Pelaksana Teknis Daerah (LPTD). Hal ini diakibatkan belum adanya standar kriteria yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagai pedoman bagi pemerintah daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah. Didasari oleh masalah tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan PP No.8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Meskipun demikian, PP No. Tahun 2003 juga tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan. Pertama, kelemahan PP No.84 Tahun 2000 berkaitan dengan struktur eselonisasi jabatan tidak direvisi dalam PP No.8 Tahun 2003. Secara horizontal, tidak tergantung dengan luas wilayah, jumlah penduduk dan kompleksitas permasalahan, semua pemerintah daerah pada level yang sama memiliki struktur eselon yang sama. Tidak terdapat pertimbangan yang mengaitkan antara struktur eselon dengan fungsi dan beban kerja dinas. Untuk menunjukkan tingkat hierarki antara provinsi dan kabupaten/kota, struktur jabatan di tingkat provinsi memiliki eselon yang lebih tinggi. PP No.8 Tahun 2003 sangat bernuansa efisiensi. Jumlah dinas di tingkat Provinsi dibatasi maksimal 10, sedangkan di tingkat kabupaten dan kota maksimal 14. Demikian juga dengan LPTD yang dibatasi maksimal 8 baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Secara internal, jumlah maksimal organisasi perangkat daerah dalam dinas dan LPTD juga ditentukan. Sebuah dinas baik provinsi maupun kabupaten/kota misalnya, memiliki jumlah bidang maksimal 4. Demikian juga jumlah maksimal sub bagian atau seksi yang boleh ada dalam sebuah dinas. Di sisi lain PP No.8 Tahun 2003 ini juga tidak memuat dengan jelas tentang perbedaan antara Dinas dan LPTD (Badan dan Kantor). Pasal 6 dan pasal 10 hanya menetapkan bahwa Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pelaksana tugas tertentu, dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggun jawab kepada gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk kabupaten/kota. Banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yang sangat mempengaruhi implementasinya oleh pemerintah daerah serta iklim politik pemerintahan yang masih dalam masa transisi mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan revisi atas undang-undang tersebut. Undang-Undang Otonomi Daerah kemudian digantikan dengan undang-undang baru pada tahun 2004 melalui UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004. Demikian juga dengan kelembagaan dan kewenangan harus diubah dengan Peraturan Pemerintah yang baru. Pemerintah daerah dalam menyusun organisasi perangkat daerah untuk tahun 2004 sampai sekarang ini berpedoman pada dasar hukum yang baru. Dasar hukum dalam pembentukan organisasi perangkat daerah setidaknya harus berpatokan pada: a. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 3 juga disebutkan bahwa pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah. Undang-undang No.32 Tahun 2004 juga menyebutkan tentang pemmbagian urusan pemerintahan (kewenangan). Urusan pemerintahan dibagi kedalam dua kelompok, yaitu urusan ekslusif pemerintah pusat dan urusan bersama (konkuren). b. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah ini lebih lanjut diatur mengenai pembagian urusan pemerintahan (kewenangan). Urusan bersama (konkuren) seperti yang disebutkan dalam UU No.32 Tahun 2004 dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu urusan wajib dan urusan pilihan kemudian lebih dijeaskan dalam Peraturan Pemerintah ini. c. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari: unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat. unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat. unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan. unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah. Dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini, urusan yang didesentralisasikan kebanyakan adalah urusan wajib dan masih sangat minim untuk urusan pilihan. Akibatnya pengembangan kelembagaan dan kompetensi aparatur hanya terfokus pada urusa wajib. Hal inilah yang menyebabkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah masih setengah hati. Selain itu prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 ini adalah prinsip general competence. Dimana dalam penerapannya tidak memandang suatu daerah merupakan daerah otonom lama atau otonom baru, semua daerah dianggap mampu untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah ini. 5.3 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir Kabupaten Toba Samosir dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1998 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Sebagai sebuah daerah otonom Kabupaten Toba Samosir sejak berdiri telah membentuk perangkat daerah sebagai unsur pembantu kepala daerah dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan. Keadaan organisasi perangkat daerah yang ada telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah serta peraturan pemerintah yang menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk menyusun organisasi perangkat deareah yang berlaku sesuai dengan periode waktu. 5.3.1 Penetapan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir Pada tahun 2004, sebagai tuntutan dari PP No.8 Tahun 2003 organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir ditetapkan dengan lima Peraturan Daerah yaitu: 1. Perda No.12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Toba Samosir sebagaimana telah diubah dengan Perda No.3 Tahun 2007; 2. Perda No.13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas- Dinas Daerah di Kabupaten Toba Samosir sebagaimana telah diubah dengan Perda No.2 Tahun 2007; 3. Perda No.14 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Toba Samosir sebagaimana telah diubah dengan Perda No.1 Tahun 2007; 4. Perda No.3 Tahun 2005 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah; 5. Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan. Kelima Peraturan Daerah ini tidak berlaku lagi setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 Tentang Organisai Perangkat Daerah. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa PP No.41 Tahun 2007 ini dikategorikan sebagai decentralized policies, yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat namun pengimplemensatiannya diserahkan pada masing- masing daerah. PP No.41 Tahun 2007 menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah daerah untuk melakukan perubahan organisasi perangkat daerah. Organisasi perangkat daerah yang sudah ada sebelumnya ditata kembali baik struktur maupun personelnya. Pelaksanaan PP No. 41 Tentang Organisasi Perangkat Daerah ini diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 yang merupakan petunjuk teknis bagi pemerintah daerah untuk menata organisasi perangkat daerahnya masing-masing. Pembentukan organisasi perangkat daerah kemudian ditetapkan oleh daerah dengan Perda berdasarkan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Peraturan daerah tersebut mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah. Selanjutnya rincian tugas, fungsi, dan tata kerja diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur/bupati/walikota. Untuk proses penetapan peraturan daerah ini pola yang dilakukan masih mengikuti prosedural yang sudah sekian lama manjadi prosedur baku yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Langkah-langkah yang dapat peneliti simpulkan berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan dan sesuai dengan prosedur umum yang telah ada dari peraturan sebelumnya adalah sebagai berikut: 1. Menyerahkan kebijakan pusat kepada instansi yang tanggung jawabnya sesuai dengan substansi kebijakan tersebut. Untuk masalah organisasi perangkat daerah pemerintah daerah menyerahkan kepada Bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Daerah Kabupaten. 2. Mendiskusikan dengan tim otonomi daerah. Umumnya setiap daerah dibentuk tim otonomi daerah yang bertugas mendiskusikan semua rancangan yang terkait dengan implementasi kebijakan otomi daerah, termasuk dalamhal menata organisasi. Ketuanya adalah asisten I sekretaris daerah yang membidangi tata pemerintahan, dengan anggota asisten sekretaris daerah yang lain, kepala Bappeda, kepala Badan Keuangan Daerah, Kepala BKD, Kabag dan Kasubag Tata Pemerintahan, Kabag Organisasi dan Hukum. Tim ini lebih berfungsi sebagai lembaga tukar pikiran di antara instansi-instansi terhadap apa saja yang telah mereka lakukan. Hal ini sesuai dengan petikan wawancara dengan Asisten III Administrasi Umum berikut: Kan kita bahas dulu, rapat dipimpin oleh Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana, diskusi dengan Bagian Hukum. Baru diskusi dengan SKPD yang bersangkutan kita diskusikan dipimpin oleh Pak Sekda. 3. Menyerahkan hasil diskusi berupa rancangan kepada sekretaris daerah. Sekretaris daerah mempunyai fungsi kontrol dan koordinasi terhadap semua SKPD yang menjadi bawahannya. 4. Menyerahkan desain awal kepada kepala daerah untuk memperoleh persetujuan. Sebelum diserahkan ke DPRD, rancangan diserahkan kepada kepala daerah. Besarnya kewenangan kepala daerah menyebabkan semua rancangan yang telah dibuat bisa berubah sama sekali. Lobby yang dilakukan pejabat biasanya sangat efektif untuk mempengaruhi rancangan keputusan tersebut manakal yang bersangkutan memiliki kedekatan dengan kepala daerah (Dwiyanto, 2010:159). 5. Sebelum menjadi Perda, Rancangan dari Eksekutif diserahkan kepada DPRD untuk didiskusikan. Mengenai hal ini berikut petikan wawancara dengan Asisten III Administrasi Umum: Perda, Perda itukan ada dua, satu usulnya eksekutif dan satu lagi usulnya inisiatif. Kalau alurnya, kita ajukanlah ini ke DPRD, baru di DPRD nanti sebelum masuk ke paripurna, pertama akan masuk ke Badan Legislasi untuk dimusywarahkan, nanti ada naskah akademisnya, itulah yang dibahas di Badan Legislasi. Setelah itu masuklah ke paripurna untuk diparipurnakan.DPRD akan mengagendakan untuk dibicarakan di Badan Legislasi, ada badan di sana, disitulah yang namanya diskusi, walaupun nanti pas paripurna juga ada tanggapan perorangan dan ada juga tanggapan Fraksi, habis diparipurnakan, pengesahanlah. Setelah proses yang panjang ini Perda yang telah disahkan siap untuk diimplementasikan. Setelah PP No.41 Tahun 2007 ini berlaku sampai sekarang Perda yang ada di Kabupaten Toba Samosir yang mengatur tentang Organisasi Perangkat Daerah adalah sebagai berikut: 1. Perda No.2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir. 2. Perda No.4 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Toba Samosir. 3. Perda No.5 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Toba Samosir. 4. Perda No.4 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Kabupaten Toba Samosir. 5. Perda No.5 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Dan Penanaman Modal Kabupaten Toba Samosir. 5.3.2 Pertimbangan-pertimbangan dalam Menata Organisasi Perangkat Daerah Proses yang ada dalam pembentukan organisasi perangkat daerah bukanlah sebuah proses sederhana dan mudah. Ada terdapat banyak hal-hal yang perlu dipertimbangkan karena akan sangat berpengaruh terhadap organisasi atau SKPD yang akan dibentuk. Pertimbangan-pertimbangan tersebut sudah tertuang dalam PP No.41 Tahun 2007 dan Permendagri No.57 Tahun 2007. Namun, pertimbangan-pertimbangan tersebut belum dijelaskan dengan rinci. Pertimbangan-pertimbangan yang ada di PP No.41 Tahun 2007 ini sesuai dengan hasil wawancara dengan staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana, disebutkan bahwa dalam menentukan besaran organisasi perangkat daerah sekurang- kurangnya harus mempertimbangkan: Besaran OPD sekurang-kurangnya harus mempertimbangkan: Faktor keuangan Kebutuhan daerah. Butuh tidak kita kelautan? Kita tidak butuh. Cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan Jenis dan banyaknya tugas Luas wilayah kerja harus jelas Kondisi geografis. Makanya kita lihat jadi BPBD kitakan, karena ini bukan daerah rawan bencana. Jumlah dan kepadatan penduduk Potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, kita punya dong? Potensi apa yang kita bisa dari sana, hanya pariwisatanyakah? Sarana dan prasarana penunjang tugas Harus ada sasarannya. Beberapa pertimbangan yang ada dalam peraturan dimaksud seperti variabel APBD, jumlah penduduk, luas wilayah menjadi variabel utama untuk menentukan skor ataupun pola maksimal besaran organisasi perangkat daerah yang bisa dibentuk oleh pemerintah daerah. Beberapa dari pertimbangan-pertimbangan yang ada akan peneliti bahas dalam bagian berikut ini: a. Potensi dan Kebutuhan Daerah Potensi daerah merupakan sumber daya penting yang dimiliki oleh daerah yang perlu digali dan dikembangkan dalam rangka untuk meningkatkan daya saing pembangunan ekonomi suatu daerah. Potensi daerah akan menjadi keunggulan sebuah daerah jika dikembangkan dengan baik sehingga manfaat dari potensi tersebut akan maksimal. Untuk itu pemerintah daerah harus mampu mengenali potensi daerah yang dimiliki agar bisa diwadahi dalam sebuah lembaga atau SKPD. Pendayagunaan potensi oleh organisasi yang berkompeten dengan baik nantinya akan menghasilkan penerimaan yang akan sangat mendukung bagi keuangan daerah, seperti disampaikan oleh Bapak Asisten III Administrasi Umum berikut ini: Untuk apa kita bentuk sebuah organisasi kalau kita tidak memiliki potensi daerah. Hal-hal yang bersifat produktiflah contohnya. Karena kita potensi pertanianlah makanya kita bentuk Dinas Pertanian, coba di kota dibentuk Dinas Pertanian, kan agak lucu! Tetapi banyak sekarang ini seolah-olah itu menjadi sebuah kewajiban, seolah-olah menjadi pekerjaan padahal dari segi manfaat belum tentu. Nah kita coba lucu tidak kalau kita tidak memiliki Dinas Pertanian? Lucukan! Lucu tidak kalau penyuluh tidak ada sama kita? nah itu makanya! Tapi kita tetap bisa fungsikan sebagaimana mestinya.
Tetapi kemudian yang menjadi permasalahan adalah sedikitnya urusan pilihan yang didesentralisasikan, kebanyakan adalah urusan wajib. Untuk masalah ini Asisten III Administrasi Umum menyampaikan: iya, tapikan urusan itu bisa digabung, jadi ada itu yang kita gabungkan dan ada yang tidak kita gabungkan. Sepertiininya itu, kan ada pelimpahan wewenang (urusan wajib dan urusan pilihan), diurusan wajib itupun kita bisa iya, bisa tidak. Pertimbangan lain disamping potensi adalah kebutuhan daerah. Kebutuhan organisasi perangkat daerah menyangkut organisasi yang benar-benar perlu untuk dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Orientasi kebutuhan ini tertuang dalam prinsip miskin struktur kaya fungsi. Tetapi kenyataan yang terlihat dari organisasi perangkat daerah yang ada sangat berbanding terbalik dan bertentangan dengan kebijakan reformasi birokrasi yang sedang digalakkan belakangan ini. Penyusunan organisasi perangkat daerah dengan kondisi seperti ini akan semakin sulit dengan penetapan arah pertumbuhan pegawai sekarang ini menekankan pada keseimbangan, yaitu terwujudnya organisasi yang rightsizing. Rightsizing menurut Staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana yaitu adanya kesesuaian antara ukuran organisasi dengan fungsi yang dimilikinya. b. Urusan yang menjadi kewenangan daerah Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Namun dalam pelaksanaannya tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk dalam organisasi tersendiri. Adanya kewengan bersama tersebut sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 sehingga fungsi-fungsi pemerintahan perlu diwadahi dalam bentuk kelembagaan. PP No.38 Tahun 2007 yang mengatur tentang kewenangan hadir lebih awal sebelum PP No.41 Tahun 2007 yang mengatur tentang perangkat daerah. Hal ini berarti bahwa yang mandasari kelembagaan adalah kewenangan. Berdasarkan PP No.38 Tahun 2007 dapat kita lihat bahwa jumlah urusan wajib ada 26 urusan, sementara untuk urusan pilihan ada 8 urusan. Untuk pelaksanaan kedua peraturan ini pemerintah harus daerah menetapkan dalam bentuk peraturan daerah. PP No.41 Tahun 2007 diatur lebih lanjut dengan Perda No.2 Tahun 2008 di Kabupaten Toba Samosir. Namun untuk Perda kewenangannya sampai sekarang belum ada. Hal ini disampaikan oleh staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana dalam petikan wawancaran berikut: pelaksanaan PP 41 ini agak janggal karena tidak ada Perda kewenangan sebelumnya, PP 38 belum ada Perdanya. Tetapi kita sudah mengusahakan kewenangan-kewenangan itu untuk diambil. Keadaan ini menunjukkan bahwa dalam penyusunan organisasi perangkat daerah pemerintah Kabupaten Toba Samosir hanya berpedoman pada PP No.38 Tahun 2007 saja tanpa ada peraturan daerah. Ketiadaan Perda yang mengatur tentang kewenangan secara langsung akan menimbulkan berbagai masalah. Masalah tersebut terlihat dari masih adanya organiasi pemerintah daerah yang tugas dan wewenanganya tumpang tindih dengan organisasi pemerintah lainnya. Di lingkungan SKPD Kabupaten Toba Samosir terlihat dari sudah adanya Dinas Sosial tetapi di lingkungan Sekretariat Daerah masih terdapat Bagian Kesejahteraan Sosial, hal ini berdasarkan wawancara dengan Asisten III Administrasi Umum. Seharusnya kewenangan yang ada untuk pemerintah kabupaten/kota harus dikelompokkan dalam bidang-bidang. Bidang-bidang ini kemudian dirinci lebih lanjut sehingga kewenangan yang ada menjadi lebih spesifik. kewenangan yang jelas dan spesifik dalam bidang-bidang akan berimplikasi pada tidak adanya lagi masalah tumpang tindih kewenangan di antara SKPD yang ada.
c. Visi dan Misi Pemerintah Daerah Suatu visi adalah artikulasi dari citra, nilai, arah dan tujuan yang akan memandu masa depan organisasi. Sebuah visi haruslah realistis dan dapat dicapai, dipergunakan sebagai pedoman bagi semua aktivitas organisasi. Visi kemudian akan diartikulasikan dalam misi-misi organisasi. Misi ini kemudian lebih dioperasionalkan lagi dalam suatu strategi organisasi. Strategi organisasi adalah hasil integrasi visi dengan pemikiran strategis. Strategi berhubungan dengan rencana tindak atau rencana operasi, metode, taktik dan langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai visi dan tujuan organisasi. Dalam penyusunan sebuah organisasi perangkat daerah visi menjadi arah, tujuan dan alasan untuk membangun sebuah organisasi. Visi sekaligus menggambarkan apa yang menjadi kebutuhan dari sebuah organisasi. Oleh karena itu posisi visi dan misi dalam penataan organisasi perangkat daerah merupakan dasar utama yang perlu diperhatikan agar organisasi yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Visi Pemerintah Kabupaten Toba Samosir 2011-2015 adalah Terwujudnya Kabupaten Toba Samosir Yang Memiliki Rasa Kasih, Peduli, Dan Bermartabat. Untuk mewujudkan visi ini, Pemerintah Kabupaten Toba Samosir merumuskan misi sebagai berikut: 1. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa; 2. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan; 3. Meningkatkan mutu pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia; 4. Meningkatkan pembangunan infrastruktur; 5. Mewujudkan pengembangan ekonomi rakyat; 6. Mengoptimalkan serta memanfaatkan sumber daya alam; 7. Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan dinamis. Untuk pengembangan kelembagaan ataupun penataan organisasi Pemerintah Kabupaten Toba Samosir tidak memiliki starategi khusus. Hal ini disampaikan dalam kutipan wawancara dengan Asisten III Administrasi Umum berikut: Kalau secara khusus itu tidak ada, cuma dari apa itukan tersirat dia, kalau tersurat dia tidak ada. Contohnya, kasih, peduli, martabat, manusia bermartabat karena apa? Kalau kasih-kan tentang perbuatan, kala martabat apa coba? Hasangapon, hamoraon, hagabeon (kehormatan, kekayaan, Kebahagiaan) untuk mewujudkan yang tiga ini bagaimana? Sekolah, sekolah dengan cara apa? Bisa tidak kita sekolah kalau orang tua kita tidak sanggup. Darimana orang tua kita mencara nafkah? Kan yang bertani dan melakukan berbagai pekerjaannya semua, ada yang berdagang. Nah itulah jalannya, jadi dia tersirat di dalam visi dan misi. Visi dan misilah sebenarnya dasar untuk menciptakan kelembagaan, tetapi tetap berpatokan terhadap PP 41. Tetapi di dalam matriks indikasi rencana program prioritas dan pagu indikatif RPJMD Kabupaten Toba Samosir Tahun 2011-2015 untuk misi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa terdapat satu program prioritas yaitu program pembinaan dan pengembangan aparatur yang menjadi tugas dari Bagian Organisasi dan BKD. 5.3.3 Perkembangan Susunan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir Berdasarkan PP No.8 Tahun 2003 diatur bahwa pola maksimal untuk dinas yang diperbolehkan untuk dibentuk adalah sebanyak 14 dinas, sementara untuk Lembaga Teknis Daerah yang diperbolehkan hanya 8 LTD. Pertimbangan dalam menyusun organisasi perangkat daerah di dalam PP No.8 Tahun 2003 yaitu: 1. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh derah; 2. Karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah; 3. Kemampuan keuangan daerah; 4. Ketersediaan sumber daya aparatur; 5. Pengembangan pola kerja sama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga. Dari ketentuan yang ada dalam PP No.8 Tahun 2003 ini organisasi perangkat daerah yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Toba Samosir terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan, 12 (dua belas) dinas, 5 (lima) badan dan 3 (tiga) kantor. Berbeda dengan peraturan pemerintah sebelumnya, PP No.41 semakin memperjelas ketentuan-ketentuan dalam penyusunan organisasi perangkat daerah. Hal ini terlihat dari penentuan besaran organisasi yang berbeda antara provinsi dan kabupaten/kota Pulau J awa dan Madura dengan yang di luar Pulau Jawa dan Madura. Perbedaan ini mungkin dikarenakan kompleksitas urusan pemerintahan yang berbeda dengan padatnya pennduduk di Pulau Jawa dan Madura. Selain itu dalam penetapan besaran organisasi juga tergantung pada tiga variabel yang ketentuannya telah ditetapkan dalam peraturan tersbut. PP No.41 juga telah mengatur tentang perumpunan-perumpunan yang diwadahi untuk dibentuk dalam dinas maupun LTD. Berdasarkan PP No.41 Tahun 2007 organisasi perangkat daerah yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Toba Samosir yang ditetapkan melalui Perda No.2 Tahun 2008 terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan, 14 (empat belas) dinas, dan 10 (sepuluh) Lembaga Teknis Daerah. Pada tahun 2010 dan 2011 kembali membentuk organisasi perangkat daerah yang baru yaitu Dinas Pemuda dan Olahraga, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, dan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal. Pembentukan SKPD yang baru ini merupakan amanah dari undang-undang ataupun peraturan pemerintah tersendiri selain UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut adalah dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan, meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor serta tugas pemerintahan umum lainnya. Pedoman organisasi, tata kerja dan eselonisasi untuk lembaga-lembaga seperti ini ditetapkan dengan peraturan menteri terkait setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pendayagunaan aparatur negara. Berikut ini adalah tabel perkembangan keadaan kondisi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir berdasarkan PP No.8 Tahun 2003 dan perubahan-perubahan yang terjadi sampai sekarang.
Tabel 5.1 Perkembangan susunan organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir
Perda No.2 Tahun 2008 3. Dinas Pendidikan Nasional 3. Dinas Pendidikan Perda No.2 Tahun 2008 4. Dinas Kesehatan 4. Dinas Kesehatan Perda No.2 Tahun 2008 5. Dinas Pekerjaan Umum, Permukiman dan Prasarana Wilayah 5. Dinas Pekerjaan Umum Pemisahan fungsi bidang dengan 1 Dinas baru serta penambahan fungsi bidang yang baru yaitu Tata Ruang (Perda No.2 Tahun 2008) 6. Dinas Tata Ruang dan Permukiman 6. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan 7. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Perda No.2 Tahun 2008 7. Dinas Perhubungan 8. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Perubahan nomenklatur dengan penambahan fungsi bidang yang baru yaitu Komunikasi dan Informatika (Perda No.2 Tahun 2008) 8. Dinas Kehutanan dan Perkebunan 9. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Perda No.2 Tahun 2008) 9. Dinas Pendapatan 10. Dinas Pendapata, Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah Penambahan fungsi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (Perda No.2 Tahun 2008) 10. Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya 11. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Perubahan nomenklatur (Perda No.2 Tahun 2008) 11. Dinas Pasar, Kebersihan dan Pertamanan 12. Dinas Pasar, Kebersihan dan Pertamanan Perda No.2 Tahun 2008 12. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 13. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Perda No.2 Tahun 2008 13. Dinas Kesatuan Bangsa dan Ketertiban 14. Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Pemecahan fungsi dan perubahan fungsi dari Dinas menjadi Badan dan Satuan/Kantor (Perda No.2 Tahun 2008) 15. Satuan Polisi Pamong Praja 14. Dinas Koperasi dan Perindustrian, Perdagangan 16. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Perubahan Nomenklatur (Perda No.2 Tahun 2008) 15. Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan 17. Badan Lingkungan Hidup dan Pertambangan
Perubahan dari Dinas menjadi Badan (Perda No.2 Tahun 2008) 16. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 18. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Perda No.2 Tahun 2008 17. Badan Pengawas Kabupaten 19. Inspektorat Perubahan nomenklatur (Perda No.2 Tahun 2008) 18. Badan Kepegawaian Daerah 20. Badan Kepegawaian Daerah Perda No.2 Tahun 2008 19. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Pemberdayaan Perempuan 21. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Penambahan fungsi Pemerintahan Desa. Fungsi Pemberdayaan Perempuan disatukan dengan Keluarga Berencana (Perda No.2 Tahun 2008) 20. Badan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga Sejahtera 22. Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Integrasi fungsi sesuai dengan rumpun yang diwadahi dalamPP 41 (Perda No.2 Tahun 2008) 21. Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil 23. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Perubahan dari dinas menjadi kantor (Perda No.2 Tahun 2008) 22. Kantor Pengolahan Data Elektronik
Hapus
23. Kantor Ketahanan Pangan
24. Kantor Ketahanan Pangan Perda No.2 Tahun 2008 24. Rumah Sakit UmumDaerah 25. Rumah Sakit Umum Daerah Perda No.2 Tahun 2008 26. Dinas Sosial SKPD baru 27. Dinas Pemuda dan Olahraga Perda No.4/2010
Pembentukan- pembentukan SKPD yang merupakan amanah Undang-Undang atau ada UU/PP tersenidiri yang mengharuskan SKPD terkait dibentuk (Wawancara dengan Staf Ortala Setdakab Tobasa) 28. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Perda No.5/2010 29. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Perda No.4/2011 30. Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal Perda No.5/2011 Sumber: Diolah dari data primer dan data sekunder 5.4 Analisis Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir Implementasi kebijakan publik merupakan tahapan penting dalam proses kebijakan publik dalam rangka untuk melaksanakan keluaran kebijakan (peraturan perundang-undangan) oleh organisasi pelaksana kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan tidak akan tercapai tanpa adanya tindakan implementasi. Implementasi kebijakan juga merupakan sebuah proses yang kompleks dan panjang. Proses implementasi akan bermula ketika sebuah kebijakan telah memiliki dasar legitimasi atau telah memiliki kekuatan yang mengikat. Pada akhirnya melalui implementasi kebijakan perubahan kondisi akan terjadi terlepas dari berhasil atau tidaknya sebuah kebijakan. Pemahaman yang paling penting bagi peneliti kebijakan dari proses implementasi adalah untuk dapat mengidentifikasi variabel-variabel apa saja yang sebenarnya mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah implementasi kebijakan. Melalui identifikasi variabel ini, fenomena-fenomena yang berhubungan dengan implementasi akan dapat dijawab. pada gilirannya akan sangat membantu dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan proses implementasi kebijakan kedepannya. Ripley menyebutkan bahwa terdapat dua prespektif untuk melihat implementasi, sebagaimana ia jelaskan: implementation studies have two major foci: complience and whats happening?. Prespektif pertama (compliance perspective) memahami keberhasilan implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementer dalam melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan. Prespektif ini hanya melihat kepatuhan para implementer dalam menjalankan kebijakan. Keberhasilan kebijakan berdasarkan prespektif ini dilihat dari prosedur, jadwal, kriteria kebijakan, keluaran kebijakan yang dilihat dari standar yang ada dalam kebijakan, dan seterusnya yang berkenaan dengan dokumen kebijakan. Sedangkan prespektif yang kedua berusaha untuk memahami implementasi secara luas. Pertanyaan untuk mengukur keberhasilan implementasi di dalam prespektif ini adalah: What is it achieving? And Why or Whats happening? And why?. Berdasarkan hal tersebut maka ukuran keberhasilan kebijakan tidak hanya ditentukan oleh kepatuhan implementer dalam melaksanakan kebijakan tetapi juga diukur dari keberhasilan dalam merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan yang terlihat dari dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan (Purwanto, 2012:64-70). PP No.41 Tahun 2007 merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun pengimplementasiaanya dilakukan oleh pemerintah daerah (top- down). Dengan prinsip desentralisasi yang ada, kesiapan pemerintah daerah untuk implementasi kebijakan ini perlu dikaji. Dalam hal ini adalah kesiapan yang dimaksud peneliti adalah kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir terkait. Model implementasi yang digunakan untuk melihat implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini merupakan sintesa dari model-model implementasi kebijakan publik yang telah dijelaskan di dalam kerangka teori. Efektitas implementasi kebijakan tersebut akan dilihat dari variabel karekteristik isi kebijakan/ peraturan pengoperasionalan, variabel struktur birokrasi, variabel koordinasi dan komunikasi serta variabel sumber daya. 5.4.1 Analisis Karakteristik Isi Kebijakan/ Peraturan Pengoperasionalan Berdasarkan model implementasi kebijakan yang dibuat oleh Grindle salah satu dari dua bagian besar variabel yang mempengeruhi kebijakan adalah isi kebijakan (content of policy). Beberapa cakupan dari variabel ini akan menjadi fokus pembahasan peneliti dalam bagian ini. Cakupan tersebut diantarannya tujuan dan sasaran kebijakan, perubahan yang diinginkan kebijakan (substansi dari PP No.41 Tahun 2007), serta manfaat dari kebijakan. Seperti yang sudah disampaikan di atas, bagian ini akan melihat kinerja kebijakan dari prespektif peraturan. Keberhasilan kebijakan dilihat dari prosedur, jadwal, kriteria kebijakan, keluaran kebijakan yang dilihat dari standar yang ada dalam kebijakan, dan seterusnya yang berkenaan dengan dokumen kebijakan. Tujuan PP No.41 Tahun 2007 seperti yang disebutkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomorr 89 Tentang Penjelasan Atas PP No.41 Tahun 2007 adalah sebagai berikut, Peraturan Pemerintah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, singkronisasi dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Dari uraian tujuan tersebut bahwa maksud dari PP No.41 ini adalah memberikan pedoman bagi daerah dalam menata organisasi perangkat daerah. Penekanan tujuan ini adalah pada penataan organisasi yang efisien, efektif dan rasional. Hal ini sesuai dengan pendefenisian tujuan yang disampaikan oleh Staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana yaitu, arahnya adalah penyusunan organisasi yang miskin struktur kaya fungsi. Tetapi jika dilihat dari jumlah dinas dan LTD sebelum dan sesudah PP No.41 Tahun 2007 ini yang ada jumlahnya semakin besar. Untuk masalah ini berikut hasil wawancara dengan Staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana: kalau PP 41 saya katakan mungkin 95%, perampingan saya katakan tidak, pembengkakan juga saya katakan tidak.PP 41 mengatur demikian. PP 41 mengatakan ini harus ada jadi kita tambahi kemaren, soalnya dia masih muat sesuai dengan variabel. Sementara itu, sebagai kelompok sasaran disebutkan dalam penjelasan atas PP No.41 Tahun 2007 ini bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang teridiri dari unsur staf, unsur pengawas, unsur perencana, unsur pendukung tugas kepala daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah. Oleh karena itu yang menjadi sasaran dari kebijakan ini adalah organisasi perangkat daerah secara keseluruhan. Dalam penyusunan organisasi perangkat daerah juga terdapat prinsip- prinsip dasar tata organisasi yang harus diikuti oleh pemerintah daerah. Berikut ini adalah prinsip-prinsip tata organisasi tersebut yang disampaikan oeh Staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana dalam kutipan wawancaran berikut: prinsip-prinsip dasar tata organisasi yang juga merupakan prinsip dalam peyusunan organisasi perangkat daereah: 1. Organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi yang jelas. 2. Fungsi-fungsi Organisasi (staf, lini, suport) 3. Kewenangan yang jelas. Jadi setiap SKPD itu harus tau sampai dimana dia punya kewenangan 4. Pembagian habis tugas. 5. Organisasi flat atau datar. 6. Organisasi ramping dan rentang kendali. 7. Organisasi yang kontuinitas, berkesinambungan, dinamis, kalau ada perubahan dia bisa ditampung, yang ini artinya akan selalu ada perubahan nanti tiap tahun, jadi kita buat organisasi ini yang kontinuitas tidak monoton hanya itu-itu saja 8. Organisasi bersifat jejaring ( networking ) dan koordinasi. Harus ada koordinasinya, jadi asisten ini membawahi ini, jadi harus ada dong hubungannya, jangan nanti ini kok gak nyambung iya... 9. Organisasi bersifat fleksibel dan adaptif. Beradaptasi dengan keadaan ini sama dengan yang tadi, harus fleksibel dia. 10. Organisasi yang berorientasi hasil. Harus jelas hasilnya jangan nanti satu organisasi tidak didapatkan hasilnya, organisasi itu tidak ada hasilnya. 11. Organisasi banyak diisi jabatan jabatan fungsional. Karena jabatan funsionallah yang bekerja dengan orientasi fungsi dan hasil. Kenapa dibilang fungsional? Jabatan itu mempunyai sifat fungsi, tidak hanya struktural, tidak ada hasil, artinya ketika ada atau dengan adanya fungsional berarti dia berfungsi semua jabatan itu, dia harus diisi oleh jabatan-jabatan fungsional. 12. Organisasi Proporsioalitas. Proporsional taukan? Artinya sizenya sama dengan fungsinya, kalau sekarang sudah mereka katakan..., kitakan dulu kita katakan itu dengan istilah miskin struktur tapi kaya fungsi sekarang sudah rightsizing, artinya itulah tepat fungsi dan tepat ukuran, nah itukan proporsional, ukurannya pas dengan fungsinya jangan ukurannya luas kali fungsinya hanya sedikit. 13. Organisasi menerapkan strategi Learning Organization. Organisasi pembelajaran, kamu uda tau itu iyakan ? jadi harus mengapakan ini.
Prinsip-prinsip yang ada menunjukkan organisasi perangkat daerah seperti apa yang sebenarnya diinginkan oleh PP No.41 Tahun 2007 ini. Namun dalam implementasi hal-hal ini akan sangat sulit untuk diwujudkan dengan berbagai hambatan-hambatan yang ada di dalam pemerintahan. Hal ini seakan menjadi beban bagi pemerintah daerah dengan keadaan birokrasi dan sistem politik yang masih belum stabil dengan banyaknya praktek-praktek yang tidak seharusnya. PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Tobaa Samosir pertama sekali ditetapkan dengan Perda No.2 Tahun 2008. Penetapan Perda No.2 Tahun 2008 mengikuti kondisi variabel-variabel tersebut pada tahun 2007. Kriteria penetapan jumlah besaran organisasi berdasarkan PP No.41 Tahun 2007 yaitu, variabel jumlah penduduk, variabel luas wilayah, dan variabel jumlah APBD. Pada tahun 2007 jumlah penduduk Kabupaten Toba Samosir 171.375 jiwa, luas wilayah Kabupaten Toba Samosir adalah 2.021,8 Km 2 , dan jumlah APBD pada tahun 2007 sebesar Rp 335.539.934.000,-. Berdasarkan perhitungan variabel yang ada nilai atau skor yang didapat Kabupaten Toba Samosir adalah 61. Ketentuan tentang nilai/skor dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.2 Jumlah organisasi perangkat daerah berdasarkan perhitungan variabel-variabel Skor Setda (Ass) Dinas LTD < 40 3 12 8 40 - 70 3 15 10 >70 4 18 12 Sumber: Diolah dari PP No.41 Tahun 2007 Berdasarkan pola perhitungan di atas maka Kabupaten Toba Samosir dapat membentuk organisasi perangkat daerah yang terdiri dari: - Sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga asisten); - Sekretariat DPRD; - Dinas paling banyak 15 (lima belas); dan - Lembaga Teknis Daerah paling banyak 10 (sepuluh). Pola di atas disebut sebagai pola maksimal, dimana ketentuan ini memuat jumlah besararan organisasi yang paling banyak yang bisa dimiliki oleh suatu daeerah. Besar jumlah organisasi yang dibentuk pada tahun 2007 telah disebutkan peneliti pada bagian sebelumnya, begitu juga susunan organisasi perangkat daereah yang di bentuk sesuai dengan Perda No.2 Tahun 2008 bisa dilihat pada Tabel 5.1. dari jumlah ataupun besaran organisasi, Kabupaten Toba Samosir masih mengikuti pedoman di atas dengan organisasi perangkat daerah yang terdiri dari terdiri dari Sekretariat Daerah (3 Asisten), 14 (empat belas) dinas, dan 10 (sepuluh) Lembaga Teknis Daerah. Sampai sekarang keadaan organisasi perangkat daerah Kabupaten Toba Samosir sudah mengalami dua kali perubahan dari segi jumlah. Perubahan jumlah besaran organisasi berdasarkan Pemendagri No.57 Tahun 2007 dapat dilakukan sesuai dengan perubahan data ketiga variabel yang ada. Perubahan baru bisa dilakukan setelah organisasi perangkat daerah ditetapkan dan dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 tahun berdasarkan PP No.41 Tahun 2007, perubahan juga dapat dilakukan berdasarkan analisis beban kerja sesuai dengan analisis jabatan. Pada tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Toba Samosir menambah dua SKPD baru yaitu Dinas Pemuda dan Olahraga dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Keadaan ketiga variabel yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007 pada tahun 2009 yang merupakan pertimbangan dalam penetapan pola maksimal organisasi perangkat daerah yaitu, jumlah penduduk sebesar 175.325 jiwa, luas wilayah 2.021 Km 2 , dan jumlah APBD sebesar Rp 463.273.200.000,-. Dari data tiga variabel ini pola maksimal keadaannya masih tetap sama dengan perhitungan sebelumnya yaitu, maksimal 3 asisten, 15 dinas dan 10 LTD. Dengan penambahan dua SKPD pada tahun 2010 ini jika dilihat secara langsung sepertinya jumlah LTD sudah melebihi batas pola maksimal yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan nilai yang ada. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan dari Bagian Organisasi dan Tata Laksana ternyata terdapat pengecualian dalam pembentukan SKPD kabupaten/kota. Dengan pengecualian ini beberapa SKPD tidak diikutkan dalam perhitungan besaran organisasi yang diijinkan. SKPD tersebut yaitu DPKAD (Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah), BKD, RSD, Satpol PP, dan Inspektorat Daerah. Pada tahun 2011 kembali dilakukan penambahan SKPD. Penambahan SKPD yang dilakukan seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya beberapa merupakan amanah dari Undang-Undang ataupun peraturan pemerintah tersendiri yang mengharuskan pemerintah daerah untuk melakukan pembentukan. SKPD yang ditambah tersebut yaitu Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan serta Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal. Dengan penambahan dua LTD ini maka Kabupaten Toba Samosir telah mengikuti pola maksimal ketentuan yang ada. Artinya Kabupaten Toba Samosir tidak memungkin lagi untuk membentuk organisasi perangkat daerah yang baru. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Kepala Asisten III Administrasi Umum berikut: contoh pola atau skronya seperti ini, kita sudah maksimal jadi tidak bisa lagi menambah organisasi baru di Tobasa ini. Kalaupun ada berarti harus ada peleburan atau penggabungan, itu baru bisa nambah. Itu sudah ada limitnya, parameter untuk menentukan itukan sudah ada, di PP 41 itu ada. Tapi kalau kita sudah dibatasi, apa yang ada sekarang sudah maksimal, gak bisa lagi bertambah. Substansi lain dari PP No.41 Tahun 2007 adalah mengenai perumpunan urusan. Perumpunan urusan merupakan implikasi dari ketentuan bahwa penanganan urusan pemerintahan daerah yang ada tidak harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Dalam beberapa urusan pemerintah daerah dapat melakukan penggabungan urusan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang ada. Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari: 1. bidang pendidikan, pemuda dan olahraga; 2. bidang kesehatan; 3. bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi; 4. bidang perhubungan, komunikasi dan informatika; 5. bidang kependudukan dan catatan sipil; 6. bidang kebudayaan dan pariwisata 7. bidang pekerjaan umum yang meliputi bina marga, pengairan, cipta karya dan tata ruang; 8. bidang perekonomian meliputi koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah, industri dan perdagangan; 9. bidang pelayanan Pertanahan 10. bidang pertanian meliputi tanaman pangan, peternakan, perikan darat, kelautan dan perikanan, perkebunan, dan kehutanan; 11. bidang pertambangan dan energi; 12. bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan asset. Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, dan rumah sakit terdiri dari: 1. bidang perencanaan pembangunan dan statistik; 2. bidang penelitian dan pengembangan; 3. bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat; 4. bidang lingkungan hidup; 5. bidang ketahanan pangan; 6. bidang penanaman modal; 7. bidang perpustakaan, arsip, dan dokumentasi; 8. bidang pemberdayaan masyarakat, pemerintahan desa 9. bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana; 10. bidang kepegawaian, pendidikan dan pelatihan; 11. bidang pengawasan 12. bidang pelayanan kesehatan. Dengan adanya perumpunan urusan pemerintahan ini pemerintah daerah akan lebih mudah untuk menentukan susunan dan jumlah organisasi yang harus dibentuk. Dalam pelaksanaannya pemerintah daerah tetap harus memperhatikan bahwa urusan-urusan yang dikembangkan atau dibentuk harus memperhatikan prinsip-prinsip organisasi, kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki daerah. Jumlah susunan organisasi perangkat daerah yang dibentuk juga harus berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Dari seluruh perumpunan organisasi perangkat daerah yang ada di Kabupaten Toba Samosir, SKPD yang tidak sesuai dengan ketentuan perumpunan yang ada tersebut hanya satu SKPD yaitu Badan Pertambangan dan Lingkungan Hidup. Dalam ketentuan ditetapkan bahwa urusan pertambangan seharusnya diwadahi dalam bentuk dinas, sementara bidang lingkungan hidup diwadahi dalam bentuk badan. Pertambangan dan lingkungan hidup juga bukan merupakan bidang urusan yang sebidang. Terkait masalah ini berikut hasil wawancara dengan Staf Bagian Ortala: inikan bertentangan kali dengan lingkungan hidup.ini yang harus dalam bentuk badan, ini yang harus dinas, inilah salah kita. Disinikan masih Badan Pertambangan padahal di PP 41 dia harus dalam bentuk dinas. Ini kurang dipelajari,semestinya ini harus dalam bentuk DInas Pertambangan dan Energ. Padahal di sini yang bentuk badan adalah lingkungan hidup, seolah-olah lingkungan hidup ini yang urusan apanya (utamanya). Bidang-bidang yang ada ini kemudian dikembangkan dalam bentuk instansi atau SKPD yang berdiri sendiri dengan nama-nama tertentu. Proses penamaan suatu instansi inilah yang kemudian disebut dengan nomenklatur. Nomenkaltur dan pengembangan dinas serta LTD ini disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Pengaturan tentang nomenklatur ini dalam Permendagri No.57 Tahun 2007 oleh pemerintah daerah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Demikian juga dengan tugas pokok dan fungsi intansi yang sudah dibentuk diatur dengan Peraturan Bupati. Dari hasil wawancara dengan Kasubbag Keuangan dan Kepegawaian Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil telah mengalami tiga kali pergantian nama. Tahun 1999 namanya adalah Kantor Catatan Sipil/Pegawai Luar Biasa. Dikatakan sebagai pegawai luar biasa karena pada saat itu Kantor Catatan Sipil berada di bawah Bagian Tata Pemerintahan Umum Setdakab Toba Samosir, dengan Kata lain kepala kantor ini adalah Kepala Bagian Tata Pemerintahan Umum (eselon III). Pada Tahun 2004 menjadi Kantor Catatan Sipil tanpa status pegawai luar biasa, artinya instansi ini sudah memiliki kepala kantor sendiri. Kemudian pada tahun 2008 melalui Perda No.2 Tahun 2008 berganti nama lagi menjadi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Berdasarkan wawancaran dengan Staf Bagian Ortala bahwa Dinas Kependudukan ini akan berganti nama lagi, berikut kutipan wawancaranya: jadi kemarin itu harus diubah dari pusat, kependudukan dan pencatatan sipil, sedikit sekali memang. Karena catatan-kan itu hasilnya, pencatatan itu proses, jadi kependudukan dan pencatatan sipil, persisnya di situ. Pokoknnya sekarang sudah pencatatan sipil, tapi kita belum apakan (sampaikan) itu kesana. Nomenkaltur atau penamaan SKPD ini merupakan suatu hal yang sangat penting. Perubahan nama harus diikuti dengan perubahan jumlah dan jenis, susunan organisasi, serta tugas dan fungsi sebuah organisasi perangkat daerah. Secara internal juga telah ditentukan pembatasan jumlah susunan organisasi perngkat daerah seperti yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007. Untuk Sekretariat Daerah maksimal 4 (empat) asisten dan untuk kabupaten/kota dengan klasifikasi minimal dan sedang maksimal asisten 3 (tiga). Dinas dan LTD terdiri dari paling banyak 4 bidang. Susunan pada dinas dan LTD sedikit mengalami perbedaan dengan ketentuan dalam peraturan sebelumnya, PP No.8 Tahun 2003 dimana dinas maksimal terdiri dari 4 bidang sedangkan LPTD terdiri dari paling banyak 3 bidang. Eselonisasi atau penetapan struktur eselon di Kabupaten Toba Samosir sudah sesuai dengan ketentuan PP No.41 Tahun 2007. Eselon menurut Staf Bagian Ortala Setda Kabupaten Toba Samosir merupakan system pemangkatan atau peringkat jabatan. Penetapan struktur eselon pada PP No.41 Tahun 2007 sedikit mengalami perubahan dari peraturan sebelumnya, dimana eselon kepala bidang pada dinas dan badan perangkat daereah kabupaten/kota diturunkan dari yang semula eselon IIIa menjadi IIIb. Penurunan ini dimaksudkan dalam rangka: pola pembinaan karir efisiensi penerapan koordinasi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Berikut ini adalah perkembangan jumlah struktur eselon di Kabupaten Toba Samosir. Tabel 5.3 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan golongan dan eselon tahun 2011-2013 Golongan/Ruang Eselon (2011) (2012) (2013) II III IV II III IV II III IV Golongan IV/e Golongan IV/d Golongan IV/c 8 8 12 Golongan IV/b 17 27 21 29 15 27 Golongan IV/a 7 50 6 5 67 8 7 69 9 JUMLAH Gol. IV 32 77 6 34 96 8 34 96 9 Golongan III/d 51 89 51 89 48 86 Golongan III/c 23 141 10 175 12 194 Golongan III/b 101 81 109 Golongan III/a 55 43 32 JUMLAH Gol. III 74 386 61 388 60 421 TOTAL 32 151 392 34 157 396 34 156 430 Sumber: Diolah dari Data BKD Toba Samosir
Tabel 5.4 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan SKPD yang menjadi unit analisis penelitian pada tahun 2013 Sekretariat Daerah Kabupaten Toba Samosir Eselon Jabatan Struktural Yang Ada Jabatan Struktural Yang Telah Diisi Jabatan Struktural Yang Lowong Eselon IIa 1 1 - Eselon IIb 8 8 - Eselon IIIa 8 6 2 Eselon IIIb - - - Eselon IVa 24 19 5 Eselon IVb - - - Jumlah 41 34 7 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Eselon IIa - - - Eselon IIb 1 1 - Eselon IIIa 1 1 - Eselon IIIb 3 3 - Eselon IVa 9 9 - Eselon IVb - - - Jumlah 14 14 - Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Eselon IIa - - - Eselon IIb 1 1 - Eselon IIIa 1 1 - Eselon IIIb 4 4 - Eselon IVa 11 10 1 Eselon IVb - - - Jumlah 41 34 1 Kantor Ketahanan Pangan Eselon IIa - - - Eselon IIb - - - Eselon IIIa 1 1 - Eselon IIIb - - - Eselon IVa 4 4 - Eselon IVb - - - Jumlah 5 5 - Kecamatan Sigumpar Eselon IIa - - - Eselon IIb - - - Eselon IIIa 1 1 - Eselon IIIb 1 1 - Eselon IVa 4 3 1 Eselon IVb 6 6 - Jumlah 12 11 1 Sumber: Diolah dari Data BKD Toba Samosir
J ika dilihat dari tabel 5.4 masih terdapat jabatan-jabatan struktural pemerintahan yang masih kosong. Keadaan ini sangat ditentukan oleh kebijakan kepala daerah. Masalah jabatan dan kepangkatan lebih lanjut diatur dalam PP No.100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Keadaan ini diakibatkan oleh tidak maksimalnya fungsi dari Baperjakat dan seperti yang disampaikan oleh informan bahwa masalah jabatan sangat berkaitan dengan kepentingan politik sehingga sampai saat ini belum ada pelantikan untuk jabatan-jabatan yang kosong tersebut. Penetapan struktur eselon untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah berbeda dengan Badan lain yang ada di organisasi perangkat daerah. Menurut UU No.24 Tahun 2007 jenjang eselon kepala BPBD provinsi maupun kabupaten dibuat lebih tinggi disbanding dengan kepala dinas ataupun SKPD lain. Pada level provinsi, jenjang eselon seorang kepala BPBD adalah setingkat dengan jenang seorang sekda provinsi, yaitu Ib. Sedangkan pada level kabupaten jenjang eselon kepala BPBD adalah setingkat dengan sekda kabupaten, yaitu IIa. Pemberian jenjang eselon ini dimaksudkan agar kepala BPBD dapat mengkoordinasi kepala dinas yang lain yang memiliki jenjang eselon setingkat lebih rendah. Dalam praktiknya pemberian eselon seorang kepala BPBD provinsi dan kabupaten setingkat dengan sekda (provinsi dan kabupaten) tersebut menimbulkan masalah karena dalam peraturan kepegawaian dan organisasi di daerah jenjang tertinggi hanya dimiliki oleh seorang sekda (sebagai pemegang jabatan karier tertinggi di daerah). Oleh karena itu ketika ada dua orang yang memiliki jenjang eselon tertinggi di daerah hal ini kemudian dapat menimbulkan masalah. Untuk mengatasi hal ini akhirnya posisi kepala BPBD dijabat secara ex- officio oleh sekda (Purwanto, 2012:145). Dalam Perda Kabupaten Toba Samosir No.5 Tahun 2010 pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa Kepala BPBD Kabupaten adalah Pegawai Negeri Sipil yang secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten dan yang diangkat dan diberhentikan oleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5.4.2 Analisis Variabel Struktur Birokrasi Tujuan suatu kebijakan seringkali kompleks, luas dan implementasinya melibatkan lintas sektoral. Dengan karakter yang demikian maka proses implementasi kebijakan pasti melibatkan banyak aktor, organisasi dan bahkan level pemerintahan yang berbeda-beda. Hal tersebut membawa implikasi adanya fungsi yang beragam, rentang kendali yang luas, serta aliran kerja yang kompleks. Agar semua unsur dapat berjalan dengan baik, yang pada gilirannya mendorong keberhasilan organisasi maka diperlukan wadah kerjasama. Wadah kerjasama dari berbagai unsur organisasi dalam rangka mencapai tujuan implementasi kebijakan adalah struktur organisasi ataupun struktur birokrasi. Menurut Ripley dan Frangklin, berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap birokrasi di Amerika Serikat mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi, yakni: Pertama, birokrasi di manapun berada, dipilih sebagai instrument social yang ditujukan untuk masalah-malasalah yang didefenisikan sebagai urusan publik. Kedua, birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing- masing tahap. Ketiga, birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. Keempat, fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks. Kelima, birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi. Keenam, birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan mereka, tidak secara penuh dikontrol oleh kekuatan- kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Sementara menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Yang kedua berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi- organisasi birokrasi pemerintah. Dengan merujuk pada peran yang dijalankan birokrasi dalam proses implementasi, maka struktur birokrasi merupakan faktor fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan (Winarno, 2004:150). Bentuk struktur organisasi dipengaruhi oleh adanya tujuan sebuah kebijakan atau program yang diimplementasikan. Selain tujuan, kompleksitas kebijakan juga akan mempengaruhi struktur organisasi implementer. Berdasarkan kompleksitas tersebut dikenal ada dua jenis struktur organisasi. Struktur yang pertama disebut sebagai complex structure sementara yang kedua disebut sebagai simple structure. Dalam implementasi yang menggunakan simple structure biasanya implementasi dilakukan oleh organisasi tunggal (single agency), dimana hanya ada satu organisasi yang terlibat dalam implementasi. Untuk kebijakan yang menggunakan complex structure, implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan single agency tetapi multiple agencies, dimana banyak organisasi, misalnya departemen dinas, atau lembaga yang terlibat dalam implementasi. Implikasi dari kedua bentuk struktur ini akan mempengaruhi komunikasi, koordinasi, komando dan pengawasan. Semakin kompleks struktur, maka akan lebih sulit dilakukan komunikasi, koordinasi, komando dan pengawasan dalam implementasi kebijakan publik. PP No.41 Tahun 2007 termasuk kebijakan yang dalam implementasinya melibatkan banyak lembaga. Lembaga banyak terlibat karena memang substansi dari PP No.41 Tahun 2007 ini adalah tentang susunan dan tata kerja organisasi perangkat daerah. Dari sekian banyak aktor yang terlibat organisasi utama yang bertanggung jawab dan dominan dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 ini adalah Sekretariat Daerah Kabupaten melalui Bagian Organisasi dan Tata Laksana. Bagian Organisasi mempunyai tugas pokok membantu Asisten Administrasi Umum untuk melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan pemerintah daerah di bidang organisasi dan tata laksana dan fasilitasi pelaksanaan penyusunan kelembagaan, tata naskah dinas dan analisa jabatan. Proses dalam reformasi di daerah, dalam penelitian ini menyangkut implementasi PP No.41 Tahun 2007 sangatlah panjang dan melibatkan banyak aktor. Pemerintah pusat membuat Peraturan Pemerintah tentang pedoman dalam penataan organisasi perangkat daerah, kemudian daerah diinstruksikan untuk melaksanakan dengan menetapkan Perda tentang organisasi perangkat daerah, dari Perda tersebut diteruskan dalam Peraturan Bupati untuk mengatur tugas pokok dan fungsi serta tata kerja organisasi perangkat daerah. Berikut ini adalah gambaran dari proses panjang dan kompleks dalam reformasi di daerah termasuk dalam pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007. Gambar 5.1 Alur proses dalam implementasi PP No.41Tahun 2007
Sumber: (Dwiyanto, 2010:160) Struktur organisasi untuk implementasi PP No.41 Tahun 2007 seperti yang terlihat dalam Gambar 5.1 di atas merupakan struktur organisasi yang menggunakan multi organisasi. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian seelumnya yaitu proses penetapan Perda tentang organisasi perangkat derah, dimana pemerintah pusat menginstruksikan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan PP No.41 ini, kemudian daerah menyikapi instruksi tersebut dengan melakukan koordinasi di antarastakeholders terkait, sampai pada akhirnya Perda kembali disampaiakan ke pemerintah pusat untuk mendapat persetujuan. Dengan kondisi seperti ini harus ada satu organisasi yang diberi kewenangan yang lebih besar untuk menjadi koordinator (lead agency). Tugasnya adalah melakukan koordinasi (integrasi) atas output yang dihasilkan oleh berbagai organisasi yang terlibat. Keberadaan lead agency ini akan mengatasi masalah yang timbul akibat fragmentasi atau pemecahan unit-unit yang terlibat dalam impelemtasi kebijakan. Untuk PP No.41 Tahun 2007 ini organisasi yang menjadi lead agency adalah Sekretariat Daerah dengan tingkat eselon tertinggi di organisasi perangkat daerah sehingga dapat mengkoordinasi untuk kepentingan pelaksanaan penataan kelembagaan. Tetapi hasil akhir dari susunan organisasi perangkat daerah tetap berada di tangan kepala daerah, dalam penelitian ini yaitu bupati sebagai pemegang otoritas dan penentu kebijakan di daerah. Standart Operating Procedure (SOP) atau prosedur-prosedur operasi standar yang wujud nyatanya dalam bentuk peraturan pelaksanaan (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis) masih sangat minim. SOP yang biasanya minimal mengatur tentang input kebijakan (dana, material, tenaga kerja dan lainnya), penentuan kelompok sasaran (kriteria, mekanisme pendataan, verifikasi, dan lain-lain), distribusi keluaran (menyangkut ketepatan waktu, jumlah dan kualitas), serta tata kelola hubungan antar pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebanyakan masih tersirat. Peraturan yang ada hanya petunjuk teknis yang berasal dari pemerintah pusat yang tertuang dalam Pemendagri No.57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Panataan Organisasi Perangkat Daerah. SOP dalam pelaksanaan tugas unit-unit organisasi dalam memberikan pelayanan publik juga demikian, masih sangat terbatas. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan implementasi PP No.41 Tahun 2007 masih belum optimal. 5.4.3 Analisis Variabel Koordinasi dan Komunikasi Variabel-varaibel yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan tidak serta-merta berpengaruh secara langsung. Variabel yang satu mempengaruhi variabel yang lain lalu kemudian berdampak pada kinerja implementasi kebijakan. Oleh karena itu variabel-variabel tersebut merupakan kesatuan yang saling berpengaruh. Misalnya, struktur birokrasi yang kompleks akan berpengaruh pada komunikasi dan koordinasi, baik-buruknya komunikasi dan koordinasi secara langsung akan berpengaruh pada kinerja implementasi kebijakan. Dalam bagian ini variabel implementasi yang mempengaruhi kinerja implementasi PP No.41 Tahun 2007, yang akan dibahas adalah mengenai komunikasi dan koordinasi. Komunikasi dalam sebuah kebijakan terkait dengan penyampaian informasi ataupun peraturan-peraturan kepada semua stakeholders agar kebijakan bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik. Secara umum menurut Edwards terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam komunikasi yakni, transmisi, konsistensi dan kejelasan. Tiga aspek komunikasi ini selanjutnya akan dilihat dari sosialisasi peraturan yang ada serta pemahaman pegawai atas PP No.41 Tahun 2007. Sementara sisi koordinasi sebagai implikasi dari organisasi implementasi yang tidak tunggal akan ditinjau dari pola hubungan kerja yang ada di antara aktor-aktor yang terlibat. Implementasi yang efektif sangat membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur prosedur lembaga yang terkoordinasi. Konsistensi dan ketepatan koordinasi menjadi sisi selanjutnya yang akan dibahas dalam bagian ini setelah aspek komunikasi. Pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir sejak diperdakan pada tahun 2008 sampai dengan sekarang sudah kurang lebih enam tahun. Secara umum pegawai di lingkungan Kabupaten Toba Samosir mengetahui tentang peraturan ini, tetapi pemahaman tersebut hanya sebatas tujuan umum dari kebijakan ini yaitu, untuk penataan organisasi perangkat daerah. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pemahaman pegawai akan kebijakan ini sangat minim. Petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan peraturan ini untuk tingkat kebupaten sampai saat ini belum disusun. Peraturan lain yang perlu untuk implementasi PP No.41 Tahun 2007 yaitu, perda kewenangan berdasarkan PP No.38 Tahun 2007 belum ada. Akibatnya adalah ketidakjelasan atas prosedur yang seharusnya dan timbulnya masalah disharmonis seperti tumpang tindih kewenangan di antara SKPD yang ada. Masalah kekurangpahaman atas kebijakan ini juga merupakan dampak dari masalah sosialisasi. Beberapa pegawai mengatakan bahwa peraturan ini pernah disosilisasikan dan sebagian pegawai mengatakan peraturan ini tidak pernah disosialisasikan. Perbedaan jawaban ini menurut peneliti diakibatkan oleh masalah waktu, perpindahan pegawai, juga minimnya ketersedian peraturan terkait. Berdasarkan pendapat dari beberapa pegawai mengatakan bahwa sosialisasi peraturan ini dilakukan pada unit tertentu saja dalam sebuah SKPD, bentuk sosialisasi dilakukan hanya dengan memberikan salinan Perda tentang organisasi perangkat daerah serta Peraturan Bupati tentang tugas pokok dan fungsi organisasi perangkat daerah. Pola organisasi yang ada dalam sebuah organisasi perangkat daerah kemudian menentukan arah garis komando, garis koordinasi (hubungan mekanisme kerja) serta garis tanggung jawab dalam hubungan antar instansi. Koordinasi dalam penjelasan PP No.41 Tahun 2007 adalah peran serta para pemangku kepentingan dalam menata organisasi perangkat daerah sesuai dengan lingkup kewenangannya, baik lintas sektor maupun antar strata pemerintahan. Berikut ini adalah gambar dari pola organisasi yang terdaat dalam tingkat kabupaten/kota.
Gambar 5.2 Pola organisasi kabupaten/kota
Sumber: Bagian Ortala Setdakab Toba Samosir Fokus utama mengenai penataan kelambagaan dari pola organisasi tersebut terletak pada Sekretariat Daerah. Sekretariat Daerah sebagai unsur staf pada hakekatnya menyelenggarakan fungsi koordinasi perumusan kebijakan, koordinasi pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pelaporan serta pelayanan administratif. Selain itu Sekretariat Daerah juga melaksanakan fungsi hukum dan perundang-undangan, organisasi dan tata laksana, hubungan masyarakat, protokol serta fungsi pemerintahan umum lainnya yang tidak tercakup dalam tugas dinas dan lembaga teknis, misalnya penanganan urusan kerjasama, perbatasan dan lain- lain. Dalam melaksanakan tugas kesekretariatan yang sangat luas seperti dijelaskan seorang Sekda dalam melakukan tugasnya dibantu oleh tiga asisten, dengan pola koordinasi yang disebut dengan pola koordinasi asisten. Hal ini seperti disampaiakan oleh staf Bagian Ortala berikut ini: Sekda itu adalah koordinasi keseluruhan, jadi semua jabatan itu dipimpin oleh bupati melalui sekretaris daerah. Jadi semua SKPD akan berkoordinasi dengan Sekda melalui 3 asisten. 3 asisten ini membawahi, ada itu pola koordinasi asisten, Asisten I membawahi dinas mana aja? Asisten II membawahi dinasi mana aja, asisten III juga. Bentuk koordinasi ini akan terlihat ketika beberapa instansi memiliki bidang yang tugas yang sama dan ketika beberapa instansi bekerja sama dalam pelaksanaan sebuah program. Bidang tugas yang memiliki kesamaan misalnya adalah Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan serta Kantor Ketahanan Pangan, sama-sama mengurusi masalah pertanian. Berdasarkan wawancara dengan Kasubbag Tata Usaha Kantor Ketahanan Pangan ketiga lembaga ini merupakan instansi yang mempunyai bidang urusan yang sama dan selalu terlibat bersama dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tetapi tidak ada tumpang tindih wewenang yang terjadi. Hal ini bisa terjadi karena di antara ketiganya terdapat pembagian tugas yang jelas yakni, Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan mengurus masalah produksi, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan mmelakukan fungsi penyuluhan dan Kantor Ketahanan Pangan mengurusi tugas yang disebut dengan pemenuhan menu B2SA (menu Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman). Hal senada juga disampaikan oleh informan dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa bahwa dalam pelaksanaan program PNPM Mandiri Pedesaan dalam hal pembangunan infrastruktur mereka melakukan koordinasi pada saat Musrenbang dengan PU dan Tarukim agar tugas yang menjadi bagian masing-masing jelas. Dalam hubungan dengan pertanggungjawaban dan pengawasan Sekretariat Daerah mengembangkan sistem waskat (pengawasan melekat). Pelaksanaan waskat ini juga merupakan tuntutan dari penerapan prinsip good governance untuk menciptakakan tata kepemerintahan yang baik dan bersih. Pelaksanaan waskat berdasarkan penjelasan dari Asisten III Administrasi Umum adalah sebagai berikut: kita mengawasi satu tingkat di bawah kita. Nah kalau kita mengadakan satu tingkat ke bawah secara struktural yaitu, Sekda ke asisten-kabag- kasubbag-staf. Seperti itulah teorinya, tapi prakteknya belum tentu bisa dilaksanakan. Sebenarnya semua pemerintahan itu mencoba melaksanakan good governance, tapi memang susah.
5.4.4 Analisis Variabel Sumber Daya Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, bagaimana implementasi bisa dilakukan jika sumber daya yang diperlukan kurang atau tidak tersedia? Oleh karena itu kinerja sebuah kebijakan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan varibel sumber daya. Van Meter daan Van Horn menyebutkan bahwa sumber daya yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Sementara George Edward III menyebutkan sumber daya yang penting dalam implementasi meliputi: staf yang memadai keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan untuk implementasi kebijakan publik. Untuk implementasi PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir ini peneliti akan mengelompokkan variabel sumber daya ini ke dalam tiga bagian yaitu, personil atau staf, informasi dan fasilitas (sarana dan prasarana) dan yang terakhir adalah keadaan pembiayaan. Keadaan personil atau staf mencakup jumlah, kompetensi yang dimiliki oleh aparatur serta motivasi ataupun komitmen yang dimiliki oleh aparatur. Informasi akan dilihat dari ketersediaan peraturan- peraturan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kebijakan dan ketersedian fasilitas fisik. Kondisi pembiayaan merupakan kemampuan pendanaan yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dalam menjalankan kebijakan ini. Sumber daya manusia dari segi jumlah dalam implementasi kebijakan ditentukan oleh kompleksitas dari sebuah kebijakan. Dalam PP No.41 Tahun 2007 aspek sumber daya manusia mencakup seluruh aparatur yang ada dalam SKPD yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Tobasa. Jumlah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan data dari BKD pada tahun 2013 berjumlah 4721 pegawai. Asisten III Administrasi Umum menyebutkan bahwa komposisi belanja pegawai dalam APBD paling sedikit 60%. Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris BKD bahwa biaya belanja pegawai dalam APBD sekitar 67%. Dari besarnya komposisi belanja pegawai ini terlihat bahwa kondisi pegawai dari segi jumlah sudah sangat besar. Dari sisi rekrutmen PNS, dengan tidak adanya penerimaan PNS untuk umum pada tahun ini di Kabupaten Toba Samosir juga menunjukkan bahwa memang jumlah pegawai cukup memadai. Jumlah yang besar ini disikapi berbeda oleh staf Organisasi dan Tata Laksana yang menyebutkan: saya bingung entah dimana pegawainya? Kita selalu bilang berlebih- lebih, tapi kamu lihat sendiri staf di sini berapa orang? Di sana berapa orang?...di Bagian Hukum stafnya cuma satu orangjadi kita katakan berlebih tapi tidak tau kita dimana berlebih?....Jadi kalau saya katakan, pembagian staf itu kurang optimal karena disatu sisi ada SKPD yang berjibun atau berlebih dan ada juga yang kekurangan.Coba kamu bayangkan ketika belanja pegawai sudah di atas 60% sampai 70%, berarti pegawai itu banyak, tapi banyak itu dimana? Berarti tidak optimal penempatan posisi. Pernyataan mengenai ketidakoptimalan penempatan pegawai ini juga dapat dilihat dari pernyataan yang berbeda yang disampaikan oleh Kasubbag Tata Usaha Kantor Ketahanan Pangan yang menyampaikan bahwa: untuk kuantitas dan kualitas dengan jumlah 13 pegawai yang terdiri dari 9 S1, 1 D3, dan 3 SMA sederajat sudah memadai untuk ukuran kantor. Sementara di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa berdasarkan kutipan wawancara dengan Kasubbag Keuangan dan Kepegawaian di Badan Pemmas dan PMD masih terdapat jabatan kosong yaitu, Kasubbag Umum dan Perlengkapan (eselon IV) dan tingginya intensitas pertemuan dengan masyarakat dalam melakukan pelayanan publik, jumlah pegawai yang ada masih dirasa kurang. Permasalahan mengenai keadaan aparatur tidak hanya pada penempatan ataupun pembagian staf tetapi juga dari sisi kompetensi ataupun kualitas yang dimiliki oleh pegawai. Keadaan pegawai dari segi kualitas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir juga masih belum cukup memadai. ini bisa dilihat dari keadaan pendidikan formal dan diklat-diklat dalam rangka peningkatan profesionalitas dan keterampilan pegawai dalam melaksanakan tugas. Perkembangan keadaan pendidikan formal yang dimiliki oleh pegawai di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dapat dilihat dari tabel berikut. Tabel 5.5 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS/CPNS) dan pegawai BUMN/BUMD Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan tingkat pendidikan Tahun Tingkat Pendidikan Total SD SLTP SLTA Dip S1 S2 S3 2013 22 45 1307 1253 2012 82 0 4721 2012 23 48 1316 1283 2025 83 0 4778 2011 26 61 1585 1409 2021 80 0 5182 2010 13 35 1646 1600 1638 79 3 5014 2009 8 29 1507 1482 1509 41 1 4579 Sumber: Diolah dari Tobasa DalamAngka 2012 dan data BKD
Tabel 5.6 Keadaan pegawai pada instansi yang menjadi unit analisis penelitian pada tahun 2013 Instansi Tingkat Pendidikan Formal Jumlah SD SMP SLTA Dip. S1 S2 S3 Sekretariat Daerah - - 34 9 35 4 - 82 Dis. Kependudukan dan Capil - - 7 9 13 - - 29 Badan Pemmas dan PMD - - 5 2 13 2 - 22 Kantor Ketahanan Pangan - - 3 1 9 - - 13 Kecamatan Sigumpar - 1 11 3 8 - - 23 Sumber: Diolah dari data primer dan data sekunder Dari data tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan pegawai di Kabupate Toba Samosir masih didominasi oleh pegawai dengan tingkat pendidikan S1 dan SMA sederajat. Pegawai dengan tingkat pendidikan S2 dan S3 masih sangat minim. Untuk itu pemerintah harus lebih memperhatikan tingkat pendidikan pegawai karena tingkat pendidikan merupakan gambaran secara langsung akan tingkat kompetensi yang dimiliki oleh pegawai dalam memberikan pelayanan publik. Banyak masalah yang mempengaruhi belum maksimalnya kualitas pegawai di Kabupaten Toba Samosir. Salah satunya adalah banyak pegawai yang pendidikan formal terakhirnya tidak sesuai dengan tugas mereka. Berdasarkan kutipan wawancara dengan Staf Bagian Organisasi dan Tatalaksana disampaikan: bisa saya katakan seperti ini, terkadang ada pegawai keuangan masuk dari Sarjana Hukum atau SS, kaan tidak optimal! Untuk pegawai kebanyakan adalah tamatan dari Universitas Tapanuli Utara, yang notabene di sana, saya tidak ingin komentari mereka masalah kualitas, tapi jurusan yang ada di sana Cuma SH dan SE. Masalah lain yang mempengaruhi kualitas pegawai berhubungan dengan diklat dan pemberian izin belajar ataupun tugas belajar. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, untuk tugas belajar persyaratan utama yang harus dipenuhi pegawai di samping persyaratan- persyaratan umum yang lain adalah adanya dana pihak ketiga, rekomendasi dari bupati, serta izin dari Bidang Diklat BKD. Dana pihak ketiga dalam Peraturan Presiden No.12 Tahun 1961 adalah dana yang membiayai tugas belajar yang berasal dari APBN, APBD, ataupun dana swasta dan tidak bisa biaya sendiri. Tentu ini menjadi masalah jika anggaran yang ada sangat minim. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Diklat BKD dalam wawancara berikut: kompetensi masih sangat minim karena untuk mendapatkan diklat sangat tergantung APBD. Diklat di APBD masih sangat minim/ jadi sekarang hannya tergantung pendidikan formal. Padahal perkembangan diklat sangat pesat (Diklat Teknis, Diklat Fungsional, Diklat Kepemimpinan), semuanya harus biaya APBD. Rekomendasi bupati untuk mengikuti izin belajar dan tugas belajar menjadi suatu yang sulit untuk didapatkan oleh pegawai dikarenakan berbagai hal seperti pertimbangan bupati dalam hal tidak adanya pengganti untuk mengerjakan beban tugas pegawai yang mengikuti izin belajar ataupun tugas belajar. Letak perbedaan antara izin belajar dan tugas belajar yaitu, untuk izin belajar pegawai yang akan melakukan tugas belajar tetap aktif dalam tugas sehari-hari dengan penyesuaian hari kerja, sementara untuk tugas belajar pegawai benar-benar meninggalkan tugasnya sebagai pegawai selama mengikuti tugas belajar Untuk syarat izin belajar ataupun tugas belajar dari Diklat BKD, pegawai harus melengkapi berbagai berkas/persyaratan yang telah diatur dalam Peraturan Bupati Toba Samosir No. 23 Tahun 2010. Menurut Kepala Bidang Diklat BKD telah disepakati dalam Rakor BKN bahwa jarak tempat untuk mengikuti izin belajar adalah 60 km dari kabupaten tempat pegawai bekerja. Tetapi dalam pelaksanaanya tetap ada yang lebih dikarenakan ketersediaan tempat untuk menempuh pendidikan masih kurang di daerah. Sisi motivasi atau komitmen dari personil dalam memberikan pelayanan juga perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi ini, menurut Sekretaris BKD adalah sebagai berikut: apabila seorang pegawai tidak lagi menerima gaji dikarenakan kredit ataupun pinjaman di bank, sebenarnya orangnya berkompeten tetapi karena faktor ini sering pegawai tidak lagi memiliki motivasi yang tinggi untuk memberikan pelayanan. Motivasi juga berhubungan dengan isu non job yang sekarang ini banyak berkembang di lingkungan pemerintahan. Non job menurut Staf Bagian Organisasi dan Tata Laksana dapat dartikan sebagai keadaan kehilangan jabatan, dari pejabat yang memiliki jabatan struktural menjadi staf biasa. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan pegawai di BKD: meskipun sudah pulang diklat seorang pegawai bisa tetap non job. Eselon II apabila ingin dilantik harus ada persetujuan gubernur, seharusnya jika ingin di non jobkan harus lewat persetujuan gubernur. Masalah ini sangat berkaitan dengan posisi kepala daerah, kebijakan kepala daerah sangat menentukan. Pegawai yang non job jelas dari segi motivasi akan kehilangan semangat untuk memberikan yang terbaik dalam pelayanan. Permasalahan lain yang berhubungan dengan personil adalah cepatnya pergantian pejabat dalam sebuah instansi. Banyak pegawai yang mengalami mutasi tanpa alasan yang jelas. Perpindahan pegawai berhubungan dengan keberadaan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan yang merupakan sebuah tim yang diketuai oleh Sekretaris Daerah, sekretaris dipegang oleh Kepala BKD dan anggotanya adalah inspektur, Asisten I dan Asisten III. Baperjakat berfungsi untuk merekomendasikan orang yang akan menduduki jabatan, perpanjangan, kemudian diajukan kepada pegawai. Mekanismenya dimulai dengan usulan dari SKPD, Bagian Organisasi melalui Sub Bagian Analisis Jabatan dan Kepegawaian melakukan analisa terhadap posisi atau jabatan tersebut, kemudian Baperjakat membahas dan menetapkan criteria dan hasilnya disampaikan kepada bupati. Keputusan tetap berada di tangan bupati sebagai pemilik otoritas. Beberapa pertimbangan dalam perpindahan pegawai menurut Kepala Bidang Promosi dan Pengembangan Karir diantaranya adanya SKPD yang membutuhkan pegawai, dilakukan untuk tujuan menambah pengalaman kerja ataupun penyegaran, dilakukan minimal 2 tahun sesuai dengan peraturan pemerintah. Perpindahan atau mutasi bagi pegawai meurpakan hal yang biasa dan bermanfaat jika jika dilakukan sesuai dengan analisa jabatan dan beban kerja yang objektif. Tetapi akan sangat berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai jika dilakukan dengan tiba-tiba tanpa alas an yang tepat dan cenderung merugikan pegawai terkait. Berikut hasil wawancara peneliti terkait hal ini: itu adalah fenomena yang luar biasa, kenapa bisa terjadi begitu? Kita tidak bisakatakan itu masalah dengan orangnya, tapi itu ada pada yang memimpin. Artinya ini adalah masalah analisa jabatab dan beban kerja yang tidak pasti. Jadi seandainya dianalisa dengan baik, kita sudah tahu siapa yang cocok diposisi ini. Yang dianalisa adalah jabatannya, jadi yang cocok untuk posisi ini adalah yang cocok dan berkompeten, dia lulusan dari ini, pengetahuannya begini, dia sudah punya sejarah atau pengalaman karir seperti ini, ini yang cocok untuk poisisi ini, kita lihat siapa yang tersedia. Fenomena like or dislike yang sudah menjadi rahasia umum dalam birokrasi di Indonesia masih terjadi dalam perjalanan pemerintahan sekarang ini. Pola hubungan yang terjadi lebih bersifat personal, dimana faktor kedekatan dan loyalitas pribadi lebih mengedepan daripada aturan legal-formal. Oleh karena yang terjadi lalu muncul hubungan yang bersifat personal, berdasrkan pertemanan, dan like or dislike dalam promosi jabatan (Romli, 2007:81). Pernyataan yang dikutip oleh peneliti tersebut terlihat dari kutipan wawancara berikut: yang terjadi adalah like or dislike, apalagi dengan adanya tim pemenang pemilu, atau adanya hubungan keluarga apalagi di daerah kita yang Batak, hubungan marga itu masih sangat kuat kaitannya. Anggaran dan pembiayaan dalam pemnentukan organisasi sepenuhnya ditampung dari APBD. Berikut hasil wawancara dengan Asisten III Administrasi Umum mengenai hal ini: jadi barang tentu jika suatu organisasi itu dibentuk dana besar pasti diserap. Contohnya paling simpel, untuk tunjangan jabatannya pasti ada, untuk personil yang duduk disitu. Kalau kantor misalnya, kepala kantor, sekretarisnya, kepala seksinya, berapa biaya operasionalnya dan itu biaya yang sangat besar. Total APBD Kabupaten Tobasa pada tahun 2012 adalah sebesar 658,50 milyar rupiah. Komposisi dari APBD tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.7 Realisasi penerimaan daerah Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 J enis Penerimaan 2012 SILPA 2 416 802 823,36 Pajak Daerah 3 540 439 597,86 Retribusi Daerah 7 006 386 300 Hasil Perusahaan Milik daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan 2 640 029 243 Lain-lain PAD yang sah 3 355 827 034 Bagi hasil pajak/bukan pajak 23 524 948 569 DAU 387 623 169 000 DAK 52 119 770 000 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 176 271 243 704 J umlah 658 498 616 271,22 (2012) 486 701 286 000 (2011) 462 914 653 000 (2010) 463 273 200 000 (2009) 380 919 696 000 (2008) 335 539 934 000 (2007) Sumber: Diolah dari Tobasa DalamAngka 2007-2013
Tabel 5.8 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 Jenis Pengeluaran 2012 1. Belanja Tidak Langsung 350 987 744 222 1.1 Belanja Pegawai 329 314 043 004 1.2 Belanja Hibah 4 871 884 000 1.3 Belanja Bantuan Sosial 1 744 500 000 1.4 Belanja Bantuan Keuangan 13 857 972 130 1.5 Belanja Tidak terduga 1 199 344 800 2. Belanja Langsung 268 909 259 931 2.1 Belanja Pegawai 16 215 656 979 2.2 Belanja Barang dan Jasa 98 712 735 836 2.3 Belanja Modal 153 980 867 116 Jumlah : 619 897 003 865 Sumber: Tobasa DalamAngka 2013
Tabel 5.9 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir tahun 2012 menurut bidang Jenis Pengeluaran Realisasi 1. Bidang Administrasi Umum Pemerintahan 105 200 336 091 2. Bidang Pertanian, Perikanan dan Peternakan 39 850 818 257 3. Bidang Kehutanan dan Perkebunan 2 685 910 088 4. Bidang Perkoperasian, Perindustrian & Perdagangan 3 327 068 167 5. Bidang Ketenagakerjaan dan Transmigrasi 765 538 781 6. Bidang Kesehatan 67 051 682 661 7. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan 261 543 437 762 8. Bidang Sosial 1 320 562 794 9. Bidang Pekerjaan Umum, Pemukiman dan Penataan 76 849 614 633 10. Bidang Perhubungan 12 062 103 448 11. Bidang Lingkungan Hidup dan Pertambangan 1 485 141 840 12. Bidang Kependudukan 3 696 663 063 13. Bidang Kepariwisataan 6 840 134 953 Jumlah : 582 679 012 536 Sumber: Tobasa DalamAngka 2013
Dari komposisi tersebut dilihat bahwa keseimbangan masih didominasi belanja pegawai. Dari sisi penerimaan kontribusi PAD masih sangat minim jika dibandingkan dengan penerimaan yang berasal dari dana perimbangan. Dari segi pembiayaan dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 tidak terdapat masalah yang signifikan berpengaruh. Letak masalah dalam pembiayaan adalah besarnya alokasi untuk belanja aparatur mengakibatkan belum optimalnya pembangunan dan pelayanan masyarakat yang harus dibiaya dari belanja pembangunan. Dair segi ketersediaan informasi tentang PP No.41 Tahun 2007 ini masih sangat minim. Hal ini terlihat dari pemahaman yang minim akan peraturan ini. 5.5 Restrukturisasi Organisasi Restrukturisasi Organisasi seperti yang sudah dijelaskan dalam defenisi konsep merupakan konsep perubahan struktur dan fungsi atau penataan dan pembenahan organisasi pada sebuah organisasi dalam rangka efisiensi dan efektivitas melalui pengurangan ukuran ataupun besaran organisasi agar lebih sehat serta selaras dengan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi serta responsif terhadap lingkungan strategis dan dinamika masyarakat. Aspek restrukturisasi organisasi atau perubahan organisasi dalam penelitian ini akan dilihat dari beberapa indikator. Pertama, Visi dan tujuan pemerintahan daerah. Visi dan tujuan pemerintah daerah yang dimaksud sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJ MD) Kabupaten Toba Samosir. Kedua, Kepemimpinan, dimana sisi kepemimpinan merupakan aspek yang sangat penting dalam restrukturisasi organisasi karena pemimpin merupakan pemandu dan pembaharu dalam mewujudkan visi melalui perubahan organisasi. Ketiga, Transformasi organisasi, indikator ini akan fokus untuk melihat arah proses restrukturisasi organisasi yang akan ditempuh dalam organisasi perangkat daerah. Keempat, indikator yang terakhir ini akan melihat kendala-kendala dan hambatan dalam melakukan perubahan organisasi. Visi dan misi merupakan kesatuan tujuan yang dirumuskan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pencapaian tujuan ataupun visi dan misi sebuah organisasi. Oleh karena itu seorang pemimpin harus mampu untuk mengarahkan bawahan atau pegawai untuk memahami dengan jelas visi dan tujuan sebuah organisasi. Setelah pegawai paham akan visi dan tujuan organisasi, langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemimpin adalah merancang struktur organisasi yang selaras dengan visi dan tujuan. Struktur organisasi sebagai sarana pencapaian tujuan dalam sebuah organisasi perangkat daerah sesuai dengan PP No.41 Tahun 2007 harus dinamis sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang telah di bahas sebelumnya. Oleh karena itu struktur organisasi harus tanggap dengan perubahan dengan melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam tubuh organisasi/birokrasi. Tetapi hal ini menjadi kendala dalam struktur birokrasi organisasi perangkat daerah Kabupaten Toba Samosir karena visi pemerintahan yang ada sangat umum dan tidak spesifik. Kasih, Peduli, dan Bermartabat, visi ini jika dilihat sangat samar dan umum, pemerintah daerah manapun menginginkan keadaan seperti ini. Suatu visi haruslah spesifik dan dinyatakan dengan keyakinan. Dalam hal pengembangan organisasi yang selalu tanggap dengan perubahan lingkungan internal maupun eksternal, penjabaran dari visi ini tidak ada memuat tentang strategi kelembagaan. Penataan kelembagaan hanya berpedoman pada program reformasi birokrasi yang dirancang oleh pemerintah pusat dan PP No.41 Tahun 2007. Tidak heran pegawai hanya tahu dan sama sekali tidak paham dengan artikulasi citra, nilai, arah dan tujuan yang terkandung dalam visi pemerintahan tersebut. Perubahan organisasi dalam masa berjalan kepemimpinan pemerintahan yang sudah berjalan 3 (tiga) tahun sangat minim. Sangat berbeda dengan pemerintahan yang ada di ibu kota negara kita yang telah banyak melakukan terobosan-terobosan demi meningkatkan kinerja birokrasi. Organisasi perangkat daerah yang ada sekarang tidak jauh berbeda dengan organisasi yang ada sebelumnya, hanya terdapat penambahan dinas dan LTD sebagai akibat dari adanya tuntutan undang-undang atau peraturan pemerintah. Seharusnya dengan otonomi yang dimiliki pemerintah daerah harus melakukan terobosan demi kemajuan pembangunan. Berikut ini adalah hasil kutipan wawancara dengan seorang informan mengenai kepemimpinan sekarang ini: kalau aku memandang, inilah yang dipilih masyarakat. Pemimpin sekarang adalah hasil dari tingkat pendidikan politik masyarakat Tobasa. Karena ketika masyarakat menginginkan yang ini, yang didapatkan akan begini. Tapi saya katakan masih perlu diperbaiki. Dari wawancara ini kepemimpinan yang ada masih mempunyai banyak kekurangan, termasuk dalam hubungan antara pimpinan instansi dengan pegawai di instansi. Berdasarkan pengamatan peneliti hubungan di antara pimpinan dengan staf masih terdapat konflik-konflik yang tidak terkelola sehingga akan berpengaruh pada kinerja dan motivasi pegawai. Arah perubahan atau transformasi organisasi di Kabupaten Toba Samosir masih banyak kekurangannya. Untuk implementai PP No.41 Tahun 2007 seperti yang disampaikan oleh informan-informan masih belum maksimal. Oleh karena itu masih banyak perbaikan dan penyempurnaan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir. Organisasi yang ada sekarang masih kaya struktur tetapi minim dalam fungsi. Pemerintah Daerah melalui Bagian Ortala berdasarkan wawancaran dengan Asisten III menyatakan saat sedang merancang perbaikan-perbaikan yang mengarah ke organisasi miskin struktur kaya fungsi atau yang sekarang ini lebih dikenal dengan istilah rightsizing. Perubahan yang akan dilakukan berdasarkan hasil wawancara contohnya adalah berikut, mengubah Badan Pertambangan dan Lingkungan Hidup dengan mengintegrasikan Lingkungan Hidup dengan fungsi lain yang lebih cocok, menggabungkan Badan Kesbang Polinmas dengan Satpol-PP atau menurunkan tingkat eselon Badan Kesbang Polinmas ke Kantor karena urusan yang ditangani oleh Badan Kesbang Polinmas saat ini tinggal hanya mengatur masalah Ormas saja dengan sudah adanya Dinas Sosial dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, menggabungkan Badan Penyuluh dengan Kantor Ketahanan Pangan tetapi membentuk lagi satu dinas yaitu Dinas Peternakan dan Perikanan dan lain- lain. Melakukan perubahan organisasi bukanlah perkara mudah, karena perubahan akan selalu menimbulkan resistensi atau penolakan. Resistensi dan penolakan ini merupakan sesuatu yang wajar misalnya jika sebuah SKPD dihapus otomatis akan ada pegawai yang akan kehilangan jabatan. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Asisten III Administrasi Umum mengenai hal ini: sebenarnya itulah hambatan individu kadang-kadang, norma-norma kurang dipahami dari prosedur dan teknisnya. Terkadang pegawai tidak siap untuk melaksanakan perubahan organisasi untuk tujuan tadi. Penyempurnaan organisasi itukan tujuannya membuat organisasi kaya fungsi miskin struktur, tentu jabatan akan berkurang. Contohnya, seorang kepala kantor eselon III mempunyai 1 sekretaris, minimal 3 kepala seksi, maksimal 5, jika berubah menjadi bidang dia hanya akan mempunyai 3 seksi, secara otomatis akan berkurang 3 jabatan, itulah contoh hambatannya, terkadang mereka tidak terima. Atau untuk tujuan lebih besar itu tidak kita pedulikan, karena PNS itu bukan untuk jabatan tapi melayani. Berdasarkan wawancara dengan seorang informan mengenai hal ini, peneliti memperoleh informasi bahwa belum pernah ada penolakan yang dilakukan oleh pegawai terkait yang mengalami kerugian atas perpindahan jabatan dalam organisasi perangkat daerah. Berikut kutipan wawancara dengan informan tersebut: tidak, karena saya tidak tahu apakah PNS-nya yang cuek atau sudah mengerti etika berpolitik. Artinya, repot kita mengapai itu, yang kita kerjakan yang jadi bagian kita saja. Seperti itulah sikap yang ditunjukkan oleh pegawai terkait masalah perpindahan pegawai. Pergantian kepala daerah selalu diikuti oleh pergantian kepala SKPD. Pergantian pejabat menjadi sesuatu hal yang wajar bagi PNS, dan tidak ada protes yang berarti yang dilakukan.
BAB VI PENUTUP Pada bagian penutup ini peneliti akan menyampaikan apa yang menjadi kesimpulan penelitian serta rekomendasi atau saran-saran atas implementasi kebijakan, sehingga rekomendasi tersebut dapat menjadi solusi atas tindakan- tindakan implementasi di masa yang akan datang. Kesimpulan merupakan inti pokok yang ditarik oleh peneliti dari hasil interpretasi dan analisis yang telah disajikan dalam bab sebelumnya. Bagian kesimpulan dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terdapat dalam perumusan masalah. bagian kesimpulan juga harus selaras dan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah disebutkan peneliti pada bagian sebelumnya. 6.1 Kesimpulan 1. Kinerja implementasi PP No.41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir belum optimal. Tujuan PP No.41 Tahun 2007 ini adalah memberi pedoman yang jelas dalam menata organisasi yang efisien, efektif dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Berdasarkan temuan penelitian tujuan tersebut didefenisikan oleh informan sebagai penataan organisasi agar tercipta sebuah organisasi yang kaya fungsi miskin struktur. Untuk mencapai tujuan ini Pemerintah Kabupaten Toba Samosir menetapkan Perda No.2 Tahun 2008 yang disusul kemudian dengan empat Perda yang lain, yang semuanya mengatur tentang organisasi dan tata kerja SKPD yang ada di lingkungan Pemda Toba Samosir. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007, seperti yang terjadi pada Badan Lingkungan Hidup dan Pertambangan. Pada akhirnya organisasi perangkat daerah yang ada semakin banyak jumlahnya, walaupun pertambahan jumlah tersebut tidak bisa dikatakan sebagai pembengkakan karena dari ketentuan penetapan jumlah besaran organisasi yang ada di PP No.41 Tahun 2007, organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir masih sesuai dengan batas pola maksimal organisasi perangkat daerah yang bisa dibentuk. Tetapi jika dilihat dari tujuan kebijakan, maka pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 tidak mencapai tujuan tersebut. 2. Variabel-variabel atau faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir dapat dilihat dari penjelasan per-variabel berikut ini: a. Variabel pertama adalah variabel isi kebijakan/ pengaturan pengoperasionalan. Tujuan kebijakan dan perubahan yang diinginkan oleh kebijakan ini belum bisa tercapai karena tujuan atau tuntutan yang diinginkan dari kebijakan ini tidak sesuai dengan substansi-substansi yang ada dalam kebijakan, yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan ketentuan- ketentuan yang ada dalam PP No.41 dengan kesiapan pemerintah daerah yang masih kurang. b. Variabel kedua adalah struktur birokrasi. SOP yang tertuang dalam juklak dan juknis di tingkat daerah belum disusun sampai sekarang. Sementara PP No.41 dalam implementasinya melibatkan banyak aktor atau lembaga. Ketiadaan prosedur tetap ini membuat struktur organisasi implementasi tidak jelas, termasuk koordinasi, mekanisme kerja, dan fungsi masing-masing unit yang terlibat dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir. c. Variabel ketiga adalah variabel koordinasi dan komunikasi. Sosialisasi akan mempengaruhi pemahaman atas kebijakan, dan kedua hal ini masih terbatas. Agar implementasi dapat berjalan efektif, sosialisasi harus mendapat perhatian lebih sehingga pemahaman yang jelas akan menghasilkan komunikasi yang baik dalam implementasi kebijakan. Sementara itu pola koordinasi yang juga tergantung pada kondisi komunikasi masih dilakukan dengan pola koordinasi tradisional berjenjang. d. Variabel keempat adalah variabel sumber daya. Personil sebagai sumber daya utama dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir belum ditempatkan dengan benar, sisi kompetensi bermasalah dalam tingkat pendidikan formal, penempatan posisi sesuai dengan latar belakang pendidikan, dan diklat. Demikian juga dengan motivasi yang dimiliki oleh personil yang sering terkendala karena berbagai faktor. Pembiayaan yang dilihat dari anggaran masih terbatas dilihat dari komposisi APBD serta sumber APBD yang masih sangat mengandalkan dana perimbangan. Demikian juga masalahnya dengan sarana-prasarana dan informasi, masi banyak kekurangan. 6.2 Saran 1. Pemerintah pusat harus merevisi PP No.41 Tahun 2007 ini dengan lebih menyesuaikan peraturan yang akan dibuat dengan karakteristik daerah. Pemerintah pusat harus membagi daerah-daerah dengan tipologi-tipologi sehingga peraturan yang tepat untuk daerah yang tepat bisa terwujud dan tidak membebani daerah dalam implementasinya. PP No.41 Tahun 2007 ini juga perlu direvisi agar tidak berbenturan dengan cita-cita dari kebijakan reformasi birokrasi yang sampai saat ini masih berlangsung yaitu untuk mewujudkan organisasi yang rightsizing disemua level pemerintahan. 2. Untuk efektivitas implementasi kebijakan penataan kelembagaan Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir sebaiknya menyusun strategi kelembagaan, agar restrukturisasi organisasi dapat dilakukan dengan terarah dan berkesinambungan. 3. Pemerintahan Daerah Kabupaten Toba Samosir harus melengkapi peraturan- peraturan pelaksana untuk kebijakan penataan kelembagaan. Perda Kewenangan perlu disusun untuk memudahkan pembagian bidang-bidang yang menjadi urusan sebuah SKPD sehingga masalah tumpang-tindih kewenangan bisa diatasi. Juklak dan juknis PP No.41 Tahun 2007 juga harus disusun dan dilakukan sosialisasi karena akan sangat berpengaruh pada kejelasan tujuan dan pemahaman kebijakan, kejelasan struktur organisasi implementasi, kejelasan komunikasi, serta kejelasan mekanisme kerja dan koordinasi. Dan pada akhirnya akan memperbaiki efektivitas implementasi PP No.41 Tahun 2007 ini. 4. Pemerintah Kabupaten Toba Samosir harus melakukan revisi dan penyempurnaan terhadap Perda No.2 Tahun 2008 untuk memperbaiki ketidaksesuaian dengan PP No.41 Tahun 2007 yang ada dalam perda tersebut dan membentuk organisasi perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Toba Samosir. 5. Pemerintah daerah harus memperbaiki keadaan personil dari semua sisi, kuantitas, penempatan posisi, kompetensi, dan motivasi pegawai dalam memberikan pelayanan publik. 6. Pemerintah daerah harus mengembangkan inovasi-inovasi untuk perbaikan tubuh birokrasi seperti merit system. Dalam pengisian jabatan pemerintah daerah juga harus mengedepankan fungsi dari birokrasi sebagai pelayan publik bukan fungsi politik. Pemerintah daerah harus mulai mempertimbangkan untuk melakukan seperti yang disebutkan oleh Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Bapak Prof. Eko Prasojo dalam sebuah diskusi di sebuah stasiun TV swasta berikut ini: apa yang kami dorong kepada pemerintah daerah juga kepada instansi pusat pada tahun 2012 agar proses pengisian jabatan di dalam birokrasi dilakukan secara terbuka dengan mempergunakan assessment center, ini misalnya untuk menghindari like or dislike, kepentingan politik dan juga untuk meningkatkan kompetitivenes di dalam birokrasi, supaya orang yang berkompeten, berkinerja tinggi, bisa diangkat dalam posisi jabatan-jabatan penting. DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif (Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University press. Dwiyanto, Agus, dkk. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media. Faisal, Sanapiah. 2007. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Hasibuan, Malayu. 2005. Organisasi dan Menejemen. Jakarta. Bumi Aksara. Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Pranada Media. McMillan, J. H., & Schumacher, S. (2001). Research in education: A conceptual introduction (5th ed.). New York: Longman. Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Nawawi, Handari. 1990. Metode Penelitian di Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nugroho, Riant. 2001. Reinventing Indonesia: Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang: Model-Model Permusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Osborne, David dan Peter Plastrik. 2000. Memangkas Birokrasi. Jakarta: PPM. Patton, M. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods. California : Sage Publishing. Parsons, Wayne. 2008. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Pranada Media. Purwanto , Agus Erwan dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya Di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sedarmayanti. 2003. Good Governance (kepemerintahan yang baik) dalam rangka otonomi daerah: upaya membangun organisasi efektif efisien melalui restrukturisasi dan pemberdayaan. Bandung: Mandar Maju.
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama. Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: pustaka Pelajar. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Surundajang. 2003. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sudamayanti. 2003. Good Gavernance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung. Mandar Maju. Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan negara. Jakarta: PT Bumi Aksara. Wibawa, Samodra, dkk .1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa. Winarno, Budi. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Sumber Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah. Perda Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Toba Samosir. Perda Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas- Dinas Daerah Kabupaten Toba Samosir. Perda Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Toba Samosir. Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan. Perda No.2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir. Perda No.4 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Toba Samosir. Perda No.5 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Toba Samosir. Perda No.4 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Kabupaten Toba Samosir. Perda No.5 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Dan Penanaman Modal Kabupaten Toba Samosir.
Makalah dan Artikel: Eko Prasojo, Restrukturisasi Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah: Sebuah Refleksi Teoritis Dan Praktis Terhadap PP 8 Tahun 2003, Makalah, Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah/ Center for Local Government Innovation (YIPD/ CLGI) Roundtable Discussion, 11 Juni 2003. Sumber Lain:
Triana, Rochyati Wahyuni. 2012. Pendekatan dan Teori-Teori Implementasi Kebijakan Publik. http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id. (Diakses pada tanggal 30 April 2013).